down syndrome
Post on 26-Dec-2015
44 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien Ayah Ibu
Nama An. A Tn.I Ny. A
Umur 2 bulan 33tahun 29 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan
Alamat Margahayu Bekasi
Agama Islam Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SMA SMK
Pekerjaan - Swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan - - -
Keterangan Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung I
TanggalMasuk RS 12 Juli 2014
II. ANAMNESIS
Dilakukan sacara Alloanamnesis kepada ibu pasien pada hari Sabtu tanggal 12 Juli 2014
a. Keluhan Utama :
Batuk
b. Keluhan Tambahan :
-
c. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan keluhan batuk. Batuk
dialami pasien sudah 1minggu. Batuk berdahak, namun dahak sulit dikeluarkan. Sesak
nafas disangkal. Demam disangkal. Pilek disangkal. Nafsu makan baik, anak kuat dan
banyak mengkonsumsi ASI, BAK normal. BAB normal tidak pernah terdapat masalah.
Sudah berobat ke poliklinik anak RSUD ketika pertama kali batuk dan sudah terdapat
perbaikan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Kurang lebih 1 bulan yang
lalu dan sudah berobat ke rumah sakit, berobat jalan dengan diagnosis flu.Pasien
menyangkal adanya alergi makanan ataupun obat.
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi - Difteria - Jantung -
Cacingan - Diare - Ginjal -
DBD - Kejang - Darah -
Thypoid - Maag - Radang paru -
Otitis - Varicela - Tuberkulosis -
Parotis - Radang
tenggorokan
- Morbili -
.
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit keluarga yang mengidap penyakit yang sama tidak ada.
Riwayat diabetes mellitus, penyakit jantung, asma dan alergi tidak ada.
e. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Setiap bulan periksa ke
bidan, TT lengkap
Usia ketika hamil 29 tahun
Riwayat konsumsi obat-
obatan
Tidakada
Riwayat Radiasi USG 2x di bidan
Riwayat Keguguran -
KELAHIRAN Tempat kelahiran Bidan
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi 9 bulan
Keadaan bayi
Berat lahir 2900 gram
Panjang badan 55 cm
Lingkar kepala tidak ingat
Langsung menangis
Nilai apgar tidak tahu
Tidak ada kelainan bawaan
Kesan : Riwayat kehamilan dan kelahiran tidak terdapat permasalahan berarti. Bayi cukup bulan
f. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan belum dapat dipantau
g. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah/biskuit Bubur susu Nasi tim
0-2 +
2-4 +
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik dan pasien makan 3x sehari dengan porsi
cukup.
h. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)
BCG -
DPT - - - - -
POLIO Lahir - - - - -
CAMPAK - -
HEPATITIS B Lahir - -
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap, hanya polio dan hep B. pasien merencanakan BCG,
namun kondisi belum sehat
i. Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal dirumahpasien yang terdiridari 3 orang penghuni. Terdapat tiga kamar
tidur dan satu kamar mandi. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan air
mandi berasal dari air PAM. Rumah pasien terletak di rumah yang padat penduduk.Lantai
rumah tegel.Di rumah pasien juga tidak terdapat hewan peliharaan.
Kesan : Kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien baik.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal melati pada hari Sabtu, 12 Juli 2014
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
b. Tanda Vital
Nadi : 120x/menit
Respirasi : 25x/menit
Suhu : 36,6 º C
c. Data Antropometri
Berat badan : 3 kg
Panjang badan : 60 cm
Lingkar Kepala : 36 cm
Status Gizi WHO
BB/U : dibawah -3 SD (gizi buruk)
TB/U : antara 0 hingga +2 SD (gizi baik)
BB/TB : dibawah -3 SD (gizi buruk)
Lingkar Kepala : dibawah -2 SD
Kesan : status gizi pasien gizi buruk
d. Kepala dan Leher
Bentuk : mikrocephali
Rambut : rambut hitam, tipis
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor,RCL
+/+, RCTL +/+, Palpebra miring keatas, kelopak mata
jatuh, garis mata sejajar dengan ujung pina
Telinga : mikrotia, membran timpani intak, serumen -/-
Hidung : bentuk normal, sekret +/+, napas cuping hidung -/-
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-)
Lidah : makroglosia, menonjol keluar warna merah muda, lidah kotor (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1, kriptus -/-, detritus -/-, faring hiperemis (-),
arkus faring simetris, granula (-)
Leher : KGB membesar (-), kelenjar tiroid membesar (-), trakea letak
