etika global hans kÜng: ihwal tanggung jawab …

77
ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB AGAMA-AGAMA DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA SEBUAH PENELITIAN BERBASIS KEPUSTAKAAN Oleh REINARDUS L. MEO 2017

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

ETIKA GLOBAL HANS KÜNG:

IHWAL TANGGUNG JAWAB AGAMA-AGAMA

DALAM MEWUJUDKAN PERDAMAIAN

DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA

SEBUAH PENELITIAN BERBASIS KEPUSTAKAAN

Oleh

REINARDUS L. MEO

2017

Page 2: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG PENULISAN

Sejak berabad-abad yang telah lewat, dalam pasang-surut peradaban

manusia juga dalam jatuh-bangun sejarah hampir semua agama, perdamaian

merupakan salah satu tema yang paling eksistensial dan strategis. Eksistensial

karena bersentuhan langsung dengan kebutuhan paling mendasar dari hidup

manusia dan gerak-laju peradabannya. Strategis karena bertalian erat dengan nilai-

nilai universal yang lain, yang mana dalam lain perkataan, nilai-nilai lain itu

mengabdi pada perdamaian. Perdamaian telah menjadi semacam muara dari semua

nilai yang lain, serentak pula bagaikan fatamorgana yang hanya dapat digapai dari

jauh, dibayangkan, tanpa betul-betul menjadi nyata. Perdamaian, dengan ini, juga

berkarakter ambivalen.

Dalam harapan dan semangat senada, Parlemen Agama-agama Dunia pada

4 September 1993 bertempat di Chicago, Amerika Serikat, juga memberi fokus

atensi yang sama. Pada bagian paling awal, bagian pendahuluan dari Deklarasi

Menuju Sebuah Etika Global, dengan jelas dan tegas termaktub kesadaran

fundamental berikut. “The world is in agony. The agony is so pervasive and urgent

that we are compelled to name its manifestations so that the depth of this pain may

Page 3: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

2

be made clear.”1 Dunia kita sedang dalam krisis, sedang dalam penderitaan yang

mengerikan. Krisis ini kian menusuk dan mendesak, sehingga kita dipaksa untuk

menyebutkan jelmaan-jelmaan atau perwujudan-perwujudan krisis dimaksud, agar

dengan demikian, inti terdalam dari rasa sakit yang mengerikan itu dapat dengan

jelas diketahui. Setelah menguak dan mengetahuinya, tentu saja menyembuhkan,

dan pada gilirannya, menuju perdamaian.

Berangkat dari dua kesadaran sebagaimana tersebut sebelumnya, yakni

perdamaian sebegitu eksistensial dan strategisnya serta bahwa dunia kita sedang

dalam krisis akut, manusia-manusia di era post-(post)-modernisme ini, secara

khusus di Indonesia, didesak untuk kembali memperbincangkan perdamaian. Itu

berarti, ambivalensi perdamaian tidak serta-merta menghalangi upaya penggalian

menuju penemuan kembali akan maknanya yang paling autentik. Lantaran upaya

ini bukanlah proyek yang enteng, maka sebelum angkat bicara ke ruang publik,

tentu saja refleksi kolektif maupun parsial di ruang-ruang privat terasa penting

untuk dimulai terlebih dahulu. Setelah angkat bicara, besar harapan bersama,

perdamaian global dapat benar-benar tercipta, khususnya di bumi Indonesia yang

bermartabat ini.

Pada titik ini, ketika terbit optimisme bahwa ambivalensi perdamaian tidak

serta-merta menghalangi upaya penggalian kita menuju penemuan kembali akan

maknanya yang paling autentik, sebuah etika bersama, Etika Global, terasa begitu

penting lagi mendesak. Bagi Hans Küng, pemikir dan teolog kontroversial Gereja

Katolik, agama-agama bertanggung jawab dan berperan amat penting dalam proyek

ini. Küng yakin, perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri utama

ajaran setiap agama.2 Dengan demikian, agama-agama haruslah menciptakan

perdamaian, pertama-tama di antara mereka sendiri, baru setelah itu, menuju

tataran yang lebih global dan kompleks. Untuk tujuan ini, konsensus minimal

tentang etika yang ditawarkan Küng, antara lain sebagai berikut. “(a) Pemahaman

di antara agama-agama tidak boleh menuntut orang-orang beriman untuk berbaris

1Lih. Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions,

Declaration Toward a Global Ethic (New York: Continuum Publishing, 1993), p. 1.

2Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman

(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 256.

Page 4: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

3

berhadapan dengan orang-orang kafir. Rancangan suatu etika dunia, Etika Global,

lebih membutuhkan aliansi orang-orang beriman dan kafir atas etika dasar umum

yang baru. (b) Agama-agama pasti memiliki fungsi dan tanggung jawab khusus

ketika ia telah menjadi kriteria yang mengikat dan sebagai keyakinan pribadi yang

mendasar. (c) Pada tataran yang lebih fundamental, pertanyaannya, apa yang dapat

disumbangkan agama-agama untuk menindaklanjuti suatu etika, meskipun terdapat

sistem dogma dan simbol yang sangat berbeda di antara mereka?”3

Etika Global yang diprakarsai Hans Küng – di samping teologi pluralis yang

lebih merupakan diskursus dalam lingkaran para teolog saja – merupakan respon

atas realitas keberagaman yang dibangun di atas konsensus antara agama-agama,

yakni ‘konsensus fundamental yang berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat,

patokan-patokan yang baku, dan sikap-sikap moral yang mendasar’.4 Dengan ini,

agama-agama memiliki sebuah etika bersama yang sama dan setara dalam upaya

mewujudkan perdamaian. Atau, dalam tesis terkenal Küng yang telah menjadi

semacam slogan meyakinkan, “No survival without a world ethic. No world peace

without peace between the religions. No peace between the religions without

dialogue between the religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa

sebuah etika bersama. Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara

agama-agama. Tidak ada perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara

agama-agama tersebut.”5

Hemat penulis, kata kunci paling fundamental yang tersurat dalam slogan

Küng ini ialah ihwal dialog. Dunia membutuhkan sebuah dialog yang memberi dan

menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing

agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Dialog dalam bingkai Etika Global

Küng merupakan dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk tidak

3Ibid., hlm. 257-258.

4The Parliament of the World’s Religions, “Declaration Toward a Global Ethic”, dalam Hans

Küng dan Karl-Joseph Kuschel (eds.). A Global Ethic. The Declaration of the Parliament of the

World’s Religions (New York: The Continuum Publishing Company, 1993), p. 18, dalam Paul Budi

Kleden, “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau Komplementer”, Jurnal Ledalero, 9/1:

85, Juni, 2010.

5Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,

1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.

Page 5: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

4

hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi lebih kepada menyampaikan pesan

terdalam mereka dengan baik dan tepat. Ringkasnya, dunia dan umat manusia

membutuhkan dialog dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa

tidak satu pun dari agama-agama tersebut memiliki kebenaran ‘yang telah tercipta’,

melainkan semuanya menuju kebenaran ‘yang lebih mulia’.6 Dialog ini menjadi

kian efektif, bila masuk hingga ke fondasi-fondasi tiap agama, dengan segala

risikonya.

Penulis tertarik untuk mengangkat sekali lagi ihwal perdamaian dalam

penyusunan skripsi ini dengan alasan-alasan berikut. Pertama, krisis demi krisis

senantiasa mendera dunia. Dalam pelbagai segi kehidupan, aneka ketimpangan

makin marak terjadi. Dunia dan kehidupan bersama menjadi tidak damai, lebih-

lebih akibat perang yang banyak kali pecah sepanjang sejarah umat manusia.

Kedua, untuk kembali mengupayakan perdamaian dan menciptakan tatanan dunia

yang lebih baik, penulis sepakat dengan Hans Küng yang menyebut agama-agama

bertanggung jawab mewujudkannya. Hal ini bertolak dari refleksi Küng yakni tidak

ada yang lebih mengerikan daripada perang yang dimotivasi oleh alasan-alasan

keagamaan. Melalui Etika Global yang digagasnya, Küng menempatkan semua

umat manusia, baik beragama maupun yang tidak beragama, sebagai pelaku utama

perdamaian. Etika Global ini pula dimaksudkan sebagai respons atas fakta

pluralitas yang menyata di mana-mana, hic et nunc. Ketiga, pada tataran lokal,

Indonesia yang sangat plural dalam hampir semua lini kehidupan, memiliki

keunikan serentak di lain sisi, tantangan. Unik karena dengan demikian, akan

semakin kaya. Menantang karena tentu saja berpeluang melahirkan aneka benturan,

mulai dari taraf pemahaman sampai pada praksis kehidupan sehari-hari. Ancaman

terhadap pluralitas dan perdamaian di Indonesia, sering kali datang dari konflik

antaragama. Oleh karena itu, Etika Global yang ditawarkan Küng mendesak

perlunya sebuah dialog yang kritis. Dialog model ini, yakni masing-masing pihak

harus saling memberi dan menerima apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan

juga bahwa harus bersedia saling memasuki hingga ke sisi-sisi yang paling sensitif,

6Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam (ed.),

Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta: Program

Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010), hlm.

17.

Page 6: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

5

hemat penulis, adalah baik bila mulai diterapkan di Indonesia. Indonesia butuh

sebuah dialog yang berani dan lebih terbuka, untuk tidak lagi mengulang kemelut

yang masih meninggalkan luka mendalam, semisal konflik di Situbondo (1996),

konflik di Poso – Ambon (1999), hingga belakangan ini, konflik antarideologi.

Akhirnya, dengan latar belakang dan alasan yang telah dijabarkan

sebelumnya, penulis merampungkan penelitian ini di bawah judul ETIKA

GLOBAL HANS KÜNG: Ihwal Tanggung Jawab Agama-agama dalam

Mewujudkan Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia. Dengan lain

perkataan, penelitian ini berikhtiar menemukan semacam panduan bersama dalam

relasi antaragama secara global dan pada gilirannya, berupaya mewujudkan

perdamaian di Indonesia berbasiskan dialog interreligius.

1.2 TUJUAN PENULISAN

Hasil penelitian ini disusun bukan tanpa tujuan. Tujuan penelitian ini ialah

sebagai berikut.

Pertama, meneliti Etika Global yang digagas Hans Küng sebagai salah satu

alternatif dalam menyudahi aneka krisis yang mendera dunia dan kembali

mewujudkan perdamaian. Hal-hal pokok yang hendak dicapai ialah mengetahui

sejarah lahirnya Etika Global, isinya, kekhasannya, poin-poin penting apa yang

ditekankan di dalamnya sampai pada ajakan-ajakan kepada semua pihak, menuju

sebuah tatanan dunia yang lebih baik.

Kedua, memperkenalkan Hans Küng, terlebih dalam kapasitasnya sebagai

penggagas Etika Global dimaksud. Lantaran Küng menitikberatkan tanggung jawab

mewujudkan perdamaian itu pada agama-agama, fokus utama skripsi ini ialah

kembali melihat secara umum hakikat masing-masing agama tersebut, juga

komunitas non-religius lainnya. Hal ini merujuk pada alasan betapa tatanan dunia

baru yang lebih baik merupakan tanggung jawab semua umat manusia, baik

beragama maupun tidak. Kendatipun berwajah ganda, agama-agama tetap punya

peran yang sangat penting dalam upaya mewujudkan perdamaian. Setelah melihat

dan berbicara pada konteks yang lebih luas, Etika Global Küng akan ditarik

relevansinya bagi terwujudnya perdamaian di Indonesia. Di titik ini, skripsi ini juga

bermaksud mempromosikan dialog interreligius dalam bingkai Etika Global Küng,

Page 7: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

6

sembari mengajak semua pihak, khususnya agen-agen penting dalam masing-

masing agama untuk terlibat dalam dialog yang saling memberi dan menerima,

tanpa prasangka, tanpa pandangan picik bahwa agama yang satu lebih baik dari

agama yang lain. Setelah promosi, besar harapan bersama, berkat kerja sama semua

pihak, perdamaian betul-betul dapat tercipta, meski akan selalu dibayang-bayangi

oleh aneka kesukaran sebagai konsekuensi logis dari fakta pluralitas.

Ketiga, penelitian ini penulis rampungkan menjadi sebuah skripsi, yang

berguna bagi penulis sendiri. Sebagai salah satu syarat, skripsi ini melengkapi

perjuangan panjang penulis dalam meraih gelar Sarjana Filsafat (S1) pada STFK

Ledalero. Skripsi ini tentu saja membantu penulis dalam memahami Etika Global

yang ditawarkan Küng, untuk selanjutnya, sebagai seorang akademisi, ikut ambil

bagian mempromosikan dialog menuju perdamaian di Indonesia, yang makin hari

makin ditandai dengan pelbagai macam kepelikkan.

1.3 METODE PENULISAN

Jenis studi dan penelitian yang penulis pilih ialah studi dan penelitian

kepustakaan. Dengan demikian, metode yang penulis gunakan ialah analisis

sumber-sumber asli. Sebagaimana lazimnya metode model ini, penulis tentu harus

mulai dengan memahami tema yang telah dipilih. Literatur-literatur yang ditulis

oleh Hans Küng terutama yang berkaitan dengan Etika Global dan tanggung jawab

agama-agama, penulis dalami secara sungguh. Aneka literatur yang berisikan

tentang Hans Küng dan sejumlah gebrakan dan gagasannya, juga penulis pelajari,

termasuk sumber-sumber yang berbicara tentang dialog antaragama, khususnya di

Indonesia. Bahan-bahan pendukung, penulis gali dari diskusi, data-data internet,

juga video-video yang berkaitan dengan Küng dan Etika Global-nya.

1.4 SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan yang penulis saji dan bahas berdasarkan judul

“Etika Global Hans Küng: Ihwal Tanggung Jawab Agama-agama Mewujudkan

Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia” ialah sebagai berikut.

Page 8: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

7

BAB I Pendahuluan, tersusun atas empat bagian pembahasan yakni latar

belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan. Latar belakang berisikan

pokok-pokok pikiran yang mendasari berdirinya bangunan skripsi ini, mulai dari

refleksi akan penting dan mendesaknya perdamaian sampai relevansi Etika Global

Küng bagi Indonesia. Bagian tujuan berisikan alasan dan sasaran yang hendak

penulis capai dalam penyusunan skripsi. Selanjutnya, pada bagian metode

penulisan, dijelaskan secara ringkas jenis studi dan penelitian juga metode

penulisan yang penulis gunakan. Lalu terakhir, bagian sistematika berisikan garis

besar isi skripsi ini.

BAB II Hans Küng: Hidup, Karya, dan Gebrakannya, terdiri dari empat

poin. Pertama, penulis merunutkan riwayat hidup dan sejumlah karya Küng.

Kedua, tokoh-tokoh kunci yang memengaruhi Küng dipresentasikan. Hal ini

penting, mengingat betapa pengaruh dari pihak lain akan juga amat menentukan.

Ketiga, penulis memaparkan gebrakan-gebrakan Küng dalam beberapa profesi

yang ia emban. Sekiranya pada poin ini, Küng yang satu dan sama itu dijumpai

dalam aneka peran yang khas dan unik. Dan keempat, beberapa tema penting yang

bersentuhan dengan Küng, penulis sebut dan jelaskan secara ringkas.

BAB III Etika Global Hans Küng, tersusun atas empat pokok penting. (a)

Penulis membedah lahirnya Etika Global yang digagas Küng, mulai dari peran

Parlemen Agama-agama, sejarah lahirnya Etika Global, sampai pengandaian

dasarnya. (b) Dokumen Etika Global diuraikan. Secara lebih terperinci, penulis

mengurutkan struktur, ciri khas, isi, hingga tuntutan dasar, dimensi-dimensi hakiki,

dan poin-poin mutlaknya. (c) Kritik atas Etika Global Küng. Dalam pokok ini,

penulis menunjukkan bahwa segala sesuatu, termasuk Etika Global Küng selalu

tidak pernah lepas dari sisi lemah yang mengundang kritik. Di lain sisi, kritik juga

diperlukan demi perbaikan dan efektivitas sebuah upaya. (d) Penulis

memperhadapkan Etika Global pada Teologi Pluralis, dengan pertanyaan, saling

menggantikan (alternatif) atau saling melengkapi (komplementer)?

BAB IV Sumbangan Etika Global Hans Küng bagi Terwujudnya

Perdamaian dan Relevansinya bagi Indonesia, tersusun atas tiga pokok

pembahasan. Pertama-tama, agama sebagai elemen penting dalam Etika Global

kembali dilihat. Agama, dalam banyak contoh, ternyata berwajah ganda, konstruktif

Page 9: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

8

dan destruktif. Pokok kedua, sumbangan Etika Global. Etika Global mendesak

dengan sungguh-sungguh tanggung jawab agama-agama – dengan berkaca pada

wajahnya yang konstruktif – mewujudkan perdamaian. Etika Global berikhtiar pula

membangun sebuah tatanan dunia baru yang lebih harmonis. Pokok terakhir,

relevansi riil Etika Global bagi Indonesia. Dalam pokok ini, dialog kritis yang

ditawarkan Küng ditekankan berulang-ulang dan tegas. Sudah saatnya Indonesia

mencoba sebuah model dialog yang lebih berani, demi menyudahi aneka konflik

yang pernah dan masih mewarnai ziarah bangsa ini.

BAB V Penutup, berisikan penegasan umum atau kesimpulan dan saran

yang harus diperhatikan bersama demi terwujudnya perdamaian. Beberapa pihak

yang berperan penting akan disebut secara khusus, diakhiri dengan ajakan tegas

pada semua umat manusia.

Page 10: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

BAB II

HANS KÜNG: HIDUP, KARYA, DAN GEBRAKANNYA

2.1 HIDUP DAN SEJUMLAH KARYANYA

2.1.1 Kontroversialis yang Kritis1

“Saya dikaruniai akal-pikiran, dan atas restu Tuhan, saya diberikan keberanian dan

kekuatan untuk bicara, maka saya harus bicara meskipun itu pahit”.

(Hans Küng, kepada TEMPO di Jakarta, April 2010)

Kontroversial, amat kritis juga dihujani banyak kritik, terlampau vokal, dan

tanpa tedeng aling-aling. Itulah kesan umum yang dapat diberikan setelah dengan

cermat mengikuti jejak langkah Hans Küng; teolog, profesor, etikus, imam Gereja

Katolik, penulis, pengajar, dan beberapa lainnya. Secara lebih khusus, melalui

pernyataan termasyhurnya yang mengaitkan dialog antaragama dengan

perdamaian, Küng menjadi salah satu ikon penting dalam dialog.2

1Bagian ini umumnya diolah lagi dari Herman Häring dan Karl-Josef Kuschel (eds.), Hans

Küng: His Work and His Way (Glasgow: William Collins & Co. Ltd., 1979), pp. 12-31 & 177-181,

sebagaimana terejawantah dalam Paul Budi Kleden, “Hans Küng tentang Infallibilitas dan

Implikasinya bagi Hubungan Teolog-Magisterium”, VOX, 33/2: 55-58, 1988.

2Lih. Zainal Abidin Bagir, “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam (ed.),

Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta: Program

Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010), hlm.

6.

Page 11: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

Hans Küng dilahirkan pada 19 Maret 1928 di Sursee, Kanton Lucerne,

Swiss. Karakternya yang suka berdiskusi dan mampu bekerja sama dengan siapa

saja, mulai tumbuh sejak masa pertama belajarnya di sebuah gymnasium, tempat ia

ditempa dalam atmosfir Katolik yang kuat. Keterlibatannya yang intens dalam

kelompok-kelompok pemuda Katolik menjadikannya seorang pribadi yang amat

terbuka, liberal juga ekumenis. Karakter-karakter khasnya ini turut pula

dipengaruhi oleh tradisi-tradisi intelektual yang hidup dan berkembang pada

zamannya.

Cita-citanya yang kuat untuk menjadi seorang imam dan motivasi teguhnya

untuk maju dalam ilmu pengetahuan mengantar Küng pada tahun 1948 menuju

Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, guna mendalami studi filsafat. Dari Swiss

ke Roma, Küng membawa serta kesadaran bahwa ia akan mengalami begitu banyak

perjumpaan, mulai dari kebiasaan sampai pada pemikiran, apalagi ia belajar di

bawah bimbingan para imam Yesuit. Kendati demikian, Küng muda yang gigih

tetap optimis, sehingga pada tahun 1951, ia meraih licensiat dalam bidang filsafat

dengan disertasi berjudul ‘Humanisme Atheis Jean Paul Sartre’. Mulai tahun yang

sama, 1951, dan di universitas yang sama, Gregoriana, Küng mendalami bidang

teologi. Pada 11 Oktober 1954, Küng ditahbiskan menjadi imam diosesan dalam

Gereja Katolik. Dahaga intelektual yang belum terpuaskan mengantar Küng

menuju Prancis. Dari tahun 1955 sampai 1957, ia belajar di Sorbonne dan Insitut

Catholique, hingga akhirnya berhasil mempertahankan disertasi doktoralnya

dengan judul Justificatio: La Doktrine de Karl Barth et Une Reflexion Catholique

(Pembenaran: Doktrin Karl Barth dan Sebuah Refleksi Katolik).

