bab ii kriteria penyalahgunaan posisi dominan …repository.unair.ac.id/13755/12/12. bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
14
BAB II
KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF
DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY
2.1 Pengertian Posisi Dominan
Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki
tujuan untuk menjadi lebih unggul dari pelaku usaha pesaingnya di suatu pasar
bersangkutan. Dengan menjadi lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha
lainnya di pasar bersangkutan tentu akan memberikan keuntungan yang lebih
maksimal bagi pelaku usaha tersebut terutama dalam hal menarik konsumen.
Dalam rangka mencapai suatu posisi dominan, penguasaan market power
oleh pelaku usaha sangat penting. Market Power yang dalam bahasa Indonesia
dapat diartikan sebagai kekuatan pasar merupakan kemampuan dari pelaku untuk
memperoleh laba sebesar-besarnya, dalam hal ini pelaku usaha mempunyai
kemampuan untuk mempengaruhi harga tanpa dapat dipengaruhi oleh pelaku
usaha pesaingnya.20
Dalam kata lain market power merupakan kemampuan pelaku
usaha dalam mempengaruhi pasar. Pengukuran terhadap market power sangat
penting dalam menentukan posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha.
Dalam perspektif ekonomi, perusahaan yang mempunyai market power
mempunyai kemampuan untuk menaikkan harga diatas biaya marginal, biaya
marginal sendiri merupakan keadaan naiknya biaya total yang disebabkan oleh
20
Karl E. Case and Ray. C Fair, Prinsip-Prinsip Ekonomi Edisi Kedelapan Jilid 1, (terjemahan
Y.Andri Zaimur), Erlangga, Jakarta, 2007, h. 317.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
15
produksi satu unit output.21
Semakin besar market power yang dimiliki oleh
perusahaan maka akan semakin besar selisih harga terhadap biaya marginal.
Sehingga semakin tinggi market power yang dimiliki oleh suatu perusahaan maka
akan menyebabkan pasar semakin tidak efisien.22
Market Power tidak hanya terbentuk karena pelaku usaha memiliki
kemampuan dalam mempengaruhi pasar, namun dapat juga terbentuk karena
produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut lebih diminati oleh konsumen.
Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya harga yang terjangkau,
standar kualitas produk, pengaruh trend dan sebagainya.23
Penguasaan market power dan keunggulan dalam hal finansial, jangkauan
akses, efisiensi, teknologi dan sebagainya dapat membuat suatu pelaku usaha
memiliki posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut
maka memiliki posisi dominan merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha.
Hukum persaingan usaha adalah hukum yang mengatur tentang interaksi
perusahaan atau pelaku usaha di pasar.24
Dalam hukum persaingan usaha menjadi
lebih unggul (market leader) tidaklah dilarang, pelaku usaha tentu akan terpacu
untuk melakukan inovasi dan efisiensi dalam hal menghasilkan produk yang
berkualitas dengan harga yang kompetitif agar dapat memperoleh posisi yang
lebih unggul (market leader) dari pelaku usaha lainnya dalam suatu pasar
21
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.29.
22
Ayu Sitoresmi, “Strategi Brand Proliferation Sebagai Bentuk Penyalahgunaan Posisi Dominan
Dalam Konteks Persaingan Usaha”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2012,
h.20.
23
Vegitya Ramadhani Putri, Hukum Bisnis Konsep & Kajian Kasus; Kajian Perbandingan Hukum
Bisnis Indonesia, Uni Eropa, dan Amerika Serikat, Setara Press, Malang, 2013, h.2.
24
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h. 21.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
16
bersangkutan. Persaingan inilah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku
usaha yang dominan.
Namun dengan memiliki posisi dominan, pelaku usaha berpotensi untuk
melakukan tindakan anti persaingan dalam bentuk penyalahgunaan posisi
dominan (abuse of dominant position), hal ini disebabkan dengan posisi dominan
yang dimilikinya pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan tindakan
yang mempengaruhi dinamika pasar (penawaran dan permintaan) secara luas
tanpa terpengaruh dengan pelaku usaha lainnya. Tindakan inilah yang pada
akhirnya berpotensi mengancam keberlangsungan persaingan usaha yang sehat
dan efektif di suatu pasar bersangkutan.
Posisi dominan dilihat dari perspektif ekonomi dapat diartikan sebagai
posisi yang ditempati oleh perusahaan yang memiliki pangsa pasar terbesar dan
dengan pangsa pasar yang besar itu perusahaan tersebut memiliki market power
sehingga dapat melakukan tindakan/strategi tanpa dapat dipengaruhi oleh
perusahaan pesaingnya.25
Kepemilikan posisi dominan menandakan bahwa pelaku usaha tersebut
memiliki market power yang lebih kuat dari pelaku usaha pesaingnya.
Penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha biasanya terlihat dari
perilaku strategis (strategic behaviour) pelaku usaha tersebut. Perilaku strategis
merupakan suatu konsep bagaimana suatu perusahaan dapat mengurangi tingkat
persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing yang
25
Ibid, h.166.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
17
potensial yang akan masuk di pasar bersangkutan.26
Perilaku strategis ini pada
dasarnya ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha. Perilaku
strategis ini meliputi penetapan harga dan kuantitas, mengejar pangsa pasar,
memperlebar kapasitas hingga mempersempit ruang gerak pesaing.
Terdapat dua bentuk perilaku strategis yang digunakan oleh pelaku usaha
untuk meningkatkan keuntungan pelaku usaha yaitu:27
1. Perilaku strategis yang bersifat kooperatif
Perilaku strategis ini bertujuan untuk mengubah kondisi pasar sehingga
mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang sudah ada di pasar
bersangkutan dan mempersempit ruang gerak pelaku usaha pesaing mereka.
Dalam perilaku strategis ini terdapat kerjasama yang dilakukan diantara pelaku
usaha yang telah ada di pasar bersangkutan.
2. Perilaku strategis yang bersifat non kooperatif
Berbeda dengan perilaku strategis kooperatif, dalam perilaku strategis ini
tidak ada kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha. Melalui perilaku
strategis ini pelaku usaha berupaya meningkatkan profit mereka dengan
meningkatkan posisi relatifnya terhadap pelaku usaha pesaing. Tujuan dari
penggunaan perilaku strategis ini adalah untuk meningkatkan keuntungan pelaku
usaha dan menurunkan keuntungan pelaku usaha pesaing.
Dengan posisi dominan yang dimilikinya pelaku usaha dapat menerapkan
perilaku strategis ini sehingga dapat mempengaruhi dinamika di suatu pasar
26
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan Berdasarkan Undang Undang No.5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h.14.
27
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
18
bersangkutan. Penerapan perilaku strategis yang bertujuan menghambat
persaingan oleh pelaku usaha dapat menimbulkan dampak negatif baik terhadap
persaingan maupun konsumen.
a. Dampak terhadap persaingan28
1.) Meminimalisir persaingan diantara pelaku usaha di pasar bersangkutan
Penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif pada dasarnya
bertujuan untuk mempermudah koordinasi antar pelaku usaha yang telah ada di
pasar bersangkutan. Kerja sama ini biasanya dimotori oleh pelaku usaha
pemegang posisi dominan. Kerja sama diantara pelaku usaha ini tentu
menimbulkan manfaat bagi pelaku usaha karena kerjasama ini bertujuan untuk
melindungi kepentingan dari pelaku usaha namun disisi lain kerja sama diantara
pelaku usaha ini dapat meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan yang
pada akhirnya akan menimbulkan kerugian bagi konsumen.
2.) Timbulnya hambatan masuk (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial
Dengan besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang
posisi dominan terhadap pesaingnya tentu akan memudahkan pelaku usaha
tersebut menciptakan hambatan masuk terhadap pelaku usaha pesaing yang
potensial masuk ke suatu pasar bersangkutan yang dikuasai oleh pemegang posisi
dominan. Dengan adanya hambatan masuk yang diciptakan pemegang posisi
dominan ini tentu akan meminimalkan tingkat persaingan yang terjadi di suatu
pasar bersangkutan.
