bab ii ata -...
Post on 02-Mar-2019
223 Views
Preview:
TRANSCRIPT
17
BAB II
TINJAUAN UMUM ETIKA ISLAM DAN ETIKA PERGAULAN
LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
A. Etika Islam
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakikat dan dasar
perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan
klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan
dilarang. Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus
terhadap definisi konsep- konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap
keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang
baik dan yang buruk. Untuk lengkapnya sistem etika harus berkaitan secara
memadai dengan aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara yang bermakna
dan koheren.
Al-Qur’an yang melibatkan seluruh kehidupan moral, keagamaan dan
sosial muslim, tidak berisi teori-teori etika dalam arti yang baku sekali pun,
Al-Qur’an membentuk keseluruhan ethos Islam. Jadi, cara mengeluarkan
ethos ini menjadi sangat penting dalam studi etika Islam. Ada tiga hal yang
menjanjikan arah di mana penelitian kini dapat membuahkan hasil yang
kesemuanya itu kembali kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, yaitu tafsir, fiqih,
dan kalam. Para sufi dan filosofis yang sering menggali otoritas Al-Qur’an
untuk mendukung pernyataan teoritis dan etika mereka tidak dapat dikatakan
telah membangun pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan
manusia, karena bentuk pemikiran mereka sebelumnya, terutama Yunani.
Sehingga teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi,
yang menyusunnya sebagian dari teori umum yang berakar dari Al-Qur’an dan
hadits.
Pemikiran etika membutuhkan sistematisasi dan shophistifikasi
intelektual yang maju. Sebelum munculnya teologi dan filsafat aktivitas
18
semacam itu benar terputus. Para komentator Al-Qur’an, ahli hadits dan ahli
hukum telah berusaha dalam menganalisa dan interpretasinya melibatkan
aktivitas intelektual yang sungguh-sungguh dalam arti luar. Akan tetapi
aktivitas tersebut berhubungan erat dengan sumber asli kebenaran yaitu Al-
Qur’an dan hadits dan kurang menggunakan akal sebagai karakter aktivitas
dialektika dan rasional murni, dengan kesan koherensi dan komprehensifnya.
Yang muncul dalam proses ini adalah serangkaian pandangan atau refleksi
moral dan bukan teori etika dalam arti baku. Untuk memperluas usaha yang
telah dilakukan oleh para komentator, para ahli hadits dan ahli hukum
menerangkan atau menjustifikasikan ethos moral Al-Qur’an dan hadits. Usaha
mereka dalam lapangan etika dapat dikatakan untuk menyusun subtansi apa
yang kita sebut moralitas skriptual1 (teks moral).
Kemudian dalam rangka menjabarkannya maka muncullah para
pemikir dan filosof Islam yang mengetengahkan teori-teori akhlak atau etika,
yang mengadakan pembahasan dengan pendekatan falsafat maupun langsung
dengan Al-Qur'an dan hadits.
Ihwanus Shafa adalah suatu kelompok yang bergerak dalam lapangan
pemikiran yang anggotanya khusus kaum laki-laki, dalam lapangan etika
kelompok ini mendasarkan pada prinsip rohaniyah dan zuhud. Manusia
dipandang baik apabila melakukan perbuatannya sejalan dengan karakter yang
hakiki. Al-Farabi berpendapat akal mampu menetapkan suatu perbuatan
apakah baik atau buruk, akal sebagai limpahan dari alam ulwa, dan ma’rifat
sebagai pokok keutamaan, mengapa tidak meletakan akal pada kaidah-kaidah
akhlak. Menurut Ibnu Sina dalam rangka memeperbaiki akhlak dirinya, maka
seseorang harus melakukan dua cara, yaitu mengenal akhlaknya sendiri dan
bercermin kepada akhlak orang lain. Ibnu Bajjah, menurutnya perbuatan
manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindakan hewani dan manusiawi
serta tindakan yang timbul dari pemikiran yang lurus dan kemauan yang
1 Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hlm. 1
19
bersih dan tinggi.2 Ibnu Miskawaih berpendapat akhlak yang tercela bisa
berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (Tarbiyah Al-
Akhlak) dan latihan-latihan.3
1. Pengertian Etika Islam
Penyepadanan istilah moral atau sopan santun, norma serta etiket
dengan etika secara umum sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.4
padahal bila dicermati cakupan makna yang terdapat pada moral atau
sopan santun memiliki perbedaan arti yang sangat mendasar dengan
cakupan makna yang terdapat pada etika.
