001 cover dan daftar isi - forda-mof.org · balai besar penelitian bioteknologi dan pemuliaan...
Post on 19-Oct-2019
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PROSIDINGSEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
YOGYAKARTA, 9 Oktober 2012
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI
SUMBER DAYA HUTAN
Editor :
Anto Rimbawanto
Budi Leksono
AYPBC Widyatmoko
BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582
Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : breeding@biotifor.or.id
ii PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
PROSIDING INI DITERBITKAN OLEH : BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Editor :
Dr.Ir. Anto Rimbawanto,M.Agr
Dr. Ir.Budi Leksono, MP
Dr. Ir.AYPBC Widyatmoko,M.Agr
Redaksi Pelaksana :
Ir. Edy Subagyo, MP
Ir. Dyah Nurhandayani, M.Sc
Nana Niti Sutisna, S.IP
Maya Retnasari, A.Md
Hak Cipta oleh BBPBPTH
Dilarang menggandakan buku ini sebagian atau seluruhnya, baik dalam bentuk fotokopi, cetak,
microfilm, elektronik maupun dalam bentuk lainnya, kecuali untuk keperluan pendidikan atau
keperluan non komersial lainnya dengan mencantumkan sumbernya, seperti berikut :
Untuk sitiran seluruh buku, ditulis : Proseding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tema:
Bioteknologi Hutan Untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.Untuk sitiran
sebagian dari buku, ditulis : Nama Penulis dalam Prosiding Seminar Nasional Bioteknologi Hutan
Untuk Produktivitas Dan Konservasi Sumber Daya Hutan 9 Oktober 2012. .Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta.
Halaman….
ISBN :…………………………..
Terbit tahun 2013
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar km. 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta 55582
Telp. (0274) 895954, Fax. (0274) 896080, Email : breeding@biotifor.or.id
iii BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
KATA PENGANTAR
Seminar Nasional Bioteknologi Hutan Tahun 2012 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang
dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia serta untuk
mendapatkan masukan bagi pengembangan penelitian di bidang bioteknologi hutan.
Diharapkan dari kegiatan ini dapat memberikan informasi perkembangan dari penelitian di bidang
bioteknologi hutan, memicu inovasi-inovasi dari peneliti maupun pemerhati di bidang bioteknologi
hutan
Semoga kumpulan makalah dalam prosiding ini dapat memberikan gambaran dan manfaat terkait
dengan bidang bioteknologi hutan.
Yogyakarta, Oktober 2013
Kepala Balai Besar,
Dr. Ir. Amir Wardhana, M.For. Sc NIP.19570530 198303 1 002
iv PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
v BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................................................................... v
Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ..................................................................................................................... vii
Laporan Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan ..... xi
Rumusan ..................................................................................................................................... xv
MAKALAH UTAMA
Perbanyakan Missal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Melalui Embriogenis Somatik Sumaryono ................................................................................................................................... 1
Peranan DNA Barkoding Dalam Mendukung Upaya Konservasi Fauna Di Indonesia Hari Sutrisno ............................................................................................................................... 11
MAKALAH PENUNJANG
Perbanyakan Tunas Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) Dari Eksplan Yang Berasal Dari Seedling Yelnititis ....................................................................................................................................... 21
Ketersediaan Eksplan, Tunas Aksiler Dan Kalugenesis Pada Perbanyakan Mikro Toona Sinensis Asri Insiana Putri ........................................................................................................................ 31
Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas In Vitro Tanaman Gaharu Dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan Dan Kelestariannya Ali Husni dan Mia Kosmiatin .................................................................................................... 45
Enkapsulasi Buku Satu Tunas In Vitro Tanaman Gaharu (Aquilaria. malaccensis lank) M. Kosmiatin dan Ali Husni.. .................................................................................................... 57
vi PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum Album L.) Toni Herawan ........................................................................................................................... 65
Identifikasi Tetua Unggul Di Kebun Benih Acacia mangium ILG. Nurtjahjaningsih .............................................................................................................. 91
Identifikasi Jamur Endofit Pada Tanaman Hutan Menggunakan Penanda Molekuler: Potensi Bagi Pengendalian Penyakit Pada Tanaman Hutan Istiana Prihatini ................................................................................................................ 109
Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) Untuk Identifikasi Genetik Di Sengon (Falcataria moluccana) Dan Acacia Hibrida Vivi Yuskianti ............................................................................................................................ 119
Pemuliaan Tanaman Hutan Dengan Metode Pendekatan Transcriptomics-Proteomics Purnamila Sulistyawati ............................................................................................................. 129
Verifikasi Asal-Usul Kayu Merbau (Intsia bijuga) Menggunakan Penanda DNA: Strategi Dan Status Penelitian AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto ......................................................................... 141
Aplikasi Molecular Sexing Pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora) Pramana Yuda ............................................................................................................................ 151
Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler Dalam Mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp AYPBC Widyatmoko ................................................................................................................. 155
Konservasi Banteng (Bos javanicus D’alton): Analisis Keragaman Genetik Dan Dinamika Populasi Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko ........................................................................ 169
LAMPIRAN
Daftar Peserta ............................................................................................................................. 175
Jadwal Acara .............................................................................................................................. 181
Susunan Panitia .......................................................................................................................... 183
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN
PADA ACARA SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN
Yang saya hormati :
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi DI. Yogyakarta
Dekan Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada
Para Pejabat, Peneliti, Akademisi, Praktisi dan Pemerhati
Serta para Undangan Seminar.
Assalamualaikum wr wb.
Selamat pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama dan utama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karuniaNya sehingga kita diberi kesempatan, kesehatan untuk bisa hadir pada acara SEMINAR
NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI
SUMBER DAYA HUTAN” yang diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan.
Saudara-saudara sekalian,
Dewasa ini gangguan terhadap hutan di Indonesia sangat signifikan yang menyebabkan luasan
maupun potensinya semakin berkurang. Berbagai macam upaya dan kegiatan telah dilakukan untuk
mempertahankan atau bahkan mengembalikan potensi hutan. Untuk itu, kegiatan penanaman
semakin digalakkan untuk mencapai tujuan tersebut. Berbagai program penanaman telah dan
sedang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Di samping itu
kegiatan pelestarian kehutanan dengan melakukan konservasi sumber daya alam yang masih tersisa
juga semakin digalakkan.
Kegiatan bioteknologi di bidang kehutanan meliputi 3 bidang utama, yaitu penggunaan metode
pembiakan kultur jaringan, penggunaan penanda molekuler dan rekayasa genetik untuk
memproduksi genetically modified organisms (GMOs), atau transgenic trees.
Kultur jaringan merupakan salah satu teknik pembiakan vegetatif tanaman dengan cara mengisolasi
bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media
buatan. Melalui teknik kultur jaringan, pengadaan bibit tidak tergantung musim dan bibit dapat
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
diproduksi dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif lebih cepat.
Penanda molekuler dapat digunakan untuk mendukung berbagai kegiatan, diantaranya untuk
pemuliaan (pemuliaan berbasis molekuler) dan konservasi sumberdaya genetik. Secara umum,
pemuliaan konvensional lebih menitikberatkan pada perkawinan dan seleksi fenotipik. Untuk
mencapai bibit unggul, dibutuhkan waktu yang relative lama. Dengan menggunakan penanda
molekuler, output yang berupa bibit unggul dapat dihasilkan dengan waktu yang lebih cepat dan
lebih tepat. Penanda molekuler dapat melakukan beberapa penelitian yang tidak bisa dilakukan oleh
pemuliaan konvensional seperti identifikasi klon dan identifikasi tetua.
Sedangkan penanda molekuler dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keragaman genetik dan
sebarannya di hutan alam maupun tanaman. Dengan informasi ini, konservasi sumber daya genetik
dapat dilakukan secara efektif dan efisien sehingga dapat menghemat biaya. Hal ini tidak hanya
berlaku untuk tanaman kehutanan, tetapi juga untuk hewan, khususnya yang dilindungi atau
terancam punah.
Para hadirin yang berbahagia,
Kegiatan rekayasa genetik merupakan kegiatan yang terbilang baru untuk tanaman kehutanan. Di
Indonesia, telah ditemukan individu hasil rekayasa genetik seperti pada sengon. Walaupun hasil
dari kegiatan ini masih pro dan kontra diterima, tetapi untuk kebutuhan masa depan perlu
dipikirkan manfaatnya. Sebagai contoh individu tanaman dengan kandungan lignin yang rendah.
Materi ini sangat dibutuhkan untuk industry pulp dan paper karena dapat mengurangi proses
pencucian (bleaching) yang tentunya juga dapat mengurangi pengaruhnya terhadap lingkungan
karena berkurangnya proses tersebut. Rekayasa genetik untuk mendapatkan individu yang tahan
hama/penyakit atau yang mempunyai pertumbuhan yang cepat dapat memberikan kontribusi yang
nyata di masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan akan kayu.
Berkenaan dengan hal tersebut, SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK
PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” sangat tepat dan saya
mengharapkan Seminar ini dapat menjadi sarana bagi para peneliti untuk saling bertukar informasi
dan untuk merancang penelitian yang dibutuhkan ke depan. Bagi para pengambil kebijakan,
diharapkan hasil yang diperoleh dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan di
masa mendatang.
Untuk itu saya memberikan penghargaan kepada Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan atas seminar yang diselenggarakan pada pagi hingga sore nanti
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Saudara-saudara sekalian,
Akhirnya saya mengharapkan bahwa setelah selesainya seminar ini masih dilanjutkan dengan
langkah-langkah lanjutan agar harapan saya tadi dapat dilakssanakan seperti dihasilkannya policy
brief untuk pimpinan Kementerian Kehutanan.
Demikian, sekali lagi saya ucapkan selamat mengikuti Seminar Bioteknologi Hutan. Dan dengan
mengucapkan Bismillahirrohmannirohim dengan ini SEMINAR NASIONAL “BIOTEKNOLOGI
HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” saya
nyatakan dibuka.
Terima kasih, Wassalam wr wb
Yogyakarta, 9 Oktober 2012
Kepala Badan Litbang Kehutanan
DR.Ir. R. Iman Santoso, M.ScNIP. 19530922 198203 1 001
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
xi BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
LAPORAN KEPALA BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN
PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua.
Yang Kami hormati ;
• Bpk Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang Mewakili
• Bpk Kepala Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan,
• Bpk Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi DIY
• Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan di Provinsi DIY
• Para Kepala UPT Badan Litbang Kehutanan
• Para Peneliti dan Hadirin yang berbahagia
Puji syukur marilah senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah mempertemukan
kita di tempat ini pada Acara Seminar Nasional Bioteknologi Hutan.
Hadirin yang kami hormati,
Sebagaimana kita ketahui bahwa kerusakan dan pengurangan luas hutan alam telah mengakibatkan
penurunan produktivitas dan potensi hutan alam yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya
peran hutan dalam pembangunan ekonomi nasional, sebagai penyedia bahan baku kayu untuk
industri, penjaga kualitas lingkungan, dan sumber plasma nutfah.
Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dan memelihara kelestarian sumberdaya
hutan/plasma nutfah adalah penerapan bioteknologi dalam pembangunan hutan. Dukungan
bioteknologi dalam perbaikan hutan meliputi kemampuan ilmu ini dalam teknologi perbanyakan
klonal, rekayasa genetik dan bio kontrol.
Sesuai dengan visi dan misi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
(BBPBPTH) untuk menjadi pusat keunggulan dalam menyediakan IPTEK di bidang Bioteknologi
Hutan dan Pemuliaan Tanaman Hutan dalam mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.
Untuk mencapai visi dan misi tersebut maka diselenggarakan Seminar Nasional Bioteknologi
Hutan dengan tema “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya
Hutan”.
xii PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tema Seminar Nasional ini diambil dengan pertimbangan bahwa diperlukan adanya dorongan dan
peningkatan pemanfaatan bioteknologi hutan guna meningkatkan produktivitas hutan dan
konservasi sumber daya hutan.
Kegiatan Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
kemajuan dan status terkini penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, khususnya yang
dilakukan oleh Lembaga-lembaga Penelitian dan Perguruan Tinggi di Indonesia, serta untuk
mendapatkan masukan-masukan bagi pengembangan penelitian bidang bioteknologi hutan.
Tujuan diadakannya Seminar Nasional Bioteknologi Hutan ini adalah a) Tersebarkannya informasi
tentang hasil-hasil penelitian dan pengembangan bioteknologi hutan, b) Terselenggaranya
pertemuan ilmiah para peneliti dan pemerhati di bidang bioteknologi hutan dan c) Terlaksananya
tukar informasi diantara para peneliti, praktisi, dan pemerhati untuk perencanaan dan
pengembangan program bioteknologi hutan di masa mendatang.
Peserta Seminar Nasional Bioteknologi Hutan direncanakan sebanyak 100 orang yang berasal dari
berbagai Instansi baik Pemerintah maupun swasta dan dari berbagai profesi khususnya Peneliti di
bidang bioteknologi. Hingga saat ini tercatat telah 14 orang yang hadir.
Seminar Nasional Bioteknologi Hutan akan dibagi ke dalam 3 Sesi, dengan Topik bahasan seminar
dan pembicara utama sebagai berikut :
BIOTEKNOLOGI UNTUK PEMULIAAN (Pembicara Utama : BISI International Tbk), dengan
topik bahasan ;
1. Pemuliaan Molekuler
2. Rekayasa Genetik
3. Genomic/Transcriptomics
BIOTEKNOLOGI UNTUK KONSERVASI DAN ASAL USUL (Pembicara Utama : Puslitbang
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), dengan topik bahasan ;
a. Konservasi Flora
b. Konservasi Fauna
c. DNA Log Tracking
d. DNA Barcoding
xiii BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PERBANYAKAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI INVITRO (Pembicara Utama : Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia), dengan topik bahasan ;
a. Somatic embriogenesis
b. Kultur Tunas Aksiler
c. Teknologi In-vitro
Selain pembicara utama, pada masing-masing topik bahasan akan dipresentasikan makalah
penunjang dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan dan Lembaga-
lembaga Penelitian terkait.
Hadirin yang Kami hormati, demikian yang dapat kami sampaikan. Kami mohon maaf apabila
dalam pelaksanaan Acara Seminar Nasional ini terdapat kekurangan dan kekurangnyamanan.
Kepada hadirin yang telah meluangkan waktu untuk hadir kami mengucapkan terima kasih atas
kehadirannya, semoga kehadiran Bapak/Ibu sekalian dapat menjadikan Seminar Nasional ini lebih
bermakna dan memberikan manfaat bagi penerapan dan pengembangan Bioteknologi Hutan
nantinya.
Kepada Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, kami mohon pada saatnya nanti dapat
memberikan pengarahan dan sekaligus membuka dengan resmi acara ini.
Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Yogyakarta, Oktober 2012
Kepala Balai Besar,
Dr.Ir. Amir Wardhana, M.For.Sc.
NIP. 19570530 198303 1 002
xiv PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Rumusan Seminar Nasional “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi Sumber Daya Hutan”
1. Seminar mengangkat tema tersebut di atas dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang aplikasi bioteknologi untuk meningkatkan produktivitas hutan serta peran bioteknologi untuk konservasi flora dan fauna di Indonesia.
2. Dari presentasi para pembicara dalam seminar ini diperoleh informasi tentang status dan kemajuan yang telah dicapai dalam penelitian bioteknologi baik di bidang kehutanan, pertanian, dan perkebunan.Topik bahasan meliputi perbanyakan tanaman dan teknologi in vitro, bioteknologi untuk pemuliaan, dan bioteknologi untuk konservasi dan verifikasi asal usul.
3. Teknik kultur jaringan telah menjadi cara perbanyakan tanaman yang umum digunakan untuk menghasilkan bibit berkualitas dalam jumlah besar. Salah satu jenis penting penghasil karbohidrat, yaitu sagu juga telah dapat dihasilkan dengan teknik SE.Keberhasilan teknik SE untuk sagu unggul menjadi asset penting bagi pengembangan sagu untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dalam skala besar.
4. Perbanyakan dengan kultur jaringan untuk jenis-jenis tumbuhan dengan nilai ekonomi tinggi seperti gaharu dan cendana telah berhasil dilakukan. Melalui teknik perbanyakan ini diharapkan dapat mengatasi keterbatasan bahan tanaman, baik untuk tujuan produksi maupun konservasi.
5. Kultur jaringan dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Dalam sesi ini lebih focus pada perbanyakan untuk produksi dan konservasi. Teknologi SE sebagai salah satu teknik multiplikasi berpotensi menjadi usaha komersial.
6. Rekayasa genetika dan pemuliaan molekuler memberikan pilihan bagi pemulian tanaman dalam menentukan metode yang sesuai untuk mempercepat proses pemuliaan tanaman dan perakitan varietas baru. Upaya meningkatkan kualitas genetik dengan rekayasa genetika tanaman masih menjadi isu yang hangat. Perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra akan tetap ada sebagai wujud dinamika ilmu pengetahuan dalam masyarakat.
7. Rekayasa genetika pada tanaman pertanian adalah suatu keniscayaan. Sejak pertama kali tanaman rekayasa genetik dikembangkan dalam skala komersial di tahun 1996, luas tanaman transgenik terus bertambah baik di negara maju maupun di negara berkembang. Teknologi transgenik sebaiknya diaplikasikan untuk karakter yang tidak mudah dimuliakan secara konvensional karena gen yang diinginkan tidak tersedia dalam gene pools.
8. Teknologi marka molekuler, seperti SSR, SNP telah banyak diaplikasikan pada tanaman hutan, khususnya jenis-jenis tanaman HTI. Sebagai contoh di kebun benih Acacia mangium, aplikasi marka DNA dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika genetik pohon-pohon yang ada di dalamnya sebagai konsekuensi dari keragaman genotipa, distribusi polen, sinkronisasi pembungaan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
9. Marka molekuler juga telah diaplikasikan untuk identifikasi patogen, sehingga kendala dalam mengidentifikasi pathogen dapat dilakukan secara lebih akurat dan cepat. Teknologi ini sangat bermanfaat dalam upaya mengendalikan penyakit pada tanaman hutan.
10. DNA barcoding dapat diaplikasikan untuk mengkonservasi sumber daya alam, melalui identifikasi dari jenis-jenis tersebut. Data-data genetik jenis indigenous Indonesia diperlukan untuk mendeteksi jenis invasif. Mitokondria DNA paling banyak digunakan untuk DNA barcoding.
11. DNA fingerprinting, melalui penyusunan data base, dapat mendeteksi asal usul kayu. Keberhasilannya tergantung dari kemampuan mengekstraksi DNA kayu, jumlah populasi yang dikumpulkan sampelnya dan jenis-jenis marka DNA yang digunakan.
12. Aplikasi marka molekuler juga bermanfaat untuk pelestarian/konservasi fauna dan flora. Informasi yang dibutuhkan antara lain sexing (pada fauna), keragaman genetik, hubungan kekerabatan, dan dinamika populasi.
Dirumuskan pada : Hari/ Tanggal : Selasa, 9 Oktober 2012 Tempat : Yogyakarta
Tim perumus :
1. Dr.Ir. Taryono,M.Sc 2. Dr. Sapto Indrioko, S.Hut,MP 3. Dr. Ir.Anto Rimbawanto, M.Agr 4. Dr.Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
MAKALAH UTAMA
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
TOPIK :
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI
SUMBER DAYA HUTAN
1 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PERBANYAKAN MASSAL TANAMAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK
Sumaryono
Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia Jalan Taman Kencana No.1, Bogor 16151
Email: sumaryonobogor@yahoo.com
ABSTRAK
Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) adalah tanaman palma yang banyak dijumpai di wilayah tropika basah di Asia Tenggara dan Oseania. Sagu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat paling produktif dengan hasil 15 ton pati kering/ha/tahun. Pati sagu telah lama digunakan sebagai makanan pokok terutama di kawasan timur Indonesia dan sebagai bahan baku penting berbagai produk industri dan produk turunan lainnya. Sebagian besar tanaman sagu tidak dibudidayakan, masih berupa tegakan hutan. Pada pertanaman semi-budidaya, bibit yang digunakan adalah anakan. Pengembangan budidaya sagu komersial skala besar masih terkendala oleh terbatasnya ketersediaan bahan tanam unggul dalam jumlah besar yang dapat dipenuhi dengan teknik kultur jaringan. Kultur jaringan sagu melalui embriogenesis somatik telah dilakukan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Eksplan yang digunakan adalah jaringan apikal pucuk dari anakan muda. Tahapan embriogenesis somatik sagu dimulai dari pembentukan kalus, proliferasi kalus, induksi embrio somatik, pendewasan dan perkecambahan embrio somatik, serta pembesaran planlet. Kalus diinisiasi dari jaringan tunas pucuk anakan muda pada medium MS padat. Kalus pertama baru muncul setelah 12 sampai 24 minggu. Tahap proliferasi kalus embriogenik dan pendewasaan embrio somatik dapat dilakukan dalam medium cair menggunakan sistem perendaman sesaat. Kecambah embrio somatik yang dihasilkan kemudian ditransfer ke medium padat untuk pembesaran planlet. Pembentukan akar planlet dilakukan dalam medium cair. Masalah yang dijumpai pada embriogenesis somatik sagu adalah planlet yang dihasilkan tidak jagur dan daya tumbuh bibit saat aklimatisasi rendah. Ketersediaan bibit sagu unggul secara massal akan mendukung pembangunan perkebunan sagu dan rehabilitasi lahan sagu.
Kata kunci: sagu, Metroxylon sagu, embriogenesis somatik, perbanyakan klonal, kultur in vitro
I. PENDAHULUAN
Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan salah satu tanaman penghasil
karbohidrat yang sangat potensial dalam mendukung program ketahanan pangan (Tarigan, 2001)
dan energi nasional (Sumaryono, 2007). Tanaman sagu telah digunakan sejak dahulu kala sebagai
makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia bagian timur yaitu di Maluku dan Papua.
Disamping sebagai bahan makanan pokok, tepung sagu juga dapat digunakan sebagai bahan baku
industri seperti untuk mie, roti, biskuit, sirup berkadar fruktosa tinggi, plastik terurai-hayati, pakan
ternak, perekat, bioetanol, dan produk turunan lainnya (Flach, 1997).
Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain seperti padi, jagung, ubi kayu dan
kentang, sagu mempunyai beberapa kelebihan antara lain produktivitasnya yang lebih tinggi yakni
dapat menghasilkan 15 ton pati kering/ha/tahun (Flach, 1997). Pati terdapat di dalam batang
tanaman sagu. Tanaman sagu mampu tumbuh di lahan rawa, pinggir sungai, dan lahan tergenang
air yang tidak sesuai untuk tanaman lain sehingga pengembangan tanaman sagu tidak bersaing
2 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
dengan penggunaan lahan untuk tanaman pangan lainnya. Di samping itu, tanaman sagu
merupakan tanaman tahunan sehingga tidak memerlukan penanaman ulang dan panen dapat
dilakukan secara terus menerus dengan mengelola jumlah anakan (Rostiwati et al., 1998).
Luas areal sagu dunia diperkirakan sekitar 2,47 juta ha dengan luas areal sagu di Indonesia
1,4 juta ha, di Papua Nugini 1,02 juta ha, dan sisanya di Malaysia, Thailand, Filipina dan lainnya
(Flach, 1997). Sebagian besar (90%) areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami terutama di
Papua dan Maluku, sedangkan di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Mentawai
merupakan pertanaman semi-budidaya. Pada saat ini areal tanaman sagu di Indonesia terus
menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan (Tarigans, 2001), oleh karena itu perlu mulai
dipertimbangkan untuk mengusahakan perkebunan sagu secara komersial skala besar (Rostiwati et
al., 1998) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia dan Thailand. Penggunaan sagu dalam sektor
industri yang beragam dan bernilai ekonomi tinggi sangat mendukung program perkebunan sagu
komersial.
Tanaman sagu diperbanyak secara generatif dengan biji dan secara vegetatif dengan anakan.
Produksi biji sangat jarang karena tanaman sagu pada umumnya ditebang untuk diambil patinya
sebelum berbunga. Oleh karena itu, sebagian besar tanaman sagu diperbanyak dengan anakan.
Namun, untuk membangun perkebunan sagu skala besar, ketersediaan anakan yang seragam
merupakan hambatan utama (Jong, 1995). Dari satu rumpun (cluster) tanaman sagu hanya dapat
diperoleh beberapa anakan. Di samping itu, bobot anakan yang baik berkisar antara 2 sampai 5 kg
(Rostiwati et al., 1998) sehingga menyulitkan dalam pengangkutannya.
Kultur jaringan merupakan salah satu alternatif untuk memperbanyak tanaman sagu unggul
secara klonal. Kriteria tanaman sagu unggul adalah: produksi pati tinggi, umur genjah, kulit batang
tipis dan pati berwarna putih (Flach, 1997). Produksi pati sagu di berbagai daerah di Indonesia
sangat beragam dari 150 sampai 700 kg dengan rata-rata 300 kg pati basah per pohon (Haryanto &
Pangloli, 1992). Apabila satu genotipe tanaman sagu unggul produksi tinggi (dapat mencapai 1 ton
pati basah per pohon) mampu diperbanyak secara klonal maka produktivitas sagu dapat meningkat
secara nyata. Kelebihan lain dari kultur jaringan adalah perbanyakan dapat dilakukan secara
massal dan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk tanaman sagu, bibit yang dihasilkan juga
relatif kecil sehingga pengirimannya akan lebih mudah dan murah.
Publikasi tentang kultur jaringan sagu sangat sedikit. Nilai komersial dan kesulitan teknis
yang tinggi mungkin merupakan alasan utama sedikitnya publikasi. Laboratorium Biak Sel &
Mikropropagasi, Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia sejauh ini merupakan
laboratorium yang diketahui telah berhasil dalam kultur jaringan sagu di Indonesia. Kultur jaringan
sagu dilakukan melalui teknik embriogenesis somatik (Tahardi et al., 2002; Riyadi et. al., 2005).
3 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
II. TEKNIK EMBRIOGENESIS SOMATIK
Embriogenesis somatik merupakan proses pembentukan embrio tanaman dari sel somatik,
yang berbeda dengan embriogenesis zigotik yang berasal dari pembuahan sel gamet. Embrio
somatik dapat dikenali dari penampakan struktur bipolar yaitu plumula (calon tunas) dan radikula
(calon akar) yang serupa dengan embrio zigotik, dan tidak mempunyai hubungan ikatan pembuluh
dari jaringan induk (von Arnold, 2002). Embriogenesis somatik merupakan salah satu contoh dari
sifat totipotensi tanaman yakni kemampuan satu sel untuk berkembang menjadi tanaman utuh. Sifat
ini memungkinkan proses tersebut dimanfaatkan untuk perbanyakan tanaman secara klonal, bahkan
untuk spesies tanaman yang secara konvensional tidak dapat diperbanyak secara vegetatif seperti
misalnya pada tanaman monokotil.
Menurut Zimmerman (1993) perkembangan embrio somatik secara morfologi dan tahapan
waktu mirip sekali dengan perkembangan embrio zigotik. Tahap pertama embrio somatik adalah
stadia globuler, pada tahap ini embrio tumbuh secara merata ke segala arah (isodiametrik). Tahap
berikutnya adalah embrio mulai tumbuh melonjong (oblong) yang merupakan awal dari fase
bentuk-hati (heart shape). Perubahan ini ditandai dengan pertumbuhan awal dua kotiledon dan
pertumbuhan awal radikula (calon akar). Selanjutnya pertumbuhan embrio melewati fase planlet
dimana kotiledon berubah hijau, hipokotil memanjang dan radikel membentuk akar.
Dibandingkan dengan teknik mikropropagasi lainnya, penggunaan embriogenesis somatik
untuk tujuan perbanyakan tanaman dalam praktek masih lebih terbatas. Penyebabnya antara lain
adalah metode ini relatif lebih sulit, kemungkinan terjadinya mutasi lebih tinggi, subkultur berulang
dapat menurunkan kapasitas regenerasi dan induksi embrio somatik sangat sulit untuk spesies
tanaman tertentu. Walaupun demikian, sejak pertama kali diamati pada kultur suspensi sel tanaman
wortel oleh Steward et al. (1958), embriogenesis somatik telah berhasil dikembangkan pada
berbagai jenis tanaman. Keuntungan utama dari embriogenesis somatik adalah potensinya untuk
dapat ditingkatkan skala kulturnya (scale up) di bioreaktor dan kegunaannya untuk transformasi
genetik. Sistem ini diperkirakan dalam waktu dekat berpotensi untuk digunakan dalam
perbanyakan jutaan bibit unggul tanaman kehutanan, perkebunan dan hortikultura dalam skala
komersial (Handley, 1995).
4 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
III.EKSPLAN DAN INISIASI KALUS
Seleksi tanaman sagu yang akan diambil eksplannya dilakukan berdasarkan beberapa sifat
unggul dari individu (genotipe) tanaman sagu dewasa. Sifat unggul tersebut antara lain adalah
produksi pati tinggi (>200 kg pati kering per pohon), tidak berduri, kulit batang tipis dan pati
berwarna putih. Eksplan tanaman sagu diperoleh dari Selat Panjang (Riau), Bogor (Jawa Barat),
Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Seram Barat (Maluku), Sentani dan Merauke (Papua), serta
Kendari (Sulawesi Tenggara). Bahan eksplan berupa anakan yang tumbuh di sekitar pohon induk
dengan tinggi sekitar 1 m dan diameter pangkal batang 5 – 10 cm. Beberapa lapis pelepah daun
dibuang, tunas dipotong setinggi 20 cm dari pangkal batang dan akar dipotong sekitar 10 cm dari
pangkal akar. Bahan eksplan ini selanjutnya segera dikirim ke laboratorium untuk dikultur.
Tahardi et al. (2002) menggunakan eksplan jaringan pucuk meristem dari anakan muda.
Eksplan dikulturkan pada medium padat yang mengandung auksin dan sitokinin untuk menginisiasi
pembentukan kalus. Media tumbuh untuk inisiasi kalus pada umumnya mengandung auksin,
terutama 2,4-D. Kultur diletakkan di ruang gelap dengan suhu 26 °C. Kalus pada umumnya
terbentuk setelah 12 sampai 24 minggu. Kalus diperbanyak dengan melakukan subkultur setiap 2-3
bulan pada medium yang sama dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang lebih rendah. Kalus
yang terbentuk menjadi remah (friable) dan bersifat embriogenik setelah beberapa kali subkultur
(Gambar 1A).
IV. PROLIFERASI KALUS EMBRIOGENIK
Kalus embriogenik dapat diperbanyak pada media padat atau cair. Penelitian proliferasi
kalus embriogenik pada tiga media: medium padat di botol kultur, medium cair di labu Erlenmeyer
dan medium cair dengan sistem perendaman sesaat (SPS) telah dilakukan (Kasi & Sumaryono,
2008). Media yang digunakan adalah MMS dengan penambahan 2,4-D 10 mg/L, kinetin 0,1 mg/L,
arang aktif 1 g/L, dan gelrite 2 g/L untuk medium padat. Pada kultur cair, labu Erlenmeyer
diletakkan pada shaker dengan putaran 100 rpm. Hasil penelitian menunjukkan pada kultur SPS
dan cair meningkatkan bobot basah kalus embriogenik sagu sebesar 6,5 kali dan pada kultur padat
sebesar 5,4 kali setelah 6 minggu. Proliferasi kalus dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh dan hara
dalam medium. Medium cair pada SPS memungkinkan kalus menyerap lebih banyak hara
dibandingkan dengan pada medium padat. Penyerapan terjadi pada seluruh permukaan kalus karena
semua bagian kalus kontak langsung dengan medium. Medium dan lingkungan kultur berngaruh
5 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
terhadap kualitas dan kuantitas kalus. Perendaman terus menerus menyebabkan kekurangan
oksigen. SPS memberi kondisi lingkungan yang lebih baik dibandingkan medium cair dalam hal
aerasi. Pembentukan embrio somatik dari kalus embriogenik secara nyata lebih tinggi pada SPS
dibandingkan pada medium padat (Kasi & Sumaryono, 2008).
V. INDUKSI DAN PENDEWASAAN EMBRIO SOMATIK
Induksi embrio somatik dari kalus embriogenik dilakukan pada medium padat. Tahap
perkembangan pertama dari embrio somatik adalah fase globuler. Perbanyakan dan pendewasaan
embrio somatik dapat dilaksanakan dalam kultur padat atau cair dengan sistem perendaman sesaat
(SPS) (Sumaryono et al., 2007) pada medium MMS dengan kinetin 0,1 mg/L dan 2,4-D 5 mg/L.
Subkultur dilakukan setiap 4 sampai 6 minggu. Sebagian embrio somatik berubah ke fase
perkembangan lebih lanjut fase bentuk-hati, torpedo, kotiledon dan kecambah. Dalam fase
perkembangan embrio somatik tanaman sagu Kasi & Sumaryono (2006) melaporkan adanya
keragaman morfologi meliputi ukuran, bentuk dan warna embrio (Gambar 1B).
Pendewasaan embrio somatik pada kultur SPS dilakukan dengan interval perendaman setiap
3, 6, atau 12 jam dengan lama perendaman 1 atau 3 menit. Embrio somatik tahap globuler dikultur
pada medium setengah MMS dengan penambahan ABA 0,01 mg/L, kinetin 1 mg/L, GA3 0,1 mg/L,
sukrosa 30 g/L dan arang aktif 1 g/L (Riyadi & Sumaryono, 2009). Kultur diletakkan pada ruang
kultur terang selama 4 minggu. Lama dan interval perendaman berpengaruh nyata terhadap bobot
basah biomassa dan jumlah embrio somatik tahap lanjut. Perlakuan terbaik untuk pendewasaan
embrio somatik sagu adalah interval perendaman setiap 12 jam selama 3 menit (Riyadi &
Sumaryono, 2009).
VI. PERKECAMBAHAN EMBRIO SOMATIK
Embrio somatik sagu fase lanjut (kotiledon) pada medium padat atau cair ditumbuhkan
lebih lanjut menjadi kecambah pada medium padat maupun SPS. Medium terbaik untuk
perkecambahan embrio somatik adalah medium dasar MMS dengan penambahan GA3 0,5 mg/L
dan kinetin 2 mg/L. Dalam medium ini dengan kultur SPS, bobot basah biomassa meningkat lima
kali lipat dan diperoleh sebanyak 50 kecambah per labu kultur dalam periode kultur 6 minggu.
Selama kultur dihasilkan juga embrio somatik sekunder. Kecambah yang diperoleh kemudian
ditransfer ke medium padat untuk pertumbuhan planlet selanjutnya.
6 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
VII. PEMBESARAN DAN PEMBENTUKAN AKAR PLANLET
Kecambah yang terbentuk dalam media padat atau SPS dipindahkan pada media padat
dalam botol kultur untuk perkembangan tunas. Kecambah dikulturkan sampai menjadi planlet kecil
dengan 2 sampai 3 daun (Gambar 1C). Pengakaran planlet ini dilaksanakan pada medium padat
yang mengandung auksin. Planlet yang telah berdaun 2 helai dengan tinggi 5 cm namun belum
mempunyai akar dipindah ke medium cair dalam tabung kultur untuk pembentukan akar (Gambar
1D). Planlet yang telah memiliki daun dan akar yang baik dengan tinggi minimal 8 cm siap untuk
dipindah ke rumah kaca untuk aklimatisasi.
VIII. AKLIMATISASI PADA LINGKUNGAN EX VITRO
Aklimatisasi adalah proses adaptasi planlet yang tumbuh heterotrof di laboratorium (in
vitro) dengan medium yang kaya dan lingkungan terkendali ke lingkungan luar (ex vitro) yang
fluktuatif dan ekstrem, serta planlet harus menyerap hara dan air sendiri (autotrof). Oleh karena
itu, planlet in vitro harus memenuhi kriteria pertumbuhan untuk siap diaklimatisasi dan lingkungan
awal aklimatisasi dibuat tidak ekstrem yakni kelembaban nisbi mendekati 100% dan suhu cukup
terkendali. Kondisi ini dapat diperoleh dengan menempatkan planlet di sungkup plastik tertutup
rapat yang diletakkan di bawah tajuk pohon dan paranet plastik 60% dan dilakukan penyiraman
dengan sprinkler pada siang hari yang terik.
Planlet dicabut secara hati-hati medium dan tabung kultur, dicuci bersih dan direndam
dalam fungisida beberapa menit. Planlet ditanam pada pot plastik berisi campuran tanah:pasir:arang
sekam (1:1:1 v/v). Pot selanjutnya diletakkan pada baki plastik berisi air sehingga medium
terendam air terus menerus (meniru lingkungan sagu di dalam yang banyak tumbuh di daerah
payau dan rawa). Pot diletakkan di dalam sungkup plastik tertutup. Setelah 4 minggu, sungkup
plastik dibuka secara bertahap (Gambar 1E). Pada umur 12 minggu, bibit sagu dipindah ke polibeg
besar dan diletakkan di pesemaian dengan naungan paranet 50% selama 2 bulan. Selanjutnya bibit
diletakkan di pesemaian terbuka. Bibit yang ditanam di lapang memperlihatkan pertumbuhan yang
normal.
7 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 1. Tahapan embriogenesis somatik tanaman sagu: (A). Kalus remah (friable), (B). Embrio somatik pada berbagai tahap perkembangan, (C). Pertumbuhan planlet pada medium padat, (D). Pembentukan akar planlet dalam medium cair, (E). Aklimatisasi bibit sagu.
IX. MASALAH DALAM EMBRIOGENESIS SOMATIK SAGU
Masalah utama kultur jaringan sagu adalah planlet yang diperoleh masih kurang jagur.
Daun planlet kecil memanjang dan akar sedikit tanpa bulu-bulu akar. Planlet yang kurang jagur ini
akan berpengaruh terhadap rendahnya keberhasilan hidup bibit saat diaklimatisasi. Penggunaan zat
pengatur tumbuh serta modifikasi sumber N, pH, sukrosa dan lingkungan kultur (intensitas cahaya
dan suhu) mungkin dapat memperbaiki keragaan planlet. Penelitian penggunaan berbagai jenis
karbohidrat pada beberapa dosis menunjukkan bahwa jenis karbohidrat terbaik adalah sukrosa
dengan dosis 30 g/L untuk mendapatkan planlet sagu yang vigor. Penelitian masih terus dilakukan
untuk mendapatkan medium dan kondisi lingkungan in vitro terbaik bagi pertumbuhan dan
keragaan planlet sagu.
Keberhasilan hidup bibit sagu asal kultur jaringan di rumah kaca pada saat aklimatisasi
sampai saat ini masih rendah. Daya hidup bibit di rumah kaca masih rendah, pada perlakuan terbaik
hanya mencapai 50%. Disamping faktor kejaguran planlet saat ditransfer ke tahap aklimatisasi,
lingkungan mikro (suhu, cahaya, kelembaban udara) dan komposisi medium (tanah, pasir, gambut,
cocopeat, zeolit, kompos) sangat berpengaruh terhadap daya hidup dan pertumbuhan bibit.
Lingkungan yang basah terendam air juga berpengaruh terhadap keberhasilan planlet sagu.
Asosiasi akar sagu dengan mikoriza atau mikroba lain diperkirakan berpengaruh positif terhadap
daya hidup dan pertumbuhan bibit.
8 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
X. PENUTUP DAN PROSPEK
Kultur jaringan untuk perbanyakan klonal tanaman sagu telah berhasil dilakukan, walaupun
masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi. Diperkirakan dalam satu dua tahun ke depan
sudah diperoleh prosedur produksi kultur jaringan sagu yang mantap. Namun, bibit yang
dihasilkan masih perlu diuji-lapang untuk melihat keragaan, produktivitas dan kemungkinan
adanya abnormalitas. Penggunaan bibit unggul sagu diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
tanaman sebesar 20 – 30%. Ketersediaan bibit sagu unggul klonal akan menunjang program
pembangunan perkebunan sagu skala besar dan rehabilitasi lahan sagu.
Tanaman sagu merupakan tanaman tahunan yang menghasilkan anakan sehingga cukup
satu kali ditanam dan akan tetap berproduksi secara berkelanjutan selama puluhan tahun.
Pengusahaan tanaman sagu secara komersial dalam bentuk perkebunan belum banyak dilakukan
kecuali oleh PT Nasional Sagu Prima di Selat Panjang, Provinsi Riau dengan penanaman awal
mulai tahun 1997 dan rencana pengembangan sekitar 5.000 ha per tahun. Dengan populasi 156 –
200 tanaman per ha untuk perluasan 5000 ha dibutuhkan sebanyak 700 ribu sampai 1 juta bibit
yang sangat sulit dipenuhi dengan bibit asal anakan. Di samping itu, beberapa perusahaan swasta
lain mulai merencanakan untuk membuka perkebunan sagu. Oleh karena itu, permintaan bibit sagu
unggul diperkirakan akan sangat besar di masa mendatang.
Penggunaan pati sagu sebagai makanan pokok terutama di Papua dan Maluku diperkirakan
terus berkurang digantikan oleh beras. Tepung sagu di masa depan akan lebih banyak digunakan
untuk keperluan industri antara lain sebagai bahan pembuatan roti, mie, kue, sirup berfruktosa
tinggi, bahan perekat, dan plastik biodegradable. Pati sagu juga digunakan dalam industri obat-
obatan, kosmetik, kertas, bioetanol, dan tekstil. Limbah dari proses pengolahan sagu dapat
digunakan sebagai pakan ternak. Mengingat potensi produksi pati yang tinggi dan kegunaannya
yang sangat beragam maka sudah selayaknya tanaman sagu diusahakan secara komersial.
9 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Flach M. (1997) Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. 13. International Plant Genetic Resources Institute, Rome-Italy. 76p.
Handley L.W. (1995) Future uses of somatic embryogenesis in woody plantation species. In S. Jain, P. Gupta & R. Newton (eds.) Somatic Embryogenesis in Woody Plants, Vol. 1, p. 415-434.
Haryanto B. & P. Pangloli (1992) Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius. 140p. Jong F.S. (1995) Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak,
Malaysia. Sadong Press Sdn. Bhd. 139 pp. Kasi P.D. & Sumaryono (2006) Keragaman morfologi selama perkembangan embrio somatik sagu (Metroxylon sagu
Rottb.). Menara Perkebunan 74 (1): 44-52. Kasi P.D. & Sumaryono (2008) Perkembangan kalus embriogenik sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tiga sistem
kultur in vitro. Menara Perkebunan 76(1), 1-10. Riyadi I. & Sumaryono (2009) Pengaruh interval dan lama perendaman terhadap pertumbuhan dan pendewasaan
embrio somatik sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Menara Perkebunan 77(2), 100-109. Riyadi I., J.S. Tahardi & Sumaryono (2005) The development of somatic embryos of sago palm (Metroxylon sagu
Rottb.) on solid media. Menara Perkebunan 69(2), 46-57. Rostiwati T., F.S. Jong & M. Natadiwirya (1998) Penanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) Berskala Besar. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. 60p. Steward F.C., M.O. Mapes & J. Smith (1958) Growth and organized development of cultured cells I. Growth and
division of freely suspended cells. Am. J. Bot. 45: 694-703. Sumaryono (2007) Tanaman sagu sebagai sumber energi alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
29(4), 3-4. Sumaryono, I. Riyadi & P.D. Kasi (2008) Clonal propagation of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) through tissue
culture. Proc. The 4th Indonesian Biotechnology Conf., Bogor, 5-7 August 2008, p.513-519. Sumaryono, W. Muslihatin & D. Ratnadewi (2012) Effect of carbohydrate source on the growth and performance of in
vitro sago (Metroxylon sagu Rottb.) plantlets. Hayati J. BioSci. 19(2): 88-92. Tahardi J. S., N. F. Sianipar & I. Riyadi (2002) Somatic embryogenesis in sago palm (Metroxylon sagu Rottb.). In K.
Kaimuna et al. (eds.) New Frontiers of Sago Palm Studies, p. 75-81. Tokyo-Japan, Universal Academic Press, Inc.
Tarigans D.D. (2001) Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian23(5), 1-3.
van Arnold S., I. Sabala, P. Bozhkov, J. Dyachok & L. Filonova. (2002) Development pathways of somatic embryogenesis. Plant Cell. Tiss. Org. Cult. 69: 233-249.
Zimmerman J.L. (1993) Somatic embryogenesis: a model for early development in higher plants. The Plant Cell 5: 1411-1423.
10 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
11 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PERANAN DNA BARKODING DALAM MENDUKUNG UPAYA KONSERVASI FAUNA DI INDONESIA
Hari Sutrisno
Division of Zoology, Research Center for Biology-LIPI Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong, Bogor 16911
Email: sutrisnohari@yahoo.com
Apa konservasi?
Konservasi berasal dari kata conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare
(keep/save) yan artinya upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun
secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan
orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Di bawah ini ada
beberapa pengertian tentang apa itu konservasi berdasarkan beberapa sumber yang berbeda:
1. Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam
(terjemahan bebas Wikipedia bahasa Indonesia)
2. Konservasi: menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah
yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
Melihat dari artinya secara harfiah maka terlihat sangat jelas bahwa manusia mempunyai
kewajiban dalam menjaga kelestarian sumber daya hayati secara utuh karena:
1. Sumber daya hayati telah terbukti menyediakan kebutuhan pokok hidup kita
Sumberdaya hayati meliputi seluruh bahan pangan kita, bahan obat-obatan yang kita miliki,
bahan sandang, karet dan kayu untuk bahan bangunan. Nilainya sumberdaya hayati ini bisa
mencapai bermilyar-milyar dalam satu tahun. Sebagai contoh 25% bahan baku farmasi di USA
berasal dari bahan aktif tumbuhan (Primack 1998). 1000 jenis tanaman Indonsia merupakan obat
yang terdapat dalam Farmakopea Indonesia (Heyne, 1987). Disamping bahan alam memiliki
potensi yang sangat luar biasa, sebagai contoh semut memiliki antibiotik yang dapat digunakan
untuk pengobatan manusia (masih dalam penelitian), sutera laba-laba menghasilkan bahan serat
yang ringan tapi sangat kuat dibanding baja.
2. Sumber daya hayati menyediakan “ecosystem service”
Ecosistem service adalah fungsi biologi yang sangat penting dalam menyediakan kebutuhan
manusia secara gratis, yaitu meliputi oksigen yang dihasilkan oleh tumbuhan, pengendalian iklim
oleh hutan, daur ulang nutrisi, pengendalian hama secara alamiah dan penyerbukan (Daily 1999).
12 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Servis ini jika dihitung dengan uang diperkirakan lebih dari $US 33 triliun (1012) pertahun,
hampir dua kali lipat dari Product Global National USA per tahun ($US 18 triliun) (Costanza et al.
1997).
3. Sumberdaya hayati mampu memenuhi kebutuhan hobi kesenangan manusia.
Manusia mendapat kesenangan dari mahluk hidup yang diekpresikan melalui menanam
tanaman hias, memelihara binatang hobi, mengunjungi kebun binatang, cagar alam dan ecoturisme.
Ini dapat dihitung dalam bentuk nilai ekonomi. Sebagai contoh, koala diperkirakan mampu
kontribusi $ US 750 juta per tahun terhadap industri pariwisata di Australia
4. Alasan karena ethika
Semua makhluk hidup mempunyai hak yang sama, tidak boleh satu makhluk hidup
menghilangkan atau memusnahkan jenis mahluk hidup lainnya.
Konservasi = menjaga agar genetik, species dan ecosistem tetap lestari
Pernyataan tentang laju kepunahan yang dilontarkan oleh seorang Profesor Biologi dari
Harvard Uinversity tahun 1993 bahwa saat ini kita menghadapi kondisi tingkat kepunahan yang
tidak jauh berbeda dengan lima kali kepunahan masal yang terjadi pada masa lalu mungkin benar.
Dia perkirakan ada sekitar 30.000 species per tahun jenis yang hilang dari muka bumi. Sehingga
para ahli biologi saat itu mulai sadar bahwa telah menghadapi krisis biodiversity saat ini dan
mereka mengistilahkan dengan “ the sixth Extinction”
Hilangnya kehidupan di masa lalu disebabkan oleh kejadian fisik yang menyebabkan
kedaan iklim yang tidak normal dan gangguan fisik yang lain sehingga species dan seluruh
ekosistemnya mengalami gangguan tersebut.
Berikut ini kepunahan masa lalu yang disebabkan oleh alam dan akibatnya:
• First major extinction (c. 440 mya): 25% famili hilang
• Second major extinction (c. 370 mya): 19% famili hilang.
• Third major Extinction (c. 245 mya): 54% famili hilang.
• Fourth major extinction (c. 210 mya): 23% famili hilang.
• Fifth major extinction (c. 65 mya): 17% famili hilang.
13 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Apa bedanya kepunahan sekarang “ the Sixth Extinction”
Kepunahan yang sekarang sebagian besar disebabkan oleh faktor manusia. Manusia
telah menyebabkan terjadinya tekanan ekosistem dan kepunahan species melalui aktifitas
sebagai berikut:
a. Transformasi landscape
Berdasarkan laju deforestasi pada periode tahun 2000-2009, dengan mengabaikan pengelompokan
berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan pada tahun 2020 hutan di Jawa akan habis, Bali-Nusa
Tenggara tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,37 juta ha, Sulawesi 7,20 juta ha, Sumatera 7,72 juta ha,
Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Apabila diproyeksikan sampai dengan tahun
2030, dengan mengabaikan pengelompokan berdasarkan fungsi kawasan, diperkirakan hutan di
Jawa dan Bali-Nusa Tenggara akan habis, Maluku tinggal 1,12 juta ha, Sumatera 4,01 juta ha,
Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 32,82 juta ha. Dari tabel di bawah
ditunjukkan bahwa hutan di Jawa yang berada di luar fungsi Hutan Lindung dan fungsi Kawasan
Konservasi pada tahun 2015 akan habis sementara tutupan hutan di Bali-Nusa Tenggara akan habis
pada tahun 2025. Tutupan hutan yang aman dari ancaman deforestasi berdasarkan data yang telah
dianalisis adalah hutan di Papua (Lihat Tabel 1) (Sumargo et al. 2011) Tabel 1. Proyeksi Tutupan Hutan diluar Kawasan Lindung dan Kawasan Konservasi sampai dengan Tahun 2030 di Indonesia (Sumargo et al. 2011)
Sumatera Jawa Bali Nusa Tenggara
Kalimantan Sulawesi Maluku Papua
2009 4.819.346,80 394.404 558.175,4 18.111.084,7 4.223.699,2 2.562.668,5 19.612.509,8
2015 4.384.632,85 - 263.972,57 17.063.325,42 3.882.639,85 2.448.456,21 19.571.949,33
2020 4.022.371,23 - 18.803,55 16.190.192,63 3.598.423,67 2.353.279,27 19.538.148,87
2025 3.660.109,60 - - 15.317.059,83 3.314.207,49 2.258.102,34 19.504.348,41
2030 3.297.847,97 - - 14.443.927,04 3.029.991,30 2.162.925,41 19.470.547,96
b. Overexploitasi species
Overexploitasi species sering terjadi terhadap organisme yang biasanya mempunayi nilai ekonomi
tinggi, di cari banyak orang namun jumlah populasinya sangat kecil yang mungkin diakibatkan
oleh daerah sebarnya yang terbatas (endemik) atau memiliki reproduksi yang sangat panjang
sehingga angka kelahirannya sangat kecil.
c. Polusi
Tidak dipungkiri lagi bahwa polusi dapat mengancam kelestarian sebuah organisme dan saat ini
yang sudah mulai banyak terlihat adalah kasus diperairan yang tercemar oleh limbah industri
14 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
seperti kasus punahnya beberapa jenis ikan di DAS Ciliwung. Dari sekitar 187 jenis ikan yang
pernah terdapat di DAS tersebut pada tahun 1910 hanya ditemukan tinggal 20 jenis pada tahun
2009 (Hadiatai 2011).
d. IAS
CBD: Invasive alien species (IAS) are species whose introduction and/or spread outside their
natural past or present distribution threatens biological diversity.
Pemindahan suatu jenis satwa ke daerah yang baru yang semula tidak dihuni oleh satwa yang
bersangkutan dapat menekan satwa asli suatu daerah. Sebagai contoh introduksi Rusa Timur
Cervus Timorensis ke Merauke 1928. Satwa ini berkembang dengan pesat karena tidak ada
predator sehingga menekan populasi walabi Macropus agilis. Saat ini tercatat paling tidak ada 100
species IAS yang paling berbahaya (100 of the World's Worst Invasive Alien Species)
(http://www.issg.org/worst100_ species.html).
Untuk memberikan gambaran mengenai dampak dari kegiatan manusia terhadap laju
kepunahan organisem, sebuah data estimasi laju kepunahan disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Perkiraan laju kepunahan untuk berbagai jenis kelompok berdasarkan berbagai ragam alasan Perkiraan laju kepunahan Persentase kehilangan global
perdekade (%) Cara estimasi
1 juta species antara 1975 dan 2000 4 Extrapolasi 15%-20% species antara 1980 dan 2000
8-11 Kurva species-area dan prediksi hutan yang hilang
12% tanaman di neotropics Kurva species-area 15% burung di Amazone Kurva species-area 2000 species tanaman di tropik dan subtropik
8 Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015
25 % species antara 1985 dan 2015 9 Separuh dari yang hilang akibat Pembabatan hutan sampai 2015
Minimal 7% dari species tanaman 7 Separuh yang hilang untuk dekade yang akan datang di 10 hot spot meliputi 3.5 kawasan hutan
2%-8% hilang antara 1980 dan 2015 1-5 Kurva species-area 5%-15% species hutan sampai 2020 Kurva species area; hilangnya hutan
diasumsikan dua kali oleh FAO untuk tahun 1980-85
Sumber: WCMC (1992)
Sebagai gambaran tambahan bahwa lebih dari 50% binatang vertebrata masuk kriteria terancam
punah. Untuk binatang kategori terancam punah terebagi menjadi: critically endangered,
endengared and vulnerable (IUCN 1996). Demikian juga untuk tumbuhan sekitar 12.5% (IUCN
15 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
1997). Diklasifikasin CE apabila 50% akan punah dalam 10 tahun atau 3 generasi, E apabila 20%
punah dalam waktu 20 tahun atau 5 generasi dan V apabila 10% punah dalam waktu 100 tahun.
Mengapa “the Sixth Extinction ” terus berlanjut
“The sixth extinction” diperkirakan akan semakin memburuk seiring dengan prediksi
jumlah populasi penduduk dunia yang semakin tinggi di tahun-tahun yang akan datang.
Berikut ini adalah gambaran populasi penduduk yang akan datang:
• Diperkirakan antara 1 sampai 10 juta manusia di dunia 10.000 tahun yang lalu
• Saat ini lebih dari 6 milyar
• 8 milyar tahun 2020.
• 10-11 milyar tahun 2070
Ledakan jumlah populasi yang terjadi paska revolusi industri dua abad yang lalu yang
menyebabkan tidak merata distribusi dan konsumsi kekayaan bumi merupakan salah satu asal
muasal “the sixth extinctation ini”.
Masalah Utama yang dihadapi dalam usaha konservasi adalah:
1. Sulitnya mengetahui dengan benar identitas biologi oragnaisme yang akan kita konservasi
2. Belum seluruh biodiversity di muka bumi terungkap jenisnya sedangkan laju kepunahan sangat
tinggi sehingga banyak sumber daya hayati yang belum sempat terungkap manfaatnya tetapi
keburu punah
3. Minimnya ahli taxonomy yang dapat mengungkapkan identitas sumberdayahayati yang kita
miliki.
