difteri
Post on 14-Aug-2015
37 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUANDIFTERI
Disusun Oleh:
Anggra Gusta M
09.005
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN
GENGGONG – PROBOLINGGO
2013
KONSEP TEORI
1. DefinisiDifteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi saluran
pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular,
disebabkan oleh corynebacteri um diphtheriae dengan ditandai pembentukan
pseudomembran pada kulit dan atau mukosa.
Difteri adalah penyakit saluran pernafasan atas ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam rendah, dan membran patuh (sebuah pseudomembran'''')
pada amandel, faring, dan / atau rongga hidung. Suatu bentuk ringan dari
difteri dapat dibatasi pada kulit. Jarang konsekuensi termasuk miokarditis
(sekitar 20% dari kasus) dan neuropati perifer (sekitar 10% dari kasus). Hal
ini disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae'''', sebuah fakultatif
anaerob bakteri Gram-positif.
2. Insidensi
Status Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit Difteri di Jawa Timur
masih belum dicabut. Bahkan penderita difteri pada tahun ini mengalami
peningkatan 46 kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Daerah yang
paling banyak mengidap difteri yakni Situbondo.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, difteri
sudah menyerang ke seluruh 38 kabupaten dan kota di Jatim. Pada 2011,
jumlah kasus difteri sebanyak 664 penderita dan 20 orang diantaranya
meninggal dunia. Pada saat itu, daerah terbanyak penderita difter adalah Kota
Malang. Kemudian, hingga Oktober 2012, jumlah penderita difteri sebanyak
710 orang dan meninggal dunia 28 orang. Dari jumlah tersebut, penderita
terbanyak ada di Kabupaten Situbondo sebanyak 113 kasus dan meninggal
dunia 7 orang. Kemudian disusul Kabupaten Jombang, sebanyak 87 kasus dan
meninggal 11 orang.
3. Etiologi
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya
bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut
atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan.Beberapa jenis bakteri ini
menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan
pada jantung dan otak.
4. Klasifikasi
1. Difteri Ringan => diawali dengan keluhan nyeri saat menelan
2. Difteri Sedang => keluhan nyeri saat menelat serta membengkaknya laring
hingga mengakibatkan bullnek *leher yg bengkak*
3. Difteri Berat => mulai terjadi komplikasi, selain itu penderita semakin
sulit bernafas *atau sempat mengalami gagal nafas* sehingga danjurkan
pemasangan trakeostomi
5. Patofisiologi
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan
selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila
bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari
tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga
saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama
kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi
peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada
lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi
kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan,
tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat
berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-
minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan
lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini
tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara
paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah
penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan
menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas.
6. Tanda gejala
1. Demam, suhu tubuh meningkat sampai 38,9 derajat Celcius,
2. Batuk dan pilek yang ringan.
3. Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan
4. Mual, muntah , sakit kepala, anorexia
5. Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih
ke abu abuan kotor
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar
albumin. Pada urin terdapat albumin ringan.
2. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan
di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood
( Rampengan, 1993 ).
3. Leukosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena
hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
4. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit
peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
5. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu
pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah
cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam,
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut
tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas
atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72
jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa
hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
8. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Pengobatan spesifik untuk difteri :
- ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut
dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
Pemberian anti-toksin ke dalam pembuuh darah atau otot yang berfungsi
untuk menetralkan toksin difteri dalam tubuh yang telah terkontaminasi
beredar di dalam tubuh. Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada
toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel mencegah NAD+ + EF2
(aktif) + toksid yang aktif , tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam
sel. Ads dapat menimbulkan :
1. Reaksi anafilaktik; jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan
segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.
2. Serum Sickness ; dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan dapat
berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi
lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah
dimurnikan.
3. Demam; dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian
serum secara intravena.
4. Rasa nyeri pada tempat suntikan; yang biasanya timbul pada
penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam
24 jam.
- Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari
bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan
kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis. Antibiotik yang bertujuan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin serta
memutus rantai penularan dengan Penisilin Prokain. Penisilin menyerang
sebelum toksid Fragmen A dan B pada difteri penetrasi ke dalam sel.
2. Non farmakologi
Pasien difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap
pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai
malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga harus memakai celemek
tersebut untuk mencegah penularan ke luar ruangan. Harus disediakan
perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang selalu
kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran juga tempat untuk merendam
alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Resiko terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit
karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang
disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh
basil difteri tersebut.
- Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya edema pada laring dan trakea serta
adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah suara serak dan stridor
inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas, sianosis, tampak retraksi
otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Baringkan setengah duduk.
c. Hubungi dokter.
d. Pasang infus (bila belum dipasang).
e. Hubungi orang tua beritahu keadaan anak dan bahaya yang dapat terjadi.
9. Prognosa
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai
30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun
menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.
Prognosa tergantung pada :
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering
ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat
tercekik oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul
tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik. Difteri yang
disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk.
Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat
penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat
fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat.
Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai
disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.
10. Komplikasi
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman streptokokus dan staphilokokus.
Panas tinggi terutama didapatkan pada penderita difteri dengan infeksi
tumpangan dengan kuman streptokokus.
2. Obstruksi jalan napas akibat membran atau oedem jalan nafas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat membaran atau oedem jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas dengan sengaja akibatnya, bronkopneumoni dan
atelektasis.
3. Sistemik
Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri berat tetapi juga dapat terjadi pada
bentuk ringan. Komplikasi terhadap jantung pada anak diperkirakan 10-
20%. Faktor yang mempengaruhi terhadap niokarditis adalah virulensi
kuman. Virulensi makin tinggi komplikasi jantung. Miokarditis dapat
terjadi cepat pada minggu pertama atau lambat pada minggu keenam.
Neuritis
Terjadi 5-10% pada penderita difteri yang biasanya merupakan komplikasi
dari difteri berat. Manifestasi klinik ditandai dengan:
Timbul setelah masa laten
Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominan dari pada
sensorik
Biasanya sembuh sempurna.
Nefritis
4. Susunan saraf
Kira-kira 10% penderita difteri akan mengalami komplikasi yang
mengenai sistem susunan saraf terutama sistem motorik. Paralysis ini
dapat berupa:
Paralysis palatum molle
Manifestasi saraf yang paling sering
Timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara dan
regurgitasi hidung, tetapi ada yang mengatakan suara ini timbul pada
minggu 1-2
Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
1. Biodata
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang
ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas
15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat
pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan
yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan
saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur dara
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan
nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Umum
Untuk mengetahui kesehatan umum anak, keadaan yang kurang baik,
tekanan darah cenderung menurun 90 – 60 mmHg, nadi, suhu, berat badan
adanya kelaiana yang dapat mempengaruhi kesehatan anak
8. Pemeriksaan Fisik
a. KulitI = Inspeksi: lihat ada/tidak adanya lesi, hiperpigmentasi (warna
kehitaman/kecoklatan), edema, dan distribusi rambut kulit.
P = Palpasi: di raba dan tentukan turgor kulit elastic atau tidak, tekstur :
kasar /halus, suhu : akral dingin atau hangat.
b. Rambut:
I = disribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak, bercabang
P = mudah rontok/tidak, tekstur: kasar/halus
c. Kuku:
I = catat mengenai warna : biru: sianosis, merah: peningkatan visibilitas
Hb, bentuk: clubbing karena hypoxia pada kangker paru, beau’s lines pada
penyakit difisisensi fe/anemia fe
P = catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada
pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.
d. Pemeriksaan kepala:
I= Lihat kesimetrisan wajah jika, muka ka.ki berbeda atau misal lebih
condong ke kanan atau ke kiri itu menunjukan ada parese/kelumpuhan,
contoh: pada pasien SH.
