bab i pendahuluan a. latar belakangrepo.apmd.ac.id/614/1/repo petrus k advendatus lahur.pdf ·...
Post on 12-Nov-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika kehidupan berbangsa dan bertanah air selalu menghadirkan
ceritanya tersendiri. Dari dinamika politik kebijakan, partai politik, masyarakat
madani, hubungan luar negeri, media massa hingga sisi masyarakat yang selalu
dikaitkan dengan tujuan berbangsa dan bernegara. Undang-undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa yang diperjuangkan sejak awal tahun 2000 hingga
disahkan menjadi Undang-Undang Desa oleh DPR RI pada 18 Desember 2013
menjadi salah satu instrumen penting dalam dinamika berbangsa dan bertanah air.
Undang-undang Desa ini menjadi salah satu instrumen penting pembangunan
bangsa. Berbeda dengan beleid masa-masa sebelumnya, UU Desa yang
diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, menegaskan
komitmen politik dan konstitusional bahwa negara melindungi dan
memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis sehingga
dapat menciptakan landasan yang kokoh dalam melaksanakan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (Sutoro Eko:
2014: xv)
Kehadiran undang-undang ini menjadi jawaban dari perjalanan desa yang
sangat memprihatinkan. Di periode tahun 1980 an, desa-desa di Indonesia
mengalami mobilisasi sosial. Hal ini ditandai dengan begitu banyak program
pembangunan yang membanjiri desa selama orde baru. Hal ini memang
2
menampilkan cerita sukses. Namun cerita sukses di periode mobilisasi tahun 1980
an tidak merata ke seluruh desa di Indonesia. Derajat hidup orang tidak bisa
diangkat secara memadai, kemiskinan selalu menjadi penyakit yang setiap tahun
dijadikan sebagai komoditas proyek. Masuknya para pemilik modal maupun
tengkulak melalui kebijakan resmi maupun melalui patronase semakin
memperkaya para elite desa maupun para tengkulak. Petani selalu menjerit karena
harga produk pertanian selalu rendah sementara harga pupuk selalu melambung
tinggi hingga berakibat pada pengangguran yang merajalela. Kaum perempuan
mengalami marginalisasi yang kemudian memaksa sebagian dari mereka menjadi
buruh murah di sektor manufaktur maupun menjadi pemasok TKI (yang sebagian
besar bernasib buruk) di negeri asing. Urbanisasi terus meningkat ikut
memberikan kontribusi terhadap meluasnya kaum miskin kota yang rentang
dengan pengangguran dan tentunya bermusuhan dengan aparat ketertiban. Proyek
swasembada beras juga gagal. Urbanisasi yang terus meningkat ikut memberikan
kontribusi terhadap meluasnya kaum miskin kota yang rentan dengan
penggusuran. Sungguh ironis, Indonesia sebagai negeri agraris tetapi harus
mengimpor beras dari negeri tetangga. Berbagai program bantuan pemerintah
yang mengalir ke desa tidak secara signifikan mampu mengangkat harkat hidup
orang desa, memerangi kemiskinan desa, mencegah urbanisasi, menyediahkan
lapangan pekerjaan dan lain-lain. Yang terjadi adalah ketergantungan,
konservatisme dan pragmatisme orang desa terhadap bantuan pemerintah. Dengan
demikian pembangunan desa yang dilancarkan bertahun-tahun sebenarnya
mendatangkan kegagalan.
3
Namun demikian, patutlah kita bertanya lebih jauh mengapa perlu
diundangkan melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
Menurut Didiek, G. Suharto, ada anggapan bahwa pembangunan nasional justru
menciptakan kesenjangan antara desa dan kota. Pembangunan yang bias
perkotaan semakin memperbesar disparitas antara kota dan desa. Negara
berkembang, termasuk Indonesia lebih mengkonsentrasikan pembangunan
ekonomi pada sektor industri untuk mengejar pertumbuhan. Akibatnya sektor lain
seperti sektor pertanian yang berada di pedesaan dan menjadi mata pencaharian
utama masyarakat desa dikorbankan. Konsekuensinya, pembangunan hanya
terpusat di kota dan kepentingan masyakarakat desa dikesampingkan (Didik,
2015: 1). Hal ini menjadi bukti bahwa Desa menjadi opsi terakhir dalam
pembangunan bangsa. Sehingga, kisah tentang pembangunan desa dulunya hanya
berkisar pada pembuatan surat atau dengan kata lain bidang administrasi, media
penyalur bantuan pemerintah kepada masyarakat dan tentunya basis suara politik
bagi partai-partai politik yang bertarung di pemilihan umum baik pemilihan
Presiden, Gubernur dan Bupati. Negara kurang memberi perhatian penuh terhadap
pembangunan desa. Tak pelak, desa pun sering dijadikan sebagai ladang
eksploitasi berbagai sumber daya seperti sumber daya alam maupun sumber daya
manusia. Hal ini menyebabkan munculnya istilah pemburu rente dan broker desa.
Untuk istilah pemburu rente ini lebih sering ditemui pada desa yang memiliki
sumber daya alam berlimpah misalnya tambang dan kawasan kebun. Dari
berbagai kenyataan ini, Sutoro Eko (2014; 5), mengatakan “pengalaman ini juga
bermakna strategis, yakni menunjukan kepada Jakarta bahwa desa tidak boleh
4
dipandang sebelah mata, bahwa desa tidak boleh terus-menerus menjadi obyek
penerima manfaat tetapi desa sebaiknya dikembangkan menjadi subyek penerima
manfaat”.
Akibat dari ketidakberpihakan negara dalam pembangunan desa
mengakibatkan begitu banyak desa yang belum maju. Data Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) menyebutkan terdapat 38.232 (54,14
%) kategori desa maju yang terdiri dari 36.793 (52,03) kategori maju dan 1.493
(2,11 %) kategori sangat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379
(45,86%). Fakta tentang desa tertinggal menyebutkan bahwa desa belum dapat
dilalui mobil sebanyak 9.425 desa, desa yang belum ada sarana kesehatan
sejumlah 20.435 desa, desa yang belum ada pasar permanen sebanyak 29.421 desa
dan desa belum ada listrik sebanyak 6.240 desa (Edy, 2018 dalam Didik, 2015: 3).
Dari data ini kita dapat melihat kenyataan desa secara data masih belum mandiri
dari sarana prasarana. Bahkan kebutuhan dasar seperti pasar (ekonomi), kesehatan
maupun transportasi masih belum terpenuhi (Didik, 2015: 4).
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan September 2017, jumlah
penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah
garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 26,58 juta orang (10,12 persen),
berkurang sebesar 1,19 juta orang dibandingkan dengan kondisi Maret 2017 yang
sebesar 27,77 juta orang (10,64 persen). Persentase penduduk miskin di daerah
perkotaan pada Maret 2017 sebesar 7,72 persen turun menjadi 7,26 persen pada
September 2017. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan
pada Maret 2017 sebesar 13,93 persen turun menjadi 13,47 persen pada
5
September 2017. Selama periode Maret 2017–September 2017, jumlah penduduk
miskin di daerah perkotaan turun sebanyak 401,28 ribu orang (dari 10,67 juta
orang pada Maret 2017 menjadi 10,27 juta orang pada September 2017),
sementara di daerah perdesaan turun sebanyak 786,95 ribu orang (dari 17,10 juta
orang pada Maret 2017 menjadi 16,31 juta orang pada September 2017)
(https://www.bps.go.id/pressrelease/2018/01/02/1413/persentase-penduduk-
miskin september-2017-mencapai-10-12-persen.html. Diaksen pada Rabu, 25
April 2018).
Dari kenyataan seperti ini dapat disimpulkan; pertama, masyarakat desa
belum diberdayakan. Hal ini berdampak pada membiasnya usaha mengentaskan
kemiskinan. Sumber daya alam yang melimpah di desa belum mampu
diberdayakan oleh masyakarat untuk meningkatkan tingkat pendapatan. Tentu
dalam situasi ini, peran pemerintah desa sangat diperlukan akan tetapi harapan ini
belum menjadi nyata. Kedua, pemerintah desa belum berdaulat. Hal ini
mengartikan posisi desa yang masih dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah
supra desa. Desa belum sepenuhnya diserahi kesempatan untuk mandiri
mengelola rumah tanggahnya sendiri. Ketiga, desa sendiri kekurangan kader
berkualitas dalam membangun desa. Bayangkan, begitu banyaknya program yang
masuk desa namun belum dioptimalkan dengan baik. Wajar jika begitu banyak
program pusat maupun daerah yang tidak tuntas di tingkat desa. Keempat,
pemerintah pusat belum serius memandang desa sebagai subyek penentu
pembangunan di desa. Hal ini ditandai dengan begitu banyak peraturan
perundang-undangan yang mengatur desa. Memang benar perlu aturan namun
6
pemerintah pusat terlalu mengatur keberadaan desa. Parahnya lagi pemerintah
pusat membuat banyak peraturan bukan untuk menghormati dan mengangkat
harkat martabat orang desa tetapi digunakan untuk mengendalikan desa guna
mendukung kepentingan pemerintah baik konsolidasi kekuatan politik maupun
pembangunan ekonomi (Didik. 2015: 5).
Berangkat dari permasalahan demi permasalahan yang terjadi pada masa
orde lama dan baru lebih tepatnya sebelum diundangkannya Undang-undang
Desa, pemerintah mencoba berpihak pada desa. Salah satu semangat Undang-
undang ini ialah kemandirian desa. Kata mandiri tentunya berujung pada
kemampuan desa dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Lebih dari pada itu,
benar apa yang disampaikan oleh Gunawan Sumodiningrat (2016: 1) bahwa
sangatlah penting untuk membangun Indonesia mulai dari desa. Konsep ini
mengartikan semangat pembangunan yang dimulai dari desa. Konsep ini sedari
awal mengawal semangat yang ada di Undang-undang Desa. Untuk mencapai
semangat ini terdapat empat kewenangan yang diusung oleh Undang-undang desa
sesuai dengan Pasal 18 yakni Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan
Pembangunan Desa, Pembinaan Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat. Empat
kewenangan ini menjadi modal berharga dalam mewujudkan kemandirian desa.
Empat kewenangan desa tersebut ialah kewenangan berdasar hak asal usul,
kewenangan lokal berskala desa, kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah,
pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota dan
kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi
atau pemerintah kabupaten/kota yang sesuai dengan ketentuan peraturan
7
perundang-undangan. Dari berbagai kewenangan ini, kewenangan kedua menjadi
kewenangan yang mengarah kepada kemandirian desa dalam pembangunan.
Kewenangan lokal berskala desa mengafirmasi adanya sebuah
kepercayaan dari pemerintah kepada pemerintah desa dalam memajukan desa.
Tentunya dengan tujuan utama yakni kemandirian dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam usaha mengimplementasikan kewenangan berskala desa ini, Undang-
undang Desa mengaturnya pada bagian IX tentang Pembangunan Desa dan
Pembangunan Kawasan Perdesaan. Sehingga jelas pada pasal 78 ayar 1 berbunyi
“Pembangunan Desa bertujuan memajukan kesejahteraan masyarakat desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, pembangunan sarana prasarana desa, pengembangan potensi
utama lokal serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Semangat pasal 78 ini setidaknya bisa menginspirasi desa-desa
agar menggenjot pembangunan di daerahnya masing-masing. Mengenai
pembangunan desa ini, salah satu sektor pembangunan desa ialah pemanfaatan
potensi lokal. Potensi lokal dalam hal ini ialah segala kekayaan yang dimiliki oleh
desa yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Potensi lokal desa (baca potensi desa) adalah segala sumber daya alam
maupun sumber daya manusia yang terdapat dan tersimpan di desa yang dapat
dimanfaatkan untuk kelangsungan dan perkembangan desa. Potensi desa dapat
dibagi atas dua yakni potensi fisik dan potensi non fisik. Contoh potensi fisik
sebagai berikut:
8
‐ Tanah yang merupakan faktor penting bagi penghidupan warga desa
‐ Air untuk memenuhi kebutuhan sehari-sehari
‐ Cuaca dan iklim memegang peranan penting bagi warga desa
‐ Ternak berfungsi sebagai sumber tenaga hewan
‐ Manusia dalam arti sebagai tenaga manusia
Sedangkan contoh potensi non fisik adalah sebagai berikut:
‐ Aparatur atau pamong desa yang baik menjadi sumber kelancaran dan
ketertiban jalannya roda pemerintahan desa.
‐ Lembaga-lembaga sosial desa merupakan lembaga yang mampu
mendorong partisipasi warga desa untuk berperan aktif dalam berbagai
kegiatan pembangunan desa.
