diabetes mellitus.doc

Post on 11-Jan-2016

1 Views

Category:

Documents

2 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. 4

Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA), 2005,

yaitu1 :

1. Diabetes Melitus Tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan

dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing (terutama malam

hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya

normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur

hidup.

2. Diabetes Melitus Tipe 2

DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat

normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa

tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi

hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan

dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes Melitus Tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

1

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

4. DM Gestasional

Prevalensi

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes

melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030.

WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah

penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah

penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita

diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di

2

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS PERKENI 1998

DM TIPE 1:

Defisiensi

insulin absolut

akibat destuksi

sel beta,

karena:

1.autoimun

2. idiopatik

DM TIPE 2 :

Defisiensi insulin

relatif :

1, defek sekresi

insulin lebih

dominan daripada

resistensi insulin.

2. resistensi insulin

lebih dominan

daripada defek

sekresi insulin.

DM TIPE LAIN :

1. Defek genetik fungsi sel beta :

Maturity onset diabetes of the young

Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain

2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis

Pankreatektomy

3.Endokrinopati : akromegali, cushing,

hipertiroidisme

4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme

5.Akibat virus: CMV, Rubella

6.Imunologi: antibodi anti insulin

7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

DM

GESTASIONAL

Indonesia menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita

melakukan pemeriksaan secara teratur.2

Patogenesis

Diabetes mellitus tipe 1

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel pankreas

sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun, meskipun rinciannya

masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya adalah: pertama, harus ada kerentanan

genetik terhadap penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini

merupakan satu mekanisme pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap

ketiga adalah insulitis, sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan

limfosit T teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel

asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau sekarang dianggap

sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja sama dengan mekanisme imun

seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.5

Diabetes Melitus Tipe 2

Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin abnormal dan

resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama

tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa.

Pertama, glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar

insulin meningkat. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga

meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk

hiperglikemia setelah makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi

insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata.5

Manifestasi Klinik

3

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan mengeluhkan apa

yang disebut 4P (Polifagi, Penurunan berat badan, Polidipsi dan Poliuri) juga keluhan

tambahan lain seperti sering kesemutan, rasa baal dan gatal di kulit. 1

Kriteria diagnostik :

Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu

merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan

terakhir, atau Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat

kalori tambahan sedikit nya 8 jam, atau Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl.

TTGO dilakukan dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan

75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.8

Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal 2x.3

Dengan cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO ’94

Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan

karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.

Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih

tanpa gula tetap diperbolehkan.

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam

250 ml air dan diminum dalam 5 menit.

Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah

minum larutan glukosa selesai

Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

4

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat

digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa

darah puasa terganggu) dari hasil yang diperoleh

TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembenanan antara 140-199 mg/dl

GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl

Penatalaksanaan

Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar gula darah

dalam kisaran yang normal. Namun, kadar gula darah yang benar-benar normal sulit untuk

dipertahankan.

Meskipun demikian, semakin mendekati kisaran yang normal, maka kemungkinan

terjadinya komplikasi sementara maupun jangka panjang menjadi semakin berkurang. Untuk

itu diperlukan pemantauan kadar gula darah secara teratur baik dilakukan secara mandiri

dengan alat tes kadar gula darah sendiri di rumah atau dilakukan di laboratorium terdekat.

Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olah raga dan diet. Seseorang

yang obesitas dan menderita diabetes tipe 2 tidak akan memerlukan pengobatan jika mereka

menurunkan berat badannya dan berolah raga secara teratur.

Namun, sebagian besar penderita merasa kesulitan menurunkan berat badan dan

melakukan olah raga yang teratur. Karena itu biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat

hipoglikemik (penurun kadar gula darah) per-oral.

Diabetes tipe 1 hanya bisa diobati dengan insulin tetapi tipe 2 dapat diobati dengan obat

oral. Jika pengendalian berat badan dan berolahraga tidak berhasil maka dokter kemudian

memberikan obat yang dapat diminum (oral = mulut) atau menggunakan insulin.Berikut ini

pembagian terapi farmakologi untuk diabetes, yaitu:

5

1. Farmakologis

Obat Hiperglikemik Oral

a. Peningkatan Sekresi Insulin

Sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Merupakan obat

pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurangm namun masih boleh

diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.

Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator. Penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini berisiko terjadinya hipoglikemia.

