analisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya … · kata pengantar puji syukur penulis panjatkan...
Post on 18-Mar-2019
231 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS DAYA SAING PRODUK INDONESIA YANG SENSITIF TERHADAP LINGKUNGAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
FANYA TAMARA KARINA H14104104
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
FANYA TAMARA KARINA. Analisis Daya Saing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI)
Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) telah memunculkan isu baru yaitu kaitan antara perdagangan dan lingkungan. Green Economics adalah konsep baru dari ekonomi yang mengedepankan keseimbangan ekonomi dan ekologi melalui kesinambungan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan. Dalam konteks ini, keterkaitan aspek lingkungan di dalam perdagangan adalah bahwa lingkungan dan sumber daya alam merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan. Seiring terbukanya akses globalisasi, perdagangan internasional telah menjadi ajang persaingan yang besar diantara negara-negara. Salah satu ukuran terpercaya untuk menghadapi tantangan ini adalah daya saing. Kebijakan lingkungan suatu negara akan berdampak pada akses pasar dan daya saing internasional khususnya pada negara berkembang. Beberapa persyaratan lingkungan yang ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen domestik suatu negara akan menjadi penghambat negara eksportir. Contohnya pada penerapan standarisasi ekolabel dan ISO14000 pada produk berbasis kehutanan yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi besar-besaran. Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa penebangan hutan secara liar/deforestasi merupakan permasalahan lingkungan yang paling utama dan paling memprihatinkan yang terjadi di Indonesia, sehingga produk-produk yang berkaitan langsung dengan permasalahan lingkungan tersebut diklasifikasikan sebagai produk yang mempunyai kadar sensitifitas tinggi terhadap lingkungan yang dalam pengelolaannya diperlukan perhatian lebih agar dapat lebih meminimalisir efek negatifnya terhadap lingkungan (KLH, 2007). Faktanya PDB dari sektor kehutanan relatif besar, sektor industri kayu terutama menyumbangkan devisa yang relatif tinggi. Pada tahun 2006 ekspor produk kayu Indonesia mencapai lebih dari US$ 3 milyar. Sektor ini juga sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Menurut Asosiasi Pengusaha Kayu Indonesia, pada tahun 2006 industri sektor kehutanan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak lebih dari 1 juta orang (APKINDO, 2006). Namun bagi negara eksportir khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, ketentuan tersebut akan menyulitkan karena terkadang tidak sesuai dengan kondisi produk yang dihasilkan. Semenjak diberlakukannya kebijakan ekolabel, rata-rata produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis), Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur kertas), Coniferous of Wood (kayu serabut), dan Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit) mengalami fluktuasi pada volume ekspornya dari tahun ke tahun dan sebagian besar mengalami penurunan. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah (1) bagaimana posisi daya saing produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia? dan (2) faktor apakah yang paling mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia.
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series sejak tahun 2000-2006. Metode analisis yang digunakan adalah Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD) untuk menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif, dan pendekatan Constant Market Share (CMS) yang digunakan untuk menganalisis faktor yang paling mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia. Berdasarkan analisis daya saing komparatif dan kompetitif, dari empat produk yang dianalisis, hanya satu produk yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang tinggi, yaitu produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit). Dua diantaranya lebih memiliki keunggulan komparatif, produk tersebut adalah Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) dan Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas. Sedangkan produk Coniferous of Wood (kayu serabut) tidak mempunyai keunggulan komparatif maupun kompetitif. Hasil analisis CMS berdasarkan studi ini menunjukan bahwa daya saing keempat produk yang dianalisis dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan impor dan faktor komposisi komoditi selama periode 2000-2006, kecuali untuk produk Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit) yang paling dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan impor saja. Bagi para pelaku eksportir disarankan dalam jangka panjang agar mampu meningkatkan daya saing produk yang akan diekspor dengan cara mulai memperhatikan dan menerapkan secara nyata berbagai persyaratan perdagangan yang diajukan oleh pihak importir, baik dari segi kualitas maupun peningkatan penerapan standarisasi terhadap keselamatan lingkungan hidup jika tidak ingin terjadi peralihan pangsa pasar ke negara pesaing.
ANALISIS DAYA SAING PRODUK INDONESIA YANG SENSITIF TERHADAP LINGKUNGAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
FANYA TAMARA KARINA H14104104
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa : Fanya Tamara Karina
Nomor Registrasi Pokok : H14104104
Program studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Daya Saing Produk Indonesia yang
Sensitif terhadap Lingkungan dan Faktor-
faktor yang Mempengaruhinya
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc
NIP. 131 967 243
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Rina Oktaviani, Ph.D
NIP. 131 846 872
Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH
DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Januari 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Fanya Tamara Karina lahir pada tanggal 6 April 1986 di
Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dari
pasangan Dedy Achwandi dan Yulia Risdiani. Jenjang pendidikan penulis dilalui
seluruhnya di Kota Bogor. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Pengadilan V
Bogor pada tahun 1993. Kemudian melanjutkan SLTP Negeri V Bogor dan lulus
pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri II Bogor
dan lulus pada tahun 2004.
Pada tahun 2004, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi
dan Institut Pertanian Bogor merupakan pilihan yang utama. Penulis masuk IPB
melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru dan diterima sebagai
mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif di berbagai kepanitiaan seperti
Economics Contest dan Hipotex-R. Penulis juga pernah menjadi pengurus pada
organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ekonomi Studi Pembangunan
(Hipotesa).
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat
dan karunia - Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“ Analisis Daya Saing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan
dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ”. Masalah daya saing produk
Indonesia di pasar dunia merupakan suatu hal yang sangat krusial dalam upaya
peningkatan ekspor produk Indonesia khususnya produk yang sensitif terhadap
lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya pun sangat penting diketahui
untuk membantu membuat kebijakan dalam rangka peningkatan daya saing.
Keterkaitan itulah yang ingin diteliti. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
sabar dalam memberikan bimbingan, baik secara teknis maupun teoritis.
2. Widyastutik, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan
kritik yang membangun bagi kesempurnaan karya ini.
3. Jaenal Effendi, MA sebagai dosen penguji Komisi Pendidikan yang telah
memberikan saran mengenai tata cara penulisan yang baik dan benar.
4. Rina Oktaviani, Ph.D dan M. Firdaus, Ph.D atas ilmu yang telah banyak
diberikan selama ini.
5. Staf Departemen Ilmu Ekonomi dan staf Fakultas Ekonomi dan
Manajemen atas kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu di
Departemen Ilmu Ekonomi.
6. Keluarga tercinta, HM. Dedy Achwandi dan Hj. Yulia Risdiani, atas
segala kasih sayang dan doa’nya untuk keberhasilan penulis dan selalu
memberikan dukungan sehingga karya ini bisa terselesaikan juga adik-adik
Arsya dan Adli.
7. Teh Lea, Heri dan Indah yang telah banyak memberikan bantuan-bantuan
dan kebersamaan selama ini.
8. Teman-teman IE 41, Della, Dilla, Hana, Heni, Rani, Mair, Chai, Dora,
Baba, Nisa, Septi, Yeli, Tika, Mamieh, Iyo, Uunk, Abi, Dani, Dado, Islam,
Siera, Sigit, Soli, Dewi, Maxy dan IE lainnya yang bukan dilupakan tapi
tidak bisa disebutkan satu persatu.
9. Sahabat-sahabatku Rini, Yeni, Asri, Diana, Rere, Minceu, Abs, Tatang.
Thank you for our never ending friendship.
10. Untuk semua pihak yang telah membantu dan mengisi hidupku. You may
not be written but you’re not forgotten.
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Januari 2009
Fanya Tamara Karina
H14104104
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
DAFTAR TABEL............................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 12
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 13
1.5. Ruang Lingkup Penelitian.............................................................. 13
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................... 14
2.1. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 14
2.1.1. Ekonomi Versus Lingkungan.............................................. 14
2.1.2. Internalisasi Aspek Lingkungan Hidup dalam Perdagangan 16
2.1.3. Teori Perdagangan Internasional......................................... 18
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor ...... 22
2.1.5. Konsep Daya Saing............................................................. 24
2.2. Studi Penelitian Terdahulu............................................................. 28
2.2.1. Penelitian Mengenai Daya Saing........................................ 28
2.2.2. Penelitian Mengenai Ekonomi dan Lingkungan ................ 32
2.3. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 34
III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 39
3.1. Jenis dan Sumber Data... ................................................................ 39
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data... ....................................... 40
3.2.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) .......................... 41 3.2.2. Constant Market Share Analysis (CMS)............................. 41 3.2.3. Export Product Dynamic (EPD) ......................................... 42
IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................. 45
4.1. Pertumbuhan Ekspor Indonesia di Pasar Dunia ............................ 45
4.2. Pertumbuhan Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan ................................................................................... 46
4.2.1. Pertumbuhan Ekspor Wood and Articles of Wood (Kayu dan Artikel Kayu)................................................. 46
4.2.2. Pertumbuhan Ekspor Pulp (Bubur Kertas) ..................... 50
4.2.3. Pertumbuhan Ekspor Vegetable Fats and Oils (Minyak Nabati) .............................................................. 53
4.3. Perkembangan Impor Dunia ......................................................... 56
4.3.1. Perkembangan Impor Plywood Consisting Solely of Sheets (Kayu Lapis) Dunia ............................................ 56
4.3.2. Perkembangan Impor Coniferous of Wood (Kayu Serabut) Dunia ...................................................... 57
4.3.3. Perkembangan Impor Semi Bleached or Bleached Pulp Of Paper (Bubur Kertas) Dunia....................................... 59
4.3.4. Perkembangan Impor Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) Dunia ............................................ 61
V. ANALISIS DAYA SAING PRODUK INDONESIA YANG SENSITIF TERHADAP LINGKUNGAN DAN FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA ......................................................................... 63
5.1. Analisis Daya Saing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan ................................................................................... 63
5.1.1. Analisis Keunggulan Komparatif (Revealed Comparative Advantage) ......................................................................... 64
5.1.1.1. Analisis Produk Plywood Consisting Solely of Sheets (Kayu Lapis) ........................................... 64
5.1.1.2. Analisis Produk Semi-Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) ............................ 68
5.1.1.3. Analisis Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) .................................................. 70
5.1.1.4. Analisis Produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit)................................... 73
5.1.2. Analisis Keunggulan Kompetitif Produk Ekspor Dinamis (Export Product Dynamic)................................................ 75
5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan ............................ 77
5.2.1. Analisis Pangsa Pasar Konstan (Constant Market Share) 77
5.2.1.1. Analisis CMS Produk Plywood Consisting Solely of Sheets (Kayu Lapis) ........................... 77
5.2.1.2. Analisis CMS Produk Semi-Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) ........... 79
5.2.1.3. Analisis CMS Produk Coniferous of Wood
(Kayu Serabut) .................................................. 81
5.2.1.4. Analisis CMS Produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) ........................... 84
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 86
6.1. Kesimpulan .................................................................................... 86
6.2. Saran .............................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 89
LAMPIRAN ..................................................................................................... 92
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produk Domestik Bruto (PDB ) Sektor Kehutanan Tahun 2000-2006 ................................................................................................ 2
2. Produk Domestik Bruto (PDB ) Sektor Perikanan dan Perkebunan Tahun 2000-2006 ..................................................................................... 3
3. Volume Ekspor Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan di Pasar Dunia ($ ‘000)........................................................ 11
4. Matriks Posisi Pasar ................................................................................. 44
5. Estimasi RCA Produk Plywood Consisting solely of sheets (Kayu Lapis) ............................................................................................ 65
6. Estimasi RCA Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas).......................................................................................... 68
7. Estimasi RCA Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) ................... 71
8. Estimasi RCA Produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) ........................................................................................ 74
9. Hasil Estimasi Export Product Dynamic (EPD) ...................................... 77
10. Estimasi CMS Produk Plywood Consisting solely of sheets (Kayu Lapis) ............................................................................................ 78
11. Estimasi CMS Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas).......................................................................................... 80
12. Estimasi CMS Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) ................... 82
13. Estimasi CMS Produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) ........................................................................................ 84
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional ................... 22
2. Kerangka Pemikiran................................................................................ 37
3. Perkembangan Nilai Ekspor Indonesia Tahun 2000-2006...................... 46
4. Perkembangan Nilai Ekspor Wood and articles of wood (Kayu dan Artikel Kayu) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006.. 47
5. Perkembangan Ekspor Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 ........................................... 48
6. Perkembangan Ekspor Coniferous of Wood (Kayu Serabut) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 ........................................... 50
7. Perkembangan Ekspor Pulp Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 .................................................................................... 51
8. Perkembangan Ekspor Semi Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 .................. 52
9. Ekspor Vegetable Fats and Oils Indonesia ke Pasar Dunia Tahun 2000-2006 ................................................................................... 54
10. Perkembangan Ekspor Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006................. 55
11. Perkembangan Impor Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) Dunia Tahun 2000-2006 ......................................................................... 56
12. Perkembangan Impor Coniferous of Wood (Kayu Serabut) Dunia Tahun 2000-2006 .................................................................................... 58
13. Perkembangan Impor Semi Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) Dunia Tahun 2000-2006 ................................................ 60
14. Perkembangan Impor Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) Dunia Tahun 2000-2006 ............................................... 61
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) 93
2. Hasil Estimasi Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas)........................................................................................... 93
3. Hasil Estimasi Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) .................... 94
4. Hasil Estimasi Produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit) ......................................................................................... 94
5. Kompilasi Data Ekspor Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 ...... 94
6. Kompilasi Data Ekspor Dunia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006 ........... 95
7. Kompilasi Data Impor Dunia Tahun 2000-2006 ..................................... 95
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Pengembangan hasil bumi dan sumber daya alam demi peningkatan
ekonomi bukan lagi merupakan suatu sistem pembangunan yang hanya
mementingkan keuntungan semata, namun melalui konsep pembangunan yang
berkelanjutan, kehidupan di masa yang akan dating pun turut diperhatikan.
Pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development) adalah
pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan dalam jangka panjang
dimana implementasinya sangat erat terkait dengan kesadaran lingkungan. Era
globalisasi yang baru dimulai, telah memunculkan isu baru yang berkaitan dengan
pembangunan yang berkelanjutan, yaitu isu tentang perdagangan dan lingkungan,
dimana tema Green Economics sedang di galakan di dunia internasional. Green
Economics adalah konsep baru dari ekonomi yang mengedepankan keseimbangan
ekonomi dan ekologi melalui kesinambungan sumber daya alam dan kelestarian
lingkungan.
Sektor pertanian sebagai sektor yang berbasis sumber daya alam,
merupakan salah satu diantara ketiga sektor utama yang menyumbang
perekonomian Indonesia, yaitu sektor pertanian, industri pengolahan dan
perdagangan. Bila digabungkan ketiganya mempunyai peran lebih dari separuh
dari total perekonomian yaitu sebesar 58.5 persen pada tahun 2004, 56.1 persen
(2005), 55.5 persen (2006) dan 55.7 (2007) dengan sektor pertanian memberikan
kontribusi terhadap total perekonomian sebesar 13.8 persen pada tahun (2007).
Subsektor kehutanan khususnya, menyumbang perekonomian relatif besar.
Terlihat pada Tabel 1 bahwa PDB sektor kehutanan terus meningkat dari tahun
2000-2006 dimana peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 33
persen dari tahun sebelumnya dan mampu menyumbang devisa lebih dari 30
trilyun rupiah dengan kontribusi terhadap PDB rata-rata sebesar 4 persen per
tahun.
Tabel 1. Produk Domestik Bruto (PDB ) Sektor Kehutanan Tahun 2000-2006
Produk Domestik Bruto (PDB) No Tahun Kehutanan (Milyar Rupiah) Persentase Perubahan (%)
1 2000 16,343.0 - 2 2001 16,962.1 3.78 3 2002 17,602.4 3.77 4 2003 18,414.6 4.61 5 2004 20,290.0 10.18 6 2005 22,561.8 11.20 7 2006 30,017.0 33.04
Sumber : Departemen Kehutanan, 2006 Faktanya PDB dari sektor kehutanan sangat besar, sektor industri kayu
terutama menyumbangkan devisa yang relatif tinggi. Pada tahun 2006, ekspor
produk kayu Indonesia mencapai lebih dari US$ 3 milyar. Sektor ini juga sangat
berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Menurut APKINDO (Asosiasi Panel
Kayu Indonesia), pada tahun 2006 industri sektor kehutanan mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak lebih dari 5 juta orang (APKINDO, 2006), bila
dibandingkan dengan subsektor lainnya seperti sektor perikanan dan perdagangan.
Sektor perikanan mampu hanya mampu menyumbang rata-rata 2.5 persen per
tahunnya terhadap total PDB, sedangkan sektor perkebunan menyumbang rata-
rata 3.5 persen terhadap PDB per tahunnya.
Tabel 2. Produk Domestik Bruto (PDB ) Sektor Perikanan dan Perkebunan
Tahun 2000-2006 Perikanan Perkebunan No Tahun
PDB (MilyarRupiah)
Kontribusi PDB (%)
PDB (Milyar Rupiah)
Kontribusi PDB (%)
1 2003 20,283.8 2.6 30,968.3 3.2 2 2004 25,764.6 2.1 32,321.1 3.8 3 2005 28,498.1 2.4 42,675.9 3.7 4 2006 29,298.9 2.9 47,736.8 3.9
Sumber : BPS, 2006
Terkait dengan tema Green Economics dan Sustainable Development yang
sebelumnya dipaparkan, beberapa produk seperti produk hasil hutan, dan
eksplorasi sumber daya alam lainnya, sangat dikhawatirkan kelangsungannya
karena kecenderungannya yang sangat tinggi dalam kerusakan lingkungan.
Perkebunan kelapa sawit pun mulai dikhawatirkan keberadaannya karena adanya
kebijakan pengambilan lahan hutan untuk dialihkan menjadi lahan sawit Di satu
sisi, produktifitas dari industri yang berbasis sumber daya alam ini sangat
berperan penting dalam peningkatan perekonomian.
Di sisi lain, produktifitas dari industri yang berbasis sumber daya alam ini
menimbulkan beberapa eksternalitas yang negatif. Kebijakan-kebijakan yang
diambil untuk kepentingan dan atas nama perdagangan sering kali berbenturan
dengan kepentingan lingkungan. Contohnya, perdagangan untuk produk-produk
yang terkait dengan Multilateral Environmental Agreements (MEAs) seperti
perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun lintas batas, perdagangan
makhluk hidup yang dilindungi, perdagangan bahan perusak lapisan ozon dan
sebagainya. Selain itu untuk memacu peningkatan volume perdagangan, sering
kali terjadi pengurasan sumber daya alam yang melebihi kapasitas ekosistemnya
sehingga terjadi pembangunan yang tidak berkelanjutan (Unsustainable).
