bab iv persatuan masyarakat poso berdasarkan nilai …
Post on 18-Oct-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
75
BAB IV
PERSATUAN MASYARAKAT POSO BERDASARKAN NILAI SINTUWU
MAROSO
Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Manusia tidak
hidup sendirian, tetapi bersama dengan orang lain. Pola dasar keberadaan manusia ialah
hubungan antar pribadi. Keberadaan manusia bersama dengan sesamanya merupakan
kenyataan yang tidak dapat disangkal. Tidak mungkin hidup tanpa orang lain. Manusia
tidak mandiri dalam artian mampu hidup tanpa orang lain.1 Sebagai mahluk sosial, setiap
orang tidak akan pernah hidup dengan dirinya sendiri, tanpa tergantung pada orang lain,
tidak hanya untuk saling bantu dan tolong menolong, tapi juga membangun komunitas
sosial yang saling mendukung dan berkerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Kehidupan masyarakat Poso yang berasal dari latar belakang yang beragam; suku,
budaya, agama, tradisi, pendidikan, ekonomi dan sebagainya adalah sesuatu yang tidak
dapat dielakan oleh setiap individu, namun disitulah keindahan sebuah komunitas sosial
bila mampu merekat barbagai perbedaan itu dan menjadikannya sebagai sarana untuk
saling memahami, tepo seliro dan toleransi, yang akhirnya akan melahirkan persatuan dan
saling mencintai.
Pada kenyataan, ditengah masyarakat Poso dengan berbagai perbedaan tersebut
yang akhirnya menjadi sumbu pemicu terjadinya konflik horisontal berkepanjangan,
relasi sosial dan harmoni sosial yang dulunya terbangun dengan indahnya akhirnya
terkoyak yang menyebabkan masyarakat hidup terkotak-kotak sesuai dengan kelompok
masing-masing sesuai dengan agama dan kelompok mereka. Ketika konflik selesai
masyarakat Poso kembali diperhadapakan dengan situasi pasca konflik. Masyarakat hidup
1 Arie Jan Plaisier, Manusia, Gambar Allah, Terobosan-terobosan dalam Bidang Antropologi
Kristen ( Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2002), 103.
76
dengan realitas yang baru, hidup dengan dendam, trauma, ketakutan dan hilangnya rasa
kepercayaan antar komunitas, sehingga diperlukan kembali revitalisasi dalam relasi sosial
dan harmoni sosial yang menuju kepada cita-cita bersama yaitu terciptanya perdamaian
sejati dimana revitalisasi tersebut bersumber dari dalam masyarakat Poso sendiri yaitu
sintuwu maroso.
Sintuwu maroso sebagai kearifan lokal masyarakat Poso dapat menjadi sebuah
sarana untuk menciptakan perdamaian yang mengatasi sumber-sumber konflik dan akar-
akar kekerasan di masyarakan Poso. Pendekatan sintuwu maroso sebagai sarana
perdamaian mengarahkan kepada perdamaian untuk mencapai kesejahteraan,
kemakmuran, melalui pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dasar dalam hidup
bermasyarakat yang akan mendorong kepada perdamaian berkelanjutan di tanah Poso.
Melihat kenyataan yang ada penulis mencoba menganalisa dan mengupas masalah
tersebut dengan bantuan teori konflik dan perdamaian. Maka ada suatu kenyataan
menarik yang akan diperhatikan secara seksama. Dengan teori konflik memberikan
penjelasan bahwa ada berbagai penyebab konflik dan fungsi konflik baik secara positif
maupun negatifnya. Selain itu, teori konflik juga memberikan bantuan untuk lebih lagi
menajamkan analisa terhadap pencapaian perdamaian. Apabila dihubungkan dengan data
dilapangan, maka ini merupakan suatu kenyataan bahwa beberapa sumber yang
menyebutkan bahwa ada peristiwa-peristiwa konflik masa lalu yang tak terselesaikan.
Masalah yang tak terselesaikan ini menjadi referensi tertentu ketika akan merumuskan
kembali sebuah perdamaian berkelanjutan.
A. Penyebab Konflik Poso
Dengan melihat beberapa analisa terhadap konflik Poso, dapat dikatakan bahwa
penyebab konflik Poso adalah berasal dari dalam sendiri (internal) dan bukanlah pihak
77
luar. Konflik Poso sangat berkaitan dengan kompetisi elite lokal yang ingin memiliki
kekuasaan. Dengan motivasi mendapatkan kekuasaan para elite lokal bersaing untuk
mendapat jabatan dalam pemerintahan yang dapat mewakili komunitasnya atau agama
tertentu baik itu Kristen maupun Islam, pihak yang kalah tidak menerimanya, sehingga
menimbulkan kekecawaan lebih spesifik lagi, ada kelompok elit agama tertentu karena
tidak puas dalam perebutan jabatan dan kekuasan di Poso sehingga mengaitkan kekalahan
tersebut dengan masalah agama. Di samping itu, telah ada sebelumnya ketimpangan-
ketimpangan yang terjadi di sana. Dari keyataan ini jelas sekali bahwa yang berkonflik di
Poso bukanlah rakyat biasa melainkan elit politik lokal atau struktural yang bermain dan
memperebutkan kekuasaan. Ketika konflik menyentuh tataran agama yang sebagai dasar
keyakinan, maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi. Karena hal semacam itu, sangat
mudah memicu konflik yang berkepanjangan. Sehingga, konflik yang terjadi di Poso
tampak seperti konflik antaragama yang menimbulkan dendam antarumat beragama.
Meskipun konflik Poso adalah konflik kriminal, namun esensi konflik di Poso adalah
konflik Politik. Konflik kriminal hanya sebagai pemicu untuk mengawali konflik politik
yang telah diskenariokan. Jadi, dalam konteks ini konflik diciptakan untuk memperoleh
tujuan-tujuan tertentu.
