analisa atas mekanisme pengelolaan bencana … · bencana alam ditangani oleh badan nasional ......
Post on 27-Jul-2018
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
ANALISA ATAS MEKANISME PENGELOLAAN BENCANA
DAN DANA BENCANA DI INDONESIA
Oleh:
Tim Analisa BPK – Biro Analisa APBN &
Hendri Saparini
I. PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak digaris
khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan kondisi alam yang
beragam, baik dari segi geografis, geologis, hidrologis dan demografis. Dengan kondisi yang
dimiliknya tersebut Indonesia memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Akan tetapi dibalik potensi
yang menguntungkan tersebut Indonesia juga memiliki potensi untuk mengalami bencana alam
dengan frekuensi yang cukup tinggi, sehingga memerlukan penanganan yang sistematis,
terpadu dan terkoordinasi. Bencana menurut Bakornas adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam, manusia, dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban
penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana, prasarana
dan fasilitas umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan
masyarakat. Dari berbagai macam jenis bencana alam, baik yang disebabkan oleh
kesalahan/kelalaian manusia maupun murni kejadian alam, banjir dan gempa bumi
merupakan dua jenis bencana yang sering terjadi di wilayah Indonesia.
Bercermin dari banyaknya jumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia, apalagi pada
beberapa tahun terakhir ini, pemerintah dan masyarakat telah mengantisipasinya dengan
membentuk lembaga penanggulangan bencana alam. Saat ini, pengelolaan penanggulangan
bencana alam ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini adalah
sebuah lembaga Pemerintah Non Departemen yang mempunyai tugas membantu Presiden
dalam kegiatan yang terkait dengan bencana alam, seperti: mengkoordinasikan perencanaan
dan pelaksanaan kegiatan penanganan bencana dan kedaruratan secara terpadu; serta
melaksanakan penanganan bencana dan kedaruratan mulai dari sebelum, pada saat, dan
2
setelah terjadi bencana yang meliputi pencegahan, kesiapsiagaan, penanganan darurat, dan
pemulihan. BNPB dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008.
Sebelumnya badan ini bernama Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005, menggantikan Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang dibentuk
dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2001.
Memperhatikan tugas dan fungsi BNPB tersebut di atas, tugas menjalankan koordinasi
manajemen bencana ada di tangan BNPB. BNPB dituntut untuk merumuskan kebijakan
nasional yang terkait dengan manajemen bencana karena manajemen bencana adalah suatu
bidang yang melibatkan persiapan antisipatif sebelum bencana terjadi, bantuan dan
tanggapan terhadap bencana (seperti: evakuasi darurat, karantina, pencegahan penularan
masal, dll) termasuk membangun kembali masyarakat korban bencana setelah bencana alam
atau bencana akibat perbuatan manusia tersebut terjadi. Secara umum dapat dikatakan
bahwa manajemen bencana adalah suaru proses yang berkelanjutan yang di dalam proses
tersebut seluruh individu, kelompok dan komunitas yang terlibat mengelola bencana dalam
upayanya untuk menghindari atau mengurangi dampak bencana yang terjadi.
Terjadinya banyak bencana di Indonesia dalam periode 5 tahun terakhir tentu saja turut
mempengaruhi perkembangan belanja negara karena dilakukannya langkah-langkah
penanganan beberapa bencana yang melanda di tanah air, seperti, gempa bumi dan banjir,
bencana lumpur di Sidoarjo, hingga wabah virus flu burung. Sesuai dengan tema dan prioritas
pembangunan nasional dalam RKP 2010 alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dalam
APBN tahun 2010 salah satunya akan difokuskan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan
sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim, termasuk dalam pengurangan
resiko bencana. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan kesiagaan dan penanggulangan
bencana, membentuk standby force yaitu tenaga medis dengan perbekalannya, PMI, teknisi
untuk kerusakan listrik, urusan energi, satgas, atau elemen yang berkaitan dengan energi, serta
unsur TNI dan Polri.
3
Bencana tersebut telah menimbulkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak
sedikit selama 5 tahun terakhir. Korban jiwa mencapai 177.078 jiwa, sebesar 94 persen dari
total jumlah korban jiwa tersebut diakibatkan oleh peristiwa gempa bumi dan tsunami yang
terjadi di Aceh pada tahun 2004. Bencana banjir selama tahun 2004-2008 mendominasi
bencana di Indonesia dengan 1210 kejadian. Berdasarkan data BNPB, pada dua tahun terkhir
periode tersebut terjadi peningkatan bencana banjir dengan 834 kejadian, sekitar 69% dari
kejadian banjir selama kurun waktu tersebut. Meskipun demikian, jumlah korban jiwa karena
bencana jauh lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya, hanya 1158 jiwa , dibanding 9455 jiwa
pada tahun 2005-2006.
Grafik 1. Jumlah Peristiwa Bencana di Indonesia
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Grafik 2. Jumlah Korban Jiwa Bencana di Indonesia 2004 – 2008
Sumber : Badan Nasional Penanggulangan Bencana
4
Karena peningkatan jumlah kejadian bencana baik bencana alam maupun karena ulah
manusia, manajemen bencana dan pengelolaan anggaran negara yang terkait dengan
manajemen bencana harus dilakukan dengan terpadu. Manajemen bencana bukan saja harus
dilakukan setelah terjadi bencana, teyapi juga termasuk sebelum terjadinya bencana.
