dialog hans küng
Post on 24-Jul-2015
1.298 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TEO
DIALOG SEBAGAI CARA BARU BERAGAMA:SUMBANGAN HANS KÜNG BAGI DIALOG AGAMA-AGAMA
SKRIPSI
Oleh:
HUBERTUS ANDRY KURNIAWANNIM : 086114003
PROGRAM STUDI ILMU TEOLOGIJURUSAN TEOLOGI – FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMAYOGYAKARTA
2012
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
17
18
Motto dan Persembahan
“Per Lui vivo, Per Lui muoio”(Pater Leo Dehon)
Kupersembahkan SKRIPSI ini bagi:
Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ) yang memberiku kesempatan untuk ambil bagian di dalamnya.
Yang kukasihi kedua orangtuaku, mbak (alm.) dan adikku yang tak henti-hentinya mendorongku untuk selalu setia dalam perjalanan hidupku.
Para konfrater SCJ, saudara/i dan teman-temanku yang senantiasa menemaniku dalam mengarungi perjalanan hidupku.
19
20
“Tak ada perdamaian antarbangsa tanpa ada perdamaian antaragama.” Inilah
salah satu ungkapan yang terkenal dari Hans Küng, seorang teolog Katolik
terkemuka, tentang perdamaian antaragama. Baginya, perdamaian dunia berkaitan
erat dengan adanya perdamaian antaragama.
Seruan ini kiranya akan tetap relevan dalam perjalanan sejarah dunia,
khususnya saat dunia mengalami berbagai macam konflik yang banyak disebabkan
oleh persaingan antaragama. Realitas keberagaman dalam masyarakat tak jarang
membuka peluang besar bagi adanya konflik. Dengan demikian, kita perlu
mengambil berbagai macam langkah untuk menghidari terjadinya konflik tersebut.
Salah satu cara yang ditempuh adalah melalui dialog antaragama.
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah terlibat dalam usaha
menyusun skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, dengan rendah hati dan
penuh rasa syukur penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rm. Dr. JB. Heru Prakosa, SJ sebagai pembimbing pertama yang dengan
penuh perhatian, kesabaran, ketelitian, dan kesetiaan memberikan waktu
untuk membantu proses penulisan skripsi ini.
2. Pembimbing kedua yang dengan rela bersedia membaca dan mengoreksi demi
penyempurnaan skripsi ini.
21
3. Rm. Andreas Madya, SCJ Propinsial SCJ Propinsi Indonesia dan dewannya
yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk belajar dan
mengembangkan diri secara akademis di Fakultas Teologi Universitas Sanata
Dharma.
4. Para staf Skolastikat SCJ: Rm. FX. Tri Priyo Widarto, SCJ; Rm. FA.
Purwanto, SCJ; Rm. Gerardus Zwaard, SCJ; Rm. FA. Suradi, SCJ; Rm. Dr.
CB. Kusmaryanto, SCJ; dan Rm. Markus Tukiman, SCJ yang dengan caranya
masing-masing telah menduKüng penulis.
5. Para konfrater Skolastikat SCJ, baik komunitas Ngabean Kulon maupun
komunitas VVP Papringan yang dengan sapaan khas mereka “Ojo lali karo
skripsine” senantiasa mendorong penulis untuk segera menyelesaikan skripsi
ini.
6. Para konfrater seangkatan “The Kopasus”: Fr. Anggoro; Fr. Didik; Fr. Emil;
Fr. Jenli dan Br. Sugeng serta frater-frater OCSO yang selalu mendukung dan
menyemangati dalam kebersamaan dan persaudaraan.
7. Para sahabat di Perpustakaan Kolsani dan Perpustakaan Seminari Tinggi yang
membantu mencarikan sumber-sumber untuk penulisan skripsi ini.
8. The last but not least, Keluarga tercinta: Bapak, Ibu, Mbak Nining (alm.) dan
adik Christine yang senantiasa mencintai dan mendoakan penulis dalam jalan
panggilan ini.
22
Akhirnya, penulisan skripsi ini tetaplah menjadi proses pembelajaran. Oleh
karena itu, penulis sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang dapat lebih
menyempurnakan skirpsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini mampu
memberikan sedikit pencerahan bagi siapa saja yang membacanya khususnya dalam
usaha membangun dialog antaragama.
23
ABSTRAKSI
Merebaknya persoalan kekerasan terhadap agama dewasa ini telah
menciptakan sejumlah persoalan sosial di antara umat manusia. Perbedaan agama
seringkali dijadikan sebagai salah satu faktor pemicu lahirnya konflik di antara umat
yang berlainan kepercayaan. Agama seringkali dijadikan sebagai tempat perdebatan
yang tidak pernah kunjung selesai persoalannya. Maka, tidak heran jika konflik
merebak di mana-mana karena masing-masing kelompok mengklaim agamanya
sebagai kebenaran mutlak dibanding dengan agama-agama lain.
Menghadapi fakta seperti ini, kita ditantang untuk mewujudkan perdamaian di
tengah kemajemukan agama-agama yang ada di bumi ini. Dewasa ini, dialog
antaragama kiranya menjadi kebutuhan yang sangat penting dan mendesak guna
menciptakan solidaritas, perdamaian, dan cinta kasih. Kemajemukan hendaknya
bukan menjadi pemisahan manusia, melainkan pemersatu setiap manusia yang
beranekaragam.
Perhatian dan keterlibatan Gereja dalam dialog antargama menjadi tanggapan
atas tantangan aggiornamento Konsili Vatikan II. Gereja hidup di tengah pluralitas
agama yang seringkali menimbulkan konflik. Hans Küng melihat persoalan yang
serupa. Ia tidak menyangkal adanya potensi konflik dari realitas keberagaman dalam
masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan suatu langkah agar masing-masing agama berani
bersikap reflektif-kritis terhadap dirinya dan terbuka bagi realitas perbedaan dalam
agama lain. Bagi Küng, dialog antaragama harus berjalan dalam segala aspek dan
dimensi, tataran dan persoalan, terlebih di tengah kenyataan hidup sehari-hari dalam
masyarakat plural.
24
ABSTRACT
Many violences against religious-issues today have created a number of social
problems among humankind. Religious divergences are often used as one of the
factors triggering the birth of the conflicts between people of different beliefs.
Religion is often used as a place of conflict and it makes problems become never
ending stories. So, we will not be surprised if a conflict broke out everywhere
because each religious-group will claim that the absolute truth of his religion is
positioned above the others.
On relation to these realities, we are challenged to realize peace in the midst
of plurality of religions that exist on this earth. Nowadays, dialogue would be a very
important and urgent mean to build solidarity, peace, and love. Plurality should not
separate human being, but unify the diversity of every humankind.
The attentions and engagements of the Church in interreligious dialogue are a
response on the challenges of aggiornamento the Second Vatican Council. The
Church lives in the midst of religious pluralities which are often conflicting. Hans
Küng saw a similar problem. He does not deny the reality of the potential conflicts of
diversity in society. It must take a step that urges each religion to be courageous and
to be more reflective, critically see herself and to be open to the reality of differences
in other religions. For Küng, dialogue must run in all aspects and dimensions, levels
and issues, especially in the midst of daily life reality in a plural societies.
25
DAFTAR ISI
Halaman Judul..............................................................................................................i
Halaman Pengajuan....................................................................................................ii
Halaman Persetujuan Pembimbing..........................................................................iii
Halaman Pengesahan.................................................................................................iv
Halaman Persembahan...............................................................................................v
Pernyataan Keaslian Karya.......................................................................................vi
Kata Pengantar..........................................................................................................vii
ABSTRAKSI................................................................................................................x
ABSTRACT................................................................................................................xi
DAFTAR ISI..............................................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN...........................................................................................xv
BAB I: PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Problematika...................................................................................................7
1.3 Metodologi Penulisan.....................................................................................8
1.4 Sistematika Penulisan.....................................................................................8
1.5 Tujuan Penulisan............................................................................................9
BAB II DIALOG DALAM SEJARAH..................................................................10
2.1 Arti Kata Dialog...........................................................................................10
2.2 Sejarah Dialog Antaragama..........................................................................12
26
2.2.1 Gerakan Dunia untuk Dialog Antar-umat Beragama (Global Interfaiths
Dialogue Movement)....................................................................................12
2.2.2 Gerakan Dialog Ekumenis............................................................................21
2.2.3 Pertemuan-Pertemuan Islam-Kristen............................................................26
2.2.4 Konferensi-Konferensi Para Uskup Asia (FABC).......................................27
2.3 Perkembangan Dialog Antaragama dalam Gereja Katolik...........................27
2.3.1 Sebelum Konsili Vatikan II..........................................................................28
2.3.1.1 Mula-mula Sikap Positif...............................................................................28
2.3.1.2 Kemudian: Extra Ecclesiam Nulla Salus......................................................29
2.3.1.3 Akhirnya: Sikap Dialogis.............................................................................32
2.3.2 Konsili Vatikan II.........................................................................................34
2.3.2.1 Paus Yohanes XXIII.....................................................................................36
2.3.2.2 Paus Paulus VI..............................................................................................39
2.3.2.3 Paus Yohanes Paulus II................................................................................42
2.3.2.4 Paus Benedictus XVI....................................................................................45
2.4 Kesimpulan...................................................................................................48
BAB III DIALOG SEBAGAI CARA BARU BERAGAMA
Sumbangan Hans Küng bagi Dialog Agama-agama...............................49
3.1 Pengantar......................................................................................................49
3.2 Riwayat Hidup Hans Küng...........................................................................50
3.2.1 Masa Kecil dan Keluarga..............................................................................50
3.2.2 Riwayat Intelektual dan Pemikiran Teologi.................................................52
3.2.2.1 Riwayat Intelektual Hans Küng....................................................................52
3.2.2.2 Pemikiran yang Mempengaruhi Teologi Hans Küng...................................54
3.2.3 Polemik dengan Roma..................................................................................55
3.2.4 Karya-Karya Hans Küng..............................................................................56
3.3 Model Teologi Dialogal................................................................................58
3.3.1 Paradigma Post-Modern...............................................................................58
27
3.3.1.1 Paradigm Shift: Belajar dari Thomas Kuhn.................................................59
3.3.1.2 Perbedaan antara Agama dan Paradigma.....................................................61
3.3.1.3 Paradigm Shift dalam Teologi......................................................................62
3.3.2 Teologi Ekumenis-Kritis..............................................................................65
3.3.2.1 Konsensus Teologi........................................................................................65
3.3.2.2 Kembali ke Basic: Kitab Suci dan Manusia.................................................66
3.3.3 Metode Historis-Kritis..................................................................................68
3.3.4 Berhadapan dengan Teologi Konsili Vatikan II dan Konsekuensinya.........70
3.4 Menemukan Kembali Vitalitas Agama........................................................72
3.4.1 Era Postmodern dan Peran Agama...............................................................72
3.4.2 Mencari Makna Agama................................................................................74
3.4.3 Kriteria: Seberapa Jauh Kebenaran Sebuah Agama.....................................75
3.4.4 Kedudukan Agama-Agama..........................................................................77
3.5 Dialog sebagai Cara Baru Beragama............................................................80
3.5.1 Dari Ko-eksistensi ke Pro-eksistensi............................................................80
3.5.2 Menuju Kesadaran Baru Ekumene Global...................................................82
3.5.3 Dialog: Fungsi Kritis Beragama...................................................................83
3.5.4 Dialog Antaragama Melahirkan Tanggung Jawab Global...........................86
3.6 Kesimpulan...................................................................................................88
BAB IV PENUTUP...................................................................................................90
4.1 Rangkuman dan Kilas Balik.........................................................................90
4.2 Catatan Kritis................................................................................................97
4.2.1 Catatan Positif...............................................................................................98
4.2.2 Catatan Negatif...........................................................................................100
4.3 Relevansi.....................................................................................................102
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................106
28
DAFTAR SINGKATAN
Mat : Injil Matius
IARF : International Association for Religious Freedom
WCF : The World Congres of Faith
WCC : World Churches Council
DGD : Dewan Gereja Sedunia
FABC : Federation Asian Bishop’s Conferences (Konferensi Para Uskup
Asia)
LG : Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja)
GS : Gaudium et Spes (Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia
Modern)
AG : Ad Gentes (Dekrit tentang Karya Misoner Gereja)
NA : Nostra Aetate (Deklarasi tentang Hubungan Gereja dengan Agama
bukan Kristen)
EN : Evangelii Nuntiandi (Exhortasi Apostolik Paulus VI tentang misi)
RM : Redemptoris Missio (Ensiklik Yohanes Paulus II tentang misi)
Ay. : ayat
Bdk. : bandingkan
Ed. : Editor
Ibr. : Bahasa Ibrani
Lih. : Lihat
M : Masehi
SM : Sebelum Masehi
Terj. :Terjemahan
29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keberagaman agama adalah realitas sosial. Artinya sekarang ini, di hadapan
kita ada bermacam-macam agama dan kepercayaan. Maka perjumpaan antar-umat
beragama adalah sesuatu yang tidak terelakkan lagi. Dengan perjumpaan itu, masing-
masing berusaha menghadirkan identitas dirinya di hadapan yang lain, mengevaluasi
dan mengenal lebih jelas agama dan ajarannya. Interaksi dengan yang lain
selanjutnya dapat menumbuhkan belbagai macam sikap dan cara pandang terhadap
yang lain. Ada yang negatif dan ada pula yang postif.
Cara memahami agama sebagai sebuah komunitas orang-orang beriman
berbenturan dengan adanya fenomena sosial kemasyarakatan yang berlatar-belakang
agama. Pemahaman agama sebagai komunitas orang beriman mendapat tantangannya
ketika melihat fenomena sosial yang dilatar-belakangi oleh gerakan atas nama agama.
Agama yang pada dasarnya mengajarkan dan menyuarakan cinta kasih
disalahgunakan. Oknum kelompok agama tertentu justru mencemari nilai-nilai agama
yang murni dengan tindakan-tindakan anarkhis. Orang dengan mudah
2
menghancurkan yang lain hanya karena berbeda dalam hal mengungkapkan iman.
Atau keyakinan orang lain hanya dianggap menjadi pengganggu dan melecehkan
agama yang dianutnya. Bahkan sungguh ironis, bahwa tindakan destruktif itu
dianggap sebagai usaha untuk melaksanakan apa yang menjadi kehendak Allah.
Sejarah perjalanan agama-agama yang berkembang di dunia saat ini tidak
selalu mulus dan berakhir dengan damai. Sejak manusia memasuki era modern dan
berada di sepanjang abad, bahkan sampai sekarang, kebanyakan penganut agama
dihadapkan kepada tantangan-tantangan yang serba menggoncangkan. Tidak bisa
dipungkiri bahwa konflik agama yang terjadi di masa lampau terjadi dipicu oleh
perbedaan doktrinal yang diyakini oleh masing-masing agama. Namun di balik itu
semua, patut diperhatikan juga konflik yang dipicu oleh faktor “non agama”, seperti
politik, ekonomi, sosial, kultural dan keamanan. Salah satu contoh adalah konflik
yang terjadi di antara agama “anak-anak Ibrahim”, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam1.
Memang persaingan dan permusuhan di antara ketiga agama ini telah terjadi berabad-
abad, dan dampaknya masih terasa sampai saat ini.
Dewasa ini, konflik antar-agama sangat rentan terjadi, khususnya di
Indonesia. Alasan agama dengan mudahnya menjadi sebab utama terjadinya konflik.
Beberapa pihak menunggangi agama untuk mewujudkan cita-cita mereka. Sebagai
contoh adalah konflik di Poso di mana permasalahan agama menjadi “kambing
hitam” atas terjadinya konflik. Padahal konflik sebenarnya dipicu oleh permasalahan
1 Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar-umat Beragama di Indonesia”, Institut DIAN/Interfidei, Yogyakarta, 2001, 79.
3
ekonomi dan politik oleh oknum tertentu. Mereka menggunakan pelbagai macam
cara, bahkan mengkambing-hitamkan agama, demi tercapainya tujuan mereka, yaitu
mengeksploitasi sumber daya alam untuk membangun pembangkit tenaga air yang
disalurkan ke Makassar0. Akibat dari konflik ini, banyak orang yang tidak bersalah
harus kehilangan nyawanya. Selain itu, banyak pula orang yang tidak mengetahui
akar permasalahan konflik tersebut mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis
traumatis.
Pertentangan dan konflik antar-agama juga terjadi karena lemahnya
pemahaman para penganutnya. Kedewasaan para pemeluk agama dalam memahami
adanya perbedaan masih dipertanyakan. Akibatnya, muncul dan berkembang sikap
mudah curiga, sensitif, dan intoleransi. Selain itu, masyarakat pun kurang mampu
untuk terbuka terhadap kritik atau memberi kritik atas yang lain secara dewasa,
sehingga kritikan tidak lebih hanya sebagai usaha untuk menjatuhkan. Relasi antar-
umat beragama semakin sulit diwujudkan. Kita ambil contoh konflik yang baru saja
terjadi, seperti penyerangan sekelompok orang terhadap kelompok Ahmadiyah yang
terjadi di desa Cikeusik, Pandeglang-Banten, pada tanggal 6 Februari 2011 silam.
Tidak lama setelah peristiwa itu, terjadi peristiwa penyerangan terhadap beberapa
tempat ibadah di Temanggung, Jawa Tengah, oleh sekelompok orang karena ketidak-
puasan mereka terhadap proses pengadilan.
0 Th. Sumartana, “Pluralisme, Konflik, dan Dialog: Refleksi tentang Hubungan Antar-umat Beragama di Indonesia”, 81.
4
Tentu saja orang-orang tidak selamanya bertahan dalam situasi konflik. Oleh
karena itu, sebuah bentuk rekonsiliasi sangat dibutuhkan; dan dengan demikian
terjadilah penghargaan antar-pemeluk agama serta interaksi dari masing-masing
pribadi beriman. Di sinilah masing-masing agama harus mampu terlibat dalam
membangun sebuah peradaban baru dengan dasar cinta kasih. Cinta kasih adalah
satu-satunya jalan untuk menjembatani jarak antara pribadi sendiri dan orang lain.
Dari sini akan nampak bahwa agama menjadi konkret sejauh dihayati oleh
pemeluknya. Pertanyaannya, sekarang, ialah bagaimana cara membangun dialog
semacam itu?
Dalam hubungannya dengan agama lain, Gereja Katolik sendiri, melalui Nostra
Aetate-nya, semakin bergairah mencari cara untuk berelasi dengan yang lain. Situasi
semacam itulah yang memunculkan pandangan mengenai teologi agama-agama
sebagaimana nampak dari gagasan tentang pemikiran seputar eksklusivisme,
inklusivisme, dan pluralisme. Berhadapan dengan pluralisme global, dialog menjadi
sarana penting untuk menjalin relasi dengan umat agama lain.
Sepanjang catatan sejarah, umat manusia telah mengalami pluralitas agama-
agama. Dari perspektif teologi tertentu, fenomena ini disebabkan oleh beragamnya
wahyu Tuhan dan beragamnya respon manusia yang tertuang dalam berbagai budaya
dan konteks sejarah. Konteks global pluralisme agama saat ini tentu berbeda dengan
konteks sebelumnya, mengingat saat itu masyarakat tidak mengenal komunitas agama
yang beragam termasuk individu-individu yang hidup berdekatan dan bahkan saling
bergantung satu sama lain. Apa yang terjadi saat ini, kata Hans Küng, adalah
5
‘sungguh sebuah dunia yang polisentris, yang diikat sangat erat dan dekat dengan
teknologi; pada saat yang sama pastilah sebuah dunia yang transkultural dan multi
agama’0.
Dalam konteks sosial saat ini, nampak juga terjadi peningkatan terhadap sikap
keingin-tahuan terhadap agama lain, kadang positif dan kadang juga negatif, dengan
upaya untuk saling membaca kitab suci dan memahami agama lain0. Alasan pokok
yang mendasari untuk memahami agama lain adalah untuk mendorong pengetahuan
dan pemahaman terhadap agama lain, berdasarkan asumsi bahwa prasangka buruk
akan teratasi jika masing-masing pihak mau saling mengenal satu sama lain. Oleh
karena itu, sungguh diharapkan bahwa pengenalan terhadap orang lain itu akan
menghasilkan pemahaman yang positif serta hubungan yang baik antar-umat
beragama.
Ini selaras dengan apa yang selalu disebut oleh Hans Küng sebagai
‘perubahan kesadaran global yang vital bagi kelangsungan hidup kita’, bahwa: “tidak
ada perdamaian antarbangsa tanpa perdamaian antaragama; tidak ada perdamaian
antaragama tanpa dialog antaragama; tidak ada dialog antaragama tanpa penyelaman
terhadap pondasi-pondasi agama”0.
0 Hans Küng, “Imperative for Inter-Religious Dialogue in the Postmodern Period”, dalam D. Kon (Ed), For The Love of God: A Creative Anthology, Singapore, 2004,135 sebagaimana dikutip oleh Syafaatun Almirazah, “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”, dalam Najiyah Martiam (Ed), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gajah Mada, Mizan, Yogyakarta, 2010, 49.
0 Dalam hal ini, Hans Küng, ketika berbicara mengenai keharusan dialog mengusulkan keterbukaan antaragama pada semua tingkat. Hans Küng, “Imperative for Inter-Religious Dialogue in the Postmodern Period”, 137-138.
0 Hans Küng, Islam: Past, Present, and Future, Oneworld Publications, Oxford-England, 2007, xxiv, sebagaimana dikutip oleh Syafaatun Almirazah, “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap
6
Pemahaman terhadap agama lain melalui dialog akan membuat kita dapat
‘melihat melalui kacamata’ budaya lain. Salah satu alasan utama memahami agama
adalah untuk mendorong pengetahuan dan pemahaman antaragama dan budaya,
dengan asumsi bahwa prasangka buruk akan teratasi jika masing-masing pihak saling
mengenal satu sama lain. Dari pemahaman ini, ada suatu harapan bahwa pengenalan
terhadap orang lain akan menghasilkan pemahaman sehingga terdapat hubungan yang
lebih baik antarpemeluk agama0.
Berdasarkan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk mengangkat tema ini.
Penulis tertarik dengan perhatian Küng pada hubungan antar-agama, baik pentingnya
dialog sebagai modus perjumpaan antaragama, maupun pemosisian agama dalam
konteks luas baik kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Dalam tulisan ini, penulis
ingin mengenal lebih jauh pandangan Hans Küng, dan terlebih bagaimana saya harus
bersikap terhadap agama-agama lain.
1.2 Problematika
Dialog”, dalam Najiyah Martiam (Ed), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, 51.0 Syafaatun Almirazah, “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”, dalam Najiyah
Martiam (Ed), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, 51.
7
Dalam konteks Indonesia, realitas keberagamaan di Indonesia menjadi
tantangan bagi terciptanya dialog. Tak jarang realitas pluralitas tersebut menjadi
sumber konflik. Persoalan agama akhir-akhir ini juga menjadi permasalahan yang
cukup pelik bagi masyarakat di Indonesia. Pertikaian antar-agama sering terjadi
karena keengganan pemeluk agama yang satu untuk menghargai keyakinan lain,
adanya perbedaan tafsiran ajaran dalam tubuh agama, dan penggunaan simbol serta
ajaran agama dalam tindakan kekerasan.
