bab ii landasan teori - library & knowledge centerlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/bab...
Post on 30-May-2019
218 Views
Preview:
TRANSCRIPT
10
BAB II
LANDASAN TEORI
2. LANDASAN TEORI
2.1. Perbankan
2.1.1. Pengertian Bank
Menurut Kasmir (2008, hal. 2), bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan
usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana
tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya. Sedangkan menurut
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Dari kedua definisi di atas diketahui bahwa bank adalah sebuah lembaga yang
bergerak di bidang keuangan. Masih menurut Kasmir (2008, hal 3) bahwa bank
merupakan lembaga keuangan yang kegiatannya adalah:
1. Menghimpun dana merupakan kegiatan mengumpulkan atau mencari dana
(uang) dengan cara membeli dana dari masyarakat luas dalam bentuk simpanan
giro (demand deposit), tabungan (saving deposit) atau deposito (time deposit).
Tujuan utama masyarakat menyimpan uang biasanya adalah untuk keamanan
uangnya. Sedangkan tujuan kedua adalah untuk melakukan investasi dengan
11
harapan memperoleh bunga dari hasil simpanannya. Strategi bank dalam
mengimpun dana adalah dengan memberikan rangsangan berupa balas jasa yang
menarik dan menguntungkan. Balas jasa tersebut dapat berupa bunga bagi bank
yang berdasarkan prinsip konvensional, dan bagi hasil bagi bank yang berprinsip
syariah.
2. Menyalurkan dana merupakan kegiatan memberikan dana yang diperoleh lewat
simpanan giro, tabungan dan deposito ke masyarakat dalam bentuk pinjaman
(kredit) bagi bank yang berprinsip konvensional atau pembiayaan bagi bank
yang berprinsip syariah. Dalam pemberian dana kredit disamping dikenakan
bunga, bank juga mengenakan jasa pinjaman kepada penerima kredit ( debitur)
dalam bentuk biaya administrasi serta biaya provisi dan komisi. Sementara untuk
bank berbasis syariah, menggunakan sistem bagi hasil. Tentu saja sebelum kredit
diberikan, bank terlebih dahulu menilai apakah kredit tersebut layak diberikan
atau tidak. Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak
dapat dikembalikannya pinjaman yang disalurkan bank dengan berbagai sebab.
Jenis kredit yang biasa diberikan oleh hampir semua bank adalah seperti kredit
investasi, kredit modal kerja dan kredit perdagangan.
3. Memberikan jasa perbankan lainnya yang merupakan pendukung atau pelengkap
kegiatan perbankan. Jasa-jasa ini diberikan terutama untuk mendukung
kelancaran kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana,baik yang
berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan simpanan dan
kredit. Banyaknya jenis jasa yang ditawarkan sangat tergantung dari kemampuan
12
masing-masing bank yang dilihat dari permodalan, manajemen, serta fasilitas
sarana dan prasarana, contoh jenis-jenis jasa lainnya seperti pengiriman uang
(transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota
(clearing) dan luar kota atau luar negeri (inkaso), letter of credit (L/C), safe
deposit box, banknotes dan jasa lainnya.
Secara ringkas kegiatan bank sebagai lembaga keuangan dapat dilihat dalam
Gambar 2.1 berikut ini.
Bank
Menyalurkan DanaMemberikan jasa – jasa
Bank LainnyaMenghimpun Dana
Rekening Giro
Rekening Deposito
Rekening Tabungan
Kredit Investasi
Kredit Perdagangan
Kredit Produktif
Kredit Modal Kerja
Dan Lain-lain
Transfer
Letter of Credit
Inkaso
Kliring
Bank Garansi
Bank Card
Safe Deposit Box
Dan Lain-lain
Sumber: Kasmir (2008), hal. 3.
Gambar 2.1. Kegiatan Bank sebagai Lembaga Keuangan
Berdasarkan ukuran (size) total aktivanya, bank dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kategori sebagai berikut (LPS, 2010):
13
1. Bank Sangat Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva lebih dari Rp100
triliun;
2. Bank Besar, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp25 – 100
triliun;
3. Bank Menengah, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp10 – 25
triliun;
4. Bank Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva antara Rp1 – 10 triliun;
dan
5. Bank Sangat Kecil, yaitu bank-bank yang memiliki total aktiva Rp1 triliun atau
kurang.
2.2. Risiko Perbankan
Berdasarkan Workbook level 1 Global Association of Risk Profesionals-Badan
Sertifikasi Manajemen Risiko (2005) : A.4 dikutip Idroes, et al. (2006, hal.7) risiko
didefinisikan sebagai suatu kemungkinan akan terjadinya hal yang tidak diinginkan
yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola
semestinya. Sedangkan menurut Lampiran SE No. 5/21/DPNP tanggal 29 September
2003 perihal Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum,
risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat
diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang
berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank.
14
Bank, sebagaimana lembaga keuangan dalam menjalankan kegiatan guna
mendapatkan hasil usaha (return), selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang
mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi bank jika tidak dideteksi serta
tidak dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, bank harus mengerti dan mengenal
risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Menurut James Lam dalam bukunya yang berjudul Enterprise Risk
Management (2003, hal. 4), keputusan yang dibuat oleh Bank dalam melakukan
kegiatan bisnisnya dan risiko yang dihadapinya akan membentuk risiko portfolio
Bank tersebut. Hal ini akan menentukan keuntungan yang akan didapatkan oleh Bank
tersebut dan volatilitas pendapatan tesebut. Beberapa keputusan akan membuat
keuntungan, sedangkan keputusan lainnya akan merugikan.
Dalam melakukan suatu kegiatan bisnis, ada sebuah konsep yang berlaku di
seluruh dunia, yaitu “no risk, no return”. Maksudnya adalah tidak ada risiko, maka
hasil usaha yang didapatkan pun tidak ada, karena apapun kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh suatu Bank, pasti akan ada risikonya dan jika Bank tersebut tidak
berani mengambil risiko, maka hasil yang didapatkan pun tidak maksimal. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut ini.
Sumber: Lam (2003), hal. 4.
Gambar 2.2. Trade-Off antara Risiko dan Return
15
Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa semakin besar risiko yang diambil oleh
Bank tersebut, maka hasil yang didapatkan (return) akan semakin besar pula. Namun,
ada cara pemikiran yang lebih bagus daripada konsep “high risk, high return”.
Menurut Lam (2003; hal. 4), cara yang lebih baik untuk memikirkan risiko dan return
adalah bukan dengan slogan risiko dan absolute return, tetapi dengan slogan risiko
dan relative return. Maksudnya adalah, jangan berusaha untuk mengambil risiko
setinggi-tingginya untuk mendapatkan hasil yang besar pula, tapi ambil risiko yang
optimal, dengan melihat kemampuan Bank tersebut, agar hasil yang didapatkan
optimal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini.
Sumber: Lam (2003), hal. 4.
Gambar 2.3. Risiko dan Relative Return
Dapat kita lihat dari Gambar 2.3 terdapat 3 zona pengambilan risiko. Zona-
zona tersebut mewakili kecil-besarnya risiko yang diambil oleh suatu Bank dan hasil
dari pengambilan risiko tersebut. Zona-zona tersebut adalah:
16
1. Zona 1
Pada zona 1, Bank tidak cukup berani untuk mengambil banyak risiko, padahal,
kemampuan Bank tersebut untuk mengambil risiko yang ada masih cukup besar.
Hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan (return) tidak mencapai titik
optimal. Jika Bank tersebut tetap tidak berani mengambil risiko, maka hasil yang
didapatkan pun tidak akan pernah mencapai hasil yang optimal.
2. Zona 2
Pada zona 2, Bank berani mengambil mengambil risiko setinggi-tingginya
dengan melihat kemampuan optimal dari Bank tersebut. Bank tersebut tidak
mengambil risiko yang di luar batas kemampuannya. Hal ini membuat hasil yang
didapatkan (return) menjadi optimal. Zona 2 lah yang seharusnya diambil oleh
Bank-bank tersebut agar bisa mencapai return yang optimal. Masalah yang
sering terjadi adalah, para pelaku perbankan sering tidak mendapatkan informasi
yang cukup mengenai batasan tertinggi dari risiko yang bisa diambil oleh mereka
sehingga mereka mencapai zona 3.
3. Zona 3
Pada zona 3, Bank terlalu berani mengambil risiko yang ada, bahkan melewati
kemampuan mereka sendiri. Dengan mengambil risiko tanpa melihat
kemampuan sistem dan kemampuan manajemen risiko mereka, maka hasil yang
didapatkan pun akan menjadi tidak optimal, bahkan cenderung mengalami
kerugian.
