lap skenario 2 geriatri
Post on 14-Aug-2015
535 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL BLOK GERIATRI
SKENARIO 2
INKONTINENSIA PADA LANSIA PASCA STROKE
Oleh :
KELOMPOK 7
Ensan Galuh Pertiwi G0009001
Bobbi Juni Saputra G0009039
Dwi Rachmawati H. G0009065
Ema Nur Fitriana G0009073
Farida Nur K. G0009077
Kristiana Margareta G0009117
Nimas Ayu Suri P. G0009149
Nur Zahratul Jannah G0009157
Putri Dini Azika G0009175
Raden Artheswara S. G0009177
Wisnu Yudho Hutomo G0009213
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena
ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah –
marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri
penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari–
hari harus dibantu.
Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan
neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+).
Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter
melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan
psikiatri.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
Jump 1
Memahami skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario.
1. Ngompol : Kencing secara tidak sengaja
(inkontinensia urine), yaitu keluhan
berkemih secara involunter karena
lemahnya otot vesica urinaria bagian
distal, biasanya karena beberapa penyakit.
2. Indeks Barthel : Pemeriksaan yang berfungsi untuk
mengetahui kemampuan fungsional tubuh,
biasanya pada pasien dengan kelainan
neuromusculer. Pemeriksaan ini juga dapat
menilai peningkatan fungsional tubuh
dalam evaluasi proses rehabilitasi.
3. Stroke : Tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan fungsi otak secara lokal maupun
sistemik, gejala dapat berkembang dalam
24 jam atau lebih tanpa adanya penyebab
yang jelas selain vaskuler.
4. Ngobrok : Suatu keadaan dimana penderita tidak
dapat menahan Buang Air Besar (BAB).
Keadaan ini disebut juga Inkontinensia alvi
5. Rectal Toucher : Pemeriksaan dengan dua jari, jari
dimasukkan ke anus. Pemeriksaan ini
berfungsi untuk menilai keadaan anus,
rectal dan prostat.
6. Pemeriksaan Ekstremitas : Pemeriksaan untuk menilai derajat
kekuatan otot, derajat kekuatan otot dinilai
dengan skor :
0 = tidak timbul kontraksi
1 = gerakan sedikit dan halus
2 = gerakan tidak dapat melawan gravitasi
3 = gerakan dapat melawan gravitasi tanpa
tahanan
4 = gerakan dapat melawan gravitasi
dengan tahanan sedang
5 = normal
7. Obat Tidur : Obat yang merangsang Susunan Syaraf
Pusat (SSP), mempunyai efek hipnotik
sehingga menyebabkan mengantuk,
mempermudah tidur dan mempertahankan
tidur. Contoh obat tidur seperti
Benzodiazepin, Barbitural dan golongan
lain.
8. Pemeriksaan Psikiatri : Pemeriksaan yang bertujuan untuk
mengetahui kondisi kejiwaan seseorang,
pemeriksaan ini dibagi menjadi dua
tahapan yaitu pengambilan raport
(anamnesis) dan penilaian status mental
(mood, afek, tilikan, dll).
Jump 2
Menentukan/mendefinisikan permasalahan.
1. Bagaimana fisiologi dari proses miksi, defekasi dan tidur ?
2. Bagaimana hubungan faktor resiko umur 75 tahun dengan gejala klinis
yang dialami pasien ?
3. Bagaimana patofisiologi dari ngompol sejak 3 bulan yang lalu pada
skenario ?
4. Bagaimana patofisiologi dari ngobrok yang dialami pasien ?
5. Bagaimana patofisiologi dari keadaan emosi yang labil (sering marah-
marah) yang dialami pasien ?
6. Bagaimana patofisiologi dari insomniayang dialami pasien ?
7. Apakah hubungan obat tidur yang dikonsumsi pasien dengan gejala klinis
yang dialami oleh pasien ?
8. Apakah hubungan keadaan berkabung yang dialami pasien (istrinya wafat)
dengan gejala klinis pada pasien ?
9. Apakah hubungan antara kondisi fisik pasien yang dalam melakukan
aktifitasnya harus dibantu dengan gejala klinis yang dialami oleh pasien ?
10. Adakah hubungan antara riwayat stroke yang pernah dialami pasien
dengan riwayat penyakit sekarang pada pasien ?
11. Bagaimana intepretasi hasil pemeriksaan neurologi, rectal toucher dan
USG pada pasien ?
12. Apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan indeks barthel itu dan
mengapa pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus dalam skenario ini ?
13. Bagaimanakah cara pemeriksaan psikiatri yang dilakukan pada pasien
dalam kasus skenario ini ?
14. Apa diagnosis banding dalam kasus pada skenario ini ?
15. Bagaimana penatalaksanaan dan prognosis pada pasien dalam skenario
ini?
Jump 3
Menganalisis permasalahan dan membuat pernyataan sementara mengenai
permasalahan tersebut.
A. Fisiologi Miksi, Defekasi, dan Tidur
1. Miksi
Proses miksi merupakan aktifitas dari proses neurofisiologi yang
kompleks dan terkoordinasi dengan sangat tepat dan melibatkan aktifitas
neuronal mulai dari korteks serebri, batang otak, medula spinalis dan saraf-
saraf tepi baik otonom maupun somatik.
Fungsi penyimpanan dan pengeluaran urine merupakan dua fungsi
bulibuli yang diatur oleh sistem refleks yang kompleks. Pengaturan ini
menghasilkan koordinasi antara kontraksi otot polos dan lurik yang
berakhir dengan terjadinya miksi pada tekanan intra uretra yang rendah
dan fungsi kandung kemih yang terkontrol. Fisiologi kandung kemih
terdiri atas neurofisiologi mekanisme refleks miksi dan fisiologi detrusor
serta otot lurik periuretra.
