analisis yuridis mengenai penyalahgunaan posisi dominan
Post on 22-Oct-2021
10 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Analisis Yuridis mengenai Penyalahgunaan Posisi Dominan
melalui Kepemilikan Saham
Dimas Eko Fabriyanto, Teddy Anggoro
Program Kekhususan Hukum Tentang Kegiatan Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Abstrak
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat bertujuan untuk melindungi pasar agar tetap
tercipta persaingan usaha yang efektif, wajar, dan efisien. Undang-Undang ini
dapat ditegakkan kepada setiap pelaku usaha. Lingkup dari definisi pelaku usaha
dipertanyakan ketika terdapat pelaku usaha asing yang karena aktivitas
investasinya di Indonesia dipertanyakan. Berlakunya Undang-Undang kemudian
didasarkan pada adanya suatu kendali yang dilakukan oleh induk perusahaan
terhadap anak perusahaan. Kendali tersebut dapat diketahui dengan menerapkan
suatu doktrin yakni doktrin entitas ekonomi tunggal atau yang lebih dikenal
dengan single economic entity doctrine. Metode penelitian adalah metode
kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan dari definisi “pelaku
usaha” dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat dijembatani oleh
doktrin single economic entity yang menjadi dasar berlakunya penerapan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 atas kelompok usaha Temasek.
Kata kunci: persaingan, pelaku usaha, single economic entity, penerapan pasal
Abstract
Law of the Republic Indonesia Number 5 year 1999 concerning Prohibition of
Monopolistic Practices and Unfair Business aims to protect markets in order to
establish efficient, effective, and fair business competitions. This law can be
enforced to every businessman. The scope of businessman definition is under a
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
question if there are foreign businessmen whose invesment activities are called
into question. The enactment of the law is based on a control done by holding
companies to their subsidiaries. The control can be recognized by applying single
economic entity doctrine. The method of research utilized in this research is
literature method. The result of the research shows that the scope of
‘businessman’ definiton in the Law Number 5 year 1999 can be associated with
the single economic entity doctrine which is the basis of the Article 27 of Law
number 5 year 1999 application for Temasek Group.
Keyword: competition,corporation, single economic entity, applicatin of article
I. PENDAHULUAN
Iklim persaingan usaha yang sehat akan berdampak positif bagi pelaku
usaha yang saling bersaing atau berkompetisi karena akan memunculkan upaya-
upaya untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk yang
dihasilkan.1 Namun akibat dari proses ekonomi pasar bisa menimbulkan beban
kesulitan bagi masyarakat jika terjadi ekonomi pasar yang dilakukan demikian
bebas yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Ekonomi pasar yang bebas
menimbulkan kecenderungan perusahaan/kelompok perusahaan berusaha
memperoleh kekuatan ekonomi yang berlebihan, memperbesar skala usaha untuk
mencari keuntungan yang yang besar, melakukan konspirasi menentukan harga,
membatasi produksi dan mengeksploitasi tenaga kerja. Semuanya itu akan
merugikan masyarakat. Oleh karena itu Negara mempunyai peranan untuk
menghindarkan hal tersebut. Hakikat yang diharapakan dari adanya persaingan
yang dilakukan oleh perusahaan dalam usahanya ialah berusaha untuk berproduksi
dengan lebih efisien, sehingga sering dikatakan bahwa persaingan identik dengan
efisensi. Di dalam negara yang menjalankan ekonomi pasar akan berusaha agar
kondisi persaingan antara perusahaan di dalam negara itu bisa terpelihara dan
berjalan dengan baik. Untuk itu umumnya dikendalikan melalui kebijakan
persaingan yang bisa memberikan suasana yang kondusif untuk persaingan.2
1 Abdul R.Saliman, Ahmad Jalis, Hermansyah, Essensi Bisnis Indonesia: Teori dan
Contoh Kasus, Jakarta, Kencana, 2004, hal: 170 2 Legowo, Op.Cit, hal 6
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Iklim persaingan yang sehat merupakan suatu condition sine qua non bagi
terselenggaranya ekonomi pasar. Karena itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 merupakan suatu kebutuhan dan menduduki posisi kunci dalam
perekonomian yang menggunakan sistem ekonomi pasar. UU ini akan
memberikan aturan main yang jelas kepada pelaku dunia usaha dalam
melaksanakan aktivitas bisnis mereka.3
Dari penjabaran sebelumnya dapat kita lihat bahwa dalam ekonomi pasar
yang bebas para pelaku usaha akan berusaha untuk dapat menguasai pasar. Hal ini
dilakukan dengan berbagai cara seperti: meningkatkan efisiensi perusahaan,
produktivitas, dan kualitas produk yang dihasilkan. Dalam struktur pasar yang
kompetitif, penguasaan pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha akan
menempatkan mereka pada posisi dominan atau memiliki market power yang
berarti bahwa pelaku usaha tersebut menguasai lebih dari 50 % pangsa pasar
untuk suatu jenis produksi tertentu di suatu wilayah tertentu.
Ketentuan-ketentuan mengenai posisi dominan dalam hukum persaingan
dimaksudkan untuk mencegah penguasaan kekuatan pasar secara berlebihan. Hal
ini disebabkan karena pada umumnya lebih sederhana dan efektif mencegah
penguasaan kekuatan pasar daripada mengawasi penyalahgunaannya setelah
kekuatan pasar tersebut diambil. Oleh karena itu, pengaturan masalah posisi
dominan dalam hukum persaingan di Indonesia bersifat rule of reason, dalam
artian secara umum bahwa posisi dominan memang diperbolehkan asal jangan
sampai menimbulkan monopoli.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagai produk dari hukum
persaingan yang telah berlaku hampir lebih dari tujuh tahun di Indonesia dapat
dikatakan sebagai suatu hal yang baru terutama dalam mengatur persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah praktek-praktek perdagangan dengan
harapan berbagai masalah praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak
sehat di Indonesia dapat diselesaikan. Dalam Undang Undang No.5 Tahun 1999
mengenai posisi dominan terdapat dalam BAB V yang terdiri dari pasal 25 sampai
dengan pasal 29.
