karakteristik fisikokimia dan potensi aplikasi toksin
Post on 03-Oct-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI
TOKSIN SPIROLIDES DARI MIKROALGA Alexandrium ostenfeldii
Disusun Oleh:
I WAYAN DARYA KARTIKA
19910223 201901 1 3001
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
anugerah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Karakteristik Fisikokimia
dan Potensi Aplikasi Toksin Spirolides dari Mikroalga Alexandrium
ostenfeldii ” ini berhasil diselesaikan.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada seluruh staff Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana sebagai satuan unit kerja penulis.
Penulis mendapatkan banyak referensi, diskusi, dan tentunya koreksi dalam
menyusun makalah karya ilmiah ini.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Penulis
I Wayan Darya Kartika, S.Pi., M.Si.
.
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... vi
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
KARAKTERISASI PROFIL TOKSIN SPIROLIDES DARI MIKROALGA ............ 5
a. Program pemantauan fitoplankton (Gasto´ et al. 2014) .......................................... 5
b. Pemeriksaan mikroskopis ....................................................................................... 5
c. Sampling toksin dan kultur A. ostenfeldii ............................................................... 5
d. Analisis Liquid chromatography–mass spectrometry (HPLC-MS) dari toksin
lipofilik (Gasto´ et al. 2014) ................................................................................... 6
e. Analisis Toksin (Hakanen et al 2012) .................................................................... 7
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 8
a. Jenis toksin pada Mikroalga ................................................................................... 8
b. Morfologi Alexandrium ostenfeldii ...................................................................... 11
c. Aplikasi Penggunaan Toksin Alexandrium ostenfeldii ......................................... 25
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Toxin Spirolides pada
Alexandrium sp..................................................................................................... 30
PENUTUP ...................................................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 33
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Struktur kimia dari spirolides utama dan keterkaitan protonated ions
(m/z) dan transisi Q1>Q3 (m/z > m/z) terlihat pada eksperimen
Selected Ion Monitoring (SIM) dan Multiple Reaction Monitoring
(MRM) terutama ion positif. (Hu et al. 2001) ..................................... 3
Gambar 2 Morfologi dari mikroalga Alexandrium ostenfeldii ........................... 13
Gambar 3 Spesimen Alexandrium ostenfeldii kompleks pada sampel dari Beagle
Channel Calcofluor stained cells dilihat dengan epifluoroscen (A-C)
dengan ukuran berbeda; (D dan E) morfologi dari Plates’ (dengan pori
ventral) dan (F) detail dari cingulum dan sulcal plates; (G) Ephiteca
menunjukkan hubungan antara apival pore plate (Po) dan 1’; (H)
penampakan apical menunjukkan detail dari apical pore plate (Po); (I)
penampakan antapical menunjukkan sulcal posterior ....................... 14
Gambar 4 Penampakan SEM dari specimen Alexandrium ostenfeldii complex
pada kultur sel terisolasi dari Beagle Channel. (A) Semua theca pada
penampakan ventral; (B) detail dari apical pore plate; (C) detail
Plate’; (D) detail sulcal plates; (E) semua theca pada dorsal view ... 15
Gambar 5 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada
Alexandrium ostenfeldii dan sampel kerrang, peak number (), waktu
retensi (RT) dan data MS/MS ............................................................ 16
Gambar 6 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada
Alexandrium ostenfeldii dan sampel kerrang, peak number (), waktu
retensi (RT) dan data MS/MS ............................................................ 17
Gambar 7 Struktur parsial (a – d) pada 13,19-didesmetilspirolida C (2) dan
spirolida G (3), menunjukkan korelasi COSY (panah kurva) dan garis
tebal merepresentasikan 1H-1H spin system teridentifikasi dari spectra
TOCSY dan COSY ............................................................................ 17
Gambar 8 Skema fragmentasi MS untuk spirolida G (3) .................................... 18
Gambar 9 Spektra MS/MS dari minor spirolida A. ostenfeldii. .......................... 19
Gambar 10 Spektra FTIR dari beberapa struktur spirolida ................................. 20
Gambar 11 Spektra MS/MS (a) dan spektrum 1H-NMR (b) dari 27-hidroksil-
13,190didesmetilspirolida C (8). Tanda * mengindikasikan impuritas
........................................................................................................... 20
Gambar 12 Garis tebal merepresentasikan four spin system yang terdeteksi pada
27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida .............................................. 21
Gambar 13 Korelasi omponen COSY and HSQC-TOCSY terseleksi ................ 21
Gambar 14 Struktur planar 27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida .................... 21
v
Gambar 15 Struktur planar dari dua spirolida terkini 20-Hydroxy-13,19-
didesmethyl-SPX C (10) dan 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D
(11)..................................................................................................... 22
Gambar 16 Planar structures of the two novel spirolides 20-Hydroxy-13,19-
didesmethyl-SPX C (10) and 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D
(11)..................................................................................................... 22
Gambar 17 Struktur fragmen karakteristik dalam CID-spektra senyawa 10; situs
fragmentasi ditandai dengan garis putus-putus; struktur yang
dihasilkan ditunjukkan oleh panah dengan warna yang sama ........... 23
Gambar 17 Tampilan tumpukan rantai polketida yang baru lahir yang diusulkan
untuk spirolida dan gimnodimin; bagian dengan kemiripan tinggi
terpojok merah; cincin D GYM dipojokkan dalam warna hitam;
perbedaan antara rantai polyketide yang baru lahir dari spirolide
dipojokkan dalam warna biru muda dan asal-usul untuk cincin D, E
dan F dipojokkan dalam warna ungu. Rantai polyketide baru lahir
yang diusulkan dari 13-Desmethyl spirolide C ditunjukkan di bagian
bawah dengan asal biologis berwarna inti. ........................................ 24
vi
DAFTAR GAMBAR
Tabel 1 Spesies toksik (TX), potensial toksik (PT), dan biomassa tinggi (HB)
pada perairan pesisir Yunani. Kolom abu menunjukkan spesies yang dapat
mengakibatkan kejadian/epidemi beracun. ................................................ 9
Tabel 2 Penggunaan racun PSP sebagai anestesi klinis ....................................... 26
Tabel 3 Biologically active micoalgal extract ...................................................... 28
Tabel 4 Tingkat kematian Artemia salina Leach pada 24 jam dengan perlakuan
berbagai konsentrasi dari ekstrak yang diperoleh dari spirolida .............. 28
1
PENDAHULUAN
Tingkat pengetahuan terhadap keragaman jenis organisme mikroskopis
yakni mikroalga merupakan titik tolak dari sebuah siklus dalam ekosistem
perairan, baik perairan air tawar, laut maupun estuari, karena bersifat sebagai
produsen yang memanfaatkan energi matahari dengan proses fotosintesis atau
dengan kata lain dapat menghasilkan makanan sendiri yang disebut organisme
autotroph. Mikroalga termasuk ke dalam kelompok mikrobia, untuk membedakan
mikroalga dengan mikrobia lainnya, maka harus mengetahui ciri-ciri morfologi
dari mikroalga. Morfologi merupakan salah satu metode identifikasi dan
determinasi untuk setiap kelompok mahkluk hidup. Oleh karena itu, pengamatan
morfologi juga penting dalam bidang mikroalga.
Pengamatan mikroalga pada ekosistem perairan dilakukan dengan
menggunakan filter alat alat penyaring berukuran tertentu. Mikroalga merupakan
tumbuhan thalus yang berklorofi dan mempunyai pigmen tumbuhan yang dapat
menyerap cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Hidup di air tawar, payau,
laut, terestrial, epifit, dan epizoic. Mikroalga menyerupai tumbuhan yang
umumnya juga disebut dengan fitoplankton. Mikroalga merupakan tumbuhan
yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari, serta
menggunakan CO2 untuk keperluan fotosintesis (Kimball 1983).
Mikroalga dominan memberikan konstribusi untuk memproduksi biomassa
dalam sistim perairan. Proses kimia di perairan, khususnya dalam proses
metabolisme perairan mikroalga juga mempunyai peran sebagai pendaur ulang
nutrien. Dilihat dari segi nutrisi, mikroalga merupakan suatu sumber
mikronutrien, vitamin, minyak, dan elemen mikro untuk komunitas perairan.
Sebagian mikroalga ada yang mencemari air dan dapat menurunkan kualitas air.
Hal ini disebabkan karena mikroalga dapat menimbulkan rasa dan bau yang tidak
enak, menurunkan pH, serta menyebabkan kekeruhan (Sunarno 2002).
Mikroalga merupakan kelompok alga berukuran renik (kecil), dengan
ukuran diameter antara 3-30 μm, memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam
menyerap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk proses fotosintesis.
Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah organisme
akuatik. Kelompok mikroalga dibedakan berdasarkan pigmen yang dikandungnya,
2
yakni diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang
emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Pada lingkungan
perairan terdapat ratusan jenis mikroalga, namun belum banyak yang
dimanfaatkan. Biomassa mikroalga mengandung bahan-bahan penting yang
sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat.
Mikroalga banyak diaplikasikan dalam bidang pangan, kesehatan, energi,
kosmetik, dan industri non pangan lainnya. Oleh karena itu, biomassa yang besar
dari mikroalga alga sangat diperlukan melalui pertumbuhan mikroalga yang pesat.
Pertumbuhan mikroalga yang pesat juga menyebabkan bahaya yang
disebut eutrofikasi. Eutrofikasi memicu berbagai perubahan fisik dan kimia di
lingkungan laut dan meningkatkan populasi alga yang memungkinkan adanya
pertumbuhan intensif spesies berbahaya dan memproduksi racun yang dapat
menimbulkan masalah dalam struktur ekosistem dan kesehatan masyarakat.
Proses blooming alga secara kolektif disebut Harmful Algal Blooms (HABs)
(Ignatiades dan Gotsis-Skretas 2010). HABs telah menjadi masalah di daerah
pesisir di seluruh dunia (Heisler et al. 2014), dan selalu meningkatkan frekuensi,
keparahan, dan perluasan geografis spesies beracun (Paerl dan Huisman 2008).
Blooming ini bisa menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat,
shellfisheries, dan satwa liar lokal (Scholin et al. 2000; Hoagland et al. 2009).
Populasi alga yang beracun banyak ditemukan diantara dinoflagellata dan
beberapa mikroalga lainnya seperti diatom, flagelata, cyanobacteria,
prymnesiophytes, dan rhaphidophytes (Vershinin 2008; Moestrup 2010).
Dinoflagellata laut genus Alexandrium adalah genus yang paling
berbahaya di dunia (Anderson et al. 2012). Sebagian besar spesies berbahaya dari
genus ini menghasilkan racun saxitoxin terkait dengan paralytic shellfish
poisoning (PSP) (Persich et al. 2006; Montoya et al. 2010). Beberapa spesies
Alexandrium seperti A. ostenfeldii juga dapat menghasilkan spirolides, yaitu
neurotoksin yang menyebabkan gejala yang mirip dengan saxitoxin tetapi tidak
umum dihasilkan oleh spesies lain dari genus Alexandrium (Cembella et al. 2000;
Otero et al. 2010). Strain A. ostenfeldii menghasilkan baik saxitoxins atau
spirolides (Suikkanen et al. 2013). Lebih dari 30 spesies Alexandrium terutama A.
ostenfeldii dan A. Peruvianum menghasilkan neurotoksin imina siklik disebut
3
spirolides (SPXs) (Cembella et al. 2000; Franco et al. 2006). Racun ini bisa
terakumulasi dalam kerang dan organisme filter-feeder lainnya, serta
menyebabkan organisme tersebut bersifat beracun jika dikonsumsi (Glibert et al.
2007; Etheridge 2010).
Gambar 1 Struktur kimia dari spirolides utama dan keterkaitan protonated ions (m/z) dan
transisi Q1>Q3 (m/z > m/z) terlihat pada eksperimen Selected Ion Monitoring
(SIM) dan Multiple Reaction Monitoring (MRM) terutama ion positif (Hu et
al. 2001)
Kelas imina makrosiklik dikenal sebagai spirolides pertama yang
diidentifikasi dalam ekstrak kelenjar pencernaan kerang dari pantai Atlantik Nova
Scotia, Kanada, pada awal 1990s. Hal yang membedakan senyawa ini adalah
adanya sebuah bagian imina siklik, yang telah ditemukan di tempat lain hanya
dalam racun laut dikenal sebagai pinnatoxins, pteriatoxins, spiro-prorocentrimine,
dan gymnodimine (Lu et al. 2000; Takada et al. 2001). Spirolides adalah
kelompok racun laut yang terdeteksi di laut Eropa dan Amerika Utara. Beberapa
bukti menunjukkan bahwa spirolides adalah reseptor antagonis asetilkolin
muskarinik. Secara struktural, spirolides ditandai dengan spirolinked sistem cincin
ester trisiklik dan tujuh membran biasa spiro-linked siklik iminium. Racun milik
kelas ini telah berkembang secara signifikan untuk menyertakan beberapa isomer
dan senyawa dengan struktur yang sedikit dimodifikasi (Gambar 1) (Hu et al.
4
2001). Enam spirolides utama yang dikenal, yaitu spirolide A, B, C, D, E dan F,
selain derivatif desmethyl tertentu spirolides C (13-desMeC) dan D (13-desMeD).
Perubahan kecil kedalam struktur dapat mengakibatkan perbedaan besar
dalam toksisitas. Bahkan, struktur bagian senyawa bioaktif ini telah diidentifikasi
sebagai imina siklik. Akibatnya, hidrolisis ke dalam kelompok fungsional keto-
amina, seperti di spirolides E dan F, dan menghasilkan metabolisme non-toksik
metabolit dalam kerang (Hu et al. 1996). Spirolides selama ini hanya dikenal
sebagai toksin yang menyebabkan keracunan, namun aplikasi toksin ini belum
banyak dikaji. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji
profil dan aplikasi spirolides yang dihasilkan oleh mikroalga Alexandrium
ostenfeldii.
5
KARAKTERISASI PROFIL TOKSIN SPIROLIDES DARI
MIKROALGA
a. Program pemantauan fitoplankton (Gasto´ et al. 2014)
Frekuensi sampling yang dilakukan umumnya adalah dua mingguan sepanjang
tahun dan mingguan selama fitoplankton blooming di musim semi. Suhu dan
salinitas air diukur di situ dengan Horiba U-10 sensor multi-parametrik
(Horiba Ltd, Kyoto, Jepang). Air laut sampel diambil pada kedalaman 2 m
menggunakan botol. Sebanyak 250 ml aliquot diawetkan dengan 4% boraks
buffered formalin untuk analisis kuantitatif fitoplankton. Selain itu, kualitatif
sub-permukaan sampel fitoplankton diambil menggunakan jaring 20 mm mesh
dan tetap seperti yang dijelaskan sebelumnya. Semua sampel disimpan di
dalam keadaan gelap pada suhu kamar sampai analisis. Untuk klorofil a (CHL
a) sebanyak 0,5-1 l air laut disaring ke Whatman GF / F filter dan terus beku
sampai analisis.
b. Pemeriksaan mikroskopis
Untuk estimasi kuantitatif, sel dihitung dengan fase kontras Iroscope SI-PH
mikroskop terbalik. Subsamples dari 50 atau 100 ml yang tersisa untuk
menyelesaikan selama 24 atau 48 jam masing-masing dalam komposit
sedimentasi ruang. Identifikasi dinoflagellata digunakan menggunakan piring
teka yang diwarnai dengan Calcofluor menurut Fritz dan Triemer (1985).
Pemindaian lebih lanjut dari pengamatan mikroskop elektron dari sampel yang
dipilih dibuat dengan JEOL JSM-6360 LV (SEM).
c. Sampling toksin dan kultur A. ostenfeldii
Sebanyak 2 l sampel air laut disaring menggunakan filter Whatman GF / F
untuk melakukan analisis kuantitatif toksin dalam plankton. Sampel bersih
tambahan disaring melalui filter Whatman GF / F untuk mendapatkan resolusi
yang lebih tinggi dan kepekaan analisis racun. Sampel kerang (Mytilus edulis)
diambil dari masyarakat pada masing-masing situs sampling. Filter dan kerang
disimpan pada suhu -20oC sampai analisis laboratorium. Sebuah sub-sampel
hidup dari sampel bersih dari Almanza digunakan untuk sel kultur. Isolasi
6
dilakukan dengan menggunakan Nikon Biophot mikroskop dan mikropipet.
