laporan hasil kajian · 9 masing menjadi 17,2 persen dan 9,46 persen. komposisi ekspor per negara...

149
LAPORAN HASIL KAJIAN Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership Agreement (EPA), dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi dengan Negara Mitra Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • LAPORAN HASIL KAJIAN

    Free Trade Agreement (FTA) dan Economic Partnership

    Agreement (EPA), dan Pengaruhnya terhadap Arus

    Perdagangan dan Investasi dengan Negara Mitra

    Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral

  • 1

    Daftar Isi

    Bab 1 Pendahuluan 2

    Bab 2 Kinerja Perdagangan Internasional 6

    Bab 3 FTA Preferential Indicators dan FTA Trade and Welfare Indicators 11

    Bab 4 Estimasi Dampak IJEPA, dan ACFTA: Metode Ekonometri ARIMA 27

    Bab 5 ASEAN Free Trade Area 46

    Bab 6 ASEAN-India Free Trade Agreement 73

    Bab 7 ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership 97

    Bab 8 ASEAN-ANZ Free Trade Area 115

    Bab 9 Penutup 131

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    LATAR BELAKANG

    Free Trade Agreement (FTA) merupakan suatu perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan antara

    suatu negara dengan negara lainnya. Pembentukan berbagai FTA merupakan akibat dari liberalisasi

    perdagangan yang tidak dapat dihindari oleh semua negara sebagai anggota masyarakat internasional.

    Hal inilah yang mendorong terbentuknya blok-blok perdagangan bebas. FTA dapat dibentuk secara

    bilateral, misalnya antara Amerika Serikat dengan Singapura, Amerika Serikat dengan Chile; Japan

    dengan Singapura; maupun regional seperti ASEAN Free Trade Area (AFTA), North America Free

    Trade Area (NAFTA) dan Uni Eropa.

    Pemerintah Indonesia meratifikasi pembentukan FTA bersama-sama dengan negara-negara

    yang tergabung dalam ASEAN untuk pertama kalinya pada tahun 2002. Dalam perkembangannya,

    ASEAN FTA melakukan kerjasama China (ASEAN-China FTA) pada tahun 2004, dengan Korea

    (ASEAN-Korea FTA) pada tahun 2007 dengan India (ASEAN-India FTA) pada tahun 2010, dengan

    Australia dan New Zealand (ASEAN- Australia - New Zealand FTA) pada tahun 2010 dan terakhir

    dengan Japan (ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership) pada tahun 2010.

    Tabel 1.1 Perkembangan Implementasi FTA oleh Indonesia

    No. FTA Regional FTA Entry

    Into Force

    Indonesia

    Entry Into

    Force

    1. ASEAN FTA 2002 2002

    2. ASEAN-China FTA 2004 2004

    3. ASEAN-Korea FTA 2007 2007

    4. ASEAN-India FTA 2010 2010

    5. ASEAN-Australia-New Zealand FTA 2010 2012

    6. ASEAN-JAPAN Comprehensive Economic Partnership 2010 -

    No. FTA Bilateral Entry Into Force

    1 Indonesia-Japan Economic Partnership 2007

    Dari tabel tersebut terlihat bahwa berbagai ratifikasi FTA ASEAN dengan berbagai Negara

    lain tersebut telah berlaku untuk Indonesia, namun masih ada yang dalam proses untuk ratifikasi

  • 3

    (Indonesia entry into force), misalnya untuk perjanjian ASEAN- Japan Comprehensive Economic

    Partnership (ASEAN-Japan CEP). Selain itu juga masih ada beberapa lagi potensi FTA yang masih

    dalam proses persiapan baik itu berupa penjajakan, pengkajian atau pun perundingan, diantaranya

    ialah: ASEAN-Uni Eropa FTA, ASEAN-USA FTA, ASEAN-Canada FTA dan Comprehensive

    Economic Partnership in East Asia (CEPEA).

    Secara empiris, perdagangan internasional dan investasi terbukti mampu mendorong terjadinya

    industrialisasi yang dapat menjadi engine pertumbuhan ekonomi, sebagaimana yang telah terjadi

    dalam sejarah pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat bagi Japan (1960-an), Hong Kong, Taiwan,

    Singapore dan the Republic of Korea (1970-an dan 1980-an), Malaysia, Indonesia dan Thailand

    (1980-an) dan China (1990-an). Secara teoritis, liberalisasi perdagangan internasional akan

    meningkatkan arus perdagangan antarnegara juga akan memberikan manfaat kepada negara-negara

    yang terlibat dalam perjanjian liberalisasi perdagangan ini.

    Hanya saja memang pertanyaan kritisnya ialah apakah manfaat itu terdistribusikan secara

    adil/merata ke seluruh negara atau tidak, hal ini masih menjadi pertanyaan besar yang harus dicari

    jawabannya. Tidak semata karena potensi basis (endowment) setiap negara yang berbeda, akan tetapi

    banyak faktor yang menambah kompleksitasnya. Kemampuan menegosiasikan kepentingan nasional

    di dalam fora internasional menjadi salah satu faktor penting yang akan mendukung kebijakan

    perdagangan internasional suatu negara dapat secara optimal mendukung pertumbuhan ekonominya.

    Tingkat produktivitas suatu negara yang biasanya diukur dengan level kualitas sumber daya manusia

    dan teknologi juga berperan dalam meningkatkan kemampuan untuk mengambil porsi manfaat

    perdagangan internasional bagi suatu negara. Maka dalam teori dasar perdagangan internasional

    berkembang dari adanya absolute advantage ke comparative advantage bahkan ke argumentasi

    competitive advantage.

    Setiap delegasi RI yang akan berunding dalam fora perdagangan internasional harus dibekali

    tidak hanya kemampuan bernegosiasi (negotiation skills) tetapi juga pemahaman yang komprehensif

    atas berbagai kepentingan Indonesia yang harus dilindungi dan potensi peluang yang dapat diambil

    dari masyarakat internasional. Dua hal tersebut seperti dua sisi mata uang dalam pembangunan kerja

    sama internasional. Kemampuan negosiasi menjadi tidak berarti ketika tidak didukung dengan peta

    potensi-masalah yang jelas dan lengkap. Begitu pun sebaliknya. Pemahaman yang baik akan menjadi

    sia-sia ketika tidak didukung oleh kemampuan menegosiasikannya. Oleh karena itu, kajian yang

    memadai atas berbagai skenario kebijakan liberalisasi perdagangan internasional yang mungkin

    untuk meningkatkan manfaat bagi pembangunan nasional sangat diperlukan untuk menunjang

    keberhasilan para delegasi RI di fora internasional.

  • 4

    TUJUAN PENELITIAN

    Penelitian ini ditujukan secara umum ditujukan untuk melakukan analisis pengaruh Free Trade

    Agreement (FTA)/Economic Partnership Agreement (EPA) terhadap arus perdagangan dan investasi.

    Tujuan penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

    1. Mengidentifikasi FTA/EPA Indonesia dengan negara mitra baik yang sedang berjalan maupun

    yang sedang dalam proses perundingan;

    2. Melakukan evaluasi dampak FTA/EPA yang telah berjalan terhadap arus perdagangan dan

    investasi;

    3. Melakukan evaluasi dampak potensial FTA/EPA yang akan berjalan terhadap arus perdagangan

    dan investasi; dan

    4. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait liberalisasi perdagangan internasional yang

    mendukung pembangunan ekonomi nasional:

    a. terkait tindak lanjut atas berbagai FTA/EPA yang sudah berjalan;

    b. terkait posisi Indonesia atas FTA/EPA yang sedang dalam tahap persiapan.

    METODOLOGI

    Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut di atas, beberapa metodologi penelitian yang dilakukan

    adalah sebagai berikut:

    1. Analisis deskriptif untuk memetakan berbagai FTA/EPA Indonesia dengan negara mitra

    (telah/akan berjalan);

    2. Studi kasus: evaluasi dampak FTA/EPA (telah/akan berjalan). Beberapa metode analisis dampak

    yang mungkin dilakukan:

    a. Metode kuantitatif:

    1). Indicators of Comparative Advantage, Regional Orientation, Trade Complementarity,

    dan Export Similarity;

    2). FTA Preference Indicators: Coverage rate, Utility rate, Utilization rate, dan Value of

    Free Trade Agreement Preferences.

    b. Metode ekonometri

    c. Simulasi Model Computable General Equilibrium (CGE) Global Trade Analysis Project

    (GTAP)

    3. Focus Group Discussion (FGD)

  • 5

    Model kuantitatif dan metode ekonometri digunakan untuk analisis dampak FTA/EPA

    Indonesia yang sudah berjalan (ex-post analysis), sedangkan Simulasi Model CGE GTAP untuk

    menganalis potensi FTA/EPA yang sedang dalam tahap persiapan (ex-ante analysis). Selain itu,

    penelitian juga melakukan FGD dengan kalangan ahli baik dari institusi yang terkait dengan

    kebijakan perdagangan internasional: Kementerian Perdagangan, Badan Koordinasi Penanaman

    Modal (BKPM), Kementerian Perindustrian, dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) maupun dari

    kalangan akademisi. FGD digunakan untuk mendiskusikan dan mengelaborasi lebih lanjut hasil

    analisis kuantitatif dan simulasi pemodelan ekonomi untuk memperkaya penyusunan rekomendasi

    kebijakan. Dengannya diharapkan rekomendasi kebijakan yang muncul akan membumi dan berpijak

    pada kebutuhan realita yang ada.

    SISTEMATIKA PENYAJIAN

    Sistematika laporan penelitian ini disusun sebagai berikut. Bab I Pendahuluan berisi tentang latar

    belakang, tujuan penelitian dan penjelasan singkat metodologi yang digunakan. Bab II menyajikan

    gambaran global kinerja perdagangan internasional Indonesia. Bab III melakukan evaluasi FTA

    dengan estimasi FTA preferential indicators dan FTA trade and welfare indicators. Bab IV

    menganalisis dampak dua FTA: IJEPA dan ACFTA menggunakan pendekatan ekonometrika runtun

    waktu ARIMA. Bab V, Bab VI, dan Bab VII berturut-turut melakukan evaluasi dampak AFTA,

    AIFTA, dan AJCEP dengan menggunakan deskriptif, komparasi tariff dan simulasi model CGE

    GTAP. Bab VIII mengevaluasi AANZFTA secara deskriptif dan menghitung daya saing komoditas

    Indonesia dan negara mitra. Terakhir Bab IX Penutup mencoba merangkum temuan-temuan dalam

    studi ini, memberikan rekomendasi kebijakan dan saran bagi studi lanjutan.

  • 6

    BAB II

    KINERJA PERDAGANGAN INTERNASIONAL1

    Secara umum kondisi trade balance Indonesia selama periode 2000-2010 masih surplus. Total

    ekspor Indonesia dalam periode tersebut meningkat dari USD62,117 miliar (2000) menjadi

    USD157,771 miliar (2010). Sedangkan impor Indonesia dalam periode yang sama naik dari

    USD33,515 miliar menjadi USD135,663 miliar. Meskipun masih surplus, terdapat kecenderungan

    besarnya surplus trade balance mengalami penurunan. Surplus trade balance pada tahun 2000

    tercatat sebesar USD28,602 miliar dan pada tahun 2010 turun menjadi USD22,108 miliar.

    Gambar 2.1 Analisis Kinerja Neraca Perdagangan Global (Migas-Non Migas)

    Gambar 2.2 Analisis Kinerja Neraca Perdagangan Global (Non Migas)

    1 Materi bab ini dikutip dari Laporan Penelitian Kementerian Keuangan (2011) tentang Analisis Posisi Indonesia Terkait Free Trade Agreement (tidak dipublikasikan)

  • 7

    Penurunan trade balance di atas disebabkan kinerja perdagangan global Indonesia, terutama

    karena menurunnya sumbangan surplus trade balance nonmigas. Surplus trade balance pada tahun

    2000 sebagian besar (78,50 persen) disumbang oleh sektor nonmigas. Berkenaan dengan laju

    pertumbuhan impor nonmigas yang lebih tinggi dari laju ekspor nonmigas, maka sumbangan surplus

    trade balance sektor nonmigas pada tahun 2010 turun menjadi 63,94 persen.