3 Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM & Benny K. Harman, SH, MH., Analisa dan
Perbandingan Undang-undang Anti Monopoli, (Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 1999), hal.2.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Proses pembelajaran hukum persaingan usaha di Indonesia mengalami
perkembangan secara terus menerus, khususnya dalam penegakkan hukum
persaingan usaha itu sendiri. Hukum persaingan usaha di Indonesia banyak
menganut prinsip-prinsip yang digunakan dalam hukum persaingan usaha yang
dianut oleh negara-negara lain yang telah lebih dahulu menerapkan hukum
persaingan usaha, salah satu prinsip yang digunakan tersebut adalah doktrin single
economic entity.
Putusan KPPU Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007 tentang kasus
kepemilikan silang oleh kelompok usaha Temasek merupakan preseden baru bagi
penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. KPPU untuk pertama kalinya
secara eksplisit4 mengaplikasikan doktrin single economic entity. KPPU dalam
putusannya mengadopsi doktrin tersebut untuk menjerat pelaku usaha asing yang
berada diluar yurisdiksi Indonesia. Dengan diterapkannya doktrin single economic
entity maka terdapat perluasan subjek dari hukum persaingan usaha, keberadaan
suatu pelaku usaha tidak harus secara faktual didirikan dan berkedudukan di
Indonesia. Pelaku usaha yang tidak secara langsung melakukan kegiatan usaha di
Indonesia, sepanjang pelaku usaha tersebut memiliki hubungan dengan
perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia, dapat
dikategorikan sebagai subjek hukum persaingan usaha di Indonesia.5
Implikasi dari penerapan doktrin single economic entity dalam hukum
persaingan usaha selain memperluas subjek dari pelaku usaha tetapi juga
memperluas jangkuan standar pertanggungjawaban pemegang saham.6 Didalam
ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
pemegang saham memiliki tanggung jawab terbatas atas saham yang dimilikinya,
kecuali jika terbukti pemegang saham yang bersangkutan melakukan tindakan
4 Kasus Temasek merupakan kasus pertama dimana KPPU dalam putusannya secara
nyata menerapkan dan mengelaborasi mengenai penerapan doktrin single economic entity. 5 Hubungan tersebut dapat meliputi hubungan afiliasi, hubungan anak dan induk
perusahaan, hubungan keagenan, dan joint venture sepanjang telah memenuhi criteria untuk dapat dikategorikan sebagai suatu single economic entity.
6 Fachri Mohamad dan Wimbanu Widyatmoko (HHP), “The Emerging Single Economic Entity Doctrine in Indonesia”, <http//www.asia-law.com>, diakses pada tanggal 1 Februari 2013.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
diluar kewenangannya dan mengakibatkan kerugian perusahaan.7 Namun, dengan
doktrin single economic entity pemegang saham dapat bertanggung jawab atas
perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan jika berdampak terhadap
persaingan usaha tanpa perlu diterapkannya doktrin piercing corporate veil di
bawah rezime hukum persaingan usaha.
Mengingat bahwa doktrin single economic entity merupakan hal yang baru
dikenal di Indonesia, maka penerapan doktrin tersebut dalam kasus kelompok
usaha Temasek menimbulkan kontroversi. Banyak pihak mempertanyakan
keabsahan penerapan doktrin tersebut, bahkan dalam sebuah tulisan elektronik
disebutkan bahwa KPPU telah salah dalam menerapkan “doktrin antah berantah”
yang disebut doktrin single economic entity.8 Sanggahan juga dikemukakan oleh
Benny Pasaribu, yang merupakan anggota tim pemeriksa, dalam pandangannya ia
menyimpulkan bahwa Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
didefinisikan sebagai “business actor”, sehingga penggunaan “business group”
dan “ultimate parent” tidak dikenal. Saksi ahli tergugat Prof. Hikmahanto Juwana
juga mengatakan bahwa penerapan doktrin single economic entity tidak dikenal
dalam hukum persaingan usaha Indonesia. Ia juga menambahkan bahwa, apabila
prinsip doktrin single economic entity yang ingin digunaka untuk melihat aspek
pengendalian dari induk perusahaan terhadap anak perusahaan, maka syarat-syarat
yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:9
1) Terdapat manajemen bersama antara induk dan anak perusahaan;
2) Rencana induk perusahaan juga meliputi kegiatan ekonomi dari anak-
anak perusahaannya; dan
3) Anak-anak perusahaan tidak diperkenankan membantah tindakan
manejemen perusahaan yang telah ditetapkan tersebut.
7 Piercing Corporate Veil adalah doktrin yang digunakan untuk membuktikan apakah
pemegang saham harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita perusahaan akibat perbuatan yang dilakukan oleh pemegang saham. Doktrin ini berlaku di bawaj rezime hukum perseroan terbatas Indonesia.
8 A. Junaidi, “Menguji Kebenaran Hukum Persaingan dan KPPU”, <http:www.hukumonline.com>, diakses pada tanggal 1 Februari 2013.
9 Putusan Perkara kasus Temasek Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007, hal. 156-157.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Pakar hukum persaingan usaha dari luar negeri pun memberikan
pendapatnya atas penerapan doktrin single economic entity di Indonesia. Ia adalah
Montag, seorang praktisi hukum yang berasal dari salah satu lawfirm terbesar di
dunia yang berkedudukan di Brusel, mengatakan bahwa agar induk perusahaan
dan anak perusahaan dianggap sebagai suatu single economic entity, maka harus
terlihat jelas bahwa anak perusahaan tidak memiliki kebebasan bertindak maupun
kebebasan ekonomi secara mutlak.10
Doktrin single economic entity ,memiliki peran yang penting dalam
menentukan bersalah atau tidaknya pelaku usaha yang secara bersama-sama telah
melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum persaingan usaha yang
berupa merger, penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang dilarang, dan
praktek diskriminasi. Namun terdapat kegiatan anti-persaingan usaha yang tidak
dapat diterapkan oleh doktrin ini.
Dengan disahkannya Sherman Act oleh Kongres Amerika Serikat pada
tahun 1890, yang merupakan peristiwa penting bagi perkembangan hukum
persaingan usaha di Amerika Serikat, maka peradilan terhadap pelaku usaha serta
pihak yang terkait lainnya harus mulai mempertimbangkan kegiatan konspirasi
seperti apa yang dapat menghambat perdagangan. Sejak tahun 1940-an,
pengadilan mulai menganalisis karakteristik konspirasi dengan cara memperluas
status dari “single entity” kepada bentuk tertentu dari sebuah perjanjian bisnis.