normal
e. Thoraks
Paru
Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : SN vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba
Perkusi : redup, batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I & II reguler, murmur -, gallop –
f. Abdomen
Inspeksi : perut tampak buncit, hernia umbilicalis (+)
Auskultasi : bising usus 3x/menit
Palpasi : supel, nyeri tekan - region epigastrium, hepar dan lien
tidak teraba membesar
Perkusi : shifting dullness -, nyeri ketok –
g. Kulit : ikterik -, petechie –, turgor kulit cukup
h. Ekstremitas : akral hangat, sianosis -, oedem -, CRT < 2 detik, tonus keempat
ekstremitas menurun
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak ada pemeriksaan penunjang (dirujuk ke RSCM) untuk penanganan selanjutnya
PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN
Analisis kromosom
TSH dan T4
V. DIAGNOSIS KERJA
Influenza
Suspek Sindrom Down
VI. DIAGNOSIS BANDING
Sindroma Trisomi 18,24
Hipotiroidisme
Akondroplasia
VII. TATALAKSANA
Ambroxol 3 x ½ cth
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Functionam : bonam
Ad Sanationam : bonam
BAB II
ANALISA KASUS
Dari hasi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, diagnosis pada pasien
ini adalah influenza dan suspek syndrome down. Hal ini dikarenakan pada anamnesis ditemukan
pasien datang ke Poliklinik RSUD Kota Bekasi dengan keluhan batuk. Batuk dialami pasien
sudah 1minggu. Batuk berdahak, namun dahak sulit dikeluarkan. Sesak nafas disangkal. Demam
disangkal. Pilek disangkal. Nafsu makan baik, anak kuat dan banyak mengkonsumsi ASI, BAK
normal. BAB normal tidak pernah terdapat masalah. Sudah berobat ke poliklinik anak RSUD
ketika pertama kali batuk dan sudah terdapat perbaikan. Riwayat Penyakit Dahulu, Pasien pernah
mengalami keluhan serupa sebelumnya. Kurang lebih 1 bulan yang lalu dan sudah berobat ke
rumah sakit, berobat jalan dengan diagnosis flu.Pasien menyangkal adanya alergi makanan
ataupun obat. Riwayat penyakit keluarga yang mengidap penyakit yang sama tidak ada. Riwayat
diabetes mellitus, penyakit jantung, asma dan alergi tidak ada. Riwayat kehamilan dan kelahiran
tidak terdapat permasalahan berarti. Bayi cukup bulan. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
belum dapat dipantau. Riwayat imunisasi dasar belum lengkpa, hanya polio dan hep B. pasien
merencanakan BCG, namun kondisi belum sehat. Kebersihan dan kesehatan lingkungan tempat
tinggal pasien baik.
Pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran Compos mentis Tanda
Vital nadi 120x/menit, RR 25x/menit, suhu 36,6 º C. Data Antropometri BB 3 kg, PB 60 cm, LK
36 cm, Status Gizi WHO BB/TB dibawah -3 SD (gizi buruk) lingkar kepala dibawah -2 SD.
Kepala dan Leher Bentuk mikrocefali, kelopak mata jatuh, garis mata sejajar dengan ujung pina,
Hidung sekret +/+, Lidah makroglosia, menonjol keluar, Abdomen tampak hernia umbilicalis
(+), Ekstremitas CRT < 2 detik, tonus keempat ekstremitas menurun.
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan. Pasien dirujuk untuk pengobatan di RSCM.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Sindroma down disebut juga trisomi 21, adalah suatu kondisi dimana materi genetik
tambahan menyebabkan keterlambatan tumbuh kembang anak baik secara fisik, intelektual
dan emosional. Tingkat keparahan sindroma down sangat bervariasi, beberapa dari penderita
membutuhkan banyak perhatian medis.
II. ETIOLOGI
Sindroma Down disebabkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah non
disjunctional. Non disjunctional disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
Genetik
Radiasi
Infeksi
Autoimun
Faktor Resiko
1. Usia Ibu
Seorang wanita kemungkinan melahirkan anak dengan sindroma down meningkat dengan
bertambahnya usia karena telur yang lebih tua memiliki resiko lebih besar pembagian
kromosom yang tidak tepat. Namun, dalam kenyataannya banyak anak sindroma down
lahir dari ibu yang usianya dibawah 35 tahun, karena pada kenyataannya semua oosit
perempuan terbentuk saat lahir. Sel-sel ini terhenti dalam meiosis sampai saat ovulasi,
saat mana sel-sel tersebut menyelesaikan pembelahan meiotiknya. Meningkatnya usia
oosit mungkin berperan menimbulkan nondisjunction.
2. Mempunyai anak yang sebelumnya sindroma Down
Biasanya seorang anak yang memiliki satu anak dengan sindroma down memiliki sekitar
1 persen memiliki seorang anak dengan sindroma down lagi.