Tekanan yang dihasilkan oleh otot polos dan lurik disekitar dan
pada uretra membuat jaringan penunjang dan pembuluh darah yang ada di
bagian dalam dinding uretra terjepit sehingga epitel uretra menjadi seperti
tutup yang kedap air. Semua faktor ini akan menjadi faktor penting
terjadinya kontinensia. Tekanan intra uretra dalam keadaan istirahat adalah
antara 50-100 cm H2O, suatu tekanan yang cukup bila diingat bahwa
tekanan intravesika maksimal adalah 50 cm H2O.
Sfingter uretra disokong oleh otot, ligamen, dan fasia dasar panggul
dan pengalaman klinis menunjukkan bahwa hal ini penting untuk
mekanisme kontinensia yang efisien. Lebih dari itu kontraksi otot levator
ani mengangkat, memanjangkan dan menekan uretra sehingga berperan
penting pada terjadinya kontinensia pada saat kondisi stress misalnya pada
peningkatan tekanan intraabdominal secara tiba-tiba.
Tekanan yang dihasilkan oleh mekanisme sfingter proksimal pada
leher kandung kemih jauh lebih rendah dibanding mekanisme sfingter
distal. Tertutupnya leher kandung kemih hanya tergantung fungsi
detrusor. Selama detrusor tidak berkonsentrasi leher kandung kemih akan
tetap tertutup walaupun terjadinya kenaikan tekanan intravesikal yang
ekstrim seperti mengedan, batuk dan lain-lain. Hanya dengan kontraksi
detrusor terjadi pembukaan leher kandung kemih.
Kandung kemih dapat penyimpanan pertambahan jumlah urine tanpa
diikuti kenaikan tekanan intravesika. Hal ini dapat terjadi karena sifat
elastisitas otot kandung kemih yang dapat meregang. Selain itu kandung
kemih dalam keadaan kosong bukanlah berupa organ yang berkontraksi,
tetapi lebih berupa kantong yang terlipat. Oleh karenanya pengisian urine
dalam jumlah yang sedikit hanya mengubah bentuk kandung kemih yang
terlipat tanpa perlu meregangkan dindingnya, begitu volume urinee
bertambah banyak barulah kandung kemih akan meregang untuk
menjamin tertampungnya urinee tanpa mengakibatkan kenaikan tekanan
intervesika. Diluar kedua faktor, elastisitas dan kemampuan merubah
bentuk kandung kemih, diduga faktor persarafan juga berperan dalam
menghambat terjadinya kontraksi detrusor atau secara aktif membuat
relaksasi detrusor selama fase pengisian urine.
Kandung kemih terisi dengan kecepatan 1 ml/menit dan pada
awalnya tanpa adanya sensasi apapun. Sesuai dengan bertambahnya
jumlah urine dalam kandung kemih akan timbul sensasi samar yang timbul
di daerah perineum atau dalam rongga pelvik. Lama kelamaan sensasi ini
makin jelas dan sulit untuk diabaikan dan dalam keadaan normal ini saat
untuk miksi. Bila kandung kemih dibiarkan terisi terus maka timbul
sensasi regangan daerah abdomen bawah yang timbul dari saraf simpatis
ke kolum lateral dan mungkin berasal dari reseptor regangan di trigonum.
Bila tidak juga terjadi miksi akan terdapat sensasi miksi yang sulit
tertahan. Sensasi ini berasal dari uretra atau otot lurik periuretra. Serat
aferen untuk sensasi ini berjalan bersama nervus pudendus menuju kolum
dorsal medula spinalis. Ketiga sensasi ini mempunyai alur saraf berbeda
dan dapat terjadi tanpa kenaikan tekanan intravesikal. Sensasi pertama
adalah yang terpenting. Rangsangan untuk ketiga sensasi adalah distensi
kandung kemih. Walaupun distensi saja sudah merupakan rangsangan
yang cukup tapi faktor pertambahan volume yang dihubungkan dengan
frekuensi kontraksi ritmin detrusor dengan amplitudo rendah juga
memegang peranan.
a. Fase pengisisan
Persarafan menyebabkan kandung kemih mampu menahan urine
di kandung kemih sampai distensi kandung kemih mencapai titik
batasnya. Mekanisme saraf yang menjaga saraf parasimpatis
postganglionik tetap tidak aktif melibatkan tiga faktor. Pertama
adanya inhibisi berulang terhadap saraf postganglionik dengan
menghambat hubungan antar saraf di intermediolateral grey columns.
Penghambatan ini terjadi pada volume kandung kemih kecil dan akan
hilang waktu terjadinya miksi. Faktor kedua adalah peranan ganglion
parasimpatik yang berfungsi sebagai filter, impuls preganglion yang
rendah tidak akan diteruskan. Faktor ini merupakan faktor terpenting
yang juga akan hilang waktu terjadinya miksi. Faktor ketiga adalah
inhibisi oleh saraf simpatis terhadap parasimpatis ganglioner.
Tekanan penutupan uretra meningkat pada beberapa keadaan
seperti pengisian buli-buli secara cepat, peningkatan tekanan intra
abdomen, aktifitas fisik dan kontraksi volunter otot dasar panggul.
Kenaikan tekanan sebagai respon terhadap pengisian buli-buli terjadi
melalui refleks eferen dan nervus pelvikus.
Aktivitas neural mempertahankan tekanan intravesikal lebih
rendah dari tekanan uretral. Perbedaan tekanan intravesikal dengan
tekanan uretral disebut sebagai urethral closure pressure. Tekanan
intra uretral dipertahankan tinggi pada proses pengisian kandung
kemih disebabkan elastisitas jaringan ikat mukosa uretral, sedang
yang aktif mempertahankan tekanan intra uretral adalah tonus otot-
otot polos dan otot lurik intra uretral.
