lestarikan atau tinggalkan
Post on 11-Aug-2015
75 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi sebagian orang Bali tajen adalah bagian dari ritual adat
budaya yang identik dengan tabuh rah harus dijaga dan dilestarikan, bagi
sebagian orang Bali yang lain, tajen merupakan bentuk perjudian yang
harus dihapuskan, karena dianggap tidak sesuai dengan norma-norma
dalam agama Hindu-Bali itu sendiri.
Maraknya judi di seluruh pelosok Bali disebabkan bukanlah karena
umat Hindu di Bali tidak taat beragama, tetapi karena tidak tahu bahwa
judi itu dilarang dalam Agama. Judi khususnya tajen sudah mentradisi di
Bali. Dampak negatif pariwisata dalam hal ini seolah-olah membenarkan
tajen sebagai objek wisata antara lain terlihat dari banyaknya lukisan atau
patung kayu yang menggambarkan dua ekor ayam sedang bertarung, atau
gambaran seorang tua sedang mengelus-elus ayam kesayangannya.
Berjudi juga sering menjadi simbol eksistensi kejantanan. Laki-laki yang
tidak bisa bermain judi dianggap banci. Judi juga menjadi sarana
pergaulan, mempererat tali kekeluargaan dalam satu Banjar. Oleh karena
itu bila tidak turut berjudi dapat tersisih dari pergaulan, dianggap tidak
1
bisa “menyama beraya”. Di zaman dahulu sering pula status sosial
seseorang diukur dari banyaknya memiliki ayam aduan. Raja-raja Bali
khusus menggaji seorang “Juru kurung” untuk merawat ayam aduannya.
Ketidaktahuan atau awidya bahwa judi dilarang Agama Hindu antara lain
karena pengetahuan agama terutama yang menyangkut Tattwa dan Susila
kurang disebarkan ke masyarakat.
Motivasi lain berjudi adalah keinginan untuk mendapatkan uang
dengan cepat tanpa bekerja. Yang dimaksud dengan bekerja menurut
Agama Hindu adalah pekerjaan yang berhubungan dengan yadnya
sebagaimana ditulis dalam Bhagawadgita Bab III.9 :
Yajnarthat karmano nyatra, loko yam karmabandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah samacara.
Artinya “Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk
yadnya, dunia ini juga terikat dengan hukum karma. Oleh karenanya Oh
Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai yadnya, bebaskan diri dari semua
ikatan.” Dengan demikian mereka yang ingin dapat hasil tanpa bekerja
tergolong orang tamasik. Walaupun dalam judi ada unsur untung-untungan
atau sesuatu yang tidak pasti, tidak menyurutkan keberanian orang-orang
tamasik berjudi, malah makin mendorong keinginan mereka berspekulasi
dengan harapan hampa mendapat kemenangan
Menurut sejarah, tajen dianggap sebagai sebuah proyeksi profan
dari salah satu upacara yadnya di Bali yang bernama tabuh rah. Tabuh rah
2
merupakan sebuah upacara suci yang dilangsungkan sebagai kelengkapan
saat upacara macaru atau bhuta yadnya yang dilakukan pada saat tilem.
Upacara tabuh rah biasanya dilakukan dalam bentuk adu ayam, sampai
salah satu ayam meneteskan darah ke tanah. Darah yang menetes ke tanah
dianggap sebagai yadnya yang dipersembahkan kepada bhuta, lalu pada
akhirnya binatang yang dijadikan yadnya tersebut dipercaya akan naik
tingkat pada reinkarnasi selanjutnya untuk menjadi binatang lain dengan
derajat lebih tinggi atau manusia. Matabuh darah binatang dengan warna
merah inilah yang konon akhirnya melahirkan budaya judi menyabung
ayam yang bernama tajen. Namun yang membedakan tabuh rah dengan
tajen adalah, dimana dalam tajen dua ayam jantan diadu oleh para bebotoh
sampai mati, jarang sekali terjadi sapih. Upacara tabuh rah bersifat sakral
sedangkan tajen adalah murni bentuk praktik perjudian.
Sampai saat ini, persoalan tajen di Bali tetap menjadi sesuatu yang
cukup dilematis. Dalam perspektif hukum positif, kegiatan apapun yang
mengandung unsur permainan dan menyertakan taruhan berupa uang,
maka dianggap sebagai perjudian dan dianggap terlarang. Namun di sisi
lain, tajen yang sebenarnya merupakan sebuah proyeksi profan dari tabuh
rah dianggap sebagai salah satu bentuk upacara adat yang sakral, patut
dijunjung tinggi, dihormati dan tentu saja dilestarikan.
Jadi berdasarkan uraian di atas menarik jika masalah tajen di Bali
diangkat menjadi sebuah topik permasalahan. Kedua hal di atas, yaitu
3
antara makna hakiki upacara adat di Bali dan pola pergeseran makna yang
terjadi pada kasus tajen pada kenyatannya saling berintegrasi dan secara
konkret sulit dipisahkan. Pergeseran makna yang terjadi sudah terlanjur
terinternalisasi dalam kesadaran intelektual dan perasaan orang Bali.
Tanpa disadari pergeseran makna tersebut “mencengkeram masyarakat
Bali”, tentunya masyarakat Bali yang menyetujui dan mempertahankan
adanya tajen. Tajen yang mulanya dianggap berasal dari upacara tabuh
rah, telah berdiri sendiri menjadi satu konstruksi budaya yang tanpa
disadari mereka menjebak dalam konstruksi nilai yang bertentangan
dengan hakikat nilai yang sebenarnya dianut oleh masyarakat Hindu-Bali.
