karakteristik fisikokimia dan potensi aplikasi toksin

42
i KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN SPIROLIDES DARI MIKROALGA Alexandrium ostenfeldii Disusun Oleh: I WAYAN DARYA KARTIKA 19910223 201901 1 3001 FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS UDAYANA BADUNG 2019

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

i

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI

TOKSIN SPIROLIDES DARI MIKROALGA Alexandrium ostenfeldii

Disusun Oleh:

I WAYAN DARYA KARTIKA

19910223 201901 1 3001

FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS UDAYANA

BADUNG

2019

Page 2: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala

anugerah-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Karakteristik Fisikokimia

dan Potensi Aplikasi Toksin Spirolides dari Mikroalga Alexandrium

ostenfeldii ” ini berhasil diselesaikan.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna

dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,

penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya

makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian

apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang

sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya

kepada seluruh staff Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas

Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana sebagai satuan unit kerja penulis.

Penulis mendapatkan banyak referensi, diskusi, dan tentunya koreksi dalam

menyusun makalah karya ilmiah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Penulis

I Wayan Darya Kartika, S.Pi., M.Si.

.

Page 3: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... vi

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

KARAKTERISASI PROFIL TOKSIN SPIROLIDES DARI MIKROALGA ............ 5

a. Program pemantauan fitoplankton (Gasto´ et al. 2014) .......................................... 5

b. Pemeriksaan mikroskopis ....................................................................................... 5

c. Sampling toksin dan kultur A. ostenfeldii ............................................................... 5

d. Analisis Liquid chromatography–mass spectrometry (HPLC-MS) dari toksin

lipofilik (Gasto´ et al. 2014) ................................................................................... 6

e. Analisis Toksin (Hakanen et al 2012) .................................................................... 7

HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................................ 8

a. Jenis toksin pada Mikroalga ................................................................................... 8

b. Morfologi Alexandrium ostenfeldii ...................................................................... 11

c. Aplikasi Penggunaan Toksin Alexandrium ostenfeldii ......................................... 25

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Toxin Spirolides pada

Alexandrium sp..................................................................................................... 30

PENUTUP ...................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 33

Page 4: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Struktur kimia dari spirolides utama dan keterkaitan protonated ions

(m/z) dan transisi Q1>Q3 (m/z > m/z) terlihat pada eksperimen

Selected Ion Monitoring (SIM) dan Multiple Reaction Monitoring

(MRM) terutama ion positif. (Hu et al. 2001) ..................................... 3

Gambar 2 Morfologi dari mikroalga Alexandrium ostenfeldii ........................... 13

Gambar 3 Spesimen Alexandrium ostenfeldii kompleks pada sampel dari Beagle

Channel Calcofluor stained cells dilihat dengan epifluoroscen (A-C)

dengan ukuran berbeda; (D dan E) morfologi dari Plates’ (dengan pori

ventral) dan (F) detail dari cingulum dan sulcal plates; (G) Ephiteca

menunjukkan hubungan antara apival pore plate (Po) dan 1’; (H)

penampakan apical menunjukkan detail dari apical pore plate (Po); (I)

penampakan antapical menunjukkan sulcal posterior ....................... 14

Gambar 4 Penampakan SEM dari specimen Alexandrium ostenfeldii complex

pada kultur sel terisolasi dari Beagle Channel. (A) Semua theca pada

penampakan ventral; (B) detail dari apical pore plate; (C) detail

Plate’; (D) detail sulcal plates; (E) semua theca pada dorsal view ... 15

Gambar 5 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada

Alexandrium ostenfeldii dan sampel kerrang, peak number (), waktu

retensi (RT) dan data MS/MS ............................................................ 16

Gambar 6 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada

Alexandrium ostenfeldii dan sampel kerrang, peak number (), waktu

retensi (RT) dan data MS/MS ............................................................ 17

Gambar 7 Struktur parsial (a – d) pada 13,19-didesmetilspirolida C (2) dan

spirolida G (3), menunjukkan korelasi COSY (panah kurva) dan garis

tebal merepresentasikan 1H-1H spin system teridentifikasi dari spectra

TOCSY dan COSY ............................................................................ 17

Gambar 8 Skema fragmentasi MS untuk spirolida G (3) .................................... 18

Gambar 9 Spektra MS/MS dari minor spirolida A. ostenfeldii. .......................... 19

Gambar 10 Spektra FTIR dari beberapa struktur spirolida ................................. 20

Gambar 11 Spektra MS/MS (a) dan spektrum 1H-NMR (b) dari 27-hidroksil-

13,190didesmetilspirolida C (8). Tanda * mengindikasikan impuritas

........................................................................................................... 20

Gambar 12 Garis tebal merepresentasikan four spin system yang terdeteksi pada

27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida .............................................. 21

Gambar 13 Korelasi omponen COSY and HSQC-TOCSY terseleksi ................ 21

Gambar 14 Struktur planar 27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida .................... 21

Page 5: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

v

Gambar 15 Struktur planar dari dua spirolida terkini 20-Hydroxy-13,19-

didesmethyl-SPX C (10) dan 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D

(11)..................................................................................................... 22

Gambar 16 Planar structures of the two novel spirolides 20-Hydroxy-13,19-

didesmethyl-SPX C (10) and 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D

(11)..................................................................................................... 22

Gambar 17 Struktur fragmen karakteristik dalam CID-spektra senyawa 10; situs

fragmentasi ditandai dengan garis putus-putus; struktur yang

dihasilkan ditunjukkan oleh panah dengan warna yang sama ........... 23

Gambar 17 Tampilan tumpukan rantai polketida yang baru lahir yang diusulkan

untuk spirolida dan gimnodimin; bagian dengan kemiripan tinggi

terpojok merah; cincin D GYM dipojokkan dalam warna hitam;

perbedaan antara rantai polyketide yang baru lahir dari spirolide

dipojokkan dalam warna biru muda dan asal-usul untuk cincin D, E

dan F dipojokkan dalam warna ungu. Rantai polyketide baru lahir

yang diusulkan dari 13-Desmethyl spirolide C ditunjukkan di bagian

bawah dengan asal biologis berwarna inti. ........................................ 24

Page 6: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

vi

DAFTAR GAMBAR

Tabel 1 Spesies toksik (TX), potensial toksik (PT), dan biomassa tinggi (HB)

pada perairan pesisir Yunani. Kolom abu menunjukkan spesies yang dapat

mengakibatkan kejadian/epidemi beracun. ................................................ 9

Tabel 2 Penggunaan racun PSP sebagai anestesi klinis ....................................... 26

Tabel 3 Biologically active micoalgal extract ...................................................... 28

Tabel 4 Tingkat kematian Artemia salina Leach pada 24 jam dengan perlakuan

berbagai konsentrasi dari ekstrak yang diperoleh dari spirolida .............. 28

Page 7: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

1

PENDAHULUAN

Tingkat pengetahuan terhadap keragaman jenis organisme mikroskopis

yakni mikroalga merupakan titik tolak dari sebuah siklus dalam ekosistem

perairan, baik perairan air tawar, laut maupun estuari, karena bersifat sebagai

produsen yang memanfaatkan energi matahari dengan proses fotosintesis atau

dengan kata lain dapat menghasilkan makanan sendiri yang disebut organisme

autotroph. Mikroalga termasuk ke dalam kelompok mikrobia, untuk membedakan

mikroalga dengan mikrobia lainnya, maka harus mengetahui ciri-ciri morfologi

dari mikroalga. Morfologi merupakan salah satu metode identifikasi dan

determinasi untuk setiap kelompok mahkluk hidup. Oleh karena itu, pengamatan

morfologi juga penting dalam bidang mikroalga.

Pengamatan mikroalga pada ekosistem perairan dilakukan dengan

menggunakan filter alat alat penyaring berukuran tertentu. Mikroalga merupakan

tumbuhan thalus yang berklorofi dan mempunyai pigmen tumbuhan yang dapat

menyerap cahaya matahari melalui proses fotosintesis. Hidup di air tawar, payau,

laut, terestrial, epifit, dan epizoic. Mikroalga menyerupai tumbuhan yang

umumnya juga disebut dengan fitoplankton. Mikroalga merupakan tumbuhan

yang paling efisien dalam menangkap dan memanfaatkan energi matahari, serta

menggunakan CO2 untuk keperluan fotosintesis (Kimball 1983).

Mikroalga dominan memberikan konstribusi untuk memproduksi biomassa

dalam sistim perairan. Proses kimia di perairan, khususnya dalam proses

metabolisme perairan mikroalga juga mempunyai peran sebagai pendaur ulang

nutrien. Dilihat dari segi nutrisi, mikroalga merupakan suatu sumber

mikronutrien, vitamin, minyak, dan elemen mikro untuk komunitas perairan.

Sebagian mikroalga ada yang mencemari air dan dapat menurunkan kualitas air.