17
Dari penjelasan di atas, dapat kita ketahui, bahwa risiko adalah sesuatu yang
tidak dapat kita hindari di dalam dunia perbankan. Risiko adalah bagian yang tidak
dapat kita pisahkan bila kita ingin berbisnis dan mencari keuntungan sebesar-
besarnya. Oleh karena itu, Bank harus mengarahkan, agar risiko dan hasil yang
didapatkan mencapai optimal.
2.2.1. Peristiwa Menyebabkan Timbulnya Risiko (Risk Event)
Menurut Idroes, et al. (2006, hal 8), risk event didefinisikan sebagai
munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil yang tidak
diinginkan. Telah terjadi beberapa risk event fenomenal pada industri keuangan
internasional yang terjadi selama 20 tahun terakhir dan telah menimbulkan
malapetaka pada institusi keuangan internasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Peristiwa Fenomenal pada Industri Keuangan yang
Menimbulkan Risiko
Tahun Risk Event
1986 Krisis hutang Amerika Latin
1987 Bursa saham global hancur
1989 Krisis pinjaman dan tabungan AS
1990 Kehancuran Junk Bond
1992 Krisis nilai tukar Eropa
1994 Krisis nilai tukar Mexico
1995 Krisis hutang Amerika Latin
1997 Krisis nilai tukar Asia
1998 Krisis hedge fund
2001 Loncatan teknologi media dan bursa saham telekomikasi
Sumber : Banks (2003) dikutip Idroes, et al. (2006, hal 9).
18
Tahun Risk Event
2005 Krisis keuangan uni eropa
2008 Krisis keuangan Amerika Serikat
2011 Krisis keuangan Yunani Sumber: Wawan (2011)
Contoh tersebut menunjukkan bahwa satu peristiwa yang menyebabkan
timbulnya risiko dapat menimbulkan malapetaka bagi industri perbankan dan
terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Menurut Idroes, et al. (2006, hal.10) Sebuah risk event memiliki beberapa
aspek penting yang harus diperhatikan dalam rangka mengelola risiko. Aspek-aspek
yang dimaksud adalah:
1. Kecenderungan event terjadi dalam suatu rentang waktu tertentu.
2. Dampak terhadap bank jika event terjadi.
3. Ketidakpastian event bagaimana memprediksi berbagai aspek dari risk event.
2.2.2. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Terjadinya Risiko
Menurut Idroes et al. (2006, hal 10), risk Loss merujuk kepada kerugian
sebagai konsekuensi langsung atau tidak langsung dari adanya risk event. Secara
umum kerugian yang timbul diawali oleh peristiwa karena kurangnya pengawasan
internal terhadap transaksi yang dilakukan oleh seorang karyawan bank. Berikut
adalah Tabel 2.2 yang menunjukkan keterkaitan antara risk loss dengan risk event.
19
Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko
Tahun Lembaga
Keuangan
Risk Loss
(USD
mllion)
Risk Event
1990 Drexel Burnham
Lambert
1,900
(bangkrut)
Investasi pada saham lapis bawah
(junk bond), pendanaan jangka
pendek. Tidak dapat memenuhi
kewajiban pada saat jatuh tempo
karena nilai saham jatuh dan tidak
laku di pasaran.
1991 BCCI 500 (Kolaps) Lemah dalam analisa kredit;
dokumentasi kredit yang tidak
lengkap; saling menghilangkan data
dan penyelewengan; pencucian
uang.
1993 Metallgesellschaft 1,500 Strategi lindung nilai (hedge) yang
salah: salah asumsi ekonomi;
kegagalan likuidasi posisi; strategi
yang menjurus pada
penyelewengan.
1994 Credit Lyonnais 24,220 Ketidak cukupan pengawasan dan
deregulasi internal dalam kaitan
dengan berbagai penyelewengan;
pencucian uang
Des 1994 Orange County 164
(bangkrut)
Kerugian pada portofolio obligasi
akibat salah posisi terhadap arah
suku bunga the Fed ;
Penyelewengan oleh Robert Citron
secara illegal menggunakan dana
wilayah untuk menutupi kerugian
yang terus membengkak.
1995 Daiwa 1,100 Transaksi obligasi pemerintah AS
tanpa persetujuan dan menimbulkan
kerugian yang diakumulasi selama
12 tahun.
20
Tabel 2.2 Kerugian Lembaga Keuangan Akibat Peristiwa Risiko (lanjutan)
Tahun Lembaga
Keuangan
Risk Loss
(USD
mllion)
Risk Event
1996 Morgan Grenfell 260 Ketidakcukupan pengawasan;
budaya promosi yang ketinggian
bagi karyawan bintang tanpa
pertanyaan terhadap laba dan
instrument yang digunakan.
1997 Bre-X 120 Sengaja melakukan maipulasi nilai
saham dengan menyatakan adanya
penemuan tambang emas.
Sumber: Gallati (2003), dikutip Idroes et al. (2006, hal 10-12).
Risk Loss pada suatu Bank, dapat berdampak kepada pemegang saham,
karyawan, nasabah bahkan kepada perekonomian suatu negara. Berikut ini adalah
uraian dampak Risk Loss (Gallati, 2003; dikutip Idroes et al., 2006; hal. 10-12):
1. Dampak terhadap pemegang saham (stakeholders):
a. Turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang berarti turunnya
kesejahteraan pemegang saham.
b. Kerugian yang cukup besar dikarenakan investasi yang telah dilakukan di
Bank tersebut.
c. Tanpa perlu memperdebatkan siapa yang salah, pemegang saham harus
bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
2. Dampak terhadap karyawan:
a. Pengurangan gaji ataupun bonus.
b. Dikenakan sanksi karena dianggap lalai.
c. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
21
3. Dampak terhadap nasabah:
a. Merosotnya tingkat pekayanan.
b. Jenis produk yang ditawarkan oleh Bank bersangkutan menjadi berkurang.
4. Dampak terhadap perekonomian:
Risiko kegagalan Bank yang dapat merusak perekonomian secara keseluruhan.
Contoh: tahun 1998, rush yang terjadi oleh Bank BCA dapat menggoyahkan
sendi-sendi perekonomian. Pemerintah yang harus memberikan bantuan
likuiditas agar BCA tidak kolaps secara tidak langsung menjadi beban
masyarakat berupa kenaikan harga, penurunan subsidi dan kenaikan pajak.
2.2.3. Jenis-Jenis Risiko
Menurut Lam (2003, hal. 23), secara profesional, jenis-jenis risiko dibagi ke
dalam 3 macam, yaitu risiko kredit, risiko operasional dan risiko pasar. Risiko-risiko
ini adalah risiko yang harus dihadapi Bank dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari.
Risiko ini tidak dapat dihindari dan harus dihadapi agar Bank dapat memperoleh
keuntungan serta menaikkan nilai sahamnya di pasaran.
2.2.3.1. Risiko Kredit
Menurut Kasmir (2008, hal 101), kredit dari bahasa latin “credere” yang
artinya percaya. Maksudnya adalah si pemberi dalam hal ini Bank percaya kepada si
penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai
dengan perjanjian. Sedangkan, pengertian kredit berdasarkan Undang-undang
22
perbankan Nomor 10 tahun 1998 adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Oleh
karena itu, untuk meyakinkan Bank bahwa nasabah benar-benar dapat dipercaya,
maka sebelum kredit diberikan terlebih dahulu Bank mengadakan analisis kredit.
Analisis kredit termasuk salah satu cara untuk meminimalisir risiko kredit.
Menurut Lam (2003, hal. 149), risiko kredit adalah kehilangan/kerugian yang
terjadi akibat kesalahan si peminjam atau debitur (counterparty or borrower).
Kesalahan disini bukan berarti karena pihak peminjam bangkrut, tapi bisa saja
dikarenakan pihak peminjam tidak mampu membayar kembali dana yang telah
dipinjam dan bunganya pada saat jatuh tempo. Berdasarkan counterparty, risiko
kredit dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Risiko kredit pemerintahan
Risiko kredit ini terkait dengan pemerintah suatu negara yang tidak mampu
untuk membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo. Pinjaman
yang dilakukan pemerintah terdiri dari pinjaman bilateral antara negara
peminjam dengan satu pihak kreditur atau pinjaman multilateral yaitu antara
negara dengan beberapa pihak kreditur.
