bunga bank
Post on 13-Apr-2017
254 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
PERMASALAHAN BUNGA BANK DAN RIBA
A. Bunga Bank
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga uang timbul dari sejumlah
uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah kapital atau modal berupa
uang. Dalam dunia ekonomi lazim pula disebut dengan istilah rente juga dikenal
istilah interest. Oleh karena itu, kedua istilah itu sinonim dari bunga uang.1
Bunga uang yang dikeluarkan oleh bank disebut bunga bank.
Yang dimaksud dengan bunga uang ialah “penggantian kerugian yang
diterima oleh yang punya modal uang untuk menyerahkan penggunaan modal itu,
maka bunga itu dianggap sebagai harga yang dibayar untuk penggunaan modal
uang”.2
Menurut Goedhart, bunga uang adalah “perbedaan nilai, yang tergantung
pada perbedaan waktu yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi”.3 Begitu pula
menurut Taher Ibrahim, bunga uang adalah “harga dari alat produksi modal”.4
Menurut Hermanses, bunga uang adalah :
Pendapatan yang diterima oleh pemilik kapital uang karena ia telah meminjamkan uangnya kepada orang lain. Sudah tentu pemilik kapital uang dapat juga menggunakan uangnya itu dalam perusahaannya sendiri. Pemilik kapital uang demikian sudah tentu tak akan menerima bunga, akan tetapi bunga yang tak diterima itu diperhitungkan dalam biaya produksi. Perhitungannya itu dapat didasarkan pada bunga umum yang berlaku. Jadi bunga itu tidak lain dari pada harga yang harus dibayar untuk menggunakan
1Syabirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta : Pustaka Alhusna, 1993), h. 18.
2Ibid.3Ibid.4Ibid.
kapital uang. Karena bunga itu berdasarkan milik orang atas kapital uang, bunga itu lalu disebut juga pendapatan milik.5
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa bunga itu dapat dipandang sebagai
harga, yaitu harga yang dibayar oleh bank untuk penggunaan modal uang. Juga
dapat dianggap sebagai perbedaan nilai, yaitu perbedaan nilai sejumlah uang
sekarang dengan jumlah uang yang akan diperoleh kemudian hari.
Dalam sejarah perekonomian, bangsa-bangsa dahulu telah mengenal
bank, tetapi bank ini berlainan dengan bank modern, sesuai dengan awal transaksi
di waktu itu. Saat itu belum ada mata uang dan baru muncul pada abad
pertengahan, maka tumbuhlah lembaga perbankkan yang mereka gunakan
sebagai mata uang, pertukaran uang dengan yang lain dan penyimpanan. Hal ini
sesuai dengan tingkat kemajuan yang mereka capai pada saat itu. Mereka belum
mengoperasikan uang yang didepositokan pada para bankir.6
Para bankir kemudian berpendapat bahwa adalah lebih baik kalau uang
tersebut sebagian mereka kelola, karena pada umumnya pemilik uang tidak
menginginkan uang yang mereka titipkan itu dioperasikan. Dengan uang yang
dititipkan itu mereka dapat mengoperasikannya sejumlah tertentu dan mereka pun
dapat mengembalikan uang titipan ini pada saat penitipnya meminta kembali.7
Dengan cara semacam ini, penitip tidak mengetahui bahwa uangnya telah
5Ibid., h. 19. 6Abu Sura’i, Bunga Bank Dalam Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995), h. 95. 7Ibid.