    Lebih lanjut, komoditas ekspor Indonesia dalam periode 2000-2010 mengalami perubahan.

    Pada tahun 2000 Indonesia didominasi barang-barang elektronik dan mesin mekanik. Namun pada

    tahun 2010 ekspor Indonesia didominasi barang-barang tambang, terutama batubara dan hasil

    perkebunan terutama CPO, karet dan produk karet. Komposisi ekspor Indonesia selengkapnya dapat

    dilihat pada gambar 2.3.

    Gambar 2.3 Analisis Kinerja Ekspor Komoditi Utama (Non Migas)

    Sumber : BPS, CEIC, diolah

    Bahan bakar mineral (27)

    3%

    Lemak & Minyak hewan/nabati (15)

    4% Mesin & peralatan

    listrik (85) 14%

    Karet & Brg dari Karet (40)

    3%

    Bijih, Kerak & abu logam (26)

    3% Mesin2/pesawat

    mekanik (84) 8%

    Kertas/karton (48) 5%

    Lainnya 57%

    Tahun 2000

    Bahan bakar mineral (27)

    15%

    Lemak & Minyak hewan/nabati (15)

    13%

    Mesin & peralatan listrik (85)

    8%

    Karet & Brg dari Karet (40)

    7%

    Bijih, Kerak & abu logam (26)

    6% Mesin2/pesawat

    mekanik (84) 4%

    Kertas/karton (48) 3%

    Kendaraan dan bagiannya (87)

    2%

    Bahan kimia organik (29) 2%

    Timah (80) 1%

    Lainnya 39%

    Tahun 2010

  • 8

    Sementara itu impor Indonesia dalam periode 2000-2010 relatif tidak ada perubahan. Impor

    terbesar masih dalam bentuk mesin-mesin atau pesawat mekanik. Impor yang mengalami

    peningkatan cukup signifikan adalah impor mesin atau peralatan listrik. Sedangkan impor yang

    mengalami penurunan adalah bahan kimia organik. Komposisi impor selengkapnya dapat dilihat

    pada Gambar 2.4 di bawah ini.

    Gambar 2.4 Analisis Kinerja Impor Komoditi Utama (Non Migas)

    Sumber : BPS, CEIC, diolah

    Dari sisi negara tujuan ekspor, dalam periode 2000-2010 menunjukkan adanya perubahan,

    Pada tahun 2000 negara tujuan ekspor Indonesia terbesar adalah Japan (23,2 persen), Negara-negara

    di kawasan ASEAN (16,68 persen), dan Amerika Serikat (13,64 persen). Pada tahun 2010 negara

    tujuan ekpor Indonesia terbesar adalah Negara-negara di kawasan ASEAN (19,85 persen), China

    (10,42 persen). Sedangkan ekspor Indonesia ke Japan dan Amerika mengalami penurunan masing-

    Mesin-mesin/Pesawat Mekanik (84)

    17%

    Mesin / peralatan listrik (85)

    5%

    Besi dan Baja (72) 5% bahan Kimia

    Organik (29) 9%

    Kendaraan dan bagiannya (87)

    7% Plastik dan barang

    dari plastik (39) 4%

    Serealia (10) 4%

    Pesawat udara dan bagiannya (88)

    1%

    Barang dari besi dan baja (73)

    3%

    Kapas (52) 3%

    Lainnya 42%

    Tahun 2000

    Mesin-mesin/Pesawat Mekanik (84)

    17%

    Mesin / peralatan listrik (85)

    14%

    Besi dan Baja (72) 6%

    bahan Kimia Organik (29)

    5%

    Kendaraan dan bagiannya (87)

    5% Plastik dan barang

    dari plastik (39) 4%

    Serealia (10) 2%

    Pesawat udara dan bagiannya (88)

    3%

    Barang dari besi dan baja (73)

    3%

    Kapas (52) 2%

    Lainnya 39%

    Tahun 2010

  • 9

    masing menjadi 17,2 persen dan 9,46 persen. Komposisi ekspor per Negara tujuan selengkapnya

    dapat dilihat pada gambar 2.5.

    Gambar 2.5 Analisis Kinerja Ekspor per Negara dan Regional

    Sumber: BPS, CEIC, diolah

    Negara asal impor Indonesia pada tahun 2000 sebagaian besar adalah dari Japan (17,30

    persen), Amerika Serikat (10,87 persen), Negara-negara kawasan ASEAN (10,80 persen), Korea

    Selatan (6,68 persen) dan China (6,55 persen). Pada tahun 2010 negara tujuan impor Indonesia

    mengalami perubahan, yakni terbesar dari China (16,05 persen). Impor dari Amerika Serikat dan

    Japan 23.20%

    China 4.46%

    USA 13.64%

    South Korea 6.95%

    India 1.85%

    Taiwan 3.83%

    Netherlands 2.96%

    Australia 2.52% Germany

    2.32%

    Lainnya 21.58%

    Singapore 10.50%

    Malaysia 3.17% Thailand

    1.65%

    Philippines 1.36%

    ASEAN-4 16.68%

    Tahun 2000

    Japan 17.20%

    China 10.42%

    USA 9.46%

    South Korea 8.39%

    India 6.61%

    Taiwan 3.15%

    Netherlands 2.48%

    Australia 2.77%

    Germany 1.99%

    Lainnya 17.13%

    Singapore 9.15%

    Malaysia 6.13%

    Thailand 3.01%

    Philippines 2.12%

    ASEAN-4 19.88%

    Tahun 2010

  • 10

    Japan mengalami penurunan masing-masing menjadi 7,40 persen dan 13,36 persen. Gambar 2.6

    menunjukkan perubahan komposisi impor Indonesia dalam periode 2000-2010.

    Gambar 2.6 Analisis Kinerja Impor per Negara dan Regional

    Sumber: BPS, CEIC, diolah

    Japan 17.30%

    South Korea 6.68%

    China 6.55%

    India 1.68%

    Australia 5.43%

    USA 10.87%

    Jerman 3.99%

    Perancis 1.28%

    Inggris 1.79%

    Lainnya 24.74%

    Singapore 12.15%

    Malaysia 3.62%

    Thailand 3.56%

    Philippines 0.37%

    ASEAN-4 10.80%

    Tahun 2000

    Japan 13.36%

    South Korea 6.05%

    China 16.05%

    India 2.59%

    Australia 3.23%

    USA 7.40%

    Jerman 2.37%

    Perancis 1.05%

    Inggris 0.74%

    Lainnya 17.98%

    Singapore 15.94%

    Malaysia 6.81%

    Thailand 5.88%

    Philippines 0.56%

    ASEAN-4 10.80%

    Tahun 2010

  • 11

    BAB III

    FTA PREFERENTIAL INDICATORS DAN FTA TRADE AND

    WELFARE INDICATORS

    PENDAHULUAN

    Setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) diberlakukan, penting bagi para pembuat kebijakan

    untuk memperhitungkan dampaknya. Dampak sebenarnya dari pemberlakuan FTA mungkin sangat

    berbeda dari proyeksi sebelumnya. Tujuan bab ini adalah untuk menyajikan metode evaluasi

    ekonomi ex-post atas pemberlakuan FTA untuk menunjukkan kepada pembuat kebijakan apa yang

    harus dinilai dan bagaimana melakukan suatu penilaian ekonomi retrospektif. Selain itu, bagian ini

    juga akan mendiskusikan hasil evaluasi tersebut untuk melihat apakah keterlibatan dalam FTA telah

    memberikan dampak yang positif bagi perekonomian. Dengan analisis tersebut diharapkan akan lahir

    berbagai rekomendasi kebijakan yang mungkin sebagai tindak lanjut FTA tersebut untuk

    mengoptimalisasi potensi dampak positif yang ada dan menutup atau meminimalisasi dampak

    negative yang timbul.

    Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi pembentukan FTA bersama-sama

    dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN untuk pertama kalinya pada tahun 2002.

    Dalam perkembangannya, ASEAN FTA melakukan kerjasama China (ASEAN-China FTA) pada

    tahun 2004, dengan Korea (ASEAN-Korea FTA) pada tahun 2007 dengan India (ASEAN-India

    FTA) pada tahun 2010, dengan Australia dan New Zealand (ASEAN- Australia - New Zealand FTA)

    pada tahun 2010 dan terakhir dengan Japan (ASEAN- Japan Comprehensive Economic Partnership)

    pada tahun 2010. Oleh karena itu analisis ex-post ini akan mendiskusikan dampak FTA yang

    Indonesia telah terlibat didalamnya (already entried into force).

    Tabel 3.1 Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia dengan Beberapa Negara

    FTA’s Penanda-

    tanganan

    Entry into

    Force

    Coverage Cakupan Tarif

    ASEAN

    Economis

    Community

    20 November

    2007

    AEC 2015 Komprehensif ASEAN-CEPT : ±98% dari pos tarif

    ASEAN-

    China

    29 November

    2004

    1 Juli 2005 Komprehensif Early Harvest Chapter 01-08

    Normal Track : 40% at 0-5% in 2005

    Sensitive Track

    Sensitive List (SL): tahun 2012 = 20%

    Highly Sensitive List (HSL) tahun

    2015 = 50%

  • 12

    FTA’s Penanda-

    tanganan

    Entry into

    Force

    Coverage Cakupan Tarif

    ASEAN-

    Korea

    24 Agustus

    2006

    1 Juli 2007 Komprehensif Korea = Menghapuskan semua pos

    tarif Normal Track selambat-lambatnya

    1 Januari 2010

    ASEAN-6

    Normal Track dihapuskan paling

    lambat 1 Januari 2011 (flexibilitas

  • 13

    Dalam penelitian ini, data yang tersedia untuk pengolahan data menggunakan metode

    kuantitatif tersebut yaitu: (i) Tariff nomenclature untuk untuk setiap skema FTA (kecuali

    AANZFTA); dan (ii) Importasi bulanan periode Januari 2011 - Mei 2012.

    FTA PREFERENCE INDICATORS

    Sifat FTA yang diskriminatif mengandung konsekuensi pemberian tarif preferensial kepada sesama

    anggota FTA. Tarif preferensial lebih rendah dari tarif yang berlaku umum atau most favored nation

    (MFN) yang diberlakukan terhadap impor dari negara-negara non-anggota FTA. Perbedaan antara

    tarif MFN dan tarif preferensial dikenal sebagai margin preferensi. Misalnya, untuk produk logam

    produk mebel kantor (dengan pos tarif 94031000), tariff MFN Viet Nam ditetapkan sebesar 32%

    sejak 2008, sedangkan Common Effective Preferential Tariff yang diberlakukan negara-negara

    ASEAN berdasarkan ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah 5%. Oleh karena itu, margin

    preferensi yang diberikan oleh Viet Nam terhadap impor produk ini dari negara anggota ASEAN

    adalah 27% (32% -5%).

    1. Coverage rate

    Langkah pertama untuk memahami dampak dari preferensi FTA adalah menghitung coverage rate

    yang menghitung besarnya impor dari mitra FTA yang memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif

    preferensial. Dalam hal ini, impor dari mitra FTA adalah impor yang dikenakan tarif MFN lebih

    besar dari 0 persen. Impor yang dikenakan tarif MFN 0 persen diabaikan karena perlakuan preferensi

    tidak relevan bagi produk-produk tersebut. Dengan kata lain, coverage rate merupakan proporsi

    importasi yang memperoleh tarif preferensi dari negara mitra dibandingkan dengan total impor dari

    negara mitra yang tarif MFN-nya bukan 0.