3.) Timbulnya hambatan perdagangan (restraint trade) bagi pelaku usaha pesaing
28
Ibid, h.19.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
19
Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha dapat mengeluarkan
kebijakan yang dapat mempengaruhi dinamika pasar secara mandiri tanpa dapat
dipengaruhi oleh pelaku usaha pesaingnya. Dengan kekuatan ini tentu pelaku
usaha dapat dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang dapat menghambat
kinerja dari pelaku usaha pesaingnya seperti membatasi pasokan dan distribusi
produk bagi pesaingnya serta membatasi akses terhadap hal yang esensial bagi
pelaku usaha pesaing.
Dengan adanya hambatan perdagangan yang diberikan pelaku usaha
pemegang posisi dominan terhadap pelaku usaha pesaingnya ini dapat
menimbulkan dampak terhadap persaingan. Dengan hambatan perdagangan
tersebut pelaku usaha pesaing tidak akan optimal dalam menjalankan kegiatan
usahanya sehingga akan menyulitkan bagi pelaku usaha itu untuk bersaing
terutama dengan pemegang posisi dominan, yang pada akhirnya akan
menyebabkan persaingan antar pelaku usaha di suatu pasar bersangkutan tidak
berjalan secara efektif.
4.) Terciptanya kondisi pasar yang tidak efektif dan efisien
Besarnya market power yang dimiliki pelaku usaha ini dapat menyebabkan
pasar beroperasi secara tidak efektif dan efisien. Dengan market power yang
dimilikinya pelaku usaha dapat dengan mudah mengontrol harga suatu produk di
pasar bersangkutan selain itu pelaku usaha pemegang posisi dominan juga dapat
melakukan pengaturan terhadap pasokan maupun permintaan terhadap suatu
produk di pasar bersangkutan. Penyalahgunaan inilah yang dapat menyebabkan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
20
suatu pasar yang tidak beroperasi secara efektif dan efisien sehingga akan
menimbulkan dampak terhadap persaingan yang terjadi di pasar tersebut.
b. Dampak terhadap konsumen29
1.) Terbatasnya alternatif pilihan bagi konsumen
Tindakan kerjasama yang dilakukan diantara pelaku usaha ini dapat
meminimalisir persaingan dalam pasar bersangkutan, hal ini tentu akan
berdampak terhadap konsumen khususnya terkait dengan menjadi terbatasnya
pilihan bagi konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah.
Salah satu bentuk kerja sama yang dapat membatasi alternatif pilihan bagi
konsumen untuk mendapatkan produk yang lebih murah adalah tindakan price
leadership pelaku usaha pemegang posisi dominan.
Penetapan harga tinggi oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sebagai
bentuk penggunaan market power yang optimal dapat menjadi pelindung dan
insentif bagi pelaku usaha pesaing untuk ikut menikmati harga tersebut.
Pemegang posisi dominan mempunyai kekuatan untuk bertindak sebagai price
setter (penentu harga) hal ini membuat pemegang posisi dominan berperan
sebagai price leadership dalam suatu pasar sehingga harga yang ditetapkan
pemegang posisi dominan itu akan diikuti oleh pelaku usaha pesaingnya sebagai
price taker.30
Kondisi inilah yang dapat menyebabkan pilihan konsumen untuk
dapat menikmati harga yang lebih murah menjadi terbatas.
2.) Ketidakstabilan harga dan pasokan suatu produk
29
Ibid.
30
Ibid, h.19.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
21
Salah satu unsur dari posisi dominan adalah kemampuan pelaku usaha
dalam melakukan penyesuaian terhadap pasokan penjualan atau permintaan.
Dengan besarnya market power yang dimiliki pelaku usaha pemegang posisi
dominan, tentu pelaku usaha tersebut dapat dengan mudah melakukan kontrol
terhadap harga maupun distribusi suatu produk di pasar bersangkutan. Bentuk
penyalahgunaan seperti inilah yang dapat menciptakan ketidakstabilan harga dan
pasokan di suatu pasar yang pada akhirnya akan merugikan konsumen.
3.) Deadweight loss
Salah satu dampak lain yang dirasakan oleh konsumen sebagai akibat dari
adanya penyalahgunaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha adalah
deadweight loss. Deadweight loss adalah jumlah biaya yang harus ditanggung
masyarakat jika pasar tidak beroperasi secara efisien.31
Besarnya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha pemegang posisi
dominan ini membuat pelaku usaha tersebut memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi pasar. Besarnya pangsa pasar serta market power yang dimiliki
pemegang posisi dominan membuat pelaku usaha pemegang posisi dominan dapat
menyesuaikan pasokan dengan penjualan serta permintaan, dengan hal tersebut
pemegang posisi dominan dapat melakukan penyalahgunaan dengan menjauhkan
besarnya harga dan jumlah barang dari titik keseimbangan penawaran dan
permintaan.
Ketidakseimbangan antara harga dan jumlah barang dengan penawaran dan
permintaan inilah yang menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efisien yang
31
N.Gregory Mankiw, Euston Quah dan Peter Wilson, Pengantar Ekonomi Mikro edisi Asia
(Principles of Economics An Asian Edition Volume 1), Penerbit Salemba Empat, Jakarta, 2012,
h.187.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
22
akhirnya menimbulkan keadaan deadweight loss.32
Salah satu akibat adanya
deadweight loss bagi konsumen adalah berkurangnya kemampuan konsumen
untuk menabung yang disebabkan oleh tingginya biaya yang harus dikeluarkan
oleh konsumen untuk suatu produk.
4.) Berkurangnya tingkat kesejahteraan konsumen
Bentuk-bentuk penyalahgunaan yang dilakukan oleh pelaku usaha
pemegang posisi dominan seperti membatasi distribusi suatu produk, mengatur
jumlah pasokan dan pengontrolan harga terhadap suatu produk di suatu pasar
bersangkutan tentu akan menyebabkan pasar tidak beroperasi secara efektif dan
efisien yang akhirnya menimbulkan ketidakstabilan harga di suatu pasar.
Ketidakstabilan harga ini umumnya terwujud dengan tingginya harga suatu
produk yang harus dibayar oleh konsumen. Dengan tingginya biaya yang harus
dikeluarkan oleh konsumen terhadap suatu produk yang seharusnya dapat
dijangkau lebih murah ini menyebabkan tingkat kesejahteraan dari konsumen juga
akan berkurang.
Mengingat dampak negatif yang dapat ditimbulkan terhadap persaingan
maupun konsumen, maka tindakan penyalahgunaan posisi dominan merupakan
hal yang dilarang dalam hukum persaingan usaha.
Terdapat berbagai definisi terkait dengan posisi dominan salah satunya
adalah definisi dari The European Court of Justice (ECJ) yang mengartikan posisi
dominan berdasarkan putusannya terhadap kasus United Brands, yaitu:
“a position of economic strength enjoyed by an undertaking which
enable it to prevent effective competition being maintained on the
32
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
23
relevant market by giving it power to behave to an appreciable extent
independently of its competitors, customers and ultimately of
consumers.”33
Konsep posisi dominan berdasarkan The European Court of Justice (ECJ)
pada intinya adalah sebuah posisi kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh pelaku
usaha yang memungkinkan pelaku usaha tersebut untuk mencegah persaingan
yang efektif pada pasar bersangkutan secara mandiri dari pelaku usaha
pesaingnya, pelanggan dan konsumennya.
Definisi lain terkait dengan posisi dominan juga dapat ditemui dalam UU
No.5/1999, yang mendefinisikan posisi dominan sebagai:
“keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai,
atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.”34
Penguasaan posisi dominan ini dapat dimiliki oleh satu pelaku usaha yang
disebut dengan monopolist yaitu jika ada satu pelaku usaha yang memiliki pangsa
pasar yang lebih tinggi dari pesaingnya.35
Dapat juga dimiliki oleh dua atau lebih
pelaku usaha yang disebut dengan oligopolist yaitu keadaan dimana suatu pasar
bersangkutan terdapat dua pelaku usaha atau lebih yang mempunyai kekuatan
33
Andi Fahmi Lubis et al., Loc.Cit., dikutip dari Valentine Korah, An Introductory Guide to EC
Competition Law and Practice (7th
ed.), Portland Oregon, Oxford, 2000, p.81.