11
dioperasikan atau dikembangkan oleh si bankir, karena yang
bersangkutan dapat mengembalikan kepada pemiliknya kapan saja uang itu
ditarik kembali, karena uang yang dititipkan kepada si bankir itu banyak,
sehingga ia dapat memperbesar operasinya dan mendapatkan keuntungan yang
besar pula.8
Dengan demikian si bankir berpendapat bahwa adalah suatu hal yang
menguntungkan bagi dirinya kalau penitip uang diberi bagiandari keuntungan
uang yang mereka titipkan kepadanya, sehingga uang mereka pun berkembang
pula. Dengan cara ini si penitip memperoleh keuntungan dan si bankir juga
memperoleh untung yang besar. Bila penitip tidak diberi keuntungan, mungkin
penitip tidak akan menitipkan uangnya lagi atau tidak mengizinkan uangnya
untuk dikembangkan. Akhirnya orang-orang lain digalakkan untuk menitipkan
uangnya dengan iming-iming keuntungan (bunga). Dari sinilah kemudian lahir
gagasan lahirnya lembaga perbankkan.9
Sesungguhnya bunga bank tidak dapat dipisahkan dari bank, sebab dari
bunga itulah sumber penghasilan bank. Hal ini sesuai dengan ungkapan Murtadha
Muthahhari :
Bank mengumpulkan uang dari masyarakat dan membujuk mereka untuk menyimpan uangnya di bank itu dengan imbalan keuntungan. Maka bank mengumpulkan modalnya dengan menghimpun uang-uang yang sedikit dan menginvestasikannya dalam usaha-usaha pengusaha. Tentu bunga yang diambilnya lebih besar dari bunga yang diberikan kepada pemilik uang. Dengan cara ini bank memperoleh keuntungan.10
8Ibid.9Ibid. 10Murtadha Muthahhari, Asuransi dan Riba, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1995), h.
93.
12
Dengan demikian, bank memproleh keuntungan dari dua cara, yaitu dari
uang tabungan masyarakat dengan bunga yang rendah dan diinvestasikannya
kepada pengusaha dengan bunga yang relatif besar, dan dari pinjaman masyarakat
dengan bunga yang lebih besar dari bunga tabungan.
B. Riba dalam Hukum Islam
Riba menurut pengertian bahasa berarti ziadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil11. Yang dimaksud di sini ialah tambahan atas modal, baik
penambahan itu sedikit atau banyak. Dalam kaitan ini Allah Swt berfirman dalam
surah Al-Baqarah ayat 279 :
�ن ��وا لم فإ �ح��رب ف��أذنوا تفعل ه� م�ن ب �ه� الل ول �ن ورس�� تبتم وإ�كم رءوس فلكم �مون ال أموال تظلمون وال تظل
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.12
11Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta : Tazkia Institut, 1999), h. 59.
12Tim Penterjemah, Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, 1990), h. 52.
13
“Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud
riba dalam ayat Quran yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu
transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah”.13 Begitu juga
menurut Chadziq Charisma, riba berarti “lebih atau bertambah, maksudnya suatu
perjanjian yang dilakukan dengan tukar menukar sesuatu, tetapi tidak memenuhi
ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat agama Islam”.14
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang, yaitu
transaksi bisnis atau komersial yang melegimitasi adanya penambahan tersebut
secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai. Sewa atau bagi hasil proyek. Dalam
transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa
yang dinikmati.
Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional si pemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu
yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Hal yang dinilai tidak adil di
sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak
dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempataan tersebut15.
Riba diharamkan oleh seluruh agama samawi dan dianggap
membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalam Perjanjian
13Muhammad Syafi’i Antonio, Loc.cit. 14Moh. Chadziq Charisma, Tiga Aspek Kmukjizatan Al-Quran, (Surabaya : PT. Bina
Ilmu, 1991), h. 192. 15Muhammad Syafi’i Antonio, Loc.cit.
14
Lama disebutkan :
Jika kamu mengqiradhkan harta kepada salah seorang putra bangsaku, janganlah kamu bersikap seperti orang yang menghutangkan; jangan kau meminta keuntungan untuk hartamu”. (Ayat 25 pasal 22 Kitab Keluaran). “Jika saudaramu membutuhkan sesuatu, maka tanggung-lah. Janganlah kamu meminta darinya keuntungan dan manfaat”. (Ayat 35 pasal 25 Kitab Imamat). Kecuali itu, orang-orang Yahudi tidak mencegah riba dari orang-orang yang bukan Yahudi, seperti yang dikatakan dalam ayat 20 pasal 23 Kitab Ulangan.16
Dalam kaitan ini al-Quran menjawab mereka seperti pada 161 surah An-
Nisa :
با وأخ��ذ�ه�م ��ه نه��وا وق��د الر �ه�م عن اس� أم��وال وأكل الن�الباط�ل� �لكاف�ر�ين وأعتدنا ب �يما عذابا م�نهم ل أل
“…dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka
telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang
kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.17
Al-Quran menyinggung masalah riba di berbagai tempat, tersusun
secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Pada periode Mekkah turun
firman Allah surah Ar-Rum ayat 39 yang berbunyi :
�يربو ر�با م�ن ءاتيتم وما اس� أموال� ف�ي ل ��د يربو فال الن ن ه� ع� الله� وج�����ه تر�ي�����دون زك�����اة م�ن ءاتيتم وما �ك الل هم فأولئ
16Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 283. 17Tim Penterjemah, Op.cit., h. 48.