Wajah beragama di Indonesia menuntut adanya suatu pembaruan dan
pemurnian. Beberapa alasan terjadinya pertikaian di atas hanya akan memperburuk
citra agama. Oleh karena itu, diperlukan sikap rendah hati di antara pemeluk agama,
terlebih untuk menghormati ajaran dan keyakinan agama lain.
Hans Küng, seorang teolog Katolik terkemuka tentang perdamaian antar-
agama, menekankan bahwa perdamaian dunia berkaitan erat dengan perdamaian
antar-agama. Dengan kata lain, perdamaian antar-agama menjadi prasyarat bagi
terciptanya perdamaian dunia. Singkat kata, perdamaian dunia menjadi lingKüngan
kondusif bagi perdamaian antar-agama0.
Seruan perdamaian yang diungkapkan Hans Küng tersebut kiranya akan tetap
relevan dalam perjalanan sejarah dunia, khususnya saat dunia mengalami berbagai
macam konflik yang banyak disebabkan oleh persaingan antar-agama. Demikianlah,
0 Hans Küng – Karl-Joseph Kuschel, Etika Global, terj. A Global Ethic: The Declaration of Parliament of The World’s Religions, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, xvii.
8
agama akan menjadi sumber penyebab utama perpecahan apabila para pengikutnya
tidak secara tepat menghayati nilai-nilai luhur yang diajarkan dalam agama.
1.3 Metodologi Penulisan
Dalam karya tulis ini, penulis akan mencoba untuk menggali persoalan
seputar pluralitas agama, yang kerap kali menimbulkan ketegangan dalam praksisnya,
melalui studi pustaka. Penulis mencoba menyajikan gagasan-gagasan Hans Küng
dalam membangun dialog antar-agama. Untuk membantu dalam mengupas
permasalahan ini, penulis akan mengunakan beberapa sumber lainnya selain sumber-
sumber yang berasal dari karya-karya Hans Küng.
1.4 Sistematika Penulisan
Berdasarkan persoalan yang manjadi keprihatinan dalam skripsi ini, maka
skripsi ini akan dipaparkan dalam empat bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab
I menguraikan tentang latar belakang dan problematika yang menjadi alasan
pemilihan tema, serta tujuan dari penulisan skripsi ini.
Bab II menguraikan tentang sejarah perkembangan Dialog antaragama dan
perkembangan dialog antaragama dalam Gereja Katolik. selanjutnya, Bab III
menguraikan tentang hidup dan karya Hans Küng, serta dialog antaragama dalam
pandangan Hans Küng.
9
Bab IV merupakan rangkuman dan kilas balik dari seluruh pemaparan yang
disampaikan dalam skripsi. Pada bagian ini, penulis juga memberi catatan kritis atas
pemikiran Hans Küng serta relevansinya bagi dialog antaragama di Indonesia.
1.5 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan skripis ini adalah sebagai berikut:
a. Skripsi ini dimaksudkan untuk mencari, menjelaskan, dan memberi dasar
teologis dari gerakan dialog agama.
b. Untuk mengenal pandangan salah satu teolog besar, yaitu Hans Küng dan
untuk mengetahui sumbangan dan kontribusinya bagi dialog antaragama.
c. Penulis bermaksud menjadikan skripsi ini sebagai wujud studi pribadi dan
membangun refleksi atas realitas keberagaman iman dan situasi Indonesia
akhir-akhir ini.
d. Skripsi ini, secara praktis, bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat
tuntutan akademis untuk memberi gelar Sarjana Strata Satu pada Fakultas
Teologi Universitas Sanata Dharma.
BAB II
DIALOG DALAM SEJARAH
2.1 Arti Kata Dialog
Secara etimologis, dialog berasal dari bahasa Yunani yaitu dia + logein yang
berarti ‘berbicara melalui’ (to speak through) demi terciptanya persatuan antara dua
orang yang terlibat dalam sebuah pembicaraan yang jujur0. Secara harafiah, kata ini
berarti ‘dwi-cakap’, percakapan antara dua orang atau lebih. Dialog juga berarti
tulisan dalam bentuk percakapan atau pembicaraan; diskusi antar orang-orang atau
pihak-pihak yang berbeda pandangan0.
Pada tingkat kehidupan, dialog adalah masalah tindakan, sebuah sikap dan
sebuah semangat yang mengarahkan tingkah laku seseorang0. Dalam dialog, terjadi
tukar menukar informasi dan inspirasi. Oleh karena itu, terjadi komunikasi yang
saling memperkaya untuk mengenal Sang Misteri Agung yang muncul dalam masing-
masing partner dialog. Dialog, dalam pengertian ini, lebih dari sekedar toleransi0.0 Thomas Joyas, “Misson as Dialogue”, dalam Misson Studies XIV-1&2 (27&28, 1997), 229-230.0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan
Antaragama, Mataram-Minang Lintas Budaya, Yogyakarta, 2004, 20.0 A. Nugroho Widiyono, “Dialog Antar-agama Dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerja
Bersama”, dalam Orientasi Baru, Vol. 15, No. 1-2, Oktober 2006, 20.0 Dialog berbeda dari istilah toleransi. Toleransi berasal dari kata Latin tolere yang berarti membawa,
memikul, menanggung. Dengan demikian, toleransi merupakan bentuk komunikasi minimal bersama tanpa kekerasan. Lihat Beni Susetya, Pengalaman Membangun Dialog antar Agama,
11
Dalam konteks agama, banyak sekali orang yang menyanjung dialog. Pelbagai
macam predikat yang diberikan kepadanya, seperti: dialog sebagai suatu langkah
iman, dialog sebagai sebagai suatu model hubungan manusiawi antaragama, dialog
sebagai cara baru beragama, dialog sebagai fungsi kritis beragama, dan sebagainya.
Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpelbagai macam
agama. Dialog merupakan komunikasi antara dua orang beragama atau lebih dalam
tingkatan agamis. Dialog merupakan jalan bersama menuju kebenaran. Dialog juga
berbentuk kerjasama dalam proyek-proyek kepentingan bersama. Dialog bersifat
partnership tanpa ikatan dan maksud tersembunyi.
Dialog sendiri bukan debat, melainkan saling memberi informasi tentang
agama masing-masing, baik mengenai persamaan maupun perbedaannya. Dialog
antaragama tidak sama dengan usaha seseorang untuk meyakinkan orang lain
terhadap kebenaran agama yang ia peluk, atau menjadikan orang (pasangan
dialognya) untuk memeluk agamanya. Dengan kata lain, dialog bukan dimaksudkan
untuk menjadikan orang lain berpindah agama dan bukan merupakan usaha untuk
menjadikan semua agama menjadi satu.
2.2 Sejarah Dialog Antaragama
Sejarah mencatat bahwa pada pertengahan kedua abad ke-20, tepatnya setelah
Perang Dunia II, dialog antaragama mulai menjadi salah satu pokok perhatian yang
Workshop JSTB-Sanata Dharma 08-22 Januari 2006, seperti yang dikutip oleh A. Nugroho Widiyono dalam Dialog Antar-agama Dengan Immersion: Dari Perjumpaan Menuju Kerja Bersama, 20.
12
penting di kalangan agama-agama di dunia0. Akan tetapi, jauh sebelumnya,
sebenarnya sudah ada gerakan-gerakan untuk membangun kerukunan dan lembaga-
lembaga dialogis untuk menghormati perbedaan antar-pelbagai agama.
Di kalangan Kristen, dialog antaragama secara lebih mendalam mulai
dibicarakan, dipikirkan dan dilakukan sejak Konsili Vatikan II yang dideklarasikan
pada tahun 1965. Pihak Gereja pun menggiatkan usaha untuk mengembangkannya.
2.2.1 Gerakan Dunia untuk Dialog Antar-umat Beragama (Global Interfaiths
Dialogue Movement)
Gerakan Dunia untuk Dialog Antar-umat Beragama atau yang dikenal dengan
Global Interfaiths Dialogue Movement pada dasarnya adalah suatu perjumpaan
antarmanusia yang hidupnya sudah berubah dan semakin kaya. Gerakan ini diadakan
di Chicago pada tahun 1883. Ciri khas dari Gerakan Dialog ini adalah komitmennya
yang tinggi dan daya upaya yang kuat untuk meyakinkan umat beragama bahwa antar
mereka harus merupakan hubungan yang saling menghormati dan bekerjasama,
bukan hubungan atas dasar persaingan.
Mereka, yang menjadi penduKüng dan ikut ambil bagian dalam gerakan
dialogis ini, menggabungkan diri ke dalam organisasi-organisasi atau lembaga-
lembaga dialogis umat. Mereka menyadari adanya kekhususan masing-masing
0 D.C. Mulder, “Perkembangan Dialog Antaragama Di Dunia Modern”, dalam Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Interfidei, Yogyakarta, 2004, 265.
13
agama. Gerakan dialog antaragama memberikan tantangan kepada penganut agama
besar agar memikirkan ulang pemahaman teologi mereka tentang agama-agama lain0.
Lembaga-lembaga atau badan hubungan antaragama yang berdiri antara lain:
World’s Parliament of Religion, The International Association for Religious
Freedom, The World Congres of Faith, dan The Temple of Understanding.
a. World’s Parliament of Religion
Parlemen ini dibentuk dalam arena World Colombian Exposition di Chicago
pada 11 September 1893. Lembaga ini didirikan berdasarkan pola pikir orang-orang
Kristen dan orang-orang Amerika. Tiga tokoh penting perintis parlemen ini adalah
Charles Carell Bonney, John Henry Barrow, dan Jenkin Lloyd Jones.
Dalam pertemuan tersebut, terdapat lebih dari 4000 orang yang memenuhi
aula pertemuan Colombus. Pada saat itulah terjadi peristiwa akbar, di mana manusia
penganut berbagai agama di dunia bertemu satu sama lain untuk saling mendengar
dan mengikuti pandangan hidup umat beragama.
Sasaran kongres keagamaan ini adalah mempersatukan semua agama untuk
memerangi semua yang tidak agamis, menjadikan kaidah kesucian sebagai dasar
agama persatuan dan menyajikan kepada dunia persatuan yang hakiki dari pelbagai
agama dalam karya-karya yang baik dari kehidupan beragama. Dalam pidatonya pada
kongres itu, Bonney mendefinisikan agama sebagai “cinta dan menyembah Tuhan
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 73.
14
serta cinta dan melayani sesama”0. Isu penting yang dibicarakan dalam parlemen
adalah hubungan agama-agama, walaupun harus diakui bahwa apa yang sering
muncul adalah hubungan antara Kristen dengan agama-agama lain. Ini nampak dari
jumlah persentasi kehadiran peserta parlemen. Parlemen didominasi oleh umat
Kristen berbahasa Inggris. Dari 152 orang Kristen yang menjadi peserta tetap,
diantaranya 73% dari Amerika Serikat; 16% dari Inggris, Kanada, dan Eropa; serta
11% dari Asia Selatan dan Gereja-Gereja Ortodoks. Walaupun mayoritasnya Kristen
Protestan dari Amerika, namun sebagian besar dari mereka bukan berasal dari Gereja-
gereja Evangelis0.
Selain agama Kristen, pemeluk agama-agama lain yang ikut tergabung dalam
parlemen adalah Islam, Buddha, Hindu, Shinto, Kong Hu Cu, Jainisme, dan
Zoroaster.
b. The International Association for Religious Freedom0
Berbeda dengan World’s Parliament, asosiasi ini merupakan organisasi yang
permanen. Didirikan 25 Mei 1900 oleh Charles William Wendte (1844) asosiasi ini
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 79.
0 Gereja Protestan secara garis besar dibedakan antara Gereja Evangelis dan non-Evangelis. H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 81.
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 82-84.
15
mengambil nama International Council of Unitarian and Other Liberal Religious
Thinkers and Workers. Pada tahun 1932, dalam kongresnya di St. Gall, nama asosiasi
ini diubah menjadi International Association for Liberal Christianity and Religious
Freedom. Pada kongres di Boston tahun 1969, asosiasi ini kembali mengalami
perubahan nama. Istilah Liberal Christianity dihilangkan sehingga namanya menjadi
International Association for Religious Freedom (IARF).
IARF adalah organisasi interreligius, internasional, interkultural yang
memperjuangkan dan membela kebebasan dan kemerdekaan agama-agama, dalam
pengertian: pertama: pengakuan, penerimaan, dan penegasan secara jujur, kritis, dan
bebas tentang tradisi keagamaan setiap orang. Kedua, agama yang bebas dan tidak
menindas. Ketiga, pembelaan terhadap kebebasan, kemerdekaan hati nurani dan
kebebasan dalam menganut dan melaksanakan agama bagi semua suku bangsa.
Sebagai organisasi yang terbuka, IARF, sejak berdirinya sudah mempunyai
anggota-anggota dari pelbagai kelompok non-Kristen, seperti Gerekan Brahma Samaj
yang berpusat di Calcutta, India. Pada tahun 1923, Japan Free Religious Association
(berpusat di Tokyo) resmi menjadi anggota. Tahun 1969 dalam Kongres di Boston,
Rissho Kosei Kai (gerakan kaum Buddhis awam yang besar di Jepang) masuk
menjadi anggota penuh. IARF terus berkembang menjadi organisasi antaragama yang
besar. Pada tahun 1984 dalam Kongresnya di Jepang, IARF sudah mempunyai 50
anggota tetap yang berasal dari 21 negara di semua benua.
16
Wawasan spiritual IARF meliputi Kristen Liberal0 dan Kristen Unitarian0 di
Eropa dan Amerika Utara, Buddhis, Shintois, Hindu, Sikhs, dan Muslim dari Asia.
Dasar spritual IARF berupa pemahaman dan pengetahuan yang mendalam bahwa ada
banyak manifestasi di dunia ini yang kita pandang sebagai Tuhan atau Yang Absolut
atau Zat Yang Maha Pencipta.
IARF sangat aktif menyelenggarakan kongres-kongres internasionalnya.
Sampai tahun 1990-an IARF sudah berhasil menyelenggarakan sebanyak 30 kali
kongres besar yang digelar secara bargantian di Amerika, Eropa, dan Asia.
c. The World Congress of Faith0
The World Congress of Faith diprakarsai oleh Sir Francis Younghusband dan
didirikan pada tahun 1936. Sejak tahun 1889, tokoh spiritualis ini sudah membuat
0 Kristen liberal adalah kelompok Kristen Protestan di Barat, terlebih di lingkungan dunia akademis yang ditandai dengan intelektualisme liberal, yang secara mendalam di pengaruhi oleh Pencerahan Budi. Kelompok ini telah membuang kepercayaannya kepada Allah Alkitab dan secara aktual telah mengambil sains dan akal sebagai Allah. Mereka mengambil posisi yang nampaknya ingin mengatakan bahwa tidak ada Allah dan semua yang lain dapat diterima. Ini merupakan sebuah tindakan melawan Allah dan kekristenan yang tidak bertanggung-jawab dan diskriminatif. Kelompok ini masih memelihara bentuk-bentuk tertentu tentang kebaktian, bahkan masih memelihara yang digunakan “gereja” dan “kekristenan” dan masih giat dalam misi dan pengutusan. Kepercayaan mereka adalah doktrin: fatherhood of God dan brotherhood of man. Ketenangan dan hidup bersama dengan damai adalah motif dasar keagamaan mereka. Joseph Tong, “Penilaian Kritis Terhadap Beberapa Pemikiran Teologi Kontemporer Di Dalam Kekristenan” dalam Jurnal Teologi STOLUS 6/2 (September 2007), 165-180.
0 Unitarian adalah mereka yang menolak doktrin Allah Trinitas dan yang berpegang bahwa tidak ada pembedaan Pribadi- pribadi di dalam Tuhan. Para Unitarian tidak mementingkan doktrin. Mereka menganggap yang terpenting adalah perbuatan, dan bukan ajaran. Unitarianism umumnya dipahami sebagai hasil dari Reformasi Protestan di abad ke- 16, namun sebenarnya benih- benih prinsip Unitarian sudah ada di abad- abad sebelumnya, pada semua ajaran sesat di abad- abad sebelum Reformasi, yang menentang ajaran Trinitas, dosa asal, penebusan oleh Tuhan Yesus Kristus, Pengadilan Terakhir. Tokoh- tokohnya contohnya adalah: Michael Servetus (1553), Faustus Socinus (1539-1604), Franz David (1510-1579), John Biddle (1615-1652). “Tentang Unitarianism”, diakses dari http:// katolisitas.org/ 6253/tentang-unitarianism (4 Juni 2012).
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 84-87.
17
agama bagi dirinya sendiri. Ia menyimpulkan bahwa tidak satupun agama yang dapat
menganggap dirinya benar dan yang lain adalah salah.
Pada tahun 1912, ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul Within. Dalam
bukunya ini, Younghusband menguraikan pandangan keagamaannya, yang intinya
adalah apa yang dinamakan Joy (kegembiraan). Menurut pemikirannya, Joy adalah
dasar dan puncak mahkota dari semua agama, baik dalam Kristen, Hindu, Buddha,
maupun dalam agama Islam. Joy mempunyai makna yang jauh lebih dalam dan lebih
tinggi daripada makna cinta. Setelah menumbuhkan konsep keyakinan seperti itu,
Younghusband mengaku bahwa ia tidak lagi berpikiran jelek dan tidak pernah lagi
terlintas dalam dirinya kejahatan. Joy telah membuahkan cinta.
Menurut Younghusband, hubungan antaragama tidak lain adalah hubungan
kesatuan. Setiap orang boleh berpegang teguh pada pandangan kesempurnaan agama
yang dianutnya. Akan tetapi, orang juga harus percaya bahwa Tuhan telah
memperkenalkan (mewahyukan) diri-Nya dalam banyak hal dan roh ketuhanan telah
memberi hidup terhadap setiap agama dengan jalan yang berbeda-beda.
WCF mempunyai beragam aktivitas, seperti menyelenggarakan seminar,
kongres, dialog, dan kegiatan sejenis lainnya. WCF juga menerbitkan jurnal. Jurnal
pertamanya diberi nama Forum pada tahun 1949. Tahun 1961 nama jurnal ini diubah
menjadi World Faiths. Pada tahun 1980, jurnal ini bergabung dengan jurnal lainnya,
Insight, yang sudah terbit sejak tahun 1976. Jurnal gabungan ini kemudian diberi
nama World Faiths Insight.
18
WCF juga mempelopori ibadat dan ritual antaragama. Sebagai hasilnya, doa
bersama menjadi hal yang sudah hampir merata dilaksanakan di setiap pertemuan
keagamaan dunia sampai sekarang.
WCF juga menjadi pelopor untuk program studi agama. Selama bertahun-
tahun, WCF memusatkan perhatiaannya pada bidang studi agama-agama ini. Oleh
karena itu, WCF dianggap sebagai lembaga pertama yang memperjuangkan dan
membela pelajaran-pelajaran agama dunia serta memperhatikan kepentingan
pendidikan bagi kelompok-kelompok minoritas di suatu negara.
Dengan pelbagai terobosan yang dilakukan oleh WCF yang berpusat di
Inggris ini, maka hubungan antaragama di Inggris sudah lebih terbuka. Umat Islam,
Hindu dan masyarakat Sikh sudah dapat hidup lebih mapan dan terorganisir di negara
itu. Dialog antaragama sudah semakin dibicarakan oleh banyak orang. Dialog
semakin dinilai sebagai salah satu media untuk menata hubungan masyarakat
beragama ke arah yang lebih baik.
d. The Temple of Understanding0
Kegiatan institusi ini bermula di Greenwich Conecticut, Amerika Serikat, dan
disponsori oleh Mrs. Judith Hollister. Pada 1 Oktober 1959, Judith membicarakan
situasi dunia dengan kelompok kecilnya dan mereka sampai kepada kesimpulan
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 87-89.
19
bahwa kerjasama antaragama dunia perlu digalang. Berbeda dengan institusi-institusi
sebelumnya, Temple of Understanding memusatkan kegiatan pada penyelenggaraan
kongres-kongres tingkat tinggi secara teratur di kota-kota besar.
Kongres-kongres penting yang diadakan biasanya bersifat spiritual. Beberapa
yang dapat disebut di sini, antara lain:
1) Kongres tingkat tinggi pertama diadakan di Calcuta, India. Tema yang
diangkat dalam kongres ini adalah ”Relevansi Agama di Dunia Modern”.
Kongres ini dilaksanakan pada tanggal 22-26 Oktober1968 dan dihadiri oleh
50 orang pemimpin dari 10 macam agama.
2) Kongres kedua dilaksanakan pada 30 Maret – 4 April 1970 di Jenewa,
Switzerland. Tema kongres kedua ini adalah ”Langkah-langkah Praktis bagi
Perdamaian Dunia”. Isu besar yang dibicarakan adalah masalah
kependudukan, peranan perekonomian dunia, dan peranan wanita bagi
perdamaian. Ada sekitar 44 pemimpin agama dan 60-an utusan lain yang ikut
serta dalam kongres spiritual ini.
3) Kongres ketiga diadakan pada bulan Oktober 1971 di Harvard Divinity
School, Boston, Amerika Serikat. Kongres ini berusaha memperlihatkan
kepada Amerika bahwa agama-agama dunia tahu persis bagaimana
seharusnya mereka bekerjasama dan saling memahami seperti apa yang
diinginkan oleh Temple sendiri. Semuanya dapat menjadi sumber harapan
kehidupan manusia di abad yang sarat ketidakpastian dan pragmatis ini. Tema
pokok dari kongres ini adalah ”Agama di Tahun Tujuh Puluhan”. Tantangan
20
dari ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap agama menjadi pokok
pembicaraan dalam kongres ini.
4) Kongres keempat diadakan di Cornell University di Ithaca, New York, pada
tahun 1973. Kongres ini memusatkan perhatiannya pada masalah meditasi.
Pada tahun berikutnya (1974) diadakan pertemuan yang lebih luas di tempat
yang sama dengan tema ”Menuju Masyarakat Dunia”. Pertemuan ini
membicarakan pelbagai hal yang relevan, seperti publikasi dan pendidikan,
karena kedua hal ini bisa dianggap sebagai penduKüng ide terwujudnya
komunitas dunia itu.
5) Kongres kelima diadakan di New York pada bulan Oktober 1975.
Temple terus berusaha untuk mewujudkan ide dan gagasan-gagasan
spiritualitasnya terhadap umat manusia dengan menggiatkan kongres lainnya, seperti
yang diselenggarakan di New York (1984), di Oxford (1985), di Inggris (1988) dan di
Moscow (1990).
2.2.2 Gerakan Dialog Ekumenis
Pada awal abad XVIII, Gereja-Gereja Kristen Protestan berada di bawah
pengaruh pietisme0, yang sangat menekankan kombinasi antara unsur pribadi (afeksi,
emosi, dan pengalaman) dengan rasionalitas. Karena pengaruh dari pietisme tersebut,
mereka meninggalkan pembatasan diri dan mulai berpikir secara mondial
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta 1995, 50.
21
(menyangkut seluruh dunia) dan berpikir dalam konteks misi. Mereka berkumpul dan
mencetuskan gagasan untuk membangun kesatuan Gereja.