3. Menjadi pembawa sifat genetik dari sindrom Down
Baik pria maupun wanita yang bersifat carrier terhadap sindroma down dapat diturunkan
pada anak-anak mereka.
III. KLASIFIKASI
Terdapat tiga tipe sindrom Down yaitu trisomi 21 reguler, translokasi dan mosaik.
1. Tipe pertama adalah trisomi 21 reguler
Sebagian besar anak Sindroma down (95%) memiliki kromosom 21 tambahan dalam
setiap tubuhnya hal ini disebut Trisomi 21.
Merupakan tipe paling sering ditemukan. Akibat dari salah satu orangtua memberi 2
kromosom pada kromosom 21. Dimana sel telur atau sel sperma terjadi kesalahan dalam
proses pembelahan. Proses ini dikenal sebagai “non disjunctional” karena kromosom 21
dalam sel asalnya tidak mengalami pembelahan tetapi tetap bersatu dengan sel yang baru.
2. Tipe yang kedua adalah translokasi
Pada tipe ini, kromosom 21 akan berkombinasi dengan kromosom yang lain. Adapun
kromosom yang dapat berkombinasi dengan kromosom 21 adalah kromosom 13,14,15
dan 22. Dan paling sering adalah kromosom 14. Hal ini terjadi jika bagian ujung
kromosom 21 dan kromosom lain patah dan bagian yang tersisa saling bersatu pada
bagian yang patah tersebut. Proses penempelan salah satu kromosom pada kromosom lain
disebut “translokasi”.
Seringnya salah satu orang tua yang menjadi karier kromosom yang ditranslokasi ini
tidak menunjukkan karakter penderita sindrom Down. Tipe ini merupakan 4% dari total
kasus.
3. Tipe ketiga adalah mosaic
Bagi tipe ini, hanya sel yang tertentu saja yang mempunyai kelebihan kromosom 21. Dua
persen adalah penderita tipe mosaik ini dan biasanya kondisi si penderita lebih ringan.
IV. PATOFISIOLOGI
Kromosom 21 yang lebih akan memberi efek ke semua sistem organ dan menyebabkan
perubahan sekuensi spektrum fenotip. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam
nyawa, dan perubahan proses hidup yang signifikan secara klinis. Sindrom Down akan
menurunkan survival prenatal dan meningkatkan morbiditas prenatal dan postnatal. Anak – anak
yang terkena biasanya mengalami keterlambatan pertumbuhan fisik, maturasi, pertumbuhan
tulang dan pertumbuhan gigi yang lambat.
Lokus 21q22.3 pada proksimal lebihan kromosom 21 memberikan tampilan fisik yang tipikal
seperti retardasi mental, struktur fasial yang khas, anomali pada ekstremitas atas, dan penyakit
jantung kongenital.
Hasil analisis molekular menunjukkan regio 21q.22.1-q22.3 pada kromosom 21
bertanggungjawab menimbulkan penyakit jantung kongenital pada penderita sindrom Down.
Sementara gen yang baru dikenal, yaitu DSCR1 yang diidentifikasi pada regio 21q22.1-q22.2,
adalah sangat terekspresi pada otak dan jantung dan menjadi penyebab utama retardasi mental
dan defek jantung.
Abnormalitas fungsi fisiologis dapat mempengaruhi metabolisme thiroid dan malabsorpsi
intestinal. Infeksi yang sering terjadi dikatakan akibat dari respons sistem imun yang lemah, dan
meningkatnya insidensi terjadi kondisi aotuimun, termasuk hipothiroidism dan juga penyakit
Hashimoto.
Penderita dengan sindrom Down sering kali menderita hipersensitivitas terhadap proses
fisiologis tubuh, seperti hipersensitivitas terhadap pilocarpine dan respons lain yang abnormal.
Sebagai contoh, anak – anak dengan sindrom Down yang menderita leukemia sangat sensitif
terhadap methotrexate. Menurunnya buffer proses metabolik menjadi faktor predisposisi
terjadinya hiperurisemia dan meningkatnya resistensi terhadap insulin. Ini adalah penyebab
peningkatan kasus Diabetes Mellitus pada penderita Sindrom Down.
Anak – anak yang menderita sindrom Down lebih rentan menderita leukemia, seperti Transient
Myeloproliferative Disorder dan Acute Megakaryocytic Leukemia. Hampir keseluruhan anak
yang menderita sindrom Down yang mendapat leukemia terjadi akibat mutasi hematopoietic
transcription factor gene yaitu GATA1. Leukemia pada anak – anak dengan sindrom Down
terjadi akibat mutasi yaitu trisomi 21, mutasi GATA1, dan mutasi ketiga yang berupa proses
perubahan genetik yang belum diketahui pasti.