Kementrian Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan bahwa masalah
Lingkungan hidup di Indonesia saat ini adalah penebangan hutan secara
liar/pembalakan hutan, polusi air dari limbah industri dan pertambangan, polusi
udara di daerah perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke
3 di dunia), asap dan kabut dari kebakaran hutan, kebakaran hutan permanen/tidak
dapat dipadamkan dan perambahan suaka alam/suaka margasatwa, penghancuran
terumbu kerang, pembuangan sampah. Beberapa data mengenai kondisi
lingkungan di Indonesia menunjukan tingginya tingkat pemanfaatan sumber daya
alam yang menimbulkan peningkatan kerusakan serta pencemaran lingkungan
hidup adalah sebagai berikut (Rachmawati et. al., 2004):
a. Menurut statistik Indonesia 2001, pertambahan penduduk dari tahun 1980
s/d 2000 meningkat cepat. Pada tahun 1980 penduduk Indonesia berjumlah
146,935,000 jiwa bertambah sebesar 1.97 persen menjadi 178,500,000
jiwa pada tahun 1990. Pada tahun 2000 jumlahnya menjadi 205,845,000
jiwa atau naik 1.49 persen dengan kepadatan mencapai 109 jiwa per
kilometer persegi. Hal itu telah menyebabkan meningkatnya kebutuhan
pangan dan lapangan kerja serta telah mendorong peningkatan eksploitasi
sumber daya alam secara besar-besaran yang mengakibatkan terjadinya
kerusakan lingkungan.
b. Selain masalah ketersediaan air yang semakin terbatas dari segi volume,
pencemaran terhadap air juga menyebabkan semakin berkurangnya
kualitas air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan. Terutama
disebabkan oleh kegiatan industri, pertambangan, pembukaan lahan dan
pertanian.
c. Pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia menduduki ranking lima
terbesar di dunia (WHO, 2001) yang diakibatkan oleh kegiatan
transportasi, industri dan kebakaran hutan.
d. Lahan kritis di luar kawasan hutan mencapai 15.11 juta hektar dan di
dalam kawasan hutan sebanyak 8.14 juta hektar. Hutan rusak dalam areal
HPH sudah mencapai 11.66 juta hektar dan lahan eks-HPH yang
diserahkan kepada BUMN sebesar 2.59 juta hektar. Areal bekas tebangan
dalam areal HPH mencapai 11.09 juta hektar dan eks-HPH yang
diserahkan ke BUMN sebesar 2.5 juta hektar. Total hutan yang rusak
sudah mendekati angka 57 juta hektar akibat dari illegal logging yang
meliputi pencurian, penebangan liar, peredaran serta perdagangan kayu
secara illegal.
e. Terumbu karang di laut Indonesia kondisinya semakin mencemaskan,
sekitar 14 persen dalam kondisi kritis dan 46 persen telah mengalami
kerusakan. Hutan mangrove Indonesia diperkirakan tinggal sekitar 3.24
juta hektar dari 4.25 juta hektar. Hal ini salah satunya disebabkan oleh
pertambangan dan eksplorasi minyak di lepas pantai.
f. Pengalihan pemanfaatan lahan untuk pembangunan terus berlanjut yang
mengakibatkan berkurang atau hilangnya lahan-lahan yang berfungsi
sebagai penopang keseimbangan lingkungan. Areal air tawar dari 11.5 juta
Ha telah berkurang menjadi 5.1 juta Ha. Danau telah berkurang sekitar
774.000 Ha menjadi 308.000 Ha.
Penebangan hutan secara liar/deforestasi merupakan masalah paling utama
dan paling memprihatinkan yang terjadi di Indonesia. Dengan laju deforestasi 3.4
juta hektar per tahun yang mengakibatkan berbagai bencana alam seperti banjir,
kekeringan dan tanah longsor akibat penggundulan hutan. Produk-produk industri
dan perdagangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan lingkungan
tersebut diklasifikasikan sebagai produk yang mempunyai kadar sensitifitas tinggi
terhadap lingkungan yang dalam pengelolaannya diperlukan perhatian lebih agar
dapat meminimalisir efek negatifnya terhadap lingkungan (KLH, 2007).
Seiring dengan terbukanya akses globalisasi, perdagangan internasional
telah menjadi ajang persaingan yang besar diantara negara-negara. Salah satu
ukuran terpercaya untuk menghadapi tantangan ini adalah daya saing. Krugman
(1996) terkenal menyebut daya saing sebagai obsesi berbahaya pada kritiknya
yang ditujukan terhadap kebijakan industri. Sebaliknya, Porter (1990) berpendapat
bahwa keunggulan kompetitif sebagai kunci daya saing, baik itu dalam
perusahaan, industri, maupun ekonomi secara keseluruhan.
Perdagangan secara umum sendiri didefinisikan sebagai proses jual beli
atau perpindahan arus barang dan jasa antara penjual dan pembeli. Dalam konteks
ini, keterkaitan aspek lingkungan di dalam perdagangan adalah bahwa lingkungan
dan sumber daya alam merupakan salah satu komoditi yang diperdagangkan.
Contohnya sumber daya alam yang merupakan bahan baku dan komoditi prioritas
pada sektor-sektor pertanian, kehutanan, manufaktur, pertambangan dan
sebagainya, yang juga merupakan primadona ekspor Indonesia selama ini.
Daya saing merupakan suatu konsep dinamis yang berhubungan dengan
kebijakan dan lembaga ekonomi yang dibutuhkan oleh suatu negara untuk
mempercepat perdagangan dan pertumbuhan ekonominya. Hal tersebut itulah
yang memacu terbentuknya pola perdagangan yang sekarang berkembang, yaitu
pola perdagangan bebas. Dengan perkembangan perdagangan bebas, aspek
lingkungan tidak lagi terisolasi sebagai komoditi, tetapi lebih meluas dan
kompleks terkait dengan penyediaan jasa, perjanjian internasional tentang
lingkungan maupun kebijakan lingkungan pada tingkat nasional maupun regional.
Sesuai dengan sifatnya, lingkungan hidup akan berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan suatu praktek perdagangan. Kebijakan lingkungan suatu
negara akan berdampak pada akses pasar dan daya saing internasional khususnya
pada negara berkembang. Beberapa persyaratan lingkungan yang ditujukan untuk
melindungi kepentingan konsumen domestik suatu negara sering kali menjadi
penghambat negara eksportir.
Ekolabel mulai berperan secara penuh di industri dan perdagangan
Indonesia semenjak tahun 2000. Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) juga berperan
sebagai lembaga akreditasi mulai tahun 2000. Setelah sistem sertifikasi selesai
dikembangkan, langkah yang dilakukan LEI untuk memperoleh pengakuan di
pasar internasional adalah mengembangkan dan mempertahankan hubungan,
diantaranya dengan Forest Stewardship Council (FSC), asosiasi-asosiasi
perdagangan dan industri di negara-negara pengimpor dan kelompok pembeli
produk kayu bersertifikasi (Buyers Group of Certified Wood Products) yang
disponsori oleh WWF di berbagai negara (LEI, 2005)
Bagi negara eksportir khususnya negara-negara berkembang seperti
Indonesia, ketentuan tersebut akan menyulitkan karena tidak sesuai dengan
kondisi produk yang dihasilkan. Walaupun untuk mengatasi hal ini negara
eksportir dapat meningkatkan daya saing produknya dengan mengadopsi
kebijakan dan tindakan-tindakan lingkungan yang tepat yang berlaku secara
nasional maupun internasional, misalnya dengan segera menerapkan standar
ekolabel untuk produk tertentu, sehingga akan mendorong peningkatan kualitas
produk ekspornya.
1.2. Perumusan Masalah
Kekhawatiran munculnya perekonomian bebas yang merugikan, melahirkan
isu-isu baru yang dihembuskan melalui kampanye-kampanye lingkungan. Kini,
pembatasan perdagangan dilakukan dengan penghalang yang lebih beralasan
ilmiah seperti dampak kesehatan maupun kelestarian alam. Satu hal yang pasti
dalam era perdagangan bebas sekarang ini dan dikemudian hari adalah bahwa, di
satu sisi semua hambatan perdagangan dalam bentuk tarif atau bea masuk impor
(BMM) akan hilang, namun di sisi lain, hambatan non tarif (NTB) akan semakin
banyak. NTB ini secara eksplisit tersirat dalam isu-isu seperti standar lingkungan
atau kelestarian (alam maupun binatang).
Dalam masalah lingkungan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa isu
ini menjadi salah satu bagian penting dalam setiap kesepakatan perdagangan, baik
dalam bentuk bilateral atau multilateral, pada tingkat regional maupun global.
Sudah banyak kasus khususnya untuk ekspor komoditas-komoditas pertanian dan
kehutanan yang menunjukan kesulitan yang dihadapi oleh Indonesia untuk
memenuhi standar yang diminta oleh pihak pembeli. Indonesia juga sering
mengalami kesulitan dalam mengekspor produk-produk industri karena isu
lingkungan. Misalnya dalam hal industri kayu dan pulp. Sebagai negara tropis,
Indonesia seharusnya memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi
bahan baku kertas (pulp). Namun tidak mudah bagi Indonesia untuk
megekspornya. Praktik pembalakan liar sering kali dipakai oleh negara-negara
maju untuk menekan industri pulp dan kayu nasional. Hal itu pun terjadi pada
industri lainnya.
Dalam masalah standar kualitas, disadari bahwa kualitas sangat penting
untuk mendorong daya saing produk Indonesia agar bisa unggul di pasar dunia,
sedangkan, di sisi lain, Indonesia sampai saat ini masih mempunyai masalah
serius untuk memenuhi persyaratan tersebut. Hingga Agustus 2007, pemerintah
Indonesia telah menetapkan 3.200 standar nasional industri (SNI), tetapi baru 215
SNI produk yang diwajibkan. SNI yang diwajibkan itu pun sebagian besar masih
berlaku sukarela karena baru 34 SNI produk yang dinotifikasi ke Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). Tanpa notifikasi, tidak ada mekanisme pengawasan
dan sanksi yang dapat diterapkan (www.menlh.go.id).
Produk-produk yang sering kali dipermasalahkan dalam perdagangan
internasional adalah produk-produk yang sensitif terhadap isu lingkungan, apalagi
semenjak kebijakan ekolabel mulai diperhatikan secara penuh di dunia
internasional dan khususnya di Indonesia sejak tahun 2000, Produk tersebut
adalah (1) Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis), (2) Semi-bleached or
bleached pulp of paper (bubur kertas), (3) Coniferous of Wood (kayu serabut) ,
dan (4) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit). Dimana produk-
produk tersebut mempunyai kecenderungan yang tinggi terhadap hubungannya
antara peningkatan volume perdagangan dan kerusakan lingkungan (deforestasi)
serta besarnya volume ekspor produk-produk tersebut ke dunia. Terlihat dari
Tabel 3, rata-rata keempat produk tersebut mengalami volume ekspor yang sangat
berfluktuasi dari tahun ke tahun dan sebagian besar mengalami penurunan.
Penurunan volume ekspor terjadi khususnya pada komoditi Plywood
consisting solely of sheets (kayu lapis), Semi-bleached or bleached pulp of paper
(bubur kertas) dan Coniferous of Wood (kayu serabut), ketiga produk tersebut
rata-rata sempat mengalami penurunan ekspor yang sangat signifikan pada
rentang waktu 2000-2006. Penurunan tertinggi volume ekspor produk Plywood
consisting solely of sheets (kayu lapis) terjadi pada tahun 2004, adalah sebesar
US$ 1,178,467,834 di tahun 2004 dan pada tahun berikutnya menjadi US$
974,424,627 atau turun 17.31 persen. Pada produk Semi-bleached or bleached
pulp of paper (bubur kertas), penurunan tertinggi terjadi pada periode 2003-2004
dimana terjadi penurunan volume ekspor sebesar 25.78 persen dari semula US$
789,079,873 menjadi hanya US$ 585,659,163. Sedangkan untuk komoditi
Coniferous of Wood (kayu serabut), penurunan tertinggi terjadi pada periode
2004-2005 dimana penurunan produk tersebut mencapai 97.22 persen dari semula
US$ 2,204,895 menjadi US$ 61,235.
Tabel 3. Volume Ekspor Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap
Lingkungan di Pasar Dunia ($ ‘000)
Tahun
Plywood consisting solely of sheets
Semi Bleached or Bleached Pulp of
paper Coniferous of
Wood
Palm kernel or babassu oil and
frac
2000 1,501,021.458 706,910.619 7,382.051 169,550.221
2001 1,330,285.568 561,062.592 10,333.129 111,937.376
2002 1,289,258.255 705,383.847 6,260.231 200,997.230
2003 1,235,127.450 789,079.873 13,126.892 206,241.794
2004 1,178,467.834 585,659.163 2,204.895 385,997.314
2005 974,424.627 886,026.319 61,235 448,954.959
2006 1,011,491.745 1,054,148.869 466.209 506,001.876 Sumber : Comtrade, 2007 Persoalan menyangkut lingkungan memang hal yang rumit. Hal ini terkait
salah satunya dengan masalah daya saing. Permintaan eksportir/konsumen negara-
negara maju terhadap komoditas ekspor Indonesia terutama yang berbasis sumber
daya alam, tidak lagi hanya didasarkan pada kualitas, harga, desain, dan delivery.
Bahkan kini perlu diwaspadai adanya hambatan yang mempersoalkan asal-usul
bahan baku. Daya saing produk-produk yang sensitif terhadap lingkungan
merupakan suatu hal yang sangat krusial bagi keberlanjutan perdagangan produk
Indonesia di pasar dunia. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa hambatan non tarif
atau NTB seperti isu lingkungan saat ini merupakan isu penting bagi negara-
negara maju untuk meng-impor produk-produk tersebut dari negara peng-ekspor.
Mengidentifikasi faktor/determinan yang mempengaruhi pertumbuhan ekspornya
juga merupakan satu hal penting untuk membantu para pembuat kebijakan dalam
merumuskan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong agar produk-produk
Indonesia tersebut dapat bersaing di pasar global dan volume ekspor serta
kegiatan produksi di dalam negeri dapat ditingkatkan sehingga mendorong
pertumbuhan sektor riil. Maka diperlukan perhatian yang kontinu dalam
peningkatan kinerja pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi persyaratan
yang ditetapkan.
Berdasarkan pemaparan yang dilakukan sebelumnya, dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana posisi daya saing produk Indonesia yang sensitif terhadap
lingkungan di pasar dunia ?
2. Faktor apakah yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk
Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia ?
1.3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, ada beberapa hal yang
menjadi fokus dalam penelitian ini:
1. Menganalisis posisi daya saing produk Indonesia yang sensitif terhadap
lingkungan di pasar dunia,
2. Mengidentifikasi faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor
produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia
1.4. Manfaat
Hasil penelitian selain berguna untuk kepentingan peneliti juga diharapkan
dapat menjadi rekomendasi kebijakan agar Indonesia dapat turut serta dalam
perdagangan dunia secara kompetitif dengan negara lain, dengan tetap
mempertahankan kelestarian lingkungan. Selain itu juga diharapkan penelitian ini
dapat berguna untuk mengantisipasi tuntutan eksportir/konsumen luar negeri dan
meningkatkan daya kristis masyarakat (pelaku bisnis, dan pemerintah) terhadap
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan sehingga ke depan dapat
meningkatkan pangsa pasar dan daya saing komoditas ekspor Indonesia.
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini hanya membahas tentang daya saing produk Indonesia yang
sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia dan faktor yang mempengaruhinya
pada tahun 2000-2006 dan tidak membahas secara khusus dampak langsungnya
terhadap lingkungan. Produk-produk yang akan dianalisis dibatasi hanya empat
produk (HS 6 Digits) yaitu (1) Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis),
(2) Semi-bleached or bleached pulp of paper (bubur kertas), (3) Coniferous of
Wood (kayu serabut) dan (4) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit),
berdasarkan besarnya nilai ekspor keempat produk tersebut ke dunia serta
klasifikasi produk yang mempunyai kadar sensitifitas tinggi terhadap lingkungan
khususnya deforestasi (KLH, 2007).
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Ekonomi Versus lingkungan
Pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan sering
bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan, sehingga sering dikatakan
bahwa antara pembangunan ekonomi dan lingkungan terkesan kontradiktif. Tapi
hal ini tidaklah selalu benar karena antara dua kepentingan ini bisa saling
berinteraksi atau diintegrasikan sehingga kepentingan ekonomi dan lingkungan
bisa sama-sama tercapai. Kuatnya saling interaksi dan ketergantungan antara dua
faktor tersebut memerlukan pendekatan yang tepat bagi kepentingan
pembangunan berkelanjutaan atau pembangunan berwawasan lingkungan, yang
kita kenal dengan sebutan Sustainable Development.
Secara teoritis dan praktis, penilaian ekonomi sumber daya alam dengan
berdasarkan biaya moneter dari kegiatan ekstraksi dan distribusi sumber daya saja
seringkali mengakibatkan kurangnya insentif bagi penggunaan sumberdaya yang
sustainable. Selanjutnya kegiatan konsumsi yang berlebihan terhadap sumber
daya untuk kegiatan produksi dapat mengakibatkan terjadinya degradasi
lingkungan yang menjadi beban dan biaya lingkungan serta masyarakat. Untuk
mendukung pengembangan sumber daya yang sustainable maka biaya lingkungan
akibat degradasi itu harus diintegrasikan dalam seluruh aspek kegiatan ekonomi,
tidak hanya pada pola konsumsi perdagangan, tetapi juga terhadap sumber daya
lainnya. Menurut Lonergan dalam Yakin (1997), untuk menjamin terlaksananya
pembangunan yang berwawasan lingkungan, ada tiga dimensi penting yang harus
dipertimbangkan. Pertama adalah dimensi ekonomi yang menghubungkan antara
pengaruh unsur makroekonomi dan mikroekonomi pada lingkungan dan
bagaimana sumber daya alam diberlakukan dalam analisis ekonomi. Kedua adalah
dimensi politik yang mencakup proses politik yang menentukan penampilan dan
sosok pembangunan, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan pada
semua negara. Dimensi ini juga termasuk peranan agen masyarakat, struktur sosial
dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Ketiga adalah dimensi sosial dan budaya
yang mengkaitkan antara tradisi atau sejarah, dominasi ilmu pengetahuan barat
serta pola pemikiran dan tradisi agama. Ketiga dimensi ini berinteraksi satu sama
lain untuk mendorong terciptanya pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan, suatu pembangunan di
wilayah tertentu dapat berlangsung secara berkelanjutan jika permintaan total
manusia terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui
kemampuan suatu ekosistem untuk menyediakannya dalam kurun waktu tertentu.
Permasalahan lingkungan akan muncul jika permintaan manusia terhadap sumber
daya alam dan jasa-jasa lingkungan, melebihi kemampuan ekosistem wilayah
untuk menyediakan sumber daya alam dan jasa lingkungan tersebut (Yakin,
1997).