II. PERATURAN ATAS MEKANISME PENGELOLAAN DANA PENANGGULANGAN BENCANA
Mekanisme pengelolaan dana penanggulangan bencana menggunakan ketentuan yang
berlaku sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Pengelolaan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional dalam
serangkaian kegiatan baik sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama
ini masih dirasakan adanya kelemahan baik dalam pengelolaan bencana maupun yang terkait
dengan landasan hukum karena belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur hal
tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi pra-bencana, saat tanggap darurat
dan pasca bencana. Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan pokok
penyelenggaraan penanggulangan bencana, diantaranya adalah:
a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab dan wewenang
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan secara terencana, terpadu,
terkoordinasi dan menyeluruh.
b. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam tahap tanggap darurat dilaksanakan
sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
c. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memperhatikan hak
masyarakat antara lain mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan
sosial, pendidikan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana,
serta berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
5
d. Kegiatan penanggulangan bencana dilaksanakan dengan memberikan kesempatan secara
luas kepada lembaga usaha dan lembaga internasional.
e. Pengawasan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat pada setiap tahapan bencana agar tidak
terjadi penyimpangan dalam penggunaan dana penanggulangan bencana.
f. Pemerintah bertanggungjawab dalam pengurangan risiko bencana dan pemaduan
pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan yang dilaksanakan.
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Mengingat Indonesia berada pada kawasan rawan bencana yang secara alamiah dapat
mengancam keselamatan bangsa, maka diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi
bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan. Penataan ruang harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi,
terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup. Tujuan penataan ruang
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
adalah untuk mengharmoniskan lingkungan alam dan lingkungan buatan, agar terwujud
keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta dapat
memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
3. Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana.
Mengatur tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi tahap pra-bencana,
saat tanggap darurat, dan pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada
tahap prabencana meliputi:
a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan
b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.
6
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2008 Tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana
Mengatur tentang pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana yang meliputi:
a. sumber dana penanggulangan bencana;
b. penggunaan dana penanggulangan bencana;
c. pengelolaan bantuan bencana; dan
d. pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pendanaan dan pengelolaan bantuan
bencana.
Peraturan Pemerintah ini juga mengatur dana penanggulangan bencana dalam tahap
pascabencana yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi antara lain meliputi perbaikan
lingkungan daerah bencana dan perbaikan prasarana dan sarana umum serta pelayanan
kesehatan sedangkan kegiatan rekonstruksi meliputi
pembangunan kembali prasarana dan sarana, partisipasi dan peran serta lembaga dan
organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan masyarakat serta peningkatan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya.
5. Peraturan Presiden No. 08 tahun 2008 Tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Mengatur ketentuan bahwa BNPB mempunyai tugas antara lain memberikan pedoman dan
pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara dan
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan
sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
III. PENGELOLAAN DANA BENCANA
Realisasi anggaran pada subfungsi penanggulangan bencana dalam kurun waktu 2006-2009
(grafik 3) digunakan untuk membiayai program utama, yaitu program pencarian dan
penyelamatan, dengan semakin memperhatikan pula upaya pengurangan resiko bencana, di
luar upaya penuntasan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana tsunami di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara setelah
7
berakhirnya mandat Badan Rehabilitasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias yang
dialokasikan kepada kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah, yang dialokasikan lebih dari
Rp3,4 triliun.
Grafik 3. Dana Penanggulangan Bencana pada Belanja Pemerintah Pusat Menurut
Fungsi 2005–2010 (miliar rupiah)
Sumber: Departemen Keuangan
Untuk tahun 2007, Pemerintah mengalokasikan dana kontinjensi untuk penanggulangan
bencana sebesar Rp2,7 triliun. Dari anggaran tersebut, 99 persen telah direalisasi antara lain
untuk penanganan gempa di Manggarai, Bengkulu, Sumatera Barat dan sekitarnya serta banjir
di Morowali dan Gorontalo. Sedangkan untuk tahun 2008, Pemerintah mengalokasikan dana
kontinjensi bencana sebesar Rp3,0 triliun, dan telah direalisasi 98,3 persen atau Rp2,95 triliun.
Untuk tahun 2009, Pemerintah mengalokasikan dana kontinjensi bencana sebesar Rp3,0 triliun,
sama dengan tahun anggaran sebelumnya (Grafik 4).
Grafik 4. Dana Kontinjensi Bencana 2006–2010 (triliun)
Sumber: Departemen Keuangan
8
Guna menunjang upaya pencapaian sasaran-sasaran pokok yang ditetapkan dalam
prioritas peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan
perubahan iklim, dalam APBN tahun 2010 direncanakan alokasi anggaran sekitar Rp3,5 triliun.
Alokasi anggaran tersebut akan difokuskan penggunaannya untuk mendukung 5 fokus kegiatan,
yaitu: (1) peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan bencana alam
lainnya sebesar Rp475,3 miliar; (2) peningkatan rehabilitasi dan konservasi sumber daya alam
dan kualitas daya dukung lingkungan sebesar Rp792,4 miliar; (3) peningkatan pengelolaan
sumber daya air terpadu sebesar Rp436,6 miliar; (4) peningkatan pengelolaan sumber daya
kelautan sebesar Rp564,6 miliar; dan (5) peningkatan kualitas tata ruang dan pengelolaan
pertanahan sebesar Rp1,2 triliun.