‐ Masyarakat desa yang hidup berdasarkan hidup gotong royong
merupakan suatu kekuatan berproduksi dan kekuatan pembangunan
desa (https://www.inirumahpintar.com/2016/10/pengertian-dan-
contoh-potensi-desa.html, diakses pada Selasa, 22 Mei 2018)
Pemanfaatan potensi lokal tentu sangat diharapkan menjadi garda terdepan
dalam pembangunan desa. Pemanfaatan potensi lokal pula mengisyaratakan desa
mengandalkan apa yang dimiliki di desa untuk kesejahteraan bersama. Ada
beberapa manfaat pengelolaan potensi lokal yang bisa didapatkan oleh pemerintah
desa. Pertama dari segi ekonomi bisa memberi manfaat kepada dua pihak. Pihak
pertama yakni pemerintah desa. Pemerintah desa akan memiliki sektor pemasukan
yang jelas bagi Pendapatan Asli Desa (PADes). Hal ini penting agar terciptanya
9
kemandirian di bidang keuangan desa. Bayangkan jika dana desa dikurangi atau
malah dihentikan oleh pemerintah pusat maka PADes menjadi garda terdepan
dalam menghidupi kegiatan pembangunan desa. Pemanfaatan potensi lokal desa
mengisyaratkan adanya pemberdayaan masyarakat. Artinya ialah masyarakat
diberdayakan di daerahnya sendiri bersama potensi yang mereka miliki. Ketika
masyarakat dapat diberdayakan, masyarakat dimampukan untuk menciptakan
pekerjaan sendiri. Ini akan berakibat pada peningkatan pendapatan dari
masyarakat itu sendiri. Ketika dua pihak ini mendapat manfaat dari pemanfatan
potensi lokal maka yang terjadi adalah kesejahteraan desa tersebut tercapai (hasil
wawancara dengan Sene, Kepala Desa Nglanggeran, 18 Desember 2017).
Kedua dari segi sosial yakni semakin berkurangnya permasalahan-
permasalahan sosial di desa. Hal ini jelas ketika masyarakatnya digerakkan untuk
memafaatkan potensi desanya dalam berbagai bentuk lapangan pekerjaan maka
kesibukan masyarakat dapat dikendalikan. Sehingga kecemasan akan terjadinya
permasalahan sosial di desa dapat diatasi; masyarakat disibukkan dengan
pekerjaan di lapangan ketimbang membuat masalah. Pada akhirnya dari segi
keamanan desa dapat tercapai. Ketiga dapat menggerakan sektor pariwisata.
Pemanfaatan potensi lokal dapat menggerakan sektor pariwisata. Setiap potensi
disamping untuk menambah pendapatan masyarakat melalui terbukanya lapangan
pekerjaan, tentu dapat dimaksimalkan sebagai sektor swasta. Pemerintah desa
dapat memaksimalkan sektor swasta ini untuk berbagai manfaat misalnya promosi
desa, pendapatan desa maupun penyerapan tenaga kerja lokal. Keempat mencegah
keluarnya tenaga kerja produktif ke luar desa. Ketika potensi lokal dimanafaatkan
10
dengan baik maka keberadaan angkatan kerja produktif desa dapat
dimaksimalkan. Peran pemuda ini tentunya dapat pula dimaksimalkan untuk
mengelola potensi desa.
Banyak desa di Indonesia yang telah memanfaatkan potensi lokalnya
sebagai garda terdepan pembangunan desa. Desa-desa ini menyadari, pemanfaatan
potensi lokal akan memberi manfaat yang sangat signifikan dalam usaha
menyejahterahkan masyarakatnya. Desa-desa di Yogyakarta misalnya begitu
gencar memanfaatkan potensi lokal. Sebut saja desa wisata Mangunan, desa
wisata Tembi, desa wisata Kasongan dan berbagai desa wisata lainnya. Desa
Nglanggeran sendiri merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Patuk
Kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Luas wilayah desa
Nglanggeran ialah 762,8 ha dibagi menjadi lima wilayah pedukuhan, 5 RW dan
23 RT. Ada pun lima pedukuhan tersebut:
- Pedukuhan Karangsari
- Pedukuhan Doga
Pedukuhan Nglanggeran Kulon
- Pedukuhan Nglaneggeran Wetan
- Pedukuhan Gunung Butat
Potensi alam yang ada di desa Nglanggeran terdiri dari beberapa macam
seperti gunung api Purba, Kebun Buah Nglanggeran, Agro Wisata seluas 20 ha
dan air terjun Kendung Kandang. Selain itu juga, desa Nglanggeran juga memiliki
perkebunan kakao (coklat) dan durian. Menariknya dari perkebunan kakao ini
11
dikelola dari hulu ke hilir artinya dari budidaya hingga ke pengelolaan dan
pemasaran (hasil wawancara dengan Senen, Kepala Desa Nglanggeran, 18
Desember 2017) melibatkan warga masyarakat.
Di balik cerita begitu banyaknya potensi yang dimiliki oleh desa
Nglanggeran; jauh sebelum hadirnya potensi demi potensi ini, desa Nglanggeran
sendiri merupakan sebuah desa yang tidak diperhitungkan. Desa Nglanggeran di
tahun 1980 an merupakan wilayah yang bisa dikatakan sebagai wilayah lahan
kritis atau gundul. Bisa dikatakan, dari tahun 1980 hingga tahun 2006 desa
Nglanggeran masuk dalam kategori desa tertinggal. Saat itu mata pencaharian
warga desa Nglanggeran adalah petani. Masyarakat memilih menjadi petani
memanfaatkan lahan pertanian yang ada di desa Nglanggeran. Selain petani, mata
pencaharian warga desa Nglanggeran ialah buruh bangunan, di bidang pertanian
baik pertanian tanaman pangan maupun perkebunan di hutan rakyat. Situasi ini
menjadi gambaran desa Nglanggeran di periode tahun 1980 an hingga tahun 2006
(Hasil wawancara dengan kepala desa Nglanggeran, 18 Desember 2017).
Desa Nglanggeran pun pada akhirnya mengalami titik balik perkembangan
ketika tahun 1999 karang taruna atau kaum muda desa Nglanggeran mulai
melakukan pergerakan. Pergerakan awal yang dilakukan oleh karang taruna ialah
melakukan penghijauan di gunung api Purba. Sejak saat itu, hutan di sekitar
gunung api Purba sudah mulai hijau. Selain penghijauan, saat itu karang taruna
menggagas untuk menanam pohon pula. Sejak tahun 1999 hingga tahun 2006,
perubahan secara fisik di gunung api Purba mulai nampak. Implikasinya jelas
sekali, banyak pelajar yang melakukan kunjungan ke gunung api Purba. Begitu
12
pun dengan para akademisi maupun peneliti. Melihat geliat seperti ini, Karang
Taruna Nglanggeran pun menjadikan gunung api Purba sebagai obyek wisata
andalan bagi desa Nglanggeran. Perkembangan ini mulai berbuah positif ketika di
tahun 2007 kelompok Karang Taruna tadi berubah menjadi Kelompok Sadar
Wisata atau Pokdarwis desa Nglanggeran. Kelompok inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal pengelolaan wisata gunung api Purba ke arah yang lebih
profesional.
Mimpi besar pembangunan desa Nglanggeran pun dikebut. Sejak saat itu
desa Nglanggeran mulai dilirik sebagai tujuan wisata. Pemicu utama ialah gunung
api Purba yang kemudian berkembang melahirkan beberapa obyek wisata lainnya.
Hingga saat ini desa Nglanggeran memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)
yang mengurus dua unit usaha yakni usaha simpan pinjam dan usaha desa wisata.
Bayangkan saja, kehadiran BUMDes ini dapat menambah pemasukan kas desa
Nglanggeran. Salah satu kunci kemajuan perlahan yang terjadi di desa
Nglanggeran ialah pemberdayaan masyarakat. Setiap warga diberdayakan menjadi
tuan rumah di tanahnya sendiri. Desa Nglanggeran yang dulunya dikatakan
sebagai desa tertinggal perlahan-lahan berubah menjadi desa berkembang.
Tentunya hal ini menjadi sebuah pertanda kemajuan dari sebuah desa. Hal inilah
yang menjadi sebuah keyakinan bersama bahwa sebuah desa bisa maju atas dasar
gerakan pemberdayaan masyarakat. Desa Nglanggeran telah memberi bukti
bahwa mereka dapat bertransformasi dari desa tertinggal ke desa berkembang
bahkan menjadi desa maju. Pertanyaan pemantik yang bisa diperhatikan bersama
ialah mengapa desa Nglanggeran bisa menjadi desa maju? Pertanyaan ini akan
13
menuntun kita sekalian pada sebuah analisis komprehensif tentang kemajuan
sebuah desa.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk menggali lebih jauh tentang
pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa Nglanggeran. Atinya ialah
desa Nglanggeran sendiri secara mandiri mampu untuk memaksimalkan potensi
desa yang ada sejak tahun 1999. Desa Nglanggeran sendiri merupakan salah satu
desa wisata di kabupaten Gunung Kidul. Hingga saat ini desa Nglanggeran telah
memiliki beberapa obyek wisata yang memberi kontribusi kepada status desa
Nglanggeran sebagai desa wisata. Bagi peneliti, ada yang menarik di desa
Nglanggeran. Pertanyaan pemantik berikutnya ialah bagaimana desa Nglanggeran
mampu mengelola potensi desanya? Di saat banyak desa yang masih mengalami
kebingungan dalam mengelola potensi desanya, desa Nglanggeran hadir untuk
menjawab kebingungan ini. Hal inilah yang kemudian melarbelakangi peneliti
ingin meneliti lebih jauh pengelolaan potensi desa di desa Nglanggeran.
Penelitian tentang Pemberdayaan Masyarakat sudah pernah dilakukan
oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu:
1. Mohamaad Sofiandi. S. Sos. (Ilmu Sosial Program Studi Interdiscipliniary
Islamic Studies konsentrasi Social Work Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
tahun 2015) dengan judul “Pemberdayaan Masyarakat Berbasis
Lingkungan di Desa Gilingharjo Pandak Kabupaten Bantul (Studi kasus
Lembaga Community Development Yayasan Suara Bakti).
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti.
14
Ada pun metode penelitian yang digunakan ialah deskriptif
kualitatif yaitu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan
menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek berdasarkan
fakta-fakta yang nampak atau sebagaimana adanya.
- Penentuan Subyek Penelitian dan Obyek Penelitian
(a) Subyek penelitian
Ada pun subyek penelitian tesis ini adalah; ketua Yayasan Suara
Bhakti (Bapak Danu), direktur Community Development (bapak
Greek), staf community development (bapak Fathoni) dan penerima
manfaat dari program pemberdayaan ini yakni peternak sapi gaduhan
di dusun Krekah Pandak Bantul.
(b). Obyek Penelitian
Obyek penelitian dalam penelitian ini adalah Pemberdayaan
Masyarakat Berbasis Lingkungan di Desa Gilingharjo Pandak
Kabupaten Bantul yang berfokus pada proses pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan oleh Community Development.
- Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah
metode wawancara, metode observasi dan dokumentasi.
- Keabsahan Data
Untuk memperoleh kebenaran penelitian maka data yang berhasil digali
kemudian dikumpulkan dan dicatat. Dalam kegiatan penelitian harus
dimantapkan kebenarannya. Dalam penelitian ini peneliti memeriksa data-
15
data atau informasi yang diperoleh dari pengurus Lembaga Community
Development serta dari penerima manfaat program pemberdayaan yang
kemudian dicocokkan dengan yang terjadi di lapangan.
- Analisis Data
Untuk analisis data peneliti menggunakan analisis data kualitatif. Analisis
data kualitatif adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumentasi
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke
dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola dan memilih
mana yang digunakan oleh peneliti adalah analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitiannya sebagai berikut:
a. Pemberdayaan masyarakat yang ada di dusun Nogosari Gilangharo Pandak
Bantul berfokus pada pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan.
Mereka menggunakan konsep dan sistem IFS (Inegated Farming
System/sistem pertanian yang terintegrasi). Lembaga yang memprakarsai
permberdayaan ini adalah lembaga Community Development Yayasan
Suara Bhakti. Dalam memberdayakan masyarakat di dusun Gilingharjo
mereka mendirikan CTC (Community Training Center). Tujuan dari
lembaga ini memberikan penyadaran terhadap masyarakat tentang limbah
yang bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat seperti
pupuk. Bersamaan dengan pembangunan kompleks CTC ini, maka
lembaga Community Development membentuk kelompok ternak
16
Mekarsari. Kelompok ini bermula dengan adanya ibu-ibu setempat yang
memelihara sapi gaduhan (bagi hasil).
b. Ada banyak kendala-kendala yang dihadapi oleh lembaga Community
Development dalam melakukan pemberdayaan masyarakat yang ada.