Hal ini disebabkan karena mikroalga dapat menimbulkan rasa dan bau yang tidak

enak, menurunkan pH, serta menyebabkan kekeruhan (Sunarno 2002).

Mikroalga merupakan kelompok alga berukuran renik (kecil), dengan

ukuran diameter antara 3-30 μm, memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam

menyerap dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk proses fotosintesis.

Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah organisme

akuatik. Kelompok mikroalga dibedakan berdasarkan pigmen yang dikandungnya,

Page 8: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

2

yakni diatom (Bacillariophyceae), ganggang hijau (Chlorophyceae), ganggang

emas (Chrysophyceae), dan ganggang biru (Cyanophyceae). Pada lingkungan

perairan terdapat ratusan jenis mikroalga, namun belum banyak yang

dimanfaatkan. Biomassa mikroalga mengandung bahan-bahan penting yang

sangat bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat.

Mikroalga banyak diaplikasikan dalam bidang pangan, kesehatan, energi,

kosmetik, dan industri non pangan lainnya. Oleh karena itu, biomassa yang besar

dari mikroalga alga sangat diperlukan melalui pertumbuhan mikroalga yang pesat.

Pertumbuhan mikroalga yang pesat juga menyebabkan bahaya yang

disebut eutrofikasi. Eutrofikasi memicu berbagai perubahan fisik dan kimia di

lingkungan laut dan meningkatkan populasi alga yang memungkinkan adanya

pertumbuhan intensif spesies berbahaya dan memproduksi racun yang dapat

menimbulkan masalah dalam struktur ekosistem dan kesehatan masyarakat.

Proses blooming alga secara kolektif disebut Harmful Algal Blooms (HABs)

(Ignatiades dan Gotsis-Skretas 2010). HABs telah menjadi masalah di daerah

pesisir di seluruh dunia (Heisler et al. 2014), dan selalu meningkatkan frekuensi,

keparahan, dan perluasan geografis spesies beracun (Paerl dan Huisman 2008).

Blooming ini bisa menimbulkan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat,

shellfisheries, dan satwa liar lokal (Scholin et al. 2000; Hoagland et al. 2009).

Populasi alga yang beracun banyak ditemukan diantara dinoflagellata dan

beberapa mikroalga lainnya seperti diatom, flagelata, cyanobacteria,

prymnesiophytes, dan rhaphidophytes (Vershinin 2008; Moestrup 2010).

Dinoflagellata laut genus Alexandrium adalah genus yang paling

berbahaya di dunia (Anderson et al. 2012). Sebagian besar spesies berbahaya dari

genus ini menghasilkan racun saxitoxin terkait dengan paralytic shellfish

poisoning (PSP) (Persich et al. 2006; Montoya et al. 2010). Beberapa spesies

Alexandrium seperti A. ostenfeldii juga dapat menghasilkan spirolides, yaitu

neurotoksin yang menyebabkan gejala yang mirip dengan saxitoxin tetapi tidak

umum dihasilkan oleh spesies lain dari genus Alexandrium (Cembella et al. 2000;

Otero et al. 2010). Strain A. ostenfeldii menghasilkan baik saxitoxins atau

spirolides (Suikkanen et al. 2013). Lebih dari 30 spesies Alexandrium terutama A.

ostenfeldii dan A. Peruvianum menghasilkan neurotoksin imina siklik disebut

Page 9: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

3

spirolides (SPXs) (Cembella et al. 2000; Franco et al. 2006). Racun ini bisa

terakumulasi dalam kerang dan organisme filter-feeder lainnya, serta

menyebabkan organisme tersebut bersifat beracun jika dikonsumsi (Glibert et al.

2007; Etheridge 2010).

Gambar 1 Struktur kimia dari spirolides utama dan keterkaitan protonated ions (m/z) dan

transisi Q1>Q3 (m/z > m/z) terlihat pada eksperimen Selected Ion Monitoring

(SIM) dan Multiple Reaction Monitoring (MRM) terutama ion positif (Hu et

al. 2001)

Kelas imina makrosiklik dikenal sebagai spirolides pertama yang

diidentifikasi dalam ekstrak kelenjar pencernaan kerang dari pantai Atlantik Nova

Scotia, Kanada, pada awal 1990s. Hal yang membedakan senyawa ini adalah

adanya sebuah bagian imina siklik, yang telah ditemukan di tempat lain hanya

dalam racun laut dikenal sebagai pinnatoxins, pteriatoxins, spiro-prorocentrimine,

dan gymnodimine (Lu et al. 2000; Takada et al. 2001). Spirolides adalah

kelompok racun laut yang terdeteksi di laut Eropa dan Amerika Utara. Beberapa

bukti menunjukkan bahwa spirolides adalah reseptor antagonis asetilkolin

muskarinik. Secara struktural, spirolides ditandai dengan spirolinked sistem cincin

ester trisiklik dan tujuh membran biasa spiro-linked siklik iminium. Racun milik

kelas ini telah berkembang secara signifikan untuk menyertakan beberapa isomer

dan senyawa dengan struktur yang sedikit dimodifikasi (Gambar 1) (Hu et al.

Page 10: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

4

2001). Enam spirolides utama yang dikenal, yaitu spirolide A, B, C, D, E dan F,

selain derivatif desmethyl tertentu spirolides C (13-desMeC) dan D (13-desMeD).

Perubahan kecil kedalam struktur dapat mengakibatkan perbedaan besar

dalam toksisitas. Bahkan, struktur bagian senyawa bioaktif ini telah diidentifikasi

sebagai imina siklik. Akibatnya, hidrolisis ke dalam kelompok fungsional keto-

amina, seperti di spirolides E dan F, dan menghasilkan metabolisme non-toksik

metabolit dalam kerang (Hu et al. 1996). Spirolides selama ini hanya dikenal

sebagai toksin yang menyebabkan keracunan, namun aplikasi toksin ini belum

banyak dikaji. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji

profil dan aplikasi spirolides yang dihasilkan oleh mikroalga Alexandrium

ostenfeldii.

Page 11: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

5

KARAKTERISASI PROFIL TOKSIN SPIROLIDES DARI

MIKROALGA

a. Program pemantauan fitoplankton (Gasto´ et al. 2014)

Frekuensi sampling yang dilakukan umumnya adalah dua mingguan sepanjang

tahun dan mingguan selama fitoplankton blooming di musim semi. Suhu dan

salinitas air diukur di situ dengan Horiba U-10 sensor multi-parametrik

(Horiba Ltd, Kyoto, Jepang). Air laut sampel diambil pada kedalaman 2 m

menggunakan botol. Sebanyak 250 ml aliquot diawetkan dengan 4% boraks

buffered formalin untuk analisis kuantitatif fitoplankton. Selain itu, kualitatif

sub-permukaan sampel fitoplankton diambil menggunakan jaring 20 mm mesh

dan tetap seperti yang dijelaskan sebelumnya. Semua sampel disimpan di

dalam keadaan gelap pada suhu kamar sampai analisis. Untuk klorofil a (CHL

a) sebanyak 0,5-1 l air laut disaring ke Whatman GF / F filter dan terus beku

sampai analisis.

b. Pemeriksaan mikroskopis

Untuk estimasi kuantitatif, sel dihitung dengan fase kontras Iroscope SI-PH

mikroskop terbalik. Subsamples dari 50 atau 100 ml yang tersisa untuk

menyelesaikan selama 24 atau 48 jam masing-masing dalam komposit

sedimentasi ruang. Identifikasi dinoflagellata digunakan menggunakan piring

teka yang diwarnai dengan Calcofluor menurut Fritz dan Triemer (1985).

Pemindaian lebih lanjut dari pengamatan mikroskop elektron dari sampel yang

dipilih dibuat dengan JEOL JSM-6360 LV (SEM).

c. Sampling toksin dan kultur A. ostenfeldii

Sebanyak 2 l sampel air laut disaring menggunakan filter Whatman GF / F

untuk melakukan analisis kuantitatif toksin dalam plankton. Sampel bersih

tambahan disaring melalui filter Whatman GF / F untuk mendapatkan resolusi

yang lebih tinggi dan kepekaan analisis racun. Sampel kerang (Mytilus edulis)

diambil dari masyarakat pada masing-masing situs sampling. Filter dan kerang

disimpan pada suhu -20oC sampai analisis laboratorium. Sebuah sub-sampel

hidup dari sampel bersih dari Almanza digunakan untuk sel kultur. Isolasi

Page 12: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

6

dilakukan dengan menggunakan Nikon Biophot mikroskop dan mikropipet.

