logbook iii (kelompok)
Post on 23-Jan-2016
36 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pendidikan Agama
Disusun oleh : Juvenrio (38130084)
Kelas : A
Hari/tanggal : 6 Mei 2015
Logbook II
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. DEFINISI OPERASIONAL JUDUL
Variabel Independen
Definisi dialog : pertukaran opini dan ide atas sesuatu hal, dengan tujuan mencapai
kesepakatan.
Definisi Interfaith dialogue: Interaksi positif, kooperatif, dan konstruktif melalui
pertukaran opini dan ide antar masyarakat yang memiliki tradisi religius, kepercayaan
humanistik dan spiritual yang berbeda, pada tingkat individu dan institusi untuk mencapai
kesepakatan dan membangun hubungan baik antar agama.
Variable Dependen
Definisi toleransi: sikap menerima dan menghormati praktek-praktek, opini, dan
kepercayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Serta bersikap menahan diri ketika
adanya ketidaksetujuan terhadap hal-hal yang berbeda.
Pengertian judul sesungguhnya
Arti judul bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip interfaith dialogue the los angeles
untuk membangun toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia:
Dialog antar agama mengacu pada interaksi antar pemeluk agama satu dengan lainnya
secara positif, kooperatif dan konstruktif. Interaksi yang dimaksud yaitu pertukaran opini
dan ide untuk mencapai suatu kesepakatan. Dalam hal ini dengan terjadinya kesepakatan
antar pemeluk agama yang berbeda maka sikap toleran dalam kehidupan beragama di
Indonesia dapat terbangun.
C. KERANGKA BERPIKIR
D. Rumusan masalah dan hipotesis
Bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip interfaith dialogue the Los Angeles untuk
membangun toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia?
Hipotesis dalam topik ini:
1. Ha: prinsip-prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan
toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.
2. Ho: prinsip-prinsip dialog Buddha Katholik di Los Angeles tidak dapat meningkatkan
toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Membangun kerukunan kehidupan beragama
Variabel Independen : Interfaith Dialog ( Dialog Antargama)
Variabel Dependen:
Membangun sikap toleransi antar umat beragama
Indikator :
1. Interaksi kooperatif dan positif antara orang-orang yang berbeda agama
2. Konsentrasi pada kesamaan antar agama
3. Pemahaman nilai-nilai ajaran masing-masing agama
Indikator :
1. Saling menghargai dan menjunjung tinggi persamaan
2. Menghormati perbedaan yang ada di antara umat beragama
Bab II
Refleksi/gambaran Kondisi dan Masalah Kehidupan Beragama dalam
Literatur
A. Refleksi Kondisi
1. Berdasar Literatur
a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)
1) Berdasar Literatur Pokok
Dialog formal/dialog antar agama sangat diperlukan dalam Gereja Katolik oleh
kepemimpinan tercerahkan dari Paus. Pada awal tahun 1964, dalam surat ensiklik
pertama nya, ecclesiam Suam, Paus Paulus VI telah menekankan perlunya dialog
antar-agama, suatu sikap yang lebih ditekankan dalam Nostra Aetate yang
sepenuhnya didedikasikan untuk subjek yang ditunjukkan oleh judul. Nostra Aetate
yang menetapkan panggung untuk awal dari dialog antaragama. Keputusan ini
memulai perubahan fundamental dalam cara Gereja dilihat dari agama lain. Untuk
pertama kalinya, mendorong dialog dengan mereka.
Pada tahun 1969 Keuskupan Agung Katolik di Los Angeles dengan masyarakat
agama lain mendirikan Council of Southern California dan pada tahun 1971 mereka
bergabung dengan komunitas Buddha. 3 tahun berikutnya, Keuskupan Agung
membentuk Komisi Ekumenis dan Antar Negeri untuk mengkoordinasikan dan
meningkatkan komunitas Katholik dengan komunitas agama lain. Melalui Komisi dan
Dewan Interreligious satu-satu pertukaran dimulai antara Katolik dan Buddha.
Beberapa sorotan dari pertukaran seperti perayaan multireligius kunjungan 1987 dari
Paus Yohanes Paulus II di Little Tokyo (Nostra Aetate Alive) . Ini merupakan sejarah
Los Angeles dalam kerjasama agama Budha-Katolik Dialog, yang dimulai 16
Februari 1989.