Adanya perluasan dari “single entity”, dimana anak dan induk perusahaan;
perusahaan yang terafiliasi; perusahaan dengan divisinya; serta perusahaan
dengan para pegawainya yang kesemuanya merupakan satu entitas tunggal yang
terpisah satu sama lain. Sehingga pada periode ini muncul dan berkembang teori
intra-enterprise conspiracy.11 Pada tahun 1980-an muncul doktrin single
economic entity yang menggantikan keberadaan dari teori intra-enterprise
10 Ibid. 11 Teori intra-enteprise conspiracy adalah teori yang menyatakan bahwa kegiatan
bersama yang dilakukan oleh sebuah perusahaan dengan induknya atau dengan anak perusahaannya, dua perusahaan yang terafiliasi, kerjasama antara perusahaan dengan divisi, perusahaan dengan pegawainya atau kegiatan antara perusahaan dengan agen yang melakukan kegiatan conspiracy sebagaimana disebutkan dalam Sherman Act section I dapat dikenakan sanksi menurut peraturan tersebut. Lihat kasus United States V. Yellow Cab Co, Kiefer Stewart Co v. Joseph E. Seagram & Sons, Inc. Debra J. Pearlstein, et.all, Antitrust Law Development, 5th ed, (American Bar Association, 2002), hal.25.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
conspiracy. Adanya dampak penting dari penerapan doktrin single economic
entity terutama terkait dengan pertanggungjawaban para pelaku usaha serta
terdapat perbedaan yang mendasar dari penerapan doktrin single economic entity
antara Indonesia dan Amerika Serikat, sebagai negara asal munculnya doktrin ini.
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, pokok-pokok permasalahan
yang akan dibahas oleh penulis adalah:
1. Bentuk-bentuk kepemilikan saham apa sajakah yang diperbolehkan
menurut hukum persaingan usaha di Indonesia?
2. Bagaimana pembuktian yang dilakukan oleh KPPU dalam menentukan
penyalahgunaan posisi dominan melalui kepemilikan saham dalam Perkara
Nomor 07/KPPU-L/2007 dan Perkara Nomor 05/KPPU-L/2002.
Dengan memiliki permasalahan-permasalahan yang akan dipecahkan,
tujuan penelitian ini menjadi jelas, yaitu untuk mengetahui perihal pengaturan
mengenai penyalahgunaan posisi dominan melalui kepemilikan saham dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan mengetahui bagaimana
penerapan prinsip doktrin single economic entity di Indonesia.
II. Berbagai Bentuk Penyalahgunaan Posisi Dominan Melalui Kepemilikan
Saham
Kepemilikan terhadap saham yang dapat mengakibatkan terjadinya kepemilikan
silang (cross ownership) diperoleh melalui:12
a. Investasi Langsung, merupakan bentuk investasi dengan cara
membangun, membeli secara total, atau mengakusisi perusahaan.
b. Investasi Portofolio, merupakan investasi melalui kegiatan pasar modal
dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi.
c. Aksi Korporasi, yaitu berupa Intial Public Offering (IPO), Right Issue,
Stock Split, Pembagian Saham Bonus, Pembagian Deviden berupa
Deviden Saham, Additional Listing, Penawaran Tender, Divestasi,
12 Salim H.S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2008), hal.38
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Pengambilalihan Perusahaan Terbuka, serta Transaksi material yaitu
setiap pembelian saham termasuk dalam rangka pengambilalihan,
penjualan saham, penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau
kegiatan usaha tertentu.13
Cara-cara sebagaimana telah dijelaskan diatas merupakan cara yang dapat
ditempuh oleh pelaku usaha untuk memperoleh kepemilikan saham atas suatu
perusahaan secara sah dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada di Indonesia. Kepemilikan terhadap saham dapat dikatakan
melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 apabila
kepemilikan saham tersebut telah melampaui batas-batas yang ditentukan dalam
butir a dan butir b Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni
kepemilikan pelaku usaha pada dua atau lebih perusahaan tersebut mengakibatkan
satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar
sebesar 50% atas suatu barang/jasa atau menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas
suatu barang/jasa.
III. Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan adalah bentuk penelitian yuridis
normative yang mengarahkan penelitian pada hukum positif dan norma tertulis.14
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yang akan menerangkan pengaturan
mengenai penyalahgunaan posisi dominan melalui kepemilikan saham. Menurut
ilmu yang dipergunakan, penelitian ini menggunakan tipe penelitian mono
disipliner dan ilmu yang digunakan dalam penelitian ini adalah ilmu hukum.
Untuk alat pengumpulan data, penelitian ini akan menggunakan studi dokumen
dan jika dianggap perlu maka untuk melengkapi serta mendukung data sekunder
akan dipergunakan wawancara dengan sumber-sumber yang dinilai memahami
beberapa konsep atau pemikiran terkait data dari studi dokumen tersebut. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran
13 Gunawan Widjaya, Hak Individual dan Kolektif Para Pemegang Saham, Cet. 1, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hal.14
14 Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia: Jakarta, 2005), hal. 10.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.15
Bahan penelitian yang sudah terkumpul akan dianalisis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang akan dikomparasikan dengan kenyataan
yang ada pada prakteknya, khususnya dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007
dan Perkara Nomor: 05/KPPU-L/2002.
IV. Analisa Penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada
Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007
1. Para Terlapor:
Temasek Holding Pte. Ltd. (Singapura), Singapore Technologies
Telemedia Pte. Ltd. (Singapura), STT Communications Ltd. (Singapura),
Asia Mobile Holding Pte. Ltd. (Singapura), Indonesia Communication
Limited (Mauritius), Indonesia Communication Pte. Ltd. (Singapura),
Singapore Telecom Mobile Pte. Ltd. (Singapura). PT. Telkomsel
(Indonesia), PT. Indosat (Indonesia).
2. Dugaan Pelanggaran: Pasal 27 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.
3. Kasus Posisi
Kelompok Temasek memiliki saham di dua perusahaan
telekomunikasi di Indonesia, yaitu: PT. Telkomsel dan PT. Indosat. Atas
tindakannya tersebut, Kelompok Temasek diduga melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 27 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999.
