bansos dan kemiskinan : studi kasus anggaran …
Post on 11-Nov-2021
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
BANSOS DAN KEMISKINAN :
STUDI KASUS ANGGARAN BANSOS PEMPROV
DI INDONESIA PERIODE 2008-2011
Oleh:
ALIF AMIRUL WICAKSANA
NIM: 232011096
KERTAS KERJA
FAKULTAS : EKONOMIKA DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ffiPERPUSTAKAAN UNIYERSITAS
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA. Jl. Diponegoro 52 - 60 Salatiga 5071'l
JawaTengah, Indonesia
Telp. 0298 - f2l2l2, Fax. 0298 32 1 433
Eroil : libruy@,adm, ulaw. edu ; http : / /libnry. uksw. edu
PERNYATAAN TIDAK PTAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
f\utr hmt[u; w\ c A\A9A pANama
NIM
Fakultas
Judul tugas akhir
Pembimbing
73210 l\ 036 Email . z3zotto 36 @ *+uden+' axsw.edu
Er,<ooOm\(A DAU B\5[r\E Programstudi : A(Ur2TAp9i
BApsos DA\o kE[^\E\tr$rAlJ: STUD\ t(AEqs Ap66AtLA\ BApeot
PEr,nYQo/ pr tpootlssrA PEtroDE 2oo8 - 2otl
1. MngwRrA , EE ., Nsi ". PhP .. Au+
2.
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar
kesarjanaan baik di Universitas Kristen Sarya Wacana maupun di institusi pendidikan lainnya.
2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan, rumusan, dan hasil
pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa bantuar pihak lain, kecuali arahan pembimbing
akademik dan narasumber penelitian.
3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah diketahui dan disetujui oleh
pembimbing.
4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain,
kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan
dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti ada penyimpangan dan
ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelm
yang telah diperoleh karena karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku diUniversitas Kristen Satva Wacana.
Salatiga _
F-Lt8-080
AfiF Amrr
12 Febcuqo i zctg
ffiPnnpusrexAAN UNIvIRsITAs
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANAJl. Diponegoro 52 - 60 Salatiga 5071 I
Jawa Tengah, lndonesia
Telp.0298 -321212, Fax- 0298 l2l,l33Email: librarv@dm.ulaw.edu ; http://libnry.uksw.edu
PERNYATAAN PERSETUTUAN AKSES
Sayayang bertandatangan di bawah ini:
llutr Atqr[LLl l- rNtcA\ sAloANama
NIM
Fakultas
Judul tugas akhir
217i2ll o q 6 Email ' 232ollbE 6 @ St,ld@nt. r,,t( 5r.p. edrr
Elz.oponrun DAir B\eNi! programstudi : AuuprApslBANSoS D.np KEwrgrrtuAl.l , lruDr v( r\Sqs ApapAtlAro BApeo$
PEtutUrrv Dr lNDouEs\A PEcrrooE Loo} - l.otl
Dengan ini saya menyerahkan hak non-elaklustf kepada Perpustakaan Universitas - Universitas Kristen Satya
Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan
mengacu pada ketentuan akses tugas akhir elekronik sebagai berikut (beri tanda pada kotak yang sesuai):
n a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori PerpustakaanUniversitas,
dan/atau portal GARLIDA
Vl A. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori Perpustakaan Universitas,
dan/atau portal GARUDA* *
i Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpullan hasil karya mereka nasih memiliki hak copyright atas karya tersebut. i
i** Hanya alran menanryillmn halaman judul dan abs*ak. Pitihan ini harus ditamptri dengan penlelasuw alason tertulis dari pewbimbing TAi
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Salatig4 t9^ Februol' 2ots
0M,{ALr'F {mrtul LtJ(cartsa,na
Tanda tangot & nm tewg maltrcima
Tarula tangan & natmterung
F-LrB-081
Mengetahui,
Tanda tangm & namtercng pembimbingll
Yang bertandatangan di bawah ini :
NamaJabatan
Judul Penelitian
PenulisNIMFakultas/urusan
PERSETUJUAN UNGGAH SKRIPSI
: Marwata, SE., MSi., PhD., Akt: Dosen Pembimbing
: Bansos dan Kemiskinan : Studi Kasus Anggaran Bansos Pemprov
di lndonesia periode 2008-2011: Alif AmirulWicaksana: 232011095: Ekonomika dan Bisnis / Akuntansi
Dengan ini menyatakan persetujuan untuk mengunggah hanya judul dan abstrak penelitian
berikut ini ke Repositori Perpustakaan Universitas danlatau portal GARUDA :
Untuk naskah skripsi keseluruhan masih sedang dalam proses untuk publikasi di media lain.
Kam i akan memberikan alamat web/jurnal/buku publikasi tersebut kemudian.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Salatiga, 12 Februari 2015Yang menyatakan,Mengetahui,
Kaprodi 51 Akuntansi
Marwata, SE., [Vl6i.
Dosen Pembimbing
ii
iii
v
Kupersembahkan karya tulis skripsi ini kepada :
Ayahku tercinta Mu’Azis
Ibuku tercinta Inna Widhiastuti
Adikku tersayang Alfian Asnan Khakim
Kekasihku Khafidoh Ivniawati
Seluruh keluarga besarku yang selalu mendukung
dan memberi restu
Teman-teman yang senantiasa membantu,
mendukung, dan mendoakan
Halaman Persembahan
vi
Motto
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum hingga mereka mengubah diri
mereka sendiri”(Q.S. Ar-Ra’d:11)
“”Waktu lebih berharga daripada uang. Anda bisa
meraih uang lebih, tetapi Anda tidak bisa meraih
tambahan waktu.” Jim Rohn”
vii
Abstract
Government’s role to manage public budgets is an important aspect in the
fight of poverty. Social Aid expenditures fund is an expenditure that is given by
the government to people with certain social risks. Social Aid expenditures, being
distributed to people in needs, could theoretically lower the rate of poverty or
increase people’s welfare.
This research investigates if there’s any connection between this year’s
Social Aid expenditures budgets and the rate of poverty of the year before. Data
used in this research are the regional rate of poverty year 2007-2010 and
regional budgets data year 2008-2011. The data was analyzed using descriptive
analysis and correlation analysis to know whether there are correlations between
two variables. Confidence of interval is being set at 95%.
The study shows that the allocation of Social Aid expenditures in
provinces of Indonesia is not based on the rate of the regions’ poverty. From non-
parametric analysis it is shown that there is no correlation between between this
year’s Social Aid expenditures budgets and the rate of poverty of the year before.
Keywords: Social Aid expenditures, Poverty, Government Budget, Government
Expenditure
viii
Saripati
Peran pemerintah dapat menanggulangi kemiskinan dengan pengelolaan
dana keuangan daerah. Anggaran dana bantuan sosial merupakan salah satu pos
belanja tidak langsung APBD yang diberikan oleh negara kepada pihak yang
memiliki kerentanan terhadap resiko sosial Diharapkan melalui dana bantuan
sosial kepada masyarakat yang kurang mampu khususnya, bisa memperkecil
angka kemiskinan ataupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu daerah.
Penelitian ini untuk mengetahui apakah ada hubungan antara anggaran
dana Bansos periode sekarang dengan angka kemiskinan tahun sebelumnya. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tingkat kemiskinan daerah dari
tahun 2007-2010 dan data anggaran APBD daerah tahun 2008-2011. Penelitian ini
menggunakan analisis deskriptif dan metode analisis korelasi untuk mengetahui
hubungan atau keeratan dua variabel. Tingkat keyakinan ditetapkan sebesar 95%.
Dari penelitian yang dilakukan pada provinsi-provinsi di Indonesia penulis
dapat memberikan kesimpulan bahwa pada tahun 2008-2011 dalam penyusunan
anggaran Bansos provinsi di Indonesia dibuat bukan atas dasar angka kemiskinan
provinsi tersebut. Terbukti dari hasil uji non parametrik tidak ada korelasi antara
angka kemiskinan tahun sebelumnya dengan anggaran dana Bansos tahun
berikutnya.
Kata kunci: Anggaran Belanja Bansos, Kemiskinan, Anggaran Pemerintah,
Belanja Pemerintah
ix
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karuniaNya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik guna memenuhi salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Strata 1 pada progdi Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana. Skripsi ini
berjudul dana bantuan sosial dan kemiskinan: studi kasus anggaran Bansos
pemprov di Indonesia periode 2008-2011.
