bab i pendahuluan a. latar...
Post on 03-Mar-2019
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi. Indonesia diperkirakan memiliki 30.000 spesies tumbuhan. Di antara
30.000 spesies tumbuhan diketahui sekurang-kurangnya 9.600 spesies tumbuhan
berkhasiat sebagai obat dan kurang lebih 300 spesies tumbuhan telah digunakan
sebagai bahan obat tradisional oleh industri obat tradisional (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Daun sukun merupakan salah satu tanaman
yang dikenal berkhasiat dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat Indonesia.
Obat tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran
dari bahan tersebut, yang telah digunakan secara turun temurun untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).
Sukun yang memiliki nama ilmiah Artocarpus altilis (Park.) Fosberg
merupakan tanaman yang tumbuh tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Tanaman ini memiliki buah yang biasa digunakan sebagai bahan makanan.
Sedangkan bagian daunnya dikenal memiliki khasiat sebagai obat. Secara
tradisional, daun sukun digunakan masyarakat dalam pengobatan penyakit hati,
inflamasi, jantung, ginjal, sakit gigi, dan gatal-gatal. Secara empiris daun sukun
digunakan sebagai obat penyakit kulit dan obat luar pada penyakit pembesaran
limpa (Heyne, 1987). Daun sukun juga berkhasiat sebagai obat demam
2
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993). Pengobatan dilakukan dengan
cara meminum rebusan air daun sukun. Daun sukun memiliki kandungan senyawa
berkhasiat seperti flavonoid, sitosterol, asam hidrosinamat, asetilkolin, tanin,
riboflavin, saponin, dan fenol.
Berdasarkan penelitian Suryanto dan Wehantouw (2009), ekstrak metanol,
etanol, dan aseton daun sukun mengandung senyawa fenolik, flavonoid, dan tanin
terkondensasi. Ekstrak daun sukun tersebut juga terbukti memiliki aktivitas
antioksidan karena mampu menangkap radikal bebas terhadap 1,1 diphenyl-2-
picrylhydrazyl (DPPH). Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat
menghambat terjadinya kerusakan akibat proses reaksi oksidasi karena
keberadaan radikal bebas di dalam tubuh. Tubuh manusia mengalami proses
metabolisme yang akan membentuk produk samping berupa radikal bebas.
Radikal bebas akan membentuk reaksi berantai yang mampu menghasilkan
radikal bebas baru sehingga jumlah radikal bebas semakin banyak. Radikal bebas
yang semakin banyak jumlahnya akan membentuk oksidatif stres. Radikal bebas
dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan kerusakan sel tubuh (Agarwal
dkk., 2010). Pembentukan radikal bebas ini dapat dihambat oleh senyawa
antioksidan. Senyawa-senyawa alami yang mempunyai potensi sebagai
antioksidan umumnya merupakan golongan senyawa flavonoid, fenolik, dan
karetonoid (Corocho dan Ferraira, 2013).
Uji aktivitas antioksidan dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan
dari suatu ekstrak. Terdapat beberapa metode untuk menguji aktivitas antioksidan
antara lain metode penangkapan radikal DPPH, Ferric Reducing Antioxidant
3
Power (FRAP), dan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS).
Metode TBARS merupakan metode yang sederhana yang umum digunakan dalam
pengukuran tingkat peroksidasi lipid dalam sistem biologis dan kemampuan
antioksidan dari suatu bahan dalam menghambat proses oksidasi. Metode ini
sangat umum digunakan dalam penelitian oksidasi lemak secara umum maupun
oksidasi LDL.
Low-Density Lipoprotein (LDL) yang mengalami modifikasi karena
oksidasi dianggap sebagai penyebab utama terjadinya atherosklerosis. LDL
memiliki kandungan ester kolesterol, kolesterol, trigliserida, protein dan
antioksidan seperti alfa-tokoferol dan ubiquinol-10. LDL yang telah teroksidasi
akan mengalami serangkaian proses yang pada akhirnya mengakibatkan sel busa
mengalami kristalisasi yang menimbulkan padatan keras yang disebut plak
atherosklerosis. Senyawa antioksidan dapat menghambat oksidasi LDL.
Penghambatan oksidasi LDL ini dapat mencegah terbentuknya plak
atherosklerosis (Glass dan Witztum, 2001; Cobbold, 2002).
Dalam penelitian ini dilakukan uji aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat,
etanol, dan air daun sukun dalam menghambat oksidasi LDL menggunakan
metode TBARS secara in vitro. Metode ini dipilih untuk mengetahui aktivitas
antioksidan ekstrak daun sukun dari tiga jenis ekstrak dalam menghambat oksidasi
LDL.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etil asetat, etanolik, dan air daun sukun memiliki aktivitas
penghambatan oksidasi LDL?
