kelompok siii-referat isi halusinasi dengar
Post on 02-Jan-2016
46 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Halusinasi atau persepsi indera tanpa adanya rangsangan eksternal dapat
terjadi pada indera manapun. Salah satu bentuk halusinasi yang umum terjadi
yaitu halusinasi dengar yakni persepsi suara tanpa adanya rangsang eksternal.
Halusinasi dengar merupakan gejala paling umum pada pasien psikotik seperti
skizofrenia dan gangguan skizoafektif (Subramanian et al., 2013).
Beberapa penderita mengalami halusinasi dengar yang menetap sehingga
mengalami disfungsi secara langsung terhadap seluruh aspek kehidupannya.
Upaya medis dilakukan untuk mengontrol halusinasi yang pada umumnya
dengan pemberian obat-obatan antipsikotik, namun sekitar 30% penderita
halusinasi dengar hanya berespons sebagian terhadap pengobatan antipsikotik
standar. Berbagai jenis terapi pun dikembangkan untuk mengobati atau
mengurangi gejala halusinasi dengar pada pasien psikotik (Zarghami,
Moonesi, & Khademloo, 2012; Subramanian et al., 2013). Oleh karena itu,
perlu dipelajari lebih lanjut mengenai halusinasi dengar dan
penatalaksanaannya pada pasien psikotik yang tepat.
B. Tujuan
1. Mengetahui mekanisme dan aspek psikologi halusinasi dengar pada pasien
psikotik
2. Mengetahui penatalaksaan halusinasi dengar pada pasien psikotik
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Psikotik
Gangguan psikotik adalah semua kondisi yang menunjukkan adanya
hendaya berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku
individu dalam suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya
mengalami hendaya berat kemampuan daya nilai realitas (perlu
dipertimbangkan faktor budaya) (Sadock & Sadock, 2010). Bukti langsung
hendaya daya nilai realitas terganggu adalah seperti berikut:
1. adanya waham, halusinasi, dan tanpa tilikan akan sifat patologinya;
2. adanya perilaku yang demikian kacau (grossly disorganized) misalnya
bicara yang inkoheren, perilaku agitasi tanpa tujuan, disorientasi pada
delirium, dan sebagainya;
3. adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dengan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan tidak mampu dalam tugas pekerjaan sehari-hari.
B. Halusinasi Dengar
1. Definisi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang timbul tanpa adanya
rangsang apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam
keadaan sadar atau bangun, yang disebabkan oleh kemungkinan organik,
fungsional psikotik ataupun histerik, dan tidak berdasarkan kenyataan serta
merupakan gejala yang paling umum pada gangguan psikotik. Halusinasi
dengar (auditorik) adalah persepsi suara tanpa adanya rangsang suara
3
apapun, dapat juga berupa bunyi-bunyi seperti musik. Karakteristiknya
ditandai dengan mendengar suara, terutama suara-suara orang, biasanya
pasien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang
sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu
(Kaplan, Saddock, & Greb, 2010; Djatmiko, 2009).
2. Mekanisme Gangguan Halusinasi Dengar
Penelitian neuroimaging terkini menunjukkan bahwa interpretasi
informasi auditorik pada sistem saraf pusat terdiri dari dua jaras, dorsal
sebagai penginterpretasi informasi spatial dan ventral sebagai
penginterpretasi informasi non-spatial. Jaras dorsal mendeskripsikan lokasi
sumber suara, jaras ini berada pada bagian posterosuperior lobus temporal,
inferior lobus parietal, dan superior lobus frontal. Jaras ventral
menginterpretasikan isi suara, jaras ini berada pada bagian anterosuperior
lubos temporal dan inferior lobus frontal. Stimulus suara diinterpretasikan
melalui kedua jaras tersebut sehingga menjadi suatu informasi suara yang
utuh (Badcock, 2010).
Gambar 2.1. Jaras interpretasi auditorik manusia (Badcock, 2010).