Penulis menyadari bahwa di dalam penelitian ini masih terdapat
kekurangan yang mungkin akan ditemukan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan segenap kritikan, masukan, dan saran yang membangun dari
pembaca.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan
pihak-pihak yang membutuhkan.
Salatiga, Januari 2015
Penulis
x
Ucapan terima kasih
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini banyak pihak yang telah turut membantu dan senantiasa turut
memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan di
Universitas Kristen Satya Wacana.
Oleh karena itu dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT
2. Nabi Muhammad SAW
3. Bapak Hari Sunarto, SE., MBA. PhD selaku Dekan Fakultas Ekonomika
dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana.
4. Bapak Usil Sis Sucahyo, SE., MBA. selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana.
5. Bapak Marwata, SE, MSi, PhD, Akt selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan masukan,
bimbingan dan saran-saran maupun kritik yang bermanfaat bagi penulis
sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
6. Bapak Paskah Ika Nugraha, SE., MSi selaku wali studi yang
membimbing, mendidik dan memberi saran maupun kritik selama
menempuh studi.
7. Ayahku Mu’Azis, Ibuku Inna Widhiastuti,Spd., Adikku Alfian Asnan
Khakim yang selalu mendukung, memotivasi dan memberi kasih sayang.
8. Khafidoh Ivniawati yang dengan setia menemani dan memberiku
semangat.
9. Seluruh staff pengajar FEB-UKSW yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuan kepada penulis selama menempuh studi.
10. Seluruh staff TU FEB-UKSW yang telah membantu penulis dalam
pengurusan persyaratan administrasi skripsi.
11. Keluarga besar SUNCRACKERS, Aldo, Dhoni ,Adi yang telah menjadi
keluarga tempat saya berkarya selama bertahun-tahun.
xi
12. Efratian Kristison, Mesakh, Sendi, Arron, Boe, Nia, Bayu, Navika yang
telah memberi semangat, dukungan, dan menjadi team yang baik selama
kuliah dan penggarapan skripsi Bansos
13. Joshua, Ine, isher, Risa, nanta, titin, Anggita, Daniel, Gilang, Epafras,
Vano, Brikarisa, Bella, Ardya, Arin, Xandra, Dianita, Martin dan semua
teman-teman FEB UKSW, teman senasib seperjuangan. Terima kasih
untuk kebersamaannya, dan dukungannya selama ini.
14. Teman-teman kepanitiaan Go Ahead, Karnaval OMB 2012, Kambing
Cup 2014, Unit EVOC 2013/2014, Makrab Pirates 2014, LDKM 2014,
Pesakom 2015
15. Semua teman-temanku dan yang tidak dapat disebutkan namanya satu
persatu tetap semangat dan terima kasih atas bantuannya selama kuliah.
16. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, terima
kasih telah memberikan dukungan bagi penulis dalam penulisan skripsi
ini.
Semoga Allah SWT senantiasa selalu melimpahkan karunia serta
rahmatNya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Salatiga, Januari 2015
Penulis
1
Pendahuluan
Dalam usaha mensejahterakan masyarakat Indonesia, salah satu hal yang
harus diperhatikan adalah masalah sosial ekonomi. Ketika masalah sosial ekonomi
muncul pada sebuah negara, muncullah pertanyaan mengenai langkah apa yang harus
dilakukan pemerintah untuk menanggulanginya. Berbagai cara dapat pemerintah
lakukan untuk mengatasinya, salah satunya melalui pengelolaan dana keuangan
daerah. Dalam Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah telah diatur bahwa penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah kewenangan pemerintah daerah.
Sehingga, sebagai salah satu instrumen kebijakan yang seharusnya bertujuan untuk
menyejahterakan rakyat, penetapan APBD oleh pemerintah daerah seharusnya
memperhatikan kebutuhan rakyat daerahnya, termasuk perbaikan keadaan sosial
ekonomi mereka.
Anggaran dana bantuan sosial yang merupakan salah satu pos dalam belanja
tidak langsung APBD yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari terjadinya
risiko sosial. Risiko sosial terkait dengan kerentanan, yaitu kemungkinan kejadian
atau peristiwa yang membuat rumah tangga (masyarakat) yang saat ini tidak termasuk
miskin akan jatuh di bawah garis kemiskinan, atau jika saat ini berada di bawah garis
kemiskinan, akan tetap berada di bawah garis kemiskinan atau semakin jauh
terperosok di bawah garis kemiskinan (A.M Zubir,2012). Sehingga diharapkan dana
bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat yang kurang mampu, bisa
memperkecil angka kemiskinan ataupun meningkatkan kesejahteraan masyarakat
suatu daerah.
Dalam kenyataannya, berbagai berita di media massa menunjukan bahwa
anggaran bantuan sosial tidak mencapai sasaran tetapi banyak menjadi sumber
penyimpangan. Ketua Forum Indonesia menyatakan bahwa untuk Transparansi
Anggaran Jawa Timur, Dahlan, mengatakan dana hibah dan bantuan sosial (Bansos)
dalam APBD di sejumlah daerah rawan korupsi dan penyimpangan. “Biasanya,
2
penggunaan dana hibah dan Bansos tidak jelas untuk siapa, bahkan
pertanggungjawabannya juga tidak jelas,” kata Dahlan dalam diskusi bertema
“Jurnalis Dukung Transparansi Anggaran” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Kabupaten Jember (2012). Dahlan juga menyatakan bahwa “Belanja hibah dan
Bansos dalam perencanaannya kurang transparan, sehingga penggunaan kedua
belanja itu sering menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena potensi
korupsinya juga besar,” katanya menjelaskan. Hasil penelitian yang dilakukan Fitra di
20 kabupaten/kota di Indonesia dalam studi anggaran mencatat bahwa hampir seluruh
daerah kurang transparan dalam mengelola dana anggaran setiap daerahnya.
(www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/13/11/09/mvzumu-
jelang-pemilu-dana-Bansos-jember-meningkat)
Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa banyak faktor
yang sifatnya subyektif yang mempengaruhi penyusunan anggaran APBD. Proses
penyusunan anggaran adalah sebuah proses yang sarat dengan kepentingan politik,
sehingga tanpa sistem transparansi dan akuntabilitas yang kuat, sangat mungkin
terjadi penyalahgunaan APBD. Secara teori, apabila dana Bansos memang digunakan
untuk menanggulangi kemiskinan seperti tujuan awalnya, salah satu faktor utama
yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan anggaran dana Bansos adalah angka
kemiskinan suatu daerah. Apabila tingkat kemiskinan daerah tidak diperhatikan oleh
pemerintah daerah tersebut, kemungkinan besar penyaluran dana Bansos tidak akan
tepat sasaran.
Fenomena tersebut memunculkan isu mengenai kualitas management
accounting di sektor publik. Isu mengenai penggunaan dana Bansos tersebut telah
menarik perhatian komunitas akuntansi di Indonesia. Pada Juni 2014, Majalah
Akuntansi Indonesia menerbitkan sebuah edisi dengan headline “Menguak Dana
Bansos” dimana dalam edisi tersebut dibahas permasalahan tingginya penyelewengan
dana Bansos karena tidak adanya sistem transparansi yang jelas. Dana Bansos
dianggap sering tidak tepat sasaran karena penyaluran dana Bansos sering didasari
kepentingan politik pemegang kekuasaan. Anggaran Pendapatan dan Belanja
3
Daerah (APBD) selayaknya dikelola secara tepat sasaran, secara tertib, taat
peraturan perundang-undangan, efisien dan efektif, ekonomis, transparan dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan.
Secara teoritis, seharusnya daerah yang angka kemiskinannya tinggi juga akan
memiliki alokasi anggaran dana bantuan sosial yang tinggi yang kemudian bisa
berdampak pada menurunnya angka kemiskinan setelah periode penganggaran
tersebut. Pemerintah harus bisa menangani permasalahan kurang baiknya pelaksanaan
management accounting di sektor publik yang ditunjukkan dengan tingginya
penyalahgunaan dana Bansos. Proses management accounting yang dilaksanakan
dengan baik di sektor pemerintahan akan memungkinkan tercapainya alokasi sumber
daya organisasi pemerintahan yang efektif dan efisien.