Data-data di atas memperlihatkan bahwa dana-dana yang dialokasikan untuk tujuan
penanggulangan bencana cenderung meningat dari tahun ke tahun. Bahkan pada tahun 2010
telah dialokasikan dana untuk mencegah terjadinya bencana dengan melakukan rehabilitasi dan
konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, akan tetapi belum terlihat langkah-langkah
yang nyata dan signifikan dalam manajemen bencana, terutama dalam manajemen pra-
bencana.
IV. PELAKSANAAN ATAS MEKANISME PENGELOLAAN DANA BENCANA
Pengelolaan bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional dalam
serangkaian kegiatan baik sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana. Selama ini
yang kegiatan penangulangan bencana lebih banyak dilakukan sebagai tanggapan setelah
terjadinya bencana, bukan antispasi pencegahan bencana. Selain masih minim, kegiatan
antisipasi pencegahan bencana juga dilakukan tidak secara terpadu lintas departemen, tetapi
lebih cenderung menjadi proyek sektoral yang terpisah-pisah. Tanpa langkah-langkah antisipatif
yang terpadu, bencana alam yang dapat dicegah dan bencana karena kelalaian manusia akan
lebih sering terjadi. Kerugian material yang lebih besar dan korban jiwa masih berpotensi terus
bertambah.
9
Langkah antisipatif yang masih lemah diperburuk dengan kelemahan dalam pengelolaan
bencana, yang kadang terkait dengan landasan hukum. Beberapa kelemahan dan kendala yang
terjadi dilapangan selama ini adalah :
1. Penyaluran bantuan kemanusiaan yang terkumpul dari masyarakat tidak ada kontrol. Tidak
ada laporan kepada masyarakat atas penggunaan dana oleh masyarakat sipil yang
menghimpun dana masyarakat. Hal ini dapat berakibat overlaping dan inefisiensi
penanggulangan bencana.
2. Tidak ada wewenang dan koordinasi terpusat sehingga penerimaan dan penyaluran
bantuan bencana tersendat.
3. Dana bagi korban bencana dan kegiatan operasional petugas di tempat kejadian juga sering
terhambat. Dana bencana Pemerintah Provinsi sering kali tidak bisa cepat dicairkan.
Alasannya, menunggu mekanisme pencairan dana,
4. Terkait dengan koordinasi antar pihak saat terjadi bencana alam. Tidak adanya badan
tertinggi yang bertanggung jawab dalam penanganan bencana membuat niat baik
membantu korban bencana alam tidak berjalan baik.
V. HASIL PEMERIKSAAN DAN TEMUAN BPK
Seperti telah disebutkan pada awal tulisan ini, posisi Indonesia memiliki potensi terjadinya
bencana alam yang beragam, baik yang terjadi karena perbahan alam maupun karena ulah
manusia. Bencana tersebut telah menimbulkan kerugian materi dan dalam benyak kejadian
menelan korban jiwa. Akan tetapi, meskipun dalam beberapa tahun terakhir Indonesia seperti
tak putus dirundung bencana, pengelolaan dana yang dialokasikan untuk kegiatan yang terkait
penanggulangan bencana belum optimal. Masih banyak ditemukan kelemahan dan pelanggaran
ketentuan terhadap pengelolaan anggara tersebut. Kelemahan dan pelanggaran tersebut terjadi
di beberapa departemen dan instansi seperti yang dilaporkan oleh BPK dalam ringkasan di
bawah ini:
1. DEPARTEMEN SOSIAL
1. Pembelian Cadangan Beras Perencanaannya Belum Memadai Sebesar Rp23.099,96 juta
10
Pengadaan Beras Bencana Alam Tahun 2008 dilaksanakan berdasarkan perjanjian jual
beli beras antara Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen Sosial
dengan Perusahaan Umum Bulog sebesar Rp23.099.960.000,00 untuk 4.442.300 kg
beras. Hal tersebut disebabkan oleh kebijakan untuk merealisasikan DIPA yang telah
diberikan tanpa melihat kebutuhan akan beras dan panitia pengadaan dan pejabat
pembuat komitmen tidak cermat dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
2. Pertanggungjawaban Penggunaan Belanja Sosial untuk Pelaksanaan Program
Keserasian Sosial Berbasis Masyarakat Belum Dilakukan Secara Memadai
Pada Tahun 2008 Departemen Sosial melaksanakan Program Keserasian Sosial Berbasis
Masyarakat yang dilaksanakan oleh Direktorat Bantuan Sosial dan Korban Bencana Sosial
(BSKBS) Ditjen Banjamsos. Keserasian sosial berbasis masyarakat adalah suatu bentuk
kegiatan yang melibatkan masyarakat untuk memulihkan kembali kehidupan social
(reintegrasi sosial) akibat kerusuhan sosial dan bencana sosial dari mulai perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan pada 8 (delapan) provinsi yaitu Nanggroe
Aceh Darussalam, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara
Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Tenggara. Kondisi tersebut
mengakibatkan realisasi Belanja Sosial yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Depsos
belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan belum mencerminkan suatu
pertanggungjawaban yang final dan pelaksanaan program keserasian sosial berbasis
masyarakat sulit diukur efektivitasnya.
