kebijakan hindia belanda terhadap haji di batavia...
Post on 07-Mar-2019
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
KEBIJAKAN HINDIA BELANDA TERHADAP HAJI DI
BATAVIA PADA TAHUN 1859 dan 1922
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.HUM)
Disusun oleh:
SITI RAHMAWATI
1111022000047
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
i
ABSTRAK
Siti Rahmawati, NIM (1111022000047) Kebijakan Hindia Belanda Terhadap
Haji di Batavia tahun 1859 dan 1922, Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2018.
Penelitian ini membahas mengenai Kebijakan Hindia Belanda terhadap
jamaah Haji di Batavia. Dimana pada awalnya kolonial Belanda lebih condong
mengatur kebijakan khususnya dalam perekonomian. Namun menurut beberapa
sumber yang penulis temukan pemerintah Kolonial Belanda ikut serta dalam
membuat kebijakan terhadap haji di Batavia. Adapun terkait motif kebijakan
Kolonial Belanda sendiri terhadap para calon jamaah haji di Batavia mulai telihat
tahun 1859-1922. Meskipun demikian, kebijakan kolonial Belanda tidak terdapat
peraturan yang signifikan terhadap jamaah haji di Batavia. Namun Batavia sendiri
menjadi gerbang utama jalur perlintasan yang lebih mudah dijangkau oleh para
calon jamaah haji yang hendak pergi ke Mekkah.
Melihat antusias yang tinggi dari masyarakat yang hendak melaksanakan
ibadah haji melalui Batavia membuat Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan
yang cukup menyulitkan para calon jamaah haji di Batavia, seperti diwajibkannya
memiliki surat izin dari pemerintah setempat, harus mempunyai biaya yang
cukup, harus mengikuti pelatihan khusus setelah kembali dari tanah suci apabila
dalam pelatihan tersebut tidak memenuhi syarat maka jamaah haji akan dikenakan
denda, serta adanya laporan yang jelas bahwah jamaah haji tersebut telah kembali
ke tanah air. Sayangnya meskipun biaya untuk melaksanakan haji semakin mahal
tapi tidak adanya fasilitas yang memadai bagi jamaah haji baik dari segi
transportasi, kesehatan, dan kebutuhan pokok. Padahal dalam Ordonansi tahun
1859 akan adanya perbaikan mengenai hal tersebut.
Selain itu, terkadang Kolonial Belanda sendiri melarang para calon
jamaah haji untuk ikut menggunkan kapal kolonial Belanda dan melarang jamaah
haji untuk diturunkan di Batavia sepulang dari melakukan ibadah haji bahkan
jamaah haji sampai dibuang ke Pulau Tanjung Harapan. Dari permasalahan yang
diteliti menggambarkan bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh Kolonial Belanda
cukup menyulitkan para jamaah, sehingga banyak diantara mereka ada juga yang
tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai ke Mekkah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis yang
manguji dan menganalisa secara kritis arsip peninggalan masa lampau yang
berlandaskan pada penelitian terhadap perjalanan, transportasi dan peraturan
perhajian pada masa kolonial Belanda sebagai objek penelitian. Teknik analisis
data dalam penelitian ini melalui lima tahap. Yaitu, pemilihan topik, heurustik,
verifikasi, interpretasi, dan historiografi.
Kata kunci: Kebijakan Kolonial Belanda, Perjalanan dan Transportasi Jamaah Haji.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat
dan hidayahNya bagi para hambaNya yang selalu memuja. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpah kepada junjungan nabi Muhammad saw beserta keluarga,
sahabat, dan para pengikunya. Rasa syukur disertai dengan usaha yang sungguh-
sungguh serta tekad yang kuat akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Kebijakan Hindia Belanda Terhadap Haji di Batavia Tahun
1959 dan 1922”. Meskipun penulis sadar betul akan banyaknya kekurangan
dalam karya ini. Penulis berkeyakinan karya ini dapat bersumbangsih bagi siapa
saja yang ingin bergelut pada dunia penelitian, khususnya bagi mereka yang
memfokuskan kajian pada Haji di Batavia.
Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun
halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak bisa
dinafikan bahwa penulis bukan satu-satunya aktor sentral, namun di balik usaha
dan kerja keras penulis terdapat orang-orang yang rela meluangkan waktu untuk
membantu. Maka dengan niatan suci yang terpatri kuat dalam sanubari, penulis
sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Nurhasan, MA. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam
4. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekretaris Jurusan Sejarah dan
Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi
yang penulis butuhkan.
5. Prof. Dr. M. Dien Madjid. Selaku dosen pembimbing yang dengan sangat
teliti dan sabar memberikan arahan dan masukan positif bagi penulis.
6. Bapak dan Ibu Dosen, yang telah memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama perkuliahan.
iii
7. Karyawan/Karyawati Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Adab dan Humaniora yang telah memberikan pelayanan dan menyediakan
fasilitas dalam penulisan skrispi ini.
8. Ayahanda tercinta Burhanudin dan Ibunda Een Lestari, selaku orang tua
penulis. Terima kasih atas motivasi, cinta, kejujuran, dan pengorbanan
tanpa pamrih yang telah diberikan.
9. Rodiah. Selaku ibu sambung penulis. Terima kasih atas partisipasinya
yang telah diberikan.
10. Adik-adikku tercinta, Muhamad Syaid, Muhamad Istikhori, Muhamad
Haikal dan Syahlani Abiatul Nur Faqikh. Terima kasih telah menjadikan
rumah sebagai tempat berdiskusi dan mengadu hati.
11. Kawan-kawan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2011.
Terima kasih atas diskusi-diskusi yang menarik dan mencerdaskan selama
perkuliahan. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses.
12. Sulastri, Wilda Eka Safitri, Arifah Mahfudzoh, Amalia Rachmadanty, Ulfa
Azzahra, Masitah, Husen, dan Budi Permana. penulis hanturkan terima
kasih yang mendalam telah menjadi teman berjuang dalam perburuan
sumber.
13. Fachrum Nisa Ariyani, Rini Yuliyanti, Siti Rahma R.M., sahabat yang
tidak henti memberikan motivasi demi tercapainya cita-cita nan hakiki.
14. Chairul Umam. penulis hanturkan terima kasih telah menjadi inspirasi dan
optimisme yang engkau patrikan dalam hati. Cinta dan harapanmu akan
selalu hidup dalam sanubari.
Jakarta, 10 April 2018
Siti Rahmawati
iv
DAFTAR ISTILAH
AIAZ Adviseur voor Inlandsche en Arabische Zaken
AMIR Syarif Besar
Algemeene Secretaris Sekretaris Umum
Batavia Ibu Kota Hindia Belanda yang menjadi lokasi sebagai
markas besar perdagangan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC) tahun 1619
DOEN Direktur Departement van Onderwijs
Depresi Ekonomi kejatuhan perekonomian karena perbedaan besar antara
kemampuan kapasitas produksi dengan besaran
konsumsi
Device Et Imperal Kombinasi strategi politik, militer, dan kekuasaan
f satuan Gulden (Mata uang Belanda)
Guild / Gilda : Persekutuan Dagang
GGNI Gouverneur general Nederlandsch Indie
Heterogen Terdiri atas beberapa unsur yang berbeda sifat
Het Reglement Op
Het Beleid Der
Regering Van
Nederlandsch Indie
yang lebih dikenal dalam singkatannya
Regeringsreglement: peraturan baru tentang kebijakan
untuk mengatur tata pemerintahan daerah jajahan yang
pada masa itu dikenal dengan sebutan Hindia Belanda
tahun 1854.
Habib merupakan sapaan masyarakat Arab yang mempunyai
latar belakang keturunan Nabi Muhammad SAW
Inlander penduduk pribumi
Kastel Van Batavia Benteng Kota
mixtiezen atau mestizo Pernikahan antara orang Eropa dan orang Tionghoa
atau orang Eropa dengan pribumi
MBZ Minister Van Buitenladsche Zaken: Mentri Luar Negri
MK Minister van Kolonie
Nederlandsch Indie Hindia Belanda
Ordonansi
(Ordonance)
Segala peraturan atau kebijakan pemerintah Hindia
Belanda yang tertulis dalam Lembaran Negara
v
(Staatsblad)
Pilgrim Der Laagste Penumpang kelas ekonomi
Plaatsbewijs surat jalan dan bukti tempat
Pelgrimsart Dokter Haji
rust en orde ketertiban dan keteraturan
Staatblad van
Nederlandsch-Indie
Lembaran Hindia Belanda
VOC: Vereenigde Oost-Indishe Compagnie
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 4
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................. 4
D. Tujuan Penelitian ............................................................... 5
E. Manfaat Penelitian ............................................................ 5
F. Tinjauan Pustaka ................................................................ 5
G. Metode Penelitian............................................................... 6
H. Sistematika Penulisan ........................................................ 7
BAB II: KONDISI UMUM BATAVIA MASA HINDIA BELANDA
SEBELUM TAHUN 1859
A. Kondisi Umum Batavia Sebelum Tahun 1859................... 10
B. Kondisi Politik dan Sosial Mayarakat Batavia Batavia
Sebelum Tahun 1859.......................................................... 15
C. Perkembangan Haji di Batavia ........................................... 16
BAB III: MACAM-MACAM KEBIJAKAN HINDIA BELANDA
TERHADAP JAMAAH HAJI DI BATAVIA
A. Kebijakan Manajemen Haji Masa Kolonial Hindia
Belanda ............................................................................ 21
a) Ordonansi 1859 ................................................... 25
b) Ordonansi 1922 ................................................... 29
B. Kebijakan dan Upaya Mencari Calon Jamaah Haji
Masa Kolonial Hindia Belanda .......................................... 32
vii
a) Agen Herklots ........................................................ 32
b) Firma Al Segaff & Co (Singapura) ........................ 40
C. Kebijakan Kesehatan Jamaah Haji Masa Kolonial
Hindia Belanda ................................................................... 41
BAB IV: RESPON JAMAAH HAJI BATAVIA TERHADAP
KEBIJAKAN HINDIA BELANDA
A. Kondisi Sosial Jamaah Haji Dari Tanah Suci .................... 45
B. Respon Jamaah Haji Terhadap Kebijakan 1859 dan 1922. 47
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 51
B. Saran ................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 53
Lampiran-Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dari beberapa sumber yang ditemukan, penulis belum menemukan
penjelasan yang pasti terkait waktu pertama kali perjalanan haji yang dilakukan
masyarakat Indonesia. Namun menurut beberapa ahli sebagaimana yang telah
dituturkan Schrieke dalam buku Azyumardi Azra bahwa kehadiran orang-orang
Melayu-Indonesia sudah terlihat di dekat barat laut India sejak awal abad ke-12.
Selain itu juga pada tahun 1440 M Abdul Ar-Razzaq menemukan orang-orang
Nusantara di Hormuz.1 Penjelasan tersebut belum bisa dijadikan sebagai tolak
ukur menentukan awal waktu mengenai perjalanan orang Indonesia melaksanakan
ibadah haji.
Menunaikan ibadah haji sendiri merupakan salah satu dari rukun Islam
yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Ibadah haji hanya diwajibkan bagi
mereka yang mampu, dalam arti kuat fisik dan memiliki biaya bagi keperluan
dalam perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, Ibadah haji dikenal oleh orang-
orang Islam Indonesia sejak awal berkembangnya Islam di Indonesia.2
Adapun munculnya kebijakan haji sendiri mulai diberlakukan ketika
kolonial Belanda merasa keberadaanya akan terancam, dimana banyak orang yang
setelah melakukan ibadah haji menjadi pelopor pembaharu dalam bidang
keagamaan, serta sudut pandang yang berbeda mengenai kebijakan yang
diterapkan oleh kolonial Belanda sebagian besar merugikan masyarakat Indonesia
khususnya bagi para calon jamaah ha ji di Batavia.
Terlihat pada tahun 1859 banyak kebijakan yang diterapkan oleh Belanda
untuk para calon jamaah haji di Batavia, mulai dari harus mempunyai materi yang
cukup, memiliki surat izin untuk melakukan ibadah haji dari penguasa setempat,
adanya keterangan yang jelas mengenai kepulangan jamaah haji, serta adanya
1 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, hal. 73.
2 Penerbitan Naskah Sumber, Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial, (Jakarta,
Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation dengan Arsip Nasional RI 2001), hal, ix.
2
pelatihan khusus bagi para jamaah setelah melakukan ibadah haji agar
memperoleh Sertifikat dan diperbolehkannya memakai pakaian haji. Akan tetapi,
jika tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Kolonial Belanda akan
dikenakan denda.3
Lahirnya kebijakan haji sendiri diharapkan dapat mempermudah para
calon jamaah untuk melaksanakan ibadah haji. Namun pada kenyataannya
kebijakan yang tertera dalam Ordonansi yang dibuat tahun 1859 tidak sesuai
dengan apa yang telah ditetapkan. Hal ini terlihat dimana Ordonansi tahun 1859
menjelaskan bahwa akan adanya perbaikan baik dari segi fasilitas kapal yang akan
mengangkut para calon jamaah haji maupun fasilitas kesehatan serta kebutuhan
pokok. Kenyataannya banyak para calon jamaah haji yang tidak mendapatkan
fasilitas yang layak.4
Ordonansi sendiri merupakan sebuah kebijakan yang meliputi persoalan-
persoalan terkait masalah hubungan antara pemerintah kolonial Belanda dengan
rakyat Batavia. Kebijakan Ordonansi haji itu di bentuk oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk mengatur rakyat Batavia agar “patuh” terhadap peraturan.5
Seiring berjalannya waktu timbul rasa kekahwatiran pemerintah Belanda
karena eratnya rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi akan
menimbulkan pemberontakan. Oleh sebab itu, berbagai macam bentuk
peribadatan sangat dibatasi oleh pemerintah Belanda temasuk pembatasan
menganai ibadah haji. Sejak saat itu pula, Belanda sangat berhati-hati terhadap
orang yang kembali ke tanah air dia akan melakukan perubahan, mulai dari
perubahan sikap, tingkah laku, hingga menjadi pembaharu untuk penduduk
setempat. Selain itu pemerintah Belanda menghawatirkan pandangan politik para
jamaah haji yang mengalami perubahan setelah mereka berinterksi dan
memperoleh berbagai informasi tentang dunia Islam dari beragai belahan dunia.6
3 Ketetapan tentang denda yang harus dibayar pada ordonansi 6 Juli 1859 No. 42 dicantumkan
kembali pada ordonansi tahun 1902 No. 381. Lihat Stattblad Van Nederlandsch-Indie 12 Agustus
Tahun 1902 No. 318
4 Hal-ihwal Perdjalanan Naik Hadji jang laloe di Kamaran, 1927-1937, Dalam Pandji
Poestaka, No.81 Tahoen XV edisi 8 October 1937
5 mengenai masalah ini akan penulis jelaskan di bab 3
6Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta, FDK Press, 2008), hal, 46.
3
Pada awalnya Belanda tidak begitu mencampuri mengenai kebijakan yang
di terapkan terhadap umat Islam termasuk juga kebijakan untuk menunaikan
ibadah haji, akan tetapi karena penduduk Batavia yang mayoritas umat Islam7
sehingga membuat Belanda bergerak untuk menerapkan kebijakan-kebijakan yang
memperketat gerak gerik umat Islam. Maka dari situlah Belanda menduga para
jamaah haji sering membawa agama Islam yang fanatik dan dianggap
pemberontak oleh sebab itu pemerintah Belanda mempersempit gerak gerik umat
Islam untuk menajankan ibadah haji, hingga saat para jamaah sudah berada di
Jeddah, Belanda memberi utusan kepada pesuruhnya untuk memantau atau
memata-matai gerak gerik umat Islam yang sedang menjalankan ibadah haji.
Pada tahun 1859 Gubernur Jendral membuat kebijakan mengenai
pembatasan untuk para pembaharu Islam. karena banyaknya para pembaharu yang
mendoktrin umatnya.8 Maka dari itu kebijakan yang di buat oleh Belanda
bertujuan untuk membatasi segala aktifitas para ulama.
Sejak dibukanya terusan suez pada tahun 1869, masyarakat Batavia
semakin dimudahkan untuk menjalankan ibadah haji, setiap tahun ribuan kaum
muslim Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah.9 Tidak sedikit dari mereka
yang membawa ajaran ortodoks10
setelah naik haji atau sekian lama bermukim di
tanah suci.11
Usaha Belanda untuk menghalangi umat Islam yang ingin menunaikan
ibadah haji sangatlah ketat, mulai dari dikeluarannya peraturan yang menaikan
harga passport, sampai memasang radar, bukan hanya di Jeddah tetapi juga di
7 Yang memang pada saat itu Belanda sangat takut terhadap umat Islam, karena menurut
Belanda umat Islam tidak jauh seperti Umat kristiani yang apabila ada satu yang mengusik maka
semua merasa terusik.