Peninggian mendadak tekanan intra andomen akan
ditransmisikan dan didistribusikan secara sama ke arah kandung
kemih dan ke uretral, sehingga pengaruh terhadap urethral closure
pressure tidak ada. Transmisi tekanan ini tergantung pada komponen
aktif yaitu kontraksi otot-otot lurik dan komponen pasif yaitu posisi
intra abdominal leher buli-buli dan uretra. Jika 6 otot-otot dan fasia
pada dasar pelvis melemah, penurunan posisi leher kandung kemih
dan uretral akan disertai dengan distribusi tekanan intra abdominal
yang tidak sama berakibat timbulnya stress inkontinensia.
b. Fase pengosongan
Pengosongan kandung kemih terjadi dengan adanya peningkatan
tekanan intravesika yang bertahan sampai kandung kemih kosong
disertai penurunan tekanan intra uretra. Miksi dimulai dengan
penurunan tekanan intra uretra yang mendahului kenaikan tekanan
intravesika beberapa detik walaupun kadang –kadang terjadi
bersamaan. Bila tekanan intravesika sampai batas tertentu maka leher
buli-buli akan membuka dan miksi dimulai. Pada saat miksi selesai
uretra pada daerah sfingter distal akan menutup dan penutupan ini
diikuti bagian yang lebih proksimal dan terakhir tertutupnya leher
kandung kemih.
2. Defekasi
Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses
makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau
setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang
mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar
kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks
gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan
ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di
dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari
kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon
pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam
kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal
bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot
abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang
timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan
ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae
dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden
dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung
persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan
kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara
kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah
padat bukan setengah cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang
ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di
kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm
atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya
dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen
itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar
selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3
menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan
lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya
menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali
setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah
mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk
defekasi (Guyton, 1997).
3. Tidur
Berdasarkan proses tidur terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur
yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi
retikularis atau aebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang
otaknya sangat lambat atau disebut tidur NREM. Kedua, jenis tidur yang
disebabkan oleh penyaluran isyarat-isyarat abnormal dari dalam otak
meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara disebut dengan
jenis tidur paradoks atau tidur REM (rapid eye moverment).
a. Tidur gelombang lambat (Slow wave sleep)
Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh,
dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri
tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan
gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh,
tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola
mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun.
Tahapan tidur jenis NREM
1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi
mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase
rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat.
Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada
fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.
2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium
NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke
tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini
terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa
menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,
predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus
per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,
berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah
dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu
didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan
tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik
pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu
gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang
lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif,
dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan
darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur
dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-
2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta.
Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3
dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.
Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur
gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan
sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara
sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini
meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM
ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur
stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola
mata cepat. Refleks tendon melemah
b. Tidur paradoks /tidur REM (rapid eye movement)
Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi
selama 5 - 20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-
100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur
sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada.
Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:
1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.
2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak.
3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi
kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.
4) Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.
5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.
6) Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan
darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat.
7) Tidur ini penting untuk kescimbangan mental, emosi, juga berperan
dalam belajar, memori, dan adaptasi
B. Inkontinensia
1. Inkontinensia Urin
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak
terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis
penderitanya (Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem
saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama
ingin berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria
(VU) mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar
300-600 ml (Pranarka, 2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot
detrusor VU berkontraksi, diikuti relaksasi dari sfingter dan uretra.
Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi tahanan dari muara uretra
dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk, Reuben dkk dalam
Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di
bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot
detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah
kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak
(Setiati dan Pramantara, 2007).
Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum.
Jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi
tentang isi VU ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000).
Ketika VU mulai terisi urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis
dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat
subkortikal (pada ganglia basal dan cerebellum) menyebabkan VU
relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang
mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian VU berlanjut, rasa
penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontalis)
bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan
subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan
menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan
melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik
dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi.
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik,
namun juga mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu,
prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor.
Kontraksi VU juga calcium-channel dependent, karena itu calcium-
channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU. Interferensi aktivitas
kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot
(Setiati dan Pramantara, 2007).
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi.
Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin)
dapat memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat
mengganggu penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi
sfingter uretra. Karena itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat
mengganggu dengan menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan
aktifitas kontraktil adrenergic-alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).
Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat
antara uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-
abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang
tepat, urin tidak akan pada saat terdapat tekanan atau batuk yang
meningkatkan tekanan intra-abdomen (Setiati dan Pramantara, 2007).
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada
pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf
otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi
dinding VU, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan
mempertahankan inervasi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase
pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan
parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan
pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf
yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan
korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal
memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).
Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun
prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia
karena semakin banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara,
2007). Faktor-faktor risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia
terkait dengan pertambahan usia adalah (Pranarka, 2000):
a. Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera,
kemunduran sistem lokomosi.
b. Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan
pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.
Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):
a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.
b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis,
demensia dan lain-lain.
c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang
tidak memadai/jauh, dan sebagainya.
Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi
a. Inkontinensia urin akut
Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP, yang
merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):
D : Delirium
R : Retriksi, mobilitas, retensi
I : Infeksi, inflamasi, impaksi feses
P : Pharmacy (obat-obatan), poliuri
Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut
termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-
kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel
blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering
berkaitan dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat
mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang
selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan
Pramantara, 2007).
b. Inkontinensia urin persisten
Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-
masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan.