Salah satu solusi adalah:
Sebuah teknologi yang dengan cepat mampu mengungkapkan sumberdaya hayati yang kita
miliki sebelum terjadi kepunahan yaitu DNA Barcoding
Apa itu “DNA Barcoding”?
DNA barcoding merupakan sebuah teknik yang dikembangkan dalam rangka untuk
mempercepat dan mempermudah proses identifikasi organisme dengan menggunakan potongan gen
tertentu yang telah teruji kemapuannya untuk membedakan pada tingkat species. Berbeda dengan
teknik identifikasi secara konvensional yang hanya dapat dilakukan dengan menggunakan
specimen yang utuh dan dewasa, teknik barkoding dapat digunakan untuk mengidentifikasi semua
bentuk tingkatan kehidupan mulai dari telur, larva, pupa sampai dewasa bahkan mampu digunakan
juga untuk fragmen tubuh yang tidak diketahui asalnya. Teknik ini akan mampu menjembatani
16 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
keadaan saat ini dimana ahli taksonomi semakin langka. Di sisi lain laju kerusakan habitat sangat
tinggi yang menyebabkan hilangnya banyak species yang belum kita ketahui jenisnya. Namun
demikian teknik barkoding ini relatif mahal untuk negara yang sedang berkembang seperi
Indonesia. Sehingga diperlukan skala prioritas terutama untuk tujuan yang langsung bermanfaat
buat masyarakat kita.
Sejarah DNA barcoding
Penggunaan DNA barcoding untuk mengidentifikasi sebuah spesies dipublikasikan pertama
kali oleh Dr. Paul Herbert dan kawan-kawan (Herbert et al. 2003). Publikasi ini berisi tentang
teknik untuk membedakan spesies dan mengidentifikasikasi spesimen (baik yang berupa serpihan
atau potongan organ maupun pradewasa suatu organisme) dengan menggunakan sekuen DNA yang
pendek dari suatu gen. Publikasi ini menggelitik para ahli taksonomi, genetik dan ahli biologi -
evolusi pada saat itu.
Pada tanggal 9-12 Maret 2003, workshop dengan tema “Taxonomy and DNA” diadakan di
Cold Spring Harbor Laboratory dengan disponsori oleh Aflred P. Sloan Foundation yang
menekankan penerapan beberapa teknik untuk taksonomi dan manfaatnya terhadap masyarakat.
DNA barcoding terbukti dapat digunakan oleh berbagai kelompok taksa dengan cepat dan relatif
murah untuk mengidentifikasi spesies yang sulit dilakukan secara morfologi. Enam bulan
berikutnya di tempat yang sama dilakukan pertemuan yang kedua. Salah satu hasilnya adalah
disepakatinya gen COI sebagai gen yang akan digunakan dalam DNA barcoding.
Pada bulan Mei 2004 Sloan Foundation mengucurkan dana untuk mendukung berdirinya
“Consortium for the Barcode of Life (CBOL)” yang dipimpin oleh Dr. Scott Miller dari
Smithsonian Institution’s National Museum of Natural History, Amerika Serikat. Misi utamanya
adalah memajukan eksplorasi dan pengembangan DNA barcoding sebagai standar global untuk
identifikasi spesies. Dalam rangka mencapai tujuannya maka organisasi ini mulai:
1. Mengumpulkan dengan cepat data DNA barcoding yang berkualitas tinggi pada perpustakaan
umum sekuen DNA
2. Mengembangkan instrument baru dan proses yang dapat meminimalkan biaya DNA barcoding,
lebih cepat, dan dapat dilakukan dimana saja.
3. Mengikut sertakan ahli taksonomi dan lembaga penelitian di seluruh dunia
4. Menggunakan DNA barcoding yang bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan teknologi di
masyarakat.
Sampai saat ini CBOL telah tiga kali mengadakan konferensi (pertemuan) internasional
(International Barcode of Life Conference). Pertemuan pertama diselenggarakan di Natural History
17 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Museum, London pada bulan Februari tahun 2005, ke-2 pada bulan September tahun 2007 di
Academia Sinica, Taipei, Taiwan, dan pertemuan ke-3 pada bulan November tahun 2009 di Mexico
City. Pertemuan ke-4 pada bulan November tahun 2011 di Adelaide, Australia. Peneliti LIPI juga
berkesempatan untuk hadir dalam dua kali pertemuan internasional yang di London dan Taiwan.
Dalam pertemuan yang ke-2 di Taiwan, delegasi Indonesia yang diwakili oleh peneliti Pusat
Penelitian Biologi-LIPI tersebut juga menghadiri pertemuan “Regional Meeting” yang bertujuan
untuk mengidentifkasi masalah di setiap negara untuk menjadi bahan masukan dalam pembuatan
program yang akan datang.
Kegiatan CBOL yang lain bekerjasama dengan Alfred P. Sloam Foundation mendukung
terselenggaranya 2 hari pertemuan pada bulan September 2005 tentang ”All Birds DNA barcoding
Initiative (ABBI) of Inaugural Workshop” di Museum Comparative Zoology, Havard University,
Cambridge, Massachusette, USA. Selanjutnya pada tanggal 8-9 Maret tahun 2007, CBOL bekerja
sama dengan National University of Singapore (NUS) menyelenggarakan pertemuan ”All Birds
DNA barcoding Initiative (ABBI) Indo Malayan Organizational Meeting, di Singapore. Secara
detail mengenai program dan kemajuan proyek ini dapat dibuka websitenya,
http://www.cbol.si.edu atau hubungi CBOLinfo@si.edu atau http://barcoding.si.edu.
Mengapa DNA barcoding diperlukan
Laju kerusakan hutan yang sangat cepat terutama di negara-negara berkembang di daerah
tropis dimana daerah ini merupakan kantong keanekaragaman hayati yang tinggi. Selain itu akibat
pemanasan global telah memacu kita untuk mencari jalan keluar bagaimana cara yang paling cepat
dan tepat untuk mengungkapkan keanekaragaman hayati di dunia sebelum mengalami kepunahan.
Semakin menurun jumlah ahli taksonomi di seluruh dunia telah membawa implikasi
terhadap semakin lambat pengungkapan keanekaragaman spesies hayati di dunia. Ditambah
masalah klasik lain yaitu sangat sulitnya menciptakan ahli taksonomi dalam waktu yang cepat dan
juga terbatasnya pemerintah dapat menyediakan lowongan kerja.
Keterbatasan ahli taksonomi yang hanya dapat mengidentifikasi ketika spesimen masih
dalam bentuk utuh dan dalam keadan dewasa menyebabkan persoalan semakin panjang dalam
rangka mengungkapkan keanekaragaman hayati. Suatu kenyataan bahwa dalam sampling akan
banyak ditemukan organism yang belum dewasa dan terkadang-rusak menjadi serpihan-serpihan
yang sangat sulit dikenali bentuk aslinya. Sehingga untuk menghadapi hal diatas diperlukan
sebuah cara yang lebih cepat dan akurat, yaitu metode DNA barcoding. Walaupun demikian teknik
ini tidak mungkin mengetahui nama dan identitas spesies tanpa bantuan taksonom, maka cara ini
harus terus dikembangkan.
18 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang molekuler, terutama penemuan mesin
sekuenser, telah memungkinkan untuk melakukan pengujian atau konfirmasi identitas spesies
organisme dalam waktu yang sangat singkat yang dilakukan oleh bukan ahli taksonomi, tidak
peduli apakah spesimennya sudah terpecah-pecah rusak atau masih pradewasa dengan cara melihat
salah satu sekuen gennya. Bahkan di negara maju yang sudah lengkap peralatan sequencingnya
proses ini hanya dilakukan dalam waktu 8 jam. Sungguh luar biasa manfaatnya bila kita bisa
memaanfaatkan cara ini terutama jika kita dihadapkan pada suatu persoalan yang memerlukan
jawaban sesegera mungkin dan tidak ada taksonom disekitar kita. Metode ini diperlukan karena
dapat dilakukan dengan sangat sederhana dan mudah diterapkan dengan cepat.
Strategi Pengembangan DNA barcoding Fauna
Semakin sulit dana penelitian untuk ilmu dasar telah membawa peneliti kedalam keadaan
yang kurang menguntungkan dalam percaturan dunia ilmu pengetahuan ditingkat internasional. Hal
ini sebagai imbas dari kurangnya perhatian pemerintah dalam mengalokasikan dananya untuk
kepentingan dunia penelitian. Tentunya hal yang mustahil buat negara berkembang seperti
Indonesia, untuk mengungkapkan semua flora dan fauna dengan cara barcoding, karena biaya
sangat mahal mengingat dalam program DNA barcoding spesimen museum dan herbarium yang
umurnya sudah tua sangat sulit sekali dapat digunakan karena kemungkinan besar DNA- nya sudah
rusak. Sehingga tidak ada cara lain selain dengan cara mengumpulkan spesimen baru yang
tentunya biayanya sangat tinggi sekali.
Namun demikian, setelah melihat manfaat DNA barcoding yang banyak sekali tentunya kita
dapat melakukan dengan cara prioritas untuk tujuan tertentu. Secara umum ada dua kelompok
pengguna yang akan menggunakan hasil DNA barcoding ini yaitu taksonomist dan ilmuwan dari
bidang yang lain (konservasi, kedokteran forensik, perusahaan industri makanan, nutrisi makanan
ternak, karantina dan lain sebagainya).
Taksonom memerlukan DNA barcoding karena tidak semua spesimen yang diperoleh dalam
keadaan utuh dan sudah dewasa. Ahli konservasi memerlukan data identitas sepecies yang benar
sebelum melakukan program konservasi. Sedangkan ahli forensik memerlukan data sekuen karena
material spesimen yang dihadapi sudah dalam keadaan membusuk. Sedangkan karantina
memerlukan identifikasi sebuah larva lalat buah yang ada pada buah yang di impor secepatnya
untuk menentukan apakah buah yang membawa larva lalat buah tersebut boleh masuk atau tidak.
Sehingga di dalam strategi pengembangan DNA barcoding di Indonesia kita harus mempunyai
strategi dan membuat sekala prioritas berdasarkan manfaat langsung yang akan diperoleh oleh
19 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
masyarakat kita. Beberapa prioritas yang dapat dikerjakan berdasarkan tujuannya antara lain: untuk
tujuan karantina, konservasi, pencegahan penyakit menular dan lain sebagainya.
Gen COI sebagai DNA barcoding
Tidak semua jenis gen dapat digunakan dalam barcoding, hanya gen yang memenuhi
beberapa persyaratan tertentu. Secara umum persyaratan tersebut adalah: 1). Harus mampu
membedakan antar semua spesies tapi hendaknya bersifat lebih konservatif dalam variasi spesies
daripada antar spesies, 2). Harus standar sehingga dengan daerah DNA yang sama dapat digunakan
sebanyak mungkin untuk taksa yang berbeda, 3). Sedapat mungkin daerah DNA target mempunyai
informasi filogeni sehingga memudahkan taksa tersebut dalam pengelompokannya (marga, famili
dan lain sebagainya), 4). Mempunyai tingkat amplifikasi yang tinggi, 5). Sebaiknya ukurannya
pendek sehingga dapat digunakan untuk menguji DNA yang sudah terpotong-potong atau rusak.
COI telah dipilih menjadi salah satu gen yang sekuen-nya digunakan dalam barcoding. Gen
ini mempunyai sifat-sifat yang memenuhi persyaratan untuk digunakan dalam menentukan
identitas sebuah spesies untuk hampir semua binatang tingkat tinggi. Panjang seluruh gen ini
relatif pendek yaitu hanya sekitar 648 bp/base pairs (pasang basa) dan relatif stabil tidak mudah
mengalami perubahan bila dibandingkan dengan gen-gen mitrokhondria yang sejenis. Gen ini
sangat cocok untuk menentukan identitas sebuah spesies karena mempunyai variabilitas yang
rendah (1-2%), bahkan untuk kelompok yang mempunyai kekerabatan sangat dekat hanya
mempunyai perbedaan beberapa persen saja. Sifat yang menguntungkan penggunaan gen
mitokhondria COI adalah mudah untuk mensekuennya dibandingkan dengan gen-gen yang berasal
dari gen inti.
Meskipun DNA barcoding dengan menggunakan sekuen sebuah gen sangat bermanfaat
dalam mengidentifikasi spesies namun demikian bukan berarti dapat menggantikan 100% peranan
taksonomi, hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak mungkin sebuah gen bisa diaplikasikan
untuk seluruh organisme dengan kata lain gen adalah bukan microchip yang dapat diproduksi masal
dengan stándar yang sama sehingga spesifikasinya dapat ditentukan oleh pabrik. Gen adalah sebuah
misteri kehidupan yang bersifat dinamis. Meskipun sebuah organisme telah berhasil disekuen,
namun konfirmasi untuk memastikan nama spesies harus tetap dikonsultasikan oleh ahli taksonomi,
yaitu untuk menghindari munculnya kemungkinan spesies baru sebagai hasil analisis filogeni dari
variasi gen sekuen.
Non-COI barcode region
Tidak semua group tentunya dapat menggunakan COI ini dalam analisis DNA barcoding,
karena belum tentu mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga sangat diperlukan untuk mencari
20 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
kandidat gen lain yang cocok untuk kelompok itu. Hal ini bisa dilihat dari kasus untuk tanaman.
Di dalam tanaman, gen khloroplas dan mitokhondria mempunyai laju evolusi yang sangat rendah
untuk menghasilkan variasi. Sehingga para botanist mempunyai strategi dengan menggunakan
baik gen inti maupun fragment khloroplas seperti internal transcribed spacer (ITS) dari 18S-5.8S-
26S ribosomal cistron inti atau khloroplas trnH-psbA region (Kress et al. 2005).
Selain mempromosikan standarisasi daerah barcode , CBOL juga berusaha memperluas
penerapan DNA barcode di seluruh hidup eukariotik. CBOL mengakui bahwa:
• COI tidak bervariasi dalam beberapa kelompok taksonomi, atau rentan terhadap proses evolusi
molekul yang luar biasa.
• COI mungkin tidak mampu menyelesaikan perbedaan tingkat spesies di semua sub kelompok
dari kelompok taksonomi dan data sekuen tambahan mungkin diperlukan dari suatu wilayah
kedua atau bahkan ketiga dalam kasus tersebut;
• Peneliti mungkin sudah mengumpulkan volume data yang signifikan menggunakan region gen
yang berbeda dalam kelompok taksonomi tertentu. Jika sudah dibuat voucher yang tepat akan
memberikan potensi yang baik sebagai region/daerah DNA barcoding .
Dalam rangka standarisasi penilaian sebanyak mungkin masalah region non-COI maka
pengusul diminta untuk menggunakan panduan “Guidelines for CBOL approval” saat menyiapkan
proposal pengajuan marker baru.
DAFTAR PUSTAKA Costanza R et al. 1997. The value of the world’s ecoystem services and natural catpital. Nature 387: 253-260. Daily GC. 1999. Developing a scientific basis for managing Earth’s life support system. Conserv. Ecol. 3: 14 Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, De Waard JR. 2003. Biological identification through DNA barcodes. Philos
Trans Ser B: 270: 313-321 Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia I-III. Badan Litbang Departemen Kehutanan. Yayasan Sarana-Wana
Jaya (Terjemahan). Kress WJ, Wurdack KJ, Zimmer EA, Weigt LA, Janzen DH. 2005. Use of DNA barcodes to identify flowering plants.
P Natl Acad Sci USA 102: 8369–8374. Primack RB. 1998. Essentials of Conservation Biology. Sinauer, Sunderland. Sumargo et al. 2011. Protet Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. WCMC. 1992. Global Biodiversity: status of the earth’s Living resources. Chapman & Hall. London
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
MAKALAH PENUNJANG
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
TOPIK :
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI
SUMBER DAYA HUTAN
21 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PERBANYAKAN TUNAS Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) DARI EKSPLAN YANG BERASAL DARI SEEDLING
Yelnititis
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582
Email : yelnititis@yahoo.com
ABSTRAK
Araucaria cuniinghamii (Aiton ex D. Don) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk kayu lapis, venir, furniture. Penelitian perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sudah dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Potongan batang dengan ukuran 2 cm dari seedling dijadikan sebagai eksplan. Eksplan dicuci dengan deterjen cair selama 15 menit kemudian direndam dalam larutan dithane M selama 10 menit dan daconil selama 10 menit. Kemudian eksplan disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70 %, bayclin 20 %, bayclin 10 % dan terakhir dibilas dengan aquades steril sebanyak 3 kali. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) dan LP dijadikan sebagai media tumbuh. Penelitian dilakukan dengan dua tahap kegiatan yaitu tahap induksi tunas dan tahap perbanyakan. Tahap induksi dilakukan dalam 2 kegiatan yaitu dengan penggunaan 1) media MS + BA (0.1 mg/l – 3.0 mg/l) dan 2) media LP + thidiazuron (0.05 – 0.2 mg/l) serta perlakuan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan tunas diberikan kinetin (2.0 mg/l - 8.0 mg/l) pada modifikasi medium Quoivin and Lepoivre’s (LP). Semua tahapan penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tunas dan tinggi tunas yang dihasilkan dan penampakan biakan secara visual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini adalah 7.0 tunas dan 4.0 tunas. Perlakuan media MS dan LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Rata-rata tinggi tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 6.5 cm dan 5.2 cm. Biakan yang dihasilkan berwarna hijau dan segar.
Kata kunci : Araucaria cunninghamii, in vitro, perbanyakan, seedling
I. PENDAHULUAN
Araucaria cunninghamii (Aiton ex D. Don) merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang
berpotensi untuk dikembangkan. Jenis ini mempunyai daerah sebaran vertikal yang cukup luas (0
sampai >1000 m dpl) . Di Indonesia jenis ini tumbuh secara alami di Papua antara lain di Serui,
Wamena, Manokwari, Jayapura,Nabire dan Fak-fak. Kayunya sangat baik digunakan untuk
berbagai keperluan antara lain sebagai bahan baku industri kertas, pulp,vinir, plywood, lantai,
panel, kerangka dan sebagai kayu pertukangan. Kayunya bersifat kokoh, mempunyai tekstur yang
halus, mudah untuk dipotong, digergaji, dipaku, dilem, diawetkan dan dipolish. Selain itu jenis ini
juga mengandung getah yang dapat disadap dan mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Produktifitas hutan alam semakin menurun sejalan dengan makin meningkatnya eksploitasi
hutan secara terus menerus untuk memenuhi permintaan akan kebutuhan kayu yang semakin
meningkat. Selain itu juga disebabkan karena penebangan liar, kebakaran hutan, konversi lahan
hutan menjadi lahan pertanian atau untuk keperluan lain. Untuk mengatasi permasalahan tersebut
22 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
maka pembangunan hutan tanaman sebagai penghasil kayu baik untuk industri, pertukangan, kayu
energi dan lain-lain perlu ditingkatkan, sehingga penguasaan teknik pengembangan populasi hasil
pemuliaan melalui perbanyakan vegetatif mutlak diperlukan dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan bibit berkualitas dalam pembangunan hutan tanaman.
Sampai saat ini pemegang hak pembangunan hutan belum banyak mengembangkan jenis A.
cunninghamii karena masih didominasi oleh A. mangium dan E. urophylla. Sedangkan jenis-jenis
potensial lain seperti dari famili Araucariaceae (Araucaria spp.) dan Pinaceae (Pinus merkusii)
belum banyak dikembangkan, meskipun di banyak negara seperti Malaysia, Filipina, Thailand,
PNG, Queensland dan Australia justru berupaya membangun hutan tanaman dari jenis-jenis
tersebut karena keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Salah satu kendala belum terealisasinya pembangunan hutan tanaman jenis-jenis konifer yang
bernilai ekonomi tinggi di Indonesia adalah karena kurangnya informasi jenis potensial, sumber
benih dan ketersediaan benih berkualitas baik secara genetik serta teknik penanaman yang tepat.
Selain itu daur tebang yang cukup lama yaitu antara 25 – 30 tahun.
Perbanyakan tanaman A. cunninghamii secara in vitro belum banyak dilaporkan.
Perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan bertujuan untuk mempertahankan kualitas / potensi
genetik yang baik dari induknya sangat diperlukan. Penerapan teknik kultur jaringan pada beberapa
jenis tanaman hutan sudah memberikan hasil yang baik. Purse (1989) dalam Evans (1992)
menyatakan bahwa melalui teknik in vitro dihasilkan tunas ganda dari eksplan tanaman Pinus
leucuumanii, Pinus caribea, Pinus oocarpa dan Pinus keysa. Berdasarkan hal diatas dilakukan
penelitian perbanyakan tanaman pada jenis A. cunninghamii.
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan metoda yang cocok untuk perbanyakan klonal secara
in vitro untuk jenis A. cunninghamii .
II. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Bagian tanaman yang digunakan
sebagai eksplan adalah potongan batang dari seedling dengan ukuran 2.0 cm. Sterilisasi eksplan
dilakukan melalui pencucian dan dilanjutkan dengan sterilisasi bertingkat dengan menggunakan
alkohol 70 %, bayclin 20 % dan 10 % dan terakhir dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali.
Medium yang digunakan adalah medium dasar Murashige dan Skoog (MS) dan medium dasar
Quoivin dan Lepoivre’s (LP). Penelitian dilakukan dalam 2 tahap kegiatan yaitu 1. induksi tunas
dan 2. perbanyakan tunas. Pada tahap induksi tunas dilakukan dalam 2 kegiatan terpisah yaitu
23 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
dengan menggunakan 1. medium MS + BA (0.1 mg/l - 3.0 mg/l). 2. modifikasi medium LP +
thidiazuron (0.05 mg/l - 0.2 mg/l) dan BA 0.1 mg/l sebagai kontrol. Pada tahap perbanyakan, tunas
yang diperoleh pada tahap induksi dipotong-potong dengan ukuran 2.0 cm dan disubkultur pada
perlakuan kinetin (2.0 mg/l – 8.0 mg/l). Penelitian dirancang dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan 10 kali ulangan. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas, tinggi
tunas dan penampakan biakan secara visual. Data morfologi dan histologi yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif dan data kuantitatif dihitung rata-rata dan standar deviasinya
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Induksi tunas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis eksplan memberikan pengaruh terhadap tingkat
sterilitas dan keberhasilan dalam pembentukan tunas. Eksplan dari potongan batang yang lebih
dewasa memberikan persentase sterilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan tunas
terminal. Hal ini disebabkan karena eksplan tunas terminal mempunyai susunan daun yang sangat
rapat sedangkan eksplan dari potongan batang yang lebih dewasa mempunyai susunan daun yang
jarang.
Dari beberapa perlakuan media MS dengan penambahan BA memperlihatkan bahwa tunas
dapat diinduksi dari eksplan yang berasal dari seedling (tanaman yang masih muda). BA
merupakan salah satu zat pengatur tumbuh dari kelompok sitokinin yang banyak digunakan untuk
induksi tunas maupun untuk tahapan yang lain pada berbagai jenis tanaman (Gunawan, 1987).
Tokobara dan Masahiro (1993) menyatakan bahwa semua jenis sitokinin yang digunakan dapat
mendorong induksi tunas pada tanaman Phalaenopsis dan Doritaenopsis. Induksi tunas mulai
terlihat setelah 8 - 14 hari setelah dikulturkan pada media tumbuh. Hasil yang sama juga diamati
pada jaringan tanaman Shorea leprosula yang dikulturkan (Yelnititis, 2005).
Dari beberapa perlakuan yang dicoba perlakuan media MS + BA 0.1 mg/l merupakan
perlakuan terbaik untuk induksi tunas. Rata-rata jumlah tunas yang diperoleh dari perlakuan ini
adalah sebanyak 7 tunas dan berbeda nyata dengan perlakuan lain (Tabel 1). Tingginya jumlah
tunas yang diperoleh pada tahap induksi disebabkan karena potongan batang yang digunakan
sebagai eksplan mempunyai daun yang lebih rapat. Hasil yang sama dengan penelitian Dias et al.
(2002) yang menunjukkan bahwa tunas paling banyak dihasilkan dari perlakuan BA dengan
konsentrasi rendah pada tanaman Lavandula viridis.
24 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 1. Jumlah tunas dari perlakuan media MS + BA
Perlakuan media (mg/l) Media treatment (mg/l)
Rata-rata jumlah tunas Penampakan visual
MS + BA 0.1 BA 0.5 BA 1.0 BA 2.0 BA 3.0
7.0 ± 1.00 a 3.0 ± 1.22 bc 3.0 ± 1.87 bc 4.0 ± 1.58 b 3.0 ± 0.71 bc
Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk Hijau, segar, gemuk
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata
Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa peningkatan konsentrasi BA yang digunakan diiringi
dengan penurunan jumlah tunas yang diperoleh. Diduga tanaman ini mengandung hormon
endogen yang cukup tinggi sehingga untuk induksi tunas hanya dibutuhkan faktor pencetus
dengan konsentrasi yang rendah. Singh et al, (2002) menyatakan bahwa tipe eksplan maupun
tanaman berbeda mempunyai kandungan hormon endogen yang berbeda pula. George dan
Sherrington (1987) menyatakan bahwa penggunaan BA pada konsentrasi yang relatif tinggi dapat
merangsang induksi tunas tetapi pada konsentrasi tinggi dapat menghambat inisiasi tunas dari
eksplan yang ditumbuhkan. Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian Pastur dan Arena (1999)
pada tanaman Nothofagus leoni Espinosa.
Hampir semua tunas yang dihasilkan pada perlakuan yang diuji berukuran pendek dan gemuk
(Gambar 1a). Semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin pendek tunas yang
dihasilkan. BA merupakan salah satu jenis sitokinin dengan daya aktif tinggi yang berfungsi antara
lain terhadap perbesaran sel. Rata-rata ukuran tinggi tunas yang dihasilkan paling tinggi adalah 0.7
cm. Menurut Pastur dan Arena (1999) konsentrasi BA yang digunakan memberikan pengaruh
terhadap respon pertumbuhan tanaman seperti jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, tingkat
perbanyakan, organogenesis dan lain-lain. Hal yang berbeda dengan penelitian Dias et al. (2002)
yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi BA yang digunakan semakin tinggi biakan
yang dihasilkan.
Tunas-tunas yang dihasilkan pada penelitian ini mengalami pertumbuhan yang lambat
sehingga untuk pertumbuhan tunasnya membutuhkan waktu yang sangat lama. Hal ini diduga
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain jenis dan bagian tanaman yang digunakan sebagai
eksplan, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh atau jenis medium yang digunakan.
Berdasarkan hal diatas dilakukan tahapan kegiatan penelitian yang sama dengan menggunakan
medium dasar LP dengan penambahan zat pengatur tumbuh thidiazuron dengan beberapa
konsentrasi dan BA 0.1 mg/l yang merupakan perlakuan terbaik pada tahap sebelumnya dijadikan
sebagai kontrol.
25 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 1. a. Tunas dari perlakuan media MS + BA Gambar 1. b. Tunas dari perlakuan LP + thidiazuron.
(Skala 1 cm = 0.5 cm )
Penggunaan medium dasar LP memperlihatkan pertumbuhan eksplan yang lebih baik. Hal ini
diduga karena medium dasar LP mempunyai kandungan hara yang lebih rendah dibandingkan
dengan medium dasar MS terutama kandungan ammonium nitratnya (NH4NO3). Selain itu juga
disebabkan karena pengaruh thidiazuron yang digunakan. Thidiazuron merupakan zat pengatur
tumbuh yang aktif dan sangat efisien dalam kultur sel dan jaringan tanaman ( Guo et al, 2011).
Tabel 2 memperlihatkan bahwa perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan yang
terbaik untuk induksi tunas. Huetteman dan Preece (1993) menyatakan bahwa thidiazuron
merupakan substansi seperti sitokinin yang sangat aktif dan dapat merangsang induksi dan
proliferasi tunas tanaman berkayu. Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah
4.00. Hal ini diduga disebabkan karena penambahan thidiazuron 0.1 mg/l ke dalam media tumbuh
memodifikasi nisbah auksin dan sitokinin dari eksplan yang dikulturkan sehingga tercapai nisbah
sitokinin yang seimbang untuk pembentukan tunas. Hasil yang sama dengan penelitian Yordan et
al, (2001) menunjukkan bahwa dari penggunaan thidiazuron dengan konsentrasi yang rendah dapat
dihasilkan tunas dari eksplan tanaman Saphoro toromiro. Sedangkan Neves et al, (2001)
menyatakan bahwa untuk mendapatkan tunas pada tanaman Medicago truncatula digunakan
thidiazuron dengan konsentrasi yang relatif tinggi yaitu 1.0 mg/l. Selanjutnya Faisal et al. (2005)
menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi thidiazuron yang digunakan semakin banyak tunas
yang dihasilkan pada tanaman Rauvolfia tetraphylla.
26 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 2. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan LP + thidiazuron
Perlakuan (mg/l)
Rata-rata jumlah tunas
Tinggi tunas (cm)
Penampilan visual biakan
LP + BA 0.1 2.90 ± 1.52 ab 2.56 ± 1.04 b Hijau segar, pendek
LP + thidiazuron 0.05 1.00 ± 0.47 c 1.38 ± 0.46 c Hijau segar, sedang, pendek
LP + thidiazuron 0.1 4.00 ± 1.25 a 6.50 ± 1.58 a Hijau segar, sedang, tinggi
LP + thidiazuron 0.015 1.00 ± 0.47 c 1.20 ± 0.56 c Hijau segar, sedang, pendek
LP + thidiazuron 0.2 2.60 ± 1.07 b 1.20 ± 0.56 c Hijau segar, sedang, pendek
Dari Tabel 2 juga dapat dilihat bahwa perlakuan thidiazuron memberikan pengaruh terhadap
laju pertumbuhan tunas yang dihasilkan. Perlakuan thidiazuron 0.1 mg/l merupakan perlakuan
terbaik terhadap tinggi tunas yang dihasilkan. Rata-rata tinggi tunas dari perlakuan ini adalah 6.50
cm dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Jordan et al. (2001) menyatakan bahwa
penggunaan thidiazuron dapat merangsang pemanjangan tunas yang dihasilkan. Selanjutnya Guo et
al, (2011) menyatakan bahwa penggunaan thidiazuron dapat memodifikasi zat pengatur tumbuh
endogen tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari hasil yang diperoleh dapat dilihat bahwa hampir semua tunas yang diperoleh
memberikan penampilan visual yang lebih baik. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan
normal (Gambar 1b) dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat. Hasil yang berbeda dengan
penelitian Shingha dan Bathia (1988) pada tanaman Pyrus communis yang menunjukkan bahwa
penggunaan thidiazuron yang dikombinasikan dengan BA meningkatan kemampuan eksplan
membentuk tunas ganda.
B. Perbanyakan tunas
Tunas-tunas yang berukuran sedang dan tinggi yang diperoleh pada tahap induksi tunas
digunakan sebagai eksplan pada tahap perbanyakan tunas. Tunas dengan ukuran 2.0 cm disubkultur
pada perlakuan kinetin 2.0 mg/l – 8.0 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kinetin
8.0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk perbanyakan tunas. Menurut Winarsih et al, (1998),
kinetin termasuk kelompok sitokinin yang berfungsi dalam pengaturan pembelahan sel dan
morfogenesis. Selanjutnya Devy dan Sutanto (1992) menyatakan bahwa penggunaan sitokinin
secara tunggal maupun kombinasinya dengan auksin berperan dalam menginduksi dan
menggandakan tunas.
27 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Tabel 3. Jumlah tunas dan tinggi tunas dari perlakuan thidiazuron
Perlakuan (mg/l)
Rata-rata jumlah tunas
Tinggi tunas (cm)
LP + kinetin 2.0 2.00 ± 0.66 b 3.30 ± 1.77 b
LP + kinetin 4.0 2.10 ± 0.74 b 3.40 ± 1.50 b
LP + kinetin 6.0 2.00 ± 0.66 b 3.30 ± 1.77 b
LP + kinetin 8.0 3.90 ± 0.74 a 5.20 ± 1.26 a
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
Rata-rata jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan ini adalah 3.9 (Tabel 3). Hasil yang
sama dengan penelitian Priyono (2005) menunjukkan bahwa penggunaan kinetin dengan
konsentrasi yang relatif tinggi pada tahap subkultur memberikan jumlah tunas paling tinggi.
Berbeda dengan hasil penelitian Wilhelm (1999) pada tanaman Acer pseudoplanatus yang
menyatakan bahwa jumlah tunas hasil subkultur paling banyak diperoleh dari perlakuan thidiazuron
0.04 μM dikombinasikan dengan 0.1 μM BA.
Gambar 2. Tunas dari perlakuan kinetin (Skala 1 cm = 1 cm)
Sedangkan Evenor et al., (2001) menyatakan bahwa tunas paling banyak diperoleh dari
perlakuan BA 1.0 mg/l yang dikombinasikan dengan IAA 0.5 mg/l pada tanaman Alchemilla mollis.
Selain menghasilkan jumlah tunas paling banyak perlakuan kinetin 8.0 mg/l juga merupakan
perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan tunas ke arah pemanjangan. Dari perlakuan ini diperoleh
tunas dengan ukuran paling tinggi dengan rata-rata tinggi 5.2 cm dan berbeda nyata dengan
perlakuan yang lain.
28 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Dilihat dari penampilan biakan secara visual menunjukkan bahwa tunas yang diperoleh dari
perlakuan yang sama mempunyai bentuk normal, berukuran sedang dan berwarna hijau segar
(Gambar 2). Selain itu tunas yang diperoleh dari perlakuan ini lebih baik dibandingkan dengan
tunas yang dihasilkan dari perlakuan BA.
IV. KESIMPULAN
Perlakuan terbaik pada tahap induksi tunas adalah media MS + BA 0.1 mg/l. Rata-rata jumlah
tunas yang dihasilkan adalah 7 tunas. Perlakuan media LP + thidiazuron 0.1 mg/l merupakan
perlakuan terbaik untuk pertumbuhan tunas. Tunas yang diperoleh berukuran sedang dan rata-rata
tinggi tunas adalah 6.50 cm. Tunas yang dihasilkan berwarna hijau dan segar. Perlakuan kinetin
8.0 mg/l merupakan terbaik untuk perbanyakan tunas dengan jumlah rata-rata sebanyak 3.9 dan
tinggi rata-rata 5.2 cm
V. DAFTAR PUSTAKA
Dias, MC, R. Almeida and A. Romano. 2002. Rapid clonal multiplication of Lavandula viridis L’Her through in vitro axilarry shoot multiplication. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 99 – 102.
Devy NS dan A. Sutanto. 1992. Pengaruh komposisi media dan zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan batang bawah apel asal Bromo secara in vitro. J. Hort. 2 (4) : 13 – 20.
Evans, J. 1992. Plantation Forestry in the Tropics. 2nd ed. Oxford Univ. Press. New York. 403p. Evenor, D; E. Shlomo and M. Reuveni. 2001. Micropropagation of Alchemilla mollis. Plant Cell Tissue and Organ
Culture 65 : 169 – 172. Faisal, M; N. Ahmad and M. Anis. 2005. Shoot multiplication in Rauvolfia tetraphylla L. using thidiazuron. Plant Cell
Tissue and Organ Culture 80 : 187 – 190. George, PD and F. Sherrington. 1987. Plant propagation by tissue culture Gunawan, LW. 1987. Teknik kultur jaringan. PAU IPB. Bogor. 187 hal. Guo, B; BH. Abbasi; A. Zeb; LL. Xu and YH. Wei. 2011. Thidiazuron : A multi-dimensional plant growth regulator.
African Journal of Biotech. 10 (45) : 8984 – 9000. Huetteman, CA. and JE. Preece. 1993. Thidiazuron : a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell
Tissue and Organ Culture 33 : 105 – 119. Herawan, T. dan Yelnititis. 2001. Pembiakan vegetatif mikro Shorea leprosula. Laporan Hasil Penelitian (tidak
dipublikasikan). Mackay, WA; JL. Tipton and GA. Thompson. 1995. Micropropagation of Mexican redbud, Cercis Canadensis var.
mexicana. Plant Cell Tissue and Organ Culture 43 : 295 - 299. Mok, MC; DWS. Mok; DJ. Amstrong; K. Shudo; Y. Isogai and T. Okamoto. 1982. Cytokinin activity of N-phenyl-N -
1,2,3-thidiazol-5-ylurea (thidiazuron). Phytochemistry 21 : 1509 – 1511. Neves, LO; L.Tomaz and MPS. Fevereiro. 2001. Micropropagation of Medicago truncatula Gaertn. Cv. Jemalong and
Medicago truncatula ssp. narbonensis. Plant Cell Tissue and Organ Culture 67 : 81 – 84. Pastur, GJM and ME. Arena. 1999. In vitro propagation of juvenile Nothofagus leoni Espinosa (Fagaceae). J. For. Res.
4 : 295 – 298. Priyono. 2005. Perbanyakan tanaman buah naga berdaging buah merah (Hylocereus costaricensis) melalui teknik
kultur jaringan. Berita Biologi 7 (5) : 273 – 280. Sapulete, E. dan T. Herawan. 2002. Pembiakan vegetatif (makro dan mikro) A. cunninghamii. Laporan Hasil Penelitian
(tidak dipublikakan). Singh, AK; S. Chand; S. Pattnaik and PK.Cahand. 2002. Adventitious shoot organogenesis and plant regeneration from
cotyledons of Dalbergia sisso Roxb., a timber yielding tree legume. Plant Cell Tissue and Organ Culture 68 : 203 – 209.
29 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Shingha, S and SK. Bathia. 1988. Shoot proliferation of plant culture on medium containing thidiazuron and benzyl amino purine. Hort Science 23 : 803 – 806.
Tokobara, K and M. Masahiro. 1993. Micropropagation of Phalaenopsis and Doritaenopsis by cutting shoot tips of flower stalks buds. Plant Cell reports 13 : 7 – 11.
Wilhelm, E. 1999. Micropropagation of juvenile sycamore maple via adventitious shoot formation by use thidiazuron. Plant Cell Tissue and Organ Culture 57 : 57 – 60.
Winarsih, S; Priyono dan Zaenudin. 1998. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan kerk lily secara in vitro. J. Hort. 8 (3) : 1145 – 1152.
Yelnititis, I. Mariska dan E. Gati. 1995. Penekanan permasalahan penguningan dan gugurnya organ pada pertunasan in vitro tanaman melinjo. Prosiding Evaluasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hal. 56 – 61.
Yelnititis; T. Herawan; E. Sapulete; A. Setiawan dan E. Izudin. 2005. Perbanyakan meranti secara in vitro. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2 (1) : 166 – 173.
30 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
KETERSEDIAAN EKSPLAN, TUNAS AKSILER DAN KALUGENESIS PADA PERBANYAKAN MIKRO Toona sinensis
Asri Insiana Putri
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Email : asriip@yahoo.co.id
ABSTRAK
Perbanyakan mikro melalui kultur jaringan pohon multiguna Toona sinensis belum sepenuhnya diketahui. Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler dan kalugenesis melalui kultur jaringan. Isolasi stek cabang dan persemaian biji dilakukan di rumah kaca dengan parameter jumlah dan panjang tunas. Metode kultur jaringan digunakan untuk uji respon hormon eksogen GA4 terhadap inisiasi tunas aksiler dengan parameter panjang tunas; uji hormon IBA terhadap parakaran planlet dengan parameter panjang akar; serta perlakuan BAP untuk kalugenesis dengan parameter berat kalus. Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 - 7 tunas tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,0300). IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893). BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji, sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957) dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635).
Kata kunci: eksplan, tunas aksiler, kalugenesis, Toona sinensis
I. PENDAHULUAN
Toona sinensis termasuk pohon Meliaceae cepat tumbuh, bernilai tinggi dan mempunyai
spektrum pemanfaatan yang luas. Kayu T. sinensis memiliki corak yang indah banyak
dimanfaatkan untuk pertukangan, interior ruangan, panel dekoratif, kerajinan tangan, alat musik,
papan perahu dan peti kemas (Heyne, 1987). Daun suren termasuk edible vegetable, mempunyai
flavor lezat, kaya nutrisi dan aroma. Batang, buah, daun dan akar dapat dimanfaatkan sebagai
pestisida alami (More & White, 2003; Rushforth, 1999). Pada penelitian fitokimia, metabolit
sekunder T. sinensis terdiri dari beberapa senyawa diantaranya katekin dan polyfenol yang
mempunyai sifat profilaktik yang sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia (Hsieh et al., 2006;
Wang et al., 2007).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Sebagian besar metode perbanyakan konvensional tanaman hutan dilakukan secara seksual
dari tanaman yang tumbuh dari biji. Propagasi klonal melalui kultur jaringan menjadi alternatif
perbanyakan yang berpotensi mempunyai kecepatan multiplikasi tinggi dan mempunyai sifat
genotip yang seragam dengan stabilitas yang tinggi (Beck & Dunlop, 2001). Regenerasi dari biji
biasanya menunjukkan variasi kontinyu untuk banyak karakter. Penelitian perbanyakan mikro
tanaman hutan tropis khususnya mengenai eksplan dari tanaman induk dan juvenilitasnya belum
banyak dilaporkan (Pijut et al., 2012). Kemudahan kloning in vitro pada kebanyakan jenis tanaman
pohon bergantung pada tingkat juvenilitas jaringan eksplan dan pendewasaannya pada media kultur
jaringan (Biondi and Thorpe, 1981). Perbanyakan vegetatif melalui teknik kultur jaringan sangat
penting untuk program pembiakan dan pemuliaan T. Sinensis. Keuntungan genetik dapat dicapai
dalam siklus rotasi pendek dengan memanfaatkan pohon induk terpilih sebagai sumber eksplan
yang telah terbukti dengan karakteristik kuantitatif dan kualitatif yang menguntungkan.
Tujuan penelitian ini adalah melakukan pengamatan pembentukan tunas juvenil sebagai
sumber eksplan dari stek cabang dibandingkan dari biji T. sinensis dalam upaya menjaga
keberlangsungan ketersediaan eksplan serta pengamatan responnya terhadap inisiasi tunas aksiler
dan kalugenesis melalui kultur jaringan.
II. BAHAN DAN METODE
A. Tempat dan waktu pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan di laboratorium kultur jaringan dan rumah kaca di Balai Besar
Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Penelitian ini merupakan
rangkuman pengamatan yang dilakukan selama 5 tahun, mulai dari penyiapan materi sumber
eksplan melalui stek batang di rumah kaca sampai dengan terbentuk planlet di ruang kultur dari
tahun 2007 hingga 2011.
B. Bahan dan alat penelitian
Materi tanaman yang digunakan adalah stek cabang dan biji Toona sinensis dari
Temanggung, Jawa Tengah. Tunas dari stek dan biji dipergunakan sebagai materi eksplan untuk
pengujian respon eksplan. Bahan pendukung lainnya adalah pasir semi steril, pupuk, pestisida dan
fungisida untuk menjaga kesehatan stek tanaman di rumah kaca di samping bahan media, hormon
serta bahan sterilisasi untuk kultur jaringan. Peralatan utama yang digunakan di rumah kaca adalah
gunting stek, bak pasir sebagai media stek dan sprayer, sedangkan di laboratorium kultur jaringan
adalah autoclave, lamina air flow, tabung kultur, alat-alat transfer eksplan serta rak inkubasi.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
C. Tahap pelaksanaan
Tunas hasil stek cabang dan biji digunakan sebagai eksplan inisiasi tunas aksiler kultur
jaringan sampai mendapatkan plantlet steril. Plantlet yang dihasilkan digunakan sebagai eksplan
untuk kalugenesis.
1. Stek cabang dan biji untuk sumber eksplan.
Sterilisasi potongan cabang dan biji menggunakan air dan fungisida. Pangkal bawah cabang
diberi larutan IBA. Potongan cabang kemudian ditanam dan biji disemai pada media pasir
semi steril (sterilisasi dengan air 100 0C, tanpa analisa mikrobia). Penyungkupan bak
dilakukan dengan bambu dan plastik. Pengamatan respon berdasarkan jumlah dan panjang
tunas tiap nodul.
2. Inisiasi tunas aksiler
Inisiasi tunas aksiler mengunakan media dasar MS (Murashige et al. 1962) dengan perlakuan
gibberellat (GA4) 0.5 mg/l (P1), 1 mg/l (P2) dan 1,5 mg/l (P3). Transfer eksplan dari tunas
stek batang dan biji pada media inisiasi tunas aksiler dilakukan dengan 3 tahap penanaman
masing-masing 25 ulangan setiap perlakuan. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 60-
70% serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt.
3. Inisiasi perakaran
Media untuk perakaran menggunakan ½ MS dengan indolebutiricacid (IBA) 1 mg/l (A1), 2
mg/l (A2) dan 3 mg/l (A3). Kultur inisiasi tunas aksiler steril terbaik dilanjutkan untuk uji
perakaran sampai terbentuk planlet. Inkubasi kultur pada suhu 24ºC, kelembaban 60-70%
serta periode pencahayaan 16 jam dibawah lampu fluorescence putih TLD 40 Watt. Planlet
ini digunakan sebagai sumber eksplan untuk inisiasi kalus.
4. Inisiasi kalus
Inisiasi kalus menggunakan media dasar MS dengan 3,6-dichloro-2-methoxybenzoic acid
(Dicamba) 20 mg/l, kemudian dilanjutkan pada media tanpa Dicamba dengan BAP 1 mg/l
(K1), 2 mg/l (K2) dan 3 mg/l (K3) untuk subkultur kalus. Kultur inisiasi kalus terbaik
selanjutnya dipergunakan untuk multiplikasi kalus. Eksplan yang digunakan pada inisiasi
kalus adalah dari bagian petiole daun planlet. Inkubasi kalus di ruang gelap.
D. Rancangan penelitian
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pada inisiasi tunas
dilakukan 3 tahap penanaman dengan 25 ulangan masing-masing untuk 3 perlakuan dari 2 asal
eksplan yaitu stek batang dan biji, sehingga keseluruhan diperoleh 450 satuan kultur percobaan. 90
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
kultur terbaik dari ketiga tahap masing-masing dari stek dan biji digunakan untuk uji perakaran.
Eksplan daun dari planlet yang didapat dipergunakan untuk uji kalugenesis, dengan 30 ulangan.
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam dengan model linear sebagai berikut:
Yij = μ + Pi + Tj + Eij.......................................................................persamaan 1.
Keterangan:
Yij: nilai pengamatan pada komposisi hormon ke-i, tahap ke-j
μ : nilai tengah rata-rata pengamatan
Pi : efek komposisi hormon ke i
Tj : efek tahap ke-j
Eij: galat pada komposisi hormon ke i dan tahap ke j
Kalkulasi skor indeks pertumbuhan planlet menggunakan modifikasi persamaan Chester’s
(1959) sebagai berikut:
RE = [(n1 x z1) + (n2 x z2) + (n3 x z3)] / (N x Z) x 100..................... persamaan 2.
Keterangan:
RE : respon eksplan
n1, n2 dan n3 : jumlah eksplan dengan indeks skor 1, 2 dan 3
z1, z2 dan z3 : indeks skor 1, 2 dan 3
N : jumlah total eksplan tiap perlakuan
Z : nilai skor tertinggi (nilai 3)
Kategori respon eksplan berdasarkan nilai skor ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategori respon eksplan.
Respon eksplan (%) Kategori 0 s/d 20 Respon sangat jelek
20 s/d 40 Respon jelek 40 s/d 60 Respon moderat 60 s/d 80 Respon baik
80 s/d 100 Respon sangat baik
Data yang diperoleh, selanjutnya dianalisis menggunakan Analisis Sidik Ragam (Anova)
pada tingkat ketelitian 95 % dan apabila ada pengaruh nyata dilakukan uji beda nyata Duncan
dengan jenjang nyata ( ) 5 %.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
1.1. Perbedaan tunas dari stek cabang dan biji T. sinensis sebagai sumber eksplan.
Hasil tunas stek cabang T. sinensis umur 1 tahun (setelah stek berakar) mempunyai 2 - 7 tunas
tanpa ketiak daun pada nodul cabang yang sama dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm.
Hasil tunas dari biji umur semai 1 tahun mempunyai 5 - 8 ketiak daun dari satu tunas, dengan
rata-rata panjang tunas (tinggi bibit) 67,55 cm (Gambar 1).
A B
Gambar 1. Tunas stek cabang T. sinensis (A) dan T. sureni (B) sebagai sumber eksplan.
1.2. Inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis.
Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan GA4 (P) dan skoring terhadap panjang tunas
ditunjukkan pada Tabel 2, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 3 dan
Tabel 4. GA4 konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada kedua asal eksplan. Inisiasi
tunas aksiler eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (8,5 cm ± 0,7228)
dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (5,7 cm ± 0,03). Senyawa fenolik yang dikeluarkan
oleh eksplan asal tunas cabang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplan asal biji. Hal ini juga
memperbesar persen kematian eksplan asal tunas cabang tersebut.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 2. Pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas kultur jaringan T. sinensis.
Asal Eksplan
Perlakuan Rata-rata panjang tunas (cm ± SE)
Skoring tunas aksiler
Biji P1 7,9 ± 0,7461 90 P2 8,5 ± 0,7228 P3 8.0 ± 0,1836
Stek cabang
P1 5,7 ± 0,0300 60
P2 5,1 ± 0,3828
P3 4,8 ± 0,1022
Tabel 3. Analisis sidik ragam pengaruh GA4 terhadap rata-rata panjang tunas T. sinensis.
Perlakuan df JK KT Nilai P P 2 12.32301 132.3775 0.0001
Galat 89 0.1117 Total 90
Tabel 4. Uji beda nyata perlakuan pada panjang tunas T. sinensis. Perlakuan Rata-rata
A* B* C* D* Biji P1 7,900 P2 8,5000 P3 8,0000 Stek cabang P1 5,7000 P2 5,1000 P3 4,8000
Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,164 P1 = GA4 0,5 mg/l P2 = GA4 1 mg/l P3 = GA4 1,5 mg/l
1.3. Inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis.
Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan IBA (A) dan skoring terhadap panjang akar
ditunjukkan pada Tabel 5, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 6 dan
Tabel 7. IBA dengan konsentrasi 1 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji,
sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang. Inisiasi
perakaran eksplan asal biji mempunyai respon panjang tunas lebih tinggi (6,8 cm ± 0,6361)
dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (4,9 cm ± 0,7893).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Tabel 5. Pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Asal Eksplan Perlakuan Rata-rata
panjang akar (cm ± SE)
Skoring inisiasi perakaran
Biji A1 6,8 ± 0,6361 80 A2 5,8 ± 0,7563 A3 4,4 ± 0,6862
Stek cabang A1 3,3 ± 0,8722 40 A2 4,9 ± 0,7893 A3 3,8 ± 0,7648
Tabel 6. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata panjang akar. Perlakuan df JK KT Nilai P
A 2 1,2320 25,6960 0,0001 Galat 89 0,0480 Total 90
Tabel 7. Uji beda nyata perlakuan pada panjang akar. Perlakuan Rata-rata
A* B* C* D* Biji A1 6,800 A2 5,800 A3 4,400 Stek cabang A1 3,300 A2 4,900 A3 3,800
Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,765 A1 = IBA 1 mg/l A2 = IBA 2 mg/l A3 = IBA 3 mg/l
1.4. Inisiasi kalus kultur jaringan T. sinensis.
Pengaruh perlakuan hormon pertumbuhan BAP (K) dan skoring terhadap berat kalus
ditunjukkan pada Tabel 8, sedangkan hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pada Tabel 9 dan
Tabel 10.
BAP dengan konsentrasi 3 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal biji,
sedangkan konsentrasi 2 mg/l mempunyai pengaruh terbaik pada eksplan asal stek cabang.
Kalugenesis eksplan asal biji mempunyai respon berat kalus sedikit lebih tinggi (1,1 ± 0,9957)
dibandingkan dengan eksplan asal stek cabang (1,0 ± 0,6635).
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 8. Pengaruh BAP terhadap rata-rata berat kalus. Asal
Eksplan Perlakuan Rata-rata
berat kalus (gr ± SE)
Persentase pembentukan
kalus (%)
Skoring inisiasi kalus
Biji K1 0,8 ± 0,7628 30,0 50 K2 0,9 ± 0,8244 30,0 K3 1,1 ± 0,9957 40,0
Stek cabang
K1 0,6 ± 0,6481 20,0 40
K2 1,0 ± 0,6635 30,0 K3 0.6 ± 0,9274 20,0
Tabel 9. Analisis sidik ragam pengaruh IBA terhadap rata-rata berat kalus. Perlakuan df JK KT Nilai P
K 2 1,232 25,696 0,0001 Galat 89 0,048 Total 90
Tabel 10. Uji beda nyata perlakuan pada berat kalus. Perlakuan Rata-rata
A* B* Biji K1 0,800 K2 0,900 K3 1,100 Stek cabang K1 0,600 K2 1,000 K3 0.600
Keterangan: *= pengelompokan Duncan, dengan kesalahan kuadrat tengah 0,736
K1 = BAP 1 mg/l K2 = BAP 2 mg/l K3 = BAP 3 mg/l
Respon eksplan petiole daun asal dari biji dan asal stek cabang terhadap inisiasi kalus T.
sinensis ditunjukkan pada Gambar 2. Plantlet T. sinensis dan bibit T. sinensis hasil kultur jaringan
dengan eksplant dari perkecambahan biji dan stek cabang ditunjukkan pada Gambar 3.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
A B
Gambar 2. Respon kalugenesis eksplan T. sinensis asal biji (A) dan asal stek cabang (B)
A B C
Gambar 3. Plantlet dari biji (A) dan dari stek cabang (B) serta bibit kultur jaringan T. sinensis hasil aklimatisasi plantlet A dan B (C).
2. Pembahasan
2.1 Tunas T. sinensis dari biji dan stek cabang sebagai sumber eksplan.
Pada penelitian ini pengambilan eksplan dari hasil semai biji dilakukan setelah bibit berumur
8 bulan, dengan rata-rata panjang tunas yang terbentuk adalah 67,55 cm. Sedangkan eksplan dari
hasil stek cabang dilakukan setelah cabang lengkap membentuk tunas dan akar. Pembentukan akar
stek batang T. sinensis rata-rata setelah 3 bulan setelah penanaman, akar muncul setelah terbentuk
tunas pucuk dengan rata-rata panjang tunas 15,8 cm. Materi sumber eksplan yang secara fisiologis
telah lengkap dari daun, batang dan akar akan meningkatkan persentase keberhasilan pembentukan
planlet pada perbanyakan kultur jaringan (Putri, 2010).
Bentuk pertumbuhan dan jumlah tunas yang berbeda antara biji dan stek cabang sangat
berpengaruh pada jumlah eksplan yang didapat. Semakin panjang dan semakin banyak tunas dari
satu nodul cabang stek, sebagai materi eksplan tunas pucuk akan sangat menguntungkan, karena
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
semakin banyak materi eksplan yang didapat. Pendeknya jarak antar nodul pada stek cabang
menyebabkan jumlah eksplan yang mengalami browning (perubahan warna coklat pada media,
bersifat racun mematikan jaringan eksplan) di media kultur jaringan lebih tinggi pula, sehingga
keberhasilan inisiasi tunas pucuk lebih rendah. Hal ini ditengarai lebih tingginya senyawa fenol
penyebab browning yang tinggi pada jaringan nodul. Sangat pendeknya jarak nodul T. sinensis
pada stek batang juga berpengaruh pada waktu inisiasi tunas pucuk kultur jaringan (kedinian
inisiasi (Putri, 2011).
