bab ii tinjauan pustaka - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/53047/37/bab ii.pdfsecara umum dampak...
Post on 07-Jan-2020
9 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Tentang Pestisida.
2.1.1. Pengertian Pestisida
Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh
atau mengendalikan berbagai hama. Kata Pestisida berasal dari kata pest
yang artinya Hama dan cida yang artinya pembunuh, jadi Pestisida artinya
Pembunuh Hama (Sudarno, 1988).
Pada penjelasan yang lebih luas, pestisida adalah semua zat kimia dan
bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk :
- Memberantas dan mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,
bagian-bagian tanaman atau hasil pertanian.
- Memberantas gulma (tanaman pengganggu).
- Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
- Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk.
- Memberantas atau mencegah hama-hama air.
- Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan atau
ternak.
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad renik dalam
rumah tangga, bangunan dan dalam alat pengangkutan.
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan
pengunaan tanaman, tanah atau air (Wudianto,1988).
7
2.1.2. Pengelompokan Pestisida
Pestisida secara umum dikelompokkan berdasarkan hama atau
penyakit sasaran, cara kerja, sifat fisik dan kandungan bahan aktifnya menjadi
beberapa kelompok :
a. Berdasarkan Hama atau Penyakit Sasaran :
1. Insektisida : Pestisida untuk mengendalikan serangga pengganggu.
2. Herbisida : Pestisida untuk mengendalikan tumbuhan
pengganggu/gulma.
3. Fungisida : Pestisida untuk mengendalikan jamur penyebab
penyakit tanaman.
4. Nematisida : Pestisida untuk mengendalikan nematoda /
cacing.
5. Akarisida : Pestisida untuk mengendalikan akarina / tungau.
6. Rodentisida : Pestisida untuk mengendalikan hama Tikus.
7. Pisisida : Pestisida untuk mengendalikan siput atau bekicot.
8. Bakterisida : Pestisida untuk mengendalikan bakteri pada
tanaman.
b. Berdasarkan Cara Kerja :
1. Pestisida Racun Kontak, berarti mempunyai daya bunuh setelah
tubuh jasad terkena sasaran.
2. Pestisida Fumigan, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad
sasaran terkena uap atau gas.
3. Pestisida Sistemik, berarti dapat ditranslokasi melalui jaringan
tanaman. Hama akan mati apabila mengisap atau memakan jaringan
tanaman.
4. Pestisida Lambung, berarti mempunyai daya bunuh setelah jasad
sasaran mekmakan pestisida.
8
c. Berdasarkan Sifat Fisik :
1. Cairan Emulsi, Pestisida golongan ini berbentuk cairan emulsi
karena berupa cairan perekat yang dapat dicampur dengan air dan
akan membentuk emulsi.
2. Pestisida Butiran (gramulars), biasanya digunakan sebagai
insektisida sistemik. Dapat digunakan bersamaan waktu tanam untuk
melindungi tanaman pada umur awal.
3. Debu (Dust), komposisi pestisida ini biasanya terdiri atas bahan aktif
dan zat pembawa seperti talek. Formulasi ini kurang banyak
digunakan karena efektivitas mengenai sasaran hanya antara 10 - 40
% saja.
4. Tepung (Powder), komposisi biasanya terdiri atas bahan aktif dan
bahan pembawa seperti tanah dan talek ( 50 – 75 % ).
5. Oli (Oil), Pestisida ini biasanya dapat dikenal dengan singkatan SCO
(Solluble Concentrate in Oil), biasanya dicampur dengan larutan
minyak seperti Xylen, Karosen atau Aminoester.
6. Fumigansia (fumigant), pestisida ini berupa zat kimia yang dapat
menghasilkan gas, bau, uap asap yang berfungsi untuk membunuh
hama. Biasanya digunakan di gudang penyimpanan. (Kardinan,
2001).
Selain penggolongan berdasar sifat-sifat pestisida, berdasarkan
ketahanannya dilingkungan, maka pestisida dapat dikelompokkan atas dua
golongan yaitu yang resisten dimana meninggalkan pengaruh terhadap
lingkungan dan yang kurang resisten. Pestisida yang termasuk
organochlorines termasuk pestisida yang resisten pada lingkungan dan
meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam
jaringan melalui rantai makanan, contohnya DDT, Cyclodienes,
Hexachlorocyclohexane (HCH), endrin. Pestisida kelompok organofosfat
adalah pestisida yang mempunyai pengaruh yang efektif sesaat saja dan
cepat terdegradasi di tanah, contohnya Disulfoton, Parathion, Diazinon,
Azodrin, Gophacide dan lain-lain (Sudarmo,1991).