Sel ditumbuhkan di media kultur pada salinitas 30 psu, dengan suhu 11oC.

d. Analisis Liquid chromatography–mass spectrometry (HPLC-MS) dari

toksin lipofilik (Gasto´ et al. 2014)

Kultur kompleks Alexandrium sp. pada fase pertumbuhan eksponensial,

dengan kepadatan 63×106 sel L-1, digunakan untuk menganalisis profil racun

SPXs dan konsentrasi sel. Sebanyak 800 ml kultur sel disaring melalui filter

Whatman GF / F. Racun diekstraksi dengan 100% metanol dan disonikasi

(Vibra Sel, Sonic dan Bahan) pada 0oC. Ekstrak disaring melalui GF Whatman

/ filter F untuk menghilangkan kotoran sel. Ekstrak yang diperoleh dimurnikan

dengan ultrafiltrasi (Micro Vecta-Spin, 100 kDa) sebelum analisis

kromatografi. Ekstraksi racun dari fitoplankton sampel bersih dilakukan

dengan menggunakan metodologi yang sama. Racun lipofilik diekstraksi dari

kerang dengan metanol 100% sesuai dengan prosedur yang dijelaskan oleh Uni

Eropa Referensi Laboratorium Kelautan biotoxins (EURLMB 2011). Ekstrak

disentrifugasi (3000 rpm), disaring (Whatman GF / F), dan dibersihkan tiga

kali dengan heksana. Akhirnya, pemurnian ekstrak tambahan dilakukan oleh

ultrafiltrasi (Micro Vecta-Spin, 100 kDa). Ekstrak racun dianalisis dengan

kromatografi cair/tandem spektrometri massa (LC-MSn) menggunakan Sistem

HPLC (Shimadzu LC20A) dihubungkan dengan ion perangkap spektrometer

massa (Esquire 6000, Bruker Daltonics, Billerica, MA, USA) yang dilengkapi

dengan sumber electrospray. Pemisahan dan kuantisasi SPXs dilakukan

menurut modifikasi dari metode Ciminiello et al. (2006) menggunakan kolom

Lichrosphere C8 (3 μm, 4.6 mmx150 mm). Laju aliran adalah 0,5 ml min-1.

Gradien A elusi, 35-80% B di 3 menit diikuti dengan 80% B selama 43 menit.

Eluen A adalah solusi dari 2 mM amonium format dan 50 mM asam format

dalam air, sementara eluen B adalah solusi dari asetonitril: eluen A (95: 5, v /

v). Spektrum produk ion diperoleh dalam modus ion positif dengan sumber

dan analisa parameter dioptimalkan untuk molekul terprotonasi menggunakan

infus (180 ml h-1) dari 13-desmethyl spirolide-C (13-desMe-C) standar.

Analisis dilakukan dengan menggunakan nitrogen sebagai nebulizing (30 psi)

dan pengeringan gas (10 L min-1, 300oC). Tegangan tinggi kapiler ditetapkan

untuk 4500 lebar Isolasi V sebesar 2,0 Da dan tabrakan energi 30% digunakan

Page 13: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

7

untuk ion produk akuisisi spektrum. Studi fragmentasi digunakan untuk

mengkonfirmasi identitas siklik imina. Hilangnya karakteristik molekul air dan

kehadiran ion pada m / z = 164 digunakan sebagai indikator dari identitas

siklik imina. Standar 13-desMe-C digunakan untuk melakukan kuantifikasi

SPXs. Faktor respon molar relatif untuk spirolides lainnya diasumsikan sama.

e. Analisis Toksin (Hakanen et al 2012)

Sampel disaring pada filter Whatman GF / F, diekstraksi dengan asam asetat

0,5 M dan disonikasi (Vibra Sel TM, Sonic dan Bahan Inc, Danbury, CT)

pada 0oC. Ekstrak disaring melalui GF / filter F dan disimpan pada -20oC

sebelum analisis. Ekstrak toksin diuapkan sampai kering dengan

menggunakan vakum sentrifugal evaporator (Centrivap, Labconco, Co) dan

residu dilarutkan kembali dalam 200 mL pelarut ekstraksi yang sama. Ekstrak

yang dihasilkan kemudian dianalisis menggunakan pasca-kolom metode

derivatisasi HPLC dikembangkan oleh Oshima 1995. Aliquot dari sampel

solusi secara otomatis disuntikkan ke dalam tekanan tinggi sistem HPLC

gradien (Shimadzu LC 10 A), ditambah dengan pompa reaksi untuk

memberikan oksidasi dan reagen asam yang baik. Sebuah Deteksi puncak

dilakukan menggunakan spektrofluorometer FR-10Axl (Shimadzu). Racun

diidentifikasi oleh perbandingan waktu retensi dan fluoresensi emisi maxima,

dengan hilangnya puncak dengan menghilangkan oksidasi pasca-kolom, dan

dengan percobaan spiking. Nilai konten Toxin dinyatakan sebagai molar

konsentrasi per sel dan toksisitas nilai-nilai.

Page 14: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Jenis toksin pada Mikroalga

Mikroalga merupakan organisme uniseluler yang digolongkan dalam

beberapa kelompok yakni diatom (Bacillariophyceae), alga hijau

(Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae), dan alga hijau biru

(Cyanophyceae). Cyanophyceae atau sering dikenal Cyanobacteria merupakan

prokariota yang dapat memproduksi beragam neurotoksin yang berbahaya bagi

kesehatan manusia dan telah diklasifikasikan di antara spesies HAB (Barrington

dan Ghadouani 2008). Akan tetapi, kelompok mikroalga yang banyak

menghasilkan toksin adalah kelompok diatom (Bacillariophyceae) diantaranya

adalah dinnoflagellata. Kelas Dinophyceae (Dinoflagellates) ada lima kelompok

yang diidentifikasi yakni Peridiniales, Prorocentrales, Dinophysiales,

Gymnodiniales, dan Noctilucales. Peridiniales terdiri dari enam spesies dari genus

Alexandrium dan salah satu genus Gambierdiscus. Genus Alexandrium yang

berbahaya diantaranya yang terkenal adalah A. catenella merupakan produsen c1-

c4 racun, Saxitoxins dan Gonyautoxins (Faust et al. 2002; Krock et al. 2007). A.

tamarense, A. minutum dan A. taylori menghasilkan Gonyautoxins (Frangopoulos

et al. 2005; Lim et al. 2005) dan A. ostenfeldii yang banyak menghasilkan

Spirolide (Gasto´ et al 2014).

Gambierdiscus sp. juga diketahui menjadi racun yang memproduksi

ciguatoksin dan maitotoksin. Keluarga ostreophidaceae, Coolia monotis

menghasilkan cooliatoxin, analog dari yessotoxin. Keluarga heterocapsaceae,

Heterocapsa circularisquama menghasilkan racun hemolitik photosensitizing H2-

a, H3-a. Keluarga Ostreopsidaceae, kedua spesies beracun dari genus Ostreopsis

yakni O. Ovata diduga memproduksi palytoxin dan senyawa ovatoxin, dan O.

siamensis, diduga juga memproduksi palytoxin (Rhodes et al. 2002; Aligizaki et

al. 2008; Guerrini et al. 2009). Keluarga Gonyaulacaceae, Reticulatum

Protoceratium adalah spesies yang dikenal sebagai produsen yessotoxin.

Toksisitas juga diketahui dan Protoperidinium crassipes, memproduksi racun

Azaspiracid. Tabel 1 menyajikan daftar spesies yang memiliki sifat beracun dan

Page 15: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

9

daerah terjadinya mereka diberikan dalam literatur (Ignatiades dan Gotsis-Skretas

2010).

Tabel 1 Spesies toksik (TX), potensial toksik (PT), dan biomassa tinggi (HB) pada

perairan pesisir Yunani. Kolom abu menunjukkan spesies yang dapat

mengakibatkan kejadian/epidemi beracun.

Page 16: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

10

Page 17: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

11

b. Morfologi Alexandrium ostenfeldii

Alexandrium ostenfeldii merupakan anggota plankton dinoflagellata.

Umumnya, Alexandrium ostenfeldii adalah spesies pesisir air dingin yang

ditemukan dalam jumlah rendah terutama di sepanjang pantai barat Eropa.

Alexandrium ostenfeldii termasuk spesies khas, yang memiliki sel yang besar

Page 18: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

12

dan hampir bulat (Gambar 2). Sel tunggal, tetapi sering ditemukan pada koloni.

Epitheca dan hypotheca sama tinggi. Spesies ini memiliki piring teka yang tipis

dan pori ventral besar karakteristik di piring apikal. Pori-pori kecil banyak

terdapat di permukaan dan merata. Sel berbagai ukuran antara panjang 40-56

μm dan lebar 40-50 μm. Kompleks pori apikal (APC) adalah bentuk segitiga

atau persegi panjang. Pelat pori apikal (Po) relatif besar dengan besar foramen

berbentuk koma. Piring paling khas dari spesies ini adalah 1 'piring: a) beruang

pori ventral karakteristik besar; dan b) sudut 90 derajat terbentuk pada titik di

mana pori ventral dan piring 4 'bersentuhan. Luas epitheca cembung-kerucut,

sedangkan hypotheca adalah setengah bola dengan antapex miring diratakan.

Cingulum sedikit digali adalah khatulistiwa dan pengungsi secara turun kurang

dari satu kali lebar.