Sebuah harmonisasi antara bhuana agung dan bhuana alit, upakara suci
untuk upacara suci, upacara suci untuk menjaga realitas ambang antara
yang abstrak dan yang nyata. Antara nilai adat, Agama hukum positif dan
kepentingan industri pariwisata.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka penulis membatasi masalah yang akan di
bahas dalam makalah ini yakni :
1. Bagaimanakah perbedaan antara judi tajen dengan tabuh rah yang ada di
Bali?
2. “Tajen” judi, budaya ataukah yadnya ?
3. Bagaimana kajian judi tajen ditinjau dari kitab Manawadharmasastra?
4. Bagaimana kajian judi tajen ditinjau dari kitab Rg Weda?
4
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbedaan antara judi tajen dengan tabuh rah yang
ada di Bali.
2. Umtuk mengetahui Tajen termasuk dalam kategori judi, budaya atau
tajen.
3. Untuk mengetahui kajian judi tajen ditinjau dari kitab
Manawadharmasastra.
4. Untuk mengetahui kajian judi tajen ditinjau dari kitab Rg Weda.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah :
1. Bagi masyarakat Bali tentunya akan lebih bisa membedakan antara judi
tajen dengan tabuh rah dimana judi tajen menurut kitab-kitab Hindu dan
sumber hukum Hindu dilarang karena melanggar ajarn agama dan hokum
perundang-undangan, sehingga tidak menjadikan tabuh rah sebagi topeng
untuk melegalkan perjudian yang atas nama adat.
2. Bagi pembaca nantinya akan lebih mengenal serta mendapatkan informasi
yang lebih jelas tentang tajen dan tabuh rah.
3. Bagi penulis ini sebagai ajang untuk menjajal kemampuan di bidang karya
tulis yang secara tidak langsung memberikan kontribusi positif terhadap
orang banyak.
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sabung Ayam Di Nusantara
Ternyata Sejarah Sabung Ayam Di Nusantara Bukan Sekedar
Permainan Semata. Adu Ayam Jago atau biasa disebut sabung ayam
merupakan permainan yang telah dilakukan masyarakat di kepulauan
Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian ayam
jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan serta
terbuat dari logam yang runcing. Permainan Sabung Ayam di Nusantara
ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat,
tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun
politik.
Sabung Ayam di Bali 1915 (Koleksi www.kitlv.nl)
6
Permainan Sabung Ayam di pulau Jawa berasal dari folklore (cerita
rakyat) Cindelaras yang memiliki ayam sakti dan diundang oleh raja Jenggala,
Raden Putra untuk mengadu ayam. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden
Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya
dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra
menjadi milik Cindelaras. Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani.
Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang
Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya.
Akhirnya raja mengakui kehebatan ayam Cindelaras dan mengetahui bahwa
Cindelaras tak lain adalah putranya sendiri yang lahir dari permaisurinya yang
terbuang akibat iri dengki sang selir.
Anak-anak Menonton Sabung Ayam di Jawa 1900
(Koleksi www.kitlv.nl)
7
Sabung ayam juga menjadi sebuah peristiwa politik pada masa lampau.
Kisah kematian Prabu Anusapati dari Singosari yang terbunuh saat menyaksikan
sabung ayam. Kematian Prabu Anusapati terjadi pada hari Budha Manis atau
Rabu Legi ketika di kerajaan Singosari sedang berlangsung keramaian di Istana
Kerajaan salah satunya adalah pertunjukan sabung ayam. Peraturan yang berlaku
adalah siapapun yang akan masuk kedalam arena sabung ayam dilarang membawa
senjata atau keris. Sebelum Anusapati berangkat ke arena sabung ayam, Ken
Dedes ibu Anusapati menasehati anaknya agar jangan melepas keris pusaka yang
dipakainya jika ingin menyaksikan sabung ayam yang diselenggarakan di Istana,
tetapi sesaat sabung ayam belum dilakukan Anusapati terpaksa melepaskan
kerisnya atas desakan Pranajaya dan Tohjaya. Pada saat itu diarena terjadi
kekacauan dan akhirnya peristiwa yang dikuatirkan Ken Dedes terjadi dimana
kekacauan tersebut merengut nyawa Anusapati yang tergeletak mati diarena
sabung ayam dibunuh adiknya Tohjaya tertusuk keris pusakanya sendiri.
Kemudian jenasah Anusapati dimakamkan di Candi Penataran dan kejadian itu
tetap dikenang orang, kakak beradik dari satu ibu Ken Dedes itu memang
diriwayatkan memiliki kesukaan menyabung ayam. terdapat dalam cerita rakyat
Ciung Wanara yang mengisahkan keberuntungan dan perubahan nasib seseorang
ditentukan oleh kalah menangnya ayam di arena sabung ayam.
Sedangkan di Bali permainan sabung ayam disebut Tajen. Tajen berasal-
usul dari tabuh rah, salah satu yadnya (upacara) dalam masyarakat Hindu di Bali.
Tujuannya mulia, yakni mengharmoniskan hubungan manusia dengan bhuana
8
agung. Yadnya ini runtutan dari upacara yang sarananya menggunakan binatang
kurban, seperti ayam, babi, itik, kerbau, dan berbagai jenis hewan peliharaan lain.