8 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta, LP3ES, 1985), hal,10.
9 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal, 3.
10
Ajaran ortodoks adalah sebutan pemerintah Belanda dan Kristen untuk ajaran-ajaran isla
yang menyangkut aqiqah, yang dikembalikan kepada tuntutan Al-Qur’an dn Hadits. Tentu saja
pemerintah Belanda pun tidak melupaka kenyataan bahwa berbagai perlawanan umat Islam di
Hindia Belanda memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan
banyak suara dikalangan pejabat pemerintah Hindia Belanda yang menginginkan agar pemerintah
melarang orang Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Haji. pemerintah Hindia
Belanda beranggapan bahwa ibadah haji dinilai akan meyebabkan kaum pribumi menjadi
fatanik, maka dari itu berbagai larangan pun di terapkan oleh Hindia Belanda.
11 berbagai cara pun dilakukan oleh Hindia Belanda untuk mengurungkan niat umat Islam
Batavia agar tidak menunaikan ibadah haji.
4
Kairo. Setelah kebijakan yang diterapkan gagal dilaksanakan, pemerintah kembali
menetapkan langkah-langkah baru dalam pelaksanaan ibadah haji yang dikenal
dengan Ordonansi 1859.12
Berangkat dari permasalahan diatas perlu kiranya ditelusuri lebih dalam
mengenai apa motif yang melatar belakangi Kolonial Belanda terhadap calon
jamaah haji, dan bagaimana kebijakan (ordonansi) yang dikelurkan pada tahun
1869 dan 1922 khususnya di Batavia.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat mengidentifikasi beberapa
permasalahan diantaranya:
1. Kondisi umum mengenai para calon jamaah haji di Batavia baik
sebelum berangkat maupun setelah kembali ke tanah air.
2. Mengenai kondisi Transportasi yang digunakan para calon jamaah haji.
3. Jalur yang dilintasi para calon jamaah haji dari Batavia menuju ke
Mekkah.
4. Kebijakan Kolonial Belanda terhadap Haji di Batavia tahun 1859 dan
1922.
5. Kebijakan kolonial Belanda terhadap jamaah haji tidak menyurutkan
keinginan masyarakat Batavia untuk pergi haji.
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
Dari beberapa permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya
penulis hanya memfokuskan kepada masa ordonansi haji di Batavia pada tahun
1859 dan 1922. Dalam kajian ini terdapat tulisan yang tahunnya lebih cepat dari
tahun yang penulis fokuskan itu merupakan prolog saja. Penulis juga akan
memaparkan sedikit keluar dari tahun yang penulis batasi untuk mengetahui
dampak dari kebijakan yang telah diterapkan oleh kolonial Hindia Belanda.
12 Latar belakang lahir ordonansi ini karena banyak penyalahgunaan gelar haji dan sebagian
jamaah pasca menunaikan ibadah haji tidak kembali ketanah air, akibatnya menimbulak masalah
social ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. C. Snouck Hurgronje, De Hadji – Politiek der
Indische Regeering dalam Verspreide Geschriften jilid IV, hal, 175 dsb. Lihat M. Dien Madjid,
Berhaji Masa Kolonial, hal, 95.
5
Berasarkan uraian dan judul di atas, maka penulis memfokuskan
pembahasan skripsi ini hanya berkisar pada masalah Kebijakan Hindia Belanda
terhadap haji di Batavia tahun 1859 dan 1922.
Adapun perumusan masalah dalam penulisan ini penulis mengajukan
beberapa pertanyaan di bawah ini:
1. Apa motif yang melatarbelakangi Kebijakan Haji di Batavia?
2. Apa saja Kebijakan Belanda terhadap haji di Batavia?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dalam penelitian skripsi ini ialah
a. Untuk mengetahui motif dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
Kolonial Belanda.
b. Untuk memperoleh gambaran umum mengenai Kebijakan Hindia
Belanda terhadap Haji di Batavia.
c. Untuk mengetahui respon jamaah haji Batavia terhadap kebijakan yang
diterapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Mampu memberikan Kontribusi, yaitu pembelajaran bagi siapa saja
yang membutuhkan informasi mengenai Jama’ah haji di Batavia.
b. Memberikan gambaran mengenai motif dari kebijakan yang dibuat
pemerintah Kolonial Belanda tahun 1859 dan 1922.
c. Dapat memperkaya khazanah perbendaharaan keilmuan fakultas Adab
dan Humaniora terutama mahasiswa sejarah kebudayaan Islam.
d. Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara
mendetail dengan menggunakan metode sejarah yang ilmiah.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam buku M. Dien Madjid yang berjudul Berhaji di masa Kolonial
menjelaskan perjalanan dan perjuangan haji Islam Batavia, dibuku ini juga sudah
dituliskan mengenai kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan oleh Hindia
Belanda, akan tetapi tidak ditulis secara mendetail. Maka dari itu penulis akan
6
melengkapi permasalahan yang belum terjawab dalam buku tersebut dan menjadi
fokus kajian penulis.
Dalam buku Haji dari Masa ke Masa menjelaskan bahwa haji pada masa
kolonial kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara pada akhir abad ke-15 Masehi
Nusantara mulai di semaraki oleh orang-orang Muslim, baik pendatang maupun
pribumi, bangsa Eropa menyusun rencana untuk menghentikan Islam di
Nusantara. Salah satu jalan yang di tempuh ialah bekerjasama dengan kerajaan-
kerajaan Hindu Budha untuk memerangi pribumi yang masih menganut agama
Islam.13
Dalam buku Harry J. Benda tentang Bulan Sabit dan Matahari Terbit:
Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, dijelaskan pada bab pertama
mengenai dasar-dasar politik Belanda terhadap Islam yang didalamnya membahas
jelas tentang panIslamisme yang menjadi dasar ketakutan orang Belanda terhadap
jamaah haji Batavia yang akan melaksanakan ibadah haji.14
Dalam buku Dr. Karel A. Steenbrink yang berjudul Beberapa Aspek
Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19: dijelaskan pada bab V poin ke-3
mengenai Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam Bidang Peradilan dan
Perhajian yang menjelaskan tentang perjalanan jamaah haji, dan juga menjelaskan
perbandingan jamaah haji Indonesia dengan Negara lain.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat Anatical History15
sehingga metode yang digunakan
dalam penelitian sejarah pada umumnya ialah metode heuristik, Heuristik adalah
kegiatan untuk mencari data atau pengumpulan bahan-bahan atau sumber sejarah.
Hal ini merupakan sebuah tahap awal yang mana harus dilakukan bagi seorang
peneliti Untuk melengkapi informasi mengenai Kebijakan Hindia Belanda
terhadap Haji di Batavia masa ordonansi.
13 Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggara Haji dan Umrah 2012, Haji dari
Masa ke Masa, (Jakarta, Direktorat Jendral Penyelenggara Haji dan Umrah, 2012).
14 Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada masa Pendudukan
Jepang, (Jakarta, Pustaka Jaya, 1980).
15 Anatical History merupakan jenis penelitian yang memanfaatkan teori dan metodologi. Lihat:
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi. Ilmu Sejarah Sebuah Pengatar. (Jakarta: Kencana, 2014).
7
Dalam proses Heuristik penulis menggunakan metode kepustakaan.
Penulis juga menghimpun sumber-sumber tertulis baik yang bersifat primer
maupun sekunder dan pengumpulan data-data yang behubungan dengan judul.
Untuk sumber primer penulis menggunakan surat kabar, yang berada di
Perpustakaan Nasional, naskah-naskah yang penulis temukan di ANRI (Arsip
Nasional Republik Indonesia). Selebihnya penulis menggunakan data-data yang
bersifat sekunder baik berupa buku, artikel, maupun skripsi yang penulis temukan
di perpustakaan Perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah, perpustakaan Adab
dan Humaniora, perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan
perpustakaan LIPI.
Tahap berikutnya ialah kritik sumber atau verifikasi. Setelah melakukan
heuristic atau pengumpulan sumber-sumber, maka tahap selanjutnya yang harus
dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah sebuah usaha untuk
mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita sejarah yang ingin
disusun dengan judul.16
Dalam proses ini, penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi
melalui kritik ekstern. Selain itu penulis juga melakukan uji kelayakan sumber
atau kredibilitas, yang penulis telusuri melalui kritik intern. Dalam kritik ekstrn
penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber-sumber primer berupa Koran,
jurnal, serta buku pelengkap yang penulis dapatkan. Mengenai naskah usang yang
penulis dapatkan, hemat penulis tidak terdapat masalah yang berarti karena bila
dilihat secara fisik baik mengenai tahun dibuatnya, siapa pembuatnya, dimana
dibuatnya, dan apa bahan pembuatnya. Hemat penulis sumber-sumber tersebut
valid nampaknya jika dikatakan otentik. Karena masih dalam bentuk yang asli dan
penyimpanan yang rapih maka penulis berprasangka baik sangat kecil bila
dipalsukan.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi permasalahan-permasalahan
yang menjadi pembahasan dalam lima bab dan dirinci sebagai berikut:
16 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta, Logos, 1999) hal, 54.
8
BAB I: Berisikan Pendahuluan yang terdiri dari penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, Latar Belakang,
Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode
Penelitian serta Sistematika Penulisan.
BAB II: Membahas mengenai Kondisi Umum Batavia Masa Hindia
Belanda Sebelum Tahun 1859. Yang meliputi Kondisi umum
Batavia sebelum 1859, Kondisi Politik dan Sosial Mayarakat
Batavia, Perkembangan Haji di Batavia.
BAB III: Membahas Mengenai Macam-Macam Kebijakan Hindia
Belanda Terhadap Jamaah Haji Di Batavia. Yang meliputi
Manajemen Haji Masa Kolonial Hindia Belanda. yang dibagi
menjadi 2 yaitu: Ordonansi 1859 dan Ordonansi 1922, Kebijakan
dan upaya mencari calon Jamaah Haji Masa Kolonial Hindia
Belanda. yang dibagi menjadi 2 yaitu: Agen Herklots dan Firma
Al-Segaff & CO (Singapura), dan Kebijakan Terhadap Kesehatan
Jamaah Haji Masa Kolonial Hindia Belanda.
BAB IV: Membahas mengenai Respon Jamaah Haji Batavia Kebijakan
Hindia Belanda. Yang meliputi Kondisi Sosial Jamaah Haji dari
Tanah Suci, dan Respon Jamaah Haji Terhadap Kebijakan 1859
dan 1922.
BAB V: Berisikan Penutup yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan
jawaban dari permasalahan yang menjadi motif awal pengkajian
penelitian ini. Dan saran-saran yang menjadi masukan-masukan
untuk perbaikan penelitia berikutnya.
10
BAB II
Kondisi Umum Batavia Masa Hindia Belanda Sebelum Tahun 1859
A. Kondisi Umum Batavia Sebelum Tahun 1859
Sejak zaman kuno, Nusantara terutama Batavia merupakan tempat
persilangan jaringan lintas laut yang menghubungkan benua timur dengan benua
barat. Batavia juga merupakan kota utama yang dibangun oleh Belanda sejak
pendiriannya mendominasi kegiatan perdagangan di Asia dan kepualaun
Indonesia.17
Oleh sebab itu, letak Indonesia bisa dikatakan sangat strategis.18
terlebih lagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869 yang mempersingkat jarak
tempuh berkat kamampuan kapal-kapal uap yang lebih maju meningkatkan arus
pelayaran antar samudera.19
Sampai abad ke-18 Batavia merupakan kota yang terdapat banyak
benteng. Setelah abad tersebut, kota ini banyak ditinggalkan penduduknya,
banyak bangunan-bangunan besar dekat pelabuhan dihancurkan. Sebagian
benteng kota juga sudah diratakan dengan tanah. Beberapa penduduk Batavia juga
sudah tinggal di luar benteng. Perubahan tata kota ini, dianggap seorang
pelancong Belanda bernama Wietzel sebagai akar dari merosotnya reputasi kota
yang indah di masa lampau.20
Kota Batavia berkembang dari hasil pajak serta
hasil penjualan yang dilakukan di pelabuhan. Sejak sebelum abad 18, telah banyak
kapal-kapal mancanegara yang hilir mudik di bandar ini, Kapal-kapal tersebut
berasal dari Eropa dan dari Cina.
Leonard Blusse mengungkapkan bahwa salah satu pedagang asing yang
banyak melakukan aktivitas di pelabuhan ini adalah orang Cina, orang-orang Cina
datang menggunakan kapal tradisional mereka yang disebut Junk. Mereka
17 Jean Gelan Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur,
(Depok, Masup Jakarta, 2009), hal, xxiii.
18 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 1992), hal, 35.
19 M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008) hal,56.
20
Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di
batavia VOC (Yogyakarta: LkiS, 2004) hal. 29 – 30.
11
membangun persekutuan dagang (gilda), salah satu dari mereka yang terkenal
bernama Amoy.21
Masyarakat Batavia terdiri dari suku bangsa yang beragam, Mereka
terbagi dalam tiga golongan. Pertama, masyarakat Belanda dan Eropa, kedua
masyarakat Timur Asing yakni Arab, Tionghoa, Jepang, India dan lain-lain, serta
ketiga ditempati oleh inlander (penduduk pribumi). Mereka hidup bersama-sama
dalam benteng kota (Kasteel van Batavia) maupun di luar kota. Di antara mereka
terjalin hubungan yang berjarak, namun tetap rukun. Masyarakat Eropa sebagai
kelas penguasa memberlakukan kebijakan lokalisir, terutama dalam hal
perdagangan dan pemukiman bagi penduduk yang berada pada golongan kedua
dan ketiga.22
Masyarakat Arab dan Tionghoa, sebagai golongan kedua, diberi peluang
untuk beraktivitas di bidang perniagaan namun mereka tidak ikut campur dalam
bidang politik. Boleh dikatakan mereka tidak diberi kesempatan untuk berkarya di
ranah pemerintahan. Karena pembatasan ini mereka memilih perniagaan sebagai
ruang ekspresi. Khusus bagi orang Arab mereka diberi peluang untuk beraktivitas
di bidang keagamaan.23
Agus Permana dan Mawardi mengungkapkan bahwa perkembangan Islam
di Batavia bukan hanya dilakukan oleh para haji, namun juga peran para habib
dari Yaman. Habib merupakan sapaan masyarakat Arab yang mempunyai latar
belakang keturunan Nabi Muhammad SAW. Banyak dari mereka yang tinggal di
daerah Pekojan, Tanah Abang dan Krukut.24
Keberadaan Pekojan merupakan dampak dari maraknya gilda
(perdagangan) di Batavia pada abad 18, Terlihat sejak dirubahnya pelabuhan lokal
Sunda Kalapa menjadi Batavia yang berada di bawah pengelolaan Vereenigde
21 Leonard Blusse, Chinese Trade to Batavia During the Days of the VOC, (Archipel, 18, 1979),
hal. 195 – 213.
22 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2002) hal. 32.
23
Ahmad Athaillah, Islam di Betawi: Peran Mufti Betawi Sayyid Utsman bin Yahya dan
Dampaknya pada Perkembangan Pola Dakwah pada Generasi Berikut, makalah dipresentasikan
dalam Seminar Nasional “Sejarah Dakwah Dan Pendidikan Islam di Betawi”, Sabtu 22 Desember
2012 di Gedung Rabithah Alawiyah Jakarta, hal. 10.
24 Agus Permana dan Mawardi, Habaib in Batavia in the 17
th Century: A Study on the Roles of
Habaib in the Process of Islamization and Islamic Preaching, dalam (Tawarikh, Vol. 9, No. 1,
2017), hal. 23 – 32.
12
Oost-Indishe Compagnie (VOC). Bandar dagang ini semakin menunjukkan nilai
pentingnya sebagai salah satu pusat perdagangan penting di Pulau Jawa. 25
Bagi
Para pedagang yang berada di Sunda Kelapa hal seperti ini menjadi persekutuan
perdangangan. Setelah mengetahui hal ini akhirnya VOC memberi mereka
sebagian tanah untuk didiami oleh masyarakat pedagang. 26
Pekojan di kawasan Batavia terletak di wilayah Jakarta Utara sekarang.