4
2. Ekstrak manakah yang paling poten dalam menghambat oksidasi LDL?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat, etanol, dan air daun
sukun dalam menghambat oksidasi LDL.
2. Mengetahui jenis ekstrak daun sukun yang memiliki aktivitas
penghambatan oksidasi LDL paling baik.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi mengenai
potensi antioksidan ekstrak daun sukun dalam menghambat oksidasi LDL, serta
memberikan bukti ilmiah terkait khasiat daun sukun dalam pengobatan tradisional.
Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai sumber referensi untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg)
Gambar 1. Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) (Sushmita , 2013)
5
a. Klasifikasi Tumbuhan
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Urticales
Suku : Moraceae
Marga : Artocarpus
Spesies : Artocarpus altilis (Park.) Fosberg
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997)
b. Sinonim
Artocarpus incisus (Thunb.) L. ; Artocarpus communis Forst. (Ragone,
1997).
c. Nama lokal
Hatopul (Sumatera Utara), sokon (Madura), kamandi (Irian), sarangen
(Sulawesi), sukun (Jawa), karara (Bima, Sumba), Sake (Siam),
bandarese/kulur/kuro (Malaysia), kalara (Flores), arbre à pain (Prancis),
árbol del pan (Spanyol), Brotfruchtbaum (Jerman), rimas (Filipina), kapiak
(New Guinea), uto/kulu (Fiji), bia/nimbalu (Kepulauan Solomon), beta
(Vanuatu), ulu (Hawaii, Samoa), uru (Tahiti), kuru (Kepulauan Cook),
mei/mai (Micronesia, Tonga, Marquesas), lemai (Kepulauan Mariana), mos
(Kosrae), dan dalam bahasa Inggris disebut breadfruit (Heyne, 1987;
Ragone, 1997).
6
d. Morfologi
Tumbuhan sukun memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Habitus : pohon, tinggi 10 – 25 m.
Batang : bulat, percabangan simpodial, bergetah, permukaan kasar
dan berwarna cokelat.
Daun : tunggal, berseling, ujung runcing, tepi bertoreh, panjang 50
– 70 cm, lebar 25 – 50 cm, pertulangan menyirip, tebal,
permukaan kasar dan berwarna hijau.
Bunga : berumah satu, bunga jantan silindris dengan panjang 10 –
20 cm berwarna kuning, bunga betina bulat dengan garis
tengah 2 – 5 cm dan berwarna hijau.
Buah : semu majemuk, bulat dengan diameter 10 – 20 cm, berduru
lunak, berwarna hijau.
Akar : akar tunggang yang berwarna cokelat.
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1997)
e. Distribusi dan Budidaya Tanaman
Sukun tersebar hampir merata di seluruh daerah di Indonesia,
terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur serta banyak dibudidayakan di
Kabupaten Cilacap. Sukun dapat tumbuh pada ketinggian hingga 900 meter
di atas permukaan laut, suhu 15°C – 40°C, dan curah hujan setiap tahun
2.000 – 3.000 m (Ragone, 1997). Sukun dapat tumbuh pada berbagai tipe
tanah alluvial maupun daerah pantai (Massal & Barrau, 1954) tetapi paling
7
cocok ditanam pada tanah liat yang berpasir dan banyak mendapatkan hujan
(Coronel, 1983). Tanaman ini dapat bertahan hidup di tanah yang gersang
atau pada musim kering. Sukun dibudidayakan secara vegetatif dengan cara
memotong bagian akar atau tunasnya (Ragone, 1997).
f. Kandungan Kimia
Daun sukun mengandung senyawa tanin, fenolik, glikosida, saponin,
steroid, terpenoid, antakuinon, dan peptida (Siddesha dkk., 2011). Steroid,
fitosterol, gom, dan resin ditemukan dalam ekstrak metanolik, etil asetat,
dan petroleum eter daun sukun (Sushmita dkk., 2013). Di dalam ketiga
ekstrak tersebut juga terdapat 72,5% asam amino, 68,2% asam lemak, dan
81,4% karbohidrat. Flavonoid isoprenil dengan rantai samping isoprenil C-3,
dan bentuk 2’,4’-dioksigenasi atau 2’,4’,5’ trioksigenasi pada cincin B dari
struktur flavon merupakan senyawa spesifik yang ditemukan pada
Artocarpus (Sikarwar dkk., 2014).
