makalah fm
Post on 25-Jul-2015
60 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang endemis dengan berbagai penyakit
infeksi. Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki paling sedikit satu penyakit
infeksi yang dapat menjadi wabah setiap saat. Oleh karena itu, setiap dokter di
Indonesia wajib mengerti mengenai penanganan penyakit-penyakit infeksi yang
sering dijumpai di masyarakat, dimana setiap dokter harus mampu menangani
penyakit tersebut hingga tuntas.
Filariasis limfatik merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih
banyak ditemukan di Indonesia. Penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
ini menjadi endemis di 321 daerah di Indonesia. Penyakit ini sendiri tidak akan
menimbulkan kematian, tapi pada keadaan yang berat penyakit ini dapat
mengakibatkan infeksi sekunder sehingga pasien dapat mengalami sepsis yang
berujung pada kematian.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai filariasis limfatik mulai
dari etiologi hingga pada pencegahan, sekilas tentang edema yang juga
merupakan salah satu manifestasi klinis dari filariasis, dan secara singkat tentang
Tropical Pulmonary Eosinophilia.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar para pembaca dapat memahami
mengenai konsep penyakit filariasis limfatik serta penanganannya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa
tinjauan pustaka. Metode analisis yang digunakan antara lain dengan mencari dari
buku dan tulisan yang adekuat untuk dijadikan referensi, berdiskusi dengan
teman dan mengambil dari keterangan pakar yang berkompeten di bidang ini.
2
ISI
1. TEMA BLOK
Blok Elective Infection: Filariasis Limfatik
2. FASILITATOR : dr. Yoan Carolina Panggabean
3. DATA PELAKSANAAN
A. Tanggal Tutorial : 1 November 2010 dan 4 November 2010
B. Pemicu ke-1
C. Pukul : 10.30-13.00 WIB
D. Ruangan : Ruang Tutorial 3 (Gedung Baru)
4. PEMICU
Seorang perempuan, berusia 35 tahun, tinggal di daerah Langkat datang ke
Poliklinik Penyakit Dalam RS Adam Malik dengan keluhan bengkak pada kaki
sebelah kiri mulai dari pangkal paha sampai mata kaki. Hal ini dialami sejak 2
bulan yang lalu, awalnya berupa pembengkakan pada mata kaki kiri, teraba keras
dan nyeri. Keluhan lain adalah batuk dan sesak nafas dan sudah mendapat
pengobatan tetapi tidak sembuh. Ada beberapa orang di sekitar tempat tinggal
pasien yang mempunyai keluhan yang sama.
Pada pemeriksaan fisik diperoleh: kesadaran kompos mentis. Tekanan darah
120/70 mmHg, denyut nadi 90x/menit, frekuensi nafas 28x/menit. Pada
ekstremitas inferior sinistra diperoleh non pitting oedem (+), nyeri tekan (+),
hiperemis (+), dan makula hiperpigmentasi (+). Pada auskultasi terdengar
wheezing pada kedua lapangan paru.
5. MORE INFO
Laboratorium:
3
Hb 10,8 g/dL; Leukosit 9530/mm3; Ht 36,8%; Trombosit 423.000/mm3. Hitung
jenis: eosinofil 20%, basofil 4%, neutrofil batang 40%, neutrofil segmen 20%,
limfosit 15%, monosit.
Diperoleh parasit mikrofilaria inti tubuh teratur, ujung ekor runcing dan tidak
berinti, dan selubung tubuh transparan.
6. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Memahami definisi pitting oedem dan non pitting oedem.
B. Memahami definisi dan etiologi flariasis.
C. Memahami epidemiologi filariasis limfatik.
D. Memahami patofisiologi filariasis limfatik.
E. Memahami manifestasi klinis filariasis limfatik.
F. Memahami diagnosis dan diagnosis banding
G. Memahami manajemen terapi
H. Memahami komplikasi, prognosis, dan pencegahan filariasis limfatik.
I. Memahami patologi dan gejala klinis Tropical Pulmonary Eosinophilia.
J. Memahami diagnosis Tropical Pulmonary Eosinophilia
7. PERTANYAAN YANG MUNCUL DALAM CURAH PENDAPAT
A. Bagaimanakah definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, manajemen terapi, komplikasi,
prognosis, dan pencegahan filariasis limfatik?
