enam prajurit ciliwung
Post on 28-Nov-2014
531 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
MUSA RUSTAM
6 Prajurit Ciliwung
Keping mimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo
Penerbit
Nulisbuku.com
2
MUSA RUSTAM
6 Prajurit Ciliwung
Keping mimpi anak kali Ciliwung dari Kampung Pulo sampai ke Kota Tokyo
Penerbit
Nulisbuku.com
3
Enam Prajurit Ciliwung
Oleh: Musa Rustam
Copyright © 2014 by Musa Rustam
Penerbit
Nulisbuku.com
Desain Sampul:
Musa Rustam
Diterbitkan melalui:
Nulisbuku.com
4
Buku ini kupersembahkan untuk :
Emakku Ibu Rinah, Guruku Ibu Euis, ustad Marzuki
serta Enam sahabat masa kecilku anggota Prajurit
Ciliwung dan Semua Warga Kampung Pulo Jatinegara
Jakarta Timur
5
Ucapan Terima Kasih...
Ucapan terima kasih kusampaikan kepadaNYA,
Segala puji saya panjatkan ke hadirat Allah
SWT, berkat pertolongan dan hidayahnya.
Kepada Nurul wanita setia pendampingku,
sosok sangat bermakna yang selalu
memberikan dukungan dengan inspirasinya
yang luar biasa. Kepada putraku, Muhammad
Hafiz Danish Veysa, yang senantiasa menjadi
penerang dan pelipur lara dalam hidupku.
Kepada orangtuaku, Mak Rinah, Bapak
Rustam (Alm), Mama Mahirmani, Papa Adi
Sucipto, yang telah memberikan cinta kasih
dan dukungan yang sangat luar biasa
kepadaku. Kepada Kalak, Para Kabid,
Sekretaris dan rekan-rekan BPBD Provinsi DKI
Jakarta, Rekan-rekan Satpol PP Provinsi DKI
Jakarta, dosenku di STIA LAN Jakarta dan
teman-teman baikku yang telah mendukungku
selama ini serta Nulisbuku.com.
6
Isi Buku
Bab 1 Murid Seberang
Bab 2 Sekolah Seberang
Bab 3 Kampung Banjir
Bab 4 Keturunan Delapan
Bab 5 Adik Sarah
Bab 6 Ustad Marzuki
Bab 7 The Flood Gates of Manggarai
Bab 8 The Tower of Monas
Bab 9 Jakarta kota Metropolitan
Bab 10 13 Aliran Sungai
Bab 11 SMA 8
Bab 12 Berjualan keliling kampung
Bab 13 Buaya Buntung
Bab 14 Festival Ciliwung
Bab 15 Kantong Ajaib
Bab 16 Jam Idaman
Bab 17 Enam Prajurit Ciliwung dan Getek
Bab 18 Kampung Ilmu
Bab 19 Puisi cinta dan mahkluk tercantik
7
Bab 20 Ada cinta di Pabrik Tahu
Bab 21 Regu terbaik
Bab 22 Getek romantis
Bab 23 Dalam Beduk
Bab 25 Si Pitung Kampung
Bab 26 Pulau Dream
Bab 27 Reni Anggraini
Bab 28 Orde Baru
Bab 29 Deni Bram
Bab 30 Negeri Impian-Jepang
Bab 31 Deep Tunel & Tokyo Tower
Glosarium
Tentang Penulis
Synopsis
8
“Hidup adalah sebuah perjuangan. Tanpa
kekuatan mimpi, manusia seperti kerbau yang
bekerja tanpa tujuan. Allah menganugerahkan
segala imajinasi dan mimpi sebagai kekuatan
maha dahsyat didalam hati dan pikiran kita.
Aku bersyukur karena sebuah mimpi itu kini
membuatku menjadi manusia yang berarti...”
Rustam, 1960 - 2006
9
Bab 1
Murid Seberang
Senin pagi itu, aku pertama kali berangkat
ke sekolah di antarkan Emak. Kumpulan
batang Pohon bambu yang kira-kira
berjumlah 15 batang pohon bambu di ikat
menjadi satu, tersusun rapi membentang
menjadi sebuah getek yang membawaku.
Emak di sebelahku, memegang erat
pergelangan tanganku dengan tangan
kanannya yang lembut. Emakku seorang
perempuan berbadan kurus dan mungil.
Wajahnya sekurus badannya, dengan
sepasang mata yang bersih yang di naungi
alis tipis. Mukanya selalu mengibarkan
senyum ke siapa saja. Kalau keluar
rumah selalu menggunakan baju kebaya
10
yang dipadu dengan kain atau rok
panjang. Tidak pernah celana panjang.
Kepalanya selalu ditutup turban dan di
lehernya tergantung selendang.
Emak tidak pernah menamatkan
Sekolah Rakyatnya, ia sekolah hanya
sampai kelas dua saja, di karenakan
keluarganya masih berfikir sekolah tidak
perlu tinggi–tinggi untuk anak perempuan,
karena ujung-ujungnya pasti di dapur juga.