Komunitas Buddhisme melihat interfaith dialogue yang dilakukan sebagai
kesempatan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati terhadap
Buddhisme dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu umat Buddha terjun
ke masyarakat luas. Dialog ini diadakan oleh Organisasi Dewan Sangha Buddha dan
Kantor Katolik Ekumenis dan Urusan antaragama. Dialog ini membentuk sebagai
seorang pejabat dan kelompok inti. Kelompok inti dirancang untuk menampung
sekitar delapan perwakilan dari umat Buddha dan delapan perwakilan dari umat
Katolik Roma. Rapat yang akan diadakan setiap enam sampai delapan minggu yang
diadakan selalu berputar antara di lokasi umat Buddha dan Katholik. Dari awal,
panitia mengakui bahwa ini adalah dialog antar agama yang bersifat sangat awal
dengan kebutuhan yang besar atas kesabaran dan kesederhanaan untuk saling
mengenal satu sama lain. Dan mereka menyadari telah menjadi tangan pertama yang
memiliki karunia untuk memberikan satu sama lain pemahaman akan dua agama
yang berbeda.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Akhir-akhir ini, interfaith dialogue dan interaksi antara umat Buddha dengan pemeluk
agama lainnya sering dilakukan. Mereka mulai saling menghargai dan memahami
kepercayaan mereka masing – masing. Hal ini digambarkan dengan pertemuan Dalai
Lama dengan Paus. Pada suatu pertemuan yang dilaksanakan di Assisi, Italia dimana
Sri Paus mengundang semua pemimpin-pemimpin agama di dunia. Sekitar 150 wakil
agama hadir. Dalai Lama duduk dekat Sri Paus dan diberi kehormatan untuk
memberikan pidato yang pertama. Pemimpin-pemimpin agama yang lain juga
menunjukkan penghargaan yang tertinggi terhadap Buddhisme. Pada konferensi itu,
mereka mendiskusikan topik yang umum pada setiap agama, seperti moralitas, cinta
dan kasih sayang. Orang-orang yang sangat bersemangat dengan kerja sama,
keserasian dan penghargaan yang setara yang dirasakan oleh para pemimpin agama
yang berlainan. Dialog antar Budha dan katholik mengharapkan adanya kemajuan
materi dan kemajuan spiritual.
b. Berkait Variabel Dependen (Toleransi antar umat beragama)
1) Berdasar Literatur Pokok
Mengacu pada Hindu dan Buddha, Paus menyatakan bahwa Gereja Katolik sangat
menjunjung tinggi perilaku dan ajaran kepercayaan mereka walaupun berbeda dalam
banyak hal dari apa yang mereka percayai. Komentar dari Francis Kardinal Arinze,
Presiden Dewan Kepausan Vatikan untuk Dialog antar agama, yang menyebutkan
bahwa salah satu gerakan yang paling ramah dari Gereja adalah surat yang dikirim
kepada masyarakat Buddhis yaitu Francis Kardinal menunjukkan ketertarikannya
pada "Pesta Hari Raya Waisak." Waisak adalah hari di mana umat Buddha
memperingati kelahiran, Pencerahan, dan kematian Sang Buddha. Sesuai dengan
semangat pendirinya, umat Buddhis telah terkenal sepanjang sejarah untuk saling
toleransi pada keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda. Tetapi beliau mengingatkan
kita bahwa hal ini masih tidak cukup. Kardinal menunjukkan juga bahwa “masyarakat
majemuk di mana kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita
sebenarnya diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita layaknya
mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang menasehati kita:
“kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan dengan kebaikan,
menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta menaklukkan pembohong dengan
kebenaran."
Meskipun benar bahwa banyak yang telah dicapai dengan cara dialog antar agama,
namun masih ada batu sandungan yang tetap signifikan selama ini. Salah satu
hambatan yang paling bertahan sampai dialog adalah kepercayaan oleh anggota dari
berbagai agama, yang dengan berpartisipasi di dalamnya mereka bisa mengorbankan
kepercayaan mereka sendiri. Untuk penganut Buddha, imannya ada untuk berdialog
dengan agama lain. Alasannya adalah bahwa Buddhisme bukan suatu sistem dogma,
ataupun doktrin "keselamatan" sebagai istilah yang umumnya dipahami dalam agama
teistik. Sang Buddha menasihati murid-muridnya untuk tidak mengambil keyakinan
dengan begitu saja. Sebaliknya, mereka harus mendengarkan, dan kemudian
memeriksa ajaran untuk diri mereka sendiri, sehingga mereka mungkin yakin akan
kebenarannya.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Interfaith Dialogue antara Buddha dan Katholik yang terjadi di Los angeles juga
menghasilkan dampak positif pada negara – negara lain. Contohnya di Seoul, Korea,
Para seniman Buddha dan Katolik mengadakan pameran natal bersama untuk
memperingati Hari Raya Natal dan meningkatkan kerukunan dan kerjasama antara
kedua agama. Masing-masing terdiri dari 12 seniman Katolik dan 11 seniman Buddha
memamerkan sebuah lukisan atau patung di galeri seni Katolik di Kuil Bubryunsa,
Seoul, pada 8-15 Desember. Joseph Choi Jong-tae, Ketua Asosiasi Seniman Katolik
Korea, mengatakan kepada UCA News 8 Desember, pameran bersama itu digelar
untuk memperingati kelahiran Yesus Kristus dan untuk meningkatkan kerukunan
antaragama antara para seniman Katolik dan Buddha."Jika kita fanatik terhadap
agama kita masing-masing, konflik antara agama-agama akan jadi makin parah," kata
Choi, dosen kehormatan di Seoul National University.
Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr John Chang
Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye) menyampaikan ucapan
selamat. "Hari Raya Natal hampir tiba dan pameran ini adalah untuk memperingati
kelahiran Yesus Kristus," kata Yang Mulia Bubjang, pemimpin sekte Buddha terbesar
di negara itu. "Hari Raya Natal juga merupakan ajang pertemuan para seniman dari
kedua agama. Agama-agama menunjukkan jalan hidup kepada umatnya dan umat
hendaknya bersatu dalam semangat agama mereka masing-masing. Agama-agama
juga membuka jalan terberkati kepada umatnya. Inilah cara merayakan Hari Raya
Natal." Biksu itu mengatakan, kegiatan-kegiatan antaragama yang terus
berkelanjutan mendorong dia "untuk belajar dari dan memahami satu sama lain."
Bagi dia, dialog antaragama bisa terwujud hanya "jika kita kritis terhadap tradisi
agama kita masing-masing." Uskup Chang, pembimbing rohani Asosiasi Seniman
Katolik Korea, berharap agar "pameran-pameran ini akan terus berlanjut dari tahun ke
tahun untuk membantu meningkatkan persaudaraan dan saling pengertian di antara
agama-agama."
Sejumlah karya seni pada pameran itu mencerminkan tema-tema religius, seperti Roh
Kudus, Salib, kelahiran Kristus, dan gambar-gambar Buddha. Pameran itu dibuka
untuk umum secara gratis. Seorang mahasiswa seni yang sedang mengunjungi
pameran itu mengatakan, ia terkejut melihat para seniman Buddha dan Katolik
mengadakan pameran bersama. Namun ia senang melihat seni Katolik dan Buddha
berada dalam satu tempat. Salah seorang seniman Buddha yang mengikuti pameran
itu, mengatakan "Kami berasal dari agama yang berbeda, tapi kami punya kemauan
baik untuk mengadakan pameran bersama ini karena ini membantu kami memahami
budaya satu sama lain."
B. Analisis Kondisi
1) Berdasar Literatur Pokok
a. Berkait Variabel Independen (Interfaith Dialogue)
1) Berdasar Literatur Pokok
Pada tahun – tahun awal berdirinya agama katholik , Buddha dan Katholik
telah hidup di antara satu sama lain . Kemungkinan kecil pada abad pertama,
komunitas kecil Katholik ada di India. Proses penyebaran agama katholik
dimulai pada awal era modern ketika Eropa melakukan perjalanan eksplorasi,
ekspansi kekuasaan komersial dan kolonial di Asia serta mulai mengatur
panggung untuk pertemuan besar pertama antara agama yang sekarang biasa
disebut interfaith dialogue atau dialog antar agama. Para penjelajah Eropa
tersebut merasa selain mencari target ekspansi tetapi juga sebagai misionaris
yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari misi untuk menyebarkan
Injil Tuhan. Tetapi lambat laun apa yang dilakukan mereka tidak bercermin
pada pertemuan bersar pertama antar agama pada awalnya. Mereka mulai
membawa kata Allah ke Asia dan menetapkan struktur kekuasaan dan
dominasi Eropa atas masyarakat baik yang berumat Buddha, Hindu dan
anggota agama-agama lainnya. Hal ini bukan suasana yang dipupuk oleh
dialog antar agama yang sejati. Hal ini mulai membuat sebagian orang
merasa tidak adanya rasa saling memahami dengan perbedaan antar agama
yang ada.
Sebuah kota di Negara Amerika yang dinamai dengan nama kota yang paling
suci "Queen of Angels" atau biasa kita dengar Los Angeles, agama Buddha
dan Katholik hidup berdampingan. Hal ini disebabkan oleh adanya
gelombang imigrasi yang besar dari negara – negara di benua Asia ke Los
Angeles yang kebetulan bertepatan dengan sikap keterbukaan baru terhadap
agama-agama lain dalam Katholik. Sikap tersebut secara resmi diumumkan
dengan dikeluarkannya putusan yang bernama "Nostra Aetate" yaitu Deklarasi
Agama Non-Kristen yang berasal dari Vatikan pada tahun 1965. Nostra
Aetate ini adalah Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-Agama
Bukan Kristen yang berisi mengenai segala pernyataan yang berhubungan
antara agama katholik dan agama lainnya sehingga tidak terjadi pertikaian.
Dengan diumumkannya putusan Nostra Aetate, mereka juga mulai
menyiapkan panggung untuk dialog antar agama yang baru.