Untuk menjawab keraguan tersebut perlu dilakukan penelitian dengan fokus :
Apakah ada kaitan antara anggaran dana Bansos dengan angka kemiskinan?
Penelitian ini adalah penelitian bersama. Dimana peneliti yang lain dalam satu
kelompok yang sama telah meneliti kaitan antara kemiskinan dengan anggaran dana
Bansos Prov.Jawa Tengah, kaitan antara kemiskinan dengan anggaran dana Bansos
Kab.Semarang dan kaitan antara kemiskinan dengan anggaran dana Bansos Kota
Salatiga. Untuk itu penelitian ini mencoba menelususri kaitan antara kemiskinan dan
anggaran Bansos provinsi sebab di level provinsipun pemerintah memiliki anggaran
Dana Bansos provinsi dalam APBD. Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui
bagaimana dana Bansos akan dialirkan dalam level provinsi yang berdasarkan jumlah
penduduk miskin suatu provinsi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif untuk pemerintah khususnya dalam penyusunan anggaran APBD
yang lebih ramah kepada masyarakat umum. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya di bidang akuntansi sektor
publik, khususnya penelitian mengenai dana bantuan sosial. Penelitian ini dapat
menjadi bahan evaluasi dalam melakukan penegakan aturan mengenai dana bantuan
sosial serta pengawasan yang lebih ketat terhadap aliran dana bantuan sosial agar bisa
sampai ke masyarakat tepat sasaran.
4
Paper ini disusun dengan sistematika sebagai berikut. Bagian ke dua
menguraikan perspektif teoretis sebagai landasan teoretis untuk melakukan analisis.
Bagian ke tiga menguraikan metode penelitian yang dilakukan. Pembahasan dan
analisis terhadap data lapangan disajikan di bagian ke empat. Bagian terakhir
menyajikan kesimpulan penelitian, keterbatasan, dan saran penelitian selanjutnya.
Tinjauan Pustaka
Anggaran Sektor Publik
Adanya anggaran sektor publik sangatlah penting untuk memberikan fasilitasn
kepada masyarakat. Karena melalui anggaran sektor publik, pemerintah dapat
memiliki rencana kerja untuk kepentingan masyarakat. Menurut Agung Mutjaba
(2011) Anggaran sektor publik adalah suatu rencana kerja yang dibuat dan digunakan
oleh pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang
dinyatakan dalam bentuk ukuran financial, yang memuat informasi mengenai
pendapatan, belanja, aktivitas, dan pembiayaan, dalam satuan moneter. Sumber yang
kami ambil juga menjelaskan alasan pentingnya dibuat anggaran sektor publik adalah
sebagai berikut :
1. Bentuk tanggungjawab pemerintah kepada rakyatnya
2. Kebutuhan ataupun keperluan masyarakat yang tidak terbatas dan terus
berkembang dengan sumber daya yang terbatas sehingga anggaran sangat
dibutuhkan
3. Alat untuk mengarahkan pembangunan
4. Untuk menaikkan tingkat kualitas hidup masyarakat serta sebagai
pengaman sosial ekonomi.
Karakteristik Anggaran Sektor Publik:
1. Anggaran dinyatakan dalam satuan keuangan dan satuan selain keuangan.
2. Anggaran umumnya mencakup jangka waktu tertentu, satu atau beberapa
tahun.
3. Anggaran berisi komitmen atau kesanggupan manajeman untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan.
5
4. Usulan angggaran ditelaah dan disetujui oleh pihak yang berwenang lebih
tinggi dari penyusunan anggaran.
5. Sekali disusun, anggaran hanya dapat diubah dalam kondisi tertentu.
Belanja Daerah
Menurut Abdul Halim (2002:73) mengemukakan bahwa belanja daerah
merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam
bentuk arus kas keluar atau depresi asset, atau terjadinya utang yang mengakibatkan
berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada peserta
ekuitas dana.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga
komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses
penyusunannya berada di lembaga yang berbeda. Proses penyusunan APBD secara
keseluruhan berada di tangan Sekretaris Daerah yang bertanggung jawab
mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD. Sedangkan proses
penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan Pemda, proses penyususnan
penerimaan dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja
pembangunan disusun oleh Bappeda (Bagian Penyusunan program dan bagian
keuangan) (Haryadi,Dedi.2001).
Menurut Permendagri No.59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Permendagri
No.13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah diungkapkan
pengertian belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagaian
pengurang nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suato
periode anggaran yang berupa arus kas aktiva keluar, deplesi aktiva atau timbulnya
utang yang bukan disebabkan oleh pembagian kepada milik ekuitas dana (rakyat).
6
Bantuan Sosial
Menurut Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah ,Bantuan
sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari Pemerintah Daerah kepada
individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus
menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya
resiko sosial. Bantuan sosial dapat diberikan dalam bentuk uang atau barang kepada
anggota/kelompok masyarakat. Pemberian bantuan sosial disesuaikan dengan
kemampuan keuangan daerah dan dilakukan secara selektif serta setelah
memprioritaskan pemenuhan belanja urusan wajib yang ditetapkan dalam Peraturan
Perundang-Undangan. Pemberian bantuan sosial ditujukan untuk menunjang
pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan
asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Dinas Pendapatam Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah juga menlejaskan
bahwa bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat sebagaimana dimaksud
meliputi :
1. Individu, keluarga dan/atau masyarakat yang mengalami keadaan yang
tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi, politik, bencana atau
fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
2. Lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan bidang
lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/masyarakat
dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Bantuan sosial bersifat bantuan yang tidak mengikat dan tidak wajib serta
harus digunakan sesuai dengan proposal yang telah disetujui. Bantuan sosial bersifat
sementara dan tidak terus menerus, kecuali dalam keadaan tertentu dapat
berkelanjutan. Bantuan sosial sebagaimana dimaksud diartikan bahwa pemberian
bantuan sosial tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun anggaran. Bantuan
sosial dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan sebagaimana dimaksud diartikan
bahwa belanja bantuan sosial dapat diberikan untuk mempertahankan taraf
7
kesejahteraan sosial dan/atau mengembangkan kemandirian serta untuk menjaga
kinerja sosial yang telah tercapai agar tidak menurun kembali.
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah global. Hampir di seluruh penjuru daerah di
dunia ini kemiskinan adalah hal yang paling sering dibahas karena terkait dengan
kesejahteraan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kemiskinan bukan hal yang
baru saja ditemui namun sudah sejak lama menjadi permasalahan di Indonesia.
Apalagi dengan seiring berkembangnya jaman, era globalisasi, kemajuan teknologi
yang tidak bisa menjamin kesejahteraan masyarakat. Meskipun sebenarnya
pemerintah sudah melakukan upaya-upaya menanggulangi risiko sosial namun
kemiskinan memang tidak bisa dihilangkan. Menurut informasi yang bersumber dari
Bank Dunia (1990) dan Chambers (1987) (dalam Mikkelsen, 2003:193) kemiskinan
merupakan suatu kemelaratan dan ketidakmampuan masyarakat yang diukur dalam
suatu standar hidup tertentu yang mengacu kepada konsep miskin relatif yang
melakukan analisis perbandingan di negara-negara kaya maupun miskin.
Pengertian Kemiskian sangat beragam. Dalam pengertian kemiskinan disini
diambil yang paling dekat kaitannya dengan dana Bansos. Kemiskinan pada
penelitian ini diperoleh dari sumber Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) yang
dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan non pangan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini,
dapat dihitung Head Count Index, yaitu persentase penduduk miskin terhadap total
penduduk. Berikut adalah indikator yang digunakan untuk mengukur kemiskinan:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bamboo/kayu
murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tanpa plester.
8
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga
lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air
hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah : petani dengan luas lahan
0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan dibawah Rp 600.000,- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp
500.000,-, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor
atau barang modal lainnya.
Dari penjelasan mengenai kemiskinan dapat dikatakan bahwa kemiskinan
merupakan bentuk risiko sosial. Dimana masyarakat miskin merasa kekurangan
dalam memenuhi kebutuhan hidup, susah mendapat sandang, pangan dan papan
sehingga disana masyarakat miskin merasakan kehidupan yang tidak layak. Hal ini
dikatakan sebuah risiko sosial karena kemiskinan dapat mempengaruhi kesejahteraan
masyarakat.