2.2. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi tunas aksiler kultur jaringan T. sinensis.
Analisis sidik ragam rata-rata panjang tunas dari inisiasi tunas aksiler asal persemaian biji
menunjukkan hasil 33 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih
baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon
pertumbuhan GA4 asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang
dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih
besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada
perbedaan pengaruh perlakuan.
Perlakuan GA4 pada eksplan asal biji menunjukkan P2 (1 mg/l) tidak berbeda nyata dengan
P3 (1,5 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 1 mg/l, namun
penambahan konsentrasi GA4 masih memungkinkan untuk meningkatkan panjang tunas.
Sedangkan perlakuan GA4 pada eksplan asal stek cabang menunjukkan P1 (0,5 mg/l) tidak berbeda
nyata dengan P2 (1 mg/l), sehingga GA4 sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi sampai 0,5
mg/l.
Penambahan GA4 pada kultur jaringan dapat merangsang kecepatan pertumbuhan tunas dan
menginisiasi bagian mitotik daun (Koning, 1983; Moshkov et al., 2008). GA4 membantu
meningkatkan pemecahan amilase sehingga memacu lebih cepat pembelahan sel-sel tunas untuk
pertumbuhan tanaman (Riley, 1987). Pemanjangan tunas merupakan konsekuensi dari dua proses
dasar pertumbuhan yaitu pembelahan dan pembesaran sel, GA4 berperan sebagai mediator proses
tersebut (Jorunn et al., 2004).
Panjang tunas (microshoots) digunakan sebagai parameter pengamatan respon inisiasi tunas
aksiler dari eskplan T. sinensis dan T. sureni karena menjadi salah satu faktor penentu volume pada
indeks pertumbuhan tunas dan berkorelasi terhadap regenerasi sel in-vitro (Ahuja, 1993).
Pertumbuhan eksplan dengan pengaruh hormon dapat dinyatakan berdasarkan pemanjangan tunas
(elongation) untuk parameter respon eksplan in-vitro (Venketeswaran et al., 1988).
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
2.3. Pengaruh asal eksplan terhadap inisiasi perakaran kultur jaringan T. sinensis.
Analisis sidik ragam rata-rata panjang akar dari inisiasi perakaran asal persemaian biji
menunjukkan hasil 28 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji dua
kali lebih baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan
hormon pertumbuhan IBA asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek
cabang dengan mendapatkan 4 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi
lebih besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak
ada perbedaan pengaruh perlakuan.
Perlakuan IBA pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata pada ketiga
perlakuan, sehingga konsentrasi IBA masih memungkinkan ditingkatkan pada konsentrasi lebih
dari 3 mg/l. Sedangkan perlakuan IBA pada eksplan asal stek cabang menunjukkan A1 (1 mg/l)
tidak berbeda nyata dengan A3 (3 mg/l), namun pada perlakuan A2 (2 mg/l) berbeda nyata dari dua
perlakuan yang lain dan mempunyai panjang akar tertinggi sehingga perlakuan A2 pada penelitian
ini memberikan hasil terbaik.
Eksplan T. sinensis asal biji memerlukan konsentrasi IBA paling rendah untuk inisiasi
perakaran, hal ini menunjukkan tingginya kandungan hormon IBA endogen eksplan, namun
panjang akar yang lebih tinggi dibandingkan eksplan asal stek cabang menunjukkan kurang
terpenuhi ketersediaan nutrien dari media untuk pertumbuhan tunas pucuk, sehingga perakaran
memperluas daerah serapannya. Mekanisme kerja IBA dalam mempengaruhi pemanjangan sel-sel
tanaman adalah di dalam memacu protein tertentu yang ada di membran plasma sel tumbuhan
untuk memompa ion H+ ke dinding sel. Ion H+ ini mengaktifkan enzim tertentu, sehingga
memutuskan beberapa ikatan silang hidrogen rantai molekul selulosa penyusun dinding sel. Sel
tumbuhan, kemudian memanjang akibat air yang masuk secara osmosis. Setelah pemanjangan, sel
terus tumbuh dengan mensintesis kembali material dinding sel dan sitoplasma (Machakova, et al.,
2008).
2.4. Pengaruh asal eksplan terhadap kalugenesis kultur jaringan T. sinensis.
Analisis sidik ragam rata-rata berat kalus dari kalugenesis eksplan asal persemaian biji
menunjukkan hasil 9 % lebih tinggi dibandingkan asal stek cabang dengan nilai skoring biji lebih
baik dibandingkan stek cabang. Pada uji beda nyata perlakuan menunjukkan perlakuan hormon
pertumbuhan BAP asal eksplan dari persemaian biji berbeda nyata dibandingkan asal stek cabang
dengan mendapatkan 2 kelompok yang berbeda dari ketiga perlakuan dengan signifikansi lebih
besar dari 5%, sehingga masing-masing kelompok merupakan rata-rata yang sama dan tidak ada
perbedaan pengaruh perlakuan.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Perlakuan BAP pada eksplan asal biji menunjukkan tidak berbeda nyata antara ketiga
perlakuan, sehingga BAP sudah cukup berpengaruh dengan konsentrasi terendah pada penelitian
ini yaitu 1 mg/l. Perlakuan BAP pada eksplan asal stek cabang menunjukkan K1 (1 mg/l) tidak
berbeda nyata dengan K3 (3 mg/l), sedangkan perlakuan K2 (2 mg/l) berbeda nyata dibandingkan
dua perlakuan yang lain dengan nilai rata-rata tertinggi, sehingga konsentrasi BAP 2 mg/l terbaik
pada penelitian ini.
Persentase pembentukan kalus meningkat sesuai peningkatan berat kalus, inisiasi kalus
terbentuk pada saat terjadi diferensiasi sel-sel epidermal dan sub epidermal daerah hipokotilar.
Hasil multiplikasi kalus dapat bersifat embryogenik maupun non-embryogenik (Geekiyanage &
Silva, 2005). Ketersediaan sumber eksplan, kecepatan multiplikasi dan keterulangan merupakan
sistem penting pada kalugenesis (Raemakers et al., 1995). Kombinasi dengan BAP paling banyak
digunakan secara ekstensif untuk optimasi medium pada regenerasi kalus menggantikan
dimethylallylaminopurine (2iP) yang dinilai terlalu lama masa inkubasi dan terlalu mahal (Rao et
al. 1995; Varshney et al. 1997; Qu et al. 2002). Semakin tinggi perlakuan BAP sampai dengan
konsentrasi 3 mg/l, kalus lebih friabel dengan warna putih jernih baik pada eksplan yang berasal
dari biji maupun dari stek cabang.
Secara umum eksplan kultur jaringan T. sinensis dapat lebih terjaga ketersediannya dengan
berbagai alternatif untuk mendapatkan tingkat juvenil jaringan tanaman. Pada kepentingan
perbanyakan kultur jaringan secara vegetatif untuk mendapatkan klon dengan sifat-sifat yang sama
dengan tetua, penyediaan eksplan dari hasil stek cabang mutlak dilakukan, sampai dengan
multiplikasi in vitro. Dengan demikian penelitian lebih lanjut kultur jaringan T. sinensis khususnya
di dalam penyediaan eksplan vegetatif penting dilakukan.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan sifat pertumbuhan dan jumlah tunas, materi sumber eksplan kultur jaringan
Toona sinensis yang berasal dari persemaian biji mempunyai ketersediaan eksplan yang lebih
tinggi dibandingkan dari stek cabang. Di samping itu eksplan kultur jaringan Toona sinensis yang
berasal dari persemaian biji mempunyai respon inisiasi tunas aksiler, inisiasi perakaran serta
kalugenesis yang lebih baik dibandingkan dari stek cabang.
BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Ahuja, M. R. 1998. Micropropagation a la Carte In Micropropagation of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Publisher.
Beck S. L. and R. W. Dunlop. 2001. Micropropagation of the Acacia Species: A Review. In Vitro Cellular & Developmental Biology. Plant, 37(5): 531-538.
Chester, K. S.1959. How Sick is The Plant. J. G. H Horsfall and A. Diamond (eds.). Plant Pathology Vol: 1. Academic Press, Inc, New York.
Dirr, M. A. and M. W. Heuser. 1987. The Reference Manual of Woody Plant Propagation. Athens Ga. Varsity Press. ISBN 0942375009.
Edmonds and Staniforth. 1998. American Journal of Chinese Medicine 30 (2 & 3) : 307-314. George, E.F. and P.C. Debergh. 2008. Micropropagation: Uses and Methods In Plant Propagation by Tissue Culture
3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall & G-Jan De Klerk (eds.). Springer Pub. Netherland. Jayusman, 2006. Tehnik Penyiapan Bibit Surian. Infotek Vol.14 (1) : Juni 2006. Hal 35-43. Jorunn E. O., B. J. John, A. M. Jorgen, E. Arild, J. Olavi. 2004. Journal of Crop Improvement, Photoperiodic
Regulationof Apical Growth Cessation in Northern Tree Species. 10 (1-2), 77 – 112. Koning, R. 1982. Seed Germination. Biology Departement, ESCU, Willimantic, CT USA. www.blackwell-
synergy.com. Lemmens, R. H. M. J., I. Soerianegara, and W.C. Wong (Eds.).1995. Plant Resources of Southeast Asia 5(2) Timber
trees: Minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor, Indonesia, 655 pp. Machakova I., E. Zazimalova , E.F. George. 2008. Plant Growth Regulators I: Introduction: Auxins, their Analogues
and Inhibitors In Plant Propagation by Tissue Culture, 3d Eddition, Volume 1, The Background. E. F. George, M. A. Hall, G. De Klerk (Eds.). Springer, Netherlands, 175-204. V
Martawidjaya, A., K. Iding, Y. I. Mandang, A. P. Soewanda, dan K. Kosasi. 1998. Atlas Kayu Indonesia, Jilid II. Badan Litbang Kehutanan,Bogor.
Moshkov, I.E., G.V. Novikova, M.A. Hall and E.F George. 2008. Plant Growth Regulator III: Gibberellins, Ethylene, Abscisic Acid, their Analogues and Inhibitors; Miscellaneous Compounds In Plant Propagation by Tissue Culture 3rd Edition. E.F. George, M.A. Hall and Geert-Jan de Klerk (eds). Volume 1. The Backforund. Springer Pub., Netherland.
Phon D. and Pauline. 2000. Plants Used in Cambodia. Olympic Printing House; Phnom Penh, 915 pp. Pijut P. M., R. R. Beasley, S. S. Lawson, K. J. Palla, M. E. Stevens and Y. Wang. 2012. In Vitro propagation of
Tropical Hardwood Tree Species – A Review (2001 -2011) Propagation of Ornamental Plants, 12(1): 25 -51. Putri, A. I. 2010. Micropropagation of Toona sinensis dan Toona sureni. Unpublished. Qu, Luping, Chen, Jianjn, Henny, J. Richard, Huang, Yingfeng, Caldwell, D. Russell and Robinson, A. Cynthia. 2002.
Thidiazuron promotes adventitious shootregeneration from pothos (Epipremnum aureum) leaf and petiole explants. In Vitro Cellular and Developmental Biology-Plant, May, vol. 38, no. 3, p. 268-271.
Raemakers, C. J. J. M., E. Jacobsen, R. G. F. Visser. 1995. Secondary somatic embryogenesis and applications in plant-breeding. Euphytica 81: 93-107.
Rao, A. M., K. Padma Sree, and P. B. Kavi Kishor, 1995. Enhanced Plant Regeneration in Grain and Sweet Sorghum by Asparagine, Proline and Cefotaxime. Plant Cell Reports, January, vol. 15, no. 1-2, p. 72-75.
Riley, J.M. 1987. Gibberellic Acid for Fruit Set and Seed Germination. CRFG Journal, Vol. 19, pp 10-12. www. Crfg.org.
Geekiyanage, D. H. and T. D. Silva. 2005. Comparative Analysis Of Intron Regions In Grass Genomes. Proceedings of the 61st Annual Sessions of the Sri Lanka Association for the Advancement of Science. Sri Lanka.
Varshney, A., T. Kant, and S.L. Kothari. 1997. Plant regeneration from coleoptile tissue of wheat (Triticum aestivum). Biologia Plantarum, July, vol. 40, no. 1, p.137-141.
Venketeswaran, S., M. A. D. L. Dias, S. Sultanbawa and U. V. Weyers. 1988. Tissue Culture Studies of Mahogany Tree, Sweitenia In Somatic Cell Genetics of Woody Plants. M. R. Ahuja (ed.). Kluwer Academic Pub. Dordrecht, Boston, London.
Xiao-hong, Z., C. Yan-sheng, W. An-zhi, Y. Tu-xi, K. Bing, Y. Heng. 1999. Shaanxi Province and Chinese Academy of Science. Yangling, Shaanxi 712100.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
45 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PENINGKATAN DAYA MULTIPLIKASI TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU DALAM UPAYA IKUT MEMBANTU PENGEMBANGAN DAN KELESTARIANNYA
Ali Husni dan Mia Kosmiatin
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar No. 3 A Bogor Email : alihusni11@yahoo.com
ABSTRAK
Ketersediaan bibit unggul yang sehat dalam usaha budidaya tanaman yang dieksploitasi secara besar-besaran sangat mutlak diperlukan. Permintaan akan produk gaharu yang terus meningkat disertai harga yang terus melambung menyebabkan eksploitasi pohon penghasil gaharu di alam juga terus berlangsung sehingga keberadaan pohon gaharu di alam sudah berada pada tingkat yang sangat menghawatirkan (CITES Appendix II). Untuk menjaga kelestarian pohon gaharu sekaligus dapat memenuhi permintaan pasar dunia diperlukan adanya upaya pembudidayaan pohon gaharu secara massal di Indonesia. Ketersediaan bibit unggul yang sehat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya suatu tanaman. Keberadaan bibit unggul yang sehat salah satunya dapat diperoleh melalui perbanyakan tunas secara in vitro dalam lingkungan terkendali, menggunakan bahan tanaman yang sedikit, bebas penyakit, dan dapat dilakukan setiap saat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya multiplikasi tunas in vitro tanaman gaharu Aquilaria malaccensis dengan perlakuan modifikasi media tumbuh dengan cara pengenceran hara makro media dasar MS dengan penambahan BA dan TDZ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan TDZ pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan
Kata kunci: Aquilaria malaccensis, kultur in vitro, multiplikasi tunas
I. PENDAHULUAN
Gubal gaharu adalah salah satu komoditas ekspor penting bagi Indonesia yang berasal dari
produk hasil hutan bukan kayu yang mengandung resin yang harum baunya, seperti pohon
Aquilaria malaccensis. Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) merupakan tanaman yang memiliki
mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum
baunya. Kayu yang mengandung resin ini dikenal dengan nama “gaharu”. Dipasar internasional,
gaharu dikenal dengan nama agarwood, aloeswood atau oudh. Selain untuk dupa, penggunaan
gaharu telah meluas untuk dipakai sebagai bahan pembuat parfum, sabun, sari aroma gaharu,
pengobatan dan sampo (Ng, et al., 1997; Chakrabarty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok
digunakan untuk pembuatan pensil (Lopez, 1998) sehingga nilai komersialnya dalam perdagangan
gaharu semakin menigkat. Menurut Susilo (2003), volume ekspor gaharau Indonesia pada periode
1990-1998 adalah sebanyak 165 ton dengan nilai US $ 2.000.000 dan meningkat sebanyak 456 ton
dengan nilai US $ 2.200.000 pada periode 1999-2000. Namun pada periode 2000-2002
volume ekspor menurun 30 ton dengan nilai US $ 600.000 karena makin sulitnya gaharu
didapatkan. Permintaan internasional terhadap gaharu dimasa mendatang kemungkinan besar akan
terus bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Sayangnya, sebagian besar atau bahkan semuanya
46 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
gaharu tersebut masih diambil langsung dari hutan alam ( Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga
menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia sifatnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al.,
1998). Hal ini disebabkan karena belum tersedianya teknologi pendukungnya, seperti teknologi
perbanyakan bibit dan teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang baik
(Santoso, 1996). Berdasarkan sifat dan kegunaan gaharu tersebut, maka tanaman ini termasuk
prioritas utama untuk dikembangkan.Pada tahun 2010 Balitbang kehutanan merilis teknologi budi
daya gaharu dengan cara penginfeksian jamur genus Fusarium dan Cylindrocarpon pembentuk
gaharu ke dalam batang pohon potensial (Tunggal, 2010) tetapi bibit masih mengandal dari
semaian biji atau anakan alami.
Meskipun tanaman gaharu mulai banyak dikembangkan di Indonesia, penyediaan bibit masal
yang seragam belum ada yang melaporkan. Kendala perbanyakan secara generatif melalui biji,
yaitu biji yang bersifat rekalsitran dan mempunyai variasi genetik yang luas. Kendala perbanyakan
secara vegetatif dengan stek pucuk, stek akar dan grafting yaitu hambatan pada pengakaran,
tergantung pada musim, memerlukan bahan tanaman yang banyak dan jumlah bibit yang dihasilkan
relatif sedikit. Dengan demikian, kebutuhan bibit pada suatu tanaman yang akan dieksploitasi
secara luas akan sulit dipenuhi melalui perbanyakan secara konvensional.
Salah satu teknologi yang telah banyak dimanfaatkan dan banyak memberikan harapan di
masa mendatang adalah pemakaian teknologi kultur in vitro. Aplikasi teknologi tersebut dibidang
pertanian selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan perbaikan tanaman. Perbanyakan
melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas adventif,
proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan
cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang mempunyai komposisii
kimia yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat.
Setiap tunas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai starter untuk penggandaan tunas sehingga
diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat.
Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit mengadakan proliferasi dan regenerasi,
sehingga diperlukan manipulasi zat pengatur tumbuh dalam media supaya eksplan mampu
melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales, 1994). Berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan
tunas, organogenesis maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan
eksplan, jenis media dasar, jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monier,
1990; Lizt and Levicth, 1997).
Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap induksi
maupun penggandaan tunas. Kombinasi sitokinin tertentu dengan sitokinin lainnya kadang lebih
47 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
baik dari pada penambahan sitokonin tunggal seperti pada Acacia mangium yang
mengkombinasikan BA dengan Kinetin (Bon et al., 1998). Pada tanaman belimbing dan sukun,
penambahan kombinasi sitokinin Benzyladenin (BA) dengan Tidiazuron (TDZ) lebih baik dari
pada penggunaan sitokinin tunggal (Supriyati, et al., 2003). Demikian juga halnya dalam
pembentukan kalus embriogenik dengan struktur globular dan hati (Husni et al., 1997) atau auksin
2,4-D serta kombinasinya dengan NAA apabila melalui fase kalus (Hutami et al., 2002). Untuk
tahap pendewasaan selanjutnya, konsentrasi sitokinin diturunkan atau sering ditambah dengan GA3
(Rai dan McComb, 2002; Mariska et al., 2001b+c). Sebagai eksplan umumnya digunakan jaringan
atau organ yang bersifat embriogenik seperti embrio zigotik, kotiledon, tunas terminal, tunas aksilar
atau hipo/epikotil.
Dengan demikian, teknologi kultur in vitro melaui jalur proliferasi tunas dapat digunakan
sebagai upaya pelestarian tanaman gaharu karena teknologi ini dapat lebih menjamin kesamaannya
dengan tanaman induk.
II. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi sel dan Jaringan Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Bogor.
Penelitian dilakukan untuk mendapatkan metoda dan komposisi media yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan tunas gaharau melakukan multiplikasi.
Penelitian dilakukan terdiri dari empat tahap penelitian yang saling berurutan, yaitu a).
Induksi tunas, b) pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi c)
induksi akar dan e)aklimatisasi plantlet.
Induksi tunas
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah batang 1 buku dari tunas in vitro
gaharu yang sudah steril dengan ukuran 0.5 – 0.8 cm. Setiap buku dikultur dalam media perlakuan.
Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur
makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang
dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar
swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan
NaOH dan HCl 0.1 dan 0.01N
48 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi
cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari
semalam.
Pengamatan yang dilakukan pada tahap ini adalah lama waktu inisiasi tunas dari masing-
masing eksplan pada setiap media perlakuan.
Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi
Untuk meningkatkan kemampuan tunas melakukan multiplikasi, dilakukan subkultur yang
berulang kedalam media baru dengan komposisi sama dengan media awalnya. Sub kultur berulang
dilakukan sebanyak tiga kali setiap 6 minggu masa kultur dalam media.
Media dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah MS penuh dan MS yang unsur
makronya dikurangi sebesar 50% dan diperkaya dengan zat pengatur tumbuh 0.1 mg/l BA yang
dikombinasi dengan 0, 1, 2 dan 3 mg/l thidiazuron. Untuk memadatkan media ditambahkan agar
swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan
NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N.
Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi
cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari
semalam.
Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah tunas yang dihasilkan, tinggi tunas dan
penampakan visual dari masing-masing kultur pada setiap perlakuan.
Induksi akar
Tunas-tunas yang yang sudah mempunyai 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam
media perakaran untuk mendapatkan plantlet yang siap diaklimatisasi.
Media dasar yang digunakan pada tahap ini adalah MS yang diperkaya dengan 0, 1, 3 dan 5 mg/l
IBA. Untuk memadatkan media ditambahkan agar swallow sebanyak 8 g/l. Kemasaman media
diatur antara 5.6 – 5.8 dengan cara menambahkan NaOH dan HCl 0.1 dan 0.0N.
Kultur disimpan pada rak kultur dalam ruangan yang bersuhu antara 19 – 25 C dan diberi
cahaya menggunakan lampu influorescen dengan kisaran ± 1000 lux selama 16 jam sehari
semalam.
Pengamatan dilakukan terhadap banyaknya jumlah akar, panjang akar dan penampakan tunas.
49 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Aklimatisasi
Plantlet yang dihasilkan diaklimatisasi dirumah kaca dengan cara mengeluarkan plantlet dari
botol dengan hati-hati. Kemudian diberihkan dengan air kran secara hati-hati sehingga bersih dari
sisa agar yang melekat pada akar. Kemudian disungkup selama empat minggu untuk menjaga
kelembaban sampai akar telah dapat berfungsi secara baik.
Media aklimatisasi yang digunakan adalah campuran tanah dengan kompos pada
perbandingan 1:1.
Parameter yang diamati pada tahap ini adalah persentase keberhasilan aklimatisasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Induksi Tunas
Dari hasil pengamatan terhadap kecepatan inisiasi tunas dari eksplan yang dikultur dalam
media perlakuan terlihat bahwa media dasar MS yang unsur makronya dikurangi ssebesar 50%
lebih baik dari pada media dasar MS yang unsur makronya penuh. Hal ini terlihat dari waktu
kecepatan rata-rata inisiasi tunas dari setiap perlakuan penambahan kombinasi BA 0.1 mg/l dengan
TDZ, yaitu antara 5.4 – 6.6 hari, sedangkan rata-rata waktu inisiasi tunas yang dibutuhkan pada
media dasar MS penuh antara 5.6 – 13 hari (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh media dasar MS dan TDZ terhadap waktu inisiasi tunas aksiler dari eksplan batang satu buku
Media Perlakuan Rata-rata Waktu Inisiasi Tunas (hari)
MS + BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l MS1/2 + BA 0.1 mg/l + TDZ 0 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 1 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 2 mg/l + BA 0.1 mg/l + TDZ 3 mg/l
13,0 ± 3.4 (b) 11,2 ± 2.7 (b) 6,8 ± 1.8 (ab) 5,6 ± 2.1 (a) 5,6 ± 3.4 (a) 5,6 ± 1.7 (a) 5,4 ± 2.9 (a)
6,6 ± 2.5 (ab)
Keterangan : MS = Medium Murashige dan Skoog MS ½ =Medium Murashige dan Skoog dengan konsentrasi hara makro ½ kali formulasinya
BA = Benzil Adenin TDZ = Thidiazuron
50 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa penambahan TDZ ke dalam media yang telah
mengandung BA 0.1 mg/l dalam medium MS dan MS yang diencerkan ½ kali menunjukkan respon
yang berbeda. Induksi pada media MS cenderung lebih lama dibanding media MS yang diencerkan
tetapi penambahan TDZ dapat mempercepat induksi tunas pada medium MS. Penggunaan media
dasar juga sangat mempengaruhi keberhasilan perbanyakan in vitro pada tanaman hutan seperti
pada Acacia (Galiana et al., 1991).
Penambahan TDZ 2 mg/l dalam media MS1/2 dapat menginduksi tunas aksilar paling cepat
dibandingkan penambahan konsentrasi TDZ lainnya, yaitu selama 5.4 hari, diikuti dengan
penambahan TDZ 0 dan 1 mg/l serta penambahan TDZ 3 mg/l pada media dasar MS penuh. Waktu
inisiasi tunas paling lama berasal dari penambahan TDZ 0 mg/l selama 13 hari dan disusul dengan
penambahan TDZ 1 mg/l.
Pengaruh subkultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi
Kemampuan tunas melakukan multiplikasi pada pengadaan bibit melalui teknologi kultur
jaringan merupakan salah satu barometer yang perlu dipertimbangkan apakah teknologi ini
ekonomis digunakan, khusunya pengadaan bibit secara massal. Situmorang (2000), bahwa jenis
klon dari Aquilaria spp. memiliki respon yang berbeda terhadap media induksi proliferasi tunas
secara in vitro dan mengalami peningkatan yang cukup tinggi hingga sub kultur yang ke-3.
Frekuensi dan periode sub kultur juga mempengaruhi keberhasilan suatu formulasi media yang
akan digunakan sebagai metode untuk perbanyakan massal. Umumnya sub kultur dilakukan kurang
dari 6 kali untuk menghindarkan keragaman dari benih yang dihasilkan, bila pada sub kultur ke-3
terjadi penurunan jumlah multiplikasi tunas maka formulasi media tersebut kurang baik bila
digunakan untuk perbanyakan masal. Pada gaharu, formulasi media MS yang dikombinasikan
dengan zat pengatur tumbuh BA dan Thidizuron dengan periode sub kultur 6 minggu menunjukkan
peningkatan multiplikasi tunas yang cukup tinggi bahkan pada formulasi dengan kombinasi BA 0,1
mg/l dan Thidiazuron 1 mg/l pada sub kultur ke 3 bertambah hingga 2 kali dari sub kultur
sebelumnya (Gambar 1). Formulasi ini juga memberikan rata-rata jumlah tunas tertinggi, 28,4.
51 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 1. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap kemampuan tunas melakukan multiplikasi dari setiap perlakuan
Gambar 2. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap tinggi tunas dari setiap media perlakuan.
Dalam perbanyakan bibit secara in vitro, tinggi tunas juga menunjukkan apakah formulasi
media yang digunakan efisien atau tidak, bila tinggi tanaman terlalu tinggi dan menunjukkan
elongasi (pemanjangan ruas) berlebih sehingga tunas kurang vigor, tunas ini tidak baik untuk
disubkultur kembali begitu juga bila tunasnya terlalu pendek, tanpa ruas (roset) akan sulit untuk
menginduksi pembentukan akar. Pada gaharu sampai sub kultur ke 3 hampir tidak ada biakan yang
menunjukkan gejala roset maupun elongasi yang berlebihan. Rata-rata tinggi tunas tertinggi
52 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
diperoleh dari media dasar dengan pengenceran hara makro ½ kali yang dikombinasikan hanya
dengan BA 0,1 mg/l (Gambar 2) yaitu 2,22 cm. Dari grafik pada gambar 2 juga bahwa media
dengan penambahan Thidiazuron menghasilkan tunas yang lebih pendek tetapi jumlah tunas yang
lebih banyak.
Jumlah daun tunas pada biakan gaharu juga meningkat dengan peningkatan sub kultur
(Gambar 3). Rata-rata jumlah daun tertinggi diperoleh dari media dasar MS dengan pengenceran ½
kali hara makro yang dikombinasikan dengan BA 0,1 mg/l tanpa penambahan Thidiazuron
sebanyak 15.6. Pada formulasi ini juga ruasnya tidak terlalu rapat karena rata-rata tinggi tunasnya
juga menunjukkan rata-rata tinggi tunas tertinggi Jumlah daun ini juga dapat digunakan sebagai
ukuran keberhasilan perbanyakan secara in vitro, karena dari setiap daun dapat diinduksi kembali
pembentukan tunas aksilarnya.
Gambar 3. Grafik Pengaruh sub kultur terhadap jumlah daun tunas dari setiap media perlakuan Induksi akar
Tunas yang sudah memiliki daun 4–6 helai daun yang sempurna dipindahkan dalam media
untuk menginduksi perakaran sehingga diperoleh plantlet yang siap diaklimatisasi. Pada tanaman
berkayu pembentukan akar sering menjadi penghambat dalam pengembangan teknik in vitro untuk
perbanyakan masal dan sering membutuhkan penambahan zat pengatur tumbuh yang dapat
mendorong pembentukan akar (Dixon dan Gonzales, 1994). IBA adalah zat pengatur tumbuh
kelompok auksin yang banyak digunakan untuk menginduksi perakaran terutama pada tanaman
berkayu seperti 3 mg/l pada tanaman Chesnut(Goncalves et al., 1998), 1 mg/l pada tanaman
53 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Pistacia lentiscus (Yildrim, 2012), . Peningkatan konsentrasi IBA pada media induksi akar
menunjukkan peningkatan jumlah tunas yang mampu berakar begitu juga dengan rata-rata jumlah
akar. Penggunaan media dasar MS lebih baik dalam menginduksi pembentukan jumlah dimana
jumlah akarnya lebih baik dari pada jumlah akar pada media dasar MS dengan pengenceran ½ kali
konsentrasi hara makronya (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh penambahan IBA terhadap inisiasi akar tunas gaharu Media dasar dan konsentrasi IBA
Jumlah dan persentase tunas yang berakar
Rata-rata Jumlah akar
MS + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l MS1/2 + IBA 0 mg/l IBA 1 mg/l IBA 3 mg/l IBA 5 mg/l
40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 60% (3/5) 20% (1/5) 40% (2/5) 60% (3/5) 60% (3/5)
1.0 2.67 2.67 2.67 1.0 2.0
2.33 2.33
Penggunaan media dasar yang berbeda juga memberikan keberhasilan aklimatisasi yang
berbeda. Media dasar MS memberikan keberhasilan yang lebih tinggi dalam keberhasilan
aklimatisasi (Tabel 3). Hal ini tidak terlepas dari jumlah akar yang terbentuk pada medium MS
lebih baik dibanding medium yang diencerkan ½ kali konsentrasi.
Tabel 3. Pengaruh asal media in vitro terhadap keberhasilan aklimatisasi Asal Media in vitro Jumlah dan persentase plantlet yang hidup
setelah aklimatisasi MS MS1/2
4 (40%) 3 (30%)
IV. KESIMPULAN
Dari rangkaian penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Penambahan Thidizuron pada media perbanyakan tunas gaharu dapat mempercepat induksi
pembentukan tunas terutama pada medium dasar MS sementara pada medium dasar MS yang
diencerkan hara makronya ½ kali tidak mempercepat induksi tunas
2. Sub kultur berulang hingga 3 kali dengan periode kultur 6 minggu menunjukkan peningkatan
dalam jumlah tunas, jumlah daun dan tinggi tunas
54 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
3. Penambahan Thidiazuron pada media sub kultur juga menunjukkan peningkatan dalam jumlah
tunas terutama bila ditambahkan 1 mg/l pada medium perbanyakan
DAFTAR PUSTAKA
Attree, S.M., S. Budimirand, L.C. Fawke. 1990. Somatic embriogenesis and plantlet regeneration from cultured shoots and cotyledons of seedlings from stored seedsof black and white spruce (Picea mavina and P. glauca). Can. J. Bot. 68:30-34.
Bon, MC, D Bonal, D.K. Goa, and O. Monteuuis. 1998. Influence of different macro and micro solutions and growth regulators on micropropagation of juvenile Acaciamangium and Paraserianthes falcataria explants. Plant Cell Tiss. Org. Cult., 53: 171–177
Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi.
Darmokusumo, S., A.A. Nugroho, E.U. Botu, A. Jehawat dan M. Benggu. 2000. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta.
Dixon, R.A. and R.A. Gonzales. 1994. Plant Cell Culture. A practical Aproach 2nd edition. Oxford Univessity Press New York. P. 101.
Dustan, D.I., T.E. Taotorus and T.A. Thorpe, 1995. Somatic Embrryogenesis in Woody Plant. In . T.A. Thorpe, 1995 (Ed.): In vitro Embryogenesis in Plants. Kluwer Acad. Pub. Dordrecht, Boston, London. P.:471-540.
Galliana, A, A Tibok and E Duthoux. 1991. In vitro propagation of the nitrogen fixing tree legume AcaciamangiumWilld. Plant Soil, 135 : 151-159
Goncalves, JC, G Diogo and S Amancio. 1998. In vitro propagation of chestnut (Castanea sativa×C. crenata): Effects of rooting treatments on plant survival, peroxidase activity and anatomical changes during adventitious root formation. Scientia Horticulturae, 72(3-4): 265-275
Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta.
Husni, A. I. Mariska dan M. Kosmiain. 1997. Embriogenesis somatik tanaman lada liar. Makalah dalam Seminar Mingguan Balitbio. 5 September 1997. Bogor.
Hutami, S., I. Mariska, R. Purnamaningsih, M. Herman, D. Damayanti and T. I. Utami. 2002. Regeneration of papaya (Carica papaya) through somatic embryogenesis. Proc. Of the 2nd Indonesian Biotechnology Conference. Indonesian Biotechnology Consortium. Jakarta.
Lelu, M.A., K.K. Klimaszewska, C. Jones, C. Ward, P. Van Aderkas and P.J. Charest. 1993. A laboratory guide to somatic embryogenesis in spruce and larch. Information Report. Petawawa National Forestry Institute Forestry Canada.
Liz, R.E and Y. Levith. 1997. Effect of 1-amino cyclopropane-1-carbolic acid, aminoethoxivinilglycine, methylgluxolatbis- (gluanylhydraone) and dicyohexiamonium sulfat on induction of embryogenic compotence of mango nuclear explants. Plant Cell, Tissue and Organ Culture (6):171-176.
Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mariska, I. 1996. Embriogenesis somatik tanaman kehutanan. Prosiding Kursus Bioteknologi. 4-9 Nop. BPPT.
Serpong. 13 hal. Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin, A. Husni, W. Adil and Y. Supriati. 2001a. Somatic embryogenesis in different soybean varieties. Proc. Workshop on Soybean Biotechnology Al
Tolerance on Acid Soils and Disease Resistance. Biotechnology Indonesia – Germany Project. Directorate for Assessment and Technology, Agency for the Assessment and Application of Technology Federal Ministry for Education and Research, Central Research Institute for Food Crops. 14-15 Sept. 1999. Bogor.
Mariska, I., S. Hutami, M. Kosmiatin dan W.H. Adil. 2001b. Regenerasi massa sel Embriogenik kedelai setelah diseleksi pada kondisi Al berbeda dan pH rendah. Berita Puslitbangtan No. 20:1-3.
55 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Mariska, I., D. Sopandie, S. Hutami, E. Syamsudin, M. Kosmiatin. 2001c. Peningkatan ketahanan terhadap Al pada tanaman kedelai melalui kultur in vitro. Kantor Menristek dan LIPI. Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII. (tidak dipublikasi).
Monnier, M. 1990. Induction embryogenesis in suspension culture. Methode in Molecular Biology. Plan Cell, Tissue and Organ Culture. (6):149-157.
Musakabe, H. 2000. Peluang dan kendala cendana dalam perekonomianpropinsi Nusa Tenggara Timur. Kumpulan makalah dalam Seminar Nasional Kajian Terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L.) Sebagai Komoditi Utama Perekonomian Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Menuju Otonomisasi. Pemda NTT dan LIPI, 26 Juni 2000. Jakarta.
Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species. Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring
Centre. World Conservation Press Cambridge. Supriyati, Y., I. Mariska, S. Htami dan A. Husni. 2003. Kaji terap buah tropika. Laporan Hail Penelitian, Kerja sama
antara BB-Biogen dengan Dinas Pertanian Jakarta. 62 h. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists
perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta.
Rai, V. Ravishankar and J. McComb. 2002. Direct somatic embryogenesis from mature embryos of sandalwood. Plant Cell Tissue and Organ Culture. 69:65-70.
Shun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Williams, E.G. and Maheswara. 1986. Somatic embryogenesis factors influencing Coordinated behaviour of cells as on
embryogenic group. Ann. Bot. 57:443-462. Yildrim, H. 2012. Micropropagation of Pistacia lentiscus L. from axenic seedling-derived explants . Scientia
Horticulturae, 137: 29-35
56 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
57 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ENKAPSULASI BUKU SATU TUNAS IN VITRO TANAMAN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lank)
M. Kosmiatin dan Ali Husni
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian Jl Tentara Pelajar No.3 A, Bogor
E-mail: miakosmiatin@yahoo.com
ABSTRAK
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah tanaman hutan yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Eskpor gaharu Indonesia saat ini menurun karena gubal dipanen dari alam langsung sementara populasi tanaman ini sudah mulai langka. Pengembangan budidaya tanaman gaharu menghadapi kesulitan pengadaan bibit. Biji tanaman gaharu merupakan biji rekalsitran yang tidak dapat disimpan lama sedangkan anakan alam yang tumbuh disekitar tanaman induk jumlahnya terbatas dan sulit dipindahkan. Teknologi kultur in vitro dapat menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan pengadaan bibit, Dengan teknik kultur in vitro pengadaan bibit dapat dilakukan secara masal, seragam dengan induknya dan tidak dipengaruhi oleh kondisi alam. Dengan teknik in vitro juga dimungkinkan untuk memperoleh biji sintetik. Biji sintetik dapat menggunakan berbagai tahapan perkembangan bahan tanaman mulai dari tingkat sel sampai organ/individu. Buku satu tunas dapat digunakan sebagai bahan benih sintetik yang dikapsulasi dalam alginate. Formulasi pelarut alginate dan larutan inkubasi sangat mempengaruhi kemampuan bahan tanaman untuk dapat tumbuh dan menembus alginate. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanggap tunas in vitro gaharu dalam kapsul alginate dengan berbagai jenis pelarutnya serta beragam jenis latutan inkubasinya. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku satu tunas in vitro gaharu yang dikapsulasi dengan alginate dan dipadatkan dengan larutan CaCl2 50mM. Pelarut alginate yang digunakan adalah air, medium MS, 1/2MS dan MS modifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku satu tunas dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam kapsul alginate 2%. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi. Kapsul alginate yang diinkubasi dalam media MS, ½ MS ataupun MS modifikasi, dapat mempertahankan pertumbuhan tunas didalamnya. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi.
Kata kunci : Aquilaria malaccensis, enkapsulasi, alginate, buku satu tunas
I. PENDAHULUAN
Gaharu (Aquilaria malaccensis Lank) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki
mutu sangat baik dengan nilai ekonomi yang tinggi karena kayunya mengandung damar wangi.
Kayu ini dikenal dengan nama “gaharu” atau disebut pula agarwood, aloeswood atau oudh. Gaharu
digunakan untuk keperluan agama, parfum, sabun, sari aroma gaharu, pengobatan dan shampo
(Ng, et al., 1997; Chakraburty, et al., 1994). Kayu gaharu juga cocok digunakan untuk pembuatan
pensil (Lopez, 1998). Permintaan internasional terhadap gaharu dari tahun ke tahun terus
bertambah (Shyun, 1997; Ng, et al. 1997). Volume ekspor gaharu Indonesia pada periode 2000-
2002 menurun karena makin sulitnya gaharu didapatkan (Susilo, 2003). Hal ini terjadi karena
selama ini gaharu diambil langsung dari hutan alam (Hartadi, 1997; Peters, 1996) sehingga
menyebabkan populasi tanaman ini di Indonesia statusnya mendekati kepunahan (Oldfield, et al.,
1998). Dalam konferensi CITES tahun 2003 di Bangkok ditetapkan tanaman penghasil gaharu jenis
58 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Aquilaria sp dan Gyrinops sp termasuk dalam APENDIX II yaitu jenis tanaman yang terancam
kepunahan sehingga perdagannya diatur dengan penetapan kuota.
Kepunahan tanaman ini selain disebabkan oleh eksploitasi yang terus menerus juga belum
tersedianya teknologi budidaya yang efisien, meskipun penanaman gaharu mulai banyak dilakukan
petani baik dilahan pekarangan atau dikebun. Teknologi ini sulit dikembangkan karena
ketersediaan bibit yang terbatas dan sangat bergantung pada ketersediaan anakan dan biji gaharu.
Selain itu diperlukan juga teknologi inokulasi penyakit untuk mendapatkan kualitas gaharu yang
baik (Isnaeni dan Situmoranmg, 2005). Saat ini litbang kehutanan sudah merilis teknik inokulasi
yang dapat memicu pembentukan gubal buatan pada tanaman yang berumur 5-6 tahun yang dalam
3 tahun setelah inokulasi dapat memproduksi gubal pada serat kayunya (Tunggal, 2010). Dalam
proses produksi gaharu buatan ini, yang sangat penting dikuasai adalah proses pembenihan,
persemaian, penanaman, dan pemeliharaan pohon-pohon berpotensi gaharu.
Secara konvensional penyediaan bibit gaharu diperoleh baik secara generatif maupun
vegetatif tetapi kedua teknik ini memerlukan waktu yang relatif lama dengan tingkat keberhasilan
yang relatif masih rendah. Perbanyakan secara generatif menghadapi kendala biji gaharu
merupakan biji rekalsitran sehingga perbanyakannya masih mengandalkan anakan alam yang
tumbuh di sekitar pohon induk padahal populasi gaharu di hutan-hutan sumatra kalimantan dan
NTT sudah sangat sedikit. Pemanfaatan teknik in vitro telah banyak dimanfaatkan dan banyak
memberikan harapan di masa mendatang untuk mengatasi penyediaan bibit gaharu. Aplikasi
teknologi ini dibidang pertanian dimanfaatkan selain untuk perbanyakan juga untuk konservasi dan
perbaikan tanaman. Pemanfaatan teknik ini terutama metode mikropropagasi dan embriogenesis
somatik menjadi alternatif utama dalam pengembangan dan konservasi gaharu di Vietnam (Minh,
2004).
Perbanyakan melalui kultur in vitro dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu pembentukan tunas
adventif, proliferasi tunas lateral dan embriogenesis somatik. Proliferasi tunas lateral dapat
dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar atau tunas terminal kedalam media yang
mempunyai komposisi yang sesuai untuk proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas
dengan cepat. Setiap tunas dan yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk
penggandaan tunas selanjutnya sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif
lebih singkat.
Pengembangan gaharu yang akan datang diarahkan untuk rehabilitasi hutan, hutan rakyat dan
memanfaatkan lahan marginal serta pengembangannya di lahan pertanian. Pengangkutan bibit
dalam jumlah yang besar akan berisiko pada melambungnya ongkos kirim dan rusaknya bibit
selama pengangkutan. Teknologi bibit sintetik (synthetic seeds-synseeds, artificial seed) dapat
59 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut (Chand dan Singh, 2004). Teknologi ini relatif
sederhana, dengan memanfaatkan teknik regenerasi secara in vitro. Bahan tanaman dikapsulasi
dengan alginate dan diinkubasi baik pada medium cair maupun padat. Bahan tanaman dapat
menggunakan struktur embriogenik maupun non embriogenik seperti tunas, buku, meristemoid,
agregat sel (Standardi dan Picconi, 1998). Penggunaan propagul vegetatif menjadi lebih
menguntungkan dalam produksi benih sintetik karena kesamaan dengan tanaman induknya tinggi
(Chand dan Singh, 2004)
Teknologi bibit/benih sintetik memiliki kelebihan-kelebihan antara lain mudah pengangkutan
karena ukurannya kecil, mengurangi resiko kerusakan karena bahan tanaman dilindungi oleh
kapsul alginate, bibit yang dihasilkan dapat dalam jumlah yang besar, sifatnya sama dengan
tanaman induknya, harga per plantlet relatif murah (Saiprassad, 2001).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggap tunas in vitro biakan gaharu
terhadap alginate yang selanjutnya akan dikembangkan untuk produksi bibit sintetik gaharu.
II. METODOLOGI
Penelitian dilakukan di laboratorium kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan
Jaringan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik
Pertanian Bogor.
Bahan tanaman yang digunakan adalah buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu (Aquilaria
malaccensis Lank).
Enkapsulasi menggunakan sodium alginate high viscosity dengan konsentrasi 2% yang
dipadatkan pada larutan CaCl2 50mM. Perlakuan yang diuji adalah pelarut dari alginic acid yaitu
Air, media MS, MS ½ dan MS modifikasi (makro nutrien ½ kali dari komposisi makro nutrien
MS). Kemudian kapsul-kapsul tersebut direndam pada larutan inkubasi kapsul alginate yang
steril.
Eksplan yang dikapsulasi adalah buku satu tunas yang berukuran ± 4 mm. Eksplan diisolasi
dari biakan yang sudah 2 kali disubkultur pada media MS+BA 1 mg/l. Eksplan dimasukkan ke
dalam larutan sodium alginate 2% kemudian di teteskan dengan pipet kedalam larutan CaCl2
50mM. Kapsul-kapsul yang terbentuk kemudian direndam dalam air, media MS, MS ½ dan MS
modifikasi cair. Inkubasi dilakukan pada ruang kultur dengan temperatur 21-23oC dan penyinaran
800-1000 lux selama 16 jam/hari
60 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Pengamatan dilakukan melihat pertumbuhan buku satu tunas dalam kapsul dan kemampuan
tunas menembus kapsul alginate.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Enkapsulasi adalah teknik in vitro yang digunakan untuk memproduksi benih sintetik.
Enkapsulasi dilakukan dengan cara mengkulturkan bahan tanaman baik struktur embriogenik
maupun non embriogenik dalam suatu matrik yang dapat mempertahankan viabilitasnya. Matrik
pemadat yang dapat digunakan untuk enkapsulasi antara lain agar, agrose, alginate. Poliakrilamid,
nitroselulosa, carragenan, gel rite (Datta et al., 1999). Alginate adalah matriks yang paling sering
digunakan karena viskositasnya sedang, toksisitasnya untuk bahan tanaman relatif rendah, cepat
mengeras, relatif murah dan sesuai untuk bahan-bahan biologi. Selai itu alginate juga cepat
membentuk kapsul dengan ikatan yang dapat melindungi bahan tanaman sehingga dapat tetap
hidup (Saiprassad, 2001).
Dalam penelitian ini bahan tanaman yang dikapsulasi adalah buku satu tunas yang
berukuran ± 4 mm, seperti yang sudah berhasil dilakukan pada tunas in vitro Dalbergia sissoo
Roxb, tanaman legume berkayu (Chand dan Singh, 2004), nanas (Soneji et al., 2002), Adhatida
vasica (Anand dan Bansal, 2002) olive (Micheli et al., 1999), kiwi (Adriani et al., 1999) dan
Ocimum spp (Mandal et al., 2000). Matrik enkapsulasi yang digunakan adalah alginate viskositas
tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa matrik dapat mempertahankan viabilitas tunas in vitro
gaharu yang ditunjukkan dengan warna biakan hijau dan pertumbuhan tunas kecuali pada eksplan
yang diinkubasi pada air dimana hampir sebagian besar eksplan jaringannya mencoklat dan
akhirnya mati (Tabel 1).
Tabel 1. Daya tembus tunas gaharu pada berbagai media pelarut alginate dan berbagai media inkubasi
Pelarut Alginate
Larutan inkubasi
% biakan tembus kapsul
% Hidup
Air Air MS MS1/2 MS Modifikasi
0 100 40 70
0 100 100 100
MS Air MS MS1/2 MS Modifikasi
0 100 100 80
0 100 100 100
MS1/2 Air 0 80
61 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
MS MS1/2 MS Modifikasi
100 100 100
100 100 100
MS Modifikasi Air MS MS1/2 MS Modifikasi
0 100 100 100
20 100 100 100
Eksplan yang dikapsul pada media MS ½ yang diinkubasi pada air berhasil tetap hidup tetapi
gagal menumbuhkan tunas dan menembus kapsul alginat. Semua kapsul yang diinkubasi pada air
tunasnya gagal menembus kapsul. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang dilarutkan dalam media
inkubasi mendukung proses pertumbuhan buku satu tunas gaharu.
Gambar 1. Pertumbuhan eksplan dalam kapsul alginate pada berbagai media inkubasi
Kapsul yang diinkubasi pada media yang berbeda menunjukkan perbedaan visual dari tunas
yang tumbuh. Tunas yang tumbuh pada media inkubasi MS modifikasi umumnya tidak
menunjukkan gejala vitrifikasi dan etiolasi. Tunas yang tumbuh dari kapsul yang diinkubasi pada
air, MS dan MS1/2 menunjukkan gejala adanya vitrifikasi (gambar 1).
Pada tabel 2 terlihat keragaman pertumbuhan eksplan dalam kapsul. Meskipun media yang
digunakan tidak ditambahkan zat pengatur tumbuh sitokinin, ternyata beberapa eksplan pada
kapsul dengan media MS yang diinkubasi pada media MS ½ mampu membentuk tunas adventif.
air Ms mod
Ms 1/2 Ms
62 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tunas adventif terbentuk pada tunas yang tumbuh pertama. Hal ini disebabkan karena eksplan
yang digunakan adalah buku satu tunas in vitro yang juvenil dengan daya regenerasi yang masih
tinggi.
Tabel 2. Pertumbuhan tunas gaharu pada berbagai media pelarut gaharu dan berbagai media inkubasi Pelarut
Alginate Larutan inkubasi
Tinggi tunas (mm)
Jumlah daun
Jumlah buku
Jumlah tunas
Air Air MS MS1/2 MS Mod
- 17,6 14,8 7,17
- 3,2 3,4 1,0
- 2,2 2,4
0,67
- 1,0 0,4 0,7
MS Air MS MS1/2 MS Mod
- 8,8
18,17 11,2
- 2,4
2,83 2,0
- 1,6
1,83 1,4
- 1,0 1,5 0,8
MS1/2 Air MS MS1/2 MS Mod
4*
11,6 14,4 8,8
0*
2,4 2,8 1,6
0*
1,8 1,8 0,8
0*
1,0 1,0 1,0
MS Mod Air MS MS1/2 MS Mod
4*
16,0 16,0 15,2
0*
3,0 3,0 3,2
0*
2,0 2,4 2,2
0*
1,0 1,0 1,0
Keterangan : - eksplan mati - * eksplan gagal tumbuh dan menembus kapsul - MS mod = MS modifikasi
Penggunaan media yang berbeda dalam kapsul mengakibatkan perbedaan pertumbuhan tunas
yang terbentuk. Pertumbuhan tinggi tunas tertinggi (18,17 mm) diperoleh dari biakan yang dikapsul
dalam media MS yang diinkubasi dalam media MS1/2, tetapi tunas ini menunjukkan gejala etiolasi
yang ditunjukkan dengan panjang ruas antar buku dari tunas tersebut (Tabel 2).
Tunas yang tumbuh dalam kapsul yang dilarutkan dalam media MS modifikasi umumnya
menunjukkan pertumbuhan yang baik pada semua media inkubasi, dimana tinggi tunas relatif
tinggi dan tidak terlihat gejala etiolasi. Hal ini menunjukkan bahwa nutrisi yang terdapat di dalam
matrik kapsul lebih mempengaruhi pertumbuhan tunas daripada nutrisi yang terlarut dalam media
inkubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Anand dan Bansal (2002) pada kapsul tunas vasaka
yang menyatakan bahwa nutrisi didalam matrik kapsul lebih berperan dari pada nutrisi pada media
inkubasi
63 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
IV. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Buku satu tunas dari tunas in vitro gaharu dengan ukuran 4-5 mm dapat tetap hidup dalam
kapsul alginate 2%. 2. Media pelarut alginate terbaik adalah media MS modifikasi dimana tunas yang disimpan pada
media ini dapat menembus kapsul mulai minggu ke 5 setelah inkubasi dan tidak menunjukkan gejala vitrifikasi.
3. Media inkubasi kapsul alginate air tidak baik digunakan untuk menginkubasi kapsul walaupun alginate dilarutkan dalam media MS, 1/2MS atau MS modifikasi
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M, E. Piccioni and A Standardi. 1999. Effect of different treatments on the convertion seeds to whole plants following encapsulation of in vitro derived buds. New Zealand J. of crops and horticultural science.
