bab ii asas-asas dalam transaksi jual beli dan jual …eprints.walisongo.ac.id/6568/3/bab ii.pdf ·...
Post on 01-Jan-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
18
BAB II
ASAS-ASAS DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DAN JUAL
BELI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
A. Asas-asas dalam transaksi (jual beli)
Menurut Pasal 21 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
terdapat 13 asas-asas akad (kontrak Syariah)1 yaitu :
1. Ikhtiyari atau sukarela adalah setiap akad dilakukan atas
kehendak para pihak, terhindar dari keterpaksaan karena
tekanan salah satu pihak atau pihak lain. Yakni transaksi
harus dibangun atas kemauan bebas para pelakunya tanpa
ada paksaan dan ancaman dari pihak lain. Selain itu
dalam Islam syarat sah suatu transaksi adalah adanya rasa
kerelaan dari pihak-pihak yang bertransaksi, Allah SWT
berfirman :
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
1 Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani,
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009, h. 20
19
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”. (Q.S An-Nisa‟ [4]:29).
Akan tetapi kebebasan tersebut tidak merugikan
kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar
tidak ada batasan pendapatan bagi seseorang untuk
bekerja dan berkarya dengan segala potensi yang
dimilikinya. Adanya kecenderungan sifat manusia yang
tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki dan terus
menerus berusaha memenuhi kebutuhannya dikendalikan
dengan adanya kewajiban seseorang untuk berzakat, serta
anjuran untuk infak, shadaqah dan amal jariyah.2
2. Amanah atau menepati janji adalah setiap akad wajib
dilaksanakan oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan
yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat
yang sama terhindar dari cidera-janji. Setiap transaksi
yang sah bersifat mengikat dan harus dilaksanakan
sebaik-baiknya oleh kedua belah pihak. Hal ini sejalan
dengan firman Allah :
2Abdul Aziz, Etika Bisnis Perspektif Islam, Bandung: Alfabeta,
2013, h. 46
20
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya”.(Q.S Al-Maidah [5]:1).
Akad itu mengikat artinya bahwa janji atau kesepakatan
yang telah dibuat oleh para pihak yang di pandang
mengikat dipandang mengikat terhadap pihak-pihak yang
membuatnya. Atas dasar ini maka pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian tersebut tidak bisa membatalkan
kesepakatan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pihak
lain.3
Agar bisa memenuhi perjanjian yang telah disepakatinya,
maka mau tak mau ia harus menjauhi lemahnya ingatan,
dan melemahnya semangat. Al-Qur‟an mengetengahkan
kenyataan ini melalui perjanjian yang di tetapkan Allah
SWT kepada Bapak manusia, Nabi Adam a.s, agar ia
tidak mendekati pohon yang dilarang, akan tetapi ia lupa
dan lemah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
3M. Yazid Affandi, Fiqh Muamalah, Yogyakarta: Logung Pustaka,
2009, h. 48
21
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, maka ia lupa (akan
perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya
kemauan yang kuat”. (Q.S Thaha [20]:115).
Islam menganjurkan umatnya untuk memenuhi akad
selama tidak bertentangan dengan koridor syariat pada
saat disahkan, dengan menjauhi faktor-faktor yang dapat
membuat dirinya lupa dan melemahnya semangat.4
3. Ikhtiyati atau kehati-hatian adalah setiap akad dilakukan
dengan pertimbangan yang matang dan dilaksanakan
secara tepat dan cermat.
4. Luzum atau tidak berubah adalah setiap akad dilakukan
dengan tujuan yang jelas dan perhitungan yang cermat,
sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
5. Saling menguntungkan adalah setiap akad dilakukan
untuk memenuhi kepentingan para pihak sehingga
tercegah dari praktik manipulasi dan merugikan salah satu
pihak. Islam melarang adanya transaksi atas obyek-obyek
yang belum jelas spesifikasinya atau sesuatu yang masih
samar-samar yang mengandung unsur gharar didalamnya
karena ditakutkan akan ada pihak yang dirugikan
nantinya.5 Sebagai contoh Allah mengharamkan jual beli
4Asyraf Muhammad Dawwabah, Meneladani Keunggulan Bisnis
Rasulullah, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2008, h. 85-87 5Ibid, h. 77-78
22
secara Ijon yaitu jual beli buah yang masih di pohon atau
buah yang belum matang.
6. Taswiyah atau kesetaraan adalah para pihak dalam setiap
akad memiliki kedudukan yang setara, dan mempunyai
hak dan kewajiban yang seimbang.
7. Transparansi adalah setiap akad dilakukan dengan
pertanggungjawaban para pihak secara terbuka. Sebuah
transaksi harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran
agar tidak merugikan pihak lain, memberi informasi
secara transparan mengenai segala sesuatu dalam
transaksi tersebut. Allah SWT berfirman :
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya
Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”. (Q.S Al-Ahzab
[33]:70-71).
Adanya prinsip kejujuran dimaksudkan agar
pihak-pihak yang terlibat dalam suatu akad tidak ada
23
yang merasa dirugikan, menghindari kesalahpahaman
dalam transaksi serta menghindari hal-yang yang tidak
diinginkan. Dengan prinsip kejujuran serta keterbukaan
dalam transaksinya, diharapkan transaksi tersebut
membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terkait
didalamnya.6Kejujuran dalam Ekonomi Islam terwujud
dalam beberapa aspek, yaitu : kejujuran dalam memenuhi
perjanjian dan kontrak, kejujuran dalam penawaran
barang dan jasa dengan mutu yang baik, dan kejujuran
dalam hubungan kerja.7
Prinsip tersebut menekankan bahwa masing-
masing pihak yang melakukan akad haruslah beritikad
baik dalam melakukan transaksi dengan pihak lainnya
dan tidak dibenarkan untuk mengeksploitasi
ketidaktahuan mitra kerjanya. Dalam hukum perjanjian
Islam dikenal perjanjian Amanah ialah salah satu pihak
hanya bergantung terhadap informasi yang jujur dari
pihak lainnya dalam mengambil keputusan, sehingga jika
suatu saat terjadi terdapat ketidaksesuaian informasi
karena ketidakjujuran, maka ketidakjujuran tersebut
dapat dijadikan alasan untuk membatalkan akad.8
6Miftahul Huda, Aspek Ekonomi Dalam Syariat Islam,NTB:
Lembaga Konsultai dan bantuan Hukum (LKBH) IAIN Mataram,h. 77-78 7Ismail Nawawi, Ekonomi Islam Perspektif Teori, sistem dan Aspek
Hukum, Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2009, h. 33 8Affandi, Fiqh..., h. 49
24
Dengan adanya prinsip kejujuran akan membuat
seseorang berlaku kebaikan dan kebajikan dalam
hidupnya. Kebajikan (ihsan) atau kebaikan terhadap
orang lain didefinisikan sebagai “tindakan yang
menguntungkan terhadap orang lain lebih dibanding
orang yang melakukan tindakan tersebut dan dilakukan
tanpa kewajiban apapun”.9 Atau dengan kata lain
beribadah dan berbuat baik seakan-akan melihat Allah,
jika tidak mampu, maka yakinlah Allah melihat. Dalam
sebuah transaksi atau kegiatan ekonomi ada beberapa
perbuatan yang dapat mensupport pelaksanaan kebajikan
dalam bisnis, yaitu : (1) kemurahan hati (leniency); (2)
motif pelayanan (service motives); (3) kesadaran akan
adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan
pelaksanaan yang menjadi prioritas (consciousness of
Allah and of His prescribed priorities).