2. Risiko kredit korporat
Risiko kredit ini adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan
surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta
23
gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh penyertaan modal. Jika
dibandungka dengan risiko kredit pemerintah, risiko korporat lebih berisiko dan
probabilita terjadinya lebih sering.
3. Risiko kredit konsumen
Risiko kredit ini adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan
debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya. Saat ini banyak
Bank yang beranggapan bahwa pengelolaan kredit konsumen individu adalah
sama pentingnya dengan kredit korporat, karena risiko yang ditimbulkan juga
sama.
2.2.3.2. Risiko Operasional
Lam (2003, hal. 201) menyatakan bahwa risiko operasional adalah risiko yang
diakibatkan oleh kehilangan/kerugian baik secara langsung maupun tidak langsung
yang disebabkan oleh peristiwa internal, manusia dan sistem yang gagal ataupun dari
peristiwa eksternal. Menurut hasil surveys yang diadakan pada tahun 1997-1998 di
Inggris dan Australia oleh PricewaterhouseCoopers dan British Bankers Association
menemukan bahwa hampir 73% Bank-bank disana berfikir bahwa risiko operasional
jauh lebih sering terjadi dibandingkan risiko kredit dan risiko pasar.
Selanjutnya, menurut Idroes et al. (2006, hal 133), terdapat 3 alasan utama
mengapa risiko operasional harus lebih difokuskan dan tidak dipandang remeh, yaitu:
1. Kasus kerugian besar yang terjadi kepada lembaga keuangan dalam satu dekade
terakhir (Daiwa, Barrings, Kidder) disebabkan oleh risiko operasional.
24
2. Risiko operasional sering secara tidak langsung terhubung dengan risiko kredit
maupun risiko pasar. Dan kegagalan dalam risiko operasional pada saat pasar
sedang jelek, dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar, contohnya pada
kasus Barrings. Kelalaian dari manajemen dalam melihat saham Nikkei yang
pada saat itu sedang jatuh, menyebabkan kerugian hingga miliaran dolar USD.
3. Apabila risiko operasional tidak ditanggapi secara serius, dapat menyebar ke
semua bidang di Bank tersebut dan pada saat manajemen harus mengambil
keputusan besar berdasarkan informasi yang salah dari salahsatu bidang,
kerugian pun akan terjadi dan tidak dapat dihindari.
Pada Tabel 2.3 dapat dilihat jenis-jenis kerugian/kehilangan yang dapat
ditimbulkan terkait dengan risiko operasional.
Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional
Jenis Kerugian Kriteria Definisi Contoh
Kerugian langsung Kehilangan
pendapatan
Peningkatan
biaya akibat
terjadinya event
Biaya lembur
untuk
investigasi
Kesalahan yang
tidak dapat
diperbaiki
Denda yang
harus dibayar
Kehilangan nilai Biaya tetap yang
harus disediakan
Nilai aktiva
turun dan
kewajiban naik
Anggaran untuk
penyelesaian
kasus
Kerugian fisik
akibat aktiva
yang hilang dan
turunnya nilai
pasar dari aktiva
25
Tabel 2.3. Kerugian Akibat Risiko Operasional (lanjutan)
Jenis Kerugian Kriteria Definisi Contoh
Kerugian tidak
langsung Kerugian
langsung yang
disebabkan
event yang
terjadi
Kehilangan
pendapatan
Kehilangan nilai
Biaya bunga;
peningkatan
biaya asuransi;
nasabah
hengkang
Kehilangan
karyawan kunci
dan pangsa
pasar
Kerugian tidak
langsung
lainnya
Kenaikkan biaya
modal; aliran
kas tersendat;
reputasi
memburuk
Opportunity cost Kehilangan
pendapatan
Kehilangan nilai
Kehilangan
peluang bisnis
Kehilangan
sumber daya
Sumber: Idroes et al. (2006, hal. 132).
Sifat dasar perbankan dan perekonomian global dewasa ini yang serba cepat
dengan frekuensi transaksi dan jumlah transaksi yang besar telah meningkatkan risiko
operasional dalam industri perbankan. Sampai saat ini, salah satu penyangga terakhir
agar Bank, yang mengalami risiko operasional, tetap dapat menjalankan aktivitas
sesuai dengan rencana adalah dengan penyediaan modal yang mencukupi dengan
tujuan untuk menutupi kerugian jika risiko operasional terjadi.
2.2.3.3. Risiko Pasar
Menurut Idroes et al. (2006, hal. 101), risiko pasar didefinisikan sebagai
risiko kerugian pada posisi neraca serta pencatatan tagihan dan kewajiban di luar
26
neraca (on-and-off-balance sheet) yang timbul dari pergerakan harga pasar (market
price). Sedangkan menurut Lam (2003, hal. 181), risiko pasar adalah potensial
kehilangan yang dihasilkan oleh perubahan harga pasar dan rates. Faktor-faktor
utama yang menimbulkan risiko pasar adalah risiko suku bunga, risiko valuta asing,
risiko komoditas dan risiko ekuitas. Sedangkan Inflasi sebenarnya berhubungan erat
dengan risiko suku bunga. Beberapa risiko pasar yang relevan pada sektor perbankan
di Indonesia menurut Idroes et al. (2006, hal 102-105) yaitu:
1. Risiko Suku Bunga (Interest Rate Risk)
Risiko suku bunga adalah kerugian potensial yang disebabkan karena perubahan
suku bunga. Risiko pasar dikalkulasikan untuk seluruh instrumen yang
menggunakan satu atau lebih yield curve dalam menghitung nilai pasar. Yield
curve adalah kurva yang menunjukkan hasil yang diterima dari suatu investasi
yang biasanya dinyatakan dalam hasil persentase per tahun dari sejumlah
investasi. Kurva ini menghubungkan antara suku bunga (Interest rate) dengan
jangka waktu jatuh tempo (maturity). Dalam prakteknya, tiap mata uang akan
memiliki sejumlah yield curves pada saat yang sama. Jenis utama dari suku
bunga yang terkait dengan yield curves adalah:
a. Transaksi tunai (cash)
Digunakan untuk menilai kembali posisi deposito dan pinjaman.
b. Transaksi derivatif (derivative)
Kurva ini digunakan untuk menilai semua jenis transaksi derivatif.
c. Transaksi obligasi (bond)
27
Obligasi dinilai berdasarkan harga dengan menggunakan harga penutupan
harian.
d. Transaksi basis (basis)
Tidak semua suku bunga secara aktif diperdagangkan dalam pasar antar
Bank. Suku bunga yang tidak diperdagangkan ditentukan oleh Bank Sentral
sebagai suku bunga diskonto. Di Indonesia dikenal dengan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Peningkatan suku bunga pasar pada satu sisi berarti pula peningkatan suku bunga
kredit, yang dapat berimbas pada pengurangan permintaan kredit dan atau
memperbesar probabilitas gagal bayar debitur kredit yang ada saat ini karena
meningkatkan beban bunga yang harus debitur bayarkan kepada bank (Mankiw,
2004, hal. 65). Dari sisi bank, peningkatan suku bunga pasar juga akan berimbas
pada peningkatan biaya dana bank, sehingga dengan demikian meningkatkan
beban bunga bank. Secara bersama-sama kedua dampak peningkatan suku bunga
tersebut dapat berdampak negatif pada profitabilitas bank, yang pada akhirnya
akan dicerminkan pada penurunan harga saham bank.
2. Risiko Inflasi (Inflation Risk)
Sedangkan secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga
secara umum dan terus menerus (Mankiw, 2004, hal. 75). Kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kebalikan
dari inflasi disebut deflasi, yaitu menurunnya harga-harga secara terus-menerus.
28
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks
Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Sejak
Juli 2008, paket barang dan jasa dalam keranjang IHK telah dilakukan atas dasar
Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2007 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS). Kemudian, BPS akan memonitor perkembangan harga dari
barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan
modern terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
3. Risiko valuta asing (Foreign Exchange Risk)
Risiko valuta asing adalah kerugian potensial yang disebabkan oleh perubahan
nilai tukar valuta asing. Risiko ini terjadi pada seluruh nilai tukar yang terkait
dengan produk dan posisi yang dihargai dari valuta asing berbeda dengan valuta
yang menjadi dasar laporan Bank.
