isi
Post on 19-Jan-2016
31 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan / atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Arif Mansjoer, 2000:346).
Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. (Marylin E.
Doengoes. 2000). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang
rawan epifisis atau tulang rawan sendi. (Soebroto Sapardan, Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah).
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi
jika tulang dikenao stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya.
(Brunner & Suddart, 2001).
Fraktur cruris adalah suatu keadaan dikontinuitas jaringan struktural
pada tulang tibia danfibula. Fraktur terbuka adalah terputusnya kontiunitas
tulang yang diakibatkan oleh trauma beberapa fraktur sekunder dan proses
penyakit seperti osteoforosis yang menyebabkan fraktur yang patologis
( Barbara, 1999 ; 136 ).
Menurut Muttaqin (2011;313), fraktur cruris terbuka adalah
terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula disertai kerusakan jaringan
lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pebuluh darah) sehingga memungkinkan
terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar
yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang mengenai kaki.
Menurut Muttaqin (2011;333), fraktur cruris tertutup adalah
terputusnya hubungan tulang tibia dan fibula tanpa disertai luka terbuka
fragmen tulang yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung atau
tidak langsung.
1
1.2 Etiologi
Menurut Smeltzer (2001;2357) dan Kusuma ed. (2013;162), fraktur
disebabkan oleh:
1. Pukulan langsung.
2. Gaya meremuk.
3. Gerakan mendadak.
4. Kontraksi otot yang ekstrem.
5. Trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
6. Patologis, terjadi pada tulang karena adanya kelainan/penyakit yang
menyebabkan kelemahan pada tulang (infeksi, tumor, kelainan bawaan)
dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
Dikutip dari Anonim (2009), penyebab dari fraktur yaitu:
1. Trauma langsung
Jika ada kekuatan yang langsung mengenai tulang, seperti tapping
fraktur (pada luka benturan), fraktur penetrasi (luka tembakan).
2. Trauma tidak langsung
Terjadi jika ada kekuatan yang terjadi jauh dari lokasi fraktur.
Mekanismenya termasuk tekanan (traksi), dan kekuatan rotasi.
3. Stress fraktur
Terjadi jika tulang menjadi sasaran tekanan yang berulang, sebenarnya
tidak menyebabkan fraktur tetrapi secara akumulatif mengarah ke
kelelahan.
4. Fraktur patologis
Tulang mempunyai kekuatan di bawah normal sehingga mudah patah,
terjadi pada keadaan infeksi, keganasan, penyakit metabolisme tulang,
dan operasi yang menyebabkan defek tulang.
Menurut Oswari E (1993), penyebabnya adalah :
1. Kekerasan langsung: Terkena pada bagian langsung trauma.
2. Kekerasan tidak langsung: Terkena bukan pada bagian yang terkena
trauma.
2
3. Kekerasan akibat tarikan otot.
Menurut Barbara C Long (1996):
1. Benturan & cedera (jatuh, kecelakaan).
2. Fraktur patofisiologi (oleh karena patogen, kelainan).
3. Patah karena letih.
1.3 Manifestasi Klinis
Menurut Joyce. M. Black (1993 : 199), manifestasi klinis dari fraktur
cruris adalah:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
6. Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam
jaringan yang berdekatan dengan fraktur.
7. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya
saraf/perdarahan).
8. Pergerakan abnormal.
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah.
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna (Smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001)
adalah rasa sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.
Menurut Smeltzer (2001;2358), manifestasi klinis fraktur adalah.
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
3
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antarfragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba)
ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas
normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
otot.
3. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah
tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai
2,5-5 cm (1-2 inchi).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
1.4 Patofisiologi
Menurut Muttaqin (2011;333), kondisi anatomis yang terletak di
bawah subkutan memberikan dampak resiko fraktur terbuka lebih sering
dibangdingkan dnegan tulang panjang lainnya apabila mendapat suatu
trauma. Fraktur cruris dapat terjadi akibat daya putar atau puntir yang dapat
menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat berbeda;
daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya
pada tingkat yang sama.
Kondisi klinis fraktur cruris tertutup menimbulkan berbagai maslah
keperawatan pada klien, meliputi respons nyeri hebat akibat rusaknya
jaringan lunak dan kompresi saraf, resiko tinggi cidera jaringan akibat
4
kerusakan vascular dengan pembengkakan lokal yang menyebabkan
sindrom kompartemen yang sering terjadi pada fraktur froksimal tibia, dan
hambatan mobilitas fisik sekunder akibat kerusakan fragmen tulang. Pada
beberapa keadaan, perawat sering melakukan usaha keperawatan klien
fraktur cruris tertutup.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila
tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang,
maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi
karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit,
dan infiltrasi sel darah putih. ini merupakan dasar penyembuhan tulang
(Black, J.M, et al, 1993).
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma
karena kecelakaan bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan
rusak atau putusnya kontinuitas jaringan tulang. Selain itu keadaan
patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan densitas tulang
menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian
tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas
jaringan tulang yang dapat merobek periosteum dimana pada dinding
kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-saraf sehingga dapat timbul rasa
nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3 grade menurut
kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II
fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema
pada jaringan. Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan
pembuluh darah.
5
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002).
Umunmya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya
fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami
fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan rneningkatnya insides
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause
(Reeves, 2001).
1.5 Komplikasi
Komplikasi awal setelah fraktur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cedera; emboli lemak, yang dapat terjadi
dalam 48 jam atau lebih; dan sindrom kompartemen, yang berakibat
kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera.
Komplikasi awal lainnya yang herhubungan dengan fraktur adalah infeksi,
tromboemboli, (emboli paru), yang dapat menyebabkan kematian beberapa
minggu setelah cedera; dan koagulopati intravaskuler diseminata (KID).
Menurut Sylvia and Price (2001), komplikasi yang biasanya
ditemukan antara lain :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
6
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena
sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang
ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
7
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis.
Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang
baik.
1.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi : X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan
metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus
vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang
kompleks.