Perlindungan lingkungan hidup yang bertujuan untuk memperoleh
kualitas lingkungan yang baik, sekarang maupun masa yang akan datang,
memerlukan usaha yang sungguh-sungguh terutama dalam hal : (1) Inventarisasi
situasi lingkungan saat ini, (2) Lembaga serta organisasi yang khusus menangani
masalah lingkungan baik di pusat maupun daerah, terutama menentukan
penyimpangan, (3) Penyelesaian permasalahan secara ilmiah, terencana dan
politis, serta (4) Evaluasi terus menerus terhadap program-program lingkungan
serta persyaratan pembangunan proyek yang harus dipenuhi. Selain dampak
ekonomi, dampak lingkungan pada proyek juga harus diperhatikan (Suparmoko,
1998).
2.1.2. Internalisasi Aspek Lingkungan Hidup dalam Perdagangan
Ditinjau dari kepentingan sektor perdagangan global, aspek lingkungan
hidup merupakan bagian yang penting bagi daya saing barang dan jasa
(competitiveness dan comparativeness) dan akses pasar. Beberapa contoh dari
makin ketatnya persyaratan perdagangan antar negara, antara lain adalah
persyaratan lingkungan seperti ISO seri 14001 dan ecolabeling. Agar barang-
barang dan jasa dapat bersaing di pasar global dan volume ekspor serta kegiatan
produksi di dalam negeri dapat ditingkatkan sehingga mendorong pertumbuhan
sektor rill, maka diperlukan perhatian yang kotinu dalam peningkatan kinerja
pengelolaan lingkungan hidup untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Untuk mengantisipasi dan merespon perkembangan aspek lingkungan hidup
dalam kaitannya dengan perdagangan global, perlu dilakukan (Dewanthi dalam
Rachmawati. et. al., 2004) :
1. Liberalisasi di bidang perdagangan dan lingkungan hidup
dilaksanakan secara bertahap (progressive liberalization).
2. Liberalisasi, khususnya perundingan di bidang perdagangan dan
lingkungan, dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan kebijaksanaan
nasional antara lain dengan memperhatikan tingkat pembangunan
(level of development) Indonesia serta harus diupayakan untuk
mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
3. Penerapan standar lingkungan tidak boleh dijadikan hambatan dalam
perdagangan bebas, tidak diskriminatif, transparan dan tidak
mempunyai konflik dengan alat perdagangan yang diperlukan untuk
perlindungan lingkungan.
4. Peningkatan akses pasar bagi produk-produk Indonesia harus lebih
mengarah kepada pengalokasian sumber daya alam yang lebih baik
guna membantu perlindungan lingkungan hidup.
5. Penerapan label lingkungan dalam perdagangan bebas dilaksanakan
dengan tujuan efisiensi di dalam pemanfaatan maupun penggunaan
sumber daya alam. Penerapan tersebut bersifat secara sukarela dan
bertahap dengan mengutamakan kepentingan pengelolaan lingkungan
hidup.
6. Pendekatan pemanfaatan teknologi didasarkan pada pemilihan
teknologi yang tepat guna, yaitu teknologi yang menggunakan metode
best applicable technology serta didasarkan pada pertimbangan upaya
pencegahan dini (eco-technology).
2.1.3. Teori Perdagangan Internasional
Pasal 1 Undang-undang NO. 32 Tahun 1964 tentang peraturan lalu lintas
devisa menyebutkan bahwa ekspor adalah pengiriman barang ke luar Indonesia.
Dari segi perspektif permintaan, kegiatan ekspor diasumsikan sebagai fungsi dari
permintaan pasar internasional terhadap suatu komoditi yang dihasilkan oleh
suatu negara, sedangkan kegiatan impor diasumsikan sebagai fungsi permintaan
suatu negara terhadap suatu komoditi pasar internasional.
Ekspor merupakan penjualan barang yang dihasilkan oleh suatu negara ke
negara lain. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkan ke
negara lain yang tidak dapat menghasilkan sendiri barang-barang yang dihasilkan
oleh negara pengekspor. Dalam perdagangan internasional khususnya, ekspor
mempunyai peranan penting yaitu sebagai motor penggerak perekonomian
nasional. Sebab ekspor dapat menghasilkan devisa, yang selanjutnya dapat
digunakan untuk membiayai impor dan pembiayaan pembangunan sektor-sektor
di dalam negeri. Sedangkan impor merupakan pembelian barang yang dilakukan
oleh suatu negara ke negara lain yang menghasilkan barang tersebut. Impor terjadi
karena suatu negara tidak bisa menghasilkan barang-barang modal dan berbagai
jenis barang untuk keperluan negaranya. Jika impor lebih besar daripada ekspor,
maka cadangan devisa akan berkurang atau neraca perdagangan akan defisit
(Amir, 1995).
Ada beberapa faktor yang mendorong timbulnya perdagangan
internasional (ekspor impor) suatu negara dengan negara lain, yaitu keinginan
untuk memperluas pemasaran komoditi ekspor, memperbesar penerimaan bagi
kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran permintaan antar negara
dan tidak semua negara mampu menyediakan kebutuhan masyarakatnya akibat
adanya perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditi tertentu.
Teori mengenai perdagangan diantara dua negara yang dikenal luas
dengan teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Asumsi yang
menjadi dasar dalam teori ini adalah perdagangan internasional hanya dapat
terjadi pada negara yang memiliki keuntungan absolut. Jika suatu negara lebih
efisien atau memiliki keunggulan absolut terhadap negara lainnya dalam
memproduksi suatu komoditas, namun kurang efisien dibandingkan negara lain
dalam memproduksi komoditi lain, maka kedua negara tersebut dapat
memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi
dalam komoditi unggulan dan menukarkannya dengan komiditi lain yang tidak
memiliki keunggulan absolut dalam suatu mekanisme perdagangan internasional
(Salvatore, 1997).
Kenyataannya dalam forum perdagangan global, fakta menunjukan bahwa
tidak semua negara di dunia mempunyai keunggulan absolut dalam perdagangan.
Kelemahan teori keunggulan absolut ini dikoreksi oleh David Ricardo melalui
buku yang berjudul Principal of Political Economy and Taxation. Teori tersebut
dalam perkembangannya disebut sebagai teori keunggulan komparatif. Menurut
hukum keunggulan komparatif, meskipun suatu negara kurang efisien (memiliki
kerugian absolut) terhadap negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas,
namun masih terdapat asumsi keunggulan komparatif yang dapat mendasari
dalam perdagangan internasional. Asumsi ini diaplikasikan melalui spesialisasi
dalam kegiatan produksi produk ekspor dengan kerugian absolut lebih kecil
(keunggulan komparatif) dan sebaliknya melakukan impor terhadap komoditas
yang memiliki kerugian absolut (kerugian komparatif) yang lebih besar.
Beberapa asumsi lain yang dikemukakan oleh Ricardo adalah (1) hanya
terdapat dua negara dengan dua komoditas, (2) perdagangan bersifat bebas, (3)
Terdapat mobilitas antar dua negara tersebut, (4) biaya produksi konstan, (5) tidak
terdapat biaya transportasi, (6) teknologi konstan, (7) menggunakan teori nilai
tenaga kerja.
Perkembangan dalam teori perdagangan internasional selanjutnya
dikemukakan oleh Heckscher-Ohlin (H-O). Menurut Hecksher-Ohlin, terdapat
perbedaan opportunity cost suatu produk antar suatu negara dengan negara lain
yang disebabkan karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi yang dimiliki
masing-masing negara. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif
banyak dan murah dalam produksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan
mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor
barang tertentu apabila negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif
langka dan mahal dalam produksinya (Salvatore, 1997).
Analisis penawaran ekspor dan permintaan impor pada pasar
internasional dapat dilakukan secara sederhana dengan menggunakan konsep
dasar fungsi penawaran dan permintaan domestik untuk kasus dua negara dengan
suatu komoditi perdagangan tertentu. Misalnya adalah penawaran dan permintaan
komoditi i di pasar domestik (Gambar 1), masing-masing adalah SA dan DA di
Negara A serta SB dan DB di negara B.
Tanpa perdagangan terbuka, keseimbangan I negara A di capai pada
kondisi EA dengan volume transaksi QA dan harga PA. Di Negara B keseimbangan
dicapai pada kondisi EB dengan volume transaksi QB dan harga PB, dengan asumsi
bahwa harga domestik di negara A lebih murah dibandingkan dengan harga
domestik yang terjadi di Negara B.
Harga diatas PA, produsen di negara A akan menghasilkan lebih banyak
daripada yang bersedia di beli konsumen di negara tersebut, jadi penawaran SA di
titik EA dapat excess supply function (OEA), di negara A. Sementara untuk harga
dibawah harga PB, konsumen di negara B akan meminta lebih banyak daripada
yang ingin dihasilkan produsen di negara tersebut. Jadi fungsi permintaan DB
dibawah titik EB dapat mencerminkan excess demand function (OEB).
Perdagangan internasional dalam hal ini menyeimbangkan antara excess demand
dan excess supply, karena besarnya segitiga OAE = segitiga OEB.
Selanjutnya, dimisalkan ada perdagangan antara negara A dan negara B,
dengan asumsi biaya transportasi adalah nol. Penawaran ekspor pada pasar
internasional digambarkan oleh SW yang merupakan excess supply function dari
negara A, dan permintaan impor digambarkan oleh DW yang merupakan excess
demand function dari negara B, keseimbangan di pasar dunia terjadi pada titik EW
yang menghasilkan harga dunia sebesar PW, dimana negara A mengekspor (QA1-
QA2) yang sama dengan jumlah yang diimpor negara B (QB1-QB2). Jumlah
ekspor dan impor tersebut ditunjukan oleh volume perdagangan sebesar QW pada
pasar internasional.
P P P SA Sw SB ’ PB o EA EW EB
PW o PA o Dw DB DA QA1 QA QA2 Q QW Q QB1 Q QB2 Q Sumber : Salvatore, 1997
Gambar 1. Analisis Keseimbangan Parsial Perdagangan Internasional
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penawaran Ekspor
Penawaran suatu komoditi merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan
oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu
tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran suatu komoditi adalah
harga komoditi yang bersangkutan, harga faktor produksi, tingkat teknologi, pajak
dan subsidi.
Ekspor suatu komoditi selain untuk memenuhi permintaan dalam negeri,
penawaran suatu komoditas juga dimaksudkan untuk memenuhi permintaan
masyarakat luar negeri. Penawaran ekspor suatu komoditi dari suatu negara
merupakan selisih antara penawaran domestik dengan permintaan domestik. Di
lain pihak, negara lain membutuhkan komoditi tersebut sebagai akibat dari
kelebihan permintaan di negara tersebut. Berdasarkan uraian tersebut maka teori
penawaran ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran ekspor suatu negara.
Secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut :
SXt = Qt – Ct + St-1 ...............................................
(2.1.5.1)
Dimana : SXt = Jumlah ekspor komoditi periode waktu t
Qt = Jumlah produksi domestik periode waktu t
Ct = Jumlah konsumsi domestik periode waktu t
St-1 = Stok periode waktu sebelumnya (t-1)
Dari persamaan 2.1.5.1 dapat terlihat bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penawaran ekspor pada dasarnya terdiri dari faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi, konsumsi dan stok (Lipsey et, al,. 1995).
Permintaan ekspor suatu komoditi merupakan hubungan yang menyeluruh
antara kuantitas komoditi yang akan dibeli konsumen selama periode tertentu
pada suatu tingkat harga. Permintaan pasar suatu komoditi merupakan
penjumlahan secara horizontal dari permintaan-permintaan individu suatu
komoditi. Namun jika dilihat dari segi permintaan, kegiatan ekspor diasumsikan
sebagai fungsi permintaan pasar internasional terhadap suatu komoditi yang
dihasilkan oleh suatu negara. Permintan ekspor adalah permintaan pasar
internasional atau suatu negara tertentu terhadap suatu komoditi. Teori permintaan
ekspor bertujuan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
ekspor suatu negara. Sebagai sebuah permintaan, ekspor suatu negara dipengaruhi
oleh beberapa faktor, diantaranya harga domestik negara tujuan ekspor (HDIt),
harga impor negara tujuan (HIt), pendapatan perkapita penduduk negara tujuan
ekspor (YPIt) dan selera masyarakat negara tujuan (CPIt). Secara keseluruhan
fungsi permintaan ekspor suatu komoditi dapat dirumuskan sebagai berikut
(Lipsey et, al,. 1995) :
PXt = f (HDIt , HIt , YPIt , CPIt) ..........................
(2.1.6.1)
2.1.5. Konsep Daya Saing
Daya saing merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar
luar negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar tersebut, dalam
artian jika suatu produk mempunyai daya saing maka produk tersebutlah yang
banyak diminati konsumen. Dilihat dari keberadaannya mengenai keunggulan
dalam daya saing, maka keunggulan daya saing dari suatu komoditi
dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (natural advantage) keunggulan
alamiah/keunggulan absolut dan (acquired advantage) keunggulan yang
dikembangkan
Pada saat ini keunggulan alamiah atau keunggulan absolut yang dimiliki
oleh suatu negara untuk salah satu komoditinya tidak secara langsung
menyebabkan komoditi tersebut akan menguasai pangsa pasar dunia, ini
dikarenakan jumlah produsen tidak hanya satu negara, akan tetapi ada beberapa
negara yang sama-sama menghasilkan komoditi tersebut dengan kondisi
keunggulan alamiah yang sama. Daya saing suatu komoditas dapat
diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif.
Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David
Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam
sistem ekonomi yang terbuka. Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo
menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut
dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingan negara lain, namun
perdagangan yang saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio
harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan
(Lindert dan Kindleberger, 1993)
Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (Labor
theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting
menentukan nilai suatu komoditas, yaitu faktor tenaga kerja. Nilai suatu
komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja
yang diperlukan untuk menghasilkannya. Teori keunggulan komparatif Ricardo
disempurnakan oleh teori biaya imbangan (opportunity cost theory). Argumentasi
dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh
perbedaan biaya. Biaya disini menunjukan produksi komoditas alternatif yang
harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan.
Selanjutnya teori Heckscher Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan
bahwa komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi
(yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar
dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang
sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor
dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin dalam Lindert dan Kindleberger,
1993).
Konsep keunggulan komparatif menurut Sudaryanto dan Simatupang
(1993) merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya
saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.
Keunggulan komparatif tidak stabil dan cenderung berubah seiring berjalannya
waktu dan perubahan produksi. Menurut Wilcox, Cochrane dan Hardt dalam Dahl
dan Hammond (1977), ada beberapa alasan dalam perubahan keunggulan
komparatif, yaitu (1) perubahan sumber daya alam seperti erosi tanah (2)
perubahan dalam faktor-faktor biologis seperti peningkatan hama dan penyakit (3)
perubahan harga input (4) peningkatan mekanisasi tanah dan (5) peningkatan
transportasi yang lebih efisien dan lebih murah yang memberikan lebih banyak
kemudahan bagi area jauh dari pasar.
Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah
kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah
kelayakan finansial dari suatu aktifitas. Sudaryanto dan simatupang (1993)
mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan
finansial adalah keunggulan kompetitif atau Revealed Competitive Advantage
yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian
aktual. Untuk dapat bersaing di pasaran dunia maka suatu komoditi harus
memiliki keunggulan lain selain keunggulan alamiah, yaitu keunggulan
kompetitif.
Berbeda dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage)
yang menyatakan bahwa suatu negara tidak perlu menghasilkan suatu produk
apabila produk tersebut telah dapat dihasilkan oleh negara lain dengan lebih baik,
unggul, dan efisien secara alami, konsep keunggulan kompetitif adalah sebuah
konsep yang menyatakan bahwa kondisi alami tidaklah perlu untuk dijadikan
penghambat karena keunggulan pada dasarnya dapat diperjuangkan dan
ditandingkan (dikompetisikan) dengan berbagai perjuangan/usaha. Dan
keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di
dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat
bersaing di pasar (Porter, 1990).
Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing dapat diidentifikasikan
dengan produktifitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang
digunakan. Peningkatan produktifitas ini dapat disebabkan oleh peningkatan
jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang
digunakan dan peningkatan teknologi. Daya saing suatu industri dari suatu bangsa
atau negara tergantung pada keunggulan dari empat atribut yang dimilikinya yang
terkenal dengan sebutan Porter’s Diamond, yang terdiri dari (1) kondisi faktor;
(2) Kondisi permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; (4) strategi, struktur
dan persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama dan
ditambah dengan kesempatan, serta kebijakan pemerintah yang kondusif untuk
mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut tersebut, akan
mempengaruhi kemampuan bersaing suatu industri di suatu negara.
Menurut Sahin, et.al (2006), daya saing sebuah negara didefinisikan
sebagai suatu kemampuan bertahan dalam rangka mendapatkan keunggulan
komparatif dalam perdagangan dan investasi. Efisiensi institusi publik, basis
pendidikan yang kuat sebagai dasar untuk investasi sumber daya manusia jangka
panjang dan pembangunan keterampilan, merupakan faktor-faktor pendukung dan
penunjang daya saing. Sedangkan menurut National Competitiveness
Council (2006), daya saing didefinisikan sebagai kemampuan untuk menerima
keberhasilan sebagai pemimpin pasar untuk memberikan standar kehidupan yang
lebih baik untuk setiap orang. Definisi ini kemudian diterangkan melalui sebelas
kriteria yang harus dipenuhi dalam membangun daya saing, yaitu performa
ekonomi, internasionalisasi, modal, pendidikan, produktivitas, kompensasi tenaga
kerja dan biaya tenaga kerja per unit, biaya perusahaan non tenaga kerja,
perpajakan, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi kemasyarakatan,
infrastruktur transportasi, serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
Kesebelas kriteria tersebut kemudian dilengkapi dengan dua kriteria krusial
lainnya yaitu kondisi regulasi dalam suatu negara dan kualitas kehidupan.
Tambahan kedua kriteria tersebut merupakan hal yang tidak mungkin dipisahkan
dalam membangun daya saing, karena apalah arti dari sebelas kriteria lainnya jika
kondisi regulasi dalam suatu negara dan kualitas kehidupan di dalamnya tidak
saling berkesinambungan dengan yang lainnya.
2.1. Studi Penelitian Terdahulu
2.2.1. Penelitian Mengenai Daya Saing
Telah banyak dilakukan penelitian-penelitan tentang daya saing, beberapa
diantaranya adalah penelitian Meryana (2007) tentang daya saing kopi robusta
Indonesia di pasar internasional. Jenis data yang digunakan adalah berupa data
sekunder. Dari hasil analisis struktur pasar dengan menggunakan nilai Herfindhal
Index dan Concentration Ratio diperoleh hasil bahwa struktur pasar kopi robusta
di pasar kopi internasional menunjukan kecenderungan ke arah pasar persaingan
dengan dengan bentuk pasar oligopoly. Hasil ini ditunjukan dengan skor
Herfindhal Index sebesar 0.2 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen
terbesar sejumlah 70 persen. Industri kopi nasional memiliki keunggulan
komparatif yang ditunjukan dengan nilai RCA yang lebih besar dari 1 yaitu
sebesar 9.70. Akan tetapi, daya saingnya masih rendah dibandingkan dengan
negara Pantai Gading dan Uganda yang merupakan negara produsen dan eksportir
utama kopi robusta di dunia. Hasil analisis keunggulan kompetitif industri kopi
robusta Indonesia adalah bahwa secara keseluruhan atribut seperti faktor sumber
daya, kondisi permintaan domestik dan struktur industri kopi dalam negeri
mendukung industri ini untuk berkembang..