4. Analisa Kasus
Dalam putusan perkara ini, KPPU memutuskan bahwa Kelompok
Temasek terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran Pasal 27
huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Sebelum penulis menganalisis
mengenai penerapan unsur-unsur doktrin single economic entity pada kasus ini,
15 Ibid.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
maka akan terlebih dahulu perlu dibahas mengenai yurisdiksi KPPU untuk
menjerat pelaku usaha asing. Yurisdiksi KPPU dalam menangani kasus yang salah
satu pihaknya adalah pelaku usaha asing menjadi sangat pentinga karena
menyangkut kompetensi absolut dari KPPU. Apabila kompetensi absolut tidak
terpenuhi maka kasus yang diajukan ke KPPU tidak dapat diproses lebih lanjut.
Sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, KPPU berwenang untuk menerima laporan dari masyarakat aats dugaan
terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha, melakukan
penelitian, melakukan penyelidikan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha atas
dugaan pelanggaran persaingan usaha, menyimpulkan hasil penyelidikan atau
pemeriksaan, memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran dan
menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melanggar Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999.16 Dengan demikian yang menjadi objek
pemeriksaan KPPU adalah pelaku usaha yang diduga melanggar ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menganut prinsip wilayah
subyektif dan prinsip wilayah obyektif. Berdasarkan prinsip wilayah subyektif
yang termasuk pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 5 ditentukan berdasarkan tempat
kedudukan pelaku usaha dan dasar hukum yang digunakan pada saat berdirinya
pelaku usaha tersebut.17 Penerapan teori tempat pendirian dan tempat kedudukan
secara bersama dikenal dengan istilah kumulatif teori. Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap kelompok pelaku usaha apabila perusahaan
induk berada di Indonesia, karena permasalahan mengenai kapan badan usaha
dianggap berkedudukan di Indonesia ditentuka oleh pimpinan maka dari itu
wilayah tempat kedudukan pimpinan usahalah yang menentukan kedudukan dari
badan usaha tersebut.18 Penerapan kumulatif prinsip wilayah subyektif dapat
berakibat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak berlaku terhadap
badan usaha yang didirikan di Indonesia, namun berkedudukan di luar negeri.
16 Indonesia, Undang-Undang Tentang Anti Monopoli, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, LN Nomor 33, TLN Nomor 3817, Pasal 36 17 Knud Hansen dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: Katalis, 2002), hal.55
18 Ibid, hal.56
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Prinsip wilayah obyektif adalah menentukan pelaku usaha yang didasarkan
pada tempat kegiatan dari badan usaha yang bersangkutan. Prinsip wilayah
obyektif tidak dapat berdiri sendiri, bersifat hanya melengkapi prinsip wilayah
subyektif. Tempat kegiatan usaha yang dimaksud adalah tempat dimana badan
usaha melakukan kegiatan ekonomi berupa penawaran yang diminati konsumen
dengan tujuan mencari keuntungan. Apabila kegiatan usaha yang berupa tawar
menawar tersebut dilakukan di Indonesia maka badan usaha tersebut dapat
dikenakan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999.
Permasalahan akan menjadi semakin rumit apabila terdapat pelaku usaha
asing yang tidak memenuhi prinsip wilayah subyektif maupun obyektif tetapi
pelaku usaha asing ini sesungguhnya merupakan aktor utama dalam menentukan
kebijakan atas kegiatan perusahaan di negara tertentu maka akan menimbulkan
celah hukum bagi pelaku usaha asing untuk mengganggu iklim persaingan usaha
di Indonesia dengan tujuan untuk mencari keuntungan. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut maka digunakan doktrin single economic entity. Implikasi
dari penggunaan doktrin ini salah satunya adalah induk perusahaan dapat dikenai
pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan oleh anak perusahaan. Induk
dan anak perusahaan yang terafiliasi untuk dapat dikatakan sebagai suatu single
economic entity dapat dibuktikan melalui beberapa faktor, yaitu: adanya
pengendalian induk perusahaan terhadap anak perusahaan, tidak ada independensi
dari anak perusahaan, dan ketergantungan ekonomi anak perusahaan terhadap
induk perusahaan.
Dengan demikian permasalahan mengenai kewenangan KPPU untuk
menjerat pelaku usaha asing pada kasus Temasek telah dijembatani dengan
adanya doktrin single economic entity. Tanpa perlu terpenuhinya prinsip wilayah
subyektif ataupun obyektif pelaku usaha asing tetap dapat dikenakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan ketentuan bahwa pelaku usaha
asing tersebut merupakan single economic entity dengan perusahaan yang ada di
wilayah Indonesia, karena implikasi dari penerapan doktrin single economic entity
itu sendiri adalah pengenaan tanggug jawab terhadap induk perusahaan atas
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
kegiatan yang dilakukan oleh anak perusahaan yang mengakibatkan terjadinya
tindakan persaingan usaha tidak sehat.
Argumen yang dibangun oleh KPPU sebagai upaya untuk menjerat pelaku
usaha asing yang terlibat dalam kasus Temasek terlihat tidak konsisten. Dalam
argumennya KPPU menyatakan bahwa Temasek dan anak-anak perusahaannya
telah melakukan kegiatan usaha melalui penanaman saham pada Telkomsel dan
Indosat. Jika hal itu benar maka seharusnya KPPU memiliki yurisdiksi untuk
menjerat pelaku usaha asing tanpa perlu menggunakan doktrin single economic
entity. Pada saat yang sama KPPU mengajukan dua argument sekaligus untuk
menjerat pelaku usaha asing dengan dalih adanya prinsip wilayah obyektif dan
doktrin single economic entity.