Setelah menyelesaikan studi, Küng menjalankan tugasnya sebagai gembala

umat dengan menjadi pastor pembantu di Paroki Lucerne, Hofkirche. Pengalaman

selama kurang-lebih dua tahun ini memengaruhi horizon pemikiran Küng dan

memprovokasinya secara militan untuk menyerang sikap Gereja yang terlalu kaku

dan dogmatis. Meski kritis dan gigih dalam melayangkan kritik dan kekecewaannya

terhadap Gereja terutama Magisterium, Küng tetap seorang imam Katolik. Küng

tidak beralih meninggalkan Gereja. Ia tetap mengabdi Gereja dengan menjalankan

tugasnya sebagai pemikir jeli yang progresif.

Page 12: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

Dari tahun 1959 sampai 1960, Küng menjadi asisten Prof. Herman Volk

yang mengajar teologi pada fakultas teologi Katolik, Universitas Münster. Hanya

satu tahun di Münster, pada tahun 1960, Küng diangkat menjadi profesor teologi

dogmatik dan ekumene pada Universitas Eberhard Karl, Tübingen, Jerman,

sekaligus menjabat Direktur Penelitian Ekumene di sana. Awalnya, para petinggi

Gereja Roma sangat menghormati segala apa yang dilakukan guru besar kajian

agama dan teolog terkemukan itu. Pada 1962, Küng diangkat sebagai penasihat

teologis resmi untuk mem-back up dan mempersiapkan Dewan Konsili Vatikan II

di bawah otoritas Paus Yohanes XXIII. Namun, ‘bulan madu’ antara Küng dan

Roma tidak berlangsung lama. Sikap Küng yang anti-eksklusivisme dan acap kali

secara tajam melayangkan kritik terhadap struktur otoriter Gereja Roma,

mengharuskan ia digusur. Klimaks posisi Küng sebagai kontroversialis yang kritis

terhadap Gereja khususnya Paus dan para Uskup menyata dengan diterbitkan

bukunya yang berjudul Infallible? An Inquiry (Infallibilitas? Suatu Telaah) pada

tahun 1970. Karya yang mengundang polemik hangat ini pada gilirannya mendepak

Küng menuju ‘ruang gelap’. Pada tanggal 15 Desember 1979, Kongregasi Ajaran

Iman mencabut Missio Canonica3 Hans Küng. Kendati diperlakukan tidak

mengenakkan macam itu, Küng tetap bertahan sebagai pengajar di Tübingen hingga

masa pensiunnya (Emeritierung) pada 1996.

2.1.2 Penulis Kreatif yang Produktif

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam Küng yang satu dan

sama, terdapatlah sejumlah profesi dan peran yang diembannya. Pada bagian ini,

karya-karya Küng hanya akan disoroti khusus dalam kapasitasnya sebagai penulis

kreatif yang produktif.

Karya-karya bernas Küng tidak lahir dan popular pada dekade 90-an saja.

Ia telah memulainya sejak dekade 60-an, setelah menyelesaikan studinya di

Universitas Gregoriana, Roma. Berkat bakat analitisnya yang telah terlatih dan

3Missio Canonica itu semacam nihil obstat (jaminan akan tidak adanya kesesatan) dari seorang

Uskup Jerman bagi seorang profesor teologi untuk dapat mengajar di Fakultas Teologi Katolik pada

universitas-universitas negeri di Jerman. Hal ini dibuat berdasarkan perjanjian antara Tahta Suci dan

Pemerintahan Jerman, antara lain pada tahun 1933.

Page 13: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

teruji, Küng melakukan aneka refleksi kritis di wilayah-wilayah vital dalam ruang

lingkup hidup umat manusia. Mulai dari iman sampai hubungan internasional, dari

agama sampai politik-ekonomi global. Sebuah bibliografi melansir bahwa antara

1955-1993, Küng telah menghasilkan sedikitnya 50 buah buku dalam bentuk jilid

tebal dan monogram-monogram tipis, yang separuhnya ditransliterasi ke pelbagai

bahasa, khususnya Inggris. Kreativitas, keuletan, dan kesabarannya benar-benar

mengagumkan.4 Aktivitas ilmiah dan penjelajahan intelektual Küng, semuanya

dituangkan dengan model tutur dan torehan bahasa yang demikian nikmat.

Karenanya, Küng diposisikan pada deretan penulis produktif yang konsisten dan

militan pada soal-soal kemanusiaan global.

Melalui karya-karyanya pula, Küng tersohor sebagai penulis produktif

teologi kontemporer. Buku-buku terkenalnya seperti On Being a Christian, Church,

Does God Exist? An Answer for Today, Paradigm Change in Theology, Christianity

and the World Religions, dan Theology for the Third Millenium, cukup representatif

mengindikasikan kebolehan Küng dalam memproduksi karya-karya intelektual

tingkat tinggi. Perlu diungkap agar diingat, Prof. Küng – yang produk-produk

kreativitas intelektual dan daya refleksinya telah memberikan sedemikian limpah

tuntunan teologis bagi sejumlah pengkaji teologi di seluruh dunia – merupakan

sosok yang mendapat welcome tidak hanya dari kalangan Kristen, tetapi juga dari

para pencari makna hidup dalam beragam budaya dan agama manusia.5

Jasa besar lainnya bagi kepustakaan intelektual dunia ialah dengan

kepiawaian gaya yang handal, ia mampu meretas isu-isu filosofis, etis, sosial,

politis, humanis, dan sebagainya lalu menyajikannya dalam bentuk yang enak

disantap. Semua karya yang berkaitan dengan Etika Global atau pengantarnya

untuk Kristologi Teologi Hegel, Women in Christianity, The Beginning of All

Things – Science and Religion, atau Infallible? An Inquiry, dapat menjadi contoh

4Lih. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru

bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI. Cet. ke-2, penerj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam,

2010), hlm. ix.

5Ibid., hlm. x.

Page 14: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

yang diunggulkan. Küng menerima sejumlah penghargaan dan doktor kehormatan

untuk prestasi-prestasi kecendekiawanannya yang menonjol.6

2.2 TOKOH-TOKOH YANG MEMENGARUHI KÜNG

Küng barangkali tidak menampilkan secara eksplisit sebuah uraian yang

dalamnya disebutkan atau dapat ditemukan siapa saja yang berperan penting dalam

hidup dan pengembaraan intelektualnya. Oleh karena itu, bagian ini sejauh dapat

mengumpulkan dari pelbagai sumber, tokoh-tokoh yang sekiranya memengaruhi

Küng atau berhubungan dengannya secara cukup intens.

Pertama, Karl Barth. Mulai 1951, Küng belajar teologi pada Universitas

Gregoriana, Roma. Agustinus Bea (yang kemudian menjadi Kardinal Bea) dan

Robert Leiber (sekretaris pribadi Paus Pius XII) merupakan dua dari sejumlah

profesor yang membimbingnya. Di samping itu, ada Hans Urs von Balthasar dan

Yves Congar. Sejak saat itu, Küng mulai mendalami teologi Barth, teolog yang

sangat dikaguminya. Bagi Küng, Karl Barth, teolog Protestan berkebangsaan Swiss

itu membawa perkembangan pesat dalam teologi Protestan, yang pada gilirannya

memengaruhi teologi Katolik. Barth menyerang ‘teologi liberal’ dan

mengembangkan secara konsisten ‘teologi dialektis’ atau ‘teologi krisis’. Teologi

ini berkembang menjadi suatu aliran teologi yang dikenal sebagai neo-ortodoksi,

yang memengaruhi teologi selama sekian dasawarsa. Küng termasuk salah satu

yang serius menggumulinya.7

6Selain Hans Küng: His Work and His Way hasil godokan Herman Häring dan Karl-Josef

Kuschel; A Passion of Truth: A Biografy of Hans Küng karya Robert Nowell dapat pula disimak

sebagai bahan pelengkap. Dalam buku ini, Robert Nowell secara spesifik menampilkan presentasi

paling autentik tentang upaya-upaya teologis Prof. Küng. Ibid.

7Bdk. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 56. ‘Teologi liberal’ yang dicetuskan oleh Friedrich

Schleiermacher muncul pada Zaman Pencerahan (abad 17-19 M) akibat berkembangnya paham

rasionalisme. Ciri-cirinya antara lain, menolak Alkitab sebagai Firman Allah, menolak Yesus

sebagai Allah, menolak doktrin-doktrin inti Kristen, dan menolak mitos yang ada dalam Kitab Suci.

Lih. Teologi Liberal (Online), (http://www.percaya.web.id/2016/09/teologi-liberal.html, diakses

pada 5 Mei 2017). Barth kemudian mengembangkan sebuah Neo-ortodoksi sebagai perlawanannya

terhadap ‘teologi liberal’ tersebut. Neo-ortodoksi juga dikenal sebagai ‘teologi dialektis’ (untuk

menjelaskan pengontrasan relasi Allah dan manusia) atau ‘teologi krisis’ (untuk mengindikasikan

bahwa seseorang sampai pada pengalaman bersama Allah melalui situasi krisis). Neo-ortodoksi

merupakan suatu reaksi terhadap kegagalan liberalisme. Baca selengkapnya dalam Teologi Neo-

Ortodoksi (Online), (http://www.sarapanpagi.org/teologi-neo-ortodoksi-vt2082.html, diakses pada

5 Mei 2017).

Page 15: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

Kedua, Karl Rahner. Relasi Küng dan Rahner tampak amat suportif. Sejak

mulai sering diundang berceramah untuk soal-soal ekumene dalam pelbagai

pertemuan, Rahner mendorong Küng untuk mengikuti program habilitasi dan

melanjutkan penelitian tentang Kristologi dalam filsafat Hegel. Ini tema yang sudah

digumuli Küng sejak mulai mendalami filsafat. Setelah diangkat menjadi Direktur

Institut Penelitian Ekumene di Tübingen, Küng bersama Rahner, Yves Congar dan

beberapa tokoh lainnya mendirikan buletin teologi internasional, Concilium.8

Ketiga, Joseph Ratzinger.9 Sejatinya, Küng dan Ratzinger merupakan

sepasang sahabat lama. Pada 1962, Küng dan Ratzinger diangkat menjadi peritus

oleh Paus Yohanes XXIII. Keduanya bertugas sebagai penasihat ahli teologi bagi

para anggota Konsili Vatikan II, hingga selesai pada 1965. Sudah sejak Konsili ini

berlangsung, relasi keduanya menegang.10 Bagi Küng, Ratzinger (Paus Benediktus

XVI) itu seorang tradisionalis. Ketika masih di Tübingen, Jerman, Küng yang

pernah menjabat Dekan Fakultas Katolik mengusulkan kepada Dewan Dosen

Katolik di Tübingen untuk mengangkat Ratzinger sebagai profesor dogmatika.

Awalnya, sebagai teolog, Ratzinger cukup terbuka. Namun, seiring berjalannya

waktu dan oleh sebab aneka pengaruh, ia menjadi kian konservatif dan sekarang

menjadi semakin tradisionalis, melindungi secara ketat prinsip-prinsip kepausan.

8Ibid., hlm. 57. Dalam pergumulan Kristosentris, untuk menemukan relasi lain antara keduanya,

gagasan Kristen Anonim Rahner sering diperhadapkan atau dibahas bersama gagasan Kristen ‘in

spe’ Küng. Lih. E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah

(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 283-286.

9Bagian ini diolah kembali dari sebuah hasil wawancara bersama TEMPO pada April 2010. Lih.

Andree Priyanto, Paus Benediktus Mesti Bertanggung Jawab (Online),

(http://dunia.tempo.co/read/news/2010/04/29/117244222/wawancara-profesor-hans-kung-paus-

benediktus-mesti-bertanggung-jawab, diakses pada 22 Februari 2016).

10Adalah Pastor Henri de Lubac, SJ, teolog Prancis kawakan, yang selalu mengamati keduanya.

Dalam buku harian Vatikan II yang ditulisnya, Henri de Lubac mengamati semangat kedua orang

tersebut. Ratzinger digambarkan sebagai orang yang sangat cerdas, dengan kepribadian yang

‘tenang dan ramah’. Sebaliknya, Küng memiliki ‘keberanian orang muda’ dan berbicara dengan

menggunakan istilah-istilah ‘keras, gamblang, dan polemis’. de Lubac sendiri, kebetulan, adalah

seorang yang dalam hidupnya selalu menjadi model kesopanan. Maka, karakter Küng jelas

mengganggunya. Setelah Konsili Vatikan II, Ratzinger dan Küng mengambil jalan yang sangat

berbeda. Ratzinger muncul sebagai pembela kuat ortodoksi Katolik dan akhirnya terpilih menjadi

paus. Küng menjadi selebriti teologis dan sangat antagonis terhadap kepausan. Baca selengkapnya

dalam Samuel Gregg, Ratzinger dan Küng: Paralel dan Divergen (Online),

(http://indonesia.ucanews.com/2011/03/25/ratzinger-dan-kung-paralel-dan-divergen/, diakses pada

25 Oktober 2016).

Page 16: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

Ratzinger seorang pengkritik antara lain homoseksualitas, pernikahan kelamin

sejenis, dan aborsi.

Setelah perseteruan yang panjang dan sengit, pada 2005, keduanya bertemu,

sesuatu yang mengejutkan banyak pengamat. Küng menegaskan, dalam hal-hal

yang amat substansial, keduanya tidak akan pernah sejalan. Oleh karena itu,

pertemuan di tempat peristirahatan paus di pegunungan Albania itu lebih kepada

pembicaraan tentang soal-soal yang lebih umum. Keduanya berdiskusi dalam

suasana yang begitu hangat seputar dialog interreligius terutama dengan Islam dan

Etika Global yang digagas Küng.

2.3 HANS KÜNG DAN GEBRAKANNYA

Setelah menyoroti sepak terjang Küng sebagai penulis kreatif yang

produktif, gebrakan-gebrakan lainnya dapat pula dirunut dalam pelbagai sumber.11

Bagian ini khusus berisikan presentasi singkat tentang Küng dalam kapasitasnya

sebagai tokoh kunci perumusan Etika Global.

Pada 1993, Parlemen Agama-agama Dunia yang pertama kali digelar pada

1893 di Chicago diperingati genap berusia 100 tahun. Jauh-jauh hari, di tengah

pelbagai persiapan merayakannya, juga di Chicago, Prof. Küng memulai sebuah

proyek yang kemudian pada 1990 dikenal sebagai Projekt Weltethos.12 Buku

dengan judul yang sama ini merupakan antologi beberapa ceramah tertulis yang

Küng – Presiden Global Ethic Foundation – berikan pada 1989 dalam sebuah

pertemuan UNESCO di Paris, juga di Toronto dan Chicago. Dalam pengantar buku

ini, Küng mengungkapkan apa yang sejak sedia kala diimpikannya.

Telah semakin jelas bagi saya beberapa tahun terakhir bahwa satu dunia di mana kita hidup

memiliki sebuah kesempatan untuk bertahan, hanya jika tak ada lagi ruang apa pun di

dalamnya bagi etika yang berbeda, bertentangan dan bahkan antagonistis. Dunia yang satu

ini membutuhkan satu etika mendasar. Masyarakat dunia yang satu ini sudah pasti tidak

11Gambaran tentang Küng dan gebrakan-gebrakan lainnya, dapat pula ditemui salah satunya

dalam Hans Küng (Online), (https://en.wikipedia.org/wiki/Hans_ Küng, diakses pada 5 Desember

2015).

12Gebrakan dahsyat ini dirampungkan Küng dalam bukunya Projekt Weltethos (München: R

Piper GmbH & Co. KG, 1990). Versi asli berbahasa Jerman ini kemudian ditransliterasi ke bahasa

Inggris oleh John Bowden dengan judul Global Responsibility. In Search of a New World Ethic,

1991.

Page 17: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

membutuhkan sebuah agama tunggal dan sebuah ideologi tunggal, namun ia membutuhkan

beberapa norma, nilai dan tujuan untuk membawanya bersama dan untuk mengikat

padanya.13

Impian Küng ini sebetulnya telah sejak lama pula berjalan seiring dengan

solusi ultimate-nya, the need for a global ethic.14 Kalimat kunci ini selanjutnya

menjadi inti dari setiap pernyataan Küng, juga sentral dari segala upaya intelektual

dan riset akademisnya. Salah satu momentum terbaik yang pernah diperoleh Küng,

beberapa bulan selepas berceramah dalam pertemuan UNESCO, Paris, ialah ketika

Ronald Kidd – belakangan menjadi administrator Dewan Parlemen Agama-agama

Dunia (The Council for a Parliament of the World’s Religion - CPWR) – memberi

kepercayaan kepadanya untuk merumuskan draft Deklarasi Agama-agama untuk

Etika Global (Declaration of the Religions for a Global Ethic), pada tahun 1992-

1993.15

Pada 27 Februari 1992, Dr. Daniel Gómez-Ibánes, Direktur Eksekutif

CPWR, bertemu Prof. Küng dan mendapat kesepakatan bahwa Küng akan

membuat kertas kerja dasar yang akan dipakai dalam rangka perumusan A Global

Ethic. Pada musim panas 1993, gagasan draft dokumen tersebut mulai didiskusikan

dalam sebuah kolokium interdisipliner yang melibatkan peserta dari pelbagai

agama. Penekanan draft tersebut tidak pada aspek yuridis atau politis, tetapi lebih

kepada nilai-nilai, standar, dan sikap-sikap fundamental yang memungkinkan

terwujudnya sebuah konsensus yang dapat disepakati oleh semua agama dunia.

Parliament of the World’s Religion yang diselenggarakan di Chicago sejak 28

Agustus – 4 September 1993 dihadiri oleh 6.500-an peserta. Teks final deklarasi

tersebut ditandatangani oleh hampir 200 delegasi agama-agama dunia.16

13Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,

1991), p. xvi. Kutipan ini diterjemahkan oleh Joas Adiprasetya, dalam Joas Adiprasetya, Mencari

Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2002), hlm. 133.

14Bdk. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru

bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. xiii.

15Ibid., hlm. xv.

16Ibid.

Page 18: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

2.4 BEBERAPA TEMA KUNCI YANG BERSENTUHAN DENGAN KÜNG

2.4.1 Pembenaran

Bagi Karl Barth, Injil bukanlah suatu kebenaran di antara pelbagai

kebenaran lain. Sebaliknya, Injil membubuhkan tanda tanya terhadap semua

kebenaran.17 Barth tidak hanya melontarkan pernyataan tersebut, tetapi lebih

kepada menghabiskan masa hidupnya untuk membubuhkan tanda tanya, di dalam

nama Kristus, terhadap aneka bentuk ‘kebenaran’. Dalam prosesnya, dampak

pencariannya ini telah mengubah arah teologi modern.

Küng yang berjiwa ekumenis kemudian berusaha menemukan pokok

perbedaan antara teologi Katolik dan teologi Protestan. Dalam upayanya ini, Küng

mendapati bahwa distingsi tersebut terutama terletak pada ajaran tentang

pembenaran (justifikasi). Dan persis, inilah suatu pokok yang menjadi tema sentral

dalam teologi Barth. Dalam disertasinya, Justificatio: La Doktrine de Karl Barth et

Une Reflexion Catholique, Küng coba membuat komparasi antara ajaran

pembenaran Barth dengan ajaran Katolik versi Konsili Trente. Sebagai konklusi,

Küng menggarisbawahi, apabila kedua ajaran ini dibaca secara cermat dalam

konteksnya masing-masing, sebetulnya tidak ada pertentangan di dalamnya.18

Disertasi ini lalu dibukukan dan langsung mendapat respon kurang positif

dari beberapa pihak di Vatikan. Küng, dengan ini, langsung digiring masuk menuju

arena perdebatan dengan para tradisionalis dan reformis dalam tubuh Gereja

Katolik Roma. Menurut mereka, Küng salah membaca ajaran Trente dan

karenanya, menarik pula kesimpulan yang tidak dapat diterima. Kritik ini kemudian

dikenal sebagai Dokumen 399/57, yang tidak pernah diumumkan, karena Küng

17Lih. Denmas Marto, Karl Barth. Membubuhkan Tanda Tanya terhadap Kebenaran (Online),

(http://www.geocities.ws/denmasmarto/barth.html, diakses pada 15 Oktober 2016).

18Lih. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 56. Pertalian antara ajaran pembenaran menurut Barth

dan ajaran Katolik versi Konsili Trente dapat dibaca dalam Hendra M. Sihombing, Sejarah

Deklarasi Bersama tentang Ajaran Pembenaran Iman antara Protestan dan Katolik (Online),

(http://mextedi.blogspot.co.id/2012/04/blog-post_22.html#!, diakses pada 5 Mei 2017).

Page 19: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

masih dibela oleh segelintir profesor yang juga memainkan peran penting di

lingkaran Vatikan.

2.4.2 Infallibilitas

Infallibilitas Paus dan Kolegium para Uskup, sepanjang sejarah Gereja,

merupakan dogma yang banyak kali dipersoalkan. Namun, Küng yang kritis itu,

dialah yang paling vokal dan konsisten mempertanyakan serta menolaknya. Hingga

hari ini, ia tetap gigih menentang kewibawaan Paus yang disebutnya sebagai

ciptaan manusia dan bukan sesuatu yang ditetapkan oleh Allah.19

Infallibilitas yang dipersoalkan Küng tidak ia definisikan secara eksplisit.