3. Pelaksanaan Pekerjaan Pengadaan Perahu Floating Sebesar Rp6.362,85 juta Tidak
Sesuai Ketentuan.
Dalam rangka penanggulangan bencana Direktorat Bencana Sosial Korban Bencana Alam
(BSKBA) melaksanakan pengadaan 75 unit perahu floating. Pelaksana pengadaan adalah
PT. Carita Boat Indonesia sebagai pemenang lelang nilai kontrak adalah sebesar
Rp6.362.850.000,00. Hal tersebut disebabkan kelalaian Pejabat Pembuat Komitmen
dalam menyusun dan menandatangani dokumen kontrak tanpa mempertimbangkan
kepentingan Depsos dan tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dan kelalaian Panitia
11
Pemeriksa dan Penerima Barang dalam membuat Berita Acara Pemeriksaan dan
Penerimaan Barang/jasa tidak mengacu pada kondisi yang sebenarnya.
2. DEPARTEMEN KEMENKO KESRA
1. Kemenko Kesra belum menyetorkan seluruh sisa dana pada rekening penampungan
bantuan bencana tsunami NAD-Nias sebesar Rp2.942,77 juta dan selama tahun 2008
digunakan tidak sesuai dengan tujuan pembentukannya
Catatan atas Laporan Keuangan Kemenko Kesra Tahun 2008 mengungkapkan bahwa
rekening ini telah dibekukan sementara melalui Surat dari PT Bank Negara Indonesia
(Persero) Tbk Nomor HMN/01/06/2009 tentang Pembekuan Rekening Sementara.
Sebelum dilakukan pembekuan rekening, saldo akhir rekening menunjukkan jumlah
Rp1.442.442.776,00. Hal tersebut mengakibatkan:
a. Pemanfaatan sumbangan masyarakat untuk penanggulangan bencana alam di NAD-
Nias tidak optimal.
b. Sisa dana sebesar Rp2.942.776.000,00 (Rp1.500.000.000,00 +Rp1.442.776.000,00)
belum disetorkan ke kas negara yang berpotensi menimbulkan penyalahgunaan oleh
dan untuk kepentingan pihak tertentu.
3. DEPARTEMEN PERTANIAN
1. Penatausahaan Stok Pestisida tidak Tertib dan Terdapat Penimbunan Pestisida Senilai
Rp11.070.659.280,00.
Dalam Neraca unaudited Departemen Pertanian posisi 31 Desember 2008
mencantumkan saldo persediaan sebesar Rp21.203.714.646,00 didalamnya termasuk
saldo persediaan Eselon I Ditjen Tanaman Pangan sebesar Rp314.529.470,00. Dari uraian
catatan atas laporan keuangan diketahui bahwa persediaan pada Ditjen Tanaman
Pangan tersebut berupa barang konsumsi. Hasil pemeriksaan terhadap persediaan di
lingkungan Ditjen Tanaman Pangan, diketahui bahwa selain persediaan yang dilaporkan
dalam Neraca tersebut, juga terdapat persediaan lain berupa pestisida untuk
penanggulangan bencana alam yang disimpan dan dikelola oleh salah satu Unit
12
Pelaksana Teknis (UPT) Ditjen Tanaman Pangan, yaitu Balai Besar Peramalan Organisme
Pengganggu Tumbuhan (BBPOPT). Berdasarkan konfirmasi dengan petugas penyimpann
pestisida tersebut, diketahui bahwa persediaan tersebut merupakan stock nasional
pestisida untuk penanggulangan bencana alam. Sesuai tujuannya, pestisida tersebut
akan dibagikan kepada masyarakat untuk penanggulangan bencana alam. Hal tersebut
mengakibatkan:
a. Saldo persediaan dalam Neraca unaudited Ditjen TP dan Kementerian Pertanian per 31
Desember 2008 understated sebesar Rp11.070.659.280,00
b. Laporan Pengadaan pestisida tidak bermanfaat secara optimal dan tidak dapat
digunakan sesuai peruntukannya karena kadaluarsa
c. Hasil pengadaan pestisida banyak yang kadaluarsa dan tidak bermanfaat secara
optimal serta tidak dapat digunakan sesuai peruntukannya.
4. DEPARTEMEN KESEHATAN
1. Metode penunjukan langsung dalam penetapan PT Pembangunan Perumahan (PP) dan
PT Rajawali Nusindo sebagai pelaksana pengadaan barang dan jasa di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta tidak sesuai ketentuan
Kondisi tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan bagi kontraktor lain yang
kompeten untuk bersaing dalam pelaksanaan tender/pelelangan pekerjaan
pembangunan Gedung Public Wing, dan harga pengadaan belum dapat diyakini
kewajarannya.
