konsep dan manajemen nyeri dalam keperawatan
Post on 07-Aug-2015
551 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Konsep dan Manajemen Nyeri Dalam Keperawatan
Definisi
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya
diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan
yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan
oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan
oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu
ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat
diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe,
1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).
Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan
paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Individu yang merasakan nyeri merasa
tertekan atau menderita atau mencari upaya untuk menghilangkan rasa nyeri. Perawat tidak
dapat melihat dan merasakan nyeri yang klien rasakan. Nyeri merupakan sumber penyebab
frustasi, baik bagi klien maupun tenaga kesehatan. Perawat menggunakan berbagai
intervensi untuk menghilangkan nyeri dan mengembangkan kenyamanan.
Kenyamanan adalah konsep sentral tentang kiat keperawatan. Berbagai teori keperawatan
menyatakan kenyamanan sebagai kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian
asuhan keperawatan. Donahue (1989) meringkaskan “melalui rasa nyaman dan tindakan
memberikan kenyamanan, perawat memberikan kekuatan, hiburan, harapan, dukungan,
dorongan dan bantuan.” Berbagai teori keperawatan menyatakan kenyamanan sebagai
kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman
seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut
dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam pengkajian
nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.
a. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri
terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara
kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa
bereaksi terhadap nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan
kalau apa yang dilakukan perawat dapat menyebabkan nyeri. Anak-anak yang belum
mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai kesulitan mendeskripsikan secara verbal
dan mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau perawat.
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang sederhana dan tepat untuk
membantu anak dalam membantu anak dalam memahami dan mendeskripsikan nyeri.
Sebagai contoh, pertanyaan kepada anak, “ Beritahu saya dimana sakitnya?” atau “apa
yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan sakit kamu?”. Hal-hal diatas dapat
membantu mengkaji nyeri dengan tepat.
Perawat dapat menunjukkan serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang
berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat
menunjukkan gambar yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan mereka.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara
signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis kelamin
merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus
berani dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam waktu yang
sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip dari Potter & Perry, 1993
mempelajari kebutuhan narkotik post operative pada wanita lebih banyak dibandingkan
dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Calvillo & Flaskerud, 1991).
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh latar belakang budayanya
(Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) nyeri biasanya menghasilkan respon efektif yang
diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda. Ekspresi nyeri dapat dibagi
kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi (Davidhizar et all, 1997, Marrie, 2002) pasien
tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka memiliki sikap dapat
menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional akan berekspresi secara verbal dan
akan menunjukkan tingkah laku nyeri dengan merintih dan menangis (Marrie, 2002).
Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain.
Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang
berlebihan, seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang
budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu
pasien ke pasien lain.
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan memahami mengapa nilai-nilai ini
berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi
perilaku pasien berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang
mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang
nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku
terhadap nyeri juga efektif dalam menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).
d. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak
seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan
yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan
pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang
relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap
nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara
aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk
menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri ketimbang ansietas
(Smeltzer & Bare, 2002).
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialaminya, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan. Individu ini
mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda
sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu
tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak
adekuat. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri
selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu saja menetap dan
tidak terselesaikan, seperti padda nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan
pentingnya perawat untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri.
Jika nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan
terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri dengan baik (Smeltzer &
Bare, 2002).
Klasifikasi Nyeri
Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-
tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak
ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri
akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan
(Brunner & Suddarth, 1996).
Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang
berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung,
frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak
tangan, dan perubahan ukuran pupil.
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode
waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk
diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang
diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer
2001).
Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam gangguan,
terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan
meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan
kerusakan jaringan, ini bersifat terus-menerus atau intermitten.
Karakteristik Nyeri Akut Nyeri Kronis
Pengalaman Satu kejadian Satu situasi, status eksistensi
SumberSebab eksternal atau penyakit dari dalam
Tidak diketahui dan pengobatan yang terlalu lama
Serangan mendadak Bisa mendadak, berkembang atau terselubung
Waktu Sampai 6 bulan Lebih dari 6 bulan sampai bertahun-tahun
Pernyataan nyeriDaerah nyeri tidak diketahui secara pasti
Daerah nyeri sulit dibedakan intensitasnya, sehingga sulit dievaluasi(perubahan perasaan)
Gejala-gejala klinis
Pola respon yang khas dengan gejala yang lebih jelas
Pola respon yang bervariasi dengan sedikit gejala (adaptasi)
Fisiologi Nyeri
Menurut Torrance & Serginson (1997), ada tiga jenis sel saraf dalam proses penghantaran
nyeri yaitu sel syaraf aferen atau neuron sensori, serabut konektor atau interneuron dan sel
saraf eferen atau neuron motorik. Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya
yang menyebabkan impuls nyeri dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak.