Kepemilikan saham Temasek pada Telkomsel dan Indosat masing-masing
tidak lebih dari 50%, maka yang perlu dibuktikan adalah pengendalian induk
perusahaan atas anak perusahaan. Pembuktian mengenai adanya suatu
pengendalian ialah melalui beberapa indikator yang ditentukan oleh KPPU yaitu
aspek representasi manajemen, aspek mempengaruhi kebijakan, dan akses
terhadap informasi yang bersifat rahasia sebagaimana telah dijabarkan
sebelumnya.19
KPPU menyatakan aspek representasi manajemen dilihat dari hak yang
dimiliki oleh SingTel Mobile atas dua posisi direktur dan dua posisi komisaris
Telkomsel. KPPU mengganggap representasi manajemen SingTel Mobile
menunjukkan terdapat pengedalian dari SingTel Mobile atas kebijakan yang
diputuskan oleh direksi dan komisaris. Pada faktanya SingTel mobile bukan
merupakan pihak yang dominan pada Telkomsel yang hanya berhak atas 2 posisi
direktur dan 2 komisaris, padahal terdapat 6 posisi direksi dan 6 komisaris pada
Telkomsel. Hak mayoritas representasi manajemen yang sesungguhnya dimiliki
oleh Telkom sebagai pemegang saham seri A pada Indosat.20 Dengan kondisi
yang demikian sangat sulit untuk mengatakan bahwa SingTel memiliki kendali
atas kebijakan Telkomsel. SingTel tidak memiliki kekuasaan yang cukup dalam
19 Lihat Bag. III.1.3.1., mengenai yurisdiksi komisi, hal. 56 20 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit, hal. 42
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
menentukan kebijakan dengan representasi manajemen yang minoritas, jika terjadi
jalan buntu dalam pengambilan keputusan kebijakan perusahaan maka
kepentingan SingTel Mobile akan kalah karena Telkom memilki kemampuan
lebih besar untuk mengendalikan kebijakan perusahaan karena memiliki
mayoritas representasi manajemen. Jadi argumen KPPU menggunakan aspek
representasi manajemen untuk menentukan adanya pengendalian dari SingTel
Mobile merupakan argument yang lemah.
Sedangkan beradasarkan bukti yang diajukan oleh Temasek bahwa ICL
memiliki hak untuk menempatkan 4 dari 9 Direktur Indosat. Pemerintah Indonesia
memiliki saham seri A di Indosat yang membuatnya memiliki hak suara special
dan hak veto terhadap hal-hal tertentu berdasarkan anggaran dasar. Selain
memiliki saham seri A spesial, Pemerintah Indonesia juga memiliki hak untuk
menunjuk setidaknya satu orang direktur dan komisaris pada dewan pengurus
Indosat. Berdasarkan kebiasaan sampai dengan saat ini, Presiden Direktur Indosat
ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, dan pada saat ini 5 dari 9 direktur Indosat,
termasuk Presiden Direktur, merupakan wakil dari Pemerintah Indonesia.21
Dengan adanya hak veto dan hak suara special yang dimiliki oleh Pemerintah
Indonesia dapat dikatakan bahwa pengendali yang sesungguhnya dari Indosat
adalah Pemerintah Indonesia. Berdasarkan analisis tersebut maka aspek
pengendalian SingTel pada Telkomsel dan ICL pada Indosat tidak terbukti.
Dengan demikian maka dalih Temasek sebagai pengendali secara tidak langsung
pada kedua perusahaan tersebut juga gugur.
Faktor selanjutnya yang digunakan KPPU untuk menentukan ada tidaknya
doktrin single economic entity adalah kemampuan SingTel dan ICL dalam
mempengaruhi kebijakan di Telkomsel dan Indosat. Argumen yang dikemukakan
oleh KPPU untuk membuktikan unsur ini adalah bahwa kebijakan yang penting
bagi kedua perusahaan tersebut harus disetujui oleh ¾ pemegang saham, sehingga
pemegang saham yang memiliki lebih dari 25% saham dapat memveto keputusan
tersebut.22 Kepemilikan saham SingTel dan ICL pada Telkomsel dan Indosat lebih
21 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op cit, hal. 82 22 Ibid, bagian 4.2.5.10.1.1
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
dari 25% maka KPPU menganggap SingTel dan ICL memiliki kemampuan untuk
memperngaruhi kebijakan Telkomsel dan Indosat.
Dalam anggaran dasar Telkomsel dan Indosat tidak diperjanjikan bahwa
ICL dan SingTel Mobile memiliki hak veto atas kebijakan-kebijakan Telkomsel
dan Indosat. Dengan demikian ketentuan veto sesuai Undang-Undang Perseroan
Terbatas tidak berlaku dalam hal ini. Mekanisme pengambilan keputusan terhadap
kebijakan-kebijakan Telkomsel didasarkan pada suara terbanyak dan tidak
digunakannya hak veto dalam mekanisme tersebut. Dengam mekanisme
pengambilan keputusan yang seperti ini maka sebenarnya yang dapat
mempengaruhi kebijakan dalam pengambilan keputusan Telkomsel adalah
Telkom, karena Telkom memiliki 65% saham di Telkomsel.23
Hak veto diperjanjikan dalam anggaran dasar Indosat. Hak veto pada
Indosat dimiliki oleh Pemerintah Indonesia, bukan pada ICL. Adanya hak veto
tersebut mengakibatkan kebijakan-kebijakan perusahaan yang telah disetujui oleh
seluruh pemegang saham dapat dibatalkan oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
demikian kepemilikan saham mayoritas yang dimiliki oleh ICL tidak
menyebabkan ICL dapat secara serta merta menentukan kebijakan yang diambil
oleh perusahaan.
Dalil selanjutnya yang dikemukakan oleh KPPU adalah kemampuan
SingTel Mobile menentukan capital expenditure (capex). Capex merupakan
pengelolaan modal Telkomsel. Capex Telkomsel harus disetujui oleh Capex
Committee yang memiliki anggota sebanyak tiga orang. Capex Committee terdiri
dari 1 orang perwakilan yang dinominasikan oleh SingTel Mobile dan dua orang
perwakilan yang dinominasikan dari Telkom. KPPU menerangkan bahwa SingTel
yang merupakan induk perusahaan SingTel Mobile secara aktif membantu Capex
Committee melalui komisaris yang diajukan oleh SingTel Mobile dengan
menyediakan staf khusus.24 Menurut KPPU bahwa penentuan capex sangat
penting dalam pengembangan usaha Telkomsel karena terkait dengan kualitas dan
cakupan layanan yang diberikan. Adanya campur tangan SingTel dalam
23 Ibid, hal. 42 24 Ibid, bagian 4.2.5.10.2.1
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
membantu staf khusus melalui anggota Capex Committee yang
dinominasikannya, menurut penulis bukanlah suatu bentuk pengendalian terhadap
kebijakan perusahaan. Disetujui atau tidak rancangan capex yang diajukan tetap
ditentukan oleh Capex Committee. Proporsi Capex Committee terdiri dari satu
orang dinominasikan oleh SingTel Mobile dan dua orang dinominasikan oleh
Telkom.25 Sehingga pada saat pengambilan keputusan tidak dapat ditentukan oleh
SingTel Mobile secara sepihak, dengan proporsi yang demikian SingTel Mobile
tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menentukan keputusan apa yang akan
diambil oleh Capex Committee.