34
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 1 angka 4.
35
Ibid, Ps. 25 Ayat (2) huruf a.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
24
pasar yang hampir sama atau seimbang. Dalam posisi ini umumnya antar pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan tersebut saling bergantung satu sama lain.36
2.1.1 Unsur-unsur posisi dominan
Berdasarkan definisi posisi dominan yang terdapat dalam pasal 1 angka 4
UU No.5/1999 terdapat empat unsur-unsur yang perlu diteliti untuk menentukan
apakah pelaku usaha tersebut mempunyai posisi dominan atau tidak.
1. Pangsa pasar
Definisi pangsa pasar dalam pasal 1 angka 13 UU No.5/1999 adalah
presentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku
usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. Pangsa pasar
merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan apakah pelaku usaha
tersebut memegang posisi dominan atau tidak. Dalam pasal 25 ayat (2) dijelaskan
bahwa satu pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai
50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu atau menguasai
lebih dari 75% atau lebih pangsa pasar atas satu jenis barang atau jasa tertentu
untuk dua atau lebih kelompok usaha.
2. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang perlu diteliti dalam menentukan pelaku usaha
memiliki posisi dominan atau tidak adalah kemampuan keuangan. Pelaku usaha
dikatakan memiliki posisi dominan apabila memiliki kemampuan keuangan yang
lebih kuat dibanding pesaingnya. Salah satu tanda paling penting dalam
36
Ibid, Ps. 25 Ayat (2) huruf b.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
25
menganalisis kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah cash flow yang
dimiliki pelaku usaha tersebut. Cash flow disini dapat diartikan sebagai jumlah
keuntungan pelaku usaha dalam suatu periode tertentu. Hal lain yang menentukan
besarnya kemampuan keuangan suatu pelaku usaha adalah dengan perbandingan
antara omset pelaku usaha dengan modal dasarnya.37
Dalam menilai apakah suatu
pelaku usaha mempunyai kemampuan keuangan yang kuat dapat dilihat dari
berbagai faktor yaitu:38
a.) Modal dasar;
b.) Cash flow;
c.) Omset;
d.) Keuntungan;
e.) Batas kredit; dan
f.) Akses ke pasar keuangan nasional dan internasional.
3. Kemampuan pada pasokan atau penjualan
Salah satu ciri pelaku usaha memegang posisi dominan adalah kemampuan
untuk mengatur pasokan atau penjualan. Kemampuan ini pada umumnya
diperoleh karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa pasar yang lebih besar
dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya.
4. Kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
Pada prinsipnya kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan
atau permintaan memiliki kesamaan dengan kemampuan mengatur pasokan atau
penjualan. Pelaku usaha pemegang posisi dominan tentu akan dengan mudah
menyesuaikan pasokan atau permintaan dengan pangsa pasar yang mereka miliki.
37
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.172. dikutip dari Emmerich, Voelker, Kartellrecht, 8 Auflage,
(Muenchen: Verlag C.H Beck) p.189.
38
Ibid. dikutip dari Heermann, in Knud Hansen, Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, 2002, Katalis-Publishing-Media Services, p.42.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
26
Penilaian terhadap keempat unsur diatas tersebut penting sebagai dasar
untuk menentukan kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di pasar
bersangkutan.
2.1.2 Penetapan posisi dominan
Berdasarkan UU No. 5/1999 sebelum menentukan apakah suatu pelaku
usaha memegang posisi dominan atau tidak, terlebih dahulu lembaga otoritas
persaingan melakukan investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. Investigasi
tersebut dilakukan dengan cara melakukan pembatasan terhadap pasar
bersangkutan.
Definisi dari pasar bersangkutan dapat ditemui dalam UU No.5/1999 pasal 1
angka 10 yaitu pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau
subtitusi dari barang dan atau jasa tersebut.39
Pasar bersangkutan merupakan suatu konsep untuk mendefinisikan ukuran
pasar dari sebuah produk.40
Pengukuran terhadap pasar bersangkutan ini sangat
penting untuk melihat ada tidaknya posisi dominan yang dimiliki oleh suatu
pelaku usaha dalam suatu pasar bersangkutan.Definisi dari pasar bersangkutan ini
berfungsi sebagai batasan dalam mengukur luasnya dampak dari tindakan anti
persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha.41
39
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps.1 Angka 10.
40
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pedoman
Penerapan Pasal 1 Angka 10 tentang Pasar Bersangkutan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, h.9.
41
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
27
Pasar bersangkutan (relevant market) terdiri atas pasar produk, pasar
geografis, dan pasar temporal. Secara umum pendekatan terhadap pasar
bersangkutan terdiri atas dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis.
Terdapat dua metode pembatasan pasar bersangkutan dalam menentukan posisi
dominan suatu pelaku usaha yaitu:42
a.) Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market)
Pasar produk (product market) diartikan sebagai produk-produk persaing
dari produk tertentu ditambah dengan produk lain yang dapat menjadi subtitusi
dari produk tersebut.43
Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk atau secara objektif
adalah kondisi dimana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis,
termasuk subtitusinya.44
Dalam rangka menentukan apakah suatu barang dengan
barang lain dapat dikategorikan sama atau dapat menjadi subtitusi terhadap barang
tertentu dapat dilihat dari empat aspek yaitu:
a. Bentuk dan sifat barang
Dalam menentukan apakah suatu produk berada dalam satu pasar
bersangkutan dapat dilihat dari bentuk dan fisik suatu barang. Apabila bentuk dan
sifat barang dari produk yang berbeda itu sama maka dapat dikatakan produk
tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan.
b. Fungsi barang
42
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.175.
43
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.10.
44
Andi Fahmi Lubis et al., Loc.Cit.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
28
Pengidentifikasian produk tersebut juga dapat dilihat dari fungsi barang,
apakah produk satu dengan produk yang lain mempunyai fungsi yang sama bagi
konsumen. Apabila produk yang berbeda tersebut mempunyai fungsi yang sama
maka produk tersebut berada dalam satu pasar bersangkutan.
c. Harga
Salah satu unsur penting dalam menentukan apakah produk tersebut
berada dalam pasar bersangkutan yang sama atau tidak adalah harga. Apabila
perbedaan harga antara produk yang berbeda tersebut tidak terlalu jauh maka
barang tersebut dapat dikatakan bersubtitusi satu sama lain dan berada di pasar
bersangkutan yang sama.
d. Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable)
Unsur terakhir dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan
berada dalam satu pasar bersangkutan atau tidak adalah fleksibilitas kebutuhan
barang tersebut bagi konsumen. Hal ini disebut sebagai konsep kebutuhan
konsumen.45
Dalam konsep ini suatu barang dapat dikatakan berada dalam satu
pasar bersangkutan apabila ketika konsumen kehabisan produk tersebut,
konsumen secara otomatis mau beralih kepada produk yang berbeda. Produk
dikatakan berada dalam satu pasar bersangkutan apabila produk yang berbeda ini
dapat saling menggantikan satu sama lain (interchangeable). Dalam menentukan
hal ini aspek penilaian konsumen sangatlah penting karena konsumen membeli
suatu produk untuk kebutuhannya.
45
Ibid, h.176.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
29
Apabila suatu produk sudah dikategorikan berada dalam satu pasar
bersangkutan yang sama, maka konsekuensinya adalah pangsa pasar barang
sejenis dan barang subtitusi akan ikut dijumlahkan untuk menentukan apakah
pangsa pasar bersangkutan memiliki posisi dominan atau tidak.46
b. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis (relevant geographic market)
Pasar geografis (relevant geographic market) adalah wilayah dimana suatu
pelaku usaha dapat meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku
usaha baru atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke
pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut.47
Pembatasan pasar bersangkutan ditentukan sejauh mana produsen
memasarkan produknya seluas itulah dihitung produsen yang memasarkan produk
di wilayah tersebut.48
Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ini
bertujuan untuk menghitung pangsa pasar bersangkutan secara objektif disekitar
wilayah barang tersebut dipasarkan. Pasar disini meliputi wilayah regional,
nasional, internasional dan pasar global.
Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan luas
dan cakupan wilayah suatu produk adalah49
:
a. Kebijakan perusahaan
Kebijakan perusahaan merupakan salah satu faktor utama dalam
menentukan luas dan cakupan wilayah suatu produk. Hal ini dikarenakan
46
Ibid, h.177.
47
Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h.11.
48
Ibid.
49
Ibid, h.17.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
30
kebijakan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan sangat menentukan logistik
suatu produk terutama terkait dengan wilayah yang akan dijadikan target
pemasaran. Analisa terhadap kebijakan perusahan terkait logistik suatu produk
akan menunjukkan mengenai luas cakupan geografis dari produk tersebut.
b. Biaya transportasi dan lamanya perjalanan
Biaya serta waktu transporatsi juga merupakan faktor yang mempengaruhi
ketersediaan produk di wilayah tertentu. Semakin tinggi biaya yang harus
dikeluarkan serta lamanya perjalanan yang harus ditempuh tentu akan
menyulitkan pelaku usaha untuk memperluas wilayah pemasarannya sehingga
cakupan wilayah produk tersebut relatif terbatas untuk wilayah pemasaran yang
sudah ada. Sebaliknya apabila biaya serta waktu yang harus ditempuh tidak
signifikan maka akan mendorong pelaku usaha untuk melakukan ekspansi pasar
produk tersebut.
c. Tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah
Penentuan tarif disini juga menentukan luas jangkauan wilayah pemasaran
suatu produk. Kebijakan tarif suatu yang dapat menyebabkan peningkatan harga
produk sehingga menurunkan minat beli konsumen tentu akan membatasi lalu
lintas produk tersebut di wilayah tersebut. Dengan terbatasnya distribusi produk
dalam satu wilayah tentu akan mempersempit jangkauan wilayah geografis dari
produk tersebut.
Peraturan yang dapat membatasi peredaran suatu produk di suatu wilayah
juga merupakan faktor untuk menentukan cakupan geografis suatu produk.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
31
Dengan adanya peraturan yang menghambat distribusi suatu produk di suatu
wilayah tentu akan mempersempit cakupan geografis dari produk tersebut.
Berdasarkan pasar geografis ini pelaku usaha pemegang posisi dominan
ialah pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar di wilayah tersebut.
2.2 Penyalahgunaan Posisi Dominan (Abuse of Dominant Position)
Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang
sepanjang pelaku usaha tersebut dalam mencapai posisi dominannya pada pasar
yang bersangkutan dilakukan atas kemampuannya sendiri dan dengan cara yang
dibenarkan. Fokus utama dalam hukum persaingan usaha adalah menjaga
persaingan usaha yang sehat tetap terjadi di pasar yang bersangkutan dan
mendorong pelaku usaha untuk menjadi pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan melalui persaingan usaha yang sehat dan efektif.50
Kepemilikan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha baru dilarang apabila
dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut melakukan
tindakan anti persaingan yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di
suatu pasar yang bersangkutan. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, suatu
pelaku usaha dapat melakukan tindakan anti persaingan pada suatu pasar
bersangkutan secara individu tanpa memperhitungkan pelaku usaha pesaingnya.
Dengan memegang posisi dominan suatu pelaku usaha mempunyai kemampuan
untuk mempengaruhi keadaan pasar secara mandiri dengan cara penentuan harga,
50
Ibid, h.166.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
32
mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-produk
yang diminta.51
2.2.1 Bentuk penyalahgunaan posisi dominan (Abuse of Dominant Position)
Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua bentuk penyalahgunaan posisi
dominan, yaitu penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan
penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse).
a.) Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse)
Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini merupakan penyalahgunaan
yang berbentuk upaya maksimalisasi profit dengan cara mereduksi iuaran dan
menaikkan harga diatas level kompetitif.52
Tindakan penyalahgunaan ini akan
mengakibatkan terjadinya eksploitasi terhadap konsumen. Bentuk
penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif ini terdiri atas:53
a. Excessive price yaitu membebankan suatu harga yang bersifat monopolistik;
b. Unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil kepada
konsumen sehingga konsumen tidak dapat membeli atau menjual kembali
secara bebas;
c. The quite life yaitu pelaku usaha yang memegang posisi dominan menolak
menggunakan teknologi tertentu dengan alasan-alasan yang tidak dapat
diterima.
b.) Penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse)
51
Ibid, h.167 dikutip dari Valentine Korah, Op.Cit., p.81.
52
Vegitya Ramadhani Putri, Op.Cit., h.115.
53
Ibid. dikutip dari Rodger, Barry & MacCulloch, Angus, 2009, Competition Law and Policy in the
EC and UK, London: Routledge, p. 119-121.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
33
Pelaku usaha yang memegang posisi dominan memiliki tanggung jawab
khusus (special responsibility) untuk mencegah tindakannya menyebabkan suatu
persaingan yang tidak sehat di dalam pasar bersangkutan. Penyalahgunaan bersifat
penyingkiran ini bertujuan untuk menutup pasar dari pesaing atau pelaku usaha
baru baik secara potensial maupun aktual. Bentuk penyalahgunaan yang bersifat
penyingkiran ini terdiri atas:
a. Melindungi market power dengan cara mempersulit pelaku usaha baru untuk
masuk ke dalam pasar bersangkutan (barrier to entry).
b. Export bans yaitu pelarangan terhadap ekspor.
c. Pricing strategies (strategi harga) yang berbentuk:
(1) Discount and rabates (diskon dan rabat)
Diskon dan rabat ini dapat diberikan oleh pelaku usaha pemegang posisi
dominan kepada pelaku usaha tertentu atau konsumen dengan tujuan untuk
menyingkirkan pelaku usaha pesaingnya dari pasar bersangkutan. Sebagai contoh
produsen kain A memberikan diskon kepada pengusaha konveksi B, C dan D
dengan kesepakatan bahwa para pengusaha konveksi tersebut tidak boleh
membeli kain dari produsen lain. Hal inilah yang akhirnya menimbulkan
hambatan bagi pelaku usaha lain untuk bersaing di pasar bersangkutan.
(2) Predatory pricing (harga predator)
Harga predator ini merupakan kebijakan pelaku usaha untuk menurunkan
harga serendah-rendahnya sehingga pelaku usaha lain tidak bisa bersaing dengan
harga tersebut. Tujuan akhir dari predatory pricing ini untuk menyingkirkan
pelaku usaha pesaing dari pasar bersangkutan.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
34
d. Tying and Leverage yaitu pelaku usaha dominan memperluas market power-
nya dari pasar yang telah didominasinya ke pasar lain. Perilaku ini dapat
dilakukan dengan cara pemborongan sehingga dominasi pada pasar yang
produknya terikat akan meluas ke pasar produk ikatan tersebut.
e. Merger yang bertujuan untuk menciptakan posisi dominan.
f. Refusal to supply yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen. Penolakan ini
dibagi menjadi dua jenis yaitu:
(1) Refusal to deal yaitu penolakan penyaluran kepada konsumen tertentu dengan
tujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha pesaing.
(2) Refusal to allow consumers access to essential facility yaitu penolakan kepada
konsumen untuk mengakses fasilitas yang esensial.
2.2.2 Hubungan afiliasi dengan pelaku usaha yang lain
Salah satu penilaian posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha dapat
juga dinilai melalui afiliasi suatu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain.
Hubungan terafiliasi antar pelaku usaha ini terbagi menjadi dua jenis yaitu:
a.) Jabatan rangkap
Dalam UU No.5/1999 terdapat pengaturan mengenai larangan jabatan
rangkap. Pasal 26 UU No.5/1999 menegaskan larangan adanya jabatan rangkap:
“Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari
suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap
menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan-
perusahaan tersebut:
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha;
atau
c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa
tertentu,
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
35
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.”54
Berdasarkan ketentuan pasal 26 ini jabatan rangkap baru dilarang apabila
dengan hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya praktek monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat. Penilaian terhadap jabatan rangkap ini biasanya
dilakukan pada proses merger atau akuisisi saham, apabila perusahaan melakukan
pengambilalihan saham perusahaan lain dan akibat akuisisi tersebut ditempatkan
Komisaris atau Direksi, maka penempatan tersebut dapat dinilai apakah nantinya
akan mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di pasar bersangkutan atau
tidak. Jabatan rangkap disini dapat dilakukan diantara perusahaan yang berada di
pasar bersangkutan yang sama55
maupun perusahaan yang tidak bergerak di
bidang usaha yang sama.56
Jabatan rangkap yang dilakukan diantara pelaku usaha yang bergerak di
bidang yang sama penilaiannya dilakukan melalui besarnya saham yang dimiliki
dan pangsa pasar yang dikuasai oleh pelaku usaha yang mengambilalih dan
pangsa pasar yang diambilalih (secara horizontal).
