contekan hio 2
Post on 01-Feb-2016
233 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Drug Induced Hepatitis
2.1.Pendahuluan
Hepatitis karena obat adalah peradangan/inflamasi pada hati yang disebabkan oleh reaksi
obatSalah satu fungsi hati yang penting ialah melindungi tubuhterhadap terjadinya penumpukan
zat berbahaya yang masukdari luar, misalnya obat. Banyak diantara obat yang bersifatlarut dalam
lemak dan tidak mudah diekskresikan oleh ginjal.Untuk itu maka sistem enzim pada mikrosom
hati akan melakukan biotransformasi sedemikian rupa sehingga terbentukmetabolit yang lebih
mudah larut dalam air dan dapat dikeluarkan melalui urin atau empedu. Dengan faal
sedemikianini, tidak mengherankan bila hati mempunyai kemungkinanyang cukup besar pula
untuk dirusak oleh obat. Hepatitis karena obat pada umumnya tidak menimbulkan kerusakan
permanen, tetapi kadang-kadang dapat berlangsung lamadan fatal.1
Metabolisme obat terjadi dalam 2 tahap. Pada tahap 1 reaksi, obat dijadikan polar oleh
proses oksidasi atau hydroxilasi. Tidak semua obat-obatan melalui tahap ini, beberapa dapat
langsung menjalani reaksi tahap 2. Enzim cytochrome P-450 enzim mengkatalisis reaksi tahap 1.
Sebagian besar produk intermediatnya bersifat transient dan sangat reaktif. Ini dapat
menyebabkan reaksi pembentukan metabolit yang jauh lebih beracun dari substrat obatnya dan
dapat menyebabkan kerusakan hati. Enzim Cytochrome P-450 adalah hemoprotein yang terdapat
pada reticulum endoplasmic hati. Setiap enzim P-450 dapat metabolisme banyak obat-obatan.
Tahap 2 reaksi mungkin terjadi di dalam maupun di luar hati. Obat-obatan dikonjugasi dengan
asetat, asam amino, sulfate, glutathione, asam glucuronic, yang selanjutnya akan meningkatkan
daya larut.2
2.2.Epidemiologi
Hepatitis karena obat terjadi pada delapan dalam setiap 10.000 orang. Perempuan
cenderung terpengaruh hampir dua kali dibandingkan laki-laki. Orang dewasa lebih rentan
terhadap jenis hepatitis ini karena tubuh mereka tidak mampu memperbaiki dengan cepat sel-sel
hepatosit yang rusak seperti pada orang muda.3 Di Amerika terdapat sekitar 200 kasus penyakit
hati akut. 50% diantaranya adalah karena penggunaan obat terdiri dari 30% karena
acetaminophen, 13% adalah reaksi idiosinkratik akibat pengobatan lainnya. 2 – 5% kasus akibat
penggunaan obat di rumah sakit dengan jaundice, 10% dari semua kasus adalah hepatits akut.
2.3.Faktor Resiko
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :2
1. Ras : Beberapa obat memiliki toksisitas yang berbeda tergantung ras. Misalnya, kulit hitam
lebih rentan terhadap isoniazid (INH).
2. Hepatitis karena obat jarang ditemukan pada anak-anak. Resikonya meingkat pada orang
tua.
3. Jenis kelamin : Dengan alasan yang tidak diketahui, hepatitis jenis ini lebih sering terjadi
pada perempuan.
4. Konsumsi alkohol : orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatiis karena
obat karena kerusakn hati mengubah metabolisme obat-obatan. Alkohol menyebabkan
penipisan glutathione (hepatoprotektif) yang membuat orang lebih rentan.
5. Faktor resiko lain : Orang dengan AIDS, malnutrisi, dan berpuasa mungkin rentan terhadap
narkoba karena rendahnya glutathione.
2.4.Etiologi
Beberapa contoh obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya hepatitis karena obat, yaitu :2
1. Acetaminophen: Hepatoksisitas dari acetaminophen disebabkan oleh senyawa metabolit
NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone-imine). Ini adalah senyawa metabolit yang dihasilkan oleh
cytochrome P-450-2E1.
2. Amoxicillin: Amoxicillin menyebabkan peningkatan kadar SGOT, SGPT, atau keduanya.
3. Amiodarone: Amiodarone menyebabkan hasil tes fungsi hati tidak normal dalam 15-50%
dari pasien.
4. Chlorpromazine: Kerusakan hati akibat Chlorpromazine menyerupai hepatitis infeksi dengan
fitur laboratorium jaundice obstruktif lebih jelas daripada kerusakan parenkim.
5. Ciprofloxacin : Kira-kira 1,9% dari pasien yan menggunakan ciprofloxacin menunjukkan
tingkat SGPT tinggi, 1,7% mengalami peningkatan SGOT, 0,8% mengalami peningkatan
alkalin phosphatase, dan 0,3% kadar bilirubin meningkat.
6. Diclofenac: Perempuan tua lebih rentan terhadap kerusakan hati akibat diclofenac.
Peningkatan dari satu atau lebih hasil tes hati mungkin terjadi.
7. Erythromycin: Erythromycin dapat menyebabkan kerusakan hati, termasuk peningkatan
enzim hati dan hepatocellular dan/atau hepatitis cholestatis dengan atau tanpa jaundice.
8. Fluconazole: Menyebabkan peningkatan transaminase.
9. Isoniazid : Hepatitis berat telah dilaporkan pada pasien yang mendapat terapi INH. Pasien
yang diberikan INH harus diawasi secara hati-hati.
10. Methyldopa: Methyldopa merupakan antihipertensi yang merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan penyakit hati aktif.
11. Kontrasepsi oral : kontrasepsi oral dapat mengakibatkan intrahepatic cholestasis dengan
pruritus dan jaundice dalam sejumlah kecil pasien.
12. Statin/HMG-COA reductase inhibitors : Penggunaan statin terkait dengan abnormalitas
biokimiawi dari fungsi hati.
13. Rifampicin: Rifampicin biasanya diberikan dengan INH. Rifampin sendiri dapat
menyebabkan hepatitis ringan.
