bab ii kondisi sosial politik di indonesia tahun 1932-1945 · belanda di hindia belanda, yap...

25
16 BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK DI INDONESIA TAHUN 1932-1945 A. Kondisi Sosial Politik Golongan Tionghoa di Indonesia Tahun 1900 1932 Hindia Belanda memiliki pembagian masyarakat yang dibuat pemerintah kolonial demi kepentingan Belanda. Setidaknya ada tiga kelompok rasial: Eropa (terutama Belanda), Vreemde Oosterling atau golongan Timur Asing (yang terdiri atas etnis Tionghoa, India dan Arab) dan penduduk bumiputera. 1 Ketiganya memiliki peranan sosial ekonomi masing-masing dalam pemerintahan Hindia Belanda. Orang Belanda bergerak dalam bisnis perdagangan besar, orang Tionghoa dalam perdagangan perantara antara penghasil dan pembeli, sedang bumiputera sebagai petani dan pedagang kecil asongan. Pembatasan yang dilakukan Belanda dikenal sebagai politik Divide et Impera atau politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung kekuasaan penjajahan. Pemerintah kolonial terutama memperketat batasan antara warga Tionghoa dan bumiputera yang dirasa dapat mengancam kekuasaan kolonial. Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antar golongan penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan 1 Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912- 1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 47.

Upload: others

Post on 29-Oct-2019

20 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

KONDISI SOSIAL POLITIK DI INDONESIA

TAHUN 1932-1945

A. Kondisi Sosial Politik Golongan Tionghoa di Indonesia

Tahun 1900 – 1932

Hindia Belanda memiliki pembagian masyarakat yang dibuat pemerintah

kolonial demi kepentingan Belanda. Setidaknya ada tiga kelompok rasial: Eropa

(terutama Belanda), Vreemde Oosterling atau golongan Timur Asing (yang terdiri

atas etnis Tionghoa, India dan Arab) dan penduduk bumiputera.1 Ketiganya

memiliki peranan sosial ekonomi masing-masing dalam pemerintahan Hindia

Belanda. Orang Belanda bergerak dalam bisnis perdagangan besar, orang

Tionghoa dalam perdagangan perantara antara penghasil dan pembeli, sedang

bumiputera sebagai petani dan pedagang kecil asongan.

Pembatasan yang dilakukan Belanda dikenal sebagai politik Divide et

Impera atau politik pecah belah dan menguasai, politik untuk mendukung

kekuasaan penjajahan. Pemerintah kolonial terutama memperketat batasan antara

warga Tionghoa dan bumiputera yang dirasa dapat mengancam kekuasaan

kolonial. Pemerintah kolonial Belanda melakukan politik separatisme antar

golongan penduduk atau mencoba mengisolasi antara satu golongan dengan

1 Shiraishi, Takashi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-

1926, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2005), hlm. 47.

17

golongan yang lain. Penggolongan kelas masyarakat menimbulkan eksklusivisme,

karena masing-masing golongan masyarakat tersebut diposisikan dalam

stratifikasi sosialnya masing-masing dan tidak boleh diperbaurkan. Orang-orang

Tionghoa juga mendapatkan perlakukan hukum dan peradilan yang diskriminatif.

Dalam perkara kriminal, tertuduh Tionghoa harus diadili di Landraad yaitu

pengadilan bagi warga pribumi karena dalam aturan hukum pidana orang

Tionghoa statusnya disamakan dengan kaum pribumi (gelijkgesteld met de

Inlanders).2

Sistem hukum yang berlaku saat itu juga memaksa diskriminasi terhadap

orang Tionghoa. Hal ini dilihat dari penetapan zona dan sistem surat jalan

(wijkenstelsel dan passenstelsel) yang mewajibkan mereka untuk tinggal/menetap

di wilayah-wilayah yang telah ditentukan dan melarang mereka untuk bepergian

ke luar wilayah tersebut, kecuali jika mereka memiliki kelengkapan surat jalan.

Diskriminasi yang mereka dapat mencapai puncak akhir abad ke-19 saat

pemerintah kolonial Belanda menerapkan Politik Etis yang berefek pada

melemahnya kekuatan ekonomi warga Tionghoa.

Di waktu yang sama nasionalisme Cina menyebar ke Jawa. Secara

perlahan orang-orang Tionghoa beralkulturasi dengan masyarakat setempat dan

memiliki hubungan yang tipis dengan tanah leluhur (Tiongkok), untuk kembali

meninjau identitasnya. Nasionalisme terhadap Tiongkok pun timbul sebagai

akibat sentimen yang kuat di kalangan masyarakat Tionghoa. Melalui kebijakan

wijkenstelsel pemerintah kolonial membentuk sejumlah pemukiman etnis

2 Abdul Baqir Zein, Etnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia,

(Jakarta: Prestasi Insan Indonesia, 2000) hlm. 146-151

18

Tionghoa di beberapa kota besar di Indonesia yang disebut Kampung Pecinan.

Etnis Tionghoa terisolasi secara fisik sehingga benar-benar terpisah dengan

bumiputera.

Ada tiga arah nasionalisme yang ditunjukkan masyarakat etnis Tionghoa.

Ketiga arah orientasi nasionalisme itu yang pertama adalah nasionalisme yang

berorientasi pada Tiongkok. Kedua, kelompok intelektual berpendidikan Belanda

yang berorientasi kepada pemerintah Hindia Belanda. Ketiga, golongan nasionalis

etnis Tionghoa yang berorientasi pada Indonesia. 3

Nasionalisme ke arah Tiongkok diawali dengan didirikannya Tiong Hoa

Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh orang-orang

Tionghoa berpendidikan Barat. Perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial telah

membangkitkan kesadaran nasionalisme di kalangan etnis Tionghoa. THHK

mendirikan sekolah-sekolah dengan Bahasa Mandarin sebagai pengantarnya di

seluruh Jawa. Pembentukan THHK kemudian diikuti dengan terbitnya surat

kabar-surat kabar Tionghoa peranakan dalam bahasa Melayu Tionghoa, misalnya

Li Po di Sukabumi (1901), Chabar Perniagaan di Batavia/Jakarta (1903), Djawa

Tengah tahun 1909 di Semarang.