Sekitar abad 19 kampung ini sudah dipenuhi oleh para keturunan Arab, di tengah
kampung ini terdapat dua masjid, yakni masjid langgar tinggi dan masjid lainnya
yang menjadi sentra berkumpulnya umat Muslim yang tinggal di sekitar Pekojan.
Tempat ini selain digunakan sebagai sarana beribadah, juga difungsikan sebagai
pendidikan agama Islam dan pelaksanaan kegiatan sosial kemasyarakatan.
Sebagaimana yang dikatakan Pemerintah Hindia Belanda bahwa di antara mereka
sama sekali tidak ada perbedaan ras, kedudukan, maupun warna kulit.27
Awalnya, Pekojan tercipta bukan diperuntukkan bagi orang Arab. L.W.C.
Van den Berg mengungkapkan bahwa Pekojan sudah ada sejak abad 17.
Penduduk yang tinggal di sana merupakan pedagang India Kojah, yakni orang
India yang beragama Islam. Beberapa dari mereka ada yang bermukim secara
permanen, namun ada pula yang menjadikannya sebagai tempat singgah
menunggu ketersediaan barang atau menunggu angin musim tiba sebagai sarana
berlayar ke negeri asal. Lama kelamaan penduduk yang tinggal di sana tidak
hanya orang India, melainkan ada pula orang Arab. Bahkan semakin mendekati
abad 19, jumlah keturunan Arab asal Yaman lebih banyak tinggal di sini
ketimbang India Koja. Namun kenyataan itu tidak sampai merubah nama daerah
tersebut.
Kedatangan orang Arab Hadrami ke Batavia dilatarbelakangi oleh motif
ekonomi dan dakwah. Bahkan tidak jarang juga yang berprofesi ganda sebagai
25 H.W. Dick, Prahu Shipping in Eastern Indonesia, Part I, dalam Bulletin of Indonesian
Economic Studies, (Vol. 11, No. 2, 1975), hal. 69 – 107.
26 Geoff Wade, “An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900 – 1300 CE” dalam Journal
of Southeast Asian Studies, (Vol. 40, No. 2, 2009), hal. 221 – 265.
27 M. Dien Madjid, Pekojan Citra Kampung Arab di Batavia Abad XVIII – XIX, makalah
dipresentasikan pada International Conference “The Early Islam and Culture in Southeast Asia”
pada 30-31 Oktober 2017 di Grand Kanaya Hotel, Medan Sumatera Utara, hal. 1 – 17.
13
pendakwah dan pedagang. Dalam kesehariannya mereka juga berinteraksi dengan
penduduk lokal sekitar Batavia. Hal inilah yang menyebabkan mengapa Islam
begitu kental mewarnai budaya masyarakat pribumi Batavia.
Sebelum abad 18, telah ada beberapa orang Tionghoa yang beragama
Islam. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan makam seorang perempuan
Tionghoa di belakang Masjid Al-Anwar di Angke. Akan tetapi Jejak dakwah
orang Tionghoa yang beragama Muslim belum banyak terlihat di dalam catatan
sejarah. Namun dari temuan makam tersebut, setidaknya diketahui bahwa telah
ada orang Tionghoa yang memeluk Islam.28
Umumnya, orang pribumi yang tinggal di Batavia hidup dalam ruang
kegiatan yang lebih sederhana dibandingkan dengan orang Arab. Profesi mereka
antara lain adalah petani, nelayan, pedagang kecil, buruh, penjaga gudang, pemilik
warung dan lain-lain.29
Mereka menjalin hubungan yang baik dengan orang Arab
maupun Tionghoa serta suku bangsa yang lain. Uka Tjandrasasmita menjelaskan
bahwa penduduk pribumi memiliki keseharian sebagai petani. Mereka menanam
aneka ragam tumbuhan konsumsi seperti lada, asem, padi dan buah-buahan.30
Selain bertani, penduduk sekitar Batavia juga sebagai pemburu binatang
buas, kegiatan seperti ini tidak hanya menjadi pekerjaan sampingan melaikan
sudah dijadikan sebagai profesi. Karena tidak jauh dari Batavia masih terhampar
rawa-rawa, hutan rimba dan semak belukar yang semakin memudahkan para
pemburu untuk memangsa hewan buruannya. Akan tetapi tidak jarang diantara
orang pribumi juga ada yang beternak sapi, babi, kambing dan lembu.31
Penduduk pribumi sekitar Batavia sudah mengenal Islam dengan baik
sejak sebelum 1850. Hal tersebut dikarenakan di wilayah tetangga Batavia sendiri
terdapat beberapa penyebar Islam yang terkenal seperti Sheikh Quro (Karawang),
Datuk Ibrahim (Condet), Datu Biru (Jatinegara), Dato Tonggara (Cililitan), Mak
Datu Tanjung Kait (Tangerang), Kumpi Datu (Depok) dan lain sebagainya.
28 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun (Depok: Komunitas Bambu, 2014) hal.49.
29
Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun, hal. 96.
30 Uka Tjandrasasmita, Sejarah Perkembangan Kota Jakarta (Jakarta: Pemerintah Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Museum dan Pemugaran, 2000) hal. 12.
31 Abdurrahman Surjomiharjo, Pemekaran Kota Jakarta (Jakarta: Djambatan, 1977) hal.8.
14
Tokoh-tokoh Islam lokal tersebut ikut memperlebar dakwah Islam di wilayah
perbatasan Batavia.32
Sebagai pihak penguasa Eropa merasa berkewajiban untuk menertibkan
penduduk Batavia dan sekitarnya. Melalui sistem strategi politik, militer, dan
ekonomi yang bertujuan mendapatkan kekuasaan dengan cara memecah
kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah
ditaklukkan, Belanda menginginkan agar bangsa-bangsa di Batavia selalu terlibat
dalam persaingan dengan ketidak akraban.33
Meskipun masyarakat Batavia terdiri dari tiga kelompok, tidak membuat
hubungan antar mereka saling mengasingkan.34
Belanda sudah lama mengetahui
eksistensi para pedagang Arab di Pantai Jawa. Salah satu konribusi mereka adalah
menggairahkan perdagangan setempat bukan hanya pedagang tapi juga beberapa
dari mereka ada yang membina rumah tangga dengan perempuan pribumi, Realita
ini membuat hubungan mereka dengan penduduk pribumi kian dekat. 35
Keharmonisan yang terjalin di antara orang Arab dan pribumi tidak
disukai oleh pemerintah Belanda, karena pemerintah memandang pergaulan di
antara mereka adalah bahaya yang akan muncul sewaktu-waktu, karena dapat
berubah menjadi gerak perlawanan kepada kedudukan mereka. Oleh karena itu
Pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan pas jalan kepada mereka, di
depan komplek pemukiman orang Arab akan diadakan pemeriksaan pas jalan oleh
petugas, hal ini dikhususkan bagi mereka yang ingin bepergian. Pembatasan ini
tentu saja menjadi penghambat mereka untuk menyebarkan dakwah Islam di
Batavia.36
32 Agus Permana dan Mawardi, Habaib in Batavia in the 17
th Century: A Study on the Roles of
Habaib in the Process of Islamization and Islamic Preaching, dalam (Tawarikh, Vol. 9, No. 1,
2017), hal. 27.
33 Leonard Blusse, Persekutuan Aneh; Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di
batavia VOC (Yogyakarta: LkiS, 2004) hal. 9.
34 Susan Blackburn, Jakarta Sejarah 400 Tahun (Depok: Komunitas Bambu, 2014) hal.29.
35
Adolf Heuken, “Arab Landowners in Batavia/Jakarta” dalam Indonesian Circle. School of
Oriental and African Newsletter, (Vol. 24, 1996), hal. 65-74.
36 Nurhasan dkk, Kebijakan Kolonial terhadap Orang Arab di Batavia Abad XIX (Jakarta:
kementerian Agama Republik Indonesia, 2014)
15
B. Kondisi Politik dan Sosial Masyarakat Batavia Sebelum Tahun 1859
Salah satu tujuan utama Kolonial Belanda datang ke Indonesia adalah
untuk mengusai perdagangan. Hal ini terlihat pada tahun 1602 Pemerintah
Kolonial Belanda membentuk sebuah perkumpulan yang dikenal dengan sebutan
VOC (Verenigde Oost Indische Compagne).37
Dimana VOC sendiri tidak
memiliki politik Islam, tetapi hanya berusaha mencapai keuntungan.38
Seiring berjalannya waktu, sikap Pemerintah Kolonial Belanda mulai
berubah ketika umat Islam banyak yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Bahkan tidak jarang Pemerintah Kolonial Belanda melarang para calon jamaah
haji untuk ikut menaiki kapal miliknya dan melarang pula para jamaah haji untuk
berlabuh di Batavia selepas melaksanakan ibadah haji.39
Selain itu tidak jarang para jamaah haji dicurigai sebagai pelopor yang
akan menimbulkan pemberontakan. Ini terlihat dari pesan rahasia pada tahun
1859, dimana Gubernur Jendral dibernarkan mencampuri masalah agama bahkan
harus mengawasi setiap gerak-gerik para ulama, bila dipandang perlu demi
kepentingan dan ketertiban keagamaan.40
Namun, setelah kedatangan Snouck Hurgronje pada tahun 1889, barulah
pemerintah Hindia Belanda memiliki kebijakan yang jelas mengenai masalah
Islam sebagai ranah untuk melawan ketakutannya terhadap Islam. Selain itu juga
Snouck Hurgronje menegaskan bahwa dalam Islam tidak mengenal perbedaan
antara sesama, kyai pun tidak apriori fanatik, dan ulama bukanlah komplotan
jahat, sebab pergi haji ke Mekkah hanya untuk beribadah.41
Pada dasarnya para jamaah sendiri yang berangkat ke Mekkah bertujuan
hanya untuk beribadah. Akan tetapi, di samping mereka menjalankan ibadah haji
meraka juga banyak yang memperdalam ilmu agama, kemudian ilmu yang didapat
37 Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai
Imperium Jilid I, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 70.
38
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,
1996), hal. 17.
39
Kareel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1984), hal. 234.
40 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia,
1996), hal.10.
41
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal.11.
16
disebarkan kepada masyarakat, sehingga tidak jarang jamaah yang pulang
mendapat penghormatan tinggi dan memiliki pengaruh besar dikalangan
masyarakat. Hal ini memberikan pengaruh yang cukup signifikan karena ibadah
haji dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik di Hindia Belanda yang
memang dalam keadaan goyah.
Sejak saat itulah, di Jeddah di beri tugas utama untuk mengawasi dengan
cermat gerak-gerik jamaah. Konsulat mendapatkan informasi-informasi penting
dari jamaah sendiri dan dari orang yang dipercaya. Orang-orang terpercaya ini,
dengan diberi imbalan, disebarkan untuk mengumpulakan keterangan-keterangan,
menemukan dan mengawasi orang-orang yang dicurigai. Konsul memberi kabar
kepada pemerintah di Karantina dan apabila orang yang dicurigai bersiap-siap
untuk berayar pulang ke Hindia Belanda. Seringkali orang-orang itu bertindak
selaku utusan dan menyeludupkan surat-surat atau adakalanya senjata ke Hindia
Belanda. Pengawasan politik ini mempengaruhi cara melaksanakan tugas lain,
yakni menjuru kepada kepentingan jamaah dari Hindia Belanda.
C. Perkembangan Haji di Batavia
Secara umum perjalanan menuju ke Mekkah dibagi menjadi dua, yaitu
rute darat dan rute laut. Rute perjalanan dari Batavia ke Mekkah hanya dapat
menggunakan jalur darat dan jalur laut. Rute perjalanan jalur laut dapat
dikelompokkan menjadi tiga rute pelayaran. Pertama, umat Islam yang berasal
dari Hindia Belanda seperti, Straits Setlement, British Indie, Afganistan, dan
Persia berangkat melalui selat Bab el- Mandab. Kedua, umat Islam yang berasal
dari Mesir, Sudan, Somalia, Prancis, Erytria dan Yaman berangkat melalui Laut
Merah. Ketiga, umat Islam yang berasal dari Tunisia, Asia Kecil, Siria dan
Maroko berangkat dari Utara.42
Pada abad ke-17 dan ke-18 sejumlah penduduk Hindia Belanda terutama
Batavia sudah melaksanakan ibadah haji ke Mekkah pada setiap tahunnya. Dan
selama pertengahan abad ke-19 jumlah mereka makin bertambah banyak. Ini
terlihat Pada tahun 1858 hasil dari laporan beberapa wilayah menujukkan
42 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal,46.
17
fluktuasi keberangkatan jamaah haji tercatat 202 orang yang berasal dari Bogor,
pada tahun 1854 tecatat 194 orang yang berasal dari Sumatra Barat, pada tahun
1856 terdapat 523 orang yang berasal dari Semarang, pada tahun 1861 tercatat
184 orang yang berasal dari Banten, dan di tahun yang sama ditemukan sejulah
jamaah haji asal Banten yang telah kembali dari Mekkah berjumlah 222 orang.
Artinya jamaah haji asal Banten yang kembali ke tanah air melebihi jumlah
keberngkatannya. Hal ini terjadi karena adanya jamaah haji yang telah bermukim
di Mekkah kemudian kembali ke tanah kelahirannya.
Selain itu, pada tahun 1958 tercatat calon jamaah haji asal Tegal berjumlah
118 orang, tahun 1860-1864 tercatat 356 orang dan yang kembali hanya 106
orang. Dari rata-rata uang yang dibawa para jamaah sebesar 400 hingga 500
gulden sesuai dengan ketentuan pemerintah. Laporan-laporan tersebut semakin
meningkat ke Batavia baik di Jawa maupun luar Jawa bahwa semakin
meningkatnya para calon jamaah haji yang meminta pas jalan.
Peningkatan jamaah haji sendiri di wilayah Batavia semakin meningkat
dari tahun ke tahun dari berbagai wilayah. Ini dapat dilihat dari tabel berikut:
TAHUN JUMLAH JAMAAH
1879 (1.296 H) 5.331 Orang
1880 (9.542 H) 9.542 Orang
1881 (1.298 H) 4.605 Orang
1882 (1.299 H) 4.302 Orang
1883 (1.300 H) 5.269 Orang
1884 (1.301 H) 4.540 Orang
1885 (1.302 H) 4.492 Orang
1886 (1.303 H) 2.524 Orang
1887 (1.304 H) 2.426 Orang
1888 (1.305 H) 4.328 Orang
18
Sumber: ANRI, Mgs. 4 April 1911 no. 785
Dari tabel di atas menunjukkan perkembangan para calon jamaah haji dari
tahun ke tahun, meskipun adanya penurunan maupun peningkatan calon jamaah
haji tidak menyurutkan keinginan para calon jamaah haji yang lain untuk tetap
1889 (1.306 H) 3.146 Orang
1890 (1.307 H) 5.076 Orang
1891 (1.308 H) 6.044 Orang
1892 (1.309 H) 6.861 Orang
1893 (1.310 H) 8.092 Orang
1894 (1.311 H) 6.874 Orang
1895 (1.312 H) 7.128 Orang
1896 (1.313 H) 11.788 Orang
1897 (1.314 H) 7.075 Orang
1898 (1.315 H) 7.875 Orang
1899 (1.316 H) 7.694 Orang
1900 (1.317 H) 5.088 Orang
1901 (1.318 H) 7.421 Orang
1902 (1.319 H) 6.092 Orang
1903 (1.320 H) 5.679 Orang
1904 (1.321 H) 9.481 Orang
1905 (1.322 H) 4.964 Orang
1906 (1.323 H) 6.683 Orang
1907 (1.324 H) 8.514 Orang
1908 (1.325 H) 9.169 Orang
1909 (1.326 H) 9.644 Orang
19
bisa melaksanakan ibadah haji. Adapun peningkatan calon jamaah haji sendiri
pada tahun 1885, 1888, dan 1893 disebabkan tahun tersebut bertepatan dengan
haji akbar.
Adapun peningkatan para calon jamaah haji yang hendak pergi ke Mekkah
maupun yang kembali ke tanah air terjadi di wilayah Batavia. Hal ini di tunjukkan
oleh tabel dibawah ini.