Penelitian tentang daya saing juga telah dilakukan oleh Koerdianto (2008).
Penelitiannya tentang analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah
terhadap komoditas sayuran unggulan, kasus Kecamatan Ciwidey, kabupaten
Bandung dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat. Menggunakan
data primer dan sekunder dengan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM).
Hasil analisisnya menunjukan bahwa Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan
Lembang memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk
menghasilkan komoditas sayuran unggulan tomat dan cabai merah. Berdasarkan
kriteria keunggulan komparatif, Kecamatan Ciwidey relatif lebih memiliki
keunggulan komparatif untuk tomat dan cabai merah dibandingkan Kecamatan
Lembang. Sementara berdasarkan kriteria keunggulan kompetitif, kecamatan
Lembang relatif memiliki keunggulan kompetitif untuk komoditas tomat
dibanding Kecamatan Lembang. Sedangkan untuk cabai merah, walaupun
perbedaannyya tidak signifikan, Kecamatan Ciwidey relatif lebih memiliki
keunggulan kompetitif dibanding Kecamatan Lembang.
Penelitian Kartikasari (2008) dalam analisis daya saing komoditi tanaman
hias dan aliran perdagangan anggrek Indonesia di pasar internasional
mengungkapkan bahwa dengan metode RCA, perkembangan industri tanaman
hias Indonesia lebih lambat dibandingkan dengan Thailand sebagai kompetitor
utama di pasar tanaman hias dunia untuk kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut
dilihat dari perolehan nilai ekspor tanaman hias Indonesia selama periode 1996-
2006 jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand. Selain itu pangsa
ekspor tanaman hias Indonesia di negara tujuan secara umum lebih rendah
dibandingkan dengan Thailand. Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk
komoditi tanaman hias di pasar Korea, sementara di pasar jepang, Amerika
Serikat dan Belanda, Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif. Hal ini
berarti tanaman hias Indonesia memiliki daya saing yang tinggi di pasar Korea.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk komoditi tanaman hias di pasar
Singapura pada tahun 1996 dan 1999 selanjutnya sampai dengan akhir periode
daya saing tanaman hias Indonesia di keunggulan komparatif untuk komoditi
tanaman hias pada periode 2004-2006. Sedangkan di pasar Amerika Serikat pada
periode 2005-2006.
Firdaus (2007) melakukan penelitian tentang analisis daya saing dan
faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor tekstil dan produk tekstil Indonesia di
Pasar Amerika Serikat. Untuk menentukan aspek-aspek yang paling signifikan
dalam mempengaruhi pertumbuhan ekspor digunakan analisa Constant Market
Share. Berdasarkan hasil kalkulasi CMS, pertumbuhan ekspor pakaian jadi, kain
lembaran dan benang Indonesia ke Amerika Serikat periode 1999-2005 lebih
dipengaruhi oleh efek daya saing dan efek pertumbuhan impor atau efek pangsa
makro dari Amerika Serikat. Sedangkan efek komposisi komoditi atau efek
pangsa mikro kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pertumbuhan ekspor pakaian jadi, kain lembaran dan benang Indonesia.
Adapun penelitian tentang daya saing lainnya dilakukan oleh Suprihatini
(2000). Dalam penelitiannya tentang analisis daya saing ekspor teh Indonesia di
pasar teh dunia melalui pendekatan Constant Market Share (CMS). Hasil
penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor teh Indonesia jauh di bawah
pertumbuhan ekspor teh dunia bahkan mengalami pertumbuhan negatif. Kondisi
tersebut disebabkan karena (1) Komposisi produk teh yang diekspor Indonesia
kurang mengikuti kebutuhan pasar yang tercermin dari angka komposisi
komoditas teh Indonesia yang bertanda negatif (-0.032); (2) negara-negara tujuan
ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang
memiliki pertumbuhan import teh tinggi yang tercermin dari angka distribusi yang
bertanda negatif (-0.045); dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia yang
cukup lemah yang tercermin dari angka faktor persaingan yang bertanda negatif (-
0.211)
2.2.2. Penelitian Mengenai Ekonomi dan Lingkungan
Penelitian tentang ekonomi dan dampak lingkungan juga telah dilakukan
oleh beberapa peneliti, di antaranya adalah Ansahar (2005). Dalam penelitiannya
tentang valuasi ekonomi dan dampak lingkungan pada penambangan pasir darat
kota Tarakan propinsi Kalimantan Timur, terdapat beberapa dampak yang terjadi
akibat penambangan pasir darat di kota Tarakan, yaitu: (1) Penurunan dan
kehilangan jumlah pasir darat, (2) Penurunan jumlah dan kualitas air, (3) Erosi
pasir, (4) Sedimentasi dan (5) Kerusakan lahan. Menggunakan teknik korelasi
Spearmen, didapatkan sejumlah fakta bahwa sebagian besar dari responden
memiliki keinginan untuk membayar Rp 2,000/bulan untuk komponen-komponen
lingkungan yang terkena dampak penambangan pasir. Keuntungan secara
langsung dari penambangan pasir ini adalah sebesar Rp 691,375,000/tahun.
Sementara biaya kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir adalah sebesar
Rp 80,945,000/ tahun. Rasio antara keuntungan secara langsung dan tak langsung
dari penambangan pasir darat di kota Tarakan dengan biaya pengganti (B/C ratio)
akibat penambangannya adalah 8.5 (>1). Nilai tersebut berarti penambangan pasir
darat di kota Tarakan, masih layak untuk dilakukan secara ekonomi, namun secara
dampak lingkungan beresiko negatif untuk dilanjutkan. Hal ini terlihat dari level
bahaya erosi yang saat ini masuk kategori sedang, akan berubah menjadi tinggi
atau sangat tinggi di tahun-tahun mendatang.
Ridwan (2008) dalam penelitiannya tentang analisis usaha tani padi ramah
lingkungan dan padi anorganik (Kasus kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor), diketahui bahwa penerimaan total untuk usahatani padi
anorganik lebih besar dibandingkan peneriman total usahatani padi ramah
lingkungan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas padi anorganik lebih tinggi.
Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total petani pemilik padi
anorganik lebih besar dibandingkan pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan
atas biaya total usaha tani organik. Sedangkan untuk petani penggarap,
pendapatan usaha tani padi ramah lingkungan lebih besar daripada pendapatan
usahatani anorganik. Hal ini disebabkan karena besarnya biaya yang dikeluarkan
oleh petani penggarap.
Berdasarkan analisis R/C rasio, usahatani padi ramah lingkungan dan padi
anorganik di Kelurahan Situgede sama-sama menguntungkan untuk dilaksanakan
karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai untuk
petani pemilik usahatani padi ramah lingkungan sebesar 2.392 sedangkan nilai
R/C rasio atas biaya tunai untuk petani pemilik usahatani anorganik hanya
sebesar 2.275. Artinya dari setiap satu rupiah yang dikeluarkan petani pemilik
usahatani padi ramah lingkungan dapat menghasilkan tambahan penerimaan yang
lebih besar daripada penerimaan oleh petani pemilik usahatani anorganik. Untuk
Petani penggarap nilai R/C rasio atas biaya tunai dan nilai dan nilai R/C rasio atas
biaya total usahatani padi ramah lingkungan lebih besar daripada nilai R/C rasio
atas biaya tunai dan nilai R/C rasio atas biaya tota usahatani anorganik. Artinya
usahatani padi ramah lingkungan lebih layak daripada usahatani anorganik.
Perbedaan mendasar penelitian mengenai analisis daya saing produk
Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan penelitian-penelitian lainnya adalah pada jenis
produk/komoditi yang diteliti. Dimana dalam penelitian ini, produk/komoditi yang
diteliti merupakan produk berbasis kehutanan yang berkaitan langsung dengan
permasalahan lingkungan (deforestasi), namun tidak membahas dampak
langsungnya terhadap lingkungan. Juga pada penggunaan metode analisis
penelitian yang menggunakan RCA dan EPD sebagai alat analisis daya saing
komparatif dan kompetitif, serta pendekatan pangsa pasar konstan (CMS) untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2.2. Kerangka Pemikiran
Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumber daya
alam yang berlimpah. Tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia
mengandalkan kekayaan alamnya sebagai salah satu aspek krusial dalam
mendorong laju perekonomian. Dependensi performa ekspor Indonesia terhadap
produk ekspor berbasis sumber daya alam sangatlah tinggi, terlihat dari volume
perdagangan produk eksport tersebut ke pasar dunia yang tidak sedikit.
Menjadikan perdagangan produk berbasis sumber daya alam ini sebagai idola bagi
pendapatan negara. Munculnya era baru perdagangan bebas, lebih mendorong
Indonesia untuk meningkatkan performa ekspor produk Resources based ini.
Terlebih lagi karena Indonesia unggul di bidangnya. Dengan munculnya era baru
perdagangan yaitu era perdagangan bebas, muncul pula suatu fenomena baru dari
hal tersebut, yaitu suatu konsep mengenai pembangunan yang berkelanjutan
(Sustainable Development), yang mengusung tema Green Economics di
dalamnya.
Green Economics merupakan konsep terapan dalam pembangunan yang
tidak hanya memikirkan keuntungan jangka pendek namun juga sangat
memperhatikan keuntungan jangka panjang, dimana dalam hal ini
mengedepankan prinsip keseimbangan ekonomi dan ekologi melalui
kesinambungan dan kelestarian lingkungan. Konsep ini terbangun akibat dari
semakin memprihatinkannya efek dari pertumbuhan ekonomi yang cenderung
berbasiskan sumber daya alam dengan cara eksploitasi besar-besaran, yang
berujung kepada ketidakpedulian para pelaku ekonomi terhadap kelestarian
lingkungan karena hanya mengutamakan keuntungan semata. Konsep tersebut
diperkuat dengan diimplementasikannya aspek standarisasi internasional
lingkunganan hidup seperti ISO 14000 dan ekolabel, untuk mengurangi dampak
negatif dari hasil eksplorasi sumber daya untuk kebutuhan manusia yang pada
akhirnya mengarahkan pada produksi yang lebih bersih/Cleaner Production.
Penerapan standarisasi tersebut sendiri mulai diberlakukan di Indonesia semenjak
tahun 2000.
Mengacu kepada permasalahan lingkungan dan kaitannya antara
pertumbuhan ekonomi (ekspor) dan kelestarian lingkungan, analisis terhadap daya
saing produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya dirasa perlu untuk mengetahui arah kebijakannya serta
mendukung implikasi Green Economics di Indonesia. Produk-produk tersebut
mencakup, (1) Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis), (2) Semi-
bleached or bleached pulp of paper (bubur kertas), (3) Coniferous of Wood (kayu
serabut) dan (4) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit).
Cakupan keempat produk tersebut berdasarkan besarnya volume ekspor ke
pasar dunia dan klasifikasi produk yang mempunyai kadar sensitifitas tinggi
terhadap lingkungan khususnya deforestasi karena keempat produk tersebut
merupakan produk yang berbasis kehutanan maupun perkebunan dengan
pengambil alihan lahan kehutanan (KLH, 2007). Walaupun pemerintah telah
menerapkan standarisasi internasional tentang keamanan lingkungan hidup dalam
kegiatan eksplorasi ekonomi berbasis sumber daya alam, namun terdapat
kecenderungan bahwa standarisasi keamanan lingkungan tersebut tidak
diaplikasikan dengan semestinya yang mengakibatkan produk-produk Indonesia
yang sensitif terhadap lingkungan tersebut pada tahun-tahun terakhir mengalami
fluktuasi pada volume ekspornya dan sebagian besar mengalami penurunan.
Penelitian ini mencakup dua kegiatan utama, yaitu menganalisis daya saing
produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dari segi komparatif dan
kompetitif dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Identifikasi daya saing produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan dari
segi keunggulan komparatif adalah dengan menggunakan metode Reaveled
Comparative Advantage (RCA). Metode Export Product Dynamic (EPD)
digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis daya saing produk Indonesia
yang sensitif terhadap lingkungan dari segi keunggulan kompetitif di pasar dunia.
Sedangkan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya
dilakukan dengan menggunakan pendekatan pangsa pasar konstan atau Constant
Market Share Analaysis (CMS).
Sustainable Development dan Tren Green Economics Memunculkan Standarisasi Lingkungan Hidup
(Ekolabel, ISO 14000)
Produk yang berkaitan dengan masalah lingkungan (deforestasi) mempunyai
kadar sensitfitas tinggi terhadap lingkungan (KLH, 2007).
Implikasi Kebijakan Penelitian
Analisis posisi daya saing secara komparatif dan kompetitif produk
ekspor sensitif lingkungan Indonesia di d i
Identifikasi faktor/determinan yang mempengaruhi daya saing produk sensitif
lingkungan Indonesia di pasar dunia.
Constant Market Share Analysis (CMS)
Revealed Comparative Advantage (RCA)
Export Product Dynamic (EPD)
Daya Saing Produk Sensitif Lingkungan Indonesia, mencakup: (1) Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) (2) Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) (3) Coniferous of Wood (Kayu Serabut) dan (4) Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit)
Terjadi Fluktuasi dan penurunan volume ekspor semenjak diberlakukannya
standarisasi lingkungan hidup.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Pendekatan CMS digunakan untuk mengukur dinamika tingkat daya saing
suatu industri dari suatu negara. Penggunaan pendekatan ini didasarkan pada
pemahaman bahwa laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama,
atau lebih tinggi daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia.
Sehingga bisa diketahui secara lebih dalam faktor apa yang paling mempengaruhi
laju ekspor Indonesia yang dalam hal ini laju ekspor merupakan benchmark daya
saing produk tersebut.
Dari hasil penelitian tersebut, dapat terlihat performa daya saing produk
Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan juga faktor/determinan yang
mempengaruhinya. Hasil dari estimasinya bisa dituangkan dalam satu bentuk
implikasi kebijakan yang diharapkan lebih mengarahkan pada kebijakan yang
menerapkan secara penuh konsep Sustainable Development of Green Economics,
atau pembangunan berkelanjutan yang menerapkan konsep pertumbuhan ekonomi
tanpa mengesampingkan aspek kesadaran dan kelestarian lingkungan hidup di
dalamnya. Gambaran lengkap mengenai kerangka pemikiran operasional dapat
terlihat pada Gambar 2.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri
dari data Time Series tahunan. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) dan UN Commodity and Trade Database. Juga dilakukan pencarian data
yang diperoleh dari berbagai macam literatur dan jurnal baik dari media cetak
maupun elektronik. Alat analisis yang digunakan untuk melakukan pengolahan
data menggunakan bantuan software XAMP, D-Batic, WITS Ver. 6 (World
Integrated Trade Solutions) dan Microsoft Excel.
3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif. Metode kuantitatif Revealed Comparative Advantage (RCA) dan
Export Product Dynamic (EPD), digunakan untuk menganalisis posisi daya saing
dan keunggulan komparatif serta kompetitif produk Indonesia yang sensitif
terhadap lingkungan. Untuk mengetahui faktor/determinan yang mempengaruhi
pertumbuhan ekspor produk Indonesia yang sensitif terhadap lingkungan,
digunakan metode pangsa pasar konstan atau Constant Market Share Analysis
(CMS).
Pengolahan data dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah
pengelompokan data. Tahap kedua adalah pengolahan data dalam model analisis.
Pada penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan bantuan software Microsoft
Excel 2003, D-Batic dan XAMP.
3.2.1. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Revealed Comparative Advantage digunakan dengan obyektif untuk
menganalisis keunggulan komparatif atau daya saing suatu komoditi dalam suatu
negara, yang cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh
Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu
negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam
Pramudito, 2004).
Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar
wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap
total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
produk dalam perdagangan dunia.
Dengan metode RCA, posisi daya saing dan ekspor produk Indonesia
yang sensitif terhadap lingkungan di pasar dunia dapat diketahui. Variabel yang
diukur adalah kinerja ekspor (1) Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis),
(2) Semi-bleached or bleached non-c pulp of paper (bubur kertas), (3) Coniferous
of Wood (kayu serabut) , (4) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit),
di pasar dunia, dengan menghitung nilai pangsa produk ekspor Indonesia terhadap
total ekspor ke luar negeri yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai
ekspor lima produk tersebut di dunia.:
Xij / Xit
RCA = 1(3.2.1.1)
Wj / Wt
Dimana : Xij = Nilai ekspor komoditi i Indonesia ke dunia
Xit = Nilai total ekspor Indonesia ke dunia
Wj = Nilai ekspor komoditi i dunia ke dunia
Wt = Nilai total ekspor dunia ke dunia
Jika nilai RCA lebih besar dari satu (RCA>1), maka negara tersebut
mempunyai keunggulan komparatif dalam produknya.
Keunggulan metode Revealed Comparative Advantage adalah mengurangi
dampak pengaruh campur tangan pemerintah sehingga kita dapat melihat
keunggulan komparatif yang jelas suatu produk dari waktu ke waktu. Sedangkan
kelemahannya yaitu :
1. Asumsi bahwa suatu negara dianggap mengekspor semua komoditi.
2. Indeks RCA tidak dapat menjelaskan apakah pola perdagangan yang
sedang berlangsung tersebut sudah optimal.
3. Tidak dapat mendeteksi dan memprediksi produk - produk yang
berpotensi di masa yang akan datang.
3.2.2. Constant Market Share Analysis (CMS)
Penelitian ini menggunakan metode pangsa pasar konstan (Constant
Market Share) untuk mengetahui faktor/ determinan yang mempengaruhi
pertumbuhan ekspor (1) Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis), (2)
Semi-bleached or bleached non-c pulp of papern (bubur kertas), (3) Coniferous
of Wood (kayu serabut) , (4) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit),.
Pendekatan Constant Market Share (CMS) didasarkan pada pemahaman bahwa
laju pertumbuhan ekspor suatu negara bisa lebih kecil, sama, atau lebih tinggi
daripada laju pertumbuhan ekspor rata-rata dunia.