Begitulah pemikiran yang masih terbenam
sama di beberapa pemikiran orang-orang
tua terdahulu, mereka belum mendapatkan
virus semangat yang di bawa oleh Ibu
Kartini, pentingnya emansipasi wanita
bahwa pendidikan itu sangat penting untuk
laki-laki dan perempuan.
Di antara 5 gundukan batang yang
tersusun di atas susunan 15 batang pohon
bambu, di sela-sela tengah pada bagian
11
depan di ikat erat menjadi penguat untuk
di kendalikan, di ujung tali terikat di atas
pohon waru dan di seberang satunya pun
demikian terikat dengan pohon yang
rindang, di ujung depan berdiri di atas
getek yang diawaki seorang laki-laki yang
berkopiah putih, sekuat tenaga menarik
getek untuk membawa kami ke seberang.
Laki-laki itu adalah seorang bapak tua
berwajah penuh kesabaran, Pak Marzuki,
sang penarik getek.
Namun, senyum Pak Zuki adalah
senyum yang getir penuh makna, karena
terlihat sangat jelas kecemasan wajahnya
penuh ketegangan dan keletihan sambil
terengah-engah menarik nafas berulang
kali. Sesekali menghitung jumlah
penumpang yang naik di getek-nya. Ia
begitu khawatir sehingga terkadang tak
peduli pada peluh yang mengalir deras di
12
lehernya. Bulir-bulir keringat yang
bermunculan di seputar keningnya sebagai
tanda perjuangan yang harus di
kenakannya, membuat wajahnya terlihat
semakin letih berbentuk raut kelelahan.
“Sepuluh orang...sudah sepuluh orang
pak...bu...dek...,sudah lewat kapasitas
nanti terbalik...” katanya penuh kegusaran
pada para penumpang getek-nya. Emak
dengan penuh kehati-hatian menjagaku
dari licinnya kumpulan bambu yang aku
injak.
Aku juga merasakan kecemasan. Aku
cemas karena melihat aliran air kali
Ciliwung sangat deras dan karena beban
yang di rasakan Pak Zuki terlihat jelas,
beberapa otot-otot yang mulai jelas
menonjol di depan mataku. Meskipun
beliau begitu tenang pagi ini tapi
genggaman tangannya yang melingkari tali
13
tambang kemudi getek, tetap saja tidak
dapat aku pungkiri degup jantungku terasa
cepat, pertama kalinya aku menyeberang
kali, aku tahu beliau sedang tidak gugup
ataupun grogi karena hal ini sudah
menjadi rutinitas beliau setiap hari, pria
berusia lima puluh tahunan itu, seorang
buruh serabutan yang beranak banyak
dengan penghasilan seadanya. Siang hari
bekerja mencari nafkah untuk keluarga
dengan menarik getek, mengumpulkan
sisa-sisa sampah plastik yang di
kumpulkan dari arus membawa sampah di
Kali Ciliwung untuk di jual kembali kepada
pengepul barang rongsokan dan ketika
malam pun tiba beliau mengajarkan kami
mengaji kepada anak-anak seumuranku.
Getek pun sampai ke seberang, emak
dan aku bergegas perlahan untuk turun
melalui jembatan yang terbuat dari bambu
14
di susun 4 buah dan di ikat kuat
menjuntai hingga menempel ke dasar kali
serta mengarah ke dasar pelataran tanah
yang agak tinggi dan becek. Ku coba
melangkah dengan penuh perhatian dan
perlahan, dengan tangan kiri memegang
pagar jembatan dari bambu itu sambil di
pegangi tangan kananku dengan emak. Tak
tahu kenapa, aku seperti merasa bisa
sendiri, tak ingin dipegangi, dan dengan
bantuan Emak.
“Emak, Ucha bisa kok....ga„ perlu
dipegangin „mak”
Emak tak sampai hati untuk
melepaskan tangannya yang memegangi
pergelangan tangan kananku. Tapi Emak
pun akhirnya mengabulkan keinginanku,
dengan mengalah karena percaya aku
merasa bisa untuk menyeberangi jembatan
bambu itu tanpa harus di peganginya.
15
Ternyata dewi fortuna tidak besertaku.
Selang hanya beberapa detik saja,
waktunya sangat cepat terjadi, tangan
kananku di lepas emak, hanya satu
langkah saja dari pegangan Emak, aku
terpeleset jatuh masuk ke air kali berwarna
kecoklatan penuh dengan sampah yang
aliran airnya deras.
“ Astagfirlohalazim, Ya Allah Ya
Rabb....anak saya ke cemplung”
“ Tolong...tolong...anak saya kecebur...Pak
Zuki tolong.....”
Teriak Emak yang panik, melihatku
yang terpeleset jatuh masuk ke dalam air,
sontak semua orang langsung tertuju ke
sumber teriakan. Aku panik dengan
gerakan yang tidak beraturan vertikal
terbawa air memutar-mutar seperti
16
pusaran air, pandangan tidak jelas mana
yang harus aku tuju.