Anand Y and Y K Bansal. 2002. Synthetic seeds. A novel approach of in vitro plantlet formation in vasaka (Adhatoda vasica Nees). Plant Biotechnology. 19(3):159-162
Chakraburty, K.; A. Kumar dan V. Menon. 1994. Trade in agarwood. TRAFFIC India and WWF India Publications New Delhi
Chand, S and AK Singh. 2004. Plant regeneration from encapsulated nodal segments of Dalbergia sissoo Roxb., a timber-yielding leguminous tree species. J. of Plant Physiol, 161 (2) : 237–243
Datta, K.B, B Kanjilal and D De Sarker. 1999. Artificial seed technology: Development of a protocol in Geodorum densiflorum (lam) Schltr-Anendangered orchid. http://144.16.79.155/currsci/apr25/articles27.htm
Hartadi, I. 1997. The hunt for gaharu. Gaharu, a rare commodity already on Appendix II of CITES, is still collectead in large quantity. Concervation Indonesia Vol. 13 (2) Industrial Hidupan Liar (The Wildlife Industry). WWF. Jakarta
Isnaeni, Y dan J Situmorang. 2005. Aplikasi bioteknologi untuk pengembangan tanaman gaharu (Aquillaria spp.) di Indonesia (Studi kasus: Perkembangan Penelitian Gaharu di Seameo Biotrop)
Lopez, D.T. 1998. Malayan timbers for pencil manufacture. The Malaysian Forester 41(1):17-24. Mandal J., S Pattnaik and P K. Chand. 2000. Alginate encapsulation of axillary buds of Ocimum americanum L. (heary
basil), O. basilicum L. (sweet basil), O. gratissimum L. (shrubby basil) and O Sanctum L. (sacred basil). In vitroCellular and Development Biology-Plant. 36(4):287-292
Micheli, M, A. Standardi, P Dell’Orco and M Mencuccini. 2002. Preliminary Studies on the synthetic seed and encapsulation technologies . Valenziano, October 30
Minh T V. 2004. Using protocorm like body via embryogenesis culture for development of agarwood (Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte) in Vietnam.www.agri.cmu ac th/biotech 2004/
Ng, L.T.; Y.S. Chang and A.A. Kadir. 1997. A review on Agarwood (Gaharu) Producing Aquilaria Species Oldfield, S.; C. Lusty and A. MacKinven. 1998. The word list of threatened trees. World Conservation Monitoring
Centre. World Conservation Press Cambridge. Peters, M.C. 1996. Observation onten sustainable exploitation of non-timber tropical forest product: An ecologists
perpecstive. Pp.19-39 dalam Current issues in non timber forest products research. M.R. Perez. & J.E.M. Arnold (Eds.). CIFOR-ODA. Jakarta
Saaiprassad, G U S. 2001. Artyificial Seeds and their Application. Resonance May 2001. http://www.ias.ac.in/resonance/May2001/May2001p39-47.html
Shyun, C.Y. 1997. Gaharu. FRIM in focus. The forest Research Institute Malaysia, January. 1997. Kuala Lumpur. Soneji, J., F Rao and M Mhatre. 2002. Germination of synthetic seeds of pineapple (Ananas comosus L. Merr). Plant
Cell Reports. 20(10):891-894 Standardi, A and E Piccioni. 1998. Recent perspectives on synthetic seed technology using non embryogenic in vitro
derived explants. Int. J. of Plant Science. 159:968-978
64 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Susilo, K.A. 2003. Budidaya Gaharu dan Masalahnya. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 48 h. Tunggal, N. 2010. Gaharu Buatan Balitbang Kehutanan. Kompas.com. Jumat, 9 April 2010 | 09:37 WIB
65 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)
Toni Herawan
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Email : t_herawan64@yahoo.com
ABSTRAK
Cendana (Santalum album L.) merupakan salah satu tanaman yang bernilai ekonomi tinggi bagi Indonesia khususnya di Nusa Tenggara Timur. Namun populasi alami tanaman tersebut cenderung menurun dan penyediaan bahan tanaman secara konvensional sulit dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk memperbanyak tanaman cendana secara in-vitro melalui teknik kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik. Tulisan ini merupakan review dari beberapa penelitian kultur jaringan cendana yang dilaksanakan secara kultur tunas aksiler dan embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Eksplan yang digunakan pada penelitian kultur tunas aksiler berupa tunas-tunas dari semai umur 1 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Semai berasal dari 4 klon. Penelitian terdiri atas 3 tingkat induksi; multiplikasi; dan perakaran. Hasil penelitian setelah 1 bulan menunjukkan bahwa media MS ditambah 0,5 mg/l BAP dan 0,01 mg/l NAA didapat rata-rata persentase induksi mencapai 78,38 %, kemudian pada tahap multiplikasi dilakukan pemindahan berulang setiap bulannya pada media MS ditambah BAP 1 mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, setelah pemindahan/sub-kultur ke-4 diperoleh rata-rata jumlah tunas 13,2 tunas/tabung dan rata-rata panjang tunas 2,7 cm. Pada penelitian selanjutnya yaitu tahap perakaran menggunakan tunas cendana hasil perbanyakan pada tahap sebelumnya . Penelitian menggunakan media ½ MS; ½ WPM, dan ½ GD, serta penggunaan Kinetin pada berbagai tingkat konsentrasinya (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) pada pengembangan perakaran cendana. Hsil penelitian perakaran diperoleh data bahwa media dasar ½ MS serta penggunaan ZPT IBA 20 mg/l ditambah IAA 1 mg/l , serta perlakuan konsentrasi kinetin 0,75 mg/l memberikan respon terbaik terhadap pertumbuhan dan perkembangan akar cendana. Pada tahap pra aklimatisasi bahan tanaman yang digunakan adalah plantlet cendana hasil kultur tunas aksiler berumur 3 bulan (tinggi tanaman ± 5 cm, jumlah daun lebih dari 5, panjang akar primer lebih dari 3 cm, belum terdapat akar sekunder), sebagai tanaman inang digunakan tanaman krokot merah (Alternanthera sp). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal 6 faktor perlakuan, yaitu pasir, sekam, arang sekam, pasir-sekam, pasir-arang sekam, sekam-arang sekam, dan tiga ulangan. Penelitian dilakukan di rumah kaca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata dari semua media semai yang digunakan terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi, akan tetapi bila ditinjau dari perkembangan akar sekunder menunjukkan bahwa media pasir paling baik responnya terhadap pembentukan akar sekunder cendana pada fase pra aklimatisasi. Plantlet hasil pra-aklimatisasi dipindah dalam media top soil : pupuk kandang : pasir = 3 : 1 : 1. Pada penelitian embriogenesis somatik eksplan yang digunakan yang pertama adalah daun cendana hasil perbanyakan melalui kultur tunas aksiler, yang kedua daun cendana dari kebun pangkas umur 3 tahun yang diisolasi di rumah kaca. Kalus embrionik yang berasal dari kultur tunas aksiler pertama lebih cepat tumbuh, rata-rata 3 bulan kalus sudah terinduksi pada kondisi suhu 2500C, kelembaban 67 % , dan intensitas cahaya 0 % , ciri-ciri kalus embrionik berwarna putih mengkilat dan teksturnya remah. Setelah di sub-kultur beberapa kali ke media tahap pembentukan embrio somatik sekunder dalam kondisi suhu 2500C, kelembaban 69-70 %, dan intensitas cahaya 150 lux jumlah kalus berlipat ganda dan mulai tumbuh fase hati (heart) dan fase torpedo. Pada tahap perkecambahan yang menggunakan media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,1 mg/l media ditempatkan pada kondisi suhu 2600C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 1700-2000 lux.
Kata kunci : Santalum album, eksplan, multiplikasi, aklimatisasi, embriogenesis somatik
66 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
I. PENDAHULUAN
Cendana merupakan tanaman asli Indonesia khususnya tumbuh dan berkembang secara
alami di wilayah Nusa Tenggara Timur yaitu di Pulau Sumba, Pulau Flores, Pulau Timor, Pulau
Alor, Pulau Solor, Pulau Pantar, Pulau Lomblen, Pulau Adonara, Pulau Rote, dan menyebar di
pulau-pulau kecil lainnya. Dibandingkan dengan tanaman cendana yang ada di Australia dan India,
tanaman cendana yang tumbuh alami di NTT mempunyai kualitas kayu dan kandungan kadar
santalo yang paling baik.
Sejak jaman dahulu tanaman cendana khususnya kayu dan minyaknya banyak digunakan
untuk upacara-upacara adat dan upacara kematian. Disamping itu kayunya digunakan untuk bahan
baku kerajinan seperti patung, gagang keris, tasbih, rosario, kipas, dsb. Sedangkan minyaknya
digunakan untuk parfum, farmasi, dan kosmetik.
Dengan berbagai kelebihan tersebut di atas cendana dimasukan ke dalam golongan kayu
mewah, karena baik kayu dan minyaknya memiliki harga yang tinggi baik di pasaran domestik
maupun di pasaran internasional. Dengan kekhasan dan nilai ekonomi yang tinggi tersebut pada
awalnya tanaman cendana memberikan sumbangan devisa yang cukup tinggi bagi negara dan
memberikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling tinggi bagi NTT.
Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu cendana umumnya diperoleh dari tegakan alam
yang menyebar di berbagai pulau di wilayah NTT, lambat-laun keberadaan tanaman cendana di
pupulasi alaminya semakin menyusut, ditambah lagi dengan semakin maraknya pencurian kayu
cendana untuk memasok kebutuhan kayu cendana secara illegal, kebakaran hutan, dan kekeringan
yang berkepanjangan, semakin lengkap sudah kerusakan hutan tanaman cendana.
Upaya-upaya pembuatan hutan tanaman cendana masih belum mendapat perhatian yang
memadai. Program penanaman cendana masih dilakukan pada luasan areal yang sempit, sehingga
ratio antara laju eksploitasi cendana di populasi alam cenderung lebih cepat dibandingkan dengan
upaya penaman kembali. Tingkat keberhasilan tanaman cendana yang dibangun di wilayah NTT
kurang dari 30 %. Dengan laju eksploitasi yang sangat cepat dan pencurian yang sulit untuk
dihindarkan, maka lengkap sudah kehancuran tanaman cendana di NTT. Dengan demikian candana
saat ini sudah dalam kondisi rawan dan hampir punah.
Di Indonesia tanaman cendana termasuk salah satu tanaman yang dilindungi karena
keberadaannya yang hampir punah. Faktor-faktor penyebab langkanya cendana antara lain karena
adanya 1). Keengganan masyarakat untuk menanam cendana karena adanya peraturan daerah yang
tidak mendukung; 2). Penebangan liar; 3). Pencurian; 4). Kebakaran hutan, dan 5). Persyaratan
hidup tanaman cendana yang rumit.
67 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Dengan kondisi yang demikian maka perlu dilakukan langkah trobosan untuk melakukan
penyediaan bibit tanaman cendana secara besar-besaran. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan melakukan pembiakan generatif tanaman cendana melalui biji, akan tetapi dengan
kelangkaan tanaman cendana saat ini akan menyulitkan dalam mendapatkan benih cendana dengan
kuantitas dan kualitas yang memadai.
Cendana merupakan jenis yang daya regenerasi yang tinggi, hal ini terbukti bahwa pada
individu dewasa apabila terjadi pelukaan atau adanya akar yang putus, akan segera tumbuh dan
berkembang anakan baru yang muncul dari dalam tanah dimana induk cendana tersebut tumbuh.
Disamping itu dari pangkasan cendana akan menghasilkan trubusan yang banyak. Dengan
demikian pendekatan propagasi tanaman cendana merupakan solusi yang terbaik.
Teknik propagasi tanaman cendana melalui stek pucuk dan stek akar sudah lama dilakukan,
akan tetapi sampai saat ini keberhasilannya masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
telah dikembangkan teknik pembiakan vegetatif secara kultur jaringan yaitu dengan teknik kultur
tunas aksiler dan teknik embriogenesis somatik di Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta.
I. PERBANYAKAN KLON CENDANA (Santalum album L) MELALUI KULTUR
JARINGAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorim kultur jaringan Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan
Pemuliaan Tanaman Hutan Purwobinangun, Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan selama 6
bulan, mulai bulan Maret – Agustus 2004.
B. Bahan
Bahan-bahan yg digunakan dalam penelitian ini antara lain :
1. Eksplan
Eksplan yg digunakan berupa seedling cendana umur 1 tahun yg berasal dari 4 klon
yang berbeda, yaitu klon 1118 yang berasal dari Haunobenak, Kec. Amanuban Tengah,
Kabupaten TTS, NTT; klon 4416 berasal dari Pailelang, Kec. Alor Barat Daya, Kab. Alor,
NTT; klon 5507 yang berasal dari Werena, Kec. Wewewa Barat, Kab. Sumba Barat, NTT;
dan klon 5529 yang berasal dari Rudamata, Kec. Laramata, Kab. Sumba Barat, NTT.
2. Media dasar dan Zat Pengatur Tumbuh
68 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Kegiatan yg dilakukan dalam penelitian ini adalah tahap induksi dan multiplikasi
(perbanyakan tunas). Pada tahap induksi media dasar yang digunakan media MS
(Murashige dan Skoog), kemudian ZPT yg digunakan dari golongan auksi adalah BAP
(Benzyl-amino-purine) 1 mg/l ditambah ZPT auksin adalah NAA (Napthalene-acetik-acid)
dengan konsentrasi 0,1 mg/l. Sedangkan pada tahap multiplikasi media dasar yang
digunakan MS, kemudian ZPT yg digunakan dari golongan sitokinin adalah BAP 0,5 mg/l
dan ZPT dari golongan auksin adalah NAA dengan konsentrasi 0,01 mg/l.
3. Alat
Alat yg digunakan untuk menunjang penelitian kultur jaringan cendana diantaranya
oven, timbangan analitik, autoclave, laminar air flow cabinet, gunting, pinset, scalpel, dll.
C. Pelaksanaan Penelitian
Seedling dari ke-4 provenans yg diisolasi di rumah kaca dipangkas. Hasil pangkasan
umur 1 bulan dapat digunakan sebagai sumber eksplan. Eksplan yg digunakan berukuran ±
7 Cm. Eksplan kemudian disterilisasi dengan prosedur sbb eksplan direndam larutan
fungisida Dithane-M.45 1 g/l selama 15 menit, eksplan direndam larutan detergent, di
dalam laminar eksplan dibilas aquadest steril 3 x, selanjutnya direndam larutan ethanol
teknis 70 % selama 1 menit, direndam larutan sodium hpoklorit 1,5 % selama 5 menit,
dibilas larutan aquadest steril 3 x, dan sebelum ditanam dalam media MS eksplan dipotong-
potong menjadi ukuran 3-5 cm, kemudian diinduksi dalam media yg telah disiapkan.
D. Rancangan Penelitian
Penelitian ini berlangsung 2 tahap, tahap pertama merupakan tahap induksi dan tahap
kedua tahap multiplikasi. Tahap induksi merupakan percobaan yang terdiri dari faktor klon.
Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf, yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon.
5529. Masing-masing klon menggunakan sampel penelitian dengan jumlah yg berbeda.
Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah persentase induksi.
Pada tahap multiplikasi faktor perlakuannya Klon, Faktor klon ini terdiri dari 4 taraf,
yaitu Klon No. 1118, Klon 4416, Klon. 5507, Klon. 5529. Masing-masing klon
menggunakan 5 sampel. Parameter yg diukur dalam penelitian ini adalah jumlah tunas dan
panjang tunas.
E. Analisa Data
69 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Hasil penelitian selanjutnya dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)
pada rataf uji 5 %, bila ada beda nyata dilakukan uji lanjutan menggunakan Uji Jarak Ganda
Duncan (Duncan Multiple Range Test) (DMRT).
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tahap Induksi
Pada tahap ini eksplan dikulturkan dalam media MS. Eksplan diinkubasi dalam kondisi
terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam pada suhu ruang kultur ± 24oC, kelembaban
antara 60 – 80 % dengan intensitas cahaya sebesar 2000 – 3000 lux. Setelah dikulturkan selama ± 1
bulan diperoleh hasil induksi seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS No. Klon Jumlah
sampel Jumlah Induksi
Jumlah Kontaminasi
Jumlah mati/kering
1118 6 5 - 1 4416 12 10 2 - 5507 10 8 - 2 5529 9 6 - 3
Jumlah 37 29 2 6 Persentase
(%) 78,38 5,4 16,2
Hasil induksi menunjukkan bahwa persentase induksi mencapai 78,38 %, hal ini
menunjukkan bahwa media MS dan ZPT yg digunakan sesuai untuk menginduksi tunas Cendana.
Besarnya kontaminasi dalam penelitian ini cukup kecil yaitu hanya 5,4 %. Kondisi ini
dimungkinkan karena sebelum diinduksi eksplan yg berasal dari seeedling cendana mengalami
isolasi di rumah kaca dengan lingkungan yang bersih, sehingga kotoran baik dari udara maupun yg
dibawa oleh serangga dapat dikendalikan dan diperkecil. Sampel yang kering dan mati mencapai
16,2 %, hal ini disebabkan oleh faktor kekeringan yg mengakibatkan kematian. Kematian juga
disebabkan oleh kondisi eksplan yg digunakan yaitu berasal dari umur trubusan yg masaih terlalu
muda, sehingga jaringan eksplan tidak tahan terhadap kadar alkohol dan sodium hypochlorit pada
saat sterilisasi.
Hasil penelitian induksi Cendana selengkapnya tertera pada Gambar 1 dan 2.
70 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Gambar 1. Hasil Induksi Cendana dalam Media MS
Gambar 2. Grafik Hasil Induksi Cendana Dalam Media MS
2. Tahap Multiplikasi
Pada tahap ini tunas-tunas hasil induksi dikulturkan dalam kondisi lingkungan yg sama
seperti pada tahap induksi. Kriteria tunas yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari hasil
induksi dengan kondisi tunas yang sehat, subur, juvenil, dan ukuran maksimal. Hasil multiplikasi
tunas Cendana dalam media MS setelah 4 minggu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Multiplikasi Cendana Dalam Media MS No Klon No Botol
/Sampel Jumlah Tunas Panjang Tunas
Rata-rata (Cm) 1 13 3,5 2 14 3
1118 3 10 3 4 6 3,5 5 11 5 1 6 1,5 2 13 2,5
4416 3 10 3 4 8 2,5
71 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
5 7 3 1 12 2 2 12 3,5
5507 3 25 1 4 15 2 5 40 1,5 1 5 2 2 27 2,5
5529 3 4 3,5 4 10 2,5 5 16 3
Rata-Rata 13,2 2,7
Pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa produksi/jumlah tunas rata-rata mencapai 13,2
tunas/botol dengan panjang tunas rata-rata 2,7 cm. Ke-4 klon yg diuji pada tahap ini
menghasilkan respon yg berbeda sebagaimana terlihat pada Gambar 3 dan 4.
Gambar 3. Hasil Multiplikasi Cendana pada media MS
Gambar 4. Grafik Tahap Multiplikasi Cendana Pada Media MS
72 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon pada tahap multiplikasi maka dilakukan
analisis varians terhadap jumlah dan panjang tunas yang hasilnya tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Varian Pada Tahap Multiplikasi Sumber Variasi DB JK KT F hitung Jumlah tunas Klon 3 417,6 139,2 2,22 ns
error 16 1001,6 62,6 Total 19 1419,2 Panjang Tunas Klon 3 6,700 2,233 3,97 s
error 16 9,000 0,563 Total 19 15,700
Keteranga : ns = tidak beda nyata pada taraf uji 5 % s = beda nyata pada taraf uji 5 %
Hasil analisis varian pada tahap multiplikasi menunjukkan bahwa faktor klon tidak
berpengaruh nyata pada produksi/jumlah tunas yang dihasilkannamun berbeda nyata pada panjang
tunas yg dihasilkan. Untuk mengetahui pengaruh masing-masing klon terhadap panjang tunas yang
dihasilkan dilakukan pengujian DMRT, yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji DMRT Faktor Klon Terhadap Panjang Tunas Nomor Klon N Rata-rata (cm) Pengelompokan
1118 5 3,60 B 4416 5 2,50 AB 5507 5 2,00 A 5529 5 2,70 AB
Catatan : taraf uji 5 %
Hasil uji DMRT pada Tabel 5. menunjukkan bahwa Klon 1118 berbeda nyata dengan ke-3
klon yang diuji yaitu klon 5507, 5529, dan 4416. Klon 1118 memiliki karakter pembentukan
panjang tunas yang berbeda besarnya dibandingkan ke-3 klon lainnya. Pencermatan terhadap klon
yang memiliki karakter tertentu dan bermanfaat pada proses fase pertumbuhan tertentu akan
berguna dalam menghasilkan klon dengan tingkat organogenetik optimal.
Beberapa faktor yg mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis tanaman pada teknik
kultur jaringan adalah genotipe, media (termasuk di dalamnya ZPT), lingkungan dan fisiologi
jaringan (George, 1993). Namun diantara faktor tersebut yang memiliki pengaruh cukup besar
terhadap munculnya keragaman adalah faktor genotipe. Analog dengan penelitian sebelumnya
(Kharisma dan Setiadi, 2002) menyebutkan bahwa sumber benih dari pohon yang berbeda
73 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kualitas bibit cendana. Variasi atau keragaman yang
muncul dari masing-masing klon menunjukkan bahwa sumber (asal-usul) klon memiliki potensi
geneti yang berbeda. Zobel dan Talbert (1984) menjelaskan bahwa tingkat variasi dapat muncul
oleh karena letak geografis, antar tapak, antar pohon serta di dalam pohon dengan faktor penyebab
utama yang berbeda. Klon yang diuji dikoleksi dari tempat tumbuh yang memiliki perbedaan faktor
edaphis dan klimatis yang berbeda, sehingga sangat berperan besar menghasilkan individu-individu
yang memiliki keragaman genetik.
3. KESIMPULAN
1. Eksplan dari seedling hasil pangkasan yg bersifat juvenil memberikan respon yg baik terhadap
keberhasilan induksi.
2. Multiplikasi tunas cendana dengan cara sub-kultur berulang mampu meningkatkan tunas
majemuk.
II. PENGARUH JENIS MEDIA DAN KONSENTRASI ZAT PENGATUR TUMBUH KINETIN TERHADAP PERAKARAN CENDANA (Santalum album).
A. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh berbagai media ( ½ MS; ½ GD; dan ½ WPM) dan
berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l) serta kombinasinya terhadap
perkembangan perakaran Cendana.
B. BAHAN DAN METODE
Bahan tanaman yg digunakan dalam penelitian ini adalah tunas hasil multiplikasi dimana eksplan
yg dipakai pada tahap induksi diambil dari pohon cendana umur 14 tahun yg ditanam di Arboretum
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (BBPBPTH) Yogyakarta.
Media yang digunakan ½ MS (Murashige & Skoog); ½ GD (Greshoff & Doys); dan ½ WPM
(Woody Plant Medium), pada media ditambahkan berbagai konsentrasi ZPT Kinetin (Furfuril-
amino-purine) : 0; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1 mg/l, ZPT IBA (Indole-butyric-acid) 20 mg/l dan ZPT
IAA (Indole-butyric-acid) 1 mg/l. Tiap perlakuan terdiri dari 20 sampel uji, dengan demikian
sample uji yang dibutuhkan sebanyak 3 x 5 x 20 = 300 sampel uji. Data selanjutnya dianalisis
menggunakan analisis varian (ANOVA), apabila ada beda nyata data dianalisis lebih lanjut
menggunakan Uji Jarak Ganda Dari Duncan (Duncan Multiple Range Test (DMRT). Data yang
diamati adalah pertumbuhan kalus dan perkembangan perakaran.
74 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tunas-tunas terpilih dan juvenile dengan panjang ± 5 cm, selanjutnya diinkubasi awal selama 2 hari
dalam kondisi gelap pada suhu ± 24oC dan kelembaban 60 – 70 %, selanjutnya diinkubasi dalam
kondisi terang dengan penyinaran lampu TL selama 16 jam/hari pada suhu ± 24oC dan kelembaban
60 – 70 %. Hasil pengamatan selama 3 bulan dari 300 sampel yg diuji, sebanyak 150 sampel
tumbuh kalus. Menurut Gaspar dan Coumans (1994) menjelaskan bahwa induksi akar, inisiasi
primordial akar dan pemanjangan akar memerlukan kondisi kultur yg berbeda dalam hal penelitian
ini kondisi gelap dan kondisi dengan penyinaran (terang). Perakaran dalam kultur jaringan secara
luas diperkuat oleh perubahan-perubahan kondisi setelah induksi akar. Intensitas sinar yg rendah
dan temperatur yg rendah digunakan untuk proliferasi tunas dan juga untuk perakaran dengan
harapan dpt diperoleh respon perakaran yg optimal. Masa inkubasi dalam ruang gelap (8-10 hari)
sangat membantu dalam memacu perkembangan perakaran.
Setelah diinkubasi selama 3 bulan, dari ke 15 kombinasi perlakuan yang diuji memberikan respon
yang berbeda terhadap perkembangan perakaran. Respon terendah sebesar 5 % pada media ½ GD +
0 mg/l Kinetin. Respon terbaik sebesar 60% pada media ½ MS + Kinetin 0,75 dan 1 mg/l dan
media ½ WPM + Kinetin 0,75 mg/l. Hasilnya dapat dilihat pada Grafik Pengaruh Interaksi Media
dan ZPT Kinetin terhadap perakaran Cendana setelah 3 bulan dapat dilihat pada Gambar dibawah
ini.
Pada penelitian ini pengamatan pertumbuhan akar dilakukan selama 3 bulan, dengan demikian
analisis varian untuk mengetahui besarnya variasi atau besarnya respon perlakuan terhadap
perakaran tunas cendana dilakukan dari hasil pengamatan terakhir pada bulan ke-3 sebagaimana
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Varian Perkembangan Akar Cendana Pada Bulan Ke-3. Sumber Variasi
db jk kt F hitung Pr>F
Perlakuan 14 58,9466 4,2104 10,10** 0,0001 Media 2 4,8866 2,4433 5,86** 0,0032 Kinetin 4 26,3800 6,5950 15,82** 0,001 MediaxKinetin 8 27,6800 3,4600 8,30** 0,001 Error 285 118,8000 0,4168
Total 299 177,7466
Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada taraf uji 1 %
75 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Hasil analisis varian pada Tabel 1. terlihat bahwa Media, ZPT Kinetin, dan interaksinya
berpengaruh sangat nyata terhadap perakaran Cendana. Selanjutnya untuk membandingkan antar
perlakuan dilakukan uji DMRT pada Tabel 2.
Hasil uji DMRT pada Tabel 2. memperlihatkan bahwa kombinasi perlakuan media ½ MS + 0,75
mg/l Kinetin adalah yg terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana.
Tabel 2. Uji DMRT Faktor Media + Konsentrasi ZPT Kinetin Terhadap Perkembangan akar Cendana Media +Konsentrasi
Kinetin N Rata-rata Pengelompokan
½ MS + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,600 A 1/2GD + 0,25 mg/l Kinetin 20 4,600 A ½ WPM + 1 mg/l Kinetin 20 4,550 AB ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,500 ABC ½ MS + 1 mg/l Kinetin 20 4,350 ABCD ½ MS + 0,5 mg/l Kinetin 20 4,200 ABCD ½ GD + 1 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ GD + 0,50 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ GD + 0,75 mg/l Kinetin 20 4,100 BCDE ½ WPM + 0 mg/l Kinetin 20 4,050 CDE ½ WPM + 0,50 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ MS + 0 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ MS + 0,25 mg/l Kinetin 20 3,900 DE ½ WPM + 0,25 mg/l Kinetin 20 3,650 E ½ GD + 0 mg/l Kinetin 20 2,800 F
Catatan : huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf uji 5 %.
Menurut Gunawan (1987), keberhasilan penggunaan metode kultur jaringan sangat
tergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya
unsur hara makro dan unsur hara mikro, akan tetapi karbohidrat yang pada umumnya berupa gula
untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari athmosfir melalui proses fotosintesis.
Gunawan melaporkan juga bahwa media yang digunakan untuk menginduksi akar penggunaan
larutan garam-garam makro dengan konsentrasi rendah lebih baik daripada larutan garam-garam
makro dengan konsentrasi tinggi. George (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa auksin yg
cukup tinggi yaitu IBA 20 mg/l ditambah sitokinin dengan berbagai tingkat konsentrasi yg rendah,
secara umum dapat memberikan respon yang maksimal terhadap perakaran. Ternyata lebih dari 1
kombinasi perlakuan ZPT cenderung memberikan respon atau hasil perakaran yang optimal.
76 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
D. KESIMPULAN
Media ½ MS ditambah kombinasi ZPT IBA 20 mg/l + IAA 1 mg/l dan Kinetin 0,75 mg/l
memberikan respon terbaik terhadap perkembangan perakaran Cendana.
III. TEKNIK AKLIMATISASI KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album Linn.)
Plantlet hasil kultur jaringan sering sangat sulit untuk langsung dipelihara pada kondisi
lapangan karena masih sangat peka, sehingga perlu ada tahap aklimatisasi atau penyesuaian untuk
menghadapi kondisi lingkungan yang lebih sulit bagi calon tanaman yang masih lemah tersebut.
Untuk tanaman kehutanan, pada umumnya aklimatisasi dilakukan dengan dua tahap, yaitu pertama
aklimatisasi dari media agar (dalam botol) ke media tanah dalam rumah kaca (greenhouse), dan
yang kedua aklimatisasi dari kondisi greenhouse ke kondisi persemaian di lapangan.
Aklimatisasi tahap pertama dimaksudkan supaya plantlet dapat beradaptasi dari kondisi di
lingkungan kultur ke kondisi di luar kultur dalam hal ini kondisi di rumah kaca dengan tetap
menjaga supaya kondisi lingkungan antara lain suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya tetap
terkontrol. Pada media tanah tersebut diharapkan sistem perakaran akan tumbuh lebih baik, serta
calon tanaman tumbuh lebih baik dan lebih kokoh. Aklimatisasi tahap kedua dimaksudkan supaya
tanaman secara bertahap dapat beradaptasi dengan kondisi suhu udara, kelembaban, dan intensitas
cahaya di lapangan yang tidak dapat dikontrol.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada aklimatisasi, antara lain :
- Plantlet harus bersih dari media agar yang menempel,
- Hindari penggunaan fungisida, kecuali bila terpaksa harus dilakukan secara hati-hati,
- Apabila perlu, ujung plantlet dapat dicelupkan pada serbuk atau larutan zat pengatur tumbuh
untuk pertumbuhan akar,
- Penurunan kelembaban dan peningkatan intensitas cahaya harus dilakukan secara bertahap supaya
tanaman tidak stress. Untuk skala besar digunakan greenhouse yang dilengkapi dengan alat
pengabutan dan pengontrol ventilasi.
Urutan kegiatan pada aklimatisasi cendana adalah sebagai berikut :
1. Menyaring top-soil, pupuk kandang/kompos , dan pasir yang akan digunakan.
2. Mencampur media dengan perbandingan top-soil:pupuk kandang/kompos:pasir = 3:1:1.
3. Media yang telah dicampur dimasukkan dalam polybag.
4. Polybag yang sudah berisi media, plantlet yang masih dalam botol, dan bibit krokot
(Crotalaria juncea) sebagai tanaman inang primer dibawa ke dalam greenhouse.
77 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
5. Plantlet dikeluarkan dari botol, dibersihkan dari media agar yang menempel, disterilisasi
dalam larutan fungisida konsentrasi 1 gram/liter, kemudian dibilas dengan air bersih.
6. Plantlet dan krokot ditanam dalam satu polybag, kemudian disungkup menggunakan plastik
bening.
7. Pemeliharaan plantlet dilakukan dengan cara menjaga kelembaban dan temperatur udara di
dalam sungkup. Kelembaban harus dipertahankan tetap tinggi (diatas 90%), apabila
kelembaban menurun dilakukan pengabutan dengan cara penyemprotan air menggunakan
sprayer. Temperatur udara didalam sungkup dipertahankan tidak terlampau tinggi
(maksimum 25°C), apabila terlampau tinggi, sungkup dibuka sebagian agar temperatur
turun kembali.
8. Setelah bibit dalam polybag dipelihara di dalam greenhouse selama 1 bulan, sungkup
dibuka, kemudian 1 bulan kemudian bibit yang tumbuh dipindah ke bedengan-bedengan di
persemaian yang dinaungi dengan sungkup permanen supaya terhindar dari air hujan selama
penyapihan.
9. Untuk keperluan kebun pangkas, bibit di persemaian dipelihara dengan cara menyiram
secara kontinyu dan membersihkan gulma yang tumbuh. Apabila bibit sudah tumbuh
sampai tersedia 5-6 internodia, maka bibit siap dipangkas untuk diambil bahan stek pucuk.
10. Apabila bibit ditujukan untuk penanaman lapangan, tanaman inang sekunder yang berupa
Acacia vilosa harus ditanam terlebih dahulu di lapangan. Apabila tanaman inang sekunder
telah berumur 1 tahun atau fungsi naungannya sudah memadai baru bibit cendana ditanam
di sampingnya.
11. Bibit cendana yang siap tanam adalah bibit yang minimal telah mencapai tinggi 50 cm atau
telah berumur 1 tahun. Selama pemeliharaan di persemaian naungan plastik secara bertahap
dibuka, sampai bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan di luar atau di lapangan.
78 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tahap Aklimatisasi secara lengkap dapat dilihat dalam bagan dibawah ini :
Plantlet Cendana Aklimatisasi ke-1 (media pasir merapi)
Bibit cendana di persemaian Aklimatisasi ke-2 Siaptanam di lapangan umur (media top soil + pupuk organik/
± 1 tahun kompos + arang sekam + pasir) 3 : 1 : 1 : 1
A. MEDIA TANAM
Salah satu ciri media tanam yang baik adalah strukturnya gembur, sehingga akar tanaman
dapat tumbuh dengan baik. Dengan terpenuhinya faktor-faktor penting pada media tanam maka
pertumbuhan dan perkembangan tanaman tidak terhambat. Fungsi tanah dalam mendukung
kehidupan tanaman adalah memberikan unsur hara baik sebagai media perakaran maupun
menyediakan air, dan sebagai tempat bertumpu untuk tegaknya tanaman. Banyak cara yang
diusahakan oleh manusia untuk mempertahankan produktivitas tanah, diantaranya dengan
pemupukan.
Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media tanam
yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel akar
untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (Anonim, 1986). Struktur
tanah yang baik menjadi salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan akar bibit, maka tanah
dalam polybag diutamakan mengandung humus (bahan organik tinggi). Pada umumnya bibit
memerlukan tanah subur dengan struktur yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan akar
79 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
yang masih muda (Rinsema, 1983). Struktur tanah yang dikehendaki oleh tanaman adalah struktur
tanah yang gembur yang di dalamnya terdapat pori-pori yang dapat diisi oleh air dan udara.
Keuntungan media berstruktur gembur adalah udara dan air dapar bersirkulasi secara lancar,
temperatur stabil, sehingga menstimulir pertumbuhan jasad renik tanah yang memegang peran
penting dalam proses perombakan bahan organik di dalam tanah (Lingga, 1993).
Kompos merupakan hasil perombakan bahan organik segar dari tanaman atau daun-
daunan baik sengaja dibuat, atau dari timbunan sampah organik di tempat sampah, yang sudah
berwarna hitam, sudah tidak dapat dilihat serat aslinya, dan sudah tidak panas karena proses
dekomposisinya telah selesai. Kompos sangat baik digunakan sebagai pencampur media tanam,
karena dapat mempengaruhi kesuburan tanah terutama pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Kompos memperbaiki sifat fisik tanah melalui perubahan struktur, tekstur, dan peningkatan
porositas tanah. Selain itu, kompos juga mengandung unsur hara seperti N, P, K, Mg, Fe, Mn, S,
dan Cu sehingga memperbaiki sifat kimia tanah. Perbandingan C/N kompos rendah sehingga dapat
langsung digunakan untuk bahan media tanam. Jumlah populasi mikroorganisme tanah juga
meningkat akibat pemberian kompos (Suryadi, 1989).
Pasir merupakan media tanam yang berstruktur kasar tidak melekat, kapasitas air rendah,
dan penetrasi air cepat. Oleh karena itu, tanah berpasir memiliki drainase dan aerasi baik serta
biasanya sangat lepas. Karena kapasitas menahan airnya rendah, maka tanah pasir hanya baik
digunakan untuk media tumbuh selama akar belum dapat menyerap hara sendiri ( Hakim, 1989).
Media tanam pasir cukup baik bagi pertumbuhan akar karena sifatnya mudah basah dan cepat
kering. Untuk meningkatkan daya ikat air maka pasir perlu dicampur dengan media yang mampu
mempertahankan atau menyimpan air yang cukup, seperti tanah, kompos, atau arang sekam.
B. TANAMAN INANG
Cendana adalah tanaman yang bersifat hemiparasit. Akar-akarnya berhubungan dengan
akar-akar tanaman inang melalui organ yang disebut haustoria. Akar-akar ini menyalurkan zat
makanan yang diserap dari tanaman inang ke tajuk tanaman cendana. Zat yang diserap itu
kemudian diproses menjadi bahan nabati bagi pertumbuhan cendana. Sedangkan zat karbon yang
diperlukan dapat diusahakan sendiri (autotrop). Pada akar bibit cendana rambut-rambut akar sangat
terbatas sehingga langsung membutuhkan tanaman inang (inang primer dan inang sekunder)
(Sunanto, 1995).
80 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Soeriamihardja et al. (1991) menjelaskan bahwa pertumbuhan semai cendana akan lebih
baik bila disertai dengan tanaman inang. Bahkan menurut Sunanto (1995), akan lebih baik bila
tanaman cendana ditanam bersama-sama dengan inang dalam 1 lubang. Cendana tidak menuntut
adanya jenis tanaman inang tertentu. Namun tanpa adanya tanaman inang (hospes), maka
kehidupan cendana akan merana.
Dengan perakaran yang bercabang banyak, cendana dapat menyusu pada berbagai pohon
inang sekaligus. Menurut Kharisma et al. (1998), dalam pemilihan inang primer perlu diperhatikan
kemampuannya membantu pertumbuhan cendana antara lain : tajuk kecil, akar sukulen, tidak
terjadi persaingan, mudah didapat, tidak berumur pendek, dan toleran terhadap pemangkasan.
Meskipun dapat berinang pada banyak jenis tanaman atau pohon, namun berdasarkan pengalaman
tanaman inang primer (ketika masih dalam persemaian) yang paling baik bagi pertumbuhan
cendana adalah Alternanthera sp, Deamanthus virgatus, dan Crotalaria juncea. Sedangkan
tanaman inang sekunder (ketika sudah ditanam di lapangan) yang paling baik bagi pertumbuhan
cendana adalah Acacia villosa.
Jika hubungan antara cendana dengan tanaman inangnya intensif, maka tajuk cendana
menjadi rimbun, daunnya lebih besar dan berwarna hijau tua; namun jika tanaman inang kurang
cocok maka tajuk tanaman cendana tidak rimbun, daunnya kecil-kecil, berwarna kekuning-
kuningan dan klorosis.
Hubungan akar cendana dengan akar tanaman inang tampak jelas yakni adanya suatu
bangunan serupa dengan bintil akar berisi bakteri yang disebut dengan haustoria. Susunan anatomi
haustoria dari luar ke dalam adalah : epidermis, kortex, dan inti.
C. PENUTUP
Aklimatisasi dimaksudkan agar tanaman secara bertahap diadaptasikan terhadap
faktor-faktor lingkungan di lapangan. Salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman dan sering menjadi faktor pembatas adalah intensitas cahaya. Intensitas
cahaya adalah banyaknya energi cahaya yang diterima oleh tanaman per satuan luas per satuan
waktu. Intensitas cahaya matahari meningkat sejak pagi hari, dari minimum ke maksimum pada
siang hari dan kemudian menurun lagi pada sore harinya.
Untuk dapat mencapai pertumbuhan cendana yang baik dan optimal maka keberadaan
tanaman inang mutlak diperlukan. Keberadaan tanaman inang membantu tanaman cendana dalam
mensuplai air dan nutrisi yang lain. Dengan demikian kebutuhan air oleh tanaman cendana selain
81 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
diperoleh melalui kemampuan fisiologis sistem perakarannya dalam menyerap air, juga ditunjang
oleh kemampuannya menyerap air dari tanaman inang.
Pertumbuhan akar akan sempurna apabila didukung oleh aerasi dan drainase media
tanam yang baik. Sirkulasi dan ketersediaan udara yang memadai sangat dibutuhkan oleh sel-sel
akar untuk bernafas. Kekurangan oksigen akan menyebabkan kematian akar (root dieback).
Pengaturan yang berjalan lancar akan mendukung akar tanaman leluasa bernafas, memberi
kesempatan baik bagi akar untuk menyerap hara makanan dan menghindarkan akar dari serangan
penyakit busuk akar/busuk batang (Agoes, 1994).
IV. EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA CENDANA (Santalum album L.)
A. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan (B2PBPTH), Yogyakarta pada bulan September 2008
sampai Agustus 2009. Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan bagian daun berasal dari
tanaman umur 4 tahun klon nomor WS6 hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud
kultur yang sumbernya berasal dari Oenlasi, P. Timor, NTT yang ditanam dalam areal plot
konservasi genetik di Watusipat, Gunungkidul, dan eksplan daun dari kebun pangkas cendana umur
3 tahun yang berasal dari 4 klon, yaitu klon nomor C10 dan nomor C17 adalah klon-klon yang
berasal dari Dusun Candi, Karangmojo, Gunungkidul; klon WS8 adalah klon yang berasal dari
anakan alam yang tumbuh di Watusipat, Gunungkidul dan klon C5505 adalah klon cendana yang
berasal dari Desa Werena, Kecamatan Wewewa Barat, Kabupaten Sumba Barat, NTT.
Daun yang sudah dipilih disterilisasi larutan fungisida Antracol 70 WP selama 15
menit, kemudian dibilas air kran dan di sterilisasi larutan detergen selama 15 menit, lalu dibilas
larutan aquadest. Di dalam laminar eksplan di sterilisasi larutan alkohol 70 % selama 1 menit,
kemudian dibilas larutan aquadest steril, selanjutnya di sterilisasi larutan bayclean yang
mengandung sodium hipoklorit 1,5 % dan diberi 3 tetes larutan tween 20, setelah dibilas larutan
aquadest steril pinggiran daun diiris lalu dipotong menjadi 2 bagian dengan ukuran 0,5 – 1 cm2.
Potongan daun kemudian ditanam terbalik dalam media perlakuan induksi embrio somatik.
Sedangkan eksplan daun hasil perbanyakan tunas, tanpa tahap sterilisasi langsung ditanam dalam
media induksi embryogenesis somatik.
Pada tahap induksi embrio somatik digunakan 2 kelompok media, kelompok ke-1
untuk eksplan daun hasil perbanyakan tunas menggunakan teknik axillary bud kultur digunakan
a b
82 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
media MS + BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l + gula 30 g/l (MSC). Kelompok
ke-2 untuk eksplan daun yang berasal dari kebun pangkas, pada media MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15
mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (A); MS + 0,5 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air
kelapa 100 ml (B); MS + 1 mg/l 2,4 D + 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (C); MS + 1 mg/l 2,4 D
+ 0,15 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l + air kelapa 100 ml (D); Pada tahap pembentukan embrio
somatik sekunder digunakan 3 jenis media, yang pertama menggunakan media MS + 0,25 mg/l
2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l (CND); kedua menggunakan media MS + Kinetin 0,1
mg/l + Sucrosa 40 g/l (CND1); dan ketiga menggunakan media MS + Sucrosa 40 g/l (CND2). Pada
kelompok ke-2 tahap pembentukan embrio somatik sekunder digunakan 4 jenis media yaitu media
A; B; C; dan D. Pada tahap perkecambahan/pembentukan plantlet media yang digunakan MS +
BAP 1 mg/l + NAA 0,01 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Tahap perakaran digunakan media GD + 20
mg/l IBA + IAA 0,1 mg/l + Kinetin 0,15 mg/l. Pada media MS digunakan bahan pemadat berupa
agar-agar dengan konsentrasi 8 g/l, dan untuk media GD digunakan agar-agar sebanyak 12 g/l.
Kemudian pH media ditetapkan menjadi 5,6 -5,8 dengan menambahkan 1 N NaOH atau 1 N HCl
selanjutnya media dsterilisasi menggunakan autoclave pada suhu 121o C dan tekanan 1,5 Kg/Cm2
selama 20 menit. Daun yang telah ditanam kemudian diikubasi dalam ruang gelap dengan suhu 250
C , kelembaban 67 % dan intensitas cahaya 0 %.
Mulai fase globular (pro-embrio) sampai ke fase terbentuknya torpedo dianalisis
secara morfologis , antara lain : warna; struktur embrio; dll, dan analisis secara sitologis yaitu
identifikasi pada tahap pembentukan sel embriogenik menggunakan mikroscope.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Daun yang sudah disterilisasi lalu diiris dan dipotong dengan hati-hati karena pada
tulang daun terdapat jaringan pengangkut ( silem dan floem) yang akan memberikan respon
sehingga akan tumbuh kalus. Pada penelitian ini posisi daun yang ditanam dengan posisi dibalik
maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Penelitian ini dilakukan 2 tahap. Pada tahap pertama
eksplan daun ditanam dalam media MSC setelah diinkubasi pada kondisi gelap selama 3 bulan,
kalus globular mulai tumbuh, kemudian eksplan dipindah dalam media CND; CND1; dan CND2,
setelah diinkubasi di ruang gelap selama 3 bulan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1
berikut ini.
83 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Tabel 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu
Media Kode Persentase embrio somatik (%)
MS + 0,25 mg/l 2,4D + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l
CND 20
MS + 0,1 mg/l Kinetin + sucrose 40 g/l
CND1 15
MS + sucrose 40 g/l CND2 43
Grafik 1. Pengaruh Penggunaan ZPT 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik Sekunder dari Eksplan Daun Cendana Setelah 12 Minggu
05
1015202530354045
Pers
enta
se E
mbr
io S
omat
ik
(%) Media CND
Media CND1Media CND2
Hasil sub kultur kedua untuk meningkatkan pembentukan embrio somatik sekunder
menunjukkan bahwa kalus yang dipindah ke media CND2 ( media MS dengan sucrosa 40 g/l tanpa
pemberian zat pengatur tumbuh) memberikan respon yang sangat baik, dimana dari 7 petridish
yang di sub-kultur sebanyak 3 petridish memberikan respon pertumbuhan kalus embrio-genik yang
sangat banyak. Sedangkan 3 petridish kering dan mati, serta 1 petridish terkontaminasi. Hal ini
memberikan informasi bahwa pada tahap pendewasaan penggunaan 2,4 D harus dikurangi bahkan
dihilangkan, kalaupun masih menggunakan sitokinin biasanya digunakan kinetin, itupun dengan
konsentrasi yang sangat kecil. Hasil pengamatan morfologis dengan melihat warna menunjukkan
bahwa warna kuning kehijauan dan jernih (glossy) serta strukturnya yang remah, kumpulan kalus
embriogenik nya jika di sentuh mudah terurai. Bahkan pada tahap ini sudah terbentuk fase hati
(heart). Dari fase hati yang sudah terbentuk selanjutnya dipindah/di sub-kultur ke dalam media
yang sama yaitu media CND2 tujuannya untuk menggandakan kalus yang terbentuk dan untuk
merangsang pembentukan fase berikutnya atau fase torpedo, tiap sub-kultur dibutuhkan waktu 2- 3
bulan. Setelah sub-kultur ke-3 atau kalus sudah berumur ± 9 bulan mulai tumbuh fase hati (heart).
Media
84 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Untuk menggandakan kalus embrio-genik dan menghasilkan fase torpedo, maka kalus di sub-kultur
lagi ke dalam media yang sama, setelah fase torpedo terbentuk lalu dipindah ke dalam media MSC
untuk perkecambahan. Pada fase ini nampak bahwa kalus saling tumpang tindih dan tidak terjadi
desikasi, dengan demikian hanya 5441 kalus yang membentuk fase torpedo, bahkan setelah
dikecambahkan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan meristem tunas)
sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%) sedangkan sisanya membentuk tunas adventif.
Terbentuknya tunas adventif ini kemungkinan disebabkan karena kesalahan dalam penggunaan
jenis dan konsentrasi ZPT. Selanjutnya tunas-tunas adventif yang tumbuh di sub-kultur agar
berkembang menjadi tunas majemuk. Dari tunas-tunas majemuk yang sudah cukup dewasa
selanjutnya di induksi ke dalam media perakaran yaitu media dasar GD + IBA 20 mg/l + IAA 0,1
mg/l dan Kinetin 0,15 mg/l, hasil perakarannya masih rendah yaitu sebesar 3 %. Dari hasil
penelitian ini diperoleh data kondisi kultur sebagai berikut kondisi ruang gelap yang digunakan
untuk fase penumbuhan kalus awal dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan intensitas cahaya 0
lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %, dan intensitas cahaya
150 lux. Serta kondisi lingkungan ruang perkecambahan suhu 260C, kelembaban 67 %, dan
intensitas cahaya 1700 - 2000 lux.
Untuk lebih jelasnya hasil induksi embrio somatik primer sampai sekunder dan
tahapan perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 berikut ini.
Gambar 2. Pembentukan embrio somatik dari eksplan daun hasil kultur tunas aksiler. a=potongan daun sebagai eksplan; b=fase globular; c=fase hati (heart); d=fase torpedo; e= konfigurasi kotiledon embrio somatik
a b c
d e
85 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 3. Tahap perkecambahan (a) dan (b) ; dan plantlet cendana yang terbentuk (c)
Pada tahap kedua eksplan daun berasal dari 4 klon sebagai perlakuan, setelah diinkubasi pada
kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Grafik 2.
Tabel 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
Klon Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua
C10 2,5 2,5 C17 2,5 2,5 WS8 5 2,5
C5505 10 15
Grafik 2. Pengaruh Klon Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
0
5
10
15
20
25
Pers
enta
se e
mbr
ioso
mat
ik (%
)
1
Klon
Klon C10Klon C17Klon WS8Klon C5505
Dalam penelitian ini menggunakan 4 jenis klon, 2 bagian eksplan daun; 4 perlakuan
kombinasi zat pengatur tumbuh; dengan ulangan tiap kombinasi perlakuan sebanyak 5 buah,
dengan demikian masing-masing klon menggunakan 40 buah sampel. Total sampel 160 buah. Hasil
pengamatan dan pengukuran dari total sampel sebanyak 160 buah, eksplan yang berkalus sebanyak
75 buah ( 47 %); terbentuknya kalus ini sebagai akibat dari terjadinya dediferensiasi atau stres pada
a b c
86 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
eksplan daun yang mengakibatkan tumbuh kalus pada permukaannya. Kemudian dari ke 75 eksplan
daun yang berkalus tersebut, dapat dirinci sebagai berikut, dari klon C10 eksplan yang berkalus
sebanyak 20 buah ( 50%); dari klon C17 eksplan yang berkalus sebanyak 9 buah ( 22,5 %); dari
klon WS8 eksplan yang berkalus sebanyak 15 buah ( 37,5 %); dan dari klon 5505 eksplan yang
berkalus sebanyak 32 buah ( 80 %). Kemudian dari sampel berkalus tersebut yang berkembang
membentuk kalus yang embrio-genik sebanyak 17 buah (11 %); lebih jelasnya dari klon C10
sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon C17 sebanyak 2 buah ( 5 % ); klon WS8 sebanyak 3 buah ( 8 % );
dan klon 5505 sebanyak 10 buah ( 25 % ). Tanda-tanda kalus yang embrio-genik adalah warna
umumnya putih bersih, kuning, bahkan sampai krem muda kehijauan dengan struktur jernih
(glossy) serta remah yang artinya kalus yang embrio-genik itu dapat dicerai-berai .
Pada tahap kedua eksplan daun ditanam dalam 4 macam perlakuan media MS, setelah
diinkubasi pada kondisi gelap selama 8 minggu, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Grafik 3.
Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS Terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu
Konsentrasi 2,4 D (mg/l) Persentase embrio somatik (%) Potongan daun pertama Potongan daun kedua
MS + 2,4 D 0,5 mg/l (A) 2,5 7,5 MS + 2,4 D 0,5 mg/l + air kelapa 100 ml (B)
0 0
MS + 2,4 D 1 mg/l (C) 15 13 MS + 2,4 D 1 mg/l + air kelapa 100 ml (D)
2,5 2,5
Grafik 3. Pengaruh Konsentrasi 2,4 D dalam Media MS terhadap Pembentukan Embrio Somatik dari Eksplan Daun Cendana Setelah 8 Minggu.
0
5
10
15
20
25
30
Pers
enta
se E
mbr
io
Som
atik
(%)
Media AMedia BMedia CMedia D
Dari ke- 17 kalus embrio-genik yang terbentuk, terbukti bahwa media C memberikan
pengaruh terbaik dimana mampu membentuk kalus embrio-genik sebanyak 11 buah sampel ( 28
Media
87 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
%), dari data yang diperoleh dimana klon 5505 dan ZPT 2,4 D 1 mg/l memberikan respon yang
terbaik terhadap pembentukan dan perkembangan kalus embrio-genik pada tanaman cendana.
Dengan demikian media C dengan berbagai modifikasi hara penyusun media MS diprioritaskan
untuk digunakan dalam tahap tahap peremajaan yaitu sub-kultur dengan tujuan agar fase embrio-
genik dapat tumbuh dan berkembang berlipat ganda dan untuk menumbuhkan fase berikutnya yaitu
fase hati (heart). Sampai dengan paper ini dibuat penelitian masih dalam pengamatan. Dari
penelitian ini diperoleh data bahwa eksplan daun yang tidak memberikan respon terhadap
pertumbuhan dan perkembangan kalus sebanyak 66 sampel daun, atau sebesar 41 % dan yang
kontaminasi sebanyak 19 sampel daun atau sebesar 12 %. Rendahnya tingkat kontaminasi
disebabkan karena rumah kaca sebagai ruang isolasi ke-4 klon cendana yang dikulturkan terjaga
kebersihannya, juga eksplan yang diambil sebagai materi penelitian benar-benar bersih dan bebas
hama dan penyakit, serta tahap sterilisasi menggunakan bahan dan konsentrasi yang tepat. Eksplan
yang telah membentuk kalus embrio-genik tersebut, setelah diamati menggunakan mikroskope
Merk Nikon Eclipse 50e dengan pembesaran 20 x, nampak bahwa fase globular (pro-embrio)
sudah terbentuk hal ini dapat dibuktikan dengan melihat bagian protodermnya yang melingkar
sempurnya, hal ini menandakan bahwa faktor eksternal terutama dari ZPT yang digunakanan dapat
diminimalisir. Hasil pengamatan diperoleh data penunjang lainnya yaitu kondisi ruang gelap yang
digunakan untuk fase penumbuhan kalus awal adalah dengan suhu 250C, kelembaban 67 %, dan
intensitas cahaya 0 lux, kemudian ruang pendewasaan suhu 240C - 250C, kelembaban 69 – 70 %,
dan intensitas cahaya 150 lux.
Sukmadjaya (2005) melaporkan bahwa keberhasilan regenerasi melalui embriogenesis
somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain formulasi media dan jenis eksplan yang
digunakan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian daun, karena daun adalah
salah satu eksplan yang bersifat meristematik dan mudah untuk disterilisasi. Secara anatomis pada
tulang daun terdapat kambium yang letaknya diantara silem dan floem, dengan mengiris bagian
pinggir daun , kambium yang terdapat dalam tulang daun setelah dikulturkan akan bereaksi dan
berkembang merekah lalu membentuk kalus. Dalam penelitian ini penanaman daun dalam posisi
dibalik maksudnya adalah agar tulang daun terbuka. Selanjutnya terbukti bahwa media MS
memberikan respon yang baik terhadap pertumbuhan dan perkembangan kalus cendana, hal ini
disebabkan karena media dasar MS mengandung formula garam-garam organik merupakan media
yang paling efektif untuk berbagai jenis tanaman berkayu dan tanaman herbaceous. Media MS
dipakai karena unsur-unsur dan persenyawaannya lebih lengkap (Suryowinoto, 1991).
Keistimewaan medium ini adalah kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Untuk
menjamin pertumbuhan tanaman ke dalam media perlu ditambahkan zat pengatur tumbuh (ZPT).
88 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
ZPT pada tanaman adalah hormon termasuk senyawa organik yang bukan hara (nutrient) yang
dalam jumlah sedikit dapat mendukung (promote), menghambat (inhibit) dan merubah proses
fisiologis (Kusumo, 1984). Dalam penelitian ini pemberian 2,4 D tujuannya agar eksplan daun stres
sehingga terjadi dediferensiasi, sebaliknya terjadi proliferasi membentuk kalus embrio-genik yang
tumbuh pada pinggiran daun.
Dalam jenis media apapun karbohidrat terutama sukrosa merupakan komponen yang
selalu ada, menurut George (1993) sucrosa mengandung karbon yang terbaik dibanding glukosa,
maltosa, dan rafinosa. Hasil penelitian Srilestari (2005) pada tanaman kacang tanah diketahui
bahwa media MS yang mengandung sucrosa 40 g/l dapat memunculkan embrio lebih cepat
dibandingkan media yang mengandung sucrosa 20 dan 30 g/l. Media kultur jaringan tanaman tidak
hanya menyediakan unsur hara makro dan mikro tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya
berupa gula. Gula merupakan sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan tekanan
osmotik media. Sebagai pengganti karbon yang biasanya didapat tanaman dari atmosfer dalam
bentuk CO2 yang menjadi komponen untuk fotosintesa (Gunawan, 1988).