2. Laboratorium : Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui :
Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah
3. Arteriografi : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Kreatinin : trauma otot meningkatkanbeban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Pofil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah ,
tranfusi multiple atau cidera hati. (Doengoes)
1.7 Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Menurut Lukman (2009;32), bila dicurigai ada fraktur maka
penting untuk melakukan imobilisasi segera. Bila klien mengalami
cedera, sebelum dilakukan pembidaian ekstremitas harus disangga di
atas sampai di bawah tempat patahan untuk mencegha gerkan rotasi
maupun angulasi. Pembidaian sangat penting untuk mencegah
kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
8
Nyeri yang terjadi karena fraktur yang sangat berat dapat
dikurangi dengan menghindari fragmen tulang. daerah yang cedera
diimobilisasi dengan memasang bidai sementata dengan bantalan yang
memadai, dan kemudian dibebat dengan kencang namun tetap harus
memperhatikan nadi perifer. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas
bawah dapat juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama,
dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas
yang cedera.
Luka ditutup dengan pembalut steril untuk mencegah kontaminasi
jaringan yang lebih dalam pada luka terbuka.
Untuk cedera muskuloskeletal perlu ditangani segera untuk
memungkinkan penyembuhan dan meminimalkan kecacatan, cedera
jaringan lunak ditangani dengan RICE (rest, ice, compression,
elevation). Kompres es diberikan selama 20-30 menit secara intermitten
selama 24 jam untuk mengontrol pembengkakkan dan mengurangi
nyeri. Daerah yang sakit dibalut dengan balutan kompresi elastik untuk
meminimalkan efusi dan mentangga daerah tersebut dan memberikan
rasa nyaman, balutan tidak boleh terlalu ketat atau menjerat.
Ekstremitas yang cedera ditinggikan sampai setinggi jantung untuk
mengontrol pembengkakkan dan memungkinkan istirahat (Smeltzer,
2001;2356).
Pertolongan pertama pada penderita patah tulang di luar rumah
sakit adalah sebagai berikut.
a. Jalan napas, bila penderita tidak sadar maka jalan napas dapat
tersumbat karena lidahnya jatuh ke dalam faring sehingga menutup
jalan napas atau adanya sumbatan oleh lendir, darah, muntahan
atau benda asing. Untuk mengatasi keadaan ini, penderita
dimiringkan sampai tengkurap. Rahang dan lidah di tarik ke depan
dan bersihkan faring dengan jari-jari.
b. Perdarahan pada luka, cara yang paling efektif yaitu dengan
meletakkan kain yang bersih yang cukup tebal dan dilakukan
penekanan dengan tangan atau dibalut dengan verban yang cukup
9
menekan. Dalam melakukan penekanan harus diperhatikan denyut
nadi perifer, serta pengisian kapiler untuk mencegah terjadinya
kematian jaringan.
c. Syok, terjadi bila orang kehilangan darahnya ± 30% dari volume
darahnya. Pada fraktur femur tertutup orang dapat kehilangan
darahnya sekitar 1000-1500 cc. Paling baik untuk mengatasi syok
karena perdarahan yaitu dengan tranfusi darah.
d. Fraktur dan dislokasi, harus dilakukan imobilisasi. Pada
fraktur/dislokasi servikal dapat digunakan gulungan kain tebal yang
diletakkan di sebelah kanan dan kiri kepala. Pada tulang belakang
cukup diletakkan di alas keras. Pada bahu atau lengan atas cukup
diberikan sling. Pada femur atau dislokasi sendi panggul dapat
dipakai Thomas splint atau papan panjang dipasang dari aksila
sampai pedis dan difiksasi dengan tungkai sebelah yang normal.
2. Prinsip penanganan fraktur
Menurut Smeltzer (2001;2360).
a. Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis.
1) Reduksi tertutup, dilakukan dengan mengembalikan fragmen
tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
2) Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan
imobilisasi.
3) Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup,
plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
b. Imobilisasi fraktur, setelah direduksi fragmen tulang harus
diimobilisasi baik dengan fiksasi interna dan eksterna.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, latihan isometrik dan
setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
10
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga diri.
3. Penatalaksanaan operatif
1) ORIF Open Reduction Internal Fixation
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi), merupakan suatu
tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya.
Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku
maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahankan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid
terjadi.
Menurut Apley (1995) dalam Priyanta (2010), terdapat 5 metode
fiksasi internal yang digunakan, antara lain.
1) Sekrup kompresi antar fragmen.
2) Plat dan sekrup, paling sesuai untuk lengan bawah.
3) Paku intermedula, untuk tulang panjang yang lebih besar.
4) Paku pengikat sambungan dan sekrup, ideal untuk femur dan
tibia.
5) Sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal
dan distal femur.
Indikasi ORIF yaitu.
1) Fraktur intraartikuler.
2) Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan.
3) Terdapat interposisi jaringan di antara kedua fragmen.
4) Diperlukan fiksasi rigid.
5) Terdapat fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara
baik dengan reduksi tertutup.
6) Fraktur terbuka.
7) Terdapat kontraindikasi pada mobilisasi sedangkan dibutuhkan
mobilisasi yang cepat.
11
8) Eksisi fragmen yang kecil.
9) Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis
avaskuler.
10) Fraktur avulsi dan fraktur multiple.
2) OREF Open Reduction External Fixation
Menurut Putra (2012), OREF adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas
dan di bawah fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan
suatu batang lain. Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini
memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif (hancur
atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga
posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini
memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan
fragmen tulang.
Indikasi OREF yaitu.
1) Fraktur terbuka pada grade 2 dan 3.
2) Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang
hebat.
3) Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartritis.
4) Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF.
5) Non-union.
6) Fraktur dengan gangguan neurovaskuler.
7) Fraktur kominutiva.
8) Fraktur pelvis.
9) Fraktur multiple.
3) Reposisi/Pemasangan gips
Menurut Lukman (2009;78), gips adalah alat imobilisasi
eksternal yang kaku, dicetak sesuai kontur tubuh di mana gips
dipasang. Secara umum gips memungkinkan mobilisasi klien,
sementara membatasi gerakan bagian tubuh tertentu. Tujuan
12
pemasangan gips adalah untuk mengimobilisasi bagian tubuh
dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang merata pada
jaringan lunak yang terletak di dalamnya. Gips dapat digunakan
untuk mengimobilisasi fraktur yang telah direduksi, mengoreksi
deformitas, memberikan tekanan merata pada jaringan lunak di
bawahnya, memberikan dukungan dan stabilitas bagi sendi yang
mengalami kelemahan.
Menurut Suratun (2008;39), indikasi pemasangan gips yaitu
pasien dengan dislokasi sendi, fraktur, penyakit tulang spondilitis
TBC, pascaoperasi, skoliosis, dan lain-lain.