Ketika Buddhisme mulai dikembangkan, situasi unik mulai terjadi juga di Los
Angeles. Semua sekolah utama dengan etnis dan tradisi didasari dengan basis
Buddhisme meskipun masing-masing dengan bahasa sendiri dan adat istiadat
yang memang sudah ada dari awal di sini. Keragaman besar tersebut yang
mulai timbul dalam agama Buddha merangsang dialog antar Buddha dan
Katholik. Setelah melalui proses panjang seperti yang sudah dijelaskan
berdasarkan literatur pokok diatas, Pada tanggal 16 Februati 1989 Dialog
antar agama Buddha dan Katholik pertama kali diadakan di Los angeles.
Dialog tersebut diadakan oleh organisasi Dewan Sangha Buddhis dan Komisi
Ekumenis dan Antar Negeri Pimpinan Buddhisme di Los Angeles setuju
untuk melakukan interfaith dialogue meskipun beliau diliputi perasaan
keengganan. Kegalauan pemikiran pemimpin Buddha adalah banyak orang
yang ingin beragama Buddha tapi mereka dipenuhi rasa takut akan masa –
masa kolonial yang mengharuskan mereka beragama katholik. Namun
demikian, beberapa pemimpin Buddha telah mengembangkan hubungan
persahabatan dengan pemimpin dari kelompok agama lain, terutama dengan
Katolik Roma dan mampu meredakan kekhawatiran rekan-rekan mereka.
Komunitas Buddhisme sendiri pun melihat interfaith dialogue yang dilakukan
sebagai kesempatan untuk membantu meningkatkan pemahaman dan simpati
terhadap Buddhisme dan merupakan sebuah proses yang dapat membantu
umat Buddha terjun ke masyarakat luas. Ada juga tradisi Buddhisme dalam
perjalanan sejarah untuk bekerja kelompok dengan agama lain. Karena inti
dari Buddhisme adalah untuk meninggalkan segala bentuk ciri yang bersifat
tidak mengkritik atau mengutuk agama lain. Sang Buddha sendiri sering
mengunjungi pusat-pusat agama lain, dan pengikut agama Buddha sering
didorong untuk belajar dan pengalaman yang berbeda sistem agama atau
filsafat. Di antara umat Katolik, pedoman Nostra Aetate memulai perubahan
fundamental dalam cara Gereja yaitu umat Katolik telah menjadi bersemangat
untuk mengeksplorasi dan belajar tentang agama lain. Hal ini mempengaruhi
Dialog antar dua agama tersebut sehingga dialog menjadi tepat waktu.
Di dalam Interfaith Dialogue yang dilakukan di Los Angeles, Paus
menyatakan bahwa apa yang menyatukan kita (antar umat beragama) lebih
besar daripada apa yang dapat memisahkan kita dimana kita dapat
bekerjasama atau saling mendukung tanpa adanya konflik serta
kesalahpahaman. Alfred Rabbi Wolf mempercayai bahwa ajaran Buddha
sebagai ajaran yang universal dalam arti bahwa hal itu berkaitan dengan
kondisi dasar manusia. Dan dinyatakan pula bahwa semua orang adalah
Buddha walaupun tidak beragama Buddha atas dasar ajarannya yang
universal.
Berkaitan dengan masalah penderitaan, Paus mengingatkan kita, "Orbis Stat
dum volvitur inti." ("Salib tetap konstan sementara dunia berubah").
Penelitian ini mencari jawaban atas pertanyaan yang membingungkan:
mengapa Tuhan mengijinkan adanya kejahatan di dunia? Sementara bagi umat
beragama Buddha, pertanyaannya bukan bagaimana Tuhan mengijinkan hal
tersebut melainkan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi realitas
kejahatan yang terjadi di dunia.
Sesuai dengan semangat pendirinya, umat Buddhis telah terkenal sepanjang
sejarah untuk saling toleransi pada keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda.
Tetapi beliau mengingatkan kita bahwa hal ini masih tidak cukup.Komentar
dari Francis Kardinal Arinze, Presiden Dewan Kepausan Vatikan untuk
Dialog antar agama menunjukkan juga bahwa “masyarakat majemuk di mana
kita hidup menuntut lebih dari sekedar toleransi saja.” Kita sebenarnya
diharuskan untuk saling mengasihi dan memahami sesama kita layaknya
mengasihi diri kita sendiri. Begitu pula dalam ajaran Buddha yang menasehati
kita: “kemarahan setara dengan cinta, menaklukkan kejahatan dengan
kebaikan, menaklukkan kekikiran dengan pemberian, serta menaklukkan
pembohong dengan kebenaran."
Tidak hanya masalah yang terjadi di Los Angles, masalah yang dihadapi
kebanyakan orang adalah mengganggap agama hanya sistem kepercayaan
yang berpusat pada Tuhan sang pencipta. Sebenarnya sistem kepercayaan
adalah definisi terbatas dari agama, dan tidak semua pemuka agama akan
mendefinisikannya dengan cara yang sama. Tetapi, itu adalah sistem
kepercayaan yang bertujuan untuk menolong orang dalam kehidupan ini dan
yang akan datang, dan untuk memajukan kemanusiaan.