Beberapa kesimpulan berdasarkan apa yang ditulis Küng, antara lain cukup tegas

mempresentasikan maksud Küng tentang infallibilitas.20 Atau (1) kesanggupan

yang dimiliki para pemimpin Gereja, khususnya Paus, yang membuat mereka kebal

terhadap segala macam kesesatan menyangkut putusan-putusan doktrinal, atau (2)

kekebalan dari kekeliruan atas definisi-definisi dogmatis yang sudah selalu dimiliki

karena bantuan istimewa dari Roh Kudus, atau (3) anugerah yang diberikan kepada

para Uskup setiap kali mereka membutuhkan dan memohonkannya demi

mengeluarkan ajaran yang berwibawa. Küng menolak kapasitas istimewa ini

dengan pelbagai alasan, salah satunya, secara epistemologis, tidak akan mungkin

suatu putusan mengungkapkan suatu kebenaran yang tak dapat keliru, siapa atau

apa pun instansi yang mengeluarkannya.

19Penolakan radikal ini Küng sampaikan juga secara terbuka dalam sebuah wawancara bersama

TEMPO pada April 2010. Lih. Andree Priyanto, loc. cit.

20Peter Chirico, Theological Studies, 42: 530, 1981, dalam Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 59.

Uraian lengkap tentang infallibilitas beserta sejumlah alasan Küng menolaknya, juga tentang

hubungan teologi-magisterium dan catatan kritis atas pandangan Küng ini, dapat dibaca secara

lengkap dalam ibid., hlm. 59-78.

Page 20: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

2.4.3 Teologi Ekumenis

Universalitas teologi21 yang diupayakan oleh Wilfred Cantwell Smith dan

Leonard Swidler mendapat nama baru dari Küng, yakni teologi ekumenis. Kata

‘ekumenisme’ diadopsi dari tulisannya untuk mengawali suatu diskusi tentang

teologi dialog, Toward a New Concensus in Catholic (and Ecumenical) Theology

dan What Is True Religion? Toward An Ecumenical Criteriology. Atensi Küng

sejatinya juga berkisar pada soal-soal seputar dialog dengan agama-agama lain.

Tesisnya yang kemudian menjadi landasan di atasnya ia berkiprah ialah “Tiada

perdamaian di dunia ini, jika tiada perdamaian di antara agama-agama; tiada

perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog; tiada dialog interreligius tanpa

usaha untuk saling memahami satu sama lain tradisi agama-agama; dan tiada saling

pengertian di antara agama-agama, bila tidak diusahakan suatu upaya teologis yang

bersifat ekumenis atau dialogis.”22

Pertanyaan penting selanjutnya, apakah yang menjadi basis sikap orang

Kristen dalam membangun teologi dialog? Menurut Küng, titik tolak dialog harus

berawal dari sikap bahwa kebenaran bukanlah monopoli Kristen. Itulah sebabnya

Küng mengusulkan ‘kriteria etika umum’ untuk membangun suatu dialog

interreligius dengan apa yang disebutnya sebagai ciri humanum.23 Humanum berarti

bersifat manusiawi, karenanya, berlaku untuk semua agama.

21Pengertian teologi dialog sebagi teologi universal dipromosikan oleh Smith dan Swidler.

Smith berpandangan bahwa suatu teologi universal haruslah dibangun di atas fondasi sejarah semua

agama. Tidak ada satu pun pernyataan teologis yang valid mengenai suatu agama, kecuali

pernyataan itu diterima oleh pemeluk-pemeluk agama tersebut dan tradisi agama dari yang

mengeluarkan pernyataan itu. Sedangkan bagi Swidler, teologi dialog harus memiliki pengertian

sebagai teologi universal tentang agama-agama. Teologi universal dimaksudkan sebagai teologi

yang dapat menjangkau semua agama dan atau semua komunitas religius. Swidler menegaskan agar

para teolog teologi universal harus mampu membahasakan teologinya sedemikian rupa sehingga

dapat diterima oleh semua agama. Baca uraian lengkapnya dalam E. Armada Riyanto, op. cit., hlm.

250-258.

22Ibid., hlm. 259.

23The humanum ini sama dengan soteria, dalam bahasa Paul F. Knitter. Namun, Knitter

menambahkan the cosmicum atau dimensi ekologis pada the humanum tersebut. Jika hanya

memusatkan diri pada manusia, demikian Knitter, akan sangat mudah tergelincir ke dalam

antroposentrisme yang telah memaklumi penyalahgunaan dan pembasmian kehidupan non-manusia

dan sistem-sistem penopang kehidupan. Hal ini sejalan dengan Küng, bahwa kesejahteraan umat

manusia tidak dapat tidak terikat pada kesejahteraan bumi, dengan demikian, sebuah etika global

harus berakar dalam sebuah kepedulian bagi manusia dan ekologi. Lih. Paul F. Knitter, One Earth

Many Religions. Multifaith Dialogue & Global Responsibility (New York: Orbis Books, 1995), pp.

Page 21: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

2.4.4 Projekt Weltethos

Projekt Weltethos merupakan proyek etika global garapan Hans Küng, yang

mulai familiar pada 1990. Küng optimis, dunia yang sakit ini dapat diobati dan

perdamaian dapat terwujud, dengan adanya Etika Global. Tata dunia yang baru

(global order) harus didampingi secara kritis oleh Etika Global (Global Ethic).

Küng meringkas dan mendasari seluruh upayanya ini dalam tesisnya yang terkenal,

“Kein Ȕberleben ohne Weltethos.

Kein Weltethos ohne Religionsfriede.

Kein Religionsfriede ohne Religionsdialog.”24

Bab selanjutnya akan membahas proyek ini secara lebih eksklusif.

2.5 KESIMPULAN

Tidak ada teolog pada abad ke-20 yang mengelaborasi hampir seluruh

dimensi kekristenan seluas apa yang diupayakan secara militan dan konsisten oleh

Hans Küng. ‘Sebuah fenomena unik dalam teologi abad XX’, frasa ini cocok

dialamatkan pada Küng, yang luas cakupan atensinya mulai dari diskusi mengenai

Allah, Kristus, Gereja, hidup kekal, pembenaran, metode berteologi, teologi agama-

agama, problem-problem etis yang memuncak pada proyek Etika Global, sampai

pada soal-soal seputar seni dan dialog antaragama.25

Di satu sisi, melebihi para teolog berbahasa Jerman lainnya, percikan

pemikiran Küng sangat memengaruhi dunia persepsi keimanan Katolik. Dalam

khazanah dunia intelektual, refleksi-refleksi teologis dan moral Küng jauh

melampaui konsen ecclesiastical-nya – karakter kependetaan dan sikap

gerejawinya. Kendatipun dalam dirinya masih tersemat peran intelektual sebagai

98-99. Kriteria kebenaran yang diusulkan Küng ini dapat dibaca secara lengkap dalam Hans Küng,

“What Is True Religion? Toward an Ecumenical Criteriology”, dalam Leonard Swidler (ed.),

Toward a Universal Theology of Religion (New York: Orbis Books, 1987), pp. 239-243.

24Lih. Hans Küng, Projekt Weltethos (München, Zürich: Piper, 1992), 13. Secara harfiah penulis

terjemahkan dengan “Tidak ada kehidupan tanpa etika global. Tidak ada etika global tanpa

perdamaian antaragama. Tidak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama”. Informasi

lainnya sehubungan dengan proyek ini dapat ditelusuri dalam (http://www.uni-

tuebingen.de/stiftung-weltethos/indexe.html).

25Lih. Werner G. Jeanrod, “Hans Küng”, dalam David F. Ford (peny.), The Modern

Theologians. An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century. Vol. 1 (Oxford: Basil

Blackwell, 1989), p. 164.

Page 22: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

21

‘juru bicara’ Kristen Katolik, Küng tetap menjauhi sikap eksklusivitas dalam

beragama. Ia malah asyik dengan kampanye mempromosikan pemikiran Gereja

liberal. Tidak hanya itu, Küng pun banyak mengritik sisi-sisi picik dari dunia

teologi Katolik sendiri. Dan persis, karena itulah, intimitasnya dengan institusi

Gereja tidaklah terlalu mesra. Hal inilah yang mengakibatkan relasi yang renggang,

untuk tidak mengatakan bermusuhan, antara Küng dan para petinggi Gereja.26

Di lain sisi, dapat pula dikatakan, separuh hidup Küng betul dijiwai dan

dimotori oleh kesadaran akan krisis fundamental yang sejak dahulu hingga kini

mendera bumi dan isinya. Gambaran dunia kian suram. Agama-agama sering

disalahgunakan untuk tujuan-tujuan politis, termasuk untuk perang. Hidup manusia

penuh dengan hal-hal menjijikkan, cabul, dan memuakkan. Selain menegaskan

bahwa semuanya ini tidak seharusnya terjadi, Küng yakin, ada jalan keluar untuk

menyembuhkan luka-lukanya. Sebuah etika, Etika Global, yang sebetulnya telah

ada dalam ajaran setiap agama dunia, sangatlah potensial untuk melawan

kemalangan global ini. Tentu saja, etika model ini tidak memberikan solusi

langsung atas semua problem dunia yang menggunung, tetapi paling kurang mampu

menjadi fondasi moral demi tatanan sosial yang lebih baik.27

26Bdk. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru

bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. vii-viii.

27Ibid., hlm. xii-xiii.

Page 23: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

BAB III

ETIKA GLOBAL HANS KÜNG

3.1 LAHIRNYA ETIKA GLOBAL

3.1.1 Parlemen Agama-agama Dunia

Etika Global bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja tanpa latar belakang

yang jelas dan pasti. Ibarat sebuah bangunan yang berfondasi, Etika Global

memiliki basis atau landasan historis, di atasnya ia berdiri. Landasan historis

dimaksud ialah Parlemen Agama-agama Dunia. Bagian pertama Bab ini berisikan

informasi singkat seputar dua Parlemen yang pernah diselenggarakan. Fokus

informasi yang disajikan di sini tentu lebih ke poin-poin yang menjadi cikal-bakal

lahirnya Etika Global.

3.1.1.1 Parlemen Agama-agama Dunia 1893

The World’s Parliament of Religions – sebutan pertama – yang

diselenggarakan pada 1893 di Chicago, Amerika Serikat, merupakan peristiwa

pertama serentak monumental yang mencatat sejarah perjumpaan antariman di

dunia. Pada tahun yang sama, benua Amerika yang ditemukan oleh Christopher

Columbus tepat berusia 400 tahun sejak penemuannya dan Parlemen ini

Page 24: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

diselenggarakan untuk memperingatinya. Oleh sebab itu, roh americanism telah

sejak permulaan mewarnai Parlemen ini.1

Joas Adiprasetya merangkum hasil penelusurannya atas situasi historis

Amerika yang memotivasi lahirnya Parlemen Agama-agama Dunia 1893, sebagai

berikut.

(a) Sejak awal Amerika telah berjuang dan bergumul dengan persoalan kemanusiaan,

khususnya dengan isu perbudakan yang berlangsung berabad-abad. Legitimasi teologis2

yang dikerjakan oleh para pendukung perbudakan berhadapan secara frontal dengan

semangat kemanusiaan yang pada akhirnya secara politis dimenangkan oleh kelompok

kedua. Semangat kebebasan beragama ditegakkan dan pada saat yang sama semangat

inklusif tersebut pada dirinya menuntut pula penghargaan terhadap gagasan-gagasan

konservatif, sebagaimana pernah dimunculkan oleh kelompok-kelompok pro-perbudakan

di Selatan. Dengan demikian, persoalan rasial dengan legitimasi teologis ini memang

bermunculan dalam sejarah bangsa ini. (b) Semangat pluralitas religius ini pada gilirannya

memberi tempat seluas-luasnya bagi permunculan agama-agama non-Kristen serta cults

dalam kehidupan bangsa Amerika. Kenyataan ini menuntut Amerika untuk selalu

meneguhkan jati diri (identitas)-nya sebagai sebuah bangsa. (c) Pluralitas yang terjadi

dalam tubuh kekristenan di Amerika muncul bukan pertama-tama karena perbedaan tradisi

dan teologi, namun lebih sebagai perbedaan orientasi politis terhadap isu-isu nasional yang

muncul (spt. isu negro mis.). (d) Sementara itu, pengaruh pemikiran evolusioner yang

diletupkan oleh pemikiran Darwin ikut pula memberi sumbangan bagi usaha pencarian

identitas keamerikaan. Kekristenan Amerika oleh sebagian pihak lantas dipandang sebagai

bentuk tertinggi dalam seluruh proses evolusi agama-agama. (e) Secara politis, pusat

kehidupan Amerika bergeser ke kota-kota besar. Gaya hidup dan corak berpikir urban dan

metropolis ini turut menentukan terciptanya kebangsaan nasional Amerika. Kehidupan

urban ini menjadi cikal-bakal masa depan Amerika sebagai sebuah bangsa modern.3

Dalam situasi sosio-politik dan religius sebagaimana telah dijabarkan,

Parlemen Agama-agama Dunia 1893 terselenggara. Parlemen yang secara resmi

dibuka pada 11 September 1893 ini berhasil mengumpulkan lebih dari empat ribu

orang dari masing-masing agama dan keyakinan, di antaranya Kristen Protestan,

1Winthrop S. Hudson, Religion in America: An Historical Account of the Development of

American Religious Life (New York: Charles Scribner’s Sons, 1965), p. 253.

2Legitimasi teologis di sini merujuk pada referensi yang digunakan oleh sekian banyak teolog

dan pemimpin Gereja di Selatan Amerika, yakni referensi biblis. Mereka menyatakan bahwa Alkitab

sendiri tidak menolak adanya perbudakan, bahkan menetapkannya. Teks tentang Ham, anak Nuh

yang menjadi leluhur orang kulit hitam, misalnya, banyak disebut sebagai inspirasi langgengnya

praktik perbudakan. Martin E. Marty menyebut legitimasi atas struktur perbudakan ini didukung

pula oleh ciri Gereja di Selatan yang terlampau spiritual-individualistik. Bdk. Martin E. Marty,

Righteous Empire: The Protestant Experience in America (New York: The Dial Press, 1970), p. 64.

3Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan

Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 116-117. Uraian yang lebih lengkap

tentang lima pokok ini dapat dibaca dalam ibid., hlm. 109-116. Sebagai penegasan awal, dalam

bukunya, Joas menerjemahkan kata Ethic dengan Etik, sedangkan penulis menerjemahkannya

dengan Etika. Penulis tetap menggunakan buku Joas sebagai referensi, tetapi mengganti semua kata

Etik dengan Etika. Penulis mengikuti terjemahan Ali Noer Zaman dan Franz Magnis-Suseno.

Keseluruhan karya ilmiah ini menggunakan kata Etika.

Page 25: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Kristen Katolik, Judaisme, Kristen Ortodoks Timur, Islam, Hinduisme, Buddhisme,

Taoisme, Shintoisme, Konfusianisme, Zoroastrianisme, dan Jainisme, di Hall of

Columbus.4 Sekalipun Parlemen ini tidak menghasilkan organisasi tertentu yang

meneruskan upaya yang sudah dirintis, idealisme yang menjadi spirit tetap hidup

dan berlanjut. Sejak Parlemen ini, muncul semangat baru di kalangan pemimpin

agama untuk berdialog dengan pemimpin agama-agama lain. Secara akademik,

Parlemen ini mendorong lahirnya studi-studi tentang agama-agama, baik

komparatif maupun historis, mempelajari agama-agama dalam dirinya sendiri

dalam konteks sejarah mereka masing-masing. Ringkasnya, Parlemen ini

mengilhami begitu banyak orang yang berusaha mencari pemahaman yang sama di

antara agama-agama dan mengusahakan kerja sama antarpemeluk agama bagi

terciptanya masyarakat dunia yang lebih baik.

3.1.1.2 Parlemen Agama-agama Dunia 1993

Setelah 100 tahun berlalu, kenangan akan peristiwa monumental pada 1893

perlu diperingati. Lebih dari sekadar mengenang, The Parliament of World’s

Religions – sebutan kedua – kembali digelar pada 1993 sebagai respon serius atas

situasi global yang terjadi selama rentang waktu satu abad sebelumnya. Parlemen

kedua ini menandai pula kesungguhan proyek agama-agama di dunia untuk

membentuk suatu tata dunia baru (a new global order) yang lebih humanis.

Beberapa latar historis yang memprovokasi terselenggaranya Parlemen Agama-

agama Dunia 1993, antara lain sebagai berikut.5

Pertama, bangkitnya post-modernisme. Dua puluh satu tahun selepas

Parlemen pertama, pecah Perang Dunia I (1914-1918). Negara-negara Kristen

adikuasa kala itu, Jerman dan Inggris Raya, diguncang dengan hebat. Beberapa

peristiwa penting lainnya semisal revolusi di Cina (1911-1949), lepasnya India dari

genggaman Inggris Raya (1947), pada 1948 Israel berhasil mendirikan

pemerintahan yang merdeka dan gerakan Zionisme kembali ke Palestina, serta

bangkitnya dua negara adikuasa yang baru, Amerika Serikat (kapitalisme) dan Uni

4Ibid., hlm. 117.

5Ibid., hlm. 128-131.

Page 26: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Soviet (sosialisme), patut diberi perhatian. Peristiwa-peristiwa akbar ini pada

gilirannya memengaruhi pergeseran global dari dunia modern menuju yang post-

modern. Ciri post-modernisme yang plural merambah pula hingga ke dimensi

religius. Pusat-pusat agama tunggal mulai tersibak, metanarasi-metanarasi perlahan

runtuh. Pluralitas tidak lagi menjadi sesuatu yang asing, melainkan fakta hic et

nunc. Keberagaman tradisi religius memang sudah disadari sejak 1893, tetapi

belum tuntas melepaskan bangsa Amerika dari pandangan yang menomorsatukan

Kekristenan sebagai tradisi agama tertinggi. Bukti paling nyata, mayoritas peserta

pada Parlemen pertama beragama Kristen. Sebaliknya, Parlemen 1993 memberi

penekanan pada kenyataan bahwa pluralitas tidak lagi dapat dihindari. Agama-

agama lain dihargai sebagaimana adanya mereka, tidak lagi subordinat terhadap

agama Kristen.

Kedua, Chicago sebagai model. Sebagai negara tempat terselenggaranya

dua Parlemen Agama-agama Dunia, Amerika Serikat, secara religius amatlah

majemuk. Terpilihnya kota Chicago secara khusus sebagai tempat

penyelenggaraan, tidak lepas dari situasi keagamaan di sana. Mayoritas pemeluk

dari masing-masing keyakinan, di antaranya Buddhisme, Hinduisme, Jainisme, dan

Islam, menetap di kota ini. Oleh sebab fakta pluralitas ini, Chicago dapat dipandang

sebagai mikrokosmos yang mewakili seluruh rupa makrokosmos kemajemukan

dunia. Chicago menjadi model, contoh. Ironisnya, Chicago yang berwajah plural

itu justru satu-satunya kota metropolitan di Amerika Serikat yang tidak memiliki

satu pun organisasi antariman sendiri. Inilah alasan bagi Council for a Parliament

of the World’s Religions (CPWR) di kemudian hari memprakarsai berdirinya The

Metropolitan Chicago Interreligious Initiative (MCII).6

Perkembangan menarik sejak Parlemen pertama ialah intensitas perjumpaan

antara agama-agama. Beberapa lembaga dialog dan peristiwa-peristiwa dialogal

telah diadakan. Kendati demikian, transformasi zaman tetap membawa serta

kenyataan-kenyataan destruktif yang tidak terhindarkan, semisal konflik dan perang

yang juga dimotori oleh agama. Oleh karena itu, pembicaraan tentang Parlemen

6Proposal dan dasar pembentukan MCII dapat dibaca selengkapnya dalam Dirk Ficca, “The

Chicago Model”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns (peny.), The Community of Religions:

Voices and Images of the Parliament of the World’s Religions (New York: Continuum, 1996), pp.

154-157.

Page 27: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Agama-agama Dunia 1993 menjadi begitu penting dan tidak dapat dilepaspisahkan

dari konteks sejarah dialog antaragama dan konteks sejarah dunia. Lebih jelasnya,

tema-tema utama dalam Parlemen kedua ini mesti dilihat.7 Tema pertama, identitas

keagamaan. Pertanyaan tentang jati diri amatlah mendesak dan substansial

mengingat Parlemen kedua ini merupakan momentum berkumpul dan berjumpanya

aneka agama dan tradisi spiritual, bahkan ada yang baru dan belum saling kenal

sama sekali. Tema kedua, dialog. Dialog antariman dan antartradisi menjadi sangat

intens dan kaya. Parlemen kedua ini tidak hanya menjadi ajang perjumpaan pada

tataran budi, tetapi masuk sampai ke soal hati, sehingga Parlemen 1993 menjadi

kesempatan saling memperkaya pemikiran dan kedalaman spiritual. Tema ketiga,

isu-isu kritis. Ini tema paling strategis dalam Parlemen 1993. Di ambang milenium

ketiga, perjumpaan agama-agama dunia diilhami oleh kepekaan pada isu-isu

mutakhir yang kian kritis. Hal ini kemudian mendorong CPWR menjalin relasi

kerja sama dengan The Institute for the 21th Century Studies – kemudian berubah

nama menjadi The Millennium Institute – untuk mengupayakan agar dimensi ini –

perjumpaan antaragama dan isu-isu kritis – terus dikedepankan. Prioritas yang

dititikberatkan pada dimensi ini selanjutnya menyata dalam keseluruhan dokumen

Toward a Global Ethic: An Initial Declaration.