Beberapa penyebab di atas, bisa dianalisa bahwa ada hegemoni atau sikap untuk
mau mendominasi. Hegemoni merupakan istilah lain dari dominasi dan dalam konteks
permasalahan, bisa dikatakan bahwa ada sekelompok elit yang mencoba untuk
mempengaruhi semua sistem dan tatanan dalam masyarakat demi untuk kepentingan
kelompoknya sendiri. Menurut analisa penulis, hegemoni tentunya menciptakan rasa
tidak aman bagi orang lain, oleh karena itu selalu ada tindakan-tindakan yang melawan
hal ini. Inilah penyebab terjadinya permasalah dalam kehidupan bermasyarakat pada
78
umumnya dan terkhusus pemicu konflik Poso. Ada hegemoni maka, pasti akan ada
resistensi. Ini merupakan realita yang sangat fundamental.
Dengan terjadinya konflik Poso yang melibatkan dua komunitas masyarakat
menyebabkan konstruksi sosial yang dibangun oleh para leluhur sejak dahulu kala hancur.
Konstruksi sosial yang dimaksud adalah nilai-nilai kemasyarakatan yang diperjuangkan
oleh para leluhur sejak dahulu kala karena pelaksanaan kebiasaan-kebiasaan hidup
bersama dalam kebudayaan dan masyarakat.
B. Kohesi dan Solidaritas Sosial
Konflik Poso merupakan realita yang sulit untuk dihilangkan dan sangat kecil
kemungkinan untuk bisa ditiadakan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal penting yang
perlu di lihat di sini adalah konflik dan fungsi sosialnya. Seperti yang diusulkan oleh
Coser, bahwa konflik dengan lingkungn sekitar akan menguatkan kohesi internal sebuah
kelompok dan meningkatkan sentralisasi.2 Dalam konteks konflik Poso, konflik tersebut
mempererat kohesi dalam satu komunitas. Artinya bahwa, konflik berfungsi untuk
mengeraskan atau mengencangkan suatu kelompok yang tersusun secara longgar. Di
dalam suatu komunitas yang tampak terpecah-pecah, konflik dengan komunitas lain dapat
memulihkan inti pemersatunya.3 Dari proses mengencangkan posisi yang longgar ini,
maka muncul juga atau terciptalah sebuah solidaritas yang baru dalam kelompok masing-
masing. Bisa dikatakan sebelumnya tidak ada solidaritas, maka setelah konflik muncul
solidaritas karena latar belakang kepentingan yang sama.
Dalam pandangan yang seperti itu maka Coser mencoba memetakkan fungsi
konflik sosial yaitu dalam masyarakat A atau B mengalami konflik dan konflik ini
2 Lewis Coser, The Function Of..., 88.
3 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 457.
79
kemudian menciptakan masyarakat yang menyatu secara penuh atau utuh tanpa ada lagi
pemisahan. Ini berfungsi juga untuk mengantisipasi bahaya lawan yang menyerang dari
masyarakat lain. Bisa dikatakan konflik yang akhirnya merapatkan hubungan masyarakat
yang sebelumnya longgar. Biasanya yang menjadi mediator adalah hal-hal intern beserta
dengan orang dalam masyarakat itu sendiri bukan orang luar. Hal-hal intern seperti
budaya lokal atau kearifan lokal serta tradisi-tradisi yang sudah dikonstruksi oleh
masyarakat sejak dahulu kala dan juga ikatan kekeluargaan, kasus konflik di Poso adalah
kesamaan agama. Ini artinya kohesi yang dimaksud oleh Coser tidak terbatas pada proses
merapatkan hubungan yang longgar antara kelompok masyarakat melainkan lebih dari
pada itu, sub-sub masyarakat pun terbawa gelombang itu. Apabila itu yang dimaksud oleh
Coser, maka pada aras ini yang berpeluang kuat menjadi mediator sudah tentu adalah para
pemimpin komunitas, solidaritas keagamaan, dan kearifan lokal yang ada.
Namun, pada aras ini Coser tidak membayangkan bagaimana proses mediasi yang
terjadi apabila ketiga mediator di atas kemudian menjadi hilang ketika konflik terjadi.
Oleh karena itu, teori konflik Coser tentang kohesi dan Solidaritas masing-masing
kelompok ada betulnya juga. Coser bermaksud mengatakan bahwa konflik akan
membangun solidaritas dalam satu masyarakat secara penuh. Hal ini menjadi berbeda
ketika dalam satu masyarakat terdapat dua kelompok yang terpecah-pecah karena latar
belakang agama yang berbeda. Komunitas Kristen dan Islam berada dalam satu
masyarakat yakni, masyarakat kabupaten Poso. Apabila ada dua komunitas yang dalam
satu masyarakat yang saling berkonflik, maka akan terjadi kohesi dan solidaritas yang
penuh namun hanya penuh dalam komunitas tertentu saja bukanlah ada dalam masyarakat
kabupaten Poso, oleh karena itu, sifat kohesi dan solidaritas ini akan menjadi parsial. Ini
disebut parsial karena solidaritas dan kohesi yang dibangun hanya akan ada dalam sub-
sub kelompok dalam satu masyarakat penuh. Masyarakat di kabupaten Poso yang terbagi
80
menjadi dua komunitas, akan berada dalam komunitasnya masing-masing, berinteraksi
dan melaksanakan kehidupan gotong royong dengan komunitas mereka sendiri.
Masyarakat kabupaten Poso pada masa sebelum konflik merupakan masyarakat
yang satu. Coser dalam beberapa pandangannya memang tidak mendefinisikan
masyarakat itu seperti definisi-definisi para tokoh sosiolog lainnya, namun menurut dia
konflik disebabkan oleh pencarian sumber daya yang langka oleh beberapa orang yang
memiliki kepentingan dan tujuan yang sama. Oleh karena itu, bisa ditafsirkan yang
dimaksud Coser dengan istilah masyarakat adalah orang-orang dengan tujuan yang sama.
Namun, perlu juga kita melihat bahwa masyarakat di kabupaten Poso itu ada didalamnya
satu kesatuan yang mengikat, sedangkan dalam kedua komunitas masyarakat di atas
sudah tidak ada lagi yang mengikat.