    Untuk menghitung coverage rate, kita harus mengidentifikasi (i) nilai impor dari negara mitra

    FTA yang mendapatkan tarif preferensial, dan (ii) nilai impor total dari negara mitra. Mengingat data

    impor dalam setiap skema FTA untuk masing-masing pos tarif tidak tersedia, maka penghitungan

    coverage rate dilakukan dengan menggunakan tariff nomenclature. Dengan demikian, formula untuk

    menghitung coverage rate adalah sebagai berikut:

    Hasil perhitungan coverage rate untuk beberapa skema FTA dimana Indonesia menjadi anggotanya

    adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

  • 14

    AFTA:

    Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif

    Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial: 0

    Coverage rate = 100%

    ACFTA:

    Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif

    Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:

    - Kategori Normal Track 1 (NT1) 1 pos tarif

    - Kategori Normal Track 2 (NT2) 45 pos tarif

    - Kategori Sensitive List (SL) 240 pos tarif

    - Kategori Highly Sensitive List (HSL) 60 pos tarif

    - Kategori General Exclusion List (GEL) 20 pos tarif

    Jumlah 366 pos tarif

    = 95,17%

    AKFTA:

    Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif

    Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:

    - Kategori Normal Track 21 pos tarif

    - Kategori Sensitive List (SL) 113 pos tarif

    - Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok A 5 pos tarif

    - Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok B 104 pos tarif

    - Kategori Highly Sensitive List (HSL) Kelompok E 18 pos tarif

    Jumlah 261 pos tarif

    erage rate

    = 96,56%

  • 15

    AIFTA:

    Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif

    Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:

    - Kategori Normal Track 35 pos tarif

    - Kategori Sensitive List (SL) 78 pos tarif

    Jumlah 113 pos tarif

    = 98,51%

    IJEPA:

    Jumlah total pos tarif MFN dengan tarif ≠ 0: 7.581 pos tarif

    Jumlah pos tarif yang tidak mendapatkan tarif preferensial:

    - Kategori B3 2 pos tarif

    - Kategori B5 1 pos tarif

    - Kategori B7 14 pos tarif

    - Kategori B15 7 pos tarif

    - Kategori X 480 pos tarif

    - Kategori P 18 pos tarif

    Jumlah 522 pos tarif

    = 93,11%

    2. Utility rate

    Utility rate mengukur ruang lingkup efektif dari FTA dengan menghitung persentase nilai impor dari

    negara mitra FTA yang benar-benar menggunakan tarif preferensial. Formula untuk menghitung

    utility rate sebagaimana didefinisikan oleh Inama (2003) adalah sebagai berikut:

    Berdasarkan data importasi bulanan pada periode Januari 2011 sampai dengan Mei 2012, maka

    diperoleh hasil utility rate rata-rata untuk periode tersebut sebagai berikut:

  • 16

    Skema FTA Utility Rate

    AFTA 30,43%

    ACFTA 34,24%

    AKFTA 32,45%

    IJEPA 30,40%

    AIFTA 5,96%

    Penghitungan utility rate untuk masing-masing skema FTA dapat dilihat dalam Appendix.

    3. Utilization rate

    Utilization rate mengukur tingkat daya tarik dari rezim preferensial relatif terhadap tarif MFN.

    Utilization rate dapat dihitung dengan formula sebagai berikut.

    Hasil penghitungan utilization rate terhadap lima FTA yang sudah berjalan adalah sebagai berikut:

    - AFTA :

    = 30,43%

    - ACFTA :

    = 35,98%

    - AKFTA :

    = 33,61%

    - IJEPA :

    = 32,65%

    - AIFTA :

    = 6,05%

    Dari hasil perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa skema penurunan tarif Indonesia

    dalam FTA yang sudah berlaku saat ini sudah sangat liberal. Hal ini berdasarkan fakta bahwa dalam

    5 FTA yang menjadi objek penelitian ini, tingkat coverage rate-nya di atas 90% (berdasarkan skema

    penurunan tarif pada tahun 2011).

    Di samping itu, hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah utilization rate yang relatig

    masih rendah. Berdasarkan formula sebagaimana dijelaskan di atas, semakin tinggi utilization rate,

  • 17

    semakin besar impor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan tarif preferensi (preference-eligible

    imports) yang benar-benar masuk dengan menggunakan tarif preferensial daripada menggunakan

    tarif MFN. Selain itu, semakin tinggi utilization rate juga bermakna bahwa biaya kepatuhan

    (compliance costs) dari ketentuan asal barang semakin tidak menjadi penghambat.

    Dalam hal ini, sebagaimana terlihat dalam hasil pengolahan data di atas, utilization rate dari

    FTA yang diterapkan di Indonesia berkisar antara 30-35% kecuali AIFTA dengan utilization rate

    sebesar 6,05%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase importasi yang benar-benar menggunakan

    tarif preferensi daripada menggunakan tarif MFN masih tergolong rendah. Beberapa kemungkinan

    penyebabnya adalah:

    1. Tarif preferensial tidak terlalu menarik karena perbedaannya dengan tarif MFN tidak signifikan.

    2. Prosedur yang harus dijalani untuk dapat menggunakan tarif preferensial dianggap cukup

    menyulitkan.

    3. Kesalahan identifikasi dalam sistem komputer pabean yang merekam data PIB dalam hal

    importasi menggunakan beberapa skema fasilitas.

    FTA TRADE AND WELFARE INDICATORS

    Qualitative Analysis of Trade Creation and Trade Diversion

    Analisis Viner terhadap FTA memberikan kerangka konseptual untuk mempelajari dampat FTA

    terhadap perdagangan (Viner, 1950). Menurut model Viner, perjanjian perdagangan regional (FTA)

    akan menguntungkan jika besarnya penciptaan perdagangan (trade creation) lebih besar daripada

    pengalihan perdagangan (trade diversion). Sebaliknya, perjanjian FTA akan merugikan jika besarnya

    penciptaan perdagangan (trade creation) lebih kecil daripada pengalihan perdagangan (trade

    diversion). Karena itu, penting untuk memfokuskan pada perubahan dalam produksi domestik dan

    perdagangan intra maupun extra regional.

    Penciptaan perdagangan terjadi ketika terjadi peningkatan perdagangan di antara negara-

    negara anggota sebagai akibat dari keanggotaan mereka dalam perjanjian perdagangan bebas.

    Penghapusan hambatan perdagangan, khususnya tarif, mendorong negara-negara untuk mengimpor

    komoditas dari negara anggota FTA yang berbiaya lebih rendah daripada membeli dari industri

    domestik yang berbiaya tinggi. Dengan cara ini, perekonomian di wilayah perdagangan bebas

    menghasilkan output lebih banyak dengan berkonsentrasi pada komoditas yang memiliki keunggulan

    komparatif. Karena itu, penciptaan perdagangan meningkatkan spesialisasi di negara-negara anggota,

    dan skala ekonomi meningkatkan efisiensi produktif di negara tersebut (Viner, 1950; Clausing,

    2001).

  • 18

    Sebaliknya, pengalihan perdagangan terjadi ketika negara-negara anggota menggantikan

    komoditas impor mereka dari negara di luar FTA yang lebih efisien dan murah, dengan impor dari

    negara anggota (mitra) FTA yang lebih tidak efisien dan berbiaya tinggi. Hal ini dimungkinkan oleh

    adanya proteksi diskriminatif, sehingga impor dari negara di luar FTA terus menghadapi hambatan

    tarif yang tinggi dan secara efektif menjadi lebih mahal daripada impor tanpa hambatan tarif dari

    negara anggota FTA yang lebih tidak efisien.

    Trade Creation vs. Trade Diversion dalam AFTA2

    Ada atau tidaknya pengalihan perdagangan tidak dapat dipastikan hanya dengan membandingkan

    tren pertumbuhan impor intra-ASEAN dengan impor ASEAN dari seluruh dunia. Oleh karena itu,

    digunakan shift-and-share analysis untuk menguji dampak dari AFTA dan menentukan efek

    pengalihan perdagangan. Shift-and-share analysis menguji perubahan nilai-nilai dan pola-pola antar

    kelompok komoditas dan antara negara AFTA dan seluruh dunia diluar AFTA atau rest of the world

    (ROW). Metode ini membandingkan tingkat perdagangan negara-negara anggota satu sama lain dan

    dengan seluruh dunia sebelum dan setelah pembentukan AFTA.

    Shift-and-share analysis memberikan bukti atau indikasi bahwa AFTA dapat berdampak

    penciptaan perdagangan maupun pengalihan perdagangan. Analisis tersebut terbukti sebagai alat

    deskriptif yang berguna untuk mengisolasi tren kinerja komoditas dan regional serta untuk mensuplai

    data bagi para pembuat kebijakan untuk menafsirkan perubahan dalam struktur industri di negaranya.

    Kebanyakan penelitian yang menggunakan metode shift-and-share melakukan perbandingan statis

    dimana mereka hanya memperhitungkan perubahan dalam variabel yang dikehendaki, seperti ekspor,

    dengan membandingkan antara tahun dasar dan tahun-tahun tertentu dalam periode waktu yang

    diselidiki (Krueger, 1999).

    Untuk melaksanakan analisis, terlebih dahulu ditentukan tahun dasar (sebelum pembentukan

    AFTA) dan tahun akhir (pada saat penyelesaian AFTA) untuk mewakili pola perdagangan hipotetis

    dan aktual, masing-masing seperti pangsa impor antar negara-negara anggota ASEAN dan ROW

    (negara yang bukan anggota) sebelum dan pada saat diselesaikannya AFTA. Menggunakan rata-rata

    dari tahun 1985 dan 1986 sebagai dasar, perbedaan antara impor aktual dan hipotetis dari negara-

    negara anggota dari ASEAN akan menjadi shift. Jika ada peningkatan impor antar anggota ASEAN

    dengan mengorbankan perdagangan dengan ROW (negara yang bukan anggota), maka telah terjadi

    pergeseran yang positif yang menjadi bukti adanya pengalihan perdagangan. Di sisi lain, jika

    pergeseran negatif, maka tidak ada bukti bahwa impor intra-ASEAN impor meningkat dengan

    2 Berdasarkan hasil studi Cabalu and Alfonso (2007) yang berjudul "Does AFTA Create or Divert Trade?"

  • 19

    mengorbankan perdagangan dengan ROW. Terakhir, jika pergeseran tersebut sama dengan nol, maka

    ada bukti bahwa pembentukan AFTA tidak mempengaruhi arus perdagangan selama tahun tersebut.

    Berdasarkan hasil analisis, muncul beberapa pola yang menarik. Jumlah ekspor ASEAN

    meningkat pangsanya baik di ASEAN maupun pasar ROW sepanjang waktu. Mulai dari 1980-an

    hingga awal 1990-an, pangsa ekspor ASEAN tampaknya menurun di wilayah tersebut namun

    pangsanya meningkat di seluruh dunia. Pada paruh kedua tahun 1990-an hingga lima tahun pertama

    dekade berikut, pangsa ekspor ASEAN telah menunjukkan tanda positif baik di kedua pasar tetapi

    peningkatan pangsa yang paling menonjol adalah di pasar ROW. Pola ini mirip dengan tren

    pertumbuhan total impor di mana rata-rata tingkat pertumbuhan tahunan riil perdagangan dengan

    ASEAN dan ROW positif selama tahun 1990-an hingga awal 2002. Hal ini menegaskan bahwa

    AFTA telah menciptakan perdagangan (trade creation) ketimbang pengalihan perdagangan (trade

    diversion). Peningkatan pangsa yang paling menonjol yaitu pada komoditas mesin dan peralatan

    transportasi (SITC 7). Tanda-tanda adanya pengalihan perdagangan, kalau pun ada, dapat terlihat

    pada komoditas dan transaksi tidak diklasifikasikan di tempat lain (SITC 9) di mana pangsa ekspor

    ASEAN di kawasan meningkat seiring dengan menurunnya pangsa di pasar ROW. Dalam kategori

    komoditas lain, kenaikan atau penurunan pangsa ASEAN dalam perdagangan dengan ROW

    menunjukkan tren yang serupa dengan tren pangsa perdagangan dalam kawasan.