Dalam industri keuangan pada umumnya, terdapat suatu istilah “high risk
bring about high return”. Maksudnya adalah jika ingin memperoleh hasil yang lebih
besar, akan dihadapkan pada risiko yang lebih besar pula. Hal ini dapat dicontohkan
dalam melakukan investasi saham. Dalam bermain saham, berdasarkan volatilitas
harga akan lebih besar peluang untuk memperoleh keuntungan dengan bermain pada
saham lapis rendah. Volatilitas atau pergerakan naik turun harga saham secara tajam
akan membuka peluang untuk memperoleh hasil yang sangat besar, namun
sebaliknya jika harga bergerak ke arah yang berlawanan maka kerugian yang akan
ditanggung sangat besar.
29
Masih menurut Idroes et al. (2006, hal 8), seperti telah dijelaskan sebelumnya,
risiko tidak harus dihindari melainkan harus dihadapi dan dikelola dengan baik.
Penjelasan hal tersebut dapat dilustrasikan sebagai berikut: sebuah Bank memperoleh
dana sebesar Rp. 1 miliar, bunga 12% per tahun, dengan jangka waktu 1 bulan. Jika
Bank tersebut ingin memperoleh keuntungan dari dana tersebut, maka Bank harus
mengalokasikan dana yang diperoleh ke dalam aktiva produktif seperti pinjaman atau
investasi atau penyertaan modal dalam bentuk saham dengan hasil yang lebih besar
dari 12% per tahun. Pilihan tersebut akan menimbulkan risiko paling ekstrim, yaitu
aktiva produktif tersebut tidak kembali. Menghindari risiko memang sah-sah saja,
misalnya hanya disimpan di khasanah Bank tersebut. Namun, hal itu menyebabkan
Bank mengalami kerugian, karena, selain tidak mendapatkan tambahan keuntungan
apapun, Bank juga tetap harus membayar kewajiban bunga terhadap nasabah dan
menyebabkan Bank tersebut mengalami kerugian sebesar suku bunga yang harus
dibayarkan sesuai jatuh tempo.
Dari ilustrasi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendapatkan hasil
dari suatu kegiatan, maka harus menghadapi risiko. Untuk itu, risiko harus dihadapi
dalam setiap aktivitas sehingga memberikan peluang untuk memperoleh hasil yang
diharapkan, namun demikian risiko yang ada harus dikelola dengan baik. Itulah
mengapa diperlukan adanya manajemen risiko.
30
2.3. Manajemen Risiko
Menurut Anggreni dalam tulisannya di dalam wordpress.com yang berjudul
Pentingnya Manajemen Risiko Guna Meningkatkan Daya Saing Perusahaan (9
Oktober 2009), manajemen risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko
yang timbul dari kegiatan usaha bank atau perusahaan. Tujuan manajemen risiko
adalah menjaga agar aktivitas operasional perusahaan tidak menimbulkan kerugian
yang melebihi kemampuannya untuk menyerap kerugian, atau membahayakan
kelangsungan usahanya.
Pada awal proses implementasinya, manajemen risiko seringkali
dipersepsikan sebagai penghambat kemajuan, memperlama proses internal
perusahaan, dan membebani keuangan perusahaan, serta hal negatif lainnya. Namun
dengan berjalannya waktu, apalagi setelah menghadapi dan mengalami krisis
moneter serta krisis keuangan global, akhirnya para pelaku ekonomi mengakui bahwa
penerapan manajemen risiko di perusahaan telah menjadi suatu kebutuhan, termasuk
dalam meraih peluang bisnis, bukan semata-mata menghindari bahaya kerugian.
Menurut Lampiran SE BI No. 5/21/DPNP tanggal 29 September 2003, perihal
Pedoman Standar Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, di bagian latar
belakang nomer 1, situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami
perkembangan pesat yang diikuti dengan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha
perbankan sehingga meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola Bank yang sehat
(good corporate governance) dan penerapan manajemen risiko yang meliputi
31
pengawasan aktif pengurus Bank, kebijakan, prosedur dan penetapan limit risiko,
proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, sistem informasi, dan pengendalian
risiko, serta sistem pengendalian intern.
Di latar belakang nomer 2 dijelaskan bahwa, penerapan manajemen risiko
tersebut akan memberikan manfaat, baik kepada perbankan maupun otoritas
pengawasan Bank. Bagi perbankan, penerapan manajemen risiko dapat meningkatkan
shareholder value, memberikan gambaran kepada pengelola Bank mengenai
kemungkinan kerugian Bank di masa datang, meningkatkan metode dan proses
pengambilan keputusan yang sistematis yang didasarkan atas ketersediaan informasi,
digunakan sebagai dasar pengukuran yang lebih akurat mengenai kinerja Bank,
digunakan untuk menilai risiko yang melekat pada instrumen atau kegiatan usaha
Bank yang relatif kompleks serta menciptakan infrastruktur manajemen risiko yang
kokoh dalam rangka meningkatkan daya saing Bank. Bagi otoritas pengawasan Bank,
penerapan manajemen risiko akan mempermudah penilaian terhadap kemungkinan
kerugian yang dihadapi Bank yang dapat mempengaruhi permodalan Bank dan
sebagai salah satu dasar penilaian dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan
Bank.
Esensi dari penerapan manajemen risiko adalah kecukupan prosedur dan
metodologi pengelolaan risiko sehingga kegiatan usaha Bank tetap dapat terkendali
(manageable) pada batas/limit yang dapat diterima serta menguntungkan Bank.
Namun demikian mengingat perbedaan kondisi pasar dan struktur, ukuran serta
kompleksitas usaha Bank, maka tidak terdapat satu sistem manajemen risiko yang
32
universal untuk seluruh Bank sehingga setiap Bank harus membangun sistem
manajemen risiko sesuai dengan fungsi dan organisasi manajemen risiko pada Bank.
2.4. Teknik Pengolahan Data
2.4.1. Regresi Time Series
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan mengunakan metode regresi
time series yang dilakukan secara elektronik (electronic data processing) dengan
bantuan software EViews 6. Software ini dikenal sebagai salah satu piranti lunak yang
sangat handal dan memiliki modul lengkap untuk regresi time series. Beberapa modul
analisis statistik yang disediakan oleh EViews 6 antara lain adalah (EViews 6’s User
Guides):
1. Uji Statistik Deskriptif
Statistika deskriptif merupakan bagian dari statistika yang mempelajari alat,
teknik, atau prosedur yang digunakan untuk menggambarkan atau
mendeskripsikan kumpulan data atau hasil pengamatan. Data yang dikumpulkan
tersebut perlu disajikan supaya mudah dimengerti, menarik, komunikatif, dan
informatif bagi pihak lain. Informasi yang dapat diperoleh dari statistika
deskriptif ini antara lain ukuran pemusatan data dan ukuran penyebaran data.
Analisis ini untuk menghitung modus, median, rata-rata hitung, range,
interquartile range, ragam dan simpang baku.
33
2. Uji Stasioneritas
Uji stasioneritas bertujuan untuk menguji apakah data yang akan dianalisis
mengandung unit root atau tidak. Jika data masih mengandung unit root, maka
hasil estimasi parameter regresi time series akan bias sehingga menimbulkan
gejala yang disebut dengan spurious regression (Nachrowi dan Usman, 2005;
hal. 78). Uji yang sangat sederhana untuk melihat stasioneritas data adalah
dengan analisis grafik. Akan tetapi, dalam menentukan stasioner atau tidaknya
sebaran data dengan menggunakan grafik tidaklah mudah. Sangat mungkin
terjadi, beberapa orang akan mengambil kesimpulan yang berbeda terhadap suatu
grafik, karena keputusan diambil secara subjektif. Untuk itulah dibutuhkan uji
formal dalam menentukan stasioneritas data, salah satunya adalah dengan
menggunakan unit root test. Output yang paling utama dibutuhkan adalah hasil
dari ADF Test Statistics, dimana jika nilai p-value statistik ADF kurang dari 5%
maka data dikatakan tidak mengandung unit root atau telah stasioner.