2.5.Patogenesis
1.Mekanisme patofisiologi2
a.Gangguan hepatosit : Ikatan kovalen dari obat dengan protein intrasellular dapat
menyebabkan penurunan ATP, yang menyebabkan gangguan aktin. Gangguani aktin di
permukaan hepatosit menyebabkan pecahanya membrane hepatosit.
b.Gangguan transportasi protein: Obat-obatan yang mempengaruhi transportasi protein di
membrane canalicular dapat mengganggu arus empedu. Hilangnya processus villous dan
gangguan pompa transportasi seperti resistensi multidrug-protein 3 menghambat ekskresi
bilirubin, menyebabkan cholestasis.
c.Aktivasi sel Cytolytic T : Ikatan kovalen obat pada enzim P-450 bertindak sebagai
immunogen, mengaktifkan sel T dan cytokines dan merangsang kekebalan tubuh yang multi
respon.
d.Apoptosis hepatosit : Aktivasi jalur apoptotic oleh reseptor faktor tumor nekrosis-alpha
receptor oleh Fas memicu kaskade intraselular, yang menghasilkan kematian sel.
e.Gangguan mitokondria : Beberapa obat menghambat fungsi mitokondria dengan efek
ganda terhadap produksi energi beta-oksidasi oleh hambatan sintesis Nikotinamid adenin
dinukleotida dan flavin adenin dinukleotida, mengakibatkan penurunan produksi ATP.
f.Kerusakan saluran empedu : metabolit toksik yang dieksresikan di empedu dapat
menyebabkan kerusakan epitel saluran empedu.
2. Mekanisme toksisitas obat1
Secara patofisiologik, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hati dibedakan atas
dua golongan yaitu hepatotoksin yang predictable dan yang unpredictable.
a. Hepatotoksin yang predictable (intrinsik) : merupakan obat yang dapat dipastikan selalu akan
menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosisyang
cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsungmerusak sel hati, ada pula yang merusak
secara tidak langsungyaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hati.Obat
hepatotoksik predictable yang langsung merusak selhati umumnya tidak digunakan lagi untuk
pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksinyang predictable
yang merusak secara tidak langsung masihbanyak yang dipakai misalnya parasetamol,
tetrasiklin, metotreksat, etanol, steroid kontrasepsi dan rifampisin. Tetrasiklin, etanol dan
metotreksat menimbulkan steatosis yaitu degenerasi lemak pada sel hati. Parasetamol
menimbulkan nekrosis, sedangkan steroid kontrasepsi dan steroid yang mengalami alkilasi pada
atom C-17 menimbulkan ikterus akibat terhambatnya pengeluaran empedu. Rifampisin dapat
pula menimbulkan ikterus karena mempengaruhi konyugasi dan transpor bilirubin dalam hati.
b. Hepatotoksin yang unpredictable : kerusakan hati yang timbul disini bukan disebabkan karena
toksisitas intrinsik dari obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada
orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat
diramalkandan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab
terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu
karenareaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme.Yang timbul karena
hipersensitivitas biasanya terjadi setelahsatu sampai lima minggu dimana terjadi proses
sensitisasi.Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan
kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Dengan
memberikan satu atau dua challenge dose, gejala-gejala di atas biasanya segera timbul lagi.
Reaksi idiosinkrasi yang timbul karena kelainan metabolisme mempunyai masa laten yang
sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai
demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Dengan memberikan satu atau dua challenge dose kelainan ini tidak dapat diinduksi untuk timbul
lagi ; untuk ini obat perlu diberikan lagi selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa diperlukan waktu yang cukup lama agar penumpukan metabolit
hepatotoksik dari obat sampai pada taraf yang memungkinkan terjadinya kerusakan hati
2.6.Gejala
Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada hepatitis karena obat, yaitu : demam, ruam dan
gatal pada kulit, diare, nyeri sendi, mual, vomitingmuntah, headachesakit kepala,
anorexiaanorexia, jaundice jaundice, feses berwarna seperticlay color stools tanah liat, dark
urineair kencing gelap, dan hepatomegaly.4
2.7.Diagnosis
Kemungkinan hepatitis karena obat selalu perlu dipikirkan pada penderitadengan ikterus.
Diagnosa kerja dapat dibuat atas dasar anamnesis mendapat obat tertentu, adanya kelainan
spesifik yang disebabkan obat tertentu dan usaha mencari bukti penunjang.Adanya demam dan
eosinofilia menyokong diagnosa, tetapikedua gejala ini tidak selalu dijumpai.Kolestasis
intrahepatik relatif sering disebabkan oleh obat,lebih-lebih bila dijumpai adanya peradangan dan
sebukaneosinofil di daerah portal. Tetapi ikterus kolestatik akibatsteroid mungkin tidak disertai
peradangan daerah portal.Berulangnya gangguan faal hati atau hiperbilirubinemia
setelahpemberian suatu challenge dose merupakan petunjuk berhargauntuk menegakkan
diagnosa hepatitis karena obat. Selama tiga hari setelahpemberian challenge dose ini diperiksa
kadar fosfatase alkali,SGOT, SGPT dan bilirubin. Kurang lebih 40-60% penderitaakan
memperlihatkan reaksi berupa kambuhnya gangguan faalhati dalam waktu relatif singkat. Untuk
mencegah terjadinyahal yang tidak diinginkan maka pemberian challenge dose inisebaiknya
hanya dibatasi pada obat yang menimbulkan kelainan yang bersifat kolestasis dan obat tersebut
masih diperlukan sekali oleh penderita. Challenge dose ini diberikan selama satu hari. Untuk
obat yang menimbulkan kerusakan hepatoseluler tindakan ini sebaiknya tidak dilakukan
karenamembahayakan penderita.1
2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding hepatitis karena obat, yaitu : hepatitis virus akut, hepatitis autoimun,
shock hati, cholecystitis, cholangitis, sindrom Budd-Tundo, penyakit hati karena alcohol,
cholestatic, penyakit Wilson, hemochromatosis, gangguan pembekuan.2
2.9.Pengobatan
Pengobatan hepatitis karena obat pada prinsipnya sama dengan pengobatanpenyakit hati
yang ditimbulkan oleh penyebab lain. Obat yangdicurigai sebagai penyebab harus dihentikan.
Penderita diberidiet 2500-3000 kalori, 70-100 g protein dan 400-500 g karbohidrat sehari. Bila
ada tanda akan terjadikoma hepatikum,protein tidak diberikan dan juga diberikan neomisin per
oral.Bila penderita jatuh ke dalam koma, diberikan infus glukosa.Keseimbangan asam-basa dan
kebutuhan cairan harus diperhatikan dengan baik. Untuk ikterus yang disebabkan kolestasis
hepatokanalikuler, diberikan terapi suportif. Jenis iniumumnya tidak terlalu berbahaya. Bila
ikterus menghebat dantimbul rasa gatal, dapat diberikan kortikosteroid atau kolestiramin. Perlu
dicatat bahwa kortikosteroid tidak mempercepat sembuhnya penyakit.1
2.10.Komplikasi
a.Peningkatan tekanan di vena porta
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada kerusakan
padajaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan pada vena porta.
b.Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke perut,
esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
c.Jaundice
Terjadi jika ada peningkatan bilirubin.
d.Cirrhosis
Adalah kondisi hati yan serius dan irreversible.