9
Kerangka Pemikiran
Menurut Bultek SAP Nomor 10 mengenai Akuntansi Belanja Bantuan Sosial,
risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat mempengaruhi kesejahteraan
rumah tangga (masyarakat) yang disebabkan oleh pembebanan tambahan permintaan
atas sumber daya. Dana bantuan sosial merupakan salah satu alat pengaman risiko
sosial ekonomi suatu daerah. Pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan
dana untuk masyarakat harus bisa memanfaatkan dana tersebut dengan baik agar
sesuai tujuan. Dana bantuan sosial sebagai instrumen pengaman risiko sosial ekonomi
masyarakat harus bisa disalurkan sesuai tingkat sosial suatu daerah. Bantuan sosial
dapat diberikan dalam bentuk uang atau barang kepada anggota/kelompok
masyarakat. Besar kecilnya dana bantuan sosial sangat tergantung kepada diskresi
masing-masing kepala daerah dalam proses penyusunan APBD-nya. Salah satu tujuan
penggunaan dana bantuan sosial yang sebagaimana telah diatur oleh Permendagri
Nomor 59 Tahun 2007, Bantuan Sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian
bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bultek SAP Nomor 10 tentang Akuntansi
Belanja Bantuan Sosial juga menyebutkan bahwa dana Bansos digunakan untuk
penanggulangan kemiskinan dimana dana Bansos didefinisikan sebagai kebijakan,
program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau
masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan
tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Semakin rendah
tingkat sosial ekonomi atau semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu daerah maka
layak mendapatkan dana bantuan sosial yang tinggi untuk daerah tersebut. Tentu
diharapkan dari dana bantuan sosial tersebut masyarakat yang kurang mampu bisa
meningkatkan kesejahteraannya untuk kelangsungan hidup yang lebih baik. Sehingga
ada kaitan antara anggaran dana bantuan sosial suatu daerah dengan kondisi
kemiskinan daerah tersebut.
Dari pemikiran tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut:
10
Ha: Tingkat kemiskinan suatu daerah berhubungan dengan besarnya anggaran dana
Bansos daerah tersebut.
Metode Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah 33 provinsi di Indonesia. Data yang
digunakan dalam penelitian ini, baik data tingkat kemiskinan daerah dan data
anggaran APBD daerah, adalah data sekunder atau data yang sudah tersedia dan dapat
diakses.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data anggaran Bansos setiap provinsi dari tahun 2008-2011 yang
bersumber dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian
Republik Indonesia
2. Data total anggaran belanja setiap provinsi dari tahun 2008-2011 yang
bersumber dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian
Republik Indonesia
3. Data jumlah penduduk miskin setiap provinsi dari tahun 2007-2012 yang
didapat dari Badan Pusat Statistik
4. Data presentase angka kemiskinan setiap provinsi dari tahun 2007-2010
yang didapat dari Badan Pusat Statistik
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisa data dengan
cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana
adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau
generalisasi. Dengan kata statistika deskriptif berfungsi menerangkan keadaan, gejala,
atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada statistika deskriptif (jika ada) hanya
ditujukan pada kumpulan data yang ada (Sugiyono,2004).
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode analisis korelasi untuk
mengetahui hubungan atau keeratan dua variabel dan untuk mengetahui arah
hubungan kedua variabel tersebut. Variabel yang akan dihubungkan disini adalah data
11
tingkat kemiskinan dan data anggaran dana bantuan sosial daerah. Data diolah dengan
program aplikasi SPSS versi 17. Tingkat keyakinan ditetapkan sebesar 95%.
Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan adalah :
1. Menghitung jumlah anggaran dana bantuan sosial di setiap daerah di
Indonesia dan akan dikelompokan berdasarkan provinsinya.
2. Membuat ranking provinsi yang memiliki penduduk miskin tertinggi
menggunakan angka persentase penduduk miskin daerah tersebut.
3. Membuat ranking provinsi yang memiliki anggaran dana Bansos tertinggi
ke terendah menggunakan persentase, yaitu anggaran dana Bansos dibagi
total belanja daerah tersebut.
4. Membandingkan provinsi dengan jumlah penduduk miskin tinggi/rendah
dengan persentase anggaran belanja bantuan sosial yang tinggi/rendah pada
provinsi di Indonesia.
5. Membuat presentase anggaran Bansos dengan membagi antara anggaran
Bansos dengan total belanja provinsi tersebut.
6. Menggunakan persentase angka kemiskinan penduduk miskin untuk uji
korelasi. Tujuannya adalah untuk mengurangi indeks bias angka
kemiskinan provinsi tersebut.
7. Mengidentifikasi adanya hubungan persentase anggaran belanja bantuan
sosial dengan persentase kemiskinan melalui uji korelasi. Uji korelasi yang
dilakukan menggunakan data anggaran belanja bantuan sosial tahun 2008-
2011 dan persentase kemiskian tahun 2007-2010 .Data diolah dengan
program aplikasi SPSS versi 17.
12
Hasil dan pembahasan
Analisis Deskriptif
Pada penelitian ini digunakan data persentase penduduk dan persentase
anggaran dana Bansos yang nanti akan dibandingkan. Pada tabel berikut, data
penduduk miskin dan data anggaran Bansos dari 33 provinsi di Indonesia.akan
diurutkan dari yang tertinggi ke yang terendah. Data anggaran Bansos tahun t akan
dikaitkan dengan data angka kemiskinan tahun t-1 karena secara teori, besar kecilnya
anggaran Bansos tahun t dibuat atas dasar angka kemiskinan daerah tersebut tahun t-
1. Disini terlihat beberapa daerah yang memiliki perbandingan yang cukup ekstrim
antara angka kemiskinan dan anggaran dana Bansosnya melalui anak panah atau
daerah yang diberi warna berbeda. Ekstrim dalam artian bahwa daerah tersebut
memiliki angka kemiskinan rendah namun memiliki persentase anggaran Bansos
tinggi atau sebaliknya. Berikut adalah tabel perbandingan angka kemiskinan dan
anggaran dana Bansos:
13
Tabel 1.1 Persentase penduduk miskin tahun 2007 dan Persentase anggaran
Bansos tahun 2008
1 Papua 40,78 Riau 5,70
2 Papua Barat 39,31 DI Yogyakarta 5,53
3 Maluku 31,14 Papua 5,50
4 Nusa Tenggara Timur 27,51 Nusa Tenggara Barat 4,17