Tabel I. Hasil Analisis Fitokimia Ekstrak Daun Sukun (Siddesha dkk., 2011)
Golongan
senyawa
Air Metanol Etanol n-
butanol Aseton
Etil
asetat
Petroleum
eter Heksan
D P D P D P D P P D P D P D P D
Tanin + + - - - - + - + - - - - - - -
Fenolik + + + + + + + + + - + + - - - -
Glikosida + + + + + + + + + + + + - - - -
Saponin + + - + - - - - - - - - - - - -
Steroid - - - - - + + - + - + + - - - -
Terpenoid - - + + + + - - + - - - - - - -
Antakuinon - - - + - - + + + - + + - - + -
Peptida + + + + T T T T T T T T T T T T
Ket: D = dingin, P = panas, T = tidak diuji
8
Artonin E Artonin B
Theafulvin Morusin
Heterophyllin Artobiloxanthone
Cycloheterophyllin Cycloartobiloxanthone
Gambar 2. Struktur molekul senyawa dalam Artocarpus altilis (Mohanty et al., 2015)
9
Artocarpus altilis juga mengandung artonin E, artonin B, theafulvin,
morusin, heterofilin, artobiloxanton, sikloheterofilin, dan
sikloartobiloxanton. Artonin E dan artonin B menunjukkan aktivitas
terhadap sel kanker (mouse L-1210 dan colon 38) yang lebih kuat
dibandingkan theafulvin. Artonin E juga memiliki kemampuan yang poten
dalam menghambat arachidonate 5-lipoxygenase dengan IC50 0,36 μM.
g. Manfaat dan Kegunaan
Tanaman sukun banyak dibudidayakan untuk dimanfaatkan buahnya
sebagai bahan makanan. Getah tumbuhan sukun digunakan dalam
pengobatan diare, sakit perut, dan disentri (Ragone, 1977). Tanaman sukun
juga memiliki berbagai macam efek biologis seperti antituberkulosis dan
antiplasmodial, antiatherogenik, antiatherosklerosis, agen pemutih kulit,
agen antioksidan, inhibitor α-amilase dan α-glikosidase, anthelmintik, agen
antimikrobia, antihiprtensi, agen antiausterik, serta agen penolak nyamuk
(Sikarwar dkk., 2014). Ekstrak daun sukun dilaporkan memiliki berbagai
aktivitas farmakologi seperti menghambat inhibitor tirosinase 5α-reduktase
(Shimizu dkk., 2000) dan aktivitas penghambatan angiotensin-coverting
enzym (Siddesha dkk., 2011).
2. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah proses penarikan zat yang dapat larut
sehingga terpisah dari zat yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Anonim,
1986). Proses penarikan zat terjadi akibat adanya perpindahan massa komponen
10
zat ke dalam pelarut. Perpindahan ini mulai terjadi pada lapisan antar muka
kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbourne, 1973).
Proses ekstraksi dari suatu bahan akan menghasilkan ekstrak. Ekstrak
adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengenkstraksi senyawa aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan penyari yang sesuai. Ekstrak
dapat berupa ekstrak kering, ekstrak kental, dan ekstrak cair. Ekstraksi bertujuan
untuk memperoleh zat yang dikehendaki dengan kadar yang tinggi (Anief, 2000).
Keberhasilan ekstraksi suatu bahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
bahan baku berupa simplisia, pelarut, dan metode ekstraksi.
a. Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang telah dikeringkan yang belum
mengalami pengolahan yang digunakan untuk pengobatan. Suhu
pengeringan simplisia tidak boleh lebih dari 60°C, kecuali dinyatakan lain
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008). Berdasarkan sumbernya,
simplisia dapat dibedakan menjadi 3 macam yaitu simplisia nabati, simplisia
hewani, dan simplisia pelikan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1985).
Tahap pembuatan simplisia terdiri atas pengumpulan bahan baku,
sortasi basah, pencucian, perajangan, pengeringan, sortasi kering,
pengepakan, penyimpanan, dan pemeriksaan mutu. Sortasi basah dilakukan
unuk memisahkan antara simplisia dengan bahan asing maupun pengotor.
Pencucian dengan air bersih dilakukan untuk menghilangkan pengotor yang
melekat pada simplisia. Perajangan dilakukan untuk mengecilkan ukuran
11
dan memperluas permukaan simplisia untuk mempermudah proses
pengeringan, pengepakan, dan penyimpanan. Pengeringan dilakukan untuk
mengurangi kadar air yang ada di dalam simplisia agar simplisia dapat
disimpan dalam waktu yang lebih lama. Pengeringan dilakukan secara cepat
pada suhu kurang dari 60°C, agar simplisia tidak ditumbuhi kapang.suhu
pengeringan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan rusaknya senyawa-
senyawa yang tidak tahan panas. Sortasi kering dilakukan untuk
menghilangkan bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor
yang masih tertinggal dalam simplisia (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1985).