Alexandrium ostenfeldii adalah spesies fotosintesis dengan memancarkan

kloroplas. Nukleus berbentuk U dan memiliki garis tengah. Reproduksi A.

ostenfeldii terjadi secara aseksual dengan pembelahan biner. Spesies ini juga

memiliki siklus seksual dengan jenis kawin isogamous, dan pembentukan

planozygote (Jensen & Moestrup 1997). A. ostenfeldii merupakan spesies

dinoflagellata plankton muara yang ditemukan dalam jumlah rendah, terutama

di sepanjang pantai barat Eropa, dan beberapa waktu terakhir di sepanjang

pantai tenggara dari Nova Scotia, Kanada (Cembella et al. 2000). A. ostenfeldii

mampu menghasilkan racun kerang paralitik (PSP) dan merupakan yang paling

beracun dari semua spesies Alexandrium yang diuji untuk PSP racun (Cembella

et al 1987; 1988). Studi dari budidaya kerang dari Nova Scotia, Kanada,

mengungkapkan adanya spirilides, neurotoksin, terutama yang dihasilkan oleh

strain A. ostenfeldii atlantik barat (Cembella et al. 2000). Hansen et al. (1992)

melakukan penelitian dengan Ciliata tintinnid yang terkena konsentrasi tinggi

A. Ostenfeldii, hasilnya ada perilaku berenang menentu (mundur) lalu diikuti

dengan pembengkakan dan lisis dari ciliates.

Alexandrium ostenfeldii lebih mudah diidentifikasi dibandingkan dengan

spesies Alexandrium lainnya. A. ostenfeldii memiliki pori ventral yang jauh

lebih besar di piring apikal pertama 1', dan 6'' piring lebih lebar dari yang

tinggi, sedangkan lebar dan tinggi dari 6'' piring di A. tamarense adalah sama

Page 19: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

13

(Balech 1995; Hansen et al. 1992.). Spesies ini juga mirip dengan spesies

Alexandrium yang lain seperti A. Peruvianum. Kedua spesies adalah sel besar

dengan khas pori-pori ventral besar di piring 1'; Namun, perbedaan morfologi

yang jelas dalam piring 1' dan APC. Selain itu, A. ostenfeldii adalah sel yang

lebih besar dan menghasilkan racun PSP (Balech 1995; Steidinger & Tangen

1996; Taylor et al. 1995).

Gambar 2 Morfologi dari mikroalga Alexandrium ostenfeldii

c. Toksin Spirolide pada Alexandrium ostenfeldii

Fitoplankton berupa dinoflagellata merupakan organisme yang banyak

hidup pada lingkungan perairan laut. Dinoflagellata memiliki kemampuan

membelah atau berkembang biak yang tinggi dan bergantung pada kondisi

lingkungan yakni perairan, terutama jika banyak mengandung nitrogen dan

karbon. Hal ini dikarenakan dinoflagellata termasuk spesies heterotrofik

(Gribble et al. 2005). Kemampuan berkembang biak yang tinggi dari

dinoflagellata menyebabkan organisme ini sangat sering mengalami blooming

ketika lingkungan perairan mengandung banyak nutrisi. A. ostenfeldii

merupakan salah satu jenis dinoflagellata yang sangat cepat mengalami

pertumbuhan dan blooming.

Blooming spesies Alexandrium biasanya ditemukan dalam waktu yang

relatif pendek (Wyatt dan Jenkinson 1997). Pertumbuhan yang cepat dari

spesies A. ostenfeldii juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yakni adanya

partikel nutrisi organik terlarut yang banyak terdapat pada lingkungan perairan

sehingga menyebabkan pertumbuhan macrophytes dan biomassa fitoplankton

Page 20: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

14

yang tinggi. Selain memiiki kemampuan untuk bertumbuh yang tinggi, A.

ostenfeldii juga mampu menghasilkan zat beracun, misalnya kelompok racun

spirolide. Gambar sampel A. ostenfeldii dan jenis Spirolide dapat dilihat pada

Gambar 3 dan Gambar 4.

Spirolide merupakan toksin yang banyak dihasilkan oleh dinoflagellata laut

yang beracun seperti A. ostenfeldii dan mampu memproduksi biotoksin laut

yang berbeda, tergantung dari habitatnya (Kremp et al. 2014). Spirolides

dikenal sebagai racun yang memiliki efek yang cepat dalam bioassay

tradisional, serta dapat menyebabkan kematian yang cepat pada tikus setelah

diinjeksi (Cembella et al. 2000; Richard et al. 2001). Hal tersebut

membuktikan bahwa tingkat toksisitas spirolide sangatlah tinggi.

Gambar 3 Spesimen A. ostenfeldii kompleks pada sampel dari Beagle Channel

Calcofluor stained cells dilihat dengan epifluoroscen (A-C) dengan ukuran

berbeda; (D dan E) morfologi dari Plates’ (dengan pori ventral) dan (F) detail

Page 21: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

15

dari cingulum dan sulcal plates; (G) Ephiteca menunjukkan hubungan antara

apival pore plate (Po) dan 1’; (H) penampakan apical menunjukkan detail dari

apical pore plate (Po); (I) penampakan antapical menunjukkan sulcal

posterior

Penelitian yang dilakukan oleh Gasto´ et al (2014) yang menganalisis racun

dari A. ostenfeldii menunjukkan hasil analisis HPLC-MS terlihat jumlah

terdeteksi spirolides pada kultur A. ostenfeldii. Hasil kromatografi

menunjukkan jenis senyawa yang diindentifikasikan diantaranya 13- desmethyl

spirolide C (13-desMe-C), 20-metil spirolide G (20-Me-G). Konsentrasi total

spirolide selama fase pertumbuhan eksponensial adalah 0,74 pg sel-1, dimana

0,5906x0,0032 sel pg-1 berkorespondensi 13-desMe-C dan 0,1577x0,0023 sel

pg-1 sampai 20-Me-G.

Gambar 4 Penampakan SEM dari specimen A. ostenfeldii complex pada kultur sel

terisolasi dari Beagle Channel. (A) Semua theca pada penampakan ventral;

(B) detail dari apical pore plate; (C) detail Plate’; (D) detail sulcal plates; (E)

semua theca pada dorsal view

Analisis toksin spirolide yang dilakukan oleh MacKinnon et al. (2006)

dengan menggunakan LC metodologi/MS, spirolides terdeteksi dari A.

ostenfeldii. Pemeriksaan profil LC / MS dari ekstrak terlihat adanya dua

puncak dominan yang mewakili dua komponen spirolide yang sebelumnya tak

dikenal dan satu puncak kecil diidentifikasi sebagai yang desmethyl spirolide,

spirolides, 13,19-didesmethylspirolide C dan spirolide G. Sementara 2

Page 22: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

16

ditemukan yaitu spirolide pertama yang diisolasi yang berisi 5: 6: sistem cincin

6-trispiroketal. Rumus molekul 2 dan 3 yang ditemukan oleh HRMS menjadi

C41H59NO7 ([M + H] + m / z 678,4375, kalk 678,4370) dan C42H61- No7 ([M +

H] + m / z 692,4564, kalk 692,4526). Gambar struktur dapat dilihat pada

Gambar 5 dan 6.

Gambar 5 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada A. ostenfeldii

dan sampel kerrang, peak number (), waktu retensi (RT) dan data MS/MS

Page 23: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

17

Gambar 6 Struktur molekul dan daftar komponen yang terobservasi pada A. ostenfeldii

dan sampel kerrang, peak number (), waktu retensi (RT) dan data MS/MS

Dinoflagellata A. ostenfeldii juga merupakan spesies alga berbahaya

terkenal yang berpotensi menyebabkan keracunan lumpuh kerang (PSP).

Biasanya A. ostenfeldii terjadi dalam konsentrasi rendah. Blooming A.

ostenfeldii sangat banyak memproduksi saxitoxins dan spirolides, dan

bertanggung jawab atas kematian anjing dengan kandungan saxitoxin tinggi.

Penelitian yang dilakukan oleh Hakanen et al. (2012) mengemukakan bahwa

racun PSP dalam fraksi plankton hanya terdeteksi dari stasiun di mana sel-sel

A. ostenfeldii hadir. GTX2 dan GTX3 bersama dengan STX adalah racun PSP

yang ditemukan dalam sampel. Jumlah konsentrasi racun seluler PSP

bervariasi antara 0,003 dan 0,1 mg L-1 dan berkorelasi secara signifikan

dengan kelimpahan sel A. Ostenfeldii. Adanya racun PSP yang dihasilkan oleh

A. ostenfeldii di perairan mungkin memiliki konsekuensi untuk terjadi

akumulasi racun pada organisme lain seperti plankton dan bentos serta dapat

ditransfer dalam jaring makanan. Bahkan, analisis awal dari bivalvia

dikumpulkan dari situs blooming mengungkapkan konsentrasi racun PSP

melebihi tingkat regulasi (Seta LA et al., unpublished data).