5 Gorontalo 27,35 Nanggroe Aceh Darussalam 4,01
6 Aceh 26,65 Riau Kepulauan 3,78
7 Nusa Tenggara Barat 24,99 Jawa Barat 3,53
8 Sulawesi Tengah 22,42 Jawa Tengah 3,52
9 Lampung 22,19 Maluku Utara 3,46
10 Bengkulu 22,13 Sulawesi Utara 3,37
11 Sulawesi Tenggara 21,33 Banten 3,23
12 Jawa Tengah 20,43 Kalimantan Timur 3,21
13 Jawa Timur 19,98 Sulawesi Barat 3,21
14 Sumatera Selatan 19,15 Papua Barat 3,20
15 Sulawesi Barat 19,03 Lampung 3,17
16 DI Yogyakarta 18,99 Jawa Timur 3,03
17 Sulawesi Selatan 14,11 Bali 2,86
18 Sumatera Utara 13,90 Sumatera Barat 2,68
19 Jawa Barat 13,55 Kalimantan Selatan 2,35
20 Kalimantan Barat 12,91 Kalimantan Tengah 2,25
21 Maluku Utara 11,97 Maluku 2,23
22 Sumatera Barat 11,90 DKI Jakarta 2,11
23 Sulawesi Utara 11,42 Kalimantan Barat 2,09
24 Riau 11,20 Sumatera Selatan 1,95
25 Kalimantan Timur 11,04 Sumatera Utara 1,88
26 Kepulauan Riau 10,30 Bangka Belitung 1,85
27 Jambi 10,27 Nusa Tenggara Timur 1,76
28 Kepulauan Bangka Belitung 9,54 Sulawesi Tengah 1,71
29 Kalimantan Tengah 9,38 Sulawesi Selatan 1,70
30 Banten 9,07 Bengkulu 1,61
31 Kalimantan Selatan 7,01 Sulawesi Tenggara 1,54
32 Bali 6,63 Jambi 1,44
33 DKI Jakarta 4,61 Gorontalo 1,14
Penduduk Miskin (%) Anggaran Bansos (%)
14
Tabel 1.2 Persentase penduduk miskin tahun 2008 dan persentase anggaran
Bansos tahun 2009
Papua 37,08 Papua 5,52
Papua Barat 35,12 Bali 5,47
Maluku 29,66 Nanggroe Aceh Darussalam 4,90
Nusa Tenggara Timur 25,65 Riau 4,77
Gorontalo 24,88 DI Yogyakarta 4,69
Nusa Tenggara Barat 23,81 Nusa Tenggara Barat 3,83
Aceh 23,53 Jawa Tengah 3,81
Lampung 20,98 Riau Kepulauan 3,44
Sulawesi Tengah 20,75 Papua Barat 3,24
Bengkulu 20,64 Maluku Utara 3,07
Sulawesi Tenggara 19,53 Kalimantan Timur 2,94
Jawa Tengah 19,23 Sumatera Barat 2,78
Jawa Timur 18,51 Kalimantan Selatan 2,74
DI Yogyakarta 18,32 Jawa Barat 2,70
Sumatera Selatan 17,73 Jawa Timur 2,60
Sulawesi Barat 16,73 Kalimantan Tengah 2,48
Sulawesi Selatan 13,34 Lampung 2,31
Jawa Barat 13,01 Sulawesi Barat 2,29
Sumatera Utara 12,55 Sulawesi Selatan 2,18
Maluku Utara 11,28 Sulawesi Utara 2,15
Kalimantan Barat 11,07 Bangka Belitung 2,13
Sumatera Barat 10,67 Maluku 2,10
Riau 10,63 Bengkulu 2,00
Sulawesi Utara 10,10 Sumatera Selatan 1,93
Kalimantan Timur 9,51 Sumatera Utara 1,90
Jambi 9,32 Nusa Tenggara Timur 1,85
Kepulauan Riau 9,18 Banten 1,80
Kalimantan Tengah 8,71 Gorontalo 1,67
Kepulauan Bangka Belitung 8,58 Jambi 1,57
Banten 8,15 Kalimantan Barat 1,30
Kalimantan Selatan 6,48 Sulawesi Tengah 0,91
Bali 6,17 Sulawesi Tenggara 0,53
DKI Jakarta 4,29 DKI Jakarta 0,29
Penduduk Miskin (%) Anggaran Bansos (%)
15
Tabel 1.3 Persentase penduduk miskin tahun 2009 dan persentase anggaran
Bansos tahun 2010
Papua 37,53 Bali 5,04
Papua Barat 35,71 Papua 5,03
Maluku 28,23 Nanggroe Aceh Darussalam 4,76
Gorontalo 25,01 PapuaBarat 4,42
Nusa Tenggara Timur 23,31 Riau 4,27
Nusa Tenggara Barat 22,78 DI Yogyakarta 3,90
Aceh 21,80 Nusa Tenggara Barat 3,67
Lampung 20,22 Jawa Barat 3,48
Sulawesi Tengah 18,98 Riau Kepulauan 3,41
Sulawesi Tenggara 18,93 Jawa Tengah 3,04
Bengkulu 18,59 Maluku Utara 2,68
Jawa Tengah 17,72 Jawa Timur 2,61
DI Yogyakarta 17,23 Kalimantan Tengah 2,52
Jawa Timur 16,68 Sulawesi Barat 2,42
Sumatera Selatan 16,28 Sumatera Barat 2,28
Sulawesi Barat 15,29 Kalimantan Timur 2,19
Sulawesi Selatan 12,31 Kalimantan Selatan 2,17
Jawa Barat 11,96 Sulawesi Utara 1,92
Sumatera Utara 11,51 Lampung 1,87
Maluku Utara 10,36 Nusa Tenggara Timur 1,84
Sulawesi Utara 9,79 Maluku 1,78
Sumatera Barat 9,54 Bangka Belitung 1,77
Riau 9,48 Gorontalo 1,61
Kalimantan Barat 9,30 Sumatera Selatan 1,57
Jambi 8,77 Banten 1,51
Kepulauan Riau 8,27 Kalimantan Barat 1,50
Kalimantan Timur 7,73 Sumatera Utara 1,44
Banten 7,64 Sulawesi Selatan 1,42
Kepulauan Bangka Belitung 7,46 Bengkulu 1,32
Kalimantan Tengah 7,02 Jambi 1,20
Bali 5,13 Sulawesi Tengah 0,76
Kalimantan Selatan 5,12 Sulawesi Tenggara 0,63
DKI Jakarta 3,62 DKI Jakarta 0,16
Penduduk Miskin (%) Anggaran Bansos (%)
16
Tabel 1.4 Persentase penduduk miskin tahun 2010 dan persentase anggaran
Bansos tahun 2011
Papua 36,80 Kepulauan Riau 4,66
Papua Barat 34,88 Nanggroe Aceh Darussalam 4,58
Maluku 27,74 Bali 4,28
Gorontalo 23,19 Papua 4,20
Nusa Tenggara Timur 23,03 DI Yogyakarta 3,91
Nusa Tenggara Barat 21,55 Nusa Tenggara Barat 3,71
Aceh 20,98 PapuaBarat 3,07
Lampung 18,94 Riau 3,04
Bengkulu 18,30 Jawa Barat 2,99
Sulawesi Tengah 18,07 Jawa Tengah 2,86
Sulawesi Tenggara 17,05 Kalimantan Tengah 2,60
DI Yogyakarta 16,83 Kalimantan Timur 2,40
Jawa Tengah 16,56 Sulawesi Utara 2,31
Sumatera Selatan 15,47 Sumatera Barat 2,25
Jawa Timur 15,26 Kalimantan Selatan 2,22
Sulawesi Barat 13,58 Banten 2,08
Sulawesi Selatan 11,60 Jawa Timur 2,01
Sumatera Utara 11,31 Nusa Tenggara Timur 1,88
Jawa Barat 11,27 Jambi 1,87
Sumatera Barat 9,50 Sulawesi Barat 1,83
Maluku Utara 9,42 Lampung 1,69
Sulawesi Utara 9,10 Maluku 1,67
Kalimantan Barat 9,02 Maluku Utara 1,53
Riau 8,65 Sumatera Selatan 1,43
Jambi 8,34 Bengkulu 1,25
Kepulauan Riau 8,05 Sumatera Utara 1,21
Kalimantan Timur 7,66 Sulawesi Selatan 1,21
Banten 7,16 Gorontalo 1,13
Kalimantan Tengah 6,77 Kalimantan Barat 1,00
Kepulauan Bangka Belitung 6,51 Bangka Belitung 0,94
Kalimantan Selatan 5,21 Sulawesi Tengah 0,75
Bali 4,88 Sulawesi Tenggara 0,70
DKI Jakarta 3,48 DKI Jakarta 0,21
Penduduk Miskin (%) Anggaran Bansos (%)
17
Dari data tabel 1.1 mengenai persentase penduduk miskin tahun 2007 dengan
persentase anggaran Bansos tahun 2008, dapat dilihat bahwa tidak ada pola yang
teratur dalam tabel tersebut. dapat dilihat Provinsi Papua Barat yang memiliki angka
kemiskinan 39,31% atau berada di peringkat 2 memiliki anggaran Bansos 3,20% dari
total anggaran belanja daerah tersebut. Kemudian Gorontalo yang memiliki angka
kemiskinan 27,35% memiliki anggaran Bansos 1,14%. Provinsi Bengkulu yang
memiliki angka kemiskinan 22,13% dari jumlah penduduknya, memiliki anggaran
Bansos 1,61%. Apabila kita cermati, Provinsi DI Yogyakarta yang angka
kemiskinannya berada dibawah Papua Barat, Gorontalo dan Bengkulu justru
memiliki anggaran Bansos jauh diatas yaitu 5,53%. Begitu pula dengan Riau yang
memiliki anggaran Bansos tertinggi yaitu 5,70% hanya memiliki angka kemiskinan
sebesar 11,2%.