4
Halusinasi dengar terjadi sebagai akibat dari abnormalitas interpretasi
dengar yang terjadi pada kedua jaras auditorik. Isi dari halusinasi dengar
merupakan hasil dari abnormalitas proses interpretasi pada jaras ventral.
Abnormalitas ini dapat terjadi apabila ada kelainan pada jaras ventral.
Salah satu penelitian neuroimaging menunjukkan bahwa penurunan
volume pada girus superior lobus temporal menghasilkan aktivitas jaras
ventral yang abnormal. Penelitian lainnya pada pasien skizofrenia
menunjukkan bahwa penurunan aktivitas neuroimaging pada girus
superior lobus temporal berbanding lurus dengan tingkat keparahan
halusinasi dengar yang terjadi (Badcock, 2010).
Halusinasi seolah terdapat suara dari luar yang mengkomentari dan
menyuruh seseorang untuk bertindak sesuatu merupakan abnormalitas dari
fungsi spatial auditorik. Kelainan pada jaras dorsal akan membuat suara
yang ada diinterpretasikan seolah berada di luar kepala. Penelitian
neuroimaging menunjukkan bahwa pada pasien yang mengalami
halusinasi memiliki aktivitas abnormal pada planum temporal di lobus
temporoparietal (Badcock, 2010).
5
3. Aspek Psikologis Gangguan Halusinasi Dengar pada Pasien Psikotik
Gambar 2.2. Formasi dan Konsolidasi Halusinasi Dengar (Garselan, 2004)
Dalam gambar 2.2 di atas, ditampilkan proses formasi dan konsolidasi
halusinasi dengar. Personal antecedents merujuk ke berbagai variabel yang
menyebabkan berbagai trigger halusinasi menjadi teraktivasi. Variabel-
variabel tersebut meliputi: kepercayaan metakognitif, predisposisi untuk
tersugesti, dan kepribadian. Halusinasi ditandai dengan adanya
kepercayaan metakognitif yang membuat seseorang meyakini bahwa
situasi pribadi mereka adalah suatu masalah, dengan didukung kerentanan
6
untuk tersugesti dan memperlihatkan ketidakstabilan emosi (Garselan,
2004).
Permulaan dari proses halusinasi terjadi ketika seseorang menghadapi
situasi yang berbeda yang tidak dapat diatasi dan orang tersebut
menginterpretasikannya sebagai ancaman bagi integritas fisik dan
psikologis. Sebagai dampaknya, orang tersebut merasa dikuasai oleh
situasi dan kondisi yang stress (Garselan, 2004). Dalam situasi tesebut
dibutuhkan adaptasi untuk menanggulangi stress. Berikut ini beberapa
situasi yang menimbulkan stressor psikososial antara lain (Hawari, 2006):
a. Perkawinan
Permasalahan perkawinan menjadi sumber stress bagi seseorang
misalnya pertengkaran, perceraian dan kematian salah satu pasangan.
b. Problem orang tua
Permasalahan yang dihadapi orang tua misalnya tidak memiliki anak,
kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit dan hubungan yang tidak
baik antara anggota keluarga. Permasalahan tersebut diatas bila tidak
dapat diatasi oleh yang bersangkutan maka seseorang akan jatuh sakit.
c. Hubungan interpersonal
Adanya konflik antarpribadi merupakan sumber stress bagi seseorang
yang bila tidak dapat diperbaiki maka seseorang akan jatuh sakit.
d. Pekerjaan
Stress pekerjaan misalnya seseorang yang kehilangan pekerjaan,
pensiun, pekerjaan yang terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi
dan jabatan.