2.11.Prognosis
Prognosis pada pasien drug induced hepatitis semakin baik jika penetapan diagnosis pada
awal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiabudy, R. Hepatitis Karena Obat. www.cerminduniakedokteran.com. Diakses : 5
November 2008
2. Nilesh M. Drug-Induced Hepatotoxicity. http://www.emedicine.com/. Diakses : 6 November 2008
3. Thomas S. Drug Induced Hepatitis.http://www.healthatoz.com/. Diakses : 6 November 2008
4. Univeritas Virginia. Drug-Induced Hepatitis. In : Liver, Biliary, and Pancreatic Disorders.
http://www.healthsystem.virginia.edu/. Diakses : 6 November 2008
Tuberculosis Paru dengan Hepatitis Drug Induce
Dibuat oleh: Dinar Purbarena Galih,Modifikasi terakhir pada Sat 24 of Jul, 2010 [07:19]
ABSTRAK
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pemeriksaan
dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan
potensi penularan. Penatalaksanaan untuk Tuberkulosis adalah dengan pemakaian obat-obatan
anti Tuberkulosis (OAT) yang beberapa diantaranya mempunyai efek samping hepatotoksik yang
sering disebut dengan hepatitis drug induce, yaitu hepatitis yang diakibatkan oleh obat-obatan,
dalam kasus ini adalah sebagai akibat dari penggunaan obat anti tuberculosis Pirazinamid
(PZA).
Keyword : Tuberculosis Paru, Hepatitis drug induce
HISTORY
Os datang ke Rumah Sakit diantar keluarganya dengan keluhan badan lemas. Sejak 2 minggu yll,
nafsu makan Os menurun, makan sedikit-sedikit. Keluarga os mengaku bahwa berat badan Os
selama sakit menurun, Os semakin terlihat kurus. Keluhan lain: batuk (+), batuk darah (-), ngikil
(+) terutama pada malam hari, dahak (+) warna putih kental. Batuk sudah 1 bulan, berobat 3x ke
dokter tidak sembuh-sembuh. Keringat malam (-), Os sering meriang, hilang timbul. Sesak nafas
(-), nyeri dada (-), sakit kepala (-), nyeri otot (+). Riwayat kontak dengan penderita yang batuk
lama (+)àadik Os. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak sakit sedang, habitus
astenikus (BB=30 kg, TB=160 cm), kesadaran compos mentis, tekanan darah 90/50 mmHg, nadi
96 x/menit, respirasi 24 x/menit, suhu 36,9°C. Pemeriksaan BTA adalah negative, dengan hasil
Hasil Ro thorax KP duplex aktif, kondisi fisik mendukung untuk diagnosis TB paru. Oleh dokter
kemudian langsung diberikan pengobatan anti TB kategori I, namun dalam perjalanan
pengobatan, terjadi peningkatan kadar ALT dan AST dalam darah, dan ikterik pun muncul pada
pasien ini. Awal pengobatan 03-02-2009, SGOT: 33 (<37U/L), SGPT : 22 (<41U/L). Pada
tanggal 11-02-2009, SGOT : 152, SGPT: 75. Oleh dokter, pengobatan tersebut dihentikan untuk
sementara waktu (± 1 minggu). Setelah kadar SGOT dan SGPT normal, 17-02-2009àSGOT: 34,
SGPT: 54, pengobatan dilanjutkan dari awal tanpa menyertakan pirazinamid (PZA), dan tanggal
20-02-2009, SGOT : 28, SGPT : 33.
DIAGNOSIS
Tuberculosis Paru dengan Hepatitis Drug Induce
TERAPI
Infus NaCl 20 tpm, injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam, injeksi Ranitidin 1g/12jam, injeksi
Metoclopramid/8 jam, RHZE: Rifampisin 450 mg 1x1, INH 300 mg 1x1, Pirazinamid 500 mg
1x3, Ethambutol 500 mg 1x2., B6 1x1 à RHZE stop 12-02-2009. Hepatits Drug Induce à RHE
mulai 18-02-2009: Rifampisin 450 mg 1x1, INH 300 mg 1x1,Ethambutol 500 mg 1x2., B6 1x1
DISKUSI
Pasien menurut gejala klinis, hasil pemeriksaan BTA dan hasil pemeriksaan Ro.thorax adalah
penderita Tuberculosis Paru BTA negatif dengan pengobatan kategori I sesuai dengan kriteria
yang termasuk didalamnya, yaitu BTA negatif dengan ro.thorax positif dan kondisi klinis sangat
mendukung. Pengobatan OAT dalam kasus ini belum dalam bentuk paket kombipak, melainkan
masih beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan, meliputi Isoniasid 5mg/kgBB/hari (H), ethambutol 10 mg/kgBB/hari (E), rimfapisin
15 mg/kgBB/hari (R), dan pirazinamid 25 mg/kgBB/hari (PZA). Dalam perjalanan pengobatan,
pasien mengalami ikterik, kemudian dilakukan pemeriksaan faal hati meliputi kadar SGOT
(AST) dan SGPT (ALT). Terjadi peningkatan ±5x dari kadar AST sebelumnya, dan ±4x dari
kadar ALT sebelumnya. Terjadilah hepatitis drug induce pada kasus ini. Penggunaan OAT
kemudian dihentikan. Kemudian saat AST dan ALT sudah normal, dan ikterik pun membaik,
maka pemberian OAT diteruskan dengan hanya pemberian PZA saja yang dihentikan karena
PZA mempunyai efek hepatotoksik yang lebih besar dibanding dengan yang lainnya. Dari
referensi yang dibaca, diagnosis dari hepatitis drug induce adalah ketika kadar AST dan ALT
normal dan gejala serta tanda dari hepatotoksis membaik setelah pemberian semua obat anti TB
dihentikan, dan terdapat satu dari kriteria: peningkatan lima atau lebih dari lima nilai normal
ALT dan atau AST, peningkatan kadar serum total bilirubin diatas 1,5 mg/dl, peningkatan AST
dan atau ALT sebelum pengobatan OAT dengan anorexia, mual, muntah, malaise, organomegali
dan jaundice. Ketika terjadi hepatotoksik, pengobatan OAT dihentikan. Kemudian dilakukan
pemantauan kadar serum tranferase dua kali seminggu sampai terjadi penurunan kadar serum
tranferase dan perbaikan klinis hepatotoksis2,3,6. Teori diatas sesuai dengan kasus yang penulis
jumpai saat menjalani koass di bagian penyakit dalam RSD Panembahan Senopati Bantul.