Jabatan rangkap juga dapat dilakukan diantara pelaku usaha yang tidak
bergerak dalam bidang usaha yang sama, diantara pelaku usaha tersebut
mempunyai keterkaitan usaha dalam proses produksi barang dari pasar hulu ke
pasar hilir. Dalam hal ini antar pelaku usaha tersebut mempunyai keterkaitan yang
erat dalam bidang dan/atau jenis usaha.
54
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps.26.
55
Ibid, Ps. 26 huruf a.
56
Ibid, Ps. 26 huruf b.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
36
Jabatan rangkap juga dapat dinilai melalui pangsa pasar perusahaan-
perusahaan tempat dimana seseorang merangkap jabatan sebagai Direksi atau
Komisaris.57
Dua atau tiga pelaku usaha dikatakan memegang posisi dominan
apabila memiliki pangsa pasar lebih dari 75%. Jabatan rangkap Direksi atau
Komisaris yang dimiliki oleh seseorang dapat menimbulkan hambatan persaingan
bagi pelaku usaha pesaingnya, hal ini disebabkan kedua perusahaan tempat
dimana seseorang memegang jabatan rangkap tersebut akan menimbulkan
perilaku yang sama ke pasar yang mengakibatkan pelaku usaha tersebut dapat
bertindak sebagai satu pelaku usaha. Perilaku seperti inilah yang berpotensi
menghilangkan persaingan di suatu pasar yang bersangkutan.58
b.) Kepemilikan saham silang
Hubungan afiliasi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha yang lain
dapat juga dilihat dari kepemilikan saham suatu pelaku usaha di dua atau lebih
perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang sama atau dengan pelaku usaha
yang lain. Dalam UU No.5/1999 terdapat larangan memiliki saham mayoritas.59
Kepemilikan saham mayoritas ini bisa terjadi pada beberapa perusahaan
sejenis yang bergerak di bidang usaha yang sama di pasar bersangkutan yang
sama atau dapat berupa pendirian beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang mengakibatkan: a.) satu pelaku
usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Ps. 26 huruf c.
58
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.185.
59
Lihat pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
37
b.) dua atau tiga pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu.
Kepemilikan saham mayoritas oleh pelaku usaha di beberapa perusahaan
harus dibuktikan terlebih dahulu kemudian dibuktikan penguasaan pangsa pasar di
pasar yang bersangkutan60
setelah itu dibuktikan apakah posisi dominan yang
dimiliki oleh pemilik saham mayoritas tersebut disalahgunakan untuk
menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.
2.2.3 Kontrol terhadap merger
Kebijakan merger selain dapat menciptakan efisiensi bagi pelaku usaha
dapat juga menghilangkan persaingan yang ada antara pihak yang melakukan
merger. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah pesaing yang berada di dalam pasar
dan dikhawatirkan dapat merusak iklim persaingan dalam suatu pasar
bersangkutan dan berpotensi menimbulkan tindakan anti persaingan seperti
penyalahgunaan posisi dominan. Bisa saja dengan merger yang dilakukan dua
atau lebih pelaku usaha ini mengakibatkan pelaku usaha tersebut memegang
posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Sebagai upaya untuk mencegah
adanya pemusatan konsentrasi pasar sehingga menimbulkan posisi dominan yang
dihasilkan dari tindakan merger tersebutmaka perlu dibentuk pengaturan kontrol
terhadap merger.
Dalam UU No. 5/1999 terdapat larangan terhadap penggabungan atau
peleburan badan usaha serta pengambilalihan saham perusahaan lain yang dapat
60
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.186 dikutip dari Hikmahanto Juwana, Prosiding Seminar
Eksaminasi Putusan No. 07/KPPU-L/2007 Kasus Posisi Dominan dan Kepemilikan Silang.
(Jakarta: CSIS, 2008), p.211.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
38
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.61
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 201062
(untuk selanjutnya
disebut PP No. 57/2010) praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat
yang dilarang salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan.63
Pengaturan mengenai batasan nilai aset atau penjualan yang ditetapkan
pemerintah terhadap merger diatur di PP No.57/2010, apabila nilai dari merger
yang dilakukan pelaku usaha melebihi batas nilai yang ditetapkan oleh pemerintah
maka pelaku usaha tersebut wajib melakukan pemberitahuan secara tertulis
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk kemudian dianalisa apakah
merger tersebut dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat di dalam pasar
bersangkutan.64
Batasan nilai aset atau nilai penjualan yang ditetapkan pemerintah
adalah nilai aset sebesar Rp. 2.500.000.000.000,00 (dua triliun lima ratus miliar
rupiah) dan/atau nilai penjualan sebesar Rp. 5.000.000.000.000,00 (lima triliun
rupiah)65
, sedangkan untuk pelaku usaha bidang perbankan batasan nilai aset
melebihi Rp. 20.000.000.000.000,00 (dua puluh triliun rupiah).66
Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian terhadap merger ini
berdasarkan PP No.57/2010 dilakukan dengan metode ex post yaitu penilaian
61
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 28.
62
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan
Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 89).
63
Ibid, Pasal 2 ayat (2).
64
Ibid, Pasal 5.
65
Ibid, Pasal 5 ayat (2).
66
Ibid, Pasal 5 ayat (3).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
39
terhadap merger baru dilakukan setelah merger diantara pelaku usaha tersebut
berlaku efektif secara yuridis.67
2.3 Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia dan ASEAN
2.3.1 Pengaturan posisi dominan di Indonesia
Di Indonesia pengaturan mengenai posisi dominan dapat ditemui dalam UU
No.5/1999. Pasal yang mengatur mengenai posisi dominan terdapat dalam Bab V
yang terdiri dari empat bagian dan lima pasal, sedangkan pasal yang mengatur
secara khusus mengenai praktek posisi dominan terdapat di dalam pasal 25 UU
No.5/1999.
Dalam undang-undang ini pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan
apabila menguasai 50% pangsa pasar atau lebih bagi pelaku usaha perorangan dan
75% atau lebih pangsa pasar di suatu pasar bersangkutan bagi kelompok pelaku
usaha.68
Penguasaan posisi dominan oleh suatu pelaku usaha tidaklah dilarang, yang
dilarang adalah apabila penguasaan posisi dominan itu disalahgunakan oleh suatu
pelaku usaha untuk melakukan tindakan anti kompetisi yang pada akhirnya
menciptakan suatu persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.
Hal ini dapat dilihat di dalam pasal 25 ayat (1) UU No.5/1999 yang secara tegas
mengatur bahwa:
“Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk:
67
Ibid, Pasal 3.
68
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., ps.25 ayat (2).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
40
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi untuk menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan.”69
Dalam UU No.5/1999 selain terdapat pengaturan mengenai kepemilikan
posisi dominan dan penyalahgunaannya, juga terdapat pengaturan yang terkait
dengan kepemilikan posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan pihak lain
yang dibagi menjadi dua yaitu jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang
serta terdapat juga pengaturan mengenai kontrol terhadap merger.
Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang
digunakan untuk menentukan apakah pelaku usaha tersebut melanggar ketentuan
undang-undang yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason.
Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha
tertentu sebagai ilegal tanpa disertai pembuktian lebih lanjut atas dampak yang
ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut.70
Pendekatan lainnya
adalah rule of reason yaitu pendekatan yang digunakan lembaga otoritas
persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai dampak yang ditimbulkan
dari perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna menentukan apakah perjanjian
atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.71
Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam rule of reason diperlukan
69
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Op.Cit., ps.25 ayat (1).
70
Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h.55.