Menurut Apley (1995) penatalaksanaan medis yang dilakukan
adalah:
1. Penatalaksanaan konservatif. Merupakan penatalaksanaan non
pembedahan agar immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
1) Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur
terutama untuk mencegah trauma lebih lanjut dengan cara
memberikan sling (mitela) pada anggota gerak atas atau tongkat
pada anggota gerak bawah.
2) Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya
menggunakan plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam
bidai dari plastic atau metal. Metode ini digunakan pada fraktur
yang perlu dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan.
3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi
dilakukan dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang
dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur.penggunaan gips
untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
4) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi.
Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi
yang bertahap dan imobilisasi.
13
1.7.1 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur cruris, ada 2 tipe dari fraktur cruris yaitu :
1. Fraktur intra capsuler : yaitu terjadi dalam tulang sendi panggul dan
captula.
1) Melalui kapital fraktur
2) Hanya dibawah kepala femur
3) Melalui leher dari femur
2. Fraktur ekstra kapsuler
1) Terjadi diluar sendi dan kapsul melalui trokanter cruris yang lebih
besar atau yang lebih kecil pada daerah intertrokanter.
2) Terjadi di bagian distal menuju leher cruris tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokanter terkecil.
Selain dari dua tipe diatas klasifikasi fraktur lain yaitu:
1. Klasifikasi umum.
a. Simpleks (tertutup) fragmen tulang tidak menembus kulit.
b. Compound (terbuka) fragmen tulang menembus kulit.
c. Inkompleta (parsial) kontinuitas tulang belum terputus seluruhnya.
d. Kompleta (total) kontinuitas tulang sudah terputus seluruhnya.
2. Klasifikasi berdasarkan posisi fragmen.
a. Kominutiva (communited, remuk) tulang pecah menjadi sejumlah
potongan kecil-kecil.
b. Impakta (impacted) salah satu fragmen fraktur terdorong masuk
kedalam fragmen yang lain
c. Angulata (angulated, bersudut) kedua fragmen fraktur berada
pada posisi yang membentuk sudut terhadap yang lain.
d. Dislokata (displacted) fragmen fraktur saling terpisah dan
menimbulkan deformitas.
e. Nondislokata (nondisplacted) kedua potongan tulang tetap
mempertahankan kelurusan (alignment) tulang yang pada dasarnya
masih normal.
14
f. Overrding fragmen fraktur saling menumpuk sehingga
keseluruhan panjang tulang memendek.
g. Segmental fraktur terjadi pada dua daerah yang berdekatan
dengan segmen sentral yang terpisah.
h. Avulasi (avulsed) fragmen fraktur tertarik dari posisi normal
karena kontraksi otot atau resistensi ligamen.
3. Klasifikasi berdasarkan garis fraktur :
a. Linier garis fraktur berjalan sejajar dengan sumbu tulang.
b. Longitudinal garis fraktur membentang dalam arah longitudinal
(tetapi tidak sejajar) disepanjang sumbu tulang.
c. Oblik garis fraktur menyilang tulang pada sudut sekitar 45 derajat
terhadap sumbu tulang.
d. Spiral garis fraktur menyilang tulang pada sudut yang oblik
sehingga menciptakan pola spiral.
e. Transversal garis fraktur membentuk sudut tegak lurus terhadap
sumbu tulang.
15
Perubahan jaringan sekitar
Deformitas
Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis
Fraktur
Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri Akut
Pergeseran fragmen tulangLaserasi kulit
Resiko Syok Hipovolemik
Hambatan Mobilitas Fisik
Ggn. Fungsi ektremitas Perdarahan
Kehilangan volume cairan
Putus vena/arteri
Spasme otot
Pelepasan histamin
Tek kapiler
Protein plasma hilang
Edema
Penekanan pembuluh darah
Kerusakan Integritas Kulit Resiko Infeksi
Tek sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler
Bergabung dengan trombosit
Metabolism asam lemak
Melepaskan katekolamin
Menyumbat pembuluh darah
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer
Kerusakan fragmen tulang
Emboli
Fathway Fraktur
16
Pathoflow Fraktur
17
Manifestasi klinis
kesadaran Hipotensi Akral dingin Takikardia Anemis
Rontgen CT-scan MRI
Trauma langsung (jatuh, kecelakaan, olah raga, dll)
Stres fraktur Trauma tidak langsung Obat-obatan seperti preparat steroid
Kondisi patologis (osteoporosis, osteomielitis, tumor tulang, dll)
Penekanan pada tulang
Fraktur
Kerapuhan tulangKetidakmampuan menahan tekanan
Pergeseran fragmen tulang dan menembus kulit Intervensi bedah (traksi, terapi bedah fiksasi interna dan eksterna)
Terputusnya hubungan tulang
Ketidakmampuan melakukan
pergerakan
Gangguan fungsi ekstremitas
HAMBATAN MOBILITAS FISIK.
RESIKO TINGGI TRAUMA
Kerusakan jaringan lunak
Kerusakan saraf, kompresi saraf
Pelepasan mediator nyeri (histamin, prostaglandin, serotonin, lidokain, dll)
Reseptor nyeri
Impuls ke otak
Muncul persepsi nyeri
NYERI
R : Rest (Istirahat) I : Ice (Kompres dingin) C : Compression (pembidaian atau pembebatan) E : Elevasi (meninggikan bagian yang sakit)
Spasme otot
tekanan kapiler
Pelepasan histamin
Protein plasma hilang
Oedema
Penekanan pembuluh darah
RESIKO TINGGI PENURUNAN
PERFUSI JARINGAN PERIFER
R. I. C. E.
Kerusakan otot, kulit
KERUSAKAN INTEGRITAS JARINGAN
Luka
Kerusakan vaskular
Kerusakan arteri dan vena
Perdarahan
RESIKO TINGGI SYOK HIPOVOLEMIK
Arteriogram
Penggantian cairan. Tranfusi darah. Penekanan langsung
untuk mengendalikan perdarahan
Pre op. Post op.