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, Sdr.PS didiagnosis
mengalami Tuberkulosis paru dengan Hepatitis Drug Induce. Penatalaksanaan adalah dengan
menghentikan pengobatan OAT untuk sementara waktu sampai faal hati (AST dan ALT) normal
kembali, kemudian setelah kadar AST dan ALT kembali normal, PZA tidak digunakan lagi
dalam OAT karena PZA merupakan obat tuberculosis yang mempunyai efek hepatotoksik
dibandingkan dengan yang lainnya.
REFERENSI
1. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis. 2006. Ed.2.Depkes RI; Jakarta
2. Prihatni, D.,et al. 2005. Efek Hepatotoksik Anti Tuberkulosis Terhadap Kadar Aspartate
Aminotransferase dan Alanine Aminotransferase Serum Penderita Tuberkulosis Paru.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vo.12, No.1: 1-5
3. Shakya, R., et al. Evaluation of Risk Factors for Antituberculosis Drugs-Induced
Hepatotoxicity in Nepalese Population. Athmandu University Journal of Science,
Engineering and Technology Vol.II, no.1, February, 2006
4. Amin, Z., Bahar, A. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II. FK UI: Jakarta
5. Amin, Z., Bahar, A. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. FK UI: Jakarta
6. Bayupurnama, P. 2006. Hepatotoksisitas Imbas Obat dalam dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid I. FK UI: Jakarta
A. PENDAHULUAN
Hati adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2 – 1,8 kg atau kurang
lebih 25 % berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran
kanan atas abdomen dan merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang
sangat kompleks. Hati terdiri atas bermacam – macam sel. Hepatosit meliputi
kuarng lebih 60% sel hati, sedangkan sisanya terdiri atas sel – sel epithelial sistem
empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel – sel non parenkimal yang
termasuk di dalamnya endothelium, sel kupffer, dan sel stellata yang berbentuk
seperti bintang. Hati mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam, terutama
dalam hal metabolisme karbohidrat, protein dan asam lemak. Fungsi utama hati
adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Hati mengekskresikan empedu
sebanyak 1 liter perhari ke dalam usus halus. Unsur utama empedu adalah air
( 97% ), elektrolit, garam empedu, walaupun bilirubin ( pigmen empedu )
merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak mempunyai peran
aktif, tapi penting sebagai indikator penyakit hati dan saluran empedu, kerana
bilirubin dapat memberi warna pada jaringan dan cairan yang berhubungan
dengannya.1
Jika terjadi peradangan di hati maka di sebut hepatitis. Penyebab hepatitis yaitu
karena virus dan non virus. Virus di bagi menjadi hepatitis A, B, C, D, E, F, G.
sedangkan yang non virus bisa karena obat – obatan dan alkohol. 4
Ketika obat – obat merusak hati dan mengganggu fungsi normalnya, gejala dan
tanda serta tes darah yang berkaitan dengan fungsi hati akan menunjukkan
kelainan. Kelainan – kelainan dari penyakit hati yang diinduksi oleh obat serupa
dengan penyakit hati yang disebabkan oleh agen – agen seperti virus dan penyakit
imunologi yang lain. Hepatitis yang diinduksi oleh obat serupa dengan hepatitis
virus. Keduanya dapat menyebabkan peninggian enzim AST dan ALT. Selain itu
gejala yang tampak dapat berupa anoreksia, kelelahan dan mual.2
B. PEMBAHASAN DRUG INDUCED HEPATITIS
1. DEFINISI
Drug induced hepatitis adalah penyakit hati yang diinduksi oleh obat yang
diresepkan oleh dokter ataupun yang dibeli secara bebas seperti vitamin,
hormone, herbal, obat – obat terlarang dan bahan – bahan beracun lainnya.4
2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika terdapat sekitar 200 kasus penyakit hati akut. 50% diantaranya adalah
karena penggunaan obat terdiri dari 30% karena acetaminophen, 13% adalah
reaksi idiosinkratik akibat pengobatan lainnya. 2 – 5% kasus akibat penggunaan
obat di rumah sakit dengan jaundice, 10% dari semua kasus adalah hepatits akut5
3. ETIOLOGI
Obat – obat yang dapat menyebabkan hepatitis 7
- Acetaminophen ( Tylenol )
- Statins
- Nicotinic acid ( Niacin )
- Amiodarone ( Cordarone )
- Antibiotik – antibiotik : Isoniazid ( Nydrazid, Laniazid ), Nitrofurantoin,
Minocycline dan Cotrimoxazole.
- Nonsteroidal antiinflammatory drugs ( NSAIDs ) : aspirin, indomethacin
( Indocin ), ibuprofen ( Montrin ), naproxen ( Naprosyn ), piroxicam ( Feldene )
dan nabumetone ( Relafen )
- Tacrine ( Cognex )
- Disulfiram ( Antabuse )
- Vitamin A
Contoh – contoh obat herbal yang dapat menyebabkan hepatitis, yaitu :3
- Cascara
- Chaparral
- Comfrey
- Kava
- Ma – huang
4.FAKTOR RESIKO5
• Ras
Beberapa obat tampaknya memiliki toksisitas yang berbeda berdasarkan ras.
Misalnya orang kulit hitam lebih rentan terhadap isoniazid ( INH ). Laju
metabolisme obat dikontrol oleh enzim P – 450 dan setiap individu bervariasi.
• Umur
Reaksi obat terhadap hati jarang terjadi pada anak – anak. Resiko cedera ke hati
lebih besar pada orang tua karena menurunnya clearance, interaksi obat, aliran
darah hepatik yang berkurang dan variasi dalam pengikatan obat. Selain itu, pola
makan yang buruk, infeksi dan dirawat di rumah sakit merupakan faktor untuk
terjadinya hepatotoksisitas karena obat.
• Jenis kelamin
Meskipun alasan yang tidak diketahui, reaksi hepatotoksisitas karena obat lebih
sering pada perempuan.
• Alkohol
Orang yang mengkonsumsi alkohol lebih rentan terhadap hepatotoksisitas obat
karena alkohol menyebabkan cedera dan kerusakan sel hati sehingga terjadi
perubahan pada metabolisme obat.
• Penyakit hati
Secara umum pasien dengan penyakit hati kronik lebih rentan terjadi kerusakan
hati.