9
2.1.3. Peranan Pestisida dalam Bidang Pertanian
Dalam bidang pertanian, Pestisida merupakan sarana untuk
membunuh jasad pengganggu tanaman. Dalam konsep pengendalian Hama
Terpadu, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian, yang
mana harus sejalan dengan komponen pengendalian hayati, efisien untuk
mengendalikan hama tertentu, mudah terurai dan aman bagi lingkungan
sekitarnya. Penerapan usaha intensifikasi pertanian yang menerapkan
berbagai teknologi seperti penggunaan pupuk, varietas unggul, perbaikan
pengairan, pola tanam serta usaha pembukaan lahan baru akan membawa
perubahan pada ekosistem yang sering kali diikuti dengan timbulnya masalah
serangan jasad pengganggu. Cara lain untuk mengatasi jasad pengganggu
selain menggunakan pestisida kadang-kadang memerlukan waktu, biaya dan
tenaga yang besar dan hanya dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Sampai
saat ini hanya pestisida yang mampu melawan jasad pengganggu dan
berperan besar dalam menyelamatkan kehilangan hasil (Sudarno,1991).
Pestisida bergerak dari lahan pertanian menuju aliran sungai dan
danau yang dibawa oleh hujan atau penguapan, tertinggal atau larut pada
aliran permukaan, terdapat pada lapisan tanah dan larut bersama dengan
aliran air tanah. Penumpahan yang tidak disengaja atau membuang bahan-
bahan kimia yang berlebihan pada permukaan air akan meningkatkan
konsentrasi pestisida di air. Kualitas air dipengaruhi oleh pestisida
berhubungan dengan keberadaan dan tingkat keracunannya, dimana
kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari kelarutannya dan
kemampuan diserap oleh partikel-partikel tanah. Sebagian menguap dan
menyebar di atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau
diserap hujan dan jatuh ke tanah (Uehara,1993).
10
2.1.4. Efek Samping Penggunaan Pestisida
Dalam penerapan dibidang pertanian, ternyata tidak semua Pestisida
mengenai sasaran. Kurang lebih hanya 20 % pestisida mengenai sasaran
sedangkan 80 % lainnya jatuh ke tanah. Akumulasi residu pestisida tersebut
mengakibatkan pencemaran lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai
makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan penyakit seperti
kanker, mutasi, bayi lahir cacar, CAIDS (Chemically Acquired Deficiency
Syncrom) dan sebagainya (Sa’id,1994).
Sifat racun dalam pestisida juga bisa meracuni manusia, ternak
piaraan, serangga penyerbuk, musuh alami serangga hama dan tanaman serta
lingkungan bisa terpolusi. Bahkan pemakaian dosis yang tidak tepat bisa
membuat hama menjadi kebal. Pestisida dalam bentuk gas merupakan
pestisida yang paling berbahaya bagi pernapasan, sedang yang berbentuk
cairan sangat berbahaya bagi kulit karena dapat masuk kedalam tubuh melalui
kulit keracunan (Wudianto,1988).
Secara umum dampak negatif dari pemakaian pestisida sintetis adalah
sebagai berikut :
- Residu pestisida sintetis sangat terurai secara alami. Bahkan untuk
beberapa jenis pestiisda sintetis, residunya dapat bertahan di tanah dan air
hingga puluhan tahun.
- Resurgensi hama dapat terjadi karena pestisida sintetis memiliki daya
racun yang tinggi dengan spektrum pengendalian yang luas dan
mematikan apa saja.
- Kematian organisme yang menguntungkan, seperti lebah yang sangat
berperan dalam penyerbukan bunga.
- Timbulnya kekebalan Organisme Penggangu Tanaman (OPT) terhadap
pestisida sintetis (Novizan,2002).