3. Uji Validitas Model Regresi
Pengujian ini dilakukan untuk menguji kelayakan pemenuhan asumsi model
regresi. Tujuan pengujian ini adalah agar didapatkan nilai parameter yang BLUE
(Best, Linear, Unbiased, Efficient) sehingga hasil penelitian dapat lebih
diandalkan. Pengujian asumsi-asumsi klasik, yang dilakukan dengan bantuan
EViews 6, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
34
a. Uji Multikolinearitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi ditemukan adanya
korelasi antara variable independen. Interpretasi dari persamaan regresi ganda
secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam
persamaan tersebut tidak saling berkorelasi. Koefisien-koefisien regresi
biasanya diinterpretasikan sebagai ukuran perubahan variabel terikat jika
salah satu variabel bebasnya naik sebesar satu unit dan seluruh variabel
lainnya dianggap tetap. Namun interpretasi ini dianggap tidak benar apabila
terdapat hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian multikolinearitas
dilakukan dengan menggunakan angka koefisien Pearson antar variabel-
variabel independen. Aturan yang digunakan adalah jika angka korelasi
Pearson antara dua variabel independen lebih dari 0,8, maka diantara kedua
variabel independen tersebut saling multikolinear. Apabila terjadi
pelanggaran asumsi multikolinearitas, maka salah satu dari dua variabel
independen yang saling multikolinear harus dikeluarkan dari model regresi
time series.
b. Uji Heterokedastisitas
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dan residual dari suatu pengamatan ke pengamatan
lainnya. Untuk menguji apakah terjadi heterokedastisitas dapat dilakukan
langkah sebagai berikut:
35
1) Jika ada pola tertentu pada grafik, seperti titik-titik yang membentuk pola
yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka
mengindikasikan telah tejadi heterokedastisitas.
2) Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik yang menyebar di atas dan
di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak tejadi heterokedastisitas.
Uji ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan White-Heteroscedasticity
(WH) test, dimana error persamaan regresi time series dikatakan
mengandung heteroskedastisitas jika nilai p-value statistik WH kurang dari
5%. Masalah heterokedastisitas ini dapat diatasi dengan mudah, yaitu dengan
menggunakan pemodelan ARCH (Auto Regressive Conditional
Heteroscedasticity) atau GARCH (Generalized Auto Regressive Conditional
Heteroscedasticity). Kedua jenis pemodelan ini secara langsung dapat
mengatasi heterokedastisitas.
c. Uji Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi berganda
ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t, dengan kesalahan
pada periode t-1. Jadi autokorelasi ialah adanya korelasi antara variabel itu
sendiri, pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Umumnya kasus
autokorelasi banyak terjadi pada data time series. Salah satu langkah yang
dapat dilakukan untuk mendeteksi autokorelasi adalah dengan melihat pola
hubungan antara residual (ui) dan variabel bebas atau waktu (X). Untuk
mempermudah dalam melihat pola hubungan yang dimaksud, kita dapat
36
membuat plot antara kedua variabel tersebut. Untuk menguji keberadaan
autokorelasi dalam penelitian ini digunakan metode Durbin-Watson dimana
angka-angka yang diperlukan dalam metode tersebut adalah dl (angka yang
diperoleh dari tabel DW batas bawah), du (angka yang diperoleh dari tabel
DW batas atas), 4 – dl dan 4 – du. Posisi angka uji Durbin–Watson dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4. Aturan Membandingkan Uji Durbin-Watson dengan
Tabel Durbin-Watson
Persyaratan uji dengan menggunakan tabel Durbin-Watson adalah :
1) Jika nilai DW terletak antara d1 dan (4 - d1) atau antara du dan (4 - du)
maka koefisien autokorelasi sama dengan 0 yang berarti tidak terdapat
autokorelasi.
2) Jika nilai DW berada di luar d1, atau di luar du maka koefisien
autokorelasi lebih besar daripada 0 yang berarti terdapat autokorelasi
positif.
3) Jika nilai DW lebih besar daripada (4 - d1), berarti ada autokorelasi
negatif.
Korelasi Positif Tidak ada korelasi Korelasi negatif
Tidak tahu Tidak tahu
0 dL du 4-du 4-dL 4
37
4) Jika nilai DW terletak antara du dan d1, atau nilai DW terletak antara (4 -
du) dan (4 – d1) maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
4. Model Box-Jenkins/ARIMA
Regresi time series ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average), atau
model Box-Jenkins, ditemukan pertama kali oleh G.E.P Box dan G.M Jenkins.
ARIMA terdiri dari gabungan dua model, yaitu model autoregressive (AR) dan
moving average (MA). Model AR berbentuk hubungan antara variabel terikat Y
dengan variabel bebas yang merupakan nilai Y pada waktu sebelumnya.
Sedangkan model MA menunjukkan ketergantungan variabel terikat Y terhadap
nilai-nilai residual pada waktu sebelumnya secara berurutan. Gabungan kedua
model inilah yang sangat berguna dalam menganalisis data time series, dengan
sebutan ARIMA. Persamaan umum dari suatu model ARIMA secara matematis
adalah sebagai berikut:
t
q
j
jtj
p
i
itit yy11
0
(2.1.)
Keterangan:
ty : Variabel dependen pada waktu t
ity : Variabel dependen pada waktu t-i (AR ordo ke-i)
jt : Error persamaan pada waktu t-j (MA ordo ke-j)
t : Residual error persamaan pada waktu t
ji ,,0 : Parameter-parameter persamaan ARIMA
38
Pada dasarnya, metode ini menggunakan pendekatan iteratif, dengan empat
tahapan dalam menentukan model yang cocok. Tahapan tersebut adalah:
a. Identifikasi
Pada tahap ini kita akan menentukan p, d dan q dengan bantuan korelogram
autokorelasi (ACF) dan korelogram autokorelasi parsial (PACF).
b. Estimasi
Pada tahapan ini, hal yang dilakukan adalah mengestimasi parameter AR dan
MA yang terdapat pada model. Pengestimasian ini menggunakan software
EViews 6.
c. Tes Diagnostik
1) Uji Parsial (Uji t)
Untuk menguji pengaruh masing-masing variabel independen terhadap
variabel dependen digunakan uji t, yang digunakan untuk menguji
keberartian koefisien regresi linier berganda secara parsial. Pengujian
dilakukan dengan membandingkan t-hitung (th) dengan t-tabel (tt) pada
derajat signifikan 5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan t-h>t-t atau
apabila kesalahan kurang dari 5% maka Ho ditolak dan Ha diterima, yang
berarti variabel independen dapat menerangkan pada variabel idependen
dan ada pengaruh yang signifikan diantara kedua variabel yang diuji.
Namun apabila sebaliknya t-h < t-t atau apabila kesalahan lebih dari 5%,
maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang kesimpulannya adalah variabel
independen tidak dapat menerangkan variabel dependen dengan baik, atau
39
dengan kata lain, tidak ada pengaruh yang signifikan diantara kedua
variabel yang diuji.
2) Uji Simultan (Uji F)
Untuk menguji pengaruh variabel independen dengan dependen yang
digunakan secara simultan. Pengujian uji F atau variasinya dengan
membandingkan F-hitung ( Fh) dengan F tabel (Ft) pada derajat signifikan
5%. Apabila hasil pengujian menunjukkan Fh > Ft atau probabilitas
kesalahan kurang dari 5%, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hal tersebut
menunjukkan ada pengaruh signifikan dari variabel independen terhadap
variabel dependen. Namun, jika sebaliknya Fh< Ft atau probabilitas
kesalahan lebih dari 5% , maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hal tersebut
menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel independen
terhadap variabel dependen.
d. Goodness-of-Fit
Setelah model ARIMA ditentukan, dan parameternya telah diestimasi, maka
kemudian kita harus melihat apakah model yang terpilih cocok dengan data
atau tidak. Beberapa tes diagnostik yang penting untuk diperhatikan antara
lain:
1) Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien korelasi (R) digunakan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Nilai R berkisar antara 0 sampai
dengan 1. Jika R semakin mendekati 1 maka hubungan semakin kuat.
40
Namun jika R semakin mendekati 0 maka hubungan semakin lemah. Hal
tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
0,00-0,199 = sangat lemah
0,20-0,399 = lemah
0,40-0,599 = sedang
0,60-0,799 = kuat
0,80-1,00 = sangat kuat
Kuadrat dari nilai R disebut sebagai koefisien determinasi (R2), yang
nilainya berkisar antara 0% hingga 100%. Semakin tinggi nilai koefisien
determinasi, maka berarti bahwa model yang diestimasi semakin baik
dalam menjelaskan variabel dependen. Ukuran Goodness-of-Fit ini
mencerminkan seberapa besar variasi dari regressand (Y) dapat
diterangkan oleh regressor (X). Bila R2 = 0, artinya variasi dari Y tidak
dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya
variasi dari Y, 100% dapat dterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 =
1, maka semua titik pengamatan berada pada garis regresi. Dengan
demikian ukuran goodness of fit dari suatu model ditentukan oleh R2 yang
nilainya antara nol dan satu.
2) Akaike Information Criteria (AIC)
AIC adalah salah satu ukuran goodness-of-fit model regresi time series.
Semakin kecil nilai AIC, maka suatu model regresi time series dikatakan
semakin unggul.