3.1.2 Sejarah Singkat Lahirnya Etika Global

Ammerdown, Inggris, patut dicatat sebagai kota yang mempunyai andil

besar tempat terejawantahnya secara serius keinginan untuk memperingati 100

tahun Parlemen Agama-agama Dunia 1893. Setelah pertemuan pertama di kota

yang sama pada 1985, pertemuan kedua pada April 1988 mendesak untuk

menyelenggarakan peringatan dimaksud, dengan tujuan utama mengamati dan

menjawab isu-isu dunia dengan mengundang tanggapan aksi dari agama-agama

dunia, organisasi sekular, dan kekuatan-kekuatan politik. Untuk itu, empat

organisasi antariman ditunjuk menjadi penyelenggara, di antaranya Temple of

Understanding (ToU), International Association for Religious Freedom (IARF),

World Congress of Faiths (WCF), dan World Conference on Religion and Peace

7Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 139-140.

Page 28: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

(WCRP). Sejak pertemuan kedua ini, pelbagai persiapan di bawah payung tema

‘Dialog Agama-agama dan Tata Dunia Baru’ gencar dilakukan. Seorang tokoh,

teolog kontroversial yang kritis, yang amat serius terlibat dalam persiapan-

persiapan itu ialah Hans Küng. Saat itu, Küng sedang menjalani tugasnya sebagai

dosen Ecumenical Studies di Universitas Tübingen, Jerman.8

Di tengah aneka persiapan, Küng ternyata telah memulai sebuah proyek

penting yang pada 1990 familiar sebagai Projekt Weltethos.9 Gambaran dunia yang

makin suram sebagaimana termaktub dalam pengantar Declaration Toward a

Global Ethic, “Peace eludes us - the planet is being destroyed - neighbors live in

fear - women and men are estranged from each other - children die! – Perdamaian

hilang dari kita - bumi sedang dihancurkan - sesama tetangga hidup dalam

ketakutan - perempuan dan laki-laki terasing satu sama lain - anak-anak

meninggal!”10 menjadi motif-motif eksistensial yang menginspirasi Küng. Bagi

Küng, this is abhorrent, sebuah kekejian, apalagi setelah sadar, agama-agama

marak disalahgunakan sebagai instrumen untuk meloloskan tujuan-tujan politis,

termasuk perang. Kehidupan bersama antarmanusia dipenuhi hal-hal yang

menggiring menuju kehancuran.

Menjawabi semua keprihatinan ini, Küng menawarkan solusi strategisnya

yakni “The Need for a Global Ethic”.11 Kata-kata persuasif inilah yang kemudian

menjadi inti dan kunci dari setiap pernyataan Küng. Selama beberapa dekade,

tuntutan ini menjadi sentral dari segala upaya intelektual dan riset akademisnya.

Selanjutnya, gagasan yang lebih rinci tentang Etika Global dipaparkan dengan

elegan dan bernas oleh Küng dalam bukunya, Projekt Weltethos (1990) atau Global

Responsibility: In Search of a New World (1991). Küng mengisahkan bahwa pada

saat merumuskan gagasan tentang Etika Global dan menulis bukunya tersebut, ia

8Ibid., hlm. 132-136.

9Hans Küng, Projekt Weltethos. München, Zürich: Piper, 1992.

10Lih. Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions,

Declaration Toward a Global Ethic (New York: Continuum Publishing, 1993), p. 1. Terjemahan

oleh penulis sendiri.

11Lih. Pengantar Penerbit, dalam Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru

bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI, penerj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2010), hlm.

xiii.

Page 29: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

hampir sulit menemukan dokumen-dokumen tentang sebuah etika yang lebih global

dari organisasi-organisasi dunia yang sudah ada saat itu.12 Meskipun waktu itu telah

dirumuskan deklarasi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Deklarasi

Perserikatan Bangsa-bangsa 1948, deklarasi tentang Kewajiban Asasi Manusia

(KAM) nyata-nyata belum sama sekali, bila tidak ingin dikatakan, diabaikan. Baru

setelah enam tahun kemudian, isu tentang KAM secara eksplisit mulai muncul

dalam tiga dokumen internasional, The International Commission on Global

Governance (1995), The World Commission on Culture and Development (1995),

dan The InterAction Council (1996) yang sama-sama menggumuli wacana Mencari

Standar Etika Global (In Search of Global Ethic Standards).13 Sebagaimana telah

disebutkan pada Bab sebelumnya, salah satu momentum terbaik yang pernah

diperoleh Küng ialah ketika CPWR memberi kepercayaan kepadanya untuk

merumuskan draft Deklarasi Agama-agama untuk Etika Global (Declaration of the

Religions for a Global Ethic), pada tahun 1992-1993.

3.1.3 Pengandaian Dasar Etika Global

“No survival without a world ethic. No world peace without peace between

the religions. No peace between the religions without dialogue between the

religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama.

Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada

perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama

tersebut.”14 Ungkapan familiar Küng ini, sebagaimana tersurat dalam pendahuluan

bukunya, Global Responsibility, telah menjadi semacam slogan yang meyakinkan.

Ungkapan ini, kalimat demi kalimat, dapat dianalisis.15

12Ibid.

13Ibid.

14Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,

1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.

15Bdk. Paul Budi Kleden, “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau Komplementer”,

Jurnal Ledalero, 9/1: 86-88, Juni, 2010. Uraian yang lebih lengkap dan detail termuat dalam buku

Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. Buku ini Küng susun dalam tiga bagian

besar yang merupakan penjabaran dari slogannya, yakni (A) No Survival without a World Ethic:

Why we need a global ethic, (B) No World Peace without Religious Peace: An ecumenical way

Page 30: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Dalam kalimat pertama, tampak jelas, etika merupakan kebutuhan yang

tidak boleh tidak apabila dunia tidak ingin dibiarkan hancur-lebur. Sebuah kerangka

etis dibutuhkan secara amat mendesak, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang makin pesat, ekspansi ekonomi pasar bebas yang kian

membabi-buta, pemaksaan ideologi politik yang semakin masif, juga eksplorasi

atas alam yang kian liar. Etika kolektif menjadi imperatif yang kategoris, sifatnya.

Selanjutnya, pertanyaan yang dapat diajukan untuk ungkapan kedua,

mengapa tidak ada Etika Global tanpa perdamaian di antara agama-agama? Apakah

dibutuhkan terlebih dahulu perdamaian dan relasi yang intim di antara semua tradisi

religius agar tercipta kemungkinan yang layak bagi lahirnya Etika Global?

Pertanyaan inilah yang sebetulnya mengindikasikan pengandaian paling hakiki dari

Etika Global, yakni agama-agama merupakan basis, fondasinya. Agama-agama

yang terlampau sering diklaim sebagai penyebab aneka konflik dan perang,

sebenarnya merupakan sumber kekayaan dan roh untuk mengatasi konflik dan

perang dimaksud. Agama-agama yang dapat membawa dunia menuju kehancuran,

ternyata sekaligus yang mempunyai kontribusi politis yang mampu mewujudkan

perdamaian hingga ke skala internasional.

Kalimat ketiga menjelaskan cara yang wajib dan harus ditempuh demi

mewujudkan Etika Global. Cara juga jalan itu, dialog. Perdamaian di antara agama-

agama hanya dapat tercapai apabila ada kesediaan menyampaikan keyakinan secara

beradab dan kerelaan mendengarkan. Semakin jujur dan intensif sebuah dialog,

semakin terang pula agama-agama menemukan elemen-elemen yang sama juga

yang berbeda. Pengenalan dan penerimaan, baik elemen yang sama maupun yang

berbeda itu, mengantar agama-agama untuk menyadari kebergantungan satu

dengan yang lainnya. Dari sinilah, perdamaian menjadi niscaya dan kehidupan

tidak digiring menuju kehancuran, sebaliknya, kemajuan.

3.2 DOKUMEN ETIKA GLOBAL

3.2.1 Struktur

between fanaticism for truth and forgetfulness of truth, dan (C) No Religious Peace without

Religious Dialogue: Prolegomena to an analysis of the religious situation of our time.

Page 31: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Joas Adiprasetya menganalisis Dokumen Etika Global16 dan menemukan

secara garis besar, dokumen ini terbagi atas dua bagian utama.17

Awalnya, bagian pertama memakai sebutan ‘Deklarasi Sebuah Etika

Global’. Namun, panitia lewat Editorial Committee mengubahnya menjadi

‘Pendahuluan’18 untuk versi publiknya. Bagian pertama menjadi semacam

ringkasan dari atau pengantar menuju bagian kedua yang lebih panjang dan detail.

Bagian kedua, ‘Prinsip-prinsip’, terdiri atas empat sub-bagian. Sub-bagian I

membentangkan relasi antara tata dunia baru dan Etika Global. Semangat kunci

yang menjiwai sub-bagian ini ialah kesadaran betapa tidak mungkin tercipta sebuah

tatanan dunia yang baru dan lebih baik, tanpa etika bersama. Sub-bagian II berisikan

tuntutan mendasar yang perlu dan mesti dipenuhi, yakni setiap manusia harus

diperlakukan secara manusiawi. Tuntutan mendasar dimaksud ialah Kaidah

Kencana atau Golden Rule19 yang berbunyi, “Apa yang tidak kamu inginkan,

jangan lakukan itu pada orang lain!”. Atau dalam nada positif, “Apa yang kamu

inginkan, lakukan itu juga pada orang lain!”. Sub-bagian III merincikan empat

perintah atau petunjuk yang tidak dapat dibatalkan. Masing-masing petunjuk

memuat serta komitmen yang jelas. Dan, sub-bagian IV, penutup, menjelaskan

penting dan mendesaknya perubahan kesadaran sebagai sebuah imperatif kategoris

bagi terwujudnya tata dunia baru yang lebih baik.

16Keseluruhan dokumen ini dalam Bahasa Inggris penulis lampirkan pada bagian Lampiran.

Alamat yang dapat dikunjungi agar dokumen ini dapat diunduh secara gratis,

http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethic.pdf.

17Lih. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 156-157.

18Frans Magnis-Suseno menutup bukunya, Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci, bukan

dengan sebuah penutup sebagaimana umumnya, tetapi membuat afirmasi tegas atas ‘Pendahuluan’

Dokumen Etika Global. Mutu konsepsi setiap etika akan relevan dan berdaya guna, sejauh

membantu manusia menjalankan tanggung jawabnya dalam hidup pribadi dan bermasyarakat. Di

titik inilah, Dokumen Etika Global menjadi penting dan mendesak, karena memperlihatkan cakupan

tanggung jawab yang mesti diemban dan diusahakan bersama-sama oleh semua orang, di abad ini.

‘Pendahuluan’ Dokumen Etika Global yang diterjemahkan oleh Magnis sendiri ke bahasa Indonesia,

dapat dilihat dalam Frans Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci. Cet. ke-5

(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 281-284.

19Penjelasan yang lebih detail tentang Kaidah Kencana ini dapat dibaca dalam Joas Adiprasetya,

op. cit., hlm. 166-169. Secara ringkas, Kaidah Kencana teryata menyebar dalam seluruh tradisi

keagaamaan dunia dan bahwa Kaidah Kencana menolak dengan tegas segala bentuk egoisme.

Page 32: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

3.2.2 Ciri Khas

Pertanyaan yang dapat diajukan di sini, apa yang menjadikan Dokumen

Etika Global khas dan karenanya berbeda dari dokumen-dokumen yang lain?

Substansi yang perlu digarisbawahi sejak awal ialah bahwa Etika Global

merupakan dokumen pertama yang bersifat global yang dihasilkan dari sebuah

konsensus di antara para pemeluk agama-agama juga komunitas yang tidak terikat

pada tradisi religius mana pun di dunia. Konsensus ini berangkat dari sebuah

kesadaran bersama akan masifnya isu-isu yang dapat membahayakan kehidupan

kolektif. Etika Global, tegas Küng, “Memiliki keunikan sebagai sebuah konsensus

moral dan spiritual, kendati secara fungsional, serupa dan setara dengan The

Universal Declaration of Human Righs (1948)”.20 CPWR dan Küng kemudian

menyepakati hal-hal apa saja yang menjadi ciri khas Etika Global. Dua jalan

berikut, via negativa dan via positiva, dapat dengan jelas membentangkan ciri khas

dimaksud.21

Via negativa, (a) Etika Global bukanlah reduplikasi dari Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dalam Etika Global, agama menjadi basis pijakan

perumusan dokumen, sedangkan dalam DUHAM, agama hanya menjadi satu dari

sekian banyak pokok yang dibahas. Perlu ditekankan pula, etika (ethic) jauh lebih

luas dari hak (rights). Kendati bukan reduplikasi, Etika Global dapat dipandang

sebagai pendukung etis bagi DUHAM. (b) Etika Global bukanlah sebuah deklarasi

politis. Meski demikian, Etika Global juga mempunyai relevansi pada bidang

politik bahkan ekonomi, sosial, kultural, dan ekologi.22

(c) Etika Global bukanlah sebuah uraian moral, tetapi tetap berusaha

memberikan dasar-dasar etis bagi pemecahan masalah-masalah moral yang riil. (d)

20Bdk. Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (peny.), A Global Ethic; The Declarations of the

Parliament of the World’s Religions (London: SCM Press, 1993), p. 47.

21Bdk. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 146-149. Dalam lain perkataan, Küng menyebut via

negativa sebagai ‘The dead ends that would have to be avoided from the start’ (tujuan-tujuan

mematikan yang harus dihindari sejak awal) dan via positiva sebagai ‘Formal criterias that would

have to be fulfilled’ (kriteria-kriteria formal yang harus dipenuhi). Lihat selengkapnya dalam Hans

Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden (New York: Oxford

University Press, 1998), pp. 106-107.

22Hal ini Küng jabarkan secara lengkap dan detail dalam bukunya, A Global Ethic for Global

Politics and Economics.

Page 33: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Meskipun disepakati dalam semangat post-modernis, Etika Global bukanlah sebuah

dokumen filosofis. Etika Global tidak memakai sebuah paradigma filsafat tertentu.

Via positiva, (a) Etika Global masuk dalam level etis yang paling mendasar,

nilai-nilai yang mengikat, serta sikap-sikap dasariah yang fundamental. Etika

Global, dengan demikian, tidak pertama-tama berurusan dengan detail aturan legal

dan hak-hak yang terkodefikasi. (b) Etika Global merupakan sebuah konsensus

bersama agama-agama juga golongan yang tidak terikat pada suatu tradisi iman

tertentu. Ciri ini penting untuk dikedepankan karena Etika Global sama sekali tidak

bermaksud mengarah pada terbentuknya satu agama tunggal yang bersatu (a unified

religion), tetapi sebaliknya hadir sebagai konsensus dari semua agama dan

komunitas yang ada, yang masing-masing berupaya memberikan sumbangannya.

Etika Global bukan hadir sebagai pengganti atas Hukum Taurat, Injil, Al-Quran,

Bhagavad Gita, Khubah Buddha, atau ajaran Konfusianisme dan lainnya. Secara

ringkas, Küng berkali-kali menampilkan gambar yang mempresentasikan ciri khas

ini (lihat Gambar 1. pada halaman selanjutnya). (c) Etika Global bersifat autokritis.

Pesan yang hendak disampaikan, tidak hanya terarah pada ‘dunia’, tetapi juga

kembali kepada ‘agama-agama’ itu sendiri. Hal ini sekaligus menegaskan betapa in

se, agama itu paradoksal. Di satu sisi memberi sumbangsih pada kemanusian sejati,

tetapi di sisi lain turut memicu aneka konflik bahkan perang. (d) Etika Global terkait

dan berpijak pada kenyataan dan isu konkret. Dunia yang dimaksudkan dalam

keseluruhan Etika Global mesti dipahami ‘sebagaimana adanya’ (as it really is),

bukan ‘sebagaimana harus adanya’ (as it should be). Walaupun demikian, yang

ideal tetap menjadi pendorong dan penarik agar diupayakan bersama-sama,

berangkat dari apa yang riil.

Page 34: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Gambar 1. Etika Global dan Agama-agama

(e) Etika Global dapat dipahami secara umum dan luas. Argumen dan

jargon-jargon ilmiah disingkirkan. Bahasa yang digunakan mudah dimengerti

sehingga mudah pula diterjemahkan ke dalam banyak bahasa lain. Etika Global,

dengan ini, menjadi milik bersama. (f) Etika Global memiliki pendasaran religius.

Dokumen ini meyakini bahwa sebuah etika semestinya memiliki keterkaitan

dengan – meminjam Paul Tillich – The Ultimate Concern, atau apa pun yang

disebut oleh masing-masing tradisi, meskipun dialamatkan juga bagi komunitas

non-religius. Etika Global tidak mengingkari entitas masing-masing tradisi.

Gambar berikut bantu menjelaskannya, dari perspektif Kekristenan.

Page 35: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Gambar 2. Etika Global dalam Perspektif Kekristenan

3.2.3 Isi

Page 36: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Secara ringkas, isi Dokumen Etika Global dapat ditampilkan dalam tabel

berikut.

DEKLARASI MENUJU SEBUAH ETIKA GLOBAL

Pendahuluan

Berisi gambaran dunia yang sedang dalam kehancuran juga ajakan pada

semua orang – baik beragama maupun tidak beragama – untuk melakukan

perubahan dalam semua dimensi kehidupan, dengan memperhatikan prinsip-

prinsip berikut.

Prinsip-prinsip

I. Tidak ada tatanan dunia yang baru tanpa sebuah etika bersama.

II. Tuntutan fundamental: setiap manusia harus diperlakukan secara

manusiawi. Kaidah Kencana atau Golden Rule sangat ditekankan,

“Apa yang tidak kamu inginkan, jangan lakukan itu pada orang

lain!”

III. Empat petunjuk yang tidak terbatalkan, berupa:

a. komitmen pada budaya tanpa kekerasan dan hormat pada hidup,

b. komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil,

c. komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam kebenaran,

dan

d. komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerja sama antara

perempuan dan laki-laki.

IV. Penting dan mendesaknya perubahan kesadaran.

Semua perempuan dan laki-laki – baik beragama maupun tidak beragama

– diajak sekali lagi dan terus-menerus untuk melakukan perubahan dalam

semua dimensi kehidupan, menuju sebuah tatanan dunia baru yang lebih baik.

3.2.3.1 Tuntutan Dasar

Page 37: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Tuntutan dasar dari Deklarasi di Chicago merupakan hal paling substansial

yang dapat diberikan pada dan bagi manusia. “Sekarang, sebagaimana sebelumnya,

lelaki dan perempuan diperlakukan secara tidak manusiawi di seluruh dunia.

Kesempatan dan kebebasan mereka dirampas; hak asasi mereka diinjak-injak;

martabat mereka direndahkan. Namun kuat tidak berarti benar! Di hadapan semua

manusia, agama dan keyakinan etis kita menuntut bahwa setiap manusia harus

diperlakukan secara manusiawi! Itu berarti setiap manusia tanpa memandang

perbedaan umur, jenis kelamin, ras, warna kulit, kemampuan fisik atau mental,

bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul bangsa atau sosial, memiliki martabat

yang tidak dapat diganggu atau dicabut.”23

Manusia harus selalu menjadi subjek hak, harus menjadi tujuan, tidak boleh

sekadar menjadi alat, tidak boleh hanya merupakan objek komersialisasi dan

industrialisasi dalam ekonomi, politik, dan media, dalam lembaga penelitian dan

perusahaan industri. Dua kesadaran paling fundamental ini menjadi basis bagi Etika

Global, “(a) Setiap manusia harus diperlakukan secara manusiawi dan (b) apa yang

kamu ingin dilakukan pada dirimu, lakukanlah itu pada orang lain!”24 Dua

kesadaran fundamental ini harus menjadi norma tanpa syarat dan tidak terbatalkan

bagi semua bidang kehidupan, keluarga, komunitas, ras, bangsa, dan agama.

3.2.3.2 Dimensi-dimensi Hakiki

Maksud dari dijabarkannya dimensi-dimensi hakiki yang terkandung dalam

Dokumen Etika Global ialah agar dapat dengan jelas terbaca betapa Etika Global

sungguh bertolak dari realitas. Dimensi-dimensi berikut, oleh Küng sendiri,

sungguh menegaskan bahwa Etika Global lahir dari isu kritis atau masalah serius,

bukannya dari dogma, teologi, apalagi imajinasi tertentu.

Pertama, dimensi antropologis (perempuan dan laki-laki). Sistem patriarki

masih menjadi fakta hic et nunc dalam pelbagai kebudayaan. Akibat lanjutan dari

subur dan masifnya pemberlakuan sistem ini ialah ketidakadilan gender yang

23Bdk. Hans Küng dan Karl-Josef Kuschel (peny.), op, cit,. p. 18.

24Bdk. Hans Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan

Agama di Abad XXI, op. cit., hlm. 186.

Page 38: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

membabi-buta, perempuan subordinat terhadap laki-laki, kekerasan dalam rumah

tangga, eksploitasi dan perdagangan perempuan, pelecehan seksual terhadap anak

di bawah umur, serta aneka ketimpangan lainnya. Bagi Küng, era postmodern mesti

menandai dan membawa perubahan yang lebih egaliter.