5. MENTERIAN NEGARA PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL
1. Perencanaan dan Penyaluran Realisasi Belanja Bantuan Sosial Kepada Daerah
Tertinggal Belum Sepenuhnya Tepat Sasaran dan Belum Seluruhnya
Dipertanggungjawabkan
Dalam Laporan Keuangan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
(KNPDT) TA 2008 telah tercantum anggaran untuk bantuan sosial sebesar
Rp.932.035.413.000,00 dan telah terealisasi 77,76% sebesar Rp.724.715.862.018,00. Hal
13
tersebut mengakibatkan pengeluaran belanja bantuan sosial sebesar
Rp4.184.603.400,00 diindikasikan kurang tepat sasaran dan Bansos pendampingan
melalui perantara pihak III belum dipertanggung jawabkan sebesar Rp2.500.000.000,00
dan rawan terjadi penyimpangan.
6. BADAN PENANGGULANGAN LUMPUR SIDOARJO TAHUN 2008
1. Administrasi Barang Milik Negara (BMN) Peralatan dan Mesin Tidak Tertib
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman para pelaksana (operator aplikasi
program SIMAK BMN dan penanggungjawab SIMAK BMN terhadap peraturan yang ada
dan Kurangnya pengawasan dan pengendalian dari atasan langsung. Hal tersebut
mengakibatkan aset BMN tidak dapat dipantau keberadaannya dan berpotensi hilang.
2. Pembayaran atas Pembelian Tanah dan Bangunan Warga di Luar Peta Area Terdampak
Terlambat Dilakukan dan Terdapat Kelebihan Pembayaran Yang Belum Diselesaikan
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil wawancara dengan penanggungjawab
pembelian tanah dan bangunan warga sesuai Peta Area Terdampak dari PT LB, hingga
kini PT LB belum menyelesaikan seluruh jual beli tanah dan bangunan masyarakat sesuai
dengan Peta Area Terdampak tersebut. Hal tersebut mengakibatkan:
a. Nilai belanja modal tanah disajikan lebih catat sebesar Rp86.201.000,00.
b. Data yang dihasilkan tim verifikasi tidak dapat dibuktikan akurasinya.
c. Terhambatnya proses realisasi pembayaran ganti rugi 20%.
Hal tersebut terjadi karena BPLS tidak mengkoordinasikan pelaksana di lapangan dengan
unit yang mengelola data warga atas luas tanah dan atau bangunan sesuai kondisi fisik
yang ada.
3. Terdapat Ketidakpastian Penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan Terkait Dengan
Kewajiban BPLS Untuk Membeli Tanah dan Bangunan Warga Di luar Peta Area
Terdampak.
Hal tersebut mengakibatkan adanya ketidakpastian periode pengalihan konstruksi dalam
pengerjaan menjadi aset tetap dan skema pembayaran atas jual beli tanah dan
bangunan warga yang diatur dalam Perpres nomor 48 tahun 2008 tidak efektif.
14
4. Pencatatan dan Pelaporan Persediaan Belum Memadai
Hal tersebut mengakibatkan nilai persediaan yang disajikan dalam Neraca Laporan
Keuangan BPLS yaitu saldo awal Januari 2008 dan saldo persediaan per 31 Desember
2008 tidak dapat diyakini kewajarannya. Hal tersebut terjadi karena Sistem aplikasi
untuk pencatatan persediaan tidak berjalan maksimal akibat sering rusak, Petugas yang
bertanggungjawab atas pencatatan persediaan tidak memahami dan tidak cermat dalam
melaksanakan tugasnya dan pengawasan dari atasan langsung (Kuasa Pengguna Barang)
tidak berjalan.
5. Sistem Pengendalian Intern pada BPLS Belum Memadai
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pembinaan dan arahan dari Pimpinan BPLS, Belum
disahkan SOP oleh Kepala Bapel BPLS dan kurangnya langkah-langkah konkret dalam
pelaksanaan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah sehingga mengakibatkan pelaksanaan tugas dan fungsi
BPLS tidak dapat berjalan dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku.
6. Beberapa Permasalahan Akuntansi Terkait dengan Aset Tanggul Dalam Pengerjaan
Sebesar Rp260.955.307.640,00 Belum Dapat Diselesaikan
Hasil pemeriksaan atas KDP, khususnya yang terkait dengan Tanggung senilai
Rp260.955.307.640,00, dapat diketahui hal-hal sebagai berikut:
a. Status kepemilikan tanggul yang belum jelas.
b. Belum dilakukan penghapusan atas tanggul senilai Rp44.570.883.024,00 yang hilang
atau tenggelam.
c. Belum ada kejelasan mengenai umur ekonomis tanggul apabila konstruksi tanggul
telah dinyatakan selesai.
d. Belum ada penyesuaian terhadap nilai tanggul terkait dengan adanya tanggul yang
ambles (subsidence)
7. Terdapat Kelebihan Pembayaran PPh Pasal 21 atas Honor Terkait dengan Penggunaan
Dana Pinjaman dari Menko Kesra
Untuk membiayai kegiatan operasional BPLS di awal pendiriannya, pada tahun 2007
BPLS memperoleh dana pinjaman sebesar Rp6.000.000.000,00, diantaranya sebesar
15
Rp5.000.000.000,00 berasal dari Menko Kesra dan sebesar Rp1.000.000.000,00 berasal
dari Bakornas Penanggulangan Bencana (Bakornas PB). Dana tersebut akan dilunasi
kepada Menko Kesra dan Bakornas PB setelah BPLS memperoleh alokasi DIPA APBN
tahun 2007. Sampai dengan saat pemeriksaan berakhir tanggal 1 Mei 2009, BPLS belum
mengusahakan kompensasi atas kelebihan pembayaran PPh Pasal 21 tersebut, sehingga
atas sisa dana pinjaman sebesar Rp266.890.666,00 belum dapat dilunasi kepada Menko
Kesra.