Inkontinensia persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):
1) Tipe stress
Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah
sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi
karena terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra.
Sering pada wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya
pengaruh estrogen dan sering melahirkan disertai tindakan
pembedahan.
2) Tipe urgensi
Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal,
biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu
sensasi penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat
gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor
VU. Inkontinensia tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya
stroke, demensia, sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla
spinalis.
3) Tipe luapan (overflow)
Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah
sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat
teregang. Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:
- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan
penyempitan jalan keluar urin.
- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya
pada diabetes mellitus.
4) Tipe fungsional
Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai
tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun
bermacam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap
untuk berkemih. Faktor psikologik seperti marah, depresi juga
dapat menyebabkan inkontinensia tipe ini.
2. Inkontinensia Alvi
Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan (Pranarka, 2000):
a. Feses yang cair atau belum berbentuk, sering bahkan selalu keluar
merembes.
b. Keluarnya feses yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali per hari,
dipakaian atau ditempat tidur.
Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini
dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk
untuk diagnosis.
Berdasarkan etiologinya, inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4
kelompok (Pranarka, 2000):
a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi
Konstipasi bila berlangsung lama menyebabkan
sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Skibala akan
menyumbat lubang bawah anus dan menyebabkan perubahan besar
sudut ano-rektal. Kemampuan sensor menumpul, tidak dapat
membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang
cair akan merembes keluar. Skibala juga mengiritasi mukosa rectum,
kemudian terjadi produksi cairan dan mukus, yang keluar melalui
sela-sela dari feses yang impaksi, yang menyebabkan inkontinensia
alvi.
Langkah pertama penatalaksanaan adalah pemberian diit tinggi
serat dengan cairan yang cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas.
Saat yang teratur untuk buang air besar dengan menyesuaikan dengan
refleks gaster-kolon yang timbul beberapa menit setelah selesai makan
harus dimanfaatkan, dengan mengatur posisi buang air besar pada
waktu tersebut. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadi juga
akan mendukung.
b. Inkontinensia alvi simtomatik
Dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai kelainan
patologik yang dapat menyebabkan diare. Beberapa penyebab diare
yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain
gastroenteritis, diverticulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif,
karsinoma kolon/rectum. Penyebab lain misalnya kelainan metabolik,
contohnya diabetes mellitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis,
kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi operasi haemorrhoid yang
kurang berhasil, dan prolapsis rekti.
Pengobatan inkontinensia alvi simtomatik adalah terhadap
kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara
tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang
menyebabkan konstipasi.
c. Inkontinensia alvi neurogenik
Terjadi akibat gangguan fungsi menghambat dari korteks
serebri saat terjadi regangan/distensi rectum. Distensi rectum, akan
diikuti relaksasi sfingter interna. Pada orang dewasa normal, tidak
terjadi kontraksi intrinsik dari rectum karena ada hambatan/inhibisi
dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak
memungkinkan, hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari
terhadap kontraksi rectum dan sfingter eksternanya. Pada lanjut usia,
kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu
bahkan hilang.
Karakteristik tipe ini tampak pada penderita dengan infark
serebri multiple, atau penderita demensia. Gambaran klinisnya
ditemukan satu-dua potong feses yang sudah terbentuk di tempat tidur,
dan biasanya setelah minum panas atau makan.
Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik, dengan
menyiapkan penderita pada suatu komodo (commode), duduk santai
dengan ditutup kain sebatas lutut, kemudian diberi minuman hangat,
relaks, dan dijaga ketenangannya sampai feses keluar.
d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal
Terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-
otot seran lintang. Pada tipe ini, terjadi pengurangan unit-unit yang
berfungsi motorik pada otot-otot daerahh sfingter dan pubo-rektal.
Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal, berkurangnya
sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini berakibat
inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan
prolaps dari rectum. Pengelolaan tipe ini sebaiknya diserahkan pada
ahli proktologi untuk pengobatannya.
C. Gangguan Tidur
1. Gangguan Tidur pada Lansia
Pada kelompok lanjut usia (40 tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang
mengeluh masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari).
Hal yang sama di jumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun.
Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun
lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia 70
tahun yang banyak terbagnun diwaktu malam hari. Anka ini ternyata 7x
lenih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun.
Gangguan tidak saja menunjukan indikasi akan adanya kelainan jiwa
yang dini tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang
berobat ke dokter, disebabkan oleh :
a. Faktor Ekstrinsik (luar) misal: lingkungan yang kurang tenang.
b. Faktor intrinsik, mial bisa organik dan psikogenik.
1) Organik, misal: nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang
membuat gelisah.
2) Psikogenik, misal: depresi, kecemasan dan iritabilitas.
Lansia dengan depresi, stroke, penyakit jantung, penyakit paru,
diabetes, artritis, atau hipertensi sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya
buruk dan durasi tidurnya kurang bila dibandingkan dengan lansia yang
sehat. Gangguan tidur dapat meningkatkan biaya penyakit secara
keseluruhan. Gangguan tidur juga dikenal sebagai penyebab morbiditas
yang signifikan. Ada beberapa dampak serius gangguan tidur pada lansia
misalnya mengantuk berlebihan di siang hari, gangguan atensi dan memori,
mood depresi, sering terjatuh, penggunaan hipnotik yang tidak semestinya,
dan penurunan kualitas hidup. Angka kematian, angka sakit jantung dan
kanker lebih tinggi pada seseorang yang lama tidurnya lebih dari 9 jam atau
kurang dari 6 jam per hari bila dibandingkan dengan seseorang yang lama
tidurnya antara 7-8 jam per hari (Hardiwinoto, 2005).