Gerakan Ekumene ini dimulai di Edinburgh pada tahun 1910 dan berkembang
berkat dukungan dari ketiga gerakan, yaitu: Dewan Misi Internasional (Jeneva, 1921),
Gerakan Faith and Order (Swiss, 1927), dan Gerakan Life and Work (1925). Pada
tahun 1948, ketiga gerakan tersebut melebur menjadi satu dalam ”Dewan Gereja-
Gereja Sedunia” di Amsterdam.
Dewan Gereja-Gereja Sedunia (World Churches Council = WCC/DGD)
didirikan pada tahun 1948 dan berkedudukan di Jenewa. DGD tidak memaksudkan
dirinya sebagai “super church” – dalam arti Gereja yang membawahi Gereja-Gereja
– melainkan sebuah organisasi pelayanan yang diciptakan untuk membantu para
anggotanya dalam mencapai tujuan bersama, yaitu kesatuan kristiani0.
Sejak berdirinya, Dewan Gereja-Gereja Sedunia telah mengadakan sembilan
kali Sidang Raya, yakni:
a. Amsterdam (1948)
Tema Sidang Raya I ini adalah tentang “Kekacauan dunia dan rencana
keselamatan Allah”. Sidang dihadiri oleh 147 utusan denominasi Gereja dari 44
negara, dengan pembicara utama Karl Barth (Swiss) dan Charles H. Dodd (Inggris).
Kesepakatan Sidang Raya I dirumuskan: “DGD merupakan suatu persekutuan
Gereja-Gereja yang mengakui Tuhan kita Yesus Kristus sebagai Allah dan
0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, Penerbit Ledalero, Maumere, 2010, 126.
22
Penyelamat”0. Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks Rusia tidak hadir dalam sidang
itu.
b. Evenston, USA (1954)
Tema sidang adalah “Kristus Harapan Dunia”. Sebanyak 163 utusan Gereja
hadir dalam Sidang Raya II ini, Gereja Katolik dan banyak Gereja Ortodoks tidak
hadir. Sidang ini belum membawa banyak kemajuan dibandingkan dengan Sidang
Raya I di Amsterdam. Sidang ini menetapkan “tidak cukup kita hanya tinggal
bersama, kita mesti maju. Semakin kita menjadi sadar akan kesatuan kita dalam
Kritus, semakin sulit untuk menerima bahwa kita hidup bertentangan dengan
kesatuan itu di hadapan dunia”0.
c. New Delhi (1961)
Tema yang dibahas dalam sidang ini adalah tentang “Yesus Kristus, Terang
Dunia”. Sebanyak 198 utusan Gereja turut serta dalam sidang tersebut. Gereja
Ortodoks Rusia diterima sebagai anggota resmi DGD, sementara Gereja Katolik
mengirimkan pengamatnya. Sidang merumuskan kesatuan yang ingin dicapai “Kami
percaya bahwa kesatuan yang merupakan kehendak dan sekaligus karunia Allah bagi
0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 101.0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 105.
23
Gereja-Nya, yang dibaptis dalam nama Yesus Kristus (...) mengakui iman apostolik
yang satu, mewartakan injil yang satu, memecahkan roti yang satu, bergabung dalam
doa bersama dalam kesaksian dan pelayanan”0.
d. Uppsala (1968)
Tema sidang “Lihatlah, Aku membuat baru segala sesuatu”. Sebanyak 235
Gereja mengirimkan utusan, Gereja Katolik mengirim 14 pengamat resmi yang secara
penuh terlibat dalam persidangan. Sidang ini membahas persoalan dunia, kemiskinan
dan penindasan0.
e. Nairobi (1975)
Sidang Raya V di Nairobi tahun 1975 ini memilih tema “Yesus Kristus
membebaskan dan mempersatukan”. Sebanyak 271 Gereja mengirimkan utusannya,
Gereja Katolik mengutus 17 pengamat resminya. Sidang tersebut menegaskan
perlunya membangun kesatuan antar Gereja yang kelihatan, misalnya dalam ibadat
dan dalam kehidupan Gereja0.
f. Vancouver (1983)
Tema sidang ini adalah “Yesus Kristus – Kehidupan Dunia”, sebanyak 304
Gereja mengirim utusan. Dalam sidang tersebut Gereja dari Eropa dan Amerika Utara
0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 106.0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 109.0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 111.
24
membahas masalah senjata nuklir, sementara Gereja dari dunia ketiga membahas
tentang ketidakadilan. Dalam sidang ini diadakan ibadat perjamuan malam bersama
yang dipimpin oleh Uskup Agung Runcie, primat Gereja Anglikan0.
g. Canberra (1991)
Tema Sidang Raya VII ini adalah “Datanglah Roh Kudus, baruilah seluruh
ciptaan”. Sebanyak 800 utusan Gereja hadir dan disaksikan 2000 pengamat resmi.
Tema-tema sekitar tata ekonomi dunia, rasisme, pembebasan dan lingKüngan hidup
juga dibahas dalam sidang ini0.
h. Harare, Zimbabwe (1998)
Tema “Berpalinglah kepada Allah - bergembiralah dalam pengharapan”.
Sebanyak 330 utusan Gereja hadir. Sidang ini dilangsungkan dalam rangka
memperingati Yubileum 50 tahun berdirinya DGD0.
i. Porto Alegre, Brasil (2006)
0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 113-115.0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 116-117.0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 120-121.
25
Tema sidang ini adalah “Allah, ubahlah dunia dalam kerahiman-Mu”. Dalam
sidang tersebut kembali ditegaskan agar DGD dan Gereja-Gereja anggotanya
memberi prioritas pada persoalan kesatuan, katolisitas, baptisan, dan doa. Sebanyak
348 utusan Gereja hadir dalam sidang0.
Gereja Katolik mulai terlibat secara aktif dalam sidang-sidang yang telah
diselenggarakan – meskipun tidak menjadi anggota DGD – sejak sidang raya di New
Delhi (1961). Sebaliknya, DGD mengirimkan peninjau dalam Konsili Vatikan II pada
tahun 1962. DGD mengusulkan agar dibentuk panitia kerjasama antara DGD dan
Gereja Katolik. Menanggapi hal tersebut, maka pada tahun 1965 dibentuklah Joint
Working Group. Empat hal pokok yang dibicarakannya, yaitu: kerjasama praktis di
bidang diakonia, penyelidikan teologis tentang ekumenisme, persoalan yang
menyebabkan ketegangan di antara Gereja-gereja, dan persoalan tentang tugas
Gereja0.
2.3.2 Pertemuan-pertemuan Islam-Kristen
Forum ini dipelopori oleh World Council of Churche (WCC). Pertemuan
pertama diselenggarakan di Cartigny, dekat Jeneva, pada tahun 1969, dan dihadiri
oleh 22 orang Muslim dan Kristen selama 4 hari. Pertemuan ini mereka gunakan
untuk membahas pentingnya kesempatan untuk saling bertemu dan hal-hal yang
secara umum mendukung pengembangan kebersamaan, termasuk persoalan-persoalan
yang dihadapi dunia modern serta tugas-tugas agama secara hakiki.
0 Georg Kirchberger, Gerakan Ekumene Suatu Panduan, 122-123.0 P. K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint Oikumenika Bagian Sejarah, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1973,
72.
26
Dalam pertemuan ini, terdapat empat persoalan pokok yang didiskusikan,
yaitu0: (1) tugas-tugas agama yang digariskan oleh masing-masing kitab suci; (2)
persoalan-persoalan yang muncul akibat percampuran tempat tinggal; (3) masalah
misi dan perpindahan agama; dan (4) kemungkinan dilaksanakannya doa dan
sembahyang bersama.
Tahun 1972 diadakanlah pertemuan kedua di Broumana yang dihadiri 46
peserta dari 20 negara. Dalam pertemuan tersebut mereka sepakat mengatur
pertemuan-pertemuan lebih lanjut dengan membahas masalah-masalah penting,
seperti kesaksian yang jujur, saling menghargai, dan kebebasan beragama.
Pertemuan ketiga dilaksanakan pada tahun 1974 di Legon, Ghana. Pertemuan
ini menjadi yang pertama dilaksanakan di Afrika. Pertemuan selanjutnya
diselenggarakan di Nairobi tahun 1975 dengan topik pembicaraan seputar misi dan
dakwah.
Beberapa pertemuan lainnya secara berturut-turut diselenggarakan di:
Cartigny (1976), Beirut (1977) danChambesy (1979). Pertemuan khusus kaum muda
bagi kedua belah pihak diselenggarakan di Bossey, Switzerland (1980) dan Srilangka
(1982). Pada tahun 1995, pertemuan diadakan di Pattaya-Bangkok. Pertemuan ini
dihadiri juga oleh delegasi dari Indonesia.
2.2.3 Konferensi Para Uskup Asia (FABC)0
0 H. Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, 89.
0 James Kroeger, Tahap-Tahap Perkembangan Dialog Antaragama, diterjemahkan dari Milestone in Interreligious Dialogue oleh Vincent de Ornay dan Georg Kirchberger, Lembaga Pembentukan
27
FABC bertemu di Taipe, Taiwan, dari tanggal 22 – 27 April 1974 untuk
menyiapkan Sinode tentang Evangelisasi. Dokumen penting mereka, Pewartaan Injil
di Asia Zaman Sekarang, berbicara tentang pewartaan Injil yang seutuhnya (art. 23),
membangun Gereja setempat yang sejati (art. 9), dan dialog lapis tiga dengan:
masyarakat, budaya, dan agama-agama (art.12).
FABC menganjurkan perlunya ”mengembangkan sebuah konsep evangelisasi
yang mencakup sebagai unsur integral, dialog sejati dengan agama-agama besar di
Asia” (art. 3a).
2.3 Perkembangan Dialog Antaragama dalam Gereja Katolik
Gerakan praksis dialog dengan agama-agama lain telah dan sedang serta terus
dirintis di mana-mana dari tingkat lebih kecil (keluarga, kampung dan desa) sampai
ke tingkat yang lebih luas (baik nasional maupun internasional). Dengan praksis
semacam ini, Gereja semakin hari semakin melangkah menuju ciri khas penghayatan
iman yang baru: menyapa, terbuka, dan dialogis0.
2.3.1 Sebelum Konsili Vatikan II
Berlanjut Arnold Janssen (LPBAJ)-Ledalero, Maumere, 1999, 6.0 F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 17.
28
Sikap dialogis Gereja sebelum Vatikan II tampak dari kesaksian para Bapa
Gereja, para Paus sebelumnya dan juga para misionaris yang menunjukkan sikap
positif Gereja terhadap agama-agama lain.
2.3.1.1 Mula-mula Sikap Positif
Jean L. Jadot (1983) menelusuri perkembangan sikap Gereja Katolik terhadap
agama-agama lain0. Ia menyebutkan bahwa pendekatan misi Paulus dan para rasul
lainnya yang mengutamakan dan menghargai pribadi-pribadi manusia merupakan
contoh sikap positif terhadap umat kepercayaan lain. Sikap dialogis para rasul ini
diwariskan kepada para Bapa Gereja, seperti Ireneus, Origenes, Hippolitus, dan
Gregorius Nazianse. Mereka, dalam pandangan teologinya, merefleksikan peranan
agama-agama bukan Kristen dalam rencana keselamatan universal Allah0.
Pada abad XVI-XVII, sikap Gereja terhadap agama-agama lain mendapat
warna lain. Pada masa itu, Eropa yang kerap diidentikkan dengan dunia Kristen
menemukan benua-benua baru. Sebagai contoh, Fransiskus Xaverius mendarat di
Jepang pada tahun 1549. Tahun 1510 kekristenan sudah sampai ke Goa dan Congo.
Peristiwa-peristiwa itu menandai abad baru, yakni pertemuan yang semakin intens
dan mendalam antara kekristenan dan agama-agama lain. Perjumpaan dengan agama
0 Jean L. Jadot, “The Growth in Roman Catholic Commitment to Interreligious Dialogue Since Vatican II”, dalam Journal of Ecumenical Studies, 20:3, Summer 1983, 365-378. Jean L. Jadot adalah Presiden Sekretariat untuk Kaum Beriman bukan Kristen dari 1980-1984. Dia merupakan salah satu pemimpin Gereja Katolik yang menampilkan pendirian maju dalam langkah-langkah dialog setelah Konsili Vatikan II. Lihat catatan kaki dalam F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, Kanisius, Yogyakarta, 2010, 14.
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 24.
29
dan kebudayaan lain membuat para misionaris mengambil sikap mau menyapa dan
merangkul.
Sikap positif Gereja Katolik ditegaskan pula oleh Kongregasi untuk
Penyebaran Iman “Propaganda Fide”(1622) dalam surat yang memuat norma-norma
bagi para Uskup Eropa yang ditugaskan memimpin Gereja-gereja Asia. Surat ini
dibuat pada tahun 1959. Isi norma-norma itu antara lain desakan agar tidak memaksa
umat untuk mengubah ritus-ritus asli mereka, kebiasaan-kebiasaan budaya mereka,
dan cara-cara hidup yang khas milik mereka, kecuali apabila jelas-jelas bertentangan
dengan agama dan moral. Budaya asli harus dilestarikan dan dipertahankan, bahkan
dihargai, sebab dapat mengarah kepada benih-benih keselamatan0.
2.3.1.2 Kemudian: Extra Ecclesiam Nulla Salus
Semangat memandang positif kebudayaan dan kepercayaan bangsa-bangsa
lain mendapat tantangan hebat dengan bangkitnya kolonialisme. Abad penemuan
benua-benua baru oleh bangsa Eropa juga manjadi tanda dimulainya masa
kolonialisme0.
Selain itu, semangat para misionaris yang menonjol umumnya adalah
semangat extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan).
0 Jean L. Jadot, “The Growth in Roman Catholic Commitment to Interreligious Dialogue Since Vatican II”, 368.
0 Kolonialisme dalam hal ini merupakan invasi kebudayaan Eropa, menendang kebudayaan dan agama asli kemudian menggantikannya dengan kebudayaan Eropa. Invansi kebudayaan demikian ini semakin didukung oleh semangat aliran sesat Yansenisme yang mempropagandakan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, yang pada abad XVII hingga XIX mendapat simpati luas.F.X. E. Armada Riyanto, CM., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 25.
30
Ungkapan extra ecclesiam nulla salus yang berasal dari Santo Cyprianus (abad III)
ini sebenarnya bersifat apologetis dan bukan eksklusif0. Namun dalam
perkembangannnya, ungkapan itu diperluas maksudnya dan disalahartikan.
Dari ungkapan itu, Cyprianus sesungguhnya hendak mengatakan perihal
baptisan yang diberikan oleh para bidaah yang memisahkan diri dari Gereja yang
benar. Ia menegaskan bahwa baptisan para bidaah itu sesat dan tidak membawa
kepada keselamatan. Hanya baptisan dalam Gereja (Katolik) yang membawa
keselamatan. Di luar Gereja Katolik, tidak ada keselamatan0. Pada waktu itu, yang
dimaksud ”di luar Gereja Katolik” bukan menunjuk pada agama-agama lain.
Pandangan Cyprianus, yang kemudian diikuti oleh para Bapa Gereja seperti
Ireneus, Clement dari Alexandria dan Origenes, bertolak dari pemikiran bahwa
Gereja merupakan ”Bahtera Nuh” yang menyelamatkan para penghuni di dalamnya.
Maka yang memisahkan diri, dari sendirinya juga menjauhkan diri dari keselamatan0.
Agustinus juga mengatakan hal serupa bahwa di luar Gereja Katolik ada apa
saja, kecuali keselamatan. Pandangan ini dipopulerkan oleh muridnya, Fulgentius
(467-533). Makna ungkapan ”di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan” menjadi
0 Apologetis artinya berkatian dengan pembelaan kebenaran iman melawan kesesatan di dalam Gereja sendiri. Eksklusif dimaksudkan penyingkiran, pengusiran nilai-nilai kebenaran lain. F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 20.
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM., Dialog Interreligius, 20.0 Di sini, yang dimaksudkan “memisahkan diri” bukan lantas bergabung dengan agama lain di luar
Gereja Katolik. Memisahkan diri dari “Bahtera Nuh” berarti memeluk ajaran lain dari yang diimani oleh Gereja Katolik. Gereja Katolik pada waktu itu tidak sedang bersaing dengan institusi agama lain, tetapi sedang mengalami jatuh bangun menyusul tampilnya para bidaah di dalam komunitasnya sendiri. F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 21.
31
ungkapan yang dibawa-bawa dalam semangat ideologis seiring dengan perjumpaan,
konflik, dan pertentangan dengan aneka kepercayaan dan kebudayaan di luar Eropa0.
Konsili Florence (1442) menyebut untuk pertama kalinya ungkapan extra
ecclesiam nulla salus dalam dokumennya yang ditujukan untuk orang-orang kafir
(sesat), yang dipandang tidak terbilang dalam ekonomi keselamatan. Maka dari itu,
ungkapan itu tidak dimaksudkan untuk orang-orang beragama atau berkebudayaan
lain, melainkan untuk orang kafir (secara khusus orang yang sesat dalam beriman
Kristen).
Salah tafsir mengenai ungkapan itu tidak dapat terelakkan, bahkan
berlangsung berabad-abad hingga Konsili Vatikan II. Penafsiran berkembang
semakin luas, yakni pemahaman bahwa di luar iman kepada Kristus, atau bahkan di
luar Gereja (Katolik), tidak ada keselamatan. Keyakinan bahwa orang yang tidak
beriman pada Kristus tidak masuk dalam bilangan komunitas keselamatan semakin
mengusik hati nurani para misionaris. Akibatnya, semangat para misionaris terkurung
dalam eksklusivisme radikal, yakni memenangkan jiwa-jiwa yang dipandang celaka,
karena tidak mengenal Kristus0. Eksklusivisme seakan-akan menenggelamkan
semangat dialog Gereja.
Aloysius Pieris, seorang Yesuit Srilanka, mencoba memahami semangat extra
ecclesiam nulla salus secara berbeda. Ia lebih memandang bahwa semangat para
misionaris pertama-tama bukanlah semangat eksklusivisme, melainkan lebih terletak
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 21.0 F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 23.
32
pada kesadaran dan tanggung jawab yang besar akan keselamatan orang kafir. Dasar
pewartaan mereka ialah cinta kepada Kristus dan kemiskinan rohani orang-orang
kafir0.
2.3.1.3 Akhirnya: Sikap Dialogis
Sikap positif ini kemudian menemukan bentuk konkretnya pada semangat
dialogis yang dicanangkan oleh Konsili Vatikan II. Sikap dialogis Vatikan II harus
dipahami dalam kerangka hubungannya dengan ketiga kelompok tersebut. Terhadap
kelompok Kristen lainnya (other Christians), sikap dialogis Gereja Katolik
dicetuskan dengan mendirikan Sekretariat untuk Kesatuan Umat Kristen (Secretariat
for the Promotion of the Unity of Christians). Sekretariat ini didirikan oleh Paus
Yohanes XXIII pada bulan Januari 1963. Dari sekretariat ini, dibentuk pula komisi-
komisi khusus yang menangani usaha-usaha lebih jauh dalam menjalin dialog dengan
umat Yahudi, Gereja Ortodoks, Gereja Anglikan, Gereja Metodis, dan Persekutuan
Gereja Kristen seluruh dunia. Banyak dokumen tentang dialog yang dihasilkan dari
Sekretariat ini.
Sementara itu untuk menjalin dialog dengan umat bukan Kristen (non-
Christians), Tahta Suci mendirikan Sekretariat untuk Umat bukan Kristen
(Secretariat for Non-Christians) pada 19 Mei 1964 oleh Paus Paulus VI. Tahun 1990,
Sekretariat ini berganti nama menjadi Sekretariat atau Dewan Kepausan untuk Dialog
Interreligius (Pontifical Council for Interreligious Dialogue atau PCID) sejak 28 Juni
0 Aloysius Pieris, The Church, The Kingdom and OtherReligions, Colombo, study center, 1968, 3.
33
1988 oleh Paus Yohanes Paulus II0. Dewan Kepausan ini juga mempromosikan
pendirian Institut Kepausan untuk Studi Agama Islam. Banyak juga dokumen
mengenai dialog dengan Budha, Hindu, dan terutama dengan Islam, mengalir dari
Sekretariat untuk Dialog antaragama ini0.
Sedangkan sikap dialogis Gereja Katolik terhadap kaum ateis (non-believers)
diwujudkan dengan didirikannya Sekretariat untuk Dialog dengan kaum ateis
(Secretariat for Unbelievers) pada April 1965. Sekretariat ini memiliki arti penting
bukan karena alasan praktis untuk menjalin dialog0, melainkan karena menandai
perkembangan sikap Gereja Katolik. Terhadap kaum ateis, Gereja Katolik tidak lagi
bersikap ”menentang”, melainkan ”menyapa” dan ”merangkul”.
2.3.2 Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II merupakan Konsili Ekumenis ke-21 dalam sejarah Gereja
yang diadakan sejak 11 Oktober 1962 – 8 Desember 1965. Konsili Vatikan II
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 27.0 Bebarapa dokumen tentang dialog dengan Islam, antara lain:- Tahun 1969, Guidelines for a Dialogue between Muslim and Christians;- Tahun 1978, The Muslim-Christian Dialogue of the Last Ten Years;- Tahun 1984, Dialoge and Mission (tentang hubungan dialog dan misi);- Tahun 1991, Dialog and Proclamation (tentang dialog dan tugas memproklamasikan kabar
gembira).Lihat catatan kaki dalam F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 27.0 Sekretariat yang didirikan untuk kaum ateis memiliki tugas rangkap: a) mempelajari ateisme,
menggali sebab-sebab munculnya ateisme; dan b) sedapat mungkin menggalang dialog dan kerjasama dengan mereka yang memiliki kehendak baik dan bersedia untuk diajak dialog. Lihat dalam F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 30. Sekretariat ini menjadi terkenal karena dokumennya yang dikeluarkan tanggal 28 Agustus 1968, Humane Persona Dignitatem, sebuah dokumen tentang dialog dengan kaum bukan beriman sekaligus menandai perubahan sikap Gereja Katolik terhadap kaum ateis. Dokumen ini mengalir dari inspirasi Konstitusi Pastoral tentang Gereja, Gaudium et Spes. F.X. E. Armada Riyanto, CM , Dialog Interreligius, 29.
34
merupakan cikal bakal lahirnya dialog antarumat beragama. Hal ini dilatarbelakangi
oleh sikap Gereja sebelum Konsili Vatikan II yang cenderung menutup diri serta
kurang memandang secara positif agama-agama lain. Sikap ini didasarkan pada
pernyataan yang terkenal: “extra ecclesiam nulla salus” (di luar Gereja tidak ada
keselamatan)0. Akibatnya, sikap positif yang ditujukan oleh Gereja kini menjadi sikap
eksklusif, tertutup dan mengasingkan diri dari agama-agama lain.
Melihat kenyataan yang berlangsung sekian lama dalam panggung sejarah,
Konsili Vatikan II membangun upaya untuk tidak berlarut-larut dalam kesalahan itu.
Konsili menyerukan adanya “dialog” untuk memulihkan keadaan yang “retak”
selama berabad-abad dengan agama-agama lain. Seruan Konsili untuk berdialog
dengan agama-agama kemudian dicetuskan dalam Nostra Aetate (NA).