Ekspresi wajah emak yang panik
memerah, seperti ada penyeselan karena
telah melepas pergelangan tanganku. Aku
belum bisa berenang, hanya berteriak
sekencang-kencangnya meminta
pertolongan dengan keadaan kadang
mengambang timbul tenggelam, dengan
secara refleks aku berusaha agar kepalaku
selalu ada dipermukaan air untuk
memberitahukan keberadaan diriku
sehingga ada yang segera menolongku,
arus air yang deras terus membawaku
semakin jauh dari Emak.
Pak Zuki dengan cekatan langsung
nyebur ke arahku, dengan gaya front crawl
perlahan tapi pasti mengejarku, kedua
belah lengan secara bergantian di gerakkan
jauh ke depan dengan gerakan mengayuh,
17
sementara kedua belah kaki secara
bergantian di cambukkan naik turun ke
atas dan ke bawah. Posisi wajah Pak Zuki
menghadap ke permukaan air, dengan
pernapasannya di lakukan saat lengan di
gerakkan ke luar dari air saat tubuhnya
menjadi miring dan kepala berpaling ke
samping. Sewaktu mengambil napasnya, ia
bisa memilih untuk menoleh ke kiri atau ke
kanan. Gaya berenangnya bisa membuat
tubuhnya melaju lebih cepat di air untuk
menjangkauku.
Pak Zuki segera menghampiriku,
dengan terengah-engah meraihku, aku
yang sambil menangis dan pucat
ketakutan, Pak Zuki seperti seorang water
rescue dengan teknik pertolongan
korban/evakuasi yang dilakukan di air,
kemampuannya menolong untuk memilih
dan menentukan kemampuan yang dimiliki
18
seorang rescuer, dengan metode yang harus
dilakukan untuk menolong harus bisa
memilih metode pertolongan yang paling
cepat dengan resiko yang kecil.
Pengetahuan mengenai bahaya-bahaya
ketika berada di air, contoh : panik, letih,
kram arus air.
Akhirnya, aku tersadar dan
terbangun. Penglihatan maata dari mulai
remang-remang menjadi terang, perlahan
aku coba menggerakkan tanganku yang
digenggam sama Emak. Air matanya
diusap olehnya karena telah melihat aku
tersadar dari pingsan.
“ Emak, Ucha kenapa ?” tanyaku lirih
karena masih mencoba mengingat-ngingat
apa yang terjadi denganku.
“ Iya, anakku kamu tadi terjatuh di
kali ..sayang “
19
“ tapi Alhamdulillah kamu enggak
apa-apa „kan ?” sambil memegang badanku
dan memeriksa dari mulai tangan, bahu
dan kepala apakah aku memiliki luka,
dengan wajah peluh kepanikan. “ Tapi
Alhamdulillah kamu enggak apa-apa „kan ?
“ lirih dilemparkan pertanyaan lagi untuk
meyakinkan kalau aku tidak apa-apa.
“Alham...dulillah Emak...
alhamdulillah Emak... Ucha enggak apa-
apa, Ucha hanya kaget dan panik, maafkan
Ucha yah „Mak karena nakal tak mau
dipegangi”
Pak Zuki telah menyelamatkan
nyawaku. Di hari pertama dalam sejarah
hidup di hari pertamaku berangkat ke
sekolah.
20
Bab 2
Sekolah Seberang
Aku duduk di bangku panjang
paling depan, deretan kedua dari dekat
meja guru, vas bunga yang terdiri dari
tangkai bunganya yang terbuat dari
potongan sedotan plastik, bunganya dari
lipatan kertas kreps dan kertas warna yang
di bentuk dan di lem menggunakan lem
kertas, di samping kiri dinding terpampang
dengan foto bingkai dari beberapa wajah
yang asing bagiku, karena baru pertama
kali aku melihat foto-foto tersebut. Aku
yang terlambat datang ke sekolah karena
kecerobohanku, aku baru masuk sekolah
pada hari kedua.
Kami memiliki tiga lantai dengan
berjumlah delapan belas kelas, ada enam
Sekolah Dasar yaitu ; SDN 01, SDN 09 dan
21
SDN 011 untuk kelas pagi, sedangkan SDN
02, SDN 010 dan SDN 012 untuk kelas
siang, maka kami dari siswa seberang yang
masuk kelas pagi memiliki sebuah
kebanggaan karena track record prestasi
siswanya yang gemilang, di kampung kami
belum ada sekolah. Aku sesungguhnya
merasa cemas. Aku cemas karena melihat
Emak yang resah dan karena beban
ekonomi yang ditanggung seorang diri,
karena bapak tidak kunjung sembuh dari
penyakit kesadarannya. Tapi Emak tak
pernah gentar, tak tahu mengapa ? Emak
penuh keyakinan untuk menyekolahkan
anakku di sekolah yang terbaik ini, Emak
memasukkan aku pada kelas pagi.