Gangguan tidur pada lansia dapat bersifat nonpatologik karena faktor
usia dan ada pula gangguan tidur spesifik yang sering ditemukan pada
lansia. Ada beberapa gangguan tidur yang sering ditemukan pada lansia.
a. Insomnia primer
Ditandai dengan:
1) Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap
tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling
sedikit satu bulan.
2) Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau
impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya.
3) Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan
mental lainnya.
4) Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik
umum atau zat.
Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk
tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari
waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit
masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur.
Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tetap tidak segar
meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila
penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia
sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur,
makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa
tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan.
b. Insomnia kronik
Disebut juga insomnia psikofisiologik persisten. Insomnia ini dapat
disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi akibat
bebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur.
Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran,
atau pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa
tidur). Adanya kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur
menyebabkan seseorang berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin
tidak bisa tidur. Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang
mengganggu ketika berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia
psikofisiologik. Selain itu, ketika berusaha untuk tidur terjadi
peningkatan ketegangan motorik dan keluhan somatik lain sehingga
juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita bisa tertidur ketika tidak
ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga insomnia yang
terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi. Diagnosis
ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau
mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan
tidur. Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu
jam), terbangun lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur
kurang dari lima jam. Tetapi dari hasil polisomnografi terlihat bahwa
onset tidurnya kurang dari 15 menit, efisiensi tidur 90%, dan waktu
tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan gangguan seperti ini dikatakan
mengalami mispersepsi terhadap tidur.
c. Insomnia idiopatik
Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak
kehidupan dini. Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir
dan dapat berlanjut selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan
disebabkan oleh ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio
retikularis batang otak atau disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal
sendiri atau adanya rasa ketakutan yang dieksaserbasi pada malam hari
dapat menyebabkan tidak bisa tidur. Insomnia kronik dapat
menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan anxietas),
menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta
menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan
lansia tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.
Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat
gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati
sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Anksiolitik sering
digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan. Kopi dan
stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa kasus,
penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan
polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur
buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat,
dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan otot meningkat dan jumlah
aktivitas alfa dan beta juga meningkat 2,3 (Hardiwinoto, 2005).
2. Obat Hipnotik Sedatif
Hipnotik Sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf
pusat (SSP) yang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu
menyebabkan kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya
kesadaran, keadaan anestesi, koma dan mati, bergantung kepada dosis. Pada
dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas, menurunkan respon terhadap
rangsangan emosi dan menenangkan.
Obat Hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan
sedatif biasanya merupakan turunan Benzodiazepin. Beberapa obat Hipnotik
Sedatif dari golongan Benzodiazepin digunakan juga untuk indikasi lain,
yaitu sebagai pelemas otot, antiepilepsi, antiansietas dan sebagai
penginduksi anestesis (Ghana, 2009).
D. Psikologis pada Lansia
1. Perubahan Psikologis Lansia
2. Pemeriksaan Psikiatri
3. Depresi pada Lansia
E. Stroke
1. Pendahuluan
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut,
lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan
disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke
sekunder karena trauma maupun infeksi.
Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat
disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan
oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai
oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya
tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan
aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau
tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu
daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik
dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.
2. Epidemiologi Stroke
Penelitian prospektif tahun 1996/1997 mendapatkan 2.065 pasien
stroke dari 28 rumah sakit di Indonesia Survei Departemen Kesehatan RI
pada 987.205 subjek dari 258.366 rumah tangga di 33 propinsi mendapatkan
bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun
(15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%,
tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua
(RISKESDAS, 2007).
3. Patologi Stroke
a. Infark
Stroke infark terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran
darah ke otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per
menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit,
aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik,
sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun
sampai <10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian
perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk
daerah infark.
b. Perdarahan Intraserebral
Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral.
Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama.
Penyebab lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena,
angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan,
dan angiopati amiloid.
c. Perdarahan Subaraknoid
Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada
percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arteri-
vena atau tumor.
4. Faktor Risiko Stroke
Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk
pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya
kualitas hidup. Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko
dilaksanakan dengan ketat.
Tabel 1. Faktor risiko stroke
Bisa dikendalikan Potensial bisa
dikendalikan
Tidak bisa
dikendalikan
- Hipertensi
- Penyakit jantung
- Fibrilasi atrium
- Endokarditis
- Stenosis mitralis
- Infark jantung
- Merokok
- Anemia sel sabit
- Transient Ischemic Attack (TIA)
- Stenosis karotis asimtomatik
- Diabetes melitus
- Hiperhomosis-
teinemia
- Hipertrofi
ventikel kiri
- Umur
- Jenis
kelamin
- Herediter
- Ras dan
etnis
- Geografi
5. Tanda dan Gejala Stroke
Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis
yang bersifat akut (Tabel 2).
Tabel 2. Tanda dan Gejala Stroke
Tanda dan Gejala
Hemidefisit motorik;
Hemidefisit sensorik;
Penurunan kesadaran;
Kelumpuhan nervus fasialis (VII) dan hipoglossus (XII) yang bersifat sentral;
Gangguan fungsi luhur seperti kesulitan berbahasa (afasia), dan gangguan
fungsi intelektual (demensia);
Buta separuh lapangan pandang (hemianopsia);
Defisit batang otak.
6. Penatalaksanaan ( PERDOSSI, 2007 ):
a. Stadium hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat
dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan
agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien
diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari
pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O.
Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto
toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin
time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika
hipoksia, dilakukan analisis gas darah.
Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan
dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada
keluarganya agar tetap tenang.
b. Stadium akut
Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik
maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara
dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien.
Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut
dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan
pasien yang dapat dilakukan keluarga.