71
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
41
analisis lebih lanjut mengenai akibat yang ditimbulkan dari suatu perjanjian atau
kegiatan usaha tertentu terhadap persaingan.
Pasal 25 UU No.5/1999 ini dilihat secara kontekstual menggunakan
pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya pendekatan yang dilakukan
lembaga otoritas persaingan usaha dalam menentukan suatu pelaku usaha
melakukan penyalahgunaan posisi dominan atau tidak adalah pendekatan rule of
reason. Pendekatan rule of reason ini digunakan mengingat penguasaan posisi
dominan bukanlah suatu pelanggaran dalam hukum persaingan usaha. Penguasaan
posisi dominan yang dimiliki oleh pelaku usaha bisa jadi diperoleh karena
efisiensi dan inovasi-inovasi yang dilakukannya sehingga menghasilkan suatu
produk yang lebih berkualitas dibandingkan dengan produk dari pelaku usaha
pesaingnya. Perbuatan yang dilarang adalah ketika posisi dominan yang dimiliki
pelaku usaha tersebut disalahgunakan untuk menimbulkan praktek persaingan
tidak sehat di suatu pasar bersangkutan.
Di Indonesia, lembaga pengawas persaingan usaha yang berhak melakukan
penilaian serta penetapan penyalahgunaan posisi dominan adalah Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (untuk selanjutnya disebut KPPU). KPPU sebelum
menentukan apakah suatu pelaku usaha pemegang posisi dominan melakukan
penyalahgunaan posisi dominan atau tidak, perlu melakukan analisis lebih lanjut
dari berbagai aspek terutama analisis ekonomi untuk menentukan apakah dengan
posisi dominan yang dimiliki pelaku usaha tersebut, pelaku usaha tersebut
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat anti kompetisi dan menimbulkan
praktek persaingan usaha yang tidak sehat di suatu pasar bersangkutan. Hal ini
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
42
sebagai wujud dari pendekatan rule of reason yang digunakan di pasal 25 UU
No.5/1999.
2.3.2 Pengaturan posisi dominan di negara-negara ASEAN
Pengaturan mengenai posisi dominan diantara negara-negara anggota
ASEAN tidaklah sama. Tidak semua negara di kawasan ASEAN memiliki
instrumen hukum persaingan usaha di negaranya terutama yang mengatur
mengenai penyalahgunaan posisi dominan.
Bagian ini akan membahas mengenai pengaturan posisi dominan yang
terdapat di negara-negara kawasan ASEAN.
1. Brunei Darussalam
Di negara Brunei Darussalam tidak terdapat peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai persaingan usaha secara umum, namun negara ini
menerapkan kebijakan yang terkait dengan persaingan secara sektoral.
Dalam hal ini, kebijakan terkait persaingan usaha diterapkan dalam sektor
telekomunikasi yang diatur dalam Authority for Info-communications Technology
Industry of Brunei Darussalam Order 2001 (the AITI Order) dan the
Telecommunications Order 2001 (the Telecommunications Order)72
yang berlaku
bagi seluruh pelaku usaha yang bergerak di bidang teknologi telekomunikasi.
Telecommunications Order 2001 merupakan kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah Brunei Darussalam yang berkaitan dengan sistem dan layanan
telekomunikasi di Brunei Darussalam.
72
ASEAN Secretariat, Handbook on Competition Policy and Law in ASEAN for Business 2013,
Jakarta, May 2013, h.14.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
43
Di dalam kebijakan ini tidak ditemui pengaturan yang secara spesifik
mengatur mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya.Dalam kedua
kebijakan ini hanya diatur mengenai larangan bagi the AiTi yang merupakan
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Brunei Darussalam sebagai pengatur dan
penyedia sistem dan layanan telekomunikasi di negara tersebutuntuk
mendominasi penggunaan hak ekslusif yang diberikan undang-undang kepadanya.
2. Filipina
Berbeda dengan Brunei Darussalam yang pengaturan mengenai persaingan
usahanya hanya bersifat sektoral, Filipina mempunyai beberapa peraturan yang
mengatur mengenai persaingan usaha diantaranya terdapat dalam
The 1987 Constitution of The Republic of The Philippines, Article XII
Sections 1, 6, 11, 19, 22; The Revised Penal Code of The Philippines Article 186
(amendment by Republic Act No.1956) Section 1 paragraph d (5) of Republic Act
No.7080; The New Civil Code of The Philippines (R.A. No.386) article 28; dan
The Act to Prohibit Monopolies and Combinations in Restraint of Trade Section
6. Selain beberapa aturan tersebut terdapat juga peraturan yang mengatur
persaingan usaha secara sektoral seperti Price Act (R.A. No.7581) Section 5; The
Cooperative Code (R.A. No. 6938) Article 8; The Downstream Oil Industry
Deregulation Act of 1988 (R.A. No.8479) Rule III Section 9 and Rule IV Section
15; dan The Corporation Code (Act No.68) yang mengatur mengenai kontrol
terhadap merger.73
73
Ibid, h.58.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
44
Dalam hukum persaingan usaha di negara ini tidak ditemui aturan yang
mengatur secara spesifik mengenai penguasaan posisi dominan. Aturan
persaingan usaha di negara ini lebih menekankan pada larangan terhadap praktek
monopoli dan segala tindakan yang dapat mengganggu persaingan sehat seperti
praktek monopoli, predatory pricing, dan kartel.
Selain itu pengaturan persaingan usaha di negara ini juga mengatur
mengenai kontrol terhadap merger. Kontrol terhadap merger ini dimaksudkan
untuk mencegah timbulnya posisi dominan sehingga menyebabkan berkurangnya
atau bahkan hilangnya persaingan yang dapat terjadi di suatu pasar bersangkutan
akibat tindakan merger tersebut.
3. Kamboja
Di negara Kamboja belum terdapat pengaturan yang komperhensif
mengatur mengenai persaingan usaha. Di negara ini terdapat rancangan undang-
undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang masih dalam tahap
pembahasan. Rancangan undang-undang ini nantinya akan berlaku untuk seluruh
kegiatan produksi dan distribusi barang serta penyediaan jasa baik oleh
perusahaan publik maupun swasta serta yang dilakukan oleh perseorangan
maupun badan hukum.
Praktek persaingan usaha tidak sehat yang diatur dalam rancangan undang-
undang ini meliputi penyalahgunaan posisi dominan, perjanjian yang
menimbulkan tindakan anti persaingan serta terdapat juga pengaturan kontrol
terhadap merger maupun akuisisi.
4. Laos
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
45
Di negara Laos, persaingan usaha diatur dalam Decree 15/PMO(4/2/2004)
on Trade Competition.
Dalam aturan ini dicantumkan mengenai definisi posisi dominan yang
terdapat dalam article 2 yaitu :“market dominance means sales volume or market
share of any goods or services of one or more business entities is above that
prescribed by the Trade Competition Commission.”74
Berdasarkan definisi diatas posisi dominan merupakan keadaan dimana
volume penjualan atau pangsa pasar suatu barang atau jasa satu atau lebih pelaku
usaha berada diatas yang ditetapkan oleh Trade Competition Commission (TCC).
Dalam undang-undang ini tidak ditemui pengaturan yang mengatur secara
spesifik mengenai penyalahgunaan posisi dominan, bentuk penyalahgunaan
dominasi pasar yang diatur dalam undang-undang ini adalah monopoli. Monopoli
disini diartikan sebagai dominasi pasar yang dilakukan oleh satu pelaku usaha
atau beberapa pelaku usaha.75
Berdasarkan analisis terhadap Decree No.15 PMO (4/2/2004) on Trade
Competition kepemilikan posisi dominan oleh pelaku usaha tidaklah dilarang,
posisi dominan ini baru dilarang apabila diperoleh akibat dari tindakan yang
dilarang dalam aturan ini dan posisi dominan tersebut tidak ditujukan untuk
menyingkirkan pelaku usaha lain atau untuk membatasi persaingan, hal ini dapat
dilihat dalam article 9 mengenai merger dan akuisisi.
74
Decree No. 15/PMO (4/2/2004) on Trade Competition, article 2.