KPPU menyatakan dalam putusannya bahwa ICL memiliki pengaruh
terhadap kebijakan Indosat dalam hal metode pengadaan jaringan yang
dikendalikan oleh wakil direktur utama yang dinominasikan oleh ICL.26 KPPU
beranggapan bahwa metode dan pelaksanaan jaringan merupakan kebijakan
Indosat yang sangat penting terkait efisiensi biaya dan pengembangan usaha dan
cakupan layanan Indosat. Akan tetapi, walaupun benar terdapat perwakilan dari
ICL yang menduduki posisi sebagai direktur utama memegang kendali terhadap
penentuan metode dan pelaksaan jaringan argument tersebut tidak cukup untuk
mengatakan bahwa ICL memiliki kendali atas kebijakan perusahaan karena masih
terdapat banyak kebijakan penting lainnya yang tidak dikendalikan oleh wakil
direktur utama. Dengan demikian kemampuan ICL untuk mempengaruhi
kebijakan dalam metode dan pengadaan jaringan tidak menunjukkan bahwa ICL
memiliki kendali atas kebijakan Indosat secara keseluruhan. Menurut praktek
yang berlaku di Eropa, untuk dapat dikatakan sebagai pengendali harus mampu
menentukan seluruh kebijakan penting bagi perusahaan tidak hanya mencakup
satu aspek saja.27
Faktor ketiga yang menentukan adanya penerapan doktrin single economic
entity adalah akses terhadap informasi yang bersifat rahasia. KPPU berpendapat
bahwa penentuan capex pada Telkomsel dan penentuan metode pengadaan
25 Ibid, hal. 43 26 Ibid, hal. 52 27 Lihat kasus Viho dimana Pen Parker mengatur seluruh kebijakan berupa pembagian
wilayah perdagangan, harga jual serta kebijakan penting lainnya bagi anak perusahaan yang ada di Jerman, Belgia, Belanda, dan Perancis.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
jaringan pada Indosat merupakan informasi yang sangat penting. Menurut penulis,
akses informasi yang didapatkan pemegang saham merupakan suatu indikator
dalam menentukan adanya pengendalian. Pemilik saham yang memiliki akses
informasi atas suatu kebijakan yang diambil oleh perusahaan adalah suatu hal
yang wajar karena pemilik saham memliki kepentingan pada perusahaan yang
bersangkutan. Informasi atas capex pada Telkomsel tidak hanya diketahui oleh
SingTel Mobile saja, akan tetapi diketahui juga oleh Telkom dalam Capex
Committee yang menentukan persetujuan atas rencana capex terdapat juga
perwakilan dari pihak Telkom.28 Informasi terhadap metode dan pengadaan
jaringan walaupun dikendalikan oleh wakil direktur Indosat, informasi tersebut
juga akan diberitahukan kepada direksi dan komisaris. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa Pemerintah Indonesia juga mengetahui informasi tersebut.
Berdasarkan analisa dan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa Temasek
dan anak perusahaannya tidak memenuhi unsur-unsur untuk dapat dikategorikan
sebagai suatu kesatuan entitas ekonomi. Dengan tidak terdapatnya pengendalian
yang dilakukan oleh Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat melalui anak-anak
perusahaannya, maka ketentuan penerapan Pasal 27 menjadi tidak tepat dalam
perkara Nomor 07/KPPU-L/2007.
Pengendalian Temasek terhadap anak-anak perusahaannya merupakan apa
yang dimaksud unsur “saham mayoritas” yang terdapat didalam ketentuan Pasal
27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.29 Dengan tidak terbuktinya salah satu
unsur Pasal 27 yakni unsur “memilki saham mayoritas” yang merupakan suatu
bentuk pengendalian dari pelaku usaha, penulis beranggapan bahwa argumen
yang dikemukakan oleh KPPU untuk membuktikan bahwa Temasek dan anak
perusahaannya merupakan suatu single economic entity tidak cukup kuat dan
indikator yang digunakan oleh KPPU untuk menentukan bahwa Temasek sebagai
pengendali Telkomsel dan Indosat sangat lemah sehingga penerapan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007
menjadi tidak tepat.
28 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit, hal. 43 29 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perkom) No. 7 Tahun 2011, hal. 7
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
V. Analisa Penerapan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
pada Perkara Nomor: 05/KPPU-L/2002
1. Para Terlapor:
a. PT. Camila Internusa Film (PT. CIF), sebagai Terlapor I, menjalankan
kegiatan usaha industry pembuatan film, pembangunan bioskop,
laboratorium processing film, penyewaan film jadi, alat-alat keperluan
film, penyediaan dan pendistribusian film, ekspor impor film,
mengadakan pertunjukan film di dalam gedung bioskop atau tempat
pertunjukan lainnya;30
b. PT Satrya Perkasa Esthetika Film (PT. SPEF), sebagai Terlapor II,
menjalankan kegiatan usaha industri pembuatan film, laboratorium
processing film dan sarana penunjangnya, penyewaan film, penyediaan
dan pendistribusian film, ekspor-impor film, mengadakan pertunjukan
film di dalam gedung bioskop atau tempat pertunjukan lainnya;31
c. PT. Nusa Sejahtera Raya (PT. NSR), sebagai Terlapor III, yang
sebelumnya bernama PT. Subentra Busantara, bergerak dalam bidang
usaha penanyangan film (perbioskopan), menjalankan kegiatan usaha
perbioskopan, hiburan dan rekreasi serta restoran, ekspor-impor,
pertambangan, pengangkutan, pertanian, telekomunikasi, dan dapat
menjalankan segala sesuatu yang selaras dengan maksud dan tujuan
dalam arti seluas-luasnya dengan tidak melanggar undang-undang;32
30 Komposisi kepemilikan saham Terlapor I adalah Sunaryo sebesar 50%, dan Sularno
sebesar 50%. Dengan susunan kepengurusan terakhir, Harris Lesmana sebagai DIrektur Utama, Sunaryo dan Sularno masing-masing sebagai Direktur, Prapti Rahayu sebagai Komisaris.