Variabel yang diukur yaitu efek ekspansi (sisi permintaan) yang terbagi
menjadi dua yaitu efek pangsa makro (pertumbuhan impor) dan pangsa mikro
(efek komposisi komoditi) kemudian efek persaingan atau efek daya saing (sisi
penawaran). Rumusnya adalah sebagai berikut :
Xij2 – Xij
1 = mXij1 + {(mi - m)Xij
1} + {Xij2 – Xij
1 – mi Xij1} (3.2.2.1)
(1) (2) (3) Dimana: Xij
1 = Ekspor komoditi i Indonesia ke dunia tahun ke-(t-1)
Xij2 = Ekspor komoditi i Indonesia ke dunia tahun ke-(t)
m = Persentase peningkatan impor umum di dunia
mi = Persentase peningkatan impor komoditi i di dunia
(1) = Efek pertumbuhan impor; (2) = Efek komposisi; (3) = Efek daya saing
3.2.3. Export Product Dynamics (EPD)
Pendekatan Export Product Dynamic digunakan untuk mengidentifikasi
daya saing/keunggulan kompetitif suatu produk, juga mengetahui apakah suatu
produk tersebut merupakan produk dengan performa yang dinamis atau tidak.
Walaupun beberapa produk mungkin bukan merupakan bagian yang besar pada
ekspor suatu negara, namun terdapat beberapa alasan untuk mengidentifikasi
produk yang dinamis (pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara. Jika
pertumbuhannya di atas rata-rata secara kontinu selama waktu yang panjang,
maka produk ini mungkin menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi
negara tersebut. Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai
karakteristik produksi yang spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang
penting dalam kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang
serupa. Terdapat ketertarikan untuk mengidentifikasi produk-produk dinamis
sehingga negosiasi multilateral atau bilateral untuk mengatasi berbagai hambatan
perdagangan beberapa produk di pasar ekspor bisa terfokuskan. Metode yang
paling sering digunakan untuk mengidentifikasi produk-produk dinamis adalah
dengan memilih produk-produk berdasarkan tingkat pertumbuhannya selama
periode yang ditetapkan.
Penambahan fungsional indikator pangsa pasar adalah posisi pangsa pasar
(Estherhuizen, 2006). Perusahaan-perusahaan dan industri-industri suatu negara
dianggap bersaing dalam produk ketika pangsa pasar mereka meningkat. Sebuah
produk ekspor dianggap dinamis dalam perdagangan dunia jika pangsa pasarnya
meningkat lebih cepat daripada rata-rata pangsa pasar dunia.
Posisi pasar ideal bertujuan untuk memperoleh pangsa ekspor tertinggi
sebagai “Rising Star”, ditandai dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar
untuk produk-produk yang berkembang cepat. “Lost Opportunity” dihubungkan
dengan penurunan pangsa pasar pada produk dinamis. “Falling Star” juga tidak
diinginkan, terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk-produk
dinamis. Sementara itu, “Retreat” tidak diinginkan lagi di pasar. Hal ini adalah hal
yang paling tidak diinginkan. “Retreat” bisa diinginkan kembali jika
pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak mendekati peningkatan
pada produk dinamis. Tabel 5 menggambarkan empat dekomposisi umum ekspor
(berdasarkan posisi pangsa pasar). Empat dekomposisi indikator daya saing
perdagangan tersebut diterapkan pada banyak penyusunan indikator kuantitatif.
Tabel 4. Matriks Posisi Pasar Share of Product in World Trade
Share of country’s export in world trade
Rising (Dynamic)
Falling (Stagnant)
Rising (Competitiveness)
Rising Stars Falling Stars
Falling (non-competitiveness)
Lost Opportunity Retreat
Sumber: Estherhuizen, 2006
IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Pertumbuhan Ekspor Indonesia di Pasar Dunia
Ekspor merupakan kegiatan transaksi barang dan jasa antara penduduk
Indonesia dengan penduduk negara lain, yang meliputi ekspor barang, jasa
pengangkutan, jasa asuransi, komunikasi, pariwisata, dan jasa lainnya. Termasuk
juga dalam ekspor adalah pembelian langsung atas barang dan jasa di wilayah
domestik oleh penduduk negara lain. Ekspor barang dinilai menurut harga free on
board (fob), dan kurs dolar Amerika Serikat untuk ekspor dibedakan
penggunannya terhadap rupiah. Untuk ekspor, digunakan rata-rata kurs beli dolar
AS (dari Bank Indonesia) yang ditimbang dengan nilai nominal transaksi ekspor
bulanan (BPS, 2008).
Secara kuantitatif dalam kurun waktu tahun 2000 hingga 2006, data
menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia mencapai 8.92
persen. Dari nilai tersebut, pertumbuhan nilai ekspor yang signifkan terjadi pada
tahun 2004 hingga 2006, yaitu masing-masing 17,24 persen, 19,66 persen dan
17,67 persen dengan total nilai ekspor untuk masing- masing tahun adalah sebesar
US$ 71.584.608.796 pada tahun 2004, US$ 85.659.952.615 pada tahun 2005 dan
US$ 100.798.624.280 pada tahun 2006 (Gambar 3).
Pertumbuhan nilai ekspor Indonesia pada kurun waktu 3 tahun terakhir dapat
disebabkan oleh volume ekspor Indonesia yang meningkat, namun peningkatan
tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh harga komoditi, terutama komoditi-
komoditi primer, di tingkat internasional yang mengalami peningkatan. Hal
tersebut tentu saja menguntungkan Indonesia mengingat sebagian besar ekspor
Indonesia merupakan komoditi primer.
Nilai Ekspor (dalam US$)
0
2E+10
4E+10
6E+10
8E+10
1E+11
1,2E+11
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Sumber: Comtrade, 2007
Gambar 3. Perkembangan Nilai Ekspor Indonesia Tahun 2000-2006
4.2. Pertumbuhan Ekspor Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap
Lingkungan
4.2.1. Pertumbuhan Ekspor Wood and articles of wood (Kayu dan Artikel
Kayu)
Komoditi hasil hutan terutama jenis kayu, merupakan salah satu ekspor
penting bagi Indonesia karena nilainya yang besar. Namun perlu diperhatikan juga
eksplorasinya, karena komoditi ini mempunyai kecenderungan tinggi dalam
kerusakan lingkungan jika tidak ada pengawasan dan tindakan tegas dari
pemerintah. Berdasarkan Gambar 4, tampak bahwa terjadi kecenderungan
penurunan nilai ekspor Wood and articles of wood selama periode 2000-2006, hal
ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh semakin merebaknya isu lingkungan dan
diterapkannya ecolabeling semenjak tahun 2000, sehingga berdampak pada
fluktuasi nilai ekspornya di pasar dunia. Kenyataannya menunjukan bahwa
industri kayu sedang menghadapi berbagai permasalahan, yakni disamping
langkanya bahan baku berkualitas tinggi, juga hambatan perdagangan, terutama
dengan hadirnya negara-negara produsen kayu lapis baru seperti Malaysia. Pada
kondisi tersebut dikhawatirkan komoditi Ekspor Wood and articles of wood yang
akan datang akan menghadapi persaingan pasar yang lebih berat lagi, baik harga,
kualitas maupun jumlah yang dapat diekspor.
Nilai Ekspor (dalam US$)
0
500.000.000
1.000.000.000
1.500.000.000
2.000.000.000
2.500.000.000
3.000.000.000
3.500.000.000
4.000.000.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Sumber: Comtrade, 2007
Gambar 4. Perkembangan Nilai Ekspor Wood and articles of wood (Kayu
danArtikel Kayu) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
Dalam rentang waktu 2000-2006, pertumbuhan ekspor kayu Indonesia
cenderung mengalami pertumbuhan yang negatif dari tahun ke tahun. Penurunan
volume ekspor kayu Indonesia yang terbesar terjadi pada tahun 2001, dengan
penurunan sebesar 7.80 persen, jumlah ekspor menjadi hanya US$ 3,353,568,000.
Di tahun 2004, ekspor kayu Indonesia sempat mengalami pertumbuhan yang
positif. Pertumbuhan sebesar 2.86 persen memang bisa dibilang pertumbuhan
yang tidak terlalu besar, namun angka positif pada pertumbuhannya mampu
membuat ekspor kayu Indonesia kembali melaju dengan total ekspor pada tahun
tersebut sebesar US$ 3,271,420,594. Pertumbuhan yang positif tersebut tidak
bertahan lama karena di tahun berikutnya yaitu pada tahun 2005, ekspor kayu
Indonesia ke pasar dunia kembali mengalami penurunan sebesar 4.89 persen.
Sumber : Comtrade, 2007
Gambar 5. Perkembangan Ekspor Plywood consisting solely of sheets
(Kayu Lapis) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
Salah satu ekspor kayu terbesar Indonesia ke pasar dunia adalah jenis kayu
lapis atau Plywood consisting solely of sheets. Namun dalam kurun waktu 2000-
2006, ekspor produk kayu jenis kayu lapis cenderung mengalami penurunan. Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 5. Penurunan volume ekspor kayu lapis Indonesia
yang sangat signifikan dialami pada tahun 2001 dan 2005. Pada tahun 2001 terjadi
penurunan volume ekspor ke pasar dunia sebesar 11.37 persen dengan jumlah
total ekspor pada tahun tersebut adalah US$ 1,330,285.568 dari sebelumnya US$
1,501,021.458 pada tahun 2000. Penurunan tersebut karena Indonesia baru
menerapkan dan mengikuti persyaratan standarisasi perlindungan lingkungan
hidup internasional yaitu ecolabelling yang mana baru diterapkan pada tahun
2000. Penurunan tersebut terus terjadi, penurunan terbesar terjadi pada tahun
2005, dimana ekspor Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia
mengalami penurunan sebesar 17.31 persen menjadi hanya US$ 974,424.627 pada
tahun tersebut. Walaupun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2006, ekspor
Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia ke pasar dunia
mengalami peningkatan sebesar 3.80 persen.
Jenis kayu serabut atau Coniferous of Wood juga merupakan salah satu
jenis kayu Indonesia dengan nilai ekspor terbesar. Perkembangan ekspor produk
kayu jenis ini sangat fluktuatif dari tahun-tahun. Seperti terlihat pada Gambar 6.
dimana pada tahun 2000-2001 terjadi peningkatan ekspor sebesar 39.98 persen
yang diikuti penurunan ekspor sebesar 39.42 persen pada tahun berikutnya.
Peningkatan ekspor terbesar terjadi pada tahun 2003, dimana peningkatan volume
ekspor Coniferous of Wood (kayu serabut) adalah sebesar 109.69 persen menjadi
US$ 13,126.892 dibandingkan tahun sebelumnya (US$ 6,260.231). Penurunan
terbesar terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 97.22 persen yang pada tahun
sebelumnya juga mengalami penurunan cukup besar yaitu 83.20 persen.
Penurunan tersebut mengakibatkan volume ekspor Coniferous of Wood (kayu
serabut) Indonesia ke pasar dunia pada tahun 2005 menjadi US$ 61.235.
Penurunan yang signifikan tersebut diperkirakan terjadi karena Indonesia masih
belum bisa menerapkan standarisasi lingkungan hidup secara penuh. Pada tahun
berikutnya yaitu tahun 2006, volume ekspor produk ini mengalami peningkatan
sebesar 661.34 persen.
Sumber : Comtrade, 2007
Gambar 6. Perkembangan Ekspor Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
4.2.2. Pertumbuhan Ekspor Pulp (Bubur Kertas)
Tidak dapat dipungkiri bahwa peran ekspor Pulp bagi perekonomian
Indonesia sangat strategis. Dengan tidak mengimpor pulp dan kertas, yang telah
dilakukan sejak tahun 1995 tentu akan menghemat cadangan devisa. Selain itu,
industri pulp mampu menciptakan lapangan kerja baru. Namun hal tersebut tentu
saja harus turut juga memperhitungkan dampak terhadap lingkungan.
Diperkirakan adanya isu-isu lingkungan seperti penerapan ecolabeling dan
standarisasi lingkungan hidup lainnya kembali menyebabkan fluktuasi nilai
eksport Pulp di pasar dunia (Gambar 7).
Nilai Ekspor (dalam US$)
0
200.000.000
400.000.000
600.000.000
800.000.000
1.000.000.000
1.200.000.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Sumber: Comtrade, 2007 Gambar 7. Perkembangan Ekspor Pulp Indonesia ke Pasar Dunia Tahun
2000-2006
Pertumbuhan ekspor Pulp Indonesia di pasar dunia dalam kurun waktu
2000-2006 terbilang sangat fluktuatif. Pada tahun 2001 terjadi penurunan ekspor
produk tersebut ke pasar dunia sebesar 17.69 persen, dari sebelumnya total nilai
ekspor Pulp Indonesia ke pasar dunia sebesar US$ 714,024,082 di tahun 2000,
menjadi US$ 566,732,288 di tahun 2001. Penurunan tersebut tidak berlanjut di
dua tahun berikutnya. Di tahun 2004, ekspor Pulp kembali mengalami penurunan
yang cukup signifikan yaitu sebesar 25.53 persen, dan nilai ekspor pada tahun
tersebut menjadi US$ 591,032,262. Terjadi peningkatan yang sangat besar pada
ekspor Pulp Indonesia di tahun 2005 dan 2006 yaitu sebesar 58.06 persen dan
20.58 persen.
Sumber : Comtrade, 2007 Gambar 8. Perkembangan Ekspor Semi Bleached or Bleached Pulp of paper
(Bubur Kertas) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
Salah satu jenis pulp dengan nilai ekspor yang terbesar adalah ekspor pulp
jenis Semi Bleached or Bleached Pulp of paper. Seperti terlihat pada Gambar 8.
nilai ekspor produk ini cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun selama periode
2000-2006. Penurunan volume ekspor sempat terjadi pada tahun 2001 dan 2004
dimana penurunan terbesar terjadi pada tahun 2004 yaitu sebesar 25.78 persen.
Pada tahun tersebut volume ekspor produk Semi Bleached or Bleached Pulp of
paper hanya mencapai US$ 585,659.163. Volume ekspor tersebut mengalami
penurunan yang cukup signifikan dibandingkan dengan volume ekspor pada tahun
sebelumnya yang mencapai US$ 789,079.873.
4.2.3. Pertumbuhan Ekspor Vegetable Fats and Oils (Minyak Nabati)
Pada komoditi Vegetable Fats and Oils (minyak nabati), Indonesia
mengalami trend pertumbuhan yang sangat terus meningkat secara signifikan dari
tahun ke tahun. Rata-rata nilai pertumbuhan ekspor komoditi ini ke pasar dunia
yaitu sebesar 26.68 persen, jauh lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata ekspor
Indonesia secara keseluruhan yang hanya 14.28 persen. Terlihat pada grafik di
Gambar 9, ekspor Vegetable fats and oils Indonesia ke pasar dunia secara umum
dalam kurun waktu 2000-2006 terus mengalami pertumbuhan yang cukup positif,
walaupun sempat terjadi penurunan pada tahun 2001.
Terjadi penurunan sebesar 17.69 persen pada tahun 2001, dari yang semula
nilai total ekspor Vegetable fats and oils Indonesia adalah sebesar US$
1,763,577,012 di tahun 2000, menjadi sebesar US$ 1,451,684,096 di tahun 2001
akibat penurunan tersebut. Disinyalir penurunan tersebut diakibatkan karena
mulai diberlakukannya standarisasi internasional tentang lingkungan yang secara
tegas diterapkan oleh pasar internasional sejak awal tahun 2000, sedangkan
produsen Indonesia belum terlalu siap dalam memenuhi persyaratan tersebut.
Nilai Ekspor (dalam US$)
0 1.000.000.000
2.000.000.000
3.000.000.000
4.000.000.000
5.000.000.000
6.000.000.000
7.000.000.000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Sumber: Comtrade, 2007
Gambar 9. Ekspor Vegetable fats and Oils Indonesia ke Pasar Dunia Tahun
2000-2006
Produk Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia
merupakan jenis produk atau sub produk Vegetable fats and oils (minyak nabati)
yang merupakan komoditi unggulan Indonesia dengan volume ekspor yang sangat
besar. Di pasar dunia sendiri, Indonesia merupakan pemasok utama komoditi ini
yang bersaing ketat dengan Malaysia. Perkembangan ekspor produk Palm kernel
or babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia selama periode 2000-2006
cukup fluktuatif.
Terlihat pada Gambar 10. penurunan volume ekspor Palm kernel or
babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia sempat terjadi di tahun 2001
sebesar 33.98 persen dengan nilai volume ekspor sebesar US$ 111,937.376 yang
semula sebesar US$ 169,550.221 pada tahun 2000. Penurunan ini diduga terjadi
akibat peningkatan pajak ekspor dan penerapan standarisasi perlindungan
lingkungan hidup yang merupakan isu penting bagi negara-negara maju yang
merupakan negara peng-impor utama komoditi Palm kernel or babassu oil and
frac (minyak sawit) karena seperti yang diketahui, kebanyakan lahan perkebunan
kelapa sawit untuk produksi Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit)
di Indonesia merupakan lahan alih fungsi dari yang semula hutan menjadi
perkebunan kelapa sawit. Alih fungsi lahan sebenarnya bisa berlangsung dengan
tertib tanpa mengakibatkan eksternalitas negatif jika pada pengalihan fungsinya,
hutan yng dijadkan subjek merupakan hutan yang benar-benar difungsikan untuk
hutan industri dan bukan merupakan hutan lindung yang dijadikan sebagai
kawasan suaka margasatwa.
Sumber : Comtrade, 2007
Gambar 10. Perkembangan Ekspor Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
4.3. Perkembangan Impor Dunia
4.3.1. Perkembangan Impor Plywood Consisting Solely of Sheets (Kayu Lapis)
Dunia
Perkembangan impor dunia atas produk hasil hutan terutama impor kayu
jenis kayu lapis atau Plywood Consisting Solely of Sheets selama periode 2000-
2006 relatif mengalami peningkatan.
Sumber : Comtrade, 2007 Gambar 11. Perkembangan Impor Plywood consisting solely of sheets (Kayu
Lapis) Dunia Tahun 2000-2006 Berdasarkan Gambar 11, dari tahun ke tahun impor dunia akan produk
Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) relatif meningkat. Walaupun
pernah terjadi beberapa kali penurunan pertumbuhan impor produk tersebut oleh
pasar dunia. Penurunan terjadi pada tahun 2001, dimana terjadi penurunan impor
dunia sebesar 9.33 persen dari yang sebelumnya volume impor dunia akan produk
Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) mencapai US$ 2,551,931,382
pada tahun 2000 menjadi US$ 2,334,076,770 di tahun berikutnya, namun
penurunan yang terjadi terbilang relatif kecil. Pada periode 2002, 2003 dan 2004,
impor dunia produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) terus
mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 15 persen.
Peningkatan pertumbuhan impor tertinggi terjadi pada tahun 2004 dimana terjadi
peningkatan pertumbuhan impor sebesar 17 persen. Hal ini dikarenakan adanya
peningkatan permintaan dunia akan produk kayu lapis. Namun di tahun
berikutnya terjadi penurunan pertumbuhan impor dunia akan kayu lapis sebesar
5.21 persen, walaupun penurunannya tidak sebesar penurunan pertumbuha impor
Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) pada tahun 2001. Pada tahun
2006, impor dunia akan produk ini mencapai US$ 4,016,581,698 atau mengalami
pertumbuhan sebesar 11.24 persen.