Allah SWT berfirman :
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan
sebahagian harta yang telah kamu cintai. Dan apa saja
yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya” (Q.S Ali Imran [3]:92)
9Rafik Issa Beekun, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004, h. 43
25
Kemurahan hati adalah fondasi dari ihsan. Ke-
ihsan-an adalah tindakan terpuji yang dapat
mempengaruhi hampir setiap aspek dalam hidup,
keihsanan adalah atribut yang selalu mempunyai tempat
terbaik disisi Allah. Kedermawanan hati (leniency) dapat
terkait dengan keihsanan, jika diekspresikan dalam bentuk
kesopanan dan kesantunan, pemaaf, mempermudah
kesulitan yang dialami orang lain. Sedangkan service
motives, artinya organisasi bisnis islami harus
memperhatikan setiap kebutuhan dan kepentingan pihak
lain (stakeholders), menyiapkan setiap tindakan yang
membantu pengembangan atau pembangunan kondisi
sosial dan lain sebagainya, selama muslim tersebut bergiat
dalam aktivitas bisnis, maka kewajiban seorang muslim
untuk memberikan yang terbaik untuk komunitasnya dan
bahkan untuk kemanusiaan secara umum.10
8. Kemampuan adalah setiap akad dilakukan sesuai dengan
kemampuan para pihak, sehingga tidak menjadi beban
yang berlebihan bagi yang bersangkutan. Kebersamaan
pelaku bisnis dalam membagi dan memikul beban sesuai
dengan kemampuan masing-masing, kebersamaan dalam
memikul tanggung jawab sesuai beban tugas, dan
10
Faisal Badroen, et al, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta: Prenada
Media Group, 2007, h. 102-103
26
kebersamaan dalam menikmati hasil bisnis secara
proporsional.11
9. Taisir atau kemudahan adalah setiap akad dilakukan
dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-
masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai
dengan kesepakatan.
10. Itikad baik adalah akad dilakukan dalam rangka
menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur
jebakan dan perbuatan buruk lainnya.
11. Sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan
hukum, tidak dilarang oleh hukum dan tidak haram. yakni
segala sesuatu dalam transaksi harus halal menurut syariat
Islam, baik dari obyek transaksi maupun kegiatan
transaksinya, tidak bertentangan dengan kegiatan yang
bertentangan dengan syariat Islam. Semua kegiatan
perekonomian harus berada dalam lingkup jenis usaha dan
barang-barang yang halal. Kegiatan ekonomi merupakan
bagian dari ibadah kepada Allah SWT oleh karena itu
semua harus sesuai dengan syariat Allah SWT
dikarenakan kegiatan ekonomi tersebut dimaksudkan
untuk mendorong peningkatan kemakmuran dan
kemaslahatan umat harus berada dalam cakupan kegiatan
11
Veithzal Rivai dan Antoni Nizar Usman, Islamic Economics And
Finance : Ekonomi dan Keuangan Islam Bukan Alternatif, tetapi Solusi,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012, h. 227
27
usaha dan terkait dengan sesuatu yang telah di halalkan
oleh Allah SWT.12
12. Al-hurriyah (kebebasan berkontrak) yaitu dalam
menjalankan transaksi pihak harus ada kerelaan tanpa ada
paksaan maupun ancaman dari pihak lain.
13. Al-kitabah (tertulis) yaitu akad yang dibuat dituliskan
sebagai bukti agar salah satu pihak tidak mengingkari
akad.
B. Jual Beli dalam Islam
1. Pengertian Jual Beli
Jual beli berasal dari kata بيع yang dalam bentuk
jamak ب يوع yang artinya jual beli.13
Jual beli البيع secara
bahasa merupakan masdar dari kata بيع yang
diucapkan .bermakna memiliki atau membeli يبيع -ب اع14
Mardani mengatakan bahwa menurut Hukum Kompilasi
Ekonomi Syariah ba‟i adalah jual beli antara benda
12
Miftahul, Aspek..., h. 36 13
Adib Bisri, et al, Al-bisri Kamus Arab-Indonesia Indonesia-Arab,
Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, h. 121 14
Abdurrahman as-Sa‟di, et al, Fiqh al-Bay‟ asy-Syira‟, Terj.
Abdullah, “Fiqh Jual-Beli: Praktis Bisnis Syariah”, Jakarta: Senayan
Publishing, 2008, h.143
28
dengan benda, atau pertukaran benda dengan barang15
.
Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya „Fiqh Muamalah‟
menjelaskan beberapa pengertian jual beli :
a. Menurut Hanafiyah, jual beli dalam arti khusus yaitu
menukar benda dengan dua mata uang (emas dan
perak) dan semacamnya, atau tukar menukar uang
dengan barang menurut cara yang khusus. Jual beli
dalam arti umum adalah tukar-menukar harta dengan
harta menurut cara yang khusus, harta mencakup zat
(barang) atau uang.
b. Menurut Malikiyah, jual beli dalam arti umum adalah
jual beli adalah akad mu‟awadlah (timbal balik) atas
selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati
kesenangan. Sedangkan dalam arti khusus jual beli
adalah akad mu‟awadlah (timbal balik) atas selain
manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan,
bersifat mengalahkan salah satu imbalannya bukan
emas dan bukan perak, obyeknya jelas dan bukan
utang.
c. Menurut Syafi‟iyah jual beli menurut syara‟ adalah
suatu akad yang mengandung tukar menukar harta
dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti
15
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015, h.167
29
untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau
manfaat untuk waktu selamanya.
d. Hanabilah memberikan definisi jual beli sebagai
berikut jual beli menurut syara‟ adalah tukar-menukar
harta dengan harta, atau tukar-menukar manfaat yang
mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu
selamanya, bukan riba dan bukan utang.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa pertama, jual beli adalah akad mu‟awadlah yakni
akad yang dilakukan oleh dua pihak, dimana pihak
pertama menyerahkan barang dan pihak kedua
menyerahkan imbalan, baik berupa uang maupun barang.