C. KESIMPULAN
1. Penggunaan eksplan bagian daun baik yang berasal dari hasil perbanyakan kultur tunas
aksiler maupun yang berasal dari kebun pangkas ternyata mampu memberikan respon yang
sangat baik, bahkan pada penelitian kedua yang menggunakan eksplan daun dari kebun
pangkas diperoleh persentase daun yang berkalus sebesar 47 %.
2. Media MS dan ZPT 2,4 D dengan konsentrasi 1 mg/l dan sucrosa dengan konsentrasi 40 g/l
memberikan respon terbaik dalam pembentukan kalus embrio-genik, bahkan semua
tahapan embriogenesis somatik yg spesifik mulai dari induksi sel, kalus embrio-genik, fase
globular, hati, sampai fase torpedo dapat dicapai dengan baik.
3. Pada tahap perkecambahan fase bipolar yang terbentuk (terbentuknya meristem akar dan
meristem tunas) sangat rendah yaitu sebanyak 234 buah (4,43%), sebagian besar
membentuk tunas adventif . Tunas adventif yang terbentuk dapat di sub-kultur lebih lanjut
untuk dimultiplikasi dan tunas-tunas yang telah dewasa dapat digunakan sebagai materi
untuk teknik stek mini di rumah kaca.
89 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1986. Pedoman Teknik Intensifikasi/Ekstensifikasi Tanaman Coklat. Dinas Perkebunan. Anonimus, 1991. Bioteknologi Tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas.
Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Hal 35-80. Agoes, S.D. 1994. Aneka Jenis Media Tanam dan Penggunaannya. Penebar Swadaya, Jakarta. 98 hal. Baroncelly S. M. Buiatti and A. Bennici, 1973. Genetic of Growth and Differentiation In-vitro of Brassica oleracea var.
Botrytis. Pp 99-107. Dwidjoseputro, D. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia. Jakarta. Darmokusumo, S. dan Nugroho, A.A. 2001. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomi Cendana di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Seminar Nasional “ Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 507-508.
George E.F., 1993. Plant Propagation by Tissue Culture Part.1. Exegetic Ltd, Edington Wills, BA 134 QG, England. Page 183-188.
Gunawan, L.W., 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gaspar, T.H., and M, Coumans, 1994. Root Formation. Physiological Ecology of Forest Production on Micro-propagation of Forest Tree Through Tissue Culture. Institute for Forestry and Nature Research (IBN-DLO), Netherland.
Hammerschlah, F, 1982. Factor Affecting Establishment and Growth of Peach Shoot In-vitro.Hort, Science. Pp 85-86. Hakim . 1989. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. 655 hal. Herawan T., and Yenih Husnaeni, 1996. Initial Kultur Cendana Menggunakan Media MS . Ekpose Hasil-Hasil
Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Benih Tanaman Hutan, Yogyakarta. Herawan T, M. Na’iem dan Gogoh Sulaksono, 2003. Pengaruh Penggunaan Media dan Zat Pengatur Tumbuh Pada
Perbanyakan Cendana (Santalum album) Secara Kultur Jaringan. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. Vol 1 No. 2, Agustus 2003.
Harisetijono. 2003. Kebijakan Pengelolaan Cendana di NTT (refleksi dan rekomendasi kebijakan pengelolaan cendana yang lestari). Promosi Hasil Hasil Penelitian dan Temukarya Cendana. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara.
Indrowuryatno., 1985. Meteorologi dan Klimatologi Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman, CV Yasaguna. Bogor. Kharisma dan Soeriamihardja. 1998. Pengaruh Jenis Inang Terhadap Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album
L.). Santalum 2. Balai Penelitian Kehutanan. Kupang. Kharisma dan Dedi Setiadi., 2002. Variasi Pertumbuhan Semai Cendana (Santalum album L.) Dari Beberapa Sumber
Benih. Bulletin Penelitian Pemuliaan Pohon. Vol 6. No.2. Loveless, A.R. 1987. Prinsip-prinsip Biologi Tumbuhan Untuk Daerah Tropik. Gramedia. Jakarta. Lingga, P. 1993. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Yogyakarta, 163 hal. Mc Comc J.A. and I.J. Bennent., 1982. Vegetative Propagation of Eucalyptus Using Tissue Culture and Its Application
to Forest Improvement in Western Australia . pp 721-722. Manan, E.M. 1982. Klimatologi Dasar. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martin, 2003. Survival Rates During Acclimatization of Micropropagated Fruit Tree Rootstock by Increasing
Exposures to Low Relatively Humidity. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece.
Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Buletin Agro-Bio 5(2). 51-58. Bogor.
Roco, W.M., N.O. Espinosa, M.R. Roca., and J.E. Bryan., 1978. Tissue Culture Method For The Rapid Propagation of Potatoes. Am. Pot. J. 55, 691-701.
Rinsema, W.J. 1983. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bharata Karya Aksara. Jakarta. 25 hal.
90 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Suryadi. 1989. A Manual of Rural Compositing Project Field Document FA 7770. UNO Roam. Suryowinoto, M. 1991. Pemuliaan Tanaman Secara In-Vitro. Kerjasama Pusat Antar Universitas-Bioteknologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soeriamihardja S., Surata I.K., dan Kharisma. 1991. Pengaruh Varietas, Pupuk Urea, dan Inang Terhadap Pertumbuhan
Semai Cendana (Santalum album L.). Santalum 6. 1-9. Sunanto, H. 1995. Budidaya Cendana, Kanisius, Yogyakarta. 65 hal. Supari, D.H., 1999. Tuntunan Membangun Agribisnis. Edisi Pertama. Elex Media Computindo. Kelompok Gramedia.
Jakarta. 29 – 39. Surata, I.K. dan Idris, M.M. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Seminar Nasional “
Kajian Terhadap Tanaman Cendana Sebagai Komoditi Utama Perekonomian NTT Menuju Otonomisasi”. Berita Biologi. Vol 5., No. 5. 2001: 521-535.
Srilestari, R. 2005. Induksi Embrio Somatik Kacang Tanah Pada Berbagai Macam Vitamin dan Sucrosa. Ilmu Pertanian Vol. 12 No. 1, 2005 : 43-50.
Sukmadjaya, D. 2005. Embriogenesis Langsung Pada Tanaman Cendana. Jurnal Bioteknologi Pertanian, Vol. 10, No. 1. 2005 : 1-6.
Umboh, M.I.J., dan H., Kamil., 1987. Root Induction of Santalum album by Using IBA and NAA. Seameo-Biotrop, Bogor.
Vertesy J., dan Balla, 2003. Acclimation of Woody Plants Under Continental Climatic Conditions. Proceeding International Symposium on Acclimatization and Establishment of Micropropagated Plant. Editors : A.S. Economou, P.E. Read. Sani-Halkidiki, Macedonia, Greece.
Zobel, B., and J. Talbert., 1984. Variation and Its Use In Applied Forest Tree Improvement. North Carolina State University. Pp 39-75.
91 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
IDENTIFIKASI TETUA UNGGUL DI KEBUN BENIH Acacia mangium
ILG. Nurtjahjaningsih
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
E-mail : iluh_nc@yahoo.com
ABSTRAK Untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul, strategi pemuliaan jenis Acacia mangium sebagai salah jenis
prioritas kayu pulp, sudah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang telah dikonversi menjadi kebun benih. Namun demikian, dalam evaluasi pertumbuhannya terlihat variasi yang nyata dan didominasi oleh famili-famili tertentu saja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan superior. Identifikasi tetua dilakukan di kebun benih semai uji keturunan (KBSUK) generasi pertama (F1) sistem sub galur (grup C) dan populasi tunggal (grup E), yang menghasilkan keturunan unggul di KBSUK generasi kedua (F2) grup C (half-sib) dan Uji multi lokasi (UML) F1 plot E (bulk). Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 grup E dianalisis menggunakan 10 penanda SSR. Nei’s heterosigositas total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi (Ht: 0,785) dan nilai perbedaan genetik termasuk sedang (GST=0,095). Sebuah dendrogram maupun analisis PCO menunjukkan pembagian secara nyata antara 2 provenan yaitu QLD dan PNG. Analisis Amova menunjukkan bahwa meskipun kontribusi antar populasi didalam provenan terhadap keragaman genetik hanya 4% namun nilainya signifikan. Kemampuan penanda SSR dalam membedakan allele tetua cukup tinggi (NE-PP=0,0000001). Analisis tetua menunjukkan bahwa anakan unggul half-sib di KBSUK F2 grup C cenderung mempunyai tetua jantan yang berbeda-beda. Hal yang sama juga ditunjukkan di UML plot E: meskipun beberapa anakan mempunyai tetua betina yang sama namun berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda-beda. Pendekatan manajemen kebun benih yang harus ditempuh untuk meningkatkan efektifitas kebun benih dalam rangka menghasilkan benih unggul akan dibahas. Kata kunci: keragaman genetik, analisis tetua, uji keturunan, uji multi lokasi, penanda SSR
I. PENDAHULUAN
Acacia mangium merupakan jenis cepat tumbuh dan termasuk jenis hutan tanaman yang
diprioritaskan, karena jenis ini mempunyai karakter pertumbuhan yang superior seperti sifat yang
cepat tumbuh, mempunyai adaptabilitas yang tinggi dan mempunyai kualitas yang baik untuk pulp
dan material untuk kertas. Hutan tanaman A. mangium di Indonesia dibangun terutama untuk
memenuhi kebutuhan bahan baku kertas (pulp). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan bibit
unggul untuk mendukung hutan pertanaman diperlukan suatu strategi pemuliaan A. mangium.
Upaya untuk memperoleh benih berkualitas dalam jumlah cukup, strategi pemuliaan jenis prioritas
kayu pulp ini telah ditetapkan dengan dibangunnya uji keturunan yang dikonversi menjadi Kebun
Benih Semai (KBS) sejak tahun 1994 (Arif dkk,2004).
92 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Hingga saat ini, strategi pemuliaan A. mangium sudah mencapai generasi ke-3 dimana materi
genetik akan diperoleh dari generasi ke-2 KBSUK. Selain itu, apabila sudah diketahui klon dengan
kualitas genetik yang superior maka akan dibangun Kebun Benih Klon. Benih untuk pembangunan
Kebun Benih Semai Uji keturunan (KBSUK) F2 berasal dari penyerbukan terbuka half-sib F1
sedangkan benih untuk pembangunan Uji Multi Lokasi (UML) / gain trial F1 berasal dari
penyerbukan terbuka F1 tanpa informasi genetik tetuanya. Hasil evaluasi terhadap pertumbuhan
baik dalam dan antar lokasi kebun benih uji keturunan maupun UML tersebut menunjukkan adanya
variasi phenotipik, dimana ada individu dengan kategori pohon plus dan indikasi pohon hibrid
secara morphologis. Selain itu, pohon plus F2 ini hanya didominasi oleh famili-famili tertentu saja.
Untuk memberikan hasil yang lebih akurat terhadap identifikasi tetua yang menghasilkan
pohon plus dan hybrid tersebut, maka perlu mengidentifikasi pasangan tetua unggul secara genetik
menggunakan penanda SSR (simple sequence repeat). Analisa tetua menggunakan penanda SSR
memberikan informasi yang akurat terhadap pasangan-pasangan gamet tetua yang berkontribusi
pada suatu sistem perkawinan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi genetik dan untuk mengidentifikasi
pasangan tetua di kebun benih Acacia mangium yang menghasilkan turunan dengan pertumbuhan
superior.
II. BAHAN DAN METODE
A. Lokasi Penelitian dan pengambilan sampel
Untuk mengetahui potensi keragaman genetik A. mangium, sampel daun dikumpulkan dari
semua pohon plus di KBSUK F1 grup E yang terletak di Wonogiri (Jateng). Grup E tersebut
merupakan populasi tunggal terdiri dari 7 populasi dari provenan Queensland (QLD) dan 8
populasi dari provenan Papua New Guinea (PNG) (Gambar 1). Tujuh populasi tersebut yaitu 135k
nne coen, Claudie River (Ex Aceb), Claudie river, Claudie River & Iron RA, Cassowary CK-Iron
Range, Pascoe rvr area, dan Poscoe river. Delapan populasi tersebut yaitu Arufi village wp,
93 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Derideri e morehead, Biote ne Morehead wp, Gubam ne morehead wp, Bimadebun Wp, Kini Wp,
Wipim district wp dan Dimisisi. Sampel daun berkisar antara 45 sampai 108 per populasi sehingga
total sampel sebanyak 1147 sampel.
Gambar 1. Lokasi pengambilan materi genetik untuk pembangunan uji keturunan A. mangium grup E
Keterangan: :provenan PNG, : provenan QLD
Identifikasi tetua unggul dilakukan di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) terletak di
Pleihari (Kalsel) dan grup E (populasi tunggal) terletak di Wonogiri, masing-masing merupakan
tetua dari pohon plus yang ada di KBSUK F2 grup C terletak di Batu Ampar (Kaltim) dan di uji
multi lokasi plot E terletak di Wonogiri. Pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML F1 plot E
masing-masing 50 pohon dengan pertumbuhan terbaik dan terdapat di beberapa replikasi blok,
dipilih, dikumpulkan sampel daunnya dan digenotipe. Kemudian genotipe individu tersebut
dicocokkan dengan database genotipe pohon plus yang ada di KBSUK F1.
B. Ekstraksi DNA dan analisis penanda SSR
Ekstaksi DNA menggunakan metode modifikasi CTAB (Shiraishi dan Watanabe 1995).
Database genotipe pohon plus dan analisis tetua pada A. mangium menggunakan 10 penanda SSR
yaitu Am 014, Am 041, Am 136, Am 326, Am 341, Am387, Am429, Am435, Am436, Am 460, Am
94 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
465, Am503, Am173, Am164 (Butcher dkk. 2000).
Reaksi PCR untuk analisis fragment DNA menggunakan metode PCR multiplex terdiri dari
5 L larutan master-mix amplitaqGold kit (Applied Biosystem) dan 5 ng/ L template DNA.
Amplifikasi dilakukan menggunakan thermocycler GeneAmp9700 (Applied Biosystem).
Suhu pemanasan awal 94oC selama 10 menit, diikuti dengan 35 siklus reaksi yang masing-masing
terdiri dari reaksi denaturasi DNA (suhu 94oC selama 30 detik), reaksi penempelan primer
(annealing) (suhu 55-65 oC selama 30 detik) dan pemanjangan DNA (suhu 72oC selama 60 detik).
Siklus PCR diakhiri pada suhu 72oC selama 1 menit untuk melengkapi proses pemanjangan.
Amplifikasi penanda DNA menggunakan elektroforesis berbasis kapiler menggunakan mesin
gene analyzer ABI 3100 Avant (Applied Biosystem). Fragment DNA dianalisa menggunakan
software genemapper.
C. Analisis Data
Analisis potensi keragaman genetik. Analisis keragaman genetik didalam populasi
menggunakan parameter keragaman genetik yaitu Nei’s heterozigositas (Ht dan GST), jumlah allele
yang terdeteksi (A), keragaman allele menggunakan minimal sampel (A32), keragaman genetik
(HE) dan koefisient inbreeding (FIS) dianalisis menggunakan program komputer FSTAT (Goudet
dkk. 2001). Perbedaan genetik antar populasi dievaluasi menggunakan nilai FST, nilai signifikansi
diuji dengan cara membandingkan interval kepercayaan 95% dan 99% dengan 1,000 bootstrap,
menggunakan FSTAT. Dendrogram disusun untuk mengetahui hubungan genetik antar populasi dan
dievaluasi berdasarkan sebuah neighbour-joining tree berdasarkan allele frekuensi, menggunakan
program komputer POPTREE2 (Takezaki dkk. 2010). Analisis prinsip kordinat (PCO) menjelaskan
hubungan genetik yang dihubungkan dengan letak geografi, menggunakan program GenAlex
(Peakall dan Smouse, 2001). Keragaman genetik dievaluasi menggunakan analisis molekuler
varian (AMOVA) menggunakan program GenAlex.
95 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Analisis tetua. Analisis tetua pohon plus di KBSUK F2 grup C dan UML plot E dilakukan
dengan cara mencocokkan genotipe pohon plus di KBSUK tersebut dengan database genotipe
pohon plus di KBSUK F1 grup C dan grup E. Tetua betina di KBSUK F2 grup C sudah
teridentifikasi (halfsib), sehingga analisis tetua hanya mencari tetua jantan. Sedangkan identitas
tetua betina maupun jantan di UML plot E belum diketahui sehingga analisis tetua mencari
kombinasi kedua tetuanya. Analisis tetua di 2 KB tersebut menggunakan program komputer Cervus
(Kalinowski dkk. 2007).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Potensi keragaman genetik
a. Keragaman genetik didalam populasi
Nei’s heterozigositas total populasi (Ht) A. mangium sebesar 0,785; sedangkan nilai
perbedaan genetik (GST) sebesar 0,095, termasuk dalam kategori moderat/sedang. Nilai keragaman
genetik dari 15 populasi dengan parameter jumlah allele terdeteksi (A), keragaman allele dengan
minimal sampel 32 (A[32]), heterozigositas harapan (HE) dan koefisien inbreeding (FIS) disajikan
pada Tabel 1. Pola keragaman genetik provenan QLD berbeda dengan PNG. Nilai A termasuk
dalam kategori tinggi berkisar antara 45 sampai 108 allele. Nilai HE termasuk dalam kategori
sedang sampai tinggi, berkisar antara 0,558 (Cassowary) sampai 0,829 (Derideri). Nilai FIS
menunjukkan tidak secara nyata menyimpang dari hukum Hardy-Weinberg pada hampir seluruh
populasi dari provenan QLD kecuali Claudie river, sedangkan nilainya menyimpang dari HWE
pada seluruh populasi dari provenan PNG.
96 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 1. Keragaman genetik 15 populasi di KBSUK F1 A. mangium grup E menggunakan 10 penanda SSR
Provenan Kode populasi N A A[32] HE FIS
QLD 135K 36 62 5,34 0,622 0,093 ns
QLD Cassowary 45 52 4,27 0,558 0,075 ns
QLD ClaudieR 114 80 4,99 0,638 0,096 *
QLD ClaudieRI 38 48 4,33 0,585 0,062 ns
QLD ClaudieRE 37 59 4,97 0,600 0,041 ns
QLD Pascoe 28 56 5,20 0,579 0,090 ns
QLD Poscoe 18 45 4,75 0,592 0,058 ns
PNG Arufi 30 86 7,98 0,804 0,117 *
PNG Bimadebun 28 81 8,02 0,819 0,113 *
PNG Biote 37 95 8,58 0,821 0,156 *
PNG Derideri 48 97 8,44 0,829 0,102 *
PNG Dimisisi 18 72 7,80 0,794 0,133 *
PNG Gubam 52 101 8,35 0,793 0,085 *
PNG Kini 46 108 9,06 0,808 0,148 *
PNG Wipim 45 105 9,02 0,810 0,126 *
Keterangan; A: jumlah allele, A[ ]: keragaman allele pada minimal jumlah sampel (32 diploid), HE: heterozigositas harapan, FIS: koefisien inbreeding, tidak menunjukkan signifikan menyimpang dari HWE dengan 135,000 permutasi p<0,05
b. Keragaman genetik antar populasi
Nilai FST pada 15 populasi adalah 0,079-0,122 (interval kepercayaan:95%) dan 0,072-0,129
(interval kepercayaan:99%) menunjukkan nilai yang sedang sampai tinggi, dan nilainya signifikan
menunjukkan perbedaan genetik antar populasi.
Sebuah dendrogram yang disusun menggunakan neighbor-joining tree, berdasarkan allele
frekuensi ditunjukkan pada Gambar 2. Keistimewaan pada dendrogram tersebut adalah membentuk
dua kluster yang menunjukkan pembagian 2 provenan secara jelas yaitu QLD dan PNG. Meskipun
hubungan genetik tidak selalu berkorelasi dengan letak geografi, namun analisis PCO memperjelas
pembagian 2 provenan tersebut (Gambar 3). Kordinat pertama pada analisis PCO menunjukkan
97 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
nilai kepercayaan yang tinggi yaitu 65,3%.
Hasil AMOVA ditunjukkan pada Tabel 2. Kontribusi terhadap variasi genetik dari antar
provenan, antar populasi dalam provenan dan didalam populasi masing-masing sebesar 16%, 4%
dan 80%. Masing-masing nilai tersebut adalah signifikan (p 0,01).
Gambar 2. Hubungan genetik 15 populasi berdasarkan 10 penanda SSR
Gambar 3. Analisis prinsip kordinat menunjukkan pembagian yang jelas antara provenan QLD dan PNG
98 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 2. Analisis varian molekuler (AMOVA) 1147 individu dikelompokkan dalam 15 populasi dan 2 provenan
Sumber variasi db SS MS Variasi molecular
(%)
P value
Antar provenan 1 549,378 549,378 16 0,01
Antar populasi
dalam provenan
13 348,623 26,817 4 0,01
Didalam populasi 655 5126,485 7,827 80 0,01
Total 669 6024,487 100
db: derajat bebas, SS: jumlah kuadrat, MS: rerata kuadrat, signifikan p 0,01
2. Analisis tetua
Hasil analisis tetua di KBSUK F1 A. mangium grup C ditunjukkan pada Gambar 4 dan
Gambar 5. Dari 26 pohon plus dengan rangking pertumbuhan terbaik di KBSUK F2 grup C
merupakan anakan dari 8 pohon plus/tetua betina di KBSUK F1 grup C. Beberapa karakteristik
sistem perkawinan berdasarkan analisis tetua dapat digambarkan pada KB tersebut. Dalam
menghasilkan keturunan unggul, hampir seluruh tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang
berbeda, sehingga merupakan saudara satu ibu. Sebaliknya, satu tetua jantan dapat menyerbuki
beberapa tetua betina, sehingga merupakan saudara satu ayah. Selain itu, ada satu tetua betina
berpasangan dengan tetua jantan dengan family yang sama namun berbeda replikasi. Adanya
dominasi tetua jantan, 6 famili merupakan tetua jantan dari 26 pohon plus di F2 (~25%).
99 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 4. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (sub galur) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C
100 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Gambar 5. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup C (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di KBSUK F2 grup C
Karakteristik sistem perkawinan di KBSUK F1 grup E hampir seperti yang digambarkan di
KBSUK F1 grup C. Berdasarkan analisis tetua di KBSUK F1 grup E yang menghasilkan pohon
plus di UML, menunjukkan bahwa tetua betina berpasangan dengan tetua jantan yang berbeda
sehingga merupakan saudara satu ibu (Gambar 6). Sebaliknya satu tetua jantan menyerbuki
beberapa tetua betina sehingga merupakan saudara satu bapak (Gambar 7). Adanya dominasi tetua
jantan, 8 famili merupakan tetua jantan dari 38 pohon plus di F2 (~21%)
101 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 6. Identifikasi pasangan tetua betina yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E
102 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Gambar 7. Identifikasi pasangan tetua jantan yang sama di KBSUK F1 A. mangium grup E (populasi tunggal) yang menghasilkan pohon plus di UML plot E
B. Pembahasan
1. Potensi keragaman genetik A. mangium
Nilai keragaman genetik didalam total populasi A. mangium termasuk dalam kategori tinggi
(HE=0,785) jika dibandingkan dengan tanaman berdaun lebar lainnya seperti di kebun benih (KB)
Eucalyptus grandis (HE=0,762) (Chaix dkk, 2003), maupun jenis konifer seperti di KB Pinus
merkusii di Indonesia (HE =0,500) (Nurtjahjaningsih dkk, 2007). Meskipun tidak dapat
dibandingkan dengan penanda SSR, menggunakan penanda RFLP rata-rata keragaman genetik 10
populasi alam A. mangium dari provenan Australia, PNG dan Maluku, termasuk dalam nilai rendah
(HE =0,131) (Butcher dkk, 1998).
103 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Nilai A populasi-populasi dari provenan PNG lebih tinggi dibandingkan dengan QLD,
demikian pula dengan nilai HE. Namun demikian nilai FIS dari provenan PNG menunjukkan nilai
yang tinggi dan signifikan inbreeding, akan tetapi nyata pada populasi dari provenan QLD. Nilai A ,
HE dan FIS menggambarkan kondisi tegakan yang digunakan sebagai sumber benih untuk
pembangunan uji pemuliaan. Sebaran alam A. mangium di QLD merupakan tegakan/populasi yang
tidak menyambung satu sama lain (discontinuous natural forest) dan antar populasi dikeliling oleh
hutan tropik, sedangkan di PNG sebarannya lebih luas namun antar populasi dikelilingi oleh
tanaman menjalar dan savannah (Butcher dkk. 1998). Cukup beralasan bahwa kondisi tegakan
PNG yang demikian lebih mampu mempertahankan nilai A dan HE dibandingkan kondisi tegakan
di QLD. Adanya private allele yang merupakan salah satu sumber variasi, juga banyak ditemukan
di poulasi PNG (data tidak dipublikasikan). Namun demikian kondisi tegakan yang lebih terbuka di
PNG tidak mendukung untuk terjadinya sistem perkawinan yang acak, tergambar dengan nilai FIS
yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi QLD.
Perbedaan genetik antar 15 populasi menunjukkan nilai yang sedang (GST=0,095) apabila
dibandingkan dengan nilai perbedaan genetik jenis angiosperm (GST=0,102, Hamrick, 1992);
populasi A. mangium yang lain (GST=0,331, Butcher dkk, 1998). Selain itu, nilai gene flow
(Nm=2,30) yang rendah mampu melindungi perbedaan genetik antar populasi tersebut.
Hubungan genetik yang digambarkan oleh sebuah dendrogram menunjukkan pembagian
yang jelas antar provenan. Hal ini menunjukkan bahwa A. mangium provenan QLD dan PNG
merupakan provenan yang berbeda, meskipun pada jaman es (glacial period) QLD dan PNG
merupakan satu kesatuan. Meskipun analisis posisi geografi (PCO) tidak selalu menggambarkan
letak geografis suatu populasi (Tsuda dan Ide, 2005), namun analisis PCO yang diperoleh dalam
penelitian mendukung hasil analisis dendrogram.
Analisis AMOVA menunjukkan hirarki sumber variasi yang menyebabkan keragaman
genetik. Kontribusi terbesar yang menyebabkan tingginya nilai keragaman genetik adalah
104 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
keragaman didalam populasi. Meskipun kontribusi populasi dalam provenan kecil namun nilainya
siginikan. Oleh karena setiap komponen menunjukkan nilai yang signifikan terhadap nilai
keragaman genetik, maka AMOVA mengindikasikan signifikansi keragaman genetik antar
provenan. Jumlah dan frekuensi allele, serta gene flow merupakan sumber variasi yang
menyebabkan perbedaan genetik didalam dan antar populasi (Hartl dan Clark,1997).
2. Analisis tetua
Faktor genetik dan lingkungan mempengaruhi keberhasilan proses reproduksi (terjadinya
bunga sampai benih). Kemampuan menghasilkan bunga dan kecocokan kontribusi gen
dikendalikan oleh faktor genetik (Burczyk dan Chalupta, 1997). Sedangkan faktor lingkungan lebih
berorientasi pada ada tidaknya hambatan proses serbuk sari sampai ke kepala putik, seperti
kerapatan pohon, jarak antar tetua, kedudukan bunga jantan/betina, arah dan kekuatan angin.
Banyak penelitian yang melaporkan mengenai ketidakseimbangan sistem perkawinan /proses
reproduksi didalam sebuah kebun benih baik KBS maupun KBK, sehingga menyebabkan variasi
fenotipik. Faktor utama penyebab ketidakseimbangan tersebut adalah pembungaan tidak sinkron
baik jumlah dan kematangannya (fenologi pembungaan) (Chaix, dkk, 2003; Moriguchi dkk. 2004;
Burczyk dkk, 1997). Bahkan ada penelitian yang melaporkan bahwa pembungaan didalam KBS
maupun KBK tidak dapat seimbang (Choi dkk, 2004). Masalah pembungaan merupakan masalah
yang serius di KB karena dapat menyebabkan turunnya nilai genetik benih yang dihasilkan.
Fenologi pembungaan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan (Burczyk dan Chalupka,
1997). Variasi fenologi pembungan menyebabkan variasi kontribusi gamet tetua jantan karena
kompetisi serbuk sari (Hegland danTotland 2007) dan dominasi serbuk sari di KB jenis Larix
(Burczyk dkk, 1997), di KB Cryptomeria japonica (Moriguchi dkk, 2004). Dominansi serbuk sari
juga disebabkan oleh kuat tidaknya kompetisi serbuk sari. Kompetisi serbuk sari akan menguat
pada saat musim berbunga berlimpah dan hanya serbuk sari yang sehat saja yang mampu
105 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
menyerbuki kepala putik. Akan tetapi kompetisi serbuk sari melemah pada saat pembungaan
berjumlah sedikit (El-Kassaby dkk, 1984).
Hasil analisis tetua pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebaran serbuk sari didalam
KBSUK F1 grup C dan E bersifat acak/random. Seperti disebutkan di atas bahwa sinkronisasi
pembungaan merupakan titik awal terjadinya sistem perkawinan acak. Sinkronisasi pembungaan
besar kemungkinan terjadi di grup C karena pohon plus berasal dari provenan yang sama.
Sedangkan informasi sinkronisasi pembungaan di grup E belum ada yang melaporkan. Namun
demikian, melihat sebaran serbuk sari yang acak di atas (Gambar 6&7) kemungkinan di grup E
juga mencapai sinkronisasi pembungaan.
Analisis tetua juga menunjukkan bahwa pohon plus di generasi kedua, banyak mempunyai
tetua betina yang sama namun tetua jantan berbeda dan mempunyai tetua jantan yang sama namun
tetua betina berbeda. Selain itu, Gambar 4, 5, 6 dan 7 menunjukkan bahwa hampir semua tetua
jantan yang berkontribusi berlokasi jauh dari tetua betina, meskipun hal ini berlawanan dengan
karakter sebaran serbuk sari yang dibantu oleh serangga (Adams, 1992). Ada tiga dugaan yang
mungkin terjadi, yaitu (1) tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan semua pohon plus di
dalam KB, sehingga memperkuat kompetisi serbuk sari dalam menyerbuki kepala putik. (2)
tercapainya sinkronisasi fenologi pembungaan antara pasangan tetua betina dan jantan, (3)
kecocokan genetik antar tetuanya. Seperti disebutkan di atas bahwa sistem perkawinan di dua grup
tersebut bersifat acak karena tercapainya sinkronisasi pembungaan. Apabila sinkronisasi
pembungaan tercapai, maka faktor lain yang menentukan terjadinya anakan yang unggul adalah
kecocokan kombinasi gen tetua.
3. Implikasi
Informasi potensi keragaman genetik A. mangium dan identfikasi tetua melalui pendekatan
analisis tetua diharapkan dapat meningkatkan efisiesi managemen kebun benih dalam rangka
106 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
menghasilkan benih unggul. Tingkat keragaman genetik total didalam populasi menunjukkan
tingkat yang tinggi sehingga diharapkan dapat melewati sekuensial kegiatan seleksi pohon dalam
strategi pemuliaan. Keragaman genetik setiap populasi menunjukkan nilai yang tinggi, sehingga
keragaman genetik mampu dipertahankan pada tingkat populasi. Meskipun populasi-populasi dari
provenan PNG ada indikasi dari populasi dengan tingkat inbreeding secara nyata, namun
mempunyai tingkat keragaman genetik yang tinggi sehingga apabila terjadi kondisi sistem
perkawinan yang random, populasi-populasi ini mampu mempertahankan tingkat keragaman
genetik.
Analisis dendrogram dan PCO menunjukkan pemisahan yang nyata antara provenan QLD
dan PNG. Hal ini menunjukkan bahwa struktur maupun komposisi allele di dua provenan ini
berbeda. Sumber variasi ada di tingkat populasi dan provenan sehingga apabila akan memperlebar
jarak genetik A. mangium maka dipilih populasi yang mempunyai keragaman genetik tinggi.
Analisis tetua menunjukkan bahwa pohon plus unggul di KBSUK F2 grup C dan UML plot E
merupakan saudara satu ibu maupun satu bapak. Hal ini menunjukkan bahwa individu tersebut
merupakan hasil sistem perkawinan acak/random dan dalam kondisi tercapainya sinkronisasi
pembungaan. Hal ini menunjukkan bahwa kebun benih tersebut tidak bermasalah dengan sistem
perkawinan dan sinkronisasi pembungaan. Selain itu, di KBSUK F1 grup C, 8 tetua betina
diserbuki oleh beberapa tetua jantan dan serbuk sari dari 6 tetua jantan mendominasi sistem
perkawinan. Hal ini menunjukkan pohon plus di KBSUK F1 mempunyai nilai GCA tinggi. Pohon
plus di KBSUK F2 grup C juga dihasilkan dari tetua dari no family yang sama meskipun berbeda
replikasi, sehingga famili tersebut mempunyai tingkat inbreeding depression yang rendah.
Menggunakan analisis tetua, pemilihan famili dengan GCA tinggi akan lebih mudah.
107 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
IV. KESIMPULAN
Tingkat keragaman genetik populasi A. mangium termasuk dalam kategori sedang sampai
tinggi. Meskipun populasi-populasi dari provenan PNG mengindikasikan nilai inbreeding yang
nyata, namun keragaman genetik bisa dipertahankan apabila sistem perkawinan terjadi secara
acak/random. Provenan QLD terpisah secara nyata dengan PNG, sehingga untuk memperluas jarak
genetik antar populasi dengan menambah populasi pada provenan yang berbeda. Analisis tetua
yang dilakukan di KBSUK F1 grup C maupun grup E menunjukkan bahwa tetua betina maupun
jantan mempunyai nilai GCA yang tinggi. Selain itu, ada pasangan tetua yang mempunyai tingkat
inbreeding depression yang rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Anto Rimbawanto, Dr. AYPBC Widyatmoko,
Dr. Arif Nirsatmanto, Sri Sunarti, M.Sc. atas sumbang saran dan pemikiran dalam menyusun
naskah ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Dr. Istiana, Purnamila, M.Agr. Sc., Maryatul
M.Sc., dan Surip, S.Hut yang telah membantu dalam pengambilan sampel di Kebun Benih A.
mangium. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Wahyuni Sari, S.Hut dan Triyanta yang
telah membantu dalam analisis DNA di laboratorium genetika molekuler, BBPBPTH.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, W.T. (1992). Gene dispersal within forest tree populations. New Forests 6: 217-240 Arif, N., Leksono, B.,Kurinobu S.,Kurinobu, S.,Shiraishi, S. (2004) Realized genetic gain observed in
second-generation seedling seed orchards of Acacia mangium in South Kalimantan, Indonesia. Japanese Forest Research 9: 265-269
Burczyk, J., Chalupka, W. (1997) Flowering and cone production variability and its effect on parental balance in a Scots pine clonal seed orchard. Annual Science Forest 54: 129-144
Burczyk, J., Nikkanen, T., Lewandowski, A. (1997) Evidence of an unbalances mating pattern in a seed orchard composed of two larch species. Silvae Genetica 46 (2-3): 176-181
Butcher, P.A., Decroocq, S., Gray, Y., Moran, G.F. (2000) Development, inheritance and cross-species amplification of microsatellite markers from Acacia mangium. Theor. Appl. Genet 101:1282-1290
Butcher, P.A., Moran, G.F., Perkins, H.D. (1998). RFLP diversity in the nuclear genome of Acacia mangium. Heredity 81: 205-213
108 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Chaix, G., Gerber, S., Razafimaharo, V., Vigneron, P., Verhaegen, D., Hamon, S. (2003) Gene flow estimates with microsatellites in a Malagasy seed orchard of Eucalyptus grandis. Theoretical and Applied Genetics 107: 705-712
Choi, W.Y., Kang, K.S., Jang, K.W., Han, S.U., Kim, C.S. (2004) Sexual asymmetry based on flowering assessment in a clonal seed orchard of Pinus densiflora. Silvae Genetica 53 (2): 55-59Dow, B.D. and Ashley, M.V. (1998) High levels of gene flow in bur Oak revealed by paternity analysis using microatellites. The Journal of Heredity 89 (1): 62-70
El-Kassaby, Y.A., Fashler, A.M.K., Sziklai, O. (1984) Reproductive penology and its impact on genetically improve seed production in a Douglass-fir seed orchard. Silvae Genetica 33 (4-5): 120-125
Goudet, J. (2001) FSTAT (version 2.9.3.): A program to estimate and test gene diversities and fixation indices. www.unil.ch/izea/softwares/fstat.html
Hamrick, J.L. Godt, M. J. W., Sherman-Broyless, S. L. 1992. Factor influencing levels of genetic diversity in woody plant species. New forest, 6, 95-124.
Hartl, D.L., Clark, A.G. (1997). Principles of population genetics (Third Edition). Sinauer Associates, Inc. U.S.A. 542p
Hegland, S.J., Totland, O. (2007) Pollen limitation affects progeny vigour and subsequent recruitment in the insect-pollinated herb Ranunculus acris. Oikos 116: 1204-1210
Kalinowski, S.T. Taper, M.L., Marshall, T.C. (2007). Revising how the computer program CERVUS accommodates genotyping error increases success in paternity assignment. Molecular Ecology 16: 1099-1106
Moriguchi, Y., Taira, H., Tani, N., Tsumura, Y. (2004) Variation of paternal contribution in a seed orchard of Cryptomeria japonica determined using microsatellite markers. Canadian Journal of Forest Research 34: 1683-1690
Nurtjahjaningsih, I.L.G., Saito, Y., Tsuda, Y. and Ide, Y. (2007) Genetic diversity of parental dan offspring populations in a Pinus merkusii seedling seed orchard detected by microsatellite markers. Bulletin of the Tokyo University Forest, the Tokyo University Forests 118: 1-14
Peakall, R., Smouse P.E. 2006. GENALEX 6: genetic analysis in Excel. Population genetic software for teaching and research. Molecular Ecology Notes 6: 288-295.
Shiraishi, S., Watanabe, A. 1995. Identification of chloroplast genome between Pinus densiflora Sieb et Zucc and P. thumbergii Parl based on the polymorphism in rbcL gene. Journal of Japanese Forestry Society 77: 429-436.
Takezaki N., Nei, M., Tamura, K. (2010) POPTREE2: Software for constructing population trees from allele frequency data and computing other population statistics with windows interface. Molecular Biology Evolution 27(4):747-752
Tsuda, Y., Ide, Y. 2005. Wide-range analysis of genetic structure of Betula maximowicziana, a long-lived pioneer tree species and noble hardwood in the cool temperate zone of Japan. Molecular Ecologi 14: 3929-3941
109 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
IDENTIFIKASI JAMUR ENDOFIT PADA TANAMAN HUTAN MENGGUNAKAN PENANDA MOLEKULER: POTENSI BAGI PENGENDALIAN PENYAKIT PADA
TANAMAN HUTAN
Istiana Prihatini
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta
E-mail: istiana2000@yahoo.com
ABSTRAK Biosekuriti merupakan upaya memberikan perlindungan terhadap tanaman hutan pada berbagai tingkatan
dimulai dari sebelum tanaman terserang hama dan penyakit hingga setelah terserang. Penelitian mengenai jamur ataupun mikroorganisme endofit telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia. Berbagai jenis jamur endofit pada berbagai jenis tanaman telah diidentifikasi dan peranan dari beberapa jamur endofit tertentu juga telah banyak dipelajari. Penelitian yang telah dilakukan terhadap jamur endofit pada tanaman hutan telah menunjukkan beberapa manfaat dari endofit bagi tanaman inang seperti memberi perlindungan terhadap hama, penyakit dan kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis endofit juga diketahui dapat bersifat sebagai patogen pada kondisi lingkungan tertentu. Informasi yang tepat mengenai identitas dan keragaman jenis jamur endofit pada tanaman hutan sangat bermanfaat untuk memahami peranan dari jamur endofit terhadap inangnya serta potensinya sebagai patogen. Tidak semua jenis jamur endofit dapat ditumbuhkan pada media buatan serta adanya keterbatasan karakter morfologi dari jamur yang tumbuh pada media buatan menyebabkan sulitnya dilakukan proses identifikasi terhadap jenis jamur endofit. Hal ini dapat diatasi dengan teknik identifikasi jamur endofit menggunakan penanda DNA. Paper ini akan memberikan gambaran mengenai pengunaan penanda DNA untuk mengidentifikasi jenis jamur pada daun Pinus radiata serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun, faktor genetik inang, serta tingkat ketahanan tehadap penyakit spring needle cast (SNC).
Kata kunci : Jamur endofit, distribusi, keragaman dan peranannya bagi tanaman inang
I. PENDAHULUAN
Jamur endofit adalah jamur yang hidup di dalam jaringan tubuh makhluk hidup tanpa
menimbulkan gejala penyakit (Carroll, 1988; Abare, 2005), termasuk juga dalam pohon berkayu.
Hubungan antara jamur endofit dengan tumbuhan inang telah banyak dipelajari pada tanaman
berkayu (Aly et al., 2011; Arnold, 2007). Salah satu manfaat endofit adalah memberikan
ketahanan pada tumbuhan inang terhadap kondisi alam yang ekstrim misalnya kekeringan dan juga
ketahahan terhadap serangan hama (Bittleston et al., 2011) dan penyakit (Arnold et al., 2003).
Distribusi dan keragaman jenis jamur endofit juga banyak dipelajari untuk mengetahui
hubungannya dengan banyak faktor. Perbedaan distribusi dan keragaman jenis jamur endofit
ditemukan memiliki hubungan terhadap beberapa hal, antara lain kondisi lingkungan tempat
tumbuh inang seperti latitude (Stefani and Berube, 2006), perbedaan musim (Terhonen et al.,
2011), perbedaan organ tanaman (Collado et al., 1996); (Alonso et al., 2011), berhubungan dengan
110 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
dengan kondisi kesehatan inang (Arnold et al., 2003); Botella et al., 2010); Crous et al., 2003),
serta dengan metode penelitian yang dipakai (Arnold et al., 2007).
Selain pada golongan rumput-rumputan, beberapa penelitian pada tanaman berkayu
menemukan adanya hubungan antara keberadaan jenis jamur endofit tertentu dengan ketahanan
inang terhadap penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur patogen (Ganley, 2008). Studi
mengenai mekanisme pertahanan yang diberikan oleh jamur endofit yang dipelajari pada beberapa
tanaman Pinus terhadap serangan serangga menemukan adanya pembentukan senyawa metabolit
sekunder (Calhoun et al., 1992; Clark et al., 1989), serta pertahanan yang diberikan oleh endofit
misalnya Trichoderma terhadap serangan jamur yang lain (Dyck, 2007; Kumar et al., 2012).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan juga menemukan beberapa jenis-jenis jamur yang
dikenal sebagai patogen yang tumbuh pada inang namun belum menunjukkan tanda-tanda serangan
penyakit (Sieber, 2007), karena perkembangannya masih sangat terbatas di dalam tubuh inang
(Ganley, 2004). Pada kondisi tertentu misalnya adanya stress yang menyebabkan
ketidakseimbangan nutrient, endofit akan tumbuh secara melimpah dan dampak pertumbuhan
jamur ini akan terlihat pada inang (Aly et al., 2011; Ganley, 2004).
A. Peranan DNA dalam identifikasi jamur bagi kegiatan pengendalian penyakit.
Jamur endofit dapat diidentifikasi menggunakan teknik isolasi jamur dalam bentuk kultur
(culture dependent technique) seperti yang digunakan oleh Ganley (2008), isolasi jamur secara
langsung pada tempat hidupnya (culture independent technique / direct PCR / environmental PCR)
seperti yang digunakan oleh Arnold et al (2007). Beberapa jenis jamur endofit dapat diidentifikasi
melalui morfologi kulturnya pada media buatan, namun karena umumnya jamur endofit merupakan
mitosporic ascomycetes, maka identifikasi menggunakan karakter morfologi dari badan buah dan
askospora tidak mungkin dilakukan. Beberapa senyawa biokimia dan karakter molekuler dapat
digunakan dalam proses identifikasi jenis jamur, misalnya protein/enzyme, genom, dan juga
karakter DNA, namun perkembangan teknologi dalam proses sekuensing DNA telah banyak
dimanfaatkan dalam proses identifikasi jamur karena kecepatan dan kemudahannya.
Identifikasi jenis jamur telah menjadi mudah dengan adanya teknologi sekuensing terhadap
gen-gen pada ribosomal RNA (Bruns and Gardes, 1993; Blankenship et al., 2001). Sekuens DNA
jamur juga menjadi alat yang sangat penting untuk mempelajari filogenetik jamur (Bonello et al.,
1998) serta dapat memberikan informasi bagi studi genetika populasi yang diperlukan untuk
merencanakan strategi dalam pengendalian penyakit (Brown, 1996).
Penemuan teknologi terbaru berupa whole genome sequencing atau next generation
sequencing pada beberapa tahun terakhir telah mempercepat pengunaan sekuen gen DNA dalam
111 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
kegiatan identifikasi jamur. Teknik ini memiliki beberapa kelebihan antara lain tidak memerlukan
proses kloning DNA jamur sehingga mengurangi jumlah pekerjaan, serta mampu meningkatkan
jumlah basa pada setiap kali proses (run) dan mendeteksi variasi genom antar individu (Aly et al.,
2011; Nowrousian, 2010). Tetapi jika penelitian melibatkan jumlah sampel yang besar, teknik ini
memerlukan biaya yang sangat besar, kelemahan lainnya adalah metode ini tidak seakurat metode
sekuensing Sanger (Aly et al., 2011; Nowrousian, 2010).
Metode penelitian yang didasarkan pada sekuen gen jamur telah banyak dilakukan dan
dikembangkan, beberapa contohnya adalah mempelajari hubungan antar jenis (species) maupun
genera (genus) dalam kelompok jamur karat (Uredinales), dengan menggunakan penanda small
subunit (SSU) rDNA yang spesifik bagi jenis Basidiomycetes (Wingfield et al., 2004), gabungan
penanda universal dan spesifik bagi jamur karat untuk mendeteksi sekuen 28S dan 18S rDNA
(Aime, 2006), serta penggunaan real time PCR untuk membedakan dua jenis jamur Puccinia yang
memiliki karakter morfologi sangat mirip (Crouch and Szabo, 2011).
B. Identifikasi jamur berdasarkan pada sekuen ITS
Internal Transcribed Spacer (ITS) adalah region yang terkonservasi yang terletak antara
18S, 5.8S dan 28S ribosomal DNA (rDNA) dan memiliki sekuen yang relatif pendek. Sekuen ITS
telah banyak digunakan untuk mempelajari identitas berbagai organisme seperti bakteri (Cai et al.,
2011; Ngan et al., 2011), jamur (Cheng et al., 2011; Zhao et al., 2011), serangga (Carew et al.,
2009) serta nematoda (Jiménez et al., 2011). Untuk identifikasi jamur, beberapa penanda ITS telah
banyak dikembangkan untuk mendeteksi sekuen ITS yang secara spesifik dimiliki oleh jenis-jenis
target tertentu misalnya ITS4A untuk mendeteksi jenis-jenis ascomycota (Larena et al., 1999) dan
ITS4B untuk mendeteksi jenis-jenis basidiomycota (Bruns and Gardes, 1993). Jenis primer spesifik
tersebut dapat digunakan untuk melengkapi beberapa penanda ITS yang bisa digunakan secara
umum pada berbagai jenis jamur yaitu ITS1, ITS2, ITS3, ITS4 dan ITS5 (White et al., 1990).
C. Penanda DNA dalam kegiatan biosekuriti tanaman hutan
Bidang penelitian yang baru dikembangkan pada laboratorium genetika molekuler Balai
Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan adalah penggunaan penanda
molekuler untuk biosekuriti tanaman hutan. Salah satu pendekatan biosekuriti adalah upaya
pencegahan dari berkembangnya suatu makhluk hidup yang tidak diinginkan serta dampaknya
terhadap lingkungan (Goldson, 2011). Jika invasi telah terjadi maka kegiatan biosekuriti juga
termasuk melakukan usaha untuk mengendalikan ancaman tersebut, termasuk mempelajari jenis
ancaman serta cara dan prosedur pengendalian (Goldson, 2011).
112 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Paper ini akan menggambarkan salah satu kegiatan penelitian menggunakan penanda DNA
untuk mengidentifikasi jenis-jenis jamur endofit pada salah satu tanaman hutan. Penelitian
dilakukan pada Pinus radiata umur 9 tahun yang telah terserang penyakit spring needle cast
(SNC). Penyakit ini hanya ditemukan pada P. radiata di Tasmania dan diduga memiliki hubungan
dengan tiga jenis jamur patogen (Podger and Wardlaw, 1990). Dengan penggunaan penanda DNA
diharapkan akan diperoleh informasi mengenai jenis jamur yang menjadi penyebab utama penyakit
tersebut sehingga upaya pengendalian penyakit ini efektif. Dengan dipelajarinya komunitas jamur
endofit diharapkan juga diketahui adanya jenis jamur yang berperan pada ketahanan tanaman
terhadap penyakit dan berpotensi sebagai agen biokontrol bagi penyakit tersebut.
D. Tujuan
Mempelajari keragaman jenis jamur endofit yang hidup pada daun P. radiata menggunakan
metode direct PCR serta mempelajari hubungannya dengan beberapa faktor yaitu umur daun,
faktor genetik inang (famili pohon), serta tingkat ketahanan terhadap penyakit spring needle cast
(SNC).
II. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
A. Bahan
Sampel berupa daun Pinus dikoleksi dari tanaman P. radiata pada kebun uji SNC Marker
Aided Selection (MAS) di Oonah Tasmania yang berumur 9 tahun yang sebelumnya telah diskoring
untuk melihat dampak serangan penyakit SNC.
B. Ekstraksi DNA
Daun yang telah dipotong berukuran kurang lebih 1 cm, digerus pada mortar dengan nitrogen
cair. DNA kemudian diekstraksi menggunakan buffer SDS yang telah dimodifikasi (Raeder and
Broda, 1985) dan dipurifikasi menggunakan glassmilk (Boyle & Lew 1995) sesuai prosedur yang
digambarkan oleh Glen (2001) sebelum digunakan sebagai template pada reaksi PCR.
C. Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kloning DNA hasil PCR
Pasangan primer ITS4A (Larena et al., 1999) dan ITS5 (White et al., 1990) digunakan untuk
mengamplifikasi segmen ITS rDNA. Konsentrasi bahan kimia yang digunakan pada proses PCR
adalah sebagai berikut: 67mM Tris-HCl, pH 8.8; 16mM (NH4)2SO4 (dalam 10× NH4-based
reaction buffer); 2.0 mM magnesium chloride; 200 M each deoxynucleotide triphosphate; 0.25
M each oligonucleotide primer; 0.02 units/ L of Mangotaq DNA polymerase; 0.2 g/ L of
113 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
bovine serum albumin; 10 µL DNA yang diencerkan 100x dalam TE dan ditambahkan air steril
hingga mencapai volume akhir 50 µL.
Proses amplifikasi dilakukan menggunakan mesin Peltier Thermal Cycler PTC-225 (MJ
Research) dengan kondisi suhu sebagai berikut; 95°C selama 3 menit, diikuti oleh 35 siklus dari
94°C selama 30 detik, 55°C selama 30 detik and 72°C selama 2 menit, kemudian fase extension
dengan suhu 72°C selama 7 menit.
D. Sekuensing DNA
Kloning DNA hasil dari PCR dilakukan sebelum proses sekuensing untuk memisahkan
fragmen DNA dari setiap individu jamur yang ditemukan dalam satu sampel yang sama. Proses
kloning menggunakan p-GEM -T Easy Vector (Promega) sesuai dengan manual dari produsen.
Koloni sel hasil kloning diseleksi kemudian dilakukan PCR-RFLP menggunakan enzim AluI dan
HinFI. Sekuening hanya dilakukan terhadap beberapa klon yang mewakili setiap kelompok sampel
dengan pola RLFP sama. Sekuensing DNA dilakukan oleh Macrogen Inc
(http://dna.macrogen.com/eng/).
E. Analisis filogenetik
Pengecekan dan proses editing kromatogram hasil sekuensing dilakukan menggunakan
software ChromasPro version 1.34, kemudian data sekuen disimpan dalam format FASTA.
Software BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) digunakan untuk mencari kecocokan
sekuen DNA sampel dengan sekuen DNA pada database GenBank yang telah diketahui jenisnya
(Altschul et al., 1990).
Sekuen DNA dikelompokkan sesuai dengan hasil pencocokan oleh BLAST dan dilakukan
proses alignment menggunakan program ClustalW (Thompson et al., 1994) yang ada pada software
BioEdit versi 7.0.9.0 (Hall, 1999). Klon yang memiliki variasi sekuen kurang dari 2%
dikelompokkan sebagai satu Operational taxonomic units (OTUs). Identitas jamur atau OTUs
ditentukan berdasarkan hasil dari analisis filogenetik. Identitas diberikan sampai pada level
taksonomi terendah yang paling memungkinkan.
Analisis filogenetik dilakukan terhadap setiap kelompok sekuen yang memiliki kemiripan
antara 98%-100%. Data sekuen dari GenBank yang memiliki tingkat kesesuaian paling tinggi
terhdap kelompok tersebut juga dimasukkan dalam proses analisis, termasuk satu atau dua sekuen
dari takson yang memiliki kedekatan dengan sampel juga dimasukkan sebagai outgroup.
Alignment terhadap semua sekuen sampel pada setiap kelompok takson sekali lagi dilakukan
sebelum proses analisis filogenetik. Analisis Maximum Likelihood dan Maximum Parsimony
114 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
dilakukan menggunakan program DNAml dan DNApars dari PHYLIP (Felsenstein, 1989) pada
software Biomanager (https://biomanager.info/). Semua pohon dendogram hasil analisis filogenetik
diamati menggunakan software TreeView (Page, 1996) dan dilakukan editing menggunakan
software Mega 4 (Tamura et al., 2007), jika diperlukan.
F. Analisis statistik
Analisis statistik digunakan untuk mempelajari hubungan antara komunitas jamur dengan
beberapa faktor yang berbeda misalnya umur daun, family pohon P. radiata serta tingkat serangan
penyakit SNC. Analisis permutational multivariate ANOVA (PERMANOVA) dan canonical
analyses of principal coordinates (CAP) dilakukan menggunakan software PRIMER v6 yang
digabungkan dengan software PERMANOVA+ (Anderson et al., 2008).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah jenis jamur endofit yang dapat terdeteksi pada kegiatan penelitian yang menggunakan
metode direct PCR adalah sebanyak 65 jenis. Jumlah ini lebih banyak dari pada jenis jamur yang
terdeteksi menggunakan metode penumbuhan kultur jamur yang bisa mendeteksi 41 jenis jamur
(Prihatini, unpublished). Beberapa jenis yang terdeteksi menggunakan metode ini juga terdeteksi
jamur melalui metode penumbuhan kultur jamur atau culturing (sebanyak 11 jenis), sedang 54 jenis
hanya terdeteksi menggunakan metode direct PCR.
Beberapa jenis jamur yang telah dilaporkan dan diketahui bersifat patogen pada beberapa
jenis konifer, yaitu D. septosporum, C. minus, L. pinastri and S. geniculata (Bulman, 2002;
Wardlaw, 1994; Ganley, 2004) juga terdeteksi pada P. radiata di Tasmania. Berdasarkan hasil
analisis Permanova, komunitas jamur pada tanaman P. radiata di Tasmania umur 9 tahun
menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan dengan umur daun. Hasil yang serupa juga
ditemukan analisis terhadap faktor genetika P. radiata (tree family).