15
المضع�فونDan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).18
Pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara tegas,
yaitu firman Allah surah Ali Imran ayat 130 :
ها ذ�ين ياأي ��وا ال ��أكلوا ال ءامن با ت عافا الر اعفة أض�� ق��وا مض�� واته كم الل �حون لعل تفل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”.19
Terakhir firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 278-279 :
ها ذ�ين ياأي ����وا ال ق����وا ءامن ه ات با م�ن بق�ي ما وذروا الل �ن الر إ�ين كنتم �ن مؤم�ن �حرب فأذنوا تفعلوا لم فإ ه� م�ن ب �ه� الل ول ورس���ن �كم رءوس فلكم تبتم وإ �مون ال أموال تظلمون وال تظل
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.20
Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap orang yang
18Ibid., h. 921. 19Ibid., h. 56. 20Ibid., h. 43.
16
mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda, karena Allah
tidak membolehkannya kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada
pertambahan. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba.
Riba termasuk dosa besar.
Allah melaknat semua pihak yang turut serta dalam akad riba. Orang
yang memberi, yang menerima, penulis yang mencatatnya, dan saksi-saksinya.
Namun ada yang membedakan antara riba dengan bunga uang, seperti
Mohammad Hatta mantan Wakil Presiden RI, bahwa “riba adalah untuk pinjaman
yang bersifat konsumtif, sedangkan bunga untuk pinjaman yang bersifat
produktif”.21
Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-
piutang dan riba jual beli. Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh
dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual beli terbagi menjadi riba fadhal dan riba
nasi’ah.22
Riba ada dua macam, riba nasi’ah dan riba fadhal. Riba nasi’ah yaitu
21Cholil Uman, Himpunan Fatwa-fatwa Pilihan, (Bandung : Citra Umbara, 1997), h. 86.
22Antonio, Op.cit., h. 63.
17
pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutangkan dari
orang yang berhutang lantaran penangguhan. Jenis ini diharamkan dengan
berlandaskan kepada al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ ulama.23
Riba fadhal yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau bahan pangan
dengan bahan pangan disertai tambahan.24 Jenis riba ini diharamkan karena
menjadi penyebab kepada riba nasi’ah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu
Sa’id al-Khudri bahwa Nabi SAW bersabda :
�ي عن ع�يد أب ي الخ��در�ي س�� ه رض��� ��ه الل �ال��دينار� : ال��دينار ق��ال عن ب� والدرهم �الدرهم �م�ثل م�ثال ب 25 أربى فقد ازداد أو� زاد من ب
“Dari Abu Sai’d al-Khudri r.a. katanya : Dinar ditukar dengan dinar, dirham
dengan dirham secara sama. Siapa yang menambah/melebihkannya maka ia
telah berbuat riba”.
Dengan demikian, riba fadhal diharamkan karena riba fadhal dapat
menyebabkan terjadinya riba nasi’ah. Sebab orang yang menerima tambahan
pembayaran itu biasanya sebagai syarat atas utang yang diberikannya.
Jenis-jenis barang ini secara khusus disebut oleh hadis karena
tergolong kebutuhan pokok yang dibutuhkan manusia, tidak bisa tidak. Emas
dan perak merupakan bahan pokok uang untuk standar muamalah dan
pertukaran. Keduanya sebagai standar harga dalam menentukan harga barang.
Adapun yang lainnya, itu semua sebagai bahan pangan terpokok yang
23Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Beirut : Dar al-Fikr, 1985), h. 324. 24Muhammad Amin Kurdi, Tanwir al-Qulub, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981), h.59. 25Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Jilid IV, (Beirut : Dar al-Fikr,
1994), h. 173.