• Faktor genetik
Gen unik encode pada P – 450, perbedaan genetik dalam enzim P – 450 dapat
menyebabkan reaksi yang abnormal terhadap obat.
5. PATOGENESIS
Mekanisme pathogenesis: mekanisme hepatotoksisitas yang masih dieksplorasi
dan mencakup mekanisme hepatoseluler dan ekstraseluler. Antara mekanismenye
adalah :
• Gangguan dari hepatosit
Ikatan pengikatan protein inteaseluler obat dapat menyebabkan penurunan tingkat
ATP, menyebabkan gangguan aktin pada permukaan hepatosit dapat
menyebabkan gangguan membrane.
• T – sel sitolitik aktivasi
Kovalen mengikat obat supaya enzim P – 450 dapat bertindak sebagai
immunogen, untuk mengaktifkan sel T dan sitokin serta merangsang respon imun
lainnya.
• Apoptosis dari hepatosit
Aktivasi dari jalur apoptosis oleh faktor nekrosis tumor – alfa reseptor dari FAS
dapat memicu kaskade intraseluler, yang berakibat pada kematian sel terprogram.
• Gangguan mitokondria
Obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda dari produksi
energy beta – oksidasi dengan menghambat sintesis dinukleotida, sehingga terjadi
penurunan produksi ATP.
• Cedera saluran empedu
Hasil metabolism yang beracun diekskresikan dalam empedu dapat menyebabkan
cedera epitel saluran empedu.
Metabolisme obat8
Hati memetabolisme setiap obat atau racun yang masuk ke tubuh. Kebanyakan
obat bersifat lipofilik, agak memudahkan penyerapan membran sel. Di dalam
tubuh, diubah menjadi hidrofilik oleh proses biokimia di hepatosit untuk
mengaktifkan obat dan memudahkan ekskresi. Metabolism obat dibagi menjadi 2
fase. Di fase pertama, obat dibuat polar dengan oksidasi atau hidroksilasi. Semua
obat mungkin ada yang tidak melalui fase tersebut dan langsung ke fase kedua.
Enzim sitokrom P – 450 mengkatalisis pada fase pertama. Reaksi tersebut
mungkin akan menghasilkan formasi metabolit yang jauh lebih berbahaya dari
substrat awal dan mungkindapat menyebabkan kerusakan hati. Sebagai contoh,
hasil metabolism dari acetaminophen adalah N – acetyl –p –benzoquinone –
imine ( NAPQI ), dan diproduksi dengan dosis tinggi. NAPQI member respon
kerusakan pada hati. Enzim P – 450 dapat memetabolisme banyak jenis obat.
Obat – obat yang bersama – sama membagi spesifitas P – 450 untuk
biotransformasi mungkin dapat saling menghambat satu sama lain, sehingga
terjadi interaksi obat. Beberapa obat ada yang bersifat menginduksi dan
menghambat P – 450.
Reaksi fase 2 dapat terjadi di dalam atau di luar hati. Melibatkan konjugasi
dengan sebagian ( yaitu asetat, asam amino, sulfat, glutation, asam
glukoronat )untuk meningkatkan keterlarutan. Kemudian, obat dengan berat
molekul tinggi dapat diekskresikan dalam empedu, sementara ginjal
mengeluarkan yang lebih kecil.
Toksin yang menyebabkan kerusakan pada hati dibagi menjadi 2 bagian besar
yaitu 3 :
• Toksin yang selalu menyebabkan kerusakan pada hati ( direct toxins )
Merupakan solvent pembersih carbon tetrachloride dan jamur amanita dapat
langsung menyebabkan kerusakan pada sel hati.
• Toksin yang mungkin dapat menyebabkan kerusakan pada hati ( idiosyncratic
toxins )
Toksin yang dapat menyebabkan hepatitis pada beberapa orang yang belum
diketahui penyebabnya.
Acetaminophen ( Tylenol )
Overdosis acetaminophen dapat merusak hati. Kemungkinan kerusakan serta
keparahan dari kerusakan tergantung pada dosis acetaminophen yang
dikonsumsi ; lebih tinggi dosisnya, lebih mungkin aka nada kerusakan dan lebih
mungkin bahwa kerusakan akan menjadi lebih beat / parah. reaksi pada
acetaminophen adalah tergantung dosis dan dapat diprediksikan, bukan
idiosyncratic. Luka hati dari overdosis acetaminophen adalah hal yang serius
kerana kerusakan dapat berat / parah dan berakibat pada gagal hati dan kematian6.
Statins
Statins adalah obat – obat yang paling luas digunakan untuk menurunkan
kolesterol LDL dalam rangka mencegah serangan – serangan jantung dan stroke.
Kebanyakan dokter – dokter percaya bahwa statins adalah aman untuk
penggunaan jangka panjang, dan jarang berbahaya kepada hati. Tetapi sebenarnya
statins dapat membahayakan hati. Yang menjadi pertimbangan adalah peninggian
yang ringan pada tingkat – tingkat darah dari enzim hati ( ALT dan AST ) tanpa
gejala. Studi – studi klinik telah menemukan peninggian sebanyak 0.5 % sampai 3
% dari pasien yang mengkonsumsi statins. Kelainan ini biasanya membaik atau
menghilang sepenuhnya atas penghentian statins atau pengurangan dosis. Tidak
ada kerusakan hati yang menetap6.
Nicotinic acid ( Niacin )
Niacin telah digunakan untuk merawat tingkat – tingkat kolesterol darah yang
tinggi serta tingkat – tingkat triglyceride yang tinggi. Seperti statins, niacin juga
dapat merusak hati. Ia dapat menyebabkan peninggian – peninggian ringan yang
sementara pada tingkat – tingkat darah dari AST dan ALT, jaundice dan pada
kejadian – kejadian yang jarang, gagal hati. Keracunan hati dengan niacin adalah
tergantung dosis; dosis – dosis yang beracun biasanya melebihi 2 gram per hari.
Pasien dengan penyakit hati yang mempunyai kebiasaan meminum alcohol
sebelumnya berada pada resiko yang lebih tinggi menghasilkan keracunan
niacin.6
Amiodarone ( Cordaronez )
Amiodarone ( Cordarone ) adalah obat yang penting digunakan untuk aritmia
seperti atrial fibrillation dan ventricular takikardia. Amiodarone dapat
menyebabkan kerusakan hati yang berkisar dari kelainan – kelainan enzim hati
yang ringan sampai ke gagal hati akut lalu sampai ke tahap akhir yaitu sirosis.