Hasil analisis permanova terhadap komunitas jamur pada tingkat serangan penyakit SNC
yang berbeda (ditentukan oleh nilai skoring yang berbeda) menunjukkan adanya korelasi yang
signifikan (p= 0.0115). Hasil analisis CAP, menunjukkan adanya beberapa jenis jamur
(Teratosphaeriaceae sp. 2 dan Strumella sp) yang banyak ditemukan pada tanaman yang sehat,
namun tidak ditemukan pada tanaman yang sakit. Sebaliknya, ada juga beberapa jenis jamur yang
ditemukan secara melimpah pada tanaman yang sakit, namun jarang ditemukan pada tanaman yang
115 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
sehat, yaitu jenis L. pinastri, Teratosphaeriaceae sp.3, T. sp.13, T. sp. 24, Aspergillus sp. and
Rhystismatales sp. 2.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa hanya jenis jamur L. pinastri yang memiliki korelasi
sangat kuat dengan penyakit SNC di Tasmania, karena lebih sering pada tanaman yang sakit.
Sedangkan dua jenis jamur yang semula diduga turut menjadi penyebab penyakit SNC, jarang
ditemukan sehingga korelasinya dengan tingkat serangan SNC tidak dapat diketahui dengan jelas.
L. pinastri diduga mengalami tahapan sebagai jamur endofit karena sering juga ditemukan pada
daun muda yang masih sehat, sebelum bersifat patogen. Pada kondisi lingkungan yang sesuai
(kelembaban udara yang tinggi serta suhu yang rendah), jamur ini akan berkembang cepat dan
bersifat sebagai patogen.
Jenis jamur yang telah dikenal sebagai patogen pada P radiata maupun jenis konifer lain
yaitu C. minus, D. septosporum dan S. geniculata juga terdeteksi pada tanaman P. radiata di
Tasmania, meskipun tidak selalu terdeteksi pada sampel daun yang diamati. Jenis-jenis jamur
tersebut juga ditemukan pada P. radiata yang ditanam di New Zealand (Ganley, 2008). Ketiga jenis
jamur yang ditemukan di Selandia Baru dan Tasmania tersebut memiliki karakter DNA yang mirip,
namun jenis L. pinastri dari Selandia Baru memiliki karakter DNA yang berbeda dengan jenis yang
ditemukan di Tasmania (Prihatini, unpublished).
Komunitas jamur yang tumbuh pada daun P. radiata diketahui memiliki hubungan dengan
tingkat ketahanan tanaman, namun keterlibatan beberapa jenis jamur terhadap kesehatan tanaman
sulit ditentukan. Penelitian pada jenis tanaman yang sama menggunakan pendekatan yang berbeda
yang dilakukan di Selandia Baru, menunjukkan hasil yang serupa yaitu adanya jenis-jenis jamur
tertentu yang hanya terdeteksi pada tanaman yang sehat saja namun tidak terdeteksi pada tanaman
yang sakit, yaitu jenis Xylaria sp (Ganley, 2008). Jenis ini juga sering ditemukan pada tanaman
karet (Hevea concinna) yang sehat (Arnold et al., 2003), serta beberapa jenis dari Xylariaceae
sering ditemukan pada P. radiata yang sehat (Bradshaw et al., 2000). Namun sebagian besar jenis
jamur yang termasuk golongan Xylariales tidak terdeteksi melalui metode pendekatan direct PCR,
penelitian yang dilakukan pada jenis P. taeda di Amerika Serikat juga tidak berhasil mendeteksi
adanya jamur tersebut, meskipun ditemukan mudah tumbuh pada media agar (Arnold et al., 2007).
Jenis-jenis jamur endofit yang memiliki hubungan dengan ketahanan penyakit perlu dikaji lebih
jauh peranannya terutama untuk mencari jenis jamur yang mampu memberikan tekanan terhadap
pertumbuhan jamur patogen.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penanda DNA mampu membantu dalam
identifikasi jenis jamur patogen telah berada pada jaringan tanaman, sebelum memberikan dampak
negatif pada tanaman inang berupa kerusakan atau kematian jaringan. Beberapa pengamatan
116 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
terhadap jamur yang menjadi penyebab penyakit SNC sebelumnya selalu berdasarkan gejala
penyakit dan tanda-tanda infeksi pada daun yang sudah mati. Jika pengamatan dapat dilakukan
lebiha awal, tindakan pengendalian terhadap penyakit juga dapat dilakukan lebih awal, sebelum
dampak penyakit menjadi lebih serius.
IV. KESIMPULAN
Jenis jamur yang dikenal sebagai patogen pada berbagai jenis Pinus, yaitu L. pinastri, C.
minus, D. septosporum dan S. geniculata juga ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun di
Tasmania.
Jenis jamur yang ditemukan pada daun P. radiata umur 9 tahun tidak berhubungan secara
signifikan terhadap umur daun dan faktor genetik berupa family pohon inang.
Tiga jenis jamur yang semula diduga menjadi penyebab penyakit SNC (L. pinastri, C. minus dan S.
geniculata) cukup sering ditemukan pada penelitian ini, namun hanya jenis L. pinastri yang secara
signifikan berkorelasi dengan tingkat kerusakan penyakit pada Pinus yang lebih tua.
Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi lebih banyak jenis jamur endofit
dibandingkan metode pengkulturan jamur, meskipun ada beberapa jenis yang mudah tumbuh pada
media agar tidak mampu terdeteksi oleh metode direct PCR.
Penggunaan metode direct PCR mampu mendeteksi jenis jamur patogen yang terdapat pada
tanaman, sebelum tanaman menunjukkan gejala penyakit atau sebelum tanaman mati.
DAFTAR PUSTAKA
Abare 2005. Australian Forest and Wood Product Statistic. Commonwealth of Australian. Aime, M. C. 2006. Toward resolving family-level relationships in rust fungi (Uredinales). Mycoscience, 47, 112-122. Alonso, R., Tiscornia, S. & Bettucci, L. 2011. Fungal endophytes of needles and twigs from Pinus taeda and Pinus
elliotti in Uruguay. Sydowia, 63, 141-153. Altschul, S. F., Gish, W., Miller, W., Myers, E. W. & Lipman, D. J. 1990. Basic local alignment search tool Journal of
Molecular Biology, 215, 403-410. Aly, A. H., Debbab, A. & Proksch, P. 2011. Fungal endophytes: unique plant inhabitants with great promises. Applied
Microbiology and Biotechnology, 90, 1829-1845. Anderson, M. J., Gorley, R. N. & Clarke, K. R. 2008. PERMANOVA + for PRIMER: guide to software and statistical
methods. In: PRIMER-E (ed.). Plymouth. Arnold, A. E. 2007. Understanding the diversity of foliar endophytic fungi: progress, challenges, and frontiers. Fungal
Biology Reviews, 21, 51-66. Arnold, A. E., Henk, D. A., Eells, R. L., Lutzoni, F. & Vilgalys, R. 2007. Diversity and phylogenetic affinities of foliar
fungal endophytes in loblolly pine inferred by culturing and environmental PCR. Mycologia, 99, 185-206. Arnold, A. E., Mejia, L. C., Kyllo, D., Rojas, E. I., Maynard, Z., Robbins, N. & Herre, E. A. 2003. Fungal endophytes
limit pathogen damage in a tropical tree. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 100, 15649-15654
Bittleston, L. S., Brockmann, F., Wcislo, W. & Van Bael, S. A. 2011. Endophytic fungi reduce leaf-cutting ant damage to seedlings. Biology Letters, 7, 30-32.
117 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Blankenship, J. D., Spiering, M. J., Wilkinson, H. H., Fannin, F. F., Bush, L. P. & Schardl, C. L. 2001. Production of loline alkaloids by the grass endophyte, Neotyphodium uncinatum, in defined media. Phytochemistry, 58, 395-401.
Bonello, P., Bruns, T. D. & Gardes, M. 1998. Genetic structure of a natural population of the ectomycorrhizal fungus Suillus pungens. New Phytologist, 138, 533-542.
Botella, L., Santamaria, O. & Diez, J. J. 2010. Fungi associated with the decline of Pinus halepensis in Spain. Fungal Diversity, 40, 1-11.
Bradshaw, R. E., Ganley, R. J., Jones, W. T. & Dyer, P. S. 2000. High levels of dothistromin toxin produced by the forest pathogen Dothistroma pini. Mycological Research, 104, 325-332.
Brown, J. K. M. 1996. The choice of molecular markers methods for population genetic studies of plant pathogens. New Phytologist, 133, 183-195.
Bruns, T. D. & Gardes, M. 1993. Molecular tools for the identification of ectomycorrhizal fungi--taxon-specific oligonucleotide probes for suilloid fungi. Molecular ecology, 2, 233-242.
Bulman, L. S. 2002. Aerial survey of needle cast in the Carter Holt Harvey forest estate in Northland and Tairua Forest. New Zealand Forest Reseach
Cai, J., Yao, C., Xia, J., Wang, J., Chen, M., Huang, J., Chang, K., Liu, C., Pan, H. & Fu, W. 2011. Rapid parallelized and quantitative analysis of five pathogenic bacteria by ITS hybridization using QCM biosensor. Sensors and Actuators, B: Chemical, 155, 500-504.
Calhoun, L. A., Findlay, J. A., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1992. Metabolites toxic to spruce budworm from balsam fir needle endophytes. Mycological Research 96, 281-286.
Carew, M., Schiffer, M., Umina, P., Weeks, A. & Hoffmann, A. 2009. Molecular markers indicate that the wheat curl mite, Aceria tosichella Keifer, may represent a species complex in Australia. Bulletin of Entomological Research, 99, 479-486.
Carroll, G. C. 1988. Fungal Endophytes in Stems and Leaves: From Latent Pathogen to Mutualistic Symbiont. Ecology,69, 2-9.
Cheng, Y., Liang, J., Lü, Q. & Zhang, X. 2011. Advances in Botryosphaeriaceae: Identification, phylogeny and molecular ecology. Shengtai Xuebao/ Acta Ecologica Sinica, 31, 3197-3207.
Clark, C. L., Miller, J. D. & Whitney, N. J. 1989. Toxicity of conifer needle endophytes to spruce budworm. Mycological Research, 93, 508-512.
Collado, J., Platas, G. & Pelaez, F. 1996. Fungal endophytes in leaves, twigs and bark of Quercus ilex from Central Spain. Nova Hedwigia, 63, 347-360.
Crouch, J. A. & Szabo, L. J. 2011. Real-Time PCR Detection and Discrimination of the Southern and Common Corn Rust Pathogens Puccinia polysora and Puccinia sorghi. Plant Disease, 95, 624-632.
Crous, P. W., Halleen, F. & Petrini, O. 2003. Fungi associated with healthy grapevine cuttings in nurseries, with special reference to pathogens involved in the decline of young vines. Australasian Plant Pathology, 32, 47-52.
Dyck, B. 2007. Natural defence biocontrol: Fighting fungi with fungi. Inwood Magazine, 50-51. Felsenstein, J. 1989. PHYLIP - Phylogeny Inference Package (Version 3.2). Cladistics, 5, 164-166. Ganley, R. J. 2004. Fungal endophytes of Pinus monticola: Diversity, function and Symbiosis. Dissertation, University
of Idaho. Ganley, R. J. 2008. Density and diversity of fungal endophytes isolated from needles of Pinus radiata. Client Report
No 12925. Rotorua: SCION. Goldson, S. L. 2011. Biosecurity, risk and policy: A New Zealand perspective. Journal fur Verbraucherschutz und
Lebensmittelsicherheit, 6, 41-47. Hall, T. 1999. BioEdit: a user-friendly biological sequence alignment editor and analysis program for Windows
95/98/NT. Nucl. Acids. Symp. Ser., 41, 95-98. Jiménez, M., González, L. M., Carranza, C., Bailo, B., Pérez-Ayala, A., Muro, A., Pérez-Arellano, J. L. & Gárate, T.
2011. Detection and discrimination of Loa loa, Mansonella perstans and Wuchereria bancrofti by PCR-RFLP and nested-PCR of ribosomal DNA ITS1 region. Experimental Parasitology, 127, 282-286.
Kumar, K., Amaresan, N., Bhagat, S., Madhuri, K. & Srivastava, R. C. 2012. Isolation and Characterization of Trichoderma spp. for Antagonistic Activity Against Root Rot and Foliar Pathogens. Indian Journal of Microbiology, 52, 137-144.
Larena, I., Salazar, O., Gonzales, V., Julian, M. C. & Rubio, V. 1999. Design of a primer for ribosomal DNA internal transcribed spacer with enhanced specificity for ascomycetes. Journal of Biotechnology, 75, 187-194.
Ngan, G. J. Y., Ng, L. M., Jureen, R., Lin, R. T. P. & Teo, J. W. P. 2011. Development of multiplex PCR assays based on the 16S-23S rRNA internal transcribed spacer for the detection of clinically relevant nontuberculous mycobacteria. Letters in Applied Microbiology, 52, 546-554.
Nowrousian, M. 2010. Next-generation sequencing techniques for eukaryotic microorganisms: Sequencing-based solutions to biological problems. Eukaryotic Cell, 9, 1300-1310.
Page, R. D. M. 1996. TREEVIEW: An application to display phylogenetic trees on personal computers. Computer Applications in the Biosciences, 12, 357-358.
118 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Podger, F. D. & Wardlaw, T. J. 1990. Spring needle-cast of Pinus radiata in Tasmania: I. Symptoms, distribution, and association with Cyclaneusma minus. New Zealand Journal of Forestry Science, 20, 184-205.
Raeder, U. & Broda, P. 1985. Rapid preparation of DNA from filamentous fungi. Letters in Applied Microbiology, 1,17-20
Sieber, T. N. 2007. Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists? Fungal Biology Reviews, 21, 75-89. Stefani, F. O. P. & Berube, J. A. 2006. Biodiversity of foliar fungal endophytes in white spruce (Picea glauca) from
southern Quebec. Canadian Journal of Botany, 84, 777-790. Tamura, K., Dudley, J., Nei, M. & Kumar, S. 2007. MEGA4: Molecular Evolutionary Genetics Analysis (MEGA)
software version 4.0. Molecular Biology Evolution, 24, 1596–1599. Terhonen, E., Marco, T., Sun, H., Jalkanen, R., Kasanen, R., Vuorinen, M. & Asiegbu, F. 2011. The effect of latitude,
season and needle-age on the mycota of scots pine (Pinus sylvestris) in Finland. Silva Fennica, 45, 301-317. Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1994. CLUSTAL W: improving the sensitivity of progressive multiple
sequence alignment through sequence weighting, position-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc.Acid. Res., 22 4673-4680.
Wardlaw, T. 1994. Spring Needle Cast in Tasmanian Pinus radiata Plantations Prospect for Limiting Future Disease Losses.
White, T. J., Bruns, T., Lee, S. & Taylor, J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, Academic Press, Inc.
Wingfield, B. D., Ericson, L., Szaro, T. & Burdon, J. J. 2004. Phylogenetic patterns in the Uredinales. Australian Plant Pathology, 33, 327-335.
Zhao, P., Luo, J. & Zhuang, W. Y. 2011. Practice towards DNA barcoding of the nectriaceous fungi. Fungal Diversity,46, 183-191.
119 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PENANDA SINGLE NUCLEOTIDE POLYMORPHISMS (SNPs) UNTUK IDENTIFIKASI GENETIK DI SENGON (Falcataria moluccana) DAN ACACIA HIBRIDA
Vivi Yuskianti Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta E-mail: vivi_yuskianti@yahoo.com
ABSTRAK
Kemajuan teknologi yang pesat telah mendukung pengembangan berbagai metode analisa DNA terbaru. Salah satu penanda molekuler yang sekarang telah mulai banyak dikembangkan adalah penanda Single Nucleotide Polymorphism (SNP). Penggunaan penanda SNP memberikan banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya karena penanda SNP merupakan penanda yang langsung ke sasaran (direct marker), mempunyai tingkat mutasi yang rendah (10-8-10-9) sehingga relatif stabil dibandingkan penanda-penanda molekuler lainnya. Saat ini, penanda SNP telah dikembangkan untuk dua species utama di Indonesia yaitu sengon (Falcataria moluccana) dan Acacia hybrid (hibridisasi antara A. mangium dan A. auriculiformis). Sebanyak dua belas penanda SNP yang telah dimultipleks ke dalam tiga set analisis SNuPE (Single Nucleotide Primer Extension) dapat mendiskriminasi hampir 100% genotip sengon apabila semua set digunakan. Sementara itu, sebanyak lima penanda SNP yang juga telah dimultiplex ke dalam satu set analisis SNuPE di A. hybrid juga mampu mendeteksi lima spesifik alel di A. mangium, A. auriculiformis dan A. hybrid. Penanda SNP yang telah dikembangkan dapat digunakan sebagai alat identifikasi molekuler yang praktis karena kemudahannya dalam membaca data dan kemungkinan untuk otomatisasi analisisnya sehingga akan sangat berguna untuk pengembangan database genetik (genetic data-base). Selain itu, lima penanda SNPs di A. hybrid dapat digunakan untuk konfirmasi identitas hibrida, sertifikasi hibrida dan seleksi A. hybrid unggulan. Identifikasi produk hibrida pada pengembangan kebun benih dua species (bi-species seed orchard) dari A. mangium dan A. auriculiformis juga dapat diklarifikasi secara lebih effisien menggunakan sistem diagnostik berbasis SNPs ini.
Kata kunci: Penanda SNP, Identifikasi genetik, Sengon, Acacia hybrid
I. PENDAHULUAN
Berbagai teknologi dan metode analisa DNA seperti RAPD, AFLP, RFLP dan mikrosatelit
tersedia saat ini. Penanda-penanda tersebut sudah digunakan untuk berbagai studi genetik di
berbagai species. Penggunaan penanda-penanda tersebut, tetapi, menghadapi berbagai kendala.
Kendala yang meliputi masalah teknis (biaya, akurasi, efisiensi, transferability, repeatability dll)
dan analitis (akurasi model analisis, variabilitas tingkat dan pola mutasi dll) membatasi penggunaan
penanda DNA yang sudah ada. Salah satu penanda DNA yang banyak menarik perhatian dan
dianggap ideal adalah penanda single nucleotide polymorphisms (SNPs) (Gupta et al., 2001;
Rafalski et al., 2002). SNP adalah perubahan satu basa pada sekuens DNA (Gupta et al., 2001)
(Gambar 1).
120 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
110 170 AM01 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM02 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM03 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AM04 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCTGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR01 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR02 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR03 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC AR04 ACCATCCACGGCGTAGCCTCCGACGTTGGCAGCGTGATTCTTTTGGCACTCTCCATATCTC
Gambar 1. Identifikasi SNP pada penelitian diagnosis Acacia hibrida mengunakan 4 sampel Acacia mangium (AM) dan 4 sampel A. auriculiformis (AR). Huruf tebal pada tiap sampel individu yang ditandai dengan lingkaran merah merupakan SNPs.
Identifikasi SNPs di manusia (Wang et al., 1998; Vallone et al., 2004), hewan (Heaton et
al., 2002; dan Rohrer et al., 2007), tanaman khususnya pertanian (Zhu et al., 2003; Jin et al., 2003,
Bundock et al., 2003 dan Lopez et al., 2005) dan terbatas di kehutanan (Osman et al., 2003; Zhang
et al., 2005) telah menfasilitasi penggunaannya untuk berbagai studi genetik. Penanda ini telah
digunakan untuk tujuan seperti forensik (Brandstatter et al., 2003 dan Vallone et al., 2004), hibrid
identifikasi (Gros-Louis et al., 2005), resistensi terhadap patogen (Rickert et al., 2003) dan
asosiasinya dengan karakter ekonomis (Jin et al., 2003; Bundock et al., 2003).
Penanda SNPs mempunyai banyak keuntungan dibandingkan penanda lainnya. SNPs adalah
penanda yang langsung ke sasaran (direct marker) (Batley et al., 2003), mempunyai tingkat mutasi
yang rendah (10-8-10-9), nomenklatur alel yang sederhana (Vignal et al., 2002; Brumfield et al.,
2003), lebih stabil dengan sifat pewarisan lebih tinggi dibandingkan sistem penanda lainnya seperti
mikrosatelit dan Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Gupta et al., 2001).
Penelitian yang komprehensif yang membandingkan penggunaan penanda mikrosatelit dan SNPs
menunjukkan bahwa SNPs mempunyai keunggulan dibandingkan penanda mikrosatelit. Sistem
penanda SNPs tidak hanya menawarkan biaya yang lebih rendah (diperkirakan sekitar lima sampai
10 kali lebih rendah dibandingkan penanda mikrosatelit), mempunyai kemampuan untuk
mengulang (repeatability) dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan mikrosatelit, tetapi juga
meningkatkan kesempatan untuk mengembangkan database germplasm antar berbagai organisasi
di dunia (Jones et al., 2007).
Dengan berbagai keunggulan tersebut, penanda SNPs mempunya kekurangan dalam hal
informasi individu lokusnya yang rendah. Penanda SNP bersifat biallelic dengan hanya dua alel
pada setiap lokusnya yang berakibat dengan rendahnya nilai expected heterozyggosity yang
dipunyainya. Tetapi kondisi tersebut dapat dikompensasi dengan memperbanyak jumlah penanda
SNP yang digunakan. Sebagai ilustrasi dikemukakan bahwa untuk studi linkage, analisa tetua dan
BIOTEKNOLOGI HUTAN UN
identifikasi individu, diperki
penanda SNP. Simulasi komp
kuantitas informasinya (Glau
analisa tetua, untuk dapat mem
50 lokus SNPs untuk 10-15 lo
II. PENGEMBANGAN PE
2.1 Prosedur umum
Skrining fragmen Penanda SCAR RAPD
Pengembangan penanda SNPs di
1. Skrining fragmen RAPD
fragmen RAPD di seng
menggunakan pGEM-T V
Competent Cell). Produk
2. Pengembangan penanda S
digunakan untuk mende
didesain akan di evaluas
hasil evaluasi ini, akan te
SNPs.
3. Identifikasi SNPs. Seku
menggunakan primer SC
Alkaline Phosphatase da
ddNTPs. Sekuensing dila
Biosystem) dan kedua p
menggunakan CleanSEQ
dielektroforesis menggun
NTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUM
irakan dibutuhkan 3 kali lipat jumlah pen
puter juga menunjukkan keunggulan penand
ubitz et al., 2003). Sebagai contoh untuk in
mberikan kemampuan statistik yang sama, se
okus mikrosatelit, tergantung dari jumlah aleln
ENANDA SNPs DI SENGON (Falcataria moluHIBRIDA
Identifikasi SNPs Multiple Nucleotide Extension
i sengon dan Acacia hibrida menggunakan bebera
D. Sebanyak 288 dan 64 primer RAPD di
gon dan A. hibrida. Fragmen yang terpi
Vector/pGEM-T Easy Vector (Promega) da
hasil klon kemudian di PCR dan sekuensing
SCAR untuk spesifik identifikasi. Hasil sekue
esain sepasang primer SCAR. Primer SCA
si polimorfisme-nya menggunakan sampel y
rpilih beberapa primer SCAR yang akan digu
uensing untuk identifikasi SNP dimulai d
CAR, dilanjutkan dengan purifikasi PCR p
an Exonuclease I untuk mendegradasi kele
akukan dengan menggunakan Big Dye Termin
pasang primer SCAR. Purifikasi PCR produ
Sequencing Reaction Clean-up system (Age
nakan 3130 Genetic Analyzer (Applied
121 MBER DAYA HUTAN
nanda SNP untuk setiap
da mikrosatelit dalam hal
ndentifikasi individu dan
etidaknya dibutuhkan 30-
nya (Aitken et al., 2004).
uccana) DAN ACACIA
ex Single e Primer (SNuPE)
apa tahap kegiatan yaitu:
igunakan untuk skrining
lih kemudian dikloning
an Escheria coli (JM109
g.
ensing dari RAPD primer
AR yang telah berhasil
yang lebih banyak. Dari
unakan untuk identifikasi
dengan melakukan PCR
produknya menggunakan
ebihan PCR primer dan
nator v1.1/v.3.1 (Applied
uk sekuensing dilakukan
encourt) untuk kemudian
Biosystem). Dari hasil
122 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
sekuensing akan dideteksi keberadaan SNPs (mutasi maupun insertion/deletion (indels)).
Penanda SNPs dikembangkan menggunakan SNP hasil mutasi. Keberadaan SNPs ini
kemudian di evaluasi dan divalidasi keberadaannya di genom dengan menggunakan sampel
yang lebih besar. Dengan memperhatikan kualitas fragmen hasil validasi dan juga
polimorfismenya di dalam setiap target posisi di sekuen DNA, akan terpilih beberapa SNPs
yang akan dikembangkan menjadi penanda SNPs.
4. Pengembangan multiplex Single Nucleotide Primer Extension (SNuPE) analisis. Beberapa
target SNPs dengan bantuan software OLIGO versi 6,8 akan didesain menjadi primer SNPs.
Primer dapat didesain dari bagian depan target basa (forward) dan bagian belakang target basa
(reverse). SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix (Applied Biosystem) digunakan untuk
mendeteksi setiap target SNP. SNaPShot Multiplex Reaction Ready Mix bekerja berdasarkan
sistem pemanjangan satu basa (extension reaction) dengan bantuan ddNTP (ddATP, ddTTP,
ddCTP dan ddGTP) sehingga setiap target alel pada setiap target SNP akan dapat dideteksi.
PCR produk dari extension reaction ini kemudian dipurifikasi menggunakan Exonuclease I dan
hasil purifikasi akan dilarutkan dengan Hi-Di Formamide dan LIZ-120 internal sizing standard
sebelum dimasukkan ke dalm 3130 Genetic Analyzer untuk elektroforesis.
2.2. Penanda SNPs di sengon
Hasil skrining dengan 288 primer RAPD menggunakan 16 sampel sengon berhasil
mendapatkan 48 fragmen RAPD. Sebanyak 46 SCAR primer kemudian berhasil didesain. Delapan
sampel sengon dengan 31 primer SCAR digunakan untuk identifikasi SNPs. Hasil sekuensing
menunjukkan bahwa 17 primer SCAR menghasilkan data yang informatif. Setelah data sekuensing
dan hasil identifikasi SNPs dievalusi, sebanyak 12 SNPs dari 12 penanda SCAR terpilih (Tabel 1).
123 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Tabel 1. Penanda RAPD dan SCARs untuk sengon
Set Marker
RAPD SCAR
Sequence (5´ to 3´) Fragment
length (bp)
Sequence (5´ to 3´) Sequence
length (bp)
Concen-tration (µM)
A
A1 AGTCGGGTGGCAG ca. 450 F: CACTGCTGTTTTTCCTTCAATGG R: TGGTTTTAGGTGGAAGATGCACG 295 0.20
A2 AGTCGGGTGGGAC ca. 500 F: CTCGAGTACGTTTGTGGAGAATCC R: TTGATGCACAGAGTTGGAGGC 426 0.16
A3 AACGGTGACCACT ca. 620 F: CATCACCATCACATCACCAAGG R: AACTTTTGAGTAGTTTATTCGTTGGAGC 390 0.16
A4 GGACCCAACCAAC ca. 380 F: CAGTGTGAGATTTCTGGGAGAACCT R: TAGAAAAGCTGAATCAACATCTCCAA 138 0.16
B
B1 GGAGGAGAGGGAT ca. 650 F: AAGATGAGGAAGGAACGACAAGC R: AGAAGAAATAGGTGGCGATGAGG 451 0.20
B2 GGAGGAGAGGGAA ca. 680 F: GAAGTCGGAGAGAGGCATAGTGG R: TCGGAAGGATCGGAGTACCC 488 0.16
B3 AGTCGGGTGGACT ca. 510 F: GGAAGAAGGAGGTGGAGTGTAGACG R: GAGACCTCCACTGCTACTACTTCTGC 359 0.16
B4 AGTCGGGTGGCGA ca. 300 F: GGAGCAAGAGAAGGAATTGGAGG R: GAGCCATTTTAGCAGCATCAAGG 233 0.14
C
C1 GGGCCAATGTCAG ca. 700 F: GATTACAAACAAAGGACCCAACCG R: ACTCTTGAGGACTATGTGATTGACCC 271 0.12
C2 GAGAGCCAACGAA ca. 700 F: ATTCCCTCTTCACCATCGCC R: CGGACTCAGAATGGTTGCTTCC 517 0.16
C3 GGGCCAATGTCAG ca. 500 F: TATTTTTCTCGTGTTCGTCCTTCA R: CACAGTAAGATCATCATTGCAGAGTG 284 0.18
C4 GGGCCAATGTGAC ca. 450 F: TGTTGAGGCAAGCATATATCTTCTC R: ACTTAATCCATGCAGCTTTCTCATAG 336 0.20
Kedua-belas penanda ini kemudian dikembangkan menjadi sistem DNA typing dengan 3 set analisis multiplex single nucleotide primer extension (SNuPE) (Gambar 2, Tabel 2).
Tabel 2. Konsentrasi dan sekuens extension primer serta alel yang dideteksinya pada 3 set multiplex SNuPE di sengon.
Set Marker Primer orientation Sequence (5 ́to 3´)
Concen- tration (µM)
Detected SNPAllele 1 Allele 2
Base Length (bp)1) Base Length
(bp) 1)
A
A1 F T(9)-ATCAATTTCAAGCCTCT 1.0 G 33.2 A 35.0 A2 F T(11)-CTTTGATTATGCCACCT 1.0 C 36.4 T 37.8 A3 F T(21)-CACCACCACATCACCAT 1.0 G 41.3 A 43.3 A4 F T(23)-TTAGATTCGATGATGAC 1.0 G 46.7 A 47.7
B
B1 F AGAAGACACGTCACCCT 1.0 G 28.4 C 30.8 B2 R T(3)-CCATGGATTAAGCAGCG 1.0 G 32.8 T 35.6 B3 R T(12)-GGTGACTTGCCTTCTGT 1.0 G 37.7 A 39.7 B4 F T(18)-GGGAGCTTAATGTTCTG 1.0 C 44.1 T 45.7
C
C1 F ATAACTAGGCATCGAC 1.0 G 29.8 C 30.7 C2 F T(5)-CAAATTAGCCTTCTTCG 1.0 C 34.1 T 35.8 C3 F T(13)-GCGCGAATCTTAAGCGA 1.0 A 38.6 T 39.5 C4 R T(23)-GGAGAAATACTTTAAAT 1.0 G 45.5 A 46.9
124 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Gambar 2. Hasil optimatisasi pada tiga set multiplex SNuPE di sengon.
Kemampuan alel untuk mendiskriminasi (DP=Discrimination Power) sampel dihitung
menggunakan 76 sampel sengon. Hasilnya menunjukkan bahwa set A mempunyai DP tertinggi
(0,968), disusul oleh set B (0,965) dan set C (0,908). Kemampuan mendiskriminasi akan mencapai
hampir 100% jika ketiga set multiplex SNuPE digunakan (Tabel 4).
Tabel 4. Discrimation Power (DP) dari 3 set analisis multiplex SNuPE di sengon
Set MarkerNo. of observed phenotype Observed phenotype frequency DP1) Expected allele frequency2) DP3)
A1 A1A2 A2 Null A1 A1A2 A2 Null (observed) Allele 1 Allele 2 Allele 0 h (expected)
A
A1 20 30 26 0 0.26 0.39 0.34 0.00 0.658 0.46 0.54 0.00 0.497 0.623 A2 6 32 38 0 0.08 0.42 0.50 0.00 0.566 0.29 0.71 0.00 0.411 0.569 A3 23 29 23 1 0.30 0.38 0.30 0.01 0.671 0.44 0.44 0.13 0.603 0.673 A4 59 17 0 0 0.78 0.22 0.00 0.00 0.347 0.89 0.11 0.00 0.199 0.338 DP 0.968 0.965
B
B1 7 10 54 5 0.09 0.13 0.71 0.07 0.469 0.11 0.56 0.33 0.569 0.507 B2 16 34 25 1 0.21 0.45 0.33 0.01 0.647 0.42 0.54 0.04 0.531 0.636 B3 21 23 31 1 0.28 0.30 0.41 0.01 0.666 0.33 0.44 0.23 0.646 0.689 B4 10 11 55 0 0.13 0.14 0.72 0.00 0.438 0.20 0.80 0.00 0.325 0.491 DP 0.965 0.972
C
C1 2 17 56 1 0.03 0.22 0.74 0.01 0.406 0.14 0.83 0.03 0.285 0.392 C2 13 27 36 0 0.17 0.36 0.47 0.00 0.620 0.35 0.65 0.00 0.454 0.599 C3 57 16 3 0 0.75 0.21 0.04 0.00 0.392 0.86 0.15 0.00 0.248 0.404 C4 0 16 60 0 0.00 0.21 0.79 0.00 0.332 0.11 0.90 0.00 0.188 0.323 DP 0.908 0.902
DP of all sets 1.000 1.000
C
A
C
T
G
A
G
G
A
C
G
C
G
T
A
T
A
C
C
T
C
T
T
A
A
T
A
A 1 A 2 A 3 A 4 B 1 B 2 B 3 B 4 C 1 C 2 C 3 C 4
TA
A
G
G
G
C
C
S e t A S e t B S e t C
125 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
2.3. Pengembangan SNPs di Acacia hibrida
Sebanyak 48 fragmen RAPD terpilih dari RAPD primer skrining. Ke-48 RAPD fragmen ini
kemudian disekuensing dan 44 primer penanda SCAR berhasil diperoleh. Identifikasi SNP
dilakukan menggunakan 28 primer SCAR pada 4 sampel dari tiap species Acacia. Hasil sekuensing
menunjukkan ada 15 SNPs yang dapat digunakan untuk diagnosa A. hibrida. Setelah dilakukan
amplifikasi lebih lanjut menggunakan semua sampel Acacia yang ada, akhirnya terpilih 5 SNPs
(Tabel 4). Kelima penanda SNPs ini kemudian dimultipleks dalam satu set multipleks SNuPE
analisis (Gambar 3, Tabel 5).
Tabel 4. Sekuens dan konsentrasi primer RAPD dan SCAR untuk diagnosis Acacia hibrida
Marker
RAPD SCAR
Primer sequence (5 to 3 )
Fragment length (bp)
Primer sequence (5 to 3 )
Primer conc.(μM)
AHsnp1
AHsnp2
AHsnp3
AHsnp4
AHsnp5
AACGGTGACCGTA
AGTCGGGTGGCGT
GGAGGAGAGGCGT
GGAGGAGAGGAGC
GGAGGAGAGGAGC
700
700
550
350
250
F: ACGGTGACCGTACTCCTTCGC R: GTGACCGTAGCCGCCGAATAC
F: GTCGGGTGGCGTGGAAGGGT R: GTCGGGTGGCGTTCCTCGAG
F: GGAGGAGAGGCGTGCCGGGG R: GGAGGAGAGGCGTCCAACCA
F: GGAGGAGAGGAGCCAGTTGAG R: GGAGGAGAGGAGCACTCACACA
F: GGAGGAGAGGAGCGTAGCCC R: GGAGGAGAGGAGCCCATTAGG
0.06 0.06
0.20 0.20
0.12 0.12
0.12 0.12
0.20 0.20
Tabel 5. Sekuens, konsentrasi dari extension primer dan deteksi alel dari multiplex SNuPE untuk diagnosis Acacia hibrida.
Marker Extension primer sequences
(5 to 3 )
Primer length
(nt)
Primer concentration
(μM)a
Allele Mb Allele Ab
Base Sizec Base Sizec
AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5
CATGGCTTCTGCATTAC T6-AGCTCGCTATATATGTT T12-GGTTCGAGCTTGGAATC T14-TAGCCTCCGACGTTGGC T18-TCACTATTTCTTTCTCG
17 23 29 31 35
1.0 1.0 0.7 0.8 1.0
A C G T C
33.2 36.2 38.5 42.6 44.8
C A A A T
33.3 35.8 39.4 40.6 46.3
126 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
C
A. mangium
Acacia hybrid
A. auriculiformis
A C
G T
C
A
C
A G A A T
C
T
C A
A
A
T
AHsnp2 AHsnp3 AHsnp5 AHsnp1 AHsnp4
Gambar 3. Hasil optimatisasi pada analisis multiplex SNuPE untuk diagnosi Acacia hibrida.
Kemampuan mendiskriminasi (DP) pada 40 sampel A. mangium, 40 A. auriculiformis dan
16 Acacia hibrida menunjukkan bahwa dua primer (Ahsnp1 dan Ahsnp4) dapat 100% mendeteksi
spesifik alel pada tiap Acacia species. Primer Ahsnp3 mendeteksi spesifik alel A untuk A.
auriculiformis pada 3 sampel A. mangium sedangkan alel A specific alel untuk A. auriculiformis
tidak dapat dideteksi di dua sampel A. auriculiformis dan satu A. hibrida (Tabel 6).
Tabel 6. Discrimination Power (DP) dari multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida
Marker A. mangium (40)a A. auriculiformis (40) a Acacia hybrid (16) a
Allele Mb Allele Ab Allele Mb Allele Ab Allele Mb Allele Ab
AHsnp1 AHsnp2 AHsnp3 AHsnp4 AHsnp5
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
0.00 0.00 0.08 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
1.00 0.95 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
1.00 1.00 1.00 1.00 0.94
2.4. Efisiensi analisis
Analisis penanda SNP, awalnya, dilakukan untuk setiap target SNP (satu analisis untuk satu
target SNP). Tapi untuk mengefisiensikan analisis dan juga menghemat waktu dan biaya,
dikembangkan sistem multipleks. Multipleks dilakukan pada dua tahap yaitu (1) multipleks primer
SCAR dan (2) Extension reaction. Multipleks di extension reaction memungkinkan dengan
menggunakan panjang primer yang berbeda. Untuk mendapatkan panjang primer yang berbeda,
poly thymidine (Poly-T) ditambahkan pada setiap 5’ end extension primer. Optimatisasi dilakukan
pada satu primer dengan memperhatikan panjang alel pada tiap analisis. Setelah diperkirakan tidak
127 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
ada lagi overlap pada setiap primer, maka optimatisasi dilanjutkan dengan memultipleks beberapa
primer dalam satu reaksi. Primer yang mempunyai signal intensity yang tinggi akan dikurangi
konsentrasi primernya sedangkan yang kurang signal intensity-nya akan ditambah konsentrasi
primernya. Hal tersebut diulang beberapa kali sampai didapatkan hasil multiplex dengan signal
intensity yang seimbang dan tidak ada lagi overlap ukuran alel.
Selain multipleks, pendekatan dengan mengurangi volume bahan kimia yang digunakan
dalam tiap multiplex analisis juga dilakukan. Efisiensi dilakukan dengan cara mengurangi volume
SNaPShot Multiplex Ready Reaction Mix dalam setiap extension reaction menjadi 1/5 dan 1/10
dari volume yang disarankan oleh supplier. Pengurangan volume ini tidak mempengaruhi kualitas
hasil analisis. Setiap target SNP dapat dideteksi dengan baik.
III. APLIKASI
Tiga set multiplex SNuPE analisis pada sengon dapat digunakan sebagai alat identifikasi
yang praktis untuk identifikasi antar genotip sengon (Yuskianti dan Shiraishi, 2010). Sedangkan
lima penanda SNP pada satu set multiplex SNuPE analisis di Acacia hibrida dapat mendeteksi
spesifik alel pada A. mangium, A. auriculiformis dan juga hibridanya. Penanda yang telah
dikembangkan ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti konfirmasi identitas hibrida baik
hasil hibridisasi buatan maupun spontan, sertifikasi hibrida, dan seleksi hibrida unggulan dari
sebuah perkebunan. Selain itu, klarifikasi produk hibrida pada pengembangan kultivar hibrida
menggunakan kebun benih dua species yaitu A. mangium dan A. auriculiformis dapat dilakukan
secara lebih efisien (Yuskianti et al., 2011).
Selain itu, dengan berbagai keunggulan penanda SNPs disertai dengan kemudahan untuk
membaca data, dan automatisasi analisisnya, maka penanda ini akan sangat berguna untuk
pembuatan data-base genetik. Data yang ada yang berupa matrix data dapat disimpan di bank data.
Dengan adanya genetik data-base yang berbasis identifikasi SNPs ini maka konfirmasi identitas
material yang ada di lapangan dan juga yang ada di bank data dapat dilakukan dengan mudah tanpa
harus menginvestasikan banyak waktu untuk membaca data dan resiko adanya artifact alel dan dan
kesalahan mengenotiping seperti pada penanda mikrosatelit.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih diberikan kepada Prof. Susumu Shiraishi dari Kyushu University
Japan atas semua bantuan, saran dan dukungannya dalam melakukan penelitian ini.
128 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aitken, N., S. Smith, C. Schwarz and P.A. Morins (2004) Single nucleotide polymorphism (SNP) discovery in mammals: a targeted-gene approach. Molecular Ecology 13:1423-1431.
Batley, J., R. Mogg, D. Edwards, H. O’Sullivan and K.J. Edwards (2003) A high-throughput SNuPE assay for genotyping SNPs in the flanking regions of Zea mays sequence tagged simple sequence repeats. Molecular Breeding 11:111-120.
Brandstatter, A., T. J. Parsons and W. Parson (2003) Rapid screening of mtDNA coding region SNPs for the identification of west European Caucasian haplogroups. Int. J. Legal Med. 117:291-298.
Brumfield, R.T., P. Beerli, D.A. Nickerson and S.V. Edwards (2003) The utility of single nucleotide polymorphisms in inferences of population history. Trends in Ecology and Evolution 18 (5):249-256.
Glaubitz, J.C., J.R. Rhodes, and J.A. Dewoody (2003) Prospects for inferring pair wise relationship with single nucleotide polymorphisms. Molecular Ecology 12:1039-1047
Gros-Louis, M-C, J. Bousquet, L.E. Paques and N. Isabel (2005) Species-diagnostic markers in Larix spp. based on RAPDs and nuclear, cpDNA, and mtDNA gene sequences, and their phylogenetic implications. Tree Genetics Genomes 1:50-63.
Gupta, P.K., J.K. Roy and M. Prasad (2001) Single nucleotide polymorphisms: A new paradigm for molecular marker technology and DNA polymorphism detection with emphasis on their use in plants. Current Science 80(4): 524-535.
Heaton, M.P., G.P. Harhay, G.L. Bennett, R.T. Stone, W.M. Grosse, E. Casas, J.W. Keele, T.P.L. Smith, C.G. Chitko-McKown and W.W. Laegreid (2002) Selection and use of SNP markers for animal identification and paternity analysis in U.S. beef cattle. Mammalian Genome 13:272-281
Jin, Q., D. Waters, G.M. Cordeiro, R.J. Henry, and R.F. Reinke (2003) A single nucleotide polymorphism (SNP) marker linked to the fragrance gene in rice (Oryza sativa L.). Plant Science 165:359-364
Jones, E.S., H. Sullivan, D. Bhattramakki and J.S.C. Smith (2007) A comparison of simple sequence repeat and single nucleotide polymorphism marker technologies for the genotypic analysis of maize (Zea mays L.). Theoretical Applied Genetics 115:361-371.
Lopez, C., B. Piegu, R. Cooke, M. Delseny, J. Tohme and V. Verdier (2005) Using cDNA and genomic sequences as tools to develop SNP strategies in cassava (Manihot esculenta Crantz).Theoretical Applied Genetics 110:425-431
Osman, A., B. Jordan, P.A. Lessard, N. Muhammad, M.R. Haron, N.M. Riffin, A.J. Sinskey, CK. Rha, and D.E. Housman (2003) Genetic diversity of Eurycoma longifolia inferred from single nucleotide polymorphism. Plant Physiology 131:1294-1301
Rafalski, A (2002) Applications of single nucleotide polymorphisms in crop genetics. Current Opinion in Plant Biology 5:94-100.
Rickert, A.M., J.H. Kim, S. Meyer, A. Nagel, A. Ballvora, P.J. Oefner, and C. Gebhardt (2003) First-generation SNP/InDel markers tagging loci for pathogen resistance in the potato genome. Plant Biotechnology Journal 1:399-410.
Rohrer, G.A., B.A. Freking, and D. Nonneman (2007) Single nucleotide polymorphisms for pig identification and parentage exclusion. Animal Genetics 38:253-258.
Vallone, P.M., R.S. Just, M.D. Coble, J.M. Butler and T.J. Parsons (2004) A multiplex allele-specific primer extension assay for forensically informative SNPs distributed throughout the mitochondrial genome. Int. J. Legal Med 118:147-157.
Vignal, A., D. Milan, M. Sancristobal and A. Eggen (2002) A review on SNP and other types of molecular markers and their use in animal genetics. Genet. Sel. Evol. 34:275-305.
Wang, D.G., J-B. Fan, C-J. Siao, A. Berno, P. Young, R. Sapolsky, G. Ghandour, N. Perkins, E. Winchester, J. Spencer, L. Kruglyak, L. Stein, L. Hsie, T. Topaloglou, E. Hubbel, E. Robinson, M. Mittmann, M. S. Morris, N. Shen, D. Kilburn, J. Rioux, C. Nusbaum, S. Rozen, T.J. Hudson, R. Lipshutz, M. Chee, and E.S. Lander (1998) Large-scale identification, mapping, and genotyping of single-nucleotide polymorphisms in the human genome. Science 280:1077-1082
Yuskianti V, and S. Shiraishi (2010) Developing SNP markers and DNA typing using multiplexed single nucleotide primer extension (SNuPE) in Paraserianthes falcataria. Breed Science 60(1):87–92
Yuskianti, V., F.X. Huang, Z.B. Xiang and S. Shiraishi (2011) Diagnosis of interspecific hybrids between Acacia mangium and A. auriculiformis using single nucleotide polymorphism (SNP) markers. Silvae Genetica 60 (3-4):85-92
Zhu, Y.L., Q.J. Song, D.L. Hyten, C.P. Van Tassell, L.K. Matukumalli, D.R. Grimm, S.M. Hyatt, E.W. Fickus, N.D. Young, and P.B. Cregan (2003) Single-nucleotide polymorphism in soybean. Genetics 163:1123-1134
Zhang, B., Y. Zhou, L. Zhang, Q. Zhuge, M-X Wang, and M-R Huang (2005) Identification and validation of single nucleotide polymorphism in poplar using publicly expressed sequence tags. Journal of Integrative Plant Biology (Formerly Acta Botanica Sinica) 47 (12):1493-1499
129 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PEMULIAAN TANAMAN HUTAN DENGAN METODE PENDEKATAN TRANSCRIPTOMICS-PROTEOMICS
Purnamila Sulistyawati
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta - 55582
Email: purnamila@biotifor.or.id ; milaby_0229@yahoo.com
ABSTRAK
Mengingat perkembangan pasar yang menuntut ketersediaan bahan baku terutama kayu dan benih/bibit tanaman dalam skala besar, maka pemuliaan tanaman dengan tujuan untuk perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif harus terus dilakukan. Pemuliaan tanaman kehutanan secara konvensional biasanya tersendat karena daur hidup tanaman yang panjang dan kurang teridentifikasinya gen-gen mutasi, terbatasnya masa juvenile, adanya serangan penyakit dan lain-lain. Adanya perkembangan ilmu-ilmu baru dalam bidang bioteknologi tanaman dan sebagai bagian dari ilmu genomic; transcriptomic dan proteomic mampu memberikan informasi-informasi penting yang dapat dijadikan dasar pemuliaan pohon. Tujuan utama dari metode pendekatan transcriptomic dan proteomic ini adalah untuk mengidentifikasi gen atau suatu kumpulan gen tertentu yang mengekspresikan suatu sifat spesifik dari suatu species pohon. Teridentifikasinya gen-gen spesifik ini akan membantu pelaksanaan program pemuliaan pohon dalam hal seleksi pohon dengan sifat-sifat tertentu, misalnya kadar lignin, selulosa, panjang serat, ketahanan terhadap panas, ketahanan terhadap kekeringan, ketahanan terhadap penyakit, biosintesa minyak atsiri, dan sebagainya. Tulisan ilmiah ini akan berisi tentang penjelasan tentang transcriptomic dan proteomic secara umum, review beberapa penelitian yang menggunakan metode tersebut serta wacana penerapan metode transcriptomic-proteomic ini untuk mendukung program pemuliaan tanaman hutan di Indonesia.
Kata kunci: Pemuliaan tanaman, genomic, transcriptomic, proteomic
I. PENDAHULUAN
Hutan menempati hampir 82% daratan di muka bumi ini dan sekitar 50% diantaranya
menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati terrestrial. Sektor kehutanan mempunyai peranan
penting sebagai penyedia bahan baku/mentah baik itu berupa kayu ataupun non kayu yang bisa
dimanfaatkan untuk berbagai tujuan. Hutan merupakan sumber bahan baku bagi kebutuhan
manusia termasuk diantaranya bahan bangunan, produk kertas, kayu bakar, energi, minyak atsiri,
makanan dan lain-lain. Selain itu hutan juga berfungsi penting dalam ketersediaan layanan ekologi
seperti pelestarian keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan iklim, dan kelestarian
air.
Pelan namun pasti, industri kehutanan dunia mengalami peningkatan dari hutan tanaman
menggunakan silvikultur intensif kearah penggunaan teknik bioteknologi molekuler sebagai salah
satu alat untuk mendukung program pemuliaan tanaman kehutanan. Penerapan bioteknologi di
pemuliaan tanaman hutan dilihat sebagai sebuah kesempatan untuk mendapatkan informasi baru
mengenai tingkat, pola dan fungsi keragaman genetik pohon, rendahnya tingkat domestikasi pohon
130 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
hutan, siklus hidup yang panjang, keragaman spesies, rendahnya heritabilitas sifat yang menarik,
interaksi antara genotype dan lingkungan dan untuk menyediakan varietas pohon baru serta bahan
reproduksi disesuaikan dengan perubahan lingkungan, lingkungan sosial dan ekonomi.
Bioteknologi menyediakan alat penting bagi pembangunan berkelanjutan sektor kehutanan di
Indonesia. Setelah percobaan pertama tentang pemetaan genetik dan pemuliaan tanaman hutan
dilakukan, muncul harapan akan adanya teknik molekuler yang cepat dan akurat untuk dijadikan
dasar seleksi awal tanaman untuk sifat pertumbuhan dan sifat kayu serta peningkatan mutu kualitas
benih dan bibit tanaman kehutanan.
Perkembangan ilmu bioteknologi terbukti mampu menjembatani program pemuliaan
tanaman ini menjadi lebih cepat dan terarah. Bioteknologi hutan berhubungan dengan suatu
spektrum ilmu biologi modern yang meliputi semua aspek pemuliaan pohon dan kloning, DNA
genotyping, manipulasi gen dan transfer gen. Bioteknologi hutan dapat dibagi menjadi beberapa
cara yaitu propagasi, penanda molekuler, Marker-assisted selection (MAS) dan Marker assisted
breeding, genomics (transcriptomic, proteomics, metabolomic), dan rekayasa genetik Yanchuk
2001Wheeler 2004 Henderson and Walter 2006Trontin et al. 2007. Aplikasi teknik-teknik
bioteknologi modern mampu membantu mempercepat memperoleh benih dan bibit yang
berkualitas.
Karakter spesifik pada tanaman hutan yang biasanya dijadikan dasar program pemuliaan
tanaman hutan berbeda-beda bergantung pada tujuan pemuliaannya itu sendiri. Parameter yang
biasanya dijadikan dasar pemuliaan pohon antara lain parameter pertumbuhan, sifat fisik-kimia
kayu, resistensi terhadap penyakit, tahan cekaman kekeringan, resistensi terhadap suhu ekstrim dan
lain-lain. Sifat-sifat dasar pertumbuhan seperti tinggi batang, diameter, bebas cabang, kelurusan
batang masih dapat diukur dan diamati secara konvensional. Lain halnya dengan kandungan sifat
fisika dan kimia ataupun sifat resistensi. Hal ini karena pada sifat-sifat tersebut berhubungan
langsung dengan mekanisme biologi sel baik itu berupa pertumbuhan jaringan xylem-phloem
ataupun suatu mekanisme biosintesis. Dalam hal ini teknik genetika komparatif tidak mampu
mendeskripsikan apa yang terjadi pada yang terjadi pada gen dan/atau kumpulan gen sehingga gen-
gen tersebut mampu mengekspresikan suatu sifat karakteristik tertentu pada suatu jenis tanaman
hutan. Namun adanya teknologi genomik memfasilitasi pemahaman kita tentang mekanisme
molekuler yang mengontrol pembentukan kayu melalui penemuan gen baru yang diferensial dan /
atau memiliki signifikansi biologis dalam pertumbuhan sekunder. Studi komparatif antara ekspresi
gen (transcriptomic) dan profil protein (proteomics) akan memudahkan pemahaman secara
komprehensif tentang tahapan biokimiawi dan molekuler selama proses transkripsi RNA dan
mekanisme biosintesa lainnya pada suatu pohon dengan karakteristik tertentu.
131 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Teknologi Genomik, dalam pengertian umum adalah kemajuan dalam peningkatan
teknologi pada setiap level penelitian terhadap DNA (genomics), dan RNA (transcriptomics),
protein (proteomic), metabolit (metabolomic) dan fenotip (phenomic) (Tabel 1).Henry 2010
Tabel 1 Genomik dan hubungannya dengan ilmu-ilmu “omics” lainnyaOmic Level
Genomics DNATranscriptomics RNA
Proteomics ProteinMetabolomics Metabolite
Phenomics Phenotype
Penelitian genom pada tanaman kehutanan semakin banyak dilakukan untuk mendukung
program pemuliaan tanaman dengan cara memperbaiki genetik dan mengembangkan alat
diagnostik untuk pemulihan, pelestarian dan pengelolaan populasi alam. Menurut Neale dan
Kremer 2011, penelitian genom di tanaman kehutanan didorong oleh dua tujuan utama. Tujuan
pertama adalah pemuliaan dan perbaikan genetik dari beberapa spesies untuk mempersingkat rotasi
tanaman yang dapat tumbuh di bawah silvikultur intensif. Penelitian terhadap tujuan ini berusaha
untuk mengembangkan pasokan yang berkelanjutan dari produk serat kayu. Tujuan kedua adalah
pengelolaan sebagian besar populasi tanaman kehutanan yang masih asli dan berumur panjang.
Tujuan ini akan dicapai dengan menguraikan distribusi dan evolusi keanekaragaman adaptif dalam
konteks ekologi dan evolusi. Teknologi gen yang modern menyediakan berbagai macam teknik
untuk pemuliaan tanaman kehutanan termasuk analisa genetik dan teknik pendeteksi sistem
perkawinan secara molekuler berdasar pada teknik genomik dan ekspresi gen. Teknik-teknik ini
dapat membantu keberhasilan program bioteknologi di sektor kehutanan tanpa secara khusus
membuat tanaman kehutanan hasil rekayasa genetik. Hasil teknologi gen modern yang
diaplikasikan pada tanaman kehutanan dapat dilihat di hutan tanaman dan terutama pada tanaman-
tanaman klonal pada periode waktu pendek sampai menengah.