18
Intervensi bedah (traksi, terapi bedah fiksasi interna dan eksterna)
Kurangnya informasi terhadap proses
pembedahan
Krisis situasional
ANSIETAS
Prognosis pembedahan,
ancaman kehilangan organ dan
fungsi tubuh setelah
pembedahan
KOPING TIDAK
EFEKTIF
NYERI
Trauma jaringan lunak
Stumuli reseptor nyeri
Ketidaktahuan teknik mobilisasi
Pasca bedah
Port de entree kuman
RESIKO TINGGI INFEKSI
Resiko malunion, delayed union,
non-union
PEMENUHAN
INFORMASI
Efek anastesi
B1
Menekan saraf pusat pernapasan
Kontrol kepatenan jalan napas (lidah) menurun
Kontrol batuk efektif dan muntah menurun
KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS
Penumpukan sekret
B3B2
Depresi mekanisme regulasi sirkulasi normal
Perdarahan pascaoperatif
Penurunan curah jantung
RESIKO TINGGI
PENURUNAN PERFUSI JARINGAN PERIFER
Kontrol kesadaran menurun
Kemampuan orientasi masih menurun
Nyeri pascaoperatif meningkat sekunder
PENURUNAN KESADARAN
NYERI
KETERANGAN :
= Penatalaksanaan
= Pemeriksaan diagnostik
19
Post op.
Peristaltik usus menurun Kemampuan pengosongan
lambung menurun
KONSTPASI
Efek anastesi
B4
Kontrol kemampuan miksi menurun
Penurunan aktivitas
GANGGUAN PEMENUHAN ELIMINASI
URINE
B5 B6
Respons resiko posisi bedah. Luka pascabedah. Lemahnya ligamen tulang belakang. Penurunan kontrol otot dan
keseimbangan
Kelemahan anggota gerak
RESIKO TINGGI CEDERA
Pathway Fraktur Cruris Tertutup
20
Trauma putar atau punter, trauma dengan daya angulasi, cedera tidk langsung pada kaki
Fraktur cruris tertutupTerputusnya
hubungan tulang
Pembengkakan lokal
Ketidakmampuan melakukan
pergerakan kaki
Kerusakan saraf spame otot
Terapi imobilisasi gips sirkular
Terapi bedah fiksasi interna dan fiksasi
eksterna
Hambatan mobilitas Resiko tinggi trauma
Nyeri
Resiko sindrom kompartemen
Kerusakan vaskular
Kerusakan jaringan lunak
Ketidaktahuan teknik mobilisasi
Respons psikologis
Ansietas
Resiko malunion, delayed union,
non-union
Pasca bedah
Port de entree
Pemenuhan informasi
Resiko tinggi infeksi
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan
secara ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah klien,
merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy, 1995 : 2-3).
Adapun tahapan dalam proses keperawatan antara lain:
2.1 Pengkajian
Menurut Muttaqin (2011;335), pengkajian fokus pada fraktur yaitu.
1. Look
Pada fase awal trauma, wajah klien terlihat meringis kesakitan.
Terlihat deformitas yang jelas pada tungkai bawah. Apabila ditemukan
pembengkakan pada proksimal cruris pada fraktur tertutup dan
terbuka, perlu dikaji adanya keluhan nyeri lokal hebat disertai
perubahan nadi, perfusi yang tidak baik (akral dingin pada sisi lesi),
CRT > 3 detik pada bagian distal kaki. Hal ini merupakan tanda-tanda
penting terjadinya sindrom kompartemen yang harus dihindari. Pada
kondisi klinis, perawat sering menemukan klien fraktur cruris tertutup
dengan komplikasi lanjut. Komplikasi tersebut adalah fraktur cruris
dengan infeksi dan penutupan jaringan lunak yang tidak sempurna.
2. Feel
Pada fraktur tertutup dan terbuka akan didapatkan adanya nyeri
tekan (tenderness) dan krepitasi.
3. Move
Gerakan pada tungkai bawah yang patah tidak boleh dilakukan
karena menimbulkan respons trauma pada jaringan lunak disekitar
ujung ragmen tulang yang patah. Klien tidak mampu melakukan
pergerakan pada tungkai bawah yang patah. Akan didapatkan adanya
gangguan keterbatasan gerak ekstremitas, ketidakmampuan
21
menggerakkan ekstremitas. Karena timbulnya nyeri dan keterbatasan
gerak, semua kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien
banyak dibantu oleh orang lain.
Menurut hidayat (2004:98), pengkajian merupakan langkah pertama
dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari
klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada. Pengkajian
yang harus dilakukan adalah :
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien
biasanya merasa takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh
karena itu, klien harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu juga, dilakukan
pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolism kalsium,
pengonsumsian alcohol yang dapat mengganggu keseimbangan klien,
dan apakah klien melakukan olah raga atau tidak.
2. Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengknsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari harinya, seperti kalsium, zat besi, protein,
vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
3. Pola eliminasi. Urine dikaji frekwensi, kepekatan, warna, bau, dan
jumlahnya. Feses dikaji frekuensi, konsistensi, warna dan bau. Pada
kedua pola ini juga dikaji adanya kesulitan atau tidak.
4. Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur biasanya merasa nyeri,
geraknya terbatas, sehingga dapat mengganggu pola dan kebutuhan
tidur klien. Pengkajian juga dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.
5. Pola aktifitas. Hal yang perlu dikaji adalah bentuk aktifitas klien
terutama pekerjaan klien, karena ada beberapa bentuk pekerjaan
beresiko untuk terjadinya fraktur.
6. Pola hubungan dan peran. Klien akan mengalami kehilangan peran
dalam keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat
inap.
22
7. Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul adalah ketakutan
akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktifitas secara optimal, dan gangguan citra diri.
8. Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain
dan kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
9. Pola reproduksi seksual. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak, serta
merasa nyeri. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya
termasuk jumlah anak dan lama perkawinan.
10. Pola penanggulangan stress. Timbul rasa cemas akan keadaan dirinya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien dapat tidak efektif.
11. Pola tata nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat melakukan
ibadah dengan baik, hal ini disebabkan oleh rasa nyeri dan keterbatasan
gerak klien.