Berangkat Jumlah Penumpang Nama Kapal Tujuan
10 Juli 1.186 Amarapura Batavia
10 Juli 22 Lyilops Batavia
15 Juli 115 Drenta Batavia
17 Juli 1.084 Knight of John Singapura
21 Juli 268 Sentor Batavia
25 Juli 204 Agamenan Singapura
26 Juli 1.012 Ocampo Singapura
26 Juli 304 Glaucus Batavia
1 Agustus 222 Laertes Singapura
5 Agustus 150 Soenda Batavia
6 Agustus 100 Arion Singapura
7 Agustus 2.500 Samoa Batavia
30 Agustus 325 Ballerophon Batavia
13 September 800 Dencalion Batavia
28 Oktober 117 Antenor Batavia
17 Nopember 7 Patroekes Batavia
21
BAB III
Macam- Macam Kebijakan Hindia Belanda Terhadap Haji di Batavia
A. Kebijakan Manajemen Haji Masa Kolonial Hindia Belanda
Secara substansi haji merupakan ritual keagamaan kaum Muslim yang
bersifat personal. Meskipun demikian, sepanjang sejarahnya pelaksanaan ibadah
haji selalu mendapatkan perhatian oleh Pemerintah. Karena haji melibatkan
hubungan bilateral antara dua negara yaitu, Indonesia dan Arab Saudi. Di samping
itu, banyak komponen yang menuntut keterlibatan berbagai pihak dalam proses
ibadah haji. proses itu mulai dari pendaftaran, transportasi, akomodasi, kesehatan,
keamanan dan sebagainya. Tentu saja setiap negara memiliki pola yang berbeda
dalam konteks proses haji.
Sebagian manajemen jamaah haji Hindia Belanda di Hijaz di tangani oleh
Konsulat Belanda di Jeddah. meskipun pemerintah menginginkan konsulat sejak
1859. Tapi keinginan itu belum juga terwujud sehingga timbul kritikan dan
desakan dari beberapa pihak. Keizer mengkritik pemerintah Belanda yang belum
membuka konsulatnya di Jeddah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Inggris
dan Prancis. Ia mengemukakan bahwa setiap tahun, 25 sampai 30 kapal
perusahaan pelayaran Inggris mengangkut jamaah haji yang sebagian diantaranya
dari Hindia Belanda.
Pada saat itu ada sekitar 1.500 jamaah Hindia Belanda yang bermukim di
Mekah, dan terdapat tujuh sampai delapan ribu yang bermukim di Yaman. Akan
tetapi disini tidak dijelaskan mengapa mereka berkumpul di Yaman, mungkin
Yaman dijadikan alternative untuk mereka ingin menuntut ilmu setelah Hijaz.
1. Posisi puncak manajemen konsulat ini selalu dipangku oleh orang
Belanda. Konsul adalah salah satunya orang Belanda yang bertugas di
konsulat ini. Mengingat tempat tugas dan masyarakat yang dilayani,
Snouck Hurgronje pada tahun 1889 mengusulkan agar konsul di Jeddah itu
harus menguasai Bahasa Arab, mengetahui secara luas negeri Arab, Islam
dan Hindia Belanda.
22
Di Indonesia keterlibatan negara sudah dimulai sejak priode kolonial,
ketika negara ini berada dibawah pemerintahan penjajah Belanda.43
Pemerintah
Belanda sebagai pengelola haji terbatas atas pemerintah pusat di Negeri Belanda
dan pemerintah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Pemerintah pusat diwakili
oleh Minister Van Buitenladsche Zaken (MBZ, Mentri Luar Negri). MBZ turut
serta dalam pengelolaan haji karena perjalanan dan pelaksanaan haji dilakukan di
luar wilayah Hindia Belanda.
Pengelolaan haji oleh pemerintah Hindia Belanda dilakukan oleh
Gouverneur general Nederlandsch Indie (GGNI) dan Algemeene Secretaris
(Sekretaris Umum) bersama pimpinan dari beberapa instansi yang terkait, seperti
Direktur Departement van Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid (DOEN) dan
Adviseur voor Inlandsche en Arabische Zaken (AIAZ). Gubernur Jendral dan
sekretaris menerbitkan berbagai peratutan yang dituangkan dalam Staatblad van
Nederlandsch-Indie (Lembaran Hindia Belanda) yang bertalian dengan perjalanan
haji, terutama tentang kapal haji dan pas jalan.44
Pemerintah Belanda sebagai pengelola haji terbagi atas pemerintah pusat
di Negeri Belanda dan Pemerintah Nederlandsch Indie (Hindia Belanda).
Pemerintah pusat yang di wakili oleh Minister Van Buitenlandsche Zaken (MBZ,
Menteri Luar Negri) dan Minister van Kolonie (MK), Menteri Penjajahan. MBZ
turut serta dalam pengelolaan haji karena perjalanan dan pelaksanaan haji di
lakukan di luar wilayah Hindia Belanda. Sementara keikutsertaan Minister van
Koloni mengelola haji karena jamaah haji berasal dari daerah-daerah tanah
jajahan. Pengelolaan haji oleh kedua departemen tersebut berupa penentuan
kebijakan umum sesuai pandangan mereka tentang haji. selain itu, mereka
mengkoordinasikan dan menyelesaikan permasalahan haji dengan pemerintah
43 Muhammad M. Basyuni, Reformasi Manajemen Haji, (Jakarta, FDK Press, 2008),
hal,45.
44 Peraturan tentang haji diatur pertama kali dengan Staatblad. No. 42, 1859, yang kemudian
diubah dan ditambah dengan beberapa Staatblad. Sesudahnya. Peraturan pertama tentang
pelayaran diatur dalam Staatblad. No. 294, 1892, yang selanjutnya diperbaiki dengan peraturan
lainnya, sedangkan yang menyangkut kesehatan jamaah haji atau karantina diatur dengan
Staatblad. No. 227, 1911. Dalam M. Shaleh Putuhena. Historiografi Haji Indonesia. (Yogyakarta.
LKiS. 2007), hal, 224
23
yang terkait, misalnya Turki Utsmani, pemerintah Arab Hasyimiah , atau
pemerintah Arab Saudi.45
Manajemen haji yang berlangsung bertalian dengan kepentingan jamaah
haji berupa dokumen perjalanan dilakukan oleh para pejabat tingkat bawah.
Pejabat-pejabat yang berwenang mengeluarkan pas jalan dan visa itu ditetapkan
dalam Staatblad tentang pas jalan.
Pada awal penguasaan Belanda di Indonesia, mereka tidak banyak
mencampuri umat Islam di Indonesia. Kebijakan Belanda hanya berdasarkan rasa
takut, Mereka juga tidak mau mencampuri urusan umat Islam secara langsung
karena Belanda pada saat itu belum tahu banyak tentang Islam. Akan tetapi karena
umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia, maka Belanda bersikap serius
dalam menyikapi umat ini. Belanda saat itu memiliki dua sikap yang kontradiktif,
disatu sisi mereka takut akan kekuatan umat Islam yang fanatik, dan di sisi lain
mereka optimis bahwa keberhasilan kristenisasi akan segera menyelesaikan semua
persoalan.
Pemerintah tidak dapat memantau apa yang dilakukan jamaah selama tinggal
di “koloni jawa” tersebut. Jumlah jamaah yang berangkat haji jauh lebih banyak
dari pada yang kembali dan Ini terjadi setiap tahun. Walaupun di Hindia Belanda
telah diberlakukan berbagai ordonansi tetapi kenyataannya tidak mengurangi
minat orang untuk pergi haji. Keadaan ini sangat dikhawatirkan pemerintah
karena disinyalir para pemukim yang kembali ke tanah air inilah sebagai penyebar
faham “Pan Islamisme” yang sangat ditakuti pemerintah.46
Perjalanan haji nusantara ke Mekkah melalui jalur laut dapat dilakukan tidak
hanya dari Indonesia, tetapi juga dapat berlayar dari Singapura ke Malaka.
Akibatnya dapat merugikan pemerintah baik dalam bidang ekonomi maupun
politik. Dalam konteks inilah timbul ide pemerintah Kolonial Belanda mengambil
suatu kebijakan berkaitan dengan pengelolaan keberangkatan jamaah haji
Nusantara, terutama Batavia. Dari sudut ekonomi diketahui bahwa jika ada
masyarakat muslim yang hendak pergi menunaikan ibadah haji melalui Singapura
45 M. Shaleh Putuhena. Historiografi Haji Indonesia. (Jogjakarta. LKIS 2007), hal, 223.
46
M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta, CV Sejahtera, 2008, hal,123.
24
dapat mengurangi pendapatan pemerintah karena semua kebutuhan sebagaimana
layaknya orang pergi haji harus dibeli di Singapura. Dalam kesempatan itu
pemerintah sebenarnya telah mengoperasionalkan semua emberkasi yang
dianggap layak untuk disinggahi kapal-kapal bertonase besar. Beralihnya
pemberangkatan pergi-pulang jamaah haji dari emberkasi yang ada di Nusantara
akan mengurangi pendapatan pemerintah, karena sebagian besar kapal yang
dipergunakan untuk pengangkutan jamaah itu adalah kapal milik pemerintah
Belanda yang seharusnya dapat dikoordinir setiap penumpang secara
professional.47
Dari segi politik bahwa perlu diterapkan kebijakan terhadap para calon
jamaah yang hendak pergi atau bagi yang telah selesai menunaikan ibadah haji.
Sebagai legitimasi politik dapat dilihat dalam sejarah Banten yang dinyatakan
bahwa Sunan Gunung Jati naik haji bersama anak dan penggantinya. Haji mereka
bukan sebagai suatu perjalanan biasa naik perahu melainkan sulit diterima secara
rasio karena dipandang sebagai orang keramat.48
Kebiasaan serupa juga terjadi
pada masyarakat yang pergi haji mendatang dengan menggunakan perahu layar
bahkan ada yang dengan kapal api. Kekhawatiran itu mendorong pemerintah
Belanda melahirkan berbagai peraturan tentang haji sebagai sebuah kebijakan
politik. 49
Tujuan utama menerapkan kebijakan itu agar jamaah dapat merasa aman
dalam perjalanan atau selama menunaikan ibadah di Mekah. Tetapi dalam konteks
politik yang sangat mendasar diterapkannya kebijakan itu ialah agar para jamaah
haji yang menggali ilmu pengetahuan agama di sana (Mekah) dalam pandangan
kolonial dapat “dikendalikan” sikapnya dari hal-hal yang merugikan bahkan
melawan pemerintah kolonial yang disosialisasikan oleh para jamaah yang baru
pulang itu. Pemerintah Belanda menyadari bahwa di Mekah para haji Indonesia
dapat bertemu dengan sesama muslim dari seluruh dunia Islam.50
47 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta, CV Sejahtera, 2008, hal. 81.
48
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, (Jakarta: Djambatan,
1983), hal. 113.
49 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, hal, 82.
50
M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, hal, 25.
25
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 jumlah jamaah haji semakin
meningkat terutama di Batavia lebih dari 40 persen dari seluruh jamaah haji yang
datang dari berbagai negara di belahan dunia. Pada dasarnya perjalanan haji
sendiri tidak hanya bisa melalui jalur laut yang ada di Batavia, akan tetapi bisa
juga melintasi dari jalur Singapura dan Malaka. Namun sebagian besar para calon
jamaah haji lebih banyak melakukan perjalanan haji melalui Batavia. Dalam
konteks ini timbul ide pemerintah kolonial Belanda untuk mengambil suatu
kebijakan yang berkaitan mengenai pengelolaan pemberangkatan jamaah haji.
a. Ordonansi 1859
Latar belakang lahirnya ordonasi 1859 karena bayaknya peyalahgunaan
gelar haji dan ada sebagian jamah pasca menunaikan ibadah haji tidak kembali ke
tanah air. Akibatnya menimbulkan masalah sosial ekonomi masyarakat bagi
keluarga yang ditinggalkan. C. Snouck meragukan kesungguhan dan ketetapan
pemerintah atas pengamatan di lapangan itu.51
Secara resmi gubernur jendral mengeluarkan ordonasi haji tahun 1859.
Agar semua mengetahui dan melaksanakan aturan tersebut maka dijelaskankan
dalam staatsblad van nederlandsch indie 6 juli 1859, nomor 42, dan
diterjemahkan dalam bahasa melayu dan cina. Maklumat tersebut bertujuan untuk
mempertegas peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelumnya, namun
pelaksanaanya belum optimal. Ini dapat diketahui dari tingginya keinginan
masyarakat Islam nusantara pergi naik haji setiap tahun semakin bertambah
jumlahnya. Misalnya pada tahun 1850 umat Islam nusantara pergi haji hanya
berjumlah 74 orang. Lima tahun kemudian (1855) jumlahnya meningkat menjadi
1.668 orang. Dari jumlah tersebut, 860 orang bermukim di mekah.52
Pada tahun 1893 masyarakat muslim Hindia Belanda pergi haji berjumlah
5.193 orang, sementara yang kembali hanya 1.984 orang.53
tidak dapat di pungkiri
bahwa ada jamaah yang terlantar di berbagai tempat sepanjang rute pelayaran haji
51 C.Snouck Hurgronje, De Hadji-Politiek der Indische Regeering dalam Verspreide
Geschriften, jilid IV, 2, hal. 175.
52 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal, 95.
53
Arsip Nasional RI, Laporan Konsul Belanda di Jeddah tahun 1893.
26
akibat kekurangan makanan bahkan tidak memiliki uang. Di antaranya, terpaksa
tidak meneruskan perjalanan ke Mekkah atau hanya sampai di Singapura saja, lalu
kembali ke kampung halaman. Ada istilah khusus bagi mereka yang hanya sampai
di singapura dengan menyandang gelar “Haji Singapura”. Hal ini terjadi karena
prilaku orang-orang tertentu yang mengeruk keuntungan, dan menjanjikan akan
mengurus kelanjutan perjalanan, tetapi sebaliknya uang mereka diperas sehingga
tidak dapat melanjutkan perjalanan.54
para jamaah juga sudah membeli surat
keterangan di Singapura sebagai bukti bahwa yang bersangkutan telah
melaksanakan ibadah haji di mekah.55
Kees Van Dijk, yang dikutip dari keijzer,
menerjemahkan piagam haji tersebut berbunyi :
“ Atas nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Pengampun! Dan
semoga Allah member rahmat kepada Nabi Muhammad beserta
keluarga dan sahabatnya.
Imam mazhab syafi’i
Dari negri…Haji… Telah menjalankan ibadah haji di
mesjid suci dan sudah berziarah ke makan nabi, semoga ia
berada dalam kedamaian!
Dengan sepenuhnya dan kesempurnaanya,
demikianlah semoga Allah meridai (meridhoi) ibadahnya,
perjalanannya dan kunjungannya, serta memberikan kedamaian
kepadanya dan kepada segenap jamaah haji Amin”56
Biasanya istilah tersebut hanya diperuntukan bagi orang-orang
Indonesia, yang niatnya untuk beribadah haji tidak terpenuhi, namun tetap
“dengan berani” menyandang gelar haji dan memakai kopiah serta baju
haji. Karena itu pemerintah dengan keras mengharuska penduduk mematuhi
dan melaksanakan peraturan tersebut. Isinya sebagai berikut.57
1. Ieder, het zij man of vrouw, behoorende tot de inheemse bevolking
onder het gezag der nederlandsch Indische regering, die zich ter
bedevaart naar Mekka wenscht te begeven, blijft gehouden zich bij het
bestuur van het gewest zijner inwoning te voorzien van eene reispas
(Tiap orang baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi penduduk
pribumi di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, yang ingin
54 Ibid. hal, 96.
55
Kees Van Dijk, Perjalanan Jamaah Haji Indonesia dalam Indonesia dan haji dalam Berhaji
Masa Kolonial, Jakarta, CV Sejahtera, 2008, hal, 96.
56 Kees Van Dijk, Perjalanan Jamaah Haji Indonesia dalam Indonesia dan haji dalam Berhaji
Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal, 96.
57Staatblad Van Nederlansch Indie 6 Juli 1859 No. 42.
27
pergi ke Mekah tetap wajib melengkapi diri dengan surat pas yang
dapat diminta pada penguasa setempat di mana ia tinggal.
2. Deze passen moeten worden angevraad door tusschenkomst van de
betrokkene regenten, of bij ontstentenis van dezen, van zoodanige
hoofden als de regenten vervangen.
Geene passen worden verleend, als op hunne voordragt en
verklaring, dat de aanvragers om passen de middelen bezitten voor de
heen-en terugreis en behoorlijk hebben voorzien in het onderhoud
hunner achterblijvende betrekkingen, gendurende hunne afwezigheid.
(Surat pas yang khusus diminta kepada bupati masing-masing, atau
jika tidak ada bupati, pejabat-pejabat seperti itu menggantikan sebagai
bupati pas sudah diberikan seperti yang dikatakan dan diterangkan
pada mereka, cara untuk mendapat pas jalan pergi-pulang bagi para
pemohon dan sepantasnyalah mentaati untuk mencukupi keluarga yang
ditinggalkan di rumah mereka, selama mereka tidak ada.