Baginsky 2009 memaparkan hubungan antar unsur-unsur dasar ilmu biologi dengan
beberapa komplek interaksi antara DNA, RNA, protein dan metabolit. Hubungan itu meliputi
regulasi transkripsi dan aktivitas enzim melalui akumulasi metabolit, sintesis dan degradasi asam
nukleat (DNA, RNA) oleh protein, peraturan interaksi asam nukleat dengan protein dan dengan
satu sama lain. Untuk semua kegiatan penelitian berbasis DNA dapat digolongkan kedalam ilmu
Genomics, sementara penelitian untuk mengetahui proses dan hasil dari transkripsi RNA
digolongkan menjadi Transcriptomics. Proteomics adalah salah satu cabang ilmu yang mempelajari
132 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
tentang biosintesa protein dan berhubungan erat dengan transcriptomic karena produk dari
transcriptomic adalah berupa asam-asam amino yang akan membentuk rangkaian protein komplek;
sedangkan Metabolomics mempelajari semua senyawa metabolit yang dihasilkan oleh suatu
organisme.
Penelitian menggunakan metode genomik terutama transcriptomic dan proteomic telah
banyak dilakukan, namun belum terlalu populer di Indonesia, terutama untuk tanaman kehutanan.
Untuk itu tulisan ini mencoba memaparkan dua macam teknik genomik tersebut sebagai salah satu
usaha untuk mengidentifikasi sifat-sifat atau karakter spesifik tertentu pada suatu pohon.
Diharapkan adanya tulisan ini akan membuka wawasan kita tentang salah satu ilmu bioteknologi
modern yang terbukti mampu mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan.
A. TRANSCRIPTOMICS
Transcriptomics adalah penghitungan transcriptome, yaitu satu set transkrip lengkap terdiri
dari dari sel atau populasi sel, yang meliputi protein-coding mRNA dan non-coding kecil RNA
(misalnya ribosom, tRNA, miRNA) dan kelimpahannya, untuk tahap perkembangan tertentu atau
kondisi fisiologis tertentu Schulze and Downward 2001Stears and Martinsky 2003Wang et al.
2009. Transcriptomic merupakan suatu teknik yang mengandalkan metode high-throughput yang
secara akurat menentukan atau memetakan perubahan dalam ekspresi gen global dalam genomik
fungsional. Tujuan dari penelitian menggunakan metode ini adalah untuk mendapatkan tingkat
ekspresi gen yang tinggi dan untuk membuat suatu database gen teridentifikasi yang berkontribusi
pada transkripsi RNA. Database gen ini memberikan kemampuan untuk mengidentifikasi
perbedaan kuantitatif dan kualitatif dalam ekspresi gen ketika membandingkan beberapa populasi
mRNA. Teknik ini mampu mengukur ekspresi puluhan ribu gen dalam satu waktu dan digunakan
untuk menemukan gen baru dan penentuan fungsi gen. Gen dengan pola ekspresi yang sama
seringkali berfungsi dalam proses biologis yang sama. Jadi pada prinsipnya metode transcriptomic
ini adalah untuk mengetahui transkripsi RNA dari suatu organisme. Transkripsi RNA ini
berhubungan erat dengan ekspresi gen atau kumpulan gen terhadap suatu sifat atau karakteristik
tertentu.
Berbeda dengan genom, transcriptome suatu organisme dapat bervariasi dengan kondisi
lingkungan eksternal. Metode transcriptome mampu menganalis banyak gen secara paralel.
Tahapan pekerjaan penelitian transcriptome secara umum adalah pengambilan sampel, isolasi total
RNA, purifikasi RNA, microarray, dan analisa data. Pada dasarnyanya, ribuan cDNA atau
oligonucleotida yang didapat dari EST (expressed sequence tags) digunakan untuk membuat
133 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
microarray DNA Lockhart and Winzeler 2000Selinger et al. 2000, yang kemudian dihibridisasi
dengan mRNA dari tanaman dengan suatu karaketer tertentu. Gen atau kumpulan gen yang
memperlihatkan perbedaan ekspresi gen kemudian diseleksi untuk penelitian lebih lanjut.
Umumnya, analisa transcriptomic menggunakan microarray, walaupun tidak tertutup kemungkinan
menggunakan teknik lainnya, seperti Serial analysis of gene expression (SAGE), fingerprinting
cDNA, dan EST. Metode pengurutan gen-gen pada transkripsi RNA lebih lengkap didapatkan
dengan menggunakan metode sekuensing RNA (RNA-seq). Sekuensing dapat dilakukan dengan
berbagai platform untuk menguji banyak ide dan hipotesis. Misalnya, menggunakan platform
Genome Analyzer Illumina, untuk sekuensing transcriptomes mamalia Mortazavi et al. 2008,
SOLID ABI Sekuensing untuk transcriptomes sel profil induk Cloonan et al. 2008 atau 454
Sequencing Life Science untuk menemukan SNP pada jagung. Barbazuk et al. 2007. Lister et
al.2009 dan Morozova et. al 2009 memberikan penjelasan yang detail mengenai penggunaan
beberapa alat sekuensing RNA modern dan canggih. Penelitian sekuensing transcriptome terbaru
dipaparkan oleh Wang 2010 dengan menggunakan mesin sequencing UHTS (ultra high-throughput
sequencing) untuk mendapatkan susunan gen hasil transkripsi RNA secara lengkap dan detil.
Kemajuan luar biasa didapat dari penelitian transcriptome pada Arabidopsis thaliana.
Pemetaan gen-gen yang mempengaruhi fungsi kerja hormon, kontrol transkripsi dan faktor lainnya
telah dilakukan Busov et al. 2008. Ulasan yang dilakukan oleh Groover dan Robischon 2006
memaparkan bukti molekuler bahwa gen-gen tertentu yang terlibat dalam pembentukan kayu
adalah suatu gen yang unik dan bahwa jaringan meristem apikal serta jaringan kambium vaskular
sama-sama berpengaruh pada proses pembentukan kayu. Street et al 2008 mengembangkan
penelitian transcriptomic untuk mengidentifikasi gen-gen yang berkontribusi pada pembentukan
dan perkembangan daun pada tanaman Arabidopsis. Sehubungan dengan adanya fakta bahwa
pertumbuhan tanaman dihasilkan dari proses differensiasi dan ekspansi sel terutama jaringan
meristem dan apikal, maka banyak penelitian transcriptomic yang berfokus untuk mengidentifikasi
gen pengatur pertumbuhan dan perkembangan Demura and Fukuda 2007. Penelitian transcriptomic
tentang proses transkripsi pada pertumbuhan kambial diferensiasi jaringan xylem pada tanaman
Populus dilakukan oleh Hertzberg et al 2001. Studi transcriptome untuk mengetahui ketahanan
suatu tanaman terhadap serangan hama dilakukan pada tahun 2006 oleh Thompson dan Goggin.
Coleman et. al 2005 memaparkan penggunaan metode transcriptomic ini untuk mempelajari respon
Arabidopsis thaliana terhadap methanol yang merupakan salah satu polutan pada air buangan
pabrik.
134 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
B. PROTEOMICS
Proteomic adalah ilmu yang mempelajari tentang protein baik itu struktur protein maupun
fungsi protein. Protein merupakan bagian penting dari organisme hidup, karena mereka adalah
komponen utama dari jalur metabolisme fisiologis sel. Istilah "proteomik" diciptakan untuk
membuat analogi dengan genomik, studi tentang gen. Kata "proteome" adalah campuran dari
"protein" dan "genom. Proteome adalah komplemen seluruh protein termasuk modifikasi yang
dilakukan untuk satu set tertentu protein, yang dihasilkan oleh organisme atau sistem. Ini akan
bervariasi dengan waktu dan persyaratan yang berbeda, atau stres yang dialami oleh suatu sel atau
organisme.
Setelah genomik dan transcriptomik, proteomik dianggap langkah berikutnya dalam studi
sistem biologi. Metode ini jauh lebih rumit daripada genomik terutama karena proteome organisme
tidak konstan dan berbeda dari sel ke sel dan dari waktu ke waktu. Hal ini karena gen yang berbeda
dinyatakan dalam tipe sel yang berbeda. Ini berarti bahwa bahkan set dasar protein yang diproduksi
dalam sel perlu ditentukan. Di dalam proses proteomic mRNA tidak selalu diterjemahkan ke dalam
protein dan jumlah protein yang diproduksi untuk suatu jumlah mRNA tergantung pada gen yang
ditranskripsi dan keadaan fisiologis sel.
Tujuan dari proteomik adalah deskripsi komprehensif kuantitatif ekspresi protein dan
perubahannya. Studi tentang proteomic membutuhkan sarana analisa data berbasis komputasi yang
lengkap termasuk didalamnya adalah alat elektroforesis gel, kristalografi, infrared dan spectroscopy
massa dan peralatan peralatan MALDI-TOF (matrix laser desorption/ionization-time of flight).
Peralatan biokimia terpenting untuk metode proteomic adalah spektrometri massa (MS)McDonald
and III 2000Mann et al. 2001 dan gel elektrophoresis 2-dimensi McDonald and III 2000Gorg et al.
2004. Umumnya tahapan pekerjaan proteomic dimulai dari pengambilan sampel, ekstraksi protein,
pemisahan protein menggunakan elektroforesis, purifikasi protein menggunakan kromatografi,
deteksi protein menggunakan gel elektrophoresis 2-dimensi, analisa gambar, peptida fingerprinting,
analisa susunan asam amino, database, karakterisasi protein, dan studi fungsional protein.
Proteomics belum terlalu banyak digunakan untuk tanaman kehutanan, namun tidak
menutup kemungkinan banyaknya keuntungan yang diperoleh bila menerapkan metode ini. Sebagai
contoh, studi proteomik yang dilakukan pada Picea glauca. Penelitian ini mengidentifikasi
sejumlah ekspresi protein yang berbeda-beda pada tahapan embrio somatik pada tanaman Picea
glauca Lippert et al. 2005. Proteomik memudahkan kita mengetahui dan memahami variasi
ekspresi gen/protein yang ditemukan dalam suatu spesies tanaman hutan, sehingga tersedia banyak
kandidat gen ekspresional yang bisa digunakan untuk menelusuri sifat-sifat tertentu seperti
135 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
toleransi terhadap suhu dingin dan panas, kekeringan, tahan penyakit dan fenologi.
Beberapa penelitian tentang proteomic diantaranya adalah yang dilakukan oleh Costa et al
pada tahun 1999 yaitu tentang identifikasi pembentukan protein pada daun dan xylem tanaman
Pinus laut. Coleman et al 2005 memaparkan penerapan metode proteomic untuk menganalisa
jaringan apoplast dari tanaman Arabidopsis thaliana sebagai bagian dari mekanisme respon
terhadap faktor biotik dan abiotik, sedangkan studi pendekatan proteomic untuk menganalisa
respon kekeringan dan kadar garam pada tanaman padi dilakukan oleh Salekdeh et al pada tahun
2002. Yuan et al 2011, menggunakan teknik proteomic untuk mempelajari sistem proteome pada sel
kloroplas tanaman Populus dan berhasil mengidentifikasi 119 jenis protein.
Gambar 1 menunjukkan hubungan antara genomic, transcriptomic dan proteomic pada
proses transkripsi RNA dan translasi. Hasil penelitian transcriptomic yang berupa gen atau susunan
gen-gen yang mengekspresi suatu karakter akan diteruskan pada proses translasi. Pada tahap ini
gen-gen tersebut akan berproses membentuk asam amino-asam amino yang akhirnya akan
membentuk rangkaian protein komplek. Pada proses inilah teknik proteome sangat perlu diterapkan
untuk mengetahui seberapa banyak gen-gen hasil transkripsi ditranslasi menjadi protein dan apakah
protein-protein tersebut mempunyai struktur dan fungsi tertentu yang berpengaruh pada suatu
organisme.
Beberapa penelitian yang menggabungkan teknik proteomic dengan transcriptomic
diantaranya adalah Ricorch et al pada tahun 2011 yang memaparkan tentang penggunaan teknik
transcriptomic dan proteomics secara bersamaan untuk mendeteksi gen-gen yang ditransferkan
pada suatu tanaman hasil rekayasa genetik. Hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya
penyimpangan fungsi gen tersebut dan menanggulangi efek yang mungkin ditimbulkan dari
penyimpangan fungsi tersebut. Integrasi teknik proteomic dan transcriptomic juga dilakukan pada
tanaman white spruce untuk menginvestigasi kondisi fisiologis tanaman tersebut dalam kondisi
aktif dan dorman Leonardo et al. 2012. Teknik transcriptomic-proteomic juga digunakan pada
analisa penyakit tanaman Tan et al. 2009.
136 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Gambar 1. Penerapan studi genomic, transcriptomic dan proteomic secara global.
II. TRANSCRIPTOMIC-PROTEOMIC UNTUK TANAMAN HUTAN
Tanaman kehutanan dikenal sebagai tanaman dengan daur hidup yang panjang.
Dibandingkan dengan tanaman pertanian, pemuliaan genetik tanaman kehutanan membutuhkan
waktu yang panjang. Dimulai dari tahapan pembangunan populasi dasar hingga mencapai populasi
pemuliaan, sejak mulai dari pemilihan individu tanaman sampai pada pemanenan benih dari kebun-
kebun benih telah memakan waktu hampir seperlima abad pada jenis-jenis yang cepat tumbuh.
Memang cara konvensional ini terbukti mampu menghasilkan benih dan bibit tanaman kehutanan
yang berkualitas, namun mengingat kebutuhan kayu oleh pasar dunia yang semakin meningkat
diperlukan suatu usaha untuk mempercepat perolehan benih dan bibit tanaman kehutanan yang
berkualitas. Selain itu juga parameter-parameter pemuliaan tanaman secara konvensional yang
digunakan untuk seleksi pohon sangat terbatas, karena biasanya menitikberatkan pada parameter
pertumbuhan. Faktor perubahan iklim global dan peningkatan suhu bumi juga memberikan
pengaruh yang tidak bisa diabaikan.
Adanya terobosan baru dalam bidang genomik dengan merapkan metode transcriptomic dan
proteomic ini diharapkan akan mempercepat proses pemuliaan tanaman hutan. Kedua metode ini
mampu mengidentifikasi sifat atau karakter spesifik suatu organisme sampai ke tingkatan sel.
137 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Pemuliaan tanaman hutan selalu didasarkan pada seleksi fenotip yang kemudian diikuti dengan
penerapan teknik perkawinan yang berbeda-beda. Seleksi karakter/sifat yang menjadi prioritas
utama adalah seleksi pertumbuhan dan produksi. Karakter lainnya yang kemudian dipertimbangkan
seperti misalnya ketahanan terhadap serangan penyakit dan hama, pembentukan kayu (sifat fisik
dan kimia kayu) dan toleransi terhadap cekaman abiotik yang ekstrem. Semua karakter tersebut
diatas dipengaruhi oleh satu gen atau kumpulan gen-gen tertentu. Disinilah metode transcriptomic
dan proteomic bisa dijadikan alat untuk membantu mempercepat proses seleksi tanaman dalam
program pemuliaan tanaman hutan.
Sebagai contoh pada tanaman Acacia mangium. Tanaman Acacia mangium telah
dikembangkan secara besar-besaran berdasarkan parameter pertumbuhan. Tanaman ini dikenal
sebagai bahan baku pulp dan kertas sehingga beberapa tahun ini dikembangkanlah pemuliaan
tanaman A. mangium berdasarkan potensi kadar lignin dan selulosanya, sebagaimana kita tahu
bahwa proses pembuatan bubur pulp dan kertas memerlukan kadar lignin yang rendah untuk
menekan biaya delignifikasi. Metode transcriptomic dan proteomic dapat diterapkan disini untuk
membantu penyeleksian tanaman dengan cara menyusun suatu database gen pengendali rendemen
pulp yaitu gen-gen yang berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada biosintesa lignin dan
selulosa. Teknik rekayasa untuk memanipulasi kadar lignin memang belum teruji, namun penanda
EST lignin dan selulosa serta serial data cDNA gen penyusun lignin dan selulosa telah banyak
ditemukan dan telah tercatat di database gen. Apabila sekumpulan gen pengendali lignin (EST
lignin) telah dapat diidentifikasi dari mangium langkah selanjutnya adalah mencari korelasi antara
sekumpulan data EST tersebut dengan kadar lignin. Proses biokimia pembentukan lignin telah
dapat diuraikan dengan jelas Peter and Neale 2004 dan menyediakan kandidat komponen-
komponen gen yang bisa digunakan untuk analisa dalam level genome. Pada akhirnya, kita akan
mendapatkan individu-individu tanaman A. mangium yang mempunyai potensi sebagai sumber
bahan baku pulp yang telahteruji secara genetis tanpa harus menyeleksi ribuan pohon dan tanpa
harus melakukan penanaman berstruktur yang jelas akan memakan waktu panjang.
Serangan penyakit fusiform rust disebabkan oleh Cronartium quercuum (Berk.) Mayabe ex.
Shirai f.sp. fusiforme dan pitch canker disebabkan oleh Fusarium circinatum Nirenberg &
O’Donnell, sebelumnya disebut F. subglutinans f. sp. Pini pada tanaman loblolly pine dan slash
pine diidentifikasi menggunakan metode transcriptomic proteomic. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perbedaan mekanisme serangan pada tingkatan ekspresi gen dari kedua tanaman inang
tersebut Davis et al. 2004. Perbedaan serangan penyakit membawa pengaruh pada perbedaan
mekanisme resistensi tanaman terhadapa penyakit dan telah dipelajari dalam tingkatan ekspresi gen
Morse et al. 2004.
138 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
III. KESIMPULAN
Pada akhirnya tanaman kehutanan memerlukan suatu metode baru pemuliaan tanaman karena
pemuliaan tanaman secara konvensional memakan waktu lama dan teknik genetika komparatif
yang selama ini sudah dilakukan tidak efektif mendeskripsikan apa yang terjadi pada gen dan/atau
kumpulan gen tertentu.
Informasi menyeluruh tentang genom tanaman hutan akan mengubah cara pemuliaan tanaman
hutan. Dengan adanya dukungan dari semua pihak dan dengan ketersediaan sarana-prasarana
pelaksanaan pengembangan dan penerapan teknologi transcriptomic dan proteomic dapat dilakukan
untuk membantu mempercepat seleksi tanaman kehutanan untuk mendukung program pemuliaan
tanaman hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Baginsky, S. (2009). "Plat proteomics: Concepts, applications and novel strategies for data interpretation." Mass Spectrometry Reviews 28: 93-120.
Barbazuk, W. B., S. J. Emrich, H. D. Chen, L. Li and P. S. Schnable (2007). "Snp discovery via 454 transcriptome sequencing." The Plant Journal 51(5): 910-918.
Busov, V. B., A. M. Brunner and S. H. Strauss (2008). "Genes for control of plant stature and form." New Phytol (177): 589-607.
Cloonan, N., A. Forrest, G. Kolle, B. B. Gardiner, G. J. Faulkner, M. K. Brown, D. F. Taylor, A. L. Steptoe, S. Wani, G. Bethel, A. J. Robertson, A. C. Perkins, S. J. Bruce, C.CLee, S. s. Ranade, H. E. Peckham, J. M. Manning, K. J. McKernan and S. M. Grimmond (2008). "Stem cell transcriptome profiling via massive-scale mrna sequencing." Nature Methods 5(7): 613-619.
Coleman, J. O. D., R. P. Haslam and A. L. Downie (2005). "Transcriptomics and proteomics tools for optimising phytoremediation activities." Z. Naturforsch(60 c): 544-548.
Davis, J. M., A. M. Morse, D. A. Huber, C. D. Nelson and S. F. Covert. (2004). "Genetic architecture of loblolly pine interactions with contrasting pathogens." Phytopathology 94: S133.
Demura, T. and H. Fukuda (2007). "Transcriptional regulation in wood formation." Trends Plant Science 12: 64-70.
Gorg, A., W. Weiss and M. J. Dunn (2004). "Current two-dimensional electrophoresis technology for proteomics." Proteomics 4: 3665-3685.
Groover, A. and M. Robischon (2006). "Developmental mechanisms regulating secondary growth in woody plants." Current Opinion in Plant Biology(9): 55-58.
Henderson, A. R. and C. Walter (2006). "Genetic enginering in conifer plantaion forestry." Silvae Genetica 55(6): 253-262.
Henry, R. J. (2010). An overview of advances in plant genomics in the new millenium. Principles and practices of plant genomics. C. Kole and A. G. Abbot. South Carolina, USA, Science Publishers. 3: 1-23.
Hertzberg, M., H. Aspeborg, J. Schrader, A. Anderson, R. Erlandsson, K. Blomqvist, R. Bhalerao, M. Uhlen, T. T. Terri and J. Lundeberg (2001). "A transcriptional roadmap to wood formation." Proc Natl Acad Sci USA(98): 14732-14737.
Leonardo, M., G. Gonzales, W. E. Kayal, C. J. T. Ju, C. C. G. Allen, S. King-Jones and J. E. K. Cooke (2012). "Integrated transcriptomic and proteomic profilling of white spruce stems during the transition from active growth to dormancy." Plant, Cell and Environment 35: 682-701.
Lippert, D., J. Zhuang, S. Ralph, D. E. Ellis, M. Gilbert, R. Olafson, K. Ritland, B. Ellis, C. J. Douglas and J. Bohlmann (2005). "Proteome analysis of early somatic embryogenesis in picea glauca."
139 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Proteomics 5(2): 461-473. Lister, R., B. D. Gregory and J. R. Ecker (2009). "Next is now: New technologies for sequencing of
genomes, transcriptomes and beyond." Current Opinion in Plant Biology 12: 107-118. Lockhart, D. J. and E. A. Winzeler (2000). "Genomics, gene expression and DNA arrays." Nature 405: 827-
836. Mann, M., R. C. Hendrickson and A. Pandey (2001). "Analysis of protein and proteomes by mass
spectrometry." Annual Review of Biochemicals 70: 437-473. McDonald, W. H. and J. R. Y. III (2000). "Proteomic tools for cell biology." Traffic Munksgaard
International Publishers 1: 747-754. Morozova, O., M. Hirst and M. A. Marra (2009). "Application of new sequencing technologies for
transcriptome analysis." Annual Review of Genomics and Human Genetics 10: 131-151. Morse, A. M., C. D. Nelson, S. F. Covert, K. E. Smith and J. M. Davis (2004). "Pine genes regulated by the
necrotrophic pathogen, fusarium circinatum." Theor. Appl. Genet. 109: 922-932. Mortazavi, A., B. A. Williams, K. McCue, L. Schaeffer and B. Wold (2008). "Mapping and quantifying
mammalian transcriptomes by rna-seq." Nature Methods 5(7): 621-628. Neale, D. B. and A. Kremer (2011). "Forest tree genomics: Growing resources and applications." Nature
Reviews Genetics 12: 111-122. Peter, G. and D. Neale (2004). "Molecular basis for the evolution of xylem lignification." Current Opinion in
Plant Biology 7: 737-742. Ricroch, A. E., J. B. Berge and M. Kuntz (2011). "Evaluation of genetically engineered crops using
transcriptomic, proteomics, and metabolomic profilling techniques." Plant Physiology 155: 1752-1761.
Salekdeh, G. H., J. Siopongco, L. J. Wade, B. Ghareyazie and J. Bennett (2002). "A proteomic approach to analyzing drought- and salt-responsiveness in rice." Field Crops Research 76(2-3): 199-219.
Schulze, A. and J. Downward (2001). "Navigating gene expression using microarrays-a technology review." Nat Cell Biol 3: 190-195.
Selinger, D. W., K. J. Cheung and R. Mei (2000). "Rna expression analysis using a 30 base pair resolution escherichia coli genome array." Nature Biotechnology 18: 1262-1268.
Stears, R. L. and T. Martinsky (2003). "Trends in microarray analysis." NatMed(9): 140-145. Street, N. R., A. Sjodin, M. Bylesjo, P. Gustafsson, J. Trygg and S. Jansson (2008). "A cross-species
transcriptomics approach to identify genes involved in leaf development." BMC Genomics 9: 589-607.
Tan, K.-C., S. V. S. IPCHO, R. D. TRENGOVE, R. P. OLIVER and P. S. SOLOMON (2009). "Assessing the impact of transcriptomics, proteomics, and metabolomics on fungal phytopathology." Molecular Plant Pathology 10(5): 703-715.
Trontin, J. F., C. Walter, K. Klimaszewska, Y. S. Park and M. A. Walter (2007). "Recent progress in genetic transformation of four pinus spp. ." Transgenic Plant Journal 1(2): 314-329.
Wang, L., P. Li and T. P. Brutnell (2010). "Exploring plant transcriptomes using ultra high-thoughput sequencing." Briefings in Functional Genomics 9(2): 118-128.
Wang, Z., M. Gerstein and M. Snyder (2009). "Rna-seq: A revolutionary tool for transcriptomics." Nat. Rev. Genet 10: 57-63.
Wheeler, N. (2004). A snapshot of the global status and trends in forest biotechnology, In FAO. 2004b q.v. Yanchuk, A. D. (2001). "The role and implications of biotechnological tools in forestry." Unasylva 204: 53-
61. Yuan, H. M., K. L. i, R. J. Ni, W. D. Guo, Z. Shen, C. P. Yang, B. C. Wang, G. F. Liu, C. H. Guo and J. Jiang
(2011). "A systematic proteomic analysis of populus chloroplast by using shotgun method." Mol. Biol. rep 38(5): 3045-3054.
140 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
141 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
VERIFIKASI ASAL-USUL KAYU MERBAU (Intsia bijuga) MENGGUNAKAN PENANDA DNA: STRATEGI DAN STATUS PENELITIAN
AYPBC Widyatmoko dan Anto Rimbawanto
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta
Email: aviwicaksono@yahoo.com
ABSTRAK
Merbau (Instia bijuga) merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu keras berkualitas tinggi yang termasuk dalam suku Fabaceae (Leguminosae). Kayunya dimanfaatkan untuk pembuatan kusen, pintu dan jendela, lantai parket (parquet flooring), papan-papan dan panel, dan lain-lain. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar dari Sumatera sampai Papua. Jenis ini sudah masuk dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006 sebagai “Vulnerable under the category VU A1cd”. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah membangun data base struktur genetik dari populasi alam merbau guna memverifikasi asal-usul kayu merbau. Penelitian ini secara garis besar terbagi menjadi 5 kegiatan, yaitu: 1) Koleksi materi genetik dari populasi alam (Papua, Maluku dan Sulawesi), 2) Pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu, 3) Pengembangan penanda DNA untuk merbau (SSR dan SNPs), 4) Pembangunan database struktur genetik, dan 5) Verifikasi asal usul kayu berdasarkan database yang telah dibangun. Beberapa hasil yang telah diperoleh adalah; 1) Keragaman genetik dan jarak genetik 4 populasi menggunakan penanda RAPD, 2) Ekstraksi DNA kayu menggunakan DNAeasy kit, 3) Materi genetik merbau dari 18 populasi yang tersebar di Papua, Maluku dan Sulawesi, dan 4) Variasi sekuensing pada 4 kloroplas DNA non-coding region. Di akhir Desember 2014, diharapkan dapat disusun database struktur genetik populasi merbau berdasarkan 3 penanda DNA (chloroplast DNA, SSR and SNPs) yang dapat digunakan sebagai alat verifikasi asal-usul kayu merbau.
Key Words: Instia bijuga, struktur genetik, data base, penanda DN
I. PENDAHULUAN
Penebangan liar (illegal logging) memberikan dampak yang cukup besar terhadap
deforestasi, dampak lingkungan dan biodiversitas. Chain of Custody (CoC) merupakan sistem yang
diberlakukan untuk mengurangi terjadinya illegal logging. Sebagian besar metode yang digunakan
dalam CoC masih melalui pendekatan dokumen atau pelabelan (labeling). Sayangnya, sistem yang
digunakan saat ini masih membuka kesempatan untuk terjadinya pelanggaran. Metode yang lebih
akurat untuk mengatasi permasalahan ini adalah menggunakan penanda DNA. DNA dari sepotong
kayu akan selalu terkandung di dalamnya, akan selalu terbawa dan tidak dapat/susah untuk
dihilangkan/dirusak (Degen dan Fladung 2007).
Merbau (Intsia bijuga) merupakan salah satu jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi di
Asia Tenggara karena berwarna gelap, bertekstur indah dan kuat. Pemanfaatan yang utama dari
142 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
kayu merbau saat ini adalah sebagai bahan flooring, mebel eksterior, tangga, lemari dan dek.
Merbau tersebar secara alami di Pasifik bagian barat dan wilayah Indonesia-Malaysia, dari New
Guinea dan Palau di bagian barat sampai Fiji, Tonga dan Samoa di bagian tenggara sampai ke
Mariana, Caroline dan Kepulauan Marshall di bagian utara, serta bagian timur laut di Pasifik. Jenis
ini ditemukan di Madagaskar, Seychelles, Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipin, Papua New
Guinea, dan Australia. Di Indonesia, jenis ini secara alami tersebar mulai dari Sumatera sampai
Papua. Tetapi karena banyaknya penebangan liar dan eksploitasi yang berlebihan, dewasa ini
merbau hanya tersisa di Papua, Maluku dan sekitarnya.
Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species tahun 2006, I. bijuga terdaftar
sebagai Vulnerable dalam kategori VU A1cd. Tetapi hal tersebut belum dilakukan review ulang
sejak tahun 1994. Dengan demikian, keberadaan jenis merbau cukup mengkawatirkan.
Mendeteksi asal-usul geografis dari sampel kayu, dibutuhkan koleksi sampel yang memadai
dan genotyping dari populasi yang tersebar pada sebaran alaminya. Kemampuan untuk
mendeteksi asal usul sampel kayu yang berasal dari suatu wilayah tergantung dari jumlah sampel,
jumlah penanda polimorfik dan keragaman genetik dari populasi yang digunakan (Dykstra et al.,
2003; Lowe, 2007). Finkeldey et al. (2007) mencoba untuk mengidentifikasi dipterokarpa
menggunakan penanda genetika molekuler. Walaupun tidak mudah untuk mendeteksi asal usul
individu terhadap populasinya berdasarkan informasi penanda DNA, sistem ini akan sangat
bermanfaat untuk tujuan pengontrolan.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk menyusun database struktur genetik dari
populasi alami merbau untuk memverifikasi asal-usul kayu merbau yang diperkirakan berasal dari
penebangan liar.
II. RENCANA PENELITIAN
Implementasi dari kegiatan penelitian ini dibagi menjadi beberapa kegiatan yang
berkesinambungan. Kegiatan awal yang menjadi prioritas adalah koleksi materi genetik. Pada
waktu yang bersamaan, dilakukan juga pengembangan metode ekstraksi DNA untuk kayu.
143 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Kegiatan selanjutnya yang dilakukan di laboratorium adalah ekstraksi DNA dari bahan daun dan
kayu, purifikasi, reaksi PCR, elektroforesis dan skoring data, serta analisis dan interpretasi.
Penanda DNA yang digunakan untuk kegiatan penelitian ini adalah sekuensing dari kloroplas DNA,
mikosatelit atau SSR (simple sequence repeat) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphism). Alur
dari kegiatan penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur kegiatan penelitian
Uraian singkat kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Koleksi materi genetik merbau dari sebaran alaminya (Papua, Maluku dan Sulawesi)
Koleksi materi genetik (daun dan kayu) dilakukan dari sebaran alam merbau yang tersebar di 3
pulau, yaitu Papua, Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Koleksi tersebut sebagian besar
dilakukan di wilayah Papua, mengingat sebaran alami merbau yang terluas adalah di wilayah
tersebut. Daun akan dikumpulkan dari minimal 20 pohon yang tidak berkerabat. Materi kayu
dikumpulkan mewakili beberapa populasi yang akan dikoleksi.
2. Pengembangan metode ekstraksi DNA dari kayu
Ekstraksi DNA dari daun atau biji jauh lebih mudah daripada kayu. Berbagai macam metode
ekstraksi DNA untuk daun dan biji telah dikembangkan, tetapi metode untuk ekstraksi DNA
144 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
kayu masih terbatas. Pada kegiatan penelitian ini, ekstraksi total DNA dari kayu akan dilakukan
menggunakan metode yang sudah dikembangkan dan modifikasi dari metode-metode tersebut.
3. Pengembangan penanda DNA untuk merbau
Masing-masing penanda DNA mempunyai sifat dan karakteristik yang membuat mereka dapat
digunakan untuk verifikasi asal-usul kayu atau tidak. Beberapa penanda DNA bersifat umum
(universal), dimana dapat digunakan untuk berbagai species, sedangkan penanda lainnya
bersifat species-specific. Oleh karenanya, primer universal dapat langsung digunakan dari yang
sudah dikembangkan, sedangkan penanda spesifik harus dikembangkan untuk masing-masing
species. Penanda kloroplas dan mitokondria pada jenis daun lebar pada umumnya diturunkan
dari ibunya (maternally inherited) dan biasanya menunjukkan struktur geografis yang cukup
kuat walaupun variasinya relative rendah. Berbeda dengan penanda nuklear, penanda ini
diturunkan oleh kedua induknya (bi-parentally inherited) dan mempunyai variasi yang sangat
tinggi, walaupun kurang mencerminkan struktur geografisnya. Penanda DNA spesifik untuk
identifikasi asal-usul merbau belum banyak dikembangkan. Oleh karenanya, pada penelitian ini
baik kloroplas dan nuklear DNA akan digunakan. Penanda nuclear DNA seperti microsatellite
dan SNPs (single nucleotide Polymorphic DNA) akan dikembangkan karena kedua penanda ini
mempunyai variasi yang sangat tinggi sehingga akan berguna untuk identifikasi populasi atau
individu.
4. Pembangunan Database
Pembangunan database genetik dari populasi merbau merupakan syarat utama untuk
mengaplikasikan log tracking menggunakan penanda DNA. Database genetik diperoleh dengan
mengetahui struktur genetik dari populasi merbau pada sebaran alamnya. Selanjutnya database
tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis identitas genetik dari materi genetik
merbau, baik yang belum maupun sudah diketahui asal-usulnya. Database ini dibangun
menggunakan berbagai penanda DNA dan keseluruhan populasi yang telah dikoleksi materi
genetiknya. Isi dari database termasuk nama populasi, lokasi dan penanda spesifik.
145 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
5. Verifikasi asal-usul kayu menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan
Materi kayu yang telah dikoleksi dari beberapa populasi alam diekstraksi DNAnya dan
dilakukan analisis menggunakan penanda DNA yang telah dikembangkan. Hasil dari analisis
tersebut selanjutnya dibandingkan dengan data base yang telah dibangun untuk memverifikasi
asal-usul kayu tersebut.
III. CAPAIAN KEGIATAN
Kegiatan penelitian ini secara intensif dimulai pada tahun 2009. Berikut ini disampaikan
capaian hasil kegiatan yang telah diperoleh:
1. Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD
Keragaman genetik 4 populasi merbau menggunakan penanda RAPD telah dilaporkan oleh
Rimbawanto dan Widyatmoko (2006). Rata-rata variasi genetik dari empat populasi (Nabire,
Manokwari, Ternate, Charita) cukup tinggi. Rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,141,
yang berarti bahwa rata-rata 14,1% genetik antara keempat populasi tersebut berbeda. Informasi
jarak genetik antar populasi ini sangat penting karena dapat mencerminkan potensi untuk
membedakan populasi merbau. Berdasarkan penelitian tersebut, populasi merbau yang terdapat
di Papua dapat dibagi menjadi 6 wilayah (secara genetik berbeda). Pembagian wilayah ini
berdasarkan struktur genetik ini juga dilaporkan untuk jenis Araucaria cunninghamii
(Widyatmoko et al., 2010)
2. Koleksi materi genetik dari sebaran alam merbau (Papua, Maluku dan Sulawesi)
Sampai akhir tahun 2012, materi genetik baik berupa daun maupun kayu telah dikoleksi dari
dua puluh satu (21) populasi. Populasi-populasi tersebut tersebar di wilayah Papua (15
populasi), Maluku (5 populasi) dan Sulawesi Tenggara (1 populasi). Detail lokasi dari
masing-masing populasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.
146 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Tabel 1. Daftar populasi yang telah dikoleksi
No. Populasi Propinsi No. Populasi Propinsi
1 Manimeri Papua Barat 12 Fak-fak Papua Barat
2 Minamin Papua Barat 13 Mamberamo Papua
3 Oransbari Papua Barat 14 Sarmi Papua
4 Waigo Papua Barat 15 Wasur Papua
5 Wasior Papua Barat 16 Nusajaya Maluku Utara
6 Bintuni Papua Barat 17 Haruku Maluku Utara
7 Babo Papua Barat 18 Seram Maluku
8 Remsiki Papua Barat 19 Saumlaki Maluku
9 Mandopi Papua Barat 20 Damer Maluku
10 Serui Papua Barat 21 Buton Sulawesi Tenggara
11 Kaimana Papua Barat
Gambar 2. Peta lokasi sebaran populasi yang telah dikoleksi
3. Pengembangan metode ekstraksi DNA kayu
Beberapa metode ekstraksi DNA menggunakan sampel kayu telah dicoba pada penelitian ini.
Walaupun demikian, hanya metode yang menggunakan DNEasy Plant Mini Kit dan telah
dimodifikasi yang menghasilkan cukup DNA untuk dilakukan amplifikasi PCR. Hasil
amplifikasi PCR DNA kayu menggunakan 4 chloroplast DNA region primers diperlihatkan
pada Gambar 3.
147 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Secara umum metode ekstraksi DNA kayu adalah dengan menghancurkan kayu sampai
menjadi bubuk dan selanjutnya menggunakan nitrogen cair. Proses ekstraksi selanjutnya
menggunakan prosedur DNEasy Plant Mini Kit (Promega) yang telah dimodifikasi.
Gambar 3. Profil PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA kayu
4. Pengembangan penanda DNA untuk merbau
Untuk tahap awal, database struktur genetik populasi merbau akan disusun berdasarkan data
variasi dari 4 regions of chloroplast DNA. Keempat regions tersebut adalah trnT-trnL (CS2),
trnL-intron (CS3), trnD-trnY (CS4) dan rbcL-atpB (CS6). Keempat chloroplast DNA regions
tersebut telah digunakan untuk membedakan struktur genetik populasi pada beberapa species.
Dari keempat region tersebut ditemukan 7 substitutions, 3 microsatellite/SSR dan 3 indel
(insertion/deletion). Profik PCR dari keempat region tersebut disajikan pada gambar 4.
Sedangkan variasi sekuensnya dapat dilihat pada Tabel 2 (a, b dan c).
Gambar 4. Profile PCR dari 4 chloroplast region menggunakan sampel DNA daun
CS-2 CS-3 CS-4 CS-6
CS-2 CS-3 CS-4 CS-6
148 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
1: TAATTTATATAACAC
Tabel 2a. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region
No. Sampel
CS2 (trnT-trnL)
174 215-226 338-3501 408-4252
T/C T (SSR) Indel Indel
1 T 10 - -
2 T 11 - -
3 T 10 + +
4 T 12 - +
5 C 10 - -
6 T 11 - -
2: ATTATTATATATATGTATA
Tabel 2b. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan)
No. Sampel
CS3 (trnL-intron)
1-6 21 92 192 228 382-4063
T (SSR) C/A C/T G/T G/A Indel
1 6 C C G A -
2 5 C C G G -
3 6 A C G G +
4 6 A C T G -
5 6 C T G A -
6 6 C C G A -
3: TTTGTAGTAATATTAATAGTAGTA
Tabel 2c. Variasi sekuensing pada 4 chloroplast DNA region (lanjutan)
No. Sampel
CS4 (trnD-trnY) CS6 (rbcL-atpB)
341 520-532 587
T/C A (SSR) G/T
1 T 13 G
2 T 13 G
3 T 13 G
4 C 12 G
5 T 12 T
6 T 13 G
149 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PENUTUP
Kegiatan verifikasi asal-usul kayu merbau menggunakan penanda DNA ini nantinya
diharapkan dapat menghasilkan data base struktur genetik yang dapat membedakan populasi
sebaran alam merbau yang masih ada. Kegiatan ini direncanakan akan berakhir pada akhir tahun
2014. Pada saat tersebut, diharapkan dapat disusun database dari 20 populasi merbau yang tersebar
di Papua, Maluku dan Sulawesi dengan menggunakan 3 penanda DNA yaitu sekuensing dari
kloroplas DNA, mikrosatelit dan SNPs. Selanjutnya database yang disusun tersebut akan dicoba
untuk memverifikasi asal-usul kayu yang telah dikoleksi.
Dibandingkan dengan metode CoC lainnya, metode menggunakan penanda DNA ini lebih
akurat di dalam mendeteksi asal-usul kayu karena DNA tidak dapat dimanipulasi. Walaupun data
base yang nantinya disusun tidaklah mudah untuk membedakan populasi secara geografis, tetapi
diharapkan dapat digunakan sebagai salah metode untuk mengontrol identifikasi asal-usul kayu
merbau.
DAFTAR PUSTAKA
Degen, B. and Fladung, M. 2007. Use of DNA-markers for tracing illegal logging. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 6-14.
Dykstra, D. P., Kuru, G., Taylor, R., Nussbaum, R., Magrath, W. B. and Story, J. 2003. Technologies for wood tracking: Verifying and monitoring the Chain of Custody and Legal Compliance in the timber industry. Workshop on Log Tracking and Chain of Custody Systems. sesumei@worldbank.org.
Finkeldey, R., Rachmayanti, Y., Nuroniah, H., Nguyen,N.P., Cao, C. and Gailing, O. 2007. Identification of the timber origin of tropical species by molecular genetic markers – the case of Dipterocarps. Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 20-27.
Lowe, A. 2007. Can we use DNA to identify the geographic origin of tropical timber? Proceedings of the international workshop “Fingerprinting methods for the identification of timber origins” (Editor: Bernd Degen). pp. 15-19.
Rimbawanto, A. and Widyatmoko, AYPBC. 2006. Keragaman genetik empat populasi Intsia bijugaberdasarkan penanda RAPD dan implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Tanaman Hutan 3: 149-154.
Widyatmoko, AYPBC., Lejo, E. S. P., Prasetyaningsih, A. dan Rimbawanto, A. 2010. Keragaman Genetik Populasi Araucaria cunninghamii menggunakan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 4: 63-77
150 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
151 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
APLIKASI MOLECULAR SEXING PADA GELATIK JAWA (Padda oryzivora)
Pramana Yuda
Fakultas Teknobiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta Jl. Babarsari 44 Yogyakarta 55281
Email: pramyd@staff.uajy.ac.id; pram_yuda@yahoo.com
ABSTRAK
Penentuan jenis kelamin penting dalam kajian ekologi dan biologi konservasi. Untuk jenis burung monomorfik, seperti Gelatik Jawa, penentuan jenis kelamin tidak mudah dilakukan, lebih-lebih untuk individu yang belum dewasa. Penelitian ini menjabarkan aplikasi molekuler sexing pada Gelatik Jawa, dengan metode PCR dan penanda molekuler dari Gen CHD (chromobox-helicase-DNA-binding). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F dan 2718R. Jumlah sampel total sebanyak 66 individu dewasa dan 20 anakan burung. Hasil amplifikasi dengan PCR divisualisasi dengan elektroforesis gel agar (3%). Berdasarkan pola pita semua sampel bisa diindetifikasi jenis kelaminnya. Uji chi squire mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin pada Gelatik jawa, baik pada populasi dewasa maupun anakan tidak menyimpang dari rasio 1:1.
I. PENDAHULUAN
Kepastian identifikasi jenis, individu dan jenis kelamin sangat penting dalam kajian ekologi
dan aplikasinya dalam biologi konservasi. Namun, informasi tentang jenis kelamin dan rasionya
dalam suatu populasi masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya adalah kesulitan dalam
mengidentifikasinya. Lebih dari separuh jenis burung termasuk monomorfik, antara jenis jantan
dan betina sulit dibedakan secara langsung (berdasarkan morfologi eksternal). Metode yang telah
dikembangkan untuk identifikasi jenis kelamin burung tidak efisien dan ada juga yang
menimbulkan resiko tinggi (Cerit dan Acanus, 2007).
Untuk mengatasi permasalahan ini telah dikembangkan teknik DNA untuk identifikasi jenis
kelamin. Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode berbasis pada teknik DNA ini. Teknik
tersebut menggunakan gen yang terletak pada kromosom sex. Burung betina memiliki kromosom Z
dan W, sementara burung jantan dua kromosom Z. Beberapa penanda molekuler sudah digunakan
untuk teknik ini. Saitoh et al.(1991) menggunakan primer XhoI untuk mengidenfikasi jenis kelamin
ayam. Teknik yang sama digunakan Petitte dan Keglemeyer (1992) bahkan untuk embrio ayam.
Keduanya mengunakan teknik PCR. Canon et al. (2000) menggunakan metode analisis flow
cytometric DNA inti, berhasil mengidentifikasi jenis kelamin tiga jenis burung paruh bengkok.
Marka RAPD telah dikembangkan oleh Welsh dan McClelland (1990) dan Williams et.al (1990).
marka ini hanya mengamplifikasi kromosom w pada jenis burung betina. Marka lain yang telah
digunakan untuk identifikasi jenis kelamin adalah mikrosatelit (Nesje dan Røed, 2000), minisatelit
152 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
(Miyaki et al.,1997), AFLP (Griffiths dan Orr,1999), RFLP (Quinn et al., 1990) dan yang sekarang
paling banyak digunakan adalah gen CHD (chromo-helicase-DNA-binding) (Griffths et al., 1998).
Burung betina memiliki gen CHD1-W dan CHD1-Z , sedangkan burung jantan memiliki dua gen
CHD1-Z. Hasil amplifikasi gen tersebut menunjukan dua pita pada betina dan satu pita pada jantan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung Gelatik jawa (Padda
oryzivora) dengan menggunakan pendekatan molekuler. Pada saat ini Gelatik jawa populasinya
sangat sedikit dibandingkan dengan kondisinya sebelum tahun tujuh puluhan. Dengan kondisi yang
ada IUCN telah memasukan burung ini dalam kategori Rentan /Vulnerabel (BirdLife
International,2012). Kajian ekologi populasi Gelatik jawa untuk menduga nasibnya dimasa
mendatang memerlukan data demografi. Data tersebut tidak terbatas pada populasi total, tetapi lebih
detil tentang struktur populasi dan seks rasionya. Untuk data yang terakhir tentunya sangat
diperlukan identifikasi jenis kelamin.
Gelatik jawa berdasarkan morfologinya relatif sulit dibedakan antara burung jantan dan
betina. Pada saat musim berbiak, bagi yang terlatih, bisa melihat tanda-tanda perbedaan keduanya
pada ukuran dan bentuk paruh dan warna lingkar matanya. Namun diluar masa berbiak sulit
membedakan burung dewasa yang jantan atau betina, lebih-lebih pada burung anakan atau
mudanya.
II. METODE PENELITIAN
A. Sampel
Total sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 66 individu burung dewasa dan
20 individu burung remaja. Sampel darah untuk sumber materi DNA diperoleh dari cara memotong
ujung kuku burung. Darah yang keluar diambil dengan pipa mikrokapiler dan disimpan dalam
larutan penyangga (Queens’ Lysis Buffer) pada tabung mikro (1,5 ml). Ekstraksi DNA dari darah
tersebut menggunakan metode ekstraksi fenol-kloroform (Sambrook et al. 1989) atau DNeasy®
Tissue Kit (Qiagen Pty Ltd), sesuai dengan metode untuk darah binatang.
B. PCR
Identifikasi jenis kelamin Gelatik jawa menggunakan metode PCR yang dikembangkan oleh
Fridolfsson dan Ellegren (1999). Pasangan primer yang digunakan adalah 2550F (5’-
GTTACTGATTCGTCTACGAGA -3’) and 2718R (5’- ATTGAAATGATCCAGT GCTTG -3’).
Volume reaksi PCR 25 ul dengan komposisi 10-20 ng DNA; 10x PCR Buffer (200mM Tris-HCl
(pH 8.4); 500mM KCl); 2.0mM MgCl2; 5 pmol tiap primer; 0.15 mM tiap dATP, dTTP, dCTTP,
153 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
dGTP dan 1 unit Tag polymerase (Life Technology). Kondisi siklus PCR adalah sebagai berikut:
pre denaturasi 94oC 2 menit; 30 kali siklus denaturasi pada suhu 94oC (30 detik), penempelen
primer (annealing) pada suhu 50oC selama 45 detik, dan elongasi/ekstensi pada suhu 72oC (30
detik), dan ekstensi akhir pada suhu 72oC (5 menit). Hasil amplifikasi divisualisasi dengan
elektroforesis gel agarosa (3%) dengan larutan penyangga TBE dan pewarna ethidium bromida.
III.HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil PCR dan elektroforesis menunjukan bahwa semua sampel Gelati jawa teramplifikasi,
menunjukan adanya pita tunggal atau pita ganda. Pita tunggal berukuran 650 bp, mengindikasikan
sampel tersebut memiliki gen CHD1Z dan berarti berjenis kelamin jantan. Sedangkan yang berpita
ganda memiliki ukuran 450 dan 650 bp, mengindikasikan sampel tersebut betina, yang memiliki
gen CHD1 W dan CHD1 Z. Hasil ini menambah bukti kegunaan pasangan primer 2550F dan
2718R dalam mengindentifikasi jenis kelamin burung monomorfik dari suku Estrildidae. Pada
awalnya Fridolfsson dan Ellegren (1999) mengaplikasikan metode ini pada 50 jenis burung dari
berbagai ordo. Suku estrildidae belum ada wakil dalam uji awal tersebut.
Jumlah total sampel individu burung dewasa adalah 66. Hasil elektroforesis produk PCR
menunjukan 29 betina (berpita dua) dan 37 jantan (berpita tunggal). Sementara itu pada sampel
burung muda (20 ekor), hasilnya 12 burung berjenis kelamin betina dan 8 jantan. Hasil ini
mengindikasikan bahwa rasio jenis kelamin (sex ratio) burung Gelatik jawa adalah 1:1 ( (X2 = 0.97;
P= 0.32 and X2 = 0.80; P= 0.37, masing-masing untuk burung dewasa dan burung muda).
DAFTAR PUSTAKA
BirdLife International, 2012, Species factsheet: Padda oryzivora. Downloaded from http://www.birdlife.org. Cerit, h. And k. Acanus, 2007, Sex identification in avian species using DNA typing methods, World’s
Poultry Science Journal, 63: 91-99 Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. AND Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear
DNAfor sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research61: 847-850.
Clinton, M.(1994) Arapid protocol for sexing chick embryos. Animal Genetics25: 361-362. Canon, N.R., TELL, L.A., Needham, M.L. and Gardner, A.A. (2000) Flow cytometric analysis of nuclear
DNA for sex identification in three psittacine species. American Journal of Veterinary Research 61: 847-850.
Fridolfsson,A.K. and Ellegren, H. (1999) Molecular evolution of the avian CHD1 genes on the Z and Wsex chromosomes. Genetics155: 1903- 1912.
154 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Griffiths, R., Double, M.C., ORR, K. and Dawson, R.J. (1998) ADNAtest to sex most birds. Molecular Ecology7: 1071 -1075.
Griffiths, R. and ORR, K. (1999) The use of amplified fragment length polymorphism (AFLP) in the isolation of sex-specific markers. Molecular Ecology8: 671-674.
Kahn, N.W., JOHN, J. and Quinn, T. (1998) Chromosome-specific intron size differences in the Avian CHD gene provide an efficient method for sex identification in birds. The Auk115: 1074 -1078.
Miyaki, C.Y., Duarte, M.B., Caparroz, R., Nunes, A.V. and Wajntal, A. (1997) Sex identification of South American Parrots (Psittacidae, Aves) using the human minisatellite probe 33.15. The Auk 114: 516-520.
Nesje, M. and Røed, K. (2000) Sex identification in falcons using microsatellite DNAmarkers. Hereditas132: 261-263.
Petite, J.N. and Kegelmeyer, A.E. (1992) Sex Determination of chick embryos using a W chromosome-specific oligonucleotide probe and PCR. Proceedings of the XIX World’s Poultry Congress Amsterdam 531.
Quinn, T.W., Cooke, F. and Bradley, N.W. (1990) Molecular sexing of geese using a cloned Z chromosomal sequence with homology to the Wchromosome. Auk107:199-202.
Saitoh,Y.,Saitoh,H.,Ohtomo,K. and Mizuno,S.(1991) Occupancy of the majority of DNAin the chicken W-chromosome by bent-repetitive sequences. Chromosoma101: 32-40.
Welsh, J. and MC Clealland, M. (1990) Fingerprinting genomes using PCR with arbitrary primers. Nucleic Acid Research18: 7213-7218.
Williams, J.K.G., Rubelik,A.R., Livak, K.J., Rafalski, J.A. and Tingley, S.V. (1990): DNA polymorphisms amplified by arbitrary primers are useful as genetic markers. Nucleic Acid Research18: 6531- 6535.
155 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
PERAN HASIL PENELITIAN GENETIKA MOLEKULER DALAM MENDUKUNG STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp.
AYPBC WIDYATMOKO Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta
Email : aviwicaksono@yahoo.com
ABSTRAK
Aquilaria sp (A. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta dan A. chresna) merupakan anggota dari suku Thymelaeaceae yang mempunyai potensi tinggi untuk menghasilkan gaharu. Tingginya nilai ekonomi telah meningkatkan permintaan terhadap produk tersebut, sehingga mengakibatkan terjadinya eksploitasi gaharu yang berlebihan. Aquilaria sp termasuk dari jenis yang termasuk dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Oleh karenanya, kegiatan konservasi mutlak diperlukan untuk menyelamatkan sumber daya genetik yang masih tersisa. Beberapa penelitian menggunakan penanda DNA telah dilakukan untuk mengetahui besarnya keragaman genetik, jarak genetik dan penanda jenis pada kelima jenis tersebut. Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi dari 11 populasi Aquilaria sp yang digunakan adalah 0.199. Keragaman terbesar dimiliki oleh populasi A.malacensis Jambi (0.285), sedangkan keragaman terandah dimiliki oleh populasi A. hirta Bogor (0.118). Jarak genetik yang terjauh adalah antara A. malacensis dan A. microcarpa dari Jambi, sedangkan yang terdekat adalah antara A. microcarpa Samboja dan A. beccariana Berau. Pengelompokkan 11 populasi dari 5 jenis Aquilaria tersebut lebih ke lokasi grografis dibandingkan dari antar jenisnya sendiri. Berdasarkan 22 losi dari 14 primer RAPD, kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan satu sama lain, kecuali antara A. malaccensis dan A. microcarpa. Penanda RAPD yang diperoleh ini masih bersifat sementara (putative) karena untuk beberapa jenis sampel yang digunakan masih sedikit. Untuk mendapatkan penanda DNA yang dapat membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lagi. Dari 180 RAPD primer hanya diperoleh 1 lokus saja yaitu U-13 700 bp yang dapat digunakan sebagai penanda DNA sementara untuk membedakan kedua jenis tersebut. Informasi tersebut di atas tentunya sangat bermanfaat bagi menyusun strategi konservasi untuk Aquilaria sp. Pemisahakan lokasi konservasi eks-situ untuk masing-masing jenis sangatlah perlu mengingat mudahnya terjadi hibridisasi di antara jenis. Keterwakilan sebaran populasi dari masing-masing jenis juga diperlukan untuk dapat tetap mempertahankan keragaman genetik yang ada.