B. Bagaimanakah patologi, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, dan
pengobatan Tropical Pulmonary Eosinophilia ( Occult Filariasis)?
C. Bagaimana definisi, etiologi, serta patogenesis edema?
8. JAWABAN ATAS PERTANYAAN
A. FILARIASIS
A.1. Definisi
Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing
filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening.
4
A.2. Etiologi
Etiologi dari filaris limfatik adalah Wuchereria bancrofti, Brugia malayi,
dan Brugia timori.
A.3. Epidemiologi
Pada tahun 2008 dilaporkan terdapat 11.699 kasus filariasis di Indonesia.
Tiga propinsi dengan jumlah kasus terbanyak berturut-turut adalah Nanggroe
Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Berikut ini adalah data
kasus filariasis di Sumatera Utara pada tahun 2007:
5
A.4. Daur Hidup dan Morfologi
A.4.1. Wuchereria bancrofti
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe;
bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina
berukuran 65-100 mm x 0,25 mm dan yang jantan 40 mm x 0,1 mm. Cacing
betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250-300 mikron
x 7-8 mikron. Mikrofilaria hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tapi
pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya,
mikrofilaria W. Bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria
hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari,
mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (paru, jantung, ginjal, dan
sebagainya).
Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex
quinquefasciatus. Di pedesaan, vektornya berupa nyamuk Anopheles atau
nyamuk Aedes. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu sangat panjang. Masa
pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu.
Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti,
tetapi diduga kurang lebih 7 bulan. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk,
melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan
bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya
menyerupai sosis dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih
seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang,
disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar
kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium
III.
Gerak larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke
rongga abdomen kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang
mempunyai larva stadium III (bentuk infektif) menggigit manusia, maka larva
tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan
bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami
dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV, lalu stadium V atau
cacing dewasa.
6
A.4.2. Brugia malayi dan Brugia timori
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe. Bentuknya
halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mm x
0,16 mm (B.malayi), 21-39 mm x 0,1 mm (B.timori) dan yang jantan 22-23 mm x
0,09 mm (B.malayi), 13-23 mm x 0,08 mm (B.timori).
Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran
mikrofilaria B. Malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron dan B. Timori 280-310
mikron x 7 mikron.
Periodisitas mikrofilaria B. malayi adalah periodik nokturna, subperiodik
nokturna atau non periodik, sedangkan mikrofilaria B. timori mempunyai sifat
periodik nokturna. B. malayi yang hidup pada manusia ditularkan pleh nyamuk
Anopheles barbirostris dan yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh
nyamuk Mansonia. B. timori ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris.
Daur hidup kedua parasit ini cukup panjang, tetapi lebih pendek daripada W.
bancrofti. Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada
manusia kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk kedua parasit ini juga
mengalami dua kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium satu menjadi
larva stadium II dan III, menyerupai perkembangan parasit W. bancrofti. Di
dalam tubuh manusia perkembangan kedua parasit tersebut juga sama dengan
perkembangan W. bancrofti.
A.5. Patologi dan Patogenesis
Perubahan patologi utama disebabkan oleh kerusakan pembuluh getah
bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa, bukan oleh
mikrofilaria. Cacing dewasa hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus
kelenjar getah bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan
penebalan dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di
dalam dan di sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama
dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang, menyebabkan berliku-
likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah
bening.
7
Limfadema dan perubahan kronik akibat statis bersama dengan edema keras
terjadi pada kulit yang mendasarinya. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat
filariasis ini disebabkan oleh efek langsung dari cacing ini dan oleh respon imun
pejamu terhadap parasit. Respon imun ini dipercaya menyebabkan proses
granulomatosa dan proliferasi yang menyebabkan obstruksi total pembuluh getah
bening. Diduga bahwa pembuluh-pembuluh tersebut tetap paten selama cacing
tetap hidup dan bahwa kematian cacing tersebut menyebabkan reaksi
granulomatosa dan fibrosis. Dengan demikian terjadilah obstruksi limfatik dan
penurunan fungsi limfatik.