7
e. Lingkungan hidup
Kondisi lingkungan sosial dimana seseorang itu hidup. Stressor
lingkungan hidup antara lain masalah perumahan, pindah tempat
tinggal, penggusuran dan hidup dalam lingkungan yang rawan
kriminalitas. Rasa tidak aman dan tidak terlindungi membuat jiwa
seseorang tercekam sehingga mengganggu ketenangan dan ketentraman
hidup yang lama-kelamaan daya tahan tubuh seseorang akan turun dan
pada akhirnya akan jatuh sakit.
f. Keuangan
Kondisi sosial ekonomi yang tidak sehat misalnya pendapatan jauh
lebih rendah daripada pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha,
warisan dan lain sebagainya merupakan sumber stress.
g. Penyakit fisik atau cidera
Penyakit dapat menjadi sumber stres yang dapat mempengaruhi kondisi
kejiwaan seseorang terutama penyakit kronis.
h. Faktor keluarga
Sumber stres bagi anak remaja yaitu hubungan kedua orangtua yang
kurang baik, orang tua yang jarng dirumah, komunikasi antara anak dan
orang tua tidak baik, perceraian kedua orang tua, salah satu orang tua
menderita gangguan kejiwaan, dan orang tua yang pemarah.
Interpretasi dari peristiwa pribadi yang dialami sebagai peristiwa
asing melalui dua proses, yang pertama berhubungan dengan bias
eksternal. Ketika penderita berpikir bahwa peristiwa yang yang terjadi
8
bukan dialami olehnya, dan menganggapnya sumber eksternal. Fenomena
tersebut disebut juga dengan bias in reality monitoring atau bias in source
monitoring. Penderita mengalami kesulitan untuk menentukan asal dari
peristiwa dan mengaitkannya dengan sumber eksternal. Proses kedua
yakni perubahan struktur bahasa yang ditandai dengan perubahan pada
kata ganti orang misalnya, orang pertama diekspresikan sebagai orang
kedua atau ketiga (Garselan, 2004).
Beberapa karakteristik dari halusinasi dengar antara lain:
a. Individualisasi dan personifikasi suara. Beberapa penderita
mengidentifikasi suara dan menghubungkannya dengan individu nyata
yang berasal dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, teman, atau
public figure; sebagian lagi tidak menghubungkannya dengan suara
orang tertentu.
b. Sikap turut dalam suara. Suara ditujukan pada penderita untuk
mendengarkan atau mengambil bagian dalam percakapan tersebut,
mungkin juga dapat berdialog dengan suara-suara yang didengar.
c. Suara-suara yang berhubungan. Ada interaksi antara pendengar dengan
suara, misalnya suara pertanyaan-jawaban, permintaan-penolakan, dan
lain sebagainya.
Perilaku yang dapat ditimbulkan akibat adanya halusinasi dengar
tergantung isi dari suara sesuai dengan kepercayaan penderita terhadap
halusinasi dengar yang mereka alami antara lain:
a. Percaya bahwa suara tersebut memiliki identitas. Sebagian besar
penderita memegang penuh keyakinan mengenai sumber suara.
9
Penderita berpikir bahwa suara-suara yang mereka dengan berasal dari
orang lain atau sesuatu yang berasal dari luar.
b. Percaya mengenai maksud dan tujuan dari suara. Penderita biasanya
mencari maksud dan tujuan dari suara yang mereka dengar. Sebagian
kasus, pasien berpikir bahwa suara-suara tersebut akan menyakiti
(voice with malevolent meaning) atau suara tersebut akan membatu
mereka (benevolent voices).
c. Percaya pada kekuatan suara. Penderita berpikir bahwa suara yang
mereka dengar sangat kuat dan mereka tak berdaya untuk melawannya.
Kepercayaan ini sangat dekat kaitannya dengan ide dari suara yakni
omnipotent atau omniscient.
d. Percaya pada konsekuensi atau resistensi. Penderita berpikir bahwa
mereka harus mematuhi isi suara dan percaya sesuatu yang buruk akan
terjadi apabila suara tersebut tidak dipatuhi.