75
Ibid.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
46
Dominasi pasar dalam peraturan ini juga dilarang apabila terjadi karena
penunjukan atau pemberian kewenangan terhadap satu pelaku usaha untuk
melakukan penjualan produk atau penyediaan jasa di satu pasar.76
5. Malaysia
Di Malaysia pengaturan mengenai persaingan usaha secara umum dapat
ditemui dalam The Competition Act 2010, selain peraturan tersebut terdapat
beberapa peraturan khusus yang mengatur persaingan usaha di beberapa sektor
tertentu yaitu The Communications and Multimedia Act 1998, The Energy
Commission Act 2001, The Electricity Supply Act 1990 dan The Gas Supply Act
1993, sedangkan pengaturan mengenai penegakan hukum persaingan usaha diatur
di dalam The Competition Commission Act 2010.
Dalam The Competition Act 2010 posisi dominan didefinisikan sebagai “a
situation in which one or more enterprises possess such significant power in a
market to adjust prices or outputs or trading terms, without effective constraint
from competitiors or potential competitors.”77
Berdasarkan definisi ini posisi dominan merupakan keadaan dimana satu
atau lebih pelaku usaha memiliki kekuatan yang signifikan di suatu pasar untuk
melakukan pengaturan terhadap harga, produk yang dihasilkan serta memberikan
persyaratan perdagangan tanpa menemui perlawanan efektif dari pelaku usaha
pesaingnya baik yang telah ada di pasar maupun pesaing potensial.
76
Ibid, article 10.
77
The Competition Act 2010, Part 1(2).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
47
Dalam undang-undang ini secara tegas melarang adanya penyalahgunaan
posisi dominan namun tidak mengatur mengenai pengaturan terkait dengan posisi
dominan seperti kontrol terhadap merger maupun hubungan afiliasi dengan pihak
lain. Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang dalam undang-undang
ini diantaranya adalah tindakan predator, refusal to supply dan pemberlakuan
unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan diatur secara rinci dalam chapter 2 article 10 (2).
Dalam undang-undang ini tidak melarang pemegang posisi dominan untuk
mengambil kebijakan komersial yang wajar sebagai respon atas masuknya atau
perilaku pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha pesaingnya.78
Berdasarkan
ketentuan ini dapat diartikan bahwa penguasaan posisi dominan oleh pelaku usaha
sebagai konsekuensi dari inovasi dan efisiensi yang dilakukannya dalam
menghasilkan produk tidaklah dilarang dalam undang-undang ini. Dalam undang-
undang ini penentuan mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya
dilakukan oleh The Competition Commision of Malaysia.
Di negara ini dalam menentukan posisi dominan dilakukan pendekatan rule
of reason dimana suatu komisi pengawas persaingan melakukan analisis terhadap
unsur-unsur posisi dominan diantaranya pasar bersangkutan, pangsa pasar serta
kemampuan dari pelaku usaha untuk mengambil kebijakan secara mandiri,
ketentuan tersebut terdapat dalam The Communications and Multimedia Act 1998.
6. Myanmar
78
Ibid, chapter 2 article 10(3).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
48
Di Myanmar belum ada pengaturan yang komperhensif mengenai
persaingan usaha khususnya yang mengatur mengenai posisi dominan. Namun
terdapat larangan monopoli atau tindakan manipulasi harga yang dapat
membahayakan persaingan sehat di dalam suatu kegiatan ekonomi. Hal tersebut
dapat ditemui dalam article 36b the New Constituton.
7. Singapura
Di Singapura pengaturan mengenai persaingan usaha dapat ditemui dalam
The Competition Act (Chapter 50B of Singapore Statutes). Pengaturan ini berlaku
untuk perbuatan baik yang dilakukan secara perseorangan maupun badan hukum
yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi tanpa memperhatikan status hukum
maupun sumber dana pelaku usaha tersebut, hal ini diatur dalam section 2 dan 33
dalam undang-undang ini.
Praktek penyalahgunaan posisi dominan termasuk tindakan yang dilarang
secara tegas dalam undang-undang ini. Pengaturan mengenai penyalahgunaan
posisi dominan diatur di section 47 The Competition Act. Posisi dominan yang
diperoleh pelaku usaha sebagai hasil atas inovasi dan efisiensi yang dilakukannya
dalam menghasilkan produk yang diminati konsumen tidaklah dilarang. Posisi
dominan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi pelaku usaha, namun ketika
pelaku usaha tersebut berusaha melindungi bahkan meningkatkan posisi dominan
di pasar dengan cara yang tidak kompetitif bahkan cenderung membatasi
persaingan dan pada akhirnya merugikan konsumen dan bisnis maka tindakan
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
49
tersebut dapat dikategorikan ke dalam penyalahgunaan posisi dominan yang
dilarang dalam undang-undang ini.79
Penentuan penyalahgunaan posisi dominan dalam hal ini dilakukan oleh
Competition Commission Singapore (CCS). Terdapat 2 tes yang digunakan dalam
menentukan apakah terdapat penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha,
yaitu apakah pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan dalam pasar
bersangkutan yang terdiri dari pasar produk dan pasar geografis baik di Singapura
maupun di tempat lain serta apakah dengan posisi dominan yang dimilikinya
pelaku usaha melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang bertujuan untuk
menghalangi atau bahkan menutup akses pelaku usaha pesaingnya untuk masuk
ke dalam suatu pasar di Singapura.
Terdapat 4 kriteria untuk menentukan apakah pelaku usaha memegang
posisi dominan di pasar bersangkutan yaitu:80
a. Pelaku usaha tersebut memiliki pangsa pasar sebesar 60% atau lebih;
b. Hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak ada pelaku usaha pesaing yang dapat
dituju oleh konsumen di pasar bersangkutan;
c. Konsumen tidak memiliki daya tawar yang signifikan;
d. Pelaku usaha baru merasa sulit untuk memasuki pasar diantaranya disebabkan
biaya modal yang tinggi atau hambatan teknologi.
79
”Anti Competitive Behaviour Abuse of Dominance”, www.ccs.gov.sg diakses pada tanggal 21
November 2014.
80
“How Do I Recognise Abuse of Dominance”, www.ccs.gov.sg diakses pada tanggal 21
November 2014.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
50
Langkah selanjutnya adalah menentukan apakah dengan posisi dominan
yang dimilikinya, pelaku usaha itu melakukan tindakan penyalahgunaan yang
dapat membatasi persaingan seperti exclusive dealing dan predatory pricing.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa pendekatan yang digunakan
oleh Singapura dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi
dominan adalah rule of reason.
Dalam undang-undang ini juga ditemui pengaturan terkait posisi dominan
dalam hal ini kontrol terhadap merger.Singapura melarang tindakan merger yang
dapat menyebabkan berkurangnya tingkat persaingan di pasar bersangkutan baik
di bidang barang maupun jasa.Sehingga dalam undang-undang ini kontrol
terhadap merger dimaksudkan untuk mencegah adanya posisi dominan yang dapat
timbul akibat tindakan merger tersebut.
8. Thailand
Undang-undang yang mengatur mengenai persaingan usaha yang berlaku di
Thailand adalah Trade Competition Act B.E. 2542 (1999). Di undang-undang ini
mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan serta pengaturan lain terkait
dengan posisi dominan yaitu kontrol terhadap merger.
Dalam undang-undang ini larangan terhadap penyalahgunaan posisi
dominan (abuse of dominant position) terdapat dalam section 25 Trade
Competition Act B.E. 2542 (1999).
Menurut undang-undang ini pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi
dominan apabila satu atau lebih pelaku usaha di pasar barang atau jasa memiliki
pangsa pasar dan volume penjualan diatas yang ditentukan oleh lembaga
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
51
pengawas yang berwenang.81
Nilai tersebut diatur secara rinci dalam Notification
by Trade Competition Commission, berdasarkan aturan ini suatu pelaku usaha
dikatakan memiliki posisi dominan apabila:
1.) Pelaku usaha tersebut pada tahun sebelumnya memiliki pangsa pasar lebih dari
50% dan memiliki omset paling sedikit 1.000 juta baht;
2.) Tiga besar pelaku usaha yang memiliki pangsa pasar gabungan lebih darin 75%
pada tahun sebelumnya dan memiliki omset sedikitnya 1.000 juta baht.82
Dalam section 25 Trade Competition Act B.E. 2542 (1999) ditegaskan
bahwa pelaku usaha pemegang posisi dominan di suatu pasar dilarang melakukan
tindakan anti persaingan diantaranya adalah: predatory pricing, exclusive dealing,
dan refusal to supply.