V. GEJALA KLINIK
a. Anamnesis
- Sering memiliki riwayat ISPA
- Muntah sekunder karena atresia duodenal dan gangguan buang air besar karena
Hirschsprung’s disease
- Kejang (5-10%) pada bayi terbanyak berupa spase infantile dan pada anak besar
bersifat tonik-klonik
- Pertumbuhan pada masa bayi kadang-kadang baik tetapi kemudian melambat
- Terjadi hambatan perkembangan gerak bayi akibat semua otot terlihat lemas
b. Pemeriksaan Fisik
- Kepala
Relative mikrosefali, bagian occipital kepala mendatar, ubun-ubun melebar dan
lambat menutup
- Wajah
Muka melebar, pipi tinggi (mongoloid face)
- Mata
Palpebra miring keatas, kelopak mata jatuh, garis mata sejajar dengan ujung pina,
brushsfield spot,lipatan epikantus melebar, jarak antara kedua mata lebar,
strabismus nistagmus dan katarak congenital.
- Hidung
Tulang hidung hipoplastik dan flat nasal bridge
- Telinga
Mikrotia, over folded helux, gangguan pendengaran (66-89%) mencapai >15-20
db
- Mulut
Bibir tebal kecil, lidah menonjol keluar, lidah besar dan kasar, scrotal tongue,
palatum durum pendek, bernafas lewat mulut, berliur, agenesis dan malformasi
gigi
- Leher
Pendek dan lipatan berlebihan
- Thoraks
Terdapat kelainan jantung bawaan (40-50%) berupa aritmia dan palpitasi
- Abdomen
Buncit, gangguan pergerakan usus
- Ekstremitas
Tangan melebar dan pendek, kinodaktili, linea simian
Kaki ada jarak antara jari 1 dan 2, garis telapak kaki banyak
Hiperekstensi persendian jari tangan
- Musculoskeletal
Hipotonus , pergerakan sendi berlebihan
- Kulit
Kering, tampak keriput, xerosis, lesi hiperkeratosis yang terlokalisir, garis – garis
transversal pada telapak tangan, hanya satu lipatan pada jari kelima, elastosis
serpiginosa, alopecia areata, vitiligo, follikulitis, abses dan infeksi pada kulit yang
rekuren.
- Genitalia : kecil
- Keterbelakangan mental sedang – berat ( IQ <50-70 )
Anak penderita sindrom Down mempunyai risiko tinggi mendapat Leukemia,
termasuklah Leukemia Limfoblastik Akut dan Leukemia Myeloid. Diperkirakan 10% bayi yang
lahir dengan sindrom Down akan mendapat klon preleukemic, yang berasal dari progenitor
myeloid pada hati yang mempunyai karekter mutasi pada GATA1, yang terlokalisir pada
kromosom X. Mutasi pada faktor transkripsi ini dirujuk sebagai Transient Leukemia, Transient
Myeloproliferative Disease (TMD), atau Transient Abnormal Myelopoiesis (TAM).
Penyakit Jantung Kongenital
Penyakit jantung kongenital sering ditemukan pada penderita sindrom Down dengan
prevelensi 40-50%. Walaubagaimanapun kasus lebih sering ditemukan pada penderita yang
dirawat di RS (62%) dan penyebab kematian yang paling sering adalah aneuploidy dalam dua
tahun pertama kehidupan. Antara penyakit jantung kongenital yang ditemukan Atrioventricular
Septal Defects (AVD) atau dikenal juga sebagai Endocardial Cushion Defect (43%), Ventricular
Septal Defect (32%), Secundum Atrial Septal Defect (ASD) (10%), Tetralogy of Fallot (6%),
dan Isolated Patent Ductus Arteriosus (4%). Lesi yang paling sering ditemukan adalah Patent
Ductus Arteriosus (16%) dan Pulmonic Stenosis (9%). Kira - kira 70% dari endocardial cushion
defects adalah terkait dengan sindrom Down. Dari keseluruhan penderita yang dirawat, kira –
kira 30% mempunyai beberapa defek sekaligus pada jantung mereka .
Atrioventricular septal defects (AVD)
Atrioventricular septal defects (AVD) adalah kondisi dimana terjadinya kelainan
anatomis akibat perkembangan endocardial cushions yang tidak sempurna sewaktu tahap embrio.
Kelainan yang sering di hubungkan dengan AVD adalah patent ductus arteriosus, coarctation of
the aorta, atrial septal defects, absent atrial septum, dan anomalous pulmonary venous return.
Kelainan pada katup mitral juga sering terjadi. Penderita AVD selalunya berada dalam kondisi
asimtomatik pada dekade pertama kehidupan, dan masalah akan mula timbul pada dekade kedua
dan ketiga kehidupan. Pasien akan mula mengalami pengurangan pulmonary venous return, yang
akhirnya akan menjadi left-to-right shunt pada atrium dan ventrikel. Akhirnya nanti akan terjadi
gagal jantung kongestif yang ditandai dengan antara lain takipnu dan penurunan berat badan.