Pada upacara pembukaan pameran baru-baru ini, Uskup Chunchon Mgr John
Chang Yik dan Yang Mulia Bubjang (Ketua Eksekutif Ordo Chogye)
menyampaikan ucapan selamat. Yang Mulia Bubjang menekankan pentingnya
kerukunan antaragama. Ia menyebut semua agama "rekan," bukan "saingan
atau musuh." Dijelaskan bahwa kerjasama antaragama itu perlu "demi
pengembangan sosial berkelanjutan, seperti penyelesaian secara damai
perselisihan antarbangsa, dan penanganan krisis lingkungan hidup."
Meski harus diakui pula, dialog antar-agama juga belum membuahkan hasil
yang memuaskan. Kerap masih ada sekelompok yang melampaui batas dan
mencederai dialog yang selama ini dibangun. Bagaimana seharusnya dialog
dibangun?
Dialog antar agama saat ini dikatakan masih belum bisa berjalan dengan
efektif. Ini harus terus dimaksimalkan. Dialog antar-agama yang selama ini
diadakan, hanya dilakukan dan dihadiri oleh tokoh yang itu-itu saja. Mestinya
dialog diikuti oleh tokoh lainnya agar dialog tak hanya dalam tataran wacana
saja.
Ini berarti dialog tak hanya terbatas dilakukan oleh para pemuka agama saja.
Dialog juga mestinya dilakukan para guru atau kalangan pelajar yang
memiliki keyakinan berbeda sehingga akan membantu kesalingpahaman di
antara pemeluk agama yang berbeda.
Dengan pemahaman untuk saling menghargai dan toleransi yang tak hanya
dimengerti oleh para pemuka agama saja, tentu langkah toleransi juga akan
semakin mudah untuk dilakukan. Intinya, dialog antar-agama mestinya juga
mencapai akar rumput.
Diperlukan langkah yang lebih konkret dan praktis. Dengan demikian dialog
ini tak hanya berhenti dalam sebuah wacana saja. Ini bisa dilakukan dengan
melakukan perkemahan bersama, misalnya. Dalam kegiatan tersebut dapat
menjadi sebuah pelatihan atau percontohan. Bahkan, dapat menjadi pelajaran
bagi para pemeluk agama yang berbeda untuk mengatasi berbagai masalah
dan perbedaan. Ini juga bisa dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat
beragama pada skala yang lebih besar.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Dialog Membangun Peradaban
Program Bilateral Interfaith Dialogue dilaksanakan 12-14 Oktober 2008 di
Beirut, Lebanon. Temanya, ”Promoting Interfaith Dialogue among Plural
Society”.
Dialog ini terselenggara atas kerja sama Deplu, KBRI Beirut, dan Dar El
Fatwa Lebanon di bawah pengawasan Perdana Menteri HE Mr Fuad Siniora.
Pertemuan antartokoh agama ini memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk
saling belajar bagaimana memahami berbagai sekte dan aliran keagamaan.
Dan yang penting bagaimana perbedaan bisa melahirkan tata hidup yang
berdampingan dalam suasana damai dan saling menghormati.
Indonesia dan Lebanon
Dari pengalaman dialog antaragama di Indonesia, bisa dipetik beberapa hal
positif. Dalam 10 tahun terakhir, ada perkembangan positif terkait kerukunan
umat beragama. Salah satu faktor penting adalah adanya komunikasi lebih
intensif antarpemuka agama. Di Indonesia, hal ini didukung identitas nasional,
Pancasila, sebagai komponen pemersatu bangsa yang majemuk.
Meningkatnya peran pemuka agama dalam mencegah konflik dapat dilihat
melalui berbagai Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dibentuk
di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Forum ini selain membahas tentang
agama juga hal-hal aktual terkait kesejahteraan umat beragama.
Belajar dari fenomena agama di Lebanon, bisa dilihat umat beragama yang
umumnya menghargai proses dialog dan berkomitmen untuk hidup damai
berdampingan. Artinya, meski ada konflik, bukan disebabkan perbedaan
agama yang terdiri dari 18 sekte. Konflik terjadi sebagai bagian pertentangan
politik.
Peran agama
Peran agama amat penting sebagai penyeimbang dua poros utama, negara dan
pasar. Itu dikatakan karena selama ini agama sering terjebak permainan
negara dan terjerumus logika pasar kapitalisme yang kerap mencelakakan.
Peran agama harus dikembalikan sebagai penyeimbang dua kekuatan itu.
Itulah yang dimaksud upaya merenda habitus baru bangsa dan merumuskan
kultur bangsa yang beradab.
Orientasi hidup beragama tidak sekadar mencari kerukunan antaragama satu
dan lain setelah itu everything is over. Justru setelah kerukunan agama
berlanjut, hal itu menjadi modal bangsa untuk membangun dan mencari
keseimbangan di antara posisi negara dan pasar, antara perancang kebijakan
politik dan pelaku ekonomi.