Konflik akan membuat satu komunitas yang sebelumnya tidak saling
berkomunikasi akan saling berkomunikasi dan saling berinteraksi kemudian membuat
konsensus bersama demi mempertahankan dan memproteksi diri dari ancaman komunitas
lain. Bisa dikatakan sikap menutup diri dan saling mencurigai yang ada sebelumnya
hilang seketika dengan munculnya konflik. Dengan demikian konflik bukan saja memiliki
dampak yang negatif, namun konflik bisa menjadi penentu relasi antar anggota-anggota
dalam satu komunitas untuk saling berkomunikasi. Hal ini bisa menjadi tren positif dan
juga tren negatif, disebut tren positif karena konflik membantu perubahan dalam suatu
komunitas dan bahkan menjadi mediator relasi yang akurat bagi anggota-anggota
komunitas yang sebelumnya jarang, sukar bahkan tidak pernah berinteraksi sama sekali.
Akan tetapi dalam tren negatif konflik akan bertahan menjadi lama karena perpecahan
atas keseluruhan masyarakat, bahwa masyarakat ada dalam pertentangan yaitu setiap
81
komunitas ingin berdiri sendiri karena dengan berdiri sendiri mereka tidak di kuasai oleh
orang lain. Hal inilah yang tidak di singgung oleh Coser.
Berkaitan dengan masyarakat Poso terutama sepintas menyangkut konflik dan
kekhasan umum masyarakat komunal yang terikat ciri khas kekerabatan atau ciri
kolektifitas hubungan yakni sintuwu maroso, maka dapat dikatakan bahwa nilai-nilai
sintuwu maroso merupakan salah satu faktor pemicu bahwa konflik akan bertahan lama,
jika nilai sintuwu maroso tersebut hanya menjadi pengikat satu komunitas saja, sehingga
komunitas tersebut akan mempertahankan dan memproteksi diri dari ancaman komunitas
lain. Tetapi bila nilai sintuwu maroso menjadi perekat antara dua komunitas yang bertikai
tersebut, maka akan tercipta interaksi sosial dan pembentukan struktur sosial yang peka
konflik antar komunitas. Dengan demikian maka konflik akan cepat teratasi dan menuju
kearah perdamaian.
C. Konflik yang realistik dan non realistik di Poso
Melihat latar belakang konflik di Poso, itu merupakan konflik dengan berbagai
kepentingan dan tujuan-tujuan beberapa elit politik. Dari sini bisa dikatakan konflik ini
masih merupakan konflik yang realistik. Setiap konflik sosial dalam masyarakat menurut
Coser bersifat realistik apabila ada kepentingan-kepentingan yang mendasari semua itu.
Ini real karena individu yang berusaha untuk mencari kekuasaan yang menurut Coser
bersifat langka. Meskipun demikian, ini masih konflik yang bersifat realistik karena
adanya pembenaran bahwa konflik sarat dengan kepentingan-kepentingan dan tujuan-
tujuan. Menurut analisa penulis, obyek ini sudah digenggam oleh beberapa individu
tersebut ketika mereka dipercaya untuk memimpin kelompok masing-masing. Saat
mereka sudah menggenggam kekuasaan dan penghargaan dari anggota kelompoknya, di
sini konflik yang realistik sudah berakhir. Namun, seiring waktu berjalan, individu-
82
individu yang berkuasa ingin mendominasi malahan memperkeruh keadaan dengan
melibatkan agama. Pada posisi seperti ini, konflik yang dahulunya realistik menjadi non
realistik, karena konflik sudah berubah obyek dan tidak lagi pada obyek asalinya yakni,
perebutan kekuasaan. Hasil dari konflik non realistik ini, semua masyarakat baik itu
masyarakat dalam komunitas Kristen maupun dalam komunitas Islam terus berkonflik
tanpa ada obyek konflik seperti semula.
Konflik ini berubah menjadi konflik yang bersifat non realistik karena konflik
yang berlarut-larut dan mamakan waktu yang panjang tanpa ada tujuan yang dicapai. Ini
menjadi non realistik karena komunitas Kristen hanya ingin berkonflik dengan komunitas
Islam atau pun sebaliknya, tanpa ada obyek konflik yang jelas.
D. Katup Penyelamat Dalam Konflik Poso
Ketika konflik Poso terjadi, luapan permusuhan antara komunitas Kristen dan
komunitas Islam di Poso sangatlah besar sehingga konflik Poso menjadi berkepanjangan
dan telah memakan korban yang sangat banyak baik dari komunitas Kristen maupun
Islam. Untuk mencegah hal tersebut bertambah larut, Coser kemudian menjelaskan suatu
mekanisme penanganan konflik sosial tersebut, yaítu dengan menggunakan katup
penyelamat. Katup penyelaınat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan
permusuhan yang tanpa itu hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan
akan semakin tajam. Katup penyelamat mampu mengakomodasi luapan permusuhan
menjadi tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Katup penyelamat ( savety
Valve) secara singkat dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan
permusuhan”, atau dapat disebut sebagai mediator. Dengan adanya katup penyelamat
(mediator) tersebut, kelompok-kelompok yang bertikai dapat mengungkapkan penyebab
dan munculnya konflik tersebut. Katup penyelamat mencakup juga biaya bagi sistem
83
sosial maupun bagi individu untuk mengurangi tekanan dan menyempurnakan sistem
untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan
dalam diri individu.
Dalam konflik Poso menurut analisa penulis cara-cara penanganan konflik atau
katup penyelamat yang digunakan untuk meredakan konflik baik secara rujuk Sintuwu
Maroso, Deklarasi Malino, Aliansi Kemanusiaan yang diprakarsai oleh Pemerintah baik
daerah maupun pusat belum maksimal.4 Dalam Rujukan Sintuwu Maroso rnengundang
reaksi yang kurang bagus dikalangan masyarakat Poso dan juga masih lemahnya
efektifitas penyelesaian konflik karena tidak dilibatkanya tokoh-tokoh agama, etnis
pendatang yang juga cukup banyak berdomisi di Kabupaten Poso. Keberhasilan
penyelesaian konflik melalui Deklarasi Malino dapat dikatakan belum cukup efektif ini
disebabkan kesepakatan konflik tidak melibatkan masyarakat yang berkonflik dan korban
konflik melainkan hanya para elit saja atau tokoh-tokoh agama. Di samping itu dalam
Deklarasi Malino tidak menyelesaikan akar dari permasalahan konflik hal inilah yang
diungkapkan oleh Pdt. Damanik:
“ Kita di minta untuk saling memaafkan akan tetapi siapa yang harus kita
maafkan? Di sini kita sama-sama korban baik itu dari komunitas Kristen maupun
komunitas Islam.” 5
Penyelesaian konflik dengan Aliansi kemanusiaan juga belum berjalan maksimal.