AVD juga bisa melibatkan septum atrial, septum ventrikel, dan pada salah satu, atau kedua dua
katup atrioventikuler. Pada penderita dengan penyakit ini, jaringan jantung pada bagian superior
dan inferior tidak menutup dengan sempurna. Akibatnya, terjadi komunikasi intratrial melalui
septum atrial. Kondisi ini kita kenal sebagai defek ostium primum. Akan terjadi letak katup
atrioventikuler yang abnormal, yaitu lebih rendah dari letak katup aorta. Perfusi jaringan
endokardial yang tidak sempurna juga mangakibatkan lemahnya struktur pada leaflet katup
mitral. Pada penderita sering terjadi predominant left-to-right shunting. Apabila penderita
mengalami kelainan yang parsial, shunting ini sering terjadi melalui ostium primum pada
septum. Kalau penderita mendapat defek yang komplit, maka dapat terjadi defek pada septum
ventrikel dan juga insufisiensi valvular. Kemudian akan terjadi volume overloading pada
ventrikel kiri dan kanan yang akhirnya diikuti dengan gagal jantung pada awal usia. Sekiranya
terjadi overload pulmonari, dapat terjadi penyakit vaskuler pulmonari yang diikuti dengan gagal
jantung kongestif .
Ventricular Septal defect (VSD)
Ventricular Septal Defect kondisi ini adalah spesifik merujuk kepada kondisi dimana
adanya lubang yang menghubungkan dua ventrikel. Kondisi ini boleh terjadi sebagai anomali
primer, dengan atau tanpa defek kardiak yang lain. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan
seperti Tetralogy of Fallot (TOF), complete atrioventricular (AV) canal defects, transposition of
great arteries,dan corrected transpositions.
Secundum Atrial Septal Defect (ASD)
Pada penderita secundum atrial septal defect, didapatkan lubang atau jalur yang
menyebabkan darah mengalir dari atrium kanan ke atrium kiri, atau sebaliknya, melalui septum
interatrial. Apabila tejadinya defek pada septum ini, darah arterial dan darah venous akan
bercampur, yang bisa atau tidak menimbulkan sebarang gejala klinis. Percampuran darah ini juga
disebut sebagai ‘shunt’. Secara medis, right-to-left-shunt adalah lebih berbahaya.
Tetralogy of Fallot (TOF)
Tetralogy of Fallot merupakan jenis penyakit jantung kongenital pada anak yang sering
ditemukan. Pada kondisi ini, terjadi campuran darah yang kaya oksigen dengan darah yang
kurang oksigen. Terdapat empat abnormalitas yang sering terkait dengan Tetralogy of fallot.
Pertama adalah hipertrofi ventrikel kanan. Terjadinya pengecilan atau tahanan pada katup
pulmonari atau otot katup, yang menyebabkan katup terbuka kearah luar dari ventrikel kanan. Ini
akan menimbulkan restriksi pada aliran darah akan memaksa ventrikel untuk bekerja lebih kuat
yang akhirnya akan menimbulkan hipertrofi pada ventrikel. Kedua adalah ventricular septal
defect. Pada kondisi ini, adanya lubang pada dinding yang memisahkan dua ventrikel, akan
menyebabkan darah yang kaya oksigen dan darah yang kurang oksigen bercampur. Akibatnya
akan berkurang jumlah oksigen yang dihantar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala klinis
berupa sianosis. Ketiga adalah posisi aorta yang abnormal. Keempat adalah pulmonary valve
stenosis. Jika stenosis yang terjadi ringan, sianosis yang minimal terjadi karena darah masih lagi
bisa sampai ke paru. Tetapi jika stenosisnya sedang atau berat, darah yang sampai ke paru adalah
lebih sedikit maka sianosis akan menjadi lebih berat.
Isolated Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kondisi Patent ductus arteriosus (PDA) ductus arteriosus si anak gagal menutup
dengan sempurna setelah si anak lahir. Akibatnya terjadi bising jantung. Simptom yang terjadi
antara lain adalah nafas yang pendek dan aritmia jantung. Apabila dibiarkan dapat terjadi gagal
jantungkongestif. Semakin besar PDA, semaki buruk status kesehatan penderita .
Immunodefisiensi
Penderita sindrom Down mempunyai risiko 12 kali lebih tinggi dibandingkan orang
normal untuk mendapat infeksi karena mereka mempunyai respons sistem imun yang rendah.