31 Komposisi kepemilikan saham Terlapor II adalah Jimmy Harianto Darmasasmita sebesar 50% dan Ruben Muljadi sebesar 50% dengan susunan kepengurusan adalah Jimmy Harianto sebagai Direktur Utama, Prapti Rahayu sebagai Komisaris.
32 Komposisi kepemilikan saham Terlapor III adalah PT. Harkatjawa Bumipersada sebesar 80% dan PT. Adi Pratama Nusantara sebesar 20%. Dengan susunan kepengurusan adalah. Harris Lesmana sebagai Direktur Utama, Suryo Suherman dan Tri Rudy Anitio masing-masing sebagai Direktur, Lakshmi Harris Lesmana sebagai Komisaris Utama, Melia Suherman dan Arif Suherman masing-masing sebagai komisaris.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
2. Dugaan Pelanggaran: Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III (Group
Cineplex 21) diduga melakukan pelanggarang Pasal 27 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999.
3. Kasus Posisi
Pelapor menilai Group 21 melanggar Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang kepemilikan saham. Alasannya, kepemilikan saham
terjadi di beberapa perusahaan yang terafiliasi dan bergerak pada bidang
yang sama serta terintegrasi, yaitu bisnis perbioskopan, distribusi film, dan
impor film.33
Terlapor III dan perusahaan perbioskopan yang dimilikinya adalah
perusahaan yang mengoperasikan bioskop-bioskop Group 21 yang
selanjutnya disebut Group 21. Artinya, bioskop Group 21 yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia terbagi dalam bioskop-bioskop yang dimiliki
langsung oleh Terlapor III dan bioskop-bioskop yang dimiliki berdasarkan
kerjasama dengan pengusaha lokal. Kepemilikan saham oleh Terlapor III
adalah sebesar 37,5%..
4. Analisa Kasus
Pasal 27 pada kasus Cineplex 21 ditafsirkan secara per se illegal,
karena yang dilarang oleh Pasal 27 adalah kepemilikan yang
mengakibatkan terjadinya dominasi pasar.34 KPPU dalam memutus pasal
kepemilikan saham ini menggunakan pendekatan per se illegal, sebab bila
satu pelaku usaha terbukti memiliki saham melebihi batas yang ditentukan
oleh ketentuan Pasal 27, tanpa perlu melihat dampak yang dapat
ditimbulkan, langsung dapat dipersalahkan. Bahwa NSR terbukti memiliki
saham mayoritas di perusahaan yang bergerak di bidang perbioskopan
yaitu PT. Intra Mandiri dan mendirikan anak perusahaan yaitu PT. Wedu
Mitra di pasar bersangkutan yang sama yaitu perbioskopan di Surabaya.
33 Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, op.cit, butir 1.1.8 34 Asril Sitompul, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan
Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999), Cet.1, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 42.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Dengan kepemilikan saham mayoritas tersebut, bioskop-bioskop yang
dimiliki kedua perusahaan itu menguasai lebih dari 50% pangsa pasar,
sehingga kepemilikan saham NSR tersebut memenuhi ketentuan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Dari keseluruhan unsur Pasal 27 sebagaimana telah disebutkan di
atas bahwa penerapan Pasal 27 pada kasus Cineplex 21 menggunaka
pendekatan per se illegal yakni bila tindakan pelaku usaha telah memenuhi
unsur-unsur yang ditentukan maka dapat langsung dipersalahkan.
Sebenarnya pendekatan per se illegal pada kasus ini adalah kurang tepat,
hal ini karena Pasal 27 merupakan bagian dari ketentuan mengenai posisi
dominan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, sama halnya
seperti penyalahgunaan posisi dominan dan jabatan rangkap, sebab
dampak yang ditimbulkan dari kepemilikan saham mayoritas adalah sama
dengan dampak yang sekiranya dapat ditimbulkan dari jabatan rangkap;
seperti sangat kecilnya kemungkinan antar perusahaan tersebut saling
bersaing secara kompetitif sebab perusahaan-perusahaan tersebut seperti
layaknya satu perusahaan saja, dan selanjutnya perusahaan-perusahaan
tersebut akan saling memulai kolusi untuk meminimalisir atau bahkan
meniadakan persaingan. Dampak negatif dari penerapan Pasal 27 secara
per se illegal adalah hal itu akan membuat para pelaku usaha resah. Sebab
secara tidak langsung, keinginan untuk memajukan usaha yakni menguasai
pasar dengan cara kepemilikan saham mayoritas menjadi sangat dibatasi.
Sehingga jika perusahaan di luar negeri dapat besar dan berkembang
karena memiliki saham mayoritas di perusahaan lainnya, sedangkan
perusahaan-perusahaan dalam negeri hanya terdiri dari perusahaan-
perusahaan kecil karena kesulitan untuk berkembang.
Kesimpulan
Para terlapor dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 dan Nomor:
05/KPPU-L/2002 sama-sama melakukan pemilikan saham pada lebih dari satu
perusahaan di pasar bersangkutan yang sama. KPPU, sebagai otoritas pengawas
persaingan usaha di Indonesia, berpendapat bahwa tindakan dari para terlapor
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
dapat menghambat iklim persaingan usaha di Indonesia. Dalam memutuskan
perkara-perkara tersebut, KPPU menjatuhkan hukuman kepada mereka
berdasarkan ketetntuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Oleh
karena itu, penelitian ini dibuat untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 dan Nomor: 05/KPPU-L/2002, serta
bentuk-bentuk kepemilikan saham yang tidak menghambat iklim persaingan
usaha. Setelah melakukan analisis pada bab sebelumnya, penulis member
kesimpulan, yaitu:
1. Berdasarkan tinjauan teoritis mengenai saham sebagaimana telah
dijelaskan pada Bab II penelitian ini, kepemilikan terhadap saham yang
dapat mengakibatkan terjadinya kepemilikan silang (cross ownership)
diperoleh melalui:
d. Investasi Langsung, merupakan bentuk investasi dengan cara
membangun, membeli secara total, atau mengakusisi perusahaan.
e. Investasi Portofolio, merupakan investasi melalui kegiatan pasar modal
dengan instrument surat berharga seperti saham dan obligasi.
f. Aksi Korporasi, yaitu berupa Intial Public Offering (IPO), Right Issue,
Stock Split, Pembagian Saham Bonus, Pembagian Deviden berupa
Deviden Saham, Additional Listing, Penawaran Tender, Divestasi,
Pengambilalihan Perusahaan Terbuka, serta Transaksi material yaitu
setiap pembelian saham termasuk dalam rangka pengambilalihan,
penjualan saham, penyertaan dalam badan usaha, proyek, dan/atau
kegiatan usaha tertentu.