1. Pengkajian primer
a. Airway Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk
b. Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas
terdengar ronchi /aspirasi
c. Circulation TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini,
disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada
tahap lanjut
2. Pengkajian sekunder
a. Aktivitas/istirahat
1) Kehilangan fungsi pada bagian yangterkena
2) Keterbatasan mobilitas
b. Sirkulasi
23
1) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
2) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
3) Tachikardi
4) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
5) Capilary refil melambat
6) Pucat pada bagian yang terkena
7) Masa hematoma pada sisi cedera
c. Neurosensori
1) Kesemutan
2) Deformitas, krepitasi, pemendekan
3) Kelemahan
d. Kenyamanan
1) Nyeri tiba-tiba saat cidera
2) Spasme/ kram otot
e. Keamanan
1) Laserasi kulit
2) Perdarahan
3) Perubahan warna
4) Pembengkakan local
2.2 Diagnosa Keperawatan
Menurut Muttaqin (2011;337), diagnosis keperawatan yang sering
muncul pada klien fraktur crusis tertutup adalah sebelum dan setelah
intervensi medis, meliputi diagnosa post op :
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan
lunak pascabedah.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera
jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.
24
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan
kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif
dan muntah menurun, efek anestesi.
5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan
kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.
6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah
dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.
7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka
fraktur terbuka, luka pasca bedah.
8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan
menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan
ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.
9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi
sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah
jantung.
10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.
11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit
dan pembedahan.
2.3 Intervensi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan
lunak pascabedah.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang atau teradaptasi.
KH :
- Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
- Klien tidak gelisah dan tampak rileks.
- Skala nyeri 0-3 (0-10)
- TTV dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,
RR = 16-24 x/menit).
25
Intervensi Rasional
Kaji nyeri dengan skala 0-4 Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat
dikaji dengan menggunakan skala nyeri.
Klien melaporkan nyeri biasanya di atas
tingkat cedera.
Pantau keluhan nyeri lokal,
apakah disertai
pembengkakkan.
Deteksi dini untuk mengetahui adanya tanda
sindrom kompartemen.
Lakukan manajemen nyeri.
1. Atur posisi imobilisasi pada
tungkai bawah.
2. Manajemen lingkungan :
lingkungan tenang, batasi
pengunjung, dan
istirahatkan klien.
3. Ajarkan teknik relaksasi
pernapasan dalam ketika
nyeri muncul.
4. Ajarkan teknik distraksi
saat nyeri.
1. Imobilisasi yang adekuat dapat
mengurangi pergerakan fragmen tulang
yang menjadi unsur utama penyebab nyeri
pada tungkai bawah.
2. Lingkungan yang tenang akan menurunkan
stimulus nyeri eksternal dan pembatasan
pengunjung akan membantu meningkatkan
kondisi O2 ruangan yang akan berkurang
apabila banyak pengunjung di ruangan.
Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2
jaringan perifer.
3. Meningkatkan asupan O2 sehingga akan
menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia.
4. Distraksi dapat menurunkan stimuluus
internal dengan mekanisme peningkatan
produksi endorfin dan enkafelin yang
dapat memblok reseptor nyeri agar tidak
dikirimkan ke korteks serebri sehinggga
menurunkan persepsi nyeri.
26
5. Lakukan manajemen
sentuhan.
5. Manajemen sentuhan pada saat nyeri
berupa sentuhan dukungan psikologis
dapat membantu menurunkan nyeri.
Kolaborasi.
1. Pemberian analgesik.
2. Pemasangan traksi skeletal.
3. Pembedahan untuk
pemasangan fiksasi interna
(ORIF) dan fiksasi eksterna
(OREF).
1. Analgesik memblok lintasan nyeri
sehingga nyeri akan berkurang.
2. Penarikan dengan traksi skeletal dapat
mengurangi pergerakan fragmen tulang
yang dapat meneka jaringan saraf sehingga
dapat menurunkan respons nyeri.
3. Intervensi medis berupa stabilisasi dengan
melakukan fiksasi pada tulang yang patah
akan dapat menurunkan stimulus nyeri.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam, klien mampu melaksanakan aktivitas fisik.
KH :
- Klien dapat ikut serta dalam program latihan.
- Tidak terjadi kontraktur sendi.
- Bertambahnya kekuatan otot.
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilisasi.
Intervensi Rasional
Kaji mobilitas yang ada dan observasi
peningkatan kerusakan. Kaji secara
Mengetahui tingkat kemampuan
klien dalam melakukan aktivitas .
27
teraturfungsi motorik.
Atur posisi imobilisasi pada daerah
fraktur.
Imobilisasi yang adekuat
mengurangi pergerkan fragmen
tulang yang menjadi unsur utama
penyebab nyeri pada tungkai bawah.
Ajarkan klien untuk melakukan latihan
gerak aktif pada ekstremitas yang tidak
sakit.
Gerakan aktif memberikan massa,
tonus, dan kekuatan otot serta
memperbaiki fungsi jantung dan
pernapasan.
Bantu klien melakukan latihan ROM,
perawatan diri sesuai toleransi.
Untuk memelihara fleksibilitas sendi
sesuai kemampuan.
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk
latihan fisik klien.
Peningkatan kemampuan dalam
mobilisasi ekstremitas dapat dicapai
dengan latihan fisik dari tim ahli
fisioterapi.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera
jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.
Tujuan : Dalam waktu 7x24 jam integritas kulit membaik secara optimal
KH :
- Pertumbuhan jaringan meningkat.
- Keadaan luka membaik.
- Luka jahitan bersih dan tidak basah.
- Luka menutup
Intervensi Rasional
Kaji daerah sekitar luka,
apakah ada pus, jahitan yang
basah, atau ada kerusakan
jaringan lunak.
Sebagai data dasar untuk memberikan
informasi intervensi perawatan luka, alat yang
akan digunakan.
Lakukan perawatan luka.
a. Lakukan perawatan luka a. Mengurangi kontaminasi kuman langsung
28
dengan teknik steril.
b. Observasi keadaan luka
dengan teknik membuka
balutan, mengurangi
stimulus nyeri, jika kasa
melekat diguyur dengan
NaCl.
c. Lakukan pembilasan luka
dari arah dalam ke luar
dengan larutan NaCl.
d. Tutup luka dengan kasa
steril atau kompres dengan
NaCl yang dicampur
dengan antibiotik.
e. Lakukan nekrotomi pada
jaringan yang mati
f. Rawat luka setiap hari atau
setiap kali jika pembalut
basah atau kotor
ke area luka.
b. Manajemen membuka balutan luka dengan
menguyur larutan NaCl ke kasa dapat
mengurangi stimulus nyeri dan dapat
menghindari terjadinya perdarahan pada
lukan akibat kasa yang melekat pada luka.
c. Teknik membuang jaringan dan kuman di
area luka.
d. NaCl merupakan larutan fisiologis yang
lebih mudah diabsorbsi oleh jaringan
dibandingkan larutan antiseptik. Dan
campuran antibiotik mempercepat
penyembuhan luka.
e. Jaringan nekrotik dapat menghambat
proses penyembuhan luka.
f. Memberikan rasa nyaman pada klien dan
dapat membantu meningkatkan
pertumbuhan jaringan luka.