Hingga kini, kita menghadapi masalah: agama masih sering dijadikan
instrumen kekuasaan daripada sebagai pewarna dan pengarah. Inilah yang
membuat agama sering mandul dalam diri para pengkhotbah dan pemeluknya.
Sebab, ia tidak pernah dibatinkan dalam perilaku, tetapi lebih dijadikan
komoditas politik dan ekonomi untuk kepentingan jangka pendek dan amat
sempit. Orientasi beragama bukan untuk mengembangkan keadaban publik,
tetapi lebih pada bentuk lahiriah saja.
b. Berkait Variabel Dependen (Toleransi antar umat beragama)
1) Berdasar Literatur Pokok
Menurut Alfred bahwa kita (antar umat beragama) sudah siap untuk saling
berpelukan dan menyatakan dalam hal ini kita sudah hormat pada ajarannya
masing-masing. Kita semua sama dalam hal menderita dan nantinya akan
mengalami akhir dari penderitaan yaitu kebebasan. Dalai Lama telah
menempatkan itu: "Saya tertarik tidak dalam mengkonversi orang lain untuk
Buddhisme tetapi bagaimana kita umat Buddha dapat berkontribusi untuk
manusia, sesuai dengan ide-ide kita sendiri." Dan Alfred selalu berfikir bahwa
jika kita sudah berdialog sejak tiga puluh tahun yang lalu untuk mulai
berbicara satu sama lain, maka kita harus melanjutkannya dengan toleransi
antar satu sama lain.
Dalai lama mengatakan bahwa sangat baik dengan adanya berbagai macam
agama di dunia ini. Seperti halnya satu jenis makanan tidak akan menarik bagi
semua orang, satu agama atau kepercayaan tidak akan memuaskan kebutuhan
setiap orang. Oleh karena itu, sangatah baik terdapat berbagai macam agama
di dunia. Tetapi terkadang tidak semua orang memiliki pemahaman seperti
Dalai lama. Orang – orang mulai mempunyai pemikiran jahat untuk
mengekspansi kepercayaan orang lain dan memaksakan agamanya sendiri
pada orang lain. Konflik agama juga sering terjadi akibat dipolitisasinya
agama untuk kepentingan tertentu. Agama tidak dijadikan sebagai pedoman
hidup, melainkan sebagai alat untuk mencapai tujuan yang justru bertentangan
dengan norma agama itu sendiri. Namun dialog antar agama bukannya
mencari persamaan seperti yang selama ini sering dilakukan, melainkan justru
harus mencari perbedaan guna mendorong terciptanya kehidupan antar agama
yang damai. Tentu saja, jika dialog tersebut mendiskusikan metafisik dan
teologi, akan terdapat perbedaan-perbedaan. Tidak ada jalan untuk
menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Tetapi hal itu tidak berarti dalam setiap
dialog harus mendebatkan masalah tersebut dengan sikap seolah-olah
"Ayahku lebih kuat daripada Ayahmu," itu adalah sifat kekanak-kanakan dan
dapat memicu konflik. Lebih baik untuk melihat segala sesuatunya dengan
sewajarnya.
Semua agama di dunia adalah untuk mencari kemajuan perdamaian dunia dan
untuk membuat hidup menjadi lebih baik dengan jalan mengajarkan kepada
orang-orang untuk mengikuti tingkah laku yang etis. Dengan cara ini, orang-
orang tidak menjadi terperangkap pada sisi material dari kehidupan dan hidup
mereka dapat diseimbangkan antara kemajuan material dan spritual. Jika
semua agama memiliki rasa toleransi yang tinggi untuk memajukan situasi
dunia, saya percaya semua konfik agama dapat dihindari. Dialog antar Budha
dan Katholik mengharapkan adanya kemajuan materi dan kemajuan spiritual.
2) Berdasar Literatur Pengembangan
Saya mempunyai tetangga yang berbeda agama, tetapi kami tetap rukun
meskipun berbeda agama, sebagai contohnya adalah ketika keluarga tetangga
saya mempunyai acara atau selamatan agama islam semua orang membantu
keluarga tetangga saya termasuk orang yang beragama lain dengan senang
hati begitu juga sebaliknya, dan saya juga mempunyai teman satu kelas yang
berbeda agama, namun kami tetap saja bermain bersama dan saling rukun
tanpa adanya batas jarak apapun, karena toleransi beragama sangat penting
digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kisah itu mungkin juga dialami oleh sebagian dari kita bahwa ketika
berinteraksi dengan orang lain, kita dihadapkan dengan bahasa-bahasa, aturan-
aturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sulit bagi kita untuk dapat memahami
komunikasi mereka jika kita birsikap sangat etnosentrik yakni sikap cara
memandang segala sesuatu dengan pandangan kelompoknya sendiri sebagai
pusat segala sesuatu itu, dan hal-hal lainnya diukur dan dinilai berdasarkan
rujukan kelompoknya.