A.6. Gejala Klinis
Manifestasi dini penyakit ini adalah peradangan,, sedangkan bila sudah
lanjut akan menimbulkan gejala obstruktif. Mikrofilaria yang tampak dalam
darah pada stadium akut akan menimbulkan peradangan yang nyata, seperti
limfangitis, limfadenitis, funikulitis, epididimitis dan orkitis. Adakalanya tidak
menimbulkan gejala sama sekali terutama bagi penduduk yang sejak kecil sudah
berdiam di daerah endemik. Gejala peradangan tersebut sering timbul setelah
bekerja berat dan dapat berlangsung antara beberapa hari hingga beberapa minggu
(2-3 minggu).. Gejala dari limfadenitis adalah nyeri lokal, keras di daerah
kelenjar limfe yang terkena dan biasanya disertai demam, sakit kepala dan badan,
muntah-muntah, lesu dan tidak nafsu makan. Stadium akut ini lambta laun akan
beralih ke stadium menahun dengan gejala-gejala hidrokel, kiluria, limfedema,
dan elephantiasis.
Limfedema terbagi dalam 7 stadium menggambarkan akan tanda hilang tidaknya
bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran
seperti lumut) serta adanya hambatan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari.
Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan
penyuluhan yang tepat kepada penderita.
Penentuan stadium limfedema mengikuti kriteria sebagai berikut :
1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan,
lengan dan tungkai.
2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam
8
satu sisi, dibuat dalam satu stadium limfedema.
3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat.
4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh.
5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan
penatalaksanaan kasus.
No
.
Gejala Stadium 1 Stadium
2
Stadium
3
Stadium
4
Stadium
5
Stadium
6
Stadium
7
1. Bengkak
di kaki
Menghilang
waktu
bangun
tidur pagi
Menetap Menetap Menetap Menetap,
meluas
Menetap,
meluas
Menetap,
meluas
2. Lipatan
di kulit
Tidak ada Tidak
ada
Dangkal Dangkal Dalam,
kadang
dangkal
Dangkal,
dalam
Dangkal,
dalam
3. Nodul Tidak ada Tidak
ada
Tidak
ada
Ada Kadang-
kadang
Kadang-
kadang
Kadang-
kadang
4. Mossy
lessions
Tidak ada Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada
Tidak
ada
Ada Kadang-
kadang
5. Hambata
n berat
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya
A.7. Diagnosis
A.7.1. Diagnosis parasitologi
1. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan
hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan
teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi. Pengambilan darah harus
dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00) mengingat periodisitas
mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan histopatologi,
kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat dijumpai di saluran dan
kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.
9
2. Teknik biologi molekuler dapat digunakakn untuk mendeteksi parasit
melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase
(Polymerase Chain Reaction/PCR).
A.7.2. Radiodiagnosis
1. Pemeriksaan dengan USG pada skrotum dan kelenjar getah bening
inguinal pasien akan memberikan gambaran cacing yang bergerak-
gerak. Pemeriksaan ini hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria
oleh W. Bancrofti.
2. Pemeriksaan limfosintigrafi menunjukkan adanya abnormalitas sistem
limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia.
A.7.3. Diagnosis imunologi
Deteksi antigen dengan immunochromatographic test (ICT) yang
menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen
W. Bancrofti dalam sirkulasi darah.Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi
aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah. Deteksi antibodi
dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk mendeteksi
antibodi subklas IgG4
A.8. Manajemen Terapi
A.8.1. Perawatan Umum
1. Istirahat di tempat tidur, pindah tempat ke daerah yang dingin akan
mengurangi derajat serangan akut
2. Antibiotik dapat diberikan untuk infeksi sekunder dan abses.
3. Pengikatan di daerah pembendungan akan mengurangi edema
.