Melalui dokumen ini Konsili mengatakan: “Gereja mendorong para putranya
supaya dengan bijaksana dan penuh kasih, “berdialog” dan “bekerjasama” dengan
penganut agama-agama lain, sambil memberikan kesaksian tentang iman serta peri
hidup Kristiani, mengakui, memelihara dan mengembangkan harta kekayaan rohani
dan moral serta nilai-nilai sosio-budaya yang terdapat pada mereka (NA 2)0.
Berangkat dari kesadaran ini, Konsili Vatikan II mencoba membuka lembaran
baru dalam kehidupan beragama dengan orang lain yang selama ini terjerat dalam
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1995, 25-26. Ungkapan extra ecclesiam nulla salus dapat ditemukan dalam tulisan para Bapa Gereja terutama St. Cyprianus pada abad ke-3 yang nadanya bersifat apologetis. Pandangan ini kemudian menjadi sangat populer dan lebih keras sejak disebarluaskan oleh Flugentius (567-533). Dalam Konsili Florence (1442) menyebut untuk pertama kalinya ungkapan extra ecclesiam nulla salus. Konsili Florence menunjukkan ungkapan ini untuk orang kafir (sesat).
0 Georg Kirchberger, (Ed), Dialog dan Pewartaan, LPBAJ, Maumere 2002, hal. 75.
35
sebuah kubangan paradigma eksklusivisme. Kesadaran Konsili ini memunculkan dua
unsur penting dalam menyuburkan dialog antara umat beragama. Beberapa di
antaranya adalah: pertama, Konsili Vatikan II mengubah paradigma “ecclesiam nulla
salus” (di luar Gereja tidak ada keselamatan) dengan mengatakan bahwa keselamatan
dalam Yesus Kristus juga mungkin bagi agama-agama lain0. Kedua, Konsili
mengakui bahwa dalam tradisi-tradisi keagamaan bukan kristen terdapat unsur-unsur
yang benar dan baik (LG 16), unsur-unsur religius dan manusiawi (GS 92), benih-
benih kontemplasi (AG 18), unsur-unsur kebenaran dan rahmat (AG 9), benih-benih
Sabda (AG 11, 25), dan sinar kebenaran yang menerangi semua orang (NA 2)0. Selain
itu, Konsili Vatikan II juga mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak menolak apa pun
yang benar dan suci dalam agama-agama itu0.
Singkatnya, Konsili Vatikan II membuka pintu selebar-lebarnya bagi
perkembangan dialog dengan agama-agama lain, sebagai upaya untuk menciptakan
agama-agama yang saling memahami satu dengan yang lain. Atas dasar sikap seperti
inilah, Gereja Katolik tidak lagi mengambil sikap “oposisi” dengan agama-agama
lain, melainkan menjalin “persahabatan” yang relasional dan bekerjasama dengan
mereka yang berkehendak baik, bahkan sekalipun mereka tidak mengimani Allah0.
2.3.2.1 Paus Yohanes XXIII
0 Georg Kirchberger, (Ed), Dialog dan Pewartaan, 72. 0 Bdk..F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, 54.0 Thomas P. Rausch, Katolisisme: Teologi bagi Kaum Awam, Kanisius, Yogyakarta, 2001, 361.0 F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik, 30.
36
Paus yang dilahirkan pada tanggal 25 November 1881 dan bernama asli
Angelo Giuseppe Roncalli ini dikenal sebagai Paus milik setiap orang. Julukan ini
diberikan oleh mereka yang berada dalam Gereja Katolik Roma maupun yang tidak
berada di dalam Gereja. Sebutan tersebut secara jelas menggambarkan bahwa Paus
ini diakui oleh setiap orang, dari setiap agama dan budaya. Tentu saja pengakuan ini
tidak lepas dari segala usahanya untuk menjalin relasi dengan siapa saja. Usahanya
ini terus diwujudkan hingga ia meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1963.
Paus Yohanes XXIII berpandangan bahwa dialog akan terjadi jika
keterbukaan telah dimiliki. Tugasnya sebagai duta Vatikan di tempat di mana
penganut agama Katolik menjadi minoritas turut menduKüng gagasan ini. Yohanes
XXIII pernah bertugas di Bulgaria, Turki dan Yunani. Di tempat-tempat itulah,
Yohanes XXIII mau tidak mau harus bertemu dengan orang-orang yang berlainan
agama.
Berhadapan dengan pluralitas iman tersebut, Yohanes XXIII mengembangkan
sikap terbuka. Di Bulgaria, ia berhadapan dengan kaum Ortodoks yang
mencurigainya. Di Turki, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa penganut katolik
ditindas dan dianiaya0. Keterbukaannya membuka peluang untuk mengadakan dialog.
Ia menemui pemimpin kaum Ortodoks dan mencairkan suasana curiga yang ada.
Usahanya tidak sia-sia. Kaum Ortodoks tidak lagi curiga bahkan mempercayainya.
0 Christian Feldmann, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, Kanisius-B.P.K Gunung Mulia, Yogyakarta-Jakarta, 1990, 37.
37
Penganut Katolik di Turki pun dapat bernafas lega karena barikade curiga dapat
digulingkan oleh Roncalli.
Setelah menjadi Paus pun, sikap terbuka Roncalli tidak hilang. Ia menerima
pemimpin-pemimpin Gereja Ortodoks dan Uskup Agung Anglikan Fisher dari
Canterburry. Keterbukaannya membuat puteri dari Khruscev (pemimpin Uni Soviet
waktu itu) berkenan menemuinya. Keterbukaannya telah menarik hati berbagai orang
dari seluruh dunia, dari seluruh agama. Tidak heran bahwa ketika ia meninggal,
ucapan belasungkawa berdatangan dari kaum pemeluk Budha, Yahudi bahkan Ateis.
Dalam mewujudkan usahanya untuk berdialog, Yohanes XXIII menggunakan
kegiatan sosial sebagai jalan masuknya. Ketika gempa bumi mengguncang Bulgaria,
ia dengan sigap memberikan bantuan kepada siapa saja, tidak peduli orang Ortodoks
atau Katolik0. Melalui jalan inilah, Roncalli dapat memupus kecurigaan orang-orang
Ortodoks kepadanya. Melalui jalan ini pula, Roncalli dapat mewujudkan
keinginannya untuk berdialog dengan orang-orang Ortodoks.
Ketika di Turki dan Yunani, lagi-lagi Roncalli berhasil mengembangkan
dialog dengan jalan masuk melalui karya sosial. Ketika Mussolini menyerbu Yunani,
ia mengurus sumbangan untuk para korban. Blokade pasukan Inggris dimintanya
untuk diperlunak agar para korban dapat diberi makan. Usahanya yang lain adalah
menyelamatkan 200.000 orang Yahudi dari pengenyahan Nazi, karena ia
mengusahakan surat baptis. Bagi Yohanes XXIII, karya sosial menjadi pintu masuk
paling efektif untuk mengembangkan sikap dialog.
0 Christian Feldmann, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, 37.
38
Setelah dipilih menjadi Paus, Roncalli tidak kehilangan semangat untuk terus
mengupayakan dialog dengan pihak lain. Perdamaian adalah isu utama yang
diangkatnya. Menurutnya, semua orang di dunia ini memiliki tujuan yang sama yaitu
kedamaian. Karena tujuan yang sama inilah seluruh manusia di dunia hendaknya
saling bahu membahu dalam menciptakan perdamaian0. Puncak dari usahanya
merangkul semua orang adalah dengan dikeluarkannya ensiklik Pacem in Terris.
Ensiklik ini dapat diterima oleh semua orang karena ditujukan kepada semua orang
yang beriman dan tidak beriman serta semua orang yang berkehendak baik0.
Jelas terlihat bahwa gagasan Yohanes XXIII untuk dialog masih diwarnai
dengan keterbukaan terhadap pihak lain. Tidak ada usaha dari dirinya untuk
memperdalam dialog dengan mengkomunikasikan isi iman yang dimiliki. Dialog
masih dipandang sebagai praksis untuk mengusahakan sesuatu bersama-sama tanpa
memandang latar belakang agama dan budaya.
Ciri ini semakin terlihat dalam gagasan Yohanes XXIII untuk mengadakan
konsili. Gagasan konsili bukan pertama-tama membicarakan isi iman atau masalah-
masalah yang pelik, tetapi ingin memberikan angin baru bagi Gereja0. Angin baru
tersebut adalah keterbukaan terhadap dunia dan pihak-pihak lain. Gereja yang selama
ini dikenal sebagai sebuah batu yang kokoh dan tak tergoyahkan diberi sentuhan
keterbukaan oleh Yohanes XXIII.
0 Honaratus Pigai, “Ensiklik Pacem in Teris dan Relevansinya dalam Membangun ‘Papua Tanah Damai’”,5, diakses dari muyevoice.blogspot.com (2 Januari 2012).
0 Bdk.. Eddy Kristiyanto, OFM., Diskursus Sosial Gereja Sejak LEO XIII, Dioma, Malang, 2003, 83.0 Christian Feldmann, Pejuang Keadilan dan Perdamaian, 42.
39
Sekali lagi, gagasan dialog Yohanes XXIII tidak dilatarbelakangi keinginan
untuk membagikan isi iman. Gagasan utama dialog bagi Yohanes XXIII adalah upaya
untuk bekerja bersama agar dapat menghasilkan sesuatu yang baik demi kehidupan
bersama. Tiadanya usaha untuk menyentuh isi iman dapat dipandang sebagai usaha
untuk menghindari konflik dengan pihak lain. Di lain sisi, tiadanya usaha untuk
menyentuh isi iman juga menunjukkan ketakutan Yohanes XXIII terhadap konflik.
Hal ini wajar, karena Yohanes XXIII merupakan pribadi yang dikenal mencintai
perdamaian.
2.3.2.2 Paus Paulus VI
Paus Paulus VI dikenal sebagai “Paus Dialog”0 karena gagasannya tentang
dialog mencerminkan sebuah sikap yang dialogis dengan agama-agama lain. Sikap
dialogis Paus ini dapat dilihat terutama dalam Ensiklik pertamanya Ecclesiam Suam
(6 Agustus 1964) dan Amanat Apostolik Evangelii Nuntiandi (8 Desember 1975).
Dalam Ensiklik Ecclesiam Suam, Paus Paulus VI menempatkan proses
pembaruan Konsili dalam rangka untuk memperkuat panggilan Gereja pada
kekudusan. Bagi Paulus VI, pembaruan mulai dari kesadaran (awareness) yang
berarti “Gereja harus mendalami kesadarannya sendiri” (ES, 9)0. Paulus VI
menempatkan dialog sebagai langkah akhir dari pembaruan (bdk. ES, 83). Dengan
mengikuti model dialog keselamatan antara Allah dan umat-Nya, dalam dialog, 0 Georg Kirchberger, (Ed), Dialog dan Pewartaan, 76. Bandingkan juga dalam Paul F. Knitter,
Menggugat Arogansi Kekristenan, (terj. M. Purwatma, Pr), Kanisius, Yogyakarta, 2005, 260-266.0 Y. B. Prasetyantha, “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, dalam
Diskursus, Vol. 6, No. 2, Oktober 2007, 204.
40
Gereja melaksanakan perutusan keselamatannya dalam dunia0. Paulus VI melukiskan
sejarah keselamatan sebagai “dialog” yang tidak pernah berhenti antara Allah dan
manusia0. Dengan kata lain, dialog yang terjalin antara Allah dan manusia menjadi
jembatan satu-satunya dalam memperbaiki relasi antara Allah dan manusia yang
selama ini retak akibat keegoisan manusia. Hanya melalui sikap “dialogis” inilah
manusia dapat menemukan kembali identitasnya yang rusak.
Demikianlah, agama-agama yang berbeda akan menemukan identitasnya
apabila agama-agama itu bersedia berdialog dengan agama-agama lain. Selama
agama itu berada dalam sikap eksklusivisme, maka agama itu tidak pernah mengenal
agama lain. Ia hanya memahami diri dan agamanya sendiri. Akibatnya, sikap
“fanatisme”0 dan “absolutisme”0 terhadap agama tidak dapat dihindari.
Oleh karena itu, Paus Paulus VI, melalui Ensiklik Ecclesiam Suam,
memproklamasikan bahwa Gereja harus siap sedia menjalin “dialog” dengan
siapapun yang berkehendak baik. Sebab prinsip dialog adalah membangun
perdamaian satu sama lain. Dialog yang dijalin tanpa pamrih, objektif, tulus dengan
sendirinya merupakan kondisi yang menguntungkan, sekaligus menumbuhkan
0 Y. B. Prasetyantha, “Teologi Komparatif: Pendekatan Baru Terhadap Pluralitas Iman”, 204.0 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, 261.0 Fanatisme merupakan sikap atau keyakinan yang terlalu kuat terhadap agama, politik dan lain
sebagainya. Sikap ini memicu persoalan jika diterapkan dalam agama-agama, karena sikap seperti ini hanya berorientasi pada agamanya sendiri dan mengabaikan orang lain. Lih. “Gagasan Ber-dialog Paus Yohanes XXIII”, diakses dari http://tius85.multiply.com/ journal/item/1?&show_interstitial= 1&u=%2Fjournal%2Fitem (16 Desember 2011).
0 Paham yang mengatakan bahwa kebenaran satu-satunya hanya terdapat pada agama. Lih. “Gagasan Ber-dialog Paus Yohanes XXIII”, diakses dari http://tius85.multiply.com/journal/item/ 1?&show_interstitial =1&u=%2Fjournal%2Fitem (16 Desember 2011).
41
perdamaian. Dialog menyingkirkan kepura-puraan, persaingan, tipu daya, dan
pengkhianatan dan sekaligus mencegah pertikaian0.
Sikap dialogis Paus Paulus VI ini menunjukkan kepada kita betapa penting
nilai dari sebuah dialog. Dialog bukan hanya sekedar untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Sebaliknya, dialog dilihat lebih sebagai pengenalan dan upaya untuk
memahami setiap perbedaan dan persamaan dalam agama-agama pluralis.
Sikap dialogis Paus Paulus VI semakin dipertegas lagi dalam Amanat
Apostoliknya Evangelii Nuntiandi. Evangelii Nuntiandi (EN) merupakan refleksi
pribadi Paus Paulus VI atas hasil Sidang Para Uskup Sedunia tahun 1974. Melalui
dokumen ini, Paus Paulus VI menyebut agama-agama non-Kristiani. Beliau
menekankan secara tegas bahwa Gereja menghormati “nilai-nilai moral dan spiritual”
yang terdapat dalam agama-agama lain dan mengungkapkan keinginannya untuk
“bergabung bersama dengan mereka dalam memajukkan dan membela cita-cita
bersama kebebasan beragama, persaudaraan, kebudayaan yang baik, kesejahteraan
sosial, dan tatanan sipil”0.
Gagasan paus ini menghantar kita pada sebuah pemahaman bahwa di tengah
pluralitas religius umat manusia, dialog merupakan sebuah kebutuhan yang sangat
mendesak manusia untuk menghadirkan suatu hubungan yang korelasional dengan
agama-agama lain. Hanya melalui dialog, manusia bisa saling mengerti dan
memahami setiap perbedaan yang ada.
0 F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 37.0 Georg Kirchberger, (Ed), Dialog dan Pewartaan, 77.
42
Inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Pannikar, ketika ia mengatakan
bahwa melalui dialog, pengalaman partikular mengenai kebenaran – yaitu: Kristus
bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu, Muhammad bagi orang Islam, dan lain
sebagainya – dapat diperluas dan diperdalam, sehingga dapat menyingkap
pengalaman-pengalaman baru mengenai kebenaran. Melalui dialog, hubungan
antaragama bukan lagi hubungan yang bersifat asimilasi atau substitusi, melainkan
hubungan yang saling menyuburkan0.
2.3.2.3 Paus Yohanes Paulus II
Pembahasan tentang dialog antarumat beragama tidak hanya terbatas pada
gagasan-gagasan Paus Paulus VI dalam Ensiklik Ecclesiam Suam dan Amanat
Apostolik Evangelii Nuntiandi. Gagasan-gagasan mengenai dialog antarumat
beragama dilanjutkan oleh Paus Yohanes Paulus II. Bahkan, Paus Yohanes Paulus II
menyebut dirinya sebagai pembawa pesan perdamaian antaragama0.
Gagasan-gagasan dialog Paus Yohanes Paulus II dalam membangun relasi
dengan agama-agama lain dapat kita temukan dalam Ensikliknya yang berjudul
Redemptoris Missio (1990)0. Pengalaman perjumpaan dengan agama-agama lain
0 Harold Howard, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1989, 79.0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, Obor, Jakarta,
2007, 321.0 Redemptoris Missio merupakan sebuah ensiklik yang diterbitkan setelah dua puluh lima tahun Dekrit
tentang kegiatan Misioner Gereja, Ad Gentes (1965) dan lima belas tahun Amanat Apostolik Paus Paulus VI tentang Evangelii Nuntiandi (1975). Marcel Beding, (terj.), Seri Dokumen Gereja: Ensiklik Redemptoris Missio dari Yohanes Paulus II, Ende, Nusa Indah, 1992.
43
menghantar Paus Yohanes Paulus II untuk mencetuskan sebuah ensiklik yang
mencoba membuka babak baru dalam melanjutkan dialog dengan agama-agama lain.
Dalam ensiklik ini, Paus mengedepankan dua tujuan utama misi Gereja, yaitu
tujuan “ad intra” dan “ad extra”0. Tujuan ad intra tampak dari ungkapan Paus yang
menandaskan bahwa dokumen ini dimaksudkan sebagai suatu pembaruan dari dalam,
yaitu pembaruan iman dan kehidupan Kristen. Pembaruan ini menunjuk pada
pembaruan semangat misioner (RM 2). Sedangkan tujuan ad extra yang dimaksud di
sini adalah bahwa dokumen ini juga dihadirkan sekaligus untuk orang-orang bukan
Kristen, terutama para penguasa negara, yang menjadi tujuan karya misioner.
Sebagai dokumen tentang misi kedua sejak Dekrit Ad Gentes, Redemptoris
Missio menampilkan pandangan teologis yang mendalam dan cukup lengkap terhadap
aneka pemikiran teologis baru yang berkembang. Pemikiran-pemikiran teologis baru
itu berhubungan dengan persoalan sekitar tema keunikan dan keuniversalitasan
Kristus dan misi Gereja (RM, 4). Tentang dialog, RM masih menampilkan gagasan
yang tidak jauh berbeda dengan dokumen sebelumnya. Dialog merupakan sarana
pencetus misi. Namun demikian, pandangan tentang paham keselamatan umat
beragama lain tampak mengalami perubahan. Pandangan universalitas keselamatan
tidak lagi dipahami secara eksklusif dalam iman eksplisit kepada Yesus Kristus (bdk.
RM, 10).
0 Cardinal Jozef Tomko, “Mission: A Permanent Priority”, dalam Catholic International, 2:6, March, 1991, hal 293-294 sebagaimana dikutip oleh F.X. E. Armada Riyanto, CM ., Dialog Agama Dalam Pandangan Gereja Katolik, 71.
44
Selain itu, RM juga menegaskan bahwa dialog merupakan salah satu
pengungkapan misi (bdk. RM, 55). Oleh karena itu, orang yang terlibat dalam dialog
harus konsisten dengan tradisi dan pendirian agamanya, serta terbuka untuk
memahami orang lain tanpa kepura-puraan. Inilah yang menjadi prinsip-prinsip
dialog (bdk. RM, 56).
Selain dikenal sebagai tokoh penggagas “perdamaian”, Paus Yohanes Paulus
II juga dikenal sebagai pribadi yang memiliki perhatian pada dialog sebagai dialog
kehidupan. Dalam beberapa kunjungannya ke berbagai negara, Paus tidak henti-
hentinya mengajak umat beriman untuk bersedia mengadakan dialog dengan agama-
agama lain.
Menurut Paus Yohanes Paulus II, umat beriman merupakan pembawa pesan
perdamaian dan pemberi kesaksian akan solidaritas universal, yang mengatasi
kepentingan pribadi maupun kelompok, agar tidak seorang pun dilupakan dan
disingkirkan0. Paus juga melihat bahwa perdamaian senantiasa memiliki dimensi
spiritual, karena perdamaian merupakan rahmat Allah. Oleh karena itu, upaya
manusia untuk membangun perdamaian harus didasarkan pada sikap kerendahan hati,
terutama dalam doa, mendengarkan kehendak Allah dan menjalankannya0.
Dalam upaya untuk menegakkan dialog antarumat beragama, Paus
menekankan peran manusia sebagai pelaku utama dalam dialog, dengan disertai
kerendahan hati dan kesiap-sediaan untuk berdialog dengan orang lain.
0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 322.0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Yohanes Paulus II: Gereja, Teologi dan Kehidupan, 322.
45
2.3.2.4 Paus Benedictus XVI
Joseph Kardinal Ratzinger terpilih menjadi Paus pada tanggal 19 April 2005,
menggantikan Yohanes Paulus II, dengan nama Benediktus XVI. Di awal
kepausannya, Benediktus XVI menegaskan tugas panggilan Gereja untuk
membangun jembatan persahabatan dengan semua penganut agama-agama lain, agar
secara bersama dapat membangun apa yang baik bagi setiap pribadi dan masyarakat.
Benediktus XVI menempatkan kepentingan dialog agama dan budaya berawal dari
penghargaan akan hak-hak asasi manusia.
Benediktus XVI membuka pembicaraan mengenai dialog dengan berpangkal
pada ensiklik Paulus VI, Ecclesiam Suam. Warta iman Kristen pada dasarnya
berdimensi dialogis. Di dalamnya misteri keselamatan tidak hanya diwartakan, tetapi
juga dinyatakan. Pewartaan iman menetapkan bentuk bahasa Gereja, walaupun diakui
bahwa iman akan Yesus sebagai penyelamat dapat menjadi hambatan dalam dialog.
Oleh karena itu, dituntut adanya keterbukaan akan yang lain, agar bahasa pewartaan
dapat semakin mampu menyuarakan inti iman yang diwartakan0.
Baginya, dialog bukan sekedar kata-kata. Dalam dialog, ada kesediaan untuk
mendengarkan yang terjadi karena ada perjumpaan; suatu perjumpaan dalam relasi,
sehingga pemahaman dalam perjumpaan saling mendengarkan itu semakin
diperdalam. Dengan demikian, dialog adalah suatu proses untuk semakin mengenal
0 Joseph Ratzinger, Das Neue Volk Gottes, Dusseldorf, Patmos, 1972, 118-122 sebagaimana dikutip oleh T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Benediktus XVI, Kanisius, Yogyakarta, 2010, 311.
46
dan dikenal. Tanpa itu, dialog hanya akan terjebak dalam perdebatan yang
saling”tuli” satu akan yang lain, karena tiadanya kesediaan serta kemampuan untuk
saling mendengarkan0.
Tanggal 12 September 2006, Benediktus XVI membuat pidato akademis di
Universitas Regensburg, Jerman, yang mamancing reaksi keras terutama dari
kalangan Islam. Dalam pidatonya, ia mengutip teks dari Adel Theodor Khoury
tentang teks percakapan apologis antara Manuel II Paleologus dengan seorang teolog
Islam. Dalam perdebatannya tersebut, Manuel II menyebutkan bahwa tidak ada hal
yang baru yang dibawakan Nabi Muhammad, selain hal-hal yang jelek dan tidak
manusiawi, terutama kekerasan0. Kutipan inilah yang menimbulkan reaksi keras dari
kalangan Islam. Pidato ini justru bertolak belakang dari himbauannya saat homili
Ekaristi di Munich sebelumnya. Dalam homilinya, Benediktus XVI menyebut
perlunya menghargai segala apa yang suci oleh kalangan lain0.