3. Wanneer de houder eerner pas naar Mekka op plaatsen komt, waar een
Nederlandsch consul of consulair agent gevestigd is, is hij vervligt die
aan denzelven ter visa aan te bieden. (Apabila pemegang pas tiba di
tempat, dimana konsul atau Agen konsuler Belanda telah dibuka, ia
menangani visa untuk diberikan kepada mereka (Jamaah).
4. De van reis teruggekeerde personen zijn gehouden bij hunne
terugkomst in Nederlandsch-Indie zich onverwijld te melden hij het
bestuur plaats henner eerste aankomst en daar te doen afteekenen de
aan hen verleende reispas, welke alsdan geldizg zal zijn voor de
verdure reis naar de plaats hunner bestemming.
Daar aangkome zijnde, moeten zij zich onverwijld aanmelden bij
het gewestelijk bestuur, waarvan, zoomed van hunne terugkomst, op
de pas, die in hun bezit word gelaten, aanteekening wordt gehouden.
(orang-orang yang telah kembali dari perjalanan wajib melapor ketika
kembali ke Hindia Belanda kepada penguasa setempat saat pertama
kali tiba dan di san diberi tanda pada pas jalan mereka, yang mana
dalam hal demekian akan berlaku untuk perjalanan selanjutnya menuju
tempat yang telah ditentukan.
5. De van de bedvaart naar Mekka terugkeerde personen zullen zich
voorst aanmelden bij den regent, of het dezen vervangende inlandsche
hoofd, binnen wiens resort hunne woonplaats gelegen is, en zal deze,
in tegenwoordigheid van eenen priester en des geraden geacht ook van
eenen achtingswaardigen hadji, zich door ondervraging overtuigen, of
de terugkeerde werkelijk de heilige plaatsen heft bezocht en bij
bevinding dat dit zoo is, hem daarvan een certificaat uitreike, door de
bij het onderzoek aanwezigen en den belanghebbende
medeonderteekend, waarvan door den regent wordt kennis gegeven
aan het hoofd van gewestelijk bestuur.
6. Gelijke straf is van toepassing op hen, die in verzuim zijn gebleven bij
hun vertrek naar Mekka eene reispas te ligten, zoomed op het
verzuimen van get beppaalde bij de artikelen 3 en 4. (Orang-orang
28
yang pulang dari naik haji ke Mekah, selanjutnya akan diberitahukan
kepada bupati, atau penguasa pribumi pengganti bupati setempat, dan
akan kedatangan seorang ulama dan juga dianjurkan dihormati seperti
yang patut dihormati, diajukan pertanyaan yang meyakinkan setelah
pulang apakah betul-betul dari mengunjungi tempat-tempat suci dan
jika hasil penyelidikan demikian itu, maka padaya diberi sertifikat,
yang dalam penyelidikan telah terbukti dan yang berkepentingan
membubuhi tanda tangan, lalu oleh bupati diberitahukan pada
pemerintah daerah.
Mereka yang dalam penyelidikan terbukti tidak mengunjungi
Mekah, tidak diberi sertifikat dan tidak boleh berpakaian dengan
menggunakan baju haji, dihukum denda dari f.25 hingga f.100
untuk tiap-tiap pelanggaran.
Hukuman yang sama berlaku bagi mereka, yang terbukti
mengabaikan surat jalan ke Mekah pada keberangkatan mereka,
juga melalaikan ketentuan Ayat 3 dan 4.
Van de voor bedevaarrtreizen naar Mekka verleende reispassen
worden door de hoofden van gewestelijke registers, volges het
aan deze ordonancie gehectmodel, waarin ook aanteekening
wordt gehouden van de teruggekeede bedevaartgangers.
En opdat niemand hiervan onwetendheid voorwende, zal deze
in het staatblad van Nederadsche en Chineesche talen aangeplakt
worden.
Gelast en beveelt voorts, dat alle hooge en lage collegian en
ambtenaren, officieren en justicieren, ieder voor zooveel hem
aangeet, aan de stipte naleving dezer de hand zullen houden,
zonder oogluiking of aanzien des persons.58
Dari paparan di atas menjelaskan bahwa surat izin jalan yang
diberikan kepada calon jamaah haji untuk melakukan ibadah haji harus
sesuai dengan ordonansi yang berlaku dan dikeluarkan oleh penguasa
pemerintah setempat. Kebijakan ini harus ditaati oleh para calon jamaah haji
apabila mereka tidak ingin terkena masalah dengan pemerintah Kolonial
Belanda.
Selain itu juga, para calon jamaah haji diwajibkan untuk melapor
setelah mendapatkan surat izin untuk melakukan perjalanan haji dan
membawa uang sesuia dengan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah
Kolonial Belanda. Meskipun demikian kebijakan tersebut sudah diberlakuan
58
M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal,95-99.
29
sebelum ordonansi itu ada, sayangnya tidak ada ketegasan terhadap para
calon jamaan haji yang melanggar peraturan.
b. Ordonansi 1922
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Kolonial Belanda
mengeluarkan peraturan mengenai angkutan haji disusun dalam pilgrim
Ordonasi tahun 1922, yang memuat aturan-aturan pelayaran haji terdiri dari
IX bab, 74 ayat, dikenal dengan nama Ordonasi 1922 tertuang dalam
staadblad, Nomor 698. Ketentuan ini kemudian disempurnakan kembali
pada tahun 1923, 1925, 1927, 1932 dan 1937.
Dalam ketentuan ini dijelaskan bahwa penumpang yang pergi menunaikan
ibadah haji ke Mekah tidak dibedakan jenis kelamin dan usia. Penumpangnya
tergolong pilgrim der laagste klasse (penumpang kelas ekonomi) naik kapal
khusus (pelgrimschip) dari pelabuhan di Hindia Belanda ke kota-kota pantai di
Laut merah, teluk Aden, atau kembali dari laut Arab ke pelabuhan di kota Hindia
Belanda. Beberapa pelabuhan haji (embarkasi atau debarkasi) yang menyediakan
karcis adalah Makassar, Surabaya, Tanjung priok (Jakarta), Enema (Padang),
Palembang dan Sabang. Kapal diperkenankan membawa penumpang hanya
dengan kecepatan 10 mil per jam dan brutonnya kurang dari 2500 m3.
Kondisi kapal harus memuaskan karena dipergunakan sebagai tempat
tinggal jamaah selama pelayaran Sekurang-kurangnya bagian atas dek tebuat dari
kayu atau besi, ventilasinya baik dan cukup penerangan. Di ruang geledak harus
terpasang daun pintu yang dilengkapi dengan kaca, Tiap areal dak terdapat dua
tenda di atasnya setinggi 1,72 m yang dilengkapi dengan pagar perlindungan rel
atau sejenisnya, Bentuk pintu penutup dek sedikit lebih besar dari pintu yang ada
di kapal, sehingga jika turun hujan airnya akan jatuh keluar, dan Pintu dapat
dibuka bila cuaca baik.59
Dalam Ordonansi ini juga dijelaskan bahwa setiap jamaah yang berangkat
dari Hindia Belanda menuju Mekah dan setelah kembali harus memiliki sertifikat
haji. Sertifikat itu dapat diperoleh dari pemilik, agen atau nahkoda kapal tiga hari
59
M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal,105.
30
sebelum kapal berangkat meninggalkan tanah suci. Biayanya sebesar f. 300 atas
tanggung jawab kepala daerah. Dana sertifikat tercantum di tempat meletakan
kapal. Setifikat itu akan diperiksa pada setiap siggah di pelabuhan oleh petugas
pelabuhan. Dan setelah sampai di Batavia, sertifikat itu di serahkan kepada
konsulat Belanda untuk pemeriksaan terakhir.
Kapal yang dipergunakan untuk mengangkut jamaah haji, khususnya kelas
ekonomi, harus mempunyai daftar tampung yang diperoleh dari syahbandar di
tempat kapal bersandar dan itu berlaku dalam waktu terbatas. Jika daftar ukur itu
tidak sesuai dengan daya tampung kapal, pemilik agen atau nahkoda dapat
mengajukan keberatan kepada kepala pelabuhan dalam waktu 14 hari dari daftar
ukur yang telah ada. Dan daftar ukur ini baru dapat dikeluarkan apabila dilakukan
inspeksi oleh Inspektur pelayaran dan ditolerir temuannya jika terjadi selisih
perbedaan 4 persen lebih banyak dari daftar ukur pertama. Apabila daftar ukur itu
rusak atau hilang dapat diajukan permohonan tertulis atau lisan kepada Inspektur
kepala pelayaran untuk memperoleh yang baru dan tembusannya dikirim ke
pejabat pelabuhan lain. Biaya administrasi daftar ukur baru itu harus dibayar lunas
sebesar f. 100.
Calon haji yang akan berangkat dengan kapal laut harus memiliki izin
tempat di kapal yang masih berlaku untuk pergi dan pulang, tetapi ada juga hanya
untuk berangkat saja. Izin itu dapat diperoleh dari agen haji di Hindia Belanda.
Dalam surat bukti tempat itu tercantum nomor tempat, harga, batas berlaku, dan
nama agen haji yang memberagkatkan. Surat bukti tempat itu sengaja dibedakan
warnanya supaya mudah diketahui klasifikasi penumpangnya seperti untuk orang
dewasa diberikan bukti tempat berwarna putih, merah untuk awak kapal dan
warna biru untuk anak-anak. Biaya surat bukti tempat itu sebesar f. 90 ditanggung
oleh penumpang, Surat bukti tempat itu hanya berlaku sekali musim haji atau
tidak berlaku jika agennya ditutup. Surat bukti tempat tersebut akan dikembalikan
kepada keluarganya melalui konsul Belanda di Jeddah apabila pemegang surat
tersebut meninggal dunia.
Agen bertanggung jawab memulangkan jamaah dari Jeddah ke Hindia
Belanda dan biasanya dilakukan pada hari ke 7 dan ke 40 setelah Hari Raya Idul
31
Adha. Agen menentukan pemilihan tempat, hari, waktu, dan nama kapal yang
ditumpangi. Jika agen tidak melengkapi kewajiban yang telah di tentukan,
khususnya tempat jamaah di kapal, kepala penguasa melalui Departemen Marine
di Hindia Belanda dan konsulat di Jeddah berwenang menangani kesulitannya,
termasuk atas penyelenggaraan angkutan haji, serta menyampaikan surat bukti
tempat kepada jamaah.
Nahkoda atau pemilik kapal wajib memberikan pelayanan yang layak
kepada jamaah sesuai dengan persetujuan kepala pelabuhan. Agar kapal diizinkan
berlayar, nahkoda terlebih dahulu menyerahkan sertifikat dan daftar haji kepada
kepala pelabuhan. Peraturan tertulis itu dibuat dalam bahasa Belanda atau Melayu
dan Inggris (bagi yang berbendera asing) ditempel pada tempat-tempat yang
mudah dilihat penumpang. Isinya mencakup tentang; jatah makan, harga
makanan, dan minuman di luar jatah, serta denah lokasi tempat di dalam kapal.
Selain itu nahkoda harus menyediakan tenda-tenda sebagai tempat berlindung dari
cuaca panas dan hujan.60
Setiap penumpan meninggal di kapal harus diumumkan dalam jurnal kapal
dengan menuliskan nama, usia, tempat lahir, dan tanggal meninggal. Juga ditulis
sebab-sebab kematian yang bersangkutan, surat jalan dan bukti tempat
(plaatsbewijs). Di setiap pelabuhan luar negeri yang disingahi kapal, nahkoda
menyerahkan daftar jamaah kepada penguasa yang berwenang untuk diperiksa
dan ditanda tangani, termasuk dicek buku kesehatannya. Dalam daftar nama itu
tertera nama, jenis kelamin, visa, kelas dan di pelabuhan mana penumpang itu
naik. Jika telah tiba di pelabuhan terakhir (Jeddah), nahkoda menyerahkan daftar
nama dan surat jalan jamaah yang meninggal kepada konsul Belanda untuk
diarsipkan.
Para penumpang dilarang memiliki korek api, merokok di dek, berjalan
dengan menggunakan lampu (obor), menghidupkan api di dapur waktu malam.
Lantai dek kapal harus bersih dari kuman dan kering, disediakan tong sampah,
WC dan tempat air bersih. Apabila diragukan kualitas air bersih penumpang dapat
60 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal.109.
32
membeli pada nahkoda atau melalui kran air di luar pelabuhan pertama sebelum
kapal berangkat.
Nahkoda diizinkan menaikan penumpang dari kota-kota pantai Laut
Merah, Teluk Aden menuju Hindia-Belanda, tetapi tidak boleh singgah ke
pelabuhan lain sesuai ketentuan kecuali ada izin khusus. Di pelabuhan lain yang
singgahi itu tidak diperkenankan menaiki penumpang, kecuali terpaksa dan ada
tanda bukti jelas sebagai penumpang. Setelah Hindia Belanda, jamaah diturunkan
di Sabang (Pulau Rubiah). Kuiper (Tanjung Priok) atau Onrust (Pulau Seribu,
Jakarta).61
Di pelabuhan tersebut, diperkenankan bersandar kapal-kapal yang tidak
membawa jamaah. Setelah kapal datang kepala pelabuhan segera naik menemui
nahkoda. Kepadanya nahkoda menyerahkan sertifikat untuk perjalanan haji,
jadwal kapal, daftar jamaah, bukti dokter kapal bertugas.
Kepala pelabuhan melakukan penyelidikan atas ketidakteraturan di kapal.
Proses verbalnya dibuat rangkap dua. Satu eksemplar disampaikan kepada
inspektur kepala pelayaran dan satu lagi diberikan kepada nahkoda kapal yang
bersangkutan. Nahkoda dapat memohon dilakukan penyelidikan lanjutan kepada
inspektur pemerintahan setempat sebelum kepala pelabuhan meninggalkan kapal.
Penyelidikan lanjutan itu ditangani oleh suatu komisi terdiri dari tiga anggota
yaitu dokter kapal dan dua lainnya ditetapkan oleh inspektur kepala pelayaran.
Jika penyidikan membuktikan bahwa kapal tersebut tidak layak mengangkut
penumpang, maka awak kapal dilarang membawa jamaah.
B. Kebijakan dan upaya mencari calon Jamaah Haji pada Masa Kolonial
Hindia Belanda
a) Agen Herklots
Dari sumber arsip dapat diketahui sepak terjang agen-agen perjalanan haji
tersebut dan calo-calo mereka dalam mengeksploitasi para jamaah, dua agen yang
arsipnya diterbitkan yaitu Agen Herklots dan Firma Alsegoff & Co, agen tersebut
dapat menjadi contoh atas kebobrokan agen-agen perjalanan haji swasta di masa
61 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal.110.
33
itu dalam melayani para jamaah yang bermaksud menunaikan rukun Islam yang
kelima.62
Nama perusahaan Herklots diambil dari nama pendirinya, Johanes
Gregorius Marianus Herklots (Y.G.M. Herklots) dia adalah seorang Indo
Eropa yang lahir di Indramayu Jawa Barat, karena faktor pengaruh
lingkungan tempat tinggal menyebabkan kemampuan berbahasanya terbatas
pada tingkat Bahasa Belanda pasar. belum diketahui secara pasti tentang
alasanya mengapa ia pindah dan tinggal di Tanah Abang, Batavia (Jakarta).
Akan tetapi dalam Arsip kolonial dikatakan bahwa pada usia 33 tahun J.G.M.
Herklots bekerja di sebuah agen perusahaan perjalanan haji Firma Knowles &
Co di Batavia.63
Firma Knowles & Co dikenal sebagai perusahaan yang memiliki
kualitas pelayaran dan manajemen yang baik sehingga reputasinya dalam
mengurus keberangkatan calon jamaan dari tanah Hindia Belanda hingga ke
Arab tidak banyak mengalami hambatan. Dalam menjalankan bisnisnya
Firma Knowles & Co, menjalin kerjasama dengan para pengusaha kapal di
dalam maupun luar negeri, seperti dengan Firma Al-Segaff & Co
(Singapura), yang menyewakan kapal penumpangnya.
Karena ketekunan dan kejujurannya menyebabkan Herklots menjadi
orang kepercayaan W.H.J Keukenis, pemilik Firma Al-Segaff & Co di
Singapura untuk memberangkatkan calon jamaah dari Hindia Belanda ke
tanah suci. Karier Herklots di Firma Knowles & Co semakin meningkat, ia
mendapat lisensi untuk membuka cabang agen perusahaan seperti halnya
Agen Java & Co di Jeddah dalam pengangkutan jamaah dari tahan suci ke
Hindia Belanda. Kedua perusahaan itu memberikan pelayanan yang baik
sehingga berdampak positif kepada reputasi dan kemajuan perusahaan.