Reseptor-reseptor ini sangat khusus dan memulai impuls yang merespon perubahan fisik
dan kimia tubuh. Reseptor-reseptor yang berespon terhadap stimulus nyeri disebut
nosiseptor.
Stimulus pada jaringan akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri
dari prostaglandin, histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat
kimia ini akan mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak (Torrance &
Serginson, 1997).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) kornu dorsalis dari medula spinalis dapat dianggap sebagai
tempat memproses sensori. Serabut perifer berakhir disini dan serabut traktus sensori
asenden berawal disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem neural desenden dan
traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir pada otak bagian bawah dan bagian
tengah dan impuls-impuls dipancarkan ke korteks serebri.
Agar nyeri dapat diserap secara sadar, neuron pada sistem asenden harus diaktifkan.
Aktivasi terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri yang terletak dalam kulit dan organ
internal. Terdapat interkoneksi neuron dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan,
menghambat atau memutuskan taransmisi informasi yang menyakitkan atau yang
menstimulasi nyeri dalam jaras asenden. Seringkali area ini disebut “gerbang”.
Kecendrungan alamiah gerbang adalah membiarkan semua input yang menyakitkan dari
perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengaktifkan nyeri. Namun demikian, jika
kecendrungan ini berlalu tanpa perlawanan, akibatnya sistem yang ada akan menutup
gerbang. Stimulasi dari neuron inhibitor sistem asenden menutup gerbang untuk input nyeri
dan mencegah transmisi sensasi nyeri (Smeltzer & Bare, 2002).
Teori gerbang kendali nyeri merupakan proses dimana terjadi interaksi antara stimulus nyeri
dan sensasi lain dan stimulasi serabut yang mengirim sensasi tidak nyeri memblok transmisi
impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat. Sel-sel inhibitor dalam kornu dorsalis
medula spinalis mengandung eukafalin yang menghambat transmisi nyeri (Wall, 1978
dikutip dari Smeltzer & Bare, 2002).
Pengkajian Nyeri
Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri
dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda
(Tamsuri, 2007).
1. Face Pain Rating Scale
Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak usia pra sekolah dan
sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face Pain Rating Scale yaitu terdiri dari 6
wajah kartun mulai dari wajah yang tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang
menangis untuk “nyeri berat”.
2. Word Grapic Rating Scale
Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas nyeri, biasanya dipakai untuk
anak 4-17 tahun (Testler & Other, 1993; Van Cleve & Savendra, 1993 dikutip dari Wong &
Whaleys, 1996).
3. Skala intensitas nyeri numerik
Perawat dapat
menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan skala 0 sampai 10
atau skala yang serupa lainnya yang membantu menerangkan bagaimana intensitas
nyerinya. Nyeri yang ditanyakan pada skala tersebut adalah sebelum dan sesudah
dilakukan intervensi nyeri untuk mengevaluasi keefektifannya (Mc Kinney et al, 2000). Jika
klien mengerti dalam penggunaan skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran
yang diungkapkan atau ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap instrumen
tersebut dapat menjadi valid dan dapat dipercaya (Gracely & Wolskee,1983; Houdede,
1982; Sriwatanakul, Kelvie & Lasagna, 1982 dikutip oleh Jacox, et al, 1994).
Manajemen nyeri
Adapun macam penanganan nyeri :
Tindakan Farmakologis : Analgesik Narkotik, Analgesik Lokal, Analgesik yang dikontrol
klien, Obat – obat nonsteroid.
Tindakan non-farmakologi:
a. Distraksi adalah teknis memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri
(Brunner & Suddarth, 1996). Distraksi diduga dapat menurunkan nyeri, menurunkan
persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desendens, yang mengakibatkan
lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi
tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori
selain nyeri (Brunner & Suddarth, 1996).
Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan menoton sampai menggunakan
aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks. Kunjungan dari keluarga dan teman-
teman sangat efektif dalam meredakan nyeri. Orang lain mungkin akan mendapatkan
peredaan nyeri melalui permainan dan aktivitas yang membutuhkan konsentrasi. Tidak
semua pasien mencapai peredaan nyeri melalui distraksi, terutama mereka yang
mengalami nyeri hebat. Dengan nyeri hebat klien mungkin tidak dapat berkonsentrasi
cukup baik untuk ikut serta dalam aktivitas mental atau fisik yang kompleks (Smeltzer &
Bare, 2002).