Contohnya mereka sangat rentan mendapat pneumonia. Adapun gejala pneumonia pada anak
adalah batuk, sesak napas timbulnya mendadak, demam, nyeri dada (pleuritik), ekspektorasi
purulen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, dispneu, takipneu, pernafasan cuping
hidung, sianosis. Pemeriksaaan paru ditemukan adanya retraksi dinding dada, pergerakan
dinding dada pada saat pernafasan asimetris (bisa ada maupun tidak), perkusi sonor sampai redup
relative. Suara nafas vesikuler/bronchial/subbronkial, RBH nyaring atau sampai dengan
krepitasi.
Sistem Gastrointestinal
Kelainan pada sistem gastrointestinal pada penderita sindrom Down yang dapat
ditemukan adalah atresia atau stenosis, Hirschsprung disease (<1%), TE fistula, Meckel
divertikulum, anus imperforata dan juga omphalocele. Selain itu, hasil penelitian di Eropa dan
Amerika didapatkan prevalensi mendapat Celiac disease pada pasien sindrom Down adalah
sekitar 5-15%. Penyakit ini terjadi karena defek genetik, yaitu spesifik pada human leukocyte
antigen (HLA) heterodimers DQ2 dan juga DQ8. Dilaporkan juga terdapat kaitan yang kuat
antara hipersensitivitas dan spesifikasi yang jelek.
Sistem Endokrin
Tiroiditis Hashimoto yang mengakibatkan hipothyroidism adalah gangguan pada sistem
endokrin yang paling sering ditemukan. Onsetnya sering pada usia awal sekolah, sekitar 8 hingga
10 tahun. Insidens ditemukannya Graves disease juga dilaporkan meningkat. Prevelensi
mendapat penyakit tiroid seperti hipothirodis kongenital, hipertiroid primer, autoimun tiroiditis,
dan compensated hypothyroidism atau hyperthyrotropenemia adalah sekitar 3-54% pada
penderita sindrom Down, dengan persentase yang semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya umur.
Gangguan Psikologis
Kebanyakan anak penderita sindrom Down tidak memiliki gangguan psikiatri atau
prilaku. Diperkirakan sekitar 18-38% anak mempunyai risiko mendapat gangguan psikis.
Beberapa kelainan yang bisa didapat adalah Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD),
Oppositional Defiant Disorder, gangguan disruptif yang tidak spesifik dan gangguan spektrum
Autisme.
VI. LABORATORIUM
I. Studi sitogenetik : karyotypik penderita dan orangtua penderita (untuk kepentingan
konseling genetik)
Analisis kromosom langsung dan tidak langsung
Analisis Kromosom
LANGSUNG TIDAK LANGSUNG
BAHAN Sel-sel sumsum tulang Lekosit
Cara
pengambilan
BMP (Bone Morrow Pincture) Darah v. Mediana cubiti dgn
spuit
Heparin - + untuk mencegah
pembekuan darah
Pembiakan - +
Sel Oleh karena mitosis sudah aktif Oleh karena mitosis < aktif +
Pytohemoglutinin
Medium
DIFCO 199
- + medium untuk pembiakan
sel
*Dilihat di bawah mikroskop
*Potret
*Pembuatan kariotip
*Kariotip adalah susunan kromosom menurut klasifikasi Danver.
II. Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21
dengan cepat baik pada masa prenatal dan neonatal
III. Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dan Thyroxine (T4) untuk menilai fungsi
kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun.
IV. Pemeriksaan darah lengkap dan analisa gas darah jika sudah terdapat gejala penderita
mengalami pneumonia.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN
1. Pengambilan sampel janin
• Amnionsentesis
Biasanya dilakukan pada trimester ke dua atau pada janin berusia 13-20 minggu.
Amnionsintesis dianjurkan bagi perempuan hamil lebih dari 35 tahun, perempuan yang
pernah melahirkan anak dengan kelainan kromosom, dan perempuan dengan riwayat
cacat genetik dalam keluarganya. Tapi dengan prosedur ini menyebabkan kematian
janin dengan angka sekitar 0.5 %.
• Pengambilan sampel vilus korionik (CVS)
Merupakan pengambilan langsung sel-sel trofoblastik janin (vilus korionik bantalan
plasenta). CVS dilakukan pada akhir trimester pertama sehingga dapat memberikan
diagnosis yang lebih dini dibandingkan dengan amnionsintesis. CVS memiliki resiko
amhka kematian janin lebih tinggi dibandingkan dengan amnionsintesis, yaitu 1 %
sampai 1.5 %.
• Pengambilan sampel darah umbilikus perkutis (PUBS)
PUBS dilakukan setelah usia gestasi 16 minggu dan digunakan untuk menganalisis
secara cepat sitogenetika janin.