Masyarakat banyak yang ingin membuat tabung biogas di rumahnya
masing-masing. Akan tetapi biaya pembuatan tabung biogas sangat mahal.
IFS (Integrated farming sistem) kemudian mengaplikasinnya di komplek
CTC, salah satunya ialah tersedianya kolam ikan yang berisi ikan yang
subur. Parahnya cuaca di sekitar CTC sangat panas sehingga
mengakibatkan beberapa sapi mati di komplek CTC. Dengan adanya
kejadian ini banyak peternak sapi memindahkan sapinya ke dalam rumah
masing-masing. Sebagian masyarakat tidak seratus persen sepenuhnya
percaya dengan penggunaan pupuk organik. Mereka mencampur pupuk
organik yang sudah mereka buat dengan pupuk pabrik yang mereka beli.
Sesudah adanya pergantian kepengurusan kelompok ternak Mekarsari,
sedikit terjadi kemunduran.
c. Dampak yang bisa dirasakan terhadap masyarakat sekitarnya dengan
adanya pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan di dusun Nogosari
itu antaranya adalah sebagai berikut:
‐ Peningkatan ekonomi:
Salah satunya adalah manfaat ekonomi dari produksi pupuk dan
tabung biogas. Apabila mereka setiap minggu membeli gas dengan
harga Rp.17.000, maka dengan adanya pengolahan limbah ini
17
mereka bisa memasak di komplek CTC itu. Bahkan salah seorang
yang sudah membuat tabung biogas sudah tidak tergantung lagi
dengan gas.
‐ Pengetahuan
Keadaan yang terpenting selanjutnya mereka kaya akan pengetahuan
tentang sistem pertanian dan peternakan yang terpadu (seperti
merawat sapi, membuat pakan sapi dan lain-lain). Pengetahuan ini
dijadikan sebagai bekal oleh mereka pada masa mendatang.
‐ Terkenal
Banyak dari masyarakat luar Yogyakarta bahkan beberapa dari
mereka berasal dari luar negeri yang mengunjungi tempat ini.
Mereka ingin mengetahui proses intergrated farming system (sistem
pertanian yang terpadu) yang ada di sana. Mereka membuat satu
areal yang terdiri dari kandang sapi, kolam ikan, biogas dan satu
petak sawah.
‐ Pupuk
Walaupun mereka tidak seratus persen memakai pupuk kompos ini,
akan tetapi beberapa dari mereka menggunakan pupuk kompos
dicampuri dari pabrik. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh petani di
masyarakat desa itu.
‐ Percontohan
Salah satu tujuan berdirinya CTC adalah sebagai percontohan
kompos biogas untuk masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
18
Pemberdayaan masyarakat berbasis lingkungan di dusun Nogosari
ini membuat beberapa daerah di Yogyakarta dan sekitarnya
menginginkan untuk membuat pemberdayaan masyarakat berbasis
lingkungan juga. Apabila konsep IFS terlalu beresiko dan mahal
maka mereka bisa meniru dari pengelolaan kotoran menjadi biogas
yang bisa dipakai untuk kebutuhan memasak. Sudah beberapa
masyarakat yang membuat kotoran sapi menjadi biogas.
2. Sukmaniar (Program Studi Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan
Kota Universitas Diponegoro Semarang) dengan judul tesis “Efektivitas
Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) Pasca Tsunami di Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh
Besar” tahun 2007.
Metode penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pendekatan penelitian yang digunakan ialah penelitian
deskriptif kuantitatif. Penelitian kuantitatif biasanya lebih
menekankan pada cara berpikir positivistik yang bertitik tolak
dari fakta di lapangan yang tertarik dari realitas objektif
disamping asumsi teoritis lainnya (empiris). Untuk penelitian
ini digunakan tipe penelitian deskriptif dalam rangka mengkaji
Efektivitas Pemberdaya Masyarakat dalam Pengelolaan
Program Pengembangan Kecamatan (PKK) Pasca Tsunami.
19
b. Metode pelaksanaan penelitian
Sukmaniar sebagai peneliti menggunakan metode pelaksanaan
penelitian sebagai berikut;
‐ Kebutuhan Data
Data yang dibutuhkan agar dapat tercapai tujuan dan sasaran
penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder diperoleh dari; Instansi Badan Pemberdayaan
Masyarakat (BPM) Kabupaten Aceh Besar sebagai sekretariat
TK-PPK kabupaten untuk mendapat dokumen-dokumen resmi
petunjuk pelaksanaan PPK, kantor kecamatan Lhoknga berupa
peta lokasi penelitian; data eksiting wilayah pasca tsunami,
laporan konsultan manajemen PPK Kabupaten (KM-Kab) Aceh
Besar dan Fasilitator Kecamatan (FK) PPK Kecamatan
Lhoknga. Data primer sendiri masyarakat pelaku PPK.
‐ Teknik pengumpulan data
Ada pun teknik pengumpulan data di penelitian ini dengan
metode angket (kuesioner), wawancara dan dokumentasi atau
observasi.
‐ Teknik sampling
Karena penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif
maka terdapat teknis sampling. Dalam penelitian ini, teknik
sampling yang digunakan ialah purposive sampling. Untuk
keperluan pengisian kuesioner tentang penilaian tingkat kondisi
20
pemberdaya masyarakat sebelum dan setelah PPK pasca
tsunami di kecamatan Lhoknga maka yang menjadi responden
adalah masyarakat yang terlibat langsung dalam pengelolaan
PPK pasca tsunami di kelurahan Mon Ikeun, desa Lambaro
Seubun dan desa Meunasah Karieng. Ada pun jumlah anggota
populasi yang menjadi target penyebaran kuesioner dalam
penelitian ini berjumlah 54 orang. Selanjutnya untuk keperluan
menggali informasi lebih detail tentang upaya pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan PPK pasca tsunami di
kecamatan Lhoknga dilakukan wawancara mendalam dengan
pelaku PPK di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa lokasi
penelitian. Untuk pelaku PPK di desa yang diwawancarai 2
orang per desa dan mereka orang yang sama dengan responden
yang mengisi kuesioner.
‐ Analisis Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat dalam
Pengelolaan PPK Pasca Tsunami.
Adapun analisis yang digunakan sebagai berikut; (1) analisis
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PPK pasca
tsunami dipakai teknik analisis kualitatif secara deskriptif.
Untuk menganalisis pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan PPK pasca tsunami dilakukan dengan cara
mendeskripsikan pemberdayaan masyarakat dalam PPK pasca
tsunami berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara
21
mendalam dengan pelaku PPK di tingkat kabupaten Aceh
Besar, kecamatan Lhoknga dan tiga desa lokasi penelitian serta
dihubungkan dengan teori pemberdayaan. (2) Analisis tingkat
kondisi pemberdayaan masyarakat sebelum dan setelah
pelaksanaan PPK pasca tsunami di tiga desa lokasi penelitian
dalam Kecamatan Lhoknga. (3) Analisis efektivitas
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan PPK pasca
tsunami di kecamatan Lhoknga.
Hasil penelitian:
a. Penilaian efektivitas pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
PPK pasca tsunami di Kecamatan Lhoknga dilakukan dengan
menghubungkan proses pemberdayaan masyarakat dalam PPK pasca
tsunami dengan perubahan kondisi pemberdayaan masyarakat di tiga
desa dalam kecamatan Lhoknga. Pada dasarnya mekanisme
pelaksanaan PPK pasca tsunami telah mengakomodasi terciptanya
peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan potensi diri dan
lingkungannya. Namun secara umum pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan PPK pasca tsunami di kecamatan Lhoknga kurang efektif
dalam meningkatkan kondisi pemberdayaan masyarakat di daerah
tersebut.
b. Dari hasil analisis diperoleh bahwa untuk kelurahan Mon Ikeun dan
desa Lambaro Seubun, proses pemberdayaan masyarakat dalam PPK
pasca tsunami kurang efektif, sedangkan untuk Meunasah Karieng
22
pemberdayaannya cukup efektif. Pemberdayaan masyarakat dalam
PPK pasca tsunami yang kurang efektif tersebut terutama disebabkan
oleh kapasitas masyarakat yang belum mampu mengambil peran yang
besar dalam pembangunan. Besar atau kecilnya peran masyarakat
dalam pembangunan ditentukan oleh kemauan dan kemampuan
masyarakat. Kemauan masyarakat merupakan perpaduan antara sikap
membangun (tahapan afektif) dengan pengetahuan (tahapan kognitif)
masyarakat, sedangkan kemampuan merupakan perpaduan antara
pengetahuan (tahapan kognitif) dengan keterampilan (tahapan
psikomotorik).
c. Pemberdayaan masyarakat dalam PPK pasca tsunami yang kurang
efektif tersebut terutama disebabkan oleh kapasitas masyarakat yang
belum mampu mengambil peran yang besar dalam pembangunan.
Besar atau kecilnya peran masyarakat dalam membangun ditentukan
oleh kemauan dan kemampuan masyarakat. Kemauan masyarakat
merupakan perpaduan antara sikap membangun (tahapan afektif)
dengan pengetahuan (tahapan kognitif) masyarakat, sedangkan
kemampuan merupakan perpaduan antara pengetahuan (tahapan
kognitif) dengan keterampilan (tahapan psikomotorik).
Jika kita mencermati dua penelitian sebelumnya tentu sangat berbeda
dengan penelitian ini. Penelitian ini memiliki kekhasan pada fokus penelitiannya
yakni tentang pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa. Artinya, di
desa begitu banyak potensi melimpah. Namun pertanyaan ialah apakah
23
masyarakat dapat menggerakkan potensi desa yang ada menuju kepada kehidupan
yang lebih baik? Pertanyaan ini mengarah kepada salah satu strategi melalui
pemberdayaan masyarakat. Konsep inilah yang menjadi kekhasan di penelitian
ini. Desa Nglanggeran sebagai desa yang telah maju tentu memiliki kisah
tersendiri tentang pemberdayaan berdasarkan potensi desa. Hal inilah yang
kemudian ingin diteliti oleh peneliti. Sehingga hasil penelitian ini bisa
memberikan sumbangan pikir bagi pemerintah desa Nglanggeran maupun
pemerintah desa di seluruh Indonesia.
B. Fokus Penelitian
Adapun fokus penelitiannya sebagai berikut:
‐ Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
‐ Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
‐ Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan
sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk
menghantarkan pada kemandirian.
C. Rumusan Masalah
‐ Bagaimana tahapan pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa?
‐ Apa saja faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pemberdayaan
masyarakat berdasarkan potensi desa?
24
D. Tujuan Penelitian
‐ Untuk mendeskripsikan tahapan pemberdayaan masyarakat berdasarkan
potensi desa
‐ Untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat
pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian kiranya dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain maupun kaum akademisi yang
ingin membahas tentang pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi
desa.
2. Secara Praktis
Sebagai bahan masukan bagi pihak pemerintah desa Nglanggeran dan
pemerintah daerah Gunung Kidul dalam memajukan desa Nglanggeran
lebih maju lagi ke depannya.
F. Kerangka Konseptual
Desa
Secara etimologis, kata “desa” berasal dari bahasa Sansekerta, deshi, yang
berarti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran (Rustiadi, 2007: 33). Oleh karena
itu, kata “desa” sering dipahami sebagai tempat atau daerah (sebagai tanah
asalnya) tempat penduduk berkumpul dan hidup bersama, menggunakan
25
lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan dan
mengembangkan kehidupannya. Oleh karena itu ciri utama yang terletak pada
desa adalah fungsinya sebagai tempat tinggal, tanah asal (menetap) dari suatu
kelompok masyarakat yang relatif kecil. Dengan kata lain, suatu desa ditandai
oleh keterikatan warganya terhadap suatu wilayah tertentu. Keterikatan ini selain
untuk tempat tinggal, juga untuk menyangga kehidupan mereka (Rustiadi, 2007:
40). Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a group of
house in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri
berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam pemerintahan
nasional dan berada di daerah kabupaten (Beni, 2015: 4).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2013: 2), desa adalah suatu
kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai sistem
pemerintahan sendiri (dikepalai oleh seorang kepala desa) atau desa merupakan
kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan. Desa juga menurut
H.A.W. Widjaja (2003: 3) dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa”
menyatakan bahwa; desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai susunan asli berdasarkasan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman,
partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu
juga menurut Zakaria dalam Wahjudin Sumpeno dalam Candra Kusuma (2012: 6)
menyatakan bahwa desa adalah sekumpulan orang yang hidup bersama atau suatu
wilayah, yang memiliki suatu serangkaian peraturan-peraturan yang ditetapkan
26
sendiri, serta berada di wilayah pimpinan yang dipilih dan ditetapkan sendiri. Paul
H. Landis (Elly, 2011: 838) sedikit berbeda dalam mendefenisikan desa. Paul
sendiri merupakan sarjana sosisologi pedesaan dari Amerika Serikat. Paul
mengemukakan defenisi desa dengan cara membuat tiga pemilahan berdasarkan
pada tujuan analisis. Pertama, untuk tujuan analisis statistik, desa didefenisikan
sebagai lingkungan yang penduduknya kurang dari 2.500 orang. Kedua, untuk
tujuan analisa sosial-psikologi, desa didefenisikan sebagai suatu usaha lingkungan
yang penduduknya memiliki hubungan yang akrab dan serba-informasi diantara
sesama warganya. Ketiga, untuk tujuan analisis ekonomi, desa didefenisikan
sebagai lingkungan yang penduduknya bergantung pada pertanian.