Contohnya : repaglinid, nateglinid.

b. Peningkatan Sensitivitas Insulin

Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan efek insulin endogen

pada target organ (otot skelet dan hepar). Menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer

meningkat.

c. Glukoneogenesis inhibitor

Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga memperbaiki uptake

glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada

pasien dengan gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan hipoksemia.

d. Inhibitor absorbsi glukosa

α glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi glukosa di usus halus

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak

menimbulkan efek hipoglikemi.

Insulin

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi insulin prandial. Terapi

insulin diupayakan mampu meniru pada sekresi insulin yang fisiologis. Defisiensi insulin

6

mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa, insulin prandial atau keduanya. Defisiensi

insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan

defisiensi insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin

untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Terapi

insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja cepat (rapid insulin), kerja pendek

(short acting), kerja menengah (intermediate acting) atau insuli campuran tetap (premixed

insulin).

Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia

yang berta disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,

hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis yang

hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan

dengan DM/DM Gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan

fungsi hepar atau ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.

Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah untuk kemudian

diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO

dengan insulin, yang banyak dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja

menengah atau kerja lama) yang diberikan pada malam hari atau menjelang tidur. Dengan

pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa yag baik dengan

dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang

diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai

kadar gula darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula darah

sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan insulin.

7

Komplikasi

1. Penyulit akut

a. Ketoasidosis diabetik

KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan

penningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon

pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan

penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia.

Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan

Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam

kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang kemudian di

oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa

akan mengakibatkan end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping

itu glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai ketogenic

effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD adalah GDS > 250 mg/dl,

pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi dan keton serum (+). Biasanya didahului

gejala berupa anorexia, nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas

adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.

b. Koma Hiperosmolar Non Ketotik

Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih besar dari 600 mg%

tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini

jarang mengenai anak-anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena

pada keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2

dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak

dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia.

8

c. Hipoglikemia

Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg% tanpa gejala klinis atau

GDS < 80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual,

tekanan darah turun. Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara

gangguan kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat

dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak

berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau

tanpa kejang.

2. Penyulit menahun

a. Mikroangiopati

Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan trombosis

a) Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan inkompetens

vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik

mikroaneurisma dan vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok.

Bahayanya dapat terjadi perdarahan disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina

darah bagian dalam pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan

konstituen plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang

membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik prolferatif terjadi iskemia

retina yang progresif yang merangsang neovaskularisasi yang menyebabkan

kebocoran protein-protein serum dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh

ini berproliferasi ke bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat

berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat penurunan

penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes memeriksakan matanya 3

9

tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan setiap tahun bila sudah mulai ada

kerusakan mikro untuk mencegah kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang

terkontrol memperlambat progresivitas kerusakan retina.

b) Nefropati Diabetik

Ditandai dengan albuminura menetap > 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit pada

minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan. Berlanjut menjadi proteinuria

akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat

glikasi nonenzimatik dan AGE, advanced glication product yang ireversible dan

menyebabkan hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis

nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan intraglomerulus dan

bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik, nefritis yang reversible akan

berubah menjadi nefropati dimana terjadi keruakan menetap dan berkembang

menjadi chronic kidney disease.9

c) Neuropati diabetik

Yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer berupa hilangnya

sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi. Gejala

yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa

sakit di malam hari. Setelah diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu

dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan

pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram, dilakukan

sedikitnya setiap tahun.6

b. Makroangiopati

a) Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak

10

Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus ditingkatkan

terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi seperti riwayata keluarga

PJK atau DM

b) Pembuluh darah tepi

Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes, biasanya terjadi

dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio, meskipun sering anpa gejala.

Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.9

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu

penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta

: balai penerbit FKUI, 2006; 1857.

2. Persi.Faktor Lingkungan dan Gaya Hidup Berperan Besar Memicu Diabetes.2008

[ diakses tanggal 12 Januari 2011] http: //pdpersi.co.id

3. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi

pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006; 1906.

4. Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di

Indonesia 2011. Jakarta : PERKENI, 2011

5. Foster DW.Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.

Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000; 2196.

6. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006

7. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi

Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit

Dalam FKUI; 2006; hal. 1920

8. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873

9. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.

Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty

Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005;

hal.1259

12

13

top related