Pada awalnya Aliansi Kemanusian adalah kebersamaan dua tokoh kharismatik yang
sangat berpengaruh di Poso pada masa konflik, yakni, H. Adnan Arshal dan Pdt. Rinaldy
Damanik yang mewakili komunitas Islam dan Kristen. Kebersamaan dua tokoh ini
sebagai simbol kebersamaan antara komunitas Islam dan Kristen. Akan tetapi Aliansi
Kemanusian ini belum menemukan bentuk yang baku. Kedua komunitas masih terkesan
4 Lihat Bab III.
5 Wawancara dengan Pdt. Damanik pada tanggal 27 Januari 2014.
84
sangat hati-hati. Bahkan tak jarang terjadi perbedaan persepsi dalam menyingkapi
perkembangan di Poso. Perbedaan itu ditindak lanjuti oleh kelompok Kristen dengan
penyataan pengunduran diri dari Aliansi Kemanusiaan.
Melihat kenyataan ini dapat dikatakan penyelesaian konflik Poso belum berpihak
atau belum tepat sasaran kepada masyarakat yang secara langsung mengalami konflik
tersebut, memang konflik Poso secara langsung telah selesai tetapi pasca konflik upaya
perdamaian yang telah ditempuh masih saja terjadi penembakan misterius, pembunuhan,
mutilasi, bom atau teror bom secara sporadis, ditambah lagi pola penanganan konflik di
Poso lebih banyak mengunakan penanganan hukum semata-mata, sehingga kondisi ini
tidak memberi ruang keadilan pada apa yang dialami oleh masyarakat. Di samping itu
terjadi dugaan korupsi dana kemanusiaan korban konflik Poso, dapat dilihat masih banyak
keluarga-keluarga pengungsi yang belum menerima dana jaminan hidup (JADUP) dan
bekal hidup (BEDUP), dan kalaupun sudah menerima pasti ada pemotongan.
Ketidakberpihakan penyelesaian konflik Poso terhadap masyarakat yang
mengalami konflik secara langsung inilah yang mengakibatkan berbagai masalah ketika
masyarakat masuk dalam kondisi Pasca konflik. Masyarakat Poso harus hidup untuk
mengingat bagian luka-luka serta kepahitan ketika konflik terjadi sehingga kondisi ini
mengharuskan masyarakat Poso memilih untuk mengendapkan ingatan individu mereka
mengenai konflik. Bersamaan dengan hal ini maka secara sistematis tetapi tidak disadari,
masyarakat Poso akan mengidentifikasikan diri mereka dalam komunitasnya. Keadaan ini
mempersulit masyarakat untuk memulihkan diri baik secara fisik maupun psikologis.
Dalam endapan ingatan itu, konflik masih sangat rentan terjadi kembali.
Untuk kembali membangkitkan semangat kebersamaan dalam seluruh lapisan
dalam masyarakat maka katup penyelamat yang sudah dilakukan pada penyelesaian
85
konflik harus dirumuskan kembali agar katup penyelamat tersebut benar-benar tepat
sasaran kepada seluruh masyarakat sehingga mencapai perdamaian yang menyeluruh bagi
masyarakat Poso. Menurut penulis katup penyelamat tersebut adalah kearifan lokal dari
masyarakat Poso sendiri yaitu sintuwu maroso. Sintuwu maroso sebagai katup
penyelamat adalah sebuah mediator yang datang dari dalam diri masyarakat Poso yang
dipercaya mampu untuk menangani masalah-masalah yang belum teratasi akibat konflik
hal ini dikarenakan nilai-nilai dalam sintuwu maroso adalah sebuah nilai kebersamaan
yang datang dari diri masyarakat Poso sendiri.
E. Sintuwu maroso Pasca Konflik: Menuju Perdamaian Sejati
Mengurai kembali konflik yang pernah terjadi di masyarakat Poso, kecenderungan
mencari model penyelesaian yang datang dari luar. Dalam banyak kasus, model
penyelesaian impor semacam ini cenderung seragam. Diawali dengan penghentian
konflik melalui cara-cara memaksa oleh pihak keamanan kemudian dilanjutkan dengan
penetapan serangkaian aturan termasuk sanksi bagi kedua belah pihak agar tidak
mengulangi konflik. Pola semacam ini biasanya hanya efektif untuk menghentikan
konflik kekerasan dalam waktu singkat tetapi kurang bisa menjamin bahwa konflik tidak
akan muncul lagi di kemudian hari. Proses penyelesaian berlangsung secara ad hoc dan
parsial serta kurang menyentuh akar persoalan konflik yang sebenarnya.
Kelemahan model penyelesaian seperti di atas, selain hanya bersifat sementara
yang kurang dapat menjamin penghentian konflik secara permanen, juga kerap
mengabaikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa. Dengan model yang
memaksa, jelas tidak bisa menghilangkan rasa dendam di antara pihak-pihak yang
terlibat. Para elit yang bertugas menjadi penyelesai konflik yang karena berkeinginan
untuk segera mengakhiri konflik cenderung memihak kepada mereka yang kuat. Alih-alih
86
menjadi mediator yang mesti bertindak netral dan adil, elit kerap terjebak mengikuti
kemauan kelompok mayoritas. Akibatnya, acap terjadi apa yang disebut victimizing
victim (mengorbankan korban). Korban yang hendak mencari keadilan malah digiring
menjadi kelompok yang harus mengalah dan dipaksa mengikuti kehendak kelompok
mainstream.6
Salah satu hal yang penting tetapi luput dari perhatian dalam penanganan konflik
adalah melalui pendekatan “dari dalam” masyarakat sendiri. Masyarakat sebetulnya
memiliki kemampuan dan sensivitas yang disebut “kearifan lokal” dalam menjaga
kelangsungan dinamika masyarakat termasuk mengantispasi bahaya yang mengancam
dan menyelesaikan konflik. Memberdayakan kearifan lokal sebagai alternatif solusi
dalam penanganan konflik merupakan pendekatan budaya dalam menyelesaikan konflik.7
Kearifan lokal, menurut John Haba sebagaimana dikutip oleh Irwan Abdullah,8
“mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah
masyarakat yang dikenal, dipercayai dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang
mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat”. Setidaknya ada enam
signifikansi dan fungsi kearifan lokal jika dimanfaatkan dalam resolusi konflik dan
pembangunan perdamaian. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua,
elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan lintas kepercayaan. Ketiga
kearifan lokal tidak bersifat memaksa tetapi lebih merupakan kesadaran dari dalam.