Küng, dalam perspektif Kekristenan, memberi jalan keluar dengan

menekankan,

“(a) A way from divisions between men and women in church and society – solusi atas

pemisahan antara perempuan dan laki-laki dalam Gereja dan masyarakat, (b) a way from

the devaluation and lack of understanding of the indispensable contribution of women –

solusi atas penurunan nilai dan kurangnya pemahaman akan sumbangan yang amat

dibutuhkan dari perempuan, (c) a way from the ideology fixed roles and streotypes of men

and women – solusi atas peran dan prasangka-prasangka yang mapan secara ideologis

antara perempuan dan laki-laki, dan (d) a way from a refusal to acknowledge the gifts given

to women for the life and decision-making processes of the church – solusi atas penolakan

mengakui karunia-karunia yang dimiliki perempuan bagi kehidupan dan proses-proses

pengambilan keputusan dalam Gereja”.25

Kedua, dimensi kosmis (manusia dan alam). Küng sungguh sadar, isu yang

juga mendesak untuk ditanggapi secara global dalam dimensi ini ialah isu ekologis.

Secara cermat, Küng menjabarkan dengan teliti, fakta-fakta yang mendera bumi

dan segala isinya. Dengan merunut tiap satuan waktu, every minute, every hour,

every day, every week, every month, every year, every decade, Küng

membentangkan akibat-akibat yang dihasilkan oleh sebab pola-laku manusia yang

destruktif.26

Untuk keluar dari problematika ekologis ini, Küng mendesak sebuah cara

hidup global yang tidak hanya mengunggulkan produktivitas, tetapi juga solidaritas

dengan alam-lingkungan (not just productivity, but solidarity with the

environtment). Tata dunia baru yang ramah alam-lingkungan sangat dibutuhkan,

dengan mengupayakan

“(a) A way from a separation between human beings and the rest of creation – jalan keluar

dari pemisahan antara manusia dan ciptaan, (b) a way from human domination over nature

– jalan keluar dari dominasi manusia atas seluruh alam, (c) a way from a lifestyle and

economic means of production which severely damage nature – jalan keluar dari gaya hidup

dan alat-alat produksi ekonomi yang betul merusak alam, dan (d) a way from an

individualism which violates the integrity of creation in favour of private interests – jalan

25Lih. Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., p. 68.

Terjemahan oleh penulis sendiri.

26Ibid., p. 2.

Page 39: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

keluar dari individualisme yang merusak keutuhan ciptaan demi kepentingan-kepentingan

pribadi”.27

Ketiga, dimensi sosio-politik (kaya dan miskin). Soal klasik lainnya yang

ditekankan Etika Global dalam dimensi sosio-politik ialah kesenjangan yang

menganga makin lebar antara yang kaya dan yang miskin, the have and the

havenots. Menurut Küng, realitas minor ini merupakan hasil dari dua kegagalan

dunia sebelumnya dalam menggunakan kesempatan menuju suatu tatanan global

yang lebih baik.28

Kesempatan pertama, Liga Bangsa-bangsa gagal dibentuk lantaran Perang

Dunia I pada tahun 1918 malah menghasilkan chaos bagi dunia. Kesempatan kedua,

cita-cita antarbangsa untuk bersatu juga roboh akibat Perang Dunia II pada 1945

yang justru membawa perpecahan yang kian ngeri. Kesempatan ketiga pada 1989

juga hampir terlewatkan, andaikata tidak ada kesadaran akan apa yang oleh Küng

disebut tatanan dunia ‘postmodern’. Secara politik, kesadaran ini mensyaratkan

negara yang demokratis dan secara ekonomi mensyaratkan ekonomi pasar yang

berorientasi pada kehidupan sosial dan ekologi. Komitmen dalam bidang ini juga

akan diterangkan selanjutnya dalam salah satu komitmen Etika Global. Lebih jelas,

Küng menjabarkan secara lengkap dalam bukunya, A Global Ethic for Global

Politics and Economics.29

Keempat, dimensi religius (manusia dan Yang Mahatinggi). Dimensi ini

senada dengan ciri khas Etika Global yang dibahas sebelumnya, yakni memiliki

pendasaran religius. Setiap etika mestinya memiliki keterkaitan dengan The

Ultimate Concern, atau apa pun yang disebut oleh masing-masing tradisi.

Selanjutnya, hal ini penting untuk menunjukkan implikasi moral-etisnya. Penulis

menggunakan ‘Yang Mahatinggi’ demi netralitas, karena tidak semua tradisi

menggunakan nama ‘Allah atau Tuhan’, apalagi bagi komunitas non-religius.

3.2.3.3 Poin-poin Mutlak

27Ibid., pp. 68-69. Terjemahan oleh penulis sendiri.

28Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman

(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 244-246.

29Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden. New

York: Oxford University Press, 1998.

Page 40: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Akhirnya, bagian terpenting berupa poin-poin mutlak yang termaktub dalam

isi Etika Global ialah apa yang tertulis sebagai komitmen-komitmen. Komitmen-

komitmen yang akan diterangkan berikut,30 merupakan imperatif yang kategoris

sifatnya.

Pertama, komitmen pada budaya tanpa kekerasan, dan hormat pada hidup.

Ajakan kunci yang terkandung dalam ajaran semua komunitas baik religius maupun

non-religius ialah “Jangan membunuh!”. Dalam bahasa yang lebih positif,

“Hargailah kehidupan!”. Nilai kehidupan menjadi fokus perhatian. Kehidupan yang

tenteram dan penuh penghargaan tanpa kekerasan menjadi ideal yang mesti

diupayakan semaksimal mungkin. Aneka konflik harus diselesaikan dengan adil,

bukan dengan jalan anarkis. Pemeluk setiap komunitas bertanggung jawab untuk

ideal ini, demi mewujudkan tatanan hidup global yang lebih baik, tidak hanya di

antara sesama manusia, tetapi juga dengan tumbuhan dan binatang. Dimensi kosmis

yang dibahas sebelumnya dipertegas lewat komitmen ini. Etika Global

menggarisbawahi, “There is no survival for humanity without global peace! – tidak

ada kelangsungan hidup bagi umat manusia tanpa perdamaian global!” [Prinsip III,

Komitmen 1, Poin b)].

Kedua, komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Nilai

yang ditekankan di sini ialah perihal kepemilikan. Semua komunitas diyakini

memiliki ajakan untuk “Jangan mencuri!” atau “Bertindaklah jujur dan adil!”. Etika

Global menekankan bahwasannya, kekuatan ekonomi dan politik tidak

dimanfaatkan untuk menekan, memangsa, atau mengeksploitasi, tetapi sebaliknya

untuk service for humanity – melayani kemanusiaan. “There is no global peace

without global justice! – tidak ada perdamaian global tanpa keadilan global!”

[Prinsip III, Komitmen 2, Poin b)].

Ketiga, komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam kebenaran. Nilai

kunci dalam komitmen ini ialah kebenaran. “Jangan berdusta!” atau “Berkata dan

bertindaklah dengan benar dan jujur!” merupakan ajaran yang terdapat dalam

semua komunitas. Secara tegas, Etika Global menyebut komitmen ini sebagai

komitmen yang menyentuh banyak profesi, khususnya para politisi dan pebisnis,

30Bdk. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 159-161.

Page 41: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

awak media massa, pekerja seni, penulis, ilmuwan, dan peneliti, pemimpin bangsa-

bangsa dan partai politik, serta perwakilan agama-agama. Etika Global

menegaskan, “There is no global justice without truthfulness and humaneness! –

tidak ada keadilan global tanpa kebenaran dan kemanusiaan!” [Prinsip III,

Komitmen 3, Poin b)].

Keempat, komitmen pada budaya kesetaraan hak dan kerja sama antara

perempuan dan laki-laki. Kesetaraan dan kerja sama menjadi nilai yang ditekankan

di sini. Semua komunitas tentu memiliki ajakan untuk “Jangan berzinah!” atau

“Hormati dan cintailah sesama!”. Etika Global berisi kesadaran betapa kesetaraan

antara perempuan dan laki-laki dan kerja sama antarkeduanya yang dimulai

pertama-tama dari unit terkecil, yakni keluarga, dapat menjadi modal dalam

mengupayakan keadilan dalam skala yang lebih luas. Untuk itu, “There is no

authentic humaneness without a living together in partnership! – tidak ada

kemanusiaan autentik tanpa kehidupan bersama dalam kemitraan! [Prinsip III,

Komitmen 4, Poin b)].

3.3 KRITIK ATAS ETIKA GLOBAL HANS KÜNG

Segala hal, tepatnya proyek manusia, selalu punya sisi yang tidak lepas dari

kritik. Atau, potensial terhadap kritik. Hal demikian juga berlaku pada Etika Global

Hans Küng, yang meski popular, tetap bukanlah satu-satunya atau yang paling

utama dalam membangun sebuah tatanan hidup baru yang jauh lebih baik. Di antara

tidak sedikit kritik, bertolak dari isi Dokumen Etika Global sebagaimana telah

diuraikan sebelumnya, Paul Budi Kleden dengan merujuk pada Gavin D’Costa,

menguraikan poin-poin berikut.31

Pertama, Etika Global tidak koheren secara konseptual. Küng memberi

penegasan pada otonomi masing-masing tradisi religius, tetapi, dengan

merumuskan sejumlah nilai sebagai Etika Global, Küng sebetulnya sedang

membuat pemisahan atas seperangkat nilai etis yang disebut global dari konteks

tradisionalnya. Padahal, nilai konkret hanya dapat disediakan oleh narasi tradisional

31Lih. Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 89-91. Poin-poin yang diuraikan Kleden, hanya poin

pertama, kedua, dan ketiga.

Page 42: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

masing-masing agama dan justru nilai konkret itulah yang menentukan bobot

sebuah norma etis. Isi konkret dari setiap prinsip moral global, terancam, oleh sebab

pemisahan tersebut.

Küng membuat rumusan yang sangat universal dan formal, dengan

mengabaikan historisitas kaidah moral. Sebagai misal, kebebasan, tentu dipahami

secara sangat variatif bahkan bertentangan dalam pelbagai tradisi. Ada yang

memahami kebebasan sebagai otonomi untuk memutuskan sendiri apa yang

dikehendaki, tidak ditentukan oleh apa dan siapa pun selain oleh diri sendiri. Yang

lain justru memahami kebebasan sebagai kesediaan dan kesanggupan mengikat diri

pada apa yang telah ditentukan serta menjadi kesepakatan dan tujuan bersama.

Atau, apabila dalam Prinsip II Etika Global, Küng menegaskan, “Every human

being must be treated humanely”, apa artinya manusiawi di sini? Tentu akan sangat

berbeda dalam masing-masing komunitas religius. Bagi tradisi Hindu, misalnya,

sistem kasta yang menempatkan manusia dalam kotak-kotak sosial, sangatlah

manusiawi. Atau, dalam tradisi Katolik yang mengecualikan perempuan dari

imamat, itu juga manusiawi.

Kedua, Etika Global tidak memiliki konsekuensi praktis. Bagi Küng,

misalnya, untuk mencegah konflik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan

khusus, konsensus mengenai kerangka umum tradisi-tradisi tidak dibutuhkan.

A consensus is not necessary in respect of culturally differentiated ('thick') morality, which

necessarily contains numerous specific cultural elements (particular forms of democracy

or pedagogy). In disputed concrete questions like abortion or euthanasia, no unifying

demands should be made on other nations, cultures and religions to have the same moral

praxis. – Sebuah konsensus tidak diperlukan sehubungan dengan moralitas ‘terdiferensiasi’

secara kultural (‘tebal’), yang tidak bisa tidak mengandung pelbagai unsur budaya tertentu

(bentuk-bentuk khusus dari demokrasi atau pedagogi). Pada persoalan konkret yang sering

hangat diperdebatkan seperti aborsi atau eutanasia, tidak ada tuntutan pemersatu yang harus

dibuat di antara bangsa-bangsa, budaya dan agama berbeda untuk mendapatkan praksis

moral yang sama.32

32Lih. Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op.cit., p. 96. Terjemahan

oleh penulis sendiri. Küng mengakui, bagaimanapun, ia berbeda dari Michael Walzer yang

menggunakan moralitas ‘tipis’ (thin) dan ‘tebal’ (thick). Küng lebih suka berbicara dengan sebutan

moralitas ‘dasar’ dan ‘terdiferensiasi’. Lantaran dalam beberapa kasus, moralitas ‘tipis’ dan ‘tebal’

telah tercampur, Küng menegaskan untuk dengan jelas membedakan, moralitas ‘dasar’ berlaku

dalam pelbagai kebudayaan (misalnya, tidak boleh menyiksa anak kecil!), sedangkan moralitas

‘terdiferensiasi’, ini diserahkan ke masing-masing kebudayaan (misalnya, pemberlakuan hukuman

fisik sebagai bentuk siksaan pada anak kecil). Uraian yang lebih lengkap dapat dibaca dalam Hans

Küng, Etika Politik-Ekonomi Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI,

op. cit., hlm. 161-166.

Page 43: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Pertanyaan yang patut dialamatkan di sini, apa makna sebuah perangkat etis

kalau bukan untuk menuntun tindakan? Bukankah etika bertalian dengan praksis

hidup yang lebih baik? Apa peran Etika Global bila gagal memotivasi praksis

umum yang sama? Etika Global pada gilirannya terasa mandul dan tidak berdaya

jika berbicara secara sangat global dengan ungkapan-ungkapan yang terlampau

umum.

Ketiga, Etika Global tidak membawa sesuatu yang baru dan atau

memungkinkan pembaruan. Etika Global mengumpulkan apa yang telah ada dalam

tradisi-tradisi religius. Perangkat nilai global berada dalam himpunan irisan

pertemuan antaragama. Jikalau satu nilai tidak ada dalam agama tertentu, nilai

tersebut tidak boleh dikategorikan ke dalam Etika Global. Lantas, apa yang baru

dan khas di sini? Tidak ada. Konsekuensi logisnya, agama-agama tidak perlu

membarui diri. Etika Global tidak memberi tantangan khusus bagi agama-agama,

sehingga agama-agama pun tidak memberi kontribusi lebih dari apa yang pernah

dan hingga sekarang menyata. Ini berarti, kontribusi negatif agama-agama sebagai

pemicu konflik bahkan perang, tidak berkurang, kendati telah ada Etika Global.

Bila demikian, Etika Global tidak memenuhi harapan yang dijanjikannya, yakni

membawa perdamaian, jika tidak ingin dikatakan gagal total.

Keempat, respons pesimis lainnya yang juga ditujukan pada Dokumen ini,

dapat diajukan lewat pertanyaan, apakah Etika Global itu sudah final? Tanpa

mengesampingkan penerapannya dalam konteks-konteks lokal, secara global, apa

tindak lanjut yang harus diupayakan, pasca Etika Global? Jawaban atas pertanyaan

ini menyata lewat dirumuskannya proposal baru pada 1 September 1997 yang diberi

nama A Universal Declaration of Human Responsibilities.33

Di sini, Etika Global mesti dipahami dalam dua arah penting.34 Pertama,

Etika Global muncul sebagai kritik atas penekanan yang berat sebelah pada hak dan

penyisihan makna dan fungsi tanggung jawab. Kedua, Etika Global muncul dengan

pemahaman bahwa sebuah etika yang global sifatnya, harus mencakup tanggung

jawab secara bersama dan berimbang. Etika yang sifatnya menyeluruh bagi semua

33Lih. Joas Adiprasetya, op. cit., hlm. 172.

34Ibid., hlm. 172-172.

Page 44: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

umat manusia, tidak hanya didasarkan pada hak asasi manusia saja, melainkan juga

dari tanggung jawab yang fundamental.35

Pasca Etika Global, menjadi jelas, dunia butuh tindak lanjut yang kontinu.

Etika Global sama sekali belum final. Etika Global perlu diruncingkan fungsinya

dengan mengupayakan sebuah konsensus baru, sebagai kelanjutan, mengenai

tanggung jawab bersama pada skala global. Hal ini tentu saja mesti dibuktikan juga

pengaruh dan pelaksanaannya dalam konteks-konteks lokal, lewat studi-studi dan

pengujian-pengujian yang lebih komprehensif. Secara khusus di Indonesia, Bab

selanjutnya akan melaporkannya.

3.4 ETIKA GLOBAL DAN TEOLOGI PLURALIS

Sebagai akhir dari Bab ini, Etika Global coba ditemui dalam relasinya

dengan disiplin yang lain. Hal ini penulis maksudkan agar kritik atas Etika Global

Hans Küng sebelumnya betul menunjukkan betapa Etika Global mesti didukung

dan atau didampingi oleh proyek lainnya yang sepadan.

Pluralitas dan tanggapan positif-negatif atasnya telah menjadi fakta dan

pengalaman hic et nunc yang tak dapat diingkari. Semua dimensi kehidupan

termasuk agama, tidak mampu luput dari realitas ini. Secara khusus bagi pluralitas

agama, Budi Kleden menyebut dua sikap positif sebagai tanggapan atasnya.36

Pertama, pluralitas agama menemukan refleksi teologisnya dalam paradigma yang

lazim dikenal sebagai teologi pluralis. Pluralitas agama, dalam kerangka refleksi

ini, bukan sekadar suatu pengalaman yang tidak dapat dihindari, tetapi lebih dari

itu, dialami dan dirayakan sebagai ekspresi keluasan dan kedalaman Yang Ilahi,

yang melampaui ruang dan waktu. Teologi pluralis lebih tepat disebut sebagai cara

berteologi dalam konteks yang plural, yang tidak dikembangkan secara kolektif

oleh agama-agama. Oleh karena itu, tentu tidak hanya ada satu teologi pluralis.

Setiap agama memiliki dan mengembangkan teologi pluralisnya masing-masing.

Tanggapan positif lainnya, kedua, proyek Etika Global yang dicetuskan oleh

Küng. Proyek ini memandang semua agama sebagai penyandang konsep etika yang

35Bdk. Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op.cit., p. 103.

36Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 78.

Page 45: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

setara. Dari keragaman konsep etis tersebut, dirumuskan sejumlah nilai yang sama.

Atau, sebagaimana ditegaskan Küng,

“The global ethic is a basic consensus on binding values, irrevocable criteria and basic

attitudes which are affirmed by all religions despite their dogmatic differences, and which

can indeed also be contributed by non-believers. – Etika global merupakan sebuah

konsensus dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-

sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis mereka

berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum tidak beriman.”37

Etika Global dan teologi pluralis bukan alternatif.38 Teologi pluralis

memerlukan Etika Global. Diskursus teologis yang pelik dengan jargon-jargon

yang memiliki ruang pemahaman yang terbatas, sulit menemukan tanggapan yang

luas di luar konteks masyarakat agama. Pergumulan teologis memang amat

diperlukan, tetapi tidaklah cukup. Komunitas agama-agama membutuhkan

perangkat gagasan yang dirumuskan sebagai etika yang menjadi pegangan bagi

penyelenggaraan hidup pribadi maupun bersama. Oleh sebab itu, Etika Global

diperlukan sebagai pelengkap bagi teologi pluralis. Keduanya komplementer.

Hakikat yang saling melengkapi ini, diperkuat lagi dengan kenyataan betapa teologi

pluralis dan Etika Global sebetulnya lahir dari praksis dialog antaragama.39 Teologi

pluralis merefleksikan lebih lanjut apa yang dialami dan ditemukan dalam dialog.

Refleksi lanjutnya berimplikasi pada koreksi dan modifikasi atas sejumlah ajaran

yang dibangun di atas basis pandangan yang tidak berdasar pada tradisi lain. Begitu

pun dengan Etika Global, proyek yang lahir dari interaksi antaragama. Pengalaman

bersama dalam dialog tidak hanya menghasilkan perangkat norma yang sama, tetapi

juga internalisasi nilai-nilai baru yang dibutuhkan untuk menanggapi

permasalahan-permasalahan global. Kleden meringkas,

“Tanpa refleksi teologis yang transformatif, etika global bersifat statis dan dapat

disalahgunakan sebagai legitimasi status quo. Pada gilirannya, etika global berperan

sebagai missio ad extra dari teologi plural bagi masyarakat dunia.”40

3.5 KESIMPULAN

37Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., pp. 92-93. Terjemahan

oleh penulis sendiri.

38Paul Budi Kleden, op. cit., hlm. 95.

39Ibid., hlm. 94-95.

40Ibid., hlm. 95.