4. Penatalaksanaan Halusinasi Dengar pada Pasien Psikotik
a. Farmakoterapi
Cara utama untuk mengobati halusinasi dengar adalah dengan
obat antipsikotik yang mempengaruhi metabolisme dopamin. Jika
diagnosis utama adalah gangguan mood (dengan ciri-ciri psikotik),
obat ajuvan sering digunakan (misalnya, antidepresan atau stabilisator
mood). Adapun kelompok yang umum digunakan adalah :
1. Fenotiazin Asetofenazin (60-120 mg)
2. Klorpromazin (30-800 mg)
3. Flufenazine (1-40 mg)
10
4. Mesoridazin (30-400 mg)
5. Perfenazin (12-64 mg)
6. Proklorperazin (15-150 mg)
7. Trifluoperazin (2-40 mg)
8. Trifluopromazin (60-150 mg)
9. Tioksanten Klorprotiksen (75-600 mg)
10. Tiotiksen (8-30 mg)
11. Butirofenon Haloperidol 1-100 mg)
12. Dibenzodiazepin Klozapin (300-900 mg)
Berdasarkan data dari European First-Episode Schizophrenia
Trial (EUFEST) terhadap 5 jenis obat antipsikotik yaitu haloperidol,
olanzapine, amisulpride, quetiapine, dan ziprasidone menunjukkan
hasil bahwa haloperidol memliki efek lebih rendah dalam mengurangi
halusinasi dibandingkan 4 obat lainnya. Penggunaan dosis obat
antipsikotik sama dengan dosis awal yang dipertahankan selama 1
tahun untuk rumatan dapat mencegah kekambuhan (Sommer et al,
2012).
Klozapin merupakan drug of choice bagi pasien yang resisten
terhadap 2 macam obat antipsikotik. Kadar klozapin dalam darah
yang menimbulkan efek terapetik adalah 350-450 µg/ml. Meskipun
klozapin merupakan obat antipsikotik paling efektif untuk halusinasi
refrakter, tidak semua pasien remisi sempurna dengan kadar klozapin
dalam darah yang adekuat. Pada beberapa pasien yang resisten,
strategi pengobatan yang dilakukan meliputi: psikoterapi, augmentasi
farmakologik, repetitive TMS, dan ECT. Di dalam klinik, klozapin
11
diaugmentasi dengan lithium, sodium valproat, benzodiazepine, atau
selective serotonin reuptake inhibitor (Sommer et al, 2012).
b. Repetitive transcranial magnetic stimulation (r-TMS)
TMS merupakan teknik noninvasif dengan menghantarkan arus
listrik melalui kumparan yang ditempelkan pada tulang kepala area
tertentu yang mampu mendepolarisasi neuron-neuron area lokal, pada
kedalaman 2 cm. Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS)
dengan frekuensi rendah (1 Hz) pada korteks temporoparietal sinistra
digunakan untuk terapi halusinasi dengar refrakter. R-TMS secara
signifikan dapat mengurangi halusinasi dengar dengan efek rata-rata
8,5 minggu. RTMS direkomendasikan penggunaannya dengan
kombinasi farmakoterapi (Sommer et al., 2012; Subramanian et al,
2013).
c. Electro Compulsive Therapy (ECT)
Terapi electroconvulsive atau ECT telah terbukti mengurangi
gejala psikotik berhubungan dengan skizofrenia, mania, dan depresi
serta sering digunakan di rumah sakit jiwa (Shergil, 1998). Walaupun
ECT terbukti mengurangi gejala psikotik, namun dalam
penggunaannya, ECT tidak direkomendasikan untuk selalu digunakan
pada terapi skizofrenia dan efek dalam mengurangi halusinasi masih
belum jelas (Sommer et al., 2012).
d. Terapi Perilaku Kognitif
Terapi perilaku kognitif bertujuan untuk mengurangi distress
emosional akibat halusinasi dengar dan menemukan cara strategi
12
koping yang baru. Terapi ini dapat diaplikasikan untuk augmentasi
terapi farmakologi (Sommer et al, 2012).
e. Terapi Suportif
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan
ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan
pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar terjadi
kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang. Pasien
jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat
masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah dengan pasien.