Keempat, kearifan lokal memberi warna kebersamaan sebuah komunitas. Kelima,
kemampuan local wisdom dalam mengubah pola fikir dan hubungan timbal balik individu
dan kelompok dan meletakkannya di atas common ground. Keenam, kearifan lokal dapat
6 Wawancara dengan Pdt.damanaik pada tanggal 27 Januari 2014.
7 Irwan Abdullah, dkk. Ed, Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), 7. 8 Ibid., 27.
87
mendorong proses apresiasi, partisipasi sekaligus meminimalisir anasir yang merusak
solidaritas dan integrasi komunitas.
Menurut Galtung “Studi perdamaian adalah kerja untuk mengurangi kekerasan
dengan cara damai.” Lebih lanjutnya ia katakan bahwa studi untuk perdamaian dapat
dibagi dalam tiga kategori, yakni studi perdamaian dengan empiris/empirisme
(perbandingan sistematik antara teori dan pengalaman empirik), studi perdamaian
kritis/kritisisme (perbandingan sistematis antara realita empiris/data dengan nilai-nilai
yang ada), dan studi perdamaian konstruktif/konstruktisme (perbandingan sistematis
antara teori dengan nilai, sambil berusaha memadukan antara teori dan nilai-nilai. Jalan
untuk membangun perdamaian harus melewati jalan panjang dan mendaki serta meminta
pengorbanan dari semua pihak sehingga perlu melibatkan sebayak mungkin orang dan
pihak-pihak terkait dalam proses pencapaian perdamaian tersebut. Kehadiran dan
keterlibatan banyak pihak adalah wujud sebuah masyarakat yang terkoyak yang akan
dirajut kembali dengan cara mereka sendiri. Perlu dipahami bahwa perdamaian adalah
sebuah proses. Perdamaian bukanlah sebuah tujuan yang asbrak tetapi ia merupakan
sebuah proses, yang mesti diupayakan. Membangun perdamaian merupakan sebuah
pergerakan yang bersifat organik, yang tumbuh pada semua segmen masyarakat sehingga
proses perdamaian tidak dapat dibangun oleh para elit semata.
Pendekatan kearifan lokal sebagai cara mencapai perdamaian merupakan cara
untuk hidup, berpikir, merasakan, mengatur diri, dan membagi kehidupan bersama. Ini
merupakan faktor yang membuat orang untuk bersama-sama, memiliki pengalaman yang
sama tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, apa yang membuat mereka
menjadi seperti sekarang, dan pemahaman umum tentang kemana arah yang mereka akan
tuju. Biasanya hal ini diterapkan dalam simbol, ritual, gestur dan tradisi.
88
Penekanan kepada perdamaian yang selama ini terjadi di kabupaten Poso masih
terbatas pada penghentian konflik sehingga perlu dikembangkan kearah pembangunan
perdamaian. Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah
yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian,terutama
dalam konteks pemenuhan hak akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk
mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke
arah perdamaian jangka panjang di Poso. Apakah masyarakat Poso memiliki alternatif
"perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian perdamaian negatif yang
berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan perdamaian positif yang disertai
partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya. Membangun perdamaian
yang positif yang ditandai dengan partisipasi dalam nilai-nilai demokrasi, menghormati
kebutuhan manusia, hak asasi manusia dan keamanan manusia. Tujuan utama dan proses
pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial
yang telah rusak dan lebih jauh lagi, dengan memperhatikan aspek-aspek politik,
ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dalam pembangunan
perdamaian tersebut ada berbagai cara yang harus di tempuh di antaranya adalah dengan
melibatkan sintuwu maroso sebagai kearifan lokal masyarakat Poso yang dikenal terbukti
mampu mempertahankan harmoni sosial. Dengan mempertimbangkan pada norma-norma
yang telah terinternalisir di kalangan masyarakat, maka anggota masyarakat akan
mempertahankan norma yang dimilikinya secara kuat. Betty Reardon menyatakan “Jika
kita benar-benar ingin damai, kita akan mempersiapkan itu dengan mendidik semua
rakyat kita tentang apa itu perdamaian, kendala yang menghambat itu, cara yang mungkin
untuk mencapai itu, apa yang kita perlu pelajari untuk mengejar perdamaian, dan yang
89
paling penting dari semuanya adalah perubahan yang harus kita bawa dalam diri,
masyarakat dan budaya kita”.9
Sintuwu maroso dilambangkan dengan rumah adat, atau Lobo,10
sesungguhnya
adalah perekat budaya yang paling efektif untuk mempersatukan masyarakat yang berada
di tanah Poso dalam suatu komunitas yang damai. Sangat mungkin banyak dari antara
masyarakat di Poso tidak lagi menganggap masalah adat dan budaya sebagai sesuatu yang
penting untuk merekatkan kehidupan mereka. Sikap eklusif memang tidak dianjurkan
yang dapat membuat masyarakat menjadi terkotak-kotak namun perlu adanya “sharing”
dalam rangka proses pembelajaran sehingga masyarakat Poso lebih saling memahami satu
dengan yang lainnya. Sosialisasi pemahaman lambang pemersatu sintuwu maroso harus
lebih diintensifkan sehingga masyarakat makin menyadari bahwa bersatu dalam damai
jauh lebih berguna ketimbang hidup dalam keterpisahan yang menderita akibat
kerusuhan.