Gambar 7 Struktur parsial (a – d) pada 13,19-didesmetilspirolida C (2) dan spirolida G

(3), menunjukkan korelasi COSY (panah kurva) dan garis tebal

Page 24: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

18

merepresentasikan 1H-1H spin system teridentifikasi dari spectra TOCSY dan

COSY

Pengujian spirolides juga dapat menggunakan analisis FTIR. Hasil FTIR

mendukung kehadiran kelompok-kelompok hidroksil (3470 cm-1), diantaranya

CdO dan atau kelompok CDN (1684 cm-1), dan cincin ç-lakton (1746 cm-1)

yang ada dalam struktur parsial, yang dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar

8.

Gambar 8 Skema fragmentasi MS untuk spirolida G (3)

Pengujian spirolides umumnya menggunakan LC-MS karena sebagian besar

spirolides dilaporkan banyak diperoleh dalam jumlah kecil untuk penyelidikan

NMR. Oleh karena itu, hanya dapat diselidiki melalui analisis LC-MS.

Spektrum produk ion direkam pada triple-quadrupole MS dengan memilih ion

yang paling berlimpah (m / z 692, 708, 710, 734, 750, dan 764) sebagai

prekursor ion.

Page 25: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

19

Gambar 9 Spektra MS/MS dari minor spirolida A. ostenfeldii.

Analisis pola fragmentasi untuk setiap komponen menyarankan bahwa

sangat berpotensi spirolides baru. Terutama, senyawa dengan ion terprotonasi

pada m / z 692,5 (tR 9.33 min).

Secara khusus, kuantifikasi setiap spirolide dilakukan dengan mengukur

daerah-terisolasi dengan baik proton olefin di C-3. 27-Hydroxy-13,19-

didesmethylspirolide C. Data 1H NMR menurut hasil penelitian Ciminiello et

al. (2007) dilaporkan dalam Tabel 2. HR-ESIMS (modus positif) m / z

694,43179, calcd untuk C41H59NO8 [M + H] + 694,43189. Tingkat

Page 26: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

20

kemurnian 8 (> 90%) dievaluasi atas dasar baik HPLC dan analisis NMR.

Gambar struktur dapat dilihat pada Gambar 10

Gambar 10 Spektra FTIR dari beberapa struktur spirolida

Hasil MS/MS spectrum serta struktur planar dari pengujian toksin spirolides yang

dilakukan oleh Ciminiello et al. (2007) dapat dilihat pada Gambar 11, 12, dan 13

Gambar 11 Spektra MS/MS (a) dan spektrum 1H-NMR (b) dari 27-hidroksil-

13,190didesmetilspirolida C (8). Tanda * mengindikasikan impuritas

Page 27: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

21

Gambar 12 Garis tebal merepresentasikan four spin system yang terdeteksi pada 27-

hidroksi-13,19-didesmetilspirolida

Gambar 13 Korelasi omponen COSY and HSQC-TOCSY terseleksi

Gambar 14 Struktur planar 27-hidroksi-13,19-didesmetilspirolida

Page 28: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

22

Gambar 15 Struktur planar dari dua spirolida terkini 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-

SPX C (10) dan 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D (11)

Gambar 16 Planar structures of the two novel spirolides 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-

SPX C (10) and 20-Hydroxy-13,19-didesmethyl-SPX D (11)

Spesies lainnya dari genus Alexandrium juga menghasilkan racun yang

berbahaya seperti spesies A. peruvianum yang mampu menghasilkan saxitoxin,

yang bertindak cepat seperti racun spiroimine. Enam bentuk saxitoxin (STX,

B1, GTX2, GTX3, C1, C2) yang dihasilkan A. Peruvianum. Saxitoxin ini

memiliki struktur yang berbeda dengan A. Peruvianum / A. ostenfeldii (Tomas

et al., 2012). Profil saxitoxin A. Peruvianum berbeda, dimana tidak ada bukti

saxitoxins N-1-hidroksi, atau bukti Neo, B2, GTX1, GTX4 dan C3 atau C4.

Selain itu juga dihasilkan racun kerang paralitik (PSP) tradisional terkait

dengan blooming Alexandrium di perairan, dimana spiroimines 12-

dethylgymnodimine dan 13-desmethylspirolide C terdeteksi. Spirolides

pertama kali ditemukan pada ekstrak dari kerang yang dikumpulkan dari lepas

Page 29: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

23

pantai Nova Scotia, yang terbukti diproduksi oleh A. ostenfeldii (Cembella et

al. 2000; Hu et al. 2001). Senyawa ini merupakan racun yang menyebabkan

kejang, gangguan pernapasan, dan kematian dalam beberapa menit dari

intraperitoneal injeksi dalam uji tikus tradisional (Richard et al. 2001; Christian

et al. 2008). Dinoflagellata spirolides sangat dikenal terutama pada kelompok-

kelompok metil vicinal di cincin tujuh anggota seperti spirolide C (13-

desmethyl spirolide C) yang terdeteksi pada A. Peruvianum, dan tahan

terhadap hidrolisis asam dan enzimatik (Christian et al. 2008), oleh karena itu

dapat bertahan dan dapat terakumulasi dalam kerang. A. Peruvianum yang

beracun mengandung saxitoxin dan racun spiroimine dan diidentifikasi baru-

baru ini dari perairan pesisir North Carolina (van Wagoner et al. 2011; Tomas

et al. 2012).

Gambar 17 Struktur fragmen karakteristik dalam CID-spektra senyawa 10; situs

fragmentasi ditandai dengan garis putus-putus; struktur yang dihasilkan

ditunjukkan oleh panah dengan warna yang sama

Page 30: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

24

Gambar 18 Tampilan tumpukan rantai polketida yang baru lahir yang diusulkan untuk

spirolida dan gimnodimin; bagian dengan kemiripan tinggi terpojok merah;

cincin D GYM dipojokkan dalam warna hitam; perbedaan antara rantai

polyketide yang baru lahir dari spirolide dipojokkan dalam warna biru

muda dan asal-usul untuk cincin D, E dan F dipojokkan dalam warna ungu.

Rantai polyketide baru lahir yang diusulkan dari 13-Desmethyl spirolide C

ditunjukkan di bagian bawah dengan asal biologis berwarna inti.

Page 31: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

25

d. Aplikasi Penggunaan Toksin Alexandrium ostenfeldii

Toksin merupakan salah satu bentuk pertahanan yang dilakukan oleh suatu

organisme. Pada umumnya toksin dihasilkan untuk melindungi organisme

tertentu dari predator alaminya. Akan tetapi, toksin tersebut tidak bersifat

berbahaya terhadap organisme yang menghasilkannya. Salah satu aplikasi

komersial dari toksin yang berasal dari mikroalga adalah pada bidang farmasi,

seperti antibiotik dan aktivitas biologi lainnya (Borowitzka 1992). Aplikasi

penggunaan toksin mikroalga diantaranya sebagai berikut:

1. Anestesi klinis toksin PSP

PSP atau juga dikenal sebagai STX adalah neurotoksin alami yang

diproduksi oleh spesies tertentu seperti dinoflagellata laut (Alexandrium sp.,

Gymnodinium sp., Pyrodinium sp.) serta cyanobacteria (Anabaena sp.,

Beberapa Aphanizomenon spp., Cylindrospermopsis sp., Lyngbya sp.,

Planktothrix sp.) (Lagos dan Andrinolo 2000). Beberapa mekar air tawar

membentuk cyanobacterialgenera termasuk Anabaena, Aphanizomenon,

Oscillatoriaand, dan Cylindrospermum yang menghasilkan neurotoxin,

anatoxin-a, dan alkaloid dengan toksisitas yang tinggi untuk hewan (Mitrovic

et al. 2004).

Toksin PSP terbagi atas dua kelompok guanidin, dengan pKa dari 8.22 dan

11.28, menghasilkan muatan positif pada pH netral (Lagos dan Andrinolo

2000). Gugus amonium kuaterner dalam struktur kimianya memberikan

polaritas tinggi, sehingga racun PSP tidak dapat melewati barrier darah ke otak

(Lagos dan Andrinolo 2000). Akibatnya, efek utama fisiologis toksin ini terkait

dengan aksi pemblokiran di tingkat aksonal yang menghambat kedua saraf

impuls propagasi dan transmisi saraf pada sambungan neuromuskuler. Oleh

karena itu, ketika toksin tersebut diterapkan secara lokal, dua kegiatan yang

diwujudkan secara simultan: (i) kontrol nyeri (aktivitas anestesi) dan (ii)

kontrol hiperaktif otot (efek relaksasi). Kedua efek tersebut telah dimanfaatkan

dalam aplikasi klinis sebagai anesthesi.

Page 32: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

26

Tabel 2 Penggunaan racun PSP sebagai anestesi klinis

PSP dari Alexandrium sp. berupa neurotoksin dapat diaplikasikan sebagai

agen anestesi, dimana dalam dosis kecil dapat menghambat jalannya

rangsangan pada system saraf. Analgetik dari neurotoxin ini tidak dapat

menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi hanya meringankan rasa nyeri.