Simplisia hasil sortasi kering dibuat menjadi serbuk untuk
mempermudah proses eks
traksi. Penyerbukan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel
simplisia dan memperluas permukaan partikel simplisia yang bersentuhan
dengan cairan penyari. Selain ukuran partikel, proses penyarian juga
tergantung pada sifat fisik dan kimia simplisia (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1986).
b. Pelarut
Ekstraksi yang optimal dapat diperoleh dengan pemilihan pelarut atau
cairan penyari yang sesuai kepolarannya dengan senyawa aktif yang
dikehendaki, sehingga senyawa aktif dapat terpisah dari bahan dan
kandungan lain yang tidak dikehendaki (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Jika senyawa aktif yang dikandung simplisia sudah
12
diketahui, pemilihan cairan penyari yang tepat akan lebih mudah ditentukan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Pelarut yang baik memiliki kriteria murah dan mudah diperoleh; stabil
secara fisika dan kimia; bereaksi netral; tidak mudah menguap dan terbakar;
selektif, yang berarti hanya menarik zat aktif yang dikehendaki; tidak
mempengaruhi zat berkhasiat; dan diperbolehkan menurut peraturan. Pelarut
yang banyak digunakan oleh perusahaan obat tradisioanl adalah air, etanol,
atau etanol-air (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
c. Metode ekstraksi
Metode ekstraksi yang sederhana dan banyak dilakukan adalah
maserasi dan infundasi.
1) Maserasi
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana dan
banyak dilakukan. Maserasi digunakan untuk mengekstraksi bahan yang
memiliki senyawa bioaktif yang tinggi. Maserasi dilakukan dengan
perendaman serbuk simplisia dalam cairan penyari selama waktu tertentu
dengan beberapa kali pengadukan. Prinsip metode maserasi adalah
pencapaian konsentrasi pada kesetimbangan. Secara teoritis, maserasi
tidak memungkinkan untuk mengambil seluruh senyawa yang dikehendaki
dari simplisia (maserasi absolut). Untuk memaksimalkan jumlah senyawa
yang disari, dilakukan remaserasi. Remaserasi adalah pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan
seterusnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).
13
Alat yang dibutuhkan untuk maserasi adalah bejana dan pengaduk.
Bejana digunakan sebagai wadah dalam proses perendaman simplisia oleh
penyari. Pengaduk digunakan untuk mengaduk simplisia agar gradien
konsentrasi tetap terjaga (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
1986).
Keuntungan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan
yang digunakan sederhana serta mudah dilakukan. Kerugian maserasi
adalah waktu pengerjaannya lama dan hasil ekstraksi kurang sempurna
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
2) Infundasi
Infundasi adalah proses penyarian yang umumnya digunakan untuk
menyari senyawa yang larut di dalam air (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986). Sari yang diperoleh dari hasil infundasi disebut infusa.
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia dengan
air pada suhu 90°C selama 15 menit (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2000). Infusa tidak stabil dan sangat mudah tercemar oleh
kapang dan kuman karena mengandung kadar air yang tinggi. Infusa tidak
boleh disimpan lebih dari 24 jam. Agar dapat disimpan lebih lama, infusa
dapat dibuat menjadi ekstrak kental (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
3. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat atau
menghambat kerusakan oksidatif dari molekul target yang diakibatkan oleh
14
radikal bebas. Antioksidan dapat bereaksi dengan senyawa radikal bebas tunggal
dan dapat menetralisasi radikal bebas dengan mendonorkan satu elektron.
Antioksidan mencegah terjadinya kerusakan sel dan jaringan. Sel melakukan
pertahanan terhadap radikal bebas dengan mekanisme preventif, mekanisme
perbaikan, pertahanan fisik, dan pertahanan antioksidan (Sen, 2010).
Berdasarkan asalnya, antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan
endogen dan antioksidan eksogen (Sen, 2010). Secara alami, tubuh memiliki
sistem pertahanan endogen untuk memproteksi sel dari radikal bebas dengan
menghasilkan antioksidan endogen. Antioksidan enzim merupakan antioksidan
endogen. Antioksidan enzim membutuhkan mikronutrien sebagai kofaktor seperti
selenium, besi, tembaga, zinc, dan mangan untuk aktivitas katalitik optimum dan
mekanisme pertahanan antioksidan yang efektif (Singh dkk., 2014).
Glutation peroksidase, katalase, superoksigen dismutase merupakan
antioksidan enzim primer yang terlibat langsung dalam eliminasi radikal bebas
dengan bantuan antioksidan enzim sekunder seperti glutation reduktase, glukosa-
6-fosfat dehidrogenase, and GST sistolik. Antioksidan enzim sekunder membantu
detoksifikasi radikal bebas dengan menurunkan level peroksida (Singh dkk.,
2014).