Fenomena adanya kejanggalan dalam besar kecilnya anggaran Bansos juga
terjadi setiap tahunnya. Dari tahun ke tahun selalu ditemukan provinsi yang memiliki
angka kamiskinan rendah memiliki anggaran dana Bansos yang lebih tinggi
dibanding provinsi yang angka kemiskinannya tinggi. Ataupun sebaliknya, provinsi
yang memiliki angka kamiskinan tinggi justru memiliki anggaran dana Bansos yang
lebih rendah dibanding provinsi yang angka kemiskinannya rendah. Pada tabel 1.2
dapat dicermati pula mengenai angka kemiskinan tahun 2008 dengan anggaran dana
Bansos tahun 2009. Provinsi Maluku memiliki angka kemiskinan 29,66%
mempunyai besaran anggaran dana Bansos 2,10%. Provinsi Nusa Tenggara Timur
yang angka kemiskinannya 25,65% memiliki anggaran dana Bansos 1,85%. Provinsi
Riau yang angka kemiskinannya jauh berada dibawah Maluku dan NTT yaitu 10,63%
memiliki anggaran Bansos 4,77% dari total anggaran Belanja daerah mereka. Begitu
juga dengan Kalimantan Selatan memiliki angka kemiskinan 6,48% dan Provinsi Bali
dibawahnya yaitu 6,17% memiliki anggaran Bansos yang cukup besar juga. Untuk
Kalimantan Selatan memiliki angka 2,74% dan Bali 5,47%. Pola yang tidak teratur
kembali ditunjukan pada tabel ini.
18
Pada tabel 1.3 juga terdapat temuan yang tidak jauh berbeda dari analisis tabel
sebelumnya. Pada Tabel ini tidak jauh berbeda dari pola tabel sebelumnya. Provinsi
NTT misalnya yang memiliki angka kemiskinan 23,31% lalu Sulawesi Tenggara
sebesar 18,93% dan Bengkulu 18,59%. Provinsi tersebut memiliki anggaran dana
Bansos yang bisa dibilang tidak terlalu besar. Untuk NTT memiliki anggaran dana
Bansos 1,84% dari total Belanja mereka. lalu Bengkulu 1,32% dan Sulawesi
Tenggara 0,63%. Angka yang cukup ekstrim terjadi pada provinsi Bali misalnya yang
memiliki persentase anggaran dana Bansos tertinggi yaitu 5,04% hanya memiliki
angka kemiskinan 5,13%. Begitu pula dengan Riau yang angka kemiskinannya
9,48% memiliki persentase anggaran dana Bansos 4,27%.
Pada tabel 1.4 apabila kita perhatikan masih banyak temuan yang sama
dengan analisis tabel sebelumnya. Hal tersebut selalu terjadi dari tahun ke tahun
bahwa naik turunnya besaran angka anggaran dana Bansos selalu tidak dapat
diprediksi. Provinsi Kepulauan Riau memiliki angka anggaran Bansos tertinggi yaitu
4,66% dengan angka kemiskinan 8,05%. Provinsi Bali juga memiliki angka anggaran
Bansos yang tinggi pula sebesar 4,28% dengan angka kemiskinan 4,88%. Namun
provinsi yang memiliki angka kemiskinan tinggi seperti Maluku contohnya hanya
memiliki anggaran Bansos 1,67% saja. Atau dengan Provinsi Bengkulu yang angka
kemiskinannya 18,30% memiliki anggaran Bansos hanya 1,25% dan Sulawesi
Tenggara dengan angka kemiskinan 17,05% hanya memiliki anggaran Bansos 0,7%.
Bukankah perbandingan tersebut bisa dibilang cukup ekstrim apabila kita cermati.
Hal tersebut juga terjadi di banyak provinsi apabila dilihat lebih detail dan terperinci.
Uji normalitas
Langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan uji normalitas
Kolmogorov Smirnov dan Shappiro Wilk. Dalam uji normalitas ini digunakan
presentase penduduk miskin di setiap daerahnya untuk mengurangi bias angka
kemiskinan, yaitu dengan membagi antara jumlah penduduk miskin dengan jumlah
19
seluruh penduduk provinsi tersebut lalu dikalikan 100. Dan untuk anggaran dana
Bansos akan dibagi dengan jumlah anggaran belanja provinsi tersebut dan dikalikan
100.
Apabila dalam uji normalitas diperoleh signifikansi dari salah satu variabel
kurang dari 0,05 (alpha), maka variabel tersebut dinyatakan berdistribusi tidak
normal. Berikut adalah hasil yang diperoleh dari uji normalitas menggunakan SPSS :
Tabel 2
Uji Normalitas
Variabel Yang Diuji Signifikansi Distribusi
1. Kemiskinan 2007 0.022 Tidak Normal
2. Kemiskinan 2008 0.031 Tidak Normal
3. Kemiskinan 2009 0.014 Tidak Normal
4. Kemiskinan 2010 0.008 Tidak Normal
5. Bansos 2008 0.015 Tidak Normal
6. Bansos 2009 0.098 Normal
7. Bansos 2010 0.071 Normal
8. Bansos 2011 0.119 Normal
Sumber: Lampiran 5
Dari hasil uji normalitas pada tabel 2, ditemukan hasil bahwa semua data
kemiskinan mulai tahun 2007-2010 memiliki nilai signifikansi kurang dari alpha atau
berdistribusi tidak normal. Sedangkan untuk dana Bansos hanya data tahun 2008
yang berdistribusi tidak normal sisanya normal.
20
Uji Korelasi
Dalam melakukan uji korelasi, penulis menggunakan uji non parametrik
dengan uji korelasis Spearman karena data yang dikaitkan salah satunya berdistribusi
tidak normal atau dua-duanya berdistribusi tidak normal.
Apabila dari hasil uji non parametrik dengan uji korelasi spearman diperoleh
hasil Pvalue lebih besar dari 0.05(alpha) maka akan diperoleh hasil H0 tidak dapat
ditolak. Dari hasil tersebut artinya tingkat kemiskinan suatu daerah tidak
berhubungan dengan besarnya anggaran dana Bansos daerah tersebut. Atau
sebaliknya, apabila hasil Pvalue lebih kecil dari 0.05(alpha) maka akan diperoleh
hasil Ha diterima. Dari hasil tersebut artinya tingkat kemiskinan suatu daerah
berhubungan dengan besarnya anggaran dana Bansos daerah tersebut Berikut adalah
hasil dari uji korelasi menggunakan SPSS :
Tabel 3
Uji Korelasi
Variabel yang dikaitkan Korelasi/Tidak Berkorelasi Pvalue
Kemiskinan 2007 dan Bansos 2008 Tidak Berkorelasi 0.929
Kemiskinan 2008 dan Bansos 2009 Tidak Berkorelasi 0.675
Kemiskinan 2009 dan Bansos 2010 Tidak Berkorelasi 0.437
Kemiskinan 2010 dan Bansos 2011 Tidak Berkorelasi 0.848
Sumber: Lampiran 6
Dari hasil uji non parametrik dengan uji korelasi spearman, diperoleh hasil
pada tabel 3 bahwa dari seluruh variabel yang dikaitkan ternyata semua tidak
berkorelasi atau tidak ada hubungan. Nilai dari Pvalue semua variabel berada diatas
alpha sehingga hipotesis penulis ditolak artinya antara tingkat kemiskinan suatu
daerah tidak berhubungan dengan besarnya anggaran dana Bansos daerah tersebut.
21
Pembahasan
Penelitian ini menemukan bahwa daerah yang memiliki angka kemiskinan
tinggi belum tentu memiliki anggaran dana Bansos yang lebih besar dibanding daerah
yang angka kemiskinannya rendah. Karena dari hasil analisis deskriptif, ditemukan
bahwa daerah yang angka kemiskinannya rendah justru memiliki persentase anggaran
dana Bansos yang lebih besar dari daerah yang angka kemiskinannya tinggi, dan hal
tersebut selalu terjadi setiap tahunnya. Secara teoritis, seharusnya semakin tinggi
angka kemiskinan suatu daerah maka persentase anggaran Bansos yang dibuat juga
semakin tinggi guna mencapai tujuan menanggulangi risiko sosial. Apabila angka
kemiskinan bukan faktor yang menentukan besar kecilnya anggaran dana Bansos,
tentu ada faktor lain yang mempengaruhi besaran anggaran dana Bansos suatu
daerah.