Anestesi yang menyebabkan hilangnya kesadaran, dan menghilangkan nyeri

dari bagian tubuh tertentu tetapi pemakainya tetap sadar (Rodriguez-Navarro et

al. 2006). Secara umum cara kerja obat bius adalah menekan kerja sistem saraf

pusat sehingga kerjanya melambat terutama dalam hal menerima rangsang dan

melakukan metabolisme. Selain itu obat bius juga dapat menghentikan impuls

saraf-saraf yang ada di area sekitar bagian yang diinjeksi sehingga tidak

mengirimkan impuls nyeri ke otak.

2. Stimulan kortisol untuk Anti-Inflamasi dan Antihipertensi

Saxitoxin adalah neurotoksin alami yang diproduksi oleh spesies tertentu

seperti dinoflagellata laut, diantaranya Alexandrium sp., Gymnodinium sp., dan

Pyrodinium sp. Saxitoxin juga memberi efek pada hormon kortisol, yaitu

sinergis (Helena et al. 2011). Dalam dunia kedokteran, rematik biasa

disembuhkan dengan obat anti peradangan yaitu kortisol yang mempunyai efek

samping negatif. Tetapi dengan sengatan racun saxitoxin, tubuh kita dirangsang

untuk memproduksi kortisol sendiri sehingga aman. Ketika tubuh melepas

adrenalin ke dalam sistem, tubuh juga melepas hormon yang disebut kortisol.

Page 33: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

27

Kadar kortisol yang tinggi dan berkepanjangan dapat menyebabkan kadar gula

darah dan insulin meningkat dan tetap bertahan pada tingkat tinggi sehingga

mampu menekan proses radang di dalam tubuh.

Racun saxitoxin dominan adalah peptida siklik yang memberikan efek

sistemik seperti anti inflamasi, anti jamur, anti bakteri, anti-piretik, dan

merangsang permeabilitas pembuluh darah. Mekanisme reaksi racun ini di

dalam tubuh secara tidak langsung melalui sistem hormon dan secara langsung

pada sistem kardiovaskular. Efek penyembuhan tidak langsung dari racun

lebah disebabkan oleh rangsangan fungsi kelenjar adrenal melalui hipofisis.

Dengan demikian proses ini lebih banyak menstimulasi hormon adrenalin yang

dihasilkan ke dalam darah seperti kortison dan hidrokortison. Hormon-hormon

ini memberi efek penyembuhan, dan meningkatkan penolakan tubuh terhadap

berbagai faktor yang tidak menguntungkan. Walaupun penyembuhan dengan

racun saxitoxin tidak selalu dihubungkan dengan stimulasi kelenjar adrenal

saja. Racun saxitoxin melebarkan pembuluh darah maka tekanan darah

menurun. Racun ini sangat efektif terhadap hipertensi, mengurangi

coagulability darah, dan meningkatkan kadar hemoglobin.

3. Racun sebagai Antibakteri

Racun adalah salah satu bentuk metabolit sekunder yang pada umumnya

bekerja berlawanan dengan produk natural lain. Racun cenderung

mempengaruhi kerja metabolit sekunder organisme lain yang terpapar olehnya.

Oleh karena itu, racun dianggap sebagai agen phylogenetic penting.

Peningkatan konversi racun ke dalam bentuk senyawa antibakteri yang

potensial untuk diteliti (Tabel 3).

Page 34: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

28

Tabel 3 Biologically active micoalgal extract

Sumber: Ozturk et al. (2006)

Bioassay Ozturk et al. (2006) mengungkapkan bahwa screening strain yang

menghasilkan toxin lebih banyak ketika membandingkan diameter zona

hambatan mereka. Ekstrak Oscillatoria sp. strain H2 menampilkan efek

antibakteri terhadap semua bakteri uji, sedangkan ekstrak Scenedesmus sp.

strain S2 memiliki efek antimikroba yang lebih tinggi pada B. cereus RSKK

863. Oleh karena itu, bioassay berikut dilakukan dengan dua strain ini ke

Arthemia salina (Tabel 4).

Tabel 4 Tingkat kematian Artemia salina Leach pada 24 jam dengan perlakuan berbagai

konsentrasi dari ekstrak yang diperoleh dari spirolida

Page 35: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

29

Mekanisme kerja racun sebagai antibakteri yaitu dengan penghambatan

peptidoglikan. Racun melumpuhkan reseptor sel bakteri sehingga enzim

transpeptida tidak bekerja. Terhambatnya reaksi transpeptidase dan sintesis

peptidoglikan terhambat mengakibatkan autolisis pada dinding sel bakteri.

Racun dari mikroalga yang berdampak antibakteri antara lain sefalosporin,

vankomisin, basitrasin, sikloserin, dan ampisilin.

Selain itu literatur terbaru melaporkan bahwa racun antibakteri aktif dapat

terbentuk dari peptida siklik antara lain kawaguchi peptide A dan B dari

Microcystis aeruginosa (Ishida et al. 1997), anti HIV dari cyanovirin protein

yang dihasilkan Nostoc ellipsosporum (Gustafon et al. 1997), diterpenes dari

Nostoc commune (Jaki et al. 2000), dan ekstrak racun dari mikroalga terhadap

HIV dan virus herpes simpleks (HSV) telah dilaporkan (Schaeffer 2000), oleh

karena itu racun spirolides dari Alexander ostenfeldii sangat berpotensi sebagai

antimikroba.

4. Aplikasi toksin gtx 2/3 psp pada injeksi fisura anus

Secara umum, masing-masing dosis racun diuji dengan larutan steril dari

100 unit GTX2 / 3 epimer dalam 1,0 ml total volume 0,9% NaCl, tanpa bahan

pengawet. Satu unit GTX2 / 3 adalah jumlah toksin yang diperlukan untuk

memblokir kontraksi neuromuskular kaki tikus bisep selama 1,5 sampai 20

jam, dan sesuai dengan 0,2 mikrogram GTX2/3 epimer di mouse dari 20

miligram. Uji klinis pertama yang dilakukan dengan mempelajari pengaruh

GTX2 / 3 pada nada dubur orang dewasa yang sehat, lalu efek relaksasi diamati

pada semua panelis. Selain itu, rekaman manometrik menunjukkan penurunan

yang signifikan dalam tekanan maksimal anal berkontraksi secara langsung

setelah infiltrasi racun. Electromyografi pasca injeksi menunjukkan bahwa

aktivitas otot selesai hampir sehari setelah injeksi (Garrido et al. 2004). Tidak

ada peserta melaporkan setiap kejadian buruk atau efek samping negatif selama

atau setelah infiltrasi.

Tes laboratorium klinis dilakukan sebelum dan sesudah infiltrasi tidak

menunjukkan perubahan yang signifikan, temuan penting adalah bahwa baik

flatus atau feses inkontinensia adalah refleks penghambatan terhadap ano-

kortikal dan ano-rektal fungsional dalam semua pasien, menunjukkan bahwa

Page 36: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

30

infiltrasi diblokir oleh otot hiperaktif, tetapi meninggalkan kekuatan yang

cukup untuk fungsi fisiologis (Garrido et al. 2004). Studi ini menunjukkan

bahwa injeksi intramuskular lokal GTX2 / 3 epimer ke sfingter anal internal

yang diproduksi langsung oleh relaksasi sfingter, terjadi penurunan tekanan

yang dihasilkan oleh kontraksi lurik. Oleh karena itu, efektivitas dan keamanan

injeksi racun PSP pada manusia digunakan untuk tujuan terapeutik. Setelah itu,

racun siap diuji sebagai obat untuk fisura anus pada pasien. Secara teoritis,

pengujian ini menggambarkan kemungkinan sementara imobilisasi

harmacological sfingter anal yang akan menghilangkan kejang sfingter, dan

menyebabkan penyembuhan luka.

Hal ini adalah langkah penting untuk mengobati dan menyembuhkan fisura

anal, melanggar lingkaran setan fisura kronis anal: fisura, peradangan-nyeri

dan kejang sfingter. Dua fase II uji klinis untuk fisura anus akut dan kronis

telah dilakukan. Sidang pertama melibatkan sebanyak 50 pasien (Garrido et al.

2005) dan yang kedua sebanyak 23 pasien (Garrido et al. 2007). Satu-satunya

perbedaan antara percobaan adalah frekuensi suntikan. Selama sidang pertama,

infiltrasi diulang setelah 7 hari, dan selama sidang kedua infiltrasi diulang

setelah 4 hari. Dalam kedua uji coba, orang dewasa antara 18 dan 70 tahun,

didiagnosis dengan gejala anal fissures yang terdaftar. Pasien yang direkrut

menerima pemeriksaan klinis, termasuk evaluasi digital, spektroskopi, dan

kuesioner untuk mengevaluasi gejala.

e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Toxin Spirolides pada

Alexandrium sp.