Antioksidan eksogen dapat diperoleh dari sumber makanan yang
dikonsumsi yang sering disebut dengan fitonutrien. Salah satu fitronutrien adalah
flavonoid yang merupakan senyawa polifenol. Aktivitas biologis flavonoid
banyak dikaitkan dengan sifat antioksidan dan kemampuan menangkap radikal
15
bebasnya. Aktivitas antioksidan dari golongan flavonoid berbeda-beda tergantung
dari struktur dasar dan gugus fungsional dari flavonoid (Singh dkk., 2014).
Menurut Reische (2002), antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan
primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer dan sekunder bekerja secara
sinergis. Antioksidan primer akan memutus rantai radikal bebas karena berfungsi
sebagai akseptor radikal bebas dan mengganggu tahap propagasi. Sedangkan
antioksidan sekunder memperlambat oksidasi dengan berbagai mekanisme seperti
pengkhelat logam (asam sitrat dan EDTA), penangkap oksigen dan agen reduksi
(asam askorbat, askorbil palmitat), pengubahan hidroperoksida menjadi produk
non radikal (tokoferol), dan penstabilan oksigen singlet (flavonoid).
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan
sintetis dan antioksidan alami. Butylated Hidroxyanisole (BHT), Propyl Gallate
(PG), dan Tertiary Butylhydroquinone (TBHQ) termasuk ke dalam antioksidan
sintetis. Sedangkan yang termasuk ke dalam antioksidan alami antara lain asam
askorbat, asam sitrat, tokoferol, karotenoid, polifenol, dan flavonoid (Reische,
2002).
4. Radikal bebas
Radikal bebas merupakan senyawa atau molekul dengan tingkat reaktivitas
yang tinggi. Radikal bebas dapat didefinisikan sebagai fragmen molekuler atau
molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada
orbital atau lintasan terluarnya (Sen dkk., 2010). Elektron tidak berpasangan ini
16
memberikan kontribusi terhadap kereaktifan radikal bebas. Radikal bebas secara
normal diproduksi dari metabolisme seluler (Valko, 2007).
Tabel II. Contoh ROS dan RNS (Devasagayam, 2005)
Spesies reaktif Simbol Waktu
Paruh Reaktivitas
Reactive Oxygen Species (ROS)
Superoksida O2•- 10
-6 s
Dihasilkan di mitokondria, sistem
kardiovaskuler, dan lainnya.
Hidroksil
radikal •OH 10
-6 s
Sangat reaktif, dihasilkan selama
terjadi kelebihan besi dan pada
kondisi tertentu.
Hidrogen
peroksida H2O2 Stabil
Dihasilkan dalam tubuh dalam
jumlah besar dari hasil reaksi
spesies seperti •OH
Peroksil radikal ROO• S
Reaktif, dihasilkan dari oksidasi
lipid, protein, DNA, gula, dan
lainnya.
Organik
hidroperoksida ROOH Stabil
Bereaksi sementara dengan ion
logam menghasilkan spesies
reaktif.
Oksigen singlet 1O2 10
-6 s
Sangat reaktif, dihasilkan dari
reaksi kimia dan fotosensitisasi.
Ozon O3 S
Sebagai polutan atmosfer, dapat
bereaksi dengan berbagai molekul,
dapat menghasilkan 1O2
Reactive Nitrogen Species (RNS)
Nitrit oksida NO• S
Neotransmiter, regulator tekanan
darah, menghasilkan oksidan poten
selama kondisi patologi tertentu.
Peroksinitrit ONOO- 10
-3 s
Dibentuk dari NO dan superoksida,
sangat reaktif.
Asam
peroksinitrit ONOOH Stabil Bentuk terprotonasi dari ONOO
-
Nitrogen
dioksida NO2 S Dihasilkan dari polusi atmosfer.
17
Radikal bebas utamanya merupakan Reactive Oxygen Species (ROS) dan
Reactive Nitrogen Species (RNS) yang dihasilkan di dalam tubuh melalui sistem
endogen, dan dipaparkan pada kondisi patofisiologi tertentu. Radikal bebas
mudah menyerang lipid, protein, dan DNA yang dapat menyebabkan berbagai
macam penyakit serta memiliki peran dalam proses penuaan.