P = Cari adanya luka, tonjolan patologik, dan respon nyeri dengan
menekan kepala sesuai kebutuhan
e. Mata:
I = Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris ka.ki atau tidak, reflek
kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah/konjungtivitis,
ikterik/indikasi hiperbilirubin/gangguan pada hepar, pupil: isokor ka,ki
(normal), miosis/mengecil, pin point/sangat kecil (suspek SOL),
medriasis/melebar/dilatasi (pada pasien sudah meninggal)
Inspeksi gerakan mata:
- Anjurkkan pasien untuk melihat lurus ke depan
- Amati adanya nistagmus/gerakan bola mata ritmis(cepat/lambat)
- Amati apakah kedua mata memandang ke depan atau ada yang deviasi
- Beritahu pasien untuk memandan dan mengikuti jari anda, dan jaga
posisi kepala pasien tetap lalu gerakkan jari ke 8 arah untuk mengetahui
fungsi otot-otot mata.
Inspeksi medan pengelihatan:
- Berdirilah didepan pasien
- Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan menutup mata yang tidak
di periksa
- Beritahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada
satu titik pandang, misal: pasien disuruh memandang hidung pemeriksa.
- Kemudian ambil benda/ballpoint dan dekatkan kedepan hidung
pemeriksa kemudian tarik atau jauhkan kesamping ka.ki pasien, suruh
pasien mengatakan kapan dan dititik mana benda mulai tidak terlihat
(ingat pasien tidak boleh melirik untuk hasil akurat).
Pemeriksaan visus mata:
- Siapkkan kartu snllen (dewasa huruf dan anak gambar)
- Atur kursi pasien, dan tuntukan jarak antara kursi dan kartu, misal 5
meter (sesuai kebijakkan masing ada yang 6 dan 7 meter).
- Atur penerangan yang memadai, agar dapat melihat dengan jelas.
- Tutup mata yang tidak diperiksa dan bergantian kanan kiri
- Memulai memeriksa dengan menyuruh pasien membaca dari huruf yang
terbesar sampai yang terkecil yang dapat dibaca dengan jelas oleh pasien.
- Catat hasil pemeriksaan dan tentukan hasil pemeriksaan.
- Misal: hasil visus:
OD (Optik Dekstra/ka): 5/5
Berarti : pada jarak 5 m, mata masih bisa melihat huruf yang seharusnya
dapat dilihat/dibaca pada jarak 5 m
OS (Optik Sinistra/ki) : 5/2
Berarti : pada jarak 5 m, mata masih dapat melihat/membaca yang
seharusnya di baca pada jarak 2 m.
P = Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO (tekanan intra
okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras (pasien
glaucoma/kerusakan dikus optikus), kaji adanya nyeri tekan
f. Hidung
I = Apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah ada secret,
cuping hidung
P = Apakah ada nyeri tekan, massa
g. Telinga
I = Daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran, bentuk, kebresihan,
adanya lesy.
P = Tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan kelenturan
kartilago.
h. Mulut dan faring
I = Amati bibir apa ada klainan kogenital (bibir sumbing), warna,
kesimetrisan, kelembaban, pembengkakkan, lesi.
Amati jumlah dan bentuk gigi, gigi berlubang, warna, plak, dan kebersihan
gigi
Inspeksi mulut dalam dan faring:
- Menyuruh pasien membuka mulut amati mucosa: tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi
- Amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi
- Untuk melihat faring gunakan tongspatel yang sudah dibungkus kassa
steril, kemudian minta klien menjulurkan lidah dan berkata “AH”
amati ovula/epiglottis simetris tidak terhadap faring, amati tonsil
meradang atau tidak (tonsillitis/amandel).
P = Pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor,
pembengkakkan dan nyeri.