Kata kunci: Aquilaria, gaharu, genetika molekuler, konservasi genetic
I. PENDAHULUAN
Aquilaria spp merupakan tanaman asli Indonesiadan dikenal sebagai tanaman penghasil
gaharu yang bernilai ekonomi tinggi. Terdapat 6 jenis Aquilaria yang tumbuh di Indonesia, yaitu A.
malaccensis, A beccariana, A. microcarpa, A. hirta, A. cumingiana dan A. filaria (Ding, 1960).
Penyebaran dari jenis-jenis tersebut secara luas terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. A.
malaccensis dan A. microcarpa merupakan 2 jenis Aquilaria yang dapat memproduksi gaharu
dengan kualitas tinggi (Sumarna, 2002). Kondisi dari jenis-jenis tersebut di alam sudah sangat
mengkawatirkan karena tingginya eksploitasi. Salah satu bukti dari kondisi tersebut adalah
156 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
masuknya jenis Aquilaria ke dalam APPENDIX II CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti sudah termasuk jenis yang terancam
punah. Soehartono dan Newton (2000) juga menyebutkan bahwa kerapatan individu jenis Aquilaria
dalam populasi kurang dari 1,2 individu/ha berdasarkan analisis NFI. Bahkan A. malaccensis sudah
termasuk dalam klasifikasi rentan (Vulnerable/VU A1cd) karena mengalami penurunan populasi
hingga 20% selama 3 generasi akibat eksploitasi (Oldfield et al, 1998). Oleh karenanya kegiatan
konservasi merupakan kegiatan utama yang perlu dilakukan terhadap jenis tersebut (Chakrabarty et
al., 1994).
Kegiatan konservasi dapat dilakukan baik secara in-situ maupun eks-situ. Untuk
mendukung kegiatan tersebut, berbagai informasi diperlukan agar dapat dilaksanakan secara efektif
dan efisien. Salah satu informasi yang diperlukan adalah keragaman genetik dan distribusinya, serta
hubungan kekerabatan. Informasi ini tentunya akan lebih mengefisienkan, baik dari segi waktu
maupun biaya, program konservasi yang dilakukan. Keragaman genetik merupakan modal dasar
bagi suatu jenis untuk tumbuh, berkembang dan mempertahankan hidupnya dari generasi satu ke
generasi berikutnya. Dengan semakin tinggi atau besarnya keragaman genetik yang dimiliki oleh
suatu jenis, akan memberikan peluang yang lebih besar untuk beradaptasi dengan lingkungannya.
Bertolak dari permasalahan tersebut di atas, berbagai upaya pengembangan pohon penghasil
gaharu terus dilakukan. Salah satu upaya yang terus dilakukan untuk meningkatan potensi hasil
adalah pemuliaan tanaman. Jenis-jenis yang termasuk dalam genus Aquilaria ini, secara morfologis
sangatlah susah dibedakan. Sebagian besar dari jenis-jenis tersebut hanya bisa dibedakan dengan
bentuk, susunan dan ukuran bunga dan buah. Oleh karenanya, membedakan jenis-jenis tersebut
menjadi faktor penting untuk pelaksanaan kegiatan pemuliaan secara efektif dan efisien
Penanda DNA yang sering digunakan untuk analisis keragaman genetik adalah penanda
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) (Welsh and McClelland, 1990, Wiliams et al.,
1990). RAPD merupakan suatu penanda berbasis PCR (Polymerase Chain Reaction) menggunakan
157 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
primer pendek berukuran 10 basa. Kelebihan penanda ini antara lain relatif mudah untuk dilakukan
dengan menggunakan peralatan yang cukup sederhana dan murah.
Makalah ini menyampaikan beberapa hasil penelitian keragaman genetik dan identifikasi
species menggunakan penanda RAPD yang telah dilakukan dan perannya dalam mendukung
strategi konservasi genetik Aquilaria sp.
II. KERAGAMAN GENETIK A. malaccensis, A. microcarpa dan A. Beccariana
Dua puluh enam (26) primer RAPD yang telah diseleksi dari 86 primer RAPD digunakan
untuk menganalisa keragaman genetik 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A. beccariana.
Pita DNA yang digunakan untuk analisa berukuran 220-950 pb (pasang basa). Jumlah fragmen atau
pita polimorfik yang dihasilkan berkisar antara 1 sampai dengan 8. Jumlah total lokus (locus) yang
dihasilkan dari 26 primer tersebut adalah 84 (Widyatmoko et al., 2010).
Berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978), keragaman genetik di dalam populasi dari 7
populasi tersebut bervariasi antara 0,180-0,285. Keragaman genetik terbesar dimiliki oleh populasi
A. malaccensis asal Muara Bungo (Jambi; 0,285), sedangkan yang terendah dimiliki oleh populasi
A. malaccensis asal Berau yaitu sebesar 0,089 (Tabel 1).
Tabel 1. Nilai keragaman genetik di dalam populasi (diagonal) dan antar populasi (di bawah diagonal) dari 7 populasi Aquilaria sp.
Populasi 1 2 3 4 5 6 7
1 0.285
2 0.03 0.240
3 0.368 0.442 0.209
4 0.322 0.405 0.037 0.228
5 0.239 0.254 0.494 0.488 0.232
6 0.298 0.396 0.055 0.04 0.492 0.205
7 0.305 0.404 0.075 0.66 0.476 0.017 0.18 Keterangan : 1. A. malaccensis (Muara Bungo, Jambi), 2. A. malaccensis (Sorolangun, Jambi), 3. A.
microcarpa (Samboja, Kaltim), 4. A.malaccensis (Sanggau, Kalbar), 5. A.beccariana(Berau, Kaltim), 6. A.microcarpa (Berau, Kaltim), 7. A. malaccensis (Berau, Kaltim)
158 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Rata-rata keragaman genetik di dalam populasi yaitu 0,225. Angka ini lebih besar dari
daripada rata-rata keragaman genetik baik untuk kelompok jenis tropis dan konifer, yaitu 0,211 dan
0,207 yang telah dilaporkan oleh Hamrick (1989).
Pada hasil analisis jarak genetik antar-populasi, tertinggi adalah 0,494 yaitu antara
populasi A. microcarpa Samboja dengan populasi A. beccariana Berau. Hal ini terjadi karena
perbedaan jenis dan jarak geografis dari kedua populasi. Sebaliknya jarak genetik terendah adalah
antara populasi A. microcarpa Berau dengan populasi A. malaccensis Berau, yaitu 0,017 (Tabel 1).
Walaupun kedua populasi ini memiliki jenis yang berbeda, tetapi karena kedua populasi tersebut
hidup pada lingkungan yang sama maka mempunyai hubungan yang sangat dekat. Kedekatan antar
kedua species ini juga dibuktikan dengan dekatnya jarak genetik antara populasi A. microcarpa
Samboja dan A. malaccensis di Sanggau Kalimantan Barat, yaitu 0,037. Walaupun kedua populasi
berada pada populasi dengan jarak geografis yang cukup jauh, tetapi keduanya mempunyai jarak
genetik yang sangat dekat. Hal ini membuktikan bahwa A. malaccensis dan A. microcarpa yang
secara morfologis hanya bisa dibedakan dengan karakter generatifnya (bunga dan buah) memiliki
hubungan genetik yang sangat dekat. Jarak genetik antar populasi dari kedua jenis tersebut lebih
rendah dari jarak genetik dari populasi untuk jenis yang sama yaitu 0,660 untuk jarak genetik antar
populasi A. malaccensis dan 0,055 untuk jarak genetik antar populasi A. microcarpa di Kalimantan.
III. HUBUNGAN KEKERABATAN ANTAR POPULASI
Berdasarkan informasi nilai jarak genetik antar-populasi, dendogram disusun menggunakan
metode UPGMA untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar populasi-populasi Aquilaria sp.
Hasil dendogram berdasarkan jarak genetik Nei’s (1978) tersebut menunjukan hubungan
kekerabatan antara sebelas populasi Aquilaria sp terbagi dalam dua kelompok besar. Kelompok
pertama terdiri dari populasi Muara Bungo Jambi, Sorolangun Jambi dan Berau (A. beccariana).
Kelompok kedua terdiri dari populasi Samboja, Kalimantan barat, Berau dan Bogor.
159 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Gambar 1. Dendogram Hubungan Kekerabatan Antar Populasi Aquilaria sp
Gambar 1 menunjukan adanya pengelompokan yang jelas pada populasi Muara Bungo
Jambi (A.malaccensis) dan populasi Sorolangun Jambi (A.malaccensis) karena menempati pada
satu kelompok kluster sehingga menunjukan bahwa terdapat hubungan kekerabatan yang sangat
dekat antar populasi Muara Bungo Jambi dan populasi Sorolangun Jambi (keduanya A.malacensis).
Hal ini disebabkan karena kedua populasi tersebut terdapat pada satu daerah yang sama (provenan
yang sama ) dan merupakan satu species yaitu A.malaccensi. Sampel dari Muara Bungo diambil
dari persemaian, sehingga keumngkinan sebagian materinya berasal dari individu pada populasi
Sorolangun Jambi. Populasi yang berasal dari Samboja species A.microcarpa dan populasi yang
berasal dari Sanggau Kalimantan Barat species A.malaccensis juga mempunyai hubungan
kekerabatan yang dekat. Kemungkinan kedua populasi tersebut pada awalnya merupakan 1
populasi yang besar sehingga mempunyai struktur genetik yang relatif sama. Untuk populasi Berau
species A.microcarpa dan populasi Berau species A.malacensis memiliki hubungan kekerabatan
yang sangat dekat, membentuk satu kluster yang sama. Hal ini juga disebabkan karena kedua
populasi ini mendiami habitat yang sama sehingga dapat saja terjadi perkawinan antar species.
Dari kedua kelompok kluster tersebut yaitu populasi Samboja species A.microcarpa dengan
Muara Bungo Jambi (A. malaccensis)
Sorolangun Jambi (A. malaccensis)
Berau Kaltim (A. beccariana)
Samboja Kaltim (A.microcarpa)
Sanggau Kalbar (A.malaccensis)
Berau Kaltim (A.microcarpa)
Berau Kaltim (A.malaccensis)
Bogor (A. chresna)
Bogor (A. chresna x A.malaccensis)
Bogor (A. chresna x A.microcarpa)
Bogor (A. hirta)
160 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
populasi Sanggau Kalimantan Barat species A.malacensis dan populasi Berau species
A.microcarpa dengan populasi Berau spesies A. malacensis yang memiliki hubungan kekerabatan
yang dekat, membuktikan bahwa hubungan kekerabatan antara spesies A.malacensis dan
A.microcarpa sangat dekat. Sedangkan pada populasi Berau species A. beccariana terlihat
hubungan kekerabatanya lebih dekat dengan populasi A.malacensis dari Jambi. Hal ini disebabkan
karena kemungkinan A. beccariana di Berau berasal dari A. beccariana Sumatera. Pada penelitian
ini tidak ada sampel A.beccariana dari Sumatera sehingga tidak ada pembanding untuk species
A.beccariana.
Untuk populasi Bogor spesies A.chresna lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan
populasi Bogor hybrid A.chresna + A. malaccensis dan populasi Bogor Hybrid A. chresna +
A.microcarpa . Selain karena ketiga populasi tersebut berada dalam satu habitat, hal ini disebabkan
juga oleh campuran atau hybrid antara A.chresna + A. malacensis dan hybrid A. chresna +
A.microcarpa akan mewarisi sifat genetik dari salah satu induknya yaitu A.chresna sehinga
hubungan kekerabatanya dekat. Sedangkan untuk populasi Bogor spesies A.hirta memiliki
kedekatan dengan populasi yang berasal dari Kalimantan dan Bogor. Kemungkinan populasi di
Bogor berasal dari Kalimantan.
IV. PENANDA SPECIES-SPECIFIC
Widyatmoko et al. (2009) melaporkan penanda sementara untuk 5 species Aquilaria.
Sebanyak enam puluh delapan (68) primer RAPD diseleksi untuk mendapatkan primer RAPD yang
dapat menghasilkan lokus polimorfik. Dari 68 primer tersebut dipilih 26 primer yang menghasilkan
lokus polimorfik, dan dari 26 primer tersebut ditemukan 14 primer RAPD yang menghasilkan losi
sementara penanda species-specifik.
Untuk menjadi penanda species-specific, lokus yang dipilih harus memenuhi 2 kriteria, yaitu
muncul pada semua individu pada satu species dan tidak muncul pada semua individu pada species
yang lain. Jumlah penanda sementara bervariasi antara 3 sampai dengan 18. Jumlah yang terbanyak
161 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
dimiliki oleh A. hirta (18), disusul berturut-turut disusul oleh A. chresna (16), A. beccariana (13), A.
microcarpa (13) dan A. malaccensis (3). Jumlah penanda tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah besarnya keragaman genetik di dalam species dan jumlah sampel yang
digunakan. Apabila dilihat dari jumlah sampel, banyaknya jumlah penanda yang dimiliki oleh
setiap species berbanding terbalik dengan jumlah sampel yang digunakan. Misalnya jumlah sampel
pada A. hirta hanya 4 sampel dan menghasilkan penanda yang terbanyak yaitu 18. Sebaliknya pada
A. malaccensis, dengan jumlah sampel sebanyak 44, penanda species-specificnya adalah 3. Dengan
demikian, terlihat bahwa jumlah sampel cukup berpengaruh pada banyaknya penanda
species-specific yang diperoleh. Keragaman genetik dari masing-masing jenis juga akan
mempengaruhi banyaknya jumlah penanda. Hal ini terihat pada jenis A. microcarpa dan A.
beccariana. Dengan jumlah sampel yang jauh berbeda (14 dan 12 sampel), jumlah penanda yang
dihasilkan sama yaitu 13. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik A. beccariana lebih besar
daripada A. microcarpa (Tabel 1).
Secara garis besar, dengan 23 penanda tersebut kelima jenis Aquilaria dapat dibedakan,
kecuali A. malaccensis dan A. microcarpa (Tabel 2). Misalnya, untuk membedakan A. malaccensis
dengan A. beccariana dan A. hirta, penanda yang digunakan adalah lokus OPGF-6/670. Sedangkan
antara A. malaccensis dengan A. chresna, penanda yang digunakan adalah OPG-11/950. Untuk
jenis-jenis lainnya lebih banyak penanda yang dapat digunakan.
Tabel 2. Penanda species-specific pada lima species Aquilaria
Species A-10/600 A-10/620 A-11/400 A-12/550 A-13/350 A-13/500 A. malaccensis 0/1 0 0/1 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 1 0 0/1 1 0/1 1 A. beccariana 0 0 0 0 1 0 A. chresna 1 1 0/1 0/1 0 0 A. hirta 1 0 1 1 1 1
162 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Species A-16/550 A-18/220 A-18/550 A-19/850 D-1/580 G-1/500 A. malaccensis 0/1 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 0/1 0 0/1 0/1 0 0/1 A. beccariana 0/1 0/1 0/1 0 1 0/1 A. chresna 0 1 1 0/1 0 0 A. hirta 1 0 0 1 0/1 1
Species G-1/500 G-6/400 G-6/670 G-8/590 G-8/600 G-8/650 A. malaccensis 0/1 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 0/1 1 0 0 1 1 A. beccariana 0/1 0/1 1 0 0/1 0/1 A. chresna 0 0/1 0/1 1 0 0 A. hirta 1 0 1 0/1 0 0
Species G-11/600 G-11/950 G-15/650 G-18/320 G-18/490 A. malaccensis 0/1 0 0/1 0/1 0/1 A. microcarpa 1 0 0/1 0/1 0/1 A. beccariana 0 0 0/1 0 0/1 A. chresna 0/1 1 0 1 0 A. hirta 0 0/1 1 1 0/1
Untuk membedakan A. malaccensis dan A. microcarpa dilakukan seleksi seleksi primer
kembali menggunakan 180 primer (Rimbawanto dan Widyatmoko, 2010). Hanya terdapat 5 primer
yang memberikan kenampakan pita yang spesifik, yaitu primer D-20, A-17, G-12, R-15, dan U-13.
Gambar 2 memperlihatkan 2 primer yang sementara menghasilkan lokus yang membedakan kedua
jenis. Primer R-15 (Gambar 1A) menghasilkan 1 lokus yang membedakan kedua jenis pada 400 bp.
Sedangkan primer U-13 (Gambar 1B) menghasilkan 2 lokus yaitu pada 780 bp dan 1000 bp. Untuk
memastikan apakah lokus tersebut bisa digunakan sebagai penanda spesifik jenis untuk A.
malaccensis dan A. microcarpa, dilakukan seleksi lanjutan dengan menambah jumlah individu dari
masing-masing jenis.
163 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
(A) (B)
Gambar 2. Hasil seleksi tahap I primer R-15 (A) dan U-13 (B)
Hasil amplifikasi seleksi lanjutan dari kelima primer tersebut di atas menggunakan total
24 sampel adalah hanya 1 lokus yang memenuhi syarat sebagai penanda spesifik jenis yaitu
yang dihasilkan oleh primer U-13 pada 780 bp. (Gambar 3). Lokus ini membedakan kedua
Aquilaria dengan panjang pita yang berbeda (sekitar 10-20 bp).
Gambar 3. Hasil amplifikasi tahap II primer U-13
164 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
V. STRATEGI KONSERVASI Aquilaria sp BERDASARKAN HASIL PENELITIAN YANG DIPEROLEH
Kegiatan konservasi genetik, baik itu konservari eks-situ maupun in-situ yang bertujuan
untuk mempertahankan keragaman genetik yang masih tersisa secara maksimal sangatlah
diperlukan untuk mempertahankan sumberdaya genetik Aquilaria yang kondisi populasi alamnya
semakin mengkawatirkan Jane et al. (1988) mengatakan bahwa tujuan utama dari mendokumentasi
tingkat dan distribusi keragaman genetik pada suatu jenis adalah untuk mendisain strategi yang
optimal untuk konservasi suatu jenis. Dewasa ini, di dalam melakukan kegiatan pelestarian suatu
species sangatlah tergantung pada ketersediaan biaya dan berpacu dengan waktu. Oleh karenanya,
perlulah disusun suatu strategi konservasi yang efektif dan efisien agar dengan keterbatasa waktu
dan biaya, populasi maupun materi genetik yang dikumpulkan haruslah cukup mewakili
sumberdaya genetik yang ada. Salah satu informasi yang sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan
kegiatan tersebut adalah informasi keragaman genetik dan distribusinya serta hubungan
kekerabatan antar species.
Seperti dijelaskan sebelumnya, potensi sebaran alam Aquilaria sp masih belum diketahui
secara pasti, Kegiatan penanaman Aquilaria sp yang begitu banyak menyebabkan semakin sulitnya
membedakan mana populasi alami atau tanaman. Pergerakan materi genetik, yang berarti juga
pergerakan genetik, dari satu ke daerah ke daerah lainnya semakin cepat mengingat sumber benih
yang tersedia sangat sedikit, sedangkan kebutuhan akan bibit semakin banyak. Salah satu kendala
untuk kegiatan konservasi Aquilaria sp adalah susahnya membedakan masing-masing species
secara jelas. Mudahnya terjadi perkawinan antar species membuat semakin sulitnya menemukan
individu yang masih murni dari suatu species.
Untuk menjawab kebutuhan akan informasi tersebut, beberapa penelitian telah dilakukan
seperti disebut di atas. Beberapa informasi penting yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
penyusunan strategi konservasi 5 jenis Aquilaria tersebut adalah sebagai berikut:
165 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
1. Rata-rata keragaman genetik dalam 7 populasi A. malaccensis, A. microcarpa dan A.
beccariana sebesar 0,225.
2. Rata-rata jarak genetik antar jenis dalam lokasi yang sama atau berdekatan sebesar 0,027,
sedangkan rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,217.
3. Dendrogram hubungan kekerabatan secara umum lebih berdasarkan jarak geografis
dibandingkan kesamaan jenis.
4. Hibrid antar species sering ditemui dan secara genetik menampakkan kedekatan pada salah satu
induknya.
5. Penanda sementara untuk pembeda sementara kelima species Aquilaria tersebut telah diperoleh.
Memperhatikan kondisi dan potensi kelima species Aquilaria tersebut, khususnya di sebaran
alaminya, maka kegiatan konservasi baik in-situ maupun eks-situ perlu untuk dilakukan. Tetapi
mengingat mudahnya kemungkinan terjadinya perkawinan antar species, maka perlu kehati-hatian
di dalam menentukan individu untuk masing-masing species. Untuk A. malaccensis dan A.
microcarpa yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan kemungkinan
terjadinya perkawinan antar keduanya yang cukup banyak, sebaiknya konservasi kedua jenis
dilakukan bersama-sama.
Untuk kegiatan konservasi in-situ, pemilihan populasi haruslah memperhatikan beberapa
faktor yaitu jumlah pohon induk (individu), kondisi habitat atau lingkungan, faktor keamanan,
besarnya keragaman genetik yang cukup tinggi dan jumlah alel yang terdapat pada populasi
tersebut. Apabila populasi tersebut terdapat hanya salah satu species Aquilaria akan lebih baik,
tetapi apabila terdapat lebih dari 1 species dapat juga dipilih asalkan memenuhi kriteria seperti
disebut di atas. Melihat distribusi dari keragaman genetik dan jarak genetik antar populasi, maka
jumlah plot konservasi in-situ minimal 2, 1 di Pulau Sumatera dan 1 di Pulau Kalimantan. Apabila
memungkinkan, masing-masing propinsi dari masing-masing pulau juga terwakili.
Untuk kegiatan konservasi eks-situ apabila memungkinkan dipisah untuk masing-masing
166 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
species. Penanda species-specific dapat digunakan untuk menentukan kemurnian dari individu yang
dikoleksi. Pengumpulan materi genetik untuk plot konservasi eks-situ perlu memperhatikan sebaran
populasinya, potensi dari masing-masing populasi (potensi jumlah individu maupun keragaman
genetik), dan resiko tidak terwakilinya alel akibat pemilihan populasi tersebut.
Soekotjo (2004) dan Soekotjo dan Raharjo (2010) menyebutkan bahwa kegiatan konservasi
eks-situ dapat digabungkan dengan kegiatan penanaman atau pemuliaan dan bioteknologi (strategi
era ke-2 dan ke-3 konservasi eks-situ). Penggabungan ini dapat dilakukan karena maraknya
kegiatan penanaman dari species Aquilaria. yang Era kedua (1976-2020) adalah menggabungkan
konservasi dengan pemuliaan. Kegiatan yang dilakukan antara lain Uji provenans, uji progeni dan
pembangunan kebun benih (semai atau klon). Sedangkan Era ketiga (1998-2020) adalah era
pemanfaatan yang lebih efisien yang lebih berkaitan dengan pemuliaan dan bioteknologi. Dalam
era ketiga ini dalam pembangunan plot konservasi eks-situ, setiap populasi harus terpisah agar
tidak terjadi perkawinan silang antar populasi.
Seperti halnya dengan konsevasi in-situ, materi genetik yang dikumpulkan untuk
membangun plot konservasi eks-situ seharusnya berasal dari masing-masing perwakilan kelompok
dari dendrogram di atas. Setiap pulau harus terwakili oleh 1 populasi, dan apabila memungkinkan
masing-masing propinsi juga dapat terwakili oleh minimal 1 populasi. Dari masing-masing
perwakilan tersebut, materi genetik dari masing-masing jenis apabila dapat dikumpulkan akan lebih
baik. Mengingat keragaman genetik dalam populasi masih cukup tinggi, jumlah materi genetik
yang dikumpulkan dari masing-masing populasi yang dipilih haruslah cukup banyak. Plot
konservasi eks-situ sebaiknya memisahkan secara jelas materi genetik yang berasal dari pulau yang
berbeda mengingat besarnya perbedaan genetik antar pulau.
Kegiatan penanaman dan pemuliaan dapat juga dilakukan dengan memasukkan faktor
konservasi eks-situ di dalamnya dengan memperhatikan materi genetik yang digunakan dan metode
seleksi yang dilakukan untuk memperoleh benih unggul.
167 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR PUSTAKA
Chakrabarty, K., Kumar, A. and Menon, V. 1994. Trade in Agarwood. WWF-TRAFFIC, India Ding, H. 1960. Thymelaeaceae. In: Van Steenis, C.G.G.J. (Ed.), Flora Malesiana. Series I. Vol. 6. Wolters-Noordhoff,
Groningen, The Netherlands, pp. 1-15. Hamrick, J. L 1989. Isozyme and The Analysis of Genetic Structure in Plant Population. In : Soltis, D.E and Soltis , P.S
(Eds.) Isozyme in Plant Biology. Dioscorides Press, Oregon. pp 87-105 IUCN. 2000. Red List of Threatened Species. 2000 International Union for The Conservation of Nature and Natural
Resources. www.iucnredlist.orgJane F. S., S. D. Hopper and S. H. James. 1988. Genetic diversity and the conservation of Eucalyptus crucis Maiden.
Australian Journal of Botany 36:447-460 Nei, M. 1978. Estimation of average heterozygosity and genetic distance from a small number of individuals. Genetics
89: 583-590. Oldfield, S., Lusty, C. and MacKinve.n, A. 1998. The Word List of Threatened Trees. In: Barden, A., Noorainie Awang
Anak, T. Mulliken, and M. Song. (2000). Heart of the matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International
Rimbawanto, A. dan Widyatmoko, AYPBC. 2010 Identifikasi Aquilaria malaccensis dan A. microcarpa menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.
Soehartono, T dan Newton, A.C. 2000. Conservation and sustainable use of tropical trees in the genus Aquilaria I. Status and distribution in Indonesia. Biological Conservation 96:83-94.
Soekotjo. 2004. Status Riset Konservasi Genetik Tanaman Hutan Indigenous Species di indonesia. Prosiding Whorkshop Nasional Konservasi, Pemanfaatan, dan Pengelolaan Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. P3BPTH, Yogyakarta.
Soekotjo dan Raharjo, P. 2010. Konsepsi Konservasi Sumberdaya Alam (Kondisi saat ini dan tantangannya di masa depan). Temu Ilmiah. BBPBPTH Yogyakarta.
Sumarna, Y. 2002. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Jakarta. Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D, dan Prasetyaningsih, A.2009.. Seleksi Awal Penanda RAPD (Random
Amplified Polymorphic DNA) untuk Identifikasi Lima Spesies AquilariaProsiding Seminar Nasional Biologi: Potensi Sumberdaya Hayati Tropis dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, 28-32.
Widyatmoko, AYPBC., Ariningsih, E. D. Dan Prasetyaningsih, A. 2010. Studi keragaman genetik dan hubungan kekerabatan pada tiga jenis Aquilaria menggunakan penanda RAPD. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan.
Welsh, J., Peterson, C. dan McClelland, M. 1991. Polymorphisms generated by arbitrarily primed PCR in the mouse: application to strain identification and genetic mapping. Nucl. Acid. Res. 19:303-306.
Williams, J.G.K., Hanafey, M.K., Rafalsky, J.A. dan Tingey, S.V. 1993. Genetic analysis using random amplified polymorphic DNA markers. Methods Enzymol 218:704-740.
168 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
169 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
KONSERVASI BANTENG (Bos javanicus D’alton): ANALISIS KERAGAMAN GENETIK DAN DINAMIKA POPULASI
Maryatul Qiptiyah dan AYPBC Widyatmoko
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman Yogyakarta
Email: toe2l@yahoo.com
ABSTRAK
Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) dan merupakan salah satu jenis satwa yang populasinya semakin menurun. Status konservasi banteng dalam IUCN Red List mengalami perubahan, dari rentan (vurnerable) pada tahun 1986 – 1994 menjadi terancam (endangered) pada tahun 1996. Rencana konservasi banteng telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 -2020. Tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020. Salah satu kegiatan program yang akan dilakukan adalah pengelolaan populasi, yang diantaranya menyangkut evaluasi keanekaragaman genetik. Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Pohon akan melakukan serangkaian penelitian keragaman genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR. Kegiatan yang akan dilakukan adalah: 1) Pengumpulan materi genetik, 2) Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus, serta TN Kutai (Kalimantan Timur, B. j. lowi). Informasi yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika populasi banteng.
Kata kunci: banteng, keragaman genetik, penanda DNA, konservasi
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tipe ekosistem sehingga
memiliki keragaman jenis yang tinggi baik untuk tumbuhan maupun satwa. Beberapa diantara
tumbuhan dan satwa yang hidup di Indonesia memiliki status konservasi yang memerlukan
perhatian khusus. Salah satu jenis satwa yang ada Indonesia yang memerlukan perhatian khusus
adalah banteng.
Banteng (Bos javanicus) tergolong dalam jenis sapi liar (wild cattle) yang dikategorikan
sebagai endangered species (Timmins et al., 2008). Jenis ini juga dikenal dengan nama Tembadau
di Kalimantan. Sebaran alami banteng meliputi kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar,
Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja sampai ke Yunan China (B. javanicus birmanicus), Pulau
Kalimatan (B. javanicus lowi) dan Jawa di (B. javanicus javanicus) (Timmins et al., 2008). Di
Indonesia, banteng merupakan mamalia besar selain badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus)
untuk di Pulau Jawa, dan gajah (Elephas maximus) di Pulau Sumatera. Sementara itu, banteng
dinyatakan telah punah di Semenanjung Malaysia (Francis, 2008 dalam Anonim, 2011).
170 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
Keragaman jenis banteng (Bos javanicus) adalah sumber plasma nutfah bagi pengembangan
budidaya sapi bali (Bos sondaicus). Tetapi satwa ini di kawasan konservasi in-situ seperti taman
nasional mengalami penurunan populasi akibat perburuan liar dan penurunan kualitas habitat
karena invasi tumbuhan Acacia nilotica, Chromolaena odorata dan Crotalaria sp di savana
(Sawitri dan Takandjandji, 2007 dan Sawitri dan Garsetiasih, 2007). Sedangkan di kawasan
konservasi ex-situ, perkawinan banteng cenderung tidak acak dan keturunannya cenderung
permasalahan inbreeding dalam keragaman genetikanya, sehingga populasi keturunannya sangat
rentan terhadap serangan penyakit maupun seleksi alam dan dikhawatirkan akan menghancurkan
keseluruhan populasi.
Mempertahankan keragaman genetika dalam suatu populasi merupakan salah satu cara dari
pengelolaan populasi bagi spesies yang terancam punah. Kualitas genetika menurun akibat
penurunan populasi efektif, minimal yaitu 50 individu untuk di penangkaran dan 500 individu
untuk di alam (Indrawan dkk, 2007). Faktor yang berperan penting terhadap keragaman genetika
pada suatu populasi adalah seleksi alam, mutasi, genetic drift dan perkawinan yang tidak acak.
Upaya pengelolaan populasi satwa dengan menggunakan pendekatan genetika molekuler
telah mulai banyak diterapkan, sebagai pelengkap dari pendekatan konvensional yang sudah ada.
Tulisan ini merupakan studi literatur yang bertujuan untuk memaparkan pentingnya genetika
molekuler untuk mendukung upaya konservasi satwa liar, khususnya banteng.
II. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI BANTENG TAHUN 2010 – 2020
Berdasar lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 58/Menhut-II/2011, maksud
disusunnya “Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010-2020”
adalah untuk memberikan arahan dan pedoman tentang strategi, prioritas dan rencana aksi
konservasi banteng pada tingkat nasional dan daerah pada periode Tahun 2010-2020, sehingga
program-program yang dilakukan lebih terarah, terkoordinasi serta terbentuk sinergi kegiatan antar
pemangku kepentingan. Adapun tujuannya adalah untuk mewujudkan peningkatan populasi
banteng rata-rata sebesar 5% pada Tahun 2020.
Lokasi prioritas untuk konservasi banteng dipilih dengan pertimbangan seperti keterwakilan
sub spesies, luas kawasan, keamanan serta telah ada unit pengelola konservasi banteng. Prioritas
lokasi yang pertama untuk sub spesies Bos javanicus javanicus adalah TN Ujung Kulon, TN Meru
Betiri, TN Baluran dan TN Alas Purwo di jawa. Sementara untuk lokasi sub spesies B.j. lowi
adalah TN Kutai dan TN Kayan Mentarang di Kalimantan
171 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
Untuk menjawab program yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi konservasi banteng,
kegiatan yang akan dilakukan sebagai berikut :
1. Kegiatan program pengelolaan populasi meliputi : inventarisasi dan pemantauan populasi;
assessment keanekaragaman genetik, pencegahan perburuan liar, membangun pusat
penyelamatan (rescue center) banteng akibat konflik, sebagai langkah awal mengembalikan
populasi banteng, merelokasi banteng dari populasi yang terisolasi untuk menyelamatkan
populasi yang mengalami penurunan (dengan mengikuti risk assessment, cek kesehatan satwa
serta pengikuti aturan-aturan diantaranya seperti IUCN guidelines), pembentukan unit
pengelolaan banteng (untuk pemantauan dan pengamanan), standardisasi pengelolaan banteng
eks-situ untuk mencapai target populasi international yaitu 300 (tiga ratus) ekor yang
didapatkan dari 30 (tiga puluh) indukan tanpa mengganggu populasi alam, juga pertukaran
spesies banteng antar lembaga konservasi untuk menghindari penurunan kualitas genetik akibat
perkawinan antar kerabat (inbreeding).
2. Kegiatan program pengelolaan habitat adalah pembinaan habitat melalui rehabilitasi atau
restorasi, pengamanan habitat, pengembangan High Conservation Value Forest (HCVF) untuk
habitat banteng di luar kawasan konservasi, pembinaan habitat berbasis lansekap,
mengendalikan spesies invasif yang berakibat negatif pada daya dukung habitat banteng, serta
tidak adanya hewan ternak dalam habitat banteng.
3. Kegiatan program sistem pengelolaan data adalah pembangunan sistem informasi pengelolaan
banteng, serta pembangunan data base banteng di daerah dan pusat.
4. Kegiatan program peningkatan profesionalitas aparat adalah pelatihan penanganan satwa,
pelatihan survey dan pemantauan satwa, pelatihan patroli anti perburuan dan pelatihan
pengelolaan populasi, pelatihan pengolahan data dan pelaporan, pelatihan interpretasi eko-
wisata banteng, pelatihan penyuluhan, penyediaan tenaga ahli medis veteriner terutama untuk
penanganan penyakit dan paska konflik.
5. Kegiatan program peningkatan kerjasama antar para pihak meliputi pembentukan kemitraan
untuk pendanaan konservasi banteng, penggalangan dana mitra, pembentukan Forum
Konservasi Banteng.
6. Kegiatan program peningkatan popularitas dan nilai ekonomi banteng mencakup pengenalan
banteng kepada masyarakat luas, penyelenggaraan kompetisi banteng award, pendirian
ekowisata banteng, pemanfaatan banteng untuk pemuliaan sapi, membuat kajian serta
sosialisasi dari valuasi ekonomi konservasi banteng sebagai pedoman pengembangannya.
172 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
III. KONSERVASI BANTENG BERBASIS MOLEKULER
Analisis molekuler atau analisis DNA untuk satwa liar mulai banyak dilakukan pada saat ini.
Pendekatan molekuler merupakan salah satu cara untuk dapat mengetahui berbagai informasi
tentang populasi satwa yang terkadang susah didapatkan melalui penelitian satwa secara
konvensional. Dengan analisis molekuler, maka informasi tentang keragaman individu di dalam
dan antar populasi dapat diketahui. Selain itu, informasi lain yang dapat diperoleh dari monitoring
populasi menggunakan DNA adalah kelimpahan, range, paternitas, kinship, kekerabatan, ukuran
populasi, keragaman genetik, struktur populasi, organisasi sosial, rasio jenis kelamin suatu spesies
serta untuk mengenali individu-individu (Wulandari, 2006).
Penggunaan sekuen DNA pada studi genetika populasi telah berkembang secara cepat,
terutama setelah ditemukannya sekuen DNA dengan tingkat variabilitas dan polimorfis yang tinggi
sebagai penanda genetik. Meskipun penggunaan penanda genetik klasik seperti protein darah dan
biokimia cukup berperan penting dalam beberapa studi genetika populasi, namun salah satu
masalah yang membatasi penggunaan penanda ini adalah keterbatasan jumlah genotip pada setiap
lokus. Adanya penemuan lokus-lokus DNA dengan tingkat variabilitas tinggi, misal DNA
mikrosatelit menawarkan sejumlah solusi untuk memecahkan masalah keterbatasan tersebut
(Chakraborty & Jin, 1993 dalam Winaya, 2010).
Mikrosatelit memiliki sifat kodominan, dan dapat digunakan untuk pemetaan genetik, linkage
analysis dalam kaitannya dengan gen penyakit tertentu dan sejumlah analisis genetik populasi.
Selain itu, mikrosatelit bisa digunakan untuk menduga ukuran populasi, derajat substruktur
populasi termasuk jumlah migrasi antar sub populasi serta hubungan genetik di antara sub populasi
yang berbeda, analisis silsilah dan kekerabatan serta sejarah populasi (Rahmat, 2009).
Dalam rangka upaya konservasi sumber daya alam hayati terutama bagi satwa liar terancam
punah dan dilindungi, aplikasi dari hasil identifikasi sifat-sifat genetik mempunyai manfaat yang
besar dan strategis. Hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu memberikan informasi
menegenai tingkat kelangkaan maupun kekritisan jenis melalui sifat heterosigositas atau derajat
polimorfisme. Selain itu, hasil identifikasi sifat genetik dapat membantu menentukan jumlah
populasi efektif. Suatu informasi genetik tertentu yang berfungsi sebagai penciri genetik atau gen-
gen penanda dalam pengelolaan satwa liar, seperti untuk mengidentifikasi asal usul satwa hasil
sitaan, mencirikan kekebalan terhadap penyakit atau menentukan kuota pemanenan lestari. Dalam
upaya penangkaran, identifikasi sifat genetik dapat mencegah adanya inbreeding dan meningkatkan
heterosigositas serta dapat membatu upaya restocking dan pendistribusian ulang satwa hasil
173 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
penangkaran atau hasil sitaan ke habitat aslinya guna mencegah kemungkinan polusi genetik
(Rahmat, 2009).
Genetic assesment merupakan salah satu kegiatan yang akan dilakukan untuk mendukung
upaya konservasi banteng yang tertuang dalam strategi dan rencana aksi nasional (Permenhut No.
P.58/Menhut-II/2011). Indikator kinerja yang tercantum di dalamnya adalah keragaman genetik
dalam dan antar populasi dapat diketahui dan dikuantifikasi dan status sub spesies dapat dipastikan
kebenarannya. Selanjutnya hasil penilaian tersebut dituangkan ke dalam suatu aturan perundang-
undangan diantaranya sebagai antisipasi pegangan hukum dalam proses pengadilan.
Penelitian mengenai genetika banteng pernah dilakukan oleh (Sawitri dkk, 2012, kom.pri) di
beberapa kawasan konservasi baik secara in situ maupun ex situ. Kawasan konservasi tersebut
adalah : TN Baluran, TN. Meru Betiri, TN Alas Purwo, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang
Surabaya, Taman Safari I Prigen. Penelitian tersebut menggunakan metode sekuen fragmen D-loop
dari DNA mitokondria.
Hasil penelitian tersebut diatas adalah diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR,
TSI II, (Prigen dan Bali), Taman Nasional Merubetiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan
diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218 ± 0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test) menunjukkan nilai D
= -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10 diantara individu banteng di semua populasi.
Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D = -0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10
diantara individu pada semua populasi banteng. Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang
menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding) (Sawitri dkk, 2012,
kom.pri).
Mulai tahun 2012 hingga 2014, Laboratorium Genetika Molekuler Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan akan melakukan serangkaian penelitian keragaman
genetik banteng menggunakan penanda D-loop (mitochondria DNA) dan SSR atau mikrosatelit
dilakukan karena penanda ini memiliki keunggulan antara lain tersebar sangat banyak di genom,
polimorfisme tinggi, diskriminasi tinggi hingga pada tingkat satu basa dan dapat dengan mudah
diamplifikasi dengan reaksi PCR.
Kegiatan penelitian tersebut di atas meliputi: 1) Pengumpulan materi genetik, 2)
Pengembangan penanda DNA untuk banteng, dan 3) Analisis keragaman genetik banteng. Materi
genetik akan dikumpulkan dari beberapa taman nasional, diantaranya TN Alas Purwo dan TN
Baluran (Jawa Timur) untuk sub spesies Bos javanicus javanicus. Pengambilan materi genetik juga
akan dilakukan di TN Kutai (Kalimantan Timur) untuk sub spesies Bos javanicus lowi. Informasi
yang akan dihasilkan adalah keragaman genetik populasi banteng (Jawa dan Kalimantan), penanda
174 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
DNA untuk banteng dataran tinggi dan dataran rendah, serta sexing untuk mengetahui dinamika
populasi dari banteng
KESIMPULAN
Banteng merupakan salah satu jenis satwa liar yang menjadi prioritas nasional untuk
dikonservasi. Upaya konservasi banteng secara nasional dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2020
telah dituangkan ke dalam Permenhut No. 58/Menhut-II/2011. Idealnya, Permenhut tersebut
dijadikan sebagai acuan / rujukan bagi seluruh stakeholder yang akan mengkonservasi banteng.
Penelitian genetika banteng menjadi salah satu perangkat yang dibutuhkan sebagai upaya
konservasi banteng dan untuk memenuhi amanat Permenhut No. P.58/Menhut-II/2011. Hasil
penelitian diharapkan dapat menjawab tentang keragaman genetik dalam dan antar populasi serta
kepastian sub spesies antara Bos javanicus javanicus dan B.j. lowi.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S., 1990, Pengelolaan Satwa Liar Jilid I, IPB, Bogor Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No. P. 58/Menhut-II/2011 tentang Strategi dan
rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 – 2020, www.dephut.go.id diakses tanggal 30 Agustus 2012.
Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Suprijatna, 2007, Biologi Konservasi, Yayasan Obor, Jakarta.S Rahmat, U.M., 2009, Genetika Populasi dan Strategi Konservasi Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822),
Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Vol XV, (1): 89 - 90
Sawitri, R dan M. Takandjandji. 2007. Kemungkinan reintroduksi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Wana Tropika. Warta Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 2 No. 3, September 2007.
Sawitri, R dan R. Garsetiasih. 2007. Biological Control Strategy on Invasive Alien Species in Indonesian Forestry. Country Report : The International Workshop on the Biological Control of Invasive Species of Forests, September 20-25, 2007, Beijing, P.R. China
Timmins, R.J., Duckworth, J.W., Hedges, S., Steinmetz, R. & Pattanavibool, A. 2008. Bos javanicus. In: IUCN 2012. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2012.1. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 09 September 2012.
Winaya, A, 2010, Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan Gen Cytochrome b, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Wulandari, D.T., 2006, Monitoring Populasi Hidupan Liar dengan DNA dari Feses, Pasca Sarjana UI, tidak diterbitkan.
175 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
DAFTAR HADIR PESERTA SEMINAR NASIONAL
YOGYAKARTA, 9 OKTOBER 2012
No Nama Instansi Tanda tangan
1. Istiana P BBPBPTH
2. Maryatul Qiptiyah BBPBPTH
3. Nur Sumedi BKSDA
4. Agus Wiyanto Pusdiklat Kehutanan
5. Ali Husni BB- Biogen Bogor
6. Sumardi BPK Kupang
7. Siswadi BPK Kupang
8. E. Slamet R BDK Kadiapaten
9. Ardianto Dishut Prov Jatim
10. Rimbawanto BBPBPTH
11. Rina Laksmi Hendrati Balai BPBPTH
12. Dr. Corry Puslitbang
13. Dedi Puslitbang
14. Bambang Widjanarko DIT. BPTH
15. Atmitri S BB Biogen
16. Margiyanti BBPBPTH
17. Yelnititis BBPBPTH
18. Aniversari A BB Biogen
19. Lydia Suastati B2PD Samarinda
20. Sumaryana BBPBPTH
21. Arif Nirsatmanto BBPBPTH
176 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
No Nama Instansi Tanda tangan
22. Endah Budi Irawati UPN Veteran Yogyakarta
23. F Woro Rismiyatun Institut Pertanian NTAN
24. Gudiwidayanto Institut Pertanian NTAN
25. Lukman Hakim Puskonser
26. Sinung Pranata UAJY
27. Hamdan AA BBPBPTH
28. Sukaji BBPBPTH
29. Marlan BBPBPTH
30. Burhan Ismail BBPBPTH
31. Taufik Jati S UPN Veteran Yogyakarta
32. Sri Wahyuni BBPBPTH
33. Rati Riyati UPN Veteran Yogyakarta
34. Edy Sarwono BBPBPTH
35. Purwono Puslitbang Cepu
36. Sidik P Puskonser
37. Dwi Nuryan Dani BKSDA Yogya
38. Kianto Atmodjo FTB UAJY
39. Yuliah BBPBPTH
40. Yohanes Wibisono BPK Manokwari
41. Sushardi Fahutan INSTIPER
42. Richard Triantoro BPK Manokwari
43. Kasih P. Handayani Ilmu Lingkungan UGM
177 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
No Nama Instansi Tanda tangan
44. Toni Herawan BBPBPTH
45. Ellen Rosyelina Sasmita Fak Pertanian UPN Veteran
46. Yosephin Martha BPTHHBK Mataram
47. Purnamila Sulistyawati BBPBPTH
48. Vivi Y BBPBPTH
49. Nur Hidayati BBPBPTH
50. Suprihati BBPBPTH
51. Mashudi BBPBPTH
52. Dedi S BBPBPTH
53. Tri Maria Hasnah BBPBPTH
54. Rizki Ary Fambayun BBPBPTH
55. Nurngaini FP UPN Yogyakarta
56. Sri Hutami BB Biogen
57. Hari Sutrisno LIPI Bogor
58. Dewi Winarsih BBPBPTH
59. Wahyunisari BBPBPTH
60. Dodi Garnadi BBPBPTH
61. Dyah Puspasari Set Badan Litbang
62. Sumaryono Balit Biotek Perkebunan
63. AYPBC Widyatmoko BBPBPTH
64. Liliek Haryjanto BBPBPTH
65. Ikeu SR Dit KKH-PHKA
178 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
No Nama Instansi Tanda tangan
66. ILG Nurtjahjaningsih BBPBPTH
67. Jayusman BBPBPTH
68. Asri IP BBPBPTH
69. Suwandi BBPBPTH
70. Surip BBPBPTH
71. Dwi Kartikaningtyas BBPBPTH
72. Priska Rini BBPBPTH
73. Jaka S BBPBPTH
74. Ragapadmi Purnamaningsih BB Biogen
75. Sutoro BB Biogen
76. Sugeng Pudjiono BBPBPTH
77. Arif Priyanto BBPBPTH
78. Maman Sulaeman BBPBPTH
79. Rudy Lukman BISI
80. Indwirut Puspita A Dinas Kehutana & Perkebunan
81. Ir. Susilowati, MP FP UPN Yogya
82. Susanto BBPBPTH
83. Prastyono BBPBPTH
84. Gunawan HR BBPBPTH
85. Y Triyanta BBPBPTH
86. Agus Suhaksa BPTH Kalimanatan
87. Charomaini BBPBPTH
179 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
No Nama Instansi Tanda tangan
88. Tri Pamungkat BBPBPTH
89. Dyah Arbiwati UPN Veteran Yogya
90. Julhi BTN. GN. Merbabu
91. Siti Susilowati BBPBPTH
92. Ari Fiani BBPBPTH
93. Endin Izudin BBPBPTH
94. Maryana UPN Veteran Yogyakarta
95. Tutut Wirawati UPN Veteran Yogyakarta
96. Taryono UGM
97. L. Indah Murwani FTB. UAJY
98. Budi Leksono BBPBPTH
99. Dwi siwi BBPBPTH
100. Asep N.K BTN Gn Merapi
101. Mudji Susanto BBPBPTH
102. Sapto Indrioko UGM
103. Subroto Ps UPN Veteran Yogyakarta
104. Suyanto UPN Veteran Yogyakarta
105. Basuki FP.UPN Yogyakarta
106. Nasiatul Azizah Ilmu Lingkungan UGM
107. Dhani Suryawan BTNGM
108. Uus Suleman BBPBPTH
109. Eritrina W BBPBPTH
180 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
No Nama Instansi Tanda tangan
110. Lagiman (Ir.Msi) FP UPN Veteran Yogyakarta
111. Nurul Ardiana BPDAS SOP
112. Sumarwoto (Dr.Ir) FP UPN Yogya
113. Mahendra Utama BBPBPTH
114. Rina Sulistyanti BBPBPTH
115. Slamet R Dishut Jogja
116. Endah Wahyurini FP. UPN Veteran Yogya
117. Edy Wibowo BBPBPTH
118. Maya Retnasari BBPBPTH
119. Abdul Azis BBPBPTH
120. M. Anis F BBPBPTH
121. Ismiyati BBPBPTH
122. Bambang Dwi Artadi Indotech Cipta Mandiri
123. Dyah Nurhandayani BBPBPTH
124. Liliana BBPBPTH
125. Siti Husna BBPBPTH
126. Pramana Yuda UAJY
127. Amir Wardhana BBPBPTH
128. Bambang Tri H Pusprohut
129. Endang Dwi L BBPBPTH
130. Nurdin Asfandi BBPBPTH
131. Fasis Mangkuwibowo BBPBPTH
181 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
SEMINAR NASIONAL “Bioteknologi Hutan untuk Produktivitas dan Konservasi SumberDayaHutan”
JOGJAKARTA, 9 OKTOBER 2012 BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
Pukul Kegiatan
08.00-08.30 Pendaftaran
08.30-09.00 Pembukaan • Laporan Kepala BBPBPTH • Arahan dan Pembukaan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan • D o a
09.00-09.15 Rehat Kopi
SesiI. Perbanyakan Tanaman dan Teknologi In Vitro
Moderator : DR. Ir. Taryono, M.Sc
Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari
Pukul Pembicara Materi
09.15-09.45 Ir. Sumaryono, M.Sc., Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Perbanyakan Massal Tanaman Sagu (Metroxylon sagu Rottb.) melalui Embriogenesis Somatik
09.45-09.55 Dra. Yelnititis, M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Perbanyak Tunas Araucaria cunning hamii dari Eksplan yang Berasal dari Seedling
09.55-10.05 Ir. Asri Insiana Putri, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Ketersediaan Eksplan Tunas Aksiler dan Kalugenesis pada Perbanyakan Mikro Toona sinensis
10.05-10.15 DR. Ali Husni, Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Peningkatan Daya Multiplikasi Tunas in vitro Gaharu dalam Upaya Ikut Membantu Pengembangan dan Kelestariannya
10.15-10.25 Mia Kosmiatin,S.Si., M.Si., Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Enkapsulasi Buku Satu Tunas in vitro Tanaman Gaharu (A. malaccensis Lank)
10.25-10.35 Ir. Toni Herawan, MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Review Kultur Jaringan Cendana (Santalum album L.)
10.35-11.20 Diskusi
11.20-12.30 I S H O M A
Sesi I. Bioteknologi untuk Pemuliaan
Moderator : DR. Arief Nirsatmanto
Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Wahyunisari
Pukul Pembicara Materi
12.30-13.00 DR. Rudy Lukman , BISI International Tbk Evolusi Teknik Molekuler untuk Keperluan Pemuliaan Tanaman
182 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
13.00-13.10 ILG. Nurtjahjaningsih, S.Si., M.Sc., Ph.D., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan TanamanHutan
Identifikasi Tetua Unggul di Kebun Benih Acacia mangium
13.10-13.20 Istiana Prihatini, S.Si., MP., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Identifikasi jamur endofit pada tanaman hutan menggunakan penanda molekuler
13.20-13.30 Vivi Yuskianti, SP., M.Si., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Penanda Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs) untuk Identifikasi Genetik di Sengon dan Acacia hybrid
13.30-13.40 Purnamila Sulistyawati, S.Si., M.Agr.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Pemuliaan tanaman hutan dengan metode pendekatan transcriptomic-proteomics
13.40-14.10 Diskusi
Sesi III. Bioteknologi untuk Konservasi dan Verifikasi Asal-Usul
Moderator : DR. Sapto Indrioko
Notulis : M. Nurdin Asfandi, A.Md dan Endin Izudin, A.Md
Pukul Pembicara Materi
14.10-14.40 DR. Hari Sutrisno, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Peranan DNA barkoding dalam mendukung upaya konservasi fauna di Indonesia
14.40-14.50 DR. Anto Rimbawanto, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Verifikasi Asal Usul Kayu merbau (Intsia bijuga) menggunakan Penanda DNA : Strategi dan Status Penelitian
14.50-15.00 Ir. Pramana Yuda, M.Si., Ph.D., Fakultas Teknobiologi, Universitas Atmajaya, Yogyakarta
Aplikasi molecular sexing pada Gelatik Jawa (Padda oryzivora)
15.00-15.10 DR. Ir. AYPBC Widyatmoko, M.Agr., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Peran Hasil Penelitian Genetika Molekuler dalam mendukung Strategi Konservasi Aquilaria sp
15.10-15.20 Maryatul Qiptiyah, S.i., M.Sc., Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Konservasi Banteng (Bos javanicusd’Alton): Analisis keragaman genetic dan dinamika populasi
15.20-15.50 Diskusi
15.50-16.05 Rehat Kopi
16.05-16.30 Penutupan • Pembacaan Rumusan oleh DR. Anto Rimbawanto • Penutupan oleh Kepala Badan Litbang Kehutanan
183 BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN
SUSUNAN TIM PELAKSANA PADA SEMINAR NASIONAL ”BIOTEKNOLOGI HUTAN UNTUK PRODUKTIVITAS DAN
KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN” TAHUN 2012
BALAI BESAR PENELITIAN BIOTEKNOLOGI DAN PEMULIAAN TANAMAN HUTAN
No. Nama Jabatan dalam Tim Uraian Tugas
1 2 3 4 I. Pembina
Pembina
Memberikan bimbingan dan arahan baik aspek teknis maupun non teknis untuk pelaksanaan kegiatan
1. Kepala Badan Litbang Kehutanan 2. Kepala Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan 3. Kepala Balai Besar PBPTH II. Panitia Pelaksana 1. Ir. Edy Subagyo, M.P. Ketua Mengkoordinasikan tim dalam
pelaksanaan kegiatan, bertanggung jawab terhadap kelancaran & hasil pelaksanaan kegiatan serta melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Kepala Balai Besar
2. Ir. R. Gunawan Hadi R., M.Si. Wakil Ketua Membantu ketua dalam mengkoordinasikan tim
3. Ir. Dodi Garnadi, M.Si. Sekretaris Bersama dengan ketua dan wakil ketua untuk mengarahkan pelaksanaan kegiatan dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan
4. Drs. Riharto, MM
5. Endang Dwi Lestariningsih, A.Md.
Bendahara Mengelola keuangan dalam pelaksanaan kegiatan
6. Edy Wibowo, S.Hut. Seksi Acara dan Persidangan
Mengatur jalannya acara untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan
7. M. Nurdin Asfandi, A.Md. Seksi Materi Mempersiapkan materi kegiatan
8. Maya Retnasari, A.Md 9. Rina Sulistyanti Pembawa
Acara/MC Mengatur jalannya pelaksanaan kegiatan
10. Ismiyati Seksi Akomodasi Menyiapkan akomodasi untuk pelaksanaan kegiatan
11. Nana Niti Sutisna, SIP Seksi Umum Menyiapkan seluruh kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan
184 PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI HUTAN | 09 OKTOBER 2012
top related