Kedua, Syafi‟iyah dan Hanafiah mengemukakan bahwa
objek jual beli bukan hanya barang (benda), tetapi juga
manfaat, dengan syarat tukar-menukar berlaku selamanya,
bukan untuk sementara.16
Jadi, jual beli merupakan akad
yang dilakukan oleh dua pihak yang bertujuan saling
menguntungkan dengan cara-cara menurut syariat Islam.
16
Ibid, h. 175-177
30
2. Landasan Jual Beli
Jual beli disyari‟atkan berdasarkan al-Qur‟an, sunah
dan ijma‟ yakni :
a. Al-Qur‟an
Artinya : “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
Maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang
yang kembali (mengambil riba), Maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya”. (Q.S Al-Baqarah [2]:
275)
31
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”. (Q.S. An-Nisa‟
[4]: 29)
b. As-sunah
أط يب ال كس ب أي اللو يارسول قيل ال ق خديج ب ن رافع عن مب رور )رواه أمحد( ي ع ب وكل بيده رجل عملل قال
Artinya : “Rafi‟ bin Khadij berkata: Rasulullah SAW
ditanya tentang mata pencaharian yang
paling baik. Beliau menjawab, “Seseorang
yang bekerja dengan tangannya dan setiap
jual-beli yang mabrur”. (HR. Ahmad)
Maksud mabrur dalam hadis di atas adalah jual-beli
yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan
orang lain.
32
ري أب عن د علي و اللو صلى اللو رسول قال ي قول سعيد ال اال ب ي ع وسلم )رواه ا بن ماجو( ت راض عن إن
Artinya:“Dari Abu Sa‟id al-Khudri bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Jual beli harus dipastikan
harus saling meridhai”. (HR. Ibnu Majjah)
c. Ijma‟ Ulama telah sepakat bahwa jual beli
diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak
akan mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan
orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang
milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti
dengan barang lainnya yang sesuai.17
3. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Rukun jual beli
Jual beli mempunyai rukun yang harus dipenuhi
sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara‟.
Dalam menentukan rukun jual beli terdapat
perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dan jumhur
ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah
hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari
pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual).
Menurut mereka unsur kerelaan sulit di indra,
sehingga tergambar dalam ijab dan kabul.
17
Rachmat Syafe‟i, Fiqh Muamalah, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2001, h. 74-75
33
Akan tetapi, jumhur ulama menyatakan bahwa rukun
jual beli ada empat yaitu:
1) Ada orang yang berakad atau al-muta‟aqidain
(penjual dan pembeli).
2) Ada sighat (lafal ijab dan kabul)
3) Ada barang yang dibeli.
4) Ada nilai tukar pengganti barang.18
b. Syarat Jual Beli
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat,
yaitu syarat terjadinya akad (in‟iqad), syarat sahnya
akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat
luzum.
1) Syarat terjadinya akad (In‟iqad) terdiri dari empat
syarat yaitu :
a) Orang yang berakad (aqid),
b) Syarat dalam akad yaitu harus sesuai dengan
ijab dan qabul.
c) Tempat akad yaitu harus bersatu atau
berhubungan dengan ijab dan qabul.
d) Ma‟qud alaih (objek akad) harus memenuhi
empat syarat yaitu : pertama objek akad harus
ada, kedua harta harus kuat, tetap dan bernilai
yang bisa dimanfaatkan dalam waktu yang
18
Abdul Rahman Ghazaly, et al, Fiqh Muamalat, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012, h. 70-71
34
lama, ketiga objek akad milik sendiri,
keempat dapat diserahkan.
2) Syarat pelaksanaan akad (Nafadz)
Dalam syarat nafadz terdapat terdapat dua
kategori yaitu : pertama benda dimiliki aqid atau
berkuasa untuk akad, kedua pada benda yang
tidak terdapat milik orang lain.
3) Syarat sah akad dibagi menjadi syarat umum dan
khusus. Syarat umum adalah segala syarat yang
telah ditetapkan oleh syara‟, dan syarat khusus
adalah syarat yang hanya ada pada barang-barang
tertentu. Hal tersebut meliputi : barang yang
diperjualbelikan dapat dipegang, harga awal harus
diketahui, serah terima benda dilakukan sebelum
berpisah, terpenuhi syarat penerimaan, harus
seimbang dalam ukuran timbangan dan barang
yang diperjual belikan sudah menjadi tanggung
jawabnya.
4) Syarat luzum (kepastian) yaitu akad jual beli harus
terlepas dari khiyar yang berkaitan dengan kedua
pihak yang berakad dan akan menyebabkan
batalnya akad.19
19
Syafe‟i, Fiqh..., h. 76
35
5) Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang
melakukan akad jual beli itu harus memenuhi
syarat :
(a) Berakal. Oleh sebab itu jual beli yang
dilakukan anak kecil yang belum berakal dan
orang gila, hukumnya tidak sah.
(b) Yang melakukan akad adalah orang yang
berbeda. Artinya, seseorang tidak dapat
bertindak dalam kurun waktu yang bersamaan
sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
6) Syarat-syarat terkait dengan Ijab Kabul
Para ulama fiqh mengemukakan bahwa syarat ijab
dan qabul itu sebagai berikut :
(a) Orang yang mengucapkan telah baligh dan
berakal.
(b) Kabul sesuai dengan Ijab. Misalnya, penjual
mengatakan : “saya jual buku ini seharga Rp.
20.000”, lalu pembeli menjawab : “Saya beli
buku ini dengan harga Rp. 20.000”. apabila
antara ijab dan kabul tidak sesuai maka jual
beli tidak sah.
(c) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis.
Artinya, kedua belah pihak yang melakukan
jual beli hadir dan membahas topik yang
36
sama. Dalam kaitan ini, ulama Hanafiyah dan
Malikiyah mengatakan bahwa antara ijab dan
kabul boleh saja diantarai oleh waktu, yang
diperkirakan bahwa pihak pembeli sempat
untuk berpikir. Namun, ulama Syafiiyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa antara ijab dan
kabul tidak terlalu lama yang dapat
menimbulkan dugaan bahwa objek
pembicaraan telah berubah.20.
7) Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
(Ma‟qud „alaih)
Mardani dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Sistem Ekonomi Islam” mengemukakan bahwa
syarat-syarat yang terkait dengan barang yang
diperjual belikan menurut Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah adalah sebagai berikut :
a) Barang yang diperjual belikan harus ada
b) Barang yang diperjual belikan harus dapat
diserahterimakan.
c) Barang yang diperjualbelikan harus berupa
barang yang memiliki nilai harga tertentu
d) Barang yang diperjualbelikan harus halal
e) Barang yang diperjualbelikan harus diketahui
oleh pembeli
20
Ghazaly, et al, Fiqh..., h. 71-79
37
f) Kekhususan pada barang yang
diperjualbelikan harus diketahui
g) Penunjukan dianggap memenuhi syarat
barang yang diperjual belikan jika barang itu
ada ditempat jual beli
h) Sifat barang yang dapat diketahui secara
langsung oleh pembeli tidak memerlukan
penjelasan lebih lanjut
i) Barang yang dijual harus ditentukan secara
pasti pada waktu akad21
Disamping syarat –syarat yang berkaitan dengan
rukun jual beli diatas, para ulama fiqh juga
mengemukakan syarat-syarat lain yaitu :
1) Syarat sah jual beli. Para ulama fiqh
menyatakan bahwa suatu jual beli dianggap
sah apabila :
a) Jual beli itu terhindar dari cacat seperti
kriteria barang yang diperjualbelikan
itu tidak diketahui, baik jenis, kualitas,
maupun kuantitasnya, jumlah harga
tidak jelas, jual beli itu mengandung
unsur paksaan, tipuan, mudarat, serta
adanya syarat-syarat lain yang membuat
jual beli itu rusak.
21
Mardani, Hukum..., h. 169
38
b) Apabila barang yang diperjualbelikan
itu benda bergerak, maka barang itu
bisa langsung dikuasai oleh pembeli
dan harga barang dikuasai penjual.
Apabila benda tidak bergerak, mak
diselesaikan sesuai dengan „urf
(kebiasaan) setempat.
c) Jual beli baru boleh dilaksanakan
apabila yang berakad mempunyai
kekuasaan untuk melakukan jual beli.
Jual beli yang diwakilkan disebut
dengan ba‟i al-fudluli. Ulama
Hanafiyah mengatakan apabila wakil
itu ditunjuk untuk menjual barang maka
tidak perlu mendapat justifikasi dari
orang yang diwakilinya. Ulama
Malikiyah mengatakan bahwa jual beli
tersebut sah, baik dalam hal menjual
maupun membeli barang maka jual beli
ini dianggap sah apabila disetujui oleh
orang yang diwakilinya. Ulama
Hanabilah mengatakan tidak sah baik
wakil itu di tunjuk hanya untuk
membeli suatu barang, maupun untuk
menjual suatu barang, maka jual beli
39
baru dianggap sah apabila mendapat
izin dari orang yang diwakilinya.
Ulama Syafi;iyah dan Zhahiriyah juga
mengatakan tidak sah, alasan mereka
adalah hadist Rasulullah saw :
الرجل ن يأ ت يارسولللو قال حزام ب ن حكيم عن الس وق من أفأب تاعهلو عن دي لي س ال ب ي ع ف ييدمن
ي(لنسائارواه )عن دك ي س مال تبع ل ف قال
Artinya : Dari Hakim bin Hizam ia berkata,
“Wahai Rasulullah, seorang laki-
laki datang kepadaku ingin
membeli sesuatu yang tidak aku
miliki, apakah boleh aku
membelikan untuknya dari pasar?
Beliau menjawab, “Janganlah
engkau menjual apa yang tidak
engkau miliki”.(HR. Abu Dawud)
2) Syarat yang terkait dengan kekuatan hukum
akad jual beli. Para ulama fiqh sepakat bahwa
suatu jual beli baru bersifat mengikat apabila
jual beli terbebas dari segala macam khiyar22.
22
Ghazaly, et al, Fiqh..., h. 71-79
40
4. Jual beli yang dilarang
Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan
dalam Islam, akan tetapi terdapat beberapa jenis jual beli
yang dilarang dalam Islam, seperti dikutip oleh
Dimyauddin Djuwangi dalam bukunya “Pengantar Fiqh
Muamalah” :
a. Bai‟ al Ma‟dum yaitu jual beli atas objek transaksi
yang tidak ada ketika kontrak dilakukan. Hal tersebut
dilarang karena objek akad tidak bisa teridentifikasi
kadar dan sifatnya secara sempurna serta
kemungkinan objek tersebut tidak bisa
diserahterimakan. Seperti contoh jual beli anak onta
yang masih dalam kandungan.
b. Bai‟ Ma‟juz al Taslim yaitu akad jual beli dimana
objek tidak bisa diserahterimakan. Seperti contoh
menjual ikan yang ada di laut.
c. Bai‟ dain (jual beli hutang) adalah jual beli yang
dalam kontraknya belum ada pelunasan harga, tetapi
objek tersebut sudah dijual kembali. Seperti contoh
seseorang membeli rumah seharga Rp 75.000.000
dalam tempo 3 bulan, akan tetapi si pembeli belum
mampu melunasinya kepada si penjual, kemudian di
si penjual menjual kembali rumah tersebut seharga Rp
100.000.000 dengan tambahan waktu 2 bulan tanpa
adanya serah terima. Transaksi tersebut identik
41
dengan riba dikarenakan adanya tambahan waktu
dengan adanya tambahan harga.
d. Bai‟ al gharar yaitu jual beli yang mengandung unsur
resiko dan akan menjadi beban salah satu pihak
dikemudian hari. Gharar berarti sesuatu yang
wujudnya belum bisa dipastikan, tidak dapat di nilai
kualitas serta kuantitasnya atau sesuatu yang tidak
bisa diserahterimakan. Seperti contoh menjual hewan
yang masih dalam kandungan induknya.
e. Jual beli barang najis yaitu menjual segala sesuatu
yang dilarang dalam syariat Islam seperti menjual
darah, bangkai, anjing, babi, minuman keras serta
benda najis lainnya.
f. Bai‟ Arbun yaitu jual beli dengan menggunakan uang
muka sebagai tanda jadi. Jumhur ulama mengatakan
bahwa jual beli tersebut merupakan jual beli yang
dilarang dan tidak shahih, selain itu terdapat unsur
gharar, risiko dan memakan harta orang lain tanpa
adanya kompensasi. Akan tetapi sekarang jual beli
menggunakan uang muka sudah menjadi bagian
dalam perdagangan sebagai penengah jika kontrak
dibatalkan.
g. Bai‟ Inah yaitu pinjaman ribawi yang dikemas dalam
praktik jual beli. Sebagai contoh, si A menjual motor
kepada si B dengan harga Rp 10.000.000 dalam
42
jangka waktu 3 bulan. Akan tetapi sebelum jatuh
tempo si A membeli kembali motor tersebut seharga
Rp 8.000.000 dari si B secara tunai. Si B menerima
uang tunai tersebut, namun ia tetap berkewajiban
membayar Rp 10.000.000 kepada si A dalam tempo 3
bulan.
h. Bai‟atan fi Bai‟ah memiliki dua penafsiran. Pertama,
seorang menjual barang dengan mata uang 2000 Real
secara tempo, atau 1000 Real secara tunai. Kedua,
jual beli yang ada imbangan jual belinya seperti
contoh si A akan menjual mobilnya kepada si B
apabila si B juga mau menjual rumahnya kepada si A.