Sesungguhnya hakekat yang terkandung dalam filsafat Sintuwu telah berurat
berakar dalam komunitas masyarakat Poso bahkan dalam kehidupan sehari-hari dan
sudah merupakan kepribadian masyarakat di daerah ini, saling memberi dan menerima
baik dalam bentuk materi, tenaga, dukungan moril yang semuanya dilakukan secara
spontanitas dan tanpa pamrih serta merupakan suatu kewajiban sosial. Sistem kekerabatan
9 Betty A. Reardon, Education for a Culture of Peace in a Gender Perspective ( France :
UNESCO, 2003). 10
Lobo adalah nama dari sebuah bangunan utama terbesar dalam setiap pusat pemerintahan
zaman purbakala di daerah Pamona, yang multi fungsi. Bangunan yang bertiang dengan ketinggian ± 2-2,5
meter dari permukaan tanah itu sedikitnya seluas 20 x 20 meter. Disanalah pusat pemerintahan, pusat
pemujaan (agama), pusat perkumpulannya rakyat dalam suatu pagelaran kesenian, tempat bermusyawarah
atau pesta dan lain-lain. Segala sesuatu yang diselenggarakan secara bersama akan di pusatkan di Lobo.
Pesta utama yang akan dipusatkan di Lobo ialah Susa mPoleleka yaitu pesta dalam rangka
mengumpulankan tulang-tulang orang yang yang meninggal karena perang, kena penyakit menular dan
lain-lain. Yang kedua adalah pesta penyambutan pahlawan menang perang. Lobo merupakan mempunyai
bentuk persegi empat dan mempunyai tiang penyangga utama di tengah. Bangunan ini sangat berarti bagi
masyarakat pamona purba, karena hampir setiap bagian bangunan tersebut ada nama, berikut
peruntukannya. Masing-masing peruntukan dibagi lagi ke dalam jenis pesta menyangkut pesta apa yang
sedang digelar.
90
tersebut bukan hanya menjadi milik dari masyarakat asli Poso akan tetapi juga di terima
oleh masyarakat Poso pendatang yang bukan berasal dari suku Pamona. Bahkan kerap
dilakukan secara bersama-sama dalam kehidupan bermasyarakat. Sintuwu merupakan
suatu keinginan tulus untuk hidup berdampingan memikul suka duka bersama. Pada
dasarnya kesatuan hidup dikalangan masyarakat Poso diikat oleh suatu hubungan sosial
yang dikenal dengan sintuwu maroso tersebut sebagai dasar pijakan dalam hubungan
interaksi antar komunitas masyarakat Poso bahkan juga dasar pijakan dalam hubungan
antar desa. Filosofi tersebut berlaku hingga kini yaitu sesudah terjadinya konflik
horisontal dikabupaten Poso, filosofi tersebut tetap di anut dan tidak pernah pudar.
Bahkan untuk menunjukan kekuatan dari sintuwu maroso dalam situasi dimana karena
konflik terjadi segregasi, dimana masyarakat terpisah, terpencar mengungsi dan tinggal
pada komunitas dengan agama yang sama. Misalnya orang-orang Kristen akan tinggal di
daerah Kristen demikian juga sebaliknya, namun ketika ada upacara perkawinan atau
kematian untuk menunjukan rasa moSintuwu tidak peduli sekalipun berbeda agama dalam
hubungan kekerabatan pastilah akan ikut mengambil bagian untuk moSintuwu. Sekalipun
harus memasuki daerah yang dimana tinggal suatu komunitas yang berbeda. Budaya ini
merupakan warisan turun temurun tidak ada sanksi yang diatur suatu lembaga adat bagi
yang tidak melakukan hal itu yang ada hanyalah sanksi sosial yang harus diterima dari
masyarakat. Tetapi tingginya nilai dari sintuwu maroso sehingga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya terutama nilai kebersamaan dalam persaudaraan sangat di
junjung tinggi oleh para pendatang dan terutama masyarakat Poso secara umum.
Ungkapan sintuwu maroso di formulasikan oleh oleh almarhum T. Magido pada
tahun 1920-an pada waktu itu beliau sebagai penerjemah Alkitab pertama dalam bahasa
Pamona. Kemudian di populerkan oleh camat Wilson Magido pada tahun 1980-an. Tetapi
pada dasarnya itu sudah menjadi pandangan hidup orang Poso. Sintuwu maroso bukan
91
slogan juga bukan dokrin, namun wujud dari budaya orang Pamona dalan realitas
kehidupan sehari-hari dan bahkan sudah menjadi kepribadian orang Pamona yang
dikalimatkan dengan ungkapan Sintuwu maroso, Tuwu simagi (solidaritas), Tuwu
malinuwu (hidup bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain).11
Sintuwu maroso tidak hadir sebagai produk budaya yang instan, melainkan ia
tumbuh dan berkembang seirama dengan tumbuh dan berkembangnya masyarakat Poso
itu sendiri. Sehubungan dengan kearifan lokal sintuwu maroso, maka dalam sintuwu
maroso terdapat nilai-nilai yang harus ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat
agar sintuwu maroso dapat memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan
perdamaian. Nilai-nilai yang terdapat dalam kearifan lokal sintuwu maroso dapat dilihat
sebagai berikut: Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu metubunaka yakni menjunjung
tinggi kehidupan untuk saling menghormati dan saling menghargai terutama dalam
kehidupan antar individu, kehidupan kekerabatan, kehidupan antar masyarakat dan
lembaga-lembaga pemerintahan berdasarkan tatakrama dan adat istiadat setempat,
Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu mombepatuwu yakni dalam hidup baik individu
maupun kelompok ada sikap kepedulian terutama didalam menjalankan kesempatan
untuk hidup baik dalam membuka lapangan kerja, membantu yang berkekurangan dan
sebagainya, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu siwagi merupakan suatu kehidupan yang
dibangun berdasarkan prinsip satu kesatuan persaudaraan antar sesama yang utuh dan
kokoh, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu simpande raya yakni adanya sikap saling
menerima dan saling mengakui perbedaan dalam keadekaragaman etnis, budaya dan
keyakinan sebagai komunitas masyarakat kabupaten Poso. Sintuwu maroso dalam bentuk
Tuwu sintuwu raya adalah menjunjung tinggi adanya persatuan dan kesatuan baik dalam
komunitas maupun di luar komunitasnya, Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu
11
Alpha Amirrachman, Revitalisasi Kearifan Lokal..., 259.
92
mombepomawo adalah sikap saling menyayangi tanpa melihat latar belakang, dan
Sintuwu maroso dalam bentuk Tuwu Malinuwu adalah kehidupan yang dibangun
berdasarkan prinsip bersatu padu, saling menopang dan saling menghidupi satu dengan
lainnya demi keberlangsungan hidup secara utuh.