8. Penerbitan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) Atas Pekerjaan Penanganan
Infrastruktur Jalan dengan Mendahului Kontrak
Pelaksana tidak mentaati ketentuan pengadaan barang dan jasa yang berlaku sehingga
mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa, proses pemilihan penyedia jasa menjadi tidak kompetitif
dan erdapat cacat kontrak, sehingga nilai aset sebesar Rp64.573.837.000,00 tidak dapat
diyakini kewajarannya, karena pembayaran dilakukan tanpa dokumen pendukung yang
sah.
9. Pengangkatan Tenaga Ahli Hukum Kontrak Profesional untuk Kontrak-Kontrak
Pengadaan Barang dan Jasa yang Bernilai di atas Rp50.000.000.000,00 Tidak Sesuai
dengan Ketentuan Keppres Nomor 80 Tahun 2003.
Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman atas ketentuan pengadaan barang
dan jasa, terkait dengan penggunaan tenaga ahli hukum kontrak profesional guna
pemberian pendapat hukum terhadap kontrak-kontrak pengadaan barang dan jasa yang
ada di BPLS yang bernilai di atas Rp50.000.000.000,00.
10. Terdapat Pemanfaatan Aset yang Belum Sesuai Ketentuan
Penanggungjawab BPLS pada bagian terkait lalai akan kewajibannya sehingga
mengakibatkan:
a. BPLS tidak memperoleh manfaat atas aset bangunan yang dipinjam dan hilangnya
potensi penerimaan negara yang berasal dari sewa.
b. Penanggungjawab atas aset limpahan ex Timnas PSLS tidak jelas, terutama apabila
terjadi kerusakan atau kehilangan atas aset tersebut.
16
11. Terjadi Kerusakan Atas Hasil Pekerjaan Pemasangan Gebalan Rumput Senilai
Rp76.395.609,00
Hal tersebut terjadi karena konsultan perencana dalam melaksanakan pekerjaan tidak
cermat, panitia lelang tidak cermat dalam melaksanakan tugasnya dan para pelaksana
pekerjaan dilapangan tidak cermat dalam mengevaluasi/mencermati kondisi lapangan.
7. BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA
1. Pengelolaan dan penatausahaan kas di lingkungan BNPB belum optimal
Saldo Kas di Bendahara Pengeluaran yang disajikan dalam Laporan Keuangan per 31
Desember 2008 tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan beresiko adanya
penyalahgunaan dana di luar peruntukannya serta pengungkapan akun kas dalam Laporan
Keuangan tahun 2008 menjadi kurang memadai.
2. Sistem pencatatan dan pelaporan barang persediaan kurang memadai
Hal tersebut mengakibatkan penyajian nilai persediaan pada Neraca BNPB belum
mencerminkan kondisi yang sebenarnya dan tidak diyakini kewajarannya
3. Pengelolaan Aset Tetap dan Aset Lainnya tidak diselenggarakan dengan baik dan tidak
dapat diyakini kewajaran penyajiannya.
Hal tersebut mengakibatkan nilai Aset Tetap dan Aset Lainnya yang tercantum dalam
neraca belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya dan terdapat resiko
penyalahgunaan/kehilangan atas BMN yang tidak terpantau keberadaannya, serta tujuan
pengadaan atas barang-barang yang belum dimanfaatkan menjadi tidak jelas.
4. Pengelolaan Hibah pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana tidak sesuai
ketentuan
Hal ini mengakibatkan Laporan Keuangan BNPB tidak mencerminkan kondisi yang
sebenarnya, terutama yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran hibah, serta
adanya resiko penyalahgunaan atas pengelolaan hibah diluar mekanisme APBN.
5. Penyaluran bantuan sosial kepada daerah sebesar Rp1.284,85 juta terlambat
dipertanggungjawabkan kepada BNPB
17
Hal tersebut disebabkan BNPB tidak konsisten menerapkan mekanisme yang telah
ditetapkan dalam penyaluran bantuan dan tidak memberlakukan sanksi tegas kepada
pemerintah daerah yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penggunaan bantuan.
6. Pengelompokan jenis belanja pada saat penganggaran tidak sesuai dengan kegiatan
yang dilakukan sebesar Rp629,76 juta
Hal tersebut mengakibatkan Neraca dan Laporan Realisasi Anggaran tidak
menggambarkan kondisi yang sebenarnya, dan perolehan aset tetap tidak dapat secara
otomatis dicatat dalam neraca.
Hal tersebut disebabkan :
a. BNPB tidak memperhatikan klasifikasi belanja dalam menyusun anggaran serta tidak
adanya sanksi yang tegas apabila terjadi pelanggaran penggunaan anggaran.
b. Lemahnya koordinasi antara pelaksana kegiatan dengan petugas akuntansi barang milik
negara.