18
menjadi penunjang kehidupan. Jika terjadi riba pada jenis barang-barang ini
menimbulkan kefatalan dan kericuhan dalam muamalah manusia. Karena itulah
syari’at mencegahnya sebagai rahmat kepada manusia dan untuk melindungi
kemaslahatan mereka.
Nampak di sini, bahwa ’illat pengharaman emas dan perak karena
melihat kedudukannya sebagai harga, sedang untuk jenis-jenis lainnya karena
sebagai barang pangan yang menjadi kebutuhan pokok manusia. Jika terdapat
’illat yang sama pada uang yang lain, selain emas dan perak, maka kedudukan
hukumnya sama. Ia tidak boleh dijual kecuali dengan satu lawan satu, dari tangan
ke tangan.26
Imam Muslim meriwayatkan dari Mu’ammar bin Abdullah dari Nabi
SAW bahwa beliau mencegah menjual barang pangan kecuali satu sama satu
(sama-sama). Semua jenis barang yang kedudukannya sama dengan jenis-jenis
barang ini dikiyaskan kepadanya dan hukumnya sama. Jika pertukaran sesuai
dalam jenis dan `illat, maka diharamkan melebihkan dan diharamkan pula
menunda pembayaran.27
Allah memerangi sistem riba dala jual beli dan utang piutang. Berapa
banyak sistem riba telah meruntuhkan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh,
orang kaya menjadi hina, raja menjadi hamba sahaya, keluarga dekat dan mulia
jatuh ke lembah kefakiran dan kemiskinan dan yang sebelumnya bergelimang
dalam kemuliaan dan kemewahan.
26 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid XII, alih bahasa : Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung :Al-Maarif, 1988), h. 123.
27Ibid.
19
Riba merupakan bencana besar, musibah yang kelam dan penyakit yang
berbahay. Riba adalah pembunuh dan pemusnah. Orang yang menerima sistem
riba maka kefakiran akan datang kepadanya dengan cepat. Dia akan dikepung
oleh kemelaratan, berada pada bencana besar dan kesedihan yang
berkepanjangan. Tiada diragukan lagi, kalau seorang itu pada mulanya berada
dalam kemudahan harta, kenikmatan jiwa dan sebagainya namun pagi dan sore
hatinya akan goncang dan pikirannya kacau28.
Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab diharamkan-
nya karena berbahaya besar :
1. Riba dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengkikis habis semangat kerjasama/saling menolong sesama manusia. Padahal semua agama terutama Islam amat menyeru kepada saling menolong, dan membenci pemerasan dan egoisme.
2. Menimbulkan tumbuhnya mental kelas pemboros yang tidak bekerja, juga dapat menimbulkan adanya penimbunan harta tanpa kerja keras sehingga tak ubahnya dengan pohon benalu (parasit) yang tumbuh di atas jerih payah orang lain. Sebagaimana diketahui, Islam menghargai kerja dan menghormati orang yang suka bekerja yang menjadikan kerja sebagai sarana mata pencaharian, karena kerja dapat menuntun orang kepada kemahiran dan mengangkat semangat mental pribadi.
3. Riba sebagai salah satu cara menjajah. Karena itu orang berkata : Penjajahan berjalan di belakang pedagang dan pendeta. Kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah negara kita.
4. Setelah semua ini, Islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya itu membutuhkan harta.29
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, riba itu menimbulkan dua dampak
yang paling fatal, yaitu dampak ekonomi dan dampak sosial kemasyarakatan. Di
antara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh
28Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmat al-Tasyri’ wa Filsafatuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1985), h. 274.
29Sayyid Sabiq, Loc.cit.
20
bunga sebagai biaya hutang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu elemen
dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semaki
tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya
adalah bahwa hutang dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan
tingginya biaya bunga, akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari
ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas hutang tersebut dibungakan. Dari
segi sosial kemasyarakatan, riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak
adil. Para pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang lain
agar berusaha dan mengembalikannya.30
C. Pandangan Para Ahli tentang Bunga Bank dan Riba
Para Sarjana dan Ulama di kalangan Islam hingga kini belum
memperoleh suatu kata sepakat tentang hukum bunga produktif (bunga bank) itu.