Transaksi pertama dilarang karena adanya unsur
gharar atau ketidakjelasan terhadap harga, sehingga
pembeli tidak tahu berapa harga objek akad.
Transaksi kedua dilarang karena adanya unsur
eksploitasi terhadap orang lain, memanfaatkan
kebutuhan orang lain demi dirinya sendiri serta dapat
mengurangi keridhaan pembeli.
i. Bai‟ Hadir lil Bad adalah jual beli dengan
memanfaatkan minimnya informasi pihak lain.
Sebagai contoh tengkulak dari kota datang langsung
ke tempat produsen di desa untuk mendapatkan harga
yang lebih murah karena kurangnya informasi
produsen mengenai harga produknya di kota. Hal
43
tersebut bisa menjadi salah satu bentuk eksploitasi
terhadap hak-hak orang lain.
j. Tallaqi Rukban hampir sama dengan Bai‟ Hadir lil
Bad, yaitu tengkulak menjemput produsen yang
sedang dalam perjalanan menjual produknya.
k. Bai‟ Najys yaitu rekayasa jual beli dengan
menciptakan permintaan palsu. Penjual bekerja sama
dengan pihak lain agar penjualan naik yang akhirnya
akan mempengaruhi pembeli untuk membeli dengan
harga yang tinggi.23
5. Hal-hal yang harus di hindari dalam jual beli
Dalam jual beli hendaknya kita menghindari beberapa hal
yaitu :
a. Ketidakjelasan, yang dimaksud adalah ketidakjelasan
yang dapat menimbulkan perselisihan yang sulit
untuk diselesaikan, yaitu :
1) Ketidakjelasan objek transaksi baik dari kualitas,
kuantitas, dan sifatnya.
2) Ketidakjelasan harga
3) Ketidakjelasan waktu, seperti dalam jatuh tempo
angsuran yang harus dibayar
4) Ketidakjelasan dalam langkah-langkah
penjaminan.
23
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010, h. 82-93
44
b. Pemaksaan adalah membuat orang lain melakukan
sesuatu sesuai dengan keinginan kita. Hal tersebut
bertentangan dengan prinsip kemauan bebas serta
kebebasan berekonomi.
c. Pembatasan dengan waktu, yaitu jual beli yang
dibatasi waktunya. Seperti contoh si A menjual
motornya dalam jangka waktu 1 tahun. Hal tersebut
tidak boleh dikarenakan jual beli merupakan salah
satu cara perpindahan kepemilikan yang tidak bisa
dibatasi waktunya.
d. Penipuan atau gharar adalah terdapat unsur
ketidakjelasan dalam transaksi seperti objek transaksi
yang tidak jelas secara kualitas, kuantitas serta
sifatnya yang tidak bisa di identifikasi secara
sempurna yang bisa saja menjadi suatu bentuk
penipuan yang bisa merugikan pihak pembeli di
kemudian hari.
e. Kemudaratan adalah lebih banyak sifat merugikan
daripada manfaat yang diperoleh.
f. Syarat yang merusak adalah setiap syarat yang ada
manfaatnya bagi salah satu pihak, tetapi syarat
tersebut tidak ada dalam syara‟ dan adat kebiasaan
atau tidak dikehendaki oleh kad atau tidak selaras
dengan tujuan akad. Seperti contoh si A menjual
mobilnya dengan syarat ia boleh menggunakan mobil
45
tersebut selama satu bulan setelah terjadinya akad jual
beli.24
6. Etika dalam Jual Beli
Etika Islam dalam jual beli diterapkan dengan
mengacu pada tiga kerangka pokok, yakni kebebasan
berekonomi, keadilan dan perilaku yang di perintahkan
dan yang dipuji25
a. Kebebasan Berekonomi
Kebebasan berekonomi adalah seseorang
berhak sepenuhnya menjalankan kegiatan ekonomi
tanpa ada paksaan dari orang lain. Allah SWT
membebaskan umatnya mengelola harta yang ia
miliki selama dalam koridor yang sesuai dengan
prinsip Islam. Adanya kebebasan dalam berekonomi
tanpa paksaan orang lain berarti mengisyaratkan
bahwa harus ada sikap saling rela dalam transaksi
tersebut. Seperti firman Allah SWT:
24
Muslich, Fiqh..., h. 191-192 25
Dede Nurrohman, Memahami Dasar-dasar Ekonomi Islam,
Yogyakarta: Teras, 2001, h. 63
46
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang Berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (Q.S An-Nisa‟
[4]:29).
Tujuan disyariatkannya sikap saling rela
adalah untuk menghindari pemaksaan serta penipuan,
sehingga transaksi jual beli bisa saling mendatangkan
keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat
didalamnya. Kebebasan berekonomi mengakuinya
adanya kepemilikan pribadi dan kebebasan untuk
bertransaksi asalkan sesuai dengan syariat Islam.
Kebebasan tersebut bertujuan untuk mendorong
aktivitas ekonomi agar seseorang berproduksi dan
mencapai kemaslahatan hidup bersama.26
Dengan adanya kebebasan dalam berekonomi
maka seseorang secara otomatis akan bertanggung
jawab dengan kebebasan yang dipilihnya. Dalam
konsep tanggung jawab Islam membedakan antara
fard al „ayn (tanggung jawab individu yang tidak
dapat dialihkan) dan fard al kifayah (tanggung jawab
kolektif yang bisa diwakili oleh sebagian kecil
26
Choirul Huda, Ekonomi Islam, Semarang CV. Karya Abadi Jaya,
2015, h. 13
47
orang).Tanggung jawab dalam Islam bersifat multi-
tingkat dan terpusat baik pada tingkat mikro
(individu) maupun tingkat makro (organisasi dan
masyarakat). Tanggung jawab dalam Islam bahkan
juga bersama-sama ada dalam tingkat mikro maupun
makro (misalnya, antara individu dan berbagai
institusi dan kekuatan masyarakat).27
Tanggung jawab muslim yang sempurna itu
tentu saja didasarkan atas cakupan kebebasan yang
luas, yang dimulai dari kebebasan memilih keyakinan
dan yang berakhir dengan keputusan yang paling
tegas yang perlu diambilnya. Perspektif Islam
menekankan bahwa individulah yang terpenting dan
bukan komunitas, masyarakat maupun bangsa.