Secara bahasa etika merupakan kata turunan dari ethokos (Yunani)
yang berasal dari ethos yang berarti “penggunaan, karakter, kebiasan,
kecenderungan.”5 Kata etika identik dengan moral yang berasal dari
bahasa latin mos yang bentuk jamaknya mores yang berarti adat atau cara
hidup. Dengan demikian etika dan moral sama artinya, tetapi dalam
pemakaian sehari-hari ada perbedaanya. Moral atau moralitas dipakai
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem
pengkajian nilai-nilai yang ada. Moral lebih cenderung terhadap hal-hal
yang bersifat praktis, sedangkan etika lebih cenderung terhadap teoritis.6
Dalam bahasa Arab etika Islam sama artinya dengan Akhlak jamak
dari Khuluqun ( خلق) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat.7 Dengan demikian dari beberapa arti di atas dapat dikemukakan
bahwa etika menurut bahasa mempunyai beberapa makna yang
komprehensip antara teori dan praktek, yaitu kesusilaan, adat tingkah laku
dan ungkapan perasaan batin. Secara umum etika adalah sepadan dengan
moral yang keduanya merupakan filsafat tentang adat kebiasan, yang
2 Muhammad Nasuha, Etika Filsafat Dalam Perspektif Islam, jurnal teologia, Fakultas
Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, 1995, Hlm. 10-13 3 Sirajuddin Zan, Filsafat Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 135 4 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Rajawali Press, Jakarta, 1987, hlm. 13 5 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 105 6 Achmad Charis Zubair, Op.Cit., hlm. 13 7 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hlm. 11
20
merupakan cara perilaku manusia. Maka secara umum etika atau moral
adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang cara-cara perilaku manusia atau
keterus-terusan tindakan manusia. Maka singkatnya bahwa pokok
persoalan etika ialah segala perbuatan yang timbul dari orang-orang yang
melakukan dengan ikhtiar dan sengaja apa yang diperbuat. Inilah yang
dapat kita beri hukum “baik atau buruk”, demikian juga segala perbuatan
yang timbul tidak dengan kehendak , tetapi dapat diikhtiarkan sewaktu
sadar.8
Adapun secara terminologi para ahli memberikan pemahaman
bahwa etika dipandang sebagai ilmu filsafat, diantaranya adalah :
a. Ki Hajar Dewantara berpendapat etika adalah ilmu yang mempelajari
tentang segala bentuk kebaikan dan keburukan di dalam manusia
semuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa
yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai
tujuan yang dapat merupakan perbuatan.9
b. Muslim Nurdin dkk. Etika lebih merupakan kesepakatan masyarakat
pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Bila suatu masyarakat
bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat
akan bercorak religius. Akan tetapi bila suatu masyarakat bercorak
sekuler, maka etika yang dikembangkan bercorak jiwa sekuler.10
c. Ahmad Amin, etika ialah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, merenungkan yang seharusnya dilakukan oleh manusia pada
manusia lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia
pada perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa
yang harus diperbuat.11
d. Ahmad Charis Zubair, etika adalah ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang masalah baik dan buruknya perilaku manusia
dalam kehidupan bersama, dan juga dapat dikatakan ilmu pengetahuan
8 Ahmad Amin, Etika, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, hlm. 5 9 Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 15 10 Muslim Nurdin, dkk.,Moral dan Kognisi Islam, CV Alfabeta, Bandung, 1995, hlm.209 11 Ahmad Amin, Op. Cit., hlm. 3
21
yang bersifat normative, evatuatif, yang hanya memberikan nilai baik
dan buruk terhadap perilaku manusia.12
e. H. Hamzah Ya’qub, Etika ialah ilmu yang menyelidiki makna yang
baik dan makna yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui akal pikiran.13
Etika secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
definisi, yaitu aspek historis, deskriptif, dan sifat dasar etika.
1. Aspek historis, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus
membicarakan mengenai nilai baik dan buruk perilaku manusia.
2. Deskriptif, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang
membicarakan perilaku baik dan buruk manusia dalam kehidupan
masyarakat. Definisi demikian tidak melihat kenyataan bahwa ada
keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat
karena bersifat Sosiologi.
3. Sifat dasar, etika sebagai yang normatif dan bercorak kefilsafatan,
etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang normatif, evaluatif
yang memberikan hanya nilai-nilai baik dan buruknya terhadap
perilaku manusia. Dalam hal ini perlu menunjukan adanya fakta yang
cukup memberikan informasi menganjurkan dan mereflesikan.14
Namun ada yang memahami antara etika dan akhlak berbeda, jika
etika hanya berhubungan dengan sopan santun antara sesama manusia
serta tingkah laku lahiriah, maka akhlak lebih luas cakupannya, yakni
mencakup hal-hal yang tidak bersifat lahiriah tetapi termasuk sikap batin
dan pikiran manusia. Oleh sebab itu, akhlak atau etika Islam mencakup
etika terhadap Allah, etika terhadap Rasul, etika terhadap Manusia dan
etika terhadap alam lingkungan sekitar.15
12 Achmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 13 Hamzah Ya’qub. Op. Cit.,hlm. 13 14 Ahmad Charis Zubair, Op. Cit., hlm. 17 15 Zuly Qodir, Etika Islam : Suatu Pengantar (Sejarah, Teologi Dan Etika Agama-
Agama), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 270-276
22
Adapun Pengertian etika Islam atau akhlak adalah:
a. Hamzah Ya’qub
Etika Islam adalah ilmu yang menjelaskan (menetapkan) bahwa yang
menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan
didasarkan pada ajaran Allah SWT ( Al-Qur’an dan ajaran Rasulnya)16
b. M. Amin Syukur
Ilmu akhlak yaitu suatu ilmu yang menerangkan pengertian baik dan
buruk, menjelaskan yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia, menjelaskan tujuan yang
seharusnya dituju dan menunjukkan jalan untuk melakukan sesuatu
yang seharusnya diperbuat.17
c. Ibnu Maskawaih
Akhlak menurut Ibnu Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau
keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan
pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua
unsur, yakni watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.18
Dari pengertian-pengertian di atas, meskipun redaksi berbeda dapat
diambil kesimpulan bahwa etika atau dalam Islam yang kita sebut dengan
akhlak adalah kebiasan keadaan gerak jiwa yang mempengaruhi perbuatan
lahir dengan adanya tekanan-tekanan dari luar. Sehingga timbul adanya
kemungkinan-kemungkinan yang merupakan akibat dari sebab adanya
perbuatan itu terjadi.
Perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manisfestasi
dari akhlaknya, apabila perbuatan itu dilakukan berulang kali sehingga
menjadi kebiasan serta perbuatan itu dilakukan dengan sadar karena
dorongan emosi-emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang
dari luar dirinya, seperti adanya paksaan atau bujukan.