    Nampaknya, peningkatan ekspor ASEAN secara umum ke mitra di ASEAN dan ROW

    setelah pelaksanaan AFTA menunjukkan bahwa ASEAN telah meningkatkan daya saing dan oleh

    karenanya menjadi lebih menarik sebagai sumber impor bagi dunia pada umumnya. Devaluasi mata

    uang selama krisis Asia telah membuat ekspor dari ASEAN menjadi lebih murah dan seharusnya

    lebih memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya saing produk mereka dengan seluruh dunia.

    Pada saat yang sama, krisis juga memaksa ASEAN untuk melihat ke dalam kawasan dan fokus pada

    pasar lokal ASEAN.

    Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya, yang tidak mendukung adanya

    pengalihan perdagangan dalam AFTA. Ada beberapa alasan untuk meyakini hasil tersebut. Pertama,

    pangsa perdagangan intra-ASEAN terhadap total impor atau total ekspor negara-negara ASEAN

    masih sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa sumber impor utama bagi negara-negara anggota

    ASEAN berada di luar kawasan (pra dan pasca-AFTA). Kedua, tidak adanya pengalihan

    perdagangan mungkin terjadi karena negara-negara ASEAN memiliki struktur produksi dan

    perdagangan yang sama dan impornya sebagian besar akan berasal dari ROW.

  • 20

    Trade Creation vs. Trade Diversion dalam ACFTA3

    Chirathivat (2002) menemukan bahwa baik ASEAN dan China akan mengalami keuntungan

    perdagangan bersih dari ACFTA. Dalam ACFTA, ASEAN dapat memainkan peran lebih besar

    dalam memnuhi kebutuhan China terhadap produk impor bahan mentah dan barang antara yang terus

    berkembang. Untuk mensimulasikan dampak ACFTA, Chirathivat mengasumsikan bahwa ASEAN

    dan China menghilangkan semua tarif dan hambatan perdagangan non-tarif, sehingga tidak ada

    proteksi sama sekali. Dia menggunakan simulasi perkiraan dampak dari liberalisasi tarif dan non-tarif

    ACFTA secara terpisah. Chirathivat menemukan bahwa liberalisasi tarif menyebabkan ekspor

    ASEAN ke China meningkat sebesar 53%, sementara ekspor Cina ke ASEAN akan meningkat

    sebesar 23%, dan total ekspor ASEAN akan naik sebesar 0,8%, sementara total ekspor China akan

    naik sebesar 1,9%. Liberalisasi non-tarif akan meningkatkan ekspor ASEAN ke China sebesar 187%

    dan ekspor Cina ke ASEAN sebesar 34%, dan meningkatkan total ekspor ASEAN sebesar 2,1% dan

    total ekspor China sebesar 6,6%.

    Hasil simulasi juga menunjukkan dampak positif yang besar terhadap PDB riil dan

    kesejahteraan bagi ASEAN dan China. Hasil keseluruhan menunjukkan keuntungan perdagangan

    bersih untuk ASEAN dan China dimana penciptaan perdagangan lebih besar daripada pengalihan

    perdagangan untuk ASEAN sementara untuk China hampir tidak ada pengalihan perdagangan.

    Sejumlah studi lain juga melihat potensi dampak ACFTA. Laurenceson (2003) menemukan

    bahwa tinggi integrasi antara ASEAN dan China sudah pada tingkat yang tinggi dalam barang dan

    jasa, yang menyiratkan bahwa dampak ACFTA terhadap perdagangan mungkin sangat terbatas.

    Analisis empiris dari Voon and Yue (2003) menunjukkan bahwa China memiliki keunggulan

    kompetitif atas ASEAN dalam ekspor manufaktur ke Amerika Serikat dan keunggulan ini meningkat

    setelah krisis keuangan Asia. Wong and Chan (2002) menunjukkan bahwa China merupakan

    ancaman yang lebih kompetitif bagi perekonomian ASEAN karena akan mengangkat rantai nilai

    manufaktur (manufacturing value chain) dari produk padat karya (labor intensive) menjadi padat

    modal dan teknologi (capital and technology intensive). Liu and Luo (2004) menggunakan model

    pangsa pasar (market share model) untuk menilai persaingan perdagangan antara ASEAN dan China,

    dan menemukan bahwa Singapura menjadi satu-satunya negara ASEAN yang menghadapi

    persaingan perdagangan dengan China untuk kategori barang-barang manufaktur. Mereka juga

    menyimpulkan bahwa untuk ASEAN peluang yang timbul dari perdagangan dengan China

    meningkat jauh lebih besar daripada tantangan kompetitif yang ditimbulkan oleh China.

    3 Berdasarkan hasil studi Chirathivat (2002) yang berjudul “ASEAN-China Free Trade Area: Background, Implications and Future Development”

  • 21

    Trade Creation vs. Trade Diversion dalam AKFTA4

    Gambar 3.1 berikut ini menggambarkan efek penciptaan perdagangan dan pengalihan perdagangan,

    yang dihitung sebagai persentase penyimpangan dari nilai dasar volume perdagangan, masing-

    masing dengan negara anggota dan nonanggota AKFTA. Penciptaan perdagangan yang positif berarti

    ekspansi perdagangan dalam area perdagangan bebas, sementara pengalihan perdagangan negatif

    berarti pengurangan perdagangan dengan nonanggota. Untuk area perdagangan bebas secara

    keseluruhan, perdagangan di antara negara-negara anggota AKFTA akan naik sebesar 18,1%

    sedangkan perdagangan dengan non-anggota akan turun hanya sebesar 2,2%.

    Gambar 3.1 Trade Creation and Diversion Effects of AKFTA

    Seperti yang diharapkan, AKFTA akan mempercepat perdagangan antara ASEAN dan Korea.

    Indonesia dan Malaysia akan menikmati sekitar setengah dari pertumbuhan perdagangan antara

    ASEAN dan Korea. AKFTA akan menggeser neraca perdagangan ke arah yang menguntungkan

    ASEAN, dimana ekspor ke Korea akan meningkat sebesar 20% dan impor dari Korea akan turun 3%.

    Neraca perdagangan bilateral negara-negara ASEAN dengan Korea akan meningkat. Lebih spesifik,

    (i) Indonesia, Malaysia dan, pada tingkat lebih rendah, negara-negara CLM (Cambodia, Laos,

    Myanmar) akan mengalami peningkatan surplus perdagangan, (ii) Thailand akan mengalami

    4 Berdasarkan hasil studi Park et al. (2008) yang berjudul “Is the ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) an Optimal Free Trade Area?”

  • 22

    pergeseran neraca perdagangan dari negatif ke positif, dan (iii) Philippines, Singapura, dan Vietnam

    akan mengalami penurunan defisit perdagangan (lihat Gambar 3.2). Akibatnya, total neraca

    perdagangan ASEAN dengan Korea akan bergeser dari negatif sebelum AKFTA menjadi positif

    setelah pelaksanaannya.

    Gambar 3.2 Bilateral Trade with Republic of Korea ($ billion)

    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

    Dari berbagai uraian di atas, maka didapatkan beberapa poin penting yang perlu dicatat:

    1) Semakin tinggi utilization rate, semakin besar impor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan

    tarif preferensi (preference-eligible imports) yang benar-benar masuk dengan menggunakan tarif

    preferensi daripada menggunakan tarif MFN. Selain itu, semakin tinggi utilization rate juga

    bermakna bahwa biaya kepatuhan (compliance costs) dari ketentuan asal barang semakin tidak

    menjadi penghambat.

    2) Dari hasil perhitungan dihasilkan bahwa utilization rate yang digunakan untuk mengukur tingkat

    daya tarik dari rezim preferensial relatif terhadap tarif MFN didapati hasil yang berkisar antara

    30-35% untuk AFTA, ACFTA, AKFTA, dan IJEPA kecuali AIFTA yang memiliki utilization

  • 23

    rate jauh lebih rendah yaitu hanya sebesar 6,05%. Hasil ini dapat disimpulkan bahwa utilization

    rate secara umum masih relatif sangat rendah.

    3) Beberapa kemungkinan yang menyebabkan rendahnya persentase importasi yang menggunakan

    tarif preferensi daripada tarif MFN, antara lain:

    a) Tarif preferensial tidak terlalu menarik karena perbedaannya dengan tarif MFN tidak

    signifikan.

    b) Prosedur yang harus dijalani untuk dapat menggunakan tarif preferensial dianggap cukup

    menyulitkan (compliance cost tinggi).

    c) Kesalahan identifikasi dalam sistem komputer pabean yang merekam data PIB dalam hal

    importasi menggunakan beberapa skema fasilitas.

    4) Untuk itu diperlukan studi lanjut yang fokus untuk mengkaji penyebab rendahnya utilization rate

    sehingga dapat diketahui secara rinci dan pasti permasalahannya dan aspek kebijakan yang

    mungkin dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini.

  • 24

    Appendix: Penghitungan Utility Rate

    AFTA:

    Bulan Impor dengan Tarif

    Preferensial

    Impor dengan Tarif

    Umum Total Utility Rate

    Jan-11 730.953.985,99 1.883.684.155,44 2.614.638.141,43 27,96%

    Feb-11 931.246.931,58 1.830.938.129,14 2.762.185.060,73 33,71%

    Mar-11 1.175.276.956,98 2.342.408.912,30 3.517.685.869,29 33,41%

    Apr-11 953.421.360,49 2.060.445.497,86 3.013.866.858,35 31,63%

    May-11 878.992.212,23 1.917.155.754,04 2.796.147.966,27 31,44%

    Jun-11 946.440.480,96 2.035.124.887,40 2.981.565.368,36 31,74%

    Jul-11 997.988.225,78 2.350.118.943,98 3.348.107.169,76 29,81%

    Aug-11 920.590.319,35 2.453.597.572,93 3.374.187.892,29 27,28%

    Sep-11 1.023.103.107,18 2.479.924.003,38 3.503.027.110,56 29,21%

    Oct-11 1.039.595.257,63 2.415.919.566,49 3.455.514.824,12 30,09%

    Nov-11 862.509.579,66 2.712.755.414,75 3.575.264.994,42 24,12%

    Dec-11 861.921.128,44 2.193.038.453,98 3.054.959.582,42 28,21%

    Jan-12 862.532.783,70 2.023.641.932,81 2.886.174.716,51 29,88%

    Feb-12 996.198.216,38 2.133.177.737,75 3.129.375.954,12 31,83%

    Mar-12 1.101.008.672,60 2.531.152.868,87 3.632.161.541,47 30,31%

    Apr-12 992.005.777,51 2.521.670.235,27 3.513.676.012,79 28,23%

    May-12 1.172.922.403,17 1.874.134.837,77 3.047.057.240,94 38,49%

    Rata-rata 30,43%

    ACFTA:

    Bulan Impor dengan Tarif

    Preferensial

    Impor dengan Tarif

    Umum Total Utility Rate

    Jan-11 477.537.359,12 1.158.416.508,01 1.635.953.867,13 29,19%

    Feb-11 421.192.783,66 877.718.097,83 1.298.910.881,49 32,43%

    Mar-11 536.011.494,59 1.147.758.675,67 1.683.770.170,26 31,83%

    Apr-11 591.149.135,45 1.191.189.878,44 1.782.339.013,89 33,17%

    May-11 639.901.270,47 1.326.760.351,86 1.966.661.622,33 32,54%

    Jun-11 642.089.649,22 1.318.945.263,73 1.961.034.912,95 32,74%

    Jul-11 672.010.138,38 1.210.800.953,16 1.882.811.091,53 35,69%

    Aug-11 594.670.815,67 1.117.578.128,02 1.712.248.943,69 34,73%

    Sep-11 629.315.930,09 1.273.865.459,67 1.903.181.389,76 33,07%

    Oct-11 583.251.144,17 1.198.847.671,35 1.782.098.815,51 32,73%

    Nov-11 664.973.180,28 1.401.919.199,73 2.066.892.380,01 32,17%

    Dec-11 705.796.930,92 1.301.683.057,41 2.007.479.988,33 35,16%

    Jan-12 803.542.125,51 1.206.793.464,44 2.010.335.589,95 39,97%

    Feb-12 561.193.077,31 1.512.938.438,48 2.074.131.515,80 27,06%

    Mar-12 759.770.366,08 1.144.093.442,81 1.903.863.808,89 39,91%

    Apr-12 800.497.978,18 1.191.284.072,07 1.991.782.050,24 40,19%

    May-12 885.464.251,54 1.355.872.732,25 2.241.336.983,79 39,51%

    Rata-rata 34,24%

  • 25

    AKFTA:

    Bulan Impor dengan Tarif

    Preferensial

    Impor dengan Tarif

    Umum Total Utility Rate

    Jan-11 87.170.831,12 233.098.452,98 320.269.284,10 27,22%

    Feb-11 89.978.899,16 197.340.430,19 287.319.329,35 31,32%

    Mar-11 122.717.381,94 282.486.068,55 405.203.450,49 30,29%

    Apr-11 128.468.928,95 193.571.068,43 322.039.997,38 39,89%

    May-11 122.283.183,24 215.479.077,10 337.762.260,34 36,20%

    Jun-11 115.846.453,95 218.931.105,12 334.777.559,07 34,60%

    Jul-11 138.937.484,12 253.599.857,01 392.537.341,13 35,39%

    Aug-11 130.279.299,34 268.510.004,90 398.789.304,24 32,67%

    Sep-11 155.363.456,88 299.670.290,77 455.033.747,65 34,14%

    Oct-11 155.083.262,54 274.071.301,77 429.154.564,31 36,14%

    Nov-11 162.136.425,67 394.771.180,25 556.907.605,92 29,11%

    Dec-11 165.448.765,67 413.104.591,47 578.553.357,14 28,60%

    Jan-12 151.298.274,04 279.355.877,01 430.654.151,05 35,13%

    Feb-12 146.412.892,50 325.458.589,56 471.871.482,06 31,03%

    Mar-12 153.427.958,26 383.293.172,31 536.721.130,57 28,59%

    Apr-12 163.035.878,25 390.324.869,19 553.360.747,44 29,46%

    May-12 161.195.129,89 344.538.836,44 505.733.966,33 31,87%

    Rata-rata 32,45%

    IJEPA:

    Bulan Impor dengan Tarif

    Preferensial

    Impor dengan Tarif

    Umum Total Utility Rate

    Jan-11 259.292.293,25 828.571.602,78 1.087.863.896,03 23,83%

    Feb-11 306.076.925,64 782.177.924,73 1.088.254.850,37 28,13%

    Mar-11 355.531.546,87 955.883.533,38 1.311.415.080,25 27,11%

    Apr-11 320.032.752,00 725.388.716,71 1.045.421.468,70 30,61%

    May-11 343.040.938,20 706.716.752,18 1.049.757.690,38 32,68%

    Jun-11 389.337.811,23 913.208.389,75 1.302.546.200,98 29,89%

    Jul-11 440.341.098,36 1.017.598.530,67 1.457.939.629,03 30,20%

    Aug-11 435.318.126,66 928.405.605,01 1.363.723.731,67 31,92%

    Sep-11 431.948.274,19 1.011.556.036,90 1.443.504.311,09 29,92%

    Oct-11 483.005.670,36 1.009.236.124,73 1.492.241.795,09 32,37%

    Nov-11 481.912.690,41 1.093.265.028,81 1.575.177.719,21 30,59%

    Dec-11 457.779.653,52 1.111.753.421,12 1.569.533.074,64 29,17%

    Jan-12 481.148.740,56 942.496.447,75 1.423.645.188,31 33,80%

    Feb-12 503.566.183,42 1.054.071.954,74 1.557.638.138,16 32,33%

    Mar-12 525.412.351,09 1.232.983.056,79 1.758.395.407,89 29,88%

    Apr-12 536.237.669,60 1.152.725.984,20 1.688.963.653,80 31,75%

    May-12 509.146.769,02 1.050.651.954,41 1.559.798.723,44 32,64%

    Rata-rata 30,40%

  • 26

    AIFTA:

    Bulan Impor dengan Tarif

    Preferensial

    Impor dengan Tarif

    Umum Total Utility Rate

    Jan-11 7.524.234,70 221.629.720,74 229.153.955,44 3,28%

    Feb-11 20.488.641,07 310.770.702,67 331.259.343,74 6,19%

    Mar-11 18.513.706,47 383.354.141,14 401.867.847,61 4,61%

    Apr-11 24.608.884,22 346.561.522,12 371.170.406,34 6,63%

    May-11 17.646.391,52 407.135.274,14 424.781.665,66 4,15%

    Jun-11 17.721.650,91 311.675.531,83 329.397.182,74 5,38%

    Jul-11 23.468.406,43 335.823.878,65 359.292.285,08 6,53%

    Aug-11 21.854.593,55 267.204.300,75 289.058.894,30 7,56%

    Sep-11 13.580.462,19 280.181.508,68 293.761.970,87 4,62%

    Oct-11 16.304.203,00 319.109.499,41 335.413.702,41 4,86%

    Nov-11 15.328.018,05 310.183.182,47 325.511.200,52 4,71%

    Dec-11 13.470.931,56 303.516.699,26 316.987.630,81 4,25%

    Jan-12 12.525.654,30 273.546.387,80 286.072.042,10 4,38%

    Feb-12 27.275.095,23 359.656.877,08 386.931.972,32 7,05%

    Mar-12 31.185.406,99 317.449.273,70 348.634.680,69 8,95%

    Apr-12 37.485.746,89 276.369.029,65 313.854.776,54 11,94%

    May-12 21.104.887,85 316.325.353,33 337.430.241,17 6,25%

    Rata-rata 5,96%

  • 27

    BAB IV

    ESTIMASI DAMPAK IJEPA DAN ACFTA: METODE

    EKONOMETRI ARIMA

    PENDAHULUAN

    Setelah perjanjian perdagangan bebas (FTA) diberlakukan, penting bagi para pembuat kebijakan

    untuk memperhitungkan dampaknya. Dampak sebenarnya dari pemberlakuan FTA mungkin sangat

    berbeda dari proyeksi sebelumnya. Tujuan bab ini adalah untuk menyajikan metode evaluasi dampak

    suatu FTA setelah perjanjian berlaku efektif (metode ex-post).

    China dan Japan merupakan negara-negara mitra dagang utama Indonesia, terutama untuk

    perdagangan barang. Berdasarkan data BPS bulan Januari-Juli 2012, China merupakan negara

    peringkat pertama tujuan ekspor barang non migas Indonesia sebesar US$ 12,02 miliar atau 13,36%

    dari total ekspor Indonesia. Japan berada di peringkat kedua dengan ekspor sebesar US$ 10,24 miliar

    atau 11,39% dari total ekspor Indonesia. China merupakan mitra FTA pertama Indonesia di luar

    kesepakatan FTA Indonesia terdahulu dengan ASEAN. Kesepakatan Indonesia bersama negara

    ASEAN lainnya dengan China terikat dalam perjanjian yang disebut ASEAN-China FTA. Sementara

    itu, tidak lama setelah China bermitra dengan ASEAN (dan Indonesia di dalamnya), Japan menjadi

    mitra Indonesia pertama dalam bilateral FTA yang disebut dengan skema IJEPA (Indonesia-Japan

    Economic Partnership Agreement).

    METODOLOGI

    Setelah berlakunya FTA dengan kedua mitra dagang utama Indonesia tersebut, penting untuk

    mengevaluasi dampak dari kedua FTA setelah perjanjian berlaku efektif. Dalam perdagangan barang,

    perlakuan berupa tarif khusus ACFTA (0 – 5%) berlaku efektif menurut Peraturan Menteri Keuangan

    Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif

    Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area. Sebelum PMK tersebut, tarif NT masih

    berada pada kisaran 5% - 20%. Penurunan tingkat tarif secara signifikan ini diasumsikan akan

    memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan nilai ekspor Indonesia dan China

    sebagai dua negara yang terlibat dalam kesepakatan perdagangan barang ACFTA dan menjadi obyek

    studi ini. Oleh karena itu, titik waktu 1 Januari 2009 sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan

    Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 digunakan untuk mengevaluasi

  • 28

    pengaruh dari skema ACFTA terhadap Indonesia dan China dari sisi kontribusi ekspor bagi

    pendapatan nasional dan peningkatan pertumbuhannya.

    Sedangkan IJEPA berlaku efektif berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

    95/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka Persetujuan Antara Republik

    Indonesia Dan Japan Mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi yang berlaku efektif sejak 1 Juli 2008.

    Dengan demikian, titik waktu 1 Juli 2008 sebagai tanggal efektif pemberlakuan Peraturan Menteri

    Keuangan Republik Indonesia Nomor 95/PMK.011/2008 digunakan untuk mengevaluasi pengaruh

    dari skema IJEPA terhadap Indonesia dan Japan dari sisi kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional

    dan peningkatan pertumbuhannya.

    Guna mengetahui dampak dari skema IJEPA dan ACFTA terhadap ekspor Indonesia dan

    negara mitra digunakan kerangka pemikiran berikut. Pada fase setelah berlaku skema tarif khusus

    perdagangan barang ACFTA atau IJEPA, dilakukan forecasting berdasarkan nilai ekspor sebelum

    berlaku skema tarif khusus. Hasil forecasting ini dibandingkan dengan nilai perdagangan aktual

    setelah berlaku skema tarif khusus. Selisih keduanya akan menjadi dampak dari berlakunya

    perjanjian ACFTA atau IJEPA. Kerangka pemikiran dari simulasi dampak IJEPA dan ACFTA

    tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

    Gambar 4.1 Kerangka Pemikiran

    Kondisi Aktual Dengan Skema Tarif IJEPA/ACFTA (i)

    Simulasi Kondisi Tanpa Skema Tarif IJEPA/ACFTA (ii)

    Nilai ekspor

    dalam

    hubungan

    perdagangan

    kedua negara

    pada periode

    1 Juli 2008 –

    30 Juni 2011

    pada kondisi

    aktual dan

    kondisi

    simulasi

    diperbanding-

    kan

    dd/mm/yy

    Skema Tarif

    IJEPA/ACFTA mulai

    berlaku

    Tahun ... Tahun... Tahun ... Tahun ...

    Tidak ada skema

    tarif IJEPA/ACFTA

    Tahun ... Tahun... Tahun ... Tahun ...

  • 29

    Analisis yang digunakan untuk forecasting dalam kajian ini adalah model ekonometrika

    ARIMA atau yang secara populer lebih dikenal dengan sebutan metodologi Box-Jenkins.

    Karakteristik dari model ARIMA adalah model tersebut memberikan penekanan pada sifat-sifat

    probabilistik atau stokastik dari runtun waktu ekonomi dengan menggunakan data yang bersangkutan

    untuk menentukan arah kecenderungannya sendiri tanpa melibatkan data lainnya (Gujarati, 2009).

    Dalam model regresi, Y dijelaskan oleh k variabel bebas X1, X2, X3, ... , Xk. Sedangkan dalam

    model ARIMA, Y dijelaskan oleh nilai-nilai Y sendiri di waktu sebelumnya. Mengutip Gujarati

    (2009 p.778),”Salah satu dasar popularitas pemodelan ARIMA adalah keberhasilannya dalam

    peramalan. Dalam banyak kasus, hasil ramalan yang dihasilkan metode ini lebih andal daripada

    hasil ramalan yang dihasilkan pemodelan ekonometrik tradisional, khususnya dalam jangka pendek.

    Namun, tentunya setiap kasus mesti dicek.

    Gambar 4.2 Metodologi Box-Jenkins

    Sumber: Gujarati (2009)

    Kajian ini menggunakan model multiplicative ARIMA, suatu kombinasi dari model

    Autoregressive (AR), differencing, dan moving average/rata-rata bergerak (MA) yang dinotasikan

    dengan ARIMA (p, d, q).

    Ya

    Tidak

    (Kembali ke

    Langkah 1)

    Langkah 1: Identifikasi model

    (Pilih tentative p,d,q)

    Langkah 2: Estimasi parameter

    model terpilih

    Langkah 3: Pemeriksaan diagnostic

    Apakah estimasi residual white-noise?