Selain itu, dalam produk hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa Pasal 1, desa adalah desa dan adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Unsur–unsur Desa
Menurut Bintarto dalam Daldjoeni (2003: 55), ada tiga unsur yang membentuk
sistem yang bergerak secara berhubungan dan saling terkait, yaitu:
1. Daerah tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas yang merupakan
lingkungan geografis,
27
2. Penduduk, jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran
penduduk dan mata pencaharian penduduk,
3. Tata kehidupan, pola tata pergaulan dan ikatan pergaulan warga desa
termasuk seluk beluk kehidupan masyarakat desa
Ciri-ciri Desa
Menurut Dirjen Bangdes (Pembangunan Desa) dalam Daldjoeni (2003:
60), ciri – ciri wilayah desa antara lain; perbandingan lahan dengan manusia
cukup besar (lahan desa lebih luas dari jumlah penduduknya, kepadatan rendah).
Lapangan kerja yang dominan adalah agraris (pertanian), hubungan antar warga
amat akrab dan tradisi lama masih berlaku.
Karakteristik Desa
Sifat dan karakteristik desa secara umum dapat dilihat dari keadaan alam
dan lingkungan hidupnya. Suasana dan cuaca alamnya yang cerah, hamparan
sawah yang menghijau jika musim tandur dimulai dan menguning jika musim
panen dari kejauahan tampak gunung menjulang tinggi di langit biru (Beni, 2015:
18). Tipologi wilayah perdesaan, hampir sebagian besar masih perkampungan
atau dusun. Mata pencaharian masyarakatnya lebih dominan pada sektor
pertanian, perkebunan, peternakan dan sejenisnya. Karakteristik masyarakatnya
masih berkaitan dengan etika dan budaya setempat, seperti berperilaku sederhana,
mudah curiga, menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, tertutup dalam hal
keuangan, menghargai orang lain, jika diberi janjian selalu diingat, suka
bergotong royong, demokratis, religius dan lainnya. Karakteristik desa selalu
28
dikontraskan dengan pemahaman masyarakat kota. Artinya desa merupakan
gambaran yang masyarakatnya masih bersahaja, sederhana dan apa adanya (alami
dan damai). Pengertian ini sebagai perbandingan dengan masyarakat kota yang
maju dan kompleks.
Dalam perspektif Evolusionis Kingsley Davis (Beny, 2015: 22), ia
menjelaskan karakteristik masyarakat kota tetapi tidak menjelaskan karakteristik
masyarakat desa. Ia menganggap bahwa kebalikan karakteristik masyarakat kota
menjadi kebalikan masyarakat desa. Ada delapan karakteristik masyarakat kota,
yaitu sebagai berikut;
1. Heterogenitas sosial yaitu heterogenitas masyarakat kota tinggi
2. Asosiasi sekunder yaitu masyarakat kota dalam kelompok sekunder karena
banyaknya penduduk sehingga yang mendominasi kehidupan masyarakat
kota adalah asosiasi sekunder.
3. Toleransi sosial. Masyarakat kota memiliki toleransi sosial yang tinggi
karena pengawasan sosialnya relatif longgar.
4. Pengawasan sekunder. Masyarakat kota dengan toleransi sosial yang
tinggi sehingga pengawasannya yang efektif adalah pengawasan sekunder.
5. Mobilitas sosial pada masyarakat kota relatif tinggi dan lebih
mementingkan prestasi (achievement).
6. Asosiasi sukarela yaitu masyarakat kota lebih memiliki kebebasan untuk
memutuskan berbagai hak secara perseorangan, sehingga cenderung pada
asosiasi sukarela yaitu aosiasi yang anggotanya bebas keluar dan masuk
29
7. Inividualis masyarakat kota cenderung melepaskan diri dari kolektivitas
atau cenderung individualis.
8. Segresi spasial. Dalam masyarakat kota, berbagai kelompok sosial yang
berbeda cenderung memisahkan secara fisik.
Konsep desa yang telah dijelaskan belumlah cukup untuk memberikan
gambaran desa-desa di Indonesia. Hal ini disebabkan di Indonesia masih terdapat
desa yang mendekati desa era prakapitalistik (desa sebelum modernisasi). J.H
Boeke, sebagaimana dikutip oleh Eko Murdiyanto, (Beni, 2015: 23)
menggambarkan ciri pokok desa prakapitalistik, yaitu sebagai berikut:
1. Penundukan kegiatan ekonomi di bawah kegiatan sosial. Artinya kegiatan
sosial lebih penting daripada kegiatan ekonomi bahkan kegiatan ekonomi
dipandang sebagai “kejahatan”.
2. Keluarga merupakan unit swasembada secara ekonomis sehingga
masyarakat desa hakikatnya bukan merupakan unit ekonomi, tetapi
merupakan unit sosial dengan keluarga merupakan unit terkecil dan
terpenting. Dengan kata lain keterpaduan masyarakat desa bukanlah
keterpaduan ekonomi melainkan keterpaduan sosial.
3. Tradisi dapat dipertahankan karena swasembada ekonomi. Oleh karena itu,
masyarakat desa merupakan pengelompokan kecil yang menyebabkan
orang-orang desa saling mengenal dan akrab satu sama lain. Berdasarkan
hubungan personal inilah tradisi yang ada dapat dipertahankan.
4. Desa cenderung menatap ke belakang tidak ke depan, yang dapat
memperkuat kelestarian tradisi setempat.
30
5. Setiap orang merasa menjadi bagian dari keseluruhan menerima tradisi
dan moral kelompok sebagai pedomannya. Hal ini menyebabkan tingkat
kolektivitas yang sangat tinggi, individualisme otomatis tidak dapat
diterima.
Untuk kasus di Indonesia, wilayah yang disebut desa seharusnya dilihat
dalam tahapan yang tidak sama. Masyarakat yang mulai menetap juga memiliki
karakteristik yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain antara Jawa dengan
luar Jawa, antara desa dekat kota dan desa yang jauh dari kota antara wilayah
dataran tinggi dan dataran rendah demikian pula antara pantai dan pedalaman. Di
Indonesia tampaknya belum ada kajian mendalam tentang hal ini. Desa
merupakan bentukan dan pengembangan konsep dari bangsa Indonesia meskipun
ada kemiripan dengan desa di Indonesia bernuansa Hindu. Kehidupan masyarakat
desa terikat pada nilai-nilai budaya asli yang sudah diwariskan secara turun
temurun dan melalui proses adaptasi yang sangat panjang dari interaksi intensif
dengan perubahan lingkungan biofisik masyarakat yang terbentuk melalui proses
adaptasi yang kondusif bagi kehidupan masyarakat sehingga nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya dapat dipahami sebagai dasar dalam pembangunan
pertanian dan pedesaan. Kondisi masyarakat perdesaan di Indonesia pada saat ini
sangat beragam mulai perilaku ladang berpindah, bertani, menetap, desa industri,
desa dengan mata pencaharian dominan sektor jasa hingga desa yang dengan
fasilitas modern (semi urban dan urban).
31
Kewenangan Desa
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, menegaskan jenis-
jenis kewenangan desa. Dalam UU Desa, jenis-jenis kewenangan desa meliputi
kewenangan di bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pembangunan Desa,
Pembinaan Kemasyarakatan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
berdasarkan Prakarsa Masyarakat, Hak Asal-usul, serta Adat Istiadat Desa (pasal
18 UU Desa).
Kemudian, jenis-jenis kewenangan desa (pasal 19 UU Desa) meliputi:
1. Kewenangan Asal-usul;
2. Kewenangan lokal berskala desa;
3. Kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/kota; dan
4. Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peratura n perundang-undangan.
Dua jenis kewenangan di atas, kewenangan asal-usul dan kewenangan
lokal berskala desa menjadi pengakuan negara terhadap keberadaan desa. Tujuan
dari kewenangan adalah untuk memunculkan inisiatif-inisiatif positif dari desa
sendiri untuk menjadi desa mandiri. Berikut penjelasan lebih lanjutnya: Menurut
Pasal 7 ayat (1) Permendagri Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa:
Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal-usul, paling sedikit terdiri atas: a.
32
sistem organisasi masyarakat adat; b. pembinaan kelembagaan masyarakat; c.
pembinaan lembaga dan hukum adat; d. pengelolaan tanah kas desa; dan e.
pengembangan peran masyarakat desa. Pasal 8 ayat (1); Kewenangan Lokal
Berskala Desa, paling sedikit terdiri atas: a. pengelolaan tambatan perahu;
b. pengelolaan pasar desa; c. pengelolaan tempat pemandian umum;
d. pengelolaan jaringan irigasi; e. pengelolaan lingkungan permukiman
masyarakat desa; f. pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos
pelayanan terpadu; g. pengembangan dan pembinaan sanggar seni dan belajar; h.
pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan; i. pengelolaan embung desa;
j. pengelolaan air minum berskala desa; dan k. pembuatan jalan desa antar
permukiman ke wilayah pertanian. Pasal 9 ayat (1); Kewenangan yang ditugaskan
dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada desa, meliputi: a. penyelenggaraan pemerintahan desa;
b. pelaksanaan pembangunan desa; c. pembinaan kemasyarakatan desa; dan
d. pemberdayaan masyarakat desa.
Hak dan Kewajiban Desa
Desa juga memiliki hak dan kewajiban yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 67 ayat 1 dan 2 yakni, desa
berhak: a. mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal
usul, adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat desa; b. menetapkan dan
mengelola kelembagaan desa; c. mendapatkan sumber pendapatan. Desa
berkewajiban; a. melindungi dan menjaga persatuan, keatuan serta kerukunan
masyarakat desa dalam rangka kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan
33
Republik Indonesia (NKRI); b. meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
desa; c. Mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mengembangkan
pemberdayaan masyarakat desa; dan e. memberikan dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat desa
Pemberdayaan Masyarakat
Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang
berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka
pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses
untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan dan atau proses pemberian
daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang
kurang atau belum berdaya (Ambar, 2004-77). Pengertian “proses” menunjuk
pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara
kronologis sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah
masyarakat yang kurang atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan
merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk
mengubah kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun
pratice menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap perilaku sadar dan
kecakapan-keterampilan yang baik.
Makna memperoleh daya/kekuatan/kemampuan menunjuk pada sumber
inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau
kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata memperoleh mengindikasikan
bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu
sendiri. Dengan demikian masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan,
34
menciptakan situasi atau meminta kepada pihak lain untuk memberikan
daya/kekuatan/kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika masyarakat
tersebut menyadari ketidakmampuan/ketidakberdayaan/tidak adanya kekuatan,
dan sekaligus disertai dengan kesadaran akan perlunya memperoleh
daya/kemampuan/kekuatan. Makna kata pemberian menujukkan bahwa sumber
inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan
daya/kemampuan/kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan
kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lain.
Tujuan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk membentuk
individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi
kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan
tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri apa yang sesungguhnya dimaknai sebagai
suatu masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu
kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan menggunakan daya
kemampuan yang terdiri dari atau kemampuan kognitif, prikomotorik, afektif
dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal
masyarakat tersebut. Dengan demikian untuk menjadi mandiri perlu dukungan
kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif,
konatif, psikomotorik dan afektif dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-
material (Ambar, 2004-80).