Faktor yang mempengaruhi blooming mikroalga dan produksi yaitu

termasuk suhu permukaan laut yang hangat, salinitas rendah, kandungan gizi

yang tinggi, dan laut yang tenang. Selain itu, fitoplankton tersebut dapat

menyebar dengan jauh oleh angin, arus, dan badai. Badai ini mengubah sistem

pergerakan air laut yang mengakibatkan bertumpuknya plankton di lautan

tertentu. Plankton merupakan makanan ikan, tetapi kalau plankton berjumlah

sangat banyak, maka banyak plankton yang tidak termakan oleh ikan dan

akhirnya membusuk di dasar laut. Plankton yang membusuk ini menghasilkan

plankton baru bersifat toksin yang disebut dinoflagellata. Pada kondisi tertentu

Page 37: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

31

plankton busuk tersebut meledak ke permukaan laut. Plankton-plakton tersebut

mengeluarkan toksin berwarna kuning keemasan, merah keemasan, atau hijau

kekuningan sehingga setiap binatang laut yang memakan atau melewati red

tides ini akan mati. Blooming mikroalga juga disebabkan oleh ulah manusia.

Limbah buangan atau zat-zat kimia beracun di perairan akan membuat

plankton-plankton membusuk di dasar laut. Fenomena ini tidak sebesar seperti

yang diakibatkan oleh badai. Namun tetap saja akan membuat binatang laut

kehabisan makanan dan mati karena memakan plankton beracun.

Selain berdampak secara ekologi, fenomena blooming juga mengganggu

kesehatan manusia seperti sindrom keracunan akibat memakan ikan mati

karena red tide atau makan kerang yang diambil dari perairan yang mengalami

red tide. Selain itu, bisa terjadi iritasi kulit dan mata karena berenang atau

mandi di perairan yang sedang mengalami red tide. Keracunan akibat

memakan kerang-kerangan paling berbahaya karena hewan tersebut mampu

mengakumulasi racun, sementara kerangnya sendiri tidak terpengaruh. Red tide

atau blooming mikroalga umumnya terjadi antara bulan Agustus-Februari di

pantai dengan perairan hangat seperti Teluk Meksiko. Fenomena laut ini

sendiri tercatat pernah terjadi di pantai Bali, laut sekitar Sulawesi, Kalimantan

Timur, Peru, dan Chili. Fenomena ini terjadi sekitar lima tahun sekali sesuai

dengan siklus badai yang terjadi di laut.

Produksi toksin juga sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan mikroalga.

Pertumbuhan mikroalga disebabkan karena ketersediaan nutrisi yang melimpah

berupa rasio N dan K yang sangat tinggi. Konsentrasi racun yang dihasilkan

mencapai tingkat maksimum dan meningkat seiring dengan meningkatnya

konsentrasi nitrat (Kremp et al. 2014). Hasil penelitian kami menunjukkan

bahwa GTX1,4 (mol%) meningkat secara eksponensial dengan peningkatan

konsentrasi nitrat di perairan. Total konsentrasi toksin meningkat seiring

dengan meningkatnya konsentrasi nitrogen (Kremp et al 2014).

Page 38: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

32

PENUTUP

Pertumbuhan mikroalga yang pesat juga menyebabkan bahaya yang disebut

eutrofikasi yang memungkinkan pertumbuhan intensif spesies berbahaya dan

memproduksi racun yang dapat menimbulkan masalah dalam struktur

ekosistem dan kesehatan masyarakat. Dinoflagellata laut genus Alexandrium

adalah genus yang paling berbahaya di dunia, dimana sebagian besar spesies

berbahaya dari genus ini menghasilkan racun saxitoxin yang terkait dengan

paralytic shellfish poisoning (PSP). Spirolides, neurotoksin yang menyebabkan

gejala yang mirip dengan saxitoxin tetapi tidak umum dihasilkan oleh spesies

lain dari genus Alexandrium. Lebih dari 30 spesies Alexandrium terutama A.

ostenfeldii dan A. Peruvianum menghasilkan neurotoksin imina siklik disebut

spirolides (SPXs).

Metode analisis toxin dapat menggunakan metode liquid chromatography–

mass spectrometry (HPLC-MS) dari toksin lipofilik, deteksi puncak dilakukan

menggunakan spektrofluorometer FR-10Axl (Shimadzu). Selain itu juga dapat

menggunakan LC-MS. Faktor yang mempengaruhi blooming mikroalga dan

produksi toksin yaitu termasuk suhu permukaan laut yang hangat, salinitas

rendah, kandungan gizi yang tinggi, dan laut yang tenang. Selain itu,

fitoplankton tersebut dapat menyebar dengan jauh oleh angin, arus, dan badai.

Pada kondisi tertentu plankton busuk tersebut meledak ke permukaan laut.

Plankton-plakton tersebut mengeluarkan toksin berwarna kuning keemasan,

merah keemasan, atau hijau kekuningan. Efek produksi toksin oleh

mikroalga/plankton adalah menyebabkan keracunan akibat memakan ikan mati

karena red tide atau memakan kerang yang diambil dari perairan yang

terkontaminasi. Selain itu, bisa terjadi iritasi pada kulit dan mata karena

berenang atau mandi di perairan yang terkontaminasi. Produksi toksin juga

sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan mikroalga.

Page 39: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

33

DAFTAR PUSTAKA

Aligizaki K, Katikou P, Nikolaidis G, Panou A. 2008. First episode of shellfish

contamination by palytoxin-like compounds from Ostreopsis species

(Aegean Sea, Greece). Toxicon, 51:418–427.

Anderson DM, Alpermann TJ, Cembella AD, Collos Y, Masseret E, Montresor

KM. 2012. The globally distributed genus Alexandrium: multifaceted roles

in marine ecosystems and impacts on human health. Harmful Algae,

14:10–35.

Cembella AD, Lewis NI, Quilliam MA. 2000. The marine dinoflagellate

Alexandrium ostenfeldii (Dinophyceae) as the causative organism of

spirolide shellfish toxins. Phycologia, 39:67–74.

Christian B, Below A, Dressler N, Scheibner O, Luckas B, Gerdts G. 2008. Are

spirolides converted in biological systems?—a study. Toxicon, 51:934–

940.

Ciminiello P, Dell’Aversano C, Fattorusso E, Forino M, Grauso L, Tartaglione L,

Guerrini F, Pistocchi R. 2007. Spirolide toxin profile of Adriatic

Alexandrium ostenfeldii cultures and structure elucidation of 27-hydroxy-

13,19-di desmethyl spirolide C. J. Nat. Prod,. 70, 1878–1883

Etheridge SM. 2010. Paralytic shellfish poisoning: sea food safety and human

health perspectives. Toxicon, 56:108–122.

Faust MA, Gulledge RA. 2002. Identifying harmful marine dinoflagellates. Contr.

US Nat. Herb, 42:1–144.

Franco JM, Paz B, Riobo R, Pizarro G, Figueroa RI, Fraga S, Bravo I. 2006. First

report of the production of spirolides by Alexandrium peruvianum.

(Dinophyceae) from the Mediterranean Sea. In: 12th International

Conference on Harmful Algae, Copenhagen, Denmark, September 4–8,

2006 (Programs and Abstracts), p. 174

Frangopoulos M, Guisande C, de Blas E, Maneiro I. 2004. Toxin production and

competitive abilities under phosphorus limitation of Alexandrium species.

Harmful Algae, 3:131–139.

arrido RN, Lagos K, Lattes C, Garcia R, Azolas G, Bocic A, Cuneo H, Chiong,

Jensen A, Henriquez, Fernandez C. 2004. The Gonyautoxin 2/3 epimers

reduces anal tone when injected in the anal sphincter of healthy adults.

Biol. Research, 37:395-403.

Garrido RN. Lagos K, Lattes M, Abedrapo G, Bocic A, Cuneo H, Chiong C,

Jensen R, Azolas A. Henriquez, Garcia C. 2005a. Gonyautoxin: new

treatment for healing acute and Chronic anal fissures. Dis. Colon Rectum,

48:333-343.

Garrido RN. Lagos K, Lattes M, Abedrapo G, Bocic A, Cuneo H, Chiong C,

Jensen R, Azolas A. Henriquez. 2007. Treatment of chronic anal fissure by

Gonyautoxin. Colorectal Dis. 9: 619-624.

Gasto´ N, Almandoz O, Montoya NG, Marcelo P. MP, Benavides HR, Carignan

MO, Ferrario ME. 2014. Toxic strains of the Alexandrium ostenfeldii

complex in southern South America (Beagle Channel, Argentina). Harmful

Algae, 37:100–109

Page 40: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

34

Glibert PM, Alexander J, Meritt DW, North EW, Stoecker DK. 2007. Harmful

algae pose additional challenges for oyster restoration: impacts of the

harmful algae Karlodinium veneficum and Prorocentrum minimum on

early life stages of the oysters Crassostrea virginica and Crassostrea

ariakensis. J. Shellfish Res, 26(4):919–925.