Keseluruhan nilai-nilai yang terkandung dalam sintuwu maroso adalah nilai kerja
sama, menghormati, kebersamaan, musyawarah, empati, peduli dan persatuan. Nilai-nilai
yang terkandung tersebut merupakan bukti bahwa kearifan lokal sintuwu maroso mampu
menciptakan perdamaian yang sejati. Melalui sintuwu maroso semua anggota masyarakat
akan membenamkan ego etnis, ego agama, ego ras, dan ego kelompok, dengan
menyatukan mindset-nya menjadi “kita”, dan bukan “saya” atau “mereka”.
F. Tantangan Dalam Pencapaian Perdamaian Sejati
Kabupaten Poso kini memasuki masa pasca konflik setelah tercapainya
kesepakan damai antara dua kominitas yang bertikai. Namun, di tengah situasi membaik
itu pertanyaan muncul sehubungan dengan berbagai masalah dan tantangan masih
dihadapi untuk menuju situasi perdamaian ke depan setelah sekian lama dilanda konflik.
Betulkah masyarakat di daerah pasca konflik ini telah menemukan kehidupannya yang
baru? Apakah masalah-masalah menjadi sumber konflik dan dampak konflik dimasa lalu
telah betul-betul teratasi? Kemana arah dari perkembangan terkini pasca konflik? Apakah
betul-betul menuju konsolidasi perdamaian dan demokrasi ataukah masih menghadapi
masalah-masalah yang mengancam daerah ini sehingga konflik bisa kembali terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan disini untuk memastikan bahwa memang
pemulihan pasca konflik benar masih berlangsung sehingga perdamaian tumbuh dan terus
berkembang di daerah ini.
93
Memasuki masa pasca konflik sesungguhnya masih menghadapi berbagai
tantangan perdamaian bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah
konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian karena masih
lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam
mengatasi berbagai potensi konflik terpendam, ketegangan struktural dan berbagai
hambatan perdamaian dihadapi masyarakat pasca konflik. Membangun kembali
masyarakat pasca konflik umumnya masih dalam kondisi perdamaian yang masih rentan
sehingga konflik mudah kembali muncul ke permukaan. Tantangan dihadapi terutama
bersumber dari masih adanya kesenjangan perdamaian, yaitu kesenjangan antara tujuan
perdamaian ideal diharapkan dan realisasi perdamaian nyata dicapai di masyarakat. Untuk
memastikan perdamaian berlangsung secara berkelanjutan, dengan itu maka penting
untuk dilakukan upaya-upaya mengatasi dan mengisi kesenjangan perdamaian ini, baik
pada level kebijakan maupun dalam praktik pembangunan perdamaian.
Kesenjangan perdamaian ini menurut analisa penulis disebabkan karena
masyarakat belum terbebas dari berbagai kekerasan. Konsep perdamaian dalam definisi
Galtung lebih diartikan sebagai keadaan dimana tidak adanya kekerasan. Dan dapat
diartikan, bahwa perdamaian adalah jarak keadaan dari kekerasan menuju pada ketiadaan
kekerasan. Galtung menciptakan tiga tipe ideal kekerasan, yaitu kekerasan struktural,
kekerasan langsung dan kekerasan kultural. Tiga tipe kekerasan inilah yang akan
digunakan penulis dalam menganalisa tantangan dalam pencapaian perdamaian di tanah
Poso.
1. kekerasan struktural
ketidakadilan yang diciptakan oleh sistem yang menyebabkan manusia tidak
mampu memenuhi kebutuhan dasarnya merupakan konsep kekerasan struktural.
94
Kekerasan struktural menyebabkan tertindasnya manusia atau kelompok sosial sehingga
mengalami berbagai kesulitan untuk hidup. Tidak terpenuhinya hak-hak dasar dalam
hidup sebagai masyarakat pasca konflik menyebabkan masyarakat di Poso masih berada
dalam lingkaran kekerasan.
Kemiskinan pada dasarnya merupakan bentuk kekerasan struktural. Kemiskinan
bukan semata masalah ekonomi, sebagai persoalan rendahnya tingkat pendapatan.
Kemiskinan dalam pengertian sangat mendasar merupakan tidak adanya peluang-peluang
dan kebebasan dalam menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, sehingga memungkinkan
masyarakat mendapatkan fasilitas ekonomi dasar, pekerjaan, dan perlindungan keamanan.
Akan tetapi kondisi struktural di kabupaten Poso masih terlihat timpang. Masyarakat
tidak memiliki akses yang sama dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Hanya mereka
yang memiliki peluang-peluang dan kesempatan yang bisa menikmati kesejahteraan,
kebebasan, dan perlindungan keamanan.
Rasa aman merupakan kebutuhan sangat fundamental bagi kehidupan.
Terciptanya rasa aman akan menentukan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat
mengenai kesejahteraan, kebebasan. Rasa aman memungkinkan orang bisa berkerja,
mendapatkan sumber ekonomi, terbebas dari kemiskinan. Rasa aman atau tidak adanya
ancaman kekerasan juga memberikan peluang bagi kebebasan, untuk bebas dari represi
dan dominasi. Dari sudut kebutuhan mengenai keamanan masyarakat merasakan bahwa
keamanan tersebut belum bisa menjamin keberadaan masyarakat Poso hal ini disebabkan
karena masih adanya berbagai teror yang terus membuat masyarakat masih merasakan
kecemasan dan ketakutan. Tidak terpenuhinya kebutuhan keamanan ini memungkinkan
tidak bebasnya orang untuk berkerja untuk meraih kesejahteraan dan menimbulkan
95
ketidak percayaan kepada pemerintah karena terkesan melakukan pembiaran terhadap
teror-teror yang sering terjadi.
Disisi lain kekerasal struktural yang berlaku ditanah Poso adalah mengenai
masyarakat pengungsi yang sampai sekarang belum dapat kembali ke tempat asal mereka.