Inisiasi RH R• + H
•
Propagasi R• + O2 ROO
•
ROO• + RH ROOH + R•
Terminasi ROO• + ROO
• ROOR + O2
ROO• + R
• ROOR
R• + R
• RR
Gambar 3. Mekanisme interaksi radikal bebas dengan lipid (Yanishlieva, 2001)
Lipid mudah diserang oleh radikal bebas yang menyebabkan terjadinya
peroksidasi lipid. Radikal bebas yang menyerang protein mengakibatkan protein
kehilangan aktivitas enzimnya. Kerusakan yang diakibatkan radikal bebas pada
DNA yaitu terjadinya mutagenesis dan karsinogenesis. Radikal bebas juga
menginduksi oksidasi yang tidak diinginkan seperti menyebabkan kerusakan
membran, modifikasi protein, kerusakan DNA, kematian sel yang diinduksi
fragmentasi DNA, dan peroksidasi lipid. Stres oksidatif ini terutama yang terkait
ROS, juga terlibat dalam penuaan kulit, atherosklerosis, katarak, ganguan kognitif,
kanker, diabetes retinopati, penyakit kritis seperti sepsis dan adult/acute
respiratory distress syndrome, syok, inflamasi kronis dari saluran gastrointesitnal,
18
disfungsi organ, produksi nitrit oksida oleh endotelium vaskular,
ischaemia/reperfusion injury, serta pelepasan ion Fe2+
dan Cu2+
dari
metalloprotein (Devasagayam, 2004).
Pada dasarnya ROS tetap dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang kecil
untuk fungsi fisiologis yang normal. Radikal bebas diregulasi untuk menjaga
homeostasis tingkat seluler pada jaringan sehat yang normal dan memiliki peran
penting dalam komunikasi molekul (Devasagayam, 2004). Menurut Kunwar
(2011), ROS dalam jumlah kecil dibutuhkan dalam ekspresi gen, pertumbuhan sel,
dan pertahanan terhadap infeksi. Terkadang, ROS juga dapat menstimulasi reaksi
biokimia tanpa sel. Untuk ekspresi gen dan pertumbuhan sel, ROS menyebabkan
terjadinya oksidasi secara reversibel pada bagian aktif dari faktor transkripsi
seperti nuclear factor-kappa B (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1). ROS juga
dapat menyebabkan induksi secara tidak langsung pada faktor transkripsi dengan
mengaktifkan jalur transduksi sinyal. Salah satu contoh molekul transduksi sinyal
yang diaktifkan oleh ROS adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs).
5. Oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL)
LDL darah merupakan suatu lipoprotein (gambar 4). Menurut Bishop dkk.
(1983) lipoprotein plasma merupakan molekul yang terdiri atas lipid dan protein
yang terikat secara kovalen, dengan adanya kompleks lipid (trigliserid, kolesterol,
dan fosfolipid) dan satu atau lebih protein spesifik yang disebut dengan
apolipoprotein. Berdasarkan densitasnya, lipoprotein plasma secara umum dapat
dikategorikan menjadi 5 kelas yaitu kilomikron, very low density lipoproteins
19
(VLDL), intermediate density lipoprotein (IDL), low density lipoprotein (LDL),
dan high density lipoproteins (HDL).
Gambar 4. Struktur Lipoprotein (Bishop, et al., 2013)
VLDL adalah partikel yang mengangkut trigliserida dan kolesterol dari
hati untuk didistribusikan ke berbagai jaringan. Dalam kompartemen plasma,
lipoprotein lipase menghidrolisis trigliserida dari VLDL menjadi asam lemak
bebas yang menghasilkan IDL dan LDL. IDL adalah lipoprotein antara yang
terbentuk pada saat konversi VLDL menjadi LDL. Lipoprotein ini hanya terdapat
untuk sementara dan tidak dapat dideteksi pada plasma normal. Kelas lipoprotein
yang lebih kecil dan sebagian besar terdiri dari kolesterol adalah HDL dan LDL.
LDL dibentuk dari VLDL dan IDL, berfungsi untuk membawa kolesterol ke sel,
sedangkan HDL berfungsi membawa kolesterol dari sel ke hati. Jalur metabolisme
LDL dapat dilihat pada gambar 5.
Oksidasi LDL merupakan salah satu faktor penyebab penyakit
atherosklerosis. Oksidasi LDL termasuk ke dalam proses peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid merupakan perusakan pengaturan membran lipid bilayer yang
menyebabkan terinaktivasinya reseptor pada membran dan enzim serta
20
meningkatkan permeabilitas jaringan. Peroksidasi lipid disebabkan oleh adanya
radikal bebas seperti Reactive Oxygen Species (ROS). Produk dari peroksidasi
lipid seperti MDA dan aldehida tidak jenuh, mampu menginaktivasi banyak
protein seluler dengan pembentukan protein cross-linkages. Isoprostan dan MDA
yang juga merupakan hasil peroksidasi lipid, digunakan sebagai biomarker tidak
langsung dari stres oksidatif (Esra dkk., 2012).