    Langkah 4: Peramalan

  • 30

    Yt = θ + α1 (Yt–1 - δ) + α2 (Yt–2 - δ) + ... + αp (Yt–p - δ) + β0 ut + β1 ut-1 + β2 ut-2 + ... + βq ut-q

    ............... (Pers. 1)

    Dalam ekonometrika, data yang dimasukkan ke dalam model ARMA tersebut di atas harus

    terlebih dulu harus stasioner. Untuk itu data yang non-stasioner perlu ditransformasi melalui

    differencing sebanyak d kali hingga data time series tersebut menjadi stasioner.

    Δ Yt = Yt - Yt–1 (differencing pertama)

    Δ Yt-1 = Yt-1 - Yt–2 (differencing kedua) dan seterusnya ............... (Pers. 2)

    Data time series non-stasioner yang telah mengalami differencing sebanyak d kali untuk

    membuatnya stasioner dan kemudian data time series tersebut diproses dengan model ARMA (p,q),

    maka data time series tersebut telah melalui proses model ARIMA (p,d,q).

    Data time series selanjutnya dimasukkan ke dalam estimasi model terbaik untuk dapat

    diketahui hasil simulasinya berupa nilai ekspor Indonesia ke Japan dan nilai ekspor Japan ke

    Indonesia dalam hubungan perdagangan kedua negara seandainya tidak ada skema tarif IJEPA.

    Kemudian hasil simulasi dibandingkan dengan nilai aktual pada periode yang sama di mana

    perjanjian IJEPA telah efektif berlaku. Dari proses pembandingan ini akan dapat dihitung seberapa

    besar dampak dari skema tarif perjanjian IJEPA terhadap ekspor Indonesia ke Japan dan dan juga

    ekspor Japan ke Indonesia. Selain itu walau kedua belah pihak sama-sama memperoleh keuntungan,

    akan dapat diketahui di antara keduanya pihak mana yang menerima keuntungan lebih dibandingkan

    mitranya.

    Asumsi pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah skema tarif ACFTA merupakan

    satu-satunya faktor ekonomi yang berpengaruh signifikan pada periode pengamatan 1 Januari 2009 –

    31 Desember 2011, sementara skema tarif IJEPA merupakan satu-satunya faktor ekonomi yang

    berpengaruh signifikan pada periode pengamatan 1 Juli 2008 – 30 Juni 2011. Dengan demikian,

    faktor-faktor ekonomi lain yang mungkin mempengaruhi perdagangan Indonesia dan Japan pada

    periode tersebut bersifat tetap (ceteris paribus) atau tidak signifikan sehingga dapat diabaikan. Dalam

    proses pengolahan dan analisis tersebut di atas digunakan software ekonometrika Eviews versi 6.

  • 31

    DATA DAN ANALISIS

    Ekspor Indonesia ke Japan

    Data yang digunakan untuk input model ARIMA adalah data ekspor time series Indonesia ke Japan

    periode Januari 1990 - Juni 2011, sedangkan data untuk forecasting digunakan data Juli 2008 – Juni

    2011, yang merupakan data periode pengamatan. Titik awal periode pengamatan adalah 1 Juli 2008,

    sehingga tahun pengamatan pertama akan berakhir pada 30 Juni 2009. Selanjutnya tahun pengamatan

    kedua akan berawal pada tanggal 1 Juli 2009 dan berakhir pada 30 Juni 2010, dan seterusnya hingga

    tahun pengamatan ketiga sebagai tahun terakhir pengamatan.

    Gambar 4.3 Ekspor Indonesia ke Japan Periode Januari 1990 – Oktober 2011

    Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC (2012)

    Data ekspor Indonesia ke Japan pada gambar 4-3 mengindikasikan kondisi non-stasionernya

    data input model. Prakondisi peramalan time series metode ekonometrika selalu mensyaratkan

    stasioneritas dari data yang menjadi input model. Pengecekan lebih rinci dengan correllogram dan

    Augmented-Dickey Fuller Test sebagai unit root test menegaskan keyakinan tersebut.

  • 32

    Gambar 4.4 Model Ekspor Indonesia ke Japan Tanpa Skema IJEPA

    (ARIMA D=1, P=8, Q=8)

    Sumber: Hasil analisis

    Model ARIMA yang reasonable fit terhadap data ekspor Indonesia ke Japan kemudian

    dihasilkan dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR

    dan MA sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian. Identifikasi model tersebut

    menghasilkan estimasi terbaik pada derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 8, dan

    derajat moving average (MA) = 8. Gujarati (2009 p.782) menyatakan hasil pengidentifikasian model

    dengan cara tersebut sudah memadai sehingga tidak perlu mencari model ARIMA lainnya.

    Keyakinan tersebut ditegaskan oleh hasil pemeriksaan diagnostik melalui grafik first difference data

    ekspor Indonesia ke Japan, correllogram residual model dan unit root test.

    Krisis ekonomi dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Indonesia ke Japan.

    Penurunan ekspor Indonesia ke Japan secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga

    September 2010 akibat krisis, dan baru kembali normal sejak Oktober 2010. Efek krisis cukup berat

    terasa sehingga pada saat itu telah meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA.

  • 33

    Mengingat adanya anomali akibat krisis tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan

    yaitu data November 2008 – September 2010 tidak dapat digunakan sebagai data pembanding

    dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah

    pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011 (lihat gambar 4-5).

    Gambar 4.5 Nilai Ekspor Indonesia Ke Japan Aktual Dengan IJEPA

    Dan Estimasi Hasil Simulasi Tanpa IJEPA (dalam US$ 000)

    Sumber: Hasil analisis

    Berdasarkan data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Indonesia ke Japan rata-rata tumbuh

    sebesar 14,29% per tahunnya. Dari hasil simulasi dapat diketahui bahwa nilai ekspor tanpa skema

    tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 9,06% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak

    pada peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ke Japan sebesar 5,23% (secara persentase) atau

    menjadikan pertumbuhan ekspor 1,58 kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema tarif IJEPA.

    Dengan asumsi tingkat pertumbuhan tetap sebesar 14,29% per tahun, dalam dua tahun mendatang

    (Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013) nilai ekspor Indonesia ke Japan berpotensi

    meningkat masing-masing menjadi US$ 38,326,660,120 dan US$ 43,802,599,468,189.

    Walau secara nominal dan persentase, Indonesia mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke

    Japan yang positif akibat IJEPA, pangsa Japan sebagai tujuan ekspor Indonesia terus mengalami

    penurunan. Bila posisi Japan pada tahun 1995 masih memegang pangsa tujuan ekspor sebesar 28%,

    pada tahun 2000 turun menjadi 23%, dan pada tahun 2010 terus turun menjadi 16%. Hal ini dapat

    menunjukkan pasar ekspor Indonesia yang makin terdiversifikasi.

    0

    500,000

    1,000,000

    1,500,000

    2,000,000

    2,500,000

    3,000,000

    3,500,000

    4,000,000

    01

    /19

    90

    12

    /19

    90

    11

    /19

    91

    10

    /19

    92

    09

    /19

    93

    08

    /19

    94

    07

    /19

    95

    06

    /19

    96

    05

    /19

    97

    04

    /19

    98

    03

    /19

    99

    02

    /20

    00

    01

    /20

    01

    12

    /20

    01

    11

    /20

    02

    10

    /20

    03

    09

    /20

    04

    08

    /20

    05

    07

    /20

    06

    06

    /20

    07

    05

    /20

    08

    04

    /20

    09

    03

    /20

    10

    02

    /20

    11

    Ekspor RI ke JPN aktual

    FORECAST

    IJEPA berlaku

    Krisis subprime mortgage

  • 34

    Tabel 4.1 Dampak IJEPA terhadap Nilai Ekspor Indonesia ke Japan

    URAIAN Total Kontribusi Ekspor

    (US$)

    Dengan Skema IJEPA (p.a.) 33,535,290,000

    Tanpa Skema IJEPA (p.a.) 30,807,930,000

    Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) 2,727,360,000

    Sumber: Hasil analisis

    Ekspor Japan ke Indonesia

    Untuk pemodelan dan menghasilkan output model ARIMA dari ekspor Japan ke Indonesia ditempuh

    prosedur yang persis sama dengan model ARIMA ekspor Indonesia ke Japan terdahulu. Untuk input

    model ARIMA digunakan data time series Januari 1990 – Juni 2011, sedangkan untuk simulasi

    digunakan data time series Juli 2008 – Juni 2011.

    Gambar 4.6 Grafik Ekspor Japan ke Indonesia (Januari 1990 – Oktober 2011)

    Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC (2012)

    Pemeriksaan visual atas data ekspor Japan ke Indonesia pada grafik dalam gambar 4-6

    menunjukkan data awal belum dapat digunakan sebagai data input model mengingat data masih non-

    stasioner. Dugaan ini kemudian dipertegas oleh analisis correllogram dan hasil dari unit root test.

  • 35

    Melalui proses pengidentifikasian model sebagaimana dijelaskan pada metodologi penelitian

    dihasilkan model ARIMA yang sesuai dengan terhadap data ekspor Japan ke Indonesia. Dalam

    model tersebut dihasilkan derajat differencing (d) = 1, derajat autoregressive (AR) = 12, dan derajat

    moving average (MA) = 1. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dengan grafik first difference,

    analisis correllogram model residual, dan dua unit root test yakni ADF test dan PP test mempertegas

    keyakinan telah memadainya model tersebut (Gujarati, 2009 p. 782).

    Gambar 4.7 Model Ekspor Japan ke Indonesia Tanpa Skema IJEPA

    (ARIMA D=1, P=12, Q=1)

    Sumber : Hasil analisis

    Grafik ekspor Japan ke Indonesia pada gambar 4-6 di atas memperlihatkan krisis ekonomi

    dunia akhir tahun 2008 sangat mempengaruhi ekspor Japan ke Indonesia. Penurunan ekspor Japan ke

    Indonesia secara drastis terjadi sejak periode November 2008 hingga Mei 2010 akibat krisis, dan

    baru kembali normal sejak Juni 2010. Efek krisis cukup berat terasa sehingga pada saat itu telah

    meniadakan efek penguatan dari tarif preferensial IJEPA. Mengingat terjadinya anomali akibat krisis

    tersebut, sebagian data aktual pada periode pengamatan yaitu data November 2008 – Mei 2010 tidak

    dapat digunakan sebagai data pembanding dengan data simulasi. Untuk itu data simulasi dan data

    aktual yang dapat diperbandingkan hanyalah pada periode pengamatan Juli 2010-Juni 2011.

  • 36

    Gambar 4.8 Data Time Series Aktual Dengan IJEPA Dan Estimasi Simulasi Nilai Ekspor

    Japan Ke Indonesia Tanpa IJEPA (dalam US$ 000)

    Sumber: Hasil analisis

    Selama periode simulasi Juli 2010-Juni 2011 setelah berlaku skema tarif preferensial IJEPA

    total nilai ekspor aktual Japan ke Indonesia adalah US$ 17,982,250,000. Pada periode yang sama

    berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada skema tarif preferensial IJEPA, total nilai ekspor Japan ke

    Indonesia akan sedikit lebih rendah yaitu sebesar US$ 17,888,760,000. Dampak yang diberikan

    dengan adanya skema tarif preferensial IJEPA bagi ekspor Japan ke Indonesia adalah meningkatnya

    total nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata sebesar US$ 93,490,000 per tahunnya.

    Bersumber analisis data aktual tiga tahun terakhir, nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata

    tumbuh sebesar 33,61% per tahunnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai ekspor tanpa skema

    tarif IJEPA hanya akan meningkat sebesar 33,17% saja per tahunnya. Skema tarif IJEPA berdampak

    pada peningkatan pertumbuhan ekspor Japan ke Indonesia sebesar 0,43% (secara persentase) atau

    menjadikan pertumbuhan ekspor hanya 1,01 kali lipat kali lipat dibandingkan bila tidak ada skema

    tarif IJEPA. Secara makro bagi negara Japan, angka sebesar ini jelas bukan merupakan angka yang

    bagus dalam menunjukkan signifikansi dari dampak IJEPA terhadap ekspornya ke Indonesia.