35
Pemberdayaan masyarakat hendaklah mengarah pada pembentukan
kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan
kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seorang atau
masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Kondisi kognitif merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk yang
diarahkan pada perilaku yang senditif terhadap nilai-nilai pembangunan dan
pemberdyaaan. Kondisi afektif adalah merupakan sense yang dimiliki oleh
masyarakat yang diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan
dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan-
keterampilan yang dimilki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat
dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek (kognitif, konatif, afektif dan
psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian
masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian dalam masyarakat akan
terjadi kecukupan wawasan yang dilengkapi dengan kecakapan-keterampilan yang
memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan
kebutuhannya tersebut. Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan
sebuah proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap akan
memperoleh kemampuan tersebut masyarakat harus menjalani proses belajar.
Dengan proses belajar tersebut akan diperoleh kemampuan/daya dari waktu ke
waktu. Dengan demikian akan terakumulasi kemamuan yang memadai, untuk
mengantarkan kemandirian mereka. Apa yang diharapkan dari pemberdayaan
36
yang merupakan suatu visualisasi dari pembangunan sosial diharapkan dapat
mewujudkan komunitas yang baik, masyarakat yang ideal.
Prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi
masyarakat, meningkatkan kontribusi masyarakat dalam pembangunan,
mengembangkan gotong-royong, bekerja bersama masyarakat, berbasis
masyarakat, kemitraan dan organisasi masyarakat lain serta desentralisasi.
Keberadaan prinsip pemberdayaan masyarakat dapat menumbuhkan peran aktif
masyarakat, sehingga serangkaian kegiatan pemberdayaan berjalan dengan baik.
Adapun prinsip pemberdayaan masyarakat, Sumaryadi (2005, 94-96)
mengemukakan 5 (lima) prinsip dasar dari konsep pemberdayaan masyarakat
sebagai berikut:
1. Pemberdayaan masyarakat memerlukan break-event dalam setiap kegiatan
yang dikelolanya, meskipun orientasinya berbeda dari organisasi bisnis,
dimana dalam pemberdayaan masyarakat keuntungan yang diperoleh
didistribusikan kembali dalam bentuk program atau kegiatan
pembangunan lainnya.
2. Pemberdayaan masyarakat selalu melibatkan partisipasi masyarakat baik
dalam perencanaan maupun pelaksanaan yang dilakukan.
3. Dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat, kegiatan
pelatihan merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari usaha
pembangunan fisik.
37
4. Dalam implementasinya, usaha pemberdayaan harus dapat memaksimalkan
sumber daya, khususnya dalam hal pembiayaan baik yang berasal dari
pemerintah, swasta maupun sumber-sumber lainnya.
5. Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus dapat berfungsi sebagai
penghubung antara kepentingan pemerintah yang bersifat makro dengan
kepentingan masyarakat yang bersifat mikro (Sumaryadi, 2005: 94-96)
Beberapa prinsip mengenai pemberdayaan masyarakat juga
dikemukakan oleh Suharto (2005: 68), sebagai berikut:
a. Membangun relasi pertolongan yang: (1) merefleksikan respon empati; (2)
menghargai pilihan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-
determination); (3) menghargai perbedaaan dan keunikan individu; (4)
menekankan kerjasama klien (client partnership)
b. Membangun komunikasi yang: (1) menghormati martabat dan harga diri
klien; (2) mempertimbangkan keragaman individu; (3) berfokus pada klien;
(4) menjaga kerahasiaan klien.
c. Terlibat dalam pemecahan masalah yang: (1) memperkuat partisipasi klien
dalam semua aspek proses pemecahan masalah; (2) menghargai hak-hak
klien; (3) merangkai tantangan sebagai kesempatan belajar; (4) melibatkan
klien dalam pembuatan keputusan dan evaluasi.
d. Merefleksikan sikap dan nilai profesi pekerjaan sosial melalui: (1) ketaatan
terhadap kode etik profesi; (2) keterlibatan dalam pengembangan
profesional; riset dan perumusan kebijakan; (3) penerjemahan kesulitan-
38
kesulitan pribadi ke dalam isu-isu publik; (4) penghapusan segala bentuk
diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
Pemberdayaan Masyarakat sebagai Sebuah Proses
Proses pemberdayaan cenderung dikaitkan sebagai unsur pendorong (driving’s
force) sosial-ekonomi, politik. Pemberdayaan adalah suatu upaya dan proses
bagaimana agar berfungsi sebagai power (driving’s force) dalam pencapaian
tujuan yaitu pengembangan diri (self-development). Secara konseptual
dikemukakan oleh Saraswati(Saraswati, 1997: 79-80), pemberdayaan harus
mencakup enam hal sebagai berikut:
a. Learning by doing, artinya, pemberdayaan adalah sebagai proses belajar dan
ada suatu tindakan-tindakan konkrit yang terus-menerus, yang dampaknya
dapat terlihat.
b. Problem solving, pemberdayaan harus memberikan arti terjadinya
pemecahan masalah yang dirasakan krusial dengan cara dan waktu yang
tepat.
c. Self-evaluation, pemberdayaan harus mampu mendorong seseorang atau
kelompok tersebut untuk melakukan evalusi secara mandiri.
d. Self-development and coordination, artinya mendorong agar mampu
melakukan pengembangan diri dan melakukan hubungan koordinasi dengan
pihak lain secara lebih luas.
e. Self-selection, suatu kumpulan yang tumbuh sebagai upaya pemilihan dan
penilaian secara mandiri dalam menetapkan langkah-langkah ke depan.
39
f. Self-decisim, dalam memilih tindakan yang tepat hendaknya memiliki
kepercayaan diri (self-confidence) dalam memutuskan sesuatu secara
mandiri (self-dicism).
Pandangan Kartasasmita (1996: 11-12), memberdayakan adalah upaya
untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi
sekarang tidak mampu melepaskan dari dari perangkap kemiskinan dan
keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah memampukan dan
memandirikan masyarakat. Dalam kerangka pemikiran itu, upaya memberdayakan
masyarakat haruslah dilakukan dengan:
a. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang.
b. Upaya itu harus diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat.
c. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya.
d. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Tahapan Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat pun sejatinya akan berlangsung secara
bertahap. Menurut Ambar Teguh S (2004: 83), tahap-tahap yang harus dilalui
tersebut meliputi :
1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan
peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.
40
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan
keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar
sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.
3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan
sehingga
terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk menghantarkan pada
kemandirian.
Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku
merupakan tahap persiapan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap
ini pihak pemberdaya/ aktor/ pelaku pemberdaya berusaha menciptakan
prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan
yang efektif. Apa yang diintervensi dalam masyarakat sesungguhnya lebih pada
kemampuan afektifnya untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan.
Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat
akan kondisinya saat itu dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran
mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan
yang lebih baik. Sentuhan akan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat
bertumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka untuk
meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya semangat tersebut
diharapkan akan dapat menghantarkan masyarakat untuk sampai pada kesadaran
dan kemauan untuk belajar. Dengan demikian masyarakat semakin terbuka dan
merasa membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan untuk memperbaiki kondisi.
41
Pada tahap kedua yaitu proses transformasi pengetahuan dan kecakapan
keterampilan dapat berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif, jika
tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses beajar tentang
pengetahuan dan kecakapan-ketrampilan yang memiliki relevansi dengan apa
yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi
terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan keterampilan dasar
yang mereka butuhkan. Pada tahap ini masyarakat hanya dapat memberikan peran
partisipasi pada tingkat yang rendah, yaitu sekedar menjadi pengikut atau objek
pembangunan saja, belum mampu menjadi subjek dalam pembangunan.
Tahap ketiga adalah merupakan tahap pendayaan atau peningkatan
intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan, supaya mereka dapat
membentuk kemampuan kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh
kemampuan masyarakat dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi dan
melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkunganya. Apabila masyarakat telah
mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan
pembangunan. Dalam konsep pembangunan masyarakat dalam kondisi seperti ini
seringkali didudukkan sebagai subyek pembangunan atau pemeran utama,
pemerintah tinggal menjadi fasilitatornya saja.
Potensi Desa
Potensi adalah daya, kekuatan, kesanggupan dan kemampuan yang
mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan. Jadi potensi desa adalah
daya, kekuatan, kesanggupan dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu desa yang
mempunyai kemungkinan untuk dapat dikembangkan dalam rangka
42
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar potensi desa dapat
dibedakan menjadi dua; pertama adalah potensi fisik yang berupa tanah, air,
iklim, lingkungan geografis, binatang ternak dan sumber daya manusia.
Kedua adalah potensi non-fisik berupa masyarakat dengan corak dan
interaksinya, lembaga-lembaga sosial, lembaga pendidikan dan organisasi sosial
desa, serta aparatur dan pamong desa.
Tujuan Pengembangan Potensi Desa
Secara umum tujuan pengembangan potensi desa adalah untuk mendorong
terwujudnya kemandirian masyarakat Desa/Kelurahan melalui Pengembangan
Potensi Unggulan dan Penguatan Kelembagaan serta Pemberdayaan Masyarakat.
Sedangkan secara khusus tujuan pengembangan potensi desa adalah:
- meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan
pembangunan secara terbuka, demokratis dan bertanggung jawab;
- mengembangkan kemampuan usaha dan peluang berusaha demi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan Rumah Tangga Miskin (RTM).
- membentuk dan mengoptimalkan fungsi dan peran Unit Pengelola
Keuangan dan Usaha (UPKu) sebagai Lembaga Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat.
- membentuk, memfasilitasi dan memberikan pembinaan Pokmas UEP
terutama pada aspek kelembagaan dan pengembangan usaha.
- mengembangkan potensi ekonomi unggulan Desa/Kelurahan yang
disesuaikan dengan karateristik tipologi Desa/Kelurahan.
43
- mendorong terwujudnya keterpaduan peran dan kemitraan antar Dinas/
Instansi Provinsi dan Kabupaten/Kota maupun stakeholders lainnya
sebagai pelaku dan fasilitator program
(https://static.banyumaskab.go.id/website/file/22112014094700141722922
0.pdf, diakses pada Selasa, 22 Mei 2018)
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah deskriptif kualitatif. Menurut Lexy
Moleong (2010:4) penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupaya
mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya. Penelitian
deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat
individu dan keadaan sosial dalam masyarakat untuk dijadikan sebagai obyek
penelitian. Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Definisi metode
kualitatif seperti yang dikemukakan oleh Bodgan dan Taylor dalam Lexy
Moleong (2010:6) adalah metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa deskriptif kualitatif
merupakan prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan jalan
menggambarkan dan menuliskan peristiwa yang ada sekarang berdasarkan fakta-
fakta yang ada sekaran berupa kata-kata lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian
deskriptif kualitatif, yang mana penelitian ini digunakan untuk menggambarkan
44
temuan yang diamati. Tujuan penelitian deskriptif kualitatif adalah membuat
pencatatan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat
populasi di daerah tertentu.
2. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi
desa di desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Nglanggeran Kecamatan Patuk Kabupaten
Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
4. Teknik Pemilihan Subyek Penelitian
Untuk menentukan subyek penelitiannya dipakai teknik purposive yang
dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih dan terlibat langsung
dalam obyek penelitian. Dengan demikian diusahakan agar informan tersebut
memiliki ciri-ciri yang esensial sehingga dapat dianggap cukup representatif
(Nasution, 2009:98).
Adapun yang menjadi sasaran peneliti untuk dijadikan responden dalam
wawancara adalah seabagai berikut: 1. Pemerintah Desa; 2. Organisasi Sosial
Kemasyarakatan; dan 3. Masyarakat. Berikut tabel data informan penelitian ini;
45
Tabel 1.1
Identitas Informan
No Nama Jenis Kelamin Jabatan
1. Lilik Laki-laki Anggota Karang Taruna
2. Rudi Maryanto Laki-laki Ketua Kelompok Ikan
3. Triyanto Laki-laki Kaur Pembangunan
4. Sugiyono Laki-laki Petugas Lokek Embung
Nglanggeran
5. Soleh Laki-laki Petugas poket loket Nglanggeran
6. Hendrik Laki-laki Pendamping Kelompok Buah
7. Pardiyo Laki-laki Ketua Sie Sarana Prasarana
(Sarpras) Kelompok Ternak
8. Suharti Perempuan Sekretaris Desa
9. Surini Perempuan Ketua Kelompok Kuliner
Sumber: Data Primer
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang dibutuhkan. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah data primer dan sekunder oleh karena itu untuk mengumpulkan dan
menghimpun data dimaksud digunakan beberapa teknik yaitu:
a. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang mengharuskan
peneliti mengadakan pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti. Dalam menggunakan teknik observasi yang
terpenting adalah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti (Usman
dan Purnomo, 2009:129).