16 Hamzah Ya’qub., hlm. 14 17 M. Amin Syukur, Pengatar Studi Islam, Bima Sejati, Semarang, 2000, hlm. 117 18 Sirajuddin Zan, Op. Cit., hlm. 135
23
Dengan arti demikian maka pemahaman bahwa etika dan akhlak
memiliki persamaan, di mana didalamnya berkaitan dengan perbuatan baik
dan buruk manusia.
Perbedaan dan persamaan antara akhlak dengan etika:
1. Persamaan
a. Obyek, yaitu perbuatan dan tingkah laku manusia
b. Pembahasan, yaitu penilaiannya adalah baik dan buruk
2. Perbedaan
Perbedaan akhlak dengan etika adalah terletak pada tolak ukurnya.
jika akhlak, perbuatan dan tingkah laku manusia dalam menentukan
baik dan buruk diukur dengan agama yakni berdasarkan ajaran Allah
dan Rasulnya. Sedangkan etika dibatasi pada sopan santun antar
sesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku
lahiriah.19
Dengan demikian etika dan akhlak begitu kecil untuk mendapatkan
pembenaran sebagai penilaian-penilaian yang universal yang dinamis
terhadap subyek maupun obyek etika karena adanya tekanan-tekanan itu.
Adapun tekanan yang dimaksudkan, yaitu: pertama lingkungan, bertitik
tolak dari ajaran Aristoteles bahwa manusia adalah zoon politikon
(makhluk sosial), makhluk hidup membentuk masyarakat.20 Makna paling
dalam pada ajaran tersebut merupakan penemuan nilai-nilai hakikat
manusia. Secara kodrat manusia sejak lahir memiliki pembawaan untuk
hidup bermasyarakat di lingkungan di makna manusia tinggal atau.
Menurut sifat kodratnya manusia adalah individu dan masyarakat,
mustahil sekali jika seorang manusia mampu hidup seorang diri, sebab
secara kodrati saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, untuk dapat
memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya. Di sisi lain juga manusia
terbentur dengan realita-realita yang nyata secara kasat mata. Intinya
19 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1998, hlm. 259-261 20 Harun Hadiwiyono, Sari Filsafat Barat I, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 53
24
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi bagaimana manusia bertingkah
laku.
Kedua, keadaan obyek etika, obyek etika adalah tindakan manusia
itu sendiri yang berkedudukan sebagai obyek forma, Sedangkan manusia
itu sendiri adalah obyek materinya etika, Keadaan yang dimaksud adalah
keadaan jiwa ketika manusia itu berperilaku, tanpa mengkesampingkan
faktor-faktor yang mempengaruhi suasana jiwa itu sendiri yang akan
menghasilkan penilaian tersendiri terhadap etika, sehat atau tidak
sehatnya, indah atau tidak indahnya bahkan baik atau buruknya suatu
tindakan.
Ketiga, tujuan pelaku etika yang sekaligus merupakan obyek etika.
Dalam diri manusia terdapat hati serta akal yang keduanya merupakan
karunia Allah sebagai Sang Pencipta. Sedangkan secara perorangan
manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan hawa nafsu akan
keinginan-keinginan untuk mendapatkan suatu tujuan yang dimaksud.
Kecenderungan-kecenderungan tersebut yang akan menimbulkan problem
tersendiri dalam permasalahan etika terjadi di seluruh lapisan masyarakat.
Keempat, pemahaman terhadap konsep etika. Konsep etika yang
ditawarkan oleh Islam adalah etika yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan
hadits, lain halnya dengan etika yang sekuler yang cenderung dan memang
didasarkan untuk pemenuhan kenikmatan semata (hedonisme).
Pemikiran lebih rinci tentang etika sebagai salah satu cabang ilmu
filsafat di satu sisi, dan akhlak (etika Islam) di sisi lain adalah jelas
memiliki aspek kesamaan dan aspek perbedaan. Etika dalam berbagai
aliran filsafat seperti: hedonisme, utilitarisme, vitalisme, sosialisme,
religionisme, dan humanisme. Adapun konsep-konsep yang ditawarkan
oleh aliran-aliran tersebut, yaitu:
1. Hedonisme
Aliran ini amat tua, sebetulnya terdapat dimana-mana sebagai aliran
filsafat yang terumuskan terutama terkenal di Yunani. Disebut
demikian aliran ini karena yang dianggap ukuran tindakan baik ialah
25
hedone: kenikmatan dan kepuasan rasa. Bahkan ada ahli psikologi
yang berpendapat semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang
tak tersadari, ialah cenderung untuk mencapai kepuasan semata, yang
disebut libido seksualitas, atau cenderung untuk mencapai kepuasan
dalam memiliki kepuasan. Bagi penganut hedonisme rasa puas dan
bahagia disamakan. Adapun bahagia itu menenangkan manusia, ada
kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan tetapi ada
juga kepuasan rasa belaka yang kemudian menimbulkan kehausan dan
kegelisahan.21 Kelemahan paham ini, ialah menganggap manusia
seolah-olah menjadikan binatang sebagai idaman hatinya, karena
binatang mempunyai tabiat mengejar kenikmatan dan kelezatan sesaat.
2. Utilitarisme
Yang baik yang berguna, Demikianlah ukuran baik bagi penganut
aliran utilitarisme (utilis: berguna). Kalau ukuran ini berlaku bagi
perorangan disebut indiviual, dan jika berlaku bagi masyarakat, disebut
sosial.22 Ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan dan
yang khas dari aliran ini, bahwa akibat-akibat baik itu tidak hanya
dilihat dari kepentingan si pelaku sendiri, tetapi juga semua orang yang
terkena tindakan tersebut.
Sekalipun demikian aliran ini mempunyai kelemahan. Kelemahan
yang mendasar dari aliran ini ialah tidak dapat menjamin keadilan dan
hak-hak manusia, terutama hak asasinya.23
3. Vitalisme
Istilah ini sebetulnya tidak terlalu baik, sebab agak membingungkan.