Persembahan tersebut dilakukan dengan cara nyambleh (leher kurban dipotong
setelah dimanterai). Sebelumnya pun dilakukan ngider dan perang sata dengan
perlengkapan kemiri, telur, dan kelapa. Perang sata adalah pertarungan ayam
dalam rangkaian kurban suci yang dilaksanakan tiga partai (telung perahatan),
yang melambangkan penciptaan, pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Perang
Tradisi ini sudah lama ada, bahkan semenjak zaman Majapahit. Saat itu
memakai istilah menetak gulu ayam. Akhirnya tabuh rah merembet ke Bali yang
bermula dari pelarian orang-orang Majapahit, sekitar tahun 1200.
Serupa dengan berbagai aktivitas lain yang dilakukan masyarakat Bali
dalam menjalani ritual, khususnya yang berhubungan dengan penguasa jagad,
tabuh rah memiliki pedoman yang bersandar pada dasar sastra. Tabuh rah yang
kerap diselenggarakan dalam rangkaian upacara Butha Yad-nya pun banyak
disebut dalam berbagai lontar. Misalnya, dalam lontar Siwa Tattwapurana yang
antara lain menyebutkan, dalam tilem kesanga (saat bulan sama sekali tidak
tampak pada bulan kesembilan penanggalan Bali). Bathara Siwa mengadakan
yoga, saat itu kewajiban manusia di bumi memberi persembahan, kemudian
diadakan pertarungan ayam dan dilaksanakan Nyepi sehari. Yang diberi kurban
adalah Sang Dasa Kala Bumi, karena jika tidak, celakalah manusia di bumi ini.
Sedangkan dalam lontar Yadnya Prakerti dijelaskan, pada waktu hari raya
diadakan pertarungan suci misalnya pada bulan kesanga patutlah mengadakan
9
pertarungan ayam tiga sehet dengan kelengkapan upakara. Bukti tabuh rah
merupakan rangkaian dalam upacara Bhuta Yadnya di Bali sejak zaman purba
yang juga didasarkan dari Prasati Batur Abang I tahun 933 saka dan Prasasti
Batuan tahun 944 saka.
Dalam kebudayaan Bugis sendiri sabung ayam merupakan kebudayaan
telah melekat lama. Menurut M Farid W Makkulau, Manu’ (Bugis) atau Jangang
(Makassar) yang berarti ayam, merupakan kata yang sangat lekat dalam
kehidupan masyarakat Bugis Makassar. Gilbert Hamonic menyebutkan bahwa
kultur bugis kental dengan mitologi ayam. Hingga Raja Gowa XVI, I Mallombasi
Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin, digelari “Haaantjes van het Oosten” yang
berarti “Ayam Jantan dari Timur.
Sabung Ayam di Sulawesi 1910 (Koleksi www.kitlv.nl)
Dalam kitab La Galigo diceritakan bahwa tokoh utama dalam epik mitik
itu, Sawerigading, kesukaannya menyabung ayam. Dahulu, orang tidak disebut
10
pemberani (to-barani) jika tidak memiliki kebiasaan minum arak (angnginung
ballo), judi (abbotoro’), dan massaung manu’ (adu ayam), dan untuk menyatakan
keberanian orang itu, biasanya dibandingkan atau diasosiasikan dengan ayam
jantan paling berani di kampungnya (di negerinya), seperti “Buleng – bulengna
Mangasa, Korona Mannongkoki, Barumbunna Pa’la’lakkang, Buluarana Teko,
Campagana Ilagaruda (Galesong), Bakka Lolona Sawitto, dan lain sebagainya.
Dan hal sangat penting yang belum banyak diungkap dalam buku sejarah adalah
fakta bahwa awal konflik dan perang antara dua negara adikuasa, penguasa
semenanjung barat dan timur jazirah Sulawesi Selatan, Kerajaan Gowa dan Bone
diawali dengan “Massaung Manu”. (Manu Bakkana Bone Vs Jangang Ejana
Gowa).
Pada tahun 1562, Raja Gowa X, I Mariogau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tunipalangga Ulaweng (1548 – 1565) mengadakan kunjungan resmi ke
Kerajaan Bone dan disambut sebagai tamu negara. Kedatangan tamu negara
tersebut dimeriahkan dengan acara ’massaung manu’. Oleh Raja Gowa, Daeng
Bonto mengajak Raja Bone La Tenrirawe Bongkange’ bertaruh dalam sabung
ayam tersebut. Taruhan Raja Gowa 100 katie emas, sedang Raja Bone sendiri
mempertaruhkan segenap orang Panyula (satu kampong). Sabung ayam antara dua
raja penguasa semenanjung timur dan barat ini bukanlah sabung ayam biasa,
melainkan pertandingan kesaktian dan kharisma. Alhasil, Ayam sabungan Gowa
yang berwarna merah (Jangang Ejana Gowa) mati terbunuh oleh ayam sabungan
Bone (Manu Bakkana Bone).
11
Kematian ayam sabungan Raja Gowa merupakan fenomena kekalahan
kesaktian dan kharisma Raja Gowa oleh Raja Bone, sehingga Raja Gowa Daeng
Bonto merasa terpukul dan malu. Tragedi ini dipandang sebagai peristiwa siri’
oleh Kerajaan Gowa. Di lain pihak, kemenangan Manu Bakkana Bone
menempatkan Kerajaan Bone dalam posisi psikologis yang kuat terhadap kerajaan
– kerajaan kecil yang terletak di sekitarnya. Dampak positifnya, tidak lama
sesudah peristiwa sabung ayam tersebut serta merta kerajaan – kerajaan kecil di
sekitar Kerajaan Bone menyatakan diri bergabung dengan atau tanpa tekanan
militer, seperti Ajang Ale, Awo, Teko, serta negeri Tellu Limpoe.
Rupanya sabung ayam pada dahulu kala di Nusantara bukan hanya sebuah
permainan rakyat semata tetapi telah menjadi budaya politik yang mempengaruhi
perkembangan sebuah dinasti kerajaan.
2.2 Perbedaan antara Judi Tajen dengan Tabuh Rah
A. Judi Tajen
Judi tajen kalau kita kaji terdiri dari dua suku kata yaitu “judi” dan
“tajen”. Dalam Ensiklopedia Indonesia (2000:474) Judi diartikan sebagai
suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu
pertandingan,permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga
sebelumnya. Sedangkan Kartini Kartono (2007:65) mengartikan judi adalah
pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu
yangdianggap bernilai, dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan
12
tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, pertandingan, perlombaandan
kejadian-kejadian yang belum pasti hasilnya. Menurut KUHP Pasal 303 ayat
(3) mengartikan judi adalah tiap-tiap permainan yang mendasarkan
pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-
untungan saja dan juga kalau pengharapan itu jadi bertambah besar karena
kepintaran dan kebiasaan pemainan. Jadi berdasarkan ketiga pendapat
tersebut dapat disimpulkan judi adalah perbuatan yang dilakukan dalam
berbentuk permainan atau perlombaan yang dilakukan semata-mata untuk
bersenang-senang atau kesibukan dalam mengisi waktu senggang serta ada
taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau bandar baik dalam bentuk
uang ataupun harta benda lainnya sehingga tentu saja ada pihak yang
diuntungkan dan yang dirugikan.
Istilah tajen berasal dari kata taji yang berarti pisau kecil. Taji atau
pisau kecil inilah yang nantinya akan dipasang pada kaki ayam yang akan
diadu. Adapun jenis-jenis tajen yaitu Pertama, tajen dalam ritual tabuh rah
yang lazim diadakan berkaitan dengan upacara agama. Tabuh berarti
mencecerkan dan rah adalah darah. Pelaksanaan tajen dalam tabuh rah
dianggap sebagai bagian dari rangkaian pelaksanaan upacara sehingga
pelaksanaannya tidak dilarang. Kedua, tajen terang sengaja digelar desa adat
untuk menggalang dana. Berdasarkan hukum adat, tajen terang tidak dilarang,
bahkan setiap desa adat memiliki awig-awig yang mengatur tata cara tajen
meski tidak tertulis. Ketiga, tajen branangan yang tanpa didahului izin kepala
desa adat serta semata-mata berorientasi judi.
13
B. Tabuh Rah
Dalam setiap upacara adat Hindu di Bali, ada beberapa proses yang
harus dijalani dengan melangsungkan upacara Tabuh Rah. “Tabuh” berarti
menaburkan dan “rah” berati darah. Tujuan penyembelihan darah
binatang seperti: babi, bebek, kerbau, ayam adalah sebagai pelengkap
upacara yang dilangsungkan. Darah perlambang merah dari binatang
tersebut di gunakan sebagi bahan pelengkap metabuh. Metabuh adalah
proses menaburkan lima macam warna zat cair adapun empat bahan yang
lain diantaranya zat berwarna putih dengan tuak, berwarna kuning dengan
arak, berwarna hitam dengan berem, berwarna merah dengan taburan
darah binatang dan ada dengan warna brumbun dengan mencampur empat
warna tersebut.
Matabuh dengan lima zat cair adalah simbol untuk mengingatkan
agar umat manusia menjaga keseimbangan lima zat cair yang berada
dalam Bhuwana Alit. Jika lima zat cair itu berfungsi dengan baik maka
orang pun akan hidup sehat dan bertenaga untuk melangsungkan
hidupnya. Lima zat cair yang disimbolkan adalah darah merah, darah
putih, kelenjar perut yang berwarna kuning, kelenjar empedu warnanya
hitam dan air itu sendiri simbol semua warna atau brumbun. Air itu bening
berwarna netral,perpaduan fungsi lima zat cair dalam tubuh inilah yang
akan membuat hidup sehat.
14
Pelaksanaan tabuh rah diadakan pada tempat dan saat- saat upacara
berlangsung oleh sang Yajamana. Pada waktu perang satha disertakan toh
dedamping yang maknanya sebagai pernyataan atau perwujudan dari
keikhlasan Sang Yajamana beryadnya, dan bukan bermotif judi. Perang
satha adalah pertarungan ayam yang diadakan dalam rangkaian upacara
agama (yadnya). Dalam hal ini dipakai adalah ayam sabungan, dilakukan
tiga babak. ( telung perahatan) yang mengandung makna arti magis
bilangan tiga yakni sebagai lambang dari permulaan tengah dan akhir.
Hakekatnya perang adalah sebagai simbol daripada perjuangan (Galungan)
antara dharma dengan adharma. Aduan ayam yang tidak memenuhi
ketentuan- ketentuan tersebut di atas tidaklah perang satha dan bukan pula
runtutan upacara Yadnya. Di dalam prasasti- prasasti disebutkan bahwa
pelaksanaan tabuh rah tidak minta ijin kepada yang berwenang. Adapun
yang menjadi sumber untuk melakukan tabuh rah tersebut adalah
a)Prasasti Bali Kuna (Tambra prasasti) seperti: 1) Prasasti Sukawana A l
804 Çaka, 2) Prasasti Batur Abang A 933 Çaka, 3) Prasasti Batuan 944
Çaka b)Lontar- lontar seperti: 1) Siwatattwapurana, 2) Yadnyaprakerti.
2.3 Dasar penggunaan tabuh rah adalah prasasti- prasasti Bali Kuna dan
15
lontar- lontar
Prasasti Batur Abang A l. tahun 933 Çaka
…………… mwang yan pakaryyakaryya, masanga kunang wgila ya manawunga makantang tlung parahatan, ithaninnya, tan pamwita, tan pawwata ring nayakan saksi………….
………….. lagi pula bila mengadakan
upacara- upacara misalnya tawur Kasanga
patutlah mengadakan sabungan ayam tiga
sehet (babak) di desanya, tidaklah minta ijin
tidaklah membawa (memberitahu.) kepada
yang berwenang………..
Prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Çaka
………….. kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlung parahatan, tan pamwita ring nayaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli……………
………………. adapun bila mengadu ayam
di tempat suci dilakukan 3 sehet (babak)
tidak meminta
ijin kepada yang berwenang, dan juga
kepada pengawas sabungan tidak dikenakan
cukai :………
Lontar Çiwa Tattwa PuranaMuah ring tileming Kesanga, hulun magawe yoga, teka wang ing madhyapada magawe tawur kesowangan, den hana pranging satha, wnang nyepi sadina ika labain sang Kala Daça Bhumi, yanora samangkana rug ikang ning madhyapada
Lagi pula pada tilem Kasanga Aku (Bhatara
Çiwa)
mengadakan yoga, berkewajibanlah orang di
bumi
ini membuat persembahan masing- masing,
lalu
adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari
(ketika) itu beri korban (hidangan) Sang
16
Kala Daça
Bhumi, jika tidak celakalah manusia di bumi
…..
Lontar Yajna Prakerti
……….. rikalaning reya- reya, prang uduwan, masanga kunang wgila yamanawunga makantang tlung parahatan saha upakara dena jangkep……
…………… pada waktu hari raya, diadakan
pertarungan suci misalnya pada bulan
Kasanga, patutlah mengadakan pertarungan
ayam tiga sehet lengkap dengan
upakaranya……………
2.4 Judi, Budaya atau Yadnya
Dalam perkembangannya, ritual suci tabuh rah mengalami pergeseran
17
makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikan kemudian sering di
salah gunakan. Berbicara tentang tajen dimana, merupakan metamarfosa dari
tabuh rah sendiri memang sulit dipahami apakah termasuk judi murni, budaya
(adat-istiadat) atau yadya?
Banyak sekali persepsi masyarakat Bali-Hindu yang memandang bahwa
tajen merupakan, budaya yang tidak bisa dipisahkan dengan tatanan kehidupan
masyarakat Bali, dan ada juga yang memberikan pandangan tajen merupakan
persayaratan dari yadnya. Memang tidak bisa dimungkiri dari sudut pandang
berbagai kalangan masyarakat Bali mengenai tajen antara budaya dan
yadnya(agama) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lainya.Bila kita amati apabila ada upacar-upacara yadya disuatu daerah atau
banjar-banjar di Bali, tajen tak lepas dari kegiatan tersebut, karna tajen merupakan
bagian yang tak dipisahkan dari sebuah upacara, meskipun terkadang orientasinya
bukan hanya sekedar upacara namun dijadikan sebagai wadah hiburan oleh
masyarakat Bali dan identik dengan sebuah taruhan sebagi bumbu-bumbu untuk
lebih menarik.
Secara logika sebenarnya tabuh rah tidak sama dengan tajen. Tabuh rah
adalah bagian dari upacara agama khususnya dalam upacara pacaruan(bhuta
yadya). Setelah berabad-abad dimana seiring perubahan pola pikir manusia dan
budaya tabuh rah mengalami pergeseran makna dan tujuannya menjadi tajen.
Sedangkan tajen yang kita kenal diamsyarakat sekarang ini adalah tajen yang
18
bernuansa judi dan menjadi sebuah taruhan dengan menggunakn materi atau uang,
sehingga tajen yang sekarang dilakukan masyarakat Bali merupakan perjudian
murni bukan yadnya.Namun, tajen memiliki satu-kesatuan sudut pandang dari
masyarakat bahwa aktivitas tersebut masih merupakan bagian dari yadnya dan
budaya yang ada sejak terdahulu.
1) Sudut Pandang Hindu
Kebenaran konteks pengertian pertaruhan dalam tajen tentunya masih
dapat dilihat dan dikaji dari berbagai pandangan selain dari sudut pandang
etika sosial masyarakat Bali dan hukum positif.sedangkan dari perspektif
agama Hindu sendiri , seperti tertera dalam Manawa Dharmasastra V.45, yaitu
“Yo’himsakaani bhuutani hina. Tyaatmasukheashayaa, sa jiwamsca mritascaiva na, Kvacitsukhamedhate”
Artinya: “Ia yang menyiksa mahluk hidup yang tidak berbahaya
dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan nafsu untuk diri sendiri, orang
itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan . Ia selalu berada dalam keadaan
tidak hidup dan tidak pula mati.”
Demikian juga ketika dikembalikan pada hakikat yadnya dan tabuh
rah. Di dalam tabuh rah terkandung makna mengenai etika upacara demi
menjaga kesucian yadnya. Yandnya yang dipersembahkan secara suci untuk
sebuah kesucian yang lebih hakiki. Dimana upacara yang suci menjadi media
yang berada pada realitas ambang antara yang partikular, yaitu buana alit,
19
yaitu jiwa kecil atau manuasia dan yang lebih universal yaitu bhuana agung
atau alam semesta.
Orang bali berprinsip harus terjadi keseimbangan diantara keduanya.
Selain itu masih dalam kitab suci Manawa Dharmasastra Buku IX
Atha Nawano Dyayah
Sloka 221 sampai 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan
mengenai judi. Sloka 223 membedakan antara perjudian dengan pertaruhan.
Bila objeknya benda-benda tak berjiwa disebut perjudian. Misalnya uang,
mobil, tanah dan rumah. Sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut
pertaruhan. Misalnya, binatang peliharaan,manusia, bahkan istri sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh panca pandawa dalam epos Bharata
Yudha ketika Dewi Drupadi yang dijadikan objek pertaruhan melawan
Korawa. Selain itu dalam kitab suci Rg Veda Mandala X. Sukta 34. Mantra
3,10 dan 13 dengan tegas melarang orang berjudi. Berjudi itu dapat
menyengsarakan keluarga. Kerjakanlah sawah ladang cukupkan serta
puaskanlah penghasilan itu. Demikian antara lain isi Mantara Veda tersebut.
Sangat jelaslah bahwa dalam ajaran Hindupun menentang keras
adanya penyiksaan mahluk hidup , yang digunakan sebagai media dalam tajen
dan perjudian yang menggunakan benda hidup maupun non hidup. Bukan
bermaksud untuk menakut-nakuti masyarakat yang senang berjudi namun
sebaliknya memberikan masukan, bahwa apa yang dilakukan tersebut tidak
20
sepatutnya terus dikembangkan hingga anak cucu kita dan menjadi “budaya”
yang merugikat masyarakat Bali- Hindu khususnnya.
2) Pandangan Sosial
Bila boleh menyimpulkan secara pragmatis dalam kasus tajen di Bali telah
terjadi keracunan berpikir(Jalaludin 2000:17) Argumetum ad Verecundiam yaitu
beragumen dengan menggunakan otoritas yang tidak relevan atau ambigu. Ada
orang yang terkadang secara berpihak berusaha memebenarkan paham dan
kepentingannya dengan menggunakan satu otoritas atau pembenar tertentu. Dalam
kasus tajen, adat dapat diindikasikan sebagai suatu otoritas pembenar untuk sebagi
argumen bahwa tajen dapat dibenarkan.
Selain itu uang merupakan menjadi salah satu faktor utama yang
menyebabkan tajen masih eksis.di wilayah agama uang memiliki makna simbolik
yang sangat kuat baik secara denotatif maupun konotatif.Dalam judi tajen konteks
pengertian fungsi simbolik uang tanpa didasari alasan untuk resistensi adat dan
resistensi kolektifitas mabanjar .
Dengan melihat budaya Bali termasuk tajen didalamnya yang telah
melekat dihati masyarakat sampai sekarang , tentunya merupakan sebuah budaya
yang luar biasa tanpa menyalah artikan dan maksud dari tajen tersebut.
Memandang bahwa tajen adalah aset yang perlu dilestarikan untuk menunjang
pariwisata budaya tanpa menggunakan budaya tersebut sebagi ajang untuk
21
berjudi.
2.5 Kajian Judi Tajen Menurut Kitab
A. Kitab Manawadharmasastra
Yo’himsakaani bhuutaani hinas, tyaatmasukheaschaya. Sa jiwamsca mritascaiva na. Kvacitsukhamedhate.
(Manawa Dharmasastra V.45) Maksudnya adalah Ia yang menyiksa makhluk
hidup yang tidak berbahaya dengan maksud untuk mendapatkan kepuasan
nafsu untuk diri sendiri, orang itu tidak akan pernah merasakan kebahagiaan.
Ia selalu berada dalam keadaan tidak hidup dan tidak pula mati. Penyiksaan
dan pembunuhan yang dilakukan hanya untuk kesenangan adalah dosa.
Orang yang melakukan hal itu tidak akan memperoleh kebahagiaan baik di
dunia ini maupun di masa kelahiran berikutnya.
1) Dyūtaṁ samaḥ vayaṁ caiva rāja rātrannivarayet, rājanta karaóa vetau dvau dośau pṛthivikśitam.
Manavadharmaśāstra IX.221.(Perjuadian dan pertaruhan supaya benar-
benar dikeluarkan dari wilayah pemerintahannya, ke dua hal itu
menyebabkan kehancuran negara dan generasi muda).
2) Prakaśaṁ etat taskaryam yad devanasama hvayau, tayornityaṁ pratighate nṛpatir yatna van bhavet.
Manavadharmaśāstra IX.222.(Perjudian dan pertaruhan menyebabkan
pencurian, karena itu pemerintah harus menekan ke dua hal itu)
22
3) Apraṇibhiryat kriyate tal loke dyūtam ucchyate, praṇibhiḥ kriyate yāstu na vijñeyaḥ sāmahvayaḥ.
Manavadharmaśāstra IX.223. (Kalau barang-barang tak berjiwa yang
dipakai pertaruhan sebagai uang,hal itu disebut perjudian, sedang bila
yang dipakai adalah benda-bendaberjiwa untuk dipakai pertaruhan, hal
itu disebut pertaruhan).
4) Dyūtaṁ sāmahvayaṁ caiva yaḥ kūryat karayate va, tansarvan ghatayed rājaśudramś ca dvija linggi.
Manavadharmaśāstra IX.224. (Hendaknya pemerintah menghukum
badanniah semua yang berjudi dan bertaruh atau mengusahakan
kesempatan untuk itu, seperti seorang pekerja yang memperlihatkan
dirinya (menggunakan atribut) seorang pandita)
5) Kitavān kuśìlavān kruran paśandasthaṁśca manavan,vikramaśṭhanañca undikaṁś ca kśipram nirvāśayetprat.
Manavadharmaśāstra IX.225. (Penjudi-penjudi, penari-penari dan
penyanyi-penyanyi (erotis), orang- orang yang kejam, orang-orang
bermasalah di kota, mereka yang menjalankan pekerjaan terlarang dan
penjual-penjual minuman keras, hendak- nya supaya dijauhkan dari
kota (oleh pemerintah) sesegera mungkin).
6) Eta raśṭre vartamana rajñaḥ pracchannataskaraḥ, vikarma kriyaya nityam bhadante bhadrikaḥ prajāḥ.
Manavadharmaśāstra IX.226.(Bilamana mereka yang seperti itu yang
merupakan pencuri terselubung, bermukim di wilayah negara, maka
23
cepat-lambat, akan mengganggu penduduk dengan kebiasaannya yang
baik dengan cara kebiasaannya yang buruk).
7) Dyūtam etat pūra kalpe dṛśtaṁ vairakaraṁ mahat, tasmād dyūtaṁ na seveta hasyartham api buddhimān.
Manavadharmaśāstra IX.227. (Di dalam jaman ini, keburukan judi itu
telah nampak, menyebabkan timbulnya permusuhan. Oleh karena itu,
orang-orang yang baik harus menjauhi kebiasaan-kebiasaan ini,
walaupun untuk kesenangan atau hiburan).
Judi dan taruhan dilarang dalam Agama Hindu. Kitab suci Manawa
Dharmasastra Buku IX (Atha Nawano dhyayah) sloka 221, 222, 223, 224, 225,
226, 227, dan 228 dengan jelas menyebutkan adanya larangan itu. Sloka 223
membedakan antara perjudian dengan pertaruhan. Bila objeknya benda-benda tak
berjiwa disebut perjudian, sedangkan bila objeknya mahluk hidup disebut
pertaruhan. Benda tak berjiwa misalnya uang, mobil, tanah dan rumah. Mahluk
hidup misalnya binatang peliharaan, manusia, bahkan istri sendiri seperti yang
dilakukan oleh Panca Pandawa dalam ephos Bharatha Yuda ketika Dewi Drupadi
dijadikan objek pertaruhan melawan Korawa.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana
ditulis dalam Manawa Dharmasastra.IX.221. Perjudian dan pertaruhan supaya
benar-benar dikeluarkan dari wilayah Pemerintahannya karena kedua hal itu
menyebabkan kehancuran kerajaan dan putra mahkota. Istilah kerajaan dan putra
mahkota zaman sekarang dapat ditafsirkan sebagai negara dan generasi penerus,
24
sedangkan istilah Pemerintah dapat ditafsirkan sebagai penguasa, mulai Kelian
Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai Gubernur.
Para penjudi dan peminum minuman keras digolongkan sebagai orang-
orang “sramana kota” (sloka 225) disebut pencuri-pencuri tersamar (sloka 226)
yang mengganggu ketenteraman hidup orang baik-baik. Judi menimbulkan
pencurian (sloka 222), permusuhan (sloka 227) dan kejahatan (sloka 228). Para
penguasa khususnya di Bali diharap memahami benar tentang jenis-jenis judi agar
tidak terkecoh dengan dalih pelaksanaan adat dan upacara agama. Ada kegiatan
penggalian dana dengan mengadakan tajen, ada kegiatan piodalan di Pura
dilengkapi dengan tajen, dan kebiasaan meceki pada waktu melek di acara
ngaben, bahkan pada hari-hari raya seperti Galungan, Kuningan, Nyepi,
Pagerwesi.
B. Kajian Judi Tajen Menurut Kitab Rg Weda
Masalah judi adalah masalah yang menyangkut kehidupan masyarakat
(walau tidak seluruhnya), dan jika tidak ditangani dengan serius akan dapat
menimbulkan berbagai masalah spiritual, sosial, keamanan baik untuk pribadi
pelaku maupun berdampak kepada lingkungan sosial yang lebih luas. Maka untuk
itu penulis mencoba mengetengahkan sabda Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab
suci Veda tentang judi (judian), sebagai berikut:
1) Akṣair mā dīvyaḥ kśimit kṛśasva vitte ramasva bahu manyamānaḥ, tatra gāvaḥ kitava tatra jaya tan me vicaśṭe savitāyamarya.
25
Ṛgveda X.34.13. (Wahai para penjudi, janganlah bermain judi, bajaklah
tanahmu. Selalu puas dengan penghasilanmu, pikirkanlah itu cukup.
Pertanianmenyediakan sapi-sapi bentina dan dengan itu istrimu tetap
bahagia. Deva Savitā telah menasehatimu untuk berbuat demikian)
2) Jāyā tayate kitavasya hìnā mātā putrasya carataḥ kva svit, ṛṇāvā bibhyad dhanam icchamānaḥ anyeśām astam upa naktam eti.
Ṛgveda X.34.10. (Istri seorang penjudi yang mengembara mengalami
penderitaan yang sangat menyedihkan, dan ibu seorang penjudi semacam
itu dirundung penderitaan. Dia, yang dalam lilitan hutang dan kekurangan
uang, memasuki rumah orang lain dengan diam-diam di malam hari)
3) Dvesti śva rūr apa jaya ruóaddhi na nathito vindate marîitāram, aśvasyeva jarato vasnyasya nāhaṁ vindāmi kitavasya bogam.
Ṛgveda X.34.3. (Ibu mertua membenci, istrinya menghindari dia,
sementara pada waktu mengemis, tidak menemukan seorangpun yang
berbelas kasihan. Istri penjudi itu berkata: “Sebagai seekor kuda tua yang
tidak bermanfaat, kami sangat menderita menjadi istri seorang penjudi”).
Kalah atau menang dalam berjudi membawa dampak munculnya sadripu
(enam musuh) pada diri seseorang. Sadripu adalah kama (nafsu tak terkendali),
lobha (serakah), kroda (kemarahan), mada (kemabukan), moha (sombong) dan
matsarya (cemburu), dengki, irihati). Penjudi yang menang menguatkan kama,
lobha, mada, dan moha, pada dirinya dan yang kalah menguatkan kroda, dan
matsarya.
26
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kita semestinya
menghindari yang namanya segala bentuk perjudian khususnya judi tajen. Suami
yang suka berjudi tentu akan mendatangkan kesengsaraan bagi keluarga seperti
istri, anak orang tuanya serta orang-orang yang berada di sekelilingnya, sebab
penjudi cenderung melakukan tindakan kriminal seperti mencuri, merampok
untuk mendapatkan uang agar bisa dipakai berjudi. Dengan cara bekerja yang
tekun serta mempersembahkan hasilnya kepada Tuhan karena dengan cara seperti
itu tentunya akan membawa kebahagiaan bagi keluarga dan terhindar dari
berbagai mala petaka.
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tajen dan tabuh rah memiliki perbedaan yang mendasar meskipun
sama-sama sabung ayam, tajen merupakan bentuk hiburan yang lekat
dengan kegiatan judi sedangkan tabuh rah adalah murni kegiatan ritual
keagamaan. Kegiatan sabung ayam sebagai bentuk perjudiaan tidak
dibenarkan menurut agama Hindu. Selain itu uang menjadi salah satu
faktor utama yang menyebabkan tajen masih ada. Di wilayah agama, uang
memiliki makna simbolik yang sangat kuat baik secara denotatif maupun
konotatif. Secara denotatif uang digunakan sebagai pembiayaan upacara
dan sekaligus untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di banjar dan
pura-pura, sedangkan secara konotatif uang digunakan sebagai sarana
upakara. Dalam judi tajen konteks pengertian fungsi simbolik uang tanpa
disadari telah mengalami pergeseran makna ketika uang dijadikan alasan
untuk resistensi adat dan resistensi kolektifitas mabanjar. Judi tajen
dianggap sah dan dipertahankan karena dianggap penting dalam rangkaian
ritus agama dan ritus sosial.
28
Sedangkan menurut kitab suci Manawadharmasastra dan Rg Weda
mengatakan bahwa segala bentuk perjudian khususnya tajen sangat
dilarang karena melanggar norma agama dan hukum. Pemerintah dalam
hal ini Kelian Adat, Kepala Lingkungan, Lurah, Camat, Bupati, sampai
Gubernur berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati agar perjudian
dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah
pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran keluarga,
masyarakat dan negara. Para penjudi digolongkan sebagai orang-orang
disebut pencuri-pencuri tersamar yang mengganggu ketenteraman hidup
orang baik-baik karena judi menimbulkan pencurian, permusuhan dan
kejahatan.
3.2 Saran-Saran
Memberantas judi sudah menjadi tugas para agamawan (Sulinggih)
pemimpin-pemimpin umatuntuk meningkatkan kualitas beragama antara
lain menyadarkan masyarakat akan dosa berjudi serta kesalahpahaman
akibat tidak mampunya membedakan antara ritual keagamaan dan
perjudian dapat diluruskan. Memberantas perjudian tidak dapat dengan
paksaan atau kekuasaan berdasarkan Undang-undang saja, tetapi akan
lebih berhasil jika disertai dengan dharmawacana-dharmatula, dan
penyuluhan-penyuluhan yang intensif. Sehingga kebanggaan sebagian
masyarakat sebagai penjudi sedikit demi sedikitdikikis sehingga menjadi
29
malu berjudi. Salah satu alasan masyarakat berjudi di zaman dahulu adalah
karena kurangnya fasilitas hiburan atau rekreasi. Oleh karena itu perkataan
lain untuk berjudi adalah “makelecan” (kelecan artinya hiburan). Untuk
menjaga kesehatan rohani masyarakat, salah satu upaya mungkin dapat
ditempuh misalnya pemerintah menyediakan fasilitas hiburan atau rekreasi
yang sehat, antara lain berolah raga. Jarang sekali di desa-desa ada
lapangan volly, sepak bola, bulu tangkis, meja pingpong yang dikelola
oleh Pemerintah. Jika ada, fasilitas itu dibuat oleh warga setempat,klub-
klub, atau perusahaan. Pemerintah agar berupaya mengalihkan keinginan
masyarakat mencari hiburan dari berjudi kepada bentuk hiburan lain yang
sehat.
30
DAFTAR PUSTAKA
http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-tabuh-rah-arti.htm
Lontar Siwatattwapurana.
Lontar Yadnyaprakerti.
Prasasti Sukawana A l 804 Çaka.
Prasasti Batur Abang A 933 Çaka.
Prasasti Batuan 944 Çaka.
Puja Gd, MA, Tjok Rai Sudharta MA.1977. Manawa Dharmasastra, Dirjen Bimas
Hindu: Jakarta.
Dharmawacana Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi
sulinggih, tinggal di Geriya Tamansari Lingga Ashrama, Jl.Pantai Lingga,
Singaraja.
31
top related