Ibu Euis terdengar dengan lantang
dan kencang seperti suara kereta api listrik
yang berteriak kencang hampir tiga puluh
menitan sekali yang posisi relnya tepat
22
dibelakang sekolahku. Dengan
mengenakan batik berwarna kecoklatan
serta ornamen yang nampak indah, beliau
dengan ceria mengatur formasi kami
seperti mengatur strategi proses
pembelajaraan yang efektif melihat dan
mengamati tingkah laku anak-anak yang
punya ke khas-an tersendiri agar proses
belajar dan mengajar menjadi terarah.
Ibu Euis dengan wajah tersenyum
sumringah mengabsen kami satu persatu,
kenapa aku baru masuk hari ini, aku
mencoba menyambutnya dengan senyum
getir, aku menceritakan bahwa aku
kemarin tercebur di kali ketika hendak
berangkat ke sekolah. Dipanggil kami
persatu-satu dengan mengancungkan
tangan kanan kami.
Ucha (Musa Rustam), Ajat
(Muhammad Sudrajat), Holil (M Holil),
23
Maulana (Ahmad Maulana), Fadil
(Muhammad Fadil) dan Deni (Deni Bram)
adalah bocah-bocah yang penuh warna dan
kreatif, selain punya asal-usul yang
berbeda, keenamnya memang punya
ceritanya sendiri yang unik dengan
dinamika dan kekhas-annya masing-
masing. Ucha, bocah SD ini berasal dari
Betawi. Perawakannya kalem, putih tapi
agak penakut. Oleh sahabatnya dia sebut
sebagai inspirator kelompoknya. Meski
masih bocah, dia memiliki mimpi yang
luhur untuk memperbaharui kampungnya.
Ada juga Ajat. Dia anak Sunda yang punya
cita-citanya ingin jadi Teknokrat. Ayahnya
yang tukang ayam di Pasar Jatinegara
sangat mendukung anaknya agar terus
belajar, bekerja dan berkarya.
Deni, anak asal Ambon Padang ini
tergolong unik. Anak kali yang memiliki
24
kulit hitam ini, dengan senyumnya yang
hitam manis, anak yang paling jenius
diantara kita yang memiliki cita-cita
menjadi dosen. Holil tak kalah seru. Dia
berasal dari keturunan Arab sunda. Yang
senang dengan musik marawis, suka
mengajarkan kita teknik ilmu dagang dari
negeri arab. Lainnya ada Fadil, yang
bersepupuan dengan Holil dan Ajat yang
jago tendangan saltonya dalam permainan
futsal. Yang tak kalah menarik adalah Reni
(Reni Anggraini), dara berdarah Sumedang
anak dari pemilik warung kelontong yang
termasyhur di kampung kami.
25
Bab 3
Kampung Banjir
Tak sukar menggambarkan kampung
kami, karena kampung kami adalah
kampung yang terkenal dengan banjir di
setiap musim penghujan tiba. Dengan
kondisi curah hujan yang tinggi dan terus
menerus apabila intensitas mencapai 150
mm/hari baik di hulu bogor maupun di
hilir Jakarta, kampung kami di pastikan
terkena banjir. Aku berasal dari
permukiman kumuh bantaran kali, yang
merupakan permasalahan klasik yang
sejak lama telah berkembang di kota-kota
besar. Permasalahan permukiman kumuh
26
tetap menjadi masalah dan hambatan
utama bagi pengembangan kota.
Laju perkembangan kota Jakarta
yang semakin pesat membuat pemanfaatan
lahan yang semakin kompetitif, sedangkan
di sisi lain, perkembangan kota menjadi
daya tarik urbanisasi yang pada akhirnya
menyebabkan tingginya tingkat permintaan
akan tempat tinggal di dalam kota. Selain
itu, pesatnya perkembangan penduduk
perkotaan tersebut yang umumnya berasal
dari urbanisasi tidak selalu dapat
diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota
sehingga telah berakibat pada semakin
meluasnya lingkungan permukiman
kumuh. Kampung yang tak pernah luput
dari tempat persinggahan arus urbanisasi.
Kampung kami memiliki dua RW
yang lumayan padat penduduknya, di
kampung kami sudah menjadi langganan
27
setiap tahunnya karena kampung kami
terletak di dataran sangat rendah, yang
bentuk kampungnya bila dilihat dari atas,
serupa tapal kuda dikelilingi oleh sungai
Ciliwung sepanjang kampung. Banjir
menjadi sudah biasa, kampung yang
berdampingan dengan banjir yang sudah
dianggap menjadi konsekwensi dari musim
hujan yang melanda, ketika di daerah
puncak hujan lebat, sekitar delapan
sampai dengan sembilan jam kemudian
banjir akan menggenangi kampung kami,
hingga mencapai kedalaman dua meter.
Kami mencoba bertahan dengan banjir
menjadi potret tiap tahun musim
penghujan di Kampung kami.