Oleh karena di sana sini terpakai juga, untuk menunjuk aliran yang
mengatakan bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan
dalam hidup manusia.24 Aliran ini mengajarkan bahwa perilaku yang
baik ialah perilaku yang menambah daya hidup. Sedangkan perilaku
21 Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 44 22 Ibid., hlm. 45 23 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1989, hlm. 126 24 Poedjawiyatna, Op. Cit., hlm. 46
26
yang buruk ialah yang mengurangi bahkan merusak daya hidup. Etika
semacam ini mengandalkan manusia dapat menempatkan diri di luar
arus kehidupan serta dapat mempengaruhinya, baik secara positif
maupun negatif.
Kelemahan aliran ini, selain terlalu mengagungkan kehidupan dan
mendewakan para penguasa juga secara metodologis telah membantah
dirinya sendiri.
4. Religionisme
Ialah aliran yang berpendapat, bahwa baiklah yang sesuai kehendak
Tuhan itu. Maka tugas teologilah yang menentukan, manakah yang
menjadi kehendak Tuhan. Keberatan terhadap aliran ini ialah
ketidakumuman dari ukuran itu. Kita tahu ada terdapat berbagai
macam-macam agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang
menurut agama masing-masing merupakan kehendak Tuhan. Pedoman
itu tidak sama malahan di sana sini nampak pertentangan.25
5. Humanisme
Menurut aliran ini, yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia,
yaitu kemanusiaannya. Dalam tindakan kongkrit tentulah manusia
kongkrit pula yang menjadi ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi
seluruh akan ikut menentukan baik dan buruknya tindakan kongkrit
itu. Penentuan dari baik buruk tindakan yang kongkrit adalah kata hati
yang bertindak.26
Jadi humanisme menelaah apa yang dilakukan manusia secara kodrati,
artinya berdasar keadaan dalam diri manusia sendiri. Dengan demikian
paham semacam ini mempunyai kelemahan. Kelemahan yang nyata
ialah karena etika ini hanya menyandarkan kepada panggilan tabiat
manusia itu sendiri, Sedangkan kenyataannya bahwa ketentuan-
ketentuan kesusilaan sering bahkan lazimnya bertentangan dengan
kecenderungan-kecenderungan kodrati.
25 Ibid., Hlm. 47-48 26 Ibid., Hlm. 48-49
27
Oleh sebab itu etika berupaya melakukan penyelidikan dan
penilaian terhadap perbuatan baik dan buruk manusia maka di sini harus
dipahami bahwa pembuatan atau tabiat manusia sangat beragam.
Keragaman ini dapat ditinjau dari segi nilai kelakuannya apakah baik atau
buruk serta tujuan obyeknya tanpa mengkesampingkan pokok-pokok etika
serta hukum kausalitas yang merupakan bagian dari kodrat kehidupan
manusia.
2. Pokok-pokok Etika Islam
Berdasarkan petunjuk Al-Qur’an dan hadits maka etika atau akhlak
merupakan bukti pengangkatan Nabi Muhammad SAW, di mana Nabi
Muhammad SAW mempunyai akhlak yang terpuji, terpilih. Sebagaimana
Al-Qur’an menyatakan:
)4: القلم (وإنك لعلى خلق عظيم
Artinya :”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti
yang agung”. (Q.S. Al-Qalam : 4).27
Mengingat etika Islam merupakan etika yang berdasarkan pada Al-
Qur’an dan hadits, maka di sana pula seseorang akan dinilai baik dan
buruk perbuatannya, apakah sesuai atau tidak dengan dua sumber tersebut.
Kaitannya dengan etika Islam adalah etika yang didasarkan pada pokok-
pokok agama Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits atau sunnah Nabi,
kebiasan sahabat, serta ijma ulama.
Sistem etika Islam berbeda dengan sistem etika sekuler dan dari
ajaran moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Sepanjang rentang
Sejarah peradaban, model-model sekuler mengasumsikan ajaran moral
yang bersifat sementara dan berubah karena didasarkan pada nilai-nilai
yang diyakini para pencetusnya, sebaliknya ajaran Islam yang melekat
dalam sistem etika Islam menekankan hubungan antara manusia dengan
27 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahan Al-Qur'an,
Departemen Agama R.I., Jakarta, 1980, hlm. 960
28
Sang Penciptanya. Karena Allah SWT Maha Sempurna dan Maha
Mengetahui, maka kaum muslim memiliki ajaran moral yang tidak terikat
waktu dan tidak dipengaruhi oleh perilaku manusia. Ajaran etika Islam
dapat diterapkan sampai kapan pun karena sang pencipta berada lebih
dekat dari urat leher manusia dan memiliki pengetahuan yang sempurna
dan abadi.28 Secara umum, Islam mendukung semua prinsip dalam
pendekatan keadilan distributive terhadap etika, namun dalam proporsi
yang seimbang. Islam tidak mendukung prinsip keadilan buta.29
Berdasarkan pembahasan di atas, sejumlah parameter kunci sistem
etika Islam telah terungkap, dan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Berbagai tindakan ataupun keputusan disebut etis bergantung pada niat
individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa dan mengetahui
apapun niat kita sepenuhnya dan secara sempurna.
2. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai
ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram
menjadi halal.
3. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan
bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal
tanggung jawab dan keadilan.
4. Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya
dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
5. Keputusan yang mengutungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas
tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya. Etika
bukanlah permainan mengenai jumlah.
6. Islam menggunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai
sistem tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat
tempat dalam ajaran Islam.
7. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama
antara Al-Qur’an dan alam semesta.