4.3.2. Perkembangan Impor Coniferous of Wood (Kayu Serabut) Dunia
Jenis kayu serabut atau Coniferous of Wood merupakan jenis kayu dengan
nilai impor yang relatif tinggi terkait dengan jenisnya yang digunakan sebagai
bahan baku industri kertas. Namun volume impor dunia akan produk Coniferous
of Wood (Kayu Serabut) cenderung berfluktuasi, seperti yang terlihat pada
Gambar 12.
Selama periode 2000-2006, terjadi peningkatan dan pertumbuhan impor
dunia atas produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) secara signifikan.
Penurunan pertumbuhan impor terjadi pada tahun 2001 dan 2004, dimana pada
tahun 2001 penurunan pertumbuhan impor terjadi sebesar 9.52 persen. Dari total
volume impor dunia produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) pada tahun
sebelumnya yang mencapai US$ 17,162,695,809 menjadi US$ 15,670,658,961.
Sumber : Comtrade, 2007 Gambar 12. Perkembangan Impor Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
Dunia Tahun 2000-2006
Penurunan pertumbuhan impor tertinggi selama periode 2000-2006 terjadi
pada tahun 2004, dimana penurunan impor dunia atas produk Coniferous of Wood
(Kayu Serabut) mencapai 7014.52 persen. Dari volume impor dunia yang pada
tahun sebelumnya mencapai US$ 17,372,269,788 menjadi hanya US$
243,547,878 di tahun 2004. Penurunan yang sangat besar tersebut dikarenakan
terjadi penurunan nilai ekspor produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) dari
negara-negara eksportir ke pasar dunia, yang diakibatkan oleh kenaikan pajak
ekspor dan persyaratan perdagangan khususnya standarisasi lingkungan yang
diperketat. Penurunan impor dunia akan produk ini tidak berlangsung lama,
karena di tahun berikutnya terjadi peningkatan pertumbuhan impor dunia atas
produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut) sebesar 98.9 persen. Hal ini
dikarenakan oleh permintaan pasar dunia atas produk tersebut yang masih besar
terkait dengan kepentingan impor produk tersebut sebagi bahan baku industri
kertas yang besar pula. Hingga tahun 2006, impor dunia produk Coniferous of
Wood (Kayu Serabut) masih terus meningkat hingga mencapai US$
22,903,112,610.
4.3.3. Perkembangan Impor Semi Bleached or Bleached Pulp of paper
(Bubur Kertas) Dunia
Selama periode 2000-2006 perkembangan impor dunia atas produk Semi
Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) cenderung mengalami
peningkatan (Gambar 13), walaupun sempat terjadi penurunan yang relatif besar
pada tahun 2001. Terjadi penurunan pertumbuhan impor dunia atas produk Semi
Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) sebesar 30 persen. Penurunan
pertumbuhan produk tersebut disebabkan oleh kecenderungan antisipasi pasar
akibat baru diberlakukannya persyaratan standarisasi perdagangan terkait
lingkungan seperti ecolabelling dan ISO. Penurunan pertumbuhan impor dunia
pada tahun 2001 tersebut merupakan penurunan yang relatif besar dengan nilai
impor dunia atas produk Semi Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur
Kertas) yang hanya sebesar US$ 5,855,162,746 dari nilai impor dunia yang
mencapai US$ 7,636,873,112 pada tahun sebelumnya yaitu tahun 2000.
Sumber : Comtrade, 2007 Gambar 13. Perkembangan Impor Semi Bleached or Bleached Pulp of paper
(Bubur Kertas) Dunia Tahun 2000-2006
Selama periode selanjutnya yaitu 2002-2006, rata-rata pertumbuhan impor
dunia atas produk Semi Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) terus
mengalami pertumbuhan sebesar 10 persen dengan pertumbuhan impor yang
tertinggi terjadi pada tahun 2004. Pada tahun tersebut impor dunia atas produk
Semi Bleached or Bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas) mengalami
pertumbuhan sebesar 15.20 persen dengan total nilai mimpor dunia mencapai US$
8,034,214,755. Peningkatan pertumbuhan impor dunia ini lebih disebabkan oleh
peningkatan permintaan dunia akan produk ini yang sangat pesat, disamping juga
adanya peningkatan kualitas standarisasi lingkungan yang sudah diterapkan para
produsen yang lebih memudahkan para eksportir untuk memasarkan produknya di
pasar dunia.
4.3.4. Perkembangan Impor Palm kernel or Babassu oil and Frac (minyak
sawit) Dunia
Selama periode 2000-2006 perkembangan impor dunia atas produk Palm
Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) relatif mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Walaupun sempat terjadi penurunan pertumbuhan impor
dunia pada tahun 2001 sebesar 24 persen, namun penurunan tersebut tidak
berlangsung lama dan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan di tahun-tahun
berikutnya.
Sumber : Comtrade, 2007 Gambar 14. Perkembangan Impor Palm kernel or babassu oil and frac
(minyak sawit) Dunia Tahun 2000-2006
Peningkatan pertumbuhan impor dunia tertinggi atas produk Palm Kernel
or Babassu Oil and Frac (Minyak Sawit) terjadi pada tahun 2002. Setelah sempat
terjadi penurunan pertumbuhan di tahun sebelumnya, peningkatan impor dunia
atas produk tersebut kembali terjadi sebesar 31.80 persen dan mencapai nilai
impor sebesar US$ 343,148,244. Peningkatan pertumbuhan terus terjadi selama
periode 2002-2006, dengan total nilai impor produk Palm Kernel or Babassu Oil
and Frac (Minyak Sawit) yang mencapai US$ 766,807,103 pada tahun 2006.
V. ANALISIS DAYA SAING PRODUK INDONESIA YANG
SENSITIF TERHADAP LINGKUNGAN DAN FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
5.1. Analisis Daya Saing Produk Indonesia yang Sensitif Terhadap
Lingkungan
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa produk (1) Plywood consisting
solely of sheets (kayu lapis) dan (2) Semi-bleached or bleached Pulp of Paper
(bubur kertas), lebih memiliki keunggulan komparatif daripada keunggulan
kompetitif. Sedangkan Produk Palm kernel or babassu oil and frac (minyak
sawit) merupakan produk yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan
kompetitif dengan daya saing paling tinggi, terlihat dari nilai RCA (Revealed
Comparative Advantage) produk tersebut yang relatif lebih tinggi dibandingkan
produk lainnya. Namun hasil estimasi untuk produk Coniferous of Wood (kayu
serabut) memperlihatkan bahwa produk tersebut tidak mempunyai keunggulan
komparatif maupun kompetitif.
Analisis CMS (Constant Market Share) mengindikasikan bahwa faktor
pertumbuhan impor dan faktor komposisi komoditi merupakan faktor yang paling
mempengaruhi pertumbuhan ekspor (1) Plywood consisting solely of sheets (kayu
lapis), (2) Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur kertas) dan (3)
Coniferous of Wood (kayu serabut). Sedangkan untuk produk Palm kernel or
babassu oil and frac (minyak sawit), faktor yang paling mempengaruhi
pertumbuhan ekspornya adalah faktor pertumbuhan impor saja.
5.1.1. Analisis Keunggulan Komparatif (Revealed Comparative Advantage)
Daya saing suatu negara pada suatu produk atau komoditi dapat diestimasi
melalui keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Analisis
keunggulan komparatif pada penelitian ini menggunakan analisis RCA (Revealed
Comparative Advantage). Nilai RCA merupakan gambaran dari kinerja ekspor
suatu komoditi. Nilai RCA yang lebih besar dari satu dianggap memiliki kinerja
ekspor yang baik. Komoditi dengan nilai RCA lebih dari satu tersebut dapat
dikatakan memiliki keunggulan komparatif sehingga disarankan untuk terus
dikembangkan dengan melakukan spesialisasi pada komoditi tersebut.
Berdasarkan hasil estimasi RCA dapat diketahui bahwa Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif pada komoditi (1) Plywood consisting solely
of sheets (kayu lapis), (2) Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur
kertas), dan (3) Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit), terlihat dari
nilai RCA yang selalu lebih dari satu selama periode 2000-2006. Namun produk
Coniferous of Wood (kayu serabut) tidak mempunyai keunggulan komparatif,
karena hasil estimasi RCA memperlihatkan bahwa produk ini mempunyai nilai
estimasi yang selalu kurang dari satu selama periode 2000-2006.
5.1.1.1. Analisis Produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis)
Selama periode 2000-2006, hasil estimasi RCA memperlihatkan bahwa
produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) yang merupakan sub
produk dari wood and article of wood (kayu dan artikel kayu) memiliki
keunggulan komparatif, terlihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu selama
periode 2000-2006 dengan rentang nilai RCA 49.74-70.25 (Tabel 5).
Tabel 5. Estimasi RCA Produk Plywood consisting solely of sheets
(Kayu Lapis)
Year
Trade Value in World
Trade Value Growth (%)
RCA Value
RCA
Growth (%)
2000 1,501,021,458 - 66.37 - 2001 1,330,285,568 -11.37 70.24 5.50 2002 1,289,258,255 -3.08 68.02 -3.25 2003 1,235,127,450 -4.20 70.25 3.16 2004 1,178,467,834 -4.59 63.15 -11.24 2005 974,424,627 -17.31 53.89 -17.19 2006 1,011,491,745 3.80 49.74 -8.32
Pada tahun 2000, nilai RCA produk Plywood consisting solely of sheets
(kayu lapis) adalah 66.37 dengan total ekspor ke pasar dunia sebesar US$ 1,
501,021,458. Selama periode 2001-2006, ekspor produk kayu lapis Indonesia di
pasar dunia terus mengalami penurunan kecuali di tahun 2006. Nilai RCA produk
ini pun cenderung mengalami penurunan, karena terjadi kenaikan volume ekspor
produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) negara-negara pesaing
lainnya di pasar dunia disertai kenaikan total ekspor Indonesia di pasar dunia
dilihat dari rasio nilai ekspor komoditi I Indonesia ke dunia per nilai total ekspor
Indonesia ke dunia (Lampiran 6). Nilai RCA mengalami penurunan yang cukup
signifikan pada tahun 2004 dan 2005. Nilai RCA pada tahun 2004 adalah 63.15
atau mengalami penurunan pertumbuhan RCA sebesar 11.24 persen dengan
jumlah ekspor Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia di tahun
tersebut sebesar US$ 1,178,467,834 yang juga mengalami penurunan
pertumbuhan sebesar 4.59 persen.
Pada tahun 2005, nilai RCA produk Plywood consisting solely of sheets
(kayu lapis) Indonesia adalah 53.89 atau turun sebesar 17.19 persen. Hal ini
terjadi karena volume ekspor total Indonesia ke pasar dunia mengalami
peningkatan yang sangat signifikan, yaitu US$ 85,659,952,615 dari total ekspor
tahun sebelumnya yang hanya US$ 71,584,608,796. Hal ini bisa diartikan bahwa
di tahun tersebut, produk-produk Indonesia lainnya lebih mendominasi pangsa
ekspor Indonesia di pasar dunia, karena ekspor produk Plywood consisting solely
of sheets (kayu lapis) Indonesia sendiri mengalami penurunan sebesar 17.31
persen. Walaupun tergolong masih mempunyai keunggulan komparatif namun
penurunannya adalah yang tertinggi selama periode 2000-2006. Namun sempat
juga terjadi kenaikan nilai RCA pada tahun 2001 dan 2003.
Pada tahun 2001 terjadi penurunan ekspor produk Plywood consisting
solely of sheets Indonesia yang cukup besar yaitu 11.37 persen dari total tahun
sebelumnya, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi keunggulan komparatif dari
produk ini karena hasil estimasi RCA memperlihatkan bahwa Plywood consisting
solely of sheets masih mempunyai daya saing yang cukup bagus dengan nilai
RCA yang tumbuh sebesar 5.50 persen menjadi 70.24. Hal tersebut disinyalir
terjadi karena adanya penurunan volume ekspor komoditi kayu lapis negara-
negara pesaing lainya. Sedangkan penurunan ekspor total negara-negara pesaing
di pasar dunia masih lebih kecil dibandingkan penurunan volume ekspor total
Indonesia (Lampiran 6), sehingga pada tahun tersebut nilai RCA/daya saing
produk kayu lapis Indonesia bisa mengalami peningkatan.
Pertumbuhan nilai RCA yang positif juga terjadi pada tahun 2003 dengan
nilai 70.25 atau tumbuh sebesar 3.16 persen. Pada tahun 2006, terjadi peningkatan
volume ekspor produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia
sebesar 3.80 persen menjadi US$ 1,011,491,745 dari yang sebelumnnya hanya
US$ 974,424,627. Namun peningkatan volume ekspor tersebut tidak disertai
dengan peningkatan nilai RCA, nyatanya nilai RCA di tahun 2006 mengalami
penurunan sebesar 8.32 persen atau menjadi 49.74.
Penurunan pada tahun 2006 tersebut disebabkan oleh adanya rasio
kenaikan total ekspor produk Indonesia di pasar dunia disertai peningkatan ekspor
produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) dan ekspor total negara-
negara pesaing lainnya yang proporsinya lebih besar dari pada tahun sebelumnya.
Dari hasil deskripsi di atas, terlihat bahwa performa daya saing produk Plywood
consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia di pasar dunia cenderung
mengalami penurunan di tahun-tahun terakhir. Hal ini yang seharusnya menjadi
bahan pertimbangan pemerintah, seharusnya produk ini mempunyai potensi tinggi
untuk terus dikembangkan sebagai produk ekspor jika peningkatan dari segi
kualitas terus dipertahankan, karena nyatanya performa daya saing produk ini
cenderung mengalami penurunan. Apalagi ditambah bahwa pengembangan
produk ini mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk kerusakan lingkungan.
5.1.1.2. Analisis Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur
Kertas)
Hasil estimasi RCA pada produk Semi-bleached or bleached Pulp of
Paper (bubur kertas) selama periode 2000-2006 menunjukan bahwa produk ini
mempunyai keunggulan komparatif, terlihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari
satu selama periode 2000-2006 dengan rentang nilai RCA 10.60-15.79 (Tabel 6).
Tabel 6. Estimasi RCA Produk Semi-bleached or bleached Pulp
of Paper (Bubur Kertas)
Year
Trade Value in World
Trade Value Growth (%)
RCA Value
RCA
Growth (%)
2000 706,910,619 - 10.60 - 2001 561,062,592 -20.63 11.73 9.67 2002 705,383,847 25.72 14.76 20.52 2003 789,079,873 11.87 15.18 2.73 2004 585,659,163 -25.78 11.60 -30.90 2005 886,026,319 51.29 15.79 26.55 2006 1,054,148,869 18.97 14.85 -6.34
Pada tahun 2000 total ekspor produk Semi-bleached or bleached Pulp of
Paper Indonesia di pasar dunia mencapai US$ 706,910,619 dengan nilai RCA
sebesar 10.60. Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2001, ekspor produk ini ke pasar
dunia mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 20.63 persen menjadi
hanya US$ 561,062,592. Namun nilai RCA pada tahun tersebut memperlihatkan
bahwa produk ini masih mempunyai keunggulan komparatif, terlihat dengan
adanya peningkatan sebesar 9.67 persen pada nilai RCA menjadi 11.73. Hal ini
dikarenakan adanya penurunan pada volume ekspor total Indonesia dengan
proporsi yang cukup besar (Lampiran 6). Penurunan juga diikuti oleh ekspor
produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper dan total ekspor negara-negara
pesaing lainnya, namun relatif kecil.
Pada tahun 2002-2003 nilai RCA produk Semi-bleached or bleached
Pulp of Paper Indonesia terus mengalami pertumbuhan seiring dengan
pertumbuhan volume ekspor produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper
Indonesia di pasar dunia, dengan nilai RCA sebesar 14.76 dan 15.18 masing-
masing pada tahun 2002 dan 2003. Pada tahun 2004 penurunan ekspor produk
Semi-bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia yang sangat signifikan
kembali terjadi sebesar 25.78 persen menjadi US$ 585,659,163.
Nilai RCA tahun 2004 juga mengalami penurunan sebesar 30.90 persen
menjadi 11.60. Walaupun masih tergolong mempunyai keunggulan komparatif
karena nilainya masih lebih dari satu, namun tahun 2004 merupakan tahun dengan
persentase penurunan nilai RCA terbesar yang diakibatkan oleh penurunan
volume ekspor Semi-bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia yang begitu
besar. Penurunan ekspor tersebut tidak berlangsung lama karena terjadi
peningkatan pertumbuhan ekspor Semi-bleached or bleached Pulp of Paper tahun
berikutnya, yaitu tahun 2005.
Pada tahun 2005 ekspor produk ini tumbuh secara signifikan sebesar
51.29 persen, yang diikuti pula dengan peningkatan nilai RCA sebesar 26.55
persen menjadi 15.79. Pada tahun 2006 Ekspor produk Semi-bleached or bleached
Pulp of Paper Indonesia ke pasar dunia mengalami pertumbuhan sebesar 18.97
persen menjadi sebesar US$ 1,054,148,869 namun nilai RCA produk ini
mengalami penurunan sebesar 6.34 persen menjadi 14.85. Hal ini diakibatkan
oleh volume ekspor total Indonesia ke pasar dunia mengalami peningkatan yang
sangat signifikan menjadi US$ 100,798,624,280 dari total ekspor tahun
sebelumnya yang hanya US$ 85,659,952,615. Hal ini bisa diartikan bahwa di
tahun 2006, produk-produk Indonesia lainnya lebih mendominasi pangsa ekspor
Indonesia di pasar dunia.
5.1.1.3. Analisis Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
Hasil estimasi RCA untuk produk Coniferous of wood (kayu serabut)
selama periode 2000-2006 memperlihatkan bahwa produk ini tidak mempunyai
keunggulan komparatif terlihat dari nilai RCA yang selalu kurang dari satu
dengan rentang nilai 0.0003-0.11. Hal ini disinyalir diakibatkan oleh volume
ekspor produk Coniferous of wood (kayu serabut) Indonesia yang relatif masih
sangat kecil dibandingkan negara pesaing lainnya (Tabel 7).
Pada tahun 2000 hasil estimasi RCA menyatakan bahwa nilai RCA
adalah sebesar 0.04 dengan volume ekspor produk Coniferous of wood (kayu
serabut) Indonesia di pasar dunia mencapai US$ 7,382.051. Angka 0.04 disini
menunjukan bahwa produk tersebut tidak mempunyai keunggulan komparatif
karena nilainya yang kurang dari satu.