11
2.2. Tinjauan Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Pestisida
2.2.1. Pemanfaatan Tumbuhan Sebagai Pestisida
Tumbuh-tumbuhan yang berfungsi sebagai pestisida yang dikenal
dengan istilah Pestisida Nabati (atau ada yang menyebut Biopestisida) adalah
suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Pestisida yang
berasal dari tumbuhan ini relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan
pengetahuan yang terbatas.oleh karena terbuat dari bahan alami/nabati, maka
pestisida ini bersifat mudah terurai (Biodegradable) di alam sehingga tidak
mencemari lingkungan dan relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan
karena residunya mudah hilang. Pestisida nabati bersifat “Pukul Lari (Hit and
run)”, yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan
setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat menghilang
(Kardinan,2001).
2.2.2. Efektivitas Pestisida dari Tumbuhan
Menurut Sutanto (2002), pada umumnya keampuhan jangka pendek
perlindungan tanaman dengan menggunakan bahan alami tidak sebesar
menggunakan pestisida sintetis. Tetapi dalam jangka panjang dapat dilihat
kelebihannya, antara lain :
1) Menurunkan resiko hama meningkatkan ketahanan terhadap perlakuan
yang dilakukan
2) Tidak membasmi musuh alami
3) Menurunkan kemungkinan terjadinya resiko ledakan hama sekunder
4) Tidak merusak lingkungan dan sumber air
5) Menurunkan ketergantungan petani pada bahan kimia pertanian
6) Menurunkan biaya produksi.
Sebagian besar pestisida nabati mengandung racun yang aktif melalui
sentuhan, hirupan (saluran pernafasan) dan lambung (termakan). Kaena itu,
mereka tidak pandang bulu dan mempunyai target yang sangat luas. Tingkat
keracunan pada pestisida nabati biasnaya tidak terlalu tinggi dan bisa
dikurangi dengan penerapan yang selektif karena pestisida nabati biasanya
12
dapat dikendalikan, sehingga menjadi tidak aktif dalam waktu beberapa jam
atau beberapa hari. Ini akan mengurangi dampak negatif terhadap organisme-
organisme bermanfaat. Pestisida nabati pun cukup ramah lingkungan
(Anonymous,2002).
Pemakaian pestisida nabati juga masih dirasakan oleh petani sebagai
kekurangannya, antara lain :
1) Pestisida ini efeknya tidak langsung mematikan, sehingga sering kali
dianggap kurang ampuh.
2) Kalau dipakai terus menerus, belum dapat dipastikan apakah tidak
akan menimbulkan resistensi terhadap hama.
3) Perlu dalam jumlah banyak, karena efeknya kurang kuat.
(Anonymous,2001).
Meskipun bersifat alami dan digunakan secara luas dalam sistem-
sistem pertanian, sejumlah pestisida nabati bisa membahayakan manusia dan
meracuni musuh-musuh alami. Nikotin yang diambil dari tanaman tembakau
misalnya, adalah salah satu racun yang paling berbahaya bagi manusia dan
hewan berdarah panas lain. Sebelum menerapkan pestisida nabati baru secara
luas, perlu dilakukan pengujian skala kecil untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap ekosistem. Jangan salah menggunakan pestisida nabati, sehingga
langkahnya pertama pahamilah ekosistem dan bagaimana pestisida
mempengaruhinya (Anonymous,2002).
Pengendalian hama dengan pestisida kimia atau sintetis mahal dan
dilakukan 2 kali dalam seminggu, sedangkan biopestisida selain harganya
lebih murah, dilakukan hanya satu kali dalam seminggu sehingga menghemat
tenaga kerja (Astuti,2005).
2.2.3. Cara Kerja Pestisida Nabati
Tumbuhan dapat bersifat sebagai bahan makanan, obat atau bersifat
sebagai racun. Tumbuhan yang bersifat racun seyogyanya kita hindari.
Khasiat itu berasal dari bagian-bagian tumbuhan yang bersangkutan, seperti
13
seluruh bagian tumbuhan yang terdapat diatas permukaan tanah yang sering
disebut herba, juga akar, rimpang, kulit batang, kayu, daun, bunga, buah atau
biji tergantung pada kadar zat berkhasiat yang kita perlukan. Bagian-bagian
tumbuhan yang digunakan tadi dapat dalam bentuk segar atau yang telah
dikeringkan. Bagian tumbuhan yang segar dapat langsung digunakan dalam
bentuk lumatannya atau perasan lumatan tersebut. Sedang bagian tumbuhan
yang telah dikeringkan dapat digunakan dalam bentuk rebusan atau
seduhannya atau sediaan-sediaan padat yang disiapkan dari ekstrak bahan-
bahan yang telah dikeringkan tersebut, misalnya pil, tablet, kapsul dan
sebagainya (Huda,2006).