28 Muhammad, dkk., Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis, Salemba Diniyah, Jakarta, 2002, hlm. 43-44
29 Ibid., hlm. 52
29
8. Tidak seperti sistem etika yang diyakini banyak agama lain, Islam
mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui
partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di
tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan
ketaatannya kepada Allah.30
Untuk mengembangkan lebih jauh hendaknya kita memperhatikan
Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber ajaran etika Islam atau akhlak, maka
kita dapat mengatakan bahwa teori moralitas Islam sangat menyeluruh dan
terperinci, mencakup segala hal yang telah kita lihat, alami sehari-hari.
Karena Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia yang meliputi segala segi
hidup dan kehidupan manusia tidak hanya mengajarkan kebaikan-
kebaikan dari pada akhlak Islam akan tetapi juga-janji dan sanksi dari
Allah. Dan konsep mengenai baik dan buruk dijelaskan dalam firman
Allah:
خير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم ولتكن منكم أمة يدعون إلى ال
)104: ال عمران (المفلحون
Artinya :”Hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru
kepada kebaikan (al-khair) menyerukan kepada ma’ruf (yang
baik) dan melarang dari perbuatan munkar dan itulah orang-
orang yang bahagia” (Q.S. Ali-Imran: 104).31
من إن ذلك كابا أصلى مع براصكر ونن المع هانوف ورعبالم رأملاة وأقم الص ينا بي
)17: لقمان (عزم الأمور
Artinya :”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa
30 Ibid., hlm. 56-57 31 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 93
30
kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diwajibkan”.(Q.S. Luqman :17)32
Sedangkan hadits merupakan aktualisasi dari pencitraan suasana
hati Nabi yang berdasarkan Al-Qur’an dan merupakan kehidupan seorang
individu yang terasing, tetapi ia adalah seorang yang mempunyai berbagai
hubungan dan tanggung jawab sosial. Sebagaimana Sabdanya:
حق المسلم على المسلم ست قيل ما هن يا : م قال.عن ابي هريرة ان رسول اهللا ص
اذا لقيته فسلم عليه واذادعاك فأجبه واذا استنصحك فانصح له : رسول اهللا؟ قال
طساذاعوهبعفات اتاذامو هدفع رضاذامو همتاهللا فس مدرواه مسلم. (فح (
Artinya :”Dari Abu Hurairah r.a katanya: ” Kewajiban orang muslim
terhadap orang muslim lain enam perkara. Orang beratnya
kepada beliau; apakah itu ya Rasulallah? Jawab Rasulallah
SAW.: “ Jika berjumpa dengannya diberi salam, jika diundang
mendatanginya, jika dimintanya nasihat diberikan, jika bersin
dan ia menyebut nama Allah, dido’akan dengan beroleh rahmat,
jika ia sakit ditengok dan jika ia meninggal diantarkan”. (H.R.
Muslim)33
Selain itu juga Allah mengaruniakan kita akal sebagai pokok dasar
lain etika Islam. Sebagai makna pendapat al Maturidi yang berpendapat ”
akal mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat yang
buruk terdapat yang buruk, dengan demikian akal juga tahu bahwa berbuat
baik adalah baik dan berbuat buruk adalah buruk. Dan pengetahuan inilah
yang memastikan adanya perintah dan larangan”.34
Jika kita memahami Al-Qur’an dengan baik dan benar, maka kita
dapat mengetahui bahwa pada dasarnya Islam bertujuan untuk
membangun kehidupan manusia berdasarkan nilai-nilai kebajikan dan
32 Ibid., hlm. 655 33 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, Cet. 1, Jilid III,
Pustaka al-Husna, Jakarta, 1980, hlm. 162 34 Harun Nasution , Teologi Islam, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 89
31
membersihkan dari berbagai kejahatan. Konsekuensi logis dari
pemahaman Islam secara utuh adalah bahwa syariat Islam yang bersumber
dari Al-Qur’an dan hadits mengatur kehidupan manusia secara individu
dan kolektif. Al-Qur’an sendiri sebagai dasar etika Islam bagi kehidupan
manusia, terutama dalam hal kemasyarakatan harus ditegakkan atas tiga
dasar yaitu negara dan masyarakat harus ditegakkan atas dasar keadilan,
musyawarah, dan persaudaraan atau persamaan.35 Dengan demikian
sasaran pokok dari pada etika Islam atau akhlak menurut Muh. Zain Yusuf
mempunyai ciri-ciri yang khusus yang membedakan dengan akhlak yang
diciptakan manusia yaitu: kebajikan yang mutlak, kebaikan yang
menyeluruh, kemantapan, kewajiban yang dipatuhi dan pengawasan yang
menyeluruh.36 Untuk membentuk pribadi yang takwa, yang menjadikan
amal baik sebagai sesuatu yang wajib dan menghindari perbuatan yang
buruk dan tercela.
B. Etika Pergaulan Laki-Laki Dengan Perempuan Dalam Islam
Manusia diciptakan Allah SWT berpasang-pasangan, ada laki-laki
dan perempuan, masing-masing pihak saling membutuhkan dan saling
tertarik satu sama lain. Allah juga menjelaskan bahwa perempuan atau
pasangan laki-laki itu diciptakan dari unsur laki-laki itu sendiri agar mereka
bisa meneruskan tugas Allah sebagai khalifah di bumi. Hal dijelaskan Allah
SWT dalam firman-Nya:
منهما ياأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث
النساء (رجالا كثريا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا
:1(
Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan mu yang telah
menciptakan kamu dari seseorang diri dan dari padanya Allah
35 M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Mizan, Bandung, 1983, hlm. 50 36 Ali Saefudin, Etika Islam Sebagai Modal Kebahagiaan, Jurnal Teologia, Op. Cit., hlm.