Pengungsi belum bisa menikmati kesejahteraan yang layak, seperti masih mendiami tanah
yang bukan milik mereka, masalah pekerjaan yang masih belum jelas dan masih banyak
lagi masalah lainnya. Memang secara umum hal tersebut bisa dinikmati oleh pengungsi
karena mereka berada di dalam komunitas mereka sehingga keamanan menjadi hal utama
walaupun pemenuhan hak-hak lain tidak berjalan dengan baik, bagi masyarakat
pengungsi asalkan bisa tidur dengan nyenyak itu sudah lebih dari cukup. Masih belum
teratasi masalah-masalah mengenai pengungsi membuat pemerintahan tanah Poso
dianggap gagal dalam pemenuhan kebutuhan dan hak-hak dalam hidup sebagian
masyarakat Poso bukan hanya gagal tetapi juga menciptakan kekerasan yang mengancam
keberlangsungan hidup.
Pemenuhan kebutuhan dasar adalah unsur fundamental dalam menciptakan
perdamaian. Kebutuhan dasar manusia memberi dampak terbentuknya proses sosial
damai dimana setiap anggota masyarakat menjadi mampu membangun relasi sosial
berbasis kerja sama. Proposisi ini tidak lepas dari fakta psikologi bahwa terpenuhinya
kebutuhan dasar, seperti pakan, papan, keamanan dan kesehatan akan menciptakan
perasaan tenang dan tentram. Sebaliknya, kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
adalah ancaman bagi eksistensi hidup.
2. kekerasan langsung
kekerasan langsung adalah tindakan yang menyerang secara fisik atau psikologis
seseorang secara langsung, dalam arti bahwa kekerasan yang terjadi kontak langsung
96
antara pelaku yang bertanggung jawab dan korban dan berakibat bagi korban. Kekerasan
langsung mengancam HAM, khususnya hak untuk hidup. Dalam masyarakat pasca
konflik di Poso kekerasan langsung masih sering dijumpai yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang mengatas namakan kelompok Santaoso.
Masih adanya aksi dan tindakan terror di Poso secara langsung yang dilakukan
oleh kelompok teroris Poso tersebut membuat kembali pertanyaan apakah Poso memang
sudah aman dan damai ataukah hanya seperti api dalam sekam? kelihatannya diatas sudah
aman dan damai akan tetapi masih ada tindakan-tindakan seporadis yang dilakukan oleh
sekelompok orang. Melihat kenyataan ini maka tidak menutup kemungkinan akan besar
pengaruhnya negatifnya terhadap hubungan dua kominitas yang telah berkonflik
berhubung dengan sikap jenuh bagi masyarakat karena aksi terorisme yang masih saja
berlangsung dan sepertinya kurang dapat diselesaikan. Sikap jenuh masyarakat ini dinilai
sebagai ketidakmampuan negara/pemerintah dalam mengatasi aksi terorisme di Poso.12
3. kekerasan kultural
kekerasan budaya adalah aspek-aspek dari kebudayaan, ruang simbolis dari
keberadaan masyarakat, jadi kekerasan budaya bukanlah hendak menyebutkan
kebudayaan sebagai keseluruhan. Kekerasan budaya tersebut di contohkan dengan agama
dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris dan formal (logis dan
matematis) yang kesemuanya bisa digunakan untuk menjustifikasi atau melegitimasi
kekerasan struktural dan langsung.
12
Salah satu sikap jenuh ini adalah didapati penulis ketika berada di Tentena. Saat itu terjadi
penembakan terhadap warga tangkura yang dilakukan oleh kelompok Santoso (lihat,
http://news.liputan6.com/read/2162076/kapolda-kejar-teroris-kelompok-santoso-penembak-mati-warga-
Poso), dari kejadian ini penulis mendengar ungkapan seorang bapak yang mengatakan “ternyata masih ada
teroris di Poso ini, ini aparat ini apa kerjanya? Lama-lama kalau begini torang mo buat cara-cara dulu saja
(melakukan aksi pembalasan dendam) ini sedangkan mau pigi kekebun saja orang jadi takut.”
97
Kekerasan budaya sering hadir dalam banyak relasi sosial masyarakat. Pada
masyarakat Poso misalnya bagaimana masyarakat beragama Islam sering kali di cap
dengan ungkapan sebagai teroris. Streotipe-streotipe seperti ini baru terjadi ketika konflik
melanda di wilayah Poso. Hal ini bukan tidak beralasan, Stereotipe muncul akibat masih
adanya kebencian, ketakutan dan kecurigaan. Masih adanya berbagai terror yang
membuat masyarakat Poso secara khusus komunitas kristen merasa bahwa dari komunitas
Islam masih ada pihak yang masih mengiginkan konflik terjadi walaupun hal tersebut
hanya dilakukan oleh sekelompok orang saja. Mengenai atribut-atribut muslim seperti
jenggot, gamis, peci/songkok dan sorban yang sering digunakan oleh seorang muslim
menjadi sebuah indikator mengenai keterlibatan mereka terhadap aksi radikal yang
banyak terjadi di Poso. Disisi lain pasca konflik Poso sebagian masyarakat memunculkan
fanatik agama yang sangat kental sehingga ketika berhadapan dengan komunitas yang
beda agama terlihat jelas sikap tidak bersahabat.
Sebagai kawasan pasca konflik wilayah Poso masih merupakan daerah yang
rentan konflik sekalis rentan perdamaian. Bukan hanya hanya karena masih belum
teratasinya akar konflik dan berbagai dampak konflik yang ada, tetapi juga masih lemah
dan tidak efektifnya upaya perdamaian yang ada. Melihat kekerasan yang terjadi pasca
konflik di Poso dapat dikatakan bahwa ketegangan – ketegangan yang terjadi di saat
konflik belum teratasi dengan baik. Sehingga pasca konflik di Poso masih menyisahkan
“Konflik terpendam” sehingga perdamaian yang masih sangat rentan tersebut bisa saja
dalam suatu waktu konflik Terbuka masih besar kemungkinan terjadi. Sintuwu maroso
yang merupakan kearifan lokal masyarakat Poso di yakini dapat menjadi salah satu solusi
dalam memperoleh perdamaian sejati dan memperkecil kemungkinan akan terjadinya
konflik kembali dikarenakan dengan kearifan lokal tersebut masyarakat Poso turut serta
untuk berpartisipasi langsung demi terwujudnya perdamaian.
top related