Perlu diketahui setiap simplisia (bahan obat alam) atau tumbuhan obat
selalu mengandung sejumlah zat, baik yang secara farmakologik aktif
maupun inaktif. Diantara zat-zat aktif tersebut merupakan senyawa turunan
inti molekul tertentu, seperti misalnya kulit batang kita (Cinchonae cortex)
mengandung kurang lebih 20 macam alkaloid, yang beberapa diantaranya
telah diketahui rumus bangunnya, yakni kinina, kinidina, sinkonina dan
sinkonidina. Keempatnya merupakan senyawa turunan inti kinolina, berarti
dalam molekulnya terdapat molekul kinlina tersebut. Jadi jika simplisisa atau
ekstrak totalnya digunakan untuk pengobatan, maka semua zat-zat kandungan
tersebut saling berinteraksi, sehingga khasiatnya merupakan resultante antar
aksi tersebut (Hargono,1996). Selanjutnya, dalam menguatkan sistem kerja
zat kandungan aktif tumbuhan, Webster (1985), menyatakan bahwa masing-
masing zat kandungan aktif suatu simplisia aktivitas biologiknya secara
kualitatif sama, namun secara kuantitatif berbeda, berarti macam khasiat dan
efek sampingnya sama, namun besarnya berbeda sehingga resultantenya
dapat meningkatkan khasiat namun memperkecil efek samping.
2.2.4. Sumber-sumber Pestisida dari Tumbuhan
Collins dan Gentner (1985), menyebutkan bahwa apa yang dilakukan
dan dipikirkan petani terhadap tanamannya mempengaruhi apa yang mereka
lakukan terhadap tanamannya. Meski petani merunut dan memahami cara
14
penggunaan pestisida, namun petani tidak memahami skema pemahaman
pestisida sebagai obat. Mereka hanya tahu bahwa pestisida adalah racun bagi
hama.
Dengan persepsi yang berkembang selama ini di petani, tindakan yang
dilakukan dapat mengatasi penyakit tanamannya utamanya padi dan bawang
merah serta sayuran adalah dengan upacara ritual (Winarto,1998). Selain
proses ritual yang masih ada dimasyarakat, menurut Friedberg (1990),
menyadari bahwa pengetahuan masyarakat terhadap manfaat tumbuhan bagi
kehidupannya atau dalam istilah modern disebut etnobotani memberikan
perspektif berdasarkan ruh dan hasil kajian fitrah masyarakat yang telah teruji
secara berkala.
2.2.5. Perkembangan Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Pestisida
Pada akhir tahun 1960-an, perhatian masyarakat dunia terhadap
berbagai residu senyawa asing (xenobiotics) pada bahan pangan masih sangat
kurang, karena pada saat itu perhatian masyarakat masih terpusat kepada
masalah residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran. Namun, setelah
terungkap kandungan senyawa DDT, dieldrin, tetrasiklin, hormon dan obat-
obatan lain pada produk ternak, produk asal ternak mulai mendapat perhatian
khusus (Bahri,1994).
Data dari California menunjukkan (yang dites menggunakan alat ukur
terbatas sedikit kurang sensitif) menunjukkan pangan konvensional
mengandung 31 % residu pestisida, sedangkan di sampel pangan organik
hanya mengandung 6,5% residu pestisida dan pangan konvensional
mengandung residu multi-pestisida sembilan kali lebih banyak dibandingkan
pangan organik (Surjadi,2005).
Berbagai penelitian untuk menghasilkan formula pestisida hayati dari
bahan alami telah dilakukan. Baculovirus-multienvolve mucleopolyhedrosis
virus (MNPV) merupakan salah satu formula dari panduan Balai Penelitian
Tanaman Sayuran (Balitsa) dan Institut Pertanian Bogor yang dapat
diaplikasikan pada tanaman bawang merah. Purifikasi toksin Arachnida,
15
Disochorea dan Baculovirus (BV) dapat menekan perkembangbiakan hama
sampai 55 %. (Adiyoga et al, 2001).