Dalam laporan konsul Belanda di Jeddah kepada Gubernur jenderal
Hindia Belanda teranggal Jeddah 17 Maret 1893 No. 161, disebutkan bahwa
Herklots tiba di Arab pada tanggal 27 Februari 1893 dengan menggunakan
62 Penerbitan Naskah Sumber, Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial, Jakarta,
Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation dengan Arsip Nasional RI 2001, hal, xiii.
63 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal,130.
34
kapal api Dencalion milik British India Steam Navigation Company Limited.
Bersama itu pula W.H.J. Keukenis pemilik Firma Knowles & Co mengirim
surat kepada Konsul Belanda di Jeddah memohon agar tidak keberatan
memberikan advis (saran) dan pertimbangan kepada J.G.M. Herklots beserta
saudaranya W.H. Herklots bila bertindak tidak professional dalam menangani
kepentingan jamaah yang diamanatkan kepadanya.
Usaha yang dilakukan oleh Herklots bersaudara tersebut ternyata
mendapat ijin dan perlindungan dari penguasa setempat , keduanya telah
mendapat ijin untuk membuka Firma (cabang) di kota suci tak lama setelah
mereka datang ke Jeddah ia menyatakan sebagai anggota Firma Knowladges
& Co di Batavia yang ingin mencarter kapal api untuk mengangkut sejumlah
besar jamaah yang ingin pulang ke Hindia Belanda. Dengan dibantu oleh
saudaranya, W.H. Herklots yang kemudian, Y,G,M. Herklots memanfaatkan
Firma Knowladges & Co yang telah berpengalaman memberangkatkan dan
memulangkan jamaah haji dari Arab ke Jawa.
Karena pekerjaan sebagai agen pemberangkatan jamaah di jawa tidak
dapat ditinggalkan begitu saja, maka saudaranya yang bernama W.H.
Herklots segera menyusul ke Jeddah untuk membantu di bidang pemasaran.
Dalam melakukan penjaringan jamaah beliau tetap menggunakan paying
perusahaan The Java Agency. Disamping itu agar semua lapisan masyarakat
mengetahui tentang perusahaannya, maka dibuatlah reklame dalam Bahasa
Sunda dan Melayu dengan menggunakan huruf cetak latin maupun dalam
huruf Arab Pegon. Dengan huruf cetak tebal dan besar reklame itu
terpampang di setiap sudut jalan sehingga mudah dilihat oleh masyarakat.
Dalam reklame itu disebutkan bahwa kapal api British India Steam
Navigation Company Limited, calon jamaah akan mendapat pelayanan yang
memuaskan selama pelayaran dari Betawi menuju Jeddah yang akan
berangkat pada 2 Februari 1893 menjelang musim haji tahun ini atau 15
bulan Rajab 1310 H. Isi reklame adalah:
Sewah Dari Betawi
Passagiers orang-orang tuwa f.95,
35
“anak-anak” f.47,50.
Harga penoempang f.95. Satoe orang troes sampai di Jeddah dan
anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak jang
menetek tidak baijar. Di kapal dapet pagi-pagi nassi sesoekanja
dengan daging assin branja 4/10 kati, garem dan Lombok.
Tengah hari nassi sesoekanja dengan daging assin branja 4/10 kati,
garem dan Lombok.
Sore nassi sesoekanja dengan ikan branja 1/10 kati dengan garem dan
Lombok, kopi dan thee bole dapet tiap-tiap makn sesoekanja.
Menoeroet Staatsblad 1872 No. 179
J.G.M. Herklots
Adres kantornja The Java Agency
Batavia Kali Besar
Ini kapal mampir di Chirebon tanggal 12 bulan Radjab64
Sementara J.G.M. Herklost sibuk berada di tanah air, tidak lama
berselang pihak konsul Belanda mengajukan protes kepadanya dan kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dasar somasi pihak konsulat ini karena
Herklots yang mengaku sebagai cabang agen Knowles telah
menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Jamaah harus
membayar tiket pulang yang telah ditetapkan, ditambah lagi 500 gulden
sebagai pembayar jasa bagi Herklots. Tindakan ini jelas merusak citra dan
nama baik Firma Java Knowles. Pihak konsulat segera melakukan
penyelidikan terhadap Herklots dan terbukti bahwa “Hij was echer niet in het
bezit van eene aanstelling van genoemden agent en kon ook overingens gene
legitimatiepapieren vertoonen”.65
Usaha keduanya memungut uang tambahan telah menyusahkan
jamaah. Banyak jamaah yang akhirnya lari mencari perlindugan ke konsul
belanda karena kehabisan uang. Pihak konsul di Jeddah berusaha untuk
memulangkan Herklots karena tindakannya telah melanggar hukum, namun
usaha ini tidak berhasil karena terbentur pada peraturan setempat.
Sementara itu usaha Herklots jalan terus sebagai agen pemulangan
jamaah haji ke Jawa. Ketika ia kesulitan modal, dengan bantuan syekh Abdul
Karim, penunggu Ka’bah yang bertindak sebagai penerjemah ia meminjam
64 Arsip Nasional RI, Mgs, 16-8-1893 No. 2081. Dalam M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa
Kolonial, (Jakarta, CV Sejahtera, 2008), hal. 132.
65 Arsip Nasional RI, Agenda 29-6-1893 No 12937, hal, 133.
36
uang kepada Amir (Syarif besar) penguasa Mekkah. Percaya kepada usulan
Herklots yang mengaku bernama Haji Abdul Hamid, Syarif besar
memberinya bantuan uang sebesar 150.000 gulden. Bantuan ini sangat
menyenangkan Herklots, sebagai imbalannya Syarif besar mendapatkan
seorang pegawai yang disebut syech untuk bertugas mengawasi para jamaah
yang akan kembali ke Hindia Belanda dengan menumpang kapal yang
dicarter Herklots.
Dengan dibantu oleh para syech, Herklots mengumpulkan para calon
penumpang sebanyak-banyaknya. Sungguhpun ongkos pulang yang wajib
dibayar oleh para jamaah dianggap terlalu mudah oleh agen-agen lain,
Herklots tidak menghiraukannya. Karena yang penting baginya adalah
memperoleh penumpang sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu jamaah yang
telah berjanji untuk menumpang dikapalnya atau telah membayar padanya
tidak diijinkan meninggalkan Mekkah untuk menumpang pada kapal agen
lain, Mereka harus menunggu kapal api yang telah dicarter oleh Herklot.
Selain biaya tersebut para jamaah masih juga dipungut biaya
pengangkutan dari Mekkah ke Jeddah. Herklots memerintahkan para
syechnya untuk mengatakan kepada para jamaah bahwa mereka tidak dapat
meninggalkan Mekkah karena tidak akan mendapat unta untuk pergi ke
Jeddah tanpa membayar sebesar 15 ringgit. Dengan demikian jumlah yang
harus dibayar oleh para jamaah sebesar 37 ringgit.
Teks:
Process Verbaal 28 Agustus 1893
Pada hari Isnajen Doewa Poeloeh delapan hari boelan
Agustus taoen 1800 sembilan poeloeh tiga, datang menghadap kami
dalam kantoor kami orang Mlajoe Si Tang Kin gelar Radja Moeda
nama seseorang Haji Moesa Soekoe Piliangsam oemoer + 45 taoen
pekerdjaan sawah baharoe poelang dari Mekkah negri Singkarak,
akan menerangkan hal dan persaannja selamanja toeroen dari
Mekkah sehingga sampai di Padang ini seperti terseboet di bawah
ini:
Adapoen sepandjang pendengaran saja selama ini djikalaoe
orang maoe toeroen dari Mekkah, sampai di Djeddah waktoe ada
kapal jang hendak berlajer ke Padang ini baharoe di bajer sewa kapal
jang handak di tompang, di bajer itoe sewa di moeka Consul, tetapi
ini satoe kali tiada begitoe. Kerna chabarnja ada satoe orang
37
Hollanda masok Islam orang kata namanja Prekoloos dia berjanjdi
dengan Radja Mekkah sopaja dia akoe kapal dan di bajer sewa kapal
di Mekkah dalam itoe dia beri oewang bahagia kapada Radja berapa
banjak di beri saja tiada taoe, sebab itoe kasi perentah kapada Sjach
Doemaat siapa orang jang akan toeroen di bajar oewang sewa kapal
37 ringgit Holland ka Padang, ka Pulau Pinang 31 ringgit boeroeng.
Ka Djawa sama dengan ka Padang. Kaloe siapa jang tiada maoe
bajer akan ditangkap oleh laskar, dan djikaloe sjech beri dijalan
orangnja tiada bajer sewa kapal itoe sjech nanti di hantikan dari pada
pekerdjaanja, sebab itoe sjech minta sewa kapal kapada kami dan
kami bajer sewa 37 ringgit kapada sjech dan sjech bajer kapada
kapada Radja Mekkah baharoe kami boleh toeroen Ka Djeddah.
Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada boleh kami
naik di lain kapal hanja misti masoek dalam kapal samoa, dan kapal
lain sewanja tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe
orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah di bajer di Mekaah
itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada
perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di
kapal Samoa itoe terlaloe banjak orang sampei sesak tiada bias tidoer
dan tiada boleh sambahjang karna semoewa orang ada 3300
(sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja hingga tempat
doedoek ada soesah. Tetapi kami jang tiada oewang boewat sewa
lain kapal apa boleh boewat kami masoek djoega di itu kapal lantas
berlajer dari Djeddah pada hari selasa soedah kira-kira poekoel 5
sore. 5 hari berlajer sampei di Aden bermalam satoe malam disitu
besoknja berlajer dari Aden kami dapat angina badei keras, Kaptein
tiada beri taoe lebeh dahoeloe Bahasa badei akan datang. Dan pintoe
perka tiada ditoetoep sebab itoe waktoe badei mendapat kesoesahan
segala orang dalam kapal kerna berhimpit dengan peti-peti sampei
ada jang petjah kepala, ada jang poetoes kakinja, dan ada jang hilang
samasekli tiada dapat bangkeinja barangkali djatoeh ke laoet.
Sepandjang kata orang itoe malam sadja ada seratoes orang jang mati
sebab itoe badai begitoe djoega barang-barang dan ada orang-orang
jang masi dalam kapal di boewang sadja oleh orang kapal tiada
disambahjangkan dan tiada dikapani atau dimandikan.
Orang-orang jang dapet loeka atau jang patah kaki itoe apa
ada di obati oleh doctor dalam kapal itoe?
Doctor ada obati dan ada djagai orang-orang itoe dengan baik
dan saban hari dipereksa oleh doctor. Pendjagaan dalam kapal itoe
apakah sempoerna seperti makan dan tempat boewang ajer dan
sebagainja?
Dari makanan tiada tjoekoep sebab sepandjang kata sjech
dahoeloe dapat koffie 2 kali sekali pagi sekali sore dapat makan nasi
2 kali sekali pagi sekali sore akan tetapi koffie dapat satoe kali sadja
pagi tetapi sedikit sadja karna masih poetih ajernya, dan dari nasi
tiada di atoer baik-baik hanja bereboet sadja banjak jang tiada dapat
38
kerna siapa jang koewat dapatlah makanan siapa jang tiada koewat
tiada dapat.. Kaloe tiada bereboet begitoe tentoe tiada dapat makanan
sehingga ada jang sampai berkalai dan ada jang terbakar, saja sendiri
terbakar tangan saja kena perioek jang panas.
Dari tempat boewang ajer di teroeh sadja ….. kajoe di pinggir
kapal di ikat dengan tali dan dinding dengan goni-goni lagi tiada
tjoekoep banjaknja, sebab itoe kaloe perempoewan-perempoewan
atau orang-orang jang koerang koewat dari toewa dan sakit tiada jang
berani pergi disitoe hanja boewang ajer sadja ditempatnja sebab itoe
penoeh boewang ajer berhanjak dalam kapal sadja.
Djikaloe pintoe perka tiada ditoetoep tentoe ajer masuk kadalam?
Soenggoeh masok ajer basah kadalam kapal sebab itoe
semoewa barang-barang djadi basah dan boesoek di dalam kapal ito
ada satoe malam tergenang ajer kira-kira satoe kaki dalamnja pagi-
pagi soedah kering sadja sebab itoe banjak sekali keroegian orang
dari barang-barang basah dan djadi boesoek. tiada lain jang boleh
diterangkan lagi?
Tiada lain.
Tindakan Herklots yang tidak terpuji itu ternyata tak data diperoleh,
gubernur Mekkah Ahmad Ratib Pasha memandang perbuatan Herklots
tersebut tidak bersalah, karena tidak menyalahi aturan yang berlaku.
Gubernur sendiri mendapat keuntungan besar dari perbuatan Herklots itu
yang disaksikan sendiri oleh Konsulat Belanda di Jeddah.
Sementara itu jamaah haji yang telah sampai di Jedah tidak semuanya dapat
diberangkatkan karena kapal yang dicarter Herklots tidak semuanya dapat
diberangkatkan karena kapal yang dicarter Herklots tidak dapat memuat
seluruh jamaah. Akibatnya sebanyak hampir 2000 jamaah terpaksa harus
tetap tinggal di Jeddah menunggu kapal certeran lagi. Hal ini sangat
menyusahkan jamaah karena mereka harus berkemah dibawah langit terbuka.
Oleh Konsul Belanda dan Inggris Herklost dipaksa untuk mengembalikan
uang jamaah. Mereka lalu diangkut dengan kapal yang ada bukan dicarter
Herklots.
Kapal Samoa yang dicarter Herklots datang untuk mengangkut
jamaah yang belum terangkat oleh kapal sebelumnya. Sungguhpun kapal ini
cukup besar dengan bobot mati 4507 ton, segi kesehatan dan keamanan tidak
39
terjamin, karena besarnya jumlah penumpang yang diangkut. Sehingga dek
bawah dan atas penuh terisi, dengan ventilasi yang tidak memadai.
Atas kecurangan yang dilakukannya, Herklots ditahan di Konsulat
Belanda di Jeddah. Konsul Belanda minta bantuan penguasa Turki untuk
menghukum Herklots. Tetapi pemerintah Turki tidak bersedia melakukan hal
itu, karena berdasarkan peraturan yang berlaku di Mekkah, perbuatan
Herklost tidak dapat dinyatakan salah.
Pemerintah Turki meminta agar Herklots tidak perlu ditahan lama-
lama Khawatir akan timbul hasutan bahwa Herklots ditahan karna masuk
Islam.
Pada tanggal 18 Agustus 1893 Herklots dikirim ke Batavia untuk
diadili oleh Dewan Justisi. Herklots tiba di Batavia pada tanggal 12
September dan segera di bawa ke meja hijau. Ternyata dalam persidangan
tidak didapati kesalahan yang memungkinkan ia dapat dihukum. Dengan
demikian ia bebas dari segala tuduhan yang dilontakan oleh Justisi Batavia.
Setelah bebas Herklots kembali menjalankan bisnisnya semula. Kali
ini ia membawa jamaah dari Singapura dengan menumpang kapal api
Belanda Somerfield. Kedatangannya di Jeddah dilakukan secara diam-diam
dan pendaratan baru dapat dilakukan setelah mendapat bantuan dari Firma
Gelatelly Henkey Sewell & Co. karena datang secara illegal Herklots
ditangkap oleh polisi lalu dibawa ke Konsulat Belanda. Karena tindakannya
jelas tidak benar dan melawan hukum yang berlaku. Konsul Belanda
memutuskan memulangkan Herlots ke Batavia dan Firmanya di Jeddah
ditutup.
Sekembalinya dari Jeddah Herklots memulai lagi kegiatannya. Kali
ini ia mencari jamaah yang dengan berbagai cara dan akal dapat dijadikan
kuli. Usaha ini dilakukan karena mendapat pesanan dari pemerintah Prancis
yang memerlukan 8000 buruh untuk dipekerjakan di Noumea (Kaledonia
Baru). Untuk itu Herklots bekerjasama dengan Firma Aliste & Co yang telah
mengadakan kontrak rahasia untuk pengiriman buruh-buruh tersebut.
40
Berbagai cara ditempuh oleh Herklots untuk mendapatkan kuli, baik
dilakukan oleh dirinya atau oleh kaki tangannya ke seluruh Hindia Belanda.
Di Singapura Herklots telah menyebarkan reklame mengenai kesempatan
bagi para calon jamaah untuk berangkat ke Jeddah dengan kapal api milik
agen-agennya. Begitu terkenalnya reklame ini bukan hanya di Singapura tapi
bahkan sampai ke Jawa.