A.8.2. Pengobatan spesifik
1. Pengobatan infeksi
10
Hingga saat ini, WHO menetapkan Dietilcarbamazine (DEC) sebagai
satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Pengobatan dilakukan
dengan pemberian DEC 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari. Pengobatan ini dapat
diulang 1 hingga 6 bulan kemudian bila perlu, atau DEC selama 2 hari per bulan
(6-8 mg/kgBB/hari).
Obat lain yang dapat digunakan adalah Ivermektin. Albendazol bersifat
makrofilarisidal untuk W. Bancrofti dengan pemberian setiap hari selama 2-3
minggu.
2. Pengobatan Penyakit
Hidrokel besar yang tidak mengalami regresi spontan sesudah terapi
adekuat harus dioperasi dengan tujuan drainase cairan dan pembebasan tunika
vaginalis yang terjebak untuk melancarkan aliran limfe. Tindakan untuk
mengatasi cairan hidrokel adalah dengan aspirasi dan operasi. Beberapa indikasi
untuk melakukan operasi pada hidrokel adalah:
1. Hidrokel yang besar sehingga dapat menekan pembuluh darah.
2. Indikasi kosmetik
3. Hidrokel permagna yang dirasakan terlalu berat dan mengganggu pasien dalam
melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pada ekstremitas yang terkena,
dilakukan:
a. pencucian dengan sabun dan air dua kali per hari
b. menaikkan tungkai yang terkena pada malam hari
c. ekstremitas digerakkan teratur untuk melancarkan aliran
d. menjaga kebersihan kuku
e. memakai alas kaki
f. mengobati luka kecil dengan krim antiseptik atau antibiotik.
Terapi bedah dipertimbangkan apabila terapi non bedah tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain
adalah limfangioplasti, prosedur jembatan limfe, transposisi flap omentum,
eksisi radikal dan graft kulit, anastomosis pembuluh limfe tepi ke dalam, dan
bedah mikrolimfatik.
11
Untuk kiluria, diberikan terapi nutrisi rendah lemak, tinggi protein,
dengan asupan cairan tinggi dan dapat diberikan suplemem tambahan dengan
trigliserida rantai sedang (medium-chain triglycerides).
A.9. Pencegahan
A.9.1. Pencegahan massal.
Kontrol penyakit pada populasi adalah melalui kontrol vektor (nyamuk).
Namun hal ini terbukti tidak efektif mengingat panjangnya masa hidup parasit (4-
8 tahun). Pada pengobatan massal (program pengandalian filariasis) pemberian
DEC dosis standar tidak dianjurkan lagi mengingat efek sampingnya. Untuk itu,
DEC diberikan dengan dosis lebih rendah (6 mg/kgBB), dengan jangka waktu
pemberian yang lebih lama untuk mencapai dosis total yang sama misalnya dalam
bentuk garam DEC 0,2-0,4% selama 9-12 bulan. Atau pemberian obat dilakukan
seminggu sekali, atau dosis tunggal setiap 6 bulan atau 1 tahun.
A.9.2. Pencegahan individu
Kontak dengan nyamuk terinfeksi dapat dikurangi melalui penggunaan
obat oles anti nyamuk, kelambu atau intektisida.
A.9.3. Strategi WHO untuk membasmi filariasis limfatik.
Strategi Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis memiliki
komponen:
1. Menghentikan penyebaran infeksi. Untuk interupsi transmisi, daerah
endemik filaria harus diketahui, kemudian program pengobatan massal
diterapkan untuk populasi beresiko. Di banyak negara, program
dilakukan dengan memberikan dosis tunggal 2 obat bersamaan 1 kali per
tahun. Obat yang diberikan adalah Albendazole dan DEC atau Ivermektin.
Dosis ini harus diberikan selama 4-6 tahun. Alternatif lain adalah
penggunaan garam fortifikasi dengan DEC selama 1 tahun.
2. Meringankan beban penderita, diperlukan edukasi untuk meningkatkan
kewaspadaan pada pasien yang mengalami infeksi. Dengan edukasi ini
12
diharapkan akan meningkatkan higiene lokal sehingga mencegah episode
inflamasi akut.