Gribble KE, Keafer BA, Quilliam MA, Cembella AD, Kulis DM, Manahan A,

Anderson DM. 2005. Distribution and toxicity of Alexandrium ostenfeldii

(Dinophyceae) in the Gulf of Maine, USA. Deep-Sea Res. 52(19–21)

2745–2763.

Guerrini F, Pezzolesi L, Feller A, Riccardi M, Ciminiello P, Dell’Aversano C,

Tartaglione L, Lacovo ED, Fattorusso E, Forino M, Pistocchi R. 2009.

Comparative growth and toxin profile of cultured Ostreopsis ovata from

the Tyrrhenian and Adriatic Seas. Toxicon, 25(4):256-263

Hakanen P, Suikkanen S, Franze´, Franze´ J, Kankaanpa H, Kremp A. 2012.

Bloom and toxin dynamics of Alexandrium ostenfeldii in a shallow

embayment at the SW coast of Finland, northern Baltic Sea. Harmful

Algae, 15:91–99.

Hansen PJ, Cembella AD, Moestrup Ø. 1992. The marine dinoflagellate

Alexandrium ostenfeldii: paralytic shellfish toxin concentration,

composition, and toxicity to a tintinnid ciliate. Journal of Phycology,

28597–28603.

Heisler J, Glibert PM, Burkholder JM, Anderson DM, Cochlan W, Dennison WC,

Dortch Q, Gobler CJ, Heil CA, Humphries E, Lewitus A, Magnien R,

Marshall HG, Sellner K, Stockwell DA, Stoecker DK, Suddleson M. 2008.

Harmful Algae, 31:125–135134

Hoagland P, Jin D, Polansky LY, Kirkpatrick B, Kirkpatrick G, Fleming LE,

Reich A, Watkins SM, Ullmann SG, Backer LC. 2009. The costs of

respira-tory illnesses arising from Florida Gulf coast Karenia brevis

blooms. Environ. Health Perspect, 117(8):1239–1243.

Hu T, Burton IW, Cembella AD, Curtis JM, Quilliam MA, Walter JA, Wright

JLC. 2001. Characterization of spirolides A, C, and 13-desmethyl C, new

marine toxins isolated from toxic plankton and contaminated shellfish. J.

Nat. Prod, 64(3):308–312.

Hu T, Curtis JM, Walter JA, Wright JLC. 1996. Characterization of biologically

inactive spirolides E and F: identification of the spirolide pharmacophore.

Tetrahedron Lett. 37(43):7671–7674.

Ignatiades L, Gotsis-Skretas O.2012. A Review on Toxic and Harmful Algae in

Greek Coastal Waters (E. Mediterranean Sea). Toxins, 2010 (2):1019-

1037;

Ishida K, Matshuda H, Murakami M, Yamaguchi K. 1997. Kawaguchipeptin B,

an antibacterial cyclic undecapep-tide from the cyanobacterium

Microcystis aeruginosa. Journal of Natural Products, 60:724-726.

Jaki B, Orjala J, Heilmann J, Linden A, Vogler B, Sticher O. 2000. Novel

extracellular diterpenoids with biologi-cal activity from the

cyanobacterium Nostoc commune. Journal of Natural Products, 63:339-

343.

Page 41: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

35

Jensen MØ, Moestrup Ø. 1997. Autecology of the toxic dinoflagellate

Alexandrium ostenfeldii: life history and growth at different temperatures

and salinities. Eur. J. Phycol, 32(1):9–18.

Kremp A, Tahvanainen P, Litaker W, Krock B, Suikkanen S, Leaw CP, Tomas C.

2014. Phylogenetic relationships, morphological variation, and toxin

patterns in the Alexandrium ostenfeldii (Dinophyceae) complex:

implications for species boundaries and identities. J. Phycol, 50:81-100.

Krock B, Cembella A. 2007. Mass spectral characterization of undescribed spir-

olides in an isolate of the dinoflagellate Alexandrium ostenfeldii from

Atlantic Canada. Proceedings of the 6th International Conference on

Molluscan Shellfish Safety. pp. 316–321.

Lim PT, Usup G, Leaw CP, Ogata T. 2005. First report of Alexandrium taylori

and Alexandrium peruvianum (Dinophyceae) in Malaysia waters. Harmful

Algae, 4:391–400.

MacKinnon SL, Walter JA, Quilliam MA, Cembella AD, LeBlanc P, Hardstaff

IW, Burton IWR, Lewis NI. 2006. Spirolides isolated from Danish strains

of the toxigenic dinoflagellate Alexandrium ostenfeldii. J. Nat. Prod, 69:

983–987.

Moestrup Ø, Akselman R, Cronberg G, Elbraechter M, Fraga S, Halim Y, Hansen

G, Hoppenrath M, Larsen J, Lundholm N, Nguyen LN, Zingone A. IOC-

UNESCO Taxonomic Reference List of Harmful Micro Algae (HABs).

http://www.marinespecies.org/hab/.

Montoya NG, Fulco KV, Carignan MO, Carreto JI. 2010. Toxin variability in

cultured and natural populations of Alexandrium tamarense from southern

South America – evidences of diversity and environmental regulation.

Toxicon, 56:1408–1418.

Otero P, Alfonso A, Vieytes MR, Cabado AG, Vieites JM, Botana LM. 2010.

Effects of environmental regimens on the toxin profile of Alexandrium

osten-feldii. Environ. Toxicol. Chem., 29(2):301–310.

Öztürk S, Aslim B, Beyatli Y. 2006. biological screening of microalgae isolated

fromdifferent freshwaters of turkey: antimicrobialactivity, viability and

brine shrimp lethality. PSP, 15 (10):1232-1237

Paerl HW, Huisman J. 2008. Blooms like it hot. Science, 320:57–58.

Persich GR. Kulisb DM, Lilly EL, Anderson DM, Garcia VMT. 2006. Probable

origin and toxin profile of Alexandrium tamarense (Lebour) Balech from

south-ern Brazil. Harmful Algae, 5:36–44.

Rhodes L, Towers N, Briggs L, Munday R, Adamson J. 2002. Uptake of

palytoxin-like compounds by shellfish fed Ostreopsis siamensis

(Dinophyceae). N.Z. J. Mar. Freshw. Res, 36:631–636.

Richard D, Arsenault E, Cembella AD, Quilliam M. 2001. Investigations into the

toxicology and pharmacology of spirolides, a novel group of shellfish

toxins. Ninth Interna-tional Conference on Harmful Algal Blooms. IOC of

UNESCO, Hobart, Australia, pp. 383–386.

Rodriguez-Navarro AJ, Lagos N, Lagos N, Braghetto I, Csendes A, Hamilton J,

Figueroa C, Truan D, Garcia C, Rojas A, Iglesias V, Brunet L, Alvarez F.

2007. Neosaxitoxin as a local anesthetic: preliminary observations from a

first human trial. Anesthesioloty 106: 339-345.

Page 42: KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN POTENSI APLIKASI TOKSIN

36

Rodriguez-Navarro AJ, Lagos M, Figueroa C, Garcia C, Recabal P, Silva P,

Iglesias V, Lagos N. 2009. Potentiation of local anesthetic activity of

Neosaxitoxin with Bupivacaine or Epinephrine: Development of a long-

acting pain blocker. Neurotox. Res, 16:40 415.

Schaeffer DJ, Krylov VS. 2000. Anti-HIV activity ofextracts and compounds

from algae and cyanobacteria. Ecotoxicology and Environmental Safety,

45:208-227

Suikkanen S, Kremp A, Hautala H, Krock B. 2013. Paralytic shellfish toxins or

spirolides? The role of environmental and genetic factors in toxin

production of the Alexandrium ostenfeldii complex. Harmful Algae,

26:52–59.

Takada N, Umemura N, Suenaga K, Uemara D. 2001. Structural determination of

pteriatoxins A, B and C, extremely potent toxins from the bivalve Pteria

penguin. Tetrahedron Lett., 42:3495–3497.

Taylor, F.J.R., Fukuyo, Y., Larsen, J., 1995. Taxonomy of Harmful

Dinoflagellates. Chapter 15 in Manual on Harmful Marine Microalgae.

UNESCO, pp. 283–317.

Tomas CR, York R, Strangman W, Wrigh J. 2012. Toxic Alexandrium

peruvianum (Balech and de Mendiola) Balech and Tangen in Narragansett

Bay, Rhode Island (USA). Harmful Algae, 19:92–100.

van Wagoner RM, Misner I, Tomas CR, Wright JLC. 2011. Occurrence of 12-

methylgymnodimine in a spirolide-producing dinoflagellate Alexandrium

peruvianum and the biogenic implications. Tetrahedron Letters, 52:4243–

4246.

Vershinin AO, Orlova TY. 2008. Toxic and harmful algae in the coastal waters of

Russia. Mar. Biol, 48:524–537.

Wyatt T, Jenkinson IR. 1997. Notes on Alexandrium population dynamics. J.

Plankton Res, 19:551–575.