Individu tidak dimaksudkan untuk melayani
masyarakat melainkan masyarakatlah yang benar-
benar harus melayani individu. Tidak ada satu
komunitas atau bangsapun bertanggung jawab di
depan Allah SWT sebagai kelompok; setiap anggota
masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara
individual.28
27
Beekun, Etika..., h. 40-41 28
Badroen, et al, Etika..., h. 100-101
48
Selain itu seorang pebisnis juga harus menjadi
warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu
menaati hukum atau aturan, penuh kesadaran sosial,
dan menghormati proses demokrasi dalam mengambil
keputusan. Selain itu juga harus bisa di pertanggung
jawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung
jawab atas keputusan dan konsekuensinya serta selalu
memberikan contoh.29
b. Keadilan
Pelaksanaan keadilan dalam suatu kontrak
dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan
kehendak dan keadaan, memenuhi segala kewajiban
yang telah disepakati bersama serta memberikan apa
yang telah menjadi haknya tanpa saling mezalimi dan
dilakukan dengan seimbang agar tidak merugikan
pihak lainnya.30
Prinsip keadilan sangat diperlukan dalam jual
beli. Kewajaran atau keadilan yaitu berlaku adil dan
berbudi luhur, bersedia mengakui kesalahan,
memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan
perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaan
29
Suryana, Kewirausahaan : Kiat dan Proses Menuju Sukses,
Jakarta: Salemba Empat, 2014, h. 267 30
Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah: Dalam Perspektif
Kewenangan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012, h. 77
49
serta tidak bertindak melampaui batas atau
mengambil keuntungan yang tidak pantas dari
kesalahan atau kemalangan orang lain31
. Berlaku adil
akan dekat dengan takwa, karena itu dalam
perniagaan (tijarah) Islam melarang untuk menipu
walaupun hanya “sekedar” membawa sesuatu pada
kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Dan
bahkan berlaku adil harus didahulukan dari berbuat
kebajikan. Dalam perniagaan, persyaratan adil yang
paling mendasar adalah dalam menentukan mutu
(kualitas) dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran
maupun timbangan. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan Allah telah meninggikan langit dan
Dia meletakkan neraca (keadilan)
supaya kamu jangan melampaui batas
itu. Da tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu
mengurangi neraca itu”. (Q.S Ar-
Rahman 55: 7,8,9)
31
Suryana, Kewirausahaan..., h. 267
50
Kondisi ini dapat terjadi seperti adanya
gangguan pada mekanisme pasar atau adanya
informasi penting mengenai transaksi yang tidak
diketahui oleh salah satu pihak (asymmetric
information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat
berupa gangguan pada penawaran dan gangguan
dalam permintaan. Islam mengharuskan penganutnya
untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan. Dan bahkan
berlaku adil harus didahulukan dari berbuat kebajikan.
Dalam perniagaan, persyaratan adil yang paling
mendasar adalah dalam menentukan mutu (kualitas)
dan ukuran (kuantitas) pada setiap takaran maupun
timbangan. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu
berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku
51
adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu),
dan penuhilah janji Allah. yang demikian
itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat. (Q.S Al-Anam [6]:152)
Konsep keseimbangan atau keadilan ini dapat
dipahami bahwa keseimbangan hidup di dunia dan di
akhirat harus diusung oleh seorang pebisnis muslim.
Oleh karenanya konsep keseimbangan menyerukan
kepada para pengusaha Muslim untuk bisa
merealisasikan tindakan-tindakan (dalam bisnis) yang
dapat menempatkan dirinya dan orang lain dalam
kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat.32
c. Perilaku yang Diperintahkan dan Dipuji
Al-Qur‟an dan al-Hadist memberikan sinyal
kepada kita untuk menjalankan etika yang berkaitan
dengan etika penjualan. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang
yang curang, (yaitu) orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain
mereka minta dipenuhi, Dan apabila
mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi”. (Q.S al-
Muthaffifin [83]: 1-3).
32
Ibid, h. 91-92
52
Etika bisnis dijalankan atas dasar ajaran
Islam. Dalam suatu bisnis hendaknya ditumbuhkan
sifat-sifat Rasul, yaitu shiddiq, Amanah, Tabligh, dan
Fathonah agar dalam transaksi tersebut bisa
menguntungkan kedua belah pihak bersaing melalui
sikap efisien dalam menentukan harga dan
meningkatkan pelayanan kepada konsumen tanpa
merusak tatanan ekonomi yang ada untuk
memberikan kepuasan serta pengaruh positif kepada
masyarakat.33
Menanamkan sifat Rasulullah SAW yaitu
Shiddiq (benar ,jujur),yang diimplementasikan dengan
menghindari perkataan bohong dan menjauhkan diri
dari sifat munafik. Amanah (tanggung jawab,
kepercayaan, kredibilitas ) yang dapat diwujudkan
melalui sikap saling mempercayai, selalu jujur
berprasangka baik dan bertanggung jawab atas apa
yang telah ia lakukan. , Fathanah (kecerdikan,
kebijaksanaan, intelektualitas) yaitu memaksimalkan
fungsi manajerial, pendekatan rasional objektif
rasional dan sistematis agar tercapai penataan dan
pengembangan kehidupan yang lebih baik, dan
Tabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran) dapat
ditumbuhkan melalui sikap profesionalisme dalam
33
Dede, Memahami..., h. 66
53
menjalankan tugasnya34
. Nilai dasarnya adalah
komunikatif, menjadi pelayan bagi publik, bisa
berkomunikasi secara efektif, memberikan contoh
yang baik, dan bisa mendelegasikan wewenangnya
kepada orang lain. Nilai bisnisnya adalah supel,
penjual yang cerdas, deskripsi tugas, bisa bekerja
sama dengan tim, ada koordinasi kendali dan
supervisi.35
Shiddiq yang berarti benar atau jujur harus
menjadi visi hidup setiap Muslim. Dengan adanya
konsep ini maka seorang Muslim dapat berbisnis
dengan efektif dalam mencapai tujuan yang tepat
sasaran, dan efisiensi dalam melakukan teknik dan
metode yang sesuai. Sedangkan Amanah yang berarti
bertanggung jawab, dapat dipercaya dan mempunyai
kredibilitas harus menjadi misi seorang Muslim.
Dengan adanya sikap tersebut dapat menjadi pondasi
umat Muslim dalam berbisnis dan menjalankan
kegiatan ekonomi lainnya. Kredibilitas dan tanggung
jawab yang diakui dapat membawa pengaruh positif
dan citra yang baik dalam suatu usaha atau kegiatan
ekonomi seorang pebisnis.