Sel ditumbuhkan di media kultur pada salinitas 30 psu, dengan suhu 11oC.
d. Analisis Liquid chromatography–mass spectrometry (HPLC-MS) dari
toksin lipofilik (Gasto´ et al. 2014)
Kultur kompleks Alexandrium sp. pada fase pertumbuhan eksponensial,
dengan kepadatan 63×106 sel L-1, digunakan untuk menganalisis profil racun
SPXs dan konsentrasi sel. Sebanyak 800 ml kultur sel disaring melalui filter
Whatman GF / F. Racun diekstraksi dengan 100% metanol dan disonikasi
(Vibra Sel, Sonic dan Bahan) pada 0oC. Ekstrak disaring melalui GF Whatman
/ filter F untuk menghilangkan kotoran sel. Ekstrak yang diperoleh dimurnikan
dengan ultrafiltrasi (Micro Vecta-Spin, 100 kDa) sebelum analisis
kromatografi. Ekstraksi racun dari fitoplankton sampel bersih dilakukan
dengan menggunakan metodologi yang sama. Racun lipofilik diekstraksi dari
kerang dengan metanol 100% sesuai dengan prosedur yang dijelaskan oleh Uni
Eropa Referensi Laboratorium Kelautan biotoxins (EURLMB 2011). Ekstrak
disentrifugasi (3000 rpm), disaring (Whatman GF / F), dan dibersihkan tiga
kali dengan heksana. Akhirnya, pemurnian ekstrak tambahan dilakukan oleh
ultrafiltrasi (Micro Vecta-Spin, 100 kDa). Ekstrak racun dianalisis dengan
kromatografi cair/tandem spektrometri massa (LC-MSn) menggunakan Sistem
HPLC (Shimadzu LC20A) dihubungkan dengan ion perangkap spektrometer
massa (Esquire 6000, Bruker Daltonics, Billerica, MA, USA) yang dilengkapi
dengan sumber electrospray. Pemisahan dan kuantisasi SPXs dilakukan
menurut modifikasi dari metode Ciminiello et al. (2006) menggunakan kolom
Lichrosphere C8 (3 μm, 4.6 mmx150 mm). Laju aliran adalah 0,5 ml min-1.
Gradien A elusi, 35-80% B di 3 menit diikuti dengan 80% B selama 43 menit.
Eluen A adalah solusi dari 2 mM amonium format dan 50 mM asam format
dalam air, sementara eluen B adalah solusi dari asetonitril: eluen A (95: 5, v /
v). Spektrum produk ion diperoleh dalam modus ion positif dengan sumber
dan analisa parameter dioptimalkan untuk molekul terprotonasi menggunakan
infus (180 ml h-1) dari 13-desmethyl spirolide-C (13-desMe-C) standar.
Analisis dilakukan dengan menggunakan nitrogen sebagai nebulizing (30 psi)
dan pengeringan gas (10 L min-1, 300oC). Tegangan tinggi kapiler ditetapkan
untuk 4500 lebar Isolasi V sebesar 2,0 Da dan tabrakan energi 30% digunakan
7
untuk ion produk akuisisi spektrum. Studi fragmentasi digunakan untuk
mengkonfirmasi identitas siklik imina. Hilangnya karakteristik molekul air dan
kehadiran ion pada m / z = 164 digunakan sebagai indikator dari identitas
siklik imina. Standar 13-desMe-C digunakan untuk melakukan kuantifikasi
SPXs. Faktor respon molar relatif untuk spirolides lainnya diasumsikan sama.
e. Analisis Toksin (Hakanen et al 2012)
Sampel disaring pada filter Whatman GF / F, diekstraksi dengan asam asetat
0,5 M dan disonikasi (Vibra Sel TM, Sonic dan Bahan Inc, Danbury, CT)
pada 0oC. Ekstrak disaring melalui GF / filter F dan disimpan pada -20oC
sebelum analisis. Ekstrak toksin diuapkan sampai kering dengan
menggunakan vakum sentrifugal evaporator (Centrivap, Labconco, Co) dan
residu dilarutkan kembali dalam 200 mL pelarut ekstraksi yang sama. Ekstrak
yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan pasca-kolom metode
derivatisasi HPLC dikembangkan oleh Oshima 1995. Aliquot dari sampel
solusi secara otomatis disuntikkan ke dalam tekanan tinggi sistem HPLC
gradien (Shimadzu LC 10 A), ditambah dengan pompa reaksi untuk
memberikan oksidasi dan reagen asam yang baik. Sebuah Deteksi puncak
dilakukan menggunakan spektrofluorometer FR-10Axl (Shimadzu). Racun
diidentifikasi oleh perbandingan waktu retensi dan fluoresensi emisi maxima,
dengan hilangnya puncak dengan menghilangkan oksidasi pasca-kolom, dan
dengan percobaan spiking. Nilai konten Toxin dinyatakan sebagai molar
konsentrasi per sel dan toksisitas nilai-nilai.
8
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Jenis toksin pada Mikroalga
Mikroalga merupakan organisme uniseluler yang digolongkan dalam
beberapa kelompok yakni diatom (Bacillariophyceae), alga hijau
(Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae), dan alga hijau biru
(Cyanophyceae). Cyanophyceae atau sering dikenal Cyanobacteria merupakan
prokariota yang dapat memproduksi beragam neurotoksin yang berbahaya bagi
kesehatan manusia dan telah diklasifikasikan di antara spesies HAB (Barrington
dan Ghadouani 2008). Akan tetapi, kelompok mikroalga yang banyak
menghasilkan toksin adalah kelompok diatom (Bacillariophyceae) diantaranya
adalah dinnoflagellata. Kelas Dinophyceae (Dinoflagellates) ada lima kelompok
yang diidentifikasi yakni Peridiniales, Prorocentrales, Dinophysiales,
Gymnodiniales, dan Noctilucales. Peridiniales terdiri dari enam spesies dari genus
Alexandrium dan salah satu genus Gambierdiscus. Genus Alexandrium yang
berbahaya diantaranya yang terkenal adalah A. catenella merupakan produsen c1-
c4 racun, Saxitoxins dan Gonyautoxins (Faust et al. 2002; Krock et al. 2007). A.
tamarense, A. minutum dan A. taylori menghasilkan Gonyautoxins (Frangopoulos
et al. 2005; Lim et al. 2005) dan A. ostenfeldii yang banyak menghasilkan
Spirolide (Gasto´ et al 2014).
Gambierdiscus sp. juga diketahui menjadi racun yang memproduksi
ciguatoksin dan maitotoksin. Keluarga ostreophidaceae, Coolia monotis
menghasilkan cooliatoxin, analog dari yessotoxin. Keluarga heterocapsaceae,
Heterocapsa circularisquama menghasilkan racun hemolitik photosensitizing H2-
a, H3-a. Keluarga Ostreopsidaceae, kedua spesies beracun dari genus Ostreopsis
yakni O. Ovata diduga memproduksi palytoxin dan senyawa ovatoxin, dan O.
siamensis, diduga juga memproduksi palytoxin (Rhodes et al. 2002; Aligizaki et
al. 2008; Guerrini et al. 2009). Keluarga Gonyaulacaceae, Reticulatum
Protoceratium adalah spesies yang dikenal sebagai produsen yessotoxin.
Toksisitas juga diketahui dan Protoperidinium crassipes, memproduksi racun
Azaspiracid. Tabel 1 menyajikan daftar spesies yang memiliki sifat beracun dan
9
daerah terjadinya mereka diberikan dalam literatur (Ignatiades dan Gotsis-Skretas
2010).
Tabel 1 Spesies toksik (TX), potensial toksik (PT), dan biomassa tinggi (HB) pada
perairan pesisir Yunani. Kolom abu menunjukkan spesies yang dapat
mengakibatkan kejadian/epidemi beracun.
10
11
b. Morfologi Alexandrium ostenfeldii
Alexandrium ostenfeldii merupakan anggota plankton dinoflagellata.
Umumnya, Alexandrium ostenfeldii adalah spesies pesisir air dingin yang
ditemukan dalam jumlah rendah terutama di sepanjang pantai barat Eropa.
Alexandrium ostenfeldii termasuk spesies khas, yang memiliki sel yang besar
12
dan hampir bulat (Gambar 2). Sel tunggal, tetapi sering ditemukan pada koloni.
Epitheca dan hypotheca sama tinggi. Spesies ini memiliki piring teka yang tipis
dan pori ventral besar karakteristik di piring apikal. Pori-pori kecil banyak
terdapat di permukaan dan merata. Sel berbagai ukuran antara panjang 40-56
μm dan lebar 40-50 μm. Kompleks pori apikal (APC) adalah bentuk segitiga
atau persegi panjang. Pelat pori apikal (Po) relatif besar dengan besar foramen
berbentuk koma. Piring paling khas dari spesies ini adalah 1 'piring: a) beruang
pori ventral karakteristik besar; dan b) sudut 90 derajat terbentuk pada titik di
mana pori ventral dan piring 4 'bersentuhan. Luas epitheca cembung-kerucut,
sedangkan hypotheca adalah setengah bola dengan antapex miring diratakan.
Cingulum sedikit digali adalah khatulistiwa dan pengungsi secara turun kurang
dari satu kali lebar.