Aku kelas enam SD tepat tahun
1996, kampung kami dilanda kebanjiran
yang sangat besar. Bahkan Pasar Proyek
Jatinegara tempat aku bermain bola ketika
28
malam hari ikut terkena banjir walau
hanya semata kaki. Bapak, Emak dan
ketiga adikku sibuk menyelamatkan harta
benda kami. Semua tetangga pun sibuk
dengan menaikkan barang-barang
berharga ke lantai dua rumah mereka.
Semua dipusingkan bagaimana agar harta
tidak terbawa banjir dan keharusan kami
untuk mengungsi.
Mereka mencoba bertahan dengan
segala kemampuan mereka. Air tergenang
di mana-mana membuat kampung kami
menjadi kolam renang raksasa dengan air
kecoklatan, seperti macam tempat
permainan orang-orang dewasa yang lalu
lalang dengan berenang.
Aku mencoba menyikapi segala
sesuatunya dengan positif, keadaan serba
sulit ini membuat Aku kecil mencoba
bangkit dari keterpurukan, menjalani
29
kehidupan sebagai pengungsi banjir
dijalani dengan senyum dan sabar, dalam
wajah kesedihan yang tercermin
terkandung sebuah harapan dan impian,
ketika melihat para Fasilitator dari mbak-
mbak trauma healling dalam menghibur
kami anak-anak korban banjir, mereka
menyatakan bahwa semua bencana dan
duka itu pasti ada hikmahnya, jadi adik-
adik tidak perlu takut, dibalik setiap ujian
dan bencana, semua itu pasti ada sesuatu
yang indah kelak.
Ku coba merenung dan selalu
menanamkan mimpi dan khayalanku,
nanti kelak aku dewasa akan menjadi
seseorang yang bermanfaat untuk orang
lain, mimpi dan hati kecil yang mulia itu
lahir dari sebuah keprihatinan akan
pengalaman diri sendiri, dengan segala
keterbatasan dan kekurangan, aku harus
30
terus berjuang mencoba mencapai mimpi
dan harapan dengan selalu belajar dan
bekerja keras serta berjualan, suatu saat
nanti aku akan menjadi orang yang
berguna.
Aku menjalankan kehidupan yang
sangat pahit di karenakan aku adalah anak
pertama dengan tiga bersaudara yang
menjadi tanggungjawabku kelak,
perjuangan itu di mulai dari Aku duduk
dibangku kelas 3 SD, aku harus berjualan
mengelilingi Kampung Pulo hingga
menyeberang kampung dengan bantuan
getek. Aku mencoba menjajakan
daganganku sambil meneriakkan :
“sate ayam “...
”ucus goreng...
“kepala ayam”...
begitulah teriakanku dengan suaranya
yang lantang.
31
Aku mencoba menapakkan semangat
dan senyumku berusaha membantu Emak.
Di karenakan Bapak tidak bisa bekerja
memberi nafkah untuk keluarga di
karenakan sakit yang tak kunjung sembuh
dari kesadarannya, aku pun tak pernah
mengerti kenapa Bapak hanya diam dan
membisu, pernah aku menanyakan apa
yang terjadi sama Bapak dengan Emak.
Emak pun hanya terdiam dan menangis.
Hari demi hari, Aku menapaki setiap
jalan becek, dari satu gang ke gang yang
lain, masuk kampung keluar kampung
berkeliling menjajaki daganganku,
mencoba mencari penghasilan untuk
kebutuhan adik-adikku yang masih kecil.
Aku mencoba berjuang dengan penuh
keyakinan suatu saat nanti aku bisa
sukses menjadi seorang prajurit ABRI. Iya,
cita-cita yang hampir umum untuk anak
32
laki-laki kala itu, menjadi seorang prajurit
gagah dan berani membela negara dan
bangsa.
Sepulang sekolah dengan getek
bersama-sama teman menyebrangi sungai
Ciliwung yang membatasi antara Kampung
Pulo dengan Bukitduri. Aku mencoba
mandiri tanpa di suruh Emak, aku
berinisiatif berjualan setiap hari pulang
sekolah, dengan berbeda-beda barang yang
aku pernah jual, mulai dari makanan
berupa sate ayam goreng, putu mayang,
tempe goreng dan risol goreng pernah aku
jajakan, Aku kecil sangat bahagia, apabila
musim banjir pun melanda, di karenakan
sekolah menjadi libur. Keuntungannya di
bilang lumayan dua kali lipat karena
hampir semua orang membeli makanan
yang dijajakan, di karenakan semua berasa
lapar ketika banjir, karena hampir semua
33
keluarga tidak bisa memasak karena
banjir, sehingga penghasilanku dibilang
lumayan karena itu.
34
Bab 4
Keturunan Delapan
Semua itu berawal dari pernyataan Kakek
yang sangat sayang dengan cucunya yang
di pesankan oleh Bapak, kata-kata itu
terus terngiang ;
“Ucha harta kakek tujuh turunan tidak akan
pernah habis-habis di makan semua
keluarga hingga tujuh turunan”.