Page 46: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

Richard Hughes Seager mencatat bahwa Parlemen Agama-agama Dunia

1893 menandai era modern, sedangkan Parlemen Agama-agama 1993 menandai era

post-modern.41 Parlemen pertama menjadi tonggak sejarah yang amat penting bagi

masa depan kehidupan agama-agama di dunia. Parlemen kedua merupakan puncak

perkembangan dialog antaragama dan respon serius atas perkembangan global yang

kian hari kian ambivalen. Dari sinilah, Etika Global yang diprakarasai Hans Küng,

lahir. Küng berkisah,

“Pada peringatan seratus tahun Parlemen Agama Dunia di Chicago pada permulaan

September 1993, suatu ‘Deklarasi Menuju Etika Global’ telah dikemukakan di mana saya

mendapat kehormatan dan bekerja keras menyusunnya; deklarasi yang saya susun diterima

oleh sebagian besar delegasi dan akhirnya diumumkan secara resmi.”42

Sebagaimana dokumen-dokumen pada umumnya, Etika Global Küng juga

memiliki struktur, ciri khas, isi, dan prinsip-prinsip utama yang menekankan poin-

poin penting tertentu. Ringkasnya, tidak ada kelangsungan hidup bagi umat

manusia tanpa perdamaian global, tidak ada perdamaian global tanpa keadilan

global, tidak ada keadilan global tanpa kebenaran dan kemanusiaan, tidak ada

kemanusiaan autentik tanpa kehidupan bersama dalam kemitraan. Kendati

demikian, Etika Global juga tidak luput dari kritik, yang dalam lain perkataan

hendak menunjukkan betapa segala bentuk proyek manusia selalu memiliki sisi

untuk diberi catatan. Pada titik ini, Etika Global perlu didampingi dengan proyek

lain, di antaranya, teologi pluralis.

Akhirnya, untuk menghindari kesalahpahaman, Küng mengulangi dengan

tegas, “A global ethic does not mean a new global ideology, far less a uniform

world religion beyond all existing religions; least of all does it mean the domination

of one religion over all others.”43 Etika Global bukanlah sebuah ideologi global

yang baru, bukan sebuah agama dunia yang seragam di luar agama-agama yang

ada, bukanlah dominasi suatu agama atas agama-agama lain. Etika Global

merupakan sebuah konsensus dasar tentang nilai-nilai yang mengikat (binding

41Lih. Richard Hughes Seager, “The Two Parliaments, the 1893 Original and the Centennial of

1993: A Historian’s View”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns (peny.), op. cit., pp. 24-25.

42Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer Zaman

(ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 262.

43Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., p. 105.

Page 47: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

33

values), kriteria yang tidak terbatalkan (irrevocable criteria), dan sikap pribadi

yang mendasar (personal basic attitudes). Dengan demikian, tidak ada komunitas

yang segera atau lambat-laun terancam oleh anarki atau diktator yang baru.

Page 48: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

BAB IV

SUMBANGAN ETIKA GLOBAL HANS KÜNG

BAGI TERWUJUDNYA PERDAMAIAN

DAN RELEVANSINYA BAGI INDONESIA

4.1 ELEMEN PENTING DALAM ETIKA GLOBAL

Sumbangan Etika Global dapat dengan lebih mudah diketahui, salah

satunya, lewat terlebih dahulu menemukan elemen apa yang berkaitan erat

dengannya. Tanpa bermaksud mengesampingkan apalagi menganggap sepi

komunitas-komunitas non-religius lainnya, elemen penting dimaksud ialah agama.

Mengapa agama? Bab sebelumnya telah melaporkan secara cukup detail, peran

agama dalam melahirkan Etika Global dan tanggung jawabnya mewujudkan apa

yang menjadi harapan sebagaimana tersurat dalam dokumen yang diprakarsai Hans

Küng tersebut. Agama memainkan peran yang amat urgen, kendati berwajah ganda.

Bagian ini secara ringkas dan khusus kembzali membahas agama, meski telah ada

pelbagai sumber dan atau tokoh yang membicarakannya.

4.1.1 Agama Menurut Hans Küng

Sebagaimana seni, agama atau religion sangat sulit didefinisikan. Satu topik

yang sama, kadang menimbulkan beragam gagasan tentangnya. Dengan meminjam

jawaban Agustinus ketika ditanya “Apa itu waktu?”, Küng menerangkan,

“Sebelumnya saya tahu apa itu agama namun tidak ketika Anda meminta saya

Page 49: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

menjelaskannya”.1 Term ‘agama’ cukup problematis, juga telah diperdebatkan

secara kritis-masif oleh para sarjana agama dan teolog. Oleh alasan ini, Küng lebih

suka mendekati ‘agama’ melalui analogi, lantaran agama memiliki kesamaan pun

juga perbedaan, dan dari seluruh perbedaan, sebagian kesamaan masih dapat

diamati.

Agama selalu berkaitan dengan pengalaman “bertemu dengan Yang Suci” (R. Otto, F.

Heiler, M. Eliad, G. Mensching). “Realitas Sakral” ini dapat dipahami baik sebagai

kekuatan, energi (roh, setan, malaikat), sebagai Tuhan (personal), sebagai Tuhan

(impersonal), atau pun realitas tertinggi (nirvana). Dengan demikian, untuk tujuan dialog,

“agama” dapat dimaknai sebagai hubungan sosial dan individu yang disadari secara vital

dalam tradisi dan komunitas (melalui doktrin, etos, dan ritual), dengan sesuatu yang

transenden dan meliputi manusia dan dunianya, dengan sesuatu yang selalu dipahami

sebagai realitas yang benar dan telah final (Sang Absolut, Tuhan, Nirvana). Berbeda

dengan filsafat, agama secara langsung dihubungkan dengan sebuah pesan keselamatan

dan jalan keselamatan.2

Agama lebih dari sekadar persoalan teoretis belaka. Agama bukan soal masa

lalu semata-mata yang kembali digali sebagaimana dimaksudkan dalam pelbagai

studi ilmiah tentang agama. Agama tidak sesempit artian ini. Küng menegaskan,

Agama merupakan sebuah lived life atau kehidupan yang dijalani, tergurat dalam hati laki-

laki dan perempuan, sehingga bagi seluruh orang-orang religius, agama merupakan sesuatu

yang kontemporer, berdenyut melalui setiap nadi eksistensi mereka sehari-hari. Agama

dapat pula dimaknai secara tradisional, superfisial dan pasif, atau sebaliknya dinamis.

Agama adalah cara percaya, pendekatan terhadap hidup, dan sebuah cara hidup. Oleh

karena itu, agama merupakan suatu pola dasar yang merangkul individu dan masyarakat

atau manusia dan dunia sekaligus. Melalui pola dasar inilah, setiap individu (meskipun

tidak seutuhnya sadar) melihat dan mengalami, berpikir dan merasakan, bertindak dan

menderita, segala sesuatu. Agama adalah sebuah sistem koordinat yang tertanam kuat

secara transenden dan bekerja secara imanen. Dengan inilah manusia memaknai dirinya

secara intelektual, emosional dan eksistensial. Agama dengan demikian menyediakan

sebuah makna menyeluruh terhadap kehidupan, menjamin nilai-nilai mulia dan norma-

norma tanpa syarat, menciptakan sebuah komunitas dan pesanggrahan spiritual.3

1Lih. Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam

(ed.), Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim, penerj. Mega Hidayat, dkk (Yogyakarta:

Program Studi Agama dan Lintas Budaya [CRCS] Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada,

2010), hlm. 13. Artikel ini diterjemahkan dari Pengantar buku Küng, Hans Küng. Christianity and

World Religions. New York: Orbis Books, 2002.

2Ibid., hlm. 13-14.

3Ibid., hlm. 14. Pesanggarahan yang dimaksudkan dalam terjemahan ini ialah rumah

peristirahatan atau penginapan, biasanya milik pemerintah.

Page 50: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

4.1.2 Wajah Ganda Agama

Pengertian agama model inilah yang kemudian memotivasi Küng

menempatkan agama itu sendiri sebagai elemen penting dalam Dokumen Etika

Global yang digagasnya, sambil tetap melibatkan kaum non-religius. Lebih lanjut,

Küng juga sadar, wajah agama tidak melulu satu dan sama. Pertanyaan yang dapat

diajukan di sini, dapatkah agama-agama memberikan kontribusi yang besar bagi

dunia?

4.1.2.1 Agama Berwajah Destruktif

Agama-agama, tidak dapat dimungkiri, telah dan masih memberi

sumbangan yang sedemikian besar dalam artian negatif. Begitu banyak perjuangan,

konflik berdarah, bahkan perang antaragama diprovokasi oleh alasan agama. Begitu

banyak pertikaian ekonomi, politik, dan militer yang dimulai, diwarnai, diinspirasi,

dan dilegitimasi oleh agama. Agama, pada titik ini, berwajah destruktif.

Salah satu kasus besar yang Küng pakai untuk memperlihatkan wajah

agama model ini ialah kasus Lebanon, 1975-1990.4 Pada masa itu, pra-1975,

Lebanon masih dipadang sebagai ‘Swiss Timur Dekat’, sebuah pulau yang penuh

kedamaian di tengah kawasan-kawasan dan agama-agama yang berperang dengan

dahsyat. Namun, informasi yang tiba-tiba beredar menyebutkan bahwa di Lebanon,

situasi kian memanas. Keseimbangan politis antara umat Kristiani dan Muslim

berubah, tidak stabil. Kekuatan Kristen terancam oleh melejitnya populasi Muslim

dan konstitusi di Lebanon kala itu tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu

yang lama. Pertikaian akhirnya tidak terhindarkan.

Pembunuhan massal dan perang yang amat fanatik, berdarah, dan tidak

kenal ampun, yang berlandaskan alasan-alasan keagamaan, tidak hanya terjadi di

Lebanon, antara Kristen Maronite, Muslim Sunni dan Syi’ah, antara Syria,

Palestina, Druse, dan Israel. Pertikaian dengan motif yang sama juga pecah antara

4Bdk. Hans Küng, “Tak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Agama-agama”, dalam

Najiyah Martiam (ed.), op. cit., hlm. 20-21. Artikel ini diterjemahkan dari buku Global

Responsibility. In Search of a New World Ethic, pp. 71-75 oleh Mega Hidayat, dkk. Informasi lebih

lanjut dapat ditemukan dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Saudara_Lebanon.

Page 51: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

Iran dan Irak, antara orang India dan Pakistan, orang Hindu dan Sikh, antara

penganut Buddha Singhales dan Hindu Tamil, juga antara Bikku Buddha dan rezim

Katolik di Vietnam, antara penganut Katolik dan Protestan di Irlandia Utara. Apa

logika di balik semuanya ini? Küng menjawab,

Jika Tuhan sendiri ‘bersama kita’, bersama agama, pengakuan, dan negara kita, serta berada

di pihak kita, maka apapun diperbolehkan dalam melawan pihak lain, yang di dalam kasus

ini secara logika pastilah pihak yang jahat. Bahkan, dalam kasus ini, kekerasan,

pembakaran, pengrusakan, dan pembunuhan yang tak terkendali diizinkan atas nama

Tuhan.5

Agama yang berwajah destruktif ini, Küng sebut sebagai ‘agama-agama saat

perang’.

4.1.2.2 Agama Berwajah Konstruktif

Dalam pengertian positif, agama dapat memberikan kontribusi yang besar

bagi pembangunan, dan sejarah telah mencatatnya. Agama mampu hadir dan

dengan gigih mengupayakan terciptanya ketenteraman, keadilan sosial, budaya

non-kekerasan, dan saling cinta antarindividu, kelompok-kelompok keagamaan

tertentu, hingga komunitas-komunitas religius dalam skala yang lebih besar. Agama

dapat mempropaganda dan mengaktifkan sikap dasar seperti kesediaan untuk

mewujudkan perdamaian, penolakan terhadap diskriminasi, dan toleransi.

Jika kasus Lebanon diangkat untuk mempresentasikan wajah destruktif,

Jerman, Prancis, dan Polandia menjadi anti-tesis yang sebaliknya menampilkan

wajah yang konstruktif. Küng mencatat dua contoh dalam politik, sebagai berikut.

1. Selama berabad-abad, Perancis dan Jerman dipandang sebagai musuh utama. Pada abad

kesembilan belas dan keduapuluh. Perancis dan Jerman melancarkan tiga perang besar

dalam semangat nasionalistik, dua di antaranya berkembang menjadi perang dunia. Dunia

berhutang fakta bahwa setelah Perang Dunia II kebencian masa lalu tidak bangkit kembali,

dan politik balas dendam tidak lagi mendominasi para laki-laki seperti Charles de Gaulle,

Konrad Adenauer, Maurice Schuman, Jean Monnet, dan Alice de Gasperi. Sebagai

politikus handal, pada awalnya mereka tidak berpikir dalam terma birokratis dan

teknokratis sepanjang perbatasan Brussels, tetapi karena pengalaman mereka yang penuh

ketakutan, mereka mencari visi dengan fondasi etika dan agama (benar-benar secara

realistis dalam term politik). Hal tersebut mengakhiri perang di antara negara-negara Eropa

saat ini dan untuk selamanya. Eropa yang bersatu dalam fondasi Barat, Kristen, terjalin

bersama secara ekonomi dan politik dalam pertahanan merupakan jaminan terbaik bahwa

di masa yang akan datang negara-negara tersebut akan hidup bersama dalam perdamaian.

5Ibid., hlm. 22.

Page 52: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

Setelah begitu banyak kekejaman anti Kristen, dan untuk memperjelas bahwa rekonsiliasi

Perancis dan Jerman datang dari semangat Kristen, de Gaulle dan Adenauer menyegel

rekonsiliasi ini sebelum semua orang berkumpul di katedral Rheims, tempat di mana raja-

raja Perancis dinobatkan.

2. Setelah Perang Dunia II, medan tempur ideologi antara Republik Federal Jerman dan

negara-negara Pakta Warsawa distabilkan secara penuh. Bagaimana – setelah kekejaman

terhadap orang Jerman yang tak terduga di Timur dan pengusiran jutaan orang Jerman dari

rumah nenek moyangnya – mereka dapat saling memaafkan? Pada akhir tahun 1950an,

Julius Dopfner, saat itu menjabat sebagai Uskup Berlin dan kemudian menjabat sebagai

Kardinal Munich, mengambil langkah awal terhadap rekonsiliasi melalui permohonan yang

tegas. Tetapi dia dengan cepat dibungkam oleh badai kemarahan. Di tahun 1965, Gereja

Evangelis di Jerman memberanikan diri melakukan usaha baru. Melalui memorandum yang

dapat dipertahankan secara teologis dan imbang secara politik, gereja ini mempersiapkan

rekonsiliasi antara orang-orang Jerman di satu pihak dan orang-orang Polandia, Ceko, dan

Rusia di lain pihak. Hal ini tidak hanya memungkinkan kebajikan perjanjian dengan Timur

di tahun-tahun berikutnya, tetapi – jika dilihat secara kritis dan detail – hal ini juga

membuktikan dasar toleransi bagi normalisasi politis sementara hingga revolusi besar

akhirnya datang pada tahun 1989.”6

Contoh-contoh yang mempresentasikan kontribusi positif agama masih

dapat ditambahkan. Pada 1960an, lahir Gerakan Hak-hak Sipil di Amerika Serikat

yang dimulai oleh seorang pastor kulit hitam, Martin Luther King, didukung oleh

banyak pastor, pendeta, dan biarawati. Pada 1980an dan 1990an, juga muncul

gerakan perdamaian yang dikepalai oleh orang-orang dengan motivasi keagamaan

– terutama umat Kristen dan Buddha – dari Amerika Serikat ke Jepang, dari Irlandia

Utara dan Eropa Timur hingga ke Afrika Selatan. Wajah lain agama, yang

konstruktif ini, Küng sebut sebagai ‘agama-agama saat damai’.

4.2 SUMBANGAN ETIKA GLOBAL

Guna memudahkan ditemukannya peran dan tanggung jawab agama sebagai

elemen penting dalam Etika Global – tentu saja dalam kapasitasnya sebagai yang

berwajah konstruktif –, pengandaian dasar Etika Global perlu ditegaskan sekali

lagi. “No survival without a world ethic. No world peace without peace between

the religions. No peace between the religions without dialogue between the

religions. – Tidak ada kehidupan yang layak dan damai tanpa sebuah etika bersama.

Tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian di antara agama-agama. Tidak ada

6Ibid., hlm. 23-24.

Page 53: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

perdamaian di antara agama-agama tanpa dialog di antara agama-agama tersebut.”7

Slogan persuasif Küng ini kiranya dengan benderang membentangkan betapa

agama memainkan peran yang amat signifikan. Agama bertanggung jawab

mewujudkan perdamaian. Dari perdamaian global yang terwujud, niscaya sebuah

tatanan dunia baru dapat tercapai.

4.2.1 Agama-agama Dunia dan Perdamaian Dunia

Pertanyaan mendasar yang Küng ajukan, haruskah agama-agama terlibat

jauh dalam konflik dan perselisihan? Tugas agama-agama haruslah menciptakan

perdamaian – karena perdamaian (shalom, salam, eirene, pax) merupakan ciri

utama ajaran mereka – di antara mereka sendiri, agar dapat, dengan segala alat yang

disediakan oleh media, “(a) Menghilangkan kesalahpahaman, (b) bekerja melalui

kenangan yang menyakitkan, (c) memecahkan gambaran-gambaran buruk yang

umum tentang musuh, (d) memilah-milahkan konflik dari kesalahan yang bersifat

individu dan bersifat sosial, (e) menghilangkan kerusakan, dan (f) memikirkan apa

yang mereka miliki bersama. Apakah para penganut dari berbagai agama itu sadar

akan etos yang mereka miliki bersama, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan

‘dogmatik’ yang besar?”8

“All the religions of the world today have to recognize their share in responsibility for

world peace. And therefore one cannot repeat often enough the thesis for which I have

found growing acceptance all over the world: there can be no peace among the nations

without peace among the religions. In short, there can be no world peace without religious

peace. - Dewasa ini, semua agama dunia harus menyadari tanggung jawab mereka untuk

perdamaian dunia. Dan oleh karena itu, seseorang harus selalu mengulang tesis yang

untuknya saya telah menemukan bertambahnya penerimaan di seluruh dunia: tidak ada

perdamaian di antar bangsa-bangsa tanpa perdamaian di antara agama-agama. Ringkasnya,

tidak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian agama-agama.”9

Sikap tegas Küng ini dapat langsung dipakai untuk menjawabi pertanyaan,

apa yang harus agama lakukan untuk mengatasi konflik regional, nasional, dan

7Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic (New York: Crossroad,

1991), p. xv. Terjemahan oleh penulis sendiri.

8Lih. Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer

Zaman (ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 256-257.

9Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., pp. 75-76.

Terjemahan oleh penulis sendiri.

Page 54: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

internasional? Kendati mengalami aneka kegagalan, agama dapat memberikan

kontribusi yang menentukan bagi perdamaian. Hal ini dimungkinkan apabila

agama-agama menyadari dan menggunakan semua potensi dalam dirinya demi

perdamaian. Dalam diri setiap agama, bersemayam motivasi fundamental untuk

membantu mewujudkan perdamaian batin personal sekaligus mengatasi

pelanggaran dan kekerasan yang rawan timbul dalam masyarakat. Maka, tandas

Küng, “They could blunt hostile conflicts and help to avoid or shorten wars.”10

Mereka – agama-agama – dapat meredakan konflik bermusuhan dan dapat

membantu menghindari atau mempersingkat perang.

Optimisme lainnya, yang dibangun di atas pandangan yang pesimistik,

sebagaimana dicatat oleh Syafaatun Almirzanah, dapat disebutkan untuk

mempertegas peran dan tanggung jawab agama. “Teori-teori yang pernah popular

mengenai kemajuan global dan sekularisasi umumnya menganggap bahwa

modernisasi akan menyingkirkan peran penting agama di ranah publik. Bahkan

sekarang, ketika kita mencoba menakar nilai agama terhadap dimensi lain

kehidupan masyarakat, kita seringkali melakukannya dengan asumsi bahwa agama

tidak menyumbang apapun baik dalam bentuk gagasan maupun pengalaman, untuk

pluralisme, liberalisme, dan sekularisme yang dianggap sebagai kriteria baku

masyarakat modern demokratis. Gelombang aktivisme politik Islam yang

melampaui ambang batas pertama sejarah yang tampak dalam revolusi Iran di tahun

1979 menunjukkan kekeliruan prediksi-prediksi itu, yang dari situ membuka pintu

bagi Bernard Lewis dan Samuel Huntington untuk memperkenalkan kembali agama

sebagai kategori yang relevan untuk memahami geopolitik pasca perang dingin,

dalam tesis mereka, ‘benturan antarperadaban’.”11

Almirzanah menyimpulkan,

Oleh karenanya, asumsi bahwa kita hidup di dunia yang sekuler adalah asumsi yang keliru.

Dunia sekarang ini benar-benar sereligius sebelumnya, dan dibeberapa [!] tempat bahkan

lebih religius dari sebelumnya. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada hari ini dan

10Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, penerj. John Bowden (New

York: Oxford University Press, 1998), p. 148.

11Syafaatun Almirzanah, “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”, dalam Najiyah

Martiam (ed.), op. cit., hlm. 48-49.

Page 55: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

era ini agama merupakan salah satu kekuatan terbesar dan daya yang menyebar diatas [!]

bumi.12

Sekali lagi, agama-agama bertanggung jawab mewujudkan perdamaian,

dengan kembali menyadari motivasi paling fundamental dari panggilan mereka.

Para penganut masing-masing agama bertugas menghidupi spirit yang menjiwai

panggilan tersebut. Hanya dengan cara ini, agama dapat memberikan kontribusi

untuk memecahkan aneka persoalan (problem solver), bukan sebaliknya, menjadi

bagian apalagi penyebab utama dari persoalan (part of the problem).