Di Regensburg, Benediktus XVI sebenarnya memberi tekanan akan relasi
antara iman dan akal budi, dengan memberi tempat mendasar pada logos, sebab Allah
bukanlah Tuhan kekerasan. Iman akan Allah senantiasa mendorong orang untuk
memperdalam nalarnya, bukan justru bertindak dengan kekerasan, sebab hal itu
bertentangan dengan hakikat Allah yang adalah kasih. Dari sini, kita bisa
menempatkan daya nalar sebagai syarat dasar untuk dialog dalam Pidato Benediktus
di Regensburg.
0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Benediktus XVI, 311.0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Benediktus XVI, 303.0 T. Krispurwana Cahyadi, SJ., Benediktus XVI, 304.
47
Pidato dan kontroversi di Regensburg kemudian memicu adanya
perbincangan yang lebih mendalam antara pemeluk agama-agama. Memang
pertemuan ini tidak dimaksudkan untuk membangun suatu kesatuan agama-agama,
tetapi lebih sebagai upaya untuk membangun kesatuan umat manusia, sebagai satu
kesatuan keluarga.
Dialog, menurut Joseph Ratzinger, pada dasarnya dan yang terutama adalah
upaya atau proses untuk semakin menjadi manusia. Proses tersebut selalu memuat
sifat kritik diri, sebagai salah satu upaya untuk pemurnian. Oleh karena itu, dialog
merupakan suatu proses yang sulit, bahkan bisa melukai jika memang arahnya benar
tertuju pada upaya bersama dalam menggali kebenaran. Ensiklik pertama Benediktus
XVI, Deus Caritas est - ketika berbicara mengenai pemahaman akan kodrat kasih
dalam diri manusia - bisa dianggap sebagai upaya untuk memberi dasar untuk dialog0.
2.4 Kesimpulan
Adanya pelbagai macam agama dan iman kepercayaan di dunia kita ini adalah
suatu kenyataan. Berhadapan dengan kenyataan itu, setiap orang dan umat beriman
disapa untuk mengambil sikap. Dewasa ini dialog agama-agama terasa amat kuat
pengaruhnya, baik dalam kehidupan bermasyarakat yang pluri-religius maupun dalam
kehidupan Gereja.
0 Barbara Wood & Andrew Unsworth, “Pope Benedict XVI, Interreligious Dialogue and Islam”, dalam One in Christ, vol. XLI, no. 4, 2006, 91-94. sebagaimana dikutip oleh Krispurwana Cahyadi, SJ., Benediktus XVI, 274.
48
Gerakan praksis dialog dengan agama-agama lain telah, sedang dan pasti akan
terus dirintis di mana-mana. Dengan praksis semacam itu, Gereja semakin hari
semakin melangkah menuju ciri khas penghayatan iman yang baru: menyapa, terbuka
dan dialogis.
Ciri khas penghayatan iman demikian berawal dari pembaruan Konsili
Vatikan II. Konsili Vatikan II dapat dikatakan sebagai titik tolak hidup Gereja yang
dialogis. Gereja tampil lebih terbuka, dialogis, dan menyapa seluruh bangsa manusia.
Dialog menjadi semacam tonggak pembaruan hidup Gereja.
BAB III
DIALOG MENURUT HANS KÜNG
3.1 Pengantar
Rasanya tidak ada teolog abad ini yang membahas seluruh dimensi
kekristenan seluas Hans Küng. Luasnya cakupan perhatian Küng – mulai dari diskusi
mengenai Allah, Kristus, Gereja, hidup kekal, pembenaran, metode berteologi,
teologi agama-agama, persoalan etis sampai nisbah seni dan agama – membuat ia
disebut sebagai “a unique phenomenon in twentieth-century theology”0.
Werner G. Jeanrod secara ringkas mensurvei tapak-tapak pemikiran Küng dan
membaginya menjadi tiga periode utama: (1) konsentrasinya pada soal eklesiologi
sampai tahun 1970; (2) pembahasan tentang pokok-pokok iman Kristen (Allah, Yesus
Kristus, dan hidup kekal) selama dasawarsa 70-an; (3) refleksinya tentang metode
berteologi, dialog antara kekristenan dan agama-agama lain, dan juga antara agama
dan budaya sejak tahun 19830. Joas Adiprasetya menambah satu periode terakhir
(periode keempat) dalam teologi Hans Küng, yaitu: perhatiannya pada situasi
0 Joas Adiprasetya, “Etikosentrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter” dalam Soegeng Hardiyanto (Ed), Agama dalam Dialog: Pencerahan, Pendamaian, dan Masa Depan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001, 134. Alumnus STT Jakarta yang kemudian menjadi pendeta jemaat GKI Pondok Indah Jakarta. Ia menyelesaikan S2-nya di STT Jakarta dengan tesis tentang Global Ethics.
0 Joas Adiprasetya, “Etikosentrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter”, 135.
50
keagamaan dunia dan proyek Global Ethic-nya. Selain itu, masih ada beberapa isu
lain yang juga dibahas oleh Hans Küng, misalnya saja mengenai seni dan persoalan
etis0.
Dalam kesempatan ini, pada bab III ini, penulis ingin mengkhususkan
perhatian pada periode ketiga dalam pengembaraan teologi Hans Küng, tentang
metode berteologi dan dialog antara kekristenan dan agama-agama lain. Namun perlu
disadari bahwa perhatian Küng pada perjumpaan agama-agama pun sebenarnya sudah
dimulai sejak periode-periode awal dari karyanya.
3.2 Riwayat Hidup Hans Küng
3.2.1 Masa Kecil dan Keluarga
Hans Küng lahir pada tanggal 19 Maret 1928 di sebuah kota kecil yang
bernama Sursee di daerah pegunungan Sempachersee. Sebelum perang, kota ini
dinamakan Sursee. Küng lahir dalam keluarga yang berada dari pasangan Hans dan
Emma Gut. Ia lahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara, di antaranya tiga
anak laki-laki: Hans Küng, Georg, Rudolf; dan lima anak perempuan: Marlis, Rita,
Margitt, Hildegard dan Irene.
Ayahnya, Hans, bekerja sebagai pebisnis sepatu. Tidak mudah bagi ayahnya
untuk mengambil alih usaha sepatu milik Johann Küng (kakek Hans Küng) di tengah
krisis ekonomi dunia pada tahun 1936. Bahkan keadaan tersebut menjadi lebih buruk
0 Joas Adiprasetya, “Etikosentrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter”, 135.
51
lagi ketika Perang Dunia pecah tahun 1939. Hans Küng menggambarkan betapa berat
usaha ayahnya itu, “Bussiness are doing badly – what an effort it was to survive in
these years0.
Sedangkan Ibu Hans Küng, Emma, berasal dari keluarga petani dekat
Kaltbach. Setelah menikah dengan ayah Hans Küng, si ibu ikut membantu bisnis
sepatu milik suaminya. Oleh karena itu, setiap hari ibunya berperan sebagai seorang
pebisnis dan sekaligus ibu rumah tangga. Ibunya merupakan seorang yang bijak dan
punya skill yang mendalam, meskipun ibunya tidak pernah mendapatkan pendidikan
di sekolah dasar dan pendidikan di sekolah perempuan di Lucerne. Kemampuannya
hanya diperoleh melalui membaca dan mengikuti kursus lanjutan. Akan tetapi, ibunya
punya perhatian pada kehidupan rohani dan terbuka pada hal-hal yang baru.
Riang, energik, penuh perhatian, baik, dan juga kesungguhan merupakan
prinsip yang ia terima dari ibunya. Ada dua peristiwa dramatis yang dialami oleh
ibunya, yaitu kematian kedua puteranya, Rudolf (anak ketiga), ketika berumur kurang
dari setahun karena terkena pneumonia, dan Georg (anak kedua) ketika berumur 23
tahun karena telah lama menderita tumor otak.
Pada umur sebelas tahun, Küng mulai menyadari adanya panggilan untuk
menjadi imam. Ia mengisahkan bahwa panggilan menjadi imam ini terjadi begitu
awal dalam hidupnya dan melalui jalan yang sangat sederhana0. Kedua orangtuanya
tidak memberi reaksi terhadap pilihan hidupnya. Mereka tidak ingin membicarakan 0 Hans Küng, My Struggle for Freedom: Memmoirs, terj. John Bowden, Continuum, New York, 2003,
23.0 “For me this calling takes place very early and in a amazingly simple way.” Hans Küng, My
Struggle for Freedom: Memmoirs, 33.
52
soal panggilannya dan Küng pun tidak membicarakan keinginannya kepada kedua
orangtuanya.
Küng membicarakan keinginannya itu secara langsung kepada pastor
parokinya, Franz Xaver Kaufmann dan kepada temannya, Hans Zurkirchen. Dari
mereka berdua, Küng mendapat pencerahan terhadapan pilihannya ini, “that would
be a great calling for you…”0. Bagi Küng, panggilan ini merupakan panggilan dari
Allah. Melalui jalan ini, ia telah membuat keputusan fundamental pertamanya dalam
hidupnya. Ia telah memutuskan untuk berkarya demi suatu pelayanan imamat.
3.2.2 Riwayat Intelektual dan Pemikiran Teologi
3.2.2.1 Riwayat Intelektual Hans Küng
Demi mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang imam, ia melanjutkan
pendidikannya di Sekolah Tinggi Katolik di Lucerne yang dikelola oleh para
Benediktin dan Kapusin selama enam tahun dari 1942-1948. Pada tahun 1948, Küng
meninggalkan Jerman untuk melanjutkan studi filsafat dan teologi di Universitas
Kepausan Gregoriana, Roma. Di sana, ia menjalani studi yang bercorak neo-skolastik
selama tujuh tahun. Pada tahun 1951, ia berhasil menyelesaikan program lisensiat
filsafat dengan tulisan tentang humanisme ateistik dari seorang filsuf eksistensialis
Perancis, Jean Paul Sartre. Persembahan dirinya menjadi imam akhirnya tercapai.
Pada tahun 1954, ia ditahbiskan menjadi imam Katolik di Gereja Al Gesừ.
0 Hans Küng, My Struggle for Freedom: Memmoirs, 33.
53
Küng melanjutkan studi teologinya di Institute Catholique di Sorbone, Paris,
Perancis. Pada tahun 1955, ia menyelesaikan lisensiat teologi. Ia membuat karya tulis
tentang pemikiran teolog Protestan, Karl Barth (1886-1968) mengenai “pembenaran”.
Kemudian tema ini diangkat menjadi tema tesis doktoralnya yang ia selesaikan di
Perancis pada tahun 1957 dengan judul Justification: La doctrine de Karl Barth et
une reflexion Catholique (Pembenaran: Ajaran Karl Barth dan Suatu Refleksi
Katolik).
Pada tahun 1960, di usianya yang ke-30 tahun, ia diangkat sebagai profesor di
Fakultas Teologi Katolik di Universitas Tubingen-Jerman. Pada tahun 1962, Paus
Yohanes XXIII mengangkatnya sebagai penasihat teologi resmi dari Konsili Vatikan
II. Selama Konsili berlangsung, ia mengemban tugas memberi kuliah kepada
kelompok-kelompok para uskup tentang “reform dalam bidang liturgi dan doktrin,
persoalan-persoalan ekumenis, hubungan antara kekuasaan Paus dan uskup-uskup”0.
Küng sangat aktif. Namun pada tahun 1964, ia meninggalkan Konsili yang belum
selesai oleh karena ia merasa tidak puas dengan jalannya Konsili0.
Dengan pengetahuan yang mendalam di bidang teologi dogmatik dan
ekumenis, Küng diangkat menjadi direktur Lembaga Penelitian Ekumenis (Institute
0 Hermann Haring - Karl-Josef Kuschel, Hans Küng: His Work and His Way, Collin, Fount, London, 1979, 18.
0 Hans Küng menyebut tahun 1963 merupakan tahun visi, tahun pengharapan bagi Amerika dan bagi Gereja-gereja seluruh dunia. Di Amerika, ada Presiden John F. Kennedy, yang mempunyai visi mengenai “batas-batas baru” dari kemajuan, keadilan sosial, serta perdamaian bagi Amerika dan dunia. Bagi Gereja Katolik ada Paus Yohanes XXIII, yang telah membuka Konsili Vatikan II dan telah menguncang Gereja untuk bangun dengan visi religius, Aggiornamento. Akan tetapi, enam bulan kemudian, Paus Yohanes XXIII meninggal dunia. Konsili dilanjutkan oleh Paus Paulus VI. Akan tetapi, di dalam Gereja, ada ketakutan terhadap semangat Konsili pada pihak para paus dan Kuria, yang mulai memasang rem dan akhirnya menghentikan semua kemajuan lebih lanjut. Lih. Hans Küng, Mengapa Saya Tetap Kristen, terj. Hardono Hadi, Kanisius, Yogyakarta, 2009, 74-77.
54
for Ecumenical Research) di Tubingen pada tahun 1963. Sejak tahun 1980, setelah
peristiwa pencabutan missio canonica dari pihak Roma, ia meninggalkan Fakultas
Teologi Katolik di Tubingen. Akan tetapi, ia tetap menjadi direktur Lembaga
Penelitian Ekumenis tersebut.
3.2.2.2 Pemikiran yang mempengaruhi Teologi Hans Küng
Tidak dapat disangkal lagi bahwa teologi Hans Küng dipengaruhi secara
penuh oleh teolog Protestan Jerman yang paling berpengaruh pada saat itu, yaitu Karl
Barth. Sedangkan di bidang tafsir Kitab Suci, ia mengaku banyak belajar dari Rudolf
Bultmann.
Gaya bahasanya yang sangat keras dan kadang-kadang berbau “sloganistis”
membawa kita pada seorang filsuf yang bernama Frederich Nietzsche. Kesukaannya
terhadap Nietzsche dan pemikirannya ini tumbuh ketika ia mempelajari pemikiran
dari seorang filsuf humanis-ateistik, yaitu Jean-Paul Sartre, pada tahun-tahun
pertamanya di Roma.
Selain itu, Küng mengaku dirinya sebagai seorang Hegelian tulen. Dengan
kesadaran historisnya yang tinggi, teologi Küng hendak menelanjangi kebenaran
yang sudah terlalu banyak diselimuti pakaian tradisi. Oleh karena itu, metode
penelitian yang dipilihnya adalah metode historis-kritis.
3.2.3 Polemik dengan Roma
55
Kedudukan Hans Küng sebagai seorang pengajar teologi Katolik secara
yuridis berhenti sejak 18 Desember 1979 ketika Roma mencabut missio canonica,
yaitu hak resmi dari Vatikan untuk mengajar doktrin resmi Gereja Katolik. Vatikan
menilai bahwa apa yang diajarkan Hans Küng sudah tidak sesuai lagi dengan
semangat ajaran Katolik, bahkan menjadi penyebab kebingungan di antara orang-
orang beriman0.
Berbagai peringatan sudah dikirimkan oleh Roma dan para uskup Jerman ke
Tubingen, tempat Hans Küng mengajar. Salah satu gagasan utama yang mendorong
Roma mencabut missio canonica Hans Küng adalah menyangkut pandangannya yang
“meragukan dogma tentang infalibilitas di dalam Gereja” atau paling tidak mengakui
adanya “kemungkinan salah dari pernyataan-pernyataan doktrinal” yang dikeluarkan
Gereja0.
Bukunya Infalibile? An Equiry (1971) menyebabkan heboh besar. Mereka
yang dahulu menduKüng Küng, seperti Karl Rahner, menolak sikap Küng. Mereka
mulai berpikir serius apakah Küng masih dapat dianggap teolog Katolik-Roma.
Konferensi uskup-uskup Jerman menolak buku tersebut. Tuntutan yang bertele-tele
terhadap Küng terjadi di Roma, namun hanya menghasilkan teguran pada tahun 1975.
Pemilihan Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1978 membawa sikap yang
lebih tegas di Roma. Pada akhir tahun 1978, Kongregasi untuk Ajaran Iman dengan
0 Pernyataan dari Kongregasi untuk Ajaran Iman terhadap beberapa point dari Pengajaran teologi Hans Küng dalam Leo Scheffczyk, On Being a Christian: The Hans Küng Debate, Four Courts Press, Dublin, 1982, 85-87.
0 Gugatan Hans Küng tentang dogma infalibilitas dituangkan dalam bukunya Infalibile? An Equiry, Collins, London, 1971.
56
persetujuan paus menyatakan bahwa Küng tidak dapat lagi dianggap sebagai teolog
Katolik. Ia juga tidak dapat berfungsi sebagai pengajar. Ia tidak diekskomunikasi dan
tidak kehilangan statusnya sebagai imam, tetapi ia tidak boleh lagi dianggap sebagai
teolog Katolik-Roma.
Ini merupakan usaha yang licik untuk meniadakan pengaruhnya, tanpa
membuatnya menjadi martir0. Gereja juga menuntut Küng dilepas sebagai guru besar
teologi Katolik di Universitas Tübingen. Akan tetapi, pemerintah memberinya jabatan
maha guru khusus kepadanya.
3.2.4 Karya-Karya Hans Küng
Hans Küng termasuk penulis yang sangat produktif. Di samping menulis
buku, ia juga menyunting banyak buku dan menulis ratusan artikel. Berikut sebagian
buku-buku yang ditulis oleh Hans Küng:
Justification: The Doctrine of Karl Barth and a Catholic Reflection (1964)
Infallible? An Enquiry (1971)
On Being a Christian (1976)
Signpost for the Future: Contemporary Issues facing the Church (1978)
Does God Exist (1980)
Eternal Life? Life After Death as a Medical, Philosophical, and Theological
Problem (1984)
0 Ali Ardianto, “Teologi Katolik – Roma”, diakses dari http://imajialiardianto.blogspot. com/2011/03/ teologi-katolik-roma.html (16 Desember 2011).
57
Christianity and the World Religions: Paths of Dialogue with Islam,
Hinduism, and Buddhism (1987)
Why I am Still a Christian (1987)
Christianity and Chinese Religions (dengan Julia Ching, 1989)
Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View (1990)
Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (1991)
Judaism: Between Yesterday and Tomorrow (1992)
Christianity: Its Essence and History (1995)
A Global Ethic for Global Politics and Economics (1997)
The Catholic Church. A Short History (2001)
Women in Christianity (2001)
Tracing the Way. Spiritual Dimensions of the World Religions (2002)
My Struggle for Freedom: Memoirs (2003)
The Beginning of All Things – Sciene and Religion (2007)
Islam: Past, Present, and Future (2007)
3.3 Model Teologi Dialogal
58
Sebelum melihat model-model teologi dialogal yang diusulkan oleh Hans
Küng, sebaiknya kita melihat terlebih dahulu pengaruh teori perkembangan ilmu
pengetahuan dari Thomas Kuhn yang menjadi sumber inspirasi bagi langkah-langkah
radikal teologinya.
3.3.1 Paradigma Post-Modern
Bukunya yang berjudul Theology for the Third Millennium diakuinya sebagai
peralihan mendasar dari era modern ke era postmodern. Buku ini ditulisnya untuk
menemukan secara baru fungsi kritis dan berdaya bebas, baik dari individu maupun
masyarakat. Masa depan yang ditawarkan era postmodern mampu menyediakan dasar
bagi pencarian fungsi tersebut.
Dengan membatasi pemahamannya tentang terminologi postmodern sebagai
kritis atas modernitas, sebagai “pencerahan atas Pencerahan”0, Küng langsung
memasuki pertanyaan penting, bagaimana itu semua dikerjakan? Kemudian ia
menjawab sendiri pertanyaan tersebut dengan menyatakan secara dialektis bahwa
modernitas tidak boleh dipandang sebagai sebuah finished project yang utuh dan
mantap atau sebagai sebuah unfinished project, namun lebih sabagai sebuah
paradigma yang sudah menjadi tua dan perlu segera dibangun suatu paradigma yang
0 Paradigma postmodern dijelaskan sebagai ‘pencerahan daripada Pencerahan’; di mana akan ada tanggung jawab sains; di mana teknologi dan industri akan melayani kemanusiaan; di mana demokrasi sosial akan dibentuk untuk mewujudkan keadilan dan kebebasan dunia secara luas.Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, Paperback: Doubleday, New York, 1990, 131.
59
baru: postmodern.0 Dengan demikian, era postmodern harus dipandang sebagai
sebuah keharusan demi suatu bentuk hidup bersama yang kritis dan saling
memperkaya.
3.3.1.1 Paradigm Shift: Belajar dari Thomas Kuhn
Untuk memberi dasar heuristik0 dan epistemologis demi semua tugasnya ini,
Küng dengan sengaja memakai analisis pergeseran paradigma (paradigm shift) yang
dikemukakan Thomas Kuhn. Tokoh filsafat ilmu dari USA ini cukup dikenal melalui
bukunya The Structure of Scientific Revolutions0.
Thomas Kuhn berpendapat bahwa cara kerja ilmu pengetahuan dilandasi dan
dibimbing oleh suatu paradigma tertentu. Dalam keadaan normal, ilmu pengetahuan
dipahami sebagai model penjelasan ilmiah akan fenomena dari bidang yang
bersangkutan. Pada tahap ini, otoritas ilmu pengetahuan ini tidak sanggup lagi
menjelaskan gejala-gejala dengan teorinya. Anomali demi anomali mulai muncul dan
menimbulkan krisis bagi ilmu pengetahuan itu sendiri. Krisis ini kemudian
mendorong orang untuk mempertanyakan paradigma yang ada dengan paradigma
yang sesuai.
0 Joas Adiprasetya, “Etikosentrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter” dalam Soegeng Hardiyanto (Ed), Agama dalam Dialog, 135.
0 Heuristik adalah konsep teoretis yang coba menemukan jalan penanganan sebuah masalah. Lih. C. A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, Gramedia, Jakarta, 1985, 7. Konsep teoretis ini mendahului sebuah penelitian ilmiah.
0 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago, The University of Chicago Press, Chicago, 1962 sebagaimana dikutip oleh Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 8.
60
Perubahan cara memandang ini meliputi seluruh cara berpikir, sehingga dapat
dikatakan bahwa perubahan yang terjadi bersifat paradigmatis. Apabila ada yang
menemukan anomali-anomali pada kerangka perumusan paradigma lama, anomali-
anomali ini tidak bisa diatasi tanpa penawaran sebuah paradigma baru. Begitulah
ilmu berkembang. Sebagai contoh:
Ketika sistem pemikiran geosentris dari Ptolomaius (yang diambil alih menjadi pemahaman resmi Gereja pada Abad Pertengahan) tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang perkembangan penemuan alam semesta, seluruh sistem digantikan oleh pemikiran heliosentris dari Kopernikus. Demikian juga sistem pemahaman alam semesta dari Isaac Newton yang setelah diterima berabad-abad lamanya, digantikan oleh sistem pemahaman alam semesta dari Albert Einstein. Akan tetapi meskipun terjadi perubahan yang dapat dikatakan “revolusioner” (dalam arti ilmu tidak berkembang melainkan berubah), sebenarnya masih ada kesinambungan di antara paradigma lama dengan paradigma baru. Kumpulan data yang ada tetap ditangani seperti sebelumnya, tetapi sekarang dilihat dari kacamata yang berbeda0.