2. Pemeriksaan Radiologi
- x-foto kepala : brakisefali, mikrosefali, hipoplastik tulang-tulang wajah dan sinus
- x-foto ekstremitas: hipoplastik pada falang tengah dan distal rudimenter. Jarak antara
jari satu dan dua, baik tangan maupun kaki agak besar.
3. EKG
Untuk mendeteksi kemungkinan terjadi kelainan jantung bawaan
4. ABR
Untuk menentukan derjat gangguan pendengaran
5. DDST
Untuk mendeteksi dini gangguan tumbuh kembang
VI. DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis Trisomi 21 dilihat dari gejala dan tanda-tanda yang dialami oleh
pasien seperti:
1. Retardasi mental
2. Kelainan jantung
3. Dermatoglifi
Dilanjutkan pemeriksaan amniosintesis atau CVS atau PUBS (untuk mendiagnosis
trisomi 21 pada masa maternal), pemeriksaan analisis kromosom (untuk mendiagnosis
trisomi setelah bayi lahir ) didapatkan hasilnya positif mengarah ke Trisomi 21.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Adapun diagnosis banding dari sindroma Down adalah :
a. Hipotiroidisme
Terkadang gejala klinis sindroma Down sulit dibedakan dengan hipotiroidisme. Secara
kasar dapat dilihat dari aktivitasnya karena anak-anak dengan hipotiroidisme sangat
lambat dan malas, sedangkan anak dengan sindroma Down sangat aktif.
b.Akondroplasia
c. Rakitis
d.Sindrom Turner
e. Penyakit Trisomi lain selain trisomi 21 yaitu Trisomi 18 (Sindroma Edwards), Trisomi
13 (Sindroma Patau).
Sindroma Edward ditandai dengan Kepala kecil, telinga terletak lebih rendah, celah
bibir/celah langit-langit, tidak memiliki ibu jari tangan, clubfeet, diantara jari tangan
terdapat selaput,kelainan jantung & kelainansaluran kemih dan kelamin.
Sindroma Patau ditandai dengan Kelainan otak &mata yg berat, celah bibir/celah langit-
langit, kelainan jantung, kelainan saluran kemih-kelamin & kelainan bentuk telinga.
VIII. PENATALAKSANAAN
Anak dengan sindroma Down diperlukan penanganan secara multidisiplin. Selain
penanganan secara medis, pendidikan anak juga perlu mendapat perhatian, disamping
partisipasi dari keluarganya.
a) Penanganan secara medis
Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama
dengan anak normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi,
kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarganya. Tetapi terdapat
beberapa keadaan dimana anak ini dengan sindrom Down memerlukan perhatian khusus,
yaitu dalam hal :
Pendengaran
70-80% anak dengan Down syndrom dilaporkan terdapat gangguan pendengaran.
Maka diperlukan pemeriksaan telinga secara berkala oleh ahli THT.
Penyakit jantung bawaan
30-40% anak dengan Down syndrom disertai penyakit jantung bawaan, maka
memerlukan penanganan jangka panjang oleh ahli jantung anak.
Penglihatan
Anak dengan kelainan sering mengalami gangguan penglihatan atau katarak.
Diperlukan evaluasi secara rutin oleh ahli mata.
Nutrisi
Pada anak yang mengalami kelainan kongenital yang berat akan terjadi gangguan
pertumbuhan pada masa bayi atau prasekolah, ada juga kasus obesitas pada masa
remaja. Sehingga diperlukan kerjasama dengan ahli gizi.
Kelainan tulang
Kelainan tulang pada sindro down dapat berupa dislokasi patella, subluksasio pangkal
paha atau ketidakstabilan atlantoaksial.Maka diperlukan pemeriksaan radiologis untuk
memeriksa spina servikalis dan diperlukn konsultasi neurologis.
Farmakologi
Penderita sindroma Down yang disertai gejala ADHD atau depresi dapat diberikan
stimulan atau antidepresan. Agitasi, agresi, dan tantrum merespon baik terhadap
pemberian antipsikotik. Antipsikotik atipikal seperti risperidone (Risperidal) dan
olazapine (Zyprexal) lebih dipilih karena memiliki kecenderungan lebih kecil dalam
mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dan diskinesia. Litium (Eskalith) berguna dalam
mengontrol sifat agresif atau menyakiti diri sendiri. Carbamazepin (Tegretol),
valproate (Depakene), dan propanolol (Inderal) juga dapat digunakan untuk perilaku
agresif dan tantrum. Pemberian antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada pasien
Sindroma Down dengan infeksi karena terbukti mampu mencegah mortalitas.