Buku-buku pelajaran yang digunakan THHK umumnya diimpor dari

Tiongkok atau Singapura yang isinya tidak sesuai dengan keadaan Indonesia.

Akibatnya murid-murid THHK merasa asing dengan masyarakat dan tanah airnya,

walaupun mereka telah turun menurun di Indonesia. 4

3 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-

2002,(Jakarta: INTI dan LP3ES, 2002), hlm. 5. 4 Ibid, hlm, 72.

19

Selanjutnya nasionalisme Tionghoa yang berorientasi pada Hindia Belanda

diwakili oleh organisasi politik Chung Hwa Hui (CHH) yang didirikan pada tahun

1928.5 Gerakan ini mendapat dukungan dari kalangan Tionghoa peranakan. CHH

menganjurkan pada orang-orang Tionghoa lainnya untuk mendukung Undang-

undang Kekawulaan Belanda, yang berarti menerima kerjasama dengan Belanda

serta aktif dalam lembaga-lembaga politik lokal termasuk Volksraad (Dewan

Rakyat). Para tokoh CHH lebih mendukung pendidikan Belanda karena mereka

melihat ini sebagai sebuah jalan untuk bisa berhasil dalam masyarakat kolonial.

Pada tahun 1932, para pemimpin Tionghoa yang berorientasi Indonesia

mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI), mereka adalah Liem Koen Hian dan

Ko Kwat Tiong. Para aktivis ini percaya bahwa golongan Tionghoa peranakan

harus menganggap Indonesia sebagai tanah air dan secara aktif berusaha untuk

mengembangkannya. PTI secara terang-terangan menentang CHH. PTI meminta

masyarakat Tionghoa Hindia Belanda untuk mengidentifikasikan diri mereka

sebagai masyarakat Indonesia dan menyetujui kalangan nasionalis Indonesia

dalam membentuk sebuah pemerintahan sendiri dan akhirnya Indonesia yang

merdeka melalui cara-cara konstitusional.6

PTI bersikap anti Belanda dan menolak nasionalisme Tiongkok. PTI

bekerja sama dengan pergerakan nasionalis Indonesia. Beberapa tanggapan dan

dukungan mengalir dari berbagai tokoh pergerakan Indonesia. Salah satunya

adalah Ki Hajar Dewantara yang secara pribadi mengirim surat dukungan dan

5 Junus H Yahya, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh

Karya, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm 50 -51. 6 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-

2002,(Jakarta: INTI dan LP3ES, 2002), hlm. 6.

20

terima kasih atas pernyataan sikap dari kalangan Tionghoa dalam mendukung

perjuangan rakyat Indonesia.7

Menjamurkan organisasi yang berasal dari kalangan Tionghoa ikut

meramaikan kondisi sosial dan politik Indonesia tahun 1930-an. Berkembangnya

perkumpulan-perkumpulan ini menciptakan kelompok yang peduli akan

keberadaan Indonesia. Munculnya tokoh-tokoh dari golongan Tionghoa yang

peduli terhadap Indonesia, membuktikan adanya kecintaan mereka pada Indonesia

sebagai tanah air. Para tokoh Tionghoa banyak berperan dalam membantu

pergerakan Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Di antara banyak nama

Tionghoa yang mencintai Indonesia adalah Yap Tjwan Bing. Yap Tjwan Bing

adalah seorang ahli kesehatan (kefarmasian) sekaligus politikus yang berjiwa

nasionalis. Kehidupan sosial dan politiknya turut mewarnai perjalanan Indonesia

dari masa kolonialisme, masa perjuangan hingga kemerdekaan.

B. Kehidupan Yap Tjwan Bing Muda Tahun 1910 – 1940

Yap Tjwan Bing lahir di Slompretan Surakarta Jawa Tengah pada tanggal

31 Oktober 1910 dari keluarga Yap Yoe Dhiam dan Tan Tien Nio.8 Sejak kecil,

Yap turut serta berdagang dengan ayahnya dan belajar tata cara hidup masyarakat

disekitarnya. Nuansa masa kecil inilah yang membuat Yap Tjwan Bing mengenal

kebutuhan serta rasa hidup di bawah penjajahan. Di Surakarta, Yap sempat tinggal

di tempat warga Belanda bernama Killian untuk belajar Bahasa Belanda, dan

7 Djawa Tengah tanggal 8 Juni 1933, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 8 Borneo Shimboen (Bandjarmasin) tanggal 1 September 1945, Koleksi

Monumen Pers Solo.

21

sekolah di HCS (Hollands Chinesche School) Kristen Gemblegan Surakarta. Yap

Tjwan Bing berasal dari keluarga biasa sehingga tidak dapat menempuh

pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS).

HCS merupakan sekolahan yang setara kedudukannya dengan sekolah

dasar yang pada masa kolonial Belanda. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh

pemerintah kolonial Belanda di Indonesia khususnya untuk anak-anak

keturunan Tionghoa di Hindia Belanda saat itu. Sekolah-sekolah semacam ini

pertama kali didirikan di Jakarta pada 1908, terutama untuk menandingi sekolah-

sekolah berbahasa Mandarin yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwee

Koan sejak 1901. HCS didirikan oleh Belanda, bahasa pengantarnya pun

menggunakan bahasa Belanda.