    0

    200,000

    400,000

    600,000

    800,000

    1,000,000

    1,200,000

    1,400,000

    1,600,000

    1,800,000

    2,000,000 0

    1/1

    99

    0

    12

    /19

    90

    11

    /19

    91

    10

    /19

    92

    09

    /19

    93

    08

    /19

    94

    07

    /19

    95

    06

    /19

    96

    05

    /19

    97

    04

    /19

    98

    03

    /19

    99

    02

    /20

    00

    01

    /20

    01

    12

    /20

    01

    11

    /20

    02

    10

    /20

    03

    09

    /20

    04

    08

    /20

    05

    07

    /20

    06

    06

    /20

    07

    05

    /20

    08

    04

    /20

    09

    03

    /20

    10

    02

    /20

    11

    Ekspor JPN ke RI aktual

    forecast

    IJEPA berlaku

    awal krisis subprime mortgage

  • 37

    Tabel 4.2 Dampak IJEPA terhadap Nilai Ekspor Japan ke Indonesia

    URAIAN Total Kontribusi Ekspor

    (US$)

    Dengan Skema IJEPA (p.a.) 17,982,250,000

    Tanpa Skema IJEPA (p.a.) 17,888,760,000

    Dampak IJEPA terhadap peningkatan kontribusi nilai ekspor (p.a.) 93,490,000

    Sumber: Hasil analisis

    Dengan tingkat pertumbuhan diasumsikan tetap sebesar 17,93% per tahun, dalam dua tahun

    mendatang (Juli 2011 - Juni 2012) dan (Juli 2012 - Juni 2013), nilai ekspor Indonesia ke Japan

    berpotensi meningkat masing-masing menjadi US$24,025,186,526 dan US$32,098,852,347,266.

    Secara nominal dan persentase, Japan mengalami pertumbuhan kontribusi ekspor ke Indonesia

    yang positif akibat IJEPA walau tidak terlalu signifikan. Pangsa Japan sebagai negara asal impor

    Indonesia mengalami pasang surut. Bila posisi Japan pada tahun 1995 masih memegang pangsa

    negara asal impor sebesar 23%, pada tahun 2000 turun menjadi 9%, dan kembali naik di tahun 2010

    menjadi 12%.

    Ekspor Indonesia ke China

    Gambar 4.9 Ekspor Indonesia ke China Periode Januari 1990 – September 2011

    Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC

    Dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR dan

    MA sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian dihasilkan model ARIMA yang reasonable

  • 38

    fit terhadap data ekspor Indonesia ke China. Dalam model tersebut dihasilkan derajat differencing (d)

    = 2, derajat autoregressive (AR) = 12, dan derajat moving average (MA) = 12.5

    Setelah model ARIMA ini diperoleh menurut langkah-langkah dalam metodologi penelitian,

    Gujarati (2009:782) menyatakan model tersebut sudah memadai sehingga tidak perlu mencari model

    ARIMA lainnya. Hasil diagnostic checking melalui grafik second difference data ekspor Indonesia ke

    China, correllogram residual model, dan dua unit root test yakni ADF test dan PP test menguatkan

    keyakinan tersebut.

    Jumlah nilai ekspor aktual Indonesia ke China selama periode Januari 2009 – Desember 2011 -

    masa tiga tahun setelah berlaku skema preferential tariff ACFTA - mencapai US$50,198,467,238.

    Berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada skema preferential tariff ACFTA pada periode yang sama,

    total nilai ekspor Indonesia ke China akan sedikit lebih rendah yaitu US$49,849,336,667. Dengan

    demikian, adanya skema preferential tariff ACFTA memberikan dampak peningkatan total nilai

    ekspor Indonesia ke China net pada periode tersebut sebesar US$ 349,130,571 atau rata-rata US$

    116,376,857 per tahunnya.

    Gambar 4.10 Nilai Ekspor Indonesia Ke China Aktual Dengan Skema Tarif ACFTA dan

    Estimasi Hasil Simulasi Tanpa Skema Tarif ACFTA (dalam US$ 000)

    Sumber: Hasil analisis

    5 Di atas ARMA (11,11), Eviews versi 6 mampu mengidentifikasi ARIMA (p, d, q), namun tidak mampu untuk menggenerate estimasi equation-nya, sehingga estimasi persamaan model tidak bisa ditampilkan

    0

    500,000

    1,000,000

    1,500,000

    2,000,000

    2,500,000

    01

    /19

    90

    12

    /19

    90

    11

    /19

    91

    10

    /19

    92

    09

    /19

    93

    08

    /19

    94

    07

    /19

    95

    06

    /19

    96

    05

    /19

    97

    04

    /19

    98

    03

    /19

    99

    02

    /20

    00

    01

    /20

    01

    12

    /20

    01

    11

    /20

    02

    10

    /20

    03

    09

    /20

    04

    08

    /20

    05

    07

    /20

    06

    06

    /20

    07

    05

    /20

    08

    04

    /20

    09

    03

    /20

    10

    02

    /20

    11

    ekspor RI ke Cina (aktual)

    forecast

    ACFTA berlaku

    krisis subprime mortgage

  • 39

    Nilai ekspor Indonesia ke China telah meningkat sebesar 66,10% atau rata-rata tumbuh sebesar

    22,03% per tahunnya dalam tiga tahun terakhir pada masa ACFTA telah berlaku. Tingkat

    pertumbuhan tersebut masih di bawah periode 2006-2008 (pra ACFTA) yang tercatat sebesar 30,2%

    per tahun. Lonjakan kenaikan tajam pada periode 2009-2011 (pasca ACFTA) tercatat terjadi pada

    periode 3 sebesar US$ 5,4 miliar hingga menyebabkan nilai ekspor periode 3 pasca ACFTA

    mencapai 1,7 kali lipat dari periode 3 pra ACFTA.

    Selanjutnya dengan membandingkan antara data simulasi pasca ACFTA periode 3 dan data

    aktual pra ACFTA pada periode yang sama dapat diketahui bahwa tanpa ACFTA nilai ekspor

    Indonesia ke China akan tumbuh lebih kecil yakni sebesar 48,6% saja atau rata-rata tumbuh sebesar

    16,2% per tahunnya saja. Dengan demikian kondisi berlakunya skema tarif ACFTA memberikan

    dampak pada peningkatan pertumbuhan ekspor Indonesia ke China sebesar 5,83% (secara persentase)

    per tahun atau meningkatkan pertumbuhan ekspor menjadi 1,36 kali lipat dibandingkan bila skema

    tarif ACFTA tidak berlaku.

    Tabel 4.3 Peningkatan Nilai Ekspor Indonesia ke China Sebagai Dampak ACFTA

    URAIAN Peningkatan nilai ekspor

    Tanpa Skema ACFTA 16,20% p.a.

    Dengan Skema ACFTA 22,03% p.a.

    Peningkatan nilai ekspor sebagai dampak ACFTA 5,83% p.a.

    Derajat peningkatan pertumbuhan ekspor sebagai dampak ACFTA 1,36 kali lipat p.a.

    Sumber: Hasil analisis

    Untuk proyeksi ke depan bila diasumsikan dalam dua tahun mendatang tingkat pertumbuhan

    tetap sebesar 22,03% per tahun, nilai ekspor Indonesia ke China berpotensi meningkat masing-

    masing menjadi US$25,737,647,279 periode Januari - Desember 2012 dan US$31,408,156,032

    pada periode Januari – Desember 2013.

    Ekspor China ke Indonesia

    Dari proses menstasionerkan data melalui differencing dan pengidentifikasian derajat AR dan MA

    sebagaimana diuraikan pada metodologi penelitian dihasilkan model ARIMA yang reasonable fit

    terhadap data ekspor China ke Indonesia. Dalam model tersebut dihasilkan derajat differencing (d) =

    1, derajat autoregressive (AR) = 3, dan derajat seasonal autoregressive (SAR) = 3.

  • 40

    Gambar 4.11 Ekspor China ke Indonesia (Januari 1990 – Oktober 2011)

    Sumber data: IMF, diunduh dari CEIC

    Gambar 4-12. Hasil Model Ekspor China ke Indonesia (ARIMA p=3, d=1, bp=3)

    Sumber: Hasil analisis

    Hasil diagnostic checking antara lain menegaskan keyakinan bahwa model tersebut sudah

    memadai sehingga tidak perlu mencari model ARIMA lainnya (Gujarati, 2009 p.782).

  • 41

    Gambar 4.13 Nilai Ekspor China ke Indonesia Aktual dengan Skema Tarif ACFTA dan

    Estimasi Hasil Simulasi Tanpa Skema Tarif ACFTA (dalam US$ 000)

    Sumber: Hasil analisis

    Dari data statistik, total nilai ekspor aktual China ke Indonesia selama periode Januari 2009 –

    Desember 2011 yang merupakan masa 3 tahun setelah berlaku skema preferential tariff ACFTA

    mencapai US$ 64,976,034,000. Pada periode yang sama berdasarkan hasil simulasi bila tidak ada

    skema preferential tariff ACFTA, total nilai ekspor Indonesia ke China akan lebih rendah yaitu US$

    48,101,948,000. Jadi adanya skema preferential tariff ACFTA memberikan dampak peningkatan

    total nilai ekspor Indonesia ke China net selama 3 tahun sejak berlakunya ACFTA sebesar US$

    16,874,086,000 atau rata-rata US$ 5,624,695,000 per tahunnya.

    Dengan membandingkan antara data aktual pasca ACFTA periode 3 dan data aktual pra

    ACFTA periode yang sama dapat diketahui bahwa nilai ekspor China ke Indonesia telah meningkat

    sebesar 63,98% atau rata-rata tumbuh sebesar 21,33% per tahunnya. Tingkat pertumbuhan tersebut

    masih di bawah periode 2006-2008 (pra ACFTA) yang tercatat sebesar 56% per tahun. Kenaikan

    signifikan sebesar US$ 5,2 miliar menyebabkan tingginya nilai ekspor pada periode 3 pasca ACFTA

    hingga mencapai 1,6 kali lipat dari periode 3 pra ACFTA.

    -

    500,000

    1,000,000

    1,500,000

    2,000,000

    2,500,000

    3,000,000

    01

    /19

    90

    01

    /19

    91

    01

    /19

    92

    01

    /19

    93

    01

    /19

    94

    01

    /19

    95

    01

    /19

    96

    01

    /19

    97

    01

    /19

    98

    01

    /19

    99

    01

    /20

    00

    01

    /20

    01

    01

    /20

    02

    01

    /20

    03

    01

    /20

    04

    01

    /20

    05

    01

    /20

    06

    01

    /20

    07

    01

    /20

    08

    01

    /20

    09

    01

    /20

    10

    01

    /20

    11

    ekspor Cina ke RI aktual

    forecast

    ACFTA berlaku

    awal krisis subprime mortgage

  • 42

    Tabel 4.4 Peningkatan Nilai Ekspor China ke Indonesia Sebagai Dampak ACFTA

    URAIAN Peningkatan Nilai Ekspor

    Tanpa Skema ACFTA 2,77% p.a.

    Dengan Skema ACFTA 21,33% p.a.

    Peningkatan nilai ekspor sebagai dampak ACFTA 18,55% p.a.

    Derajat peningkatan ekspor sebagai dampak ACFTA 7,7 kali lipat p.a.

    Sumber: Hasil analisis

    Selanjutnya dengan membandingkan antara data simulasi pasca ACFTA periode 3 dan data

    aktual pra ACFTA pada periode yang sama dapat diketahui bahwa nilai ekspor Cina ke Indonesia

    tanpa ACFTA akan tumbuh lebih kecil yakni sebesar sebesar 8,32% saja atau rata-rata tumbuh

    sebesar 2,77% per tahunnya. Dengan demikian kondisi berlakunya skema tarif ACFTA memberikan

    dampak pada peningkatan ekspor China ke Indonesia sebesar 18,55% (secara persentase) per tahun

    atau secara nominal meningkat menjadi 7,7 kali lipat kali lipat dibandingkan bila skema tarif

    ACFTA tidak berlaku.