A.10. Prognosis
Pada kasus-kasus dini dan sedang, prognosis baik terutama bila pasien
pindah dari daerah endemik. Pengawasan daerah endemik tersebut dapat
dilakukan dengan pemberian obat, serta pemberantasan vektornya. Pada kasus-
kasus lanjut terutama dengan edema tungkai, prognosis lebih buruk.
B. TROPICAL PULMONARY EOSINOPHILIA (TPE)/OCCULT
FILARIASIS
B.1. Definisi
TPE adalah penyakit filariasis limfatik, yang disebabkan oleh
penghancuran mikrofilaria dalam jumlah yang berlebihan oelh sistem kekebalan
penderita.
B.2. Patologi dan Gejala Klinis
Mikrofilaria dihancurkan oleh zat anti dalam tubuh hospes akibat
hipersensitivitas terhadap antigrn mikrofilaria. Gejala penyakit ini ditandai
dengan hipereosinofilia, peningkatan kadar antibodi IgE dan antifilaria IgG4,
kelainan klinis yang menahun berupa pembengkakan kelenjar limfe dan gejala
asma bronkial.
Hipereosinofilia merupakan salah satu tanda utama dan gejala ini
seringkali merupakan petunjuk ke arah etiologi penyakit tersebut. Jumlah leukosit
biasanya ikut meningkat akibat meningkatnya jumlah sel eosinofil dalam darah.
Kelenjar yang paling sering terkena adalah kelenjar limfe inguinal. Kadang-
kadang dapat pula terkena kelenjar limfe leher, lipat siku atau kelenjar limfe di
tempat lain. Mungkin pula terdapat pembesaran kelenjar limfe di seluruh tubuh,
menyerupai penyakit Hodgkin.
Bila paru terkena maka gejala klinis dapat berupa batuk dan sesak nafas,
terutama pada waktu malam, dengan dahak yang kental dan mukopurulen. Foto
13
rontgen paru biasanya memperlihatkan garis-garis yang berlebihan pada kedua
hilus dan bercak-bercak halus terutama di lapangan paru bawah.
Gejala lain dapat berupa demam subfebril, pembesaran limpa dan hati.
Mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah, tetapi mikrofilaria atau sisa-sisanya
dapat ditemukan di jaringan kelenjar limfe, paru, limpa, dan hati. Pada jaringan
tersebut terdapat benjolan-benjolan kecil berwarna kuning kelabu dengan
penampang 1-2 mm, terdiri dari infiltrasi sel eosinofil yang dikenal dengan nama
Meyers Kouwenaar. Di dalam benda-benda inilah dapat ditemukan sisa-sisa
mikrofilaria.
B.3. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, hipereosinofilia, peningkatan
kadar IgE yang tinggi, peningkattan zat anti terhadap mikrofilaria dan gambaran
rontgen paru. Konfirmasi diagnosis tersebut adalah dengan menemukan benda
Meyers Kouwenaar pada sediaan biopsi, atau dengan melihat perbaikan gejala
setelah pengobatan dengan DEC.
B.4. Diagnosis Banding
Asma, Loffler’s syndrome, allergic bronchopulmonary aspergillosis,
allergic granulomatosis with angiitis (Churg-Strauss syndrome), vaskulitides
sistemik (periarteritis nodosa dan Wegener’s granulomatosis), chronic eosiniphilic
pneumonia, dan sindrome hipereosinofilia idiopatik.
B.5. Manajemen Terapi
Obat pilihan adalah DEC dengan dosis 6 mg/kgBB/hari selama 21-28 hari.
Pada stadium dini penderita dapat disembuhkan dengan parameter darah dapat
pulih kembali sampai kadar yang hampir normal. Pada stadium klinik lanjut,
seringkali terdapat fibrosis dalam paru dan dalam keadaan tersebut, fungsi paru
mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya. Penderita TPE memberikan respon yang
rendah pada pengobatan bronkodilator dan steroid.
14
C. EDEMA
C.1. Definisi
Edema adalah penumpukan cairan interstisial secara abnormal dalam jumlah
besar.