Alexandrium ostenfeldii adalah spesies fotosintesis dengan memancarkan
kloroplas. Nukleus berbentuk U dan memiliki garis tengah. Reproduksi A.
ostenfeldii terjadi secara aseksual dengan pembelahan biner. Spesies ini juga
memiliki siklus seksual dengan jenis kawin isogamous, dan pembentukan
planozygote (Jensen & Moestrup 1997). A. ostenfeldii merupakan spesies
dinoflagellata plankton muara yang ditemukan dalam jumlah rendah, terutama
di sepanjang pantai barat Eropa, dan beberapa waktu terakhir di sepanjang
pantai tenggara dari Nova Scotia, Kanada (Cembella et al. 2000). A. ostenfeldii
mampu menghasilkan racun kerang paralitik (PSP) dan merupakan yang paling
beracun dari semua spesies Alexandrium yang diuji untuk PSP racun (Cembella
et al 1987; 1988). Studi dari budidaya kerang dari Nova Scotia, Kanada,
mengungkapkan adanya spirilides, neurotoksin, terutama yang dihasilkan oleh
strain A. ostenfeldii atlantik barat (Cembella et al. 2000). Hansen et al. (1992)
melakukan penelitian dengan Ciliata tintinnid yang terkena konsentrasi tinggi
A. Ostenfeldii, hasilnya ada perilaku berenang menentu (mundur) lalu diikuti
dengan pembengkakan dan lisis dari ciliates.
Alexandrium ostenfeldii lebih mudah diidentifikasi dibandingkan dengan
spesies Alexandrium lainnya. A. ostenfeldii memiliki pori ventral yang jauh
lebih besar di piring apikal pertama 1', dan 6'' piring lebih lebar dari yang
tinggi, sedangkan lebar dan tinggi dari 6'' piring di A. tamarense adalah sama
13
(Balech 1995; Hansen et al. 1992.). Spesies ini juga mirip dengan spesies
Alexandrium yang lain seperti A. Peruvianum. Kedua spesies adalah sel besar
dengan khas pori-pori ventral besar di piring 1'; Namun, perbedaan morfologi
yang jelas dalam piring 1' dan APC. Selain itu, A. ostenfeldii adalah sel yang
lebih besar dan menghasilkan racun PSP (Balech 1995; Steidinger & Tangen
1996; Taylor et al. 1995).
Gambar 2 Morfologi dari mikroalga Alexandrium ostenfeldii
c. Toksin Spirolide pada Alexandrium ostenfeldii
Fitoplankton berupa dinoflagellata merupakan organisme yang banyak
hidup pada lingkungan perairan laut. Dinoflagellata memiliki kemampuan
membelah atau berkembang biak yang tinggi dan bergantung pada kondisi
lingkungan yakni perairan, terutama jika banyak mengandung nitrogen dan
karbon. Hal ini dikarenakan dinoflagellata termasuk spesies heterotrofik
(Gribble et al. 2005). Kemampuan berkembang biak yang tinggi dari
dinoflagellata menyebabkan organisme ini sangat sering mengalami blooming
ketika lingkungan perairan mengandung banyak nutrisi. A. ostenfeldii
merupakan salah satu jenis dinoflagellata yang sangat cepat mengalami
pertumbuhan dan blooming.
Blooming spesies Alexandrium biasanya ditemukan dalam waktu yang
relatif pendek (Wyatt dan Jenkinson 1997). Pertumbuhan yang cepat dari
spesies A. ostenfeldii juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yakni adanya
partikel nutrisi organik terlarut yang banyak terdapat pada lingkungan perairan
sehingga menyebabkan pertumbuhan macrophytes dan biomassa fitoplankton
14
yang tinggi. Selain memiiki kemampuan untuk bertumbuh yang tinggi, A.
ostenfeldii juga mampu menghasilkan zat beracun, misalnya kelompok racun
spirolide. Gambar sampel A. ostenfeldii dan jenis Spirolide dapat dilihat pada
Gambar 3 dan Gambar 4.
Spirolide merupakan toksin yang banyak dihasilkan oleh dinoflagellata laut
yang beracun seperti A. ostenfeldii dan mampu memproduksi biotoksin laut
yang berbeda, tergantung dari habitatnya (Kremp et al. 2014). Spirolides
dikenal sebagai racun yang memiliki efek yang cepat dalam bioassay
tradisional, serta dapat menyebabkan kematian yang cepat pada tikus setelah
diinjeksi (Cembella et al. 2000; Richard et al. 2001). Hal tersebut
membuktikan bahwa tingkat toksisitas spirolide sangatlah tinggi.
Gambar 3 Spesimen A. ostenfeldii kompleks pada sampel dari Beagle Channel
Calcofluor stained cells dilihat dengan epifluoroscen (A-C) dengan ukuran
berbeda; (D dan E) morfologi dari Plates’ (dengan pori ventral) dan (F) detail
15
dari cingulum dan sulcal plates; (G) Ephiteca menunjukkan hubungan antara
apival pore plate (Po) dan 1’; (H) penampakan apical menunjukkan detail dari
apical pore plate (Po); (I) penampakan antapical menunjukkan sulcal
posterior
Penelitian yang dilakukan oleh Gasto´ et al (2014) yang menganalisis racun
dari A. ostenfeldii menunjukkan hasil analisis HPLC-MS terlihat jumlah
terdeteksi spirolides pada kultur A. ostenfeldii. Hasil kromatografi
menunjukkan jenis senyawa yang diindentifikasikan diantaranya 13- desmethyl
spirolide C (13-desMe-C), 20-metil spirolide G (20-Me-G). Konsentrasi total
spirolide selama fase pertumbuhan eksponensial adalah 0,74 pg sel-1, dimana
0,5906x0,0032 sel pg-1 berkorespondensi 13-desMe-C dan 0,1577x0,0023 sel
pg-1 sampai 20-Me-G.
Gambar 4 Penampakan SEM dari specimen A. ostenfeldii complex pada kultur sel
terisolasi dari Beagle Channel. (A) Semua theca pada penampakan ventral;
(B) detail dari apical pore plate; (C) detail Plate’; (D) detail sulcal plates; (E)
semua theca pada dorsal view
Analisis toksin spirolide yang dilakukan oleh MacKinnon et al. (2006)
dengan menggunakan LC metodologi/MS, spirolides terdeteksi dari A.
ostenfeldii. Pemeriksaan profil LC / MS dari ekstrak terlihat adanya dua
puncak dominan yang mewakili dua komponen spirolide yang sebelumnya tak
dikenal dan satu puncak kecil diidentifikasi sebagai yang desmethyl spirolide,
spirolides, 13,19-didesmethylspirolide C dan spirolide G. Sementara 2
16
ditemukan yaitu spirolide pertama yang diisolasi yang berisi 5: 6: sistem cincin
6-trispiroketal. Rumus molekul 2 dan 3 yang ditemukan oleh HRMS menjadi
C41H59NO7 ([M + H] + m / z 678,4375, kalk 678,4370) dan C42H61- No7 ([M +
H] + m / z 692,4564, kalk 692,4526). Gambar struktur dapat dilihat pada
Gambar 5 dan 6.
Gambar 5 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada A. ostenfeldii
dan sampel kerrang, peak number (), waktu retensi (RT) dan data MS/MS
17
Gambar 6 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada A. ostenfeldii
dan sampel kerrang, peak number (), waktu retensi (RT) dan data MS/MS
Dinoflagellata A. ostenfeldii juga merupakan spesies alga berbahaya
terkenal yang berpotensi menyebabkan keracunan lumpuh kerang (PSP).
Biasanya A. ostenfeldii terjadi dalam konsentrasi rendah. Blooming A.
ostenfeldii sangat banyak memproduksi saxitoxins dan spirolides, dan
bertanggung jawab atas kematian anjing dengan kandungan saxitoxin tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Hakanen et al. (2012) mengemukakan bahwa
racun PSP dalam fraksi plankton hanya terdeteksi dari stasiun di mana sel-sel
A. ostenfeldii hadir. GTX2 dan GTX3 bersama dengan STX adalah racun PSP
yang ditemukan dalam sampel. Jumlah konsentrasi racun seluler PSP
bervariasi antara 0,003 dan 0,1 mg L-1 dan berkorelasi secara signifikan
dengan kelimpahan sel A. Ostenfeldii. Adanya racun PSP yang dihasilkan oleh
A. ostenfeldii di perairan mungkin memiliki konsekuensi untuk terjadi
akumulasi racun pada organisme lain seperti plankton dan bentos serta dapat
ditransfer dalam jaring makanan. Bahkan, analisis awal dari bivalvia
dikumpulkan dari situs blooming mengungkapkan konsentrasi racun PSP
melebihi tingkat regulasi (Seta LA et al., unpublished data).