Jadi, di satu pihak ada ketidaksinambungan, namun di lain pihak juga ada
kesinambungan. Hal ini penting bagi Hans Küng dalam merumuskan tugas teologi
sebagai “bukan saja menemukan kembali melainkan juga merumuskan kembali
tradisi”0.
Küng melihat bahwa teori Thomas Kuhn dalam sejarah ilmu pengetahuan
dapat dipakai untuk menjelaskan sejarah perkembangan ilmu teologi. Mulai sejak itu,
percakapan teologi Küng selalu diwarnai dengan analisis pergeseran paradigma ini.
Awalnya ia memahami paradigma sebagai contoh atau pola. Namun, dengan 0 Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, CV. Remaja Karya, Bandung, 1989, 85,
sebagaimana dikutip oleh Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 9.
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 154.
61
mengikuti definisi yang diberikan Kuhn, Hans Küng memahami paradigma sebagai
"sebuah konstelasi seluruh kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dibagikan
oleh anggota suatu masyarakat"0.
3.3.1.2 Perbedaan antara Agama dan Paradigma
Dalam buku Theology for the Third Millennium, Küng memperlihatkan
pergeseran paradigma dalam sejarah (intra) kekristenan sendiri. Küng mulai dengan
menyatakan bahwa apa yang kita butuhkan pada masa kini adalah sebuah analisis
yang terorientasi secara global tentang situasi religius masa kini. Sebelum
menerangkan pergeseran paradigma ini, dalam upayanya untuk melihat situasi
religius dunia masa kini, Hans Küng mencoba membuat pembedaan mendasar antara
terminologi agama dan paradigma.
Dalam kasus pindah agama (conversion) misalnya, perpindahan seorang
Katolik menjadi seorang Protestan tidak dapat dipandang sebagai perpindahan agama,
namun harus dilihat sebagai perubahan paradigma. Akan tetapi, perpindahan seorang
Buddhis menjadi seorang Katolik adalah perpindahan agama sekaligus perubahan
paradigma0.
Berbeda dengan definisi paradigma di atas, Küng memahami bahwa agama
senantiasa berurusan – seperti yang dikatakan oleh Rudolf Otto – dengan “Yang
Kudus”, bersinggungan dengan pesan dan jalan keselamatan. Oleh karena itu, agama
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 211.0 Bdk.. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 210-211.
62
tidak dapat disamakan dengan paradigma, namun agama dihidupi dan dialami di
dalam paradigma0.
3.3.1.3 Paradigm Shift dalam Teologi
Dalam sejarah teologi, Küng juga memperhatikan adanya pergeseran-
pergeseran paradigma. Menurutnya, sejak abad ke-1 sampai abad ke-20, telah terjadi
delapan perubahan paradigma di bidang teologi, yaitu: (1) Paradigma apokaliptik dari
kekristenan primitif; (2) Paradigma Hellenistik dari Gereja Perdana; (3) Paradigma
Katolik Roma dari Abad Pertengahan; (4) Paradigma Protestan – Reformasi; (5)
Paradigma Roma Katolik – kontra Reformasi; (6) Paradigma Protestan – Ortodoks;
(7) Paradigma Modern – Pencerahan; dan (8) Paradigma Kontemporer-Ekumenikal0.
0 Joas Adiprasetya, “Etikosentrisme Hans Küng dan Soteriosentrisme Paul F. Knitter”, dalam Soegeng Hardiyanto (Ed), Agama dalam Dialog, 137.
0 Yang membuatnya layak disebut paradigma adalah karena telah mengalami pergeseran zaman (epochal shifts) dan karena itu dapat diperiodisasi (periodization). Kemudian yang juga menentukan adalah krisis-krisis di dalam dunia berteologi, dan yang ketiga, meskipun tidak disangkal ada teolog-teolog individual raksasa (seperti Karl Barth yang mengubah perjalanan teologi), seorang teolog maupun teologi secara keseluruhan tidak dapat begitu saja menciptakan paradigma. Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 13. Pergeseran paradigma dalam teologi:a. Paradigma Apokaliptik: teologi-teologi Kitab Suci. Di sini, Perjanjian Baru (Gereja Perdana)
mendapat tempat istimewa dalam Teologi Kristiani.b. Paradigma Hellenistik dari Gereja Perdana: kekristenan mulai masuk dan dipengaruhi oleh
budaya Yunani, Helenis. Muncul sejumlah sistem teologi yang nampaknya masih tumpang tindih satu dengan yang lain. Teologi bersifat apologetic yaitu dalam rangka membela iman kritiani.
c. Paradigma abad pertengahan: Teologi berkembang di universitas-universitas. Teologi dipengaruhi oleh peran akal budi.
d. Paradigma Reformasi: Dalam teologi, ada pemahaman baru tentang rahmat, juga kelahiran teologi alkitabiah yang sangat Kristosentris.
e. Paradigma kontra-reformasi: kembali kepada filsafat dan teologi Thomas Aquinas.f. Paradigma Ortodoks: teologi yang berdasarkan pada Alkitab. Alktitab sebagai satu-satunya
sumber otoritas dalam berteologi.g. Paradigma modern-pencerahan: teologi didirikan atas dasar keyakinan pada keunggulan
rasionalitas dan menempatkan Allah dengan akal budi.h. Paradigma Kontemporer-Ekumenikal: perkembangan teologi selanjutnya adalah perkembangan
teologi menuju paradigm kritis modern. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An
63
Perubahan paradigma ini terjadi karena asumsi-asumsi dasarnya memang
sudah tidak bisa dipercayai lagi. Krisis kepercayaan ini muncul sebagai akibat dari
penemuan-penemuan baru, seperti di bidang filsafat, ilmu pengetahuan dan
perubahan politik. Di setiap awal perubahan, sering muncul perlawanan keras dari
pihak yang ingin tetap mempertahankan paradigma lama, meskipun secara de facto
paradigma tersebut sudah tidak memadai.
Betapapun kuatnya perlawanan, sejauh paradigma baru sudah terbentuk atau
dirumuskan, maka paradigma yang ada dengan sendirinya akan menjadi “paradigma
kuno”. Perubahan atau pergeseran paradigma tidak dapat dihindari. Dalam dunia
teologi, semangat perubahan ini terungkap dalam semboyan: Theologia semper
reformanda (Teologi selalu harus diperbaharui).
Dalam masa transisi dari era modern ke era postmodern, Hans Küng melihat
beberapa faktor penting yang membuat paradigma dalam teologi mengalami krisis.
Faktor-faktor itu meliputi: ilmu pengetahuan (dari Copernicus sampai dengan Darwin dan Einstein), filsafat (dari Descartes, Kant, Hegel, sampai dengan Heidegger dan Whitehead), demokrasi (dari American Declaration of Independence dan Bill of Right sampai dengan Revolusi Perancis), kritik agama (dari Feuerbach, Marx, Nietzsche sampai dengan Freud), ilmu-ilmu sosial (perkembangan ilmu psikologis dan sosiologis), eksegese-sejarah (dari Spinoza sampai dengan Strauss), dan gerakan-gerakan pembebasan (gerekan melawan ketidakadilan gender, ketidakadilan sosial, rasisme, dan kolonialisme)0.
Faktor-faktor ini bersifat kritis terhadap paradigma yang ada. Oleh sebab itu,
setiap usaha untuk mengadakan pergeseran paradigma harus memperhitungkan
Ecumenical View,128.0 Lih. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 162-163.
64
faktor-faktor tersebut. Kemudian muncul pertanyaan, paradigma macam apa yang
cocok dengan era postmodern? Hans Küng menyebut empat dimensi yang harus
memancar dari paradigma postmodern, yaitu: dimensi alkitabiah, historis, ekumenis,
dan politis.
Dari keempat dimensi ini, Hans Küng ingin menjelaskan bahwa ciri khas
teologi Kristen yaitu mengajarkan iman Kristiani, yang bersumber pada Alkitab
(dimensi alkitabiah), yang telah diteruskan berabad-abad oleh masyarakat gereja
(dimensi historis). Dalam perkembangannya, teologi Kristen mengalami kontinuitas
dan diskontinuitas terhadap teologi sebelumnya. Oleh karena itu, teologi Kristen
harus tetap terbuka kepada teologi-teologi sebelumnya (dimensi ekumenis).
Pendekatan-pendekatan teologi merupakan usaha-usaha untuk menanggapi
pergumulan-pergumulan masyarakat, sosial dan budaya sesuai dengan zaman ini
(dimensi politis).
Dalam bidang teologi, ia mengusulkan suatu model teologi postmodern yang
disebut teologi ekumenis-kritis. Model teologi ini dianggapnya sesuai untuk
kebutuhan dialog antaragama.
3.3.2 Teologi Ekumenis-Kritis
3.3.2.1 Konsensus Teologi
65
Teologi sebagai disiplin ilmu yang membahas masalah-masalah iman dan
ketuhanan seharusnya jangan merupakan ilmu yang hanya bisa dipahami oleh orang-
orang yang beriman saja. Teologi jangan lagi bersifat esoteris. Teologi hendaknya
bisa dipahami oleh setiap orang yang dengan sungguh-sungguh ingin mencari
kebenaran, termasuk kelompok orang-orang yang tidak beriman. Untuk itulah dialog
antaragama menuntut suatu model teologi yang bisa dipahami oleh kelompok-
kelompok agama lain. Teologi yang bercorak denominasional harus berubah menjadi
teologi yang ekumenis.
Corak esoteris dari setiap agama-agama dunia harus terarah baik ad intra
maupun ad extra. Secara ad intra, corak ini akan menciptakan pluralisme teologi,
misalnya: teologi dialektis, teologi eksistensial, teologi hermeneutis, teologi politis,
teologi pembebasan, teologi feminis, black theology dan teologi dunia ketiga0.
Pengakuan akan adanya pluralisme berarti mengandaikan kemungkinan adanya
dialog ilmiah, dan bukannya inquisi atau penyelidikan terhadap teologi yang tidak
sejalan dengan teologi “resmi” yang uniform. Secara ad extra, corak ekumenis ini
menuntut keberanian untuk berdialog dengan agama-agama lain, termasuk ideologi-
ideologi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan setempat0.
Langkah pertama yang dilakukan Hans Küng adalah mencari konsensus
dalam teologi. Usahanya ini bisa dilihat dalam karyanya yang berjudul Consensus in
Theology?0. Dalam bukunya ini, ia mengajukan konsensus dalam kriteria dan metode 0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 128.0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 162.0 Hans Küng - Edward Schillebeeckx, Consensus in Theology? A dialog with Hans Küng and
Edward Schillebeeckx, (Edited by Leonard Swidler), The Westminster Press, Philadelphia, 1980.
66
bagi teologi masa kini. Melalui konsensus ini, ia bermaksud menerobos dinding-
dinding esoteris dan batas-batas denominasional.
Hans Küng sendiri tidak bermaksud untuk mengatasi semua perbedaan di
antara agama-agama. Yang dilakukanya ialah menerobos doktrin-doktrin atau apa
yang “dianggap” doktrin yang vital. Küng mengawali usahanya ini dalam lingKüngan
Katolik, baru kemudian dengan Gereja Reformasi.
3.3.2.2 Kembali ke Basic: Kitab Suci dan Manusia
Dalam model teologi ekumenis-kritis, Küng bermaksud untuk kembali ke
Kitab Suci dan manusia sebagai sumber dan pusat dari refleksi teologinya.
Menurutnya, inilah dua kutub yang menjadi kerangka dasar teologinya, yaitu: Kitab
Suci dan pengalaman manusia. Kitab Suci harus menjadi sumber dan standar norma
bagi teologi dan pengalaman manusia menjadi horizon bagi teologi (locus
theologicus). Küng sendiri tidak menolak tradisi dalam Gereja sebagai sumber dan
norma bagi teologi.
Dalam bukunya Theology for the Third Millennium, ia mengatakan bahwa
teologi harus “masuk ke sumber” dan “keluar ke samudera yang menganga”0. Di sini,
tugas teologi adalah mengadakan konfrontasi kritis terhadap dua kutub ini. Ia
merumuskan refleksi teologisnya ke dalam tiga langkah, yaitu0:
a. Mengadakan analisa pengalaman manusia masa kini (kutub pertama);
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 100.0 Hans Küng - Edward Schillebeeckx, Consensus in Theology? A dialog with Hans Küng and Edward
Schillebeeckx, (Edited by Leonard Swidler), The Westminster Press, Philadelphia, 1980, 12.
67
b. Mencari struktur dari pengalaman dasar manusia sebagaimana terungkap
dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja (kutub kedua);
c. Mengadakan konfrontasi kritis antara dua kutub.
Dari kedua kutub ini, Küng melihat bahwa kedua kutub ini tidak selamanya
harmonis. Dari segi ini, ia berbeda pendapat dengan Schillebeeckx. Küng lebih
memilih relasi konfrontasi kritis antara kedua kutub daripada gagasan korelasi
kritisnya Schillebeeckx0. Menurut Küng, korelasi kritis tidak selamanya terjadi, yang
sering muncul justru konflik. Maka dari itu, yang dicari dari kedua kutub tersebut
adalah konfrontasi kritisnya. Konfrontasi yang dimaksudkan adalah proses
pemaknaan terus-menerus dalam terang Kitab Suci sebagai norma definitif terhadap
pengalaman manusia di zaman sekarang.
3.3.3 Metode Historis-Kritis
Küng menggunakan metode historis-kritis sebagai unsur integral dalam
teologinya. Inilah teologi yang sadar akan tanggung jawabnya akan etos ilmiah yang
menyangkut kebenaran dan akan disiplin metodologisnya. Tanpa teologi yang kritis,
agama tidak akan pernah bisa bersikap kritis terhadap masyarakat.
0 F. X. E Armada Riyanto, CM., Dialog Interreligius, 234.
68
Dalam lingkungan agama Kristen, melalui metode ini, ia berusaha
menemukan kembali pribadi dan pesan Yesus dari Nazaret sebagaimana yang
diungkapkan dalam Perjanjian Baru. Ia menulis:
"Jangan sampai ada kontradiksi antara Kristus iman dan Yesus historis. Kristus iman harus dapat diidentifikasi sebagai Yesus historis. [...] Penelitian historis-kritis tentang Yesus dapat membantu kita untuk melihat bahwa Kristus iman yang kita percaya adalah benar-benar manusia Yesus dari Nazareth ...“0.
Menurut Küng, metode historis-kritis yang dipakainya ini, membantu kita
mengenal Yesus historis yang benar dan asli, serta memurnikannya dari bayang-
bayang dogma, pietisme, dan fundamentalisme.
Selanjutnya, Hans Küng juga memikirkan pergumulan kristosentris yang
selama ini dipikirkan oleh para teolog, seperti: Karl Rahner (1979), S.J. Samartha
(1981), maupun John Cobb (1987). Pergumulan kristosentris berarti pergumulan
dengan berpusat pada pembicaraan tentang Kristus sebagai pemenuhan wahyu Allah
yang unik dan final (lih. Kol 2:9-10). Maka inkarnasi/penjelmaan Yesus menjadi
manusia merupakan cara pewahyuan yang paling penuh dari Allah Sang Sabda.
Pandangan ini sekaligus hendak mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat
universal untuk seluruh umat manusia. Dari sebab itu, keselamatan tidak bisa
dipisahkan dari pribadi Kristus.
0 There must be no contradiction between the Christ of faith and the Jesus of history. The Christ of faith must be able to identified as the Jesus of history. […] historical-critical research on Jesus can help us to see that the Christt of faith whom we believe in is really the man Jesus of Nazareth… .” Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 111.
69
Sebagai orang Kristen, kita mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah Cahaya
kita0. Dalam dunia yang kacau sekarang ini, orang-orang Kristen menemukan
dukungan rohani dalam Yesus, “Cahaya (yang) bersinar dalam kegelapan” (Yoh
1,15)0. Esensi kekristenan bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi seorang pribadi yang
historis dan konkrit, yaitu Yesus Kristus. Dia telah menjadi suatu cahaya dan
memberikan pengharapan pada orang yang tak terbilang jumlahnya.
Menurut Hans Küng, Yesus Kristus tidak dibatasi hanya pada
halaman-halaman Kitab Suci atau tembok-tembok Gereja. Kitab Suci Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru menunjukkan bahwa orang non-Yahudi dan non-
Kristen dapat menerima Allah yang benar dan bahwa Allah ada bersama mereka0.
Selain itu, Hans Küng juga menyatakan bahwa Yesus, Sang Cahaya, dapat
berdampingan secara selaras dengan cahaya-cahaya lain, seperti Gautama dalam
agama Budha maupun Quran dalam agama Islam. Hal ini disebabkan karena Roh
Kristus. Contoh konkrit yang dilakukan Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang
yang berkeyakinan lain: mengakui martabat mereka dan memperlakukan mereka
dengan hormat0.
3.3.4 Berhadapan dengan Teologi Konsili Vatikan II dan Konsekuensinya
0 Hans Küng, “Kristus Cahaya Kita dan Agama-Agama Dunia” terjemahan dari Christ, Our Light, and World Religions, in Theology Digest Volume 42:3, 1995, 215-219, dalam Rohani, XLV/9, September 1998, 378.
0 Hans Küng, “Kristus Cahaya Kita dan Agama-Agama Dunia”, 378.0 Hans Küng, “Kristus Cahaya Kita dan Agama-Agama Dunia”, 379.0 Hans Küng, “Kristus Cahaya Kita dan Agama-Agama Dunia”, 379.
70
Küng mengakui bahwa Konsili Vatikan II (1962-1965) telah memberi angin
segar bagi pembaharuan-pembaharuan di bidang teologi. Akan tetapi pembaharuan
teologi tanpa perubahan paradigm yang ada, seperti halnya teologi neo-skolastik yang
berkembang pada abad XIX seperti J.H. Oswald dan M.J. Scheeben0, tidak akan
sampai pada komunitas ilmiah para teolog.
Setelah Vatikan II, Hans Küng menggambarkan bahwa teologi pada saat itu
dikuasai oleh dua arus. Arus pertama ialah sentripetal seperti yang dilakukan oleh
Henri de Lubac, Jean Danielou, Hans Urs Balthasar dan Karl Rahner; serta arus
kedua ialah sentrifugal seperti teologi pembebasan di Amerika Latin.
Berhadapan dengan berbagai macam model teologi yang berkembang sejak
Vatikan II, ia menempatkan dirinya pada posisi “terletak di tengah-tengah antara
oportunisme eklesiastikal dan separatisme non-eklesiastikal”.
Saya tidak radikal kiri-luar dalam Gereja maupun konservatif secara politik. Ini adalah sesuatu yang tergantung pada sudut pandang dari mana Anda membuat penilaian. Saya sudah menjelaskan bahwa saya bisa dengan menempatkan alasan pribadi berkaitan dengan spektrum aktual dari pendapat
0 Dalam teologi ekumenis-kritisnya, Hans Küng mengkritik dengan keras teologi neo-skolastik yang dianggapnya tidak kritis dan tidak biblis, melainkan dogmatis-tradisionalis. Teologi neo-skolastik artinya teologi yang mengedepankan rumusan dogmatis filosofis sehingga refleksi iman menampilkan suatu bahasa yang valid (F.X. E Armada Riyanto, CM., Dialog Interreligius, Kanisius, Yogyakarta, 2010, 130). Teologi neo-skolastik (Kontra-Reformasi) lebih bercorak deduktif-rasional. Disebut deduktif karena penalarannya masih menggunakan dasar logika Arsitotelian untuk mengadakan deduksi dari ajaran resmi Gereja. Suatu ajaran bisa diterima bukan pertama-tama karena ajaran itu benar, melainkan karena ajaran itu tidak bertentangan dengan ajaran Gereja. Teologi semacam ini mendapat bentuknya dalam model teologi Denzinger. Pada tahun 1854, Joseph Heinrich Denzinger menerbitkan sebuah buku pegangan yang berisikan dokumen-dokumen resmi Gereja dengan judul Enchiridion Sympolorum et Definitiorum. Pada tahun 1973, buku ini direvisi oleh Adolf Schoenmetzer. Kata kunci dalam model teologi Denzinger ini adalah ecclesia, papa, dan magisterium. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 125, 185-186.
71
dalam Gereja sebagai milik centro-sinistra, sebagai kiri-tengah, antara konservatif di sebelah kanan dan revolusioner di kiri0.
Ternyata jalur teologi Küng lebih mirip dengan aspirasi politik. Dia mengaku
dirinya termasuk golongan politik centra-sinistra (kiri-tengah), yaitu antara
konservatif dan revolusioner.
Pada kesempatan ini, ia juga menegaskan corak teologi ekumenis-kritisnya: 1)
bukan teologi yang oportunistik-konformis, tetapi teologi yang selalu mencari apa
yang benar; 2) bukan teologi yang otoriter, tetapi teologi yang bebas; 3) bukan teologi
yang tradisionalis, tetapi teologi yang kritis; 4) bukan teologi yang denominasional,
tetapi teologi yang ekumenis0.
Teologi ekumenis-kritis hanya bisa dilakukan kalau kita berani mendayung di
samudera pengalaman manusia zaman sekarang dan sekaligus kembali ke sumber
pokok teologi, yaitu Kitab Suci dengan jalan metode historis-kritis.
3.4 Menemukan kembali Vitalitas Agama
3.4.1 Era Postmodern dan Peran Agama
0 “I am neither a radical outside-left in the Church nor politically conservative. This is something that depands on the point of view from which you are making the judgement. I have already made it clear that I can with reason place myself with regard to the actual spectrum of opinion within the Church as belonging to the centro-sinistra, as being centre-left, between the conservatives on the right and the revolutioneries on the left.” Hermann Haring - Karl-Josef Kuschel, Hans Küng: His Work and His Way, 177.
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 203.
72
Mengawali bukunya, Theology for the Third Millennium (1988), Küng
melukiskan periode ini sebagai periode transisi dari zaman modern ke zaman
postmodern. Pada periode ini agama mengalami krisis kredibilitas. Melalui bukunya
ini, Küng hendak mencari jalan bagi agama untuk melakukan fungsi kritis bagi
kehidupan manusia secara individual maupun bersama0. Demikianlah, agama harus
menemukan kembali kredibilitas dan vitalitasnya.
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan yang diperoleh pada era modern,
orang zaman sekarang tidak lagi mendewa-dewakan “tuhan-tuhan” yang diciptakan
pada era modern seperti: akal, ilmu pengetahuan, teknologi, industrialisasi, negara,
dan kemajuan. Komitmen orang zaman sekarang telah kembali terarah kepada nilai-
nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup sekitarnya. Di tengah-tengah keprihatinan
manusia untuk melindungi kemanusiaannya itulah peran agama sungguh dinantikan.