Lakukkan palpasi dasar mulut dengan menggunakkan jari telunjuk
dengan memekai handscond, kemudian suruh pasien mengatakan kata
“EL” sambil menjulurkan lidah, pegang ujung lidah dengan kassa dan
tekan lidah dengan jari telunjuk, posisi ibu jari menahan dagu. Catat
apakah ada respon nyeri pada tindakan tersebut.
i. leherI = Amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut
Amati adanya pembengkakkan kelenjar tirod/gondok, dan adanya
massa.
Amati kesimeterisan leher dari depan, belakang dan samping ka,ki.
j. Dada
I = Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati adanya retraksi interkosta,
amati gerkkan paru.
Amati klavikula dan scapula simetris atau tidak
P = Letakkan kedua telapak tangan pada leher klien, suruh pasien
menelan dan rasakan adanya kelenjar tiroid (kaji ukuran, bentuk,
permukaanya.) Palpasi trachea apakah kedudukkan trachea simetris
atau tidak.
Pe/Perkusi =
- Atur pasien dengan posisi supinasi
- Untuk perkusi anterior dimulai batas clavikula lalu kebawah
sampai intercosta 5 tentukkan batas paru ka.ki (bunyi paru normal :
sonor seluruh lapang paru, batas paru hepar dan jantung: redup)
- Jika ada edema paru dan efusi plura suara meredup.
Aus/auskultasi =
- Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa dan bell pada anak
- Letakkan stetoskop pada interkostalis, menginstruksikkan pasien
untuk nafas pelan kemudian dalam dan dengarkkan bunyi nafas:
vesikuler/wheezing/creckels
k. Jantung
I = Amati denyut apek jantung pada area midsternu lebih kurang 2 cm
disamping bawah xifoideus.
P = Merasakan adanya pulsasi
- Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk menentukkan area
aorta dan spasium interkosta ke-2 kiri letak pulmonal kiri.
- Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk mengetahui area
trikuspidalis/ventikuler amati adanya pulsasi
- Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral 5-7 cm ke garis
midklavicula kiri dimana akan ditemukkan daerah apical jantung
atau PMI ( point of maximal impuls) temukkan pulsasi kuat pada
area ini.
- Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada area epigastika atau
dibawah sternum.
Pe =
- Perkusi dari arah lateral ke medial untuk menentukkan batas
jantung bagian kiri,
- Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri untuk mengetahui
batas jantung kanan.
- Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui batas atas dan
bawah jantung
- Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada pada daerah perkusi.
Aus =
- Menganjurkkan pasien bernafas normal dan menahanya saat
ekspirasi selesai
- Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan stetoskop pada
interkostalis ke-5 sambil menekan arteri carotis
Bunyi S1: dengarkan suara “LUB” yaitu bunyi dari menutupnya
katub mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis pada waktu sistolik.
Bunyi S2: dengarkan suara “DUB” yaitu bunyi meutupnya katub
semilunaris (aorta dan pulmonalis) pada saat diastolic.
l. Perut
I = Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya
retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites.
Aus= Bu normal 5-35x/menit
P = Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa dan respon nyeri
tekan letakkan telapak tangan pada abdomen secara berhimpitan dan
tekan secara merata sesuai kuadran.
Palpasi dalam: Untuk mengetahui posisi organ dalam seperi
hepar, ginjal, limpa dengan metode bimanual/2 tangan.
Per= tympani
hepar:
- Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas pada
bagian hipokondria kanan, kira;kira pada interkosta ke 11-12
- Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan
adanya organ hepar. Kaji hepatomegali.
limpa:
- Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hapar
- Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada bawah
interkosta kiri dan minta pasien mengambil nafas dalam kemudian
tekan saat inhalasi tenntukkan adanya limpa.
- Pada orang dewasa normal tidak teraba
m. genetalia
Genetalia laki-laki:
I = Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan lain.