34
Manan, Hukum..., h. 13 35
Buchari Alma, Donni Juni Priansa, Manajemen Bisnis Syariah :
Menanamkan Nilai dan Praktik Syariah dalam Bisnis Kontemporer,
Bandung: Alfabeta, 2014, h. 176
54
Fathanah yang berarti kecerdikan,
kebijaksanaan, intelektualitas dapat di
implementasikan bahwa dalam segala aktivitas
ekonomi harus mengoptimalkan ilmu yang dimiliki,
kebijaksanaan dan intelektualitas guna mencapai
tujuan yang inginkan. Adanya sikap tersebut akan
menghindarkan seseorang dari hal-hal yang tidak
diinginkan, seperti penipuan. Tabligh yang berarti
komunikasi, keterbukaan, pemasaran dapat di
wujudkan dengan sikap terbuka kepada orang lain,
berkomunikasi yang baik serta melakukan pemasaran
yang sesuai dengan segmentasi pasar yang bidik
sehingga dalam aktivitas ekonomi yang dijalankan
dalam bersaing dengan lawan.36
7. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
Hikmah diperbolehkannya jual beli adalah
kebutuhan seseorang akan suatu barang tergantung pada
pemilik barang tersebut, sedangkan pemilik barang tidak
akan memberikan barang tanpa adanya nilai pengganti
dari barang yang ia miliki. Manusia memiliki berbagai
macam kebutuhan dan berusaha mencukupi
kebutuhannya dengan berbagai cara, oleh karena itu
maka dalam rangka mendapatkan kebutuhan akan suatu
36
Ahmad Mujahidin, Ekonomi Islam: Sejarah, Konsep, Instrumen,
Negara dan Pasar, Depok PT. Raja Grafindo Persada, 2014 h. 27-29
55
barang ia juga memberikan nilai pengganti yang sesuai
dengan barang yang ia butuhkan. Atau dengan kata lain
pihak-pihak tersebut akan bekerja sama dalam memenuhi
kebutuhannya dengan saling bertukar kebutuhan dalam
suatu transaksi yang biasa disebut jual beli.
Selain memenuhi kebutuhan, kegiatan
mu‟amalah ini juga menghindarkan seseorang dari
perbuatan buruk seperti pencurian, perselisihan,
penipuan, dan penghianatan. Kecenderungan manusia
untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas
mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya
dengan cara apapun yang akan berimbas pada keserasian
dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Oleh karenanya
jual beli memang dibutuhkan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup serta menghindarkan seseorang dari
perbuatan buruk yang dapat menimbulkan
ketidakserasian dan ketidakharmonisan dalam
masyarakat.37
8. Sistem Tebasan
Jual beli borongan atau yang dikenal masyarakat
dengan jual beli menggunakan sistem tebasan dalam
kamus Bahasa Arab yaitu جز ف : آ جتز ف yang artinya
37
As-Sa‟di , et al, Fiqh..., h.147
56
berjual beli dengan tanpa menimbang atau menakar.38
Muhammad Sholahuddin mengatakan bahwa jual beli
tebasan atau Juzaf berarti membeli sejumlah barang,
yaitu sebuah transaksi jual beli barang dagangan tanpa
menimbang, mengukur atau menghitung. 39Juzaf secara
bahasa artinya adalah mengambil dalam jumlah banyak.
Dalam terminologi fiqh, juzaf adalah menjual barang
yang bisa ditakar, ditimbang dan dihitung secara
borongan dengan cara tanpa ditakar, ditimbang dan
dihitung lagi. Jika mengacu pada takaran (satuan) barang
yang diperjual belikan, jual beli seperti ini ada unsur
spekulasinya karena penjual dan pembeli sama-sama
tidak mengetahui jumlah pastinya. Maka para ulama
sepakat bahwa jual beli yang mengandung unsur
spekulasi seperti ini dilarang, sebab tidak memenuhi
syarat jual beli yaitu harus diketahui obyeknya (ukuran
dan kriterianya). Akan tetapi jual beli jenis ini
dikecualikan dari hukum asalnya yang bersifat umum,
karena manusia membutuhkannya dan sudah
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.40
38
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, Cet. Ke-8, h. 627 39
Muhammad Sholahuddin, Kamus Istilah Ekonomi, Keuangan dan
Bisnis Syariah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011, h. 70 40
Affandi, Fiqh..., h. 62
57
Sebagaimana pendapat Dimyauddin Djuwangi
dalam bukunya “Pengantar Fiqh Muamalah” mengatakan
bahwa keabsahan praktek jual beli juzaf dapat
disandarkan pada hadist Rasulullah SAW yang
diceritakan dari Jabir, yang berkata : “Rasulullah
melarang jual beli shubroh (kumpulan makanan tanpa
ada timbangan dan takarannya) dari kurma yang tidak
diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui
secara jelas takarannya”. (HR. Muslim dan Nasai).
Hadist ini mengindikasikan bahwa jual beli juzaf
atas kurma diperbolehkan, dengan catatan harga yang
dibayarkan atas kurma tersebut, bukanlah barang yang
sejenis (artinya ditukar dengan kurma). Jika kurma
tersebut dibayar dengan kurma yang sejenis, maka
hukumnya haram.. dengan alasan, terdapat potensi
perbedaan kuantitas diantara keduanya, dan hal ini lebih
dekat kepada riba fadhl. Jika kurma tersebut ditukarkan
dengan uang, dan pertukaran tersebut dilakukan dengan
jual beli juzaf, maka diperbolehkan.
Ulama empat madzab sepakat atas keabsahan jual
beli subroh secara juzaf. Ibnu Qudamah menambahkan,
akad juzaf boleh dilakukan atas subroh dengan catatan,
antara penjual dan pembeli tidak mengetahui kadarnya
secara jelas dan pasti, tidak ada perdebatan ulama atas
transaksi ini. Dalam transaksi ini, ulama fiqh
58
menyebutkan kaidah terkait dengan harga dan objek yang
boleh diperjualbelikan. Segala sesuatu yang boleh
diperjualbelikan dengan adanya perbedaan nilai, maka
diperbolehkan ditransaksikan secara juzaf. Sebaliknya,
jika sesuatu itu tidak diperbolehkan untuk
diperjualbelikan dengan adanya perbedaan nilai (artinya
harus sama) maka tidak boleh ditransaksikan secara juzaf.
Berdasarkan kaidah ini, emas dengan emas atau
perak dengan perak(bai‟ al-„ardh bi al-‟ardh), atau
barang ribawi lainnya, tidak boleh diperdagangkan secara
juzaf. Karena terdapat kemungkinan adanya perbedaan
nilai diantara keduanya, dan hal itu identik dengan riba.