Dengan kondisi alam yang terus mengalami penyempitan akibat terus
bertambahnya jumlah penduduk, maka yang dahulu kita saling jauh,
dikemudian hari kita akan saling berdekatan atau mungkin bertetangga.
Dengan kondisi tersebut, maka kebutuhan akan sikap toleransi yang inklusif
sangat urgen. Sebagai sarana untuk membina kerukunan beragama dan
bermasyarakat.
Karena itu sebagai solusinya adalah dalam hal ini para penganut agama dan
kalangan elite agama harus bijak di dalam upaya menafsirkan doktrin agama
dan kitab suci masing-masing. Para penganut dan elit agama hendaknya lebih
menonjolkan ajaran-ajaran yang humanis dan menafsirkan ulang ayat-ayat
yang terkesan mengajarkan permusuhan menjadi lemah lembut.
Kunci untuk meraih kerukunan beragama yang harmonis menurut saya adalah
membiasakan hidup bertoleransi di dalam kehidupan bermasyarakat, tidak
hanya bagi mereka yang berbeda budaya saja tetapi juga keyakinan agama
agar kedamaian membumi di negeri kita tercinta ini.
Bab III
Rumusan Topik
1. Variabel Independen (Interfaith Dialogue)
Untuk memecahkan masalah, diperlukan sikap:
- Sikap keterbukaan terhadap segala sesuatu, jangan menganggap sesuatu itu
buruk/menjauhi sesuatu berdasarkan penghakiman pribadi, namun kita harus terbuka
terhadap sesuatu yang baru itu dan memahaminya terlebih dahulu.
- Sikap saling menghormati antar manusia pada umumnya, karena kita semua adalah
makhluk Tuhan yang memiliki derajat yang sama dan kita harus saling menghormati jika
kita ingin dihormati oleh orang lain.
- Melepaskan pola pikir yang stereotype yang didasarkan pada kebiasaan mayoritas suatu
kaum, suku bangsa, ataupun umat beragama, karena tidak semua orang seperti yang kita
bayangkan, jadi kita harus mengenal seseorang atau sesuatu terlebih dahulu dengan baik.
- Melepaskan pemikiran buruk antar umat beragama/manusia lainnya
- Menerapkan pola pikir yang rasional, karena dunia ini sungguh luas akan informasi dan
berbagai macam karakteristik lainnya, sehingga kita perlu bersikap rasional agar tetap
menjaga keharmonisan dalam masyarakat.
2. Variabel Dependen (Sikap Toleransi)
Untuk membangun kehidupan beragama di Indonesia, diperlukan sikap:
- Rasa toleransi antar umat beragama, karena Indonesia ini terdiri dari berbagai macam
umat beragama yang berbeda-beda dan tentunya ada perbedaan dalam kepercayaan atau
cara penyampaian, sehingga kita harus memiliki sikap toleransi untuk menjaga kehidupan
beragama yang senantiasa harmonis.
- Sikap saling menghormati antar umat beragama. Misalnya, jika agama lain sedang
melaksanakan ibadah atau merayakan hari raya mereka, kita harus menghormati
kebiasaan mereka itu karena tentunya kita tidak ingin mereka bersikap tidak hormat
kepada kita ketika kita sedang melakukan hal serupa. Bukan hanya untuk mencari
penghormatan dari orang lain, namun karena perbedaan yang ada, kita harus tetap
menghormatinya karena kita hidup di negara yang sama agar tercipta kedamaian dan
menimbulkan persatuan dan kesatuan.
- Tidak sembarangan menuduh seseorang atas perbuatannya dan menyalahkan agama yang
dipeluknya. Seringkali kita menemukan kasus yang terjadi di negara kita ini tentang
penyalahgunaan kata-kata yang diucapkan seseorang yang menimbulkan keributan yang
didasarkan kata-kata tidak enak semata. “Mulutmu harimaumu” adalah slogan yang
cocok untuk hal ini. Ironisnya di negara Bhineka Tunggal Ika ini adalah kelompok
masyarakat tertentu masih belum bisa memahami dan menerima adanya perbedaan antar
masyarakat, terlepas dari motto negara kita yang berarti “Berbeda-beda namun tetap satu”
itu, sehingga seringkali dengan didasarkan pola pikir yang stereotype, mereka
menyalahkan agama tertentu atas perbuatan umatnya.