7. Aset Tetap berupa 2 buah mobil senilai Rp449,04 juta dikuasai oleh pihak lain
Hal tersebut mengakibatkan :
a. Adanya resiko kehilangan atas aset tetap yang berada dalam penguasaan pihak lain dan
tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tugas pokok dan fungsi BNPB, yaitu
berupa kendaraan sebanyak 2 mobil senilai Rp449.045.455,00;
b. Kepastian hukum yang belum terjamin atas kepemilikan kendaraan sebanyak 2 unit
kendaraan senilai Rp88.000.000,00.
Hal tersebut disebabkan karena kurangnya ketegasan dari para pejabat di lingkungan
BNPB untuk menertibkan penggunaan aset tetap oleh pihak lain yang tidak sesuai
ketentuan
III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Manajemen bencana belum menjadi istilah yang akrab di masyarakat Indonesia. Hingga
saat ini masyarakat masih menjadi motor bagi upaya penanggulangan ketika terjadi bencana.
Sudah sangat banyak peraturan perundangan yang telah disiapkan untuk menanggulangi
18
bencana akan tetapi implementasinya sangta lemah. Pemerintah juga telah mengalokasikan
anggaran untuk penanggulangan bencana melalui berbagai departemen, kementerian dan
lembaga. Bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga melalui pemerintah daerah. Namun,
sampai saat ini, penyelenggaraan manajemen bencana belum dilaksanakan secara optimal.
Perlu evaluasi dan peningkatan peran BPNB
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2005. Dengan peraturan tersebut BNPB dituntut untuk
merumuskan kebijakan nasional yang terkait dengan manajemen bencana karena manajemen
bencana adalah suatu bidang yang melibatkan persiapan antisipatif sebelum bencana terjadi,
bantuan dan tanggapan terhadap bencana.
Yang termasuk dalam pencegahan antara lain, perencanaan dan sanksi dalam
pengelolaan tata ruang, pengelolaan alam seperti hutan, sungai, dll, pembangunan dan
pemeliharaan berbagai infrastuktur yang dapat mencegah seperti dam, sungai, dll, perencanaan
dan pelaksanaan simulasi bencana, peringatan dini, dll. Sedangkan berbagai kegiatan yang
termasuk dalam penanggulangan bencana lain, penyederhanaan birokrasi penanganan
bencana, kejelasan system administrasi dan keuangan, sinergi penanggulangan bencana oleh
pemerintah dan masyarakat, termasuk di dalamnya audit terhadap dana yang dikumpulkan dari
masyarakat oleh lembaga swasta.
Dengan demikian tugas dari BPNP untuk pengelolaan bencana, mencakup dua hal yakni
pencegahan dan penanggulangan karena keduanya sangat terkait erat dengan pendanaan.
Kelemahan dalam pengeloaan penanggulangan bencana memang akan menimbulkan inefisiensi
dan kerugian bagi keuangan Negara. Namun, kelemahan dalam pencegahan akan berdampak
bagi semakin banyak dan besarnya bencana sehingga kebutuhan pendanaan untuk
penanggulangannya juga akan semakin besar.
Secara lebih detil, berikut ini beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah
untuk menekan terjadinya bencana dan untuk menekan biaya pengelolaan bencana:
19
1. Penegakan peraturan untuk pencegahan
Meskipun dari statistik lima tahun terakhir banjir merupakan jenis bencana yang
menimbulkan korban terbanyak nomor dua setelah gempa bumi dan tsunami, namun
bencana ini paling sering terjadi dan paling banyak memberikan dampak kerugian baik jiwa
maupun materi di Indonesia adalah bencana banjir. Bencana ini selain sebagian disebabkan
oleh faktor alam, sebagian besar lainnya justru disebabkan oleh faktor manusia, atau
karena kelalaian/ulah manusia. Banjir dan longsor seringkali terjadi karena pelanggaran
penebangan hutan atau pertanian yang tidak terkendali di lahan miring pegunungan/
dataran tinggi.
Banyak peraturan dan kebijakan telah diterbitkan oleh pemerintah, akan tetapi praktik dari
kebijakan dan peraturan tersebut masih kurang. Lemahnya penegakkan hukum menjadi
salah satu penyebab terjadinya bencana alam yang disebabkan oleh kelalaian manusia.
Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum adalah dalam pelaksanaan Undang-undang
No. 26 tahun 27 tentang Penataan Ruang. Saat ini, peraturan tata ruang wilayah seringkali
dilanggar sehingga menimbulkan akibat terjadinya banjir, tanah longsor, dsb. Tetapi tidak
ada penegakan hokum yang tegas bagi para pelanggarnya. Baik itu pejabat pemerintah
pusat dan daerah yang menyelewengkan aturan, pengusaha yang kegiatan usahanya
melanggar aturan tata ruang, maupun pelanggaran oleh masyarakat luas.
2. Pemeliharaan berbagai infrastruktur
Semakin lama bencana alam yang terjadi di Indonesia semakin besar. Salah satu
penyebabnya adalah akibat buruknya pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Oleh
karenanya strategi ini harus dimasukkan menjadi salah satu bagian penting dalam
penelolaan bencana yaitu untuk pencegahan bencana. Selama sepuluh tahun terakhir sejak
reformasi, pembangunan dan pemeliharaan berbagai infrastruktur pencegah banjir
mengalami stagnasi karena tidak menjadi prioritas pembangunan.