Kelainan – kelainan tes darah yang ringan adalah umum dan secara khas
menghilang berminggu – minggu sampai berbulan – bulan setelah penghentian
obat. Kerusakan hati yang serius terjadi pada kurang 1% dari pasien. Amiodarone
berbeda dari kebanyakan obat – obat lain karena jumlah yang substansial dari
amiodarone disimpan didalam hati. Obat yang disimpan mampu menyebabkan
perlemakan hati, hepatitis dan obat ini dapat merusak hati walaupun obat ini telah
lama dihentikan. Kerusakan hati yang serius dapat menjurus pada gagal hati akut,
sirosis dan keperluan untuk transplantasi.6
Antibiotik – antibiotik
1. Isoniazid ( Nydrazid, Laniazid )
Isoniazid telah digunakan berpuluh tahun untuk merawat pasien tuberculosis.
Kebanyakan pasien dengan penyakit hati yang diinduksi isoniazid hanya
membuat peninggian yang ringan dari enzim AST dan ALT dan tanpa gejala
hanya 1-2 % pasien yang terjadi hepatitis. Resiko terjadinya hepatitis lebih sering
terjadi pada pasien yang sudah tua dibandingkan dengan yang masih muda.
Resiko terjadinya penyakit hati yang serius terjadi sekitar 0,3 % pada pasien
dewasa muda dan meningkat 2 % pada pasien yang berumur lebih dari 50 tahun.
5-10 % pasien terjadi gagal hati dan memerlukan transplantasi hati. Resiko
semakin meningkat jika ditambah dengan mengkonsumsi alcohol.
Gejala – gejala awal dari hepatitis isoniazid adalah kelelahan, nafsu makan
berkurang, mual dan muntah bahkan sampai terjadi jaundice. Kebanyakan paien
dengan hepatitis isoniazid sembuh sepenuhnya dengan segera menghentikan obat.
Penyakit hati yang lebih berat terjadi jika terjadi hepatitis namun konsumsi
isoniazid tetap diteuskan. Oleh karena itu diagnosis awal sangat penting untuk
menentukan prognosis pasien.
2. Rifampisin
Rifampisin adalah obat antituberkulosis yang biasanya digunakan infeksi
tuberkulosis. Rifampisin bisa merusak hati dengan 3 cara :
a) Mengganggu proses metabolisme bilirubin dan asam empedu. Efeknya
reversible dan mekanismenya tidak diketahui, walaupun ada yang mengatakan
efeknya merusak hepatosit.
b) Rifampisin menginduksi metabolisme obat di retukulum endoplasma yang
mengganggu biotransformasi dari zat – zat yang hepatotoksik, apalagi jika
digabung dengan isoniazid.
c) Rifampisin sendiri bisa mengakibatkan efek seperti hepatitis akibat virus.
Namun karena rifampisin diberikan bersamaan obat antituberkulosis yang lain,
maka hepatitis akibat rifampisinnya sendiri masih belum dapat dipastikan.
3. Nitrofurantoin
Nitrofurantoin adalah obat anti mikroba yang digunakan untuk infeksi – infeksi
saluran kencing yang disebabkan oleh banyak bakteri – bakteri gram negatif dan
beberapa gram positif. Nitrofurantoin disetujui oleh FDA pada tahun 1953. Ada
tiga bentuk dari nitrofurantoin yaitu: furadantin, macrodantin dan bentuk
sustained realease. Nitrofurantoin dapat mengakibatkan peninggian enzim –
enzim hati yang asimpomatik. Nitrofurantoin jarang mengakibatkan hepatitis.
Selain antibiotik – antibiotik tersebut masih banyak lagi yang belum disebutkan
seperti minoksiklin dancotrimoxazole.
Non-steroid anti inflammatory drugs ( NSAID )
NSAID yang sering digunakan adalah aspirin, indometasin, ibuprofen, naproxen,
piroksikam, dan nabumeton. NSAID aman dikonsumsi jika sesuai dengan aturan.
Pada pasien – pasien dengan penyakit hati kronik seperti hepatitis kronik dan
sirosis harus menghindari penggunaan NSAID karena obat – obat ini dapat
memperburuk fungsi hati. Secara statistik Sekitar 1-10 % pasien menderita
penyakit hati yang serius akibat penggunaan NSAID. Diclofenac dilaporkan lebih
sering menyebabkan hepatitis pada kira – kira 1-5 kasus per 100.000 orang
pemakai diclofenac. Hepatitis menghilang dengan menghentikan obat ini. Sirosis
jarang terjadi pada pasien – pasien yang menggunakan diclofenac.
2. Tacrine ( Cognex )
Tacrine adalah obat oral yang digunakan untuk merawat penyakit Alzheimer.
FDA menyetujui tacrine pada tahun 1993. Tacrine dapat menyebabkan
peninggian enzim – enzim hati. Pada umumnya pasien mengeluh mual. Kasus
hepatitis dan sirosis dilaporkan jarang terjadi. Pasien akan membaik dengan
menghentikan obat.
3. Disulfiram
Disulfiram adalah obat yang adakalanya diresepkan untuk orang pecandu alkohol.
Obat ini menghilangkan keinginan untuk meminum alkohol dengan menyebabkan
rasa mual, muntah dan reaksi – reaksi lain yang tidak menyenangkan. Disulfiram
dilaporkan dapat menyebabkan hepatitis akut.
4. Vitamin A dan obat herbal
Pemasukan vitamin A yang berlebihan dan terjadi bertahun – tahun dapat
merusak hati. Lebih dari 30 % populasi amerika memakai suplemen dari vitamin
A. Penyakit hati yang diinduksi oleh vitamin A pada awalnya hanya peningkatan
enzim – enzim hati namun dapat menjadi hepatitis akut, hepatitis kronis sampai
terjadinya sirosis. Gejala – gejala dari keracunan vitamin A terdiri dari nyeri
sendi, nyeri tulang kulit menjadi kuning, lelah dan sakti kepala. Pada kasus lanjut
dapat terjadi pembesaran hatu dan limpa, jaundice dan asites apalagi pasien juga
mengkonsumsi alkohol tentu akan memperparah keadaan. Perbaikan terjadi
secara berangsur –angsur setelah penghentian vitamin A.
Kerusakan hati juga telah dilaporkan pada pasien pengkonsumsi teh herbal seperti
Ma huang, kava kava, pyrrolizidine alkaloid in comfrey, germander dan capharral
leaf.