Pelaksanaan pengendalian Hama Terpadu (HPT) pada sayuran telah
berhasil mengurangi penggunaan pestisida kimia sintetis hingga 20 % pada
kondisi ekosistem tertentu. Penggunaan pestisida sintetis umumnya masih
berdasarkan nilai ambang hama yang secara teknis sulit dilakukan pada skala
luas. Stallen et al dalam Astuti (2005), menyatakan bahwa untuk
mengendalikan ulat bawang (Spedoptora exsigua), petani menggunakan
insektisida sintetis rata-rata 924 L/ha dengan frekuensi penyemprotan 2 kali
seminggu. Penggunaan pestisida sintetis selain mahal juga dapat
menimbulkan resistensi hama (Adiyoga, 2000).
2.3. Tinjauan Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Pestisida
2.3.1. Pengertian Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge)
Berdasarkan Strong (1990), pengetahuan lokal atau Indigenous
knowledge atau pengetahuan asli dan lokal adalah akar dari sebuah kearifan
lokal. Didalamnya mengandung sesuatu yang unik dalam satu kultur
masyarakat. Pewarisan pengetahuannya berlangsung dari mulut ke mulut dari
generasi ke generasi dengan menggunakan upacara, ritual dan adat istiadat.
Dengan demikian tulisan ini akan membahas secara mendetail tentang
khazanah indigenous knowledge, perannya dalam peradaban global serta
kemampuaannya bertahan ditengah arus sains teknologi yang kian berinvasi.
2.3.2. Prinsip-prinsip Ilmu sebagai Pengetahuan Lokal (Indigenous
Knowledge)
Pengetahuan lokal (Indigenous Knowledge) memiliki kesejalanan
dengan prinsip-prinsip ilmiah, kekayaan pengetahuan lebih berdasar pada
banyaknya pengetahuan dari pengalaman setempat yang unik dan teruji.
Richard (1994), menyebutkan bahwa pengetahuan lokal memiliki
kemampuan yang lebih baik dari pada pengetahuan ilmiah jika digunakan
menilai faktor-faktor resiko yang menyangkut keputusan-keputusan produksi.
16
Kekuatan pengetahuan lokal menurut Bentley (1992), dipetakan
berdasarkan 2 prinsip utama, yaitu, kemudahan dalam melakukan
pengamatan, dan pentingya sesuatu itu dalam lingkup wacana budaya
penduduk lokal. Pengetahuan atau sebaliknya, tidak tahu dalam pengetahuan
masyarakat lokal ditentukan oleh kemampuannya dalam mengamati benda
yang mudah. Selain itu juga, akan semakin banyak diketahui pula oleh
masyarakat lokal ketika benda yang mudah diamati berguna dan penting
dalam budaya masyarakat lokal mereka.
Dalam perkembangannya pengetahuan yang dimiliki masyarakat
justru bisa menjadi alternatif bagi fenomena masalah yang berkembang secara
global. Rhoades dan Bebington (1995), menyebutkan bahwa ketika
masyarakat mendapat intervensi pengetahuan melalui introduksi teknologi
yang cenderung merubah pengetahuan lokal, maka penduduk lokal masih
menjadikan dirinya bukan seorang yang hanya pasif menerima teknologi,
karena masyarakat lokal merupakan pencipta dari solusi-solusi yang
dihasilkan sendiri dalam menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang
timbul dari intervensi pengetahuan yang baru. Dalam konteks inilah,
pengetahuan memberikan pengujian secara sosiologis dan kultural dengan
kurun waktu yang cukup panjang, ternyata terbukti ampuh menghadapi satu
masalah tertentu.
Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu kehidupan, kearifan setempat
yang selalu ditonjolkan orang memang terlihat dampak kemanfaatannya
dalam menangani pengelolaan kelestarian keanekaragaman hayati. Bentuk-
bentuk –sasi dan abstensi penyadapan atau pemanenan yang diatur adat
ternyata sangat cocok buat mengatasi pengurasan stok pohon induk.
Ecological complementarity yang dipraktikkan masyarakat Madura Timur
tidak menurunkan derajat keanekaragaman hayati setempat sekalipun
penggunaan sumber daya nabati setempat terhitung tinggi (Rifai, 1995).