22-23
32
menciptakan istrimu, dan dari keduanya itu Allah
mengembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah dengan (menggunakan) nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan (periharalah)
hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawal kamu”. (Q.S. An-Nisa : 1).37
كممفوا إن أكرارعائل لتقبا ووبعش اكملنعجثى وأنذكر و من اكملقنا خإن اسا النها أيي
بريخ ليمع إن الله قاكمالله أت د13: احلجرات (عن(
Artinya :”Wahai manusia, aku ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan wanita
dan aku jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kamu saling kenal mengenal, sesugguhnya yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”.(Q.S.
Al-Hujurat :13).38
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan makhluk yang
diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baiknya bentuk dan merupakan hamba-
Nya yang paling mulia jika ia taat kepada-Nya di muka bumi ini. Manusia
berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya karena manusia dianugrahi oleh
Allah suatu bentuk tubuh yang bagus dan indah, dan dilengkapi pula dengan
akal budi yang dapat dipakai untuk melakukan penalaran sehingga bisa
menghasilkan kebudayaan dan peradaban. Sebagai hamba Allah, tugas dan
misi manusia dalam hidupnya adalah tunduk (berislam) dan patuh kepada
Allah, Sang Penciptanya.39 Bagi manusia, keunikan struktur fisik dan
keajaiban rahasia psikis merupakan keunggulan tersendiri, dengan keunikan
dan kewajiban itu manusia dapat mempererat hubungan dengan Allah dan
sesama makhluk.40 Allah SWT. Menyerukan kepada segenap umat manusia
37 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 114 38 Ibid., hlm. 847 39 Faisal Ismail, Pijar-Pijar Islam, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Jakarta
,2002, hlm. 256 40 Saudi Berlian, Pengelolaan Tradisinal Gender,Telah Keislaman, Cet.1, Milennium
Publisher, Jakarta, 2000, hlm. 59
33
berbagai macam taklif. Manusia telah dijadikan-Nya sebagai sasaran khithab
(seruan) dan taklif.41
Dari sudut pandang Islam, perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tidak hanya bersifat biologis atau psikologis, tetapi berakar pada sifat dasar
illahiyah itu sendiri. Pembedaan laki-laki dan perempuan adalah bagian
penting dari misteri penciptaan Tuhan. Setiap jenis kelamin sepenuhnya
manusia yang dilengkapi dengan jiwa illahiyah, dan kedua seks (jenis
kelamin) ini sama dalam hal tanggung jawab keagamaan mereka dan
keduanya sejajar di hadapan Tuhan. Namun, masing-masing pihak
melengkapi yang lain dan keduanya bersama-sama, seperti simbol yin-yang
dalam budaya Timur jauh, membentuk sebuah lingkaran, yang
menyimbolkan kesempurnaan, totalitas, dan kelengkapan. Oleh karena
itulah laki-laki dan perempuan keduanya saling berlomba dan juga saling
tertarik satu sama lain. Alkemia perkawinan serta perpaduan seksual
memiliki kekuatan untuk mengubah dan melengkapi dan untuk kebutuhan
menyeluruh melalui cinta yang melampaui kedua pihak, tetapi melingkupi
mereka, cinta yang berakar pada Tuhan.42
Ajaran Islam menekankan bahwa walaupun laki-laki dan perempuan
sejajar dihadapan Tuhan dan hukum, mereka harus saling melengkapi satu
sama lain dalam kehidupan sosial dan keluarga. Persamaan di depan Tuhan
dan hukum tidak merusak realitas saling melengkapi. Firman Allah:
)36: يس (سبحان الذي خلق الأزواج كلها
Artinya :”Maha Suci Allah yang telah menciptakan berpasang-pasangan
semua” . (Q.S. Yasin: 36).43
Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
dengan suatu fitrah yang khas, yang berbeda dengan hewan. perempuan
adalah seorang manusia, sebagai mana halnya laki-laki. Masing-masing
41 Taqiyuddin An Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, Terj., M. Nashir, Pustaka Thariqul ‘Izzah, Bogor, 2001, hlm.10
42 Seyyed Hossein Nasr, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, Terj., Nurasiah Fakih Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 226-227
43 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 710
34
tidak dapat dibedakan dari aspek kemanusiaannya. Yang satu tidak melebihi
yang lain dalam hal ini. Allah telah menciptakan pada masing-masing pihak
sebuah potensi dinamis (thaqah hayawiyyah). Potensi tersebut berupa
dorongan kebutuhan jasmani (hayat ‘udhawiyyah) seperti lapar, rasa dahaga,
atau buang hajat; serta berbagai potensi naluriah/instingtif (ghara’iz, bentuk
jamak dari gharizah) seperti naluri mempertahankan kehidupan, naluri
seksual untuk melestarikan keturunan, dan naluri beragama (religiousitas).
Ternyata, dorongan kebutuhan jasmani maupun naluri-naluri ini ada pada
masing-masing jenis kelamin. Allah juga menjadikan pada diri keduanya
kekuatan berpikir. Akal yang ada pada seorang laki-laki ternyata ada pula
pada perempuan, karena Allah memang menciptakan akal untuk seluruh
manusia.44
Ayat-ayat Al-Qur’an sangat memperhatikan manusia, maksudnya
pada penciptaan dan tujuan dari penciptaan laki-laki dan perempuan. Ayat-
ayat tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya, naluri seksual diciptakan
agar manusia menjalani kehidupan secara berpasang-pasangan sebagai
suami istri dan sekaligus melanjutkan keturunan (kehidupan suami istri
saja). Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan keterangan demikian
dengan berbagai cara dan makna yang beragam agar pandangan manusia
sejalan dengan tujuan dari diciptakan manusia sebagaimana penilaian Islam
terhadap laki-laki dan perempuan.