1) Stroke Iskemik
Terapi umum:
Letakkan kepala pasien pada posisi 30°, kepala dan dada pada
satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai
bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan
intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian
dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid
1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral
hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan
menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik.
Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu
selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg
% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa
40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian
obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera
diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik
≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg
(pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau
didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal
ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat
yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor
alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg,
diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam,
dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau
sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan
darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20
μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3
menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian
antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang
muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka
panjang.
Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol
bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika
dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk,
dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai
alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.
Terapi khusus:
Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet
seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan
trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator).
Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam
(jika didapatkan afasia).
2) Stroke Hemoragik
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume
hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan
hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk.
Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah
premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik
>120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma
bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)
sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg
per oral.
Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi
kepala dinaikkan 30°, posisi kepala dan dada di satu bidang,
pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan
hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik,
tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat,
atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah
dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat
vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak
perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk
dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan
VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda
peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi.
Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis
Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi,
ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM).
c. Stadium subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder.
Terapi fase subakut:
1) Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya.
2) Penatalaksanaan komplikasi.
3) Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi.
4) Prevensi sekunder.
5) Edukasi keluarga dan Discharge Planning (Setyopranoto, 2011).
F. Indeks Barthel
Indeks barthel adalah suatu alat yang cukup sederhana untuk menilai
perawatan diri, dan mengukur harian seseorang berfungsi secara khusus
aktivitas sehari-hari dan mobilitas. Indeks Barthel terdiri dari 10 item yaitu,
transfer (tidur ke duduk, bergerak dari kursi roda ke tempat tidur dan kembali),
mobilisasi (berjalan), penggunaan toilet (pergi ke/dari toilet), membersihkan
diri, mengontorl BAB, BAK, mandi, berpakaian, makan, naik turun tangga.
Penilaian ini dapat digunakan untuk menentukan tingkat dasar dari fungsi dan
dapat digunakan untuk memantau perbaikan dalam aktivitas sehari-hari dari
waktu ke waktu. Penilaian indeks barthel didasarkan pada tingkat bantuan
orang lain dalam meningkatkan aktivitas sehari-hari meliputi sepuluh aktivitas.
Apabila seseorang mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri
maka akan mendapat nilai 15 dan jika membutuhkan bantuan nilai 10 dan jika
tidak mampu 5 untuk masing-masing item. Kemudian nilai dari setiap item
akan dijumlahkan untuk mendapatkan skor total dengan skor maksimum
adalah 100. Namun di Inggris nilai 5, 10 dan 15 cukup sering diganti dengan 1,
2, dan 3 dengan skor maksimum 20 (Sujana, 2000).
Tabel 3. Indeks Barthel
G. Penatalaksanaan dan Prognosis
1. Asesmen Geriatri
Asesmen Geriatri adalah suatu proses pendekatan multidisiplin untuk
menilai aspek medik, fungsional, psikososial dan ekonomi penderita usia
lanjut dalam rangka menyusun rencana program pengobatan dan
pemeliharaan kesehatan yang rasional. Asesmen Geriatrik ada 2 macam
yaitu :
a. Asesmen geriatrik administratif
b. Asesmen geriatrik klinik
Mengingat sifat dan karakteristik penderita usia lanjut seperti, maka
penanganannya harus bersifat holistik, yaitu:
b. Penegakan diagnosis: berbeda dengan tata cara diagnosis yang
dilaksanakan pada golongan usia lain, penegakan diagnosis pada
penderita usia lanjut dilaksanakan dengan tata cara khusus yang
disebut dengan asesmen geriatrik. Cara ini merupakan suatu analisis
multidimensional dan sebaiknya dilakukan oleh suatu tim geriatrik.
c. Penatalaksanaan penderita: penatalaksanaan penderita juga
dilaksanakan oleh suatu tim multidisipliner yang bekerja secara
interdisipliner dan disebut sebagai "tim geriatri". Hal ini perlu
mengingat semua aspek penyakit (fisik-psikis), sosial-ekonomi, dan
lingkungan harus mendapat perhatian yang sama. Susunan dan besar
tim bisa berbeda-beda tergantung pada tingkatan pelayanan. Di tingkat
pelayanan dasar, hanya diperlukan tim "inti" yang terdiri dari dokter,
perawat, dan tenaga sosiomedik.
d. Pelayanan kesehatan vertikal dan horisontal: aspek holistik dari
pelayanan geriatri harus tercermin dari pemberian pelayanan vertikal,
yaitu pelayanan yang diberikan dari Puskesmas sampai ke pusat
rujukan geriatri tertinggi, yaitu di rumah sakit provinsi. Pelayanan
kesehatan horizontal adalah pelayanan kesehatan yang diberikan
merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan menyeluruh. Dengan
demikian, ada kerjasama lintas sektoral dengan bidang kesejahteraan
lain, misalnya agama, pendidikan/kebudayaan, olah raga, dan sosial.
e. Jenis pelayanan kesehatan: sesuai dengan batasan geriatri seperti
tersebut di atas, maka pelayanan kesehatan yang diberikan harus
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitasi dengan
memperhatikan aspek psiko-sosial serta lingkungan.
Tugas masing-masing anggota tim adalah sebagai berikut:
a. Asesmen lingkungan/sosial: petugas sosio-medik
b. Asesmen fisik: dokter/perawat.
c. Asesmen psikis: dokter/perawat/psikolog-psikogeriatris.
d. Asesmen fungsional/disabilitas: dokter/terapis rehabilitasi.
e. Asesmen psikologik: dokter-psikolog/psikogeriatri.