Selain pengetahuan lokal yang ditemukan berdasarkan prinsip
pengamatan dan kepentingannya dalam kultur budaya masyarakat lokal,
sebenarnya pengetahuan lokal juga berdasar pada proses pewarisan. Proses
17
pewarisan kebudayaan berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sifat pewarisan tidak hanya bersifat vertikal (atas ke bawah), dari eyang
buyut ke cucu, melainkan bisa bersifat horizontal atau mendatar. Horizontal
ini dilukiskan dengan proses pewarisan budaya kepada struktur sosial
lingkungan manusia. Dari manusia satu ke manusia lain, dengan cara
mengkomunikasikan gagasan dan pengetahuannya pada manusia lain
(Purwanto, 2000).
2.4. Tinjauan tentang Etnobotani
Etnobotani dapat didefinisikan sebagai suatu studi yang mempelajari konsep-
konsep pengetahuan masyarakat mengenai tumbuhan yang merupakan hasil
perkembangan kebudayaan suatu masyarakat. Dinamika perubahan akan
mewarnai tumbuhan dan pemanfaatan, pelestarian dan konservasi secara tradisi
lambat laut akan mengalami penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi. Melalui temuan dan kajian etnobotani diharapkan kekayaan budaya suatu
masyarakat mengenai pengetahuan tumbuhan dapat dikembalikan kepada generasi
baru masyarakat tersebut. (Darnaedi dalam Muhammad, 2003).
Sedangkan menurut Rifai (1998), etnobotani sebagai cabang ilmu yang
bersinggungan dengan ilmu0ilmu alamiah disatu pihak, dengan ilmu-ilmu sosial
serta pengetahuan budaya pada pihak yang lain, etnobotani berkepentingan
mengikuti dari dekat perkembangan yang berlangsung baik di seputar persoalan
etnik maupun dalam ranah botani sendiri.
Perkembangan etnobotani di Indonesia lebih di warnai nuansa botani
ekonomi yang menelaah tumbuhan yang bermanfaat sebelum dieksploitasi
komersial. Etnobotani pada dasarnya berangkat dari prinsip etnisains yaitu sistem
pengetahuan kognitif, pandangan-pandangan yang ada di masyarakat yang diteliti
mengenai pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan (Darnaedi dalam Muhammad,
2003). Menurut Rifai (1998), upaya pengembangan etnobotani di Indonesia
haruslah dilakukan dengan memperhatikan isu-isu perkembangan nasional, yang
dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan upaya peningkatan pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan ilmu dan teknologi. Untuk itu, etnobotani harus
18
dapat mendukung upaya peningkatan daya saing sektor produksi untuk
memanfaatkan peluang yang terbuka oleh adanya proses globalisasi.
Adanya gejala atau indikasi masyarakat Indonesia menuju “Paradigma Sehat”
yaitu menjaga kesehatan secara menyeluruh, terpadu serta terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat, sehingga upaya untuk menggunakan potensi alam atau
tumbuhan obat Indonesia juga meningkat (Zuhud, 2000).
Pengetahuan tradisional suatu kelompok masyarakat tentang keanekaragaman
jenis tumbuh-tumbuhan sangat penting, tidak hanya untuk kelompok masyarakat
itu sendiri, tetapi juga untuk masyarakat lainnya, sehingga sangat mendesak untuk
dilakukan penggalian pengetahuan tradisional tentang berbagai jenis tumbuhan
berikut budidaya dari masyarakat lokal yang menghilang seiring dengan
perkembangannya.penggalian pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan
sumberdaya tumbuhan tersebut, maka ujung tombaknya adalah penelitian
dibidang etnobotani. Pengungkapan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang
dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari masyarakat lokal
seperti jenis tumbuhan obat, jenis tanaman pangan akan menghasilkan sumber
informasi tentang diversitas genetik bagi para pemulia tanaman dan kandungan
bahan aktif dalam pengobatan modern bagi para ahli farmakologi, sehingga
penelitian etnobotani sangat mendukung usaha konservasi keanekaragaman
genetik berbagai jenis tanaman lokal yang sangat penting untuk program
pemuliaan dimasa yang akan datang serta pengobatan modern (Munawaroh dan
Purwanto, 2002).
Menurut Walujo (1998), dalam penelitian etnobotani ada dua pendekatan
yang perlu dipahami, yakni etnik dengan tujuan mendapatkan data mengenai
pengetahuan masyarakat tentang objek yang sedang diamati, tanpa harus menguji
kebenarannya dan pendekatan etik dalam menganalisis data dan pengetahuan
masyarakat tersebut secara ilmiah sesuai dengan bidang yang diteliti.