Perhatikan intake nutrisi klien. Penting untuk membantu mempercepat
penyembuhan luka.
Bantu pasien untuk ambulasi
dini.
Membantu memperlancar peredaran darah,
mengembalikan aktivitas normal pasien, dan
mempertahankan tonus otot.
Evaluasi kerusakan jaringan
dan perkembangan
Apabila masih belum tercapai kriteria
evaluasi, sebaiknya perlu dikaji ulang faktor-
29
pertumbuhan jaringan. faktor apa yang menghambat pertumbuhan
jaringan luka.
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan
kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif
dan muntah menurun, efek anestesi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, jalan napas
kembali efektif.
KH :
- Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-24 x/menit).
- Pasien tidak menggunakan otot bantu napas.
- Saturasi oksigen 100%.
- Oral airway sudah bisa dilepas saat pasien keluar ruang pemulihan.
Intervensi Rasional
Kaji dan monitor kontrol pernapasan. Obat anestesi dapat menyebabkan
depresi pernapasan, sehingga
perawat harus mewaspadai
pernapasan yang dangkal dan
lambat serta batuk yang lemah.
Monitor frekuensi, irama, kedalaman
ventilasi pernapasan, kesimetrisan gerakan
dinding dada, bunyi napas, dan warna
membran mukosa.
Deteksi awal adanya perubahan
terhadap kontrol pola pernapasan
dari medula oblongata untuk
intervensi selanjutnya.
Pastikan fungsi pernapasan sudah optimal. Tindakan evaluasi untuk
menentukan dimulainya latihan
pernapasan sesuai yang diajarkan
pada saat praoperatif.
Instruksikan pasien untuk melakukan
napas dalam.
Meningkatkan ekspansi paru.
Untuk memperbesar ekspansi
dada dan pertukaran gas.
30
Instruksikan untuk melakukan batuk
efektif.
Batuk juga didorong untuk
melonggarkan sumbatan mukus.
5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan
kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.
Tujuan: Dalam waktu 8-12 jam pasien mampu berkemih.
KH : Pasien mampu berkemih secara spontan dan tanpa bantuan selang kateter.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan kontrol berkemih. Efek depresan dari anestesi dan
analgesik dapat mengganggu sensasi
penuhnya kandung kemih. Apabila
tonus kandung kemih menurun,
pasien akan mengalami kesulitan
untuk memulai berkemih. Namun,
pasien harus berkemih dalam waktu
8-12 jam setelah pembedahan.
Bantu pasien untuk berkemih dalam
posisi normal.
Pasien laki-laki akan membutuhkan
bantuan untuk berdiri saat berkemih.
Pispot menyebabkan pasien sulit
berkemih. Pasien wanita akan
berkemih dengan baik jika ia dapat
berkemih di toilet.
Monitor keinginan berkemih dari
pasien.
Pasien bedah yang diharuskan baring
di tempat tidur memerlukan bantuan
untuk memegang dan menggunakan
pispot/urinal.
Kaji adanya distensi kandung kemih. Apabila pasien tidak berkemih dalam
waktu 8 jam setelah pembedahan,
pasien perlu dipasang kateter urine,
dan diperlukan instruksi dokteer.
Monitor asupan dan keluaran cairan tiap
4 jam.
Agar tercapai asupan cairan dan
haluaran urine yang normal. Jumlah
31
haluaran urine untuk dewasa
minimal 2 ml/kg/jam. Apabila urine
berwarna gelap, pekat, dan
volumenya sedikit, dokter perlu
diberitahu.
6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah
dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam resiko syok hipovolemik tidak terjadi.
KH :
- Klien tidak mengeluh pusing.
- Membran mukosa lembab.
- Turgor kulit normal.
- TTv dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,
RR = 16-24 x/menit).
- CRT < 3 detik.
- Urine > 600 ml/hari
Intervensi Rasional
Pantau status cairan (turgor
kulit, membran mukosa,
haluaran urine).
Jumlah dan tipe cairan pengganti ditentukan
oleh keadaan status cairan. Penurunan volume
cairan mengakibatkan penurunan produksi
urine, pemantauan yang ketat pada produksi
urine < 600 ml/hari merupakan tanda-tanda
terjadinya syok kardiogenik.
Kaji sumber kehilangan cairan. Kehilangan cairan dapat berasal dari faktor
ginjal dan di luar ginjal. Penyakit yang
mendasari terjadinya kekurangan volume
cairan juga harus diatasi. Perdarahan harus
dikendalikan.
Kaji warna kulit, suhu,
sianosis, nadi perifer, dan
diaforesis secara teratur.
Mengetahui adanya pengaruh peningkatan
tahanan perifer.
32
Pantau frekuensi dan irama
jantung.
Perubahan frekuensi dan irama jantung
menunjukkan komplikasi disritmia.
Kolaborasi dalam pemberian
cairan melalui IV.
Jalur yang paten penting untuk pemberian
cairan cepat dan memudahkan perawat dalam
melakukan kontrol asupan dan haluaran
cairan.
7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka
fraktur terbuka, luka pasca bedah.
Tujuan : Dalam waktu 10x24 jam, resiko infeksi tidak terjadi..
KH :
- Tidak ada tanda dan gejala infeksi.
- Pengangkatan jahitan pasca bedah dapat dilakukan pada hari ke-10.
Intervensi Rasional
Kaji faktor-faktoryang
memungkinkan terjadinya infeksi
yang masuk ke port de entree.
Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat
dikaji dengan menggunakan skala nyeri.
Klien melaporkan nyeri biasanya di atas
tingkat cedera.
Lakukan manajemen
keperawatan.
1. Lakukan perawatan luka
steril pada hari ke-2 pasca
bedah fiksasi interna
apabila kasa terlihat kotor.