Gambar 7 Struktur parsial (a – d) pada 13,19-didesmetilspirolida C (2) dan spirolida G
(3), menunjukkan korelasi COSY (panah kurva) dan garis tebal
18
merepresentasikan 1H-1H spin system teridentifikasi dari spectra TOCSY dan
COSY
Pengujian spirolides juga dapat menggunakan analisis FTIR. Hasil FTIR
mendukung kehadiran kelompok-kelompok hidroksil (3470 cm-1), diantaranya
CdO dan atau kelompok CDN (1684 cm-1), dan cincin ç-lakton (1746 cm-1)
yang ada dalam struktur parsial, yang dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar
8.
Gambar 8 Skema fragmentasi MS untuk spirolida G (3)
Pengujian spirolides umumnya menggunakan LC-MS karena sebagian besar
spirolides dilaporkan banyak diperoleh dalam jumlah kecil untuk penyelidikan
NMR. Oleh karena itu, hanya dapat diselidiki melalui analisis LC-MS.
Spektrum produk ion direkam pada triple-quadrupole MS dengan memilih ion
yang paling berlimpah (m / z 692, 708, 710, 734, 750, dan 764) sebagai
prekursor ion.
19
Gambar 9 Spektra MS/MS dari minor spirolida A. ostenfeldii.
Analisis pola fragmentasi untuk setiap komponen menyarankan bahwa
sangat berpotensi spirolides baru. Terutama, senyawa dengan ion terprotonasi
pada m / z 692,5 (tR 9.33 min).
Secara khusus, kuantifikasi setiap spirolide dilakukan dengan mengukur
daerah-terisolasi dengan baik proton olefin di C-3. 27-Hydroxy-13,19-
didesmethylspirolide C. Data 1H NMR menurut hasil penelitian Ciminiello et
al. (2007) dilaporkan dalam Tabel 2. HR-ESIMS (modus positif) m / z
694,43179, calcd untuk C41H59NO8 [M + H] + 694,43189. Tingkat
20
kemurnian 8 (> 90%) dievaluasi atas dasar baik HPLC dan analisis NMR.
Gambar struktur dapat dilihat pada Gambar 10
Gambar 10 Spektra FTIR dari beberapa struktur spirolida
Hasil MS/MS spectrum serta struktur planar dari pengujian toksin spirolides yang
dilakukan oleh Ciminiello et al. (2007) dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13
Gambar 11 Spektra MS/MS (a) dan spektrum 1H-NMR (b) dari 27-hidroksil-
13,190didesmetilspirolida C (8). Tanda * mengindikasikan impuritas
21
Gambar 12 Garis tebal merepresentasikan four spin system yang terdeteksi pada 27-
hidroksi-13,19-didesmetilspirolida
Gambar 13 Korelasi omponen COSY and HSQC-TOCSY terseleksi
Gambar 14 Struktur planar 27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida
22
Gambar 15 Struktur planar dari dua spirolida terkini 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-
SPX C (10) dan 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D (11)
Gambar 16 Planar structures of the two novel spirolides 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-
SPX C (10) and 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D (11)
Spesies lainnya dari genus Alexandrium juga menghasilkan racun yang
berbahaya seperti spesies A. peruvianum yang mampu menghasilkan saxitoxin,
yang bertindak cepat seperti racun spiroimine. Enam bentuk saxitoxin (STX,
B1, GTX2, GTX3, C1, C2) yang dihasilkan A. Peruvianum. Saxitoxin ini
memiliki struktur yang berbeda dengan A. Peruvianum / A. ostenfeldii (Tomas
et al., 2012). Profil saxitoxin A. Peruvianum berbeda, dimana tidak ada bukti
saxitoxins N-1-hidroksi, atau bukti Neo, B2, GTX1, GTX4 dan C3 atau C4.
Selain itu juga dihasilkan racun kerang paralitik (PSP) tradisional terkait
dengan blooming Alexandrium di perairan, dimana spiroimines 12-
dethylgymnodimine dan 13-desmethylspirolide C terdeteksi. Spirolides
pertama kali ditemukan pada ekstrak dari kerang yang dikumpulkan dari lepas
23
pantai Nova Scotia, yang terbukti diproduksi oleh A. ostenfeldii (Cembella et
al. 2000; Hu et al. 2001). Senyawa ini merupakan racun yang menyebabkan
kejang, gangguan pernapasan, dan kematian dalam beberapa menit dari
intraperitoneal injeksi dalam uji tikus tradisional (Richard et al. 2001; Christian
et al. 2008). Dinoflagellata spirolides sangat dikenal terutama pada kelompok-
kelompok metil vicinal di cincin tujuh anggota seperti spirolide C (13-
desmethyl spirolide C) yang terdeteksi pada A. Peruvianum, dan tahan
terhadap hidrolisis asam dan enzimatik (Christian et al. 2008), oleh karena itu
dapat bertahan dan dapat terakumulasi dalam kerang. A. Peruvianum yang
beracun mengandung saxitoxin dan racun spiroimine dan diidentifikasi baru-
baru ini dari perairan pesisir North Carolina (van Wagoner et al. 2011; Tomas
et al. 2012).
Gambar 17 Struktur fragmen karakteristik dalam CID-spektra senyawa 10; situs
fragmentasi ditandai dengan garis putus-putus; struktur yang dihasilkan
ditunjukkan oleh panah dengan warna yang sama
24
Gambar 18 Tampilan tumpukan rantai polketida yang baru lahir yang diusulkan untuk
spirolida dan gimnodimin; bagian dengan kemiripan tinggi terpojok merah;
cincin D GYM dipojokkan dalam warna hitam; perbedaan antara rantai
polyketide yang baru lahir dari spirolide dipojokkan dalam warna biru
muda dan asal-usul untuk cincin D, E dan F dipojokkan dalam warna ungu.
Rantai polyketide baru lahir yang diusulkan dari 13-Desmethyl spirolide C
ditunjukkan di bagian bawah dengan asal biologis berwarna inti.
25
d. Aplikasi Penggunaan Toksin Alexandrium ostenfeldii
Toksin merupakan salah satu bentuk pertahanan yang dilakukan oleh suatu
organisme. Pada umumnya toksin dihasilkan untuk melindungi organisme
tertentu dari predator alaminya. Akan tetapi, toksin tersebut tidak bersifat
berbahaya terhadap organisme yang menghasilkannya. Salah satu aplikasi
komersial dari toksin yang berasal dari mikroalga adalah pada bidang farmasi,
seperti antibiotik dan aktivitas biologi lainnya (Borowitzka 1992). Aplikasi
penggunaan toksin mikroalga diantaranya sebagai berikut:
1. Anestesi klinis toksin PSP
PSP atau juga dikenal sebagai STX adalah neurotoksin alami yang
diproduksi oleh spesies tertentu seperti dinoflagellata laut (Alexandrium sp.,
Gymnodinium sp., Pyrodinium sp.) serta cyanobacteria (Anabaena sp.,
Beberapa Aphanizomenon spp., Cylindrospermopsis sp., Lyngbya sp.,
Planktothrix sp.) (Lagos dan Andrinolo 2000). Beberapa mekar air tawar
membentuk cyanobacterialgenera termasuk Anabaena, Aphanizomenon,
Oscillatoriaand, dan Cylindrospermum yang menghasilkan neurotoxin,
anatoxin-a, dan alkaloid dengan toksisitas yang tinggi untuk hewan (Mitrovic
et al. 2004).
Toksin PSP terbagi atas dua kelompok guanidin, dengan pKa dari 8.22 dan
11.28, menghasilkan muatan positif pada pH netral (Lagos dan Andrinolo
2000). Gugus amonium kuaterner dalam struktur kimianya memberikan
polaritas tinggi, sehingga racun PSP tidak dapat melewati barrier darah ke otak
(Lagos dan Andrinolo 2000). Akibatnya, efek utama fisiologis toksin ini terkait
dengan aksi pemblokiran di tingkat aksonal yang menghambat kedua saraf
impuls propagasi dan transmisi saraf pada sambungan neuromuskuler. Oleh
karena itu, ketika toksin tersebut diterapkan secara lokal, dua kegiatan yang
diwujudkan secara simultan: (i) kontrol nyeri (aktivitas anestesi) dan (ii)
kontrol hiperaktif otot (efek relaksasi). Kedua efek tersebut telah dimanfaatkan
dalam aplikasi klinis sebagai anesthesi.
26
Tabel 2 Penggunaan racun PSP sebagai anestesi klinis
PSP dari Alexandrium sp. berupa neurotoksin dapat diaplikasikan sebagai
agen anestesi, dimana dalam dosis kecil dapat menghambat jalannya
rangsangan pada system saraf. Analgetik dari neurotoxin ini tidak dapat
menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi hanya meringankan rasa nyeri.
Anestesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran, dan menghilangkan nyeri
dari bagian tubuh tertentu tetapi pemakainya tetap sadar (Rodriguez-Navarro et
al. 2006). Secara umum cara kerja obat bius adalah menekan kerja sistem saraf
pusat sehingga kerjanya melambat terutama dalam hal menerima rangsang dan
melakukan metabolisme. Selain itu obat bius juga dapat menghentikan impuls
saraf-saraf yang ada di area sekitar bagian yang diinjeksi sehingga tidak
mengirimkan impuls nyeri ke otak.
2. Stimulan kortisol untuk Anti-Inflamasi dan Antihipertensi
Saxitoxin adalah neurotoksin alami yang diproduksi oleh spesies tertentu
seperti dinoflagellata laut, diantaranya Alexandrium sp., Gymnodinium sp., dan
Pyrodinium sp. Saxitoxin juga memberi efek pada hormon kortisol, yaitu
sinergis (Helena et al. 2011). Dalam dunia kedokteran, rematik biasa
disembuhkan dengan obat anti peradangan yaitu kortisol yang mempunyai efek
samping negatif. Tetapi dengan sengatan racun saxitoxin, tubuh kita dirangsang
untuk memproduksi kortisol sendiri sehingga aman. Ketika tubuh melepas
adrenalin ke dalam sistem, tubuh juga melepas hormon yang disebut kortisol.
27
Kadar kortisol yang tinggi dan berkepanjangan dapat menyebabkan kadar gula
darah dan insulin meningkat dan tetap bertahan pada tingkat tinggi sehingga
mampu menekan proses radang di dalam tubuh.
Racun saxitoxin dominan adalah peptida siklik yang memberikan efek
sistemik seperti anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, anti-piretik, dan
merangsang permeabilitas pembuluh darah. Mekanisme reaksi racun ini di
dalam tubuh secara tidak langsung melalui sistem hormon dan secara langsung
pada sistem kardiovaskular. Efek penyembuhan tidak langsung dari racun
lebah disebabkan oleh rangsangan fungsi kelenjar adrenal melalui hipofisis.
Dengan demikian proses ini lebih banyak menstimulasi hormon adrenalin yang
dihasilkan ke dalam darah seperti kortison dan hidrokortison. Hormon-hormon
ini memberi efek penyembuhan, dan meningkatkan penolakan tubuh terhadap
berbagai faktor yang tidak menguntungkan. Walaupun penyembuhan dengan
racun saxitoxin tidak selalu dihubungkan dengan stimulasi kelenjar adrenal
saja. Racun saxitoxin melebarkan pembuluh darah maka tekanan darah
menurun. Racun ini sangat efektif terhadap hipertensi, mengurangi
coagulability darah, dan meningkatkan kadar hemoglobin.
3. Racun sebagai Antibakteri
Racun adalah salah satu bentuk metabolit sekunder yang pada umumnya
bekerja berlawanan dengan produk natural lain. Racun cenderung
mempengaruhi kerja metabolit sekunder organisme lain yang terpapar olehnya.
Oleh karena itu, racun dianggap sebagai agen phylogenetic penting.
Peningkatan konversi racun ke dalam bentuk senyawa antibakteri yang
potensial untuk diteliti (Tabel 3).
28
Tabel 3 Biologically active micoalgal extract
Sumber: Ozturk et al. (2006)
Bioassay Ozturk et al. (2006) mengungkapkan bahwa screening strain yang
menghasilkan toxin lebih banyak ketika membandingkan diameter zona
hambatan mereka. Ekstrak Oscillatoria sp. strain H2 menampilkan efek
antibakteri terhadap semua bakteri uji, sedangkan ekstrak Scenedesmus sp.
strain S2 memiliki efek antimikroba yang lebih tinggi pada B. cereus RSKK
863. Oleh karena itu, bioassay berikut dilakukan dengan dua strain ini ke
Arthemia salina (Tabel 4).
Tabel 4 Tingkat kematian Artemia salina Leach pada 24 jam dengan perlakuan berbagai
konsentrasi dari ekstrak yang diperoleh dari spirolida
29
Mekanisme kerja racun sebagai antibakteri yaitu dengan penghambatan
peptidoglikan. Racun melumpuhkan reseptor sel bakteri sehingga enzim
transpeptida tidak bekerja. Terhambatnya reaksi transpeptidase dan sintesis
peptidoglikan terhambat mengakibatkan autolisis pada dinding sel bakteri.
Racun dari mikroalga yang berdampak antibakteri antara lain sefalosporin,
vankomisin, basitrasin, sikloserin, dan ampisilin.
Selain itu literatur terbaru melaporkan bahwa racun antibakteri aktif dapat
terbentuk dari peptida siklik antara lain kawaguchi peptide A dan B dari
Microcystis aeruginosa (Ishida et al. 1997), anti HIV dari cyanovirin protein
yang dihasilkan Nostoc ellipsosporum (Gustafon et al. 1997), diterpenes dari
Nostoc commune (Jaki et al. 2000), dan ekstrak racun dari mikroalga terhadap
HIV dan virus herpes simpleks (HSV) telah dilaporkan (Schaeffer 2000), oleh
karena itu racun spirolides dari Alexander ostenfeldii sangat berpotensi sebagai
antimikroba.
4. Aplikasi toksin gtx 2/3 psp pada injeksi fisura anus
Secara umum, masing-masing dosis racun diuji dengan larutan steril dari
100 unit GTX2 / 3 epimer dalam 1,0 ml total volume 0,9% NaCl, tanpa bahan
pengawet. Satu unit GTX2 / 3 adalah jumlah toksin yang diperlukan untuk
memblokir kontraksi neuromuskular kaki tikus bisep selama 1,5 sampai 20
jam, dan sesuai dengan 0,2 mikrogram GTX2/3 epimer di mouse dari 20
miligram. Uji klinis pertama yang dilakukan dengan mempelajari pengaruh
GTX2 / 3 pada nada dubur orang dewasa yang sehat, lalu efek relaksasi diamati
pada semua panelis. Selain itu, rekaman manometrik menunjukkan penurunan
yang signifikan dalam tekanan maksimal anal berkontraksi secara langsung
setelah infiltrasi racun. Electromyografi pasca injeksi menunjukkan bahwa
aktivitas otot selesai hampir sehari setelah injeksi (Garrido et al. 2004). Tidak
ada peserta melaporkan setiap kejadian buruk atau efek samping negatif selama
atau setelah infiltrasi.
Tes laboratorium klinis dilakukan sebelum dan sesudah infiltrasi tidak
menunjukkan perubahan yang signifikan, temuan penting adalah bahwa baik
flatus atau feses inkontinensia adalah refleks penghambatan terhadap ano-
kortikal dan ano-rektal fungsional dalam semua pasien, menunjukkan bahwa
30
infiltrasi diblokir oleh otot hiperaktif, tetapi meninggalkan kekuatan yang
cukup untuk fungsi fisiologis (Garrido et al. 2004). Studi ini menunjukkan
bahwa injeksi intramuskular lokal GTX2 / 3 epimer ke sfingter anal internal
yang diproduksi langsung oleh relaksasi sfingter, terjadi penurunan tekanan
yang dihasilkan oleh kontraksi lurik. Oleh karena itu, efektivitas dan keamanan
injeksi racun PSP pada manusia digunakan untuk tujuan terapeutik. Setelah itu,
racun siap diuji sebagai obat untuk fisura anus pada pasien. Secara teoritis,
pengujian ini menggambarkan kemungkinan sementara imobilisasi
harmacological sfingter anal yang akan menghilangkan kejang sfingter, dan
menyebabkan penyembuhan luka.
Hal ini adalah langkah penting untuk mengobati dan menyembuhkan fisura
anal, melanggar lingkaran setan fisura kronis anal: fisura, peradangan-nyeri
dan kejang sfingter. Dua fase II uji klinis untuk fisura anus akut dan kronis
telah dilakukan. Sidang pertama melibatkan sebanyak 50 pasien (Garrido et al.
2005) dan yang kedua sebanyak 23 pasien (Garrido et al. 2007). Satu-satunya
perbedaan antara percobaan adalah frekuensi suntikan. Selama sidang pertama,
infiltrasi diulang setelah 7 hari, dan selama sidang kedua infiltrasi diulang
setelah 4 hari. Dalam kedua uji coba, orang dewasa antara 18 dan 70 tahun,
didiagnosis dengan gejala anal fissures yang terdaftar. Pasien yang direkrut
menerima pemeriksaan klinis, termasuk evaluasi digital, spektroskopi, dan
kuesioner untuk mengevaluasi gejala.
e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Toxin Spirolides pada
Alexandrium sp.