46
Observasi dengan mengadakan pengamatan secara langsung
mengenai beberapa bentuk kegiatan serta pelaksanaan program-program di
lokasi penelitian. Hal ini sangatlah penting karena dalam pengumpulan
data metode pengamatan ini diharapkan dapat mengungkapkan motif-
motif perilaku, kebiasaan, serta hubungan antar individu. Pengamatan ini
dilakukan peneliti dengan menggunakan indera mata tanpa menggunakan
pertolongan alat standar lainnya. Sehingga pada akhirnya peneliti dapat
memperoleh data observasi ini yang berupa data faktual, cermat dan
terperinci sesuai dengan keadaan serta konteks kegiatan-kegiatan terjadi.
Proses pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan
langsung terhadap kondisi yang berkaitan dengan pemberdayaan
masyarakat berdasarkan potensi desa di desa Nglanggeran Kecamatan
Patuk Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Wawancara
Metode wawancara (interview) adalah metode pengumpulan data
dengan tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung
dengan bermaksud tertentu percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang menjawab pertanyaan itu (Lexy
Moleong, 2010:186).
Metode yang digunakan yaitu metode wawancara langsung.
Wawancara langsung digunakan dengan cara peneliti mewawancarai
informan secara langsung untuk memperoleh data atau informasi yang
47
sesuai dengan kegiatan yang dihadapi. Dalam hal ini informasi atau
keterangan-keterangan yang diperoleh dengan cara bertatap muka dan
bertanya jawab dengan informan. Dalam penelitian ini peneliti
mengadakan wawancara secara terbuka, hal ini maksudkan agar data yang
diperoleh dapat bersifat obyektif.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode pengumpulan data didasarkan pada
dokumen-dokumen atau catatan-catatan terakhir yang ada pada daerah
penelitian. Data-data yang dikumpulkan dengan teknik dokumentasi
cenderung merupakan data sekunder (Usman dan Purnomo, 2009:129).
Hal ini dimaksudkan untuk dapat memperoleh data secara
terperinci dengan jalan melihat, mencatat dan mengabadikan dengan
gambar yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sehingga dengan
data-data tersebut peneliti dapat memanfaatkannya sebagai bahan untuk
menguji, menafsirkan bahkan untuk bisa meramalkannya. Dokumentasi
yaitu dengan menelusuri dokumentasi yang yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa di desa Nglanggeran
Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
6. Teknik Analisis Data
Menurut Paton, analisa data ialah proses mengatur urutan data,
mengorganisir ke dalam suatu pola, kategori dan uraian dasar yang membedakan
dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis,
48
menjelaskan uraian-uraian dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi
uraian (Lexy Moleong, 2010:248). Metode analisis yang digunakan adalah
metode deskriptif yaitu hasil penelitian data dan informasi kemudian disajikan
dalam bentuk deskriptif atau gambaran umum dari hasil wawancara, observasi
dan dokumentasi.
Penelitian ini akan menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan
mengikuti konsep yang diberikan oleh Milles dan Huberman, yang
mengemukakan bahwa analisa data kualitatif dilakukan secara interaktif dan terus
menerus terjadi pada tiap tahapan penelitian sampai tuntas dan data yang
dihasilkan mencapai tingkat jenuh. Adapun aktivitas yang ada dalam analisis data
yaitu:
a. Data collection: pengumpulan data dari lapangan baik data primer
maupun sekunder, data yang diperoleh dicatat secara teliti dan rinci.
b. Data reduction: data hasil reduksi (penyaringan atau pengurangan yaitu
memilih hal-hal yang penting serta mencari tema dan polanya). Fungsi
dari data reduction ini adalah untuk merangkum atau memilih data yang
telah diperoleh dari lapangan, sehingga ditemukan sebuah gambaran
yang lebih jelas dapat mempermudah peneliti untuk melakukan
pengumpulan data selanjutnya.
c. Data display: penyajian data dalam bentuk uraian singkat, tabel,
hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Data display
berfungsi untuk mempermudah dan memahami apa yang telah terjadi
49
sehingga kita dapat merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa
yang telah dipahami tersebut.
d. Conclusion : pengambilan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan
dalam penelitian kualitatif bisa digunakan untuk menjawab masalah
yang dirumuskan sejak awal maupun tidak, namum juga sebagai sebuah
temuan baru yang belum pernah ada (Sugiyono, 2013:252).
Setelah data dikumpulkan (data collection) kemudian dilakukan reduksi
data karena data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, kompleks
dan rumit. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting. Setelah data direduksi, maka langkah
selanjutnya adalah mendisplaykan data. Melalui penyajian data tersebut, maka
data terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin
mudah dipahami. Langkah terakhir setelah penyajian data adalah penarikan
kesimpulan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat
sementara dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
50
BAB II
DESKRIPSI DESA NGLANGGERAN
1. Sejarah Desa Nglanggeran
Menelisik sejarah dari berbagai sumber, keberadan Desa Nglanggeran bermula
pada masa keturunan Ronggowarsito. Sekitar abad ke 17, Indonesia masih dijajah
oleh bangsa Belanda (website Desa Nglanggeran (http://nglanggeran-
patuk.desa.id/first/statistik/agama - diunduh 23 Juni 2018). Di setiap daerah
banyak terjadi perang untuk membebaskan diri dari tekanan penjajah Belanda.
Politik Belanda untuk memecah belah persatuan dan kesatuan sampai masuk di
Kerajaan Mataram. Berbagai upaya dilakukan sehingga terjadi suatu diplomasi
yang tertuang dalam perjanjian Giyanti. Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua
yaitu Kasunan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada waktu
itu anak dari Ronggowarsito yang bernama Manguntirto sudah cukup besar dan
melakukan perlawanan dengan Belanda. Saudara Manguntirto yang bernama
Sojoyo menjadi Bupati Gantiwarna Klaten. Strategi yang dilakukan Manguntirto
dalam melawan Belanda yaitu menggunakan topeng/cadar sehingga tidak dikenali
oleh Belanda dan tiap kali membunuh beberapa tentara Belanda dia lari ke
calah/goa bebatuan yang besar yang jauh dari lokasi pembunuhan. Persembunyian
Manguntirto tidak pernah ditemukan oleh Belanda.
Sampai pada kondisi tertentu Manguntirto merasa sudah cukup dalam
bersembunyi dan tempat persembunyian ini dibuka menjadi suatu tempat yang
51
dapat dijadikan perkampungan yang diberi nama “Palenggeran”. Karena lokasi
yang dijadikan perkampungan banyak orang yang datang dan menetap. Semakin
banyaknya yang menetap, keberadaan ini diketahui oleh pihak Keraton
Ngayogjokarto sehingga Manguntirto diangkat menjadi seorang Bekel.
Berjalannya waktu, Manguntirto tertarik pada seorang gadis dan dijadikan seorang
istri. Dari pernikahan dikarunia 1 anak laki-laki yang bernama Sutodipo dan dua
anak perempuan (nama belum diketahui). Tidak tahu mengapa istri Manguntirto
menetap di daerah Nglegi bersama dua orang anak perempuannya. Manguntirto
bersama anak laki-laki berada di Planggeran. Saat dewasa, Sutodipo menjadi
kepala desa Planggeran yang sangat disegani. Pada masa pemerintahannya nama
desa Planggeran diubah menjadi desa Nglanggeran. Berdasarkan informasi dari
berbagai sumber, kepemimpinan desa Nglanggeran sudah beberapa kali
mengalami pergantian kepemimpinan yakni sebagai berikut:
1. Sutodipo
2. Ranurejo
3. Harjo Sentono
4. Harjo Suwito
5. Hartono ( tahun 19xx - 2004 )
6. Senen (tahun 2004 - 2014 )
7. Surimin, SPd (Penjabat Kepala Desa tahun 2014 - 2015)
8. Senen (tahun 2015 - sekarang)
52
Keadaan Geografis
a. Batas Wilayah
Desa Nglanggeran berada di wilayah Kecamatan Patuk, Kabupaten
Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut batas wilayah secara
administratif desa Nglanggeran.
Tabel II.1
Batas Wilayah
Batas Desa/kelurahan Kecamatan Sebelah Utara Desa Ngoro-Oro Patuk Sebelah Selatan Desa Putat Patuk Sebelah Timur Desa Nglegi Patuk Sebelah Barat Desa Salam Patuk
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Berdasarkan tabel II.1 menunjukan batas wilayah secara administratif desa
Nglanggeran. Sebelah utara berbatasan dengan desa Ngoro-Oro, sebelah selatan
berbatasan dengan desa Putat, sebelah timur berbatasan dengan desa Nglegi dan
sebalah barat berbatasan dengan desa Salam. Desa Ngoro-oro, desa Putat, desa
Nglegi dan desa Salam ini merupakan empat desa yang masuk dalam wilayah
administrasi Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta.
53
Gambar 2.1
Peta Desa Nglanggeran
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
b. Luas Wilayah
Luas wilayah di desa Nglanggeran dapat ditinjau dari penggunaan wilayahnya
yakni sebagai berikut:
Tabel II.2
Luas Wilayah
No Jenis Lahan Luas (Ha) 1. Tanah sawah 85,68 2. Tanah kering 271,04 3. Tanah basah - 4. Tanah perkebunan 110,11 5. Tanah Fasilitas umum 28,02 6. Tanah hutan 268,25 Total luas 763,10
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Berdasarkan tabel II.2 menunjukan bahwa luas wilayah desa Nglanggeran
berdasarkan penggunaan tanah (tanah) ialah 763,10 ha. Dari data ini juga dapat
menunjukan penggunaan lahan paling banyak pada tanah kering yakni 271,04 ha.
54
Sedangkan penggunaan lahan paling sedikit pada tanah fasilitas umum yakni
28,02 ha. Bagi peneliti, data ini menunjukan sebuah kepastian bahwa desa
Nglanggeran butuh sebuah sentuhan pembangunan yang tidak biasa. Sebagai
sebuah potensi maka layak dan pantas untuk diberdayakan untuk kepentingan
bersama.
c. Keadaan Iklim
Desa Nglanggeran terletak di ketinggian 200-700 Mdl dari permukaan
laut. Desa Nglanggeran sendiri berada di kaki gunung Api Purba dengan luas
kawasan pegunungan mencapai 48 hektar. Suhu rata-rata harian di desa
Nglanggeran ialah 30 derajat celcius. Sedangkan jumlah bulan hujannya yaitu 7
bulan dengan curah hujan di desa Nglanggeran 100,00 Mm/thn.
d. Jenis dan Kesuburan Tanah
Jenis dan kesuburan tanah di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II. 3
Jenis dan Kesuburan Tanah
No Jenis dan kesuburan tanah Keterangan 1. Warna tanah (sebagian besar) merah 2. Tingkat kemiringan tanah 30 derajat 3. Lahan kritis (ha) 2,75
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Berdasarkan tabel II.3 dapat dijelaskan bahwa warna tanah sebagian besar
merah di desa Nglanggeran, tingkat kemiringan tanah sebesar 30 derajat dan luas
tanah kritis seluas 2,75 ha.
55
2. Orbitasi
Orbitrasi desa Nglanggeran dapat dijelaskan melalui tabel berikut:
Tabel II. 4
Orbitasi
No Jarak Km 1. Jarak ke ibu kota kecamatan (km) 4,00
a. Jarak ke ibu kota kecamatan (km) kecamatan dengan kendaraan bermotor (jam)
0,25
b. Lama jarak tempuh ke ibukota kecamatan dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor (jam)
1,00
c. Jumlah kendaraan umum ke ibukota kecamatan (unit)
0
2. Jarak ke ibukota kabupaten/kota (km)
22,00
a. Lama jarak tempuh ke ibukota kabupaten dengan kendaraan bermotor (jam)
0,75
b. Lama jarak tempuh ke ibukota kabupaten dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor (jam)
4,50
c. Jumlah kendaraan umum ke ibukota kabupaten (unit)
0
3. Jarak ke ibukota provinsi (km) 25,00 a. Lama jarak tempuh ke ibukota
provinsi dengan kendaraan bermotor (jam)
1,00
b. Lama jarak tempuh ke ibukota kecamatan dengan kendaraan bermotor (jam)
5,00-
c. Jumlah kendaraan umum ke ibukota kecamatan (unit)
0-
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Dalam proses pemberdayaan, lama waktu tempuh dan jarak tempuh dari
pusat pemberdayaan; baca desa Nglanggeran, ke ibokota kecamatan dan ibukota
kabupaten maupun ibukota sangat berpengaruh. Semakin dekat jarak dari pusat
56
pemberdayaan ke ibukota kecamatan, kabupaten maupun provinsi tentu semakin
baik. Begitu pun lama jarak tempuhnya. Semakin cepat maka semakin baik. Tabel
II.4 menjelaskan jarak tempuh kendaraan dari desa Nglanggeran ke kecamatan,
kabupaten hingga ke Provinsi. Jarak antara desa Nglanggeran dengan ibukota
kecamatan ialah 4,00 km. Jarak tempuh dari desa Nglanggeran ke arah kecamatan
paling cepat menggunakan mode transportasi roda dua dengan jarak tempuh 0,25
km. Lebih lanjut 1,00 jam merupakan jarak tempuh yang bisa ditempuh jika
berjalan kaki ke kecamatan Patuk. Terkait mode transportasi umum dari desa
Nglanggeran ke kecamatan tidak ada. Lebih lanjut, jarak antara desa Nglanggeran
menuju ibukota kabupaten ialah 22,00 km.