1. Perspektif Islam Tentang Pergaulan
Pergaulan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya
dibolehkan sampai pada batas-batas yang wajar yang tidak membuka
peluang untuk terjadinya perbuatan dosa (zina). Apalagi pergaulan dan
hubungan itu dalam rangka untuk mencari dan mengenal lebih baik dan
dalam calon pasangan hidupnya. Sebab kalau salah pilih akan menyesal
berkepanjangan.
44 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 11
35
Fakta telah menunjukkan bahwa dalam kehidupan umum,
pertemuan laki-laki dan perempuan adalah suatu hal yang pasti terjadi
dan masing-masing harus bekerja sama. Sebab kerjasama merupakan
kebutuhan yang amat diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Akan
tetapi, sebuah kerja sama di atas tidak mungkin tercipta kecuali dengan
suatu sistem yang mengatur hubungan yang bersifat seksual antara kedua
lawan jenis itu dan mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara
umum.
Sistem interaksi atau pergaulan laki-laki perempuan dalam Islam
menempatkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-mata
untuk melestarikan keturunan umat manusia. Satu-satunya yang dapat
menjamin ketentraman hidup dan mampu mengatur hubungan antara
laki-laki dan perempuan dengan pengaturan yang selaras dengan
karakter kemanusiaan hanyalah sistem yang diatur oleh Islam. Sistem
interaksi dalam Islamlah yang menjadikan aspek rohani sebagai landasan
dan hukum-hukum syariat sebagai tolak ukur yang didalamnya terdapat
hukum-hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.
Sistem interaksi Islam memandang manusia, baik laki maupun
perempuan, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri, perasaan
kecenderungan, dan akal sehat. Sistem ini memperbolehkan manusia
bersenang menikmati hidup secara optimal, tetapi dengan tetap
memelihara komunitas dan masyarakat manusia. Sistem ini pun
mendorong kukuhnya manusia dalam menempuh perjalanan untuk
memperoleh ketentraman hidupnya.45
Dengan demikian, Islam telah menjadikan kerjasama antara laki-
laki dan perempuan dalam berbagai segi kehidupan serta interaksi antara
sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam seluruh aspek
muamalat. Sebab mereka semuanya adalah hamba Allah, dan semuanya
saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan
dan pengabdian kepada-Nya. Atas dasar inilah sistem interaksi atau tata
45 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 23
36
pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam Islam harus dipelajari
secara menyeluruh dan mendalam. Dengan itu persoalan interaksi antara
laki-laki dan perempuan terdapat implikasi hubungan yang dapat
dipahami dengan pemecahan yang rasional dan sesuai dengan segala
sesuatu yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan hadits, tanpa perlu
memperhatikan apakah hal tersebut bertentangan dengan adat istiadat
maupun tradisi.
2. Ciri-ciri Pergaulan Islami
Sejauh telaah terbatas penulis pada buku-buku yang berbicara
tentang aspek pergaulan, Sistem Pergaulan dalam Islam, Syekh
Taqiyuddin An Nabhani merupakan satu-satunya buku yang mampu
menghadirkan paradigma baru dalam memandang problem pergaulan,
solusi hubungan antara laki-laki dan perempuan maupun peran keduanya
dalam kehidupan rumah tangga, masyarakat, serta negara. Buku
mengkomparasikan pandangan-pandangan Islam dan dunia Barat dalam
melihat aspek filosofis hubungan laki-laki dan perempuan yang
diketengahkan oleh dua peradaban tersebut. Tetapi sebagaimana yang
tercantum pada judul sub bab, penulis akan menitikberatkan kepada
pandangan Islam terhadap ciri-ciri pergaulan dalam Islam.
Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Konteks Islam interaksi (pergaulan) laki-laki dan perempuan
dipenuhi dengan pandangan kesucian, kemulian, dan kehormatan
diri; di samping itu dapat mewujudkan ketenangan hidup dan
kelestarian keturunan manusia.46
2. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dalam Islam
menetapkan bahwa naluri seksual pada manusia adalah semata-
mata untuk melestarikan keturunan umat manusia.47 (Melalui
lembaga pernikahan).
46 Taqiyuddin An Nabhani, Op. Cit., hlm. 19 47 Ibid., hlm. 23
37
3. Interaksi atau pergaulan laki-laki dan perempuan dijadikan sebagai
sasaran seruan dan pembebanan (taqlif),48 maka semuanya harus
saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan
ketakwaan dan pengabdian kepada Allah.49
4. Aspek rohani sebagai landasan dan hukum-hukum syariat sebagai
tolak ukur yang di dalamnya terdapat hukum-hukum yang mampu
menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur.50
3. Batasan-batasan Pergaulan Islami
Zaman sekarang, pertemanan setiap individu dalam pergaulan
lebih bebas dan tidak mau diintervensi atau dipaksa oleh siapapun.
Untuk itu dalam menghadapi semua ini, hendaklah pergaulan itu didasari
oleh sikap saling hormat menghormati antara laki-laki dan perempuan.