Cara-cara sebagaimana telah dijelaskan diatas merupakan cara
yang dapat ditempuh oleh pelaku usaha untuk memperoleh kepemilikan
saham atas suatu perusahaan secara sah dan tidak melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kepemilikan
terhadap saham dapat dikatakan melanggar ketentuan Pasal 27 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 apabila kepemilikan saham tersebut telah
melampaui batas-batas yang ditentukan dalam butir a dan butir b Pasal 27
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yakni kepemilikan pelaku usaha
pada dua atau lebih perusahaan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
atau satu kelompok pelaku usaha menguasai pangsa pasar sebesar 50%
atas suatu barang/jasa atau menguasai pangsa pasar sebesar 75% atas suatu
barang/jasa.
2. Mengenai penerapan hukum pada Perkara Nomor 07/KPPU-L/2007 dan
Nomor 05/KPPU-L/2002, yaitu:
a. Kompetensi Absolut KPPU dalam memeriksa perkara
Dalam pertimbanganya, KPPU menggunakan doktrin single economic
entity untuk menjerat pelaku usaha asing yang memiliki pengaruh
terhadap iklim persaingan usaha di Indonesia. Namun demikian
argumen-argumen yang dibangun oleh KPPU berdasarkan aspek
representasi manajemen, aspek kemampuan mempengaruhi kebijakan
perusahaan, dan aspek kemampuan mengakses informasi rahasia untuk
mendasarkan penerapan doktrin single economic entity dalam rangka
membuktikan bahwa temasek dan anak perusahaanya merupakan suatu
kesatuan entitas ekonomi tidak cukup kuat dan indikator yang
digunakan oleh KPPU untuk menentukan temasek sebagai pengendali
telkomsel dan indosat adalah indikator yang lemah.
b. Penerapan Pasal 27 undang-undang no 5 tahun 1999
Pada perkara nomor 07/KPPU-L-2007, terdapat unsur pasal 27 yang
tidak terpenuhi atau tidak dapat dibuktikan oleh KPPU yaitu mengenai
terminologi “saham mayoritas” yang mensyaratkan adanya kendali
dari induk perusahaan terhadap anak perusahaan. Pembuktian yang
dilakukan KPPU dalam membuktikan adanya kendali tersebut
merupakan pembuktian yang lemah sebagaimana telah dijelaskan pada
bab sebelumnya. Sementara itu, pada perkara nomor 05/KPPU-L/2002
unsur-unsur Pasal 27 dapat dibuktikan hanya kepada PT. Nusantara
Sejahtera Raya (Terlapor III) yang terbukti secara sah dan meyakinkan
memiliki saham mayoritas di beberapa perusahaan perbioskopan yaitu
PT. Intra Mandiri dan PT. Wedu Mitra sehingga kedua perusahaan
tersebut menguasai lebih dari 50% pangsa pasar perbioskopan di
Surabaya.
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
IV. 2 Saran
Beranjak dari apa yang telah dikemukakan seluruhnya dalam penelitian
ini, pada akhirnya penulis member saran dan masukan yang sedianya berguna
untuk memahami penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang oleh Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia. Adapun saran yang diberikan peneliti adalah:
1. Perlu adanya pengawasan dari KPPU terhadap setiap transaksi penjualan
saham yang dapat mempengaruhi iklim persaingan usaha di Indonesia
sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya tindakan penyalahgunaan
posisi dominan.
2. Pembuktian terhadap unsur-unsur doktrin single economic entity sangatlah
rumit, untuk menjerat pelaku asing yang tidak memenuhi obyektif dan
subjektif sebaiknya perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dengan mengadopsi prinsip effect doctrine sehingga
pelaku usaha asing tersebut dapat dijerat hanya dengan membuktikan
adanya dampak yang ditimbulkan di dalam negeri karena perbuatan pelaku
usaha asing tersebut.
Referensi
Buku: Natasya Sirait, Ningrum, Asosiasi dan Persaingan Usaha tidak Sehat. Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2003 Yani, Ahmad, et al, Seri Hukum Bisnis, Anti Monopoli. Jakarta: PT. Rajawali
Grafindo Perkasa,1999 Legowo, Persaingan Usaha dan Pengambilan Keputusan Manajerial. Jakarta: UI
Press, 1966 Harman, Benny K., SH, MH., Analisa dan Perbandingan Undang-undang Anti
Monopoli. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 1999 Natasya Sirait, Ningrum, Hukum Persaingan di Indonesia Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan;Pustaka Bangsa Press, 2004
Hasibuan, Nurimansjah, Ekonomi Industri : persaingan Monopoli dan Regulasi. Jakarta: PT.Pustaka LP3ES, 1993
Herlambang, Tedy, Ekonomi Manejerial dan Strategi Bersaing. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Wiradiputra, Ditha, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
Sitompul, Asril, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999), Cet.1. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. cet.3. Jakarta: UI Press, 1986. Syamsudin, M. Operasional Penelitian Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007. Fishwick, Frank, Seri Strategi Manajemen Strategi Persaingan. Jakarta: PT.Elex
Media Peraturan Perundang - undangan Indonesia. Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU No. 5 Tahun 1999. LN No 33 Tahun 1999. TLN No. 3817 Internet Smecda, “Captive Market”, dinduh pada 27 Februari 2013. <http:www.smecda.com/depuit7/file_infokop/edisi%2023/mangara%20tambunan.7.htm>
Hukumonline, diunduh pada 17 April 2013.
<http://www.hukumkonline.com/berita/baca/hol22623/21-cineplex-diduga-monopoli-distribusi-film>
Analisis yuridis..., Dimas Eko Fabriyanto, FH UI, 2013.
top related