Tabel 7. Hasil Estimasi RCA Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
Year Trade Value
in World Trade Value Growth (%)
RCA Value
RCA
Growth (%)
2000 7,382,051 - 0.04 - 2001 10,333,129 39.98 0.07 59.66 2002 6,260,231 -39.42 0.04 -40.00
2003 13,126,892 109.69 0.11 157.69 2004 2,204,895 -83.20 0.01 -88.55 2005 61,235 -97.22 0.00 -97.41 2006 466,209 661.34 0.00 593.33
Pada tahun 2000 hasil estimasi RCA menyatakan bahwa nilai RCA
adalah sebesar 0.04 dengan volume ekspor produk Coniferous of wood (kayu
serabut) Indonesia di pasar dunia mencapai US$ 7,382.051. Di tahun berikutnya
yaitu tahun 2001 total ekspor produk ini ke pasar dunia mengalami peningkatan
yang signifikan sebesar 39.98 persen menjadi US$ 10,333,129 yang diikuti pula
oleh peningkatan nilai RCA sebesar 59.66 persen menjadi 0.07. Walaupun terjadi
peningkatan nilai RCA namun nilai tersebut masih kurang dari satu yang berarti
produk Coniferous of wood (kayu serabut) Indonesia masih belum mempunyai
keunggulan komparatif.
Penurunan volume ekspor produk Coniferous of wood (kayu serabut)
Indonesia yang cukup besar terjadi pada tahun 2002, dimana volume ekspor
mengalami penurunan sebesar 39.42 persen yang diikuti oleh penurunan nilai
RCA sebesar 40.00 persen menjadi 0.04. Setelah mengalami penurunan ekspor
yang cukup besar pada tahun 2002, ekspor produk Coniferous of wood Indonesia
ke pasar dunia kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan pada tahun
2003 yaitu menjadi US$ 13,126,892 atau meningkat sebesar 109.69 persen
dengan nilai RCA yang kembali menguat namun tetap saja masih kurang dari satu
yaitu 0.11.
Pada tahun 2004 ekspor produk ini kembali mengalami penurunan yang
sangat signifikan, ekspor produk Coniferous of wood (kayu serabut) Indonesia ke
pasar dunia menurun sebesar 83.20 persen dari tahun sebelumnya menjadi US$
2,204,895 yang juga diikuti oleh penurunan nilai RCA sebesar 88.55 persen
menjadi hanya 0.01. Penurunan ekspor produk ini terus dialami di tahun 2005,
dengan penurunan yang terbesar selama periode 2000-2006 yaitu sebesar 97.22
persen dari tahun sebelumnya menjadi hanya US$ 61,235 pada tahun 2005. Hal
ini mengakibatkan nilai RCA yang semakin jauh dari angka satu yaitu di nilai
0.0003.
Tahun 2006 terjadi peningkatan ekspor Coniferous of wood (kayu
serabut) Indonesia yang cukup signifikan setelah mengalami penurunan yang
cukup besar di tahun-tahun sebelumnya. Ekspor produk Coniferous of wood (kayu
serabut) Indonesia di pasar dunia pada tahun tersebut meningkat menjadi US$
466,209 atau naik sebesar 661.34 persen. Peningkatan nilai ekspor tersebut juga
disertai peningkatan pada nilai RCA sebesar 593.33 persen, sehingga nilai RCA di
tahun 2006 menjadi 0.002. Namun hal tersebut belum mampu merubah keadaan
produk Coniferous of wood (kayu serabut) Indonesia, karena nilainya masih
dibawah satu yang berarti produk ini masih belum mempunyai keunggulan
komparatif.
Dari hasil estimasi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa selama
kurun waktu 2000-2006, produk Coniferous of wood (Kayu serabut) Indonesia
tidak mempunyai keunggulan komparatif di pasar dunia, sehingga seharusnya
produk tersebut lebih ditinjau kembali jika masih tetap diekspor ke pasar dunia.
5.1.1.4. Analisis Produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (Minyak
Sawit)
Terlihat dari hasil estimasi RCA, produk Palm Kernel or Babassu Oil
and Frac yang merupakan sub produk dari Palm Oil atau minyak sawit
mempunyai kaunggulan komparatif selama periode 2000-2006. Hal tersebut bisa
disimpulkan dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu dengan rentang nilai 71.99-
89.61 (Tabel 8). Nilai RCA produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac
(minyak sawit) Indonesia adalah nilai RCA yang tertinggi dibandingkan dengan
ketiga produk sensitif lingkungan lainnya dalam penelitian ini. Hal ini
dikarenakan Indonesia adalah pemasok utama minyak sawit dunia, sehingga
volume ekspornya lebih besar dibandingkan negara pesaing lainnya.
Selama periode 2000-2006, volume ekspor produk Palm Kernel or
Babassu Oil and Frac (minyak sawit) Indonesia di pasar dunia terus tumbuh dan
mengalami peningkatan walaupun persentase peningkatannya tidak begitu besar
bahkan cenderung menurun, namun volume ekspor tetap bertambah dari tahun ke
tahun, kecuali di tahun 2001 yang sempat mengalami penurunan yang diduga
karena adanya peningkatan pajak ekspor untuk komoditi Palm Kernel or Babassu
Oil and Frac (minyak sawit).
Tabel 8. Hasil Estimasi RCA Produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit)
Year
Trade Value in World
Trade Value Growth (%)
RCA Value
RCA
Growth (%)
2000 169,550,221 - 82.31 - 2001 111,937,376 -33.98 71.99 -12.54 2002 200,997,230 79.56 83.12 15.45 2003 206,241,794 2.61 84.30 1.42 2004 385,997,314 87.16 83.59 -0.84 2005 448,954,959 16.31 81.25 -2.80 2006 506,001,876 12.71 89.61 10.29
Pada tahun 2000, ekspor produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac
Indonesia di pasar dunia adalah sebesar US$ 169,550,221 dengan nilai RCA
sebesar 82.31. Tahun berikutnya yaitu tahun 2001, terjadi penurunan ekspor
sebesar 33.98 persen menjadi US$ 111,937,376 yang disertai oleh penurunan nilai
RCA sebesar 12.54 persen yaitu menjadi 71.99. Penurunan nilai ekspor tersebut
tidak bertahan lama, karena pada tahun 2002-2005 ekspor Palm Kernel or
Babassu Oil and Frac Indonesia ke pasar dunia terus tumbuh tumbuh dengan
kenaikan nilai RCA. Namun kenaikan volume ekspor Palm Kernel or Babassu Oil
and Frac (minyak sawit) Indonesia tidak selalu disertai oleh kenaikan nilai RCA.
Pada tahun 2004, ekspor produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac
(minyak sawit) Indonesia tumbuh sebesar 87.16 persen menjadi US$ 385,997,314
dari sebelumnya US$ 206,241,794, namun nilai RCA di tahun tersebut mengalami
penurunan sebesar 0.84 persen menjadi 83.59 dari yang sebelumnya 84.30. Hal ini
terjadi karena proporsi peningkatan volume total ekspor produk Indonesia dan
dunia (negara pesaing lainnya) lebih besar daripada proporsi peningkatan ekspor
produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (minyak sawit) Indonesia di tahun
tersebut yang mengakibatkan nilai RCA melemah (Lampiran 6).
Demikian pula yang terjadi pada tahun 2005, dimana terjadi peningkatan
ekspor produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac (minyak sawit) Indonesia di
pasar dunia sebesar 16.31 persen namun terjadi penurunan nilai RCA sebesar 2.80
menjadi 81.25. Nilai RCA kembali mengalami peningkatan di tahun 2006 seiring
dengan peningkatan ekspor produk Palm Kernel or Babassu Oil and Frac
(minyak sawit) Indonesia di pasar dunia. Nilai RCA di tahun ini mengalami
peningkatan sebesar 10.29 persen, dari yang sebelumnya 81.25 menjadi 89.61.
5.1.2. Analisis Keunggulan Kompetitif Produk Ekspor Dinamis (Export
Product Dynamic)
Export Product Dynamic (EPD) digunakan untuk mengidentifikasi produk
yang kompetitif dan dinamis (pertumbuhannya cepat) dalam ekspor suatu negara.
Jika pertumbuhannya di atas rata-rata secara kontinu selama waktu yang panjang,
maka produk ini mungkin menjadi sumber pendapatan ekspor yang penting bagi
negara tersebut. Selanjutnya, jika produk dinamis tersebut mempunyai
karakteristik produksi yang spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang
penting dalam kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang
serupa.
Terlihat pada Tabel 9, hasil estimasi EPD mengungkapkan bahwa produk
(1) Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis), (2) Semi-bleached or
bleached Pulp of Paper (bubur kertas) dan (3) Coniferous of Wood (kayu
serabut), berada di posisi “Retreat”. Hal ini berarti ketiga produk tersebut tidak
diinginkan lagi di pasar dunia. Ini terjadi karena selama periode waktu tertentu,
pangsa ekspor ketiga produk tersebut di pasar dunia terus mengalami penurunan.
Sehingga bisa dikatakan bahwa produk (1) Plywood consisting solely of sheets
(kayu lapis), (2) Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur kertas) dan (3)
Coniferous of Wood (kayu serabut), sudah tidak begitu kompetitif untuk
dipasarkan kembali di pasar dunia dan diperlukan peninjauan kembali oleh
pemerintah jika ketiga produk tersebut masih tetap dipasarkan di pasar dunia.
Apalagi ditambah bahwa ketiga produk tersebut merupakan produk berbasis
sumber daya alam yaitu kehutanan. Sehingga dikhawatirkan memiliki
kecenderungan yang tinggi dalam kerusakan lingkungan jika dalam
pengolahannya mengabaikan aspek keselamatan lingkungan.
Sedangkan untuk produk Palm Kernel or babbasu oil and frac (minyak
sawit), hasil estimasi EPD memperlihatkan bahwa produk tersebut berada di
posisi “Rising Star”. Hal ini berarti bahwa produk tersebut mempunyai
keunggulan kompetitif di pasar dunia selama periode 2000-2006 dan berada pada
pangsa pasar yang ideal dimana terjadi peningkatan yang pesat dan kontinu pada
pangsa ekspornya. Sehingga bisa dikatakan bahwa produk Palm Kernel or
babbasu oil and frac (minyak sawit) mempunyai daya saing atau keunggulan
kompetitif di pasar dunia. Maka produk ini mungkin menjadi sumber pendapatan
ekspor yang penting bagi Indonesia. Hal yang terpenting adalah mencegah adanya
opportunity cost yang tinggi bagi lingkungan jika Indonesia melakukan eksplorasi
pada kedua produk tersebut, dan peran pemerintah untuk memenuhi standarisasi
lingkungan hidup internasional sangat bergantung di dalamnya.
Tabel 9. Hasil Estimasi Export Product Dynamic (EPD) Produk Posisi Daya Saing
Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis) Retreat
Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas)
Retreat
Coniferous of Wood (Kayu Serabut) Retreat
Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit) Rising Star
5.2. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Saing Produk
Indonesia yang Sensitif Terhadap Lingkungan 5.2.1. Analisis Pangsa Pasar Konstan (Constant Market Share)
Untuk menentukan faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi
daya saing produk Indonesia yang sensitif terhahadap lingkungan yang dalam
penelitian ini, pertumbuhan ekspor produk-produk Indonesia yang sensitif
terhadap lingkungan merupakan tolak ukur dari daya saing. Analisis Constant
Market Share atau analisis pangsa pasar konstan digunakan dalam pendekatannya
untuk mengukur dinamika tingkat daya saing suatu industri dari suatu negara dan
efek apa saja yang paling mempengaruhinya.
5.2.1.1. Analisis CMS Produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu
Lapis)
Berdasarkan hasil estimasi CMS pada produk Plywood consisting solely
of sheet (kayu lapis), pada tahun 2001 (Tabel 10) faktor yang paling signifikan
mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk tersebut adalah faktor pertumbuhan
impor di pasar dunia sebesar 2,184.41 persen. Sebaliknya, faktor permintaan
produk Plywood consisting solely of sheet Indonesia di pasar dunia atau faktor
komposisi produk menekan pertumbuhan ekspor (-2,109.26 persen). Hal ini
berarti pada tahun tersebut, Indonesia sebagai negara eksportir Plywood consisting
solely of sheet (kayu lapis) mendistribusikan pasarnya ke pusat pertumbuhan
permintaan Plywood consisting solely of sheet (kayu lapis) yang tertinggi,
diindikasikan dengan nilai faktor pertumbuhan impor yang positif. Sedangkan
untuk faktor daya saing tidak memberikan pengaruh yang cukup berarti dilihat
dari kecilnya persentase faktor daya saing yaitu sebesar 24.85 persen.
Pada tahun 2002-2005, faktor permintaan produk dari pasar dunia atau
faktor komposisi komoditi merupakan faktor yang mendominasi dalam
pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor produk Plywood consisting solely of
sheet Indonesia di pasar dunia. Dengan jumlah persentase sebesar 17,442.93
persen untuk tahun 2002, tahun 2003 sebesar 39,981.48 persen, 47,267.95 persen
di tahun 2004 dan 8,338.36 persen di tahun 2005.
Tabel 10. Estimasi CMS Produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis)
CMS Year
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
World Import
Value ($)
2000 - - - 2,551,931,382 2001 2,184.41 -2,109.26 24.85 2,334,076,770 2002 -18,020.58 17,442.93 677.65 2,749,727,817 2003 -40,308.74 39,981.48 427.26 3,112,309,068 2004 -47,702.31 47,267.95 534.35 3,750,742,368 2005 -8,309.77 8,338.36 71.41 3,565,095,697 2006 34,025.10 -33,693.62 -231.48 4,016,581,698
Faktor daya saing mungkin tidak memberikan kontribusi yang cukup
signifikan pada tahun 2002-2005, namun persentasenya jauh lebih besar
dibanding tahun sebelumnya, walaupun juga terdapat kecenderungan penurunan
pada persentase faktor daya saingnya. Hal tersebut berarti Indonesia sebagai
eksportir Plywood consisting solely of sheet (kayu lapis) mengekspor produk
tersebut ke negara yang mempunyai pertumbuhan impor Plywood consisting
solely of sheet (kayu lapis) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan impor produk
lainnya. Sehingga bisa dikatakan dalam periode 2002-2005 terjadi peralihan
permintaan ekspor ke negara-negara tujuan untuk produk Plywood consisting
solely of sheet (kayu lapis) Indonesia.
Pada tahun 2006, faktor permintaan produk di pasar dunia (komposisi
komoditi) dan faktor daya saing menekan pertumbuhan ekspor Indonesia dengan
persentase sebesar -13,021.98 persen untuk faktor komposisi komoditi dan -
231.48 persen untuk faktor daya saing. Namun hal tersebut masih bisa
terselamatkan oleh faktor pertumbuhan impor yang merupakan faktor yang paling
signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk Plywood consisting solely
of sheet Indonesia di pasar dunia dengan persentase sebesar 34,025.10 persen.
5.2.1.2. Analisis CMS Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper
(Bubur Kertas)
Faktor pertumbuhan impor dunia merupakan faktor yang mendominasi
pertumbuhan ekspor Semi-bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia di pasar
dunia pada tahun 2001. Sedangkan faktor komposisi komoditi dan faktor daya
saing ternyata menekan pertumbuhan ekspor dengan persentase sebesar -
11,091.16 persen dan -13.11 persen (Tabel 11). Hal ini mengindikasikan bahwa
Indonesia mendistribusikan pasarnya untuk produk Semi-bleached or bleached
Pulp of Paper ke pusat pertumbuhan permintaan produk tersebut. Untuk periode
2002-2003, faktor pertumbuhan impor masih mendominasi dalam pertumbuhan
ekspornya. Ketergantungan terhadap kebutuhan impor dunia akan produk Semi-
bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia sangat jelas terlihat di periode ini.
Tabel 11. Hasil Estimasi CMS Produk Semi - bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas)
CMS Year
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
World Import
Value ($)
2000 - - - 7,636,873,112 2001 1,204.27 -1,091.16 -13.11 5,855,162,746 2002 2,160.76 -2,149.81 89.05 6,019,529,197 2003 14,263.22 -14,152.17 -11.05 6,813,055,958 2004 -2,630.04 2,600.66 129.38 8,034,214,755 2005 2,805.36 -2,789.55 84.19 8,685,577,467 2006 6,820.74 -6,746.46 25.72 9,909,850,302
Di tahun 2004, faktor pertumbuhan impor dunia menekan laju
pertumbuhan ekspor Semi-bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia di pasar
dunia. Namun hal tersebut tidak begitu berarti karena di tahun yang sama faktor
permintaan produk atau komposisi komoditi di pasar dunia memberikan pengaruh
besar terhadap laju pertumbuhan ekspor yaitu sebesar 2,600.66 persen. Berarti
pada tahun ini, peralihan permintaan ekspor ke negara-negara tujuan untuk
komoditi Semi-bleached or bleached Pulp of Paper daripada kelompok produk
pulp lainnya merupakan faktor yang paling mempengaruhi, disertai dengan
persentase faktor daya saing yang cukup besar pula yaitu sebesar 129.38 persen.
Pada tahun 2005 dan 2006, faktor komposisi komoditi produk Semi-
bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia di pasar dunia mengalami
penurunan bahkan cenderung negatif terhadap laju pertumbuhan ekspornya.
Penurunan permintaan produk oleh pasar dunia juga diikuti oleh proporsi faktor
daya saing yang semakin menurun di dua tahun terakhir yaitu 84.19 persen pada
tahu 2005 dan 25.72 persen pada tahun 2006. Hal tersebut tentunya
berpengaruh buruk terhadap laju pertumbuhan ekspor Semi-bleached or bleached
Pulp of Paper Indonesia di pasar dunia walaupun faktor pertumbuhan impor
paling mempengaruhi laju ekspor pada tahun 2005 dan 2006. Hal ini berarti
permintaan dunia akan produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper
Indonesia mulai mengalami penurunan. Namun Indonesia masih terselamatkan
oleh adanya negara yang menjadi pusat pertumbuhan impor produk Semi-
bleached or bleached Pulp of Paper Indonesia tertinggi yaitu Jepang.
5.2.1.3. Analisis CMS Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
Berdasarkan hasil estimasi CMS pada produk Coniferous of Wood (kayu
serabut) Indonesia (Tabel 12), faktor komposisi produk merupakan faktor yang
paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk tersebut di pasar dunia selama
periode 2000-2005, kecuali pada tahun 2006 dimana faktor pertumbuhan impor
adalah faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor Coniferous of
Wood Indonesia di pasar dunia.
Tabel 12. Hasil Estimasi CMS Produk Coniferous of Wood
(Kayu Serabut) CMS
Year
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
World Import
Value ($)
2000 - - - 17,162,695,809 2001 -621.52 599.7 121.82 15,670,658,961 2002 -1,410.11 1,402.40 107.71 16,145,554,260 2003 -40,308.74 39,981.48 427.26 17,372,269,788 2004 -8,488.45 8,418.94 169.52 243,547,878 2005 -1,479.88 1,477.37 102.51 22,157,317,265 2006 195.68 -195.18 99.49 22,903,112,610
Pada tahun 2001, faktor komposisi produk paling mempengaruhi
pertumbuhan ekspor produk tersebut dengan persentase sebesar 599.7 persen,
sedangkan faktor pertumbuhan impor dunia cenderung menekan pertumbuhan
ekspor sebesar -621.52 persen, dan faktor daya saing yang memberikan sedikit
pengaruh terhadap pertumbuhan ekspor sebesar 121.82 persen.