4.2.2 Etika Bersama bagi Tatanan Dunia Baru

Akhirnya, sumbangan Etika Global memuncak pada lahirnya sebuah

tatanan dunia baru. Etika Global lewat prinsip-prinsip dan poin-poin mutlaknya,

dimaksudkan agar sebuah kehidupan yang lebih baik dapat tercipta. Untuk itu, perlu

digarisbawahi terus-menerus, tidak ada tatanan dunia baru tanpa etika bersama.

Küng menjabarkan sumbangan Etika Global dalam dua nada.13 Pertama-

tama, suatu pernyataan bernada negatif. Suatu tatanan dunia baru yang lebih baik

tidak akan didasarkan pada: (a) semata-mata serangan diplomatik, yang sangat

sering ditujukan pada pemerintah, bukan pada rakyat, dan sangat sering tidak

menjamin perdamaian dan stabilitas wilayah; (b) semata-mata bantuan

kemanusiaan, yang tidak bisa menggantikan tindakan politik; (c) intervensi militer,

yang lebih berakibat negatif daripada positif; dan (d) semata-mata ‘hukum

internasional’, selama dipegang negara-negara yang memiliki kekuasaan tidak

terbatas dan lebih difokuskan pada hak-hak negara daripada hak-hak rakyat dan

individu (HAM).

Kemudian, suatu pernyataan bernada positif. Suatu tatanan dunia baru

hanya dapat dihasilkan dengan dasar: (a) visi, harapan, nilai, tujuan, dan kriteria

yang lebih umum; (b) tanggung jawab dunia yang besar pada sebagian rakyat dan

pemimpin mereka; dan (c) etika baru yang mengikat dan menyatukan semua

12Ibid., hlm. 49. Beberapa kesalahan pengetikan kata dalam kutipan ini, tidak penulis perbaiki.

13Bdk. Hans Küng, “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali Noer

Zaman (ed.), Agama untuk Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 246-247.

Page 56: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

manusia, termasuk negara dan mereka yang berkuasa, yang mencakup kebudayaan

dan agama.

Demi melindungi masa depan bumi dan kehidupan, Etika Global meminta

agama-agama memberikan kontribusi yang besar. Kapankah permintaan ini

menjadi lebih mendesak daripada sekarang? Küng menegaskan,

Dalam berbagai peristiwa, ‘etika dunia’ bukanlah suatu slogan yang bersuasana molek,

suatu kemewahan yang membangkitkan perhatian akademik atau memberikan orang suatu

profil yang baik sebagai pembicara resmi. Etika dunia muncul dari pengalaman pahit masa

lalu, krisis berdarah kemarin, di mana agama-agama sering memainkan peran yang penting.

Tetapi krisis tidak hanya menimbulkan bahaya tetapi juga kesempatan.14

Sekali lagi, tidak ada tatanan dunia baru tanpa Etika Global. Tidak ada

tatanan dunia baru dan kehidupan yang lebih harmonis tanpa sebuah konsensus

dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-

sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis

mereka berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum

tidak beriman.

4.3 RELEVANSI ETIKA GLOBAL BAGI INDONESIA

Pada intinya, pokok ini dimaksudkan untuk menjawabi sejumlah kritik yang

diajukan pada Etika Global sebagaimana ditampilkan dalam Bab sebelumnya.

Apakah Etika Global sudah final? Dalam konteks lokal, khususnya Indonesia,

sejauh mana Etika Global berperan? Apakah perlu tindak lanjut sesuai konteks

Indonesia, mengingat sifat Dokumen ini yang terlampau global?

4.3.1 Kunjungan Hans Küng ke Indonesia

Bagian ini perlu disertakan lantaran hemat penulis, ini fakta sejarah yang

unik dan tidak biasa. Küng, dapat dikatakan, merupakan satu dari hanya segelintir

tokoh dunia yang berpengaruh, yang pernah secara langsung mengunjungi

Indonesia. Küng datang dengan semangat akademik yang tetap tinggi, sekaligus

mempromosikan apa yang telah bertahun-tahun ia tekuni.

14Ibid., hlm. 248.

Page 57: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

Pada 2010, Küng memberi kuliah umum bertajuk “Finding New Paths to

Dialogue” bertempat di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kuliah umum ini

merupakan yang pertama dari serangkaian kuliah umum yang diselenggarakan oleh

Center for Religious and Cross-cultural Studies – CRCS, UGM, sebagai salah satu

bagian dari kegiatan Pluralism Knowledge Programme. Ada dua bentuk

dokumentasi dari kunjungan bersejarah ini. Pertama, buku “Jalan Dialog Hans

Küng dan Perspektif Muslim”15 dengan editornya, Najiyah Martiam, diterbitkan

sebagai panduan untuk kuliah umum yang Küng bawakan. Kedua, video “hans

kung, indonesia and interfaith dialogue – part 1 dan 2”, yang dapat secara luas dan

bebas diunggah. Dua bentuk dokumentasi ini sekaligus menjadi kenangan ulang

tahun yang ke-10 CRCS, pada tahun yang sama, 2010.

Dalam kapasitasnya sebagai penggagas Etika Global sekaligus tokoh yang

paling sungguh-sungguh mengampanyekan pentingnya sebuah etika bersama

menuju tatanan dunia baru yang lebih baik, pernyataan Küng berikut mesti disimak.

Well, diversity is a fact and we have to acknowledge diversity. But besides diversity you

have on your own coat of arms in Indonesia the saying ‘Unity in Diversity’, because if we

have only diversity we have the splintering of the whole diversity. I think we need to have

a harmonious society not a uniform society, but a harmonious society in diversity.16

Küng mengingatkan betapa keanekaragaman merupakan ciri dan fakta

Indonesia yang harus diakui. Kendati begitu, Indonesia telah memiliki dan berdiri

di atas spirit yang terkenal, ‘Bhinneka Tunggal Ika’ – berbeda-beda tetapi tetap

satu. Küng mengusulkan sebuah masyarakat yang harmonis, bukan masyarakat

yang seragam. Harmonis dalam keanekaragaman.

Poin lain yang perlu dicatat dari kunjungan ini ialah perhatian Küng pada

relasi antaragama, pentingnya dialog sebagai modus perjumpaan antaragama,

maupun pemosisian agama dalam konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan politik,

amat dekat dan sejalan dengan perhatian CRCS. Küng datang bukan tanpa

15Versi pdf buku ini dapat diunggah secara gratis dalam

https://ahmadsamantho.files.wordpress.com/2010/07/buku-hans-kung-crcs-terjemahan-

indonesia.pdf.

16Pernyataan Hans Küng sebagai pembuka dalam video “hans kung, indonesia and interfaith

dialogue – part 1”, dalam (https://www.youtube.com/watch?v=0uSTmT1muTQ, diakses pada 5

Desember 2016).

Page 58: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

persiapan. Küng sudah terlebih dahulu memperkaya diri dengan membaca banyak

hal, hingga ke simpul-simpul kunci yang membentuk Indonesia menjadi sebuah

bangsa yang pluralis. Küng juga datang dengan membawa sejumlah ajakan menuju

tatanan kehidupan yang lebih baik.

4.3.2 Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia

Bagian ini dimaksudkan untuk mempresentasikan betapa Etika Global akan

tinggal tetap sebagai sebuah gagasan yang terlampau umum, jika tidak

diterjemahkan ke dalam konteks-konteks lokal yang jamak. Terlepas dari apakah

Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia merupakan respons atas Etika

Global atau malah lahir sebelum Etika Global, terselenggaranya Kongres ini dengan

Deklarasi yang dihasilkannya merupakan sebuah upaya yang tepat, sebagai

pendamping yang baik bagi Etika Global.

... agama di satu pihak, menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan

perdamaian, tetapi di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan melegitimasi

perpecahan bahkan kekerasan.17

Inilah kesadaran paling hakiki yang memotivasi terselenggaranya Kongres

Nasional I Agama-agama di Indonesia yang diadakan di Yogyakarta, 11-12

Oktober 1993, jauh sebelum Küng datang ke Indonesia. Seluruh peserta kongres

mengakui bahwa kehadiran agama-agama di Indonesia merupakan rahmat Ilahi

yang patut disyukuri. Kesadaran ini pun senada dengan kesadaran yang melatari

lahirnya Etika Global. Artinya, Etika Global yang umum itu, telah menemukan

tindak lanjutnya yang lebih khusus.

Kongres ini menekankan pula peran kritis dan profetis kaum ilmuwan, yang

dinilai sangat penting untuk menjernihkan dan mengupayakan pemecahan masalah-

masalah kehidupan bersama. Oleh karena itu, para ilmuwan agama terpanggil untuk

membangun dialog dan kerja sama keilmuan dalam rangka merealisasikan

tanggung jawab bersama tersebut. Di sini, peran CRCS – salah satunya – menjadi

17Paragraf pertama dalam “Deklarasi Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia”.

Keseluruhan Deklarasi ini penulis lampirkan pada bagian Lampiran, Lampiran 2, yang penulis salin

dari Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama. Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan

Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 212-213.

Page 59: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

kentara. Wajah dan laju naik-turun agama-agama di Indonesia telah menjadi

perhatian mereka.18 Laporan yang dikerjakan CRCS ini pun masih senada dengan

Küng, yakni menampilkan wajah ganda agama-agama di Indonesia, sebagaimana

tersurat dalam Deklarasi Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia.

4.3.3 Dialog sebagai Kunci

Etika Global yang ditawarkan Küng bicara apa bagi Indonesia yang kian

kental dengan fakta pluralitas inter-dimensional, secara khusus pada kenyataan

bahwa agama-agama di Indonesia juga berwajah ganda? Kata kunci yang dapat

dengan mudah diterjemahkan ke dalam konteks Indonesia hic et nunc ialah dialog.

Perdamaian dunia mengandaikan perdamaian di antara agama-agama. Perdamaian

di antara agama-agama, hanya akan mungkin melalui dialog. Dialog menjadi

penting dan mendesak, serentak sebagai media ampuh untuk mempertemukan

aneka agama dan komunitas non-religius lainnya. Di sini, Küng menekankan

pentingnya konsensus.

Sebuah konsensus, tekan Küng, seharusnya dilakukan antara wakil-wakil

dari pelbagai agama. Dialog yang diperlukan ialah dialog yang memberi dan

menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing

agama, mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Dengan ini, dialog yang ditawarkan

Küng mestilah sebuah dialog yang kritis, mana kala semua agama ditantang untuk

tidak hanya menjustifikasi segala sesuatu, tetapi menyampaikan pesan terdalam

mereka dengan baik dan tepat. Ringkasnya, dialog yang dibutuhkan ialah dialog

dengan tanggung jawab saling menjelaskan dan sadar bahwa tidak satu pun agama

memiliki kebenaran ‘yang telah tercipta’, tetapi semua menuju pada kebenaran

‘yang lebih mulia’.19

Dialog kritis yang ditawarkan Küng ini pun tidak luput dari kritik. Zainal

Abidin Bagir mencatat,

18Baca selengkapnya dalam Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah

Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada (UGM), “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di

Indonesia” 2008, 2011, dan 2012”. Penulis memilih CRCS dari sekian banyak lembaga atau

kelompok yang bertekun dalam studi-studi keagamaan, agar pembahasan pada Bab ini memiliki

kesinambungannya.

19Lih. Hans Küng, “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah Martiam

(ed.), op. cit., hlm. 17.

Page 60: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

Nasr sendiri, seorang filosof Muslim kontemporer, pernah secara khusus menulis

‘Response to Hans Küng on Christian-Muslim Dialogue’, di jurnal The Muslim World

(2007) dan juga ‘Reflection upon the Theological Modernism of Hans Küng’ dalam

bukunya The Need for Sacred Science. Di sana Nasr mengkritik Küng cukup keras sebagai

wakil apa yang disebutnya modernisme teologis, yang dipandangnya sebagai penyusup

kecenderungan sekularisasi ke jantung teologi Kristen. Ia juga mengritik Küng yang

dianggapnya tak sepenuhnya tepat membaca Islam.20

Sebaliknya, apresiasi yang patut dialamatkan kepada Küng ialah

keberaniannya membuka ruang dialog yang masuk amat dalam ke jantung agama-

agama non-Kristen. Sebab bagi Küng, ”No religious dialogue without research into

basis”.21 Tidak ada dialog antaragama tanpa pengkajian hingga ke dasar-dasarnya,

tanpa menyelam hingga ke fondasi-fondasi setiap agama, dengan segala

konsekuensinya.

4.3.4 Dialog Interreligius di Indonesia dan Tawaran Hans Küng

Dialog interreligius membutuhkan suasana kebebasan dan saling menghormati

keanekaragaman. Dialog interreligius juga mengatasi sekat-sekat formal ketentuan hukum

dan undang-undang yang kerap kali justru membatasi dan merepresi eksistensi dan

dinamisme agama. Dialog interreligius juga mencegah aneka macam cetusan perilaku dan

kebijakan undang-undang yang diskriminatif.22

Dialog interreligius, dengan idealnya sebagaimana ditegaskan Armada

Riyanto di atas, bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia, meskipun secara

konseptual baru mulai dipikirkan sekitar tahun 1960-an dan menjadi santer pada

dekade tujuh puluhan. Ini berarti, ide dan praksis dialog antaragama jauh lebih

dahulu dibandingkan Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia yang baru

terselenggara pada 1993. Selain diadakannya aneka pertemuan kerukunan agama,

pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama (Depag) juga menerbitkan

pedoman-pedoman yang secara sistematis bermaksud menata kehidupan

masyarakat beragama di Indonesia. Pada 1979, untuk pertama kalinya Proyek

Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama Departemen Agama Republik Indonesia

20Zainal Abidin Bagir, “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam (ed.), op.

cit., hlm. 8-9. Nasr yang dimaksudkan oleh Bagir ialah Seyyed Hossein Nasr. Artikel lain tentang

Nars dan Küng dapat dibaca dalam Gerardette Philips, “Nasr dan Küng: Jalan Perdamaian Melalui

Iman dan Akal”, dalam ibid., hlm. 58-66.

21Hans Küng, Global Responsibility. In Search of a New World Ethic, op. cit., pp. 107-111.

22E. Armada Riyanto, Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah

(Yogyakarta: Kanisius, 2014), hlm. 373-374.

Page 61: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

menerbitkan Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Kemudian pada

1982/1983, buku yang sama diterbitkan kembali dengan pembaruan-pembaruan.

Secara sistematis, diterbitkan pula pedoman-pedoman bimbingan dan pembinaan

kehidupan beragama, di antarnya Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama

(1982) dan Kehidupan Beragama dalam Negara Pancasila (1982).23

Tanpa bermaksud membatasi perkembangan lebih lanjut dan memadai24

setelah 1982 hingga kini, dalam bingkai dialog yang ditawarkan Küng, apa saja

tantangan dan peluang yang dihadapi Indonesia dalam dialog interreligiusnya?

Pertama, soal tantangan. Indonesia merupakan Negara dengan tingkat

konflik antaragama yang cukup tinggi. Beberapa kasus besar di masa lampau dapat

disebutkan, konflik di Situbondo (1996), konflik di Poso – Ambon (1999), konflik

antargolongan agama – Ahmadiyah dan Syiah (2000-an), konflik di Tolikara –

Papua (Juli 2015), hingga belakangan ini konflik antarideologi – Front Pembela

Islam (FPI) dan Muhammadiyah, FPI dan non-Muslim, serta masih banyak

lainnya.25 Konflik-konflik ini hendak menunjukkan betapa dialog – meski

diupayakan terus-menerus – selalu dihadapkan pada tantangan atau kemungkinan

untuk gagal. Dialog kritis yang ditawarkan Küng tentu juga tidaklah mudah

terlaksana. Beberapa alasan dapat diuraikan.26

(a) Etika Global yang digagas Küng relatif lebih mudah diterima oleh kaum

rasionalis atau di Negara-negara sekular. Pada titik ini, Indonesia tentu belum

sekular, agama masih sering ambil peran di ruang-ruang publik. Etika Global,

kendati dirumuskan ke dalam bahasa yang mudah dipahami, tetap tidak akan

menjangkau lapisan-lapisan yang paling rendah dalam sebuah masyarakat atau

pemeluk agama tertentu. Inilah alasan mengapa perlu ada tindak lanjut di tingkat-

tingkat lokal, agar Etika Global menjadi riil. Khususnya dalam dialog, Küng sendiri

23Ibid., hlm. 374-375.

24Baca selengkapnya dalam ibid., hlm. 376-480, juga pelbagai peraturan lainnya.

25Contoh-contoh lainnya dapat disimak dalam CRCS, “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama

di Indonesia” 2008, 2011, dan 2012”. Masalah-masalah seputar rumah ibadah dan pelarangan

pendiriannya serta diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang di

sejumlah wilayah di Indonesia menjadi yang paling banyak dihimpun dalam laporan ini.

26Bagian ini penulis olah sedemikian rupa dari hasil diskusi penulis bersama Dr. Georg

Kirchberger.

Page 62: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

menyebutkan bahwa konsensus hanya melibatkan wakil-wakil dari pelbagai agama.

Dialog model ini tentu amatlah sempit, dan baru dapat berdaya guna bila

diterjemahkan dengan baik dan sederhana oleh kaum-kaum yang telah lama

berkonsentrasi dalam gerakan dialog, agar mampu menjiwai semua pemeluk

agama. Dialog kritis tanpa aplikasi praktis, selamanya akan tinggal tetap pada

tataran konseptual semata-mata. (b) Apakah agama-agama di Indonesia bersedia

dimasuki hingga ke sisi-sisinya yang paling sensitif? Tawaran Küng ini tentu saja

mustahil. Agama-agama di Indonesia masih sangat eksklusif dan kental dengan

klaim-klaim yang terlampau tertutup tentang kebenaran – meski pada hakikatnya

setiap agama mesti memiliki klaim kebenarannya –, sesuatu yang secara sederhana

dapat dikatakan sebagai musuh terbesar dialog. Konflik-konflik antaragama atau

antargolongan agama di Indonesia seringkali lahir dari ketiadaan ketertarikan untuk

saling belajar, lahir dari kesempitan berpikir dan ego keagamaan, lahir dari

ketertutupan untuk dijangkau dan menjangkau, lahir dari prasangka-prasangka yang

berujung pada saling curiga dan saling vonis, lahir dari minimnya daya dan sikap

kritis. (c) Dialog kritis akan dihadapkan pada fenomena fundamentalisme yang

marak di Indonesia, dalam diri setiap agama. Kebangkitan fundamentalisme

menjadi pekerjaan rumah yang berat.

Kedua, peluang. Apakah tantangan-tantangan ini serta-merta menutup pintu

dan mematikan api dalam dialog yang ditawarkan Küng? Dialog kritis tetap relevan

bagi Indonesia. (a) Pelbagai aturan dan pedoman tentang dialog interreligius telah

sejak lama ada di Indonesia. Ini berarti, dialog kritis yang ditawarkan Küng

memiliki pendamping. Etika Global menjadi konkret lewat tindak lanjut yang

mendukung di tingkat-tingkat lokal. Dialog kritis hadir sebagai penantang

kemapanan keberagamaan yang seringkali lelap dalam zona aman. Dialog kritis

mendesak masing-masing pemeluk agama untuk inklusif, lebih terbuka, dan

bersedia saling memasuki. Indonesia perlu dialog model ini, dialog yang lebih

menantang, yang pada gilirannya mesti dipromosikan lewat bahasa-bahasa yang

lebih riil. (b) “Fundamentalism as a religious phenomenon cannot be conquered in

a frontal offensive. It must certainly be approached with a clear democratic and

tolerant attitude, but attempts must be made to overcome it with understanding and

empathy, and this includes above all removing the conditions which have allowed

Page 63: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

it to arise.”27 Sebagai sebuah fenomena agama, fundamentalisme, hemat Küng,

tidak dapat ditundukkan melalui cara-cara ofensif yang frontal. Fundamentalisme

tentu harus didekati dengan sikap yang demokratis dan toleran yang jernih, dengan

terus berusaha mengatasinya lewat pengertian dan empati. Usaha menghilangkan

penyebab-penyebabnya menjadi yang utama dan mendesak. (c) Berhadapan dengan

fenomena ini, dialog kritis bantu mengingatkan kaum fundamentalis akan akar

kebebasan, pluralisme, dan keterbukaan pada kelompok atau agama lain. Jika

demikian, dialog model ini – dengan saling memberi dan menerima tanpa klaim-

klaim sepihak – patut dicoba dan terus-menerus diupayakan di Indonesia, agar hari

demi hari, roh fundamentalis dapat perlahan terkikis dan pada gilirannya,

dibekukan.

Keprihatinan Küng yang sangat besar pada soal dialog antaragama

menjadikannya salah satu ikon penting dialog. Bahkan, Ahmad Syafi’i Maarif

mengakui sekaligus memberi harapan.

... Dengan segala kritiknya itu, dia juga ingin membangun suatu bahasa yang sama untuk

perdamaian dunia, dan dia serius. Dia tidak mengada-ada. Oleh sebab itu ia mendirikan

Yayasan Global Ethic, yang menurut saya adalah suatu usaha yang sangat positif dan lama-

lama saya rasa akan didengar orang suara itu, apalagi dengan dunia yang semacam ini,

dunia yang sama sekali tidak aman, tidak damai, tidak bahagia. Saya rasa kita

membutuhkan suatu pegangan yang lebih kokoh. ...28

Syafaatun Almirzanah dari UIN Yogyakarta menambahkan,

Aplikasi teorinya Küng, itu yang menarik buat saya, dan itu cocok. Untuk saya cocok

sekali. Kalau itu bisa diaplikasikan untuk semua agama, saya kira itu akan sangat bagus

sekali. ... 29

4.4 KESIMPULAN

Etika Global yang diprakarsai Hans Küng lahir karena adanya tanggung

jawab global yang sama, yang diemban agama-agama. Sebagai elemen penting

dalam Etika Global, agama-agama berperan penting mewujudkan perdamaian.