Lama jarak tempuh ke ibukota kabupaten dengan kendaraan bermotor
yakni 0,75 jam. Lebih lanjut, lama jarak tempuh ke ibukota kabupaten dengan
berjalan kaki atau kendaraan non bermotor yakni 4,50 jam. Namun sayang, belum
ada kendaraan atau mode transportasi umum dari desa Nglanggeran menuju pusat
kabupaten. Menuju ibukota provinsi tentu dengan jarak yang berbeda. Jarak antara
desa Nglanggeran dengan ibukota Provinsi ialah 25, 00 km. Lama jarak tempuh
ke ibukota provinsi dari desa Nglanggeran dengan kendaraan bermotor (jam) ialah
1,00 jam.
57
3. Jumlah Penduduk
Ada pun jumlah penduduk di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II.5
Jumlah Penduduk
No Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Perempuan 1.300 orang 50.10 2. Laki-laki 1.295 orang 49,90 Jumlah 2.595 orang 100
Sumber Data: http://nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/35 (diakses pada 30 Juli 2018).
Data kependudukan di desa Nglanggeran menempatkan jumlah penduduk
di desa Nglanggeran sebanyak 2.595 orang. Jumlah perempuan di desa
Nglanggeran ialah 1.300 orang dan laki-laki sebanyak 1.295 orang. Ini berarti
lebih banyak perempuan daripada laki-laki di desa Nglanggeran. Jumlah
penduduk antara laki-laki dan perempuan di desa Nglanggeran seimbang. Hal ini
tentu berpengaruh positif dalam proses pemberdayaan masyarakat berdasarkan
potensi desa. Artinya, peluang untuk partisipasi kedua belah pihak tentu terbuka.
Peluang untuk menjangkau seluruh potensi desa Nglanggeran pun terbuka lebar.
Kehadiran jumlah perempuan dan laki-laki yang seimbang mengisyaratkan poin
demi poin ini. Bagi peneliti, keseimbangan jumlah penduduk ini akan
berpengaruh positif dalam proses pembangunan desa secara khusus pemberdayaan
masyarakat berdasarkan potensi desa. pengaruh positif itu mengarah kepada
partisipasi aktif dari laki-laki dan perempuan. Hal ini tentunya sangat bermanfaat
bagi pembangunan di desa Nglanggeran. Partisipasi aktif menjadi awalan yang
sangat positif bagi perkembangan desa selanjutnya.
58
a. Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur
Ada pun jenis kelamin di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II.6
Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur
No. Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Dibawah 1 Tahun 25 orang 0,96 2. 2 s/d 4 Tahun 91 orang 3,50 3. 5 s/d 9 Tahun 162 orang 6,24 4. 10 s/d 14 Tahun 179 orang 6,89 5. 15 s/d 19 Tahun 185 orang 7,13 6. 20 s/d 24 Tahun 181 orang 6,97 7. 25 s/d 29 Tahun 202 orang 7,78 8. 30 s/d 34 Tahun 147 orang 5,66 9. 35 s/d 39 Tahun 193 orang 7,43 10. 40 s/d 44 Tahun 208 orang 8,01 11. 45 s/d 49 Tahun 209 orang 8,05 12. 50 s/d 54 Tahun 201 orang 7,74 13. 55 s/d 59 Tahun 154 orang 5,93 14. 60 s/d 64 Tahun 125 orang 4,81 15. 65 s/d 69 Tahun 109 orang 4,20 16. 70 s/d 74 Tahun 59 orang 2,27 17. Diatas 75 Tahun 165 orang 6,35 Jumlah 2.595 orang 100
Sumber Data: http://nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/35 (diakses pada 30 Juli 2018).
Data mengenai jumlah Distribusi Penduduk berdasarkan Kelompok Umur
menjadi sangat penting agar bisa menjadi pijakan pembuatan kebijakan bagi
pemerintah desa. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur didominasi oleh
kelompok umur 50 s/d 54 dengan jumlah 201 orang, 25 s/d 29 tahun dengan
jumlah 202 orang, 40 s/d 44 orang dengan jumlah 208 orang dan 45 s/d 49 orang
dengan jumlah 209 orang. Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa usia
produktif menjadi usia yang paling banyak jumlahnya di desa Nglanggeran.
59
Peneliti berpikir, dengan begitu banyak potensi desa yang ada di desa
Nglanggeran, kehadiran kelompok umur berusia produktif merupakan angin
segar. Berbagai potensi tersebut dapat dilirik oleh kelompok umur produktif ini.
b. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan
Ada pun kependudukan berdasarkan pendidikan di desa Nglanggeran ialah
sebagai berikut:
Tabel II.7
Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan
No. Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Tamat SD/Sederajat 708 orang 27,28 2. SLTP/ Sederajat 592 orang 22,81 3. Tidak/ Belum Sekolah 517 orang 19,92 4. SLTA/ Sederajat 503 orang 19,38 5. Belum Tamat SD/ Sederajat 207 orang 7,97 6. Diploma IV/ Strata 42 orang 1,61 7. Akademi/ Diploma III/ S.
Muda 15 orang 0,57
8. Diploma I / II 11 orang 0,42 Jumlah 2.595 orang 100
Sumber Data: http://nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/35 (diakses pada 30 Juli 2018).
Berdasarkan data dari tabel II.7 menjelaskan jumlah Distribusi
berdasarkan Tingkat Pendidikan yakni tamat SD/sederajat 708 orang, SLTP/
sederajat 592 orang, tidak/ belum sekolah 517 orang, SLTA/ sederajat 503 orang,
belum tamat SD/ sederajat 207 orang, Diploma IV/ Strata 42 orang, Akademi/
Diploma III/ S. Muda Akademi/ Diploma III/ S. Muda, Diploma I / II 11 orang,
Strata II 0 orang dan Strata III 0 orang. Dari tabel kependudukan berdasarkan
pendidikan ini, peneliti berpikir bahwa desa Nglanggeran merupakan salah satu
60
desa yang wajib untuk diberdayakan. Artinya, dari tingkat pendidikan kita dapat
menjabarkan secara sederahana bahwa masih banyak warga Nglanggeran yang
belum menempuh pendidikan tinggi. Bayangkan, dari jumlah warga Nglanggeran
sebanyak 2.595 orang, hanya 42 orang yang menamatkan pendidikan hingga
jenjang sarjana. Pendidikan diploma pun masih sedikit yakni 15 orang. Belum lagi
jika ditakar dari jenjang magister yang belum sama sekali ada di desa
Nglanggeran. Bahkan yang terbanyak ialah dengan tingkat pendidikan hanya
menamatkan pendidikan dasar sebanyak 708 orang diikuti dengan hanya
menamatkan pendidikan pada jenjang SMP sebanyak 592 orang. Parahnya lagi
yang belum sekolah sebanyak 617 orang. Data ini mengartikan, tema penelitian
ini berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat masih sangat relevan untuk
dijadikan sebagai poros utama pembangunan desa. .
c. Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan yang Ditempuh
Ada pun jenis kelamin di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II.8
Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan yang Ditempuh
No Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Tidak Pernah Sekolah 703 orang 27,12 2. Sedang SD / Sederajat 589 orang 22,69 3. Belum Masuk TK / Kelompok
Bermain 515 orang 19,84
4. Tidak Tamat SD / Sederajat 502 orang 19,34 5. Sedang TK / Kelompok Bermain 207 orang 7,97 6. Sedang D-1 / Sederajat 42 orang 1,61 7. Sedang SLTA / Sederajat 15 orang 0,57 8. Sedang SLTP / Sederajat 11 orang 0,42 9. Tidak Sedang Sekolah 2 orang 0,0710. Sedang S-3 /Sederajat 0 orang 0 Jumlah 2.595 orang 100
61
Sumber Data: http://nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/35 (diakses pada 30 Juli 2018).
Berdasarkan data dari tabel II.8 menjelaskan Distribusi berdasarkan
Pendidikan yang sedang Ditempuh yakni tidak pernah sekolah 703 orang, sedang
SD / Sederajat 589 orang, belum masuk TK / kelompok bermain 515 orang, tidak
tamat SD / sederajat 502 orang, sedang TK / kelompok bermain 207 orang,
sedang D-1 / sederajat 42 orang, sedang SLTA / sederajat 15, orang sedang SLTP
/ sederajat 11 orang, tidak sedang sekolah 2 orang dan sedang S-3 /sederajat 0
orang.
4. Distribusi Penduduk berdasarkan Agama
Agama di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II.9
Distribusi Penduduk Berdasarkan Agama
No Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Islam 2.542 orang 97,95 2. Kristen 8 orang 0,32 3. Katolik 45 orang 1,73 Jumlah 2.595 orang 100
Sumber: (http://nglanggeran patuk.desa.id/first/statistik/agama (diakses pada 23 Juni 2018).
Dari tabel II.9 menjelaskan keberagaman kepercayaan di desa
Nglanggeran, agama Islam menjadi agama yang paling banyak dianut oleh warga
desa yakni 2.542 orang diikuti oleh Katolik 45 orang dan Kristen 8 orang. Tiga
agama ini menjadi tiga agama yang dianut oleh masyarakat desa Nglanggeran.
62
5. Distribusi Penduduk berdasarkan Pekerjaan
Ada pun jenis kelamin di desa Nglanggeran ialah sebagai berikut:
Tabel II.10
Distribusi Penduduk berdasarkan Pekerjaan
No Kelompok Jumlah Persentase (%) 1. Petani / Perkebunan 828 orang 31,90 2. Belum / Tidak Bekerja 465 orang 17,91 3. Pelajar / Mahasiswa 346 orang 14, 02 4. Mengurus Rumah Tangga 267 orang 10,28 5. Karyawan Swasta 230 orang 8,86 6. Buruh Harian Lepas 188 orang 7,24 7. Wiraswasta 183 orang 7,05 8. Pegawai Negeri Sipil
(PNS) 30 orang 1,15
9. Perangkat Desa 13 orang 0,50 10. Sopir 10 orang 0,38 Jumlah 2.595 orang 100
Sumber Data: http://nglanggeran-patuk.desa.id/first/artikel/35 (diakses pada 30 Juli 2018).
Berdasarkan data dari tabel II.10 menjelaskan jenis pekerjaan masyarakat
desa Nglanggeran yakni petani/perkebunan 828 orang, belum/tidak bekerja 465
orang, pelajar / mahasiswa 346 orang, mengurus rumah tangga 267 orang,
karyawan swasta 230 orang, buruh harian lepas 188 orang, wiraswasta 183 orang,
Pegawai Negeri Sipil (PNS) 30 orang, perangkat desa 13 orang dan sopir 10
orang. Berdasarkan sajian data ini, peneliti menarik hubungan yang sangat erat
antara kehadiran pemberdayaan masyarakat pada kelompok masyarakat di tabel
ini. Pemberdayaan masyarakat mengisyaratkan adanya pemberian kekuatan atau
daya kepada masyarakat untuk dapat berdaya. Sajian tabel ini menjelaskan
sebanyak 465 orang belum memiliki pekerjaan. Tentunya jumlah ini menjadi
63
salah satu pintu masuk bagi tema penelitian ini yakni pemberdayaan masyarakat.
Artinya terdapat 465 orang yang bisa diberdayakan. Beberapa item pekerjaan ini
membuka peluang untuk diberdayakan. Petani/perkebunan sebanyak 828 orang
diikuti mengurus rumah tangga 267, karyawan swasta 230 orang dan buruh harian
lepas 188 orang. Bagi peneliti, pada item pekerjaan ini fokus pemberdayaan
terjadi. Item pekerjaan ini menjadi potensi desa Nglanggeran yang diberdayakan.