Secara teoritis penyusunan anggaran dana Bansos tahun t dibuat berdasarkan
angka kemiskinan tahun t-1 yang diharapkan dapat memberi dampak positif ditahun
mendatang mengingat fungsi dana Bansos untuk mengurangi kemiskinan. Namun
dari penelitian yang dilakukan justru diperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan antara
besar kecilnya anggaran dana Bansos dengan besar kecilnya angka kemiskinan suatu
daerah. Berarti, dalam proses penyusunan anggaran dana Bansos, pemerintah tidak
menjadikan angka kemiskinan sebagai dasar pengambilan keputusan alokasi dana
Bansos. Apabila dana Bansos disusun tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan,
besar kemungkinan penyaluran dana Bansos tidak akan tepat sasaran. Bisa terjadi
anggaran dana Bansos justru diselewengkan demi kepentingan pribadi pembuat
kebijakan, mengingat sifat dana Bansos yang penggunaannya tidak terikat dan sistem
transparansi dan akuntabilitasnya masih banyak dipertanyakan.
Penelitian ini menemukan bahwa dana Bansos belum dapat dikelola secara
baik sesuai tujuaannya. Apabila tujuan utamanya untuk menanggulangi kemiskinan,
seharusnya dalam penyusunannya pun juga disesuaikan dengan kondisi kemiskinan
22
yang terjadi. Ini menjadi bukti dari klaim bahwa dana Bansos sering tidak tepat
sasaran. Penelitian ini menunjukan bahwa angka kemiskinan tidak memiliki
hubungan dengan besar kecilnya anggaran dana Bansos. Harus ada sistem pelaporan
dan pengawasan yang jelas agar dana Bansos ini bisa berfungsi dengan baik sebagai
instrumen penyejahteraan rakyat, dan bukan menjadi alat untuk pemenuhan
kepentingan politik penguasa.
Kemiskinan memang bukan satu-satunya faktor yang menetukan dalam
penentuan anggaran Bansos. Mungkin saja anggaran Bansos tersebut disusun
dengan pertimbangan faktor lain juga yang masih berkaitan dengan fungsi dana
Bansos. Bisa jadi faktor seperti kemampuan keuangan daerah, bencana alam yang
terjadi, ekonomi daerah, situasi politik atau bahkan permasalahan di bidang
pendidikan, keagamaan atau bidang lain yang masih sejalan dengan fungsi dana
Bansos. Namun karena penelitian ini berfokus pada kaitan antara kemiskinan dan
anggaran dana Bansos, penelitian ini menemukan bahwa dua variabel tersebut
tidak saling berkaitan.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara
anggaran dana Bansos suatu daerah dengan angka kemiskinan daerah tersebut.
Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kemiskinan tahun
sebelumnya (t-1) dan anggaran dana Bansos tahun tersebut (t).
Secara lebih rinci, temuan penelitian ini adalah:
1. Anggaran dana Bansos tahun 2008 tidak berhubungan dengan angka
kemiskinan tahun 2007
2. Anggaran dana Bansos tahun 2009 tidak berhubungan dengan angka
kemiskinan tahun 2008
3. Anggaran dana Bansos tahun 2010 tidak berhubungan dengan angka
kemiskinan tahun 2009
23
4. Anggaran dana Bansos tahun 2011 tidak berhubungan dengan angka
kemiskinan tahun 2010
Keterbatasan Penelitian dan Saran
Dalam penelitian ini tentu saja masih ada beberapa keterbatasan yang tidak
bisa dihindari. Penelitian ini mengkaitkan antara Anggaran dana Bansos tahun t
dengan angka kemiskinan tahun t-1. Anggaran dana Bansos bisa jadi proses
penyusunannya sudah dilakukan mulai tahun sebelumnya atau tahun t-1. Sehingga
untuk penelitian selanjutnya pertimbangan yang digunakan adalah angka kemiskinan
tahun t-2. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengkaitkan hubungan anggaran
dana bansos dengan variabel-variabel lain yang berhubungan dengan dana bansos
seperti kemampuan keuangan daerah, bencana alam yang terjadi, masalah politik,
pendidikan dan keagamaan. Selain itu pemerintah daerah juga tentu masih
mempertimbangkan belanja wajib daerah sebagai prioritas utama sebelum
menentukan jumlah anggaran dana Bansos. Dengan adanya penambahan variabel,
diharapkan faktor-faktor selain kemiskinan yang mempengaruhi penetapan anggaran
dana Bansos dapat diteliti keterkaitannya. Diharapkan, akan ada lebih banyak lagi
penelitian mengenai topik ini dengan perbaikan variabel dan metode untuk semakin
memperkuat hasil penelitian ini dan memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan
atas bidang ini.
24
Daftar Pustaka
Aini,Syariefah Arieva.(2013,21 Februari).Belanja daerah, proyeksi dan
klasifikasinya. Diperoleh 20 Maret 2014, dari
http://ainiarie2012.blogspot.com/2013/02/belanja-daerah-proyeksi-
dan.html
Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 10 tentang Akuntansi
Belanja Bantuan Sosial.
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah.Pengertian Bantuan Sosial
dan Tata Cara Pengajuannya. Diperoleh 6 Februari 2014, dari
http://www.ppkad.pinrangkab.go.id/ index.php/artikel-Bansos/84-
pengertian-bantuan-sosial-dan-tata-cara-pengajuannya
Djibril,Muhammad.(2013,9 November).Jelang pemilu dana Bansos jember
meningkat. Diperoleh 6 Februari 2014,dari
www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-
nasional/13/11/09/mvzumu-jelang-pemilu-dana-Bansos-jember-
meningkat.html
Ekwarso,H.,Pane,R.H,& Zulkarnaini.2011.Kinerja belanja hibah untuk usaha
ekonomi dan pengentasan kemiskinan di kota pekanbaru,Riau:Penerbit
Jurnal sosial ekonomi pembangunan
Emershon, Yuntho.(2011,14 Oktober).Korupsi Dana Bansos.Diperoleh 24
Februari 2014, dari http://www.antikorupsi.org/en/content/korupsi-dana-
Bansos.html
25
Natalya,Desca Lidya.(2014,27 Januari).KPK:Hindari Penyalahgunaan
Bansos dan Hibah. Diperoleh 26 Maret 2014, dari
http://www.antaranews.com/berita/416127/kpk-hindari-
penyalahgunaan-Bansos-dan-hibah.html
Peraturan Menteri dalam Negeri No.13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Keuangan daerah.
Peraturan Menteri dalam Negeri No.59 tahun 2007 tentang pengelolaan
keuangan daerah.
Ryzmelinda.(2012,9 April).Pengertian Kemiskinan Menurut Beberapa Ahli.
Diperoleh 12 Februari 2014, dari http://ryzmelinda-ryzmelinda.
blogspot.com/2012/04/pengertian-kemiskinan-menurut-beberapa.html
Setiawan,Nasrul.(2012,18 Januari).Teori Analisis Deskriptif. Diperoleh 12
April 2014, dari http://statistikceria.blogspot.com/2012/01/teori-analisis-
deskriptif.html
Setyaningrum, Dewi Darmastuti.2009. Faktor-faktor yang memperngaruhi
pengungkapan belanja bantuan sosial pada laporan keuangan
pemerintah daerah tahun 2009.Universitas Indonesia.