Faktor yang mempengaruhi blooming mikroalga dan produksi yaitu
termasuk suhu permukaan laut yang hangat, salinitas rendah, kandungan gizi
yang tinggi, dan laut yang tenang. Selain itu, fitoplankton tersebut dapat
menyebar dengan jauh oleh angin, arus, dan badai. Badai ini mengubah sistem
pergerakan air laut yang mengakibatkan bertumpuknya plankton di lautan
tertentu. Plankton merupakan makanan ikan, tetapi kalau plankton berjumlah
sangat banyak, maka banyak plankton yang tidak termakan oleh ikan dan
akhirnya membusuk di dasar laut. Plankton yang membusuk ini menghasilkan
plankton baru bersifat toksin yang disebut dinoflagellata. Pada kondisi tertentu
31
plankton busuk tersebut meledak ke permukaan laut. Plankton-plakton tersebut
mengeluarkan toksin berwarna kuning keemasan, merah keemasan, atau hijau
kekuningan sehingga setiap binatang laut yang memakan atau melewati red
tides ini akan mati. Blooming mikroalga juga disebabkan oleh ulah manusia.
Limbah buangan atau zat-zat kimia beracun di perairan akan membuat
plankton-plankton membusuk di dasar laut. Fenomena ini tidak sebesar seperti
yang diakibatkan oleh badai. Namun tetap saja akan membuat binatang laut
kehabisan makanan dan mati karena memakan plankton beracun.
Selain berdampak secara ekologi, fenomena blooming juga mengganggu
kesehatan manusia seperti sindrom keracunan akibat memakan ikan mati
karena red tide atau makan kerang yang diambil dari perairan yang mengalami
red tide. Selain itu, bisa terjadi iritasi kulit dan mata karena berenang atau
mandi di perairan yang sedang mengalami red tide. Keracunan akibat
memakan kerang-kerangan paling berbahaya karena hewan tersebut mampu
mengakumulasi racun, sementara kerangnya sendiri tidak terpengaruh. Red tide
atau blooming mikroalga umumnya terjadi antara bulan Agustus-Februari di
pantai dengan perairan hangat seperti Teluk Meksiko. Fenomena laut ini
sendiri tercatat pernah terjadi di pantai Bali, laut sekitar Sulawesi, Kalimantan
Timur, Peru, dan Chili. Fenomena ini terjadi sekitar lima tahun sekali sesuai
dengan siklus badai yang terjadi di laut.
Produksi toksin juga sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan mikroalga.
Pertumbuhan mikroalga disebabkan karena ketersediaan nutrisi yang melimpah
berupa rasio N dan K yang sangat tinggi. Konsentrasi racun yang dihasilkan
mencapai tingkat maksimum dan meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi nitrat (Kremp et al. 2014). Hasil penelitian kami menunjukkan
bahwa GTX1,4 (mol%) meningkat secara eksponensial dengan peningkatan
konsentrasi nitrat di perairan. Total konsentrasi toksin meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen (Kremp et al 2014).
32
PENUTUP
Pertumbuhan mikroalga yang pesat juga menyebabkan bahaya yang disebut
eutrofikasi yang memungkinkan pertumbuhan intensif spesies berbahaya dan
memproduksi racun yang dapat menimbulkan masalah dalam struktur
ekosistem dan kesehatan masyarakat. Dinoflagellata laut genus Alexandrium
adalah genus yang paling berbahaya di dunia, dimana sebagian besar spesies
berbahaya dari genus ini menghasilkan racun saxitoxin yang terkait dengan
paralytic shellfish poisoning (PSP). Spirolides, neurotoksin yang menyebabkan
gejala yang mirip dengan saxitoxin tetapi tidak umum dihasilkan oleh spesies
lain dari genus Alexandrium. Lebih dari 30 spesies Alexandrium terutama A.
ostenfeldii dan A. Peruvianum menghasilkan neurotoksin imina siklik disebut
spirolides (SPXs).
Metode analisis toxin dapat menggunakan metode liquid chromatography–
mass spectrometry (HPLC-MS) dari toksin lipofilik, deteksi puncak dilakukan
menggunakan spektrofluorometer FR-10Axl (Shimadzu). Selain itu juga dapat
menggunakan LC-MS. Faktor yang mempengaruhi blooming mikroalga dan
produksi toksin yaitu termasuk suhu permukaan laut yang hangat, salinitas
rendah, kandungan gizi yang tinggi, dan laut yang tenang. Selain itu,
fitoplankton tersebut dapat menyebar dengan jauh oleh angin, arus, dan badai.
Pada kondisi tertentu plankton busuk tersebut meledak ke permukaan laut.
Plankton-plakton tersebut mengeluarkan toksin berwarna kuning keemasan,
merah keemasan, atau hijau kekuningan. Efek produksi toksin oleh
mikroalga/plankton adalah menyebabkan keracunan akibat memakan ikan mati
karena red tide atau memakan kerang yang diambil dari perairan yang
terkontaminasi. Selain itu, bisa terjadi iritasi pada kulit dan mata karena
berenang atau mandi di perairan yang terkontaminasi. Produksi toksin juga
sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan mikroalga.
33
DAFTAR PUSTAKA
Aligizaki K, Katikou P, Nikolaidis G, Panou A. 2008. First episode of shellfish
contamination by palytoxin-like compounds from Ostreopsis species
(Aegean Sea, Greece). Toxicon, 51:418–427.
Anderson DM, Alpermann TJ, Cembella AD, Collos Y, Masseret E, Montresor
KM. 2012. The globally distributed genus Alexandrium: multifaceted roles
in marine ecosystems and impacts on human health. Harmful Algae,
14:10–35.
Cembella AD, Lewis NI, Quilliam MA. 2000. The marine dinoflagellate
Alexandrium ostenfeldii (Dinophyceae) as the causative organism of
spirolide shellfish toxins. Phycologia, 39:67–74.
Christian B, Below A, Dressler N, Scheibner O, Luckas B, Gerdts G. 2008. Are
spirolides converted in biological systems?—a study. Toxicon, 51:934–
940.
Ciminiello P, Dell’Aversano C, Fattorusso E, Forino M, Grauso L, Tartaglione L,
Guerrini F, Pistocchi R. 2007. Spirolide toxin profile of Adriatic
Alexandrium ostenfeldii cultures and structure elucidation of 27-hydroxy-
13,19-di desmethyl spirolide C. J. Nat. Prod,. 70, 1878–1883
Etheridge SM. 2010. Paralytic shellfish poisoning: sea food safety and human
health perspectives. Toxicon, 56:108–122.
Faust MA, Gulledge RA. 2002. Identifying harmful marine dinoflagellates. Contr.
US Nat. Herb, 42:1–144.
Franco JM, Paz B, Riobo R, Pizarro G, Figueroa RI, Fraga S, Bravo I. 2006. First
report of the production of spirolides by Alexandrium peruvianum.
(Dinophyceae) from the Mediterranean Sea. In: 12th International
Conference on Harmful Algae, Copenhagen, Denmark, September 4–8,
2006 (Programs and Abstracts), p. 174
Frangopoulos M, Guisande C, de Blas E, Maneiro I. 2004. Toxin production and
competitive abilities under phosphorus limitation of Alexandrium species.
Harmful Algae, 3:131–139.
arrido RN, Lagos K, Lattes C, Garcia R, Azolas G, Bocic A, Cuneo H, Chiong,
Jensen A, Henriquez, Fernandez C. 2004. The Gonyautoxin 2/3 epimers
reduces anal tone when injected in the anal sphincter of healthy adults.
Biol. Research, 37:395-403.
Garrido RN. Lagos K, Lattes M, Abedrapo G, Bocic A, Cuneo H, Chiong C,
Jensen R, Azolas A. Henriquez, Garcia C. 2005a. Gonyautoxin: new
treatment for healing acute and Chronic anal fissures. Dis. Colon Rectum,
48:333-343.
Garrido RN. Lagos K, Lattes M, Abedrapo G, Bocic A, Cuneo H, Chiong C,
Jensen R, Azolas A. Henriquez. 2007. Treatment of chronic anal fissure by
Gonyautoxin. Colorectal Dis. 9: 619-624.
Gasto´ N, Almandoz O, Montoya NG, Marcelo P. MP, Benavides HR, Carignan
MO, Ferrario ME. 2014. Toxic strains of the Alexandrium ostenfeldii
complex in southern South America (Beagle Channel, Argentina). Harmful
Algae, 37:100–109
34
Glibert PM, Alexander J, Meritt DW, North EW, Stoecker DK. 2007. Harmful
algae pose additional challenges for oyster restoration: impacts of the
harmful algae Karlodinium veneficum and Prorocentrum minimum on
early life stages of the oysters Crassostrea virginica and Crassostrea
ariakensis. J. Shellfish Res, 26(4):919–925.
Gribble KE, Keafer BA, Quilliam MA, Cembella AD, Kulis DM, Manahan A,
Anderson DM. 2005. Distribution and toxicity of Alexandrium ostenfeldii
(Dinophyceae) in the Gulf of Maine, USA. Deep-Sea Res. 52(19–21)
2745–2763.