Akan tetapi, peran yang diharapkan bukanlah peran paternalistik seperti yang
terjadi pada abad pertengahan dan modern. Dengan melewati abad Pencerahan dan
modern, bangsa manusia menjadi semakin dewasa atau mengalami apa yang disebut
“emansipasi”0. Oleh karena itu, hubungan antara agama dan manusia maupun
hubungan antar agama-agama dunia harus ditinjau lagi secara dewasa. Dalam masa
transisi inilah Hans Küng tidak hanya melihat tantangan-tantangan baru bagi agama,
melainkan juga kesempatan baru.
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, xv.0 Kata “emansipasi” telah mengalami pergeseran pengertian: 1) pembebasan seorang anak dari kuasa
orang tua atau seorang budak dari tuannya; 2) persamaan warga negara tanpa pembedaan ras, agama, dan jenis kelamin; 3) hak untuk menentukan nasib diri sendiri (self-determination) sebagai lawan dari otoritas resmi seperti struktur sosial yang tidak adil. Hans Küng, On Being a Christian, Image Book, New York, 1984, 27.
73
Hans Küng melihat bahwa usaha untuk meniadakan agama yang dilakukan
secara sistematis dan ilmiah oleh para filsuf ateistik modern seperti Feuerbach, Marx,
dan Nietzche menemui jalan buntu0. Kebuntuan ini tidak terlepas dari pengabaian
mereka akan kodrat manusia yang selalu merindukan apa yang disebut “Allah” dalam
agama.
Abad Pencerahan dan Modern memberikan angin kebebasan intelektual pada
orang modern untuk menyatakan bahwa pengakuan akan “Yang Mutlak” dan “Yang
Terakhir” tidak hanya tidak masuk akal, tetapi juga bertentangan dengan kebebasan
manusia di dunia. Namun yang terjadi atas nama “tuhan kebebasan” manusia justru
terancam proses pembudakan sampai ke titik nol; atas nama “tuhan kemanusiaan”
manusia justru terancam proses dehumanisasi tanpa batas. Demikianlah, manusia
mengalami krisis untuk menentukan komitmen dasar dan mutlak bagi hidupnya di
dunia ini.
Hans Küng juga memperingatkan bahwa ancaman dari kelompok yang
disebutnya sebagai kaum tradisionalis tidak kurang berbahaya seperti ancaman yang
datang dari “dewa-dewa” modern0. Berhadapan dengan bahaya dari kelompok
tradisional tersebut, Hans Küng menulis buku kritis yang menggambarkan tantangan
dan kesempatan bagi agama dan para pemeluknya. Tujuannya ialah menemukan
kembali jiwa agama, supaya dapat disumbangkan pada humanisme sekuler dan
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 6.0 Hans Küng, On Being a Christian, 19.
74
nihilistik. Menurutnya, agama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Justru agama menyempurnakan kemanusiaan.
3.4.2 Mencari Makna Agama
Dalam sejarah, penggunaan kata “agama” berasal dari kata “religio” (latin).
Agama dalam arti konkretnya lebih menunjuk segi religiositas seseorang daripada
suatu konsep yang abstrak0. Pada abad ke-16 terjadi generalisasi dalam penggunaan
konsep agama. Pada saat itu, kata “agama” dipakai secara jamak. Dalam hal ini, cara
menerangkan kata “agama” sama rumitnya dengan cara menerangkan kata “Allah”
dan “waktu”. Hans Küng sendiri mengutip kata-kata Agustinus, “Aku tahu apa itu
waktu, sebelum engkau memintaku untuk menjelaskannya”0.
Guna menemukan kembali kredibilitas agama dan mencari landasan kokoh
bagi suatu dialog yang jujur, Hans Küng berusaha mencari klarifikasi tentang konsep
“agama”. Menurutnya, agama sulit didefinisikan sebagaimana seni0. Baginya, agama
tidak untuk didefinisikan, apalagi diperdebatkan. Agama itu dihayati dan dihidupi.
Agama bukan merupakan “sesuatu” dari luar diri manusia dan kemudian
ditambahkan ke dalam kemanusiaannya.
Berhadapan dengan pemeluk agama lain, seseorang harus siap menghadapi
dan mengakui perbedaan mendasar dalam hal pandangannya tentang dunia, hidup,
0 Bdk.. Illard G. Oxtoby, The Meaning of Other Faiths, The Westminster Press, Philadelphia, 1983, 35.
0 Hans Küng, Christianity and the World Religions, Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism, Collins, London, 1987, xv.
0 Religion is as hard to difine as art . Hans Küng, Christianity and the World Religions, xv.
75
cara berperilaku dan bersikap dan sebagainya. Dalam hal ini, agama bersifat konkret
bukan hanya menyangkut hal-hal teoritis melainkan hidup sebagaimana yang kita
hayati. Agama juga menyangkut soal relasi dan perjumpaan dengan “Yang Ilahi”.
Dari eksistensinya sebagai manusia, manusia membutuhkan komitmen dasar
(basic trust) pada makna, nilai, dan norma. Maka dalam hal ini, agama memberikan
makna yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi,
serta memberikan komunitas dan “rumah” rohani bagi manusia0.
3.4.3 Kriteria: Seberapa Jauh Kebenaran Sebuah Agama
Sehubungan dengan isu paradigma ini, Hans Küng mau tidak mau masuk
dalam isu lainnya, yaitu seberapa jauh kita memandang kebenaran agama-agama lain.
Pada satu sisi – khususnya pada periode-periode awal – ia pun menggumuli persoalan
kebenaran (the truth) dalam suatu diskursus dengan para teolog. Pertanyaan tentang
keunikan dan normativitas Kristus dengan serius digumulinya.
Akan tetapi, di lain sisi, kita mendapati adanya perkembangan cara berpikir
Küng dalam menanggapi kepelbagaian agama-agama. Ia tidak lagi hanya
merumuskan refleksi teologisnya dalam perspektif kristologis, namun berusaha
menemukan kriteria lain yang lebih memadai, yaitu the humanum (kemanusiaan).
Hans Küng membedakan kriteriologis ini menjadi tiga: (1) Kriteria etis umum; (2)
Kriteria religius umum; (3) Kriteria yang khusus bagi kekristenan.
0 Hans Küng, Christianity and the World Religions, xvi.
76
Hans Küng berusaha menjelaskan ketiga kriteria kebenaran atau tolok ukur
kebenaran dalam setiap agama0:
a. Kriteria etis umum: suatu agama menjadi benar dan baik apabila bersifat
manusiawi, tidak menekan atau melenyapkan kemanusiaan, melainkan
melindungi dan menyuburkannya.
b. Kriteria religius umum: suatu agama menjadi benar dan baik apabila tetap
setia pada asal-usul atau kanonnya sendiri, yaitu kepada hakikat
otententiknya, kepada kitab suci atau tokoh-tokoh otoritatif yang menjadi
landasannya.
c. Kriteria khas Kristen: suatu agama menjadi benar dan baik apabila di dalam
teori dan praksisnya memungkinkan semangat Yesus Kristus dirasakan. Hans
Küng menerapkan kriteria ini langsung hanya kepada kekristenan yang
dengan secara kritis bertanya: “Apakah dan sampai sejauh manakah agama
Kristen secara otentik Kristen?” Secara tidak langsung, kriteria ini juga dapat
diterapkan kepada agama lain, untuk menguji: “Apakah dan sejauh manakah
semangat Kristen juga ada di dalam agama lain”, khususnya di dalam
Yudaisme dan Islam.
3.4.4 Kedudukan Agama-Agama
0 Pusat Pastoral Yogyakarta, Hans Küng: Apakah Ada Agama yang Benar? Mencari Tolok Ukur Ekumenis, Seri Pastoral 241, No. 12, Pusat Pastoral Yogyakarta, 1994, 34. Bdk.. Hans Küng, “Kapasitas untuk Berdialog dan Keteguhan Iman tidak Bertentangan” dalam Najiyah Martiam (Ed), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gajah Mada, Mizan, Yogyakarta, 2010, 36-38.
77
Ada sebuah pertanyaan yang bisa diajukan di antara orang-orang yang terlibat
dalam dialog antaragama, yaitu: “Apakah semua agama itu sama?” Sepintas lalu
pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sederhana dan akan dengan
mudah dapat dijawab. Akan tetapi, jika dicermati, pertanyaan ini akan memunculkan
persoalan yang lebih dalam dan rumit untuk dijawab. Akan ada banyak jawaban dan
reaksi dari pertanyaan itu dan jawaban-jawaban tersebut akan menimbulkan sikap-
sikap orang beriman. Kita akan selalu menghadapi pertanyaan ini, jika kita hendak
terlibat dalam dialog antaragama.
Pertanyaan di atas dimaksudkan untuk menentukan sikap setiap orang
beriman terhadap kedudukan agama-agama di luar agama yang dianutnya. Hans
Küng sendiri menunjuk empat posisi mendasar tentang kebenaran agama-agama
lain0: (1) Tidak ada agama yang benar, atau semua agama sama-sama tidak benar
(posisi ateisme; (2) Hanya ada satu agama yang benar, atau semua agama lain tidak
benar (posisi absolutisme/eksklusivisme); (3) Setiap agama benar, atau semua agama
sama-sama benar (posisi relativisme); (4) Satu agama adalah agama yang benar, atau
semua agama berpartisipasi dalam kebenaran satu agama (posisi inklusivisme).
Melalui tipologi khasnya ini, Küng berusaha menunjukkan kesalahan ateisme,
sekaligus menunjukkan bahwa kedua posisi lainnya (eksklusivisme dan relativisme)
sama-sama kurang memadai untuk menjawab kenyataan pluralitas agama-agama.
0 Lih. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 230-236.
78
Berhadapan dengan posisi inklusivisme, Küng sendiri mengajukan kritik yang amat
keras terhadap konsep anonymous Christian dari Karl Rahner0. Ia menulis demikian:
Kehendak-orang, yang bukan Kristen dan yang tidak ingin menjadi orang Kristen, tidak dihormati, melainkan ditafsirkan sesuai dengan kepentingan sendiri. Bagaimana pun juga, Anda tidak akan sungguh-sungguh menemukan seorang Yahudi atau Islam, Hindu atau Buddha, yang tidak merasa seperti klaim bahwa mereka adalah 'anonim', dan memang 'orang Kristen anonim', seperti arogansi 0.
Küng mengkritik sikap ini, terlebih sikap Gereja Katolik, sebagai
“kesombongan tersembunyi”, yaitu arogansi atau sikap merasa diri super atas agama-
agama lain. Inilah posisi inklusivisme yang menyatakan bahwa hanya ada satu agama
yang benar, atau dengan kata lain, semua agama lainnya mengambil bagian dalam
kebenaran agama yang satu ini. Sikap semacam ini tentu belum cukup untuk menjalin
hubungan yang otentik dengan agama-agama lain.
Jika demikian, bagaimana pendirian Hans Küng sendiri dalam memandang
kedudukan agama-agama dunia? Hans Küng memilih jalan tengah (via media). Jalan
inilah yang kemudian ditempuhnya untuk menulis bukunya, Christianity and the
World Religions (1987). Hans Küng juga menyebut “jalan tengahnya” sebagai
0 Karl Rahner menyebutkan dalam konsep “anonymous Christian” bahwa keselamatan tidak hanya menjadi milik orang-orang yang secara eksplisit menyatakan beriman kepada Yesus Kristus. Iman – syarat mutlak dan efektif bagi keselamatan – dapat terjadi tanpa adanya hubungan eksplisit dan hubungan yang disadari dengan Yesus Kristus sebagaimana terungkap dalam Injil. Inilah yang disebut dengan ‘iman anonim’; dan mereka yang beriman secara anonym disebut sebagai orang-orang ‘Kristen anonim’. Lih. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 236.
0 “The will of these persons, who are not Christians and who do not wish to be Christians, is not respected, but rather is interpreted according to one’s own interests. However, you will not find a serious Jew or Muslim, Hindu or Buddhist, who does not feel such a claim that they are ‘anonymous’, and indeed ‘anonymous Christians’, as arrogance.” Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 236.
79
pendirian ekumenis-kritis0. Menurutnya, dalam memandang kedudukan agama-
agama, kita harus melihatnya dari dua arah: dari luar dan dari dalam.
Dari luar, diakui adanya bermacam-macam agama. inilah dimensi relatif dari suatu agama. Agama-agama ini mempunyai satu tujuan, yaitu keselamatan – dan dalam hal ini layak dicatat bahwa konsep keselamatan berbeda-beda – dengan jalan yang berbeda-beda. Lewat perbedaannya ini, agama-agama bisa memperkaya satu sama lain.
Dari dalam, diakui adanya satu agama yang benar. Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. Menurut Küng, bagi seorang pemeluk agama Kristen, satu agama ini adalah Kristianisme. Kebenaran ini ada “sejauh Kristianisme mengakui akan satu Allah yang benar yang diwahyukan dalam diri Yesus Kristus.” Pendirian ini tidak harus menolak kebenaran agama-agama lain, walaupun benar sampai tingkat tertentu. Sejauh tidak bertentangan dengan pesan agama Kristen, agama-agama lain dapat “melengkapi, mengoreksi, dan memperdalam agama Kristen”0.
Refleksi teologis Hans Küng berkaitan dialog antaragama memang diwarnai
oleh hubungan dialektis antara dua arah pandang ini. Dengan pendirian kritis-
ekumenis ini, Hans Küng berusaha untuk selalu bersikap kritis terhadap sikap-sikap
ekstrem seperti: absolutisme, eksklusivisme, relativisme, sinkretisme, indiferentisme
atau pluralisme tanpa diferensiasi dan tanpa identitas.
Sebagai gantinya, Hans Küng menunjukkan perlunya sikap indiferen terhadap
ortodoksi atau hal-hal yang dianggap sebagai doktrin, kesadaran akan relativitas dan
0 Hans Küng, “Toward an ecumenical theology of religions: Some theses for clarification” dalam CONCILIUM 183, 1986, 120.
0 Hans Küng, “Toward an ecumenical theology of religions: Some theses for clarification” dalam CONCILIUM 183, 1986, 122. Bdk.. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 254. Pengakuan iman Kung sebagai seorang pemeluk Kristianisme terungkap pada akhir bukunya On Being Christian. “Dengan mengikuti Yesus Kristus, manusia zaman sekarang dapat hidup, bertindak, menderita, dan mati secara benar-benar manusiawi: baik dalam kebahagiaan maupun penderitaan, hidup dan mati, ditopang oleh Tuhan dan sekaligus berguna untuk sesama.” Hans Küng, On Being a Christian, 602.
80
perlunya hubungan (relationship), serta kemampuan untuk mengatasi konflik-
konflik0.
3.5 Dialog sebagai Cara Baru Beragama
3.5.1 Dari Ko-eksistensi ke Pro-eksistensi
Dari pengalaman dialog antar agama yang selama ini sudah diusahakan,
muncullah bermacam-macam istilah yang kurang lebih menunjuk hal yang sama
dengan nuansa yang berbeda, seperti: dialog antaragama, dialog antariman, maupun
dialog kehidupan. Keanekaragaman sasaran yang ingin dicapai juga menimbulkan
berbagai istilah seperti: tolerensi, ko-eksistensi, pembebasan, integrasi.
Hans Küng sendiri tidak memasukkan istilah baru untuk dialog, tetapi
memakai kata “ekumene” bukan hanya untuk dialog antar gereja-gereja melainkan
juga dalam dialog antar agama-agama dunia. Sesuai dengan aspirasinya dalam dialog
antaragama, langkah Küng dimaksudkan untuk mengikis mentalitas ‘Gereja sentris’.
Maka, dalam kaitannya dengan dialog, Küng mengajukan istilah “pro-eksistensi”.
Sasaran dialog bukan hanya sekedar ko-eksistensi secara damai, tetapi lebih jauh,
yaitu pro-eksistensi.
Dengan pro-eksistensi, Küng mengusulkan sasaran dialog yang lebih terlibat,
programatis dengan melibatkan semua perbedaan otentik. Küng hendak mengakhiri
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 236.
81
tahap ko-eksistensi yang menjadikan toleransi sebagai satu-satunya tujuan utama dari
dialog.
Melalui buku Christianity and the World Religions, Küng mengawali suatu
eksperimen ilmiah di bidang dialog yang berorientasi pada pro-eksistensi. Apa yang
diungkapkan Küng dalam bukunya ini merupakan tantangan bagi setiap pembaca
untuk mengenal agama-agama lain, tanpa ada prasangka, selain juga merupakan
kesempatan untuk mengenal agamanya sendiri secara kritis melalui agama-agama
lain.
Toleransi untuk ber-ko-eksistensi secara damai ternyata bukan merupakan
tujuan akhir dari dialog. Pro-eksistensi harus diupayakan untuk melanjutkan ko-
eksistensi. Hans Küng merasa optimis karena didukung dengan adanya fenomena
“kebangkitan kesadaran ekumenis secara global”. Substansi dialog mempunyai
jangkauan yang lebih dalam, bagi penghayatan agama seseorang, di tengah-tengah
masyarakat dunia yang semakin terbuka dan berubah-ubah.
3.5.2 Menuju Kesadaran Baru Ekumene Global
Selain dari sedikitnya ahli, pengetahuan kita tentang agama lain masih sangat
terbatas. Apabila kita bandingkan dialog antaragama-agama dunia (interreligious
dialogue) dengan dialog antar gereja-gereja Kristen (interconfessional dialogue), kita
harus mengakui bahwa dialog antaragama sekarang berada pada posisi yang hampir
sama dengan dialog antargereja yang telah berlangsung sekitar lima puluh tahun lalu.
82
Tentu saja ini proses yang lambat. Akan tetapi kita sedang keluar dari
tempurung isolasi dan belajar memahami realitas agama lain. Pasca periode perang
fisik, perang dingin, dan masa gencatan senjata, saat ini kita berada pada periode
“pro-eksistensi”. Kita secara perlahan menyaksikan kesadaran ekumene global dan
permulaan sebuah dialog yang melibatkan para ahli dari berbagai perwakilan agama.
Hal ini mungkin menjadi sebuah fenomena terpenting pada abad ini. Ekumene
tidak dipahami dalam pandangan yang sempit, yang hanya terpusat pada gereja.
Ekumenisme seharusnya tidak terbatas pada komunitas gereja-gereja Kristen saja,
namun mencakup komunitas agama-agama besar, mengingat makna asli oikumene
sebenarnya merujuk pada makna “dunia yang berpenghuni.”
Menurut Hans Küng, fokus dialog saat ini adalah dialog antara Kristen dan
agama-agama dunia yang memiliki karunia khusus baik karena perkembangan pesat
mereka, penyebaran menakjubkan mereka, atau kuantitas penganut mereka. Oleh
karena itu, sudah tiba saatnya bagi agama-agama dunia secara bersama-sama,
mengarahkan setiap kegiatan dialog untuk menyongsong masa depan.
Dalam hal ini, Hans Küng menunjukkan tiga aspek arah dari setiap dialog,
meskipun masih dalam bentuk yang sangat umum:
a. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-nilai, ritus dan
simbol-simbol orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang
lain secara sungguh-sungguh.
83
b. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat
memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh, kekuatan dan
kelemahan, segi-segi yang konstan dan yang berubah-ubah.
c. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat
menemukan dasar yang sama – meskipun ada perbedaan – dapat menjadi
landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai.
Demikianlah dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga
pengalaman transformatif bagi yang terlibat. Tujuan dialog tidak hanya berhenti pada
ko-eksistensi, melainkan pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain ada,
tetapi juga ikut mengadakannya secara afektif. Maka dialog semacam ini lebih
menuntut sikap terbuka, semangat untuk belajar satu sama lain, dan sikap rendah hati.
3.5.3 Dialog: Fungsi Kritis Beragama
Dengan semangat untuk mencari kebenaran, dialog antaragama mempunyai
fungsi kritis ad intra (ke dalam) dan ad extra (ke luar). Dialog dalam pengertian ini
bukan sebagai wahana untuk menentukan agama mana yang paling benar. Kata
“agama” harus dipahami secara konkret, maka dialog antaragama berarti dialog antar
orang-orang yang beragama. Di sini, manusia mendapat tempat yang sentral dalam
dialog. Akan tetapi, manusia juga harus diartikan secara konkret pula. Manusia
dipahami secara konkret berarti menunjuk pada orang-orang beriman dalam agama-
84
agama tertentu dan pada masa serta konteks tertentu. Dalam kekonkretannya inilah,
dialog mendapatkan tempat sebagai fungsi kritis.
Dialog sebagai fungsi kritis tidak terlepas dari kehendak setiap orang untuk
mencari kebenaran terus-menerus. Küng mengingatkan bahwa kebenaran yang kita
cari bukanlah kebenaran yang bersifat “ready made”0. Kebenaran yang dimaksudkan
tidaklah seperti barang-barang jadi (instan) yang bisa kita pakai kapan saja di saat
kita membutuhkannya.
Kebenaran menempatkan dirinya dalam hidup, sejarah, maupun dalam
relasinya dengan orang lain. Dalam hal ini, kebenaran tidak identik dengan doktrin
atau tradisi. Dalam hidup beragama, doktrin dan tradisi agama mendapat makna yang
paling dalam justru dalam kaitannya dengan kehendak kita untuk mencari kebenaran
terus-menerus.
Dialog sebagai wahana refleksi bersama mempunyai daya kritis, baik dalam
dimensi praktis maupun reflektif, baik dalam hidup keagamaan personal maupun
kelompok. Dengan demikian, isi dialog bukan lagi dalam hal membanding-
bandingkan agama, tetapi lebih berupa kesaksian terus-menerus atas realitas ilahi
yang bersifat komprehensif dan menopang hidup orang beriman. Kesaksiaan ini
merupakan ungkapan sikap konstan dan kritis bagi setiap orang yang hendak mencari
kebenaran di tengah-tengah pluralisme agama.
Melalui bukunya Christianity and the World Religions, Hans Küng mulai
membentuk suatu dialog yang bersifat ilmiah. Sebagai seorang teolog ekumenis, dia
0 Hans Küng, Christianity and the World Religions, viii.
85
mencoba mengayunkan pandangan kritisnya, yaitu: “1) Kritik seorang Kristen dalam
cahaya agama-agama lain; 2) Kritik seorang Kristen terhadap agama-agama lain
dalam terang Injil”0.
Dari pandangan kritisnya ini, dia telah menjembatani dua titik ekstrim. Di satu
sisi, dia ingin menghindari pandangan sempit dari absolutisme yang angkuh, dari
Kristen atau asal mula Islam, yang melihat kebenaran miliknya sendiri sebagai
“absolute” atau terpisah dari kebenaran lain. Di lain sisi, Küng tidak bertujuan untuk
mempertahankan pendirian eksklusif yang memberikan pernyataan tertutup terhadap
agama-agama non-Kristen dan kebenaran mereka.
Selain itu, dia juga tidak mempertahankan pendirian superior yang
menggolongkan agamanya sendiri sebagai yang lebih baik secara a priori, baik dalam
doktrin, etika atau sistem. Pendirian semacam itu hanya menuntun seseorang pada
sikap apologetik murahan, pikiran yang tertutup dan keras kepala. Sikap ini akan
menuntun seseorang pada dogmatisme bahwa ia telah memiliki seluruh kebenaran
namun sebenarnya dia gagal menemukannya.