Psikoterapi
Terapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan perilaku
sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan destruktif. Terapi
kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar dan latihan relaksasi dengan mengikuti
instruksi, direkomendasikan untuk anak yang mampu mengikuti instruksi. Terapi
psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang
diharapkan yang dapat mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.
b) Pendidikan
√ Intervensi dini
Anak akan dapat manfaat dari stimulasi sensoris dini, latihan khusus yang
mencakup aktivitas motorik kasar dan halus, dan petunjuk agar anak mampu
berbahasa.
√ Taman bermain atau Taman kanak-kanak
Kesempatan bergaul dengan lingkungan diluar rumah maka memungkinkan anak
berpatisipasi dalam dunia yang lebih luas.
√ Pendidikan khusus (SLB-C)
c) Penyuluhan pada orangtuanya
Dokter harus menjelaskan bahwa anak dengan Down sindrom adalah individu
yang mempunyai hak yang sama dengan anak yang normal, serta pentingnya kasih
sayang dan pengasuhan orangtua.
IX. KOMPLIKASI
Anak-anak dengan sindrom Down dapat memiliki berbagai komplikasi , beberapa di
antaranya menjadi lebih menonjol ketika usia mereka bertambah , termasuk :
- Kelainan jantung bawaaan . Sekitar separuh anak-anak dengan sindrom Down dilahirkan
dengan beberapa jenis cacat jantung . Masalah-masalah ini jantung bisa mengancam jiwa
dan mungkin memerlukan pembedahan pada awal masa bayi .
- Leukemia . Anak-anak dengan sindrom Down lebih mungkin untuk mengembangkan
leukemia daripada anak-anak lain .
- Penyakit menular . Karena kelainan pada sistem kekebalan tubuh mereka , orang-orang
dengan sindrom Down jauh lebih rentan terhadap penyakit menular , seperti pneumonia .
- Demensia . Kemudian dalam kehidupan , orang dengan sindrom Down memiliki risiko
sangat meningkat dari demensia . Tanda dan gejala demensia sering muncul sebelum usia
40 pada orang dengan sindrom Down . Mereka yang memiliki demensia juga memiliki
tingkat yang lebih tinggi kejang .
- Apnea . Karena jaringan lunak dan perubahan tulang yang menyebabkan penyumbatan
saluran udara mereka , anak-anak dengan sindrom Down pada risiko lebih besar apnea
tidur obstruktif .
- Obesitas . Orang dengan sindrom Down memiliki kecenderungan lebih besar untuk
menjadi gemuk daripada populasi umum .
- Masalah lain . Sindrom Down juga dapat dikaitkan dengan kondisi kesehatan lainnya ,
termasuk penyumbatan gastrointestinal , masalah tiroid , menopause dini , kejang ,
gangguan pendengaran , penuaan dini , masalah tulang dan visi miskin .
X. PROGNOSIS
Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain
perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik. Kemampuan
berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan,
seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis. Sebesar 44% penderita sindroma
Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68 tahun. Meningkatnya risiko
terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari populasi normal. Penyakit Alzheimer
yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. Beberapa penderita
sindroma Down mengalami hal-hal berikut:
a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.
b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.
c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan kecerdasan
dan kepribadian).
d. Gangguan tiroid
DAFTAR PUSTAKA
1. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Editor: IG.N. Gde Ranuh. Jakarta : EGC, 1995.
p. 211-20
2. Sindroma down. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/down-syndrome/DS00182/DSECTION=prevention.
Accessed July18tht 2014.
3. Setianingsih, Iswari. Ilmu Kenidanan Sarwono Prawirohardjo/editor ketua, Abdu; Bari
Saifuddin editor, Trijatmo Rachimhadhi, Gulardi H. Wiknjosastro. Ed. 4. Cet. 2. Jakarta :
PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. p. 702-17.
4. Price SA, Wilson LM. Kelainan Kromosom. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed 6 vol.1. Jakarta: EGC;2006.p.26-31.
5. Thompson & Thompson, 2001 : Genetics in Medicine Edt 6th, Nussbaum, McInnes, and
Willard. WB.Saunders Comp.
6. Sindroma down at: http://www.medicastore.com/. Accesed July 18 th 2014.
7. Fatusi, Buckley, Sue. 2005. Specificity in Down syndrome. The DownSyndrome Educational
Trust. p81-86.
8. Riyanto, Buckley, S. and Bird, G. (2001). Memory Development forIndividuals with Down
Syndrome. The Down Syndrome Educational Trust,p112.120.
9. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. Etal. 2009.
Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescentsin 10 Regions of the United
States. Official Journal of the AmericanAcademic of Pediatrics. 124:1565-1571.
10. Weijerman, Michel E. De Winter, J. Peter. 2010. The care of children withDown syndrome.
Eur J Pediatric. 169:1445–1452.
top related