C.2. Etiologi dan Patogenesis
15
ULASAN
1. Dalam pleno pakar, salah satu peserta pleno/mahasiswa bertanya kepada pakar
mengenai obat apa yang cocok diberikan pada ibu hamil jika kena filariasis.
Pakar menjelaskan bahwa semua obat filariasis tidak aman diberikan pada wanita
hamil, kecuali DEC. Hal ini tidak ada dibahas dalam diskusi kelompok tutorial B-
3.
2. Dalam pleno salah satu peserta pleno/mahasiswa bertanya kepada pakar mengenai
terapi DEC, apakah aman jika diberikan tunggal atau harus dikombinasi dengan
Ivermectin. Pakar menjelaskan bahwa DEC paling baik jika dikombinasikan
dengan Albendazol, dan pengobatan juga bisa dilakukan dengan kombinasi
Ivermectin dan Albendazol.Pemebrian tunggal tidak seampuh pemberian obat
kombinasi. Hal ini tidak ada dibahas dalam diskusi kelompok tutorial B-3.
3. Dalam pleno pakar salah satu peserta pleno/mahasiswa bertanya kepada pakar
mengenai terapi asma pada pasien dalam kasus. Pakar menjelaskan bahwa untuk
asma dapat diberikan bronkodilator. Dari buku Parasitologi Kedokteran FK UI,
penulis membaca bahwa pada penderita TPE, pengobatan bronkodilator dan
steroid akan memberikan respon yang rendah.
4. Dalam pleno pakar salah satu peserta pleno/mahasiswa bertanya kepada pakar
mengenai indikasi pengobatan massal. Pakar menjelaskan bahwa pengobatan
dilakukan jika pada suatu daerah dilakukan pemeriksaan, didapati mikrofilaria
positif pada sekurang-kurangnya 1% dari total penduduk. Hal ini tidak ada
dibahas dalam diskusi kelompok tutorial B-3.
16
KESIMPULAN
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan yang ada, pasien mengalami
filariais limfatik Tropical Pulmonary Eosinophilia oleh karena Wuchereria
bancrofti.
17
DAFTAR PUSTAKA
[1] Braunwald E., Joseph L., 2008. Edema. Dalam: Fauci A., S., ., dkk.
Harrison ‘s Principles of Internal Medicine. 17th Ed. McGraw-Hill
Companies, Inc, United States of America: 231-236
[2] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan
Kasus Klinis Filariasis. Ditjen PP &PL, Jakarta, 2006.
[3] Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Profil Kesehatan
Indonesia 2008. Diperoleh dari: http://the-manuals.com/profil-kesehatan-
indonesia 2008-manual/ [Diakses 11 March 2010].
[4] Dinas Kesehatan RI Propinsi Sumatera Utara, 2007. Profil Dinkes Kab/Kota
Propinsi Sumatera Utara Tahun 2007 Diperoleh dari:
www.pdfqueen.com/.../ profil - kesehatan - sumatera - utara -tahun-2008/
[Diakses 11 Maret 2010].
[5] Djuandi Y., Partono F., 2008. Occult Filariasis. Dalam: Buku Ajar
Parasitologi Kedokteran. . Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 42-43.
[6] Ganong W. F., 2002. Dinamika Aliran Darah dan limfe: Sirkulasi Limfe dan
Volume cairan Interstisial. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi
20. Penerbit EGC, Jakarta: 567-569.
[7] Nutman T. B., Weller P. F., 2005. Filarial and Related Infections. Dalam:
Kasper D. L., dkk. Harrison ‘s Principles of Internal Medicine. 16th Ed.
McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America: 1260-1266.
[8] Pohan H. T., 2006. Filariasis. Dalam Dusoyo AW, Setiyohadi B, dkk. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi 2. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
18
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 1767-1772.
[9] Supali, T., Kurniawan A., Partono F., 2008. Wuchereria bancrofti. Dalam:
Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. . Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 32-38.
[10] ____________________________________. Brugia Malayi dan Brugia
Timori. Dalam: Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. . Balai Penerbit FKUI,
Jakarta: 38-40.
19
top related