Di sekolah dasar, Yap sangat menyukai ilmu berhitung dan cerita-cerita

tentang tokoh pergerakan nasional. Di samping itu ia mempunyai hobi/kegemaran

bermain bola. Di sekolah dasar, Yap sangat nakal, sepulang sekolah ia bermain

sepak bola. Selama satu minggu, empat hari diisinya untuk bermain sepak bola,

bahkan tidak segan pertandingan bolanya diakhiri dengan perkelahian. Setiap

sore, bersama teman-temannya yang asli pribumi, Yap menghabiskan waktu di

sungai Bengawan Solo, sekadar bermain, berenang atau bermain kerbau. Suatu

keistimewaannya adalah kawan-kawannya banyak orang Jawa. Yap sangat senang

bergaul dengan orang-orang pribumi, walaupun sebagian dari keluarganya tidak

menginginkannya banyak bergaul dengan orang-orang Jawa. Tidak beda dengan

ayah dan ibunya, sang anak juga sangat jelas memiliki ciri-ciri sebagai keturunan

22

Cina, tetapi dalam hubungan sosial, Yap kecil justru banyak bergaul dengan orang

Jawa.9

Pada usia 8 tahun, Yap ikut orangtuanya pindah menuju Madiun Jawa

Timur. Disana ia melanjutkan pendidikan di sekolah Koot/Institute Koot (sekolah

dasar partikelir) Madiun. Tidak lama berselang, Yap pindah ke sekolah Tweede

Europeesche School (sekolah kelas dua untuk orang Eropa dan anak orang

terpandang) atas kebaikan Van Gulich selaku kepala sekolah. Di sekolah ini Yap

merupakan satu-satunya siswa dari golongan Tionghoa.

Selain melanjutkan studinya di Madiun, Yap mulai mengenal dunia

olahraga seperti sepakbola, tenis, angkat besi dan seni bela diri. Kedekatan inilah

yang kelak menjadikan Yap Tjwan Bing aktif dan mengurusi beberapa organisasi

olahraga. Dari sekolah kelas dua ini, Yap meneruskan studinya ke MULO (Meer

Uitgebreid Lagere Onderwijs) Madiun hingga lulus di Malang tahun 1928.10

Selepas dari MULO di Madiun, Yap tidak dapat meneruskan

pendidikannya ke HBS (SMA) dikarenakan ia bukan berasal dari golongan

ambtenaar dengan pangkat mayor atau kapten dari golongan Cina. Keadaan ini

membangun persepsi Yap mengenai diskriminasi sosial terhadap masyarakat

pribumi dan golongan Tionghoa, sebagai pengganti HBS, dipilihlah AMS-B

Malang Jawa Timur. Keluarga Yap Tjwan Bing pindah kembali dari Madiun

menuju Garut Jawa Barat. Karena kepindahannya ini, Yap Tjwan Bing pun

9 Darto Harnoko, Drs. Yap Tjwan Bing Pelopor Pembaruan, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai

Tradisional, 1986). hlm. 10-12. 10

De Indische Courant tanggal 18 Mei 1928, Koleksi Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia.

23

memilih AMS Afdeling B Salemba Batavia sebagai sekolah lanjutan. Di bulan

April tahun 1931, Yap naik dari kelas 5 ke kelas 6 AMS B.11

Setahun kemudian,

pada 10 Mei 1932, Yap lulus dari AMS-B.12

Selama tinggal dan menempuh

pendidikan di AMS-B Batavia Yap muda belajar dan bekerja untuk menutupi

kebutuhan sehari-hari. Pada masa-masa itulah Yap sempat berkenalan dengan

Amir Sjarifuddin yang kelak menjadi perdana menteri Republik Indonesia di

Yogyakarta.

Pada tahun 1924, Yap Tjwan Bing sebenarnya pernah mendaftar di

sekolah tehnik menengah Koningin Emmaschool (KES) Surabaya, namun karena

ketidaklengkapan administrasi, ia tidak diterima.13

KES didirikan di Surabaya

oleh sebuah organisasi persaudaraan sekuler (freemason). Organisasi ini

mendirikan banyak sekolah di banyak kota di Indonesia bukan atas

biaya pemerintah kolonial. Nama KES sendiri diambil dari nama ibu ratu

Wilhelmina yaitu ratu Emma.14

Lulusan AMS memang dipersiapkan untuk melanjutkan studi perkuliahan.

Hal ini tidak disia-siakan oleh Yap Tjwan Bing. Ia berangkat ke negeri Belanda

untuk meneruskan pendidikan sebagai apoteker (sarjana farmasi). Sebelumnya,

Yap melangsungkan pernikahan di Madiun pada bulan Juni 1932. Menjelang

keberangkatan, Drs. Sosrokartono (kakak kandung RA Kartini) banyak memberi

11

Bataviaasch Nieuwsblaad tanggal 29 April 1931, Koleksi Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. 12

Bataviaasch Nieuwsblaad tanggal 10 Mei 1932, Koleksi Badan

Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY. 13

De Indische Courant tanggal 17 Mei 1924, Koleksi Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia. 14

Agus Sachari, Budaya Visual Indonesia, (Bandung: PT Gelora Aksara

Pratama, 2007), hlm. 141.

24

petuah kepada Yap. Bahkan Drs. Sosrokartono memberikan sebuah cincin

bertahta mata kucing sebagai jimat atau pegangan di negeri Eropa. Setahun di

Belanda, Yap tergabung sebagai anggota pengurus Perhimpunan Mahasiswa

Farmasi (Luctor et Emergo) di Amsterdam.15

Berbeda dengan sikap para orang

Belanda di Hindia Belanda, Yap mendapati sikap orang Belanda dinegerinya lebih

sopan dan menghargai orang lain.