Dengan tata cara asesmen geriatric yang terarah dan terpola, maka
kemungkinan terjadinya "mis/under diagnosis" yang sering didapatkan
pada praktik geriatri dapat dihindari atau dieliminasi sekecil mungkin.
Pelaksanaan Asesmen Geriatri
a. Anamnesis
1) Identitas penderita
2) Anamnesis tentang obat
3) Penilaian sistem
Perlu dilakukan juga allo-anamnesis dari orang/keluarga yang
merawatnya sehari-hari, meliputi:
1) Ananmnesi tentang kebiasaan yang merugikan kesehatan
2) Anamnesis tentang berbagai gangguan yang didapat
3) Riwayat tentang problema utama geriatri (sindrom geriatri)
b. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan vital sign dengan pemeriksaan tekanan darah dalam
keadaan tidur, duduk, dan berdiri masing-masing selang 1-2 menit
untuk melihat kemungkinan terdapatnya hipotensi ortostatik.
2) Pemeriksaan fisik untuk menilai sistem
a) Pemeriksaan saraf kepala
b) Pemeriksaan panca indera, saluran nafas atas, gigi-mulut
c) Pemeriksaan leher, kelenjar tiroid, bising arteri karotis
d) Pemeriksaan dada, paru-paru, jantung dan seterusnya sampai
pada pemeriksaan ekstremitas, refleks-refleks, kulit-
integumen.
c. Pemeriksaan tambahan
1) Foto toraks, EKG
2) Laboratorium: darah/urin/feses rutin, gula darah, lipid, fungsi hati,
fungsi ginjal, fungsi tiroid (T3, T4, TSH), kadar serum B6, B12.
d. Pemeriksaan fungsi
1) Aktivitas hidup sehari-hari (AHS dasar)
2) Aktivitas hidup sehari-hari instrumental (AHS instrumental)
3) Kemampuan mental dan kognitif
e. Asesmen lingkungan
f. Daftar masalah
(Martono, 2010)
2. Penatalaksanaan
3. Prognosis
Jump 4
Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan
secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-
permasalahan pada langkah 3.
Jump 5
Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Memperoleh informasi yang akurat tentang status kesehatan geriatri.
2. Melakukan pemeriksaan klinis geriatri.
3. Menyusun data dari simptom, pemerikasaan fisik, prosedur klinis, dan
pemeriksaan laboratorium untuk mengambil suatu kesimpulan suatu
diagnosis penyakit geriatri
4. Merancang manajemen penyakit geriatri.
5. Melakukan penatalaksanaan kasus geriatri.
Eyang KartoUsia: 75 tahun
Keluhan Utama:Ngompol sejak 3
bulan dan ngobrok selama 2 minggu
Keluhan Lain:- Sering marah-marah- Tidak bisa tidur, sering minum obat
tidur.
2 tahun yang lalu:Dirawat akibat stroke
Pemeriksaan fisik:- Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan
inferior sinistra kekuatan menurun (3+/3+)- Rectal Toucher = Tidak ada pembesaran prostat
Pemeriksaan penunjang:- USG = Tidak ada pembesaran prostat- Pemeriksaan Indeks Barthel- Pemeriksaan psikiatri
Tinggal dengan putrinya,
aktivitas sehari-hari harus dibantu
6. Merancang tindakan preventif penyakit geriatri dengan
mempertimbangkan faktor pencetus.
7. Menjelaskan cara pencegahan komplikasi penyakit geriatri.
Jump 7
Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh.
Berdasarkan usia, Eyang Karto sudah termasuk usia lanjut karena berusia
lebih dari 60 tahun. Pasien tersebut dibawa ke dokter oleh karena mengompol
(inkontinensia urin) dan ngobrok (inkontinensia alvi). Kedua hal tersebut bisa saja
terjadi karena kelainan urologik (radang atau tumor), neurologik (kelainan SSP,
stroke, demensia, hilang reflek berkemih/ defekasi, dan trauma medulla spinalis),
otot kandung kemih yang abnormal, otot dasar panggul melemah, hambatan
mobilitas, tempat berkemih yang tidak memadai, maupun faktor psikologik
(marah dan depresi).
Sering marah-marah pada pasien tersebut biasa terjadi pada lansia, oleh
karena penurunan hormon serotonin ataupun faktor psikologik (kehilangan
pasangan hidup, kesepian, dan stress). Penurunan serotonin juga menyebabkan
penderita lebih cemas, dan sulit tidur, sehingga beberapa kasus diperlukan obat
tidur. Namun, efek samping obat tidur yang diberikan pada pasien tersebut dapat
menyebabkan inkontinensia urin oleh karena efek penurunan kontraksi otot dan
sensasi berkemih pada vesica urinaria.
Pada skenario, Eyang Karto mengalami gangguan psikologi yang mana
istrinya telah wafat. Kehilangan pasangan hidup pada pasien geriatri memberikan
dampak besar terhadap rasa kesepian, rasa berkabung sehingga pasien geriatri
akan cenderung mengisolasi diri, menarik diri, menyalahkan diri sendiri, dan
marah pada diri sendiri sehingga menyebabkan peningkatan stress dan depresi.
Tingkat depresi dan stress akan semakin tinggi karena pasien susah melakukan
aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain. Psikologis yang
terganggu dapat memicu kebingungan, perasaan takut, sulit berkonsentrasi,
ketidakberdayaan sehingga mengurangi daya sensoris ingin mixie dan defekasi,
dan mengurangi motivasi untuk menemukan kamar mandi sehingga dapat memicu
inkontinensia.
Keadaan imobilisasi pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari
sehingga membutuhkan bantuan orang lain menyebabkan pasien tidak dapat
mencapai tempat berkemih sendiri dan tidak dapat menahan untuk tidak berkemih
sebelum sampai pada tempatnya juga memicu inkontinensia fungsional.