Pendapat mereka masih berbeda satu sama lain, ada yang melarang dan ada pula
yang membolehkan, serta ada yang menyatakan syubhat. Berikut ini beberapa
pendapat mereka.
Hampir semua majlis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia,
seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama telah membahas masalah riba.
Majlis Tarjih Muhammadiyah Sidoarjo tahun 1968 memutuskan :
“Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal. Bunga yang diberikan bank-bank milik negara kepada
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara
30Antonio, Op.cit., h. 95-96.
21
musytabihat”.31
Mengenai bunga bank atau pembungaan uang, Lajnah Bahsul Masa-il
Nahdlatul Ulama memutuskan perkara tersebut melalui beberapa kali sidang.
Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini :
a. Haram, sebab termasuk hutang yang dipungut rente.b. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sementara
adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat.c. Syubhat (tidak tentu halal-haramnya), sebab para ahli hukum
berselisih pendapat tentangnya32.
Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berlangsung di Pakistan
bulan Desember 1970 menyepakati bahwa “praktik bank dengan sistem bunga
adalah tidak sesuai dengan syari’at Islam”.
Adapun ulama yang membolehkan bunga bank di antaranya adalah
Ibrahim Husein. Menurutnya, meskipun formula bunga uang di perbankkan sama
dengan riba, tetapi karena ia mendatangkan keuntungan pada orang banyak dan
dilakukan oleh badan hukum, maka hukumnya boleh33.
Sayyid Quthub mengatakan :
“Islam memuliakan pekerjaan dan menjadikannya sebab yang pokok
untuk memiliki dan mendapat untung. Islam tidak memperbolehkan uang yang
diam itu berbunga. Yang membungakan uang itu adalah kerja. Maka
membungakan uang dengan tidak kerja adalah haram”.34
31Ibid., h. 89.32Ibid. 33Muhammad Zuhri, Riba dalam Al-Quran dan Masalah Perbankkan, (jakarta: Raja
Grafindo, 1996), h. 132. 34Syabirin Harahap, Op.cit., h. 85.
22
Riba itu jalan ke arah melipat gandakan modal uang dengan tidak disertai
usaha dan kerja. Maka terjadi di satu pihak orang yang duduk dengan tenang
mendapat keuntungan dan di lain pihak orang yang bekerja dengan susah payah
mendapat kerugian. Akhirnya timbul ungkapan “yang kaya makin kaya dan yang
miskin makin miskin”.
Muhamad Abu Zahrah dan Abu Su’ud al-Ammary berpendapat bahwa
bunga bank itu halal, karena menjual semua barang dengan bertempo dengan
harga yang lebih tinggi dari pada harga penjualan dengan tunai itu hukumnya
boleh. Di samping itu, bunga bank bersifat produktif dan bukan konsumtif.35
Muhammad Hatta berkata :
Demikianlah proses ekonomi berkembang atas dasar pinjaman dan bunga, sehingga tidaklah mungkin terjadi lagi suatu kemajuan ekonomi dan perkembangan suatu negara tanpa melalui pinjaman dan bunga. Jelaslah sekarang betapa dalam aktivitas modal dan bungan uang itu berurat dan berakar dalam kehidupan ekonomi dan perkembangan suatu negara. Maka mengharamkan bunga bank berarti menghambat kemajuan negara.36
Adapun mengenai bunga tabungan, menurut pendapat para ahli Fikih,
diharamkan menyimpan pada bank-bank ribawi, walaupun tanpa bunga. Sebab
dengan menyimpan pada bank-bank ribawi berarti telah membantu bank tersebut
mengembangkan kekayaannya dengan cara riba. Tetapi sebagian ahli Fikih
membolehkannya, karena yang diharamkan hanyalah mengambil bunganya37.
Dengan demikian, sebagian besar ulama menganggap bunga bank adalah
riba yang diharamkan, maka menabung apalagi mengambil bunganya adalah
35Ibid. 36Ibid., h. 41. 37Abu Sura’i, Op.cit., h. 99.
23
haram. Sebab menabung di bank ribawi berarti ikut membantu kelancaran riba
tersebut.
24
top related