41
3) Schwarz Information Criteria (SIC)
SIC merupakan salah satu alternatif ukuran goodness-of-fit model regresi
time series, namun dengan penalti yang lebih tinggi dari AIC. Serupa
dengan AIC, suatu model regresi time series dikatakan lebih unggul jika
nilai SIC nya semakin kecil.
e. Tahap peramalan (forecasting)
Peramalan baru dilakukan setelah modelnya lolos tes diagnostic dan
goodness-of-fit, sehingga diperoleh model yang paling optimal. Peramalan ini
sesungguhnya merupakan penjabaran dari persamaan berdasarkan koefisien-
koefisien yang didapat, sehingga dapat ditentukan kondisi di masa yang akan
datang.
5. Model GARCH (Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedastic)
Sebagaimana telah kita ketahui, pada umumnya data cross section sering
memunculkan varians error yang heterokedastis. Akan tetapi, bukan berarti data
time series terhindar dari permasalahan tersebut. Data keuangan seperti Indeks
Harga Saham, inflasi, nilai tukar atau suku bunga seringkali mempunyai varian
error yang tidak konstan. Pada model GARCH ini tidak memandang
heteroskedastisitas sebagai permasalahan, tetapi justru memanfaatkan kondisi
tersebut untuk membuat model. Bahkan dengan memanfaatkan
heteroskedastisitas dalam error dengan tepat, maka akan diperoleh estimator yang
lebih efisien. Adakalanya varian dari error tidak tergantung pada variabel
bebasnya melainkan varian tersebut berubah-ubah seiring dengan perubahan
42
waktu. Aplikasi yang mempunyai karakteristik seperti ini biasanya pada
pemodelan return dari pasar modal, inflasi atau interest rate. Pada pemodelan ini,
ada suatu periode dimana volatilitas sangat tinggi dan ada periode lain yang
volatilitasnya sangat rendah. Pola volatilitas yang demikian menunjukkan adanya
heteroskedastisitas karena terdapat varian error yang besarnya tergantung pada
volatilitas error di masa lalu. Data yang mempunyai sifat heteroskedastisitas
seperti ini dapat dimodelkan dengan Generalized AutoRegressive Conditional
Heteroscedasticity (GARCH). Persamaan umum dari suatu model GARCH secara
matematis adalah sebagai berikut:
2
2
2
10
2
jtitt (2.2.)
Keterangan:
2
t : Varians (kuadrat volatilitas) variabel dependen pada
waktu t
2
1t : Kuadrat error variabel dependen pada waktu t-i
2
1t : Varians error variabel dependen pada waktu t-j
210 ,, : Parameter-parameter variance equation
2.4.2. Value-at-Risk (VaR)
Selain pengolahan data model time series dengan menggunakan E-Views 6,
dalam rangka mengimplementasikan model time series yang telah diestimasi untuk
keperluan manajemen risiko, digunakan metode Value-at-Risk (VaR). Menurut Best
43
(1998) dikutip Sartono dan Setiawan (2006, hal 38) dalam jurnalnya yang berjudul
VaR Portfolio Optimal: Perbandingan Antara Metode Markowitz dan Mean Absolute
Deviation, Value at Risk atau VaR adalah suatu metode pengukuran risiko secara
statistik yang memperkirakan kerugian maksimum yang mungkin terjadi atas suatu
portofolio pada tingkat kepercayaan (level of confidence) tertentu. Nilai VaR selalu
disertai dengan probabilitas yang menunjukkan seberapa mungkin kerugian yang
terjadi akan lebih kecil dari nilai VaR tersebut. VaR adalah suatu nilai kerugian
moneter yang mungkin dialami dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
Sedangkan menurut Wikipedia (2011), dalam ekonomi dan keuangan, Value
at Risk, disingkat VaR, adalah kerugian maksimum yang tak akan dilewati untuk
suatu probabilitas yang didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan (confidence level),
selama suatu periode waktu tertentu. VaR biasanya digunakan oleh lembaga efek atau
bank investasi untuk mengukur risiko pasar dari portfolio aktiva mereka, walaupun
sebenarnya VaR adalah suatu konsep yang bersifat umum yang dapat diterapkan
untuk berbagai hal. VaR diterapkan secara luas dalam keuangan untuk manajemen
risiko kuantitatif untuk berbagai jenis risiko. VaR tidak memberikan informasi
mengenai besarnya kerugian jika dilampaui.
Menurut Sumiarbudi (2009) dalam tulisannya yang berjudul Value at Risk,
model untuk menghitung VaR bermacam-macam, namun secara umum pengukuran
VaR mengikuti proses lazim yang dapat diringkaskan dalam tiga tahap:
44
a. Identifikasi faktor risiko dan distribusi kerugian.
b. Mengukur risiko dan menghitung VaR berdasarkan distribusi kerugian
tersebut. Dalam hal ini terdapat beberapa metoda yang lazim digunakan,
yaitu:
1) Pendekatan Variance-Covariance
Metoda analisis variance-covariance berasumsi bahwa faktor risiko
terdistribusi secara log-normal, sehingga log-returns terdistribusi normal.
Setelah distribusi laba-rugi portfolio diperoleh, maka properti matematis
baku dari distribusi normal dapat digunakan untuk menghitung kerugian
yang akan setara dengan atau melampaui x persen pada suatu waktu, yakni
VaR. Metode varian-covariane meliputi empat tahap:
a) Identifikasi faktor pasar dasar dan dan posisi standar yang
berhubungan langsung dengan faktor pasar.
b) Berasumsi bahwa persen perubahan faktor pasar terdistribusi Normal
dengan rerata nol dan mengestimasi parameter distribusinya.
c) Menggunakan standar deviasi dan korelasi faktor pasar untuk
menentukan standar deviasi dan korelasi perubahan nilai standar
posisi.
d) Hitung varian dan standar deviasi portfolio dengan menggunakan
distribusi Normal untuk menentukan distribusi laba-rugi portfolio.
45
2) Pendekatan Simulasi Historis
Metoda simulasi histories tidak berasumsi distribusi Normal, tetapi
menggunakan distribusi empiris dari realisasi historis pada suatu waktu
yang ditentukan.Lazim dianggap dibutuhkan data harian dua-tiga tahun
untuk menghasilkan hasil berarti. Sekurang-kurangnya dibutuhkan data
250 hari terakhir (satu tahun) dan dihitung persen perubahannya. Tahapan
untuk mengukur VaR pendekatan simulasi historis meliputi:
a) Identifikasi faktor pasar.
b) Memperoleh nilai histories dari faktor pasar selama N periode terakhir.
c) Nilai ulang portfolio sekarang dengan perubahan suku bunga dan
harga pasar.
d) Hitung laba dan rugi harian.
e) Urutkan laba-rugi harian dari yang tertinggi sampai terendah.
f) Pilih persentil 99% untuk Value-at-Risk.
3) Pendekatan Simulasi Monte Carlo
Simulasi Monte Carlo berisi simulasi berulang proses acak yang dikaitkan
dengan harga dan suku bunga pasar. Masing-masing simulasi menciptakan
suatu nilai yang mungkin untuk portfolio pada horizon yang ditargetkan.
Jika skenario simulasi diulang-ulang makin banyak, akan diperoleh nilai
yang makin stabil. VaR dihitung dari distribusi yang diperoleh dari hasil
simulasi tersebut. Tahapan mengukur VaR dengan pendekatan simulasi
Monte Carlo:
46
a) Identifikasi seluruh faktor risiko relevan.
b) Bentuk jalur-jalur harga, menggunakan angka acak yang dihasilkan
oleh generator pembangkit angka acak.
c) Nilai portfolio untuk setiap jalur atau skenario. Setiap jalur
menciptakan seperangkat nilai untuk faktor risiko untuk setiap
sekuritas dalam portfolio yang akan digunakan sebagai input
pemodelan harga. Proses ini diulang-ulang sampai diperoleh distribusi
yang stabil.
c. Melaksanakan Prosedur Backtesting
Verifikasi merupakan prosedur lazim untuk memeriksa kekuatan model.
Pemeriksaan kekuatan model VaR dapat dilakukan menggunakan backtesting,
stress testing, atau independent review dan oversight. Backtesting adalah
kerangka pengujian statistik yang berisi pemeriksaan apakah kerugian pada
prakteknya sejalan dengan peramalan VaR. Suatu penyimpangan dari nilai
VaR akan disebut sebagai pelanggaran. Jumlah batas pelanggaran pada suatu
model VaR menurut Basel II (2006, hal. 321) adalah sebagai berikut:
1) Green Zone
Yaitu jika jumlah pelanggaran antara 0-4 dari 250 observasi, atau dengan
kata lain sebesar 1.60% atau kurang. Pada zona ini, model VaR dianggap
memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memprediksi nilai kerugian
maksimum pada tingkat kepercayaan 99%.