Begitu juga bila akan meninggalkannya hendaknya pasien
diberitahu. Pasien diberitahu tindakan yang akan di lakukan di
ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat merangsang
perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan dengan
realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan dinding,
majalah dan permainan
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang di berikan sehubungan
dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya. Pendekatan
sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat harus mengamati
agar obat yang di berikan betul di telannya, serta reaksi obat yang
di berikan.
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah
yang ada
13
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat
dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab
timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang ada.
Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga
pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.
4. Memberi aktivitas pada pasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan
fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan.
Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan
nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang
data pasien agar ada kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam
proses keperawatan, misalnya dari percakapan dengan pasien di
ketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki yang
mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu
tidak terdengar jelas. Pasien jangan menyendiri dan menyibukkan
diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini
hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugas lain
agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di berikan
tidak bertentangan (Penn et al., 2008).
14
III.RESUME
1. Gangguan psikotik adalah semua kondisi yang menunjukkan adanya hendaya
berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam perilaku individu
dalam suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya mengalami
hendaya berat kemampuan daya nilai realitas (perlu dipertimbangkan faktor
budaya).
2. Halusinasi dengar adalah persepsi suara tanpa adanya rangsang suara dan
merupakan gejala yang paling umum pada pasien psikotik.
3. Halusinasi dengar terjadi akibat gangguan pada kedua jaras auditorik. Isi dari
halusinasi akibat abnormalitas jaras ventral, sedangkan abnormalitas pada
jaras dorsal mengakibatkan suara seolah-olah berasal dari luar.
4. Halusinasi ditandai dengan adanya kepercayaan metakognitif yang membuat
seseorang meyakini bahwa situasi pribadi mereka adalah suatu masalah,
dengan didukung kerentanan untuk tersugesti dan memperlihatkan
ketidakstabilan emosi.
5. Penatalaksanaan halusinasi dengar pada pasien psikotik antara lain:
farmakoterapi, psikoterapi, augmentasi farmakologik, repetitive TMS, terapi
perilaku kognitif, ECT, dan terapi suportif.
15
DAFTAR PUSTAKA
Badcock, Joanna C. 2010. The Cognitive Neuropsychology of Auditory Hallucinations: A Parallel Auditory Pathway Framework. Schizophrenia Bulletin, 36: 576-84.
Djatmiko, P. 2009. Rekapan : Grafik 10 Penyakit Terbanyak Rawat Jalan dan Rawat Inap RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Tahun 2009.
Garselan, S.P. 2004. A Psychological Model for Verbal Auditory Hallucinations. Int J of Psychology and Psychological Therapy, 4 (1): 129-53.
Hawari, Dadang. 2006. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Kaplan, H.I., B.J. Sadock, dan J.A. Grebb. 2010. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher.
Penn, D.L., P.S. Meyer, E. Evans, R.J. Wirth, et al. 2008. Professional A Randomized Controlled Trial of Group Cognitive-Behavioral Therapy vs. Enhanced Supportive Therapy for Auditory Hallucinations. Schizophrenia Research, 109: 52-9.
Sadock, B.J. and V.A. Sadock. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp: 147-56.
Shergill, Sukhwinder S., Murray, R.M., McGuire, P.K. 1998. Auditory Hallucinations: a Review of Psychological Treatments. Schizophrenia Research, 32: 137-50.
Sommer, I.E.C., C.W. Slotema, Z. Daskalakis, E.M. Derks, et al. 2012. The Treatment of Hallucinations in Schizophrenia Spectrum Disorders. Schizophrenia bulletin, 2012:1-11.
Subramanian, P., A. Burhan, L. Pallaveshi, and A. Rudnick. 2013. Case Report: The Experience of Patients With Schizophrenia Treated with Repetitive Transcranial Magnetic Stimulation for Auditory Hallucinations. Case Report in Psychiatry, 2013: 1-5.
Zarghami, M., F.S. Moonesi, M. Khademloo. 2012. Control of Persistens Auditory Hallucinations trough Audiotape Therapy (Three Case Report). European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 16 (4 suppl): 64-5
top related