Gambar 5. Jalur Metabolisme Lipoprotein (Bishop, et al., 2013)
Menurut Esterbauer dkk. (1991), terdapat 3 fase terjadinya oksidasi LDL
yaitu fase lag time, fase propagasi, dan fase dekomposisi.
a. Lag time
LDL dilindungi oleh antioksidan alami lipofilik yang terdapat di dalam
tubuh seperti α-tokoferol dan β-karoten.
b. Fase propagasi
Ketika antioksidan dalam tubuh telah habis, proses peroksidasi lipid akan
berlangsung sangat cepat. Puncak peroksidasi lipid terjadi ketika LDL telah
21
teroksidasi mencapai 70-80%. Fase ini ditandai dengan peningkatan diena
terkonjugasi dan hidroperoksida.
c. Fase dekomposisi
Fase ini terjadi ketika semua LDL telah teroksidasi dan ditandai oleh
produksi aldehid seperti malondialdehid.
Dalam mengetahui kerentanan LDL terhadap oksidasi secara in vitro
digunakan suatu induser untuk mengoksidasi LDL. Induser yang umum
digunakan adalah copper. Tetapi mekanisme copper dalam mengoksidasi LDL
belum diketahui secara pasti.
Menurut Esterbauer dkk. (1991), mekanisme Cu2+
dalam mengoksidasi
LDL dengan terikat pada apo B dan membentuk suatu tempat untuk produksi
radikal bebas. Sumber lain dari Seccia dkk. (1997) menyatakan terbentuknya
prooksidan akibat terikatnya ion Cu2+
pada bagian yang berlainan dari apo B100
yang membentuk kompleks apo B100-Cu2+
.
6. Thiobarbituric Reactive Substances (TBARS)
Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS) merupakan salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan. Metode ini
mengukur tingkat peroksidasi lipid dari suatu bahan. Metode ini merupakan
metode yang sederhana dan umum digunakan untuk mengukur kemampuan
antioksidan dari suatu bahan dalam menghambat peroksidasi lipid (Lykkesfeldt,
2007).
22
TBARS adalah metode kolorimetri yang secara luas digunakan untuk
mendeteksi peroksidasi lipid dalam spesimen biologi. Pada metode ini, MDA
terbentuk dari hasil peroksidasi lipid dan akan bereaksi dengan TBA pada suhu
tinggi (90-100°C) pada suasana asam. MDA tersebut merupakan hasil
dekomposisi dari polyunsaturated fatty acid lipid peroxides. Prinsip metode
TBARS adalah mengukur tingkat peroksidasi lipid berdasarkan reaksi antara
MDA dengan TBA pada suhu tinggi dan dalam kondisi asam. Reaksi antara MDA
dengan TBA menghasilkan larutan berwarna merah muda, yang merupakan
produk dari reaksi 2 mol TBA dengan 1 mol MDA. Kompleks warna yang
terbentuk dapat diukur absorbansinya dengan spektrofluorimeter atau
spektrofotometer pada panjang gelombang 532 nm (Jetawattana, 2005).
Gambar 6. Reaksi TBA-MDA (Jetawattana, 2005)
Hasil yang diperoleh dari uji dengan metode TBARS dinyatakan ekuivalen
malonaldehyde (MDA). Kadar MDA yang diperoleh hasilnya dinyatakan dalam
nmol MDA/mg bahan. Sedangkan aktivitas penghambatan oksidasi LDL dengan
metode TBARS dinyatakan dalam % inhibisi (Jantan dkk., 2012 ; Jetawattana,
2005).
23
7. Malondialdehyde (MDA)
Malondialdehid (MDA) memiliki rumus molekul C7H16O4 dan berat
molekul 164,2. MDA memiliki titik didih 183°C dan titik beku 180°C. Sebagian
besar MDA pada plasma manusia terikat pada protein, hal ini menjelaskan kadar
MDA yang sangat rendah di plasma yang diukur pada kondisi uji standar (Lefevre
dkk., 1996).
Gambar 7. Pembentukan dan Metabolisme MDA, (1) siklooksigenase, (2) prostasiklin
hidroperoksidase, (3) tromboksan sintase, (4) aldehid dehidrogenase, (5) dekarboksilase, (6)
asetil CoA sintase, (7) asam trikarboksilat siklik (Ayala dkk., 2014)
24
MDA merupakan hasil peroksidasi lipid yang memiliki tiga karbon
dialdehid dengan reaktivitas tinggi, yang merupakan hasil peroksidasi
polyunsaturated fatty acid (PUFA) (Janero, 1990). Dalam metabolisme asam
arakhidonat, MDA juga digunakan untuk sintesis prostaglandin (Marnette, 1999).