Namun, jika keduanya mampu ditimbang atau ditakar,
dan diketahui kadarnya secara jelas, maka boleh
diperdagangkan. Jika emas ditukar dengan perak secara
juzaf, maka jual beli ini sah adanya. Karena keduanya
bisa ditransaksikan dengan adanya perbedaan nilai.
Dengan syarat, harus ada serah terima dalam majlis akad.
Ulama fiqh madzhab Malikiyyah menyebutkan 7
syarat bagi keabsahan jual beli juzaf, sebagaimana hal ini
ditemukan dalam pendapat ulama madzab lainnya. Syarat
dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Objek transaksi harus bisa dilihat. Ulama Hanafiyyah,
Syafiiyyah, dan Hanabalah setuju akan syarat ini.
59
b. Penjual dan pembeli tidak mengetahui secara jelas
kadar objek jual beli, baik dari segi takaran,
timbangan maupun hitungannya. Imam Ahmad
menyatakan, jika penjual mengetahui kadar objek
transaksi, maka ia tidak perlu menjualnya secara juzaf.
c. Jual beli dilakukan atas sesuatu yang dibeli secara
partai, bukan per satuan. Akad juzaf diperbolehkan
atas sesuatu yang bisa ditakar atau ditimbang, seperti
biji-bijian dan sejenisnya. Jual beli juzaf tidak bisa
dilakukan atas pakaian, kendaraan yang dapat dinilai
per satuannya. Berbeda dengan barang yang nilainya
sangat kecil per satuannya, atau memiliki bentuk yang
relatif sama. Seperti telur, apel, mangga, semangka,
kurma, dan sejenisnya.
d. Objek transaksi bisa ditaksir oleh orang yang
memiliki keahlian dalam penaksiran. Akad juzaf tidak
bisa dipraktikkan atas objek yang sulit ditaksir.
Madzhab Safiiyyah sepakat atas adanya syarat ini.
e. Objek akad tidak boleh terlalu banyak, sehingga
sangat sulit ditaksir, namun juga tidak terlalu sedikit,
sehingga sangat mudah diketahui kuantitasnya.
f. Tanah yang digunakan sebagai tempat penimbunan
objek transaksi haruslah rata, sehingga kadar objek
transaksi bisa ditaksir.
60
g. Tidak diperbolehkan mengumpulkan jual beli barang
yang diketahui kadarnya secara jelas, dengan barang
yang diketahui kadarnya secara jelas, dalam satu akad.
Misalnya, jual beli kurma satu kilo, dikumpulkan
dengn apel yang berada dalam satu pohon, dengan
satu harga atau dua harga.41
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
pasal 77 jual beli dapat dilakukan terhadap :
a. Barang yang terukur menurut jumlah, porsi, berat
atau panjang baik berupa satuan atau keseluruhan.
b. Barang yang ditakar atau di timbang sesuai
jumlah yang telah ditentukan, sekalipun kapasitas
dari takaran atau timbangan tidak diketahui.
c. Satuan komponen dari barang yang sudah
dipisahkan dari komponen lain yang telah
terjual.42
Sama halnya dengan jual beli padi secara
tebasan, dalam hal ini semua syarat sudah terpenuhi.
Jual beli dilakukan dengan cara menaksir atau
mengira-ngira berat padi disesuaikan dengan harga
yang ditawarkan. Jual beli ini banyak dilakukan
dikarenakan lebih praktis dan efisien dibandingkan
dengan jual beli secara langsung.
41
Djuwaini, Pengantar..., h. 147-150 42
Pusat, Kompilasi...,h. 35
61
9. Keuntungan dan Kerugian Sistem Jual Beli Tebasan
(Borongan).
Tabel 1.1 keuntungan dan kerugian jual beli
menggunakan sistem tebasan (borongan)43
:
Keuntungan Kerugian
1. Semua hasil di
beli.
2. Tidak ada biaya
petik
(memotong
padi).
3. Tidak
menanggung
resiko
kerusakan.
1. Tidak tahu jumlah
produksi secara
pasti.
2. Hilangnya
kesempatan untuk
tahu mutu hasil.
3. Kesempatan untuk
mendapat hasil yang
baik berkurang.
Dalam kaitannya dengan keuntungan jual beli padi
menggunakan sistem tebasan, maka penjual tidak perlu
khawatir dengan padi yang susah siap panen, karena semua
hasil dari luas sawah per Seprapat akan dibeli oleh penebas,
karena harga yang disepakati tentunya sudah diperkirakan
oleh penebas baik dari sisi kualitas maupun kuantitas padi
tersebut.
Penjual tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk
jasa pemotongan padi. Semakin jauh lokasi rumah penyewa
43
Rudi Bintoro HL, THE EFFECT OF MELON SALES SYSTEM OF
FARMER‟S INCOME A CASE STUDY IN KABUPATEN NGAWI, Media
Soerjo Vol 6 no 1 April, 2010, h. 113
62
dengan sawah, maka biaya akan semakin mahal. Begitu pula
dengan keadaan padi, jika kondisi sawah banjir, padi ambruk
biasanya pekerja akan meminta biaya ekstra untuk
memotongnya. Selain itu juga masih ada biaya konsumsi
untuk para pekerja pemotong padi. Sehingga dapat dikatakan
jual beli menggunakan sistem tebasan sangat praktis karena
penjual langsung mendapat uang hasil tebasan padi tanpa
harus memikirkan biaya pemotongan padi, biaya transportasi
serta terhindar dari kerepotan dalam mengeringkan padi basah
menjadi padi siap jual.
Tidak menanggung resiko kerusakan, yaitu penjual
tidak perlu menanggung resiko seperti cuaca buruk, padi
ambruk karena penjual diberi pilihan untuk tetap melanjutkan
transaksi maupun membatalkannya. Mayoritas penjual akan
tetap melanjutkan transaksi sekalipun terdapat pengurangan
harga karena apabila membatalkan transaksi maka kualitas
padi yang buruk akan menurunkan harga jual sehingga resiko
terhadap kualitas padi yang buruk serta turunnya harga akan
menjadi tanggung jawab penjual apabila membatalkan
transaksi.
Disamping beberapa keuntungan, terdapat pula
beberapa kerugian dalam jual beli secara tebasan atau
borongan, antara lain penjual tidak tahu jumlah produksi
secara pasti. Hal ini karena memang dasarnya jual beli tebasan
adalah jual beli tanpa menakar atau menimbang sehingga
63
penjual tidak dapat mengetahui kapasitas hasil produksi dan
mutu produksi yang dapat dijadikan acuan ataupun patokan
untuk musim tanam berikutnya. Dengan ketidaktahuan akan
kapasitas dan mutu produksi maka penjual juga kehilangan
kesempatan untuk mendapatkan pendapatan yang mungkin
bisa saja lebih besar apabila ia tidak menjualnya secara
tebasan atau borongan.
top related