Bab IV
Prinsip-prinsip Interfaith Dialogue dalam Literatur
Istilah interfaith dialog mengacu pada koperasi, konstruktif dan positif interaksi antara orang-
orang dari tradisi agama yang berbeda (yaitu, "agama") dan / atau spiritual atau humanistik
kepercayaan, baik individu dan kelembagaan. Hal ini berbeda dari sinkretisme agama atau
alternatif, dalam dialog yang sering melibatkan mempromosikan pemahaman antar agama atau
keyakinan yang berbeda untuk meningkatkan penerimaan orang lain, bukan untuk mensintesis
keyakinan baru. Beberapa dialog antaragama baru-baru ini telah mengadopsi nama interbelief
dialog, sementara pendukung lainnya telah mengusulkan dialog Interpath istilah, untuk
menghindari implisit termasuk ateis, agnostik, humanis, dan lain-lain tanpa keyakinan agama
tetapi dengan keyakinan etika atau filsafat, serta menjadi lebih akurat mengenai banyak agama
dunia yang tidak menempatkan penekanan yang sama pada "iman" seperti halnya beberapa
agama Barat. Demikian pula, kelompok rasionalis pluralistik telah menyelenggarakan dialog
penalaran publik untuk mengatasi semua pandangan dunia (baik agama, budaya dan politik),
disebut dialog transbelief.
Di seluruh dunia ada lokal, regional, nasional dan inisiatif lintas agama internasional; banyak
yang secara formal maupun informal terkait dan merupakan jaringan yang lebih besar atau
federasi. Sering dikutip "Tidak akan ada perdamaian di antara bangsa-bangsa tanpa kedamaian di
antara agama-agama. Tidak akan ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog antar
agama" dirumuskan oleh Dr Hans Küng, seorang Profesor Ekumenis Teologi dan Presiden
Global Etika Yayasan.
United States Institute of Peace menerbitkan karya tentang dialog antar agama dan peacebuilding
termasuk Laporan Khusus tentang Mengevaluasi Interfaith Dialog Interfaith Dialog bentuk peran
utama dalam studi agama dan perdamaian.
Untuk sebagian orang, dialog antar agama istilah memiliki arti yang sama seperti dialog
antaragama. Baik adalah sama dengan Kristen Nondenominational. The World Council of
Churches, meskipun. membedakan antara 'antar' dan 'interrreligious. " Untuk WCC, 'antar'
mengacu pada tindakan antara denominasi Kristen yang berbeda. Jadi, 'antar' mengacu pada
interaksi antara kelompok agama yang berbeda seperti Muslim dan Kristen atau Hindu dan
Yahudi misalnya.
Dalam literatur, prinsip-prinsip Interfaith Dialogue yang dapat kita ambil adalah:
1. Prinsip toleransi antar umat beragama
Sikap toleransi adalah sikap saling menghormati. Sebagai manusia yang hidup dengan jutaan
umat manusia lainnya, tentu kita memiliki banyak perbedaan. Entah itu perbedaan ras, suku
bangsa, kebudayaan, dan agama. Oleh karena itu kita memerlukan rasa saling menghormati
karena kita tidak hidup sendirian di dunia ini. Dalam literatur “The Los Angeles Buddhist-
Catholic Dialogue”, orang Buddhist ini memiliki sikap toleransi antar umat beragama, karena
ia mau menghargai dan mengakui adanya kebenaran pada agama lain, dan tidak malu untuk
menyatakannya.
2. Prinsip mau mengakui adanya perbedaan
Pada dasarnya, agama itu adalah satu kepercayaan karena kita percaya akan adanya Tuhan
dan Tuhan kita tentu selalu mengajarkan umat-Nya untuk melakukan dan berbuat hal-hal
baik. Yang membuat perbedaan antar agama adalah dengan adanya tokoh-tokoh besar yang
berpengaruh dalam agama itu sendiri, seperti pada agama Buddha misalnya, kita mengenal
Sidharta Gautama, yaitu Sang Buddha sendiri serta Yesus Kristus pada agama
Kristen/Katholik. Namun pada akhirnya inti dari ajaran agama itu adalah satu, untuk menjaga
kesejahteraan umat manusia itu sendiri. Dalam dialog tersebut, pemeluk agama Buddhist ini
mau mengakui perbedaan yang ada antar agama dan mau mengakui kebenaran dari hasil
karya Paus John Paul II dan dia setuju bahwa kita semua harus melepaskan pola pikir
stereotype yang didasarkan dari kebiasaan lama.
3. Prinsip keterbukaan
Artinya kita mau menerima tentang hal-hal yang baru atau asing bagi kita. Dalam literatur
tersebut, sang pemeluk agama Buddha ini terbuka dengan ajaran agama Katholik. Hal ini
bukan berarti ia ingin berpindah agama atau semacamnya. Ia masih menjadi seorang pemeluk
agama Buddha, namun ia terbuka dengan ajaran agama lain jika menurutnya hal itu benar
adanya.
Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil analisis / penelaahan terhadap literatur pokok maupun literatur
pengembangan dapat disimpulkan bahwa kelompok kami menerima Ha yakni Prinsip –
prinsip dialog agama Buddha dan Katholik di Los Angeles dapat meningkatkan rasa
toleransi dalam hidup beragama.
Berdasarkan hasil peninjauan lapangan menyatakan bahwa seluruh lapisan masyarakat
mendukung adanya interfaith dialogue yang diyakini dapat meningkatkan sikap toleransi
antar umat beragama sehingga tercipta kerukunan hidup beragama.
top related