- 1 - keputusan kepala badan karantina ikan, …manado.bkipm.kkp.go.id/bkipmnew/public/files...4....
Post on 06-Nov-2020
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
- 1 -
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN
NOMOR 108/KEP-BKIPM/2017
TENTANG
ANALISIS RISIKO PENYAKIT TILAPIA LAKE VIRUS
PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA BADAN KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN,
Menimbang : a. bahwa Tilapia Lake Virus (TiLV) adalah
jenis penyakit baru atau “new emerging
disease” yang memiliki tingkat virulensi
tinggi, dapat mewabah dan dengan cepat
menyebabkan kematian massal, sehingga
pada akhirnya memberikan dampak yang
cukup merugikan secara ekonomi pada
pembudidaya ikan Nila;
b. bahwa dalam rangka memberikan
informasi perkembangan terkini dan
pengelolaan risikonya, diperlukan analisis
risiko terhadap penyakit Tilapia Lake Virus
(TiLV);
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu menetapkan Keputusan
Kepala Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil
Perikanan tentang Analisis Risiko Penyakit
Tilapia Lake Virus pada Ikan Nila
(Oreochromis niloticus);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992
tentang Karantina Hewan, Ikan dan
Tumbuhan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3482);
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4433)
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5073);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
2002 tentang Karantina Ikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4197);
- 3 -
4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015
tentang Organisasi Kementerian Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 8);
5. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015
tentang Kementerian Kelautan dan
Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 111)
sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2017
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2017 Nomor 5);
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor: PER.05/MEN/2005 tentang
Tindakan Karantina Ikan untuk
Pengeluaran Media Pembawa Hama dan
Penyakit Ikan Karantina;
7. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.20/MEN/2007
tentang Tindakan Karantina Untuk
Pemasukan Media Pembawa Hama dan
Penyakit Ikan Karantina Dari Luar Negeri
dan dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia;
8. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.29/MEN/2008
tentang Persyaratan Pemasukan Media
Pembawa Berupa Ikan Hidup;
- 4 -
9. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.16/MEN/2011
tentang Analisis Risiko Importasi Ikan dan
Produk Perikanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 444);
10. Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.25/MEN/2011
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil
Perikanan;
11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 6/PERMEN-KP/2017 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kelautan dan Perikanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
220);
12. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 80/KEPMEN-KP/2015
tentang Penetapan Jenis-jenis Hama dan
Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media
Pembawa, dan Sebarannya;
13. Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor
64/KEPMEN-KP/2016 tentang Penetapan
Tempat Pemasukan dan Pengeluaran
Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan
Karantina;
- 5 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL
PERIKANAN TENTANG ANALISIS RISIKO
PENYAKIT TILAPIA LAKE VIRUS PADA IKAN NILA
(Oreochromis niloticus).
KESATU : Menetapkan Analisis Risiko Penyakit Tilapia
Lake Virus pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Keputusan ini.
KEDUA : Analisis Risiko Penyakit Tilapia Lake Virus pada
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) sebagaimana
dimaksud diktum KESATU, merupakan
pedoman bagi Pusat Karantina Ikan dalam
menyusun kebijakan serta pelaksanaan
pencegahan masuk dan menyebarnya Penyakit
Tilapia Lake Virus pada Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) ke dan antar area di dalam wilayah
Negara Republik Indonesia.
KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Desember 2017
KEPALA BADAN KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN,
ttd.
RINA
Lembar Pengesahan
No. Nama Pejabat Paraf
1 Sekretaris BKIPM
2 Kepala Pusat Karantina Ikan
3 Kepala Bagian Hukum, Kerja
Sama, dan Humas
4 Kepala Subbag Hukum
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dikenal sebagai jenis ikan
budidaya yang cepat tumbuh, teknik budidaya yang relatif mudah,
serta relatif tahan terhadap penyakit. Sehingga, jenis ikan ini
diharapkan menjadi salah satu primadona budidaya air tawar
sebagai pemasok protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Saat
ini, secara global produksi ikan Nila menempati peringkat kedua
terbesar sebagai komoditas budidaya perikanan setelah komoditas
ikan dari family cyprinidae, dengan produksi lebih dari 2 juta metrik
ton atau sekitar 5% dari produksi global perikanan budidaya.
Produsen utama ikan Nila dunia, antara lain: China, Indonesia,
Mesir, Philippines, Mexico, Thailand, Taiwan and Brazil.
Sejalan dengan perkembangan budidaya ikan Nila yang terus
meningkat dan makin intensif, masalah penyakit telah menjadi
salah satu kendala dan harus menