laporan hasil kajian · 9 masing menjadi 17,2 persen dan 9,46 persen. komposisi ekspor per negara...
Post on 04-Feb-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
LAPORAN HASIL KAJIAN
Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership
Agreement (EPA), dan Pengaruhnya terhadap Arus
Perdagangan dan Investasi dengan Negara Mitra
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral
-
1
Daftar Isi
Bab 1 Pendahuluan 2
Bab 2 Kinerja Perdagangan Internasional 6
Bab 3 FTA Preferential Indicators dan FTA Trade and Welfare Indicators 11
Bab 4 Estimasi Dampak IJEPA, dan ACFTA: Metode Ekonometri ARIMA 27
Bab 5 ASEAN Free Trade Area 46
Bab 6 ASEAN-India Free Trade Agreement 73
Bab 7 ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership 97
Bab 8 ASEAN-ANZ Free Trade Area 115
Bab 9 Penutup 131
-
2
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Free Trade Agreement (FTA) merupakan suatu perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan antara
suatu negara dengan negara lainnya. Pembentukan berbagai FTA merupakan akibat dari liberalisasi
perdagangan yang tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional.
Hal inilah yang mendorong terbentuknya blok-blok perdagangan bebas. FTA dapat dibentuk secara
bilateral, misalnya antara Amerika Serikat dengan Singapura, Amerika Serikat dengan Chile; Japan
dengan Singapura; maupun regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free
Trade Area (NAFTA) dan Uni Eropa.
Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan FTA bersama-sama dengan negara-negara
yang tergabung dalam ASEAN untuk pertama kalinya pada tahun 2002. Dalam perkembangannya,
ASEAN FTA melakukan kerjasama China (ASEAN-China FTA) pada tahun 2004, dengan Korea
(ASEAN-Korea FTA) pada tahun 2007 dengan India (ASEAN-India FTA) pada tahun 2010, dengan
Australia dan New Zealand (ASEAN- Australia - New Zealand FTA) pada tahun 2010 dan terakhir
dengan Japan (ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership) pada tahun 2010.
Tabel 1.1 Perkembangan Implementasi FTA oleh Indonesia
No. FTA Regional FTA Entry
Into Force
Indonesia
Entry Into
Force
1. ASEAN FTA 2002 2002
2. ASEAN-China FTA 2004 2004
3. ASEAN-Korea FTA 2007 2007
4. ASEAN-India FTA 2010 2010
5. ASEAN-Australia-New Zealand FTA 2010 2012
6. ASEAN-JAPAN Comprehensive Economic Partnership 2010 -
No. FTA Bilateral Entry Into Force
1 Indonesia-Japan Economic Partnership 2007
Dari tabel tersebut terlihat bahwa berbagai ratifikasi FTA ASEAN dengan berbagai Negara
lain tersebut telah berlaku untuk Indonesia, namun masih ada yang dalam proses untuk ratifikasi
-
3
(Indonesia entry into force), misalnya untuk perjanjian ASEAN- Japan Comprehensive Economic
Partnership (ASEAN-Japan CEP). Selain itu juga masih ada beberapa lagi potensi FTA yang masih
dalam proses persiapan baik itu berupa penjajakan, pengkajian atau pun perundingan, diantaranya
ialah: ASEAN-Uni Eropa FTA, ASEAN-USA FTA, ASEAN-Canada FTA dan Comprehensive
Economic Partnership in East Asia (CEPEA).
Secara empiris, perdagangan internasional dan investasi terbukti mampu mendorong terjadinya
industrialisasi yang dapat menjadi engine pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang telah terjadi
dalam sejarah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat bagi Japan (1960-an), Hong Kong, Taiwan,
Singapore dan the Republic of Korea (1970-an dan 1980-an), Malaysia, Indonesia dan Thailand
(1980-an) dan China (1990-an). Secara teoritis, liberalisasi perdagangan internasional akan
meningkatkan arus perdagangan antarnegara juga akan memberikan manfaat kepada negara-negara
yang terlibat dalam perjanjian liberalisasi perdagangan ini.
Hanya saja memang pertanyaan kritisnya ialah apakah manfaat itu terdistribusikan secara
adil/merata ke seluruh negara atau tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus dicari
jawabannya. Tidak semata karena potensi basis (endowment) setiap negara yang berbeda, akan tetapi
banyak faktor yang menambah kompleksitasnya. Kemampuan menegosiasikan kepentingan nasional
di dalam fora internasional menjadi salah satu faktor penting yang akan mendukung kebijakan
perdagangan internasional suatu negara dapat secara optimal mendukung pertumbuhan ekonominya.
Tingkat produktivitas suatu negara yang biasanya diukur dengan level kualitas sumber daya manusia
dan teknologi juga berperan dalam meningkatkan kemampuan untuk mengambil porsi manfaat
perdagangan internasional bagi suatu negara. Maka dalam teori dasar perdagangan internasional
berkembang dari adanya absolute advantage ke comparative advantage bahkan ke argumentasi
competitive advantage.
Setiap delegasi RI yang akan berunding dalam fora perdagangan internasional harus dibekali
tidak hanya kemampuan bernegosiasi (negotiation skills) tetapi juga pemahaman yang komprehensif
atas berbagai kepentingan Indonesia yang harus dilindungi dan potensi peluang yang dapat diambil
dari masyarakat internasional. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang dalam pembangunan kerja
sama internasional. Kemampuan negosiasi menjadi tidak berarti ketika tidak didukung dengan peta
potensi-masalah yang jelas dan lengkap. Begitu pun sebaliknya. Pemahaman yang baik akan menjadi
sia-sia ketika tidak didukung oleh kemampuan menegosiasikannya. Oleh karena itu, kajian yang
memadai atas berbagai skenario kebijakan liberalisasi perdagangan internasional yang mungkin
untuk meningkatkan manfaat bagi pembangunan nasional sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan para delegasi RI di fora internasional.
-
4
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan secara umum ditujukan untuk melakukan analisis pengaruh Free Trade
Agreement (FTA)/Economic Partnership Agreement (EPA) terhadap arus perdagangan dan investasi.
Tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi FTA/EPA Indonesia dengan negara mitra baik yang sedang berjalan maupun
yang sedang dalam proses perundingan;
2. Melakukan evaluasi dampak FTA/EPA yang telah berjalan terhadap arus perdagangan dan
investasi;
3. Melakukan evaluasi dampak potensial FTA/EPA yang akan berjalan terhadap arus perdagangan
dan investasi; dan
4. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait liberalisasi perdagangan internasional yang
mendukung pembangunan ekonomi nasional:
a. terkait tindak lanjut atas berbagai FTA/EPA yang sudah berjalan;
b. terkait posisi Indonesia atas FTA/EPA yang sedang dalam tahap persiapan.
METODOLOGI
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, beberapa metodologi penelitian yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif untuk memetakan berbagai FTA/EPA Indonesia dengan negara mitra
(telah/akan berjalan);
2. Studi kasus: evaluasi dampak FTA/EPA (telah/akan berjalan). Beberapa metode analisis dampak
yang mungkin dilakukan:
a. Metode kuantitatif:
1). Indicators of Comparative Advantage, Regional Orientation, Trade Complementarity,
dan Export Similarity;
2). FTA Preference Indicators: Coverage rate, Utility rate, Utilization rate, dan Value of
Free Trade Agreement Preferences.
b. Metode ekonometri
c. Simulasi Model Computable General Equilibrium (CGE) Global Trade Analysis Project
(GTAP)
3. Focus Group Discussion (FGD)
-
5
Model kuantitatif dan metode ekonometri digunakan untuk analisis dampak FTA/EPA
Indonesia yang sudah berjalan (ex-post analysis), sedangkan Simulasi Model CGE GTAP untuk
menganalis potensi FTA/EPA yang sedang dalam tahap persiapan (ex-ante analysis). Selain itu,
penelitian juga melakukan FGD dengan kalangan ahli baik dari institusi yang terkait dengan
kebijakan perdagangan internasional: Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), Kementerian Perindustrian, dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) maupun dari
kalangan akademisi. FGD digunakan untuk mendiskusikan dan mengelaborasi lebih lanjut hasil
analisis kuantitatif dan simulasi pemodelan ekonomi untuk memperkaya penyusunan rekomendasi
kebijakan. Dengannya diharapkan rekomendasi kebijakan yang muncul akan membumi dan berpijak
pada kebutuhan realita yang ada.
SISTEMATIKA PENYAJIAN
Sistematika laporan penelitian ini disusun sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi tentang latar
belakang, tujuan penelitian dan penjelasan singkat metodologi yang digunakan. Bab II menyajikan
gambaran global kinerja perdagangan internasional Indonesia. Bab III melakukan evaluasi FTA
dengan estimasi FTA preferential indicators dan FTA trade and welfare indicators. Bab IV
menganalisis dampak dua FTA: IJEPA dan ACFTA menggunakan pendekatan ekonometrika runtun
waktu ARIMA. Bab V, Bab VI, dan Bab VII berturut-turut melakukan evaluasi dampak AFTA,
AIFTA, dan AJCEP dengan menggunakan deskriptif, komparasi tariff dan simulasi model CGE
GTAP. Bab VIII mengevaluasi AANZFTA secara deskriptif dan menghitung daya saing komoditas
Indonesia dan negara mitra. Terakhir Bab IX Penutup mencoba merangkum temuan-temuan dalam
studi ini, memberikan rekomendasi kebijakan dan saran bagi studi lanjutan.
-
6
BAB II
KINERJA PERDAGANGAN INTERNASIONAL1
Secara umum kondisi trade balance Indonesia selama periode 2000-2010 masih surplus. Total
ekspor Indonesia dalam periode tersebut meningkat dari USD62,117 miliar (2000) menjadi
USD157,771 miliar (2010). Sedangkan impor Indonesia dalam periode yang sama naik dari
USD33,515 miliar menjadi USD135,663 miliar. Meskipun masih surplus, terdapat kecenderungan
besarnya surplus trade balance mengalami penurunan. Surplus trade balance pada tahun 2000
tercatat sebesar USD28,602 miliar dan pada tahun 2010 turun menjadi USD22,108 miliar.
Gambar 2.1 Analisis Kinerja Neraca Perdagangan Global (Migas-Non Migas)
Gambar 2.2 Analisis Kinerja Neraca Perdagangan Global (Non Migas)
1 Materi bab ini dikutip dari Laporan Penelitian Kementerian Keuangan (2011) tentang Analisis Posisi Indonesia Terkait Free Trade Agreement (tidak dipublikasikan)
-
7
Penurunan trade balance di atas disebabkan kinerja perdagangan global Indonesia, terutama
karena menurunnya sumbangan surplus trade balance nonmigas. Surplus trade balance pada tahun
2000 sebagian besar (78,50 persen) disumbang oleh sektor nonmigas. Berkenaan dengan laju
pertumbuhan impor nonmigas yang lebih tinggi dari laju ekspor nonmigas, maka sumbangan surplus
trade balance sektor nonmigas pada tahun 2010 turun menjadi 63,94 persen.
Lebih lanjut, komoditas ekspor Indonesia dalam periode 2000-2010 mengalami perubahan.
Pada tahun 2000 Indonesia didominasi barang-barang elektronik dan mesin mekanik. Namun pada
tahun 2010 ekspor Indonesia didominasi barang-barang tambang, terutama batubara dan hasil
perkebunan terutama CPO, karet dan produk karet. Komposisi ekspor Indonesia selengkapnya dapat
dilihat pada gambar 2.3.
Gambar 2.3 Analisis Kinerja Ekspor Komoditi Utama (Non Migas)
Sumber : BPS, CEIC, diolah
Bahan bakar mineral (27)
3%
Lemak & Minyak hewan/nabati (15)
4% Mesin & peralatan
listrik (85) 14%
Karet & Brg dari Karet (40)
3%
Bijih, Kerak & abu logam (26)
3% Mesin2/pesawat
mekanik (84) 8%
Kertas/karton (48) 5%
Lainnya 57%
Tahun 2000
Bahan bakar mineral (27)
15%
Lemak & Minyak hewan/nabati (15)
13%
Mesin & peralatan listrik (85)
8%
Karet & Brg dari Karet (40)
7%
Bijih, Kerak & abu logam (26)
6% Mesin2/pesawat
mekanik (84) 4%
Kertas/karton (48) 3%
Kendaraan dan bagiannya (87)
2%
Bahan kimia organik (29) 2%
Timah (80) 1%
Lainnya 39%
Tahun 2010
-
8
Sementara itu impor Indonesia dalam periode 2000-2010 relatif tidak ada perubahan. Impor
terbesar masih dalam bentuk mesin-mesin atau pesawat mekanik. Impor yang mengalami
peningkatan cukup signifikan adalah impor mesin atau peralatan listrik. Sedangkan impor yang
mengalami penurunan adalah bahan kimia organik. Komposisi impor selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 2.4 di bawah ini.
Gambar 2.4 Analisis Kinerja Impor Komoditi Utama (Non Migas)
Sumber : BPS, CEIC, diolah
Dari sisi negara tujuan ekspor, dalam periode 2000-2010 menunjukkan adanya perubahan,
Pada tahun 2000 negara tujuan ekspor Indonesia terbesar adalah Japan (23,2 persen), Negara-negara
di kawasan ASEAN (16,68 persen), dan Amerika Serikat (13,64 persen). Pada tahun 2010 negara
tujuan ekpor Indonesia terbesar adalah Negara-negara di kawasan ASEAN (19,85 persen), China
(10,42 persen). Sedangkan ekspor Indonesia ke Japan dan Amerika mengalami penurunan masing-
Mesin-mesin/Pesawat Mekanik (84)
17%
Mesin / peralatan listrik (85)
5%
Besi dan Baja (72) 5% bahan Kimia
Organik (29) 9%
Kendaraan dan bagiannya (87)
7% Plastik dan barang
dari plastik (39) 4%
Serealia (10) 4%
Pesawat udara dan bagiannya (88)
1%
Barang dari besi dan baja (73)
3%
Kapas (52) 3%
Lainnya 42%
Tahun 2000
Mesin-mesin/Pesawat Mekanik (84)
17%
Mesin / peralatan listrik (85)
14%
Besi dan Baja (72) 6%
bahan Kimia Organik (29)
5%
Kendaraan dan bagiannya (87)
5% Plastik dan barang
dari plastik (39) 4%
Serealia (10) 2%
Pesawat udara dan bagiannya (88)
3%
Barang dari besi dan baja (73)
3%
Kapas (52) 2%
Lainnya 39%
Tahun 2010
-
9
masing menjadi 17,2 persen dan 9,46 persen. Komposisi ekspor per Negara tujuan selengkapnya
dapat dilihat pada gambar 2.5.
Gambar 2.5 Analisis Kinerja Ekspor per Negara dan Regional
Sumber: BPS, CEIC, diolah
Negara asal impor Indonesia pada tahun 2000 sebagaian besar adalah dari Japan (17,30
persen), Amerika Serikat (10,87 persen), Negara-negara kawasan ASEAN (10,80 persen), Korea
Selatan (6,68 persen) dan China (6,55 persen). Pada tahun 2010 negara tujuan impor Indonesia
mengalami perubahan, yakni terbesar dari China (16,05 persen). Impor dari Amerika Serikat dan
Japan 23.20%
China 4.46%
USA 13.64%
South Korea 6.95%
India 1.85%
Taiwan 3.83%
Netherlands 2.96%
Australia 2.52% Germany
2.32%
Lainnya 21.58%
Singapore 10.50%
Malaysia 3.17% Thailand
1.65%
Philippines 1.36%
ASEAN-4 16.68%
Tahun 2000
Japan 17.20%
China 10.42%
USA 9.46%
South Korea 8.39%
India 6.61%
Taiwan 3.15%
Netherlands 2.48%
Australia 2.77%
Germany 1.99%
Lainnya 17.13%
Singapore 9.15%
Malaysia 6.13%
Thailand 3.01%
Philippines 2.12%
ASEAN-4 19.88%
Tahun 2010
-
10
Japan mengalami penurunan masing-masing menjadi 7,40 persen dan 13,36 persen. Gambar 2.6
menunjukkan perubahan komposisi impor Indonesia dalam periode 2000-2010.
Gambar 2.6 Analisis Kinerja Impor per Negara dan Regional
Sumber: BPS, CEIC, diolah
Japan 17.30%
South Korea 6.68%
China 6.55%
India 1.68%
Australia 5.43%
USA 10.87%
Jerman 3.99%
Perancis 1.28%
Inggris 1.79%
Lainnya 24.74%
Singapore 12.15%
Malaysia 3.62%
Thailand 3.56%
Philippines 0.37%
ASEAN-4 10.80%
Tahun 2000
Japan 13.36%
South Korea 6.05%
China 16.05%
India 2.59%
Australia 3.23%
USA 7.40%
Jerman 2.37%
Perancis 1.05%
Inggris 0.74%
Lainnya 17.98%
Singapore 15.94%
Malaysia 6.81%
Thailand 5.88%
Philippines 0.56%
ASEAN-4 10.80%
Tahun 2010
-
11
BAB III
FTA PREFERENTIAL INDICATORS DAN FTA TRADE AND
WELFARE INDICATORS
PENDAHULUAN
Setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) diberlakukan, penting bagi para pembuat kebijakan
untuk memperhitungkan dampaknya. Dampak sebenarnya dari pemberlakuan FTA mungkin sangat
berbeda dari proyeksi sebelumnya. Tujuan bab ini adalah untuk menyajikan metode evaluasi
ekonomi ex-post atas pemberlakuan FTA untuk menunjukkan kepada pembuat kebijakan apa yang
harus dinilai dan bagaimana melakukan suatu penilaian ekonomi retrospektif. Selain itu, bagian ini
juga akan mendiskusikan hasil evaluasi tersebut untuk melihat apakah keterlibatan dalam FTA telah
memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Dengan analisis tersebut diharapkan akan lahir
berbagai rekomendasi kebijakan yang mungkin sebagai tindak lanjut FTA tersebut untuk
mengoptimalisasi potensi dampak positif yang ada dan menutup atau meminimalisasi dampak
negative yang timbul.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi pembentukan FTA bersama-sama
dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN untuk pertama kalinya pada tahun 2002.
Dalam perkembangannya, ASEAN FTA melakukan kerjasama China (ASEAN-China FTA) pada
tahun 2004, dengan Korea (ASEAN-Korea FTA) pada tahun 2007 dengan India (ASEAN-India
FTA) pada tahun 2010, dengan Australia dan New Zealand (ASEAN- Australia - New Zealand FTA)
pada tahun 2010 dan terakhir dengan Japan (ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership)
pada tahun 2010. Oleh karena itu analisis ex-post ini akan mendiskusikan dampak FTA yang
Indonesia telah terlibat didalamnya (already entried into force).
Tabel 3.1 Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia dengan Beberapa Negara
FTA’s Penanda-
tanganan
Entry into
Force
Coverage Cakupan Tarif
ASEAN
Economis
Community
20 November
2007
AEC 2015 Komprehensif ASEAN-CEPT : ±98% dari pos tarif
ASEAN-
China
29 November
2004
1 Juli 2005 Komprehensif Early Harvest Chapter 01-08
Normal Track : 40% at 0-5% in 2005
Sensitive Track
Sensitive List (SL): tahun 2012 = 20%
Highly Sensitive List (HSL) tahun
2015 = 50%
-
12
FTA’s Penanda-
tanganan
Entry into
Force
Coverage Cakupan Tarif
ASEAN-
Korea
24 Agustus
2006
1 Juli 2007 Komprehensif Korea = Menghapuskan semua pos
tarif Normal Track selambat-lambatnya
1 Januari 2010
ASEAN-6
Normal Track dihapuskan paling
lambat 1 Januari 2011 (flexibilitas
-
13
Dalam penelitian ini, data yang tersedia untuk pengolahan data menggunakan metode
kuantitatif tersebut yaitu: (i) Tariff nomenclature untuk untuk setiap skema FTA (kecuali
AANZFTA); dan (ii) Importasi bulanan periode Januari 2011 - Mei 2012.
FTA PREFERENCE INDICATORS
Sifat FTA yang diskriminatif mengandung konsekuensi pemberian tarif preferensial kepada sesama
anggota FTA. Tarif preferensial lebih rendah dari tarif yang berlaku umum atau most favored nation
(MFN) yang diberlakukan terhadap impor dari negara-negara non-anggota FTA. Perbedaan antara
tarif MFN dan tarif preferensial dikenal sebagai margin preferensi. Misalnya, untuk produk logam
produk mebel kantor (dengan pos tarif 94031000), tariff MFN Viet Nam ditetapkan sebesar 32%
sejak 2008, sedangkan Common Effective Preferential Tariff yang diberlakukan negara-negara
ASEAN berdasarkan ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah 5%. Oleh karena itu, margin
preferensi yang diberikan oleh Viet Nam terhadap impor produk ini dari negara anggota ASEAN
adalah 27% (32% -5%).
1. Coverage rate
Langkah pertama untuk memahami dampak dari preferensi FTA adalah menghitung coverage rate
yang menghitung besarnya impor dari mitra FTA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif
preferensial. Dalam hal ini, impor dari mitra FTA adalah impor yang dikenakan tarif MFN lebih
besar dari 0 persen. Impor yang dikenakan tarif MFN 0 persen diabaikan karena perlakuan preferensi
tidak relevan bagi produk-produk tersebut. Dengan kata lain, coverage rate merupakan proporsi
importasi yang memperoleh tarif preferensi dari negara mitra dibandingkan dengan total impor dari
negara mitra yang tarif MFN-nya bukan 0.
Untuk menghitung coverage rate, kita harus mengidentifikasi (i) nilai impor dari negara mitra
FTA yang mendapatkan tarif preferensial, dan (ii) nilai impor total dari negara mitra. Mengingat data
impor dalam setiap skema FTA untuk masing-masing pos tarif tidak tersedia, maka penghitungan
coverage rate dilakukan dengan menggunakan tariff nomenclature. Dengan demikian, formula untuk
menghitung coverage rate adalah sebagai berikut:
Hasil perhitungan coverage rate untuk beberapa skema FTA dimana Indonesia menjadi anggotanya
adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.
-
14
AFTA:
Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif
Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial: 0
Coverage rate = 100%
ACFTA:
Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif
Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:
- Kategori Normal Track 1 (NT1) 1 pos tarif
- Kategori Normal Track 2 (NT2) 45 pos tarif
- Kategori Sensitive List (SL) 240 pos tarif
- Kategori Highly Sensitive List (HSL) 60 pos tarif
- Kategori General Exclusion List (GEL) 20 pos tarif
Jumlah 366 pos tarif
= 95,17%
AKFTA:
Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif
Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:
- Kategori Normal Track 21 pos tarif
- Kategori Sensitive List (SL) 113 pos tarif
- Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok A 5 pos tarif
- Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok B 104 pos tarif
- Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok E 18 pos tarif
Jumlah 261 pos tarif
erage rate
= 96,56%
-
15
AIFTA:
Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif
Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:
- Kategori Normal Track 35 pos tarif
- Kategori Sensitive List (SL) 78 pos tarif
Jumlah 113 pos tarif
= 98,51%
IJEPA:
Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif
Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:
- Kategori B3 2 pos tarif
- Kategori B5 1 pos tarif
- Kategori B7 14 pos tarif
- Kategori B15 7 pos tarif
- Kategori X 480 pos tarif
- Kategori P 18 pos tarif
Jumlah 522 pos tarif
= 93,11%
2. Utility rate
Utility rate mengukur ruang lingkup efektif dari FTA dengan menghitung persentase nilai impor dari
negara mitra FTA yang benar-benar menggunakan tarif preferensial. Formula untuk menghitung
utility rate sebagaimana didefinisikan oleh Inama (2003) adalah sebagai berikut:
Berdasarkan data importasi bulanan pada periode Januari 2011 sampai dengan Mei 2012, maka
diperoleh hasil utility rate rata-rata untuk periode tersebut sebagai berikut:
-
16
Skema FTA Utility Rate
AFTA 30,43%
ACFTA 34,24%
AKFTA 32,45%
IJEPA 30,40%
AIFTA 5,96%
Penghitungan utility rate untuk masing-masing skema FTA dapat dilihat dalam Appendix.
3. Utilization rate
Utilization rate mengukur tingkat daya tarik dari rezim preferensial relatif terhadap tarif MFN.
Utilization rate dapat dihitung dengan formula sebagai berikut.
Hasil penghitungan utilization rate terhadap lima FTA yang sudah berjalan adalah sebagai berikut:
- AFTA :
= 30,43%
- ACFTA :
= 35,98%
- AKFTA :
= 33,61%
- IJEPA :
= 32,65%
- AIFTA :
= 6,05%
Dari hasil perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa skema penurunan tarif Indonesia
dalam FTA yang sudah berlaku saat ini sudah sangat liberal. Hal ini berdasarkan fakta bahwa dalam
5 FTA yang menjadi objek penelitian ini, tingkat coverage rate-nya di atas 90% (berdasarkan skema
penurunan tarif pada tahun 2011).
Di samping itu, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah utilization rate yang relatig
masih rendah. Berdasarkan formula sebagaimana dijelaskan di atas, semakin tinggi utilization rate,
-
17
semakin besar impor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif preferensi (preference-eligible
imports) yang benar-benar masuk dengan menggunakan tarif preferensial daripada menggunakan
tarif MFN. Selain itu, semakin tinggi utilization rate juga bermakna bahwa biaya kepatuhan
(compliance costs) dari ketentuan asal barang semakin tidak menjadi penghambat.
Dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam hasil pengolahan data di atas, utilization rate dari
FTA yang diterapkan di Indonesia berkisar antara 30-35% kecuali AIFTA dengan utilization rate
sebesar 6,05%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase importasi yang benar-benar menggunakan
tarif preferensi daripada menggunakan tarif MFN masih tergolong rendah. Beberapa kemungkinan
penyebabnya adalah:
1. Tarif preferensial tidak terlalu menarik karena perbedaannya dengan tarif MFN tidak signifikan.
2. Prosedur yang harus dijalani untuk dapat menggunakan tarif preferensial dianggap cukup
menyulitkan.
3. Kesalahan identifikasi dalam sistem komputer pabean yang merekam data PIB dalam hal
importasi menggunakan beberapa skema fasilitas.
FTA TRADE AND WELFARE INDICATORS
Qualitative Analysis of Trade Creation and Trade Diversion
Analisis Viner terhadap FTA memberikan kerangka konseptual untuk mempelajari dampat FTA
terhadap perdagangan (Viner, 1950). Menurut model Viner, perjanjian perdagangan regional (FTA)
akan menguntungkan jika besarnya penciptaan perdagangan (trade creation) lebih besar daripada
pengalihan perdagangan (trade diversion). Sebaliknya, perjanjian FTA akan merugikan jika besarnya
penciptaan perdagangan (trade creation) lebih kecil daripada pengalihan perdagangan (trade
diversion). Karena itu, penting untuk memfokuskan pada perubahan dalam produksi domestik dan
perdagangan intra maupun extra regional.
Penciptaan perdagangan terjadi ketika terjadi peningkatan perdagangan di antara negara-
negara anggota sebagai akibat dari keanggotaan mereka dalam perjanjian perdagangan bebas.
Penghapusan hambatan perdagangan, khususnya tarif, mendorong negara-negara untuk mengimpor
komoditas dari negara anggota FTA yang berbiaya lebih rendah daripada membeli dari industri
domestik yang berbiaya tinggi. Dengan cara ini, perekonomian di wilayah perdagangan bebas
menghasilkan output lebih banyak dengan berkonsentrasi pada komoditas yang memiliki keunggulan
komparatif. Karena itu, penciptaan perdagangan meningkatkan spesialisasi di negara-negara anggota,
dan skala ekonomi meningkatkan efisiensi produktif di negara tersebut (Viner, 1950; Clausing,
2001).
-
18
Sebaliknya, pengalihan perdagangan terjadi ketika negara-negara anggota menggantikan
komoditas impor mereka dari negara di luar FTA yang lebih efisien dan murah, dengan impor dari
negara anggota (mitra) FTA yang lebih tidak efisien dan berbiaya tinggi. Hal ini dimungkinkan oleh
adanya proteksi diskriminatif, sehingga impor dari negara di luar FTA terus menghadapi hambatan
tarif yang tinggi dan secara efektif menjadi lebih mahal daripada impor tanpa hambatan tarif dari
negara anggota FTA yang lebih tidak efisien.
Trade Creation vs. Trade Diversion dalam AFTA2
Ada atau tidaknya pengalihan perdagangan tidak dapat dipastikan hanya dengan membandingkan
tren pertumbuhan impor intra-ASEAN dengan impor ASEAN dari seluruh dunia. Oleh karena itu,
digunakan shift-and-share analysis untuk menguji dampak dari AFTA dan menentukan efek
pengalihan perdagangan. Shift-and-share analysis menguji perubahan nilai-nilai dan pola-pola antar
kelompok komoditas dan antara negara AFTA dan seluruh dunia diluar AFTA atau rest of the world
(ROW). Metode ini membandingkan tingkat perdagangan negara-negara anggota satu sama lain dan
dengan seluruh dunia sebelum dan setelah pembentukan AFTA.
Shift-and-share analysis memberikan bukti atau indikasi bahwa AFTA dapat berdampak
penciptaan perdagangan maupun pengalihan perdagangan. Analisis tersebut terbukti sebagai alat
deskriptif yang berguna untuk mengisolasi tren kinerja komoditas dan regional serta untuk mensuplai
data bagi para pembuat kebijakan untuk menafsirkan perubahan dalam struktur industri di negaranya.
Kebanyakan penelitian yang menggunakan metode shift-and-share melakukan perbandingan statis
dimana mereka hanya memperhitungkan perubahan dalam variabel yang dikehendaki, seperti ekspor,
dengan membandingkan antara tahun dasar dan tahun-tahun tertentu dalam periode waktu yang
diselidiki (Krueger, 1999).
Untuk melaksanakan analisis, terlebih dahulu ditentukan tahun dasar (sebelum pembentukan
AFTA) dan tahun akhir (pada saat penyelesaian AFTA) untuk mewakili pola perdagangan hipotetis
dan aktual, masing-masing seperti pangsa impor antar negara-negara anggota ASEAN dan ROW
(negara yang bukan anggota) sebelum dan pada saat diselesaikannya AFTA. Menggunakan rata-rata
dari tahun 1985 dan 1986 sebagai dasar, perbedaan antara impor aktual dan hipotetis dari negara-
negara anggota dari ASEAN akan menjadi shift. Jika ada peningkatan impor antar anggota ASEAN
dengan mengorbankan perdagangan dengan ROW (negara yang bukan anggota), maka telah terjadi
pergeseran yang positif yang menjadi bukti adanya pengalihan perdagangan. Di sisi lain, jika
pergeseran negatif, maka tidak ada bukti bahwa impor intra-ASEAN impor meningkat dengan
2 Berdasarkan hasil studi Cabalu and Alfonso (2007) yang berjudul "Does AFTA Create or Divert Trade?"
-
19
mengorbankan perdagangan dengan ROW. Terakhir, jika pergeseran tersebut sama dengan nol, maka
ada bukti bahwa pembentukan AFTA tidak mempengaruhi arus perdagangan selama tahun tersebut.
Berdasarkan hasil analisis, muncul beberapa pola yang menarik. Jumlah ekspor ASEAN
meningkat pangsanya baik di ASEAN maupun pasar ROW sepanjang waktu. Mulai dari 1980-an
hingga awal 1990-an, pangsa ekspor ASEAN tampaknya menurun di wilayah tersebut namun
pangsanya meningkat di seluruh dunia. Pada paruh kedua tahun 1990-an hingga lima tahun pertama
dekade berikut, pangsa ekspor ASEAN telah menunjukkan tanda positif baik di kedua pasar tetapi
peningkatan pangsa yang paling menonjol adalah di pasar ROW. Pola ini mirip dengan tren
pertumbuhan total impor di mana rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan riil perdagangan dengan
ASEAN dan ROW positif selama tahun 1990-an hingga awal 2002. Hal ini menegaskan bahwa
AFTA telah menciptakan perdagangan (trade creation) ketimbang pengalihan perdagangan (trade
diversion). Peningkatan pangsa yang paling menonjol yaitu pada komoditas mesin dan peralatan
transportasi (SITC 7). Tanda-tanda adanya pengalihan perdagangan, kalau pun ada, dapat terlihat
pada komoditas dan transaksi tidak diklasifikasikan di tempat lain (SITC 9) di mana pangsa ekspor
ASEAN di kawasan meningkat seiring dengan menurunnya pangsa di pasar ROW. Dalam kategori
komoditas lain, kenaikan atau penurunan pangsa ASEAN dalam perdagangan dengan ROW
menunjukkan tren yang serupa dengan tren pangsa perdagangan dalam kawasan.
Nampaknya, peningkatan ekspor ASEAN secara umum ke mitra di ASEAN dan ROW
setelah pelaksanaan AFTA menunjukkan bahwa ASEAN telah meningkatkan daya saing dan oleh
karenanya menjadi lebih menarik sebagai sumber impor bagi dunia pada umumnya. Devaluasi mata
uang selama krisis Asia telah membuat ekspor dari ASEAN menjadi lebih murah dan seharusnya
lebih memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing produk mereka dengan seluruh dunia.
Pada saat yang sama, krisis juga memaksa ASEAN untuk melihat ke dalam kawasan dan fokus pada
pasar lokal ASEAN.
Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya, yang tidak mendukung adanya
pengalihan perdagangan dalam AFTA. Ada beberapa alasan untuk meyakini hasil tersebut. Pertama,
pangsa perdagangan intra-ASEAN terhadap total impor atau total ekspor negara-negara ASEAN
masih sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa sumber impor utama bagi negara-negara anggota
ASEAN berada di luar kawasan (pra dan pasca-AFTA). Kedua, tidak adanya pengalihan
perdagangan mungkin terjadi karena negara-negara ASEAN memiliki struktur produksi dan
perdagangan yang sama dan impornya sebagian besar akan berasal dari ROW.
-
20
Trade Creation vs. Trade Diversion dalam ACFTA3
Chirathivat (2002) menemukan bahwa baik ASEAN dan China akan mengalami keuntungan
perdagangan bersih dari ACFTA. Dalam ACFTA, ASEAN dapat memainkan peran lebih besar
dalam memnuhi kebutuhan China terhadap produk impor bahan mentah dan barang antara yang terus
berkembang. Untuk mensimulasikan dampak ACFTA, Chirathivat mengasumsikan bahwa ASEAN
dan China menghilangkan semua tarif dan hambatan perdagangan non-tarif, sehingga tidak ada
proteksi sama sekali. Dia menggunakan simulasi perkiraan dampak dari liberalisasi tarif dan non-tarif
ACFTA secara terpisah. Chirathivat menemukan bahwa liberalisasi tarif menyebabkan ekspor
ASEAN ke China meningkat sebesar 53%, sementara ekspor Cina ke ASEAN akan meningkat
sebesar 23%, dan total ekspor ASEAN akan naik sebesar 0,8%, sementara total ekspor China akan
naik sebesar 1,9%. Liberalisasi non-tarif akan meningkatkan ekspor ASEAN ke China sebesar 187%
dan ekspor Cina ke ASEAN sebesar 34%, dan meningkatkan total ekspor ASEAN sebesar 2,1% dan
total ekspor China sebesar 6,6%.
Hasil simulasi juga menunjukkan dampak positif yang besar terhadap PDB riil dan
kesejahteraan bagi ASEAN dan China. Hasil keseluruhan menunjukkan keuntungan perdagangan
bersih untuk ASEAN dan China dimana penciptaan perdagangan lebih besar daripada pengalihan
perdagangan untuk ASEAN sementara untuk China hampir tidak ada pengalihan perdagangan.
Sejumlah studi lain juga melihat potensi dampak ACFTA. Laurenceson (2003) menemukan
bahwa tinggi integrasi antara ASEAN dan China sudah pada tingkat yang tinggi dalam barang dan
jasa, yang menyiratkan bahwa dampak ACFTA terhadap perdagangan mungkin sangat terbatas.
Analisis empiris dari Voon and Yue (2003) menunjukkan bahwa China memiliki keunggulan
kompetitif atas ASEAN dalam ekspor manufaktur ke Amerika Serikat dan keunggulan ini meningkat
setelah krisis keuangan Asia. Wong and Chan (2002) menunjukkan bahwa China merupakan
ancaman yang lebih kompetitif bagi perekonomian ASEAN karena akan mengangkat rantai nilai
manufaktur (manufacturing value chain) dari produk padat karya (labor intensive) menjadi padat
modal dan teknologi (capital and technology intensive). Liu and Luo (2004) menggunakan model
pangsa pasar (market share model) untuk menilai persaingan perdagangan antara ASEAN dan China,
dan menemukan bahwa Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang menghadapi
persaingan perdagangan dengan China untuk kategori barang-barang manufaktur. Mereka juga
menyimpulkan bahwa untuk ASEAN peluang yang timbul dari perdagangan dengan China
meningkat jauh lebih besar daripada tantangan kompetitif yang ditimbulkan oleh China.
3 Berdasarkan hasil studi Chirathivat (2002) yang berjudul “ASEAN-China Free Trade Area: Background, Implications and Future Development”
-
21
Trade Creation vs. Trade Diversion dalam AKFTA4
Gambar 3.1 berikut ini menggambarkan efek penciptaan perdagangan dan pengalihan perdagangan,
yang dihitung sebagai persentase penyimpangan dari nilai dasar volume perdagangan, masing-
masing dengan negara anggota dan nonanggota AKFTA. Penciptaan perdagangan yang positif berarti
ekspansi perdagangan dalam area perdagangan bebas, sementara pengalihan perdagangan negatif
berarti pengurangan perdagangan dengan nonanggota. Untuk area perdagangan bebas secara
keseluruhan, perdagangan di antara negara-negara anggota AKFTA akan naik sebesar 18,1%
sedangkan perdagangan dengan non-anggota akan turun hanya sebesar 2,2%.
Gambar 3.1 Trade Creation and Diversion Effects of AKFTA
Seperti yang diharapkan, AKFTA akan mempercepat perdagangan antara ASEAN dan Korea.
Indonesia dan Malaysia akan menikmati sekitar setengah dari pertumbuhan perdagangan antara
ASEAN dan Korea. AKFTA akan menggeser neraca perdagangan ke arah yang menguntungkan
ASEAN, dimana ekspor ke Korea akan meningkat sebesar 20% dan impor dari Korea akan turun 3%.
Neraca perdagangan bilateral negara-negara ASEAN dengan Korea akan meningkat. Lebih spesifik,
(i) Indonesia, Malaysia dan, pada tingkat lebih rendah, negara-negara CLM (Cambodia, Laos,
Myanmar) akan mengalami peningkatan surplus perdagangan, (ii) Thailand akan mengalami
4 Berdasarkan hasil studi Park et al. (2008) yang berjudul “Is the ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) an Optimal Free Trade Area?”
-
22
pergeseran neraca perdagangan dari negatif ke positif, dan (iii) Philippines, Singapura, dan Vietnam
akan mengalami penurunan defisit perdagangan (lihat Gambar 3.2). Akibatnya, total neraca
perdagangan ASEAN dengan Korea akan bergeser dari negatif sebelum AKFTA menjadi positif
setelah pelaksanaannya.
Gambar 3.2 Bilateral Trade with Republic of Korea ($ billion)
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Dari berbagai uraian di atas, maka didapatkan beberapa poin penting yang perlu dicatat:
1) Semakin tinggi utilization rate, semakin besar impor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan
tarif preferensi (preference-eligible imports) yang benar-benar masuk dengan menggunakan tarif
preferensi daripada menggunakan tarif MFN. Selain itu, semakin tinggi utilization rate juga
bermakna bahwa biaya kepatuhan (compliance costs) dari ketentuan asal barang semakin tidak
menjadi penghambat.
2) Dari hasil perhitungan dihasilkan bahwa utilization rate yang digunakan untuk mengukur tingkat
daya tarik dari rezim preferensial relatif terhadap tarif MFN didapati hasil yang berkisar antara
30-35% untuk AFTA, ACFTA, AKFTA, dan IJEPA kecuali AIFTA yang memiliki utilization
-
23
rate jauh lebih rendah yaitu hanya sebesar 6,05%. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa utilization
rate secara umum masih relatif sangat rendah.
3) Beberapa kemungkinan yang menyebabkan rendahnya persentase importasi yang menggunakan
tarif preferensi daripada tarif MFN, antara lain:
a) Tarif preferensial tidak terlalu menarik karena perbedaannya dengan tarif MFN tidak
signifikan.
b) Prosedur yang harus dijalani untuk dapat menggunakan tarif preferensial dianggap cukup
menyulitkan (compliance cost tinggi).
c) Kesalahan identifikasi dalam sistem komputer pabean yang merekam data PIB dalam hal
importasi menggunakan beberapa skema fasilitas.
4) Untuk itu diperlukan studi lanjut yang fokus untuk mengkaji penyebab rendahnya utilization rate
sehingga dapat diketahui secara rinci dan pasti permasalahannya dan aspek kebijakan yang
mungkin dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.
-
24
Appendix: Penghitungan Utility Rate
AFTA:
Bulan Impor dengan Tarif
Preferensial
Impor dengan Tarif
Umum Total Utility Rate
Jan-11 730.953.985,99 1.883.684.155,44 2.614.638.141,43 27,96%
Feb-11 931.246.931,58 1.830.938.129,14 2.762.185.060,73 33,71%
Mar-11 1.175.276.956,98 2.342.408.912,30 3.517.685.869,29 33,41%
Apr-11 953.421.360,49 2.060.445.497,86 3.013.866.858,35 31,63%
May-11 878.992.212,23 1.917.155.754,04 2.796.147.966,27 31,44%
Jun-11 946.440.480,96 2.035.124.887,40 2.981.565.368,36 31,74%
Jul-11 997.988.225,78 2.350.118.943,98 3.348.107.169,76 29,81%
Aug-11 920.590.319,35 2.453.597.572,93 3.374.187.892,29 27,28%
Sep-11 1.023.103.107,18 2.479.924.003,38 3.503.027.110,56 29,21%
Oct-11 1.039.595.257,63 2.415.919.566,49 3.455.514.824,12 30,09%
Nov-11 862.509.579,66 2.712.755.414,75 3.575.264.994,42 24,12%
Dec-11 861.921.128,44 2.193.038.453,98 3.054.959.582,42 28,21%
Jan-12 862.532.783,70 2.023.641.932,81 2.886.174.716,51 29,88%
Feb-12 996.198.216,38 2.133.177.737,75 3.129.375.954,12 31,83%
Mar-12 1.101.008.672,60 2.531.152.868,87 3.632.161.541,47 30,31%
Apr-12 992.005.777,51 2.521.670.235,27 3.513.676.012,79 28,23%
May-12 1.172.922.403,17 1.874.134.837,77 3.047.057.240,94 38,49%
Rata-rata 30,43%
ACFTA:
Bulan Impor dengan Tarif
Preferensial
Impor dengan Tarif
Umum Total Utility Rate
Jan-11 477.537.359,12 1.158.416.508,01 1.635.953.867,13 29,19%
Feb-11 421.192.783,66 877.718.097,83 1.298.910.881,49 32,43%
Mar-11 536.011.494,59 1.147.758.675,67 1.683.770.170,26 31,83%
Apr-11 591.149.135,45 1.191.189.878,44 1.782.339.013,89 33,17%
May-11 639.901.270,47 1.326.760.351,86 1.966.661.622,33 32,54%
Jun-11 642.089.649,22 1.318.945.263,73 1.961.034.912,95 32,74%
Jul-11 672.010.138,38 1.210.800.953,16 1.882.811.091,53 35,69%
Aug-11 594.670.815,67 1.117.578.128,02 1.712.248.943,69 34,73%
Sep-11 629.315.930,09 1.273.865.459,67 1.903.181.389,76 33,07%
Oct-11 583.251.144,17 1.198.847.671,35 1.782.098.815,51 32,73%
Nov-11 664.973.180,28 1.401.919.199,73 2.066.892.380,01 32,17%
Dec-11 705.796.930,92 1.301.683.057,41 2.007.479.988,33 35,16%
Jan-12 803.542.125,51 1.206.793.464,44 2.010.335.589,95 39,97%
Feb-12 561.193.077,31 1.512.938.438,48 2.074.131.515,80 27,06%
Mar-12 759.770.366,08 1.144.093.442,81 1.903.863.808,89 39,91%
Apr-12 800.497.978,18 1.191.284.072,07 1.991.782.050,24 40,19%
May-12 885.464.251,54 1.355.872.732,25 2.241.336.983,79 39,51%
Rata-rata 34,24%
-
25
AKFTA:
Bulan Impor dengan Tarif
Preferensial
Impor dengan Tarif
Umum Total Utility Rate
Jan-11 87.170.831,12 233.098.452,98 320.269.284,10 27,22%
Feb-11 89.978.899,16 197.340.430,19 287.319.329,35 31,32%
Mar-11 122.717.381,94 282.486.068,55 405.203.450,49 30,29%
Apr-11 128.468.928,95 193.571.068,43 322.039.997,38 39,89%
May-11 122.283.183,24 215.479.077,10 337.762.260,34 36,20%
Jun-11 115.846.453,95 218.931.105,12 334.777.559,07 34,60%
Jul-11 138.937.484,12 253.599.857,01 392.537.341,13 35,39%
Aug-11 130.279.299,34 268.510.004,90 398.789.304,24 32,67%
Sep-11 155.363.456,88 299.670.290,77 455.033.747,65 34,14%
Oct-11 155.083.262,54 274.071.301,77 429.154.564,31 36,14%
Nov-11 162.136.425,67 394.771.180,25 556.907.605,92 29,11%
Dec-11 165.448.765,67 413.104.591,47 578.553.357,14 28,60%
Jan-12 151.298.274,04 279.355.877,01 430.654.151,05 35,13%
Feb-12 146.412.892,50 325.458.589,56 471.871.482,06 31,03%
Mar-12 153.427.958,26 383.293.172,31 536.721.130,57 28,59%
Apr-12 163.035.878,25 390.324.869,19 553.360.747,44 29,46%
May-12 161.195.129,89 344.538.836,44 505.733.966,33 31,87%
Rata-rata 32,45%
IJEPA:
Bulan Impor dengan Tarif
Preferensial
Impor dengan Tarif
Umum Total Utility Rate
Jan-11 259.292.293,25 828.571.602,78 1.087.863.896,03 23,83%
Feb-11 306.076.925,64 782.177.924,73 1.088.254.850,37 28,13%
Mar-11 355.531.546,87 955.883.533,38 1.311.415.080,25 27,11%
Apr-11 320.032.752,00 725.388.716,71 1.045.421.468,70 30,61%
May-11 343.040.938,20 706.716.752,18 1.049.757.690,38 32,68%
Jun-11 389.337.811,23 913.208.389,75 1.302.546.200,98 29,89%
Jul-11 440.341.098,36 1.017.598.530,67 1.457.939.629,03 30,20%
Aug-11 435.318.126,66 928.405.605,01 1.363.723.731,67 31,92%
Sep-11 431.948.274,19 1.011.556.036,90 1.443.504.311,09 29,92%
Oct-11 483.005.670,36 1.009.236.124,73 1.492.241.795,09 32,37%
Nov-11 481.912.690,41 1.093.265.028,81 1.575.177.719,21 30,59%
Dec-11 457.779.653,52 1.111.753.421,12 1.569.533.074,64 29,17%
Jan-12 481.148.740,56 942.496.447,75 1.423.645.188,31 33,80%
Feb-12 503.566.183,42 1.054.071.954,74 1.557.638.138,16 32,33%
Mar-12 525.412.351,09 1.232.983.056,79 1.758.395.407,89 29,88%
Apr-12 536.237.669,60 1.152.725.984,20 1.688.963.653,80 31,75%
May-12 509.146.769,02 1.050.651.954,41 1.559.798.723,44 32,64%
Rata-rata 30,40%
-
26
AIFTA:
Bulan Impor dengan Tarif
Preferensial
Impor dengan Tarif
Umum Total Utility Rate
Jan-11 7.524.234,70 221.629.720,74 229.153.955,44 3,28%
Feb-11 20.488.641,07 310.770.702,67 331.259.343,74 6,19%
Mar-11 18.513.706,47 383.354.141,14 401.867.847,61 4,61%
Apr-11 24.608.884,22 346.561.522,12 371.170.406,34 6,63%
May-11 17.646.391,52 407.135.274,14 424.781.665,66 4,15%
Jun-11 17.721.650,91 311.675.531,83 329.397.182,74 5,38%
Jul-11 23.468.406,43 335.823.878,65 359.292.285,08 6,53%
Aug-11 21.854.593,55 267.204.300,75 289.058.894,30 7,56%
Sep-11 13.580.462,19 280.181.508,68 293.761.970,87 4,62%
Oct-11 16.304.203,00 319.109.499,41 335.413.702,41 4,86%
Nov-11 15.328.018,05 310.183.182,47 325.511.200,52 4,71%
Dec-11 13.470.931,56 303.516.699,26 316.987.630,81 4,25%
Jan-12 12.525.654,30 273.546.387,80 286.072.042,10 4,38%
Feb-12 27.275.095,23 359.656.877,08 386.931.972,32 7,05%
Mar-12 31.185.406,99 317.449.273,70 348.634.680,69 8,95%
Apr-12 37.485.746,89 276.369.029,65 313.854.776,54 11,94%
May-12 21.104.887,85 316.325.353,33 337.430.241,17 6,25%
Rata-rata 5,96%
-
27
BAB IV
ESTIMASI DAMPAK IJEPA DAN ACFTA: METODE
EKONOMETRI ARIMA
PENDAHULUAN
Setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) diberlakukan, penting bagi para pembuat kebijakan
untuk memperhitungkan dampaknya. Dampak sebenarnya dari pemberlakuan FTA mungkin sangat
berbeda dari proyeksi sebelumnya. Tujuan bab ini adalah untuk menyajikan metode evaluasi dampak
suatu FTA setelah perjanjian berlaku efektif (metode ex-post).
China dan Japan merupakan negara-negara mitra dagang utama Indonesia, terutama untuk
perdagangan barang. Berdasarkan data BPS bulan Januari-Juli 2012, China merupakan negara
peringkat pertama tujuan ekspor barang non migas Indonesia sebesar US$ 12,02 miliar atau 13,36%
dari total ekspor Indonesia. Japan berada di peringkat kedua dengan ekspor sebesar US$ 10,24 miliar
atau 11,39% dari total ekspor Indonesia. China merupakan mitra FTA pertama Indonesia di luar
kesepakatan FTA Indonesia terdahulu dengan ASEAN. Kesepakatan Indonesia bersama negara
ASEAN lainnya dengan China terikat dalam perjanjian yang disebut ASEAN-China FTA. Sementara
itu, tidak lama setelah China bermitra dengan ASEAN (dan Indonesia di dalamnya), Japan menjadi
mitra Indonesia pertama dalam bilateral FTA yang disebut dengan skema IJEPA (Indonesia-Japan
Economic Partnership Agreement).
METODOLOGI
Setelah berlakunya FTA dengan kedua mitra dagang utama Indonesia tersebut, penting untuk
mengevaluasi dampak dari kedua FTA setelah perjanjian berlaku efektif. Dalam perdagangan barang,
perlakuan berupa tarif khusus ACFTA (0 – 5%) berlaku efektif menurut Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area. Sebelum PMK tersebut, tarif NT masih
berada pada kisaran 5% - 20%. Penurunan tingkat tarif secara signifikan ini diasumsikan akan
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan nilai ekspor Indonesia dan China
sebagai dua negara yang terlibat dalam kesepakatan perdagangan barang ACFTA dan menjadi obyek
studi ini. Oleh karena itu, titik waktu 1 Januari 2009 sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 digunakan untuk mengevaluasi
-
28
pengaruh dari skema ACFTA terhadap Indonesia dan China dari sisi kontribusi ekspor bagi
pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhannya.
Sedangkan IJEPA berlaku efektif berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
95/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka Persetujuan Antara Republik
Indonesia Dan Japan Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2008.
Dengan demikian, titik waktu 1 Juli 2008 sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 95/PMK.011/2008 digunakan untuk mengevaluasi pengaruh
dari skema IJEPA terhadap Indonesia dan Japan dari sisi kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional
dan peningkatan pertumbuhannya.
Guna mengetahui dampak dari skema IJEPA dan ACFTA terhadap ekspor Indonesia dan
negara mitra digunakan kerangka pemikiran berikut. Pada fase setelah berlaku skema tarif khusus
perdagangan barang ACFTA atau IJEPA, dilakukan forecasting berdasarkan nilai ekspor sebelum
berlaku skema tarif khusus. Hasil forecasting ini dibandingkan dengan nilai perdagangan aktual
setelah berlaku skema tarif khusus. Selisih keduanya akan menjadi dampak dari berlakunya
perjanjian ACFTA atau IJEPA. Kerangka pemikiran dari simulasi dampak IJEPA dan ACFTA
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 4.1 Kerangka Pemikiran
Kondisi Aktual Dengan Skema Tarif IJEPA/ACFTA (i)
Simulasi Kondisi Tanpa Skema Tarif IJEPA/ACFTA (ii)
Nilai ekspor
dalam
hubungan
perdagangan
kedua negara
pada periode
1 Juli 2008 –
30 Juni 2011
pada kondisi
aktual dan
kondisi
simulasi
diperbanding-
kan
dd/mm/yy
Skema Tarif
IJEPA/ACFTA mulai
berlaku
Tahun ... Tahun... Tahun ... Tahun ...
Tidak ada skema
tarif IJEPA/ACFTA
Tahun ... Tahun... Tahun ... Tahun ...
-
29
Analisis yang digunakan untuk forecasting dalam kajian ini adalah model ekonometrika
ARIMA atau yang secara populer lebih dikenal dengan sebutan metodologi Box-Jenkins.
Karakteristik dari model ARIMA adalah model tersebut memberikan penekanan pada sifat-sifat
probabilistik atau stokastik dari runtun waktu ekonomi dengan menggunakan data yang bersangkutan
untuk menentukan arah kecenderungannya sendiri tanpa melibatkan data lainnya (Gujarati, 2009).
Dalam model regresi, Y dijelaskan oleh k variabel bebas X1, X2, X3, ... , Xk. Sedangkan dalam
model ARIMA, Y dijelaskan oleh nilai-nilai Y sendiri di waktu sebelumnya. Mengutip Gujarati
(2009 p.778),”Salah satu dasar popularitas pemodelan ARIMA adalah keberhasilannya dalam
peramalan. Dalam banyak kasus, hasil ramalan yang dihasilkan metode ini lebih andal daripada
hasil ramalan yang dihasilkan pemodelan ekonometrik tradisional, khususnya dalam jangka pendek.
Namun, tentunya setiap kasus mesti dicek.
Gambar 4.2 Metodologi Box-Jenkins
Sumber: Gujarati (2009)
Kajian ini menggunakan model multiplicative ARIMA, suatu kombinasi dari model
Autoregressive (AR), differencing, dan moving average/rata-rata bergerak (MA) yang dinotasikan
dengan ARIMA (p, d, q).
Ya
Tidak
(Kembali ke
Langkah 1)
Langkah 1: Identifikasi model
(Pilih tentative p,d,q)
Langkah 2: Estimasi parameter
model terpilih
Langkah 3: Pemeriksaan diagnostic
Apakah estimasi residual white-noise?
Langkah 4: Peramalan
-
30
Yt = θ + α1 (Yt–1 - δ) + α2 (Yt–2 - δ) + ... + αp (Yt–p - δ) + β0 ut + β1 ut-1 + β2 ut-2 + ... + βq ut-q
............... (Pers. 1)
Dalam ekonometrika, data yang dimasukkan ke dalam model ARMA tersebut di atas harus
terlebih dulu harus stasioner. Untuk itu data yang non-stasioner perlu ditransformasi melalui
differencing sebanyak d kali hingga data time series tersebut menjadi stasioner.
Δ Yt = Yt - Yt–1 (differencing pertama)
Δ Yt-1 = Yt-1 - Yt–2 (differencing kedua) dan seterusnya ............... (Pers. 2)
Data time series non-stasioner yang telah mengalami differencing sebanyak d kali untuk
membuatnya stasioner dan kemudian data time series tersebut diproses dengan model ARMA (p,q),
maka data time series tersebut telah melalui proses model ARIMA (p,d,q).
Data time series selanjutnya dimasukkan ke dalam estimasi model terbaik untuk dapat
diketahui hasil simulasinya berupa nilai ekspor Indonesia ke Japan dan nilai ekspor Japan ke
Indonesia dalam hubungan perdagangan kedua negara seandainya tidak ada skema tarif IJEPA.
Kemudian hasil simulasi dibandingkan dengan nilai aktual pada periode yang sama di mana
perjanjian IJEPA telah efektif berlaku. Dari proses pembandingan ini akan dapat dihitung seberapa
besar dampak dari skema tarif perjanjian IJEPA terhadap ekspor Indonesia ke Japan dan dan juga
ekspor Japan ke Indonesia. Selain itu walau kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan,
akan dapat diketahui di antara keduanya pihak mana yang menerima keuntungan lebih dibandingkan
mitranya.
Asumsi pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema tarif ACFTA merupakan
satu-satunya faktor ekonomi yang berpengaruh signifikan pada periode pengamatan 1 Januari 2009 –
31 Desember 2011, sementara skema tarif IJEPA merupakan satu-satunya faktor ekonomi yang
berpengaruh signifikan pada periode pengamatan 1 Juli 2008 – 30 Juni 2011. Dengan demikian,
faktor-faktor ekonomi lain yang mungkin mempengaruhi perdagangan Indonesia dan Japan pada
periode tersebut bersifat tetap (ceteris paribus) atau tidak signifikan sehingga dapat diabaikan. Dalam
proses pengolahan dan analisis tersebut di atas digunakan software ekonometrika Eviews versi 6.
-
31
DATA DAN ANALISIS
Ekspor Indonesia ke Japan
Data yang digunakan untuk input model ARIMA adalah data ekspor time series Indonesia ke Japan
periode Januari 1990 - Juni 2011, sedangkan data untuk forecasting digunakan data Juli 2008 – Juni
2011, yang merupakan data periode pengamatan. Titik awal periode pengamatan adalah 1 Juli 2008,
sehingga tahun pengamatan pertama akan berakhir pada 30 Juni 2009. Selanjutnya tahun pengamatan
kedua akan berawal pada tanggal 1 Juli 2009 dan berakhir pada 30 Juni 2010, dan seterusnya hingga
tahun pengamatan ketiga sebagai tahun terakhir pengamatan.
Gambar 4.3 Ekspor Indonesia ke Japan Periode Januari 1990 – Oktober 2011
Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC (2012)
Data ekspor Indonesia ke Japan pada gambar 4-3 mengindikasikan kondisi non-stasionernya
data input model. Prakondisi peramalan time series metode ekonometrika selalu mensyaratkan
stasioneritas dari data yang menjadi input model. Pengecekan lebih rinci dengan correllogram dan
Augmented-Dickey Fuller Test sebagai unit root test menegaskan keyakinan tersebut.
-
32
Gambar 4.4 Model Ekspor Indonesia ke Japan Tanpa Skema IJEPA
(ARIMA D=1, P=8, Q=8)
Sumber: Hasil analisis
Model ARIMA yang reasonable fit terhadap data ekspor Indonesia ke Japan kemudian
dihasilkan dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR
dan MA sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian. Identifikasi model tersebut
menghasilkan estimasi terbaik pada derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 8, dan
derajat moving average (MA) = 8. Gujarati (2009 p.782) menyatakan hasil pengidentifikasian model
dengan cara tersebut sudah memadai sehingga tidak perlu mencari model ARIMA lainnya.
Keyakinan tersebut ditegaskan oleh hasil pemeriksaan diagnostik melalui grafik first difference data
ekspor Indonesia ke Japan, correllogram residual model dan unit root test.
Krisis ekonomi dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Indonesia ke Japan.
Penurunan ekspor Indonesia ke Japan secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga
September 2010 akibat krisis, dan baru kembali normal sejak Oktober 2010. Efek krisis cukup berat
terasa sehingga pada saat itu telah meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA.
-
33
Mengingat adanya anomali akibat krisis tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan
yaitu data November 2008 – September 2010 tidak dapat digunakan sebagai data pembanding
dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah
pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011 (lihat gambar 4-5).
Gambar 4.5 Nilai Ekspor Indonesia Ke Japan Aktual Dengan IJEPA
Dan Estimasi Hasil Simulasi Tanpa IJEPA (dalam US$ 000)
Sumber: Hasil analisis
Berdasarkan data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Indonesia ke Japan rata-rata tumbuh
sebesar 14,29% per tahunnya. Dari hasil simulasi dapat diketahui bahwa nilai ekspor tanpa skema
tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 9,06% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak
pada peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ke Japan sebesar 5,23% (secara persentase) atau
menjadikan pertumbuhan ekspor 1,58 kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema tarif IJEPA.
Dengan asumsi tingkat pertumbuhan tetap sebesar 14,29% per tahun, dalam dua tahun mendatang
(Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013) nilai ekspor Indonesia ke Japan berpotensi
meningkat masing-masing menjadi US$ 38,326,660,120 dan US$ 43,802,599,468,189.
Walau secara nominal dan persentase, Indonesia mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke
Japan yang positif akibat IJEPA, pangsa Japan sebagai tujuan ekspor Indonesia terus mengalami
penurunan. Bila posisi Japan pada tahun 1995 masih memegang pangsa tujuan ekspor sebesar 28%,
pada tahun 2000 turun menjadi 23%, dan pada tahun 2010 terus turun menjadi 16%. Hal ini dapat
menunjukkan pasar ekspor Indonesia yang makin terdiversifikasi.
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
3,500,000
4,000,000
01
/19
90
12
/19
90
11
/19
91
10
/19
92
09
/19
93
08
/19
94
07
/19
95
06
/19
96
05
/19
97
04
/19
98
03
/19
99
02
/20
00
01
/20
01
12
/20
01
11
/20
02
10
/20
03
09
/20
04
08
/20
05
07
/20
06
06
/20
07
05
/20
08
04
/20
09
03
/20
10
02
/20
11
Ekspor RI ke JPN aktual
FORECAST
IJEPA berlaku
Krisis subprime mortgage
-
34
Tabel 4.1 Dampak IJEPA terhadap Nilai Ekspor Indonesia ke Japan
URAIAN Total Kontribusi Ekspor
(US$)
Dengan Skema IJEPA (p.a.) 33,535,290,000
Tanpa Skema IJEPA (p.a.) 30,807,930,000
Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) 2,727,360,000
Sumber: Hasil analisis
Ekspor Japan ke Indonesia
Untuk pemodelan dan menghasilkan output model ARIMA dari ekspor Japan ke Indonesia ditempuh
prosedur yang persis sama dengan model ARIMA ekspor Indonesia ke Japan terdahulu. Untuk input
model ARIMA digunakan data time series Januari 1990 – Juni 2011, sedangkan untuk simulasi
digunakan data time series Juli 2008 – Juni 2011.
Gambar 4.6 Grafik Ekspor Japan ke Indonesia (Januari 1990 – Oktober 2011)
Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC (2012)
Pemeriksaan visual atas data ekspor Japan ke Indonesia pada grafik dalam gambar 4-6
menunjukkan data awal belum dapat digunakan sebagai data input model mengingat data masih non-
stasioner. Dugaan ini kemudian dipertegas oleh analisis correllogram dan hasil dari unit root test.
-
35
Melalui proses pengidentifikasian model sebagaimana dijelaskan pada metodologi penelitian
dihasilkan model ARIMA yang sesuai dengan terhadap data ekspor Japan ke Indonesia. Dalam
model tersebut dihasilkan derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 12, dan derajat
moving average (MA) = 1. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dengan grafik first difference,
analisis correllogram model residual, dan dua unit root test yakni ADF test dan PP test mempertegas
keyakinan telah memadainya model tersebut (Gujarati, 2009 p. 782).
Gambar 4.7 Model Ekspor Japan ke Indonesia Tanpa Skema IJEPA
(ARIMA D=1, P=12, Q=1)
Sumber : Hasil analisis
Grafik ekspor Japan ke Indonesia pada gambar 4-6 di atas memperlihatkan krisis ekonomi
dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Japan ke Indonesia. Penurunan ekspor Japan ke
Indonesia secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga Mei 2010 akibat krisis, dan
baru kembali normal sejak Juni 2010. Efek krisis cukup berat terasa sehingga pada saat itu telah
meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA. Mengingat terjadinya anomali akibat krisis
tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan yaitu data November 2008 – Mei 2010 tidak
dapat digunakan sebagai data pembanding dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data
aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011.
-
36
Gambar 4.8 Data Time Series Aktual Dengan IJEPA Dan Estimasi Simulasi Nilai Ekspor
Japan Ke Indonesia Tanpa IJEPA (dalam US$ 000)
Sumber: Hasil analisis
Selama periode simulasi Juli 2010-Juni 2011 setelah berlaku skema tarif preferensial IJEPA
total nilai ekspor aktual Japan ke Indonesia adalah US$ 17,982,250,000. Pada periode yang sama
berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada skema tarif preferensial IJEPA, total nilai ekspor Japan ke
Indonesia akan sedikit lebih rendah yaitu sebesar US$ 17,888,760,000. Dampak yang diberikan
dengan adanya skema tarif preferensial IJEPA bagi ekspor Japan ke Indonesia adalah meningkatnya
total nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata sebesar US$ 93,490,000 per tahunnya.
Bersumber analisis data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata
tumbuh sebesar 33,61% per tahunnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai ekspor tanpa skema
tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 33,17% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak
pada peningkatan pertumbuhan ekspor Japan ke Indonesia sebesar 0,43% (secara persentase) atau
menjadikan pertumbuhan ekspor hanya 1,01 kali lipat kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema
tarif IJEPA. Secara makro bagi negara Japan, angka sebesar ini jelas bukan merupakan angka yang
bagus dalam menunjukkan signifikansi dari dampak IJEPA terhadap ekspornya ke Indonesia.
0
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
1,400,000
1,600,000
1,800,000
2,000,000 0
1/1
99
0
12
/19
90
11
/19
91
10
/19
92
09
/19
93
08
/19
94
07
/19
95
06
/19
96
05
/19
97
04
/19
98
03
/19
99
02
/20
00
01
/20
01
12
/20
01
11
/20
02
10
/20
03
09
/20
04
08
/20
05
07
/20
06
06
/20
07
05
/20
08
04
/20
09
03
/20
10
02
/20
11
Ekspor JPN ke RI aktual
forecast
IJEPA berlaku
awal krisis subprime mortgage
-
37
Tabel 4.2 Dampak IJEPA terhadap Nilai Ekspor Japan ke Indonesia
URAIAN Total Kontribusi Ekspor
(US$)
Dengan Skema IJEPA (p.a.) 17,982,250,000
Tanpa Skema IJEPA (p.a.) 17,888,760,000
Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) 93,490,000
Sumber: Hasil analisis
Dengan tingkat pertumbuhan diasumsikan tetap sebesar 17,93% per tahun, dalam dua tahun
mendatang (Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013), nilai ekspor Indonesia ke Japan
berpotensi meningkat masing-masing menjadi US$24,025,186,526 dan US$32,098,852,347,266.
Secara nominal dan persentase, Japan mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke Indonesia
yang positif akibat IJEPA walau tidak terlalu signifikan. Pangsa Japan sebagai negara asal impor
Indonesia mengalami pasang surut. Bila posisi Japan pada tahun 1995 masih memegang pangsa
negara asal impor sebesar 23%, pada tahun 2000 turun menjadi 9%, dan kembali naik di tahun 2010
menjadi 12%.
Ekspor Indonesia ke China
Gambar 4.9 Ekspor Indonesia ke China Periode Januari 1990 – September 2011
Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC
Dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR dan
MA sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian dihasilkan model ARIMA yang reasonable
-
38
fit terhadap data ekspor Indonesia ke China. Dalam model tersebut dihasilkan derajat differencing (d)
= 2, derajat autoregressive (AR) = 12, dan derajat moving average (MA) = 12.5
Setelah model ARIMA ini diperoleh menurut langkah-langkah dalam metodologi penelitian,
Gujarati (2009:782) menyatakan model tersebut sudah memadai sehingga tidak perlu mencari model
ARIMA lainnya. Hasil diagnostic checking melalui grafik second difference data ekspor Indonesia ke
China, correllogram residual model, dan dua unit root test yakni ADF test dan PP test menguatkan
keyakinan tersebut.
Jumlah nilai ekspor aktual Indonesia ke China selama periode Januari 2009 – Desember 2011 -
masa tiga tahun setelah berlaku skema preferential tariff ACFTA - mencapai US$50,198,467,238.
Berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada skema preferential tariff ACFTA pada periode yang sama,
total nilai ekspor Indonesia ke China akan sedikit lebih rendah yaitu US$49,849,336,667. Dengan
demikian, adanya skema preferential tariff ACFTA memberikan dampak peningkatan total nilai
ekspor Indonesia ke China net pada periode tersebut sebesar US$ 349,130,571 atau rata-rata US$
116,376,857 per tahunnya.
Gambar 4.10 Nilai Ekspor Indonesia Ke China Aktual Dengan Skema Tarif ACFTA dan
Estimasi Hasil Simulasi Tanpa Skema Tarif ACFTA (dalam US$ 000)
Sumber: Hasil analisis
5 Di atas ARMA (11,11), Eviews versi 6 mampu mengidentifikasi ARIMA (p, d, q), namun tidak mampu untuk menggenerate estimasi equation-nya, sehingga estimasi persamaan model tidak bisa ditampilkan
0
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
01
/19
90
12
/19
90
11
/19
91
10
/19
92
09
/19
93
08
/19
94
07
/19
95
06
/19
96
05
/19
97
04
/19
98
03
/19
99
02
/20
00
01
/20
01
12
/20
01
11
/20
02
10
/20
03
09
/20
04
08
/20
05
07
/20
06
06
/20
07
05
/20
08
04
/20
09
03
/20
10
02
/20
11
ekspor RI ke Cina (aktual)
forecast
ACFTA berlaku
krisis subprime mortgage
-
39
Nilai ekspor Indonesia ke China telah meningkat sebesar 66,10% atau rata-rata tumbuh sebesar
22,03% per tahunnya dalam tiga tahun terakhir pada masa ACFTA telah berlaku. Tingkat
pertumbuhan tersebut masih di bawah periode 2006-2008 (pra ACFTA) yang tercatat sebesar 30,2%
per tahun. Lonjakan kenaikan tajam pada periode 2009-2011 (pasca ACFTA) tercatat terjadi pada
periode 3 sebesar US$ 5,4 miliar hingga menyebabkan nilai ekspor periode 3 pasca ACFTA
mencapai 1,7 kali lipat dari periode 3 pra ACFTA.
Selanjutnya dengan membandingkan antara data simulasi pasca ACFTA periode 3 dan data
aktual pra ACFTA pada periode yang sama dapat diketahui bahwa tanpa ACFTA nilai ekspor
Indonesia ke China akan tumbuh lebih kecil yakni sebesar 48,6% saja atau rata-rata tumbuh sebesar
16,2% per tahunnya saja. Dengan demikian kondisi berlakunya skema tarif ACFTA memberikan
dampak pada peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ke China sebesar 5,83% (secara persentase)
per tahun atau meningkatkan pertumbuhan ekspor menjadi 1,36 kali lipat dibandingkan bila skema
tarif ACFTA tidak berlaku.
Tabel 4.3 Peningkatan Nilai Ekspor Indonesia ke China Sebagai Dampak ACFTA
URAIAN Peningkatan nilai ekspor
Tanpa Skema ACFTA 16,20% p.a.
Dengan Skema ACFTA 22,03% p.a.
Peningkatan nilai ekspor sebagai dampak ACFTA 5,83% p.a.
Derajat peningkatan pertumbuhan ekspor sebagai dampak ACFTA 1,36 kali lipat p.a.
Sumber: Hasil analisis
Untuk proyeksi ke depan bila diasumsikan dalam dua tahun mendatang tingkat pertumbuhan
tetap sebesar 22,03% per tahun, nilai ekspor Indonesia ke China berpotensi meningkat masing-
masing menjadi US$25,737,647,279 periode Januari - Desember 2012 dan US$31,408,156,032
pada periode Januari – Desember 2013.
Ekspor China ke Indonesia
Dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR dan MA
sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian dihasilkan model ARIMA yang reasonable fit
terhadap data ekspor China ke Indonesia. Dalam model tersebut dihasilkan derajat differencing (d) =
1, derajat autoregressive (AR) = 3, dan derajat seasonal autoregressive (SAR) = 3.
-
40
Gambar 4.11 Ekspor China ke Indonesia (Januari 1990 – Oktober 2011)
Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC
Gambar 4-12. Hasil Model Ekspor China ke Indonesia (ARIMA p=3, d=1, bp=3)
Sumber: Hasil analisis
Hasil diagnostic checking antara lain menegaskan keyakinan bahwa model tersebut sudah
memadai sehingga tidak perlu mencari model ARIMA lainnya (Gujarati, 2009 p.782).
-
41
Gambar 4.13 Nilai Ekspor China ke Indonesia Aktual dengan Skema Tarif ACFTA dan
Estimasi Hasil Simulasi Tanpa Skema Tarif ACFTA (dalam US$ 000)
Sumber: Hasil analisis
Dari data statistik, total nilai ekspor aktual China ke Indonesia selama periode Januari 2009 –
Desember 2011 yang merupakan masa 3 tahun setelah berlaku skema preferential tariff ACFTA
mencapai US$ 64,976,034,000. Pada periode yang sama berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada
skema preferential tariff ACFTA, total nilai ekspor Indonesia ke China akan lebih rendah yaitu US$
48,101,948,000. Jadi adanya skema preferential tariff ACFTA memberikan dampak peningkatan
total nilai ekspor Indonesia ke China net selama 3 tahun sejak berlakunya ACFTA sebesar US$
16,874,086,000 atau rata-rata US$ 5,624,695,000 per tahunnya.
Dengan membandingkan antara data aktual pasca ACFTA periode 3 dan data aktual pra
ACFTA periode yang sama dapat diketahui bahwa nilai ekspor China ke Indonesia telah meningkat
sebesar 63,98% atau rata-rata tumbuh sebesar 21,33% per tahunnya. Tingkat pertumbuhan tersebut
masih di bawah periode 2006-2008 (pra ACFTA) yang tercatat sebesar 56% per tahun. Kenaikan
signifikan sebesar US$ 5,2 miliar menyebabkan tingginya nilai ekspor pada periode 3 pasca ACFTA
hingga mencapai 1,6 kali lipat dari periode 3 pra ACFTA.
-
500,000
1,000,000
1,500,000
2,000,000
2,500,000
3,000,000
01
/19
90
01
/19
91
01
/19
92
01
/19
93
01
/19
94
01
/19
95
01
/19
96
01
/19
97
01
/19
98
01
/19
99
01
/20
00
01
/20
01
01
/20
02
01
/20
03
01
/20
04
01
/20
05
01
/20
06
01
/20
07
01
/20
08
01
/20
09
01
/20
10
01
/20
11
ekspor Cina ke RI aktual
forecast
ACFTA berlaku
awal krisis subprime mortgage
-
42
Tabel 4.4 Peningkatan Nilai Ekspor China ke Indonesia Sebagai Dampak ACFTA
URAIAN Peningkatan Nilai Ekspor
Tanpa Skema ACFTA 2,77% p.a.
Dengan Skema ACFTA 21,33% p.a.
Peningkatan nilai ekspor sebagai dampak ACFTA 18,55% p.a.
Derajat peningkatan ekspor sebagai dampak ACFTA 7,7 kali lipat p.a.
Sumber: Hasil analisis
Selanjutnya dengan membandingkan antara data simulasi pasca ACFTA periode 3 dan data
aktual pra ACFTA pada periode yang sama dapat diketahui bahwa nilai ekspor Cina ke Indonesia
tanpa ACFTA akan tumbuh lebih kecil yakni sebesar sebesar 8,32% saja atau rata-rata tumbuh
sebesar 2,77% per tahunnya. Dengan demikian kondisi berlakunya skema tarif ACFTA memberikan
dampak pada peningkatan ekspor China ke Indonesia sebesar 18,55% (secara persentase) per tahun
atau secara nominal meningkat menjadi 7,7 kali lipat kali lipat dibandingkan bila skema tarif
ACFTA tidak berlaku.
Untuk proyeksi ke depan bila diasumsikan dalam dua tahun mendatang tingkat pertumbuhan
tetap sebesar 21,33% per tahun, nilai ekspor China ke Indonesia berpotensi meningkat masing-
masing menjadi US$ 31,141,362,202 periode Januari - Desember 2012 dan US$ 37,782,341,229
pada periode Januari – Desember 2013.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Secara makro, Indonesia maupun Japan memetik manfaat dari penurunan tarif dan keterbukaan pasar
dalam IJEPA dalam tingkatan yang berbeda. Indonesia menerima tingkat manfaat yang lebih besar
dari Japan baik dari sisi naiknya kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional secara nominal dan
persentase dan berlipat gandanya tingkat pertumbuhan ekspor akibat keikutsertaannya dalam IJEPA.
Indonesia maupun China sama-sama memetik manfaat dari pemberlakuan skema tarif ACFTA.
Namun dalam konteks hubungan perdagangan barang kedua negara, China lebih dapat
mengoptimalkannya sehingga manfaat yang diterima dapat jauh lebih besar dibandingkan manfaat
yang diterima Indonesia. Bila diibaratkan upaya pengoptimalan manfaat ACFTA ini adalah suatu
kompetisi, maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia cukup jauh tertinggal dalam
persaingan mengoptimalkan manfaat ACFTA dibandingkan China. Walaupun demikian, dengan
-
43
adanya skema preferential tariff sektor barang ACFTA, manfaat secara jangka panjang terlihat dari
tren positif peningkatan aktivitas ekspor dalam hubungan perdagangan kedua Negara.
Berdasarkan analisis dampak IJEPA terhadap Indonesia dengan menggunakan model ARIMA,
dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah memberikan dampak terhadap peningkatan nilai
ekspor Indonesia ke Japan rata-rata sebesar US$2,727,360,000 per tahunnya. Angka tersebut
merupakan besar kontribusi langsung terhadap pendapatan nasional Indonesia. Pertumbuhan nilai
ekspor Indonesia ke Japan meningkat rata-rata sebesar 5,23% setiap tahunnya sebagai akibat dampak
IJEPA, yang berarti peningkatan 1,58 kali lipat dibandingkan bila Indonesia tidak mengikuti IJEPA.
Dari hasil analisis model ARIMA untuk Japan, dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah
memberikan dampak terhadap peningkatan nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata sebesar
US$93,490,000 per tahunnya yang juga merupakan kenaikan kontribusi nilai ekspor terhadap
pendapatan nasional Japan. Pertumbuhan nilai ekspor Japan ke Indonesia akibat IJEPA meningkat
tipis rata-rata sebesar 0,43% p.a. atau naik hanya 1,01 kali lipat dibandingkan bila Japan tidak
mengikuti IJEPA.
IJEPA dapat memberikan manfaat lebih bagi Indonesia dari sisi pembentukan modal melalui
penanaman modal langsung mengingat cakupannya yang menyeluruh termasuk di sektor barang,
jasa, dan investasi. Sifat complementarity produk ekspor Indonesia yang lebih baik dengan Japan
dibandingkan dengan negara-negara mitra Indonesia dalam AFTA memberikan peluang perolehan
manfaat IJEPA yang besar bagi Indonesia.
Dari sudut pandang Indonesia, berdasarkan analisis perbandingan kondisi dengan skema tarif
ACFTA dan hasil simulasi kondisi tanpa skema tarif ACFTA selama periode pengamatan 1 Januari
2009 sampai dengan 31 Desember 2011, dapat disimpulkan bahwa ACFTA berpengaruh pada
peningkatan kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional dan persentase pertumbuhannya.
Berdasarkan analisis menggunakan model ARIMA dapat disimpulkan bahwa skema tarif ACFTA
telah meningkatkan nilai ekspor Indonesia ke China rata-rata sebesar US$116,376,857 per tahunnya,
atau berkontribusi langsung terhadap pendapatan nasional Indonesia sebesar rata-rata
US$116,376,857 per tahun. Di luar efek langsung, kontribusi tersebut akan memberikan pula dampak
ikutan atau turunan yang ditransmisikan ke sektor-sektor ekonomi lain sehingga pada gilirannya turut
berkontribusi pada pendapatan nasional.
Dari persentase pertumbuhan, nilai ekspor Indonesia ke China yang berkontribusi terhadap
pendapatan nasional Indonesia meningkat rata-rata sebesar 5,83% setiap tahunnya sebagai akibat
dampak ACFTA. Hal ini berarti adanya peningkatan 1,36 kali lipat dibandingkan bila Indonesia tidak
mengikuti ACFTA.
-
44
Sementara itu dari sudut pandang China, skema tarif ACFTA telah meningkatkan kontribusi
ekspor China ke Indonesia bagi pendapatan nasional China rata-rata sebesar US$ 5,624,695,000 per
tahunnya. Besaran angka tersebut merupakan dampak langsung dari kontribusi nilai ekspor terhadap
pendapatan nasional China, sedangkan dampak tidak langsungnya yang akan terjadi di putaran-
putaran berikutnya akan menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor-sektor ekonomi lainnya, yang
pada akhirnya akan berkontribusi pada pendapatan nasional. Dari persentase pertumbuhan, skema
tarif ACFTA telah meningkatkan pertumbuhan kontribusi nilai ekspor bagi pendapatan nasional
China rata-rata sebesar 18,55% p.a. atau naik 7,7 kali lipat dibandingkan bila China tidak mengikuti
ACFTA.
Terkait keikutsertaan Indonesia dalam IJEPA, rekomendasi kebijakan yang disarankan adalah
sebagai berikut:
1. Keikutsertaan dalam IJEPA memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Japan, oleh karena itu
hubungan kemitraan tersebut perlu dilanjutkan dan ditingkatkan ke arah yang makin memberikan
manfaat bagi keduanya. Cara-cara yang dapat dipertimbangkan adalah pendalaman (intensifikasi)
dan perluasan (ekstensifikasi) komitmen, dan perluasan keanggotaan yang mengarah kepada FTA
yang luas di kawasan Asia.
2. Indonesia perlu mendorong produksi dari produknya yang memiliki keunggulan relatif tinggi
untuk dapat diekspor ke manca negara
3. Relatif tidak terlalu besarnya persentase pertumbuhan nilai ekspor Indonesia dan Japan sebagai
dampak keikutsertaan dalam IJEPA dapat menjadi indikasi belum optimalnya pemanfaatan
fasilitas tarif khusus IJEPA oleh eksportir-eksportir kedua negara, khususnya Indonesia.
Kurangnya informasi detil tentang implementasi termasuk waktu pemberlakuan, pemanfaatan
tarif preferensi, dan penerbitan sertifikat surat keterangan asal (SKA) barang dapat menjadi
beberapa faktor penyebab. Oleh karena itu jumlah dan kualitas sosialisasi skema tarif IJEPA perlu
ditingkatkan baik melalui tatap muka langsung maupun media komunikasi massal yang dapat
secara lebih efektif menginformasikan fasilitas tarif khusus kepada seluruh eksportir Indonesia ke
Japan.
Terkait keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA, rekomendasi kebijakan yang disarankan
adalah sebagai berikut :
1. Kebijakan Indonesia dalam mengikuti ASEAN-China FTA memberikan dampak positif bagi
Indonesia dan China. Oleh karena itu, hubungan kemitraan tersebut perlu dilanjutkan dan
ditingkatkan ke arah yang makin memberikan manfaat optimal bagi keduanya, khususnya
Indonesia yang tertinggal jauh dalam pengoptimalan manfaat ACFTA tersebut. Salah satu cara
untuk mengoptimalkan manfaat tersebut bisa melalui kesepakatan bilateral.
-
45
2. Salah satu strategi China menembus pasar Indonesia adalah dengan menguasai Standar Nasional
Indonesia (SNI). Tercatat per Maret 2011 China telah membeli dan menguasai 653 SNI dan
rencananya akan membeli 6.779 SNI lagi.6 Indonesia perlu lebih ekspansif ke pasar China dan
berupaya menguasai standar nasional China untuk mempermudah akses masuk ke pasar China.
Dari survei dampak ACFTA yang dilakukan Kementerian Perindustrian, tercatat lima sektor
industri paling terpukul oleh dampak ACFTA yaitu elektronik, furnitur, logam, permesinan, dan
tekstil. Perhatian khusus pemerintah perlu diberikan untuk setidaknya meminimalkan seriusnya
dampak sectoral adjustment yang terjadi pada kelima sektor tersebut. Keempat, adanya temuan
praktik dumping beberapa produk China7 perlu disikapi dengan tegas oleh pemerintah Indonesia
dengan segera melakukan kebijakan anti-dumping terhadap produk-produk tersebut.
6 Bisnis Indonesia (2011)
7 Media Indonesia (2011)
-
46
BAB V
ASEAN FREE TRADE AREA
PENDAHULUAN
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing
ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia
serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan akan
dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir
dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN Free
Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui: penurunan
tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif
lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk
menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia,
Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam
pada tahun 2015.
Produk yang dikategorikan dalam General Exception adalah produk-produk yang secara
permanen tidak perlu dimasukkan kedalam CEPT-AFTA, karena alasan keamanan nasional,
keselamatan, atau kesehatan bagi manusia, binatang dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-
obyek arkeologi dan budaya. Indonesia mengkategorikan produk-produk dalam kelompok senjata
dan amunisi, minuman beralkohol, dan sebagainya sebanyak 68 pos tarif sebagai General Exception.
Dengan demikian, AFTA sebagai suatu upaya bersama bagi negara-negara ASEAN yang
bertujuan untuk:
1. menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk
ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global;
2. menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI); dan
3. meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade).
Bagi kepentingan Indonesia, AFTA memiliki potensi manfaat dan tantangan sekaligus. Potensi
manfaat tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
-
47
1. Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, dengan total populasi di
kawasan ASEAN sebesar ± 500 juta jiwa dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam;
2. Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi pengusaha/produsen Indonesia yang
sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN
lainnya dan termasuk biaya pemasaran;
3. Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak
dengan tingkat harga dan mutu tertentu;
4. Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis di
negara anggota ASEAN lainnya.
Selain peluang manfaat tersebut di atas, AFTA juga memberikan tantangan bagi Indonesia.
Pengusaha/produsen Indonesia dituntut terus menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam
menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dari produk yang berasal
dari negara anggota ASEAN lai
top related