Oleh karenanya menjadi tugas dari BPNP untuk memberikan usulan perencanaan
pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, sehingga akhirnya usulan program
pembangunan pencegahan bencana yang diusulkan oleh Departemen Pekerjaan Umum
20
memiliki argument yang lebih kuat untuk dimasukkan dalam program pembangunan.
Sebagai contoh dalam APBN 2010 tidak diprioritaskan pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur pencegahan bencana. Padahal selama sepuluh tahun terakhir bencana alam
semakin banyak terjadi akibatnya buruknya infrastruktur.
3. Koordinasi yang terpusat manajemen bencana
Koordinasi terpadu adalah amanat Undang-undang No. 24 tahun 2007 tentang manajemen
pencegahan bencana, sosialisasi manajemen bencana, dll. Dengan koordinasi yang kuat,
manajemen bencana dapat dilakukan dengan baik sehingga masyarakat akan siap untuk
melakukan antisipasi bencana sesuai dengan karakter daerahnya masing-masing.
Perlu ditegaskan bahwa bencana dapat diartikan sebagai suatu kejadian, yang alamiah atau
karena perbuatan manusia, yang terjadi dengan ataupun tanpa peringatan terlebih dahulu
sehingga mengancam atau dapat menimbulkan kematian, cedera atau penyakit, kerusakan
terhadap bangunan, infrastruktur atau lingkungan, yang melampaui kemampuan suatu
masyarakat untuk menghadapinya dengan sumberdayanya sendiri. Oleh sebab itu,
manajemen bencana memerlukan koordinasi pemerintah yang kuat dan terpadu. Sampai
saat ini managemen bencana belum secara sungguh-sungguh dilaksanakan.
Simulasi dan penyebaran informasi tentang tsunami, misalnya, hanya dilaksanakan ketika
disuatu daerah diberitakan akan mengalami tsunami atau gempa bumi. Padahal
manajemen bencana juga termasuk kegiatan sebelum bencana tersebut terjadi. Contoh lain
yang semakin sering terjadi adalah banjir yang sebagian besar telah diketahui lokasi dan
periode waktunya. Sampai saat ini masih banyak kejadian banjir yang menimbulkan korban
jiwa dan kerugian materi yang besar. Padahal bencana tersebut seharusnya bisa diantisipasi
dengan berbagai kebijakan mitigasi (simulasi banjir, perencanaan terpadu tentang lokasi
pengungsian, transportasinya, menejemen penyaluran bantuan, dll).
Kebijakan semakin lemah selain ketidakjelasan aturan juga ketidakjelasan siapa yang
bertanggung jawab untuk untuk melakukannya. Apakah pemerintah pusat atau daerah,
instansi apa, dll. Akibatnya tidak ada yang merencanakan program dan menganggarkannya
dalam budget pemerintah.
21
4. Perbaikan kebijakan dalam pengelolaan dana
Dari sisi pengelolaan dana pemerintah untuk pengelolaan bencana, berdasarkan
rangkuman laporan BPK, ditemukan lemahnya koordinasi pelaksanaan anggaran yang telah
dialokasikan. Beberapa temuan BPK tersebut perlu tindak lanjut segera, seperti:
a. Evaluasi terhadap berbagai aturan perundangan dan penegakan hukum. BPK
menemukan banyaknya pelanggaran-pelanggaran, mulai sekadar kesalahan prosedur
dan tertib administrasi dan keuangan, hingga penyalahgunaan anggaran yang
menimbulkan kerugian negara sampai dengan tindak pidana.
b. Penegakan sanksi bagi para pelanggar pengelolaan dana bencana tidak tegas. Karena
selain merugikan keuangan Negara juga sangat mengganggu moral karena merugikan
masyarakat yang sedang terkena musibah.
c. Penyederhanaan birokrasi. Untuk mempercepat upaya menanggulangan bencana, perlu
dilakukan penyederhanaan birokrasi. Birokrasi yang berbelit akan menghambat
kecepatan penyaluran bantuan untuk korban. Langkah tersebut antara lain:
Aturan untuk percepatan realisasi distribusi bantuan kepada korban dan pelaksanaan
program.
Perbaikan implementasi pemberian bantuan sehingga dapat lebih tepat sasaran.
Penegasan aturan tentang jenis belanja yang diperbolehkan dan tidak, pembelian
barang dan asset dan juga pengelolaannya (administrasi, pemanfaatan) paska
bencana. Penegasan aturan tentang dana-dana yang kena pajak dan yang tidak.
Peraturan yang lebih tegas mana pengadaan barang dan jasa yang harus melewati
proses tender dan mana yang karena alas an darurat boleh dilakukan tanpa tender.
Peraturan pencatatan dan penggunaan dana bencana dari hibah.
Monitoring dan koordinasi program dengan masyarakat. Dana masyarakat yang
dikumpulkan sendiri oleh lembaga kemasyarakatan semakin lama semakin besar.
Untuk meningkatkan efektifitas dana masyarakat dan melindungi masyarakat dari
penyalahgunanan dana yang dihimpun oleh masyarakat, maka perlu monitoring dari
pemerintah.
top related