1
Lampiran 1 ANGGARAN DANA BANSOS (dalam jutaan)
PROVINSI 2008 2009 2010 2011
1 Aceh 777.728 1.025.162 846.172 916.187
2 Sumatera Utara 350.901 388.743 307.556 314.374
3 Sumatera Barat 279.486 323.234 284.832 295.369
4 Riau 1.085.828 973.311 792.385 651.565
5 Jambi 92.081 121.877 91.386 160.847
6 Sumatera Selatan 270.838 273.105 232.280 246.201
7 Bengkulu 77.417 95.518 68.800 72.707
8 Lampung 270.048 210.098 184.418 210.141
9 DKI Jakarta 433.020 65.065 38.040 58.528
10 Jawa Barat 1.173.041 1.034.739 1.471.304 1.444.210
11 Jawa Tengah 1.157.000 1.285.502 1.066.540 1.187.352
12 DI Yogyakarta 299.474 253.116 216.576 237.636
13 Jawa Timur 1.108.195 1.043.553 1.125.842 1.077.814
14 Kalimantan Barat 176.211 117.773 142.165 110.561
15 Kalimantan Tengah 191.419 237.074 244.674 263.128
16 Kalimantan Selatan 197.461 264.380 232.439 268.160
17 Kalimantan Timur 896.440 851.624 624.850 739.820
18 Sulawesi Utara 179.963 141.625 131.151 180.368
19 Sulawesi Tengah 98.551 57.979 49.477 54.400
20 Sulawesi Selatan 238.502 337.648 218.189 217.673
21 Sulawesi Tenggara 86.406 36.907 43.086 52.598
22 Bali 206.542 439.639 425.089 432.411
23 Nusa Tenggara Barat 248.002 251.707 262.339 320.480
24 Nusa Tenggara Timur 146.895 167.705 175.275 212.239
25 Maluku 107.269 108.135 100.103 108.213
26 Papua 993.069 1.098.537 1.084.437 1.005.546
27 Maluku Utara 132.141 137.332 115.597 75.996
28 Banten 261.188 162.891 152.115 276.646
29 Bangka Belitung 70.396 91.930 77.747 41.344
30 Gorontalo 29.760 47.090 46.164 38.537
31 Riau Kepulauan 194.998 240.188 233.971 395.057
32 PapuaBarat 196.642 277.363 368.314 301.792
33 Sulawesi Barat 77.561 62.069 63.377 59.702
Lampiran 2 TOTAL ANGGARAN BELANJA APBD (dalam jutaan)
PROVINSI 2008 2009 2010 2011 1 Aceh 19.376.232 20.900.778 17.792.572 19.991.099
2 Sumatera Utara 18.625.028 20.474.565 21.359.873 25.905.865
3 Sumatera Barat 10.428.403 11.646.598 12.469.942 13.113.575
4 Riau 19.054.866 20.410.953 18.558.916 21.455.793
5 Jambi 6.399.583 7.747.628 7.614.925 8.619.337
6 Sumatera Selatan 13.877.600 14.179.713 14.763.158 17.267.367
7 Bengkulu 4.818.098 4.780.456 5.201.069 5.797.418
8 Lampung 8.520.969 9.085.302 9.859.397 12.470.562
9 DKI Jakarta 20.523.322 22.139.467 24.285.347 27.875.807
10 Jawa Barat 33.272.212 38.266.318 42.241.641 48.222.543
11 Jawa Tengah 32.906.969 33.742.497 35.058.684 41.530.293
12 DI Yogyakarta 5.411.998 5.398.979 5.558.505 6.074.303
13 Jawa Timur 36.555.808 40.191.203 43.161.889 53.543.504
14 Kalimantan Barat 8.418.694 9.072.867 9.474.179 11.018.410
15 Kalimantan Tengah 8.516.355 9.545.669 9.723.618 10.103.457
16 Kalimantan Selatan 8.388.243 9.647.177 10.713.662 12.102.158
17 Kalimantan Timur 27.884.588 29.015.494 28.486.229 30.822.369
18 Sulawesi Utara 5.339.678 6.585.305 6.837.187 7.809.555
19 Sulawesi Tengah 5.767.139 6.348.386 6.480.220 7.250.593
20 Sulawesi Selatan 14.052.784 15.509.832 15.332.901 17.956.848
21 Sulawesi Tenggara 5.596.018 6.966.206 6.887.027 7.483.720
22 Bali 7.232.735 8.038.708 8.430.095 10.105.480
23 Nusa Tenggara Barat 5.940.232 6.573.525 7.143.880 8.644.755
24 Nusa Tenggara Timur 8.357.061 9.082.943 9.504.901 11.266.641
25 Maluku 4.804.523 5.159.591 5.612.861 6.497.318
26 Papua 18.067.580 19.918.939 21.564.639 23.918.950
27 Maluku Utara 3.817.576 4.478.281 4.305.446 4.957.594
28 Banten 8.089.760 9.053.824 10.068.617 13.291.924
29 Bangka Belitung 3.811.397 4.307.904 4.391.664 4.403.566
30 Gorontalo 2.603.188 2.818.110 2.862.223 3.400.483
31 Riau Kepulauan 5.155.325 6.973.400 6.865.662 8.475.081
32 PapuaBarat 6.150.079 8.553.656 8.339.178 9.833.753
33 Sulawesi Barat 2.413.214 2.714.021 2.615.062 3.257.449
Lampiran 3 Presentase Anggaran dana Bansos (%)
PROVINSI 2008 2009 2010 2011
1 Aceh 4,01 4,90 4,76 4,58
2 Sumatera Utara 1,88 1,90 1,44 1,21
3 Sumatera Barat 2,68 2,78 2,28 2,25
4 Riau 5,70 4,77 4,27 3,04
5 Jambi 1,44 1,57 1,20 1,87
6 Sumatera Selatan 1,95 1,93 1,57 1,43
7 Bengkulu 1,61 2,00 1,32 1,25
8 Lampung 3,17 2,31 1,87 1,69
9 DKI Jakarta 2,11 0,29 0,16 0,21
10 Jawa Barat 3,53 2,70 3,48 2,99
11 Jawa Tengah 3,52 3,81 3,04 2,86
12 DI Yogyakarta 5,53 4,69 3,90 3,91
13 Jawa Timur 3,03 2,60 2,61 2,01
14 Kalimantan Barat 2,09 1,30 1,50 1,00
15 Kalimantan Tengah 2,25 2,48 2,52 2,60
16 Kalimantan Selatan 2,35 2,74 2,17 2,22
17 Kalimantan Timur 3,21 2,94 2,19 2,40
18 Sulawesi Utara 3,37 2,15 1,92 2,31
19 Sulawesi Tengah 1,71 0,91 0,76 0,75
20 Sulawesi Selatan 1,70 2,18 1,42 1,21
21 Sulawesi Tenggara 1,54 0,53 0,63 0,70
22 Bali 2,86 5,47 5,04 4,28
23 Nusa Tenggara Barat 4,17 3,83 3,67 3,71
24 Nusa Tenggara Timur 1,76 1,85 1,84 1,88
25 Maluku 2,23 2,10 1,78 1,67
26 Papua 5,50 5,52 5,03 4,20
27 Maluku Utara 3,46 3,07 2,68 1,53
28 Banten 3,23 1,80 1,51 2,08
29 Bangka Belitung 1,85 2,13 1,77 0,94
30 Gorontalo 1,14 1,67 1,61 1,13
31 Riau Kepulauan 3,78 3,44 3,41 4,66
32 PapuaBarat 3,20 3,24 4,42 3,07
33 Sulawesi Barat 3,21 2,29 2,42 1,83
Lampiran 4 Data Kemiskinan di Indonesia
Lampiran 5 UJI NORMALITAS
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
kemiskinan_2007 .168 33 .019 .923 33 .022
Bansos_2008 .124 33 .200* .917 33 .015
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
kemiskinan_2008 .151 33 .053 .928 33 .031
Bansos_2009 .131 33 .161 .945 33 .098
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Bansos_2010 .138 33 .112 .941 33 .071
Kemiskinan_2009 .146 33 .072 .916 33 .014
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Kemiskinan_2010 .150 33 .059 .906 33 .008
Bansos_2011 .109 33 .200* .948 33 .119
Lampiran 6 UJI NON PARAMETRIK
Correlations
Bansos_2008
kemiskinan_200
7
Spearman’s rho Bansos_2008 Correlation Coefficient 1.000 -.016
Sig. (2-tailed) . .929
N 33 33
kemiskinan_2007 Correlation Coefficient -.016 1.000
Sig. (2-tailed) .929 .
N 33 33
Correlations
kemiskinan_2008 Bansos_2009
Spearman's rho kemiskinan_2008 Correlation Coefficient 1.000 .076
Sig. (2-tailed) . .675
N 33 33
Bansos_2009 Correlation Coefficient .076 1.000
Sig. (2-tailed) .675 .
N 33 33
Correlations
Bansos_2010
Kemiskinan_200
9
Spearman's rho Bansos_2010 Correlation Coefficient 1.000 .140
Sig. (2-tailed) . .437
N 33 33
Kemiskinan_2009 Correlation Coefficient .140 1.000
Sig. (2-tailed) .437 .
N 33 33
Correlations
Kemiskinan_2010 Bansos_2011
Spearman's rho Kemiskinan_2010 Correlation Coefficient 1.000 .035
Sig. (2-tailed) . .848
N 33 33
Bansos_2011 Correlation Coefficient .035 1.000
Sig. (2-tailed) .848 .
N 33 33
top related