    Untuk proyeksi ke depan bila diasumsikan dalam dua tahun mendatang tingkat pertumbuhan

    tetap sebesar 21,33% per tahun, nilai ekspor China ke Indonesia berpotensi meningkat masing-

    masing menjadi US$ 31,141,362,202 periode Januari - Desember 2012 dan US$ 37,782,341,229

    pada periode Januari – Desember 2013.

    KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

    Secara makro, Indonesia maupun Japan memetik manfaat dari penurunan tarif dan keterbukaan pasar

    dalam IJEPA dalam tingkatan yang berbeda. Indonesia menerima tingkat manfaat yang lebih besar

    dari Japan baik dari sisi naiknya kontribusi ekspor terhadap pendapatan nasional secara nominal dan

    persentase dan berlipat gandanya tingkat pertumbuhan ekspor akibat keikutsertaannya dalam IJEPA.

    Indonesia maupun China sama-sama memetik manfaat dari pemberlakuan skema tarif ACFTA.

    Namun dalam konteks hubungan perdagangan barang kedua negara, China lebih dapat

    mengoptimalkannya sehingga manfaat yang diterima dapat jauh lebih besar dibandingkan manfaat

    yang diterima Indonesia. Bila diibaratkan upaya pengoptimalan manfaat ACFTA ini adalah suatu

    kompetisi, maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia cukup jauh tertinggal dalam

    persaingan mengoptimalkan manfaat ACFTA dibandingkan China. Walaupun demikian, dengan

  • 43

    adanya skema preferential tariff sektor barang ACFTA, manfaat secara jangka panjang terlihat dari

    tren positif peningkatan aktivitas ekspor dalam hubungan perdagangan kedua Negara.

    Berdasarkan analisis dampak IJEPA terhadap Indonesia dengan menggunakan model ARIMA,

    dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah memberikan dampak terhadap peningkatan nilai

    ekspor Indonesia ke Japan rata-rata sebesar US$2,727,360,000 per tahunnya. Angka tersebut

    merupakan besar kontribusi langsung terhadap pendapatan nasional Indonesia. Pertumbuhan nilai

    ekspor Indonesia ke Japan meningkat rata-rata sebesar 5,23% setiap tahunnya sebagai akibat dampak

    IJEPA, yang berarti peningkatan 1,58 kali lipat dibandingkan bila Indonesia tidak mengikuti IJEPA.

    Dari hasil analisis model ARIMA untuk Japan, dapat diketahui bahwa skema tarif IJEPA telah

    memberikan dampak terhadap peningkatan nilai ekspor Japan ke Indonesia rata-rata sebesar

    US$93,490,000 per tahunnya yang juga merupakan kenaikan kontribusi nilai ekspor terhadap

    pendapatan nasional Japan. Pertumbuhan nilai ekspor Japan ke Indonesia akibat IJEPA meningkat

    tipis rata-rata sebesar 0,43% p.a. atau naik hanya 1,01 kali lipat dibandingkan bila Japan tidak

    mengikuti IJEPA.

    IJEPA dapat memberikan manfaat lebih bagi Indonesia dari sisi pembentukan modal melalui

    penanaman modal langsung mengingat cakupannya yang menyeluruh termasuk di sektor barang,

    jasa, dan investasi. Sifat complementarity produk ekspor Indonesia yang lebih baik dengan Japan

    dibandingkan dengan negara-negara mitra Indonesia dalam AFTA memberikan peluang perolehan

    manfaat IJEPA yang besar bagi Indonesia.

    Dari sudut pandang Indonesia, berdasarkan analisis perbandingan kondisi dengan skema tarif

    ACFTA dan hasil simulasi kondisi tanpa skema tarif ACFTA selama periode pengamatan 1 Januari

    2009 sampai dengan 31 Desember 2011, dapat disimpulkan bahwa ACFTA berpengaruh pada

    peningkatan kontribusi ekspor bagi pendapatan nasional dan persentase pertumbuhannya.

    Berdasarkan analisis menggunakan model ARIMA dapat disimpulkan bahwa skema tarif ACFTA

    telah meningkatkan nilai ekspor Indonesia ke China rata-rata sebesar US$116,376,857 per tahunnya,

    atau berkontribusi langsung terhadap pendapatan nasional Indonesia sebesar rata-rata

    US$116,376,857 per tahun. Di luar efek langsung, kontribusi tersebut akan memberikan pula dampak

    ikutan atau turunan yang ditransmisikan ke sektor-sektor ekonomi lain sehingga pada gilirannya turut

    berkontribusi pada pendapatan nasional.

    Dari persentase pertumbuhan, nilai ekspor Indonesia ke China yang berkontribusi terhadap

    pendapatan nasional Indonesia meningkat rata-rata sebesar 5,83% setiap tahunnya sebagai akibat

    dampak ACFTA. Hal ini berarti adanya peningkatan 1,36 kali lipat dibandingkan bila Indonesia tidak

    mengikuti ACFTA.

  • 44

    Sementara itu dari sudut pandang China, skema tarif ACFTA telah meningkatkan kontribusi

    ekspor China ke Indonesia bagi pendapatan nasional China rata-rata sebesar US$ 5,624,695,000 per

    tahunnya. Besaran angka tersebut merupakan dampak langsung dari kontribusi nilai ekspor terhadap

    pendapatan nasional China, sedangkan dampak tidak langsungnya yang akan terjadi di putaran-

    putaran berikutnya akan menggerakkan aktivitas ekonomi di sektor-sektor ekonomi lainnya, yang

    pada akhirnya akan berkontribusi pada pendapatan nasional. Dari persentase pertumbuhan, skema

    tarif ACFTA telah meningkatkan pertumbuhan kontribusi nilai ekspor bagi pendapatan nasional

    China rata-rata sebesar 18,55% p.a. atau naik 7,7 kali lipat dibandingkan bila China tidak mengikuti

    ACFTA.

    Terkait keikutsertaan Indonesia dalam IJEPA, rekomendasi kebijakan yang disarankan adalah

    sebagai berikut:

    1. Keikutsertaan dalam IJEPA memberikan dampak positif bagi Indonesia dan Japan, oleh karena itu

    hubungan kemitraan tersebut perlu dilanjutkan dan ditingkatkan ke arah yang makin memberikan

    manfaat bagi keduanya. Cara-cara yang dapat dipertimbangkan adalah pendalaman (intensifikasi)

    dan perluasan (ekstensifikasi) komitmen, dan perluasan keanggotaan yang mengarah kepada FTA

    yang luas di kawasan Asia.

    2. Indonesia perlu mendorong produksi dari produknya yang memiliki keunggulan relatif tinggi

    untuk dapat diekspor ke manca negara

    3. Relatif tidak terlalu besarnya persentase pertumbuhan nilai ekspor Indonesia dan Japan sebagai

    dampak keikutsertaan dalam IJEPA dapat menjadi indikasi belum optimalnya pemanfaatan

    fasilitas tarif khusus IJEPA oleh eksportir-eksportir kedua negara, khususnya Indonesia.

    Kurangnya informasi detil tentang implementasi termasuk waktu pemberlakuan, pemanfaatan

    tarif preferensi, dan penerbitan sertifikat surat keterangan asal (SKA) barang dapat menjadi

    beberapa faktor penyebab. Oleh karena itu jumlah dan kualitas sosialisasi skema tarif IJEPA perlu

    ditingkatkan baik melalui tatap muka langsung maupun media komunikasi massal yang dapat

    secara lebih efektif menginformasikan fasilitas tarif khusus kepada seluruh eksportir Indonesia ke

    Japan.

    Terkait keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA, rekomendasi kebijakan yang disarankan

    adalah sebagai berikut :

    1. Kebijakan Indonesia dalam mengikuti ASEAN-China FTA memberikan dampak positif bagi

    Indonesia dan China. Oleh karena itu, hubungan kemitraan tersebut perlu dilanjutkan dan

    ditingkatkan ke arah yang makin memberikan manfaat optimal bagi keduanya, khususnya

    Indonesia yang tertinggal jauh dalam pengoptimalan manfaat ACFTA tersebut. Salah satu cara

    untuk mengoptimalkan manfaat tersebut bisa melalui kesepakatan bilateral.

  • 45

    2. Salah satu strategi China menembus pasar Indonesia adalah dengan menguasai Standar Nasional

    Indonesia (SNI). Tercatat per Maret 2011 China telah membeli dan menguasai 653 SNI dan

    rencananya akan membeli 6.779 SNI lagi.6 Indonesia perlu lebih ekspansif ke pasar China dan

    berupaya menguasai standar nasional China untuk mempermudah akses masuk ke pasar China.

    Dari survei dampak ACFTA yang dilakukan Kementerian Perindustrian, tercatat lima sektor

    industri paling terpukul oleh dampak ACFTA yaitu elektronik, furnitur, logam, permesinan, dan

    tekstil. Perhatian khusus pemerintah perlu diberikan untuk setidaknya meminimalkan seriusnya

    dampak sectoral adjustment yang terjadi pada kelima sektor tersebut. Keempat, adanya temuan

    praktik dumping beberapa produk China7 perlu disikapi dengan tegas oleh pemerintah Indonesia

    dengan segera melakukan kebijakan anti-dumping terhadap produk-produk tersebut.

    6 Bisnis Indonesia (2011)

    7 Media Indonesia (2011)

  • 46

    BAB V

    ASEAN FREE TRADE AREA

    PENDAHULUAN

    ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN

    untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing

    ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia

    serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi

    Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan akan

    dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir

    dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Skema Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN Free

    Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui: penurunan

    tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif

    lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk

    menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia,

    Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam

    pada tahun 2015.

    Produk yang dikategorikan dalam General Exception adalah produk-produk yang secara

    permanen tidak perlu dimasukkan kedalam CEPT-AFTA, karena alasan keamanan nasional,

    keselamatan, atau kesehatan bagi manusia, binatang dan tumbuhan, serta untuk melestarikan obyek-

    obyek arkeologi dan budaya. Indonesia mengkategorikan produk-produk dalam kelompok senjata

    dan amunisi, minuman beralkohol, dan sebagainya sebanyak 68 pos tarif sebagai General Exception.

    Dengan demikian, AFTA sebagai suatu upaya bersama bagi negara-negara ASEAN yang

    bertujuan untuk:

    1. menjadikan kawasan ASEAN sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk

    ASEAN memiliki daya saing kuat di pasar global;

    2. menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI); dan

    3. meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN (intra-ASEAN Trade).

    Bagi kepentingan Indonesia, AFTA memiliki potensi manfaat dan tantangan sekaligus. Potensi

    manfaat tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

  • 47

    1. Peluang pasar yang semakin besar dan luas bagi produk Indonesia, dengan total populasi di

    kawasan ASEAN sebesar ± 500 juta jiwa dan tingkat pendapatan masyarakat yang beragam;

    2. Biaya produksi yang semakin rendah dan pasti bagi pengusaha/produsen Indonesia yang

    sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku/penolong dari negara anggota ASEAN

    lainnya dan termasuk biaya pemasaran;

    3. Pilihan konsumen atas jenis/ragam produk yang tersedia di pasar domestik semakin banyak

    dengan tingkat harga dan mutu tertentu;

    4. Kerjasama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka dengan beraliansi dengan pelaku bisnis di

    negara anggota ASEAN lainnya.

    Selain peluang manfaat tersebut di atas, AFTA juga memberikan tantangan bagi Indonesia.

    Pengusaha/produsen Indonesia dituntut terus menerus dapat meningkatkan kemampuan dalam

    menjalankan bisnis secara profesional guna dapat memenangkan kompetisi dari produk yang berasal

    dari negara anggota ASEAN lai