2. Lakukan perawatan luka
secara steril pada luka pasca
bedah dengan iodin
providum dan dibersihkan
dengan alkohol 70% dengan
1. Perawatan luka steril dilakukan idealnya
pada hari ke-2 dan perawatan selanjutnya
tidak setiap hari. Biasanya dilakukan
setiap 2 hari sekali atau apabila kasa
terlihat kotor dapat dilakukan setiap hari.
2. Teknik swibbing secara steril dapat
membersihkan sisa nekrotik, debris, dan
dapat mengurangi kontaminasi kuman.
33
teknik swaabbing dari arah
dalam ke luar.
3. Desinfeksi daerah
pemasangan fiksasi
eksterna dengan providum
dan bilas dengan alkohol
70%.
4. Tutup luka OREF dengan
kasa gulung.
5. Pantau kondisi luka.
Apabila kotor segera
lakukan pernggantian
balutan.
3. Desinfeksi dengan iodin providum dapat
menghilangkan kuman pada sekitar logam
yang masuk ke kulit pada fiksasi eksterna.
Pembersihan iodin providum dengan
alkohol dapat mengurangi dampak iritasi
pada kulit sehingga dapat meningkatkan
pertumbuhan jaringan.
4. Menghindari kontak dengan udara luar.
5. Kasa yang kotor akibat sisa perdarahan
pasca bedah merupakan stimulus yang
dapat meningkatkan resiko infeksu.
Pantau/batasi pengunjung Mengurangi resiko kontak infeksi dari orang
lain.
Tingkatkan asupan nutrisi
TKTP.
Meningkatkan imunitas tubuh secara umum
dan membantu menurunkan resiko infeksi.
Kolaborasi dalam pemberian
antibiotik.
Antibiotik dapat menurunkan invasi kuman
yang dapat meningkatkan resiko cedera
jaringan lunak.
8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan
menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan
ketidaktahuan cara mobilisasi yang adekuat.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam klien kooperatif untuk ikut serta dalam menghindari
resiko trauma.
KH :
34
- Secara subjektif klien mampu mengulang kembali faktor-faktor yang
menyebabkan trauma dan terlihat melaksanakan kegiatan menghindari
trauma.
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan klien
tentang faktor yang beresiko
menyebabkan trauma pada
fraktur.
Sebagai data dasar melaksanakan intervensi
sesuai dengan tingkat pengetahuan yang klien
miliki.
Lakukan manajemen fiksasi
eksterna.
1. Atur posisi fiksasi
eksterna.
2. Anjurkan klien untuk
tidak menginjakkan
kaki yang masih
terpasang fiksasi
eksterna.
3. Atur posisi telapak kaki
fleksi 900 menghadap ke
atas.
4. Fiksasi eksterna jangan
ditutup dengan selimut.
1. Posisi yang ideal pada fiksasi eksterna
dapat menghindari resiko trauma.
Biasanya dengan melatakkan bantal kecil
pada lipat siku (disesuaikan dengan
kenyamanan klien) dapat meningkatkan
rasa nyaman klien.
2. Penyembuhan penyambungan tulang
pada fraktur agar dapat menahan berat
tubuh selama 3 bulan, sehingga sebelum
waktu tersebut klien dianjurkan untuk
menggunakan alat bantu tongkat apabila
melakukan mobilisasi.
3. Dapat menghindari kontraktur sendi
telapak kaki.
4. Ketidaktahuan akan adanya fiksasi
eksterna dapat meningkatkan resiko
cedera.
35
5. Beri penumpul pada
bagian logam yang
tajam.
5. Untuk mengurangi respon cedera
jaringan lunak pada sisi yang sehat.
Kolaborasi pemberian
antibiotik
Antibiotik dapat menurunkan invasi kuman
yang dapat meningkatkan resiko cedera
jaringan lunak.
9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi
sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah
jantung.
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam terjadi peningkatan perfusi jaringan perifer.
KH :
- TTV dalam batas normal (TD = 120/80 mmHg, S = 36-37,5 0C, N = 60x100 x/menit,
RR = 16-24 x/menit).
- CRT < 2 detik.
- Penyembuhan luka perifer cepat.
- Tidak ada oedema.
Intervensi Rasional
Evaluasi kualitas nadi perifer
distal terhadap cedera dengan
palpasi. Bandingkan dengan
ekstremitas yang sehat.
Penurunan/tidak adanya nadi dapat
menggambarkan cedera vaskular dan
perlunya evaluasi medik segera terhadap
status sirkulasi.
Kaji aliran kapiler, warna kulit,
dan kehangatan distal pada
fraktur.
Kembalinya warna harus cepat (< 2). Warna
kulit putih menunjukkan gangguan arterial.
Sianotik diduga ada gangguan vena.
Pertahankan peninggian
ekstremitas yang cedera
Meningkatkan drainase vena /menurangi
oedema. Pada sindrom kompartemen
36
kecuali ada kontraindikasi
seperti adanya sindrom
kompartemen.
peninggian ekstremitas menghalangi aliran
arteri, menurunkan perfusi.
Berikan kompres es sekitar
fraktur sesuai indikasi.
Menurunkan oedema/pembentukan
hematoma, yang dapat mengganggu sirkulasi.
Buat bebat/spalk sesuai
kebutuhan
Untuk menghilangkan retriksi sirkulasi yang
diakibatkan oleh pembentukan oedema pada
ekstremitas yang cedera.
Pantau TTV, pucat/sianotik
umum, kulit dingin, perubahan
mental.
Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan
memengaruhi sistem perfusi jaringan.
10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.
Tujuan: Secara subjektif melaporkan rasa cemas berkurang.
KH :
- Pasien mampu mengungkapkan perasaannya kepada perawat.
- Pasien dapat mendemontrasikan keterampilan pemecahan masalahnya dan
perubahan koping yang digunakan sesuai situasi yang dihadapi.
- Pasien dapat mencatat menurunan kecemasan/ketakutan di bawah standar.
- Pasien dapat rileks dan tidur/istirahat dengan baik.
Intervensi Rasional
Monitor respons fisik, seperti:
kelemahan, perubahan tanda vital,
gerakkan yang berulang-ulang, catat
kesesuaian respons verbal dan nonverbal
selama komunikasi.
Digunakan dalam mengevaluasi
derajat/tingkat kesadaran
konsentrasi, khususnya ketika
melakukan komunikasi verbal.
Anjukan pasien dan keluarga untuk
mengungkapkan dan mengeksperesikan
rasa takutnya.