Dengan senantiasa berpedoman pada batas yang telah ditetapkan oleh
agama, diantaranya:
1. Menjaga Pandangan Mata Mata adalah satu karunia Allah yang amat cepat dan jauh
jangkauannya. Memelihara mata cukuplah dengan menundukan
sebahagian pandangan mata bila berhadapan dengan laki-laki atau
perempuan yang bukan muhrim. Jangan lah membidikan mata kita
kepada mereka, dan janganlah memandangnya berulang-ulang agar
kita dapat mengendalikan pandangan dan memelihara faraj, karena
pada keduanya ada hubungan anatomis (kematangan fungsi tubuh),
fisiologis (baligh), serta psikologis (insting kecenderungan kepada
lawan jenis) yang dapat memancing mata sebagai panca indra yang
sangat peka.51 Hal ini diatur oleh Allah dan Rasulnya :
48 Ibid., hlm. 10 49 Ibid., hlm. 24 50 Ibid., hlm. 23 51 Abdurahman Al Mukaffi, Pacaran Dalam Kaca Mata Islam, Media Dakwah, Jakarta,
2000, hlm. 69
38
بريخ إن الله مكى لهأز ذلك مهوجفظوا فرحيو ارهمصأب وا منضغي مننيؤقل للم
عنصا يلا 30ون ﴿بمو نهوجفر فظنحيو ارهنصأب من نضضغات يمنؤقل للمو ﴾
)31-30: النور (يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها
Artinya :”Katakanlah kepada orang-orang beriman laki-laki (mukmin)
agar mereka menundukan sebahagian dari pandangan
mata (terhadap wanita),dan memelihara akan kemaluan
mereka (menutupnya). Yang demikian itu lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah amat mengetahui akan apa
yang meraka kerjakan. Dan katakanlah kepada wanita
yang beriman hendaklah mereka menahan pandanganya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakan perhiasanya, kecuali yang bisa nampak dari
padanya”.(Q S. An-Nur :30-31).52
عن نظرالفجاءة فأمرني ان . م.سألت رسول اهللا ص: عن جريرابن عبداهللا قال
ريصب رفرواه مسلم. (اص(
Artinya :” Dari Jarir bin Abdullah r.a. Katanya: Saya telah beratnya
kepada Rasulallah SAW. tentang melihat wanita tanpa
sengaja/mendadak; maka saya diperintahkan beliau agar
menjauhkan pandangan mataku”.(H.R. Muslim).53
2. Menjauhi Pergaulan Bebas54
Menjauhi pergaulan bebas yang akibatnya sudah pasti dapat
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam kehidupan kota
besar dan dampak dari globalisasi informasi, anak muda banyak
yang bergaul bebas dengan lawan jenisnya meniru budaya barat yang
52 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 548 53 H.A. Rajak dan H. Rais Lathief, Op. Cit., hlm. 160 54 Abdurrahman al Mukaffi, Op. Cit., hlm. 79
39
serba permissive (serba boleh) sehingga pergaulan bebas. Karena
bebasnya kadangkala mereka melanggar norma dan etika agama,
sehingga terjadi pergaulan bebas atau free sex yang akhirnya
terjadilah kehamilan dini yang tidak dikehendaki. Firman Allah :
)32: االسراء (ولا تقربوا الزنا إنه كان فاحشة وساء سبيلا
Artinya :”Dan janganlah engkau dekati zina, sesungguhnya zina itu
adalah perbuatan yang rendah dan seburuk-buruknya
perbuatan”.(Q.S. Al-Isra: 32).55
Meskipun demikian, Islam sangat berhati-hati menjaga
masalah ini. Oleh karena itulah, Islam melarang segala sesuatu yang
dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang
tidak disyariatkan. Islam melarang siapa pun, baik perempuan
maupun laki-laki, keluar dari sistem Islam yang khas dalam
mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam persoalan ini
demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat iffah
(menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban.56
Selain dari itu, Syekh Taqiyuddin An Nabhani berkesimpulan
bahwa Islam telah menetapkan setiap metode, cara, maupun sarana
yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji sebagai sesuatu
yang juga wajib dilaksanakan. Islam telah menetapkan hukum-
hukum tertentu yang berkenaan dengan hal ini. Hukum-hukum
diantaranya sebagai berikut:
1. Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki
maupun perempuan, untuk menundukan pandangan.
2. Islam memerintahkan kepada kaum perempuan untuk
mengenakan pakaian yang secara sempurna, yakni pakaian yang
menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya.
55 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., hlm. 429 56 Taqiyuddin An Nabhani, Op.Cit., hlm. 26
40
3. Islam melarang seorang perempuan melakukan safar (perjalanan)
dari suatu tempat ke tempat lainnya selama sehari semalam,
kecuali jika disertai dengan mahramnya.
4. Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat
(berdua-duaan), kecuali disertai oleh mahramnya.
5. Islam melarang perempuan untuk keluar dari rumahnya kecuali
seizin suaminya.
6. Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya
jama’ah (komunitas) kaum perempuan terpisah dari jama’ah
(komunitas) kaum laki-laki; begitu juga di dalam masjid, di
sekolah, dan lain sebagainya.
7. Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara laki-laki
dan perempuan hendaknya bersifat umum dalam urusan
muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling
mengunjungi antara perempuan dengan laki-laki yang bukan
mahramnya atau jalan-jalan bersama.57
Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi laki-
laki dan perempuan sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah
pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.
Artinya, interaksi mereka tetap dalam koridor kerja sama semata dalam
menggapai berbagai kemaslahatan dan dalam melakukan semacam
aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan
hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan
individual, baik laki-laki maupun perempuan, ketika masing-masing
saling bertemu dan berinteraksi. Islam pun mampu memberikan solusi
terhadap hubungan-hubungan yang mungkin mengemuka sebagai
implikasi dari adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan, seperti:
masalah kewajiban memberi nafkah, status perwalian anak, pernikahan
dan lain-lain. Caranya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi
sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut serta dengan
57 Ibid., hlm., 26-29
41
menjauhkan laki-laki dan perempuan dari interaksi yang mengarah pada
hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.58
Dengan demikian, jelaslah bahwa betapa pandangan Islam dalam
konteks interaksi laki-laki dan perempuan dipenuhi dengan pandangan
kesucian, kemuliaan dan kehormatan diri, di samping merupakan
pandangan yang dapat mewujudkan ketenangan hidup dan kelestarian
keturunan manusia.
58 Ibid., hlm. 30
top related