Menurut Hans Küng, saat ini kebenaran tidak lagi antara Kristen dan agama-
agama lain, tetapi berada di dalam diri setiap agama. Prinsipnya, “tidak ada nilai
dalam agama lain yang harus disangkal, tetapi tidak berarti setiap hal tak bernilai
diterima tanpa kritik”0. Ia menegaskan pula bahwa sebuah konsensus seharusnya
0 Hans Küng, Christianity and the World Religions, xvii.0 Hans Küng, “Mencari Jalan-Jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam (Ed), Jalan
Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, 17.
86
dilakukan antara wakil-wakil dari berbagai agama. Saat ini, kita memerlukan dialog
yang memberi dan menerima.
Oleh karena itu, dialog merupakan dialog yang kritis, di mana seluruh agama
yang ditantang tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi menyampaikan pesan
yang terdalam dan terbaik. Hans Küng menegaskan bahwa kita memerlukan dialog
dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak satu pun dari kita
memiliki kebenaran “yang tercipta”, tetapi semua menuju pada kebenaran “yang lebih
mulia”0.
3.5.4 Dialog Antaragama Melahirkan Tanggung Jawab Global
Segera setelah Küng menempatkan the humanum sebagai criteria bersama
agama-agama, maka ia harus menjawab pertanyaan, bagaimana kriteria bersama ini
diwujudkan? Dalam hal ini, ia menempatkan persoalan kemanusiaan itu dalam
perspektif terciptanya sebuah tata dunia baru (a global order).
Dalam rangka ekumene ad extra, Küng merasa perlu untuk meneliti seberapa
jauh agama-agama memberi sumbangan bagi terciptanya dasar hidup bersama yang
penuh damai. Hal inilah yang mendorongnya membuat opus magnum-nya yang kedua
– setelah On Being a Christian – yaitu Global Responsibility.
Ia menyakini bahwa hanya dengan Etik Global itu, dunia yang sakit ini bisa
diobati dan perdamaian tercipta. Tata dunia yang baru (a new global order) harus
0 Hans Küng, “Mencari Jalan-Jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam (Ed), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, 17.
87
didampingi secara kritis oleh Etik Global (global ethic). Cita-citanya ini ia rangkum
ke dalam tiga pernyataan mendasar, yaitu:
Tidak ada kehidupan manusia bersama tanpa etika dunia bagi bangsa-bangsa;
Tak ada perdamaian antarbangsa tanpa perdamaian antaragama;
Tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama
Etik Global sendiri dipahami oleh Küng sebagai “suatu konsensus dasar
minimal pada nilai-nilai, norma, dan sikap tertentu”. Nilai-nilai bersama itu ia yakini
dapat muncul dan menjadi konsensus bersama agama-agama di dunia ini. Küng yakin
bahwa sekalipun agama-agama di dunia ini memiliki perbedaan yang sangat
mendasar dalam hal ajaran dan dogma, namun mereka mempunyai banyak kesamaan
dalam hal etika dan perilaku hidup.
Dari konsensus agama-agama itu, kita sekarang memiliki rumusan “Aturan
Emas” (Golden Rule). Setiap agama memiliki perumusan Aturan Emas yang mempu
memberikan dasar bagi kemanusiaan manusia. Sebagai contoh perumusan Aturan
Emas yang terdapat dalam agama Katolik, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka”0.
Oleh karena itu, dialog tidak lagi dipandang sebagai percakapan intelektual
dan dogmatis, namun justru dihidupi dalam upaya bersama membuat masa depan
yang lebih damai.
3.6 Kesimpulan
0 Mat 7,12a.
88
Setelah sekian lama Gereja terlibat dalam dialog dengan agama-agama dunia
lainnya, Gereja Katolik menyadari bahwa ada keberhasilan dan juga kemunduran.
Menghadapi dilema itu, Hans Küng melalui ungkapannya, “Tiada perdamaian dunia
jika tidak terjalin perdamaian antara agama-agama, dan tiada perdamaian antara
agama-agama jika tidak ada dialog agama-agama”, mencoba memberi usulan
teologi ekumenis-kritis tentang dialog dengan agama-agama lain.
Ia tidak menyangkal adanya potensi konflik dari realitas keberagaman dalam
masyarakat global. Küng mengawali gagasannya tentang dialog dengan periode
transisi dari zaman modern ke zaman postmodern. Pada periode ini, agama
mengalami krisis kredibilitas. Maka, baginya, perlu ada suatu paradigma baru,
paradigma yang tidak membuat dan mencari musuh melainkan menempatkan yang
lain sebagai mitra.
Ia hendak mencari jalan bagi agama untuk melakukan fungsi kritis bagi
kehidupan manusia secara individual maupun bersama. Dengan semangat mencari
kebenaran, dialog antaragama mempunyai fungsi kritis ad intra (ke dalam) dan ad
extra (ke luar). Dalam ekumene ad intra: diakui adanya satu agama yang benar.
Inilah dimensi mutlak dari suatu agama. pendirian ini tidak harus menolak kebenaran
agama-agama lain, meskipun benar sampai tingkat tertentu. Sedangkan ekumene ad
extra: diakui adanya bermacam-macam agama. Setiap agama mempunyai satu tujuan,
yaitu keselamatan.
89
Dalam menanggapi kepelbagaian agama-agama, Küng tidak lagi hanya
merumuskan refleksi teologisnya dalam perspektif kristologis, namun ia berusaha
menemukan kriteria lain, yaitu the humanum (kemanusiaan). Oleh karena itu, kriteria
kebenaran, baik dalam agama Kristen maupun agama-agama lain, ditentukan oleh
faktor kemanusiawiannya (humaneness). Semakin manusiawi suatu agama, semakin
benarlah agama tersebut.
Segera setelah Küng menempatkan the humanum sebagai kriteria bersama
agama-agama, ia memindahkan persoalan pada etika. Tentu saja tekanan pada etika
ini sangat bermanfaat bagi dialog antaragama. Küng menyadari bahwa sekalipun
agama-agama di dunia memiliki perbedaan mendasar soal ajaran dan dogma, namun
mereka mempunyai banyak kesamaan dalam hal etika dan perilaku hidup.
Demikianlah dialog tidak lagi dipandang sebagai percakapan intelektual dan
dogmatis, namun justru dihidupi dalam upaya bersama membuat masa depan yang
lebih damai.
BAB IV
PENUTUP
Setelah menggali pemahaman tentang dialog antaragama dari perspektif
Gereja Katolik dan secara khusus dalam perspektif Hans Küng, maka penulis pada
bagian penutup ini akan memberi kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam karya
tulis ini. Bagian penutup ini akan dibagi dalam tiga bagian pokok. Bagian pertama,
berupa rangkuman dari seluruh pembahasan atau kilas balik secara ringkas isi karya
tulis ini. Bagian kedua berupa catatan kritis terhadap pemikiran Hans Küng tentang
pemikiran teologis dan konsep praktis dialog antaragama. Bagian ketiga berisi
relevansi dari pemikiran Hans Küng dalam konteks Indonesia.
4.1 Rangkuman dan Kilas Balik
Praktik dialog antaragama terjadi dalam ranah pluralisme agama, yang di
dalamnya terjadi perjumpaan antarpribadi beriman. Dalam perjumpaan tersebut,
masing-masing membawa identitasnya yang khas. Dalam perspektif Kristiani, dialog
menjadi perwujudan Gereja yang hidup, yang mampu membaca, dan menanggapi
91
tanda-tanda zaman. Dari sinilah Gereja tampil dalam penghayatan imannya yang
menyapa, terbuka dan dialogis.
Penghayatan iman yang demikian itu lahir dari sejarah keterbukaan Gereja
dengan semangat aggiornamento-nya yang memberi angin segar dan berhembus
kencang dari dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Ini menjadi tanda kelahiran baru
bagi Gereja yang lama membeku, cenderung defensif, legalistik, dan triumpalistis
atau sangat berpusat pada diri sendiri.
Keterbukaan Gereja ini juga telah melahirkan konsep atau gagasan dialog
seturut dengan konteks masing-masing, salah satunya adalah ensiklik Ecclesiam
Suam dari Paulus VI, yang menjadi pondasi pertama spiritualitas dialog, atau sebagai
“Magna Charta” dialog. Perhatian Gereja dan keterlibatannya dalam dialog
antaragama menjadi tanggapan atas tantangan aggiornamento Konsili Vatikan II yang
semakin aktual dari masa ke masa. Gereja hidup di tengah pluralitas agama yang
sering kali menimbulkan konflik.
Selanjutnya, kita telah melihat bahwa, dalam perspektif Hans Küng, praktik
dialog yang dikembangkan oleh Gereja itu perlu dibangun di atas landasan teologis
tertentu. Dengan model Teologi Ekumenis-Kritis-nya, Küng menunjukkan bahwa
Teologi Dialog bukanlah: 1) teologi yang oportunistik-konformis, melainkan teologi
yang selalu mencari apa yang benar; 2) teologi yang otoriter, melainkan teologi yang
bebas; 3) teologi yang tradisionalis, melainkan teologi yang kritis; 4) teologi yang
denominasional, melainkan teologi yang ekumenis.0 Teologi ini hanya bisa dilakukan
0 Bdk.. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 203-204.
92
kalau kita berani mendayung samudera pengalaman manusia zaman sekarang dan
sekaligus kembali ke sumber pokok teologi, yaitu Kitab Suci, dengan jalan metode
historis kritis.
Küng merasa yakin bahwa setiap agama – baik secara individual maupun
bersama – mempunyai tanggung jawab untuk mencari struktur konstan dari pesan asli
yang terkandung dalam Kitab Suci, termasuk di dalamnya doktrin atau praksis
normatif. Di kalangan Islam, misalnya, ia terkesan dengan apa yang dilakukan oleh
Mohammad Arkoun. Filsuf Aljazair ini mengusulkan “cara baca baru dan kritis atas
Kitab Suci (Injil dan Qur’an), dan pendekatan kritis filosofis terhadap rasio eksegetis
dan teologis0. Usaha semacam ini merupakan basis utama untuk mengadakan
konsensus teologis secara ad intra dan pada gilirannya bisa menduKüng untuk
mengadakan dialog secara ad extra.
Bukunya yang berjudul Theology of the Third Millennium diakuinya sebagai
peralihan mendasar dari era modern ke era postmodern. Buku ini ditulis untuk
menemukan secara baru fungsi kritis dan berdaya bebas, baik dari individu maupun
masyarakat. Menurut Küng, masa depan yang ditawarkan era postmodern mampu
menyediakan dasar bagi pencarian fungsi tersebut.
Küng membatasi pemahaman terminologi postmodern sebagai kritik terhadap
modernitas dan penjernihan atas Pencerahan. Bagaimana postmodern itu dilakukan?
Ia menjawab sendiri pertanyaannya dengan menyatakan secara dialektis bahwa
modernitas tidak boleh dipandang sebagai sebuah finished project yang utuh dan
0 Hans Küng, Christianity and the World Religions, 67.
94
agama-agama. Ia tidak lagi merumuskan refleksi teologisnya dalam perspektif
kristologis, tetapi berusaha menemukan kriteria lain, yaitu kemanusiaan.
Küng membedakan kriteria kebenaran agama-agama ke dalam tiga bagian,
yaitu: (1) Kriteria etis umum; (2) Kriteria religius umum; (3) Kriteria yang khusus
bagi kekristenan. Ia juga menunjuk adanya empat kemungkinan tentang pendirian
atau sikap terhadap keanekaragaman agama-agama dunia: a) tidak ada satu agamapun
yang benar atau semua agama sama-sama tidak benar (posisi ateisme); b) hanya ada
satu agama yang benar atau semua agama lainnya tidak benar (posisi
absolutisme/eksklusivisme); c) setiap agama adalah benar atau semua agama sama-
sama benar (posisi relativisme); d) hanya ada satu agama yang benar atau semua
agama lainnya mengambil bagian dalam kebenaran agama yang satu itu.
Bagaimana dengan pendirian Küng sendiri? Küng mengaku telah memilih
jalan tengah, via media. Ia menyebut jalannya sebagai pendirian ekumenis-kritis.
Menurut Küng, kita harus memandang kedudukan agama-agama dari dua arah: dari
luar dan dari dalam. Pertama, jika dilihat dari luar, berdasarkan kriteria etis dan
religius, maka terdapat bermacam-macam agama yang benar. Setiap agama
merupakan jejak keselamatan menuju satu tujuan. Kedua, jika dilihat dari dalam, dari
sudut pandang kekristenan, agama kristen yang berorientasi pada Kristus, dan
dibangun atas dasar kesaksian Alkitab, merupakan agama yang benar buat saya
(Küng). Bagi Küng, Kekristenan adalah agama yang benar. Namun demikian, tidak
ada satupun agama yang mempunyai seluruh kebenaran. Hanya Allah –
95
bagaimanapun Ia dinamakan – adalah kebenaran0. Refleksi teologis Küng yang
menyangkut dialog antaragama diwarnai oleh hubungan dialektis antara dua arah
pandang ini.
Sekalipun Küng menyatakan bahwa agama lain dapat dipandang benar secara
kondisional atau bersyarat, namun agama-agama lain itu dikondisikan dalam
pengertian kristen, yang dipahami Küng sebagai agama humanum. Ia menyatakan
bahwa agama-agama lain dipandang benar, sejauh itu dipenuhi dengan kondisi atau
syarat yang muncul dalam kekristenan, yang juga pada dirinya dikondisikan oleh
prasyarat etis lain: kemanusiaan0. Bagi Küng, humanitas yang benar adalah pra-syarat
dari agama yang benar, dan agama yang benar adalah pemenuhan dari humanitas
yang benar. Dengan ini, Küng seakan ingin mengatakan bahwa benar-tidaknya
sebuah agama – apalagi dalam perjumpaannya dengan agama-agama lain – harus
dialihkan ke dalam kriteria yang lebih luas, yaitu kriteria etis: the humanum.
Mengenai dialog antaragama, Küng mencoba melangkah lebih jauh.
Usahanya ini bukan sekedar pengumpulan unsur-unsur persamaan doktriner, tradisi,
semangat, dan lain sebagainya, tetapi juga unsur-unsur yang meliputi perbedaan,
bahkan mengandung potensi untuk konflik. Ia berusaha untuk mengenal agama-
0 Küng menuliskan, "Bagi saya sebagai orang percaya, bagi kita sebagai komunitas orang beriman, agama Kristen, sejauh ia membuktikan Allah melalui Kristus, tentu adalah agama yang benar. Tetapi tidak ada agama yang memiliki seluruh kebenaran, hanya Allah saja yang memiliki seluruh kebenaran ... hanya Allah sendiri – sebagaimana yangselalu kita sebut - adalah kebenaran”. Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 254-255.
0 Küng menulis, , "Saya ingin merujuk satu ... aspek misi Yesus dari Nazaret, yang ... itu adalah kongruen tidak hanya dengan kriteria agama umum tetapi juga akhirnya dengan kriteria etika umum tentang kemanusiaan itu". Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 252.
96
agama lain tanpa prasangka, tetapi juga kesempatan untuk mengenal agamanya
sendiri secara kritis lewat agama-agama lain.
Dalam hal ini, dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi, tetapi juga
pengalaman transformatif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dialog. Dialog tidak
berhenti pada ko-eksistensi, tetapi pro-eksistensi. Artinya, dialog tidak hanya
membiarkan orang lain ada, tetapi juga membuat orang lain ikut bertanggung jawab
untuk mengembangkannya secara afektif. Dengan demikian, dialog semacam ini
menuntut sikap terbuka, rendah hati dan semangat untuk belajar satu sama lain.
Dalam semangat untuk mencari kebenaran terus-menerus, dialog antaragama
mempunyai fungsi kritis ad intra (ke dalam) dan ad extra (ke luar). Ekumenis ad
intra berorientasi pada kekristenan dan ekumenis ad extra berorientasi pada semua
yang mendiami bumi dan tergantung padanya0. Küng berusaha untuk menyandingkan
kekristenan di antara agama-agama besar dunia lainnya, serta memberi jawaban
Kristen atas realitas pluralitas agama.
Küng mengingatkan pentingnya dimensi iman dalam kegiatan dialog0. Dialog
antaragama menjadi tantangan bagi setiap orang yang terlibat untuk mengembangkan
kejujuran dan otentisitas imannya. Demikianlah, dialog – sebagai wahana refleksi
bersama – mempunyai daya kritis, baik dalam hidup keagamaan seseorang secara
pribadi maupun kelompok.
0 Hans Küng, Theology for the Third Millennium: An Ecumenical View, 227.0 Hans Küng, “Toward an ecumenical theology of religions: Some theses for clarification” dalam
CONCILIUM 183, 123.
97
Dialog agama tidak akan maju dan berkembang jika hanya tetap berhenti pada
tataran teologis dogmatis dan pemahaman teoritis intelektual. Dalam interaksi
antarpemeluk agama, orang tidak hanya menjumpai teks-teks Kitab Suci, tradisi-
tradisi suci, dogma-dogma, dan pemahaman teologis. Dalam interaksi, orang akan
mengalami perjumpaan dengan pengalaman orang dalam menghadapi pergulatan dan
tantangan zaman. Dalam hal ini, Küng menempatkan persoalan kemanusiaan itu
dalam perspektif terciptanya sebuah tata dunia baru.
Küng merasa perlu meneliti seberapa jauh agama-agama dapat memberi
sumbangan bagi terciptanya dasar hidup bersama yang penuh damai. Ia sadar bahwa
setiap agama-agama dunia memiliki perbedaan soal ajaran Kitab Suci, dogma, dan
tradisi. Akan tetapi, setiap agama-agama mempunyai kesamaan dalam etika dan
perilaku hidup. Dengan ini, dialog tidak lagi dipandang sebagai percakapan
intelektual dan dogmatis. Dialog dihidupi dalam upaya bersama untuk membuat masa
depan yang lebih damai.
4.2 Catatan Kritis
Di zaman sekarang ini, para teolog sadar bahwa absolutisme dalam berteologi
berlawanan dengan kenyataan keberagaman. Kita pun menjumpai semakin
banyaknya kaum terpelajar yang meninggalkan klaim a priori kebenaran suatu agama
terhadap agama-agama lain karena memang sudah tidak lagi sesuai dengan zaman.
98
Dalam bidang teologi, selalu ada ketegangan-ketegangan antara kesetiaan
pada iman dan keterbukaan. Di satu pihak, seorang teolog Kristiani senantiasa
tertantang untuk setia pada kebenaran Kristiani sekaligus rindu untuk membantu
kaum beriman kristiani dalam menghayati iman mereka secara lebih penuh sesuai
dengan konteks pluralitas iman. Di lain pihak, ia pun selalu berusaha terbuka bahkan
mungkin juga kagum terhadap kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh umat
beragama lain.
Pada bagian ini, penulis mencoba untuk memberi catatan kritis terhadap
pemikiran Hans Küng, baik dalam refleksi teologisnya maupun dalam praktiknya,
dengan tetap memperhatikan ketegangan antara kesetiaan pada iman dan keterbukaan
serta penghargaan pada iman lain.
4.2.1 Catatan Positif:
Salah satu jasa Hans Küng dalam dunia teologi agama-agama adalah teologi
ekumenis-kritis. Yang menjadi tekanan dalam sumbangan Hans Küng ini adalah
bagaimana ia mengajak kaum beriman Kristiani untuk membuka sebuah paradigma
baru dalam memandang agama-agama lain melalui jalan dialog. Apa yang
diungkapkan oleh Küng ini merupakan tantangan bagi umat Kristen untuk mengenal
agama lain sekaligus menjadi kesempatan untuk mengenal agamanya sendiri.
Sebagai seorang teolog, Küng masih mengakui unsur-unsur seperti Kitab
Suci, tradisi, dan pengalaman manusia sebagai sumber teologinya. Ini nampak dalam
model teologi ekumenis-kritisnya. Ia menempatkan Kitab Suci dan pengalaman
99
manusia sebagai dua kutub yang menjadi kerangka dasar teologinya. Küng
menggunakan secara integral acuan-acuan teologi, seperti Kitab Suci dan Tradisi.
Dengan bantuan ilmu tafsir atau eksegese, penelitian historis, dan analisis kritis, ia
mencoba menunjukkan mata rantai iman zaman ini dan peristiwa keselamatan Allah
yang defenitif dalam dan melalui Yesus Kristus.
Dalam praktiknya, Küng lebih memfokuskan diri pada fungsi ekumenis dan
fungsi kritisnya. Sesuai dengan aspirasinya dalam dialog antaragama, langkah Küng
dimaksudkan untuk mengikis mentalitas Gereja-sentris. Ekumene tidak lagi dipahami
sebatas dalam komunitas gereja-gereja saja tetapi dipahami secara lebih luas, yaitu
komunitas agama-agama besar. Sebagai teolog ekumenis, ia membentuk suatu dialog
yang ilmiah dan jujur. Secara implisit, teologi ekumenis-kritis ini mengandung suatu
harapan bahwa perjumpaan Kekristenan dengan agama-agama lain dapat
membimbing orang-orang Kristiani kepada suatu pembaruan diri yang mendalam,
yang membuat Gereja sungguh menjadi suatu paguyuban orang beriman.
Dengan sifat keterbukaannya terhadap agama-agama lain, Küng menjadi salah
seorang teolog Katolik yang berani “melawan” pandangan umum Kekristenan tentang
pengakuan terhadap Nabi Muhammad sebagai seorang nabi utusan Allah. Gagasan ini
nampak dalam artikelnya yang berjudul Christianity and World Religion: The
100
Dialogue with Islam0. Dengan mengangkat permasalahan ini, Hans Küng membuka
pintu dialog Kristen-Islam.
4.2.2 Catatan Negatif:
Selain beberapa catatan positif, penulis juga melihat adanya titik lemah dalam
pemikiran Hans Küng.
Pertama, dalam deskripsinya mengenai postmodern, Küng membuat
kesalahan yang sama seperti banyak teolog lainnya, yaitu menggambarkan
postmodernisme hanya sebagai koreksi atas kesalahan-kesalahan modernitas saja.
Küng telah bersusah payah memberi kesan bahwa perubahan teologi millennium III
harus bersifat paradigmatis, namun dalam deskripsinya perubahan yang terjadi hanya
bersifat korektif dan bukan paradigmatis0.
Kedua, dalam konteks pluralitas iman, permasalahan yang diangkat terkait
dengan locus di manakah tempat agama-agama lain dalam penghayatan iman Kristen.
Namun tampaknya persoalan ini belum sungguh-sungguh diangkat oleh Küng. Apa
yang ia persoalkan adalah apakah kita bisa berbicara mengenai satu agama yang
benar? Jawabannya adalah: bagi Küng, agama Kristen adalah agama yang benar.
Dalam konteks perubahan paradigma dari sains ke budaya, pertanyaan berupa adakah
0 Hans Küng melihat bahwa ada tendensi umum dari pihak Kristiani untuk menolak kenabian Muhammad. Hal ini, menurut Hans Küng, menjadi salah satu penghambat bagi terciptanya dialog antara Kristen dan Islam. Oleh karena itu, untuk membangun sebuah dialog antara Kristen dan Islam, diperlukan sebuah sikap keterbukaan satu sama lain. Lih. Hans Küng, “Christianity and World Religions: Dialogue with Islam” dalam L. Swidler (Ed), Muslims in Dialogue: The Evolution of a Dialogue, The Edwin Mellen Press, Lewiston, NY, 1992, 161-175.
0 Bdk. Emmanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, 13.
top related