27Hans Küng, A Global Ethic for Global Politics and Economics, op. cit., p. 147.

28Ahmad Syafi’i Maarif dalam video “hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 2”,

dalam (https://www.youtube.com/watch?v=-c5I3y5IwP8, diakses pada 5 Desember 2016).

29Syafaatun Almirzanah dalam ibid.

Page 64: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

63

Tugas agama-agama haruslah menciptakan perdamaian, karena shalom, salam,

eirene, pax merupakan ciri utama ajaran mereka. Agama-agama bertanggung jawab

dalam mempromosikan, memberi bentuk, dan menentukan arah tatanan dunia baru.

Dalam konteks Indonesia, pluralisme agama dengan segala ambivalensinya

merupakan fakta yang tidak dapat diingkari dan merupakan faktor utama yang

melahirkan kesadaran kebangsaan yang mendalam, seperti terungkap dalam

semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Agama-agama – juga komunitas-komunitas

tradisional dan non-religius yang tidak tercatat secara formal dalam konstitusi –

sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia dituntut dan

didesak untuk terus-menerus menampilkan kekuatan etik, moral, dan spiritualnya.

Perwujudnyataan dari kekuatan-kekuatan ini diarahkan untuk mendorong keadilan

dan kesejahteraan yang merata.

Demi memuluskan dan perlahan-lahan mencapai ideal ini, Etika Global

Hans Küng menawarkan ‘dialog’ sebagai kunci serentak media. Kendati plural dan

masih rawan terjadi ketegangan di sana-sini, dialog yang diperlukan untuk konteks

Indonesia – penulis sepakat dengan Küng – ialah dialog yang memberi dan

menerima. Apa yang menjadi matra khas dan kiblat terdalam dari masing-masing

agama mesti dipresentasikan, diperkenalkan. Di sini, kemantapan pada pendirian

dan keseriusan dalam menjalankan agama oleh setiap pemeluk, menjadi mutlak.

Tanpa keduanya, tidak ada dialog, apalagi dialog yang kritis, yang masuk hingga

ke fondasi agama-agama dengan segala konsekuensinya.

Page 65: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

66

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Menyadari betapa eksistensial dan strategisnya nilai perdamaian,

mengusahakan atau mengembalikannya pada jalur yang tepat adalah sebuah

kemutlakan. Dunia yang sedang dalam krisis terus-menerus, tentu saja menggeser

bahkan pada porsinya mematikan perdamaian. Apakah pasrah, tinggal diam, atau

bungkam merupakan sikap yang bijak? Kehadiran Hans Küng secara tegas

menjawab ‘Tidak!’ untuk pertanyaan ini.

Berangkat dari refleksinya atas pengalaman perang dan konflik, Küng

menjadi begitu yakin, tidak ada yang lebih mengerikan di dunia ini dari perang yang

dimotivasi oleh ego keagamaan. Untuk itu, lewat tesisnya yang terkenal, “No

survival without a world ethic. No world peace without peace between the religions.

No peace between the religions without dialogue between the religions”, Küng

berupaya keras, militan, dan teguh mempromosikan betapa agama-agama

memainkan peran yang amat penting dalam menentukan peradaban. Etika Global

yang diprakarsainya, menjadi bukti sekaligus panduan.

Etika Global Küng berikhtiar membangun tatanan dunia baru. Dalam lain

perkataan yang lebih serius, tidak ada tatanan dunia baru tanpa Etika Global. Tidak

ada tatanan dunia baru dan kehidupan yang lebih harmonis tanpa sebuah konsensus

dasar tentang nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tak terbatalkan dan sikap-

sikap dasar yang ditegaskan oleh semua agama kendatipun secara dogmatis

Page 66: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

66

mereka berbeda, dan yang sesungguhnya dapat pula disumbangkan oleh kaum

tidak beriman. Pada titik ini – meskipun Etika Global bukan satu-satunya panduan

dan bahwa Etika Global mesti didampingin atau diterjemahkan dalam konteks-

konteks lokal yang lebih aktual – yang khas ialah bahwa dokumen ini merupakan

dokuman pertama yang bersifat global yang dihasilkan dari sebuah konsensus di

antara para pemeluk agama-agama juga komunitas yang tidak terikat pada tradisi

religius mana pun di dunia. Konsensus ini berangkat dari sebuah kesadaran bersama

akan masifnya isu-isu yang dapat membahayakan kehidupan kolektif, yang

terejawantah lewat tuntutan fundamental atau apa yang disebut sebagai Kaidah

Kencana atau Golden Rule, dengan petunjuk-petunjuk yang tidak terbatalkan

berupa komitmen-komitmen.

Lalu, karena Etika Global itu sendiri tidak melulu mengarah keluar, ke

‘dunia’ melainkan juga kembali ke agama-agama, dialog menjadi kata kunci dan

praksis penting yang mesti diperhatikan. Perdamaian dunia akan tercipta lewat

perdamaian antaragama, dan perdamaian antaragama hanya akan mungkin lewat

dialog. Agak berbeda dari model dialog lainnya, dialog yang ditawarkan Küng

adalah dialog yang kritis. Dialog model ini, untuk mewakili relevansi Etika Global

bagi Indonesia – lantaran yang dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam

konteks Indonesia ialah dialog – diharapkan akan semakin membumi, dan suatu

ketika didengarkan dan diupayakan bersama-sama, kendati sulit dan akan

berhadapan dengan aneka kendala. Indonesia yang masih selalu rawan konflik

antaragama, hemat penulis, sekiranya perlu memajukan dialog yang saling

menerima dan memberi tanpa prasangka, serta bersedia saling memasuki, bahkan

hingga ke sisi-sisi paling sensitif, dengan segala konsekuensinya.

5.2 SARAN

Sebagai elemen penting yang melahirkan Etika Global dan pada gilirannya

bertanggung jawab mewujudkan perdamaian serta menciptakan tatanan dunia baru,

agama-agama mesti kembali kepada jati dirinya. Agama harus mampu membawa

pemeluknya tiba pada suatu perspektif tersendiri yang penuh pertimbangan

terhadap suatu hal, sambil dengan penuh simpatik mengupayakan toleransi dengan

pihak-pihak yang tidak sejalan. Agama harus mendorong umat manusia keluar dari

Page 67: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

66

egoisme dan tidak melulu terkurung dalam klaim-klaim kebenaran pribadi,

sebaliknya altruis dan terbuka. Agama harus mantap dalam dialog, siap

berkomunikasi dengan komunitas-komunitas non-religius, juga dengan dunia.

Wajah agama haruslah konstruktif.

Pihak mana sajakah yang mesti terlibat penuh dalam upaya mewujudkan

perdamaian dan membangun tatanan dunia baru lewat agama? “We invite all

people, whether religious or not, to do the same”, demikian seruan yang temaktub

dalam Declaration Toward A Global Ethic. Agar lebih relevan, penulis ingin

menyebut secara khusus tiga pihak berikut.

Pertama, para pemimpin agama dan komunitas-komunitas non-religius.

Bahaya yang kian marak ialah para pemimpin hanya berhenti sebagai ikon atau

patron. Di Indonesia, pemimpin-pemimpin kelompok radikal tertentu atas nama

agama tertentu, gagal memainkan peran sebagai animator perdamaian. Masing-

masing masih terlalu sibuk mengejar target ideologisnya sendiri. Sebaliknya,

pemimpin yang ideal mestilah yang selalu mampu memberikan pencerahan,

mengajak sesama pemeluknya untuk mengusahakan perdamaian, untuk terus-

menerus berdialog dengan mata hati dan budi terbuka. Kedua, para aktivis dialog

dan akademisi. Etika Global yang digagas Küng, dalam artian tertentu, lebih

condong ke sebuah proyek seorang akademisi. Oleh sebab itu, para aktivis dialog

dan akademisi lainnya perlu merespons gagasan Küng ini sebagai referensi baru

dalam membangun sebuah tatanan dunia yang lebih baik. Dialog kritis yang Küng

tawarkan, mesti diterjemahkan sedemikan rupa oleh para aktivis dan akademisi

dimaksud agar selanjutnya dapat dengan mudah dipahami, diterima, dan dijalankan

oleh semua pemeluk agama. Ketiga, umat agama-agama dan komunitas-komunias

non-religius. Melalui peran para pemimpin dan sumbangan para aktivis dialog juga

para akademisi, Etika Global Küng sekiranya dapat menyentuh hingga ke lapisan-

lapisan paling kecil di tengah umat. Umat diharapkan turut bantu mengupayakan

apa yang menjadi ideal Etika Global, khususnya dalam setiap upaya dialog.

Pada akhirnya, semua umat manusia, baik beragama maupun tidak

beragama dipanggil untuk sama-sama mewujudkan perdamaian dan membangun

tatanan dunia baru yang lebih harmonis.

Page 68: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

LAMPIRAN 1

DECLARATION TOWARD A GLOBAL ETHIC1

4 September 1993

Chicago, U.S.A.

Introduction

The world is in agony. The agony is so pervasive and urgent that we are

compelled to name its manifestations so that the depth of this pain may be made

clear.

Peace eludes us – the planet is being destroyed – neighbors live in fear –

women and men are estranged from each other – children die!

This is abhorrent.

We condemn the abuses of Earth’s ecosystems.

We condemn the poverty that stifles life’s potential; the hunger that weakens

the human body, the economic disparities that threaten so many families with ruin.

We condemn the social disarray of the nations; the disregard for justice

which pushes citizens to the margin; the anarchy overtaking our communities; and

the insane death of children from violence. In particular we condemn aggression

and hatred in the name of religion.

But this agony need not be.

It need not be because the basis for an ethic already exists. This ethic offers

the possibility of a better individual and global order, and leads individuals away

from despair and societies away from chaos.

1Versi lengkap dokumen ini dapat dilihat dan diunduh dalam

http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethic.pdf.

Page 69: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

We are women and men who have embraced the precepts and practices of

the world’s religions:

We affirm that a common set of core values is found in the teachings of the

religions, and that these form the basis of a global ethic.

We affirm that this truth is already known, but yet to be lived in heart and

action.

We affirm that there is an irrevocable, unconditional norm for all areas of

life, for families and communities, for races, nations, and religions. There already

exist ancient guidelines for human behavior which are found in the teachings of the

religions of the world and which are the condition for a sustainable world order.

We declare:

We are interdependent. Each of us depends on the well-being of the whole,

and so we have respect for the community of living beings, for people, animals, and

plants, and for the preservation of Earth, the air, water and soil.

We take individual responsibility for all we do. All our decisions, actions,

and failures to act have consequences.

We must treat others as we wish others to treat us. We make a commitment

to respect life and dignity, individuality and diversity, so that every person is treated

humanely, without exception. We must have patience and acceptance. We must be

able to forgive, learning from the past but never allowing ourselves to be enslaved

by memories of hate. Opening our hearts to one another, we must sink our narrow

differences for the cause of the world community, practicing a culture of solidarity

and relatedness.

We consider humankind our family. We must strive to be kind and

generous. We must not live for ourselves alone, but should also serve others, never

forgetting the children, the aged, the poor, the suffering, the disabled, the refugees,

and the lonely. No person should ever be considered or treated as a second-class

citizen, or be exploited in any way whatsoever. There should be equal partnership

between men and women. We must not commit any kind of sexual immorality. We

must put behind us all forms of domination or abuse.

Page 70: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

We commit ourselves to a culture of non-violence, respect, justice, and

peace. We shall not oppress, injure, torture, or kill other human beings, forsaking

violence as a means of settling differences.

We must strive for a just social and economic order, in which everyone has

an equal chance to reach full potential as a human being. We must speak and act

truthfully and with compassion, dealing fairly with all, and avoiding prejudice and

hatred. We must not steal. We must move beyond the dominance of greed for

power, prestige, money, and consumption to make a just and peaceful world. Earth

cannot be changed for the better unless the consciousness of individuals is changed

first. We pledge to increase our awareness by disciplining our minds, by meditation,

by prayer, or by positive thinking. Without risk and a readiness to sacrifice there

can be no fundamental change in our situation. Therefore we commit ourselves to

this global ethic, to understanding one another, and to socially beneficial, peace-

fostering, and nature-friendly ways of life.

We invite all people, whether religious or not, to do the same.

Page 71: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

LAMPIRAN 2

DEKLARASI KONGRES NASIONAL I

AGAMA-AGAMA DI INDONESIA

Kongres Nasional I Agama-agama di Indonesia yang diadakan di

Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993, menyadari situasi dunia, bahwa agama di satu

pihak, menjadi kekuatan bagi gerakan-gerakan kemanusiaan, keadilan dan

perdamaian, tetapi di pihak lain semangat keagamaan dapat menyebabkan dan

melegitimasi perpecahan bahkan kekerasan.

Bahwa sesungguhnya kehadiran agama-agama di Indonesia merupakan

rahmat Ilahi yang patut disyukuri. Bumi Indonesia, sebagai lahan yang subur bagi

spiritualitas, telah memungkinkan agama-agama tumbuh berkembang dan

menampilkan peran transformatif terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia

yang kreatif, dinamis dan toleran. Hal demikian termanifestasi dalam hubungan

antarumat beragama yang saling menghargai dan tumbuh bersama dalam

memperjuangkan, menegakkan dan mengisi kemerdekaan bangsa.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang majemuk telah mengukuhkan

pluralisme agama sebagai kenyataan yang tidak dapat diingkari, dan merupakan

faktor utama yang melahirkan kesadaran kebangsaan yang mendalam, seperti

terungkap dalam semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’. Hubungan antarumat beragama

yang harmonis merupakan hal yang harus dipelihara dan dikembangkan guna

memperkokoh integrasi bangsa dan kelangsungan pembangunan nasional.

Sebagai proses yang harus berlangsung terus-menerus, pembangunan

nasional merupakan tanggung jawab bersama seluruh rakyat Indonesia dalam

Page 72: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

menghadapi masalah dan tantangan masa depan bangsa. Agama-agama sebagai

bagian tak terpisahkan dari kehidupan rakyat Indonesia dituntut untuk terus

menampilkan kekuatan etik, moral dan spiritualnya. Aktualisasi dari kekuatan-

kekuatan tersebut diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang

merata.

Peran kritis dan profetis kaum ilmuwan sangat penting untuk menjernihkan

dan mengupayakan pemecahan masalah-masalah kehidupan bersama. Oleh karena

itu, para ilmuwan agama terpanggil untuk membangun dialog dan kerja sama

keilmuan dalam rangka merealisasikan tanggung jawab bersama tersebut.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Kongres Nasional I

Agama-agama di Indonesia dengan ini menyatakan membentuk:

Lembaga Pengkajian

Kerukunan Umat Beragama

Lembaga ini bertugas sebagai berikut:

1. melakukan penelitian dan pengembangan kerukunan umat beragama,

2. menyelenggarakan seminar, konferensi dan kongres nasional dan

internasional tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah keagamaan

dan kemanusiaan,

3. melakukan kegiatan sosial antarumat beragama untuk meningkatkan

partisipasi umat beragama dalam pembangunan nasional dan

memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara,

4. menyebarluaskan informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan

kerukunan umat beragama.

Susuanan organisasi dan personalia lembanga ini ditetapkan kemudian oleh

Panitia Kongres ini dengan penasihat Prof. Dr. H. A. Mukti Ali.

Yogyakarta, 12 Oktober 1993

Page 73: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

DAFTAR PUSTAKA

Kamus dan Dokumen

Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Sekolah Pascasarjana,

Universitas Gadjah Mada (UGM). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di

Indonesia Tahun 2008, 2011, dan 2012.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. ke-4.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Editorial Committee of the ‘Council’ of the Parliament of the World’s Religions.

Declaration Toward A Global Ethic. New York: Continuum Publishing, 1993.

Buku-buku

Adiprasetya, Joas. Mencari Dasar Bersama. Etika Global dalam Kajian

Postmodernisme dan Pluralisme Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

Hudson,Winthrop S. Religion in America: An Historical Account of the

Development of American Religious Life. New York: Charles Scribner’s Sons,

1965.

Knitter, Paul F. One Earth Many Religions. Multifaith Dialogue & Global

Responsibility. New York: Orbis Books, 1995.

Page 74: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

Küng, Hans. A Global Ethic for Global Politics and Economics. Penerj. John

Bowden. Oxford: Oxford University Press, 1997.

................... Etika Ekonomi-Politik Global. Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan

Agama di Abad XXI. Cet. ke-2. Penerj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Qalam,

2010.

.................... Global Responsibility. In Search of a New World Ethic. New York:

Crossroad, 1991.

................... Projekt Weltethos. München, Zürich: Piper, 1992.

Küng, Hans dan Karl Josef-Kuschel (peny.). A Global Ethic; The Declarations of

the Parliament of the World’s Religions. London: SCM Press, 1993.

.......................................................... (eds.). Etik Global. Penerj. Ali Noer Zaman.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Magnis-Suseno, Frans. Etika Abad Kedua Puluh. 12 Teks Kunci. Cet. ke-5.

Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Marty, Martin E. Righteous Empire: The Protestant Experience in America. New

York: The Dial Press, 1970.

Riyanto, E. Armada. Dialog Interreligius. Historisitas, Tesis, Pergumulan, Wajah.

Cet. ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 2014.

Artikel

Almirzanah, Syafaatun. “Perspektif Hans Küng dan Muslim terhadap Dialog”,

dalam Najiyah Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif

Muslim.Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)

Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010.

Page 75: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

Bagir, Zainal Abidin. “Kebangkitan Agama dan Dialog”, dalam Najiyah Martiam

(ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim.Yogyakarta: Program

Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas

Gajah Mada, 2010.

Budi Kleden, Paul. “Hans Küng tentang Infallibilitas dan Implikasinya bagi

Hubungan Teolog - Magisterium”. VOX. 33/2: 54-79, 1998.

............................. “Teologi Pluralis dan Etika Global: Alternatif atau

Komplementer”. Jurnal Ledalero. 9/1: 77-96, Juni, 2010.

Ficca, Dirk. “The Chicago Model”, dalam Wayne Teasdale & George Cairns

(peny.). The Community of Religions: Voices and Images of the Parliament

of the World’s Religions. New York: Continuum, 1996.

Jeanrod, Werner G. “Hans Küng”, dalam David F. Ford (peny.). The Modern

Theologians. An Introduction to Christian Theology in the Twentieth Century.

Vol. 1. Oxford: Basil Blackwell, 1989.

Küng, Hans. “Mencari Jalan-jalan Baru Dialog Antaragama”, dalam Najiyah

Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif Muslim.Yogyakarta:

Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Sekolah Pascasarjana

Universitas Gajah Mada, 2010.

..................... “Perdamaian Dunia, Agama-agama Dunia, Etika Dunia”, dalam Ali

Noer Zaman (ed.). Agama untuk Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

.................... “Tak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Agama-agama”,

dalam Najiyah Martiam (ed.). Jalan Dialog Hans Küng dan Perspektif

Muslim.Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)

Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010.

................... “What Is True Religion? Toward an Ecumenical Criteriology”, dalam

Leonard Swidler (ed.). Toward a Universal Theology of Religion. New York:

Orbis Books, 1987.

Page 76: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

Seager, Richard Hughes. “The Two Parliaments, the 1893 Original and the

Centennial of 1993: A Historian’s View”, dalam Wayne Teasdale & George

Cairns (peny.). The Community of Religions: Voices and Images of the

Parliament of the World’s Religions. New York: Continuum, 1996.

Internet

Gregg, Samuel. Ratzinger dan Küng: Paralel dan Divergen, dalam

http://indonesia.ucanews.com/2011/03/25/ratzinger-dan-kung-paralel-dan-

divergen/, diakses pada 25 Oktober 2016.

Hans Küng, dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Hans_ Küng, diakses 5 Desember

2015.

hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 1, dalam

https://www.youtube.com/watch?v=0uSTmT1muTQ, diakses pada 5

Desember 2016.

hans kung, indonesia and interfaith dialogue – part 2, dalam

https://www.youtube.com/watch?v=-c5I3y5IwP8, diakses pada 5 Desember

2016.

Marto, Denmas. Karl Barth. Membubuhkan Tanda Tanya terhadap Kebenaran

dalam http://www.geocities.ws/denmasmarto/barth.html, diakses pada 15

Oktober 2016.

Priyanto, Andree. Profesor Hans Küng: Paus Benediktus Mesti Bertanggung

Jawab, dalam

http://dunia.tempo.co/read/news/2010/04/29/117244222/wawancara-

profesor-hans-kung-paus-benediktus-mesti-bertanggung-jawab, diakses 22

Februari 2016.

Page 77: ETIKA GLOBAL HANS KÜNG: IHWAL TANGGUNG JAWAB …

75

Towards a Global Ethic, dalam

http://cchu9014.weebly.com/uploads/1/6/2/0/16200980/towardsaglobalethi.

pdf, diakses 5 Desember 2015.