Ingatan masa kecil yang terus
ditanamkan sama Kakek melalui Bapak,
menjadi cambuk luar biasa, aku sering
diejek-ejek sama teman sepermainan ku
35
karena dianggap menjadi anak sial, karena
aku adalah anak keturunan delapan.
“anak keturunan delapan”
“Ucha anak keturunan delapan” wkwkwk
sambil tertawa dan terbahak-bahak semua
menertawakan diriku” mereka mengejek
berramai-ramai.
“dasar anak keturunan delapan
sih,,,sialkan jadinya keluarga kamu tuh,
ayo jangan ditemenin anak sial itu anak
keturunan delapan”.
Sungguh sangat menyedihkan sekali aku
ketika itu, aku dianggap menjadi anak sial,
karena aku keturunan delapan, yang
menyebabkan kesulitan ekonomi
keluargaku, dikarenakan kehadiranku
36
yang membuat semuanya menjadi hancur,
tanah yang begitu luas, rumah yang begitu
banyak, sampai dengan warung habis tak
bersisa, yang ada hanya cerita dan
kenangan, semua itu habis dan tanpa
bekas. Aku pun tidak mengerti mengapa
semua itu terjadi, apakah benar itu
memang semua karena penyebabnya
karena aku, sungguh luar biasa mata air
ku tak terbendung, meratapi begitu
malangnya aku, tidak banyak yang mau
berteman dengan ku kala itu, karena
dianggap menjadi sebuah musibah karena
kelahiranku.
Emakkulah yang menjadi
penyemangat ku dalam membangkitkan
semuanya dari keterpurukan mental dan
percaya diri yang begitu hancur.
37
“Ucha, yang sabar yah, Emak tahu Ucha
sedih dengan kelakuan teman-teman Ucha,
janganlah kamu bersedih, anakku
semuanya itu sudah diatur sama Allah
SWT, jadi Ucha jangan bersedih, suatu saat
nanti Ucha akan menjadi orang hebat
karena kesabaran dan kerja keras Ucha
dalam menghadapi cobaan hidup ini”
“Emak hanya bisa mendoakan kelak
engkau jadi orang yang berguna dan orang-
orang akan melihat karyamu akan berguna
untuk orang lain, ketika kamu tetap sabar
dan menjalankan cobaan dari Allah dan
kamu tetap tidak sombong ketika kamu
sukses „nak”.
“Percayalah „nak sebuah kesuksesan itu
kelak akan kamu raih dengan kerja keras
dan senyummu akan bermanfaat untuk
38
mereka, jadikanlah masa-masa sulit ini
menjadi pembelajaran yang terus kamu
ingat, di saat kamu pun di atas kamu tidak
akan pernah sombong, karena
kesombongan kamu itu justru akan
menghancurkan diri kamu sendiri”
“Emak sangat sayang sekali dengan Ucha,
terima kasih banyak yah „nak, waktu
bermainmu, kamu menjadi berjualan setiap
hari demi kebutuhan hidup kita sehari-hari”
Air mataku tak tahu kenapa menetes deras
membasahi tangan Emak, Emak pun sama
meneteskan air mata, kami larut dengan
air mata sebuah harapan, suatu saat nanti
aku yakin menjadi orang sukses. Itulah
emosi yang sangat menemaniku kuat
dalam menapaki hidup dengan harapan
serta doa dari Emak.
39
Bab 5
Adik Sarah
Aku dengan suka cita bersama Ajat, Holil,
Fadil, dan Maulana sibuk berenang di air
yang kotor memakai ban bekas mobil. Kami
tidak pernah peduli kuman penyakit akan
menempel dikulit, berenang dan bermain
air sampai kulit kami mengkerut.
Walaupun kami harus membersihkan
sampah yang berserakan didalam rumah
atau lumpur akibat kemasukan luapan air
tak diundang. Bahkan ketika kami harus
mengungsi. Kami bersama-sama warga
sekampung tidur dalam tenda berramai-
ramai, makan bersama dari dapur umum
seperti acara perkemahan pramuka
Perjusami (Perkemahan Jumat Sabtu dan
40
Minggu) yang di lakukan di Bumi
Perkemahan Cibubur. Wajah orangtua
kami mendung seperti langit di bulan
Januari atau gerutuan tentang bantuan
yang sedikit dari pemerintah.
Di pengungsian kami bertemu
dengan Adik Sarah yang berumur delapan
tahun, Adik Sarah kaki kanannya
mendadak lumpuh dan layu. Tidak bisa
menyangga tubuhnya lagi. Bahkan untuk
dia berjalan pun harus diseret kakinya.
Menurut Dokter Puskesmas yang ada di
pengungsian dia terserang penyakit polio.
Sejak itu dia sangat membenci bulan
penghujan tiba. Dia tidak bisa berenang di
kolam raksasa saat air menggenangi
kampung. Dia merasa menjadi beban
untuk bapak dan kedua kakak laki-lakinya
saat harus mengungsi. Mereka terpaksa
harus menggendong atau memapah dalam
41
mengevakuasi dari rumah yang hampir
tenggelam.