Pada penis yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan amati kepala
penis adanya lesi
Amati skrotum apakah ada hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
P = Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui adanya nyeri
Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari
Genetalia wanita:
I = Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau tidak
Amati adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
P = Tarik lembut labia mayora dengan jari-jari oleh satu tangan untuk
mengetahui keadaan clitoris, selaput dara, orifisium dan perineum.
2. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
2. Hipertermi berhubungan dengan suhu tubuh meningkat
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan
menurun
3. Intervensi keperawatan
1. DX. 1 Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama 1x24jam diharapkan berrsihan jalan nafas efektif
Kriteria Hasil :
Orang tua klien mengatakan sesak anaknya mulai berkurang2.
Tidak ada retraksi dada.
RR : 16-24 x /menit.
Penurunan produksi sputum.
Tidak sianosis6.
Batuk efektif
- Intervensi :
1. Auskultasi bunyi nafas
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas
dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas
2. Kaji/pantau frekuensi pernafasan.
R/ Tachipnoe biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
selama / adanya proses infeksi akut
3. Dorong/bantu latihan nafas abdomen atau bibi
R/ Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispoe dan
menurunkan jebakan udara
4. Observasi karakteristik batuk
R/ Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif, khususnya pada lansia,
penyakit akut atau kelemahan
5. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari
R/ Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret mempermudah
pengeluaran.
2. Dx 2. Hipertermi berhubungan dengan suhu tubuh meningkat
- Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam Klien
menunjukan suhu tubuh dalam batas normal
- Kriteria hasil:
Suhu normal ( 36,5- 37,5 c)
Keringat keluar secara wajar
- Intervensi :
1. Pertahankan suhu kamar
R/ Dapat terjadi pertukaran suhu secara konveksi
2. Pantau suhu lingkungan
R/ Suhu ruangan/ jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan
suhu mendekati normal.
3. Berikan kompres dingin
R/ kompres dingin akan membantu mempercepat respon hipotalamus
untuk menghentikan produksi panas.
3. Observasi tanda-tanda vital (Tekanan darah, Suhu, Nadi dan Respirasi)
setiap 2-3 jam.
R/ Tanda-tanda vital memberikan gambaran keadaan umum klien.
5. Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian anti piretik
R/ Terapi yang tepat tentang anti piretik dalam proses penyembuhan
3. Dx 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
makanan menurun
- Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam dapat
Meningkatkan nafsu makan sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
- Kriteria Hasil
a.Klien dapat meningkat berat badan sesuai tujuan
b.Klien tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi
c. klien nafsu makan bertambah
- Intervensi
1. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan
R/ Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan
2. Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan
R/ Pasien cenderung mengalami luka dan atau perdarahan gusi dan rasa
tak enak pada mulut dimana menambah anoraksia
3. Berikan makanan sedikit dan sering
R/ mual muntah dapat terjadi jika konsumsi makanan banyak
4. Timbang berat badan sesuai indikasi
R/ Perubahan berat badan mengindikasikan kebutuhan pemberian nutrisi
5. Jaga keamanan saat memberikan makanan pada pasien, seperti tinggikan
kepala tempat tidur selama makan atau selama pemberian makan lewat
selang NGT
R/ Posisi kenyamanan dalam mengkonsumsi makanan menghindari
terjadinya ke selek saat makan
DAFATAR PUSTAKA
http://surabaya.detik.com/read/2012/11/09/201823/2087743/466/situbondo-
menjadi-daerah-penderita-terbanyak-wabah-difteri Di akses tanggal 4-3-
2013 Jam 17.05 WIB
http://surabaya.okezone.com/read/2012/11/12/519/717262/berantas-difteri-
4-5-juta-warga-jatim-diimunisasi Di akses tanggal 4-3-2013 jam 17.30 WIB
http://sumenepberbagiilmu.blogspot.com/2011/12/asuhan-keperawatan-
difteri.html Diakses tanggal 4-3-2013 jam 17.35 WIB
http: //Pemeriksaan fisik.com/2012/2/03.com Di akses tanggal 4-3-2012
jam 18.43 WIB
top related