Menurut Taylor (1997), cara-cara yang dapat digunakan pada teknik distraksi antara
lain: (1) penglihatan: membaca, melihat pemendangan dan gambar, menonton TV, (2)
pendengaran: mendengarkan musik, suara burung, gemercik air, (3) taktil kinestik:
memegang orang tercinta, binatang peliharaan atau mainan, pernafasan yang berirama,
(4) projek: permainan yang menarik, puzzle, kartu, menulis cerita, mengisi teka-teki
silang.
b. Guided Imagery
Rank (2011) menyatakan guided imagery merupakan teknik perilaku kognitif dimana
seseorang dipandu untuk membayangkan kondisi yang santai atau tentang
pengalaman yang menyenangkan. Guided imagery dapat berfungsi sebagai pengalih
perhatian dari stimulus yang menyakitkan dengan demikian dapat mengurangi
respon nyeri (Jacobson, 2006). Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan
psikoneuroimmunologi yang mempengaruhi respon stres, selain itu dapat
melepaskan endorphin yang melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi
rasa sakit atau meningkatkan ambang nyeri (Hart, 2008).
c. Relaksasi
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri
kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen,
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan
siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 1989). Ada tiga hal utama yang
diperlukan dalam relaksasi, yaitu : posisi yang tepat, pikiran beristirahat, lingkungan
yang tenang. Posisi pasien diatur senyaman mungkin dengan semua bagian tubuh
disokong. Pasien menarik napas dalam dan mengisi paru-paru dengan udara. Perlahan-
lahan udara dihembuskan sambil membiarkan tubuh menjadi kendor dan merasakan
dan merasakan betapa nyaman hal tersebut. Pasien bernapas beberapa kali dengan
irama normal. Pasien menarik napas dalam lagi dan menghembuskan pelan-pelan dan
membiarkan hanya kaki dan telapak kaki yang kendor. Perawat minta pasien untuk
mengkonsentrasikan pikiran pasien pada kakinya yang terasa ringan dan hangat
Pasien mengulang langkah ke-4 dan mengkonsentrasikan pikiran pada lengan perut,
punggung dan kelompok otot-otot yang lain. Setelah pasien merasa rileks, pasien
dianjurkan bernapas secara pelan-pelan. Bila nyeri menjadi hebat, pasien dapat
bernapas dangkal dan cepat. Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan
memberikan beberapa keuntungan, antara lain :
1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri atau stress
2. Menurunkan nyeri otot
3. Menolong individu untuk melupakan nyeri
4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur
5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain
6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat nyeri
d. Kompres Hangat
Kompres hangat dapat meredakan iskemia dengan menurunkan kontraksi uterus dan
melancarkan pembuluh darah sehingga dapat meredakan nyeri dengan mengurangi
ketegangan dan meningkatkan perasaan sejahtera, meningkatkan aliran menstruasi,
dan meredakan Vasokongesti pelvis ( Bobak, 2005). Menurut Perry & Potter (2005),
prinsip kerja kompres hangat dengan mempergunakan buli-buli panas yang dibungkus
kain yaitu secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari bulibuli ke dalam
tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan terjadi
penurunan ketegangan otot sehingga nyeri haid yang dirasakan akan berkurang atau
hilang. Menurut Price & Wilson (2005), cara ini efektif untuk mengurangi nyeri atau
kejang otot. Prinsip kerja kompres hangat dengan menggunakan buli-buli panas yang di
bungkus kain dengan cara pemindahan secara konduksi dimana terjadi pemindahan
panas dari buli-buli kedalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh
dara yang akan menurunkan ketegangan
otot dan meningkatkan aliran darah.
Daftar Pustaka
Academy For Guided Imagery. (2011). Diakses pada tanggal 23 November 2012 dari
http://www.academyforguidedimagery.com/whatisguidedimagery/index.html
Gottsegen D .(2011). Hypnosis for Fungtional Abdominal Pain. diakses pada tanggal 23
2012 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
Helms, J.E., & Barone, C.P. (2008). Physiology and treatment of pain. Critical care nurse, 28
(6), 38-48.
Prasetyo Nian Sigit. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jakarta : Graha Ilmu
Suwardana, Swasri, Suryaning, 1998. Perbedaan Kompres dingin dengan kompres Hangat
dalam menurunkan suhu Tubuh klien Infeksi di Pusat Pelayanan Kesehatan Denpasar. Dep
Kes RI. Pusat Tenaga Kesehatan.
Wahyuni, N.S., & Nurhidayat, S. (2008). Efektifitas pemberian kompres terhadap penurunan
nyeri phlebitis akibat pemasangan intravena line. Fenomena, 5(2).
top related