Manifestasi klinis3
1. ikterik
2. Fatigue
3. Berat badan menurun
4. Mual dan muntah
5. Warna urin seperti teh
6. Nyeri pada perut
Diagnosis
Diagnosis dari penyakit – penyakit hati yang diinduksi oleh obat sering kali sulit
ditegakan. Pasien mungkin tidak mempunyai gejala – gejala dari penyakit hati
atau mungkin hanya gejala ringan yang tidak spesifik. Pasien mungkin
mengkonsumsi banyak obat – obat yang membuatnya sulit untuk
Mengidentifikasi obat yang menyerang. Pasien juga mungkin mempunyai
penyebab-penyebab potensial lainnya dari penyakit-penyakit hati seperti non-
alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan alkoholisme.
Diagnosis dari penyakit hati didasarkan pada gejala-gejala seorang pasien (seperti
kehilangan nafsu makan, mual, lelah, dan urin yang berwarna gelap), penemuan-
penemuan pada pemeriksaan fisik (seperti jaundice, hati yang membesar), dan test
labor yang abnormal (seperti pemeriksaan darah). Jika seorang pasien mempunyai
gejala-gejala, tanda-tanda, dan tes-tes hati yang abnormal, dokter kemudian
mencoba memutuskan apakah obat-obat yang menyebabkan penyakit hati dengan
- Mencatat sejarah konsumsi alkohol dengan hati-hati untuk menyampingkan
penyakit hati alkoholik.
- Melakukan tes-tes darah untuk menyampingkan hepatitis virus B dan hepatitis
C, dan untuk menyampingkan penyakit-penyakit hati kronis seperti primary
biliary cirrhosis (PBC).
- Melakukan USG perut dan CT scan dari hati untuk menyampingkan penyakit
kantung empedu dan tumor-tumor hati.
- Mencatat riwayat pencernaan dengan hati-hati, terutama permulaan baru-baru ini
dari obat-obatan yang umumnya dihubungkan dengan penyakit hati.
H. KOMPLIKASI
1. Peningkatan tekanan di vena porta
Darah dari usus, lien dan pancreas masuk ke hati melalui vena porta. Jika ada
kerusakan pada jaringan hati maka akan terjadi bendungan sirkulasi darah yang
dapat menyebabkan peningkatan tekanan pada vena porta.
2. Pelebaran vena
Ketika ada pembendungan di vena porta maka darah akan mengalir kembali ke
perut, esophagus dan traktus intestinal bagian bawah.
3. Jaundice
Terjadi jika ada peningkatan bilirubin.
4. Cirrhosis
Adalah kondisi hati yan serius dan irreversible.
I.PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik pada hepatitis akibat obat. Pengobatan dapat
bersifat simtomatis. Pada kebanyakan kasus drug induced hepatitis adalah dengan
menghentikan penggunaan obat. Beberapa orang memberi respon yang baik jika
telah dihentikan pemakaian obat. Untuk yang lainya kadang-kadang
membutuhkan beberapa bulan untuk kembali normal.
J.PROGNOSIS
Prognosis pada pasien drug induced hepatitis semakin baik jika penetapan
diagnosis pada awal.
K.PENCEGAHAN
Karena kita tidak tahu bagaimana respon tubuh masing-masing terhadap obat
maka tidak ada pencegahan yang bisa dilakukan. Tetapi setidaknya kita dapat
menurunkan faktor resiko, seperti :
- Batasi penggunaan obat jikalau perlu saja
- Membeli obat sesuai dengan aturan resep dari dokter
- Hati-hati dalam penggunan herbal dan suplemen
- Jangan mencampur penggunaan obat dan alcohol
- Hati-hati dengan paparan bahan kimia
- Lindungi anak-anak dari semua obat, herbal dan suplemen
Hepatitis Drug Induced pada Pasien dengan Limfadenitis TuberculosaDibuat oleh: Hafidz Setyawati,Modifikasi terakhir pada Fri 12 of Aug, 2011 [11:58]
Abstrak
Limfadenitis tuberkulosa merupakan salah satu penyebab pembesaran kelenjar getah bening yang paling sering ditemukan dan banyak mengenai kelenjar daerah leher. Penyakit ini disebabkan oleh disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini lebih sering masuk dan berada di paru ataupun dapat menyebar melalui kelenjar getah bening ataupun pembuluh darah ke organ tubuh lainnya. Penatalaksanaan untuk Limfadenitis Tuberkulosa adalah dengan pemakaian obat-obatan anti Tuberkulosis (OAT) yang beberapa diantaranya mempunyai efek samping hepatotoksik yang sering disebut dengan hepatitis drug induce.
Keyword : Limfadenitis Tuberculosa, Hepatitis Drug Induced
Kasus
Pasien datang ke IGD dengan keluhan diare sejak 2 hari SMRS, lendir (-), darah (-), frekuensi diare >5 kali dalam satu hari. Demam (+), pusing (+), mual (+), muntah (+), nyeri perut (+), ulu hati perih (+), batuk (±), sesak nafas (-), nyeri dada (-), nafsu makan turun (+), BAK (N), 1 minggu SMRS telah dilakukan operasi pengangkatan benjolan di leher depan (TBC kelenjar) dan pasien telah mengkonsumsi OAT (INH, Rifampisin, Etambutol, pirazinamide) selama 6 hari SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Komposmentis tampak sakit, TD: 100/80 mmHg, HR: 92 x/menit, isi dan tegangan cukup, RR: 20 x/menit, T: 39°C. BTA adalah negative, dengan hasil Hasil Ro thorax DBN. Pada pemerksaan laboratorium didapatkan SGOT : 132 (< 31), SGPT : 116 (< 32).
Diagnosis
Limfadenitis Tuberculosa dengan Hepatitis Drug Induce
Terapi
Infus asering 20 tpm, Inj radin 2 x 1, Inj ceftriaxon 1 x 1 gr, INH, Pirazinamide, rifampisin STOP, Etambutol 1 x 750 mg, Curcuma 2 x 1
Diskusi
Pada kasus kali ini Os demam, nyeri perut, mual, muntah, dan terjadi kenaikan enzim transaminase hati yang terjadi karena pemakaian OAT (rifampisin, etambutol, pirazinamid, INH). Penggunaan obat-obat tersebut dapat beresiko toksik bagi hati. Secara patofisiologi, obat yang dapat menimbulkan kerusakan pada hepar dibedakan menjadi dua golongan, yaitu:
Hepatotoksin yang predictable (intrinsik)
Hepatotoksin yang predictable dipastikan selalu akan menimbulkan kerusakan sel hepar bila diberikan kepada setiap penderita dengan dosis yang cukup tinggi. Dari golongan ini ada obat yang langsung merusak sel hepar, ada pula yang merusak secara tidak langsung yaitu dengan mengacaukan metabolisme atau faal sel hepar. Obat hepatotoksik predictable yang
langsung merusak sel hati umumnya tidak digunakan lagi untuk pengobatan. Contohnya ialah karbon tetraklorid dan kloroform. Hepatotoksin yang predictable yang merusak secara tidak langsung masih banyak yang dipakai misalnya parasetamol, tetrasiklin, dan salah satu obat TB yaitu rifampisin.