Riwayat Penyakit dahulu menyatakan bahwa dua tahun lalu penderita
dirawat akibat stroke. Riwayat stroke menjelaskan bahwa pasien pernah
mengalami gangguan di daerah otak. Pengaturan sistem berkemih diatur oleh jaras
peryarafan dibawah koordinasi pusat pada batang otak, otak kecil, dan korteks
serebri. Apabila terdapat gangguan stroke, hal tersebut menyebabkan gangguan
pengaturan koordinasi pusat untuk rangsangan dan pengaturan berkemih. Selain
itu, stroke menyebabkan kelumpuhan (immobilitas), penurunan sensoris untuk
rangsang kemih dan defekasi, dan gangguan kognitif dalam mengenal rumah
sehingga semakin memicu terjadinya inkontinensia urin dan alvi.
Pada hasil pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra
kekuatannya menurun (3+/3+) menjelaskan bahwa terdapat gangguan mobilitas
pada tubuh pasien yang mana ekstremitas superior dan inferior sinistra hanya
mampu melawan gaya gravitasi tanpa tahanan. Hal ini semakin memperjelas
bahwa pasien telah mengalami kelumpuhan akibat dari stroke. Kelumpuhan -
seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas- menyebabkan inkontinensia
dan peningkatan depresi.
Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan
pada pasien adalah rectal toucher. Sebagaimana diketahui bahwa rectal toucher
bertujuan untuk mengeksplorasi rectum dengan jari. Rectal toucher menilai
keadaan mukosa rectal,posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta menilai
reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal toucher sesuai
skenario karena salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB
sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan prostat pasien. Kasus pembesaran prostat
dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi pada usia tua dan gejala
yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urine tipe overflow disertai
inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal toucher dan
gambaran USG, didapatkan prostat tidak membesar, maka diagnosis inkontinensia
tipe overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.
Pemeriksaan indeks barthel dilakukan untuk mengetahui kemampuan
pasien dengan kelainan neuromuskular atau muskuloskeletal dalam merawat
dirinya sendiri. Pada kasus ini pemeriksaan indeks barthel dilakukan karena
pasien adalah pasien post stroke yang memiliki kelainan neuromuskuler. Tes ini
diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penatalaksanaan rehabilitasi medik
pada pasien, khususnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang dibutuhkan
pasien dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mengulang tes ini secara rutin, tenaga
medis juga dapat menentukan peningkatan kemampuan seorang penderita post
stroke dalam melakukan aktivitas harian.
Pemeriksaan psikiatri dilakukan untuk mengeathui adakah gangguan
psikologis khususnya depresi pada pasien. Perubahan kondisi fisik, psikologi, dan
lingkungan pada seorang lansia sangat memungkinkan terjadinya gangguan
psikologis. Berdasarkan riwayat keadaan pasien yang ditinggal istrinya,
penurunan kemandirian pasca stroke, serta kelainan inkontinensia pada lansia
dalam kasus skenario, pemeriksaan psikiatri juga sangat diperlukan untuk
menentukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, pemeriksaan ini juga
dilakukan untuk mengetahui salah satu kemungkinan penyebab inkontinensia
pada pasien yang berupa stress.
Untuk menentukan penatalaksanaan pada pasien kasus skenario perlu
dilakukan assessment geriatric. Selanjutnya, berdasarkan data assessment
geriatric, penatalaksanaan disesuaikan menurut keadaan pasien, tentunya dengan
mempertimbangkan segala aspek, baik itu fisik, psikis, maupun sosial ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit
majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,
kondisi sosial yang bermasalah.
2. Skenario 2 ini belum dapat didiagnosis secara pasti, dikarenakan kondisi
multipatologi, namun didapatkan inkontinensia urin,riwayat stroke, dll,
sehingga membutuhkan informasi yang lebih rinci dan jelas untuk
memberikan intervensi pengobatan.
3. Geriatri assesment sangatlah diperlukan untuk mendiagnosis penyakit
yang ada pada di skenario ini.
B. Saran
1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya
diawasi dengan baik, sebab lebih sering terjadi efek samping, interaksi,
toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat
yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta
ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya.
2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus
dikuasai untuk pasien Geriatri dan berikanlah penatalaksanan sesuai
prioritas dan pertimbangan agar tidak terjadinya polifarmasi.
3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan
penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi (2000). Buku ajar geriatri (ilmu kesehatan
usia lanjut) edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Ghana (2009). Hipnotiva dan sedativa.
http://medicastore.com/apotik_online/obat_saraf_otot/obat_bius.htm -
diakses Maret 2012
Guyton, Arthur C (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hardiwinoto, Setiabudi, Tony (2005). Tinjauan geriatri dari berbagai aspek.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Martono H, Nasution I (2010). Penderita geriatrik dan asesmen geriatri. Dalam:
Martono H, Pranarka K (eds). Buku ajar boedhi-darmojo: Geriatri edisi ke-
4. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp:
115-129.
PERDOSSI (2007). Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.
Pranarka K (2000). Inkontinensia. Dalam Darmojo R.B. dan Martono H.H. Buku
Ajar Geriatri Ed.2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia (2007). Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Setiati S. dan Pramantara I.D.P (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M.,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9
Setyopranoto I (2011). Stroke: Gejala dan penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran 185 vol. 38 no.4 Mei –Juni 2011, pp: 247-250.
Sjahrir (2003). Penatalaksanaan dalam masalah geriatri. Jakarta: Erlangga.
Sujana (2000). Penilaian pasien lansia dengan penurunan kemandirian. Surabaya:
PT. Bina Pustaka.
top related