MDA sering digunakan sebagai indikator dari peroksidasi lipid (Jetawattana,
2005).
Di dalam tubuh, MDA dihasilkan melalui proses enzimatik dan
nonenzimatik (gambar 7). MDA dihasilkan dari dekomposisi asam arakhidonat
dan PUFA melalui proses enzimatik dari biosintesis tromboksan A2 (TXA2) dan
12-l-hydroxy-5,8,10-heptadecatrienoic acid (HHT). Secara nonenzimatik, MDA
diproduksi sebagai hasil dari proses peroksidasi lipid akibat radikal bebas. Radikal
bebas mengoksidasi PUFA melalui serangkaian proses hingga terbentuk MDA.
MDA selanjutnya akan termetabolisme secara enzimatis seperti yang tertera pada
gambar 7 (Ayala dkk., 2014).
F. Landasan Teori
Oksidasi LDL diduga merupakan proses awal pada atherosklerosis dan
LDL teroksidasi berkontribusi pada proses atherogenesis. LDL dapat teroksidasi
akibat transisi dari logam ion, hemin, dan katalis lainnyayang dapat memicu
datangnya monosit ke dinding arteri yang kemudian bertransformasi menjadi
makrofag. Makrofag merupakan prekursor dari sel busa, di mana pembentukan sel
busa tersebut menyebabkan proses pembentukan plak atherosklerosis. Hipotesis
ini didukung oleh data lain yaitu LDL teroksidasi mempengaruhi pembentukan sel
25
busa secara in vitro, LDL teroksidasi dietemukan ada secara in vivo, LDL
teroksidasi memiliki potensi proatherogenik seperti menstimulasi sel endotelial
dan monosit untuk meningkatkan sitokin inflamasi, khemokin, dan molekul
adhesi, menstimulasi monosit atau makrofag untuk meningkatkan faktor jaringan,
matriks metaloproteinase, dan scavenger receptor, berperan dalam pembentukan
sel busa dari makrofag, dan perkembangan plak atherosklerosis (Yoshida &
Kisugi, 2010).
Oksidasi LDL dapat dihambat oleh senyawa antioksidan. Senyawa
golongan fenolik dan flavonoid dikenal mempunyai aktivitas antioksidan.
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang memiliki aktivitas
antioksidan dan pengkhelat yang signifikan (Heim dkk., 2002). Senyawa
antioksidan akan berperan sebagai pengkhelat dan pendonor atom hidrogen bagi
radikal bebas sehingga menjadi lebih stabil. Dengan demikian proses oksidasi
LDL dapat dihambat. Daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) diketahui
mengandung senyawa tanin, flavonoid, fenolik, glikosida, saponin, steroid,
terpenoid, dan antrakinon (Siddesha, 2011). Karena mengandung senyawa fenolik
dan flavonoid, daun sukun dapat digunakan sebagai antioksidan alami.
Berdasarkan penelitian Azzahra (2015) dan SY (2015) yang melakukan uji
aktivitas antioksidan menggunakan metode FRAP dan DPPH, ekstrak etil asetat
daun sukun memiliki aktivitas antioksidan paling baik diikuti ekstrak etanolik dan
air daun sukun. Kadar fenolik total pada ekstrak daun sukun berkorelasi positif
dengan aktivitas antioksidan, di mana semakin tinggi kadar fenolik totalnya,
semakin tinggi pula aktivitas antioksidannya. Namun kadar flavonoid total pada
26
ekstrak daun sukun memiliki korelasi negatif dengan aktivitas antioksidannya.
Aktivitas antioksidan pada ekstrak etil asetat daun sukun paling tinggi meskipun
kadar flavonoid totalnya paling rendah. Hal ini dikarenakan adanya flavonoid
relatif nonpolar seperti flavonoid terprenilasi dan tergeranilasi yang memiliki
aktivitas antioksidan lebih poten dibandingkan flavonoid relatif polar seperti
flavonoid glikosida (Syah dkk., 2006; Lan dkk., 2013) . Oleh karena itu, perlu
dilakukan uji penghambatan oksidasi LDL dari ekstrak daun sukun untuk
mengetahui potensi antioksidan daun sukun dalam menghambat oksidasi LDL
secara empiris dan ekstrak daun sukun mana yang memiliki aktivitas antioksidan
paling baik.
G. Hipotesis
1. Ekstrak etanolik, etil asetat, dan air daun sukun memiliki aktivitas
penghambatan oksidasi LDL.
2. Ekstrak etil asetat daun sukun memiliki aktivitas penghambatan oksidasi
LDL yang paling tinggi diikuti ekstrak etanolik dan air daun sukun.
top related