Memberikan kesempatan untuk
berkonsentrasi, kejelasan dari rasa
takut, dan mengurangi cemas yang
berlebihan.
Catat reaksi dari pasien/keluarga. Anggota keluarga dengan
37
Berikan kesempatan untuk
mendiskusikan
perasaannya/konsentrasinya, dan
harapan masa depan.
responsnya pada apa yang terjadi
dan kecemasannya dapat
disampaikan kepada pasien.
Anjurkan aktivitas penglihatan perhatian
sesuai kemampuan individu, seeperti
menulis, nonton TV, dan keterampilan
tangan.
Sejumlah aktivitas atau keterampilan
baik sendiri maupun dibantu selama
melakukan rawat inaap dapat
menurunkan tingkat kebosanan yang
dapat terjadi stimulus kecemasan.
11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit
dan pembedahan.(Taylor, 2010).
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, koping
individu efektif.
KH :
- Pasien menyatakan alasan hospitalisasi.
- Pasien berpartisipasi dalam perawatan diri.
- Pasien berinteraksi dengan orang lian dengan cara yang dapat diterima
secara sosial.
- Pasien menerima tanggung jawab atas perilakunya.
Intervensi Rasional
Dorong pasien untuk mengevaluasi
dirinya.
Membantu pasien
mengidentifikasi hal-hal yang
berkaitan dengan dirinya dan
menghubugkan setiap perubahan
dengan variabel spesifik.
Berikan kesempatan kepada klien
seluasnya untuk melakukan perawatan diri
Untuk memberikan rasa nyaman
dan kontrol diri.
Bantu pasien dalam membuat keputusan
yang berkaitan dengan terapi dan dorong
pasien untuk mengikutinya
Membuat keputusan adalah
komponen utama otonomi.
Berikan umpan balik positif pada saat Menguatkan perilaku koping yang
38
pasien mengemban tanggung jawab atas
perilakunya
efektif.
2.4 Implementasi Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, kerusakan
neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen tulang, trauma jaringan
lunak pascabedah.
1) Mengkaji nyeri dengan skala 0-4.
2) Melakukan manajemen nyeri : mengajarkan teknik relaksasi
pernapasan dalam ketika nyeri muncul, dan mengajarkan teknik
distraksi saat nyeri, serta mengatur posisi imobilisasi pada tungkai
bawah.
3) Berkolaborasi dalam pemberian analgesik.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan fungsi
ekstremitas, kerusakan neuromuskuloskeletal, pergerakan fragmen
tulang.
1) Mengatur posisi imobilisasi pada daerah fraktur
2) Mengajarkan klien untuk melakukan atihan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
3) Membantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai
toleransi.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan adanya cedera
jaringan lunak, kerusakan otot dan kulit.
1) Mengkaji daerah sekitar luka, apakah ada pus, jahitan yang basah,
atau ada kerusakan jaringan lunak.
2) Melakukan perawatan luka.
3) Membantu pasien untuk ambulasi dini.
39
4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penurunan
kontrol kepatenan jalan napas (lidah), penurunan kontrol batuk efektif
dan muntah menurun, efek anestesi.
1) Mengkaji dan monitor kontrol pernapasan.
2) Memonitor frekuensi, irama, kedalaman ventilasi pernapasan,
kesimetrisan gerakan dinding dada, bunyi napas, dan warna
membran mukosa.
3) Menginstruksikan pasien untuk melakukan napas dalam.
4) Menginstruksikan untuk melakukan batuk efektif.
5. Gangguan pemenuhan eliminasi urine berhubungan dengan penurunan
kontrol kemampuan miksi, penurunan aktivitas, dan efek medikasi.
1) Mengkaji kemampuan kontrol berkemih.
2) Mengkaji adanya distensi kandung kemih.
3) Memonitor asupan dan keluaran cairan tiap 4 jam.
6. Resiko tinggi syok hipovolemik berhubungan dengan hilangnya darah
dari luka terbuka, kerusakan vaskular, cedera pada pembuluh darah.
1) Memantau status cairan (turgor kulit, membran mukosa, haluaran
urine).
2) Mengkaji sumber kehilangan cairan.
3) Berkolaborasi dalam pemberian cairan melalui IV.
7. Resiko tinggi infeksi yang berhubungan dengan port de entree luka
fraktur terbuka, luka pasca bedah.
1) Melakukan manajemen keperawatan.
2) Berkolaborasi dengan keluarga dalan meningkatkan asupan nutrisi
TKTP.
3) Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik.
40
8. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan ketidakmampuan
menggerakkan ekstremitas, penurunan kekuatan otot, dan ketidaktahuan
cara mobilisasi yang adekuat.
1) Melakukan manajemen fiksasi eksterna.
2) Berkolaborasi dalam pemberian antibiotik.
9. Resiko tinggi penurunan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
adanya penekanan pembuluh darah, depresi mekanisme regulasi
sirkulasi normal, perdarahan pascaoperatif, dan penurunan curah
jantung.
1) Mengevaluasi kualitas nadi perifer distal terhadap cedera dengan
palpasi. Bandingkan dengan ekstremitas yang sehat.
2) Mengkaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada
fraktur.
3) Memberikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.
4) Mengobservasi TTV, pucat/sianotik umum, kulit dingin, perubahan
mental.
10. Ansietas berhubungan dengan rencana pembedahan.
1) Menganjurkan aktivitas penglihatan perhatian sesuai kemampuan
individu, seeperti menulis, nonton TV, dan keterampilan tangan.
11. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan prognosis penyakit
dan pembedahan.
1) Mendorong dan membantu pasien untuk mengevaluasi dirinya.
2) Memberikan kesempatan kepada klien seluasnya untuk melakukan
perawatan diri.
2.4.1 Evaluasi
1. Nyeri berkurang atau teradaptasi.
2. Pasien dapat melakukan mobilisasi secara bertahap.
3. Tidak terjadi kerusakan integritas jaringan dan kondisi luka kering.
41
4. Jalan napas menjadi efektif.
5. Klien mampu berkemih.
6. Tidak terjadi syok hipovolemik.
7. Menurunkan terjadinya infeksi pada luka.
8. Tidak terjadi trauma pada cedera pasien.
9. Perfusi jaringan perifer menjadi efektif.
10. Ansietas berkurang/tidak ada.
11. Pasien memiliki koping yang efektif..
42
top related