Polio juga membuatnya berhenti
sekolah. Dia tidak tahan dengan ejekan
dari teman-teman yang menghina kakinya.
Setiap pulang sekolah dia selalu menangis
sedih. Bukan kehendaknya, kakinya
menjadi lumpuh layu. Apabila boleh
meminta, dia pun ingin kakinya normal
seperti anak-anak yang lain. Namun takdir
berkehendak lain. Dia harus hidup dengan
kaki yang harus diseret jalannya.
Kecacatannya menjadi bahan olok-olok
yang lucu bagi teman sekolahnya. Walau
guru sudah memarahi teman-teman yang
doyan menghinanya, mereka tidak jera
juga. Saat guru lengah, mereka terus
mengejek yang menghancurkan harga diri.
Satu-satunya jalan untuk menghentikan
42
penghinaan adalah dengan berhenti
sekolah.
Untuk mengisi waktu, Dia belajar
menjahit pada ibunya yang memang
seorang tukang jahit. Kami sangat iba
sekali dengan kondisi Adik Sarah, kami
mencoba menghiburnya, memberikan
semangat agar dia bisa bangkit dari mental
yang terpuruk akibat musibah penyakitnya
itu. Adik Sarah tak perlu malu harus
bertemu dengan orang asing. Tatapan
kasihan atau menghina selalu diterimanya.
Polio membuatnya menjadi beban
bapak dan kedua kakak laki-lakinya saat
banjir datang. Mereka harus menggendong
atau mendukung untuk mengevakuasi dari
rumah yang hampir tenggelam. Udara
dingin dan lembab membuat kaki
kanannya semakin ngilu untuk digerakkan.
43
Januari, puncaknya musim penghujan
sungguh menyiksanya.
Aku juga dan teman-teman tak
nyaman berada di pengungsian. Bercampur
baur dengan banyak manusia yang
beragam watak dan sifatnya membuat kita
harus mengontrol emosi dengan ketat.
Amarah gampang sekali tersulut. Mungkin
karena rasa lelah, capek dan putus asa
bercampur aduk membuat kesabaran
makin menipis. Belum lagi makanan di
pengungsian yang selalu kurang atau telat
datang, tidur yang tak bisa nyenyak karena
bayi dan anak kecil yang sibuk menangis di
malam hari karena kedinginan dan
kelaparan, saling berebut menerima
bantuan menjadi cerita suram di
pengungsian.
Bertahan di rumah yang kebanjiran
juga bukan pilihan. Saat malam harus
44
bergelap-gelapan karena tidak ada aliran
listrik. PLN sengaja memutus aliran listrik
ke daerah yang tergenang banjir biar tidak
terjadi korsleting. Tidak ada akses
informasi. Tidak bisa kemana-mana kecuali
memakai perahu. Ditambah lagi susahnya
mendapatkan bahan makanan untuk
mengganjal perut. Betul-betul seperti buah
simalakama.
Pernah ada kerabat yang datang dari
kampung bertanya kepada Emak mengapa
kami tidak pindah saja dari daerah ini.
"Sudah tahu tiap tahun kebanjiran kenapa
tidak pindah ke tempat lain saja yang bebas
banjir?"
Emak menghela nafas panjang, "Ini
Jakarta. Harga tanah di sini lebih tinggi dari
harga emas. Harga tanah di daerah yang
langganan banjir saja sudah mencekik
leher, apalagi di kawasan yang katanya
45
bebas banjir. Kami tetap bertahan disini
karena tidak ada pilihan lain!"ujar Emak
dengan nada prihatin.
Rumah bertingkat dua di
kampungku bukan barang mewah tapi
lebih sebuah kebutuhan. Untuk
menyelamatkan perabotan dan nyawa.
Ketika hujan turun dengan deras, Emak
dan ketiga adikku sibuk mengangkuti
perabotan ke lantai dua. Bersiap-siap
menghadapi banjir yang sewaktu-waktu
bisa datang kapan saja.
Saat banjir besar Tahun 1996, Aku
ingat dengan detail peristiwa yang menjadi
latar belakangnya. Banjir hampir
menenggelamkan kediamanku, air yang
masuk tingginya lebih dari dua meter, aku
dan Emak beserta adik-adik serta Bapak
memilih bertahan di lantai dua...Emak
46
tahu bahwa aku dan adik-adik tidak
nyaman berada dipengungsian.
Aku dan Emak harus berpuasa.
Tidak ada lagi yang bisa dimakan dan
diminum dirumah ini. Doa-doa terus
dipanjatkan agar ada cepat datang
pertolongan. Sepertinya doaku tertahan di
langit, belum juga menampakkan ada
hasilnya. Airmata sudah tumpah di pipi.