Persentase faktor komposisi produk yang paling mempengaruhi laju
pertumbuhan Coniferous of Wood Indonesia di pasar dunia terus mengalami
peningkatan selama periode 2002-2003, dengan persentase terbesar yang terjadi
pada tahun 2003 yaitu sebesar 39,981.48 persen yang diikuti dengan peningkatan
faktor daya saing pada tahun yang sama (427.26 persen). Tahun 2004-2005, faktor
komposisi produk masih menjadi faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan
ekspor Coniferous of Wood Indonesia di pasar dunia walaupun terjadi penurunan
persentase pada faktor komposisi produk, dengan persentase sebesar 8,418.94
persen pada tahun 2004 dan 1,477.37 persen pada tahun 2005. Penurunan
persentase pada faktor komposisi komoditi atau produk tersebut diikuti pula oleh
faktor daya saing yang juga mengalami penurunan, yaitu 169.52 persen pada
tahun 2004 dan 102.51 persen pada tahun 2005.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa selama periode 2000-2005, terjadi
peralihan permintaan ekspor ke negara-negara tujuan untuk produk Coniferous of
Wood (kayu serabut) Indonesia, dimana dengan kata lain Indonesia mengekspor
produk Coniferous of Wood (kayu serabut) ke negara yang mempunyai
pertumbuhan impor produk tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
impor kelompok produk tersebut lainnya. Sehingga pada periode 2000-2005
faktor yang mempengaruhi daya saingnya adalah faktor komposisi komoditi.
Faktor daya saing yang terus mengalami penurunan pada tahun 2006
menjadi hanya 99.49 persen rupanya secara langsung mempengaruhi laju
pertumbuhan ekspor Coniferous of Wood (kayu serabut) Indonesia di pasar dunia,
walaupun pada tahun 2006 faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor
pertumbuhan impor sebesar 195.68 persen, yang berarti pada tahun tersebut,
faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor Coniferous of Wood
(kayu serabut) Indonesia adalah masih dibutuhkannya impor produk tersebut oleh
negara tujuan yang merupakan pusat pertumbuhan impor Coniferous of Wood
(kayu serabut) Indonesia.
5.2.1.4. Analisis CMS Produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak
Sawit)
Selama periode 2000-2006, faktor pertumbuhan impor dunia adalah
faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk Palm kernel or
babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia di pasar dunia. Terlihat dari hasil
estimasi CMS (Tabel 13) dimana faktor pertumbuhan impor selalu menjadi faktor
dengan proporsi persentase yang paling besar selama kurun waktu 2000-2006.
Sebaliknya, faktor komposisi produk malah menekan laju pertumbuhan ekspor
produk ini, namun masih terselamatkan oleh proporsi faktor pertumbuhan impor
dunia yang lebih besar.
Tabel 13. Hasil Estimasi CMS Produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit)
CMS Year
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
World Import
Value ($)
2000 - - - 290,188,602
2001 731.20 -674.23 43.03 234,027,320
2002 698.58 -639.97 41.39 343,148,244
2003 64,854.61 -63,528.13 -1,226.47 461,558,548
2004 2,510.73 -2,451.21 40.48 701,573,953
2005 8,821.24 -8,818.97 97.73 704,189,512
2006 10,185.56 -10,115.58 30.02 766,807,103
Faktor Daya saing pun tidak terlalu memberikan pengaruh yang begitu
berarti, karena bila dibandingkan dengan proporsi persentase dari faktor
pertumbuhan impor, proporsi persentase faktor daya saing tidak terlalu besar
(hanya sedikit berpengaruh), sehingga bisa dikatakan bahwa produk Palm kernel
or babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia akan selalu dibutuhkan selama
ketergantungan impor dunia akan produk ini terus berlangsung.
Persentase faktor pertumbuhan impor terus tumbuh selama periode 2000-
2006, dengan persentase pertumbuhan tertinggi pada tahun 2003, dimana faktor
pertumbuhan impor paling mempengaruhi laju pertumbuhan ekspor Palm kernel
or babassu oil and frac (minyak sawit) Indonesia di pasar dunia sebesar 64,854.61
persen yang berarti masih dibutuhkannya impor produk tersebut oleh negara
tujuan yang merupakan pusat pertumbuhan impor Palm kernel or babassu oil and
frac (minyak sawit) Indonesia (Cina, Belanda, India). Walaupun pada tahun yang
sama, efek daya saing malah menekan laju pertumbuhan ekspor produk Palm
kernel or babassu oil and frac (minyak sawit), terlihat dari nilainya yang negatif
yang berarti Indonesia lemah dalam persaingan minyak sawit dunia. Namun laju
ekspor masih terselamatkan oleh kebutuhan dunia yang sangat tinggi akan produk
tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
1. Produk Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis) lebih memiliki
keunggulan komparatif, terlihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu
selama periode 2000-2006. Sedangkan dari hasil analisis CMS terlihat
bahwa faktor pertumbuhan impor dan faktor komposisi komoditi adalah
faktor yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk Plywood
consisting solely of sheets (kayu lapis) Indonesia di pasar dunia.
2. Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur kertas) lebih
memiliki keunggulan komparatif, yang terlihat dari nilai RCA yang selalu
lebih dari satu selama periode 2000-2006, namun daya saing produk ini di
pasar dunia masih lebih rendah dibandingkan produk-produk lainnya yang
terlihat dari nilai RCA yang relatif paling kecil diantara keempat produk
yang dianalisis. Analisis CMS memperlihatkan bahwa pertumbuhan
ekspor produk ini paling dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan impor dan
faktor komposisi komoditi.
3. Analis untuk produk Coniferous of Wood (kayu serabut) mengindikasikan
bahwa produk ini tidak mempunyai keunggulan komparatif maupun
kompetitif, terlihat dari nilai RCA yang selalu kurang dari satu selama
periode 2000-2006 dan estimasi EPD menunjukan bahwa produk
Coniferous of Wood (kayu serabut) berada di posisi “Retreat” yang berarti
produk tersebut sudah tidak diinginkan lagi di pasar. Sedangkan dari hasil
analisis CMS, terlihat bahwa faktor pertumbuhan impor dan faktor
komposisi komoditi.adalah faktor yang paling mempengaruhi
pertumbuhan ekspor produk Coniferous of Wood (kayu serabut) Indonesia
di pasar dunia.
4. Estimasi pada produk Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit)
memperlihatkan bahwa produk ini mempunyai keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif. Terlihat dari nilai RCA yang selalu lebih dari satu
selama periode 2000-2006 dan estimasi EPD yang berada di posisi
“Raising Star” yang berarti terjadi peningkatan yang pesat dan kontinu
pada pangsa ekspornya. Daya saingnya pun paling tinggi dibandingkan
dengan ketiga produk yang diteliti lainnya, terlihat dari nilai RCA yang
lebih tinggi dibandingkan ketiga produk lainnya. Analisis CMS
memperlihatkan bahwa faktor pertumbuhan impor merupakan faktor yang
paling mempengaruhi pertumbuhan ekspor produk Palm kernel or babassu
oil and frac (minyak sawit) Indonesia di pasar dunia.
6.2. Saran
Bagi para pelaku eksportir Plywood consisting solely of sheets (kayu lapis),
Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (bubur kertas), Coniferous of Wood
(kayu serabut) dan Palm kernel or babassu oil and frac (minyak sawit) di
Indonesia, dalam jangka panjang harus mampu meningkatkan daya saing produk
yang akan diekspor jika tidak ingin terjadi peralihan pangsa pasar ke negara
pesaing. Peningkatan daya saing harus dilakukan dari segi peningkatan kualitas
dan peningkatan penerapan standarisasi terhadap keselamatan lingkungan hidup
untuk memenuhi persyaratan dari negara importir, agar produk-produk tersebut
tidak lagi mengalami kesulitan dalam pemasarannya.
Berdasarkan implikasi eksplorasi komoditi dan kerusakan lingkungan
melalui hasil estimasi, sebaiknya komoditi-komoditi yang dinilai mempunyai
performa dan daya saing yang kurang baik harus ditinjau ulang dan dipikirkan
kembali apakah memang yang didapatkan dari ekspor komoditi tersebut sesuai
dengan apa yang dikorbankan untuk lingkungan. Untuk komoditi-komoditi yang
dinilai mempunyai performa dan daya saing yang cukup bagus, diharapkan
pemerintah untuk memberikan perhatian lebih karena potensi yang cukup besar
bagi perekonomian Indonesia. Namun aspek peningkatan standarisasi kesadaran
lingkungan harus tetap diperhatikan dan ditingkatkan agar produk-produk
Indonesia dapat lebih bersaing di pasar global.
DAFTAR PUSTAKA Amir. 1995. Pengetahuan Bisnis Ekspor Impor. PT Pustaka Binaman Pressindo.
Jakarta Ansahar. 2005. Valuasi Ekonomi dan Dampak Lingkungan pada Penambangan
Pasir Darat di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur. [Thesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Appleyard, D.R. and A.J. Field. 1995. International Economics: Trade Theory
and Policy. Irwin Inc, Chicago. Asosiasi Panel Kayu Indonesia. 2006. Tropical Forest and Articles of Woods.
http://www.fortunecity.com/oasis/brighton/136/JAVA2000/APKINDO.html. Diakses tanggal 5 Agustus 2008.
Aswicahyono, H. and M. Pangestu. 2000. Indonesia’s Recovery: Exports and Regaining the Competitiveness. The Developing Economies. Vol.38 (1): 454-489.
Dahl, D.C. and J.W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis. The Agriculture Industries. McGraw-Hill Inc. USA.
Estherhuizen, D. 2006. Measuring and Analyzing Competitiveness in the Agribusiness Sector: Methodological and Analytical Framework. University of Pretoria.
Firdaus, A.H. 2007. Analisis Daya Saing dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia di Pasar Amerika Serikat. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kartikasari, M.A. 2008. Analisis Daya Saing Komoditi Tanaman Hias dan Aliran Perdagangan Anggrek Indonesia di Pasar internasional. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Status Lingkungan Hidup Indonesia. http://www.menlh.go.id/archive.php?action=info&id=25. Diakses tanggal 5 Agustus 2008.
Koerdianto, E.Z. 2008. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Sayuran Unggulan (Kasus Kecamatan Ciwidey Kabupaten Bandung dan Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat) [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Krugman, P.R. 1996. Making Sense of the Competitiveness Debate. Oxford Review of Economic Policy. Vol 12(3): 17-25.
Krugman, P.R. and M. Obstfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy. Addison Wesley, Boston.
Lindert, P. H. dan Ch. P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional (Alih Bahasa Burhanuddin Abdullah) Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Lipsey, R.G., P.N. Courant, D.D. Purvis, dan P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. J.Wasana dan Kirbrandoko. [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta.
Lembaga Ekolabel Indonesia. 2005. Certification Review Council. http://www.lei.or.id/english/index.php. Diakses tanggal 4 Agustus 2008.
Meryana, E. 2007. Analisis Daya Saing Kopi Robusta Indonesia di Pasar Kopi Internasional. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
National Competitiveness Council. 2006. Annual Competitiveness Report 2006. http://www.forfas.ie/ncc/reports/ncc_annual_06/index.html. Diakses tanggal 20 Juli 2008.
Ningrum, A.W.P. 2006. Analisis Permintaan Ekspor Pulp dan Kertas Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press, New York.
Rachmawati, et, al,. 2004. Bunga Rampai Perdagangan dan Lingkungan. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Ridwan. 2008. Analisis Usaha Tani Padi Ramah Lingkungan dan Padi Anorganik (Kasus kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor). [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rudianto, Doni. 2003. Analisis Daya Saing dan Efesiensi Pemasaran Komoditas Lidah Buaya (Studi Kasus Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat). [Skripsi]. Departemem Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sahin, et. al,. 2006. A New Perspective in Competitiveness on Nations. Department of Industrial Engineering, Dogus University Istanbul. Turkey.
Salvatore, D. 1997. International Economics. John Wiley and Sons, New Jersey.
Sudaryanto, T dan Simatupang. 1993. Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Suparmoko. 1998. Ekonomi Lingkungan. BPFE – Yogyakarta. Yogyakarta.
Suprihatini, R. 2000. Daya Saing Teh Indonesia di Pasar Teh Dunia. Tinjauan Komoditas Perkebunan. Kelapa Sawit, Karet, Gula, Kopi dan Teh VO.1. September-November 2000. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (APPI) dan Direktorat Jendral Perkebunan.
World Economic Forum. 2007. The Global Competitiveness Report 2007-2008. WEF, Geneva.
Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan. Akademika Presindo. Jakarta
Lampiran 1, Hasil Estimasi Produk Plywood consisting solely of sheets (Kayu Lapis)
CMS Year
Trade Value ($ '000) in World
Growth (%)
RCA
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
EPD
2000 1,501,021,458 - 66.37 - - - 2001 1,330,285.568 -11.37 70.24 2,184.41 -2,109.26 24.85 2002 1,289,258.255 -3.08 68.02 -18,020.58 17,442.93 677.65 2003 1,235,127.450 -4.20 70.25 -40,308.74 39,981.48 427.26 2004 1,178,467.834 -4.59 63.15 -47,702.31 47,267.95 534.35 2005 974,424.627 -17.31 53.89 -8,309.77 8,338.36 71.41
2006 1,011,491.745 3.80 49.74 34,025.10 -33,693.62 -231.48 Retreat
Lampiran 2. Hasil Estimasi Produk Semi-bleached or bleached Pulp of Paper (Bubur Kertas)
CMS Year
Trade Value ($ '000) in
World
Growth (%)
RCA
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
EPD 2000 706,910.619 - 10.60 - - - 2001 561,062.592 -20.63 11.73 1,204.27 -1,091.16 -13.11 2002 705,383.847 25.72 14.76 2,160.76 -2,149.81 89.05 2003 789,079.873 11.87 15.18 14,263.22 -14,152.17 -11.05 2004 585,659.163 -25.78 11.60 -2,630.04 2,600.66 129.38
2005 886,026.319 51.29 15.79 2,805.36 -2,789.55 84.19
2006 1,054,148.869 18.97 14.85 6,820.74 -6,746.46 25.72 Retreat Lampiran 3. Hasil Estimasi Produk Coniferous of Wood (Kayu Serabut)
CMS Year
Trade Value ($ '000) in
World
Growth (%)
RCA
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%)
EPD 2000 7,382.051 - 0.04 - - - 2001 10,333.129 39.98 0.07 -621.52 599.7 121.82 2002 6,260.231 -39.42 0.04 -1,410.11 1,402.40 107.71 2003 13,126.892 109.69 0.11 -40,308.74 39,981.48 427.26 2004 2,204.895 -83.20 0.01 -8,488.45 8,418.94 169.52
2005 61.235 -97.22 0.00 -1,479.88 1,477.37 102.51
2006 466.209 661.34 0.00 195.68 -195.18 99.49 Retreat
Lampiran 4. Hasil Estimasi Produk Palm kernel or babassu oil and frac (Minyak Sawit)
CMS
Year
Trade Value ($ '000) in World
Growth (%)
RCA
Import Growth (%)
Commodity Composition
(%) Competitiveness
(%) EPD
2000 169,550.221 - 82.31 - - - 2001 111,937.376 -33.98 71.99 731.20 -674.23 43.03 2002 200,997.230 79.56 83.12 698.58 -639.97 41.39 2003 206,241.794 2.61 84.30 64,854.61 -63,528.13 -1,226.47 2004 385,997.314 87.16 83.59 2,510.73 -2,451.21 40.48 2005 448,954.959 16.31 81.25 8,821.24 -8,818.97 97.73
2006 506,001.876 12.71 89.61 10,185.56 -10,115.58 30.02 Rising Star
Lampiran 5. Kompilasi Data Ekspor Indonesia di Pasar Dunia Tahun 2000-
2006 (US$)
Tahun
Plywood consisting
solely of sheets
Semi Bleached or Bleached Pulp of
paper Coniferous of
Wood
Palm kernel or babassu oil and
frac
Total
2000 1,501,021,458 706,910,619 7,382,051 169,550,221 62,124,016,182 2001 1,330,285,568 561,062,592 10,333,129 111,937,376 56,320,904,904 2002 1,289,258,255 705,383,847 6,260,231 200,997,230 57,158,771,616 2003 1,235,127,450 789,079,873 13,126,892 206,241,794 61,058,246,995 2004 1,178,467,834 585,659,163 2,204,895 385,997,314 71,584,608,796 2005 974,424,627 886,026,319 61,235 448,954,959 85,659,952,615 2006 1,011,491,745 1,054,148,869 466,209 506,001,876 100,798,624,280
Sumber : Comtrade, 2007 Lampiran 6. Kompilasi Data Ekspor Dunia di Pasar Dunia Tahun 2000-2006
(US$)
Tahun
Plywood consisting
solely of sheets
Semi Bleached or Bleached Pulp of
paper Coniferous of
Wood
Palm kernel or babassu oil and
frac
Total
2000 2,265,009,228
6,679,318,866
16,956,143,708
206,304,227
6,222,069,973,732
2001 2,010,386,779
5,075,109,677
15,754,725,990
165,033,354
5,978,059,367,371
2002 2,061,193,746
5,195,949,127
16,299,376,660
262,991,724
6,216,214,042,022
2003 2,088,937,367
6,176,693,008
17,534,461,814
290,674,962
7,254,185,096,343
2004 2,288,625,408
6,194,190,296
21,944,021,285
566,290,813
8,778,885,827,442
2005 2,122,275,553
6,586,700,055
22,486,478,129
619,069,257
10,053,089,185,035
2006 2,316,101,681
8,088,318,809
23,965,408,085
643,176,043
11,481,505,973,544
Sumber : Comtrade, 2007 Lampiran 7. Kompilasi Data Impor Dunia Tahun 2000-2006 (US$)
Tahun
Plywood consisting
solely of sheets
Semi Bleached or Bleached Pulp of
paper Coniferous of
Wood
Palm kernel or babassu oil and
frac
Total
2000 2,551,931,382
7,636,873,112
17,162,695,809
290,188,602
6,326,360,627,893
2001 2,334,076,770
5,855,162,746
15,670,658,961
234,027,320
6,144,750,827,131
2002 2,749,727,817
6,019,529,197
16,145,554,260
343,148,244
6,419,753,693,007
2003 3,112,309,068
6,813,055,958
17,372,269,788
461,558,548
7,505,994,699,351
2004 3,750,742,368
8,034,214,755
243,547,878
701,573,953
9,142,008,511,185
2005 3,565,095,697
8,685,577,467
22,157,317,265
704,189,512
10,373,222,913,227
2006 4,016,581,698
9,909,850,302
22,903,112,610
766,807,103
11,939,593,097,548
Sumber : Comtrade, 2007
top related