47
2) Yellow Zone
Yaitu jika jumlah pelanggaran antara 5-9 dari 250 observasi, atau dengan
kata lain antara 2.00%-3.60%. Pada zona ini, model VaR dianggap masih
masuk akal dengan tingkat akurasi sedang dalam memprediksi nilai
kerugian maksimum pada tingkat kepercayaan 99%.
3) Red Zone
Yaitu jika jumlah pelanggaran 10 atau lebih dari 250 observasi, atau
dengan kata lain 4.00% atau lebih. Pada zona ini, model VaR dianggap
kurang akurat dalam memprediksi nilai kerugian maksimum pada tingkat
kepercayaan 99%. Untuk itu, perlu dipertimbangkan model alternatif lain
yang memungkinkan terjadi peningkatan akurasi.
2.4.3. Portfolio Saham
Untuk mengetahui dampak dari perubahan setiap variabel independen pada
pergerakan return harga saham perbankan, perlu dilakukan pembentukan portfolio
saham, baik untuk keseluruhan sampel saham bank maupun per kelompok sampel
saham bank. Return saham dari portfolio saham-saham perbankan dihitung dengan
menggunakan formula sebagai berikut (Bodie et al, 2003: hal. 136):
N
i
iip rwrE1
)(
dimana rp adalah return portfolio, wi adalah bobot saham i, ri adalah return saham i,
dan N menunjukkan jumlah saham bank penyusun portfolio.
48
2.5. Hipotesis Penelitian
Menurut Imam Ghozali dalam bukunya yang berjudul Aplikasi Analisis
Multivariate dengan Program SPSS (2006, hal. 84), hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris.
Hipotesis menyatakan hubungan apa yang kita cari atau ingin kita pelajari. Hipotesis
adalah keterangan sementara dari hubungan fenomena-fenomena yang kompleks.
Oleh karena itu, perumusan hipotesis menjadi sangat penting dalam sebuah
penelitian.
Masih menurut Ghozali (2006, hal. 84), ada dua jenis hipotesis yang
digunakan dalam penelitian, antara lain:
1. Hipotesis nol atau null hypotheses (Ho)
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak
adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y.
2. Hipotesis kerja atau alternatif (Ha)
Hipotesis ini menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya
perbedaan antara dua kelompok.
Beberapa hipotesis yang diuji dalam penelitian ini, dalam rangka menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Perubahan interest rate berpengaruh terhadap volatilitas return saham
bank-bank di Indonesia
49
Menurut Herman (2003) dikutip Meta (2006, hal. 24), pengertian dari suku
bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau
harga dari penggunaan uang yang dipergunakan pada saat ini dan akan
dikembalikan pada saat mendatang.
Volatilitas suku bunga SBI yang fluktuatif akan mempengaruhi volatilitas return
saham Menurut Iswardono (1999) dikutip Sugeng (2004, hal. 34), kenaikan suku
bunga akan berakibat terhadap menurunnya return saham begitu juga sebaliknya.
Dalam menghadapi kenaikan suku bunga, para pemegang saham akan menahan
sahamnya sampai tingkat suku bunga kembali pada tingkat yang dianggap
normal. Sebaliknya, jika tingkat suku bunga jangka panjang meningkat maka
pemegang saham cenderung menjual sahamnya karena harga jualnya tinggi.
Menurut Saunders dan Yourougou (1990), tingkat pendapatan dan beban suatu
bank dipengaruhi langsung oleh perubahan suku bunga pasar. Hal ini terjadi
karena pada hakikatnya sumber utama pendapatan bank adalah dari pendapatan
bunga atas kredit yang telah disalurkannya kepada para debitur, sedangkan
sumber utama bebannya adalah beban bunga yang diberikannya kepada nasabah
penyimpan.
Beberapa penelitian empiris terdahulu seperti Lynge dan Zumwalt (1980),
Flannery dan James (1984), Booth dan Officer (1985), Scott dan Peterson
(1986), dan Bae (1990) menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang
signifikan antara return saham perusahaan-perusahaan finansial dengan
perubahan suku bunga pasar. Di sisi lain, juga terdapat beberapa penelitian yang
50
ternyata tidak dapat menemukan bukti yang kuat bahwa perubahan suku bunga
pasar berpengaruh terhadap return saham perusahaan-perusahaan finansial,
seperti pada hasil penelitian Lloyd dan Shick (1977) serta Chance dan Lane
(1980).
Dari beberapa paparan di atas dalam penelitian ini akan diuji hipotesis sebagai
berikut:
H01: Perubahan interest rate tidak berpengaruh negatif terhadap volatilitas
return saham bank-bank di Indonesia.
Ha1: Perubahan interest rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas return
saham bank-bank di Indonesia.
2. Perubahan exchange rate berpengaruh terhadap volatilitas return saham
bank-bank di Indonesia.
Nilai tukar mata uang (exchange rate), sering disebut kurs, merupakan harga
mata uang terhadap mata uang lainnya. Kurs merupakan salah satu harga yang
terpenting dalam perekonomian terbuka mengingat pengaruh yang demikian
besar bagi neraca transaksi berjalan maupun variabel-variabel makroekonomi
yang lainnya.
Menurut Mankiw dalam bukunya yang berjudul Brief Principles of
Macroeconomics (2009, hal. 287), nilai tukar mata uang atau kurs valuta asing
terdiri dua jenis yaitu:
a. Nominal Exchange Rate, merupakan kurs yang ditentukan atas pertukaran
mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain.
51
b. Real Exchange Rate, merupakan kurs yang ditentukan atas pertukaran barang
atau jasa dari suatu negara dengan negara lain.
Adapun perubahan yang terjadi pada exchange rate dapat berupa empat hal
yaitu:
a. Depresiasi (depreciation) merupakan penurunan harga mata uang nasional
terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik-menarik antara supply dan
demand di dalam pasar.
b. Apresiasi (appreciation) merupakan peningkatan harga mata uang nasional
terhadap mata uang asing akibat terjadinya tarik-menarik antara supply dan
demand di dalam pasar.
c. Devaluasi (devaluation) merupakan penurunan harga mata uang nasional
terhadap mata uang asing yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah di
suatu negara.
d. Revaluasi (revaluation) merupakan peningkatan harga mata uang nasional
terhadap mata uang asing yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah di
suatu negara.
Saat ini standar mata uang utama yang dipakai dalam perdagangan internasional
adalah Dollar Amerika (US Dollar), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris
(GBP), Dollar Australia (AUD) dan Euro Uni Eropa (EUR). Dari keseluruhan
mata uang tersebut Dollar Amerika memiliki pengaruh dan peranan yang paling
besar.
52
Pengamatan exchange rate sangat penting dilakukan mengingat perubahan
exchange rate sangat menentukan nilai trading book neraca bank, yang secara
berkala dilakukan mark-to-market. Apabila bank memiliki net exposure pada sisi
aktiva, maka penguatan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing akan
menyebabkan translation loss. Sebaliknya, jika bank memiliki net exposure pada
sisi pasiva, maka pelemahan kurs mata uang domestik terhadap mata uang asing
akan menimbulkan kerugian bagi bank (Kasman, 2011).
Beberapa penelitian empiris yang telah meneliti pengaruh perubahan exchange
rate terhadap return saham perbankan yaitu Grammatikos et al. (1986) dan
Chamberlain et al. (1997). Pada hasil penelitian Grammatikos et al. (1986),
ditemukan bukti yang kuat bahwa pergerakan exchange rate berpengaruh
signifikan pada return saham perbankan. Berbeda dengan hasil penelitian
Chamberlain et al. (1997), pergerakan exchange rate hanya ditemukan signifikan
terhadap return sebagian besar saham-saham bank di US, namun tidak
ditemukan signifikan pada sebagian besar saham-saham bank di Jepang.
Dari beberapa paparan di atas diajukan hipotesis sebagai berikut:
H02: Perubahan exchange rate tidak berpengaruh negatif terhadap
volatilitas return saham bank-bank di Indonesia.
Ha2: Perubahan exchange rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas
return saham bank-bank di Indonesia.