Usaha herklots ternyata tidak sia-sia, ia berhasil memperoleh sekitar
400 orang jamaah dari berbagai daerah Jawa dan Singapura. Mereka telah
membeli tiket penumpang untuk perjalanan haji ke Jeddah baik dari Herklots
sendiri maupun dari agennya.
Ternyata setelah berada di Singapura selama satu bulan para jamaah
belum juga diberangkatkan ke Jeddah. banyak diantara mereka yang
mengadu ke Konsulat Belanda di Singapura. Ternyata sebab tertundanya
keberangkatan tersebut adalah Karena perusahaan pelayaran Borneo
Company yang sebelumnya menjadi mitra usaha Herklots tidak bersedia
bekerja sama dengan Herklots. Kecuali kalau Herklots mau membayar kontan
biaya pengangkutan yang dilakukan perusahaan tersebut.
Dengan adannya kesulitan memperoleh kapal api itu membuat
Herklots menelantarkan begitu saja calon jamaah yang sebenarnya akan
diberangkatkan ke Noumea.
Karena berkali-kali mengalami kerugian, Herklots akhirnya tidak lagi
melakukan bisnis yang berhubungan dengan pengangkutan jamaah haji.
b) Firma Al Segaff & Co ( Singapura)
Bagi masyarakat muslim Hindia Belanda yang ingin menunaikan
ibadah haji ke tanah suci di penghujung abad ke-19 tepatnya tahun 1885
sehingga 1899-an, nama Firma Al-segaff & Co, sudah tidak asing lagi. Firma
Alsegoff, salah satu agen terkenal berkedudukan di Singapura, bergerak
dibidang jasa pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Jawa dari dan ke
Singapura ke Mekkah. Perusahaan tersebut sekaligus pemilik agen dipimpin
Sayid Mohamad Bin Achmad Alsegaff. Pada masa itu perusahaan Al-segaff
41
sedang mengalami masa kejayaan. Karena dalam kegiatannya, Alsegaff
bermitra dengan beberapa perusahaan kapal api lain dalam mengangkut
jamaah haji.66
Firma Assegaff merupakan agen yang berasal Arab yang memiliki
perkebunan karet di Pulau Cocob (dekat dengan Singapura), Johor dan
Malaysia. Assegaf memanfaatkan para jamaah haji yang kekurangan biaya
untuk pulang ke tanah air setelah melakukan ibadah haji agar ikut bekerja di
perkebunan miliknya, dengan catatan harus sesuai dengan kontrak kerja yang
dibuatnya.
Sudah barang tentu kontrak ini dibuat karena Assegoff kekurangan
tenaga kerja dan memanfaatkan para jamaah haji untuk menggarap
perkebunannya, kontrak itu digunakan sebagai jaminan dari uang yang
dipinjam oleh para jamaah haji, dan kontrak itu pula sebagai perjanjian
tertulis dalam usaha Assegaff agar para jamaah tetap bekerja di
perkebunannya dan dapat melunasi uang yang dipinjamnya. Akan tetapi hal
ini terjadi tidak memakan waktu yang lama, karena surat dari konsul Belanda
yang berada di selat Malaka pada tahun 188967
menunjukan bahwa dari 200
orang jamaah haji yang melakukan kontrak seperti itu dengan firma Assegoff
hanya 10 orang yang belum melunasi hutangnya. Kesepuluh jamaah haji yang
belum melunasi hutangnya mereka berangkat ke Cocob untuk melunasi
hutangnya dengan cara bekerja di perkebunan milik Assagaff dan dibantu
juga oleh para jamaah haji lainnya.
C. Kebijakan Kesehatan Jamaah Haji Masa Kolonial Hindia Belanda
66 Penerbitan Naskah Sumber, Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial, (Jakarta,
Tayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Fondation dengan Arsip Nasional RI 2001), hal, 96.
67 surat tanggal 16 April 1889, dari Konsul Jendral Belanda di wilayah selat Malaka kepada
Gubernur Jendral Hindia Belanda (dapat ditemukan dalam apa yang disebut Jeddah-Archives
Kementrian Luar Negri Belanda) dalam Dick Dowes dan Nico Kaptein Indonesia dan Haji,
(Jakarta, INIS, 1997), hal.35.
42
Jamaah haji yang datang dari berbagai manca negara bergabung di
Mekkah, suatu tempat yang “sempit” untuk melaksanakan ibadah haji.
berkumpulnya ratusan ribu manusia ini menjadi dasar penularan penyakit, yang
dibawa dari negeri asal jamaah atau penularan penyakit itu terjadi saat
melaksanakan ritual haji. Penularan penyakit cepat menyebar disebabkan
berbedanya ketahanan tubuh jamaah selama tinggal berbulan-bulan di Hjiaz
(Mekkah).68
Dalam sejarah perjalanan haji sejak abad ke-19 problem atas penyebaran
penyakit endemik dalam aktivitas perkapalan telah menjadi perhatian dunia
internasional, umumnya penumpang yang tidak mendapat ruangan karena penuh
akibatnya jama‟ah yang tinggal di atas geladak kapal bahkan dalam gudang kapal
lebih sering terkena penyakit menular.69
Karena itu upaya untuk pencegahan
penyakit endemik terus di berlakukan untuk kapal pengangkutan jama‟ah haji saat
di Pelabuhan maupun saat masuk Karantina haji. Di sini peran para Dokter Haji
(Pelgrimsart) sangat penting karena praktik untuk menjaga kebersihan harus
sudah disosialisasikan baik diatas kapal ataupun saat di Jeddah sebagai bekal
jama‟ah nanti.70
Peran seorang nahkoda kapal juga sangat dibutuhkan dalam penjagaan
kesehatan penumpang selama di Kapal selain peran Dokter Kapal atau Dokter
Haji. sebelum berangkat mereka harus disuntik dan selama di kapal harus
mendapatkan makanan yang layak.
Perlengkapan kapal seperti baju pelampung, perlengkapan regu penolong,
inventaris lainnya71 diletakan pada tempat yang mudah diambil jika suatu saat
akan dipakai. Kebutuhan lainnya yang diperlukan adalah rumah sakit yang baik
dan permanen minimal 6 tempat tidur dengan luas sekitar 13 m2, tinggi sekitar
68 M. Dien Madjid, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta, CV Sejahtera, 2008, hal. 112.
69
Wibowo Priyanto,dkk.Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda...(2009:131-132)
dalam skripsi Muhamad Fauzan Baihaqi, Transportasi Jamaah Haji :Di Embarkasi/Debarkasi
Pelabuhan Batavia (Tahun 1911-1930). hal.118.
70 Staatsblad 1898 No.294 yang di kutip oleh Liesbeth Hesselink.Healers On The Colonial
Market:Native Doctors and Midwives in The Dutch East Indies.(2011:302) dalam skripsi
Muhamad Fauzan Baihaqi, Transportasi Jamaah Haji :Di Embarkasi/Debarkasi Pelabuhan
Batavia (Tahun 1911-1930). hal.118.
71Staatblad 1905 No 370, mengenai Ordonansi Pelayaran Kapal Api. Dalam M. Dien Madjid,
Berhaji Masa Kolonial, hal, 105.
43
1,80 m, terutama rumah sakit permanen khusus untuk perempuan Di dalamnya
terdapat tidak kurang dari 2 tempat tidur terletak pada ruangan seluas 6,5 m2.
Rumah sakit harus tahan air dan mudah dibersihkan. Ruangan isolasi bagi
penderita penyakit menular berukuran 13 m2 merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kebutuhan ruang lainnya. Guna menjamin terlaksananya
perawatan diperlukan kamar rawat inap seluas 3 m2 per orang sedikitnya 5 persen
dari jumlah penumpang serta dilengkapi dengan apotik. Selain itu kapak harus
memiliki sedikitnya dua ruang dapur untuk awak kapal dan penumpang serta
dilengkapi ruangan mandi, cuci dan kakus (MCK).72
Urusan kebersihan, kesehatan dan perawatan medis dipimpin oleh
inspektur kepala atau kepala dinas kesehatan masyarakat sesuai dengan ayat 27
Ordonansi karantina. Di samping itu diperlukan penyediaan air bersih yang
disuling dari air laut, kemudian diisi ke dalam ketel (tempat air) melalui pipa
ledeng dari tempat penampungan air yang tertutup.
Untuk memeriksa kesehatan 1.000 penumpang minimal ada 2 orang dokter
mempunyai wewenang praktek setelah medapat izin tertulis dari inspektur kepala
dinas kesehatan Masyarakat. Optimalisasi kerja dokter harus ditunjang dengan
obat-obatan, kain perban dan bahan pembersih kuman. Untuk kebutuhan jamaah
disediakan makanan tahan lama, air minum, bahan bakar keperluan dapur, alat
memasak, tikar, timbangan, anak timbangan dan peralatan lainnya. Nahkoda yang
tidak memberikan pelayanan baik terhadap penumpang didenda sebesar f. 1.000.73
Saat itu penyakit kolera dan pes sedang mewabah, penumpang kapal yang
terinfeksi penyakit harus diinformasikan kepada penguasa pelabuhan untuk
ditanggulangi. Penumpang kapal, sekurang-kurangnya selama 120 jam harus
dipantau kesehatannya sampai dinyatakan negative. Dalam masa pemeriksaan
kesehatan itu, tidak seorang pun boleh naik ke kapal. Bahkan nahkoda
berkewajiban mengawasi kapal selama berada di pelabuhan sesuai dengan
Ordonansi karantin. Berdasarkan pertimbangan dokter, barang-barang penampung
yang dicurigai terinfeksi virus kolera, pes atau cacar, tidak boleh dinaikan ke
72 Staatblad Van Nederlandsch Indie 1922 No 698, hlm. 3 Dalam M. Dien Madjid, Berhaji
Masa Kolonial, hal, 106.
73 Dalam M. Dien Madjid, Berhaji Masa Kolonial, hlm, 107.
44
kapal, kecuali atas rekomendasi dokter pelabuhan, bahkan barang itu diisolasikan
pada tempat tertentu untuk dibersihkan dari kuman penyakit. Penumpang
diharapkan membayar f.3 per kepala untuk setiap pemeriksaan kesehatan. Uang
tersebut diberikan kepada kepala pelabuhan terakhir sebelum berangkat ke luar
negeri untuk disetorkan ke kas negara. Untuk itu nahkoda pemilik kapal atau agen
diperintahkan mengirimkan daftar penumpang dalam waktu 24 jam kepada kepala
pelabuhan guna pemeriksaan administrasi dan menetapkan waktu dan hari
embarkasi. Kepala dan dokter pelabuhan memohon kepada pemilik nahkoda atau
agen agar melindungi dan memberi tempat yang baik bagi para jamaah sesuai
dengan daftar dan buku kesehatan penumpang yang telah ditanda tangani.
Untuk kepentingan kesehatan selama perjalanan perlu dicantumkan dalam
jurnal, waktu dan daftar praktek dokter setiap hari agar yang sakit segera ditangani
dan dirawat. Seorang dokter bertugas melakukan inspeksi sedikitnya 2 kali selama
24 jam untuk mengambil tindakan kesehatan terhadap tempat yang diduduki
penumpang. Apabila dalam pelayaran menunjukan ada suatu penyakit epidemic.
Para penumpang segera diisolasikan. Semua benda-benda seperti baju, selimut,
tikar yang dapat menyebabkan virus penyakit berkembang harus dibuang ke laut.
Jika ada kotoran manusia yang diduga mengandung bakteri segera dikumpulkan
dalam tong lalu dibersikan dari kuman dan kemudian dibuang kelaut lewat pipa
khusus.
Jika penumpang kapal meninggal akibat tertular penyakit, maka
jenazahnya dicuci dengan air keras. Bagi yang meninggal bukan karena penyakit
biasanya disiapkan kain kafan, kemudian diturunkan dengan tali secara perlahan-
lahan hingga tenggelam ke dasar laut.
45
BAB IV
Respon Jamaah Haji Batavia Kebijakan Hindia Belanda
A. Kondisi Jamaah Haji dari Tanah Suci
Pada abad 19, perjalanan haji menuju Tanah Suci merupakan suatu
pengalaman yang menakjubkan bagi para jamaah haji asal Indonesia. Aneka
ragam kesulitan selama masa pendaftaran dan perjalanan menemukan muaranya
di Tanah Suci. Setidaknya, dengan sampai ke Tanah Suci mereka sudah mendapat
pelipur lara, meskipun sesaat. Bukankah, semua yang dilakukan adalah untuk
menuju ke Mekkah. Rasanya dengan sampai ke tempat tujuan, kesukaran demi
kesukaran akhirnya menemukan kemudahan.
Salah satu kunci kesuksesan jamaah haji dapat sampai dengan selamat di
tujuan adalah bekal yang dipersiapkan. Bagi mereka yang memiliki anggaran dana
perjalanan haji yang cukup, maka mereka dapat menjalani aneka ragam ritual haji
dengan tenang. Namun, bagi jamaah haji yang kekuranagan bekal, maka akan
menjadi masalah tersendiri. Ibadah hajinya menjadi tidak tenang, karena
dibayang-bayangi oleh kelangkaan uang dan perasaan khawatir tidak dapat
kembali ke negeri asal.
Kekurangan dana yang dialami jamaah haji, agaknya sudah diketahui dan
diantisipasi oleh syekh. Sebagai sosok yang dianggap paling tahu mengenai hal
ihwal perhajian dan kondisi di Tanah Suci, syekh merupakan orang yang tepat
dijadikan tempat bertanya bagi jamaah haji yang bermasalah dengan bekal. Syekh
akan memberikan beberapa anjuran taktis, yang salah satunya berupa pinjaman
sejumah uang dengan bunga yang telah ditentukan olehnya. Tidak ada pilihan lain
bagi jamaah haji selain menggunakan jasa syekh.
Kebingungan tentu saja segera berganti dengan kebingungan lain,
manakala jamaah haji yang meminjam uang tersadar akan bagaimana cara
membayarnya. Mereka hidup di tanah yang sama sakali bukan lingkungan tempat
tinggalnya. Maksud mereka datang ke Mekkah adalah untuk berhaji dan bukan
untuk mencari penghidupan. Bayang-bayang kesulitan membayar utang dengan
segera menyergap diri si haji. Untuk masalah ini, syekh juga memiliki beberapa
46
jalan keluar. Jamaah haji diperbolehkan membayar hutangnya setelah menunaikan
ibadah haji.74
Syekh berperan penting dalam hari-hari jamaah haji di Tanah Suci. Ia
adalah orang yang akan memandu peribadatan jamaah haji berikut kebutuhan-
kebutuhan dasar seperti informasi haji, pemondokan dan pengangkutan barang-
barang jamaah haji. Di abad 19, sarana transportasi dari Jeddah ke Mekkah masih
menggunakan unta. Biasanya, seorang jamaah haji akan memesan dua unta, yakni
untuk dikendarainya dan untuk mengangkut barang.
Perjalanan menuju Mekkah memiliki ujian tersendiri. Para penyamun akan
mengintai perjalanan kafilah haji. Mereka akan menyergap rombongan jamaah
haji yang lengah. Di samping itu, di beberapa tempat terdapat orang-orang Badui
yang meminta sumbangan dari para jamaah haji. Beberapa dari mereka ada yang
menunjukkan perangai kasar bahkan ada yang mengancam akan membakar
barang-barang jamaah haji, jika tidak diberi santunan. Terkait hal ini, pemerintah
Turki dan Arab telah memberikan jaminan keamanan semaksimal mungkin.75
Ada dua tipe jamaah haji ketika ia sampai di Mekkah. Pertama, jamaah
haji yang hanya tinggal di Mekkah selama ibadah haji berlangsung. Kedua,
jamaah haji yang berhaji sambil menuntut ilmu. Waktu mukim jamaah haji jenis
kedua relatif lebih lama dibanding yang pertama. beberapa pelajar Muslim
Indonesia menjadikan haji sebagai saluran untuk berguru ke Mekkah. Kota ini
menjadi salah satu kiblat pengajaran Islam yang didatangi oleh pelajar Muslim
dari belahan dunia manapun.
Snouck Hugronje pernah menulis suatu karya khusus mengenai haji di
Mekkah yang berjudul “Het Mekaansche Fest”. Ia mengatakan bahwa orang Jawa
(yakni orang dari Nusantara) merupakan penganut Islam yang taat. Meskipun
mereka tidak memiliki pengetahuan agama yang mendalam, namun mereka
menunjukkan gairah untuk mengkuti hampir semua ritual keagamaan di Mekkah.