Potensi pertanian, perkebunan, potensi industri rumah tangga, potensi swasta
maupun potensi buruh harian lepas. Pemberdayaan masyarakat berdasarkan
potensi desa ini bisa menjawab harapan akan pembangunan desa yang lebih baik.
7. Distirbusi Penduduk Miskin
Kemiskinan bisa diukur dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Jika
hal ini yang dijadikan basis defenisi maka kemiskinan merupakan
ketidakmampuan masyarakat secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya. Keadaan penduduk miskin di desa merupakan sebuah fenomena
pedesaan. Desa selalu diidentikan dengan penduduk miskin. Untuk mengetahui
keadaan penduduk miskin, bisa ditelusuri melalui daftar penerima bantuan yang
disalurkan dari pemerintah baik pemerintah kabupaten maupun pemerintah pusat.
Berikut data tersebut.
Tabel II.11
Penerima Bantuan Tahun 2016
No Bantuan Tahun Jumlah KK 1. Program Keluarga Harapan
(PKH) 2016 187 orang
2. Non PKH 2016 107 orang 3. Iuran Jaminan Kesehatan
Nasional 2016 56 orang
64
4. Peserta Pengganti Bantuan Iuran Program Jaminan Kesehatan
Nasional
2016 89 orang
5. Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Semesta
2016 63 orang
6. Program Jaminan Kesehatan Bagi Penduduk Berkebutuhan
Khusus (JAMKESUS)
2016 38 orang
Sumber: Dokumen Tentang Data Penduduk Miskin Desa Nglanggeran Nglanggeran tahun 2016
PKH merupakan Program Keluarga Harapan. PKH ini sendiri ialah
program perlindungan sosial yang memberikan bantuan tunai kepada Rumah
Tangga Sangat Miskin (RTSM) dimana program ini, dalam jangka pendek
bertujuan mengurangi beban RTSM dan dalam jangka panjang diharapkan dapat
memutus mata rantai kemiskinan antar generasi, sehingga generasi berikutnya
dapat keluar dari perangkap kemiskinan. Dana bantuan PKH berupa dana tunai
yang diberikan kepada masyarakat miskin. Sedangkan non PKH berupa barang.
Pada tahun 2018 sendiri bantuan non PKH berupa beras dan telur yang
menggantikan kehadiran minyak goreng dan gula di tahun 2017. Sedangkan
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi
kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
dasar kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Desa Nglanggeran
menerima paket bantuan PKH, non PKH dan Jamkesda ini. Pada tahun 2016
penerima PKH sebanyak 187 orang dan non PKH 107 orang.
65
8. Kelembagaan
Kelembagaan desa Nglanggeran terdiri dari beberapa lembaga berikut;
- Lembaga Pemerintahan. Ada pun lembaga pemerintah desa Nglanggeran ialah
sebagai berikut:
Gambar 2.2
Struktur Organisasi dan Tata Pemerintahan
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
66
Gambar 2.3
Daftar Nama Perangkat Desa Nglanggeran
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
Dari foto 2.3 menjelaskan pengisian jabatan pemerintahan desa di desa
Nglanggeran telah berjalan dengan baik. Hal dibuktikan dengan beberapa jabatan
yang telah terisi seperti Kepala Seksi Kesejahteraan, Kepala Seksi Pelayanan,
Kepala Urusan Keuangan, Kepala Urusan Perencanaan, Kepala Urusan Umum,
staf desa dan pedukuhan demi pedukuhan. Di desa Nglanggeran sendiri hanya
Kepala Seksi Data dan Informasi saja yang belum terisi. Tentunya kondisi
pemerintahan di desa Nglanggeran sangat berpengaruh terhadap pelayanan
maupun terakomodasinya berbagai kebutuhan masyarakat. Artinya, kebutuhan
masyarakat di desa Nglanggeran dapat diakomodasi dengan kelengkapan
67
perangkat pemerintahan di kantor desa.
- Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
Berikut foto struktur dan daftar anggota BPD desa Nglanggeran ialah sebagai
berikut:
Gambar 2.4
Struktur Organisasi BPD
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
68
Gambar 2.5
Daftar Anggota BPD
Sumber Foto: Dokumen Pribadi
BPD memegang peranan yang sangat penting bagi pembangunan desa.
BPD di desa Nglanggeran secara kelembagaan telah terisi semua posisinya. Hal
ini tentu sangat penting dalam tugas dan fungsi BPD dalam mengimbangi tugas
dari perangkat desa. Tentunya BPD ini merupakan badan yang berjalan bersama
kepala desa dan seluruh perangkat pemerintahan desa. BPD dapat melakukan
pengawasan terhadap kinerja kerja kepala desa. Selain melakukan usulan, BPD
dapat memberikan sumbangan pikiran kepada kepala desa maupun para
perangkatnya untuk kemajuan desa setempat. Dalam konteks desa Nglanggeran,
kemajuan BPD pun tak pernah lepas dari peran BPD. Artinya lembaga ini dapat
menjadi corong usulan atau keinginan maupun harapan masyarakat kepada kepala
desa mapun para pengkatnya.
69
‐ Lembaga Kemasyarakatan
Adapun lembaga kemasyarakatan desa Nglanggeran sebagai berikut:
Tabel II.12 Lembaga Kemasyarakatan
Nama Lembaga
Dasar hukum pembentukan
Jumlah Lembaga
Jumlah Pengurus
Ruang Lingkup Kegiatan
Jumlah Jenis Kegiatan
LMKM/LKMK
LPMD/LPMK atau sebutan lain
54/KPTS/2013 1 12 Pembangunan
1
PKK 53/KPTS/2013 1 22 Pokja I-IV, UPPKS, Arisan
6
Rukun Warga
51/KPTS/2013 5 13 Simpan pinjam, kerja bakti, ronda, arisan
4
Rukun Tetangga
50/KPTS/2013 23 69 Simpan pinjam, kerja bakti, ronda, arisan
4
Karang Taruna
55/KPTS/2013 1 23 Arisan, kerohanian, olahraga, pengelolaan wisata, sosial
5
Kelompok tani/nelayan
SK Bupati No 142/KPTS/2008
1 12 Perkebunan, pertanian, peternakan, kehutana
6
70
n, simpan pinjam, arisan
Lembaga adat
1 12 Rasulan/bersih desa
1
Badan Usaha Milik Desa
14/KPTS/2011 1 12 Pengelolaan wisata, simpan pinjam
2
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Menurut peneliti, desa Nglanggeran merupakan salah satu desa yang layak
untuk dijadikan rujukan dalam sharing atau berbagai ilmu tentang pembangunan
desa. Bagi peneliti, kunci kesuksesan pembangunan desa terletak pada kekuatan
kelompok kategorial yang ada di desa. desa Nglanggeran sudah membuktikannya
dengan berbagai kelompok kategorial ini dalam rupa Rukun Tetangga (RT),
Rukun Warga (RW), kelompok tani/nelayan, kelompok gotong royonh, badan
usaha milik desa maupun lembaga adat lainnya.
Bagi penulis sendiri, hal ini merupakan kabar baik bagi proses
pemberdayaan. Masyarakat di desa Nglanggeran tentunya dapat diberdayakan
melalui kehadiran lemabag-lembaga ini. Artinya, potensi desa pun secara
otomatis akan diberdayakan pula di dalam proses keorganisasian lembaga desa
ini. Sehingga bagi penulis sendiri, pemberdayaan masyarakat di desa
Nglanggeran sudah mengakomodir seluruh potensi desa yang ada. Hal ini tentu
menjadi titik awal dalam proses pengembangan desa selanjutnya.
71
‐ Lembaga Ekonomi
1. Lembaga Ekonomi dan Unit Usaha Desa Nglanggeran
Tabel II.13
Lembaga Ekonomi dan Unit Usaha
Jenis lembaga ekonomi Jumlah/unit Jumlah Kegiatan
Jumlah Pengurus dan Anggota
1. Koperasi simpan pinjam
11 2 1.423
2. BUMDes 1 2 17 Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Dari tabel II.15 dapat dijelaskan bahwa lembaga ekonomi dan unit usaha
desa di desa Nglanggeran hanya koperasi simpan pinjam dan BUMDes. Dari dua
lembaga ini penulis dapat melihat hubungan yang sangat erat dari sebuah
pemberdayaan masyarakat berdasarkan potensi desa dengan kehadiran lembaga
ekonomi dan unit usaha desa ini. Tentu korelasi ini perlu dikaitkan pula dengan
kehadiran lembaga-lembaga kemasyarakat sebelumnya. Artinya, denyut nadi
seluruh kelompok masyarakat tadi memerlukan biaya operasional. Hal ini
dijawab oleh kehadiran dua lembaga ekonomi dan unit usaha desa di desa
Nglanggeran. Desa Nglanggeran sendiri memiliki 11 unit koperasi simpan
pinjam. Tentu hal ini membuktikan betapa besarnya pinjaman masyarakat desa
Nglanggeran di koperasi ini. Tentu bagi peneliti hal ini sangat positif jika dilihat
dari kaca mata pemberdayaan masyarakat. Artinya, denyut nadi pemberdayaan
72
masyarakat berdasarkan potensi desa hidup di desa Nglanggeran. Ada aktivitas
kegiatan yang dilakukan yang tentu berpengaruh pada pembangunan desa
Nglanggeran sendiri
2. Jasa Lembaga Keuangan
Desa Nglanggeran juga memiliki lembaga keuangan non bank. Jumlah
lembaga ini 7 unit. Senada dengan penjelasan di lembaga ekonomi dan unit usaha
desa, kehadiran lembaga keuangan non bank tentu memberi efek positif bagi
masyarakat. Masyarakat lebih muda mendapatkan uang. Selain untuk biaya hidup
bagi keluarga tentunya bagi peneliti, kehadiran lembaga keuangan memudahkan
masyarakat Nglanggeran untuk memulai usaha kelompok. Sehingga kemudahan
untuk mendapat uang ini berpengaruh positif dalam proses pemberdayaan
masyarakat desa Nglanggeran.
3. Industri Kecil dan Menengah
Tabel II.14
Industri Kecil dan Menengah
Jenis Industri Jumlah/Unit Jumlah Kegiatan
Jumlah Pengurus dan Anggota
1. Industri makanan
1 1 25
2. Industri kerajinan
2 2 8
Sumber Data: Daftar Isian dan Potensi Desa Nglanggeran 2016
Dari tabel II.17 dapat dilihat perkembangan positif dari perubahan desa
Nglanggeran di tahun 2010 hingga saat ini. Industri makanan di desa
73
Nglanggeran berjumlah 1 unit. Selebihnya industri kecil dan menengah terbanyak
di desa Nglanggeran ialah rumah makan dan restoran dengan jumlah 25 unit.
Bagi peneliti hal ini tentu menjadi pengaruh positif dari pembangunan desa
Nglanggeran. Bagi peneliti, kehadiran rumah makan dan restoran harus dilihat
secara komprehensif. Artinya bahan pokok makanan di restoran tentu berasal dari
daerah sekitar dalam hal ini desa Nglanggeran sendiri. Sehingga seluruh potensi
perkebunan maupun peternakan sebagai basis bahan pokok restoran dan rumah
makan diberdayakan. Jumlah rumah makan dan restoran yang banyak akan
berkorelasi langsung dengan kebutuhan akan bahan makanan pokoknya. Hal ini
bagi peneliti memberi sebuah angin segar dalam pemberdayaan masyarakat
berdasarkan potensi desa. satu unit usaha akan mempengaruhi kegiatan ekonomi
lainnya. Lebih lanjut bagi peneliti, jumlah rumah makan dan restoran 25 unit ini
memiliki implikasi positif dalam pemberdayaan masyarakat.
8.Visi dan Misi
Sebagai organisasi pemerintahan lainnya, adanya visi dan misi merupakan
salah satu prasyarat. Desa Nglanggeran memiliki visi dan misi sebagai berikut;
Visi:
Mewujudkan Desa Nglanggeran sebagai Tujuan Wisata Pendidikan yang
Berwibawa, Dinamis, Inofatif, Berbudaya menuju Masyarakat yang Mandiri
dan Sejahtera
Misi:
74
1. Meningkatkan Pelayanan kepada Masyarakat dan Etos Kerja
Pemerintahan Desa
2. Membangun Desa Nglanggeran sesuai Kulture dan Budaya Desa
Nglanggeran
3. Membangun Sarana Prasarana Desa yang Lebih Baik dan Sehat
4. Mendorong Masyarakat untuk Berkreasi dan Berinovasi Serta Mandri
Gambar 2.6
Visi dan Misi Desa Nglanggeran
Sumber Foto: Dokumen Pribadi.
top related