Pada masa-masa menjalani studinya di Belanda, Yap juga belajar dan

membaca tumbuhnya ruh pergerakan para pelajar Indonesia di Belanda dalam

mewacanakan kemerdekaan. Di masa yang sama, Moh. Hatta duduk sebagai

mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Amsterdam sudah aktif memperjuangkan

kemerdekaan Indonesia. Dukungan penuh diberikan dari kaum pelajar Indonesia

baik pribumi maupun Tionghoa. Kemerdekaan berpendapat dan berpolitik tidak

disia-siakan oleh para pelajar Indonesia. Nama-nama seperti Moh. Hatta, Kusumo

Utojo, Tjoa Sek Ien, Kwee Tien Lan, Abdul Madjid dan lain-lain adalah beberapa

pelajar yang aktif dalam berpolitik praktis. Yap Tjwan Bing banyak mendapat

bimbingan dari mereka, serta turut aktif menghadiri sidang-sidang partai politik

yang pro terhadap kemerdekaan Indonesia. Mulai saat itu juga para pelajar di

Belanda menyebut diri sebagai orang Indonesia dengan tidak memandang

perbedaan di antara sesama.

Aktif dalam kegiatan politik praktis tidak membuat studi Yap berantakan.

Bahkan ia menyelesaikan pendidikannya hanya 6,5 tahun, sedangkan biasanya

jurusan apoteker di Amsterdam ditempuh selama 7 – 9 tahun. Kondisi Eropa yang

15

Borneo Shimboen (Bandjarmasin) tanggal 1 September 1945, Koleksi

Monumen Pers Solo.

25

semakin mencekam menjelang pecahnya Perang Dunia II, membuat Yap

mengurungkan niatnya mendapatkan gelar doktor dalam ilmu mikrobiologi.

Dengan demikian Yap Tjwan Bing memutuskan kembali ke Hindia Belanda pada

tahun 1939.

C. Kehidupan Sosial Politik Yap Tjwan Bing Pada Masa Penjajahan Jepang

Tahun 1940-1945

Sekembalinya ke tanah air, Yap kembali menggelar pesta pernikahannya

di Madiun. Pada momen inilah ia bertemu dengan Mr. Ali Sastroamidjojo,

seorang tokoh politik Madiun, dan membicarakan banyak hal mengenai Partai

Nasional Indonesia (PNI) serta garis-garis perjuangannya secara mendalam. Dari

perbincangan ini Yap mulai yakin bahwa jalur politik memang harus ditempuh

guna memerdekakan Hindia Belanda.

Dari Madiun, pada tahun 1939 Yap Tjwan Bing bersama istrinya pindah

dan menetap di Bandung dengan membuka usaha apotek. Dua tempat Yap Tjwan

Bing berpraktek di antaranya Apotek Suniaradja dan Apotek Cikakak.16

Di sana

Yap menjalani kesibukan di dunia farmasi, sebelum akhirnya bergabung dengan

organisasi Tionghoa Chung Hua Huchi.

16

Borneo Shimboen (Bandjarmasin) tanggal 1 September 1945, Koleksi

Monumen Pers Solo.

26

Gambar 1.

Yap Tjwan Bing

Sumber: http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3599/Yap-Tjwan-Bing

Informasi mengenai kemenangan kubu fasis atas Sekutu mulai

bermunculan di Hindia Belanda. Bahkan berita kekuatan Jepang yang dapat

mengalahkan Sekutu sudah banyak dipercaya. Pada saat Jerman telah berhasil

menduduki negeri Belanda ketika perang dunia II, maka Jepang sebagai salah satu

sekutu dari Jerman merasa percaya diri untuk mengajukan nota kepada

pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada awalnya hanya diajukan 4 poin dari

nota yang bersifat memaksa pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk memenuhi

tuntutan kepentingan Jepang. Pada tahun 1940, sikap Jepang semakin lebih

agresif, mereka meminta kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk

27

menjamin suplai bahan mentah yang sangat penting bagi kebutuhan industri serta

militer Jepang, seperti minyak tanah, bauksit, karet dan bahan-bahan sejenisnya.

Jepang juga mengirimkan delegasinya, untuk berunding dengan

pemerintah kolonial Belanda menyangkut pemenuhan terhadap permintaan

Jepang, sehingga penguasaan secara militer dapat dihindarkan, namun hal ini

gagal. Selain itu Jepang juga mulai melakukan program doktrinnya,

“Kemakmuran Bersama Asia Raya!” dengan semboyan yang terkenal yaitu

gerakan 3A. Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya

Asia.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda sebenarnya mengetahui bahwa cepat

atau lambat Jepang pasti akan mengincar Indonesia untuk dikuasai, karena

Indonesia memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Hanya saja pemerintah

kolonial Hindia Belanda tidak memiliki usaha yang cukup matang untuk

mengantisipasi invasi Jepang terhadap wilayah Hindia Belanda.

Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang

sangat kaku, terutama dalam membangun kekuatan komunikasi dan konsolidasi

dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Komunikasi yang buruk membuat

pemerintah kolonial Belanda gagal dalam memobilisasi massa sehingga walaupun

pemerintah kolonial Hindia Belanda mengumumkan keadaan darurat perang

kepada seluruh warga pribumi, dan diharuskan untuk memerangi Jepang, namun

usaha tersebut sia-sia, karena gerakan propaganda yang dilakukan oleh tentara

Jepang mampu menarik perhatian masyarakat luas, termasuk tokoh-tokoh

pergerakan Indonesia. Pada saat tentara Jepang mulai memasuki wilayah Hindia

28

Belanda, hampir sebagian besar menyambut kedatangan mereka, sebagai tentara

pembebasan, yang telah membebaskan mereka dari tangan penjajah dan akan

memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Kebijakan Jepang saat berkuasa di Indonesia berbeda dengan pemerintah

kolonial Belanda. Jepang memberikan perlakuan yang khusus kepada etnis

Tionghoa, dengan menjalankan “Politik Tionghoa untuk Tionghoa”. Dalam

pelaksanaannya pemerintah militer Jepang melakukan pengawasan yang sangat

ketat terhadap gerak-gerik etnis Tionghoa. Untuk itulah mereka diwajibkan untuk

mendaftarkan diri. Bagi mereka yang telah mendaftarkan diri kemudian diberikan

semacam “kartu kuning” yaitu semacam kartu yang terbuat dari karton bewarna

kuning.17

Masa pendudukan Jepang berdampak besar terhadap kehidupan

masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menutup

seluruh surat kabar yang diterbitkan oleh orang Tionghoa dan melarang orang

Tionghoa untuk melakukan kegiatan politik. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda

juga ditutup dan menyebabkan kekuatan kelompok Chung Hwa Hui semakin

melemah. Sementara itu, surat kabar yang berorientasi ke Tiongkok, Sin Po,

beberapa tokohnya ditangkap dan ada yang melarikan diri. PTI yang berorientasi

nasionalisme Indonesia dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Liem Koen Hian

sebagai tokoh PTI sempat ditangkap pada masa awal pendudukan sebelum

kemudian dibebaskan. Pemerintah pendudukan Jepang menyatukan seluruh

organisasi Tionghoa ke dalam satu federasi yang diberi nama Hua C’io Tsung Hui

17

Ibid

29

(HCTH). Para pemimpin HCTH ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang

dan bertanggung jawab kepada mereka.18

Ketika pasukan armada Jepang untuk pertama kalinya tiba di Pulau Jawa

pada 1942, warga Cina Totok dan Peranakan memiliki perbedaan perlawanan atas

kedatangan mereka. Cina Totok ingin menunjukkan solidaritas dan patriotismenya

terhadap penderitaan saudaranya di Tiongkok. Hal ini dilatarbelakangi oleh

peristiwa penyerbuan tentara Jepang ke Tiongkok pada 1931. Mereka tetap tidak

mau bekerjasama dengan Jepang. Berbeda dengan Cina Peranakan berpendapat

bahwa lebih mudah membantu melawan gerakan fasisme Jepang di tanah Jawa,

daripada mengirim bantuan ke Tiongkok. Cina Peranakan juga tidak mengingkari

adanya usaha untuk bekerjasama dengan Jepang jika memang terpaksa, dan itu

dilakukan untuk mendapatkan keselamatan diri.19

Begitu pula beberapa sikap dan tindakan yang diambil oleh para tokoh

Indonesia, yang dominan untuk lebih pura-pura “bekerjasama” dengan Jepang.

Yap Tjwan Bing pun mengambil jalan sikap yang sama. Di masa penjajahan

Jepang, golongan Timur Asing seperti Tionghoa dan Arab wajib memberikan

sumbangan dana demi tercapainya kemenangan dalam peperangan Asia Timur

Raya.

18

Bondan Kanumoyoso. Tokoh tokoh Tionghoa Dalam Revolusi

Kemerdekaan Indonesia.

http://www.nabilfoundation.org/media.php?module=publikasi&id=152.html

(diakses pada tanggal 28 Agustus 2014, pukul 07.30 WIB) 19

Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900-1946,

(Semarang: Mesiass, 2004), hlm. 84

30

Pada tahun 1942, Yap Tjwan Bing diangkat menjadi ketua organisasi

Chung Hua Huchi Hui Bandung.20

Organisasi ini bertujuan untuk menjaga

hubungan baik antara warga Tionghoa dan Indonesia serta menjauhkan keduanya

dari perselisihan. Chung Hua Huchi Hui pada masa kolonial Belanda memang

mengambil tindakan lebih pro kepada kolonial. Pada masa Jepang, dengan

berubahnya sususan pengurus, haluan politik dari organisasi ini pun berubah. Di

mata rakyat Indonesia, hal ini perlu diluruskan dan diperbaiki. Bagi pemerintah

Jepang, Chung Hua Huchi Hui menjadi corong propaganda Jepang kepada warga

Tionghoa. Namun di lain pihak, Yap Tjwan Bing bersama rekan-rekannya selalu

terus saling membantu dengan rakyat Indonesia untuk memperkuat barisan.

Struktur utama dari organisasi ini adalah sebagai berikut :

Ketua : Drs. Yap Tjwan Bing

Ketua Muda I : Tan A Toeng

Ketua Muda II : Liam Hian Soen

Bekas Ketua : Kwee Hian Thjiauw

Juru Bahasa : Khoe Tjiat Min21

Pada akhir tahun 1942, Perhimpunan Tionghoa Chung Hua Huchi Hui

Bandung ini kembali dirombak kepengurusannya menjadi lebih komplit sesuai

anjuran pemerintah Jepang. Yap Tjwan Bing masih mengisi posisi yang sama

sebagai ketua. Garis besar susunan perhimpunan untuk tahun 2603 (1943) adalah

sebagai berikut; pelindung, komite penilik dan penasehat, ketua, ketua muda I,

20

Tjahaja tanggal 25 Desember 1942, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 21

Ibid.

31

ketua muda II, penulis, bendahara, bagian urusan pertolongan umum, bagian

perguruan, bagian perdagangan, bagian pengurus olahraga, bagian pengurus

kematian. 22

Pemerintah Jepang menaruh kecurigaan besar kepada warga Timur Asing

dan Eropa di Indonesia. Oleh karena itu, demi menjaga keamanan dan stabilitas

serta mengurangi tindak spionase yang dicurigai dilakukan oleh para golongan

Timur Asing, kolonial Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No 4. Undang-undang

ini mengatur bahwa tiap orang yang hendak berpindah dari satu kota ke kota lain

atau dari satu kabupaten ke kabupaten lain dan seterusnya, wajib mengajukan izin

kepada kepala kantor besar polisi (Keisatusyotyo) di daerah masing-masing. Tiap

izin dilengkapi dengan surat keterangan permintaan pindah beserta surat

pendaftaran bangsa asing. Surat-surat tersebut harus diberi segel/materai seharga f

1.50 (satu rupiah lima puluh sen).23

Undang-undang yang dikeluarkan panglima besar balatentara Dai Nippon

ini juga menegaskan hukuman bagi mereka yang melanggar atau lupa akan

dikenai sanksi penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak f.1000

(seribu rupiah). Yang membuat undang-undang ini begitu memberatkan adalah

pasal-pasal didalamnya tidak mengikat bagi bangsa Nippon, penduduk asli

(pribumi), dan yang mendapat izin khusus dari Jepang. Tentu saja undang-undang

22

Tjahaja tanggal 28 Desember 1942, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 23

Osamu Seirei No. 4 tahun 1943, Koleksi Perpustakaan Pribadi Roesli

Soetan Makmur Solo.

32

ini membebani golongan Timur Asing yakni golongan Tionghoa, golongan Arab

dan Eropa.24

Pada bulan Maret 1943, demi merapatkan barisan warga Tionghoa di Jawa

Barat, Chung Hua Huchi Hui diganti dengan perhimpunan yang lebih besar yaitu

Priangan Huachiao Chunghui (Perhimpunan Tionghoa Priangan). Yap Tjwan

Bing dipilih menjadi ketua pusat karena faktor kedekatannya dengan tokoh-tokoh

Indonesia. Susunan Pengurus Priangan Huachiao Chunghui adalah sebagai

berikut; Ketua Pusat: Drs. Yap Tjwan Bing, Ketua Cabang Bandung SI: Djie

Tieuw Giok, Ketua Cabang Bandung Ken: Yap Kieng Eng, Ketua Cabang

Sumedang: Tjiong Tjin Soen, Ketua Cabang Garut: Thing Koen Lim, Ketua

Cabang Tasikmalaya: Tan Kim Kian. 25

Jepang memang mempergunakan perkumpulan semacam ini sebagai alat

penyampai informasi, serta sebagai tempat pengumpulan dana wajib dengan dalih

untuk membantu jalannya perang Asia Timur Raya. Tentunya Jepang lebih keras

terhadap bangsa asing agar dapat menarik perhatian masyarakat Indonesia.

Kegiatan sosial politik di masa kolonial Jepang tetap dijalani Yap Tjwan

Bing. Meski demikian bukan berarti Yap hanya terfokus pada dua hal tersebut

saja. Dunia kesehatan yang Yap tekuni serta dunia olahraga yang diminatinya

tetap menjadi bagian tidak terpisahkan. Begitu juga dengan cara Yap tetap terus

mempersatukan masyarakat Indonesia dan golongan Tionghoa lewat berbagai

acara serta momen. Pada bulan Agustus 1943, digelar pertandingan kesebelasan

24

Ibid. 25

Tjahaja tanggal 6 Maret 1943, Koleksi Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia.

33

sepak bola antara Bandung dan Solo. Saat istirahat pertandingan, dilaksanakanlah

pertandingan sepak bola hiburan antar kaum tua di Bandung. 26

Dua kubu kaum tua yang bertanding di antaranya grup A terdiri atas R.

Gondokusumo, Ir. Oekar Bratakusumah, Ir. Sardjono, Lim Shui Chuan, Niti

Soemantri, Mr. J. Adiwinata, Dr. Djoenjoenan, Dr. Poerwosoewardjo, R. Otto

Iskandardinata, Dr. Moerdjani, dan Drs. Yap Tjwan Bing. Sedangkan pada grup

B terdiri atas R. Bratanata, Martowidjojo, Anwar Pamoentjak, Y. Takabatako

Yamato, R. Bakri, R.E. Soeriadipoetra, Tadenuma, R. Sain, Sim Bian Soen dan R.

Koesoemah. Hal ini menjadi pemandangan unik dan membuktikan bahwa rasa

persatuan di tengah kolonialisme Jepang tetap dijaga.27

Pembentukan Priangan Huachiao Chunghui pada bulan Maret 1943 segera

ditindaklanjuti dengan tindakan nyata berupa pembangunan rumah sakit baru di

Bandung. Pada acara pembukaan tanggal 7 November 1943, Yap Tjwan Bing

mengatakan bahwa 24 ruang di rumah sakit ini khusus untuk melayani anak-anak

dan wanita dari semua bangsa. Terwujudnya rumah sakit ini merupakan bentuk

iuran dana dari para golongan Tionghoa di wilayah Priangan.28

Dana yang terkumpul dari Priangan Huachiao Chunghui tentu saja

digunakan di berbagai bidang. Kegiatan wajib Priangan Huachiao Chunghui

adalah penyetoran dana kepada Guenseikanbu Jepang (staf pemerintahan militer

pusat) di Bandung. Yap Tjwan Bing pada bulan November 1943 menyerahkan

26

Tjahaja tanggal 7 Agustus 1943, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 27

Ibid. 28

Tjahaja tanggal 8 November 1943, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia.

34

dana iuran dari Priangan Huachiao Chunghui sebesar f. 16.000 (enam belas ribu

rupiah) sebagai penopang dan mensukseskan perang Asia Timur Raya yang

dikobarkan Jepang.29

Aktivitas golongan Tionghoa yang terkurung Osamu Seirei No. 4 pada

akhirnya berakhir. Dampak patuhnya golongan Tionghoa kepada Jepang, maka di

bulan Desember 1943, keluarlah Osamu Seirei No. 52 yang menghapus pasal

pelarangan aktivitas golongan Tionghoa di Osamu Seirei No. 4. Sebanyak

800.000 orang golongan Tionghoa di Jawa kini bebas berpindah tempat asal tidak

melakukan kegiatan spionase (mata-mata) sebagaimana dituduhkan oleh Jepang.30

Yap Tjwan Bing selaku ketua perhimpunan Tionghoa di Priangan datang

menemui Syuutyookan (kepala residen) untuk mengucapkan terima kasih sebesar-

besarnya atas kelonggaran yang diberikan oleh pemerintahan Jepang kepada

golongan Tionghoa.31

Pada tanggal 5 September 1943, Saiko Shikikan Kumaikici Harada

mengeluarkan Osamu Seirei No. 36 dan 37 tentang Pembentukan Chuo Sangi In

(Dewan Penasehat Pusat) dan Shuu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah). Chuo

Sangi In bertugas memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Saiko

Shikikan (panglima tentara) dalam hal politik dan pemerintahan. Pembentukan

Chuo Sangi In dan Shuu Sangi Kai tersebut merupakan beberapa janji dari

Perdana Menteri Tojo kepada Indonesia. Jepang pernah memberi janji merdeka

29

Soeara Asia tanggal 23 November 1943, Koleksi Monumen Pers Solo. 30

Sinar Matahari (Djokjakarta) tanggal 10 Desember 1943, Koleksi

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. 31

Tjahaja tanggal 11 Desember 1943, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia.

35

kepada Filipina dan Burma, namun tidak melakukan hal yang sama kepada

Indonesia. Oleh karena itu, kaum nasionalis Indonesia protes. Menanggapi protes

tersebut, PM Tojo lalu membuat kebijakan berikut :

Pembentukan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In).

Pembentukan Dewan Pertimbangan Karesidenan (Shuu Sangi Kai)

atau daerah.

Tokoh-tokoh Indonesia diangkat menjadi penasihat berbagai

departemen.

Pengangkatan orang Indonesia ke dalam pemerintahan dan

organisasi resmi lainnya.

Pembentukan Chuo Sangi Kai dan Shuu Sangi Kai memang tidak

berlangsung cepat, bahkan di antaranya baru dilaksanakan pada tahun 1944. Pada

bulan Oktober 1944 diangkatlah beberapa anggota baru untuk masuk sebagai

Priangan Shuu Sangi Kai. Tokoh-tokoh tersebut adalah Ir. R. Rooseno dari

Bandung Shi, Drs. Yap Tjwan Bing dari Bandung Shi, dan E. Soewitaatmadja dari

Ciamis. Tugas dari Shuu Sangi Kai di antaranya adalah melaporkan dan memberi

pertimbangan kondisi tiap daerah, menginformasikan kebijakan pemerintah

Jepang, mengkampanyekan program pemerintah Jepang seperti gerakan

menabung, perang Asia Timur Raya, penanaman tanaman khusus (kapas, jarak)

dan program program lainnya. Di sisi lain kehadiran Shuu Sangi Kai ini menjadi

penguat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan.32

Karena menjabat sebagai

32

Tjahaja tanggal 2 Oktober 1944, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. Berita tentang pengangkatan Drs. Yap Tjwan Bing selaku

36

Shuu Sangi Kai Priangan, Drs. Yap Tjwan Bing tidak lagi menjadi Ketua

Huachiao Chunghui, melainkan hanya menjabat sebagai penasehat.33

Pada akhir tahun 1944 kedudukan Jepang dalam Perang Asia Pasifik

semakin terdesak. Kekalahan Jepang di Asia Pasifik tinggal menunggu waktu.

Pada situasi demikian, perlawanan rakyat Indonesia semakin menyala. Dalam

menyikapi kondisi seperti itu, pada 9 September 1944 Perdana Menteri

Jepang Kaiso mengeluarkan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kelak di

kemudian hari. Sejak diikrarkan janji kemerdekaan, kantor-kantor pemerintah

diperbolehkan mengibarkan bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera

Jepang Hinomaru. Penggunaan bahasa Indonesia juga semakin mendapat tempat.

Di kantor, sekolah, media massa, bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa

pengantar.

Semenjak itu iklim pergerakan ke arah kemerdekaan semakin banyak

terdengar. Selain pembentukan Chuo Sangi In dan Shuu Sangi Kai dibentuk pula

Gerakan Rakyat Baroe. Gerakan ini merupakan program yang dicanangkan oleh

Chuo Sangi In sebanyak 33 poin yang berisi perihal etika, sosial, ekonomi dan

bela negara.34

Panitia pusat gerakan rakyat baru sendiri dipilih dari berbagai

golongan dan berjumlah 80 Orang.35

Program ini diuji coba selama 1 bulan dan

pada bulan Maret 1945 beberapa daerah melaporkan hasilnya. Yap Tjwan Bing

perwakilan golongan Tionghoa sebagai Priangan Shuu Sangi Kai juga di muat

dalam Tjahaja 19 Oktober 1944. 33

Tjahaja tanggal 18 Desember 1944, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 34

Sinar Baroe tanggal 26 Februari 1945, Koleksi Monumen Pers Solo. 35

Indonesia Merdeka tanggal 25 Juni 1945, Koleksi Perpustakaan Pribadi

Roesli Soetan Makmur Solo.

37

dipercaya menjadi salah satu dari panitia pusat dan memegang daerah Garut Jawa

Barat.36

Awalnya, Yap Tjwan Bing hanya duduk sebagai anggota Shuu Sangi Kai,

akan tetapi pada akhir Februari 1945, ia atas rekomendasi beberapa tokoh

diangkat menjadi anggota Chuo Sangi In yang bertugas memberi nasehat dan

masukan pada petinggi Dai Nippon.37

Pada Sidang Chuo Sangi In ke VII, di mana PM Saiko Shikikan meminta

saran dan mengajukan pertanyaan perihal Indonesia, empat perwakilan dari Chuo

Sangi In memberikan masukan. Mereka yaitu Abikoesno Tjokrosuyoso,

Wirjoningrat, Yap Tjwan Bing dan Moh. Yamin. Yap Tjwan Bing dalam

pidatonya di depan Saiko Shikikan tentang cara membangkitkan semangat rakyat

Indonesia, menjelaskan gagasannya bahwa seorang pemimpin haruslah mengenal

jiwa rakyat supaya mampu menjalin persatuan yang kokoh. Syarat persatuan

menurut Yap adalah hormat-menghormati, melihat dan mengoreksi kesalahan

bangsa sendiri, serta jujur dalam segala hal.38

Menghadapi situasi dan posisi Jepang yang semakin kritis di Pasifik, maka

pada tanggal 1 Maret 1945 pemerintah pendudukan Jepang di Jawa yang dipimpin

oleh Panglima tentara ke-16 Letnan Jenderal Kumakici Harada mengumumkan

pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan

tersebut adalah menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan penting tentang

36

Tjahaja tanggal 28 Maret 1945, Koleksi Perpustakaan Nasional

Republik Indonesia. 37

Pandji Poestaka tanggal 1 Maret 1945, Koleksi Monumen Pers Solo.

Lihat juga Borneo Shimboen (Bandjarmasin), 1 September 1945. 38

Djawa Baroe tanggal 1 Juli 1945, Koleksi Monumen Pers Solo.

38

ekonomi, politik dan tata pemerintahan sebagai persiapan untuk kemerdekaan

Indonesia.

Walaupun dalam penyusunan keanggotaan berlangsung lama karena

terjadi tawar menawar antara pihak Indonesia dan Jepang, namun akhirnya

BPUPKI berhasil dilantik 28 Mei 1945 bertepatan dengan hari kelahiran Kaisar

Jepang yaitu Kaisar Hirohito. Adapun keanggotaan yang terbentuk berjumlah 67

orang dengan ketua Dr. K.R.T. Radjiman Widiodiningrat dan R. Suroso dan

seorang Jepang sebagai wakilnya Ichi Bangase ditambah 7 anggota Jepang yang

tidak memiliki suara. Ir. Soekarno yang pada waktu itu juga dicalonkan menjadi

ketua, menolak pencalonannya karena ingin memperoleh kebebasan yang lebih

besar dalam perdebatan, karena biasanya peranan ketua sebagai moderator atau

pihak yang menengahi dalam memberi keputusan tidak mutlak. Pada tanggal 28

Mei 1945 dilangsungkan upacara peresmian BPUPKI bertempat di Gedung Chuo

Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta, dihadiri oleh Panglima Tentara Jepang Wilayah

Ketujuh Jenderal Itagaki dan Panglima Tentara Keenam Belas di Jawa Letnan

Jenderal Nagano. BPUPKI mulai melaksanakan tugasnya dengan melakukan

persidangan untuk merumuskan undang-undang dasar bagi Indonesia kelak. Hal

utama yang dibahas adalah dasar negara bagi negara Indonesia merdeka.39

Namun pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI atau Dokuritsu Junbi

Cosakai dibubarkan oleh Jepang karena dianggap terlalu cepat mewujudkan

kehendak Indonesia merdeka dan mereka menolak adanya keterlibatan pemimpin

pendudukan Jepang dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.

39

Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm 121-129.

39

Pada tanggal itu pula dibentuk PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkai, dengan

anggota berjumlah 21. Tanpa sepengetahuan Jepang, jumlah anggota ditambah

enam orang sehingga menjadi 27 orang. Dua puluh enam nama tersebut adalah Ir.

Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Prof. Mr. Dr. Soepomo, KRT. Radjiman

Wedyodiningrat, R.P. Soeroso, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Kiai Abdoel

Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, Abdoel Kadir,

Pangeran Soerjohamidjojo, Pangeran Poerbojo, Dr. Mohammad Amir, Mr. Abdul

Maghfar, Mr. Teuku Mohammad Hasan, Dr. GSSJ Ratulangi Andi Pangerang,

A.H. Hamidan, I Goesti Ketoet Poedja, Mr. Johannes Latuharhary, Drs. Yap

Tjwan Bing, Achmad Soebardjo, Sajoeti Melik, Ki Hadjar Dewantara, R.A.A.

Wiranatakoesoema, Kasman Singodimedjo dan Iwa Koesoemasoemantri.40

Pada

kepanitiaan inti ini Yap Tjwan Bing adalah satu-satunya perwakilan Tionghoa

dalam perumusan kemerdekaan Indonesia.

Berita akan diproklamasikan kemerdekaan Indonesia sudah mulai ramai

diperbincangkan. Yap Tjwan Bing yang pada saat itu masih menunggu sidang

yang rencananya akan digelar tanggal 16 Agustus berada di Bandung. Posisinya

sebagai bagian inti PPKI membuat Yap menjadi tempat bertanya dan didatangi

banyak orang. Apalagi Yap Tjwan Bing juga seorang tokoh yang banyak dikenal

oleh pemuda-pemuda Bandung. Salah satu yang datang berkunjung adalah AH

Nasution yang pada saat itu aktif di barisan pelopor. Yap Tjwan Bing

membenarkan berita kemerdekaan tersebut, serta menjelaskan langkah-langkah

apa saja yang akan ditempuh oleh PPKI.

40

Borneo Shimboen (Banjarmasin) tanggal 1 September 1945, Koleksi

Museum Pers Solo.

40

Pada hari Jumat 17 Agustus 1945 pagi, kabar proklamasi begitu cepat

tersebar. Ucapan merdeka berkobar di seluruh pelosok tanah air. Yap Tjwan Bing

merayakan kemerdekaan tersebut di rumahnya Jl. Naripan 31 Bandung. Hadir

pula dalam perayaan saat itu AH Nasution (Barisan Pelopor), Dr. Erwin, Gondo

Kusumo (direktur Bank Bumi Putera), serta RM Soeparto (Kepala Polisi

Parahiangan). Mereka merayakan awal kemerdekaan dengan satu botol

Champagne dalam kebersamaan.