Etnobotani sebagai sebuah studi mengenai tumbuhan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat mempunyai harapan besar sebagai bagian dari ilmu yang akan mampu
menjawab persoalan mas kini (Banilodu, 1998).
19
2.5. Tinjauan tentang Desa Sajen Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto
2.5.1. Letak Geografi
Desa Sajen termasuk salah satu desa dari 20 desa yang terdapat di
kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Desa ini terdiri dari 4 dusun yaitu
Dusun Sajen, Treceh, Sumberan dan Podorejo. Desa Sajen mempunyai luas
wilayah kurang lebih 284,356 Ha yang terbagi dalam 4 pemanfaatan lahan,
yaitu Tanah Sawah seluas 182,47 Ha, Tanah Kering yang terdiri untuk ladang
dan pemukiman seluas 51,8 Ha, Tanah untuk fasilitas umum seperti tanah kas
desa (ganjaran), lapangan, Perkantoran Pemerintah Desa seluas 37,63 Ha
serta Tanah Hutan seluas 12,447 Ha.
Desa sajen termasuk desa sekitar hutan yang mengandalkan hasil
pertanian dilahan basah dan kering. Wilayah Desa Sajen berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Kesiman Tengah dan
Desa Kemiri.
Sebalah Barat : Berbatasan dengan Kawasan Hutan (HGU).
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Pacet, dan
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kawasan Hutan (HGU)
(Peta desa Sajen ada di Lampiran).
Desa Sajen terletak di ketinggian 700 meter di atas permukaan air laut
dengan suhu rata-rata 26oC. Pada tahun 2004, curah hujan rata-rata
adalah 1872 mm dengan jumlah bulan hujan sebanyak 6 bulan sepanjang
tahun. Melihat kondisi geografis yang berbukit, desa Sajen termasuk desa
dekat hutan yaitu tepatnya di lereng pegunungan Welirang dan Arjuna
serta pegunungan gugus Taman Hutan Raya R. Soerjo. Jarak desa Sajen
dari dari ibu kota kabupaten Mojokerto adalah 30 km atau 1 jam apabila
ditempuh dengan kendaraan. Sedangkan jarak dengan ibukota kecamatan
Pacet hanya 2 km.
20
2.5.2. Kondisi Demografi
Tahun 2006, penduduk Desa Sajen berjumlah 4.005 jiwa dengan
mayoritas bekerja sebagai buruh tani, Wiraswasta dan Petani. Rincian
pekerjaan masyarakat desa Sajen adalah sebagai berikut :
No Profesi Jumlah Prosentase (%)
1 Buruh Tani 1.602 40
2 Petani 521 13
3 PNS 320 8
4 Wiraswasta 200 5
5 Pedagang 160 4
6 Tukang Kayu / Batu 881 22
7 Pensiunan 160 4
8 Lain-lain 160 4
JUMLAH 4.005 100
Selanjutnya, tingkat pendidikan masyarakat Desa Sajen cukup
bervariasi. Dari 4.005 jiwa telah ada 6 orang yang telah tamat Sarjana Strata 2
(S2) dan yang buta aksara sejumlah 37 orang. Lebih lengkap data tingkat
penduduk Desa Sajen sebagai berikut :
No Status Pendidikan Jumlah
(Orang)
Prosentase (%)
1 Strata 2 6 0,1
2 Strata 1 76 1,9
3 Diploma 3 29 0,7
4 Diploma 2 150 3,7
5 Diploma 1 171 4,3
6 Tamat SMA 490 12,2
7 Tamat SMP 767 19,2
8 Tamat SD 926 23,1
9 Drop Out SD 752 18,8
10 Belum Sekolah 601 15
21
11 Buta Huruf 37 0,9
Total 4.005 100,0 %
(Anonymous, 2006).
2.5.3. Potensi Komoditas Pertanian
Pada tahun 2005, komoditas pertanian non padi yang dihasilkan di
Desa Sajen adalah :
No Tanaman Luas (Ha) Hasil (Ton/Ha)
1 Jagung 29 4
2 Kacang Tanah 3 5
3 Ubi Kayu 5 15
4 Ubi Jalar 55 15
5 Cabe 5 4
6 Bawang Putih 125 10
7 Bawang Merah 20 15
8 Tomat 5 10
9 Sawi 5 10
10 Kubis 6 12
TOTAL 258
(Sumber : Monografi data desa Sajen Tahun 2006).
22
top related