3. Perubahan inflation rate berpengaruh terhadap volatilitas return saham
bank-bank di Indonesia
53
Menurut Herman (2003) dikutip Meta (2006, hal 21), inflasi adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan peningkatan harga-harga pada umumnya atau
turunnya nilai mata uang yang beredar. Indikator inflasi adalah sebagai berikut
(www.bi.go.id):
a. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan
untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke
waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang
dikonsumsi oleh masyarakat. Tingkat inflasi di Indonesia biasanya diukur
dengan Indeks Harga Konsumen (IHK).
b. Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu
daerah.
Menurut Nurdin (1999) dikutip Meta (2006, hal 23), tingkat inflasi yang tinggi
menunjukkan bahwa risiko investasi cukup besar sebab inflasi yang tinggi akan
mengurangi tingkat pengembalian (rate of return) dari investor. Selain itu pada
kondisi inflasi yang tinggi maka harga barang-barang atau bahan baku
mempunyai kecenderungan untuk meningkat. Peningkatan harga barang-barang
dan bahan baku akan membuat biaya produksi menjadi tinggi, sehingga akan
berpengaruh pada penurunan jumlah permintaan, baik secara individual maupun
menyeluruh sebagai dampak dari penurunan data beli masyarakat. Akibatnya
jumlah penjualan akan menurun pula, penurunan jumlah penjualan ini akan
menurunkan pendapatan perusahaan. Hal ini tentu berdampak pada lebih
54
tingginya risiko kredit yang harus dihadapi oleh industri perbankan, sehingga
dapat berpengaruh negatif terhadap kinerja industri perbankan.
Beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang dampak inflasi terhadap
return saham perbankan adalah Lajeri dan Dermine (1999), Boyd et al. (2001),
dan Cole et al. (2008). Dalam penelitian Lajeri dan Dermine (1999), diperoleh
kesimpulan bahwa dalam periode ekonomi sedang mengalami inflasi yang
volatile, terdapat hubungan yang negatif antara return saham perbankan dengan
tingkat inflasi. Sejalan dengan hal tersebut, dalam penelitian Boyd et al. (2001)
ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat inflasi, maka semakin tinggi pula
volatilitas return saham bank. Hal ini terjadi karena pada saat periode inflasi
tinggi, perbankan akan mengurangi penyaluran kredit, sebagai dampak dari
meningkatnya risiko kredit, dan oleh karenanya perbankan menjadi kurang
efektif dalam mengalokasikan modalnya. Berbeda dengan kedua penelitian
sebelumnya, Cole et al. (2008) menemukan bahwa terdapat hubungan yang
positif antara return saham perbankan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Perekonomian yang tumbuh pada umumnya dicirikan dengan banyaknya
lapangan pekerjaan, penurunan pengangguran, dan peningkatan inflasi, sesuai
dengan Kurva Philips (Mankiw, 2009, hal. 387).
Dari beberapa paparan diatas diajukan hipotesis sebagai berikut:
H03: Perubahan inflation rate tidak berpengaruh negatif terhadap volatilitas
return saham bank-bank di Indonesia.
55
Ha3: Perubahan inflation rate berpengaruh negatif terhadap volatilitas
return saham bank-bank di Indonesia.
2.6. Penelitian-Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait erat dengan topik dalam tesis ini
adalah sebagai berikut.
2.6.1. Bae (1990)
Dalam penelitiannya Bae menjelaskan pengaruh perubahan tingkat suku
bunga pasar terhadap return saham-saham perusahaan yang bergerak di sektor
keuangan. Bae menggunakan two-index factor model, yang merupakan
pengembangan dari model Arbitrage Pricing Theory (APT) yang dipelopori oleh
Ross (1976), dengan menggunakan model OLS yang mengasumsikan constant
variance error terms, dapat dibuktikan bahwa return saham-saham perusahaan
keuangan dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan tingkat suku bunga dengan
arah negatif.
2.6.2. Chamberlain, Howe, dan Popper (1997)
Dengan menggunakan data harian dan bulanan saham bank-bank di US dan
Jepang dari periode tahun 1990-1995, Chamberlain, Howe, dan Popper meneliti
pengaruh perubahan nilai tukar mata uang USD atau eksposur risiko nilai tukar
terhadap return saham-saham perbankan di dua negara tersebut. Mereka menemukan
56
bahwa return saham mayoritas bank di US secara signifikan sensitif terhadap
perubahan nilai tukar USD, sedangkan di Jepang, hanya beberapa bank saja yang
dipengaruhi secara signifikan oleh perubahan nilai tukar USD. Model yang digunakan
adalah model OLS.
2.6.3. Hahm (2004)
Hahm menggunakan sampel saham-saham perbankan di Korea Selatan.
Dengan menggunakan three-factor model seperti yang digunakan dalam Choi et al.
(1992) serta Wetmore dan Brick (1994), Hahm meneliti pengaruh perubahan tingkat
suku bunga dan perubahan nilai tukar mata uang Won terhadap return saham-saham
perbankan dari tahun 1995-2002. Hahm memperoleh bukti yang kuat bahwa return
saham-saham perbankan di Korea Selatan secara signifikan sensitif terhadap
perubahan pada kedua faktor tersebut, yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar mata
uang Won.
2.6.4. Meta (2006)
Penelitian di Indonesia dilakukan oleh Meta, yang meneliti perbedaan
pengaruh inflasi, tingkat suku bunga, dan nilai tukar Rupiah/USD terhadap return
saham-saham perusahaan yang bergerak di bidang properti dan manufaktur selama
periode tahun 2000-2005. Dengan menggunakan model OLS, Meta menemukan
bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan pada terhadap return saham-saham
properti, namun sebaliknya, berpengaruh signifikan positif terhadap return saham-
57
saham manufaktur. Tingkat suku bunga tidak berpengaruh signifikan terhadap return
saham properti, namun berpengaruh negatif signifikan terhadap return saham-saham
manufaktur. Sedangkan kurs Rupiah/USD ditemukan berpengaruh signifikan negatif
baik terhadap return saham-saham properti maupun manufaktur.
2.6.5. Kasman, Vardar, dan Tunc (2011)
Penelitian terbaru yang menyelidiki pengaruh perubahan interest rate dan
exchange rate terhadap return dan volatilitas return saham perbankan adalah
penelitian yang dilakukan oleh Kasman, Vadar, dan Tunc yang menggunakan sampel
saham-saham perbankan di Turki selama periode 1999-2009.
Berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya, penelitian ini
membandingkan dua model yaitu model klasik OLS yang mengasumsikan constant
variance error term dan model GARCH yang lebih modern dengan asumsi time-
dependent variance error term. Secara matematis:
a. Model OLS
Metode ini digunakan untuk mengestimasi efek dari interest rate dan exchange
rate terhadap saham Bank.
rt = o + 1MRKt + 2INTt + 3FXt + πt
Keterangan:
rt = return stock
MRKt = return of stock market
INTt = return risk-free interest rate or bond index
58
FXt = return foreign exchange rate
πt = error term
0 = intercept term
b. Model GARCH
Model ini digunakan untuk menganalisa apakah perubahan interest return dan
FX rate return memiliki dampak pada volatilitas saham bank-bank.
rt = Yo + Y1MRKt + Y2INTt + Y3FXt + phit
ót2 = α0 + α1et
2-1 + ót
2-1
Secara umum, kesimpulan yang didapatkan dari penelitian Kasman, Vardar, dan Tunc
(2011) adalah sebagai berikut:
Pergerakan interest rate dan exchange rate mempunyai dampak yang
signifikan pada return saham.
Perubahan interest rate dan exchange rate sangat berpengaruh dan dominan
terhadap volatilitas saham bank-bank.
Memberikan masukkan kepada investor mengenai saham bank, bagi manajer
bank untuk membangun strategi risiko manajemen.
2.6.6. Goorbergh dan Vlaar (1999)
Salah satu penelitian tentang implementasi manajemen risiko atas volatilitas
return saham dengan metode Value-at-Risk (VaR) dilakukan oleh Goorbergh dan
Vlaar (1999). Mereka meneliti volatilitas return dari saham-saham yang tergabung
dalam Dutch’s Stock Market Index AEX dan saham-saham yang tergabung dalam
59
Dow Jones Industrial Average. Sampel data yang digunakan adalah dari tahun 1983
hingga 1998. Dari hasil penelitian Goorbergh dan Vlaar ini, mereka menemukan
bahwa model volatilitas yang paling cocok digunakan dalam implementasi
manajemen risiko return saham adalah model GARCH dengan asumsi distribusi
probabilitas yang mengikuti distribusi t-student, mengingat karakteristik data return
saham yang cenderung bersifat fat-tailed.
top related