Hepatotoksin yang unpredictable
Kerusakan hepar yang timbul disini bukan disebabkan karena toksisitas intrinsik obat, tetapi karena adanya reaksi idiosinkrasi yang hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Ciri dari kelainan yang bersifat idiosinkrasi ini ialah timbulnya tidak dapat diramalkan dan biasanya hanya terjadi pada sejumlah kecil orang yang rentan. Menurut sebab terjadinya, reaksi yang berdasarkan idiosinkrasi ini dapat dibedakan dalam dua golongan yaitu karena reaksi hipersensitivitas dan karena kelainan metabolisme. Yang timbul karena hipersensitivitas biasanya terjadi setelah satu sampai lima minggu dimana terjadi proses sensitisasi. Biasanya dijumpai tanda-tanda sistemik berupa demam, ruam kulit, eosinofilia dan kelainan histologik berupa peradangan granulomatosa atau eosinofilik pada hati. Reaksi idiosinkrasi yang timbul karena kelainan metabolisme, mempunyai masa laten yang sangat bervariasi yaitu antara satu minggu sampai lebih dari satu tahun. Biasanya tidak disertai demam, ruam kulit, eosinofilia maupun kelainan histopatologik yang spesifik seperti di atas.
Obat hepatotoksik menyebabkan kerusakan pada hepar melalui tiga jalan:
1) Mengubah sintesa protein atau mengubah metabolisme lain yang esensial dalam sel hepar.
2) Mengubah aliran darah ke hepar sehingga timbul nekrosis jaringan hepar.
3) Mengubah metabolisme lemak sehingga timbul perlemakan hepar atau steatosis.
Mekanisme pasti obat anti tuberculosis menyebabkan hepatotoksik belum diketahui. Induksi ionisasi hepatotoksik tidak dapat diprediksi. Hal-hal yang tidak terprediksi (reaksi idiosyncratic) tersebut menunjukkan reaksi obat yang tidak berhubungan dengan farmakologi dari obat itu sendiri. Walaupun dosis yang digunakan sudah ditentukan untuk masing-masing individu, namun dosis tersebut tidak berpengaruh pada sebagian besar pasien. Reaksi idiosinkratik tersebut dapat mempengaruhi beberapa system organ, dan merupakan reaksi mediasi IgE yang serupa dengan sindrom metabolic reaktif. Hal tersebut meyakinkan bahwa metabolic reaktif lebih mungkin untuk banyak kasus reaksi obat idiosinkratik dibandingkan dengan penggunaan obat. Hepatotoksisitas yang diinduksi oleh Isoniazid bukan merupakan proses dari hipersensitivitas atau reaksi alergi, dan hal tersebut kemungkinan besar disebabkan karena racun yang berasal dari metabolit.
Manajemen hepatotoksik imbas obat anti tuberkulosis menurut The American Thoracic Society adalah jika pada cek fungsi hati dasar, fungsi hati normal maka tidak perlu monitor fungsi hati. Namun jika pada cek fungsi hati dasar terjadi peningkatan serum transaminase atau fungsi hati normal namun ada gejala dan tanda ATDH(Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity) yaitu: ikterik, mual, muntah, dan nyeri perut maka perlu dilakukan cek fungsi hati tiap 2 minggu selama 8 minggu. Jika pada cek fungsi hati tersebut, fungsi hati tetap normal maka tidak perlu
monitor fungsi hati lagi. Namun jika alanine aminotransferase (ALT) lebih dari 2 kali batas atas normal, maka perlu di cek fungsi hati setelah 1 dan 2 minggu, kemudian setiap 2 minggu sampai normal. Jika pada cek fungsi hati didapatkan ALT lebih dari 5 kali (>5x) dari batas atas normal, baik ada atau tanpa gejala maka semua obat TB dihentikan. Begitu juga jika didapatkan ALT lebih dari 3 kali (>3x) dari batas atas normal dan penderita ada keluhan/gejala maka semua obat TB juga harus dihentikan, pada kasus tertentu pada keadaan di mana pengobatan TBC sangat diperlukan dapat diberikan pengobatan non-hepatotoksik secara temporer. Jika ALT lebih dari 3x dari batas atas normal namun tidak disertai keluhan/gejala maka obat TB tidak dihentikan namun fungsi hati harus dimonitor/dicek tiap 2 minggu. Setelah obat TB dihentikan, kemudian normalisasi fungsi hati sudah terjadi (ALT kurang dari 2x batas atas normal) maka pengobatan kembali dimulai dengan Rifampisin (dengan atau tanpa etambutol). Setelah diberikan pengobatan tersebut, jika gejala/keluhan kembali atau terjadi kembali peningkatan ALT maka obat terakhir dihentikan. Jika ternyata Rifampisin dapat ditoleransi maka setelah 3-7 hari dimulai pemberian dengan Isoniazid, dan jika selanjutnya tidak ada lagi gangguan fungsi hati maka pengobatan dapat dilanjutkan.Pada penderita dengan kelainan hati, Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan.
Referensi
1. Guyton, A.C. (1995). Anatomi Fisiologi Hepar. Dalam Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi ke-3. EGC: Jakarta. Hal:1103-1105
2. Dorland, W.A., Newman. (2002). Kamus Kedokteran Dorland. Edisi ke-29. EGC: Jakarta. Hal:1434
3. Tostmann et al. (2007). Antituberculosis drug-induced hepatotoxicity: Concise up-to-date review. Diakses tanggal 19 Januari 2010, dari http://nejm.com.
4. Neal, M.J. (2005). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi 5. Erlangga: Jakarta.
5. Mansjoer et al (2001). Tuberkulosis Paru. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Media Aesculapius FKUI: Jakarta. Hal: 472-476
6. Jewetz et al. (1996). Mikobakteria. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20. EGC: Jakarta. Hal: 472-476
7. Anderson, Sylvia (1995). Patofisiologi Proses-proses Penyakit. Cetakan I. Edisi 4. EGC:Jakarta. Hal:753-763
8. Sudoyo,W.Aru (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta. Hal: 998-1003, 1066-1071
top related