Motivasi mereka sampai ke kota ini adalah untuk beribadah dan melakukan
perbuatan mulia. Oleh sebab itu, jarang ditemui di antara mereka yang membawa
74 M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hal. 84 – 85.
75
M. Dien Madjid, Berhaji Masa Kolonial, hal, 61.
47
barang dagangan yang nantinya diperdagangkan di sini. Justru mereka datang
dengan uang yang banyak, dan berencana menghabiskan uang itu sebagai bekal
hidup beribadah.
Selain mengandalkan tabungan sendiri, biaya para orang Jawa di mekkah
didapat dari kiriman sanak famili mereka dari kampung halaman. Sebagian yang
lain mendapatkannya dari uang pensiunan. Orang Jawa yang berusia senja
biasanya ingin tinggal lebih lama di Mekkah untuk beberapa tahun bahkan ada
yang ingin menatap selama-lamanya. Tidak jarang di antara mereka yang ingin
menutup hidup di Mekkah.
Para haji berusia muda mempunyai motivasi ke mekkah untuk
memperdalam ilmu agama. Selain mengunjungi Mekkah, mereka juga mendatangi
tempat-tempat suci di Madinah. Orang-orang Arab di Mekkah memiliki kesan
yang baik kepada orang Jawa. Para pedagang Arab tidak segan menitip barang
mereka ke orang Jawa dan berkata: “Tidak apa-apa, dia adalah orang Jawa”.76
Haji juga menjadi sarana bagi Muslim Nusantara berjumpa dengan
Muslim dari belahan dunia lainnya. Banyak hal yang akan mereka bahas usai
saling berkenalan dan mengakrabkan diri, salah satunya adalah mengenai
penjajahan. Belanda menganggap haji sering dijadikan momen untuk bertemu
bagi pemimpin perjuangan rakyat dari seluruh penjuru dunia Islam yang melawan
kekuatan Eropa. Mereka berdiskusi dan bertukar pemikiran mengenai bagaimana
cara menumbangkan kekuasaan kolonial di wilayah mereka. Pada titik ini boleh
dikatakan haji merupakan corong menguatnya anti-kolonialisme. Fenomena ini
yang sejak awal ditakuti Belanda.77
B. Respon Jamaah Haji terhadap kebijakan 1859 dan 1922
Berhaji merupakan ibadah Muslim yang mendapat sorotan tajam
pemerintah Hindia Belanda. Menurut mereka ibadah ini bukan hanya sekedar
76 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hal. 246 – 247.
77 Suprio Guntoro, Spirit Haji; Inspirasi Menjawab Fenomena Global (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2013) hal, 2.
48
kewajiban beragama, melainkan corong bagi para jamaah haji untuk mendapatkan
gagasan antikolonialisme. Ibadah ini memungkinkan jamaah haji Hindia Belanda
bertemu dengan jamaah haji dari negeri lain. Pembicaraan mereka dapat
menyinggung permasalahan politik di masing-masing bangsa. Satu momen yang
mempertemukan mereka adalah ketika tiba musim haji, dikhawatirkan hasil tukar
pengalaman dan pandangan mengenai gerakan antikolonialisme, dapat menular ke
ruang berpikir para jamaah haji dari Hindia Belanda sehingga menyebabkan
mereka mempunyai wawasan anti-pemerintah.78
Tingginya biaya dan ketatnya peraturan haji yang ditetapkan oleh
pemerintah Hindia Belanda tidak membuat umat Muslim di Nusantara
menurunkan hasrat mereka untuk berhaji. Dalam ingatan mereka, ibadah haji
merupakan sesuatu yang sakral dan pengalaman hidup yang tidak terkira
indahnya. Seorang haji bukan hanya bereksempatan menunaikan salah satu
kewajiban dalam ajaran Islam ini, melainkan juga kesempatan bertamasya. Haji
juga sebagai sarana yang tepat dan cepat untuk meningkatkan harkat dan martabat
seseorang di tengah masyarakatnya.79
Gubernur Jenderal menerbitkan Kebijakan Haji 1859 agar semua pihak,
terutama para haji dan calon haji, mengetahui dan menjalan peraturan di
dalamnya. Kebijakan ini tertuang dalam Staatblad van Nederlandsch Indie yang
ditetapkan pada 6 Juli 1859, nomor 42. Agar mudah dipahami, peraturan ini juga
ditulis ke dalam bahasa Melayu dan Cina. Secara umum isi dari kebijakan ini
adalah mempertegas peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang
sebelumnya, agar lebih dipatuhi dan dijalankan secara optimal. Kenyataan yang
ditemukan di lapangan justru terbalik dari harapan Gubernur Jenderal. Banyak
dari para haji yang tidak mengindahkan kebijakan ini. Keinginan umat Islam
untuk berhaji tetap saja tinggi dan sulit dibendung.
Adapun dokumen staatblad 6 Juli 1859 yang menerangkan tentang
Kebijakan 1859, sebagaimana dikutip dari M. Dien Madjid adalah sebagai
berikut:
78 Martin van Bruinessen, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik
Haji”, (Ulumul Quran, No. 5, Vol. 2, 1990), hal. 42 – 49.
79
M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008), hal,103.
49
Surat jalan ke Mekah yang diberikan untuk perjalanan haji, oleh penguasa
pemerintah daerah dibuat daftar tersediri, sesuai dengan model yang tetap pada
Kebijakan ini, dibubuhi juga tanda tangan dari para jamaah yang telah kembali.
Dan agar tidak seorang pun yang berpura-pura tidak tahu, ini akan ditempatkan
dalam Staatblad van Nederlandsch Indie, dan perlu sebanyak mungkin
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan Cina.
Diperintahkan dan perintah selanjutnya, bahwa lembaga pemerintah tingkat
tinggi dan rendah, pegawai-pegawai, opsir-opsir, hakim-hakim, setiap orang
sebanyak mungkin percaya, semua orang akan mentaati ini, tanpa pura-pura
tidak melihat atau tanpa pandangan buku.80
Para calon jamaah haji diwajibkan mendaftar jika ingin pergi berhaji.
Setelah itu, mereka diminta memenuhi sejumlah uang yang ditetapkan oleh
pemerintah. Jika sudah, mereka mendapat surat pas jalan untuk berhaji.
Sebenarnya langkah seperti ini sudah ditetapkan sebelum kebijakan 1859
ditetapkan. Hanya saja pemerintah tidak tegas untuk menindak para jamaah yang
terbukti melanggar. Demikain halnya dengan perusahaan pengangkut haji yang
melanggar, juga tidak atau kurang diberikan sanksi sebagaimana mestinya.
Objek peraturan ini banyak diarahkan ke para penyedia layanan
keberangkatan haji. terlihat dari cara pemerintah untuk melakukan kontrol kepada
mereka. Sebagaimana diketahui, pada praktek penyelenggaraan haji kerap ditemui
kecurangan-kecurangan yang merugikan negara dan konsumen. Jika hal tersebut
terus dibiarkan, maka kerugian yang ditanggung pemerintah akan semakin
membengkak. Hal tersebut juga akan memperburuk citra pemerintah di hadapan
warganya sendiri. Monopoli pengangkutan ibadah haji yang diberlakukan
nyatanya tidak dibarengi dengan pelayanan yang memuasakan. Tentu saja, ini
menjadi indikasi bahwa pemerintah tidak profesional dan tidak serius menangani
perhajian.
Jamaah haji sebagai pihak yang membutuhkan fasilitas pengangkut jamaah
haji, tentu saja tidak keberatan dengan kebijakan yang diberlakukan pemerintah.
Pengalaman buruk akibat tata kelola perhajian yang tidak profesional dimaknai
secara positif oleh jamaah haji dan dijadikan sarana untuk memupuk kesabaran.
80 ANRI, Staatblad 6 Juli 1859, No. 42, dalam Dien Madjid, Berhaji, hal. 99 – 100.
50
Tujuan mereka adalah untuk berhaji, menunaikan perintah Tuhan. Dalam
perjalanan ke tempat haji sudah tentu terdapat halang rintang yang harus dilewati.
Ketidakprofesionalan pengelolaan haji merupakan satu dari banyaknya peraturan-
peraturan yang dibuatnya, akan tetapi tidak sesuai dengan apa yang dirasakan oleh
para jamaah.
Pada umumnya, respon jamaah haji terhadap kedua kebijakan pada tahun
1859 dan 1922. Terlihat dari pembatasan dan kesukaran yang dialami oleh jamaah
haji tidak lebih dianggap sebagai ujian dalam melaksanakan haji. Para haji sama
sekali tidak merasa dibatasi karena mereka juga membutuhkan bantuan dari
pemerintah selaku penyelenggara negara yang memperhatikan kebutuhan umat
Islam. Sebisa mungkin, mereka akan memenuhi ketentuan-ketentuan yang
digariskan. Di sisi lain, maksud pembatasan haji yang digagas pemerintah
kolonial, nyatanya tidak terlalu mebuahkan hasil. Selama periode 1850 – 1860,
jumlah haji tetap mengalami peningkatan, dari tahun ke tahun penurunan yang
terjadi tidak terlalu signifikan.
Kebijakan kolonial terhadap aktivitas sosial umat Islam, serta dalam
perhajian khususnya, menjadi objek penelitian yang hendaknya terus
dikembangkan. Ini merupakan bagian dari dinamika penulisan sejarah, sekaligus
upaya untuk membincangkan sejarah dalam wilayah yang lebih luas, ketimbang
hanya berhubungan dengan politik kerajaan atau tema-tema lain yang lebih
banyak di angkat. Penulis berharap kajian ini menjadi pemantik munculnya
kajian-kajian lain yang menyangkut sejarah sosial umat Islam di Indonesia.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berhaji di masa kolonial merupakan sesuatu yang menarik untuk diikuti.
Terkadang, hasrat untuk berhaji yang terdapat dalam diri seorang Muslim harus
mengalami beberapa hal yang mengganjal. Problem bukan hanya datang dari
dirinya sendiri, namun juga dari realita sosial-politik yang mengitarinya.
Pemerintah kolonial Belanda memberlakukan serangkaian kebijakan yang
diindikasikan sebagai pembatasan gerak terhadap para haji, baik sejak masa
keberangkatan maupun saat mereka kembali ke Tanah Air.
Pada umumnya setiap kebijakan haji yang dikeluarkan oleh pemerintah
Kolonial Belanda berlaku diseluruh wilayah Indonesia. Namun kebijakan tersebut
lebih sentral di Bativia sebab wilayah ini merupakan jalur yang lebih banyak
diminati oleh para calon jamaah haji. Hal ini terlihat dari bertambahnya para calon
jamaah yang berangkat melalui jalur Batavia dari tahun ke tahun dibandingkan
dengan wilayah lain.
Pemerintah kolonial memandang haji sebagai sekumpulan golongan yang
membahayakan. Mereka khawatir di balik niat para Muslim untuk berhaji terdapat
motivasi perlawanan terhadapa kedudukan Bangsa Eropa. Dalam beberapa kasus
dijumpai, para kepala pejuang yang melawan Belanda memiliki rekam jejak
sebagai haji di masa lalunya. Oleh sebab itu, dengan dalih administrasi dan
pencatatan haji, pemerintah kolonial berupaya untuk meminimalisir motivasi
perlawanan yang dapat membesar, manakala seseorang selesai menunaikan ibadah
ini.
Kebijakan 1859 dan Ordonansi 1922, merupakan dua dari banyak produk
hukum pemerintah Hindia Belanda yang diberlakukan untuk menertibkan
perhajian di Nusantara. Fokus dari kebijakan pertama adalah tentang administrasi
pendaftaran dan ujian tentang haji yang diselenggarakan oleh bupati. Tes tersebut
diyakini mampu mengetahui maksud seseorang ketika berhaji yang sesungguhnya
sekaligus sebagai wahana penyuluhan agar para haji tidak melakukan perbuatan
makar kepada pemerintah. Sedangkan kebijakan hukum kedua lebih menyorot
52
masalah optimalisasi fasilitas haji, utamanya menyangkut manajemen kapal
pengangkutan haji. Pangadaan instalasi kesehatan dan dokter yang cukup menjadi
salah satu peraturan yang harus dipenuhi oleh perusahaan pengangkut haji.
B. Saran
Penulis memahami betul dalam tulisan ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat dibutuhkan demi
baiknya tulisan/karya ini.
Untuk generasi selanjutnya akan lebih bagus lagi jika mengkaji lebih
mendalam dan memunculkan ide-ide yang cemerlang untuk menggali tulisan
khusus kebijakan-kebijakan yang dibuat Belanda di Indonesia seperti: kebijakan
militer pada masa penjajahan Hindia Belanda, pelatihan terhadap ulama pada
masa penjajahan Belanda dan lain-lain.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Dudung, Metode Penelitian Sejarah Jakarta:Logos, 1999.
Benda Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada masa
Pendudukan Jepang, Jakarta, Pustaka Jaya, 1980.
Ball John, Indonesia Legal History: 1602-1848, Sidney, Ouhtershaw Press, 19
82.
Basyuni Muhammad M., Reformasi Manajemen Haji, Jakarta, FDK Press, 2008.
C.Snouck Hurgronje, De Hadji-Politiek der Indische Regeering dalam Verspreide
Geschriften, jilid IV, 2.
Djajadiningrat Hoesein, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta:
Djambatan, 1983.
Jean Gelan Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia orang Eropa dan Eurasia di
Hindia Timur, Depok, Masup Jakarta, 2009.
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, Jakarta:
Djambatan, 1983.
Kementerian Agama RI Direktorat Jendral Penyelenggara Haji dan Umrah 2012,
Haji dari Masa ke Masa, Jakarta: Direktorat Jendral Penyelenggara Haji
dan Umrah, 2012.
Madjid M. Dien, Berhaji Di Masa Kolonial, Jakarta, CV Sejahtera, 2008
Putuhena M. Shaleh. Historiografi Haji Indonesia. Jogjakarta. LKIS 2007.
Penerbitan Naskah Sumber, Biro Perjalanan Haji Di Indonesia Masa Kolonial,
Jakarta, Yayasan Adi Karya Ikapi dan The Ford Foundation dengan
Arsip Nasional RI 2001.
54
Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Suminto Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985.
Wigniosoebroto Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
“Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum Selama Satu
Setengah Abad di Indonesia 1840-1990”.Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada.
Wibowo Priyanto,dkk. Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda
2009:131-132
SUMBER SEJAMAN
Arsip Nasional RI, Laporan Konsul Belanda di Jeddah tahun 1893.
Arsip Nasional RI, Residensi Tegal 1858 No. 198 B/3.
Kees Van Dijk, Perjalanan Jamaah Haji Indonesia
Staatblad Van Nederlansch Indie 6 Juli 1859 No. 42.
Staatblad 1905 No 370, mengenai Ordonansi Pelayaran Kapal Api
Staatblad Van Nederlandsch Indie 1922 No 698.
Staatblad Van Nederlansch Indie 1922.
Staatsblad 1898 No.294 yang di kutip oleh Liesbeth Hesselink.Healers On The
Colonial Market:Native Doctors and Midwives in The Dutch East
Indies.(2011:302)
64
Lampiran-lampiran
Jamaah Haji Menaiki Kapal Milik Inggris (Sumber Foto: Google.com)
Haji Tempoe Doeloe, Haji Singapura. (Sumber Foto: Google.com)
Kapal-Kapal Kecil menjemput jamaah di Karantina Onrust tahun 1929 (Sumber Foto: ANRI,KIT. Batavia no.115/14 Lihat juga buku M.Dien Madjid.Berhaji di
Masa Kolonial.(Jakarta:CV Sejahtera,2008:hal.210)
Pengecekan Pasport oleh pemerintah colonial Belanda
(Sumber Foto: Google.com)
Terugkeerende Hadjis et Quarantaine op Onrust 1929 Jamaah Haji yang pulang singgah di Karantina Onrust tahun 1929
(Sumber Foto: ANRI, KIT Batavia No.115/18)
De quarantaine loods op het eiland Onrust voor de kust met Batavia
“Barak Karantina Haji di Kepulauan Onrust, Batavia (tahun 1914)
(Sumber Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia. No.1965- 1925 A 38/1/17-
Stukken Betreffende de Verbetering van den aanlegsteir van het
quarantainestation op het eiland Kuiper-Batavia 1916-1929.)
(Dalam Skripsi Ahmad Fauzan Baihaqi, Transportasi Jamaah Haji :
Di Embarkasi/Debarkasi Pelabuhan Batavia
(Tahun 1911-1930)
top related