Selain mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan, dalam Trade
Competition Act B.E. 2542 (1999) juga terdapat pengaturan kontrol terhadap
merger, hal ini untuk mencegah timbulnya pemusatan konsentrasi dalam suatu
pasar kepada pelaku usaha tertentu yang akan menimbulkan dampak terhadap
persaingan di pasar bersangkutan. Undang-undang ini melarang tindakan merger
yang dapat menimbulkan monopoli dan praktek persaingan usaha yang tidak sehat
di suatu pasar bersangkutan.
Kewenangan untuk menentukan penyalahgunaan posisi dominan oleh
pelaku usaha di negara ini berada pada Trade Competition Commission (TCC).
Dalam menentukan apakah tindakan pelaku usaha pemegang posisi dominan
81
Trade Competition Act B.E. 2542 (1999), Section 3. 82
“Thailand Antitrust Law Competition”, www.thailawforum.com,diakses pada tanggal 22
November 2014.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
52
dapat dikatakan sebagai tindakan penyalahgunaan posisi dominan terlebih dahulu
dilakukan analisis terhadap tindakan pelaku usaha tersebut83
, sehingga dapat
dikatakan bahwa penerapan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan
dalam undang-undang ini menggunakan pendekatan rule of reason.
9. Vietnam
Di Vietnam pengaturan mengenai persaingan usaha terdapat di The
Competition Law No. 27/2004/QH11 dan beberapa ketentuan penunjuk yang
berkaitan dengan undang-undang ini. Undang-undang ini berlaku bagi seluruh
pelaku usaha baik di bidang penyediaan barang dan jasa bagi kepentingan umum
maupun di sektor lainnya, undang-undang ini juga berlaku bagi pelaku usaha
asing dan asosiasi profesional yang beroperasi di Vietnam. Dalam undang-undang
ini terdapat pengaturan yang mengatur secara spesifik mengenai posisi dominan
selain itu juga terdapat pengaturan yang terkait dengan kepemilikan posisi
dominan yaitu kontrol terhadap merger.
“Berdasarkan undang-undang yang berlaku di negara ini suatu pelaku
usaha dikatakan memegang posisi dominan apabila memiliki pangsa
pasar sebesar 30% atau lebih atau pelaku usaha tersebut mempunyai
kemampuan untuk melakukan tindakan yang membatasi persaingan,84
sedangkan untuk dua pelaku usaha atau lebih dikatakan memegang posisi
dominan di suatu pasar jika kelompok pelaku usaha tersebut mengambil
tindakan bersama untuk membatasi persaingan dan termasuk ke dalam
salah satu :
a. Dua pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 50 %
atau lebih di pasar bersangkutan;
b. Tiga pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 65
% atau lebih di pasar bersangkutan; dan
83
Ibid, diakses pada tanggal 22 November 2014.
84
The Competition Law No. 27/2004/QH11 Chapter II Section 2 article 11 (1).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
53
c. Empat pelaku usaha yang mempunyai jumlah pangsa pasar sebesar 75
% atau lebih di pasar bersangkutan.”85
Dalam undang-undang ini terdapat pengaturan mengenai kontrol terhadap
merger guna mencegah adanya pemusatan konsentrasi pasar di suatu pasar
bersangkutan yang dapat menimbulkan posisi dominan terhadap para pelaku
usaha yang melakukan merger.
Undang-undang ini dengan tegas melarang pelaku usaha pemegang posisi
dominan untuk melakukan praktek persaingan usaha yang tidak sehat, diantaranya
adalah predatory pricing dan exclusive dealing.
Vietnam dengan tegas melarang pemegang posisi dominan untuk
melakukan penyalahgunaan yang dapat memberikan dampak terhadap persaingan,
hal ini dapat dilihat dalam kalimat yang digunakan pada pasal penyalahgunaan
posisi dominan. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan pendekatan yang
digunakan Vietnam dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan
adalah per se illegal.
Tidak semua negara-negara anggota ASEAN memiliki instrumen hukum
persaingan usaha yang komperhensif dan mengatur tentang kepemilikan posisi
dominan di negaranya. Diantara kesepuluh anggota ASEAN, negara yang telah
memiliki instrumen hukum persaingan usaha adalah Indonesia, Filipina, Laos,
Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam.
Dari ketujuh negara yang mempunyai instrumen hukum persaingan usaha
tersebut hanya lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan
85
Ibid, chapter II section 2 article 11 (2).
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
54
Vietnam yang mengatur secara spesifik mengenai penyalahgunaan posisi
dominan.
Dalam pengaturan mengenai posisi dominan yang terdapat di negara-negara
tersebut masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan definisi pelaku usaha,
definisi pasar bersangkutan dan jumlah penguasaan pangsa pasar yang diperlukan
bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan sebagai posisi dominan.
Selain itu untuk pengaturan mengenai penyalahgunaan posisi dominan juga
masih terlihat adanya perbedaan terkait dengan bentuk penyalahgunaan yang
dilarang serta jenis pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal
mengenai penyalahgunaan posisi dominan.
Berdasarkan analisis dari undang-undang persaingan usaha yang berlaku di
negara-negara ASEAN ketidakharmonisasian terlihat dalam pengaturan terkait
posisi dominan di kawasan ASEAN.
Tabel II.1
Pengaturan Posisi Dominan di ASEAN
No. Pengaturan
tentang Posisi
Dominan Indonesia Laos Malaysia Singapura Thailand Vietnam Filipina
1 Penyalahgunaan
Posisi Dominan √ × √ √ √ √ ×
2 Kepemilikan
Saham Silang √ × × × × × ×
3 Jabatan
Rangkap √ × × × × × ×
4 Kontrol
terhadap Merger √ √ × √ √ √ √
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Keterangan : × = tidak diatur
√ = diatur
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
55
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat masih adanya ketidakseragaman
terkait dengan pengaturan tentang posisi dominan. Dalam kebijakan persaingan
usaha yang berlaku di negara ASEAN tidak semuanya terdapat pengaturan
tentang penyalahgunaan posisi dominan. Negara di ASEAN yang tidak mengatur
penyalahgunaan posisi dominan secara spesifik adalah Laos dan Filipina.
Selain mengenai penyalahgunaan posisi dominan, perbedaan juga dapat
dilihat dari pengaturan tentang posisi dominan yaitu hubungan afiliasi dengan
pihak lain dalam hal ini adalah jabatan rangkap dan kepemilikan saham silang.
Dari seluruh negara ASEAN yang telah mempunyai instrumen hukum persaingan
usaha yang komperhensif hanya Indonesia yang didapati mempunyai pengaturan
mengenai hubungan afiliasi dengan pihak lain dalam hal ini berupa jabatan
rangkap dan kepemilikan saham silang.
Perbedaan diantara negara-negara anggota ASEAN juga terlihat dari
pengaturan kontrol terhadap merger. Di kawasan ASEAN masih terdapat negara
yang belum mengatur secara spesifik mengenai kontrol terhadap merger, hal ini
dapat ditemui di Malaysia yang tidak mempunyai pengaturan mengenai kontrol
terhadap merger dalam hukum persaingan usahanya.
Melihat masih belum adanya keseragaman terkait dengan pengaturan
kepemilikan posisi dominan dalam hukum yang berlaku di negara-negara ASEAN
semakin menegaskan pentingnya suatu upaya harmonisasi pengaturan di kawasan
ASEAN terkait dengan kepemilikan posisi dominan. Harmonisasi pengaturan
tersebut penting untuk memberikan suatu aturan main yang jelas dan berlaku
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY
56
global bagi seluruh pelaku usaha di negara-negara ASEAN dalam rangka
menghadapi adanya AEC pada tahun 2015.
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Skripsi HARMONISASI PENGATURAN POSISI DOMINAN DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY DTINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA
DINDA RAMADHANY