Panik, sedih, kedinginan serta lapar yang
mendera membaur jadi satu memunculkan
putus asa. Di saat aku hampir kehilangan
harapan, Allah mengirimkan
pertolongannya. Petugas dari SAR yang
menyisir perkampungan menemukan kami
yang lagi meringkuk kedinginan. Suara
memanggil dari Toa berwarna krem.
47
“Kepada semua warga agar segera
mengungsi karena debit air akan semakin
tinggi, demi keselamatan saudara-saudara
semua harus kami ungsikan ketempat yang
lebih aman”
Aku segera mengiyakan ucapan seorang
anggota SAR yang tertulis di dadanya yang
berwarna orange.
“Kami mau mengungsi pak, tolong kami”
teriakku bersama-sama keluargaku.
Bertahan di rumah yang dikepung banjir
bukan karena takut meninggalkan harta
benda. Tidak ada barang berharga di
rumah ini. Lilin menjadi penerang saat
malam tiba. Dingin, lembap dan sepi yang
mencekam membuatku terus memeluk erat
Emak bersama adik-adikku. Untuk mengisi
48
perut, kami mengandalkan mie instan.
Namun ketika minyak tanah dan
persediaan air bersih menipis, aku dan
Emak menjadi panik. Sementara Bapak
hanya terdiam tak pernah mengerti dengan
keadaan sekitanya, beliau hanya diam dan
sesekali tersenyum sendiri, yang kita tak
pernah mengerti apa yang terjadi padanya.
"Cepat pakai jaket ini biar hangat,"
ujar seorang petugas yang memakai topi
pet berwarna hitam. Ia melepaskan jaket
yang dipakainya dan menyerahkannya
kepadaku.
Dibantu Emak, aku dan adik-adikku serta
bapak langsung kenakan jaket yang
diberikannya. Petugas Basarnas itu
kemudian memapah Emak untuk menaiki
49
perahu karet. Masih sempat aku
mendengar Emak yang memohon kepada
petugas untuk membopongku dan adik-
adik ke perahu.
"Kenapa kalian tidak mengungsi?"
tanyanya. Aku bingung untuk mencari
jawaban. Untung Emak cepat mengambil
alih menjawab pertanyaannya.
"Maunya mengungsi tapi kami pikir banjir
tidak akan sebesar ini”. ujar Emak.
"Syukurlah kalian ditemukan, yang penting
sekarang kalian selamat" Petugas dengan
penuh syukur.
Aku dan Emak serta adik-adik langsung
berpelukan dan dihujani ciuman oleh
Emak.
50
MUSA RUSTAM
Dari Pegawai ke Novelis, Dari anak Kampung Pulo ke Tokyo
Musa Rustam, lahir di Jakarta. Yang di panggil oleh teman-
temannya sebagai “anak kali”.
Lahir dari keluarga yang kurang
mampu tidak mengecilkan hatinya untuk selalu berjuang
dan bermimpi, ia amat
menggemari ilmu komputer yang dipelajari secara otodidak,
menjadi seorang PNS adalah
cita-cita Emaknya, mencoba menyebarkan virus
pegawaiprenuer lewat
tulisannya.
Penulis multitalenta ini, pendiri DEEP OF TEEN
Corporate, sebuah perusahaan pembuatan
Merchandise & Souvenir Unik. Pegawai Negeri Sipil
yang sehari-hari bertugas di Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Menjadi anggota komunitas bisnis Pandu Wirausaha dan Komunitas Tangan Diatas/TDA Jakarta Selatan
serta beberapa Komunitas Fotografer. Mulai
membuka bisnis DEEP OF TEEN pada 5 November
2010, menjadi Supplier Trans Studio Februari 2011. Mulai mendapatkan beberapa penghargaan dalam
bisnis yaitu ;
Sebagai Finalis Wirausaha Muda Mandiri Regional Jabodetabek kategori Industri Kreatif dari Bank
Mandiri tahun 2011.
Sebagai Finalis Indigo Fellowship kategori Web
51
Application dari PT. Telkom Indonesia tahun
2011. Sebagai Pemenang Kategori Kewirausahaan dalam
International Youth Muslim Creation dari
International Muslim Summit Student di ITB pada Juli 2012.
Juara 3 Lomba Inovasi Bisnis tingkat Nasional
dari Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik
Indonesia pada November 2012. Juara 2 Apresiasi Astra Socio Enterprenuer tahun
2012 dari PT. Astra International.
5 besar Esai Terbaik Kompetisi Esai Nasional Gebyar Pemuda Indonesia tahun 2013 di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Beberapa buku yang sudah di terbitkan secara self
publishing melalui nulisbuku.com antara lain;
Meraup Ratusan Juta Rupiah dari Bisnis Narsis,
Traveller Photography Anti Teler, dan Menjadi Pegawaiprenuer Sukses.
Menjadi pembicara dan motivator menjadi kekuatan yang diyakini memperkaya kehidupan manusia
dalam beraktivitas dan ini menjadi hobi yang akan
selalu menginspirasinya !!
Penulis dapat dikontak di Twitter @musajkcc
top related