Guerrini F, Pezzolesi L, Feller A, Riccardi M, Ciminiello P, Dell’Aversano C,
Tartaglione L, Lacovo ED, Fattorusso E, Forino M, Pistocchi R. 2009.
Comparative growth and toxin profile of cultured Ostreopsis ovata from
the Tyrrhenian and Adriatic Seas. Toxicon, 25(4):256-263
Hakanen P, Suikkanen S, Franze´, Franze´ J, Kankaanpa H, Kremp A. 2012.
Bloom and toxin dynamics of Alexandrium ostenfeldii in a shallow
embayment at the SW coast of Finland, northern Baltic Sea. Harmful
Algae, 15:91–99.
Hansen PJ, Cembella AD, Moestrup Ø. 1992. The marine dinoflagellate
Alexandrium ostenfeldii: paralytic shellfish toxin concentration,
composition, and toxicity to a tintinnid ciliate. Journal of Phycology,
28597–28603.
Heisler J, Glibert PM, Burkholder JM, Anderson DM, Cochlan W, Dennison WC,
Dortch Q, Gobler CJ, Heil CA, Humphries E, Lewitus A, Magnien R,
Marshall HG, Sellner K, Stockwell DA, Stoecker DK, Suddleson M. 2008.
Harmful Algae, 31:125–135134
Hoagland P, Jin D, Polansky LY, Kirkpatrick B, Kirkpatrick G, Fleming LE,
Reich A, Watkins SM, Ullmann SG, Backer LC. 2009. The costs of
respira-tory illnesses arising from Florida Gulf coast Karenia brevis
blooms. Environ. Health Perspect, 117(8):1239–1243.
Hu T, Burton IW, Cembella AD, Curtis JM, Quilliam MA, Walter JA, Wright
JLC. 2001. Characterization of spirolides A, C, and 13-desmethyl C, new
marine toxins isolated from toxic plankton and contaminated shellfish. J.
Nat. Prod, 64(3):308–312.
Hu T, Curtis JM, Walter JA, Wright JLC. 1996. Characterization of biologically
inactive spirolides E and F: identification of the spirolide pharmacophore.
Tetrahedron Lett. 37(43):7671–7674.
Ignatiades L, Gotsis-Skretas O.2012. A Review on Toxic and Harmful Algae in
Greek Coastal Waters (E. Mediterranean Sea). Toxins, 2010 (2):1019-
1037;
Ishida K, Matshuda H, Murakami M, Yamaguchi K. 1997. Kawaguchipeptin B,
an antibacterial cyclic undecapep-tide from the cyanobacterium
Microcystis aeruginosa. Journal of Natural Products, 60:724-726.
Jaki B, Orjala J, Heilmann J, Linden A, Vogler B, Sticher O. 2000. Novel
extracellular diterpenoids with biologi-cal activity from the
cyanobacterium Nostoc commune. Journal of Natural Products, 63:339-
343.
35
Jensen MØ, Moestrup Ø. 1997. Autecology of the toxic dinoflagellate
Alexandrium ostenfeldii: life history and growth at different temperatures
and salinities. Eur. J. Phycol, 32(1):9–18.
Kremp A, Tahvanainen P, Litaker W, Krock B, Suikkanen S, Leaw CP, Tomas C.
2014. Phylogenetic relationships, morphological variation, and toxin
patterns in the Alexandrium ostenfeldii (Dinophyceae) complex:
implications for species boundaries and identities. J. Phycol, 50:81-100.
Krock B, Cembella A. 2007. Mass spectral characterization of undescribed spir-
olides in an isolate of the dinoflagellate Alexandrium ostenfeldii from
Atlantic Canada. Proceedings of the 6th International Conference on
Molluscan Shellfish Safety. pp. 316–321.
Lim PT, Usup G, Leaw CP, Ogata T. 2005. First report of Alexandrium taylori
and Alexandrium peruvianum (Dinophyceae) in Malaysia waters. Harmful
Algae, 4:391–400.
MacKinnon SL, Walter JA, Quilliam MA, Cembella AD, LeBlanc P, Hardstaff
IW, Burton IWR, Lewis NI. 2006. Spirolides isolated from Danish strains
of the toxigenic dinoflagellate Alexandrium ostenfeldii. J. Nat. Prod, 69:
983–987.
Moestrup Ø, Akselman R, Cronberg G, Elbraechter M, Fraga S, Halim Y, Hansen
G, Hoppenrath M, Larsen J, Lundholm N, Nguyen LN, Zingone A. IOC-
UNESCO Taxonomic Reference List of Harmful Micro Algae (HABs).
http://www.marinespecies.org/hab/.
Montoya NG, Fulco KV, Carignan MO, Carreto JI. 2010. Toxin variability in
cultured and natural populations of Alexandrium tamarense from southern
South America – evidences of diversity and environmental regulation.
Toxicon, 56:1408–1418.
Otero P, Alfonso A, Vieytes MR, Cabado AG, Vieites JM, Botana LM. 2010.
Effects of environmental regimens on the toxin profile of Alexandrium
osten-feldii. Environ. Toxicol. Chem., 29(2):301–310.
Öztürk S, Aslim B, Beyatli Y. 2006. biological screening of microalgae isolated
fromdifferent freshwaters of turkey: antimicrobialactivity, viability and
brine shrimp lethality. PSP, 15 (10):1232-1237
Paerl HW, Huisman J. 2008. Blooms like it hot. Science, 320:57–58.
Persich GR. Kulisb DM, Lilly EL, Anderson DM, Garcia VMT. 2006. Probable
origin and toxin profile of Alexandrium tamarense (Lebour) Balech from
south-ern Brazil. Harmful Algae, 5:36–44.
Rhodes L, Towers N, Briggs L, Munday R, Adamson J. 2002. Uptake of
palytoxin-like compounds by shellfish fed Ostreopsis siamensis
(Dinophyceae). N.Z. J. Mar. Freshw. Res, 36:631–636.
Richard D, Arsenault E, Cembella AD, Quilliam M. 2001. Investigations into the
toxicology and pharmacology of spirolides, a novel group of shellfish
toxins. Ninth Interna-tional Conference on Harmful Algal Blooms. IOC of
UNESCO, Hobart, Australia, pp. 383–386.
Rodriguez-Navarro AJ, Lagos N, Lagos N, Braghetto I, Csendes A, Hamilton J,
Figueroa C, Truan D, Garcia C, Rojas A, Iglesias V, Brunet L, Alvarez F.
2007. Neosaxitoxin as a local anesthetic: preliminary observations from a
first human trial. Anesthesioloty 106: 339-345.
36
Rodriguez-Navarro AJ, Lagos M, Figueroa C, Garcia C, Recabal P, Silva P,
Iglesias V, Lagos N. 2009. Potentiation of local anesthetic activity of
Neosaxitoxin with Bupivacaine or Epinephrine: Development of a long-
acting pain blocker. Neurotox. Res, 16:40 415.
Schaeffer DJ, Krylov VS. 2000. Anti-HIV activity ofextracts and compounds
from algae and cyanobacteria. Ecotoxicology and Environmental Safety,
45:208-227
Suikkanen S, Kremp A, Hautala H, Krock B. 2013. Paralytic shellfish toxins or
spirolides? The role of environmental and genetic factors in toxin
production of the Alexandrium ostenfeldii complex. Harmful Algae,
26:52–59.
Takada N, Umemura N, Suenaga K, Uemara D. 2001. Structural determination of
pteriatoxins A, B and C, extremely potent toxins from the bivalve Pteria
penguin. Tetrahedron Lett., 42:3495–3497.
Taylor, F.J.R., Fukuyo, Y., Larsen, J., 1995. Taxonomy of Harmful
Dinoflagellates. Chapter 15 in Manual on Harmful Marine Microalgae.
UNESCO, pp. 283–317.
Tomas CR, York R, Strangman W, Wrigh J. 2012. Toxic Alexandrium
peruvianum (Balech and de Mendiola) Balech and Tangen in Narragansett
Bay, Rhode Island (USA). Harmful Algae, 19:92–100.
van Wagoner RM, Misner I, Tomas CR, Wright JLC. 2011. Occurrence of 12-
methylgymnodimine in a spirolide-producing dinoflagellate Alexandrium
peruvianum and the biogenic implications. Tetrahedron Letters, 52:4243–
4246.
Vershinin AO, Orlova TY. 2008. Toxic and harmful algae in the coastal waters of
Russia. Mar. Biol, 48:524–537.
Wyatt T, Jenkinson IR. 1997. Notes on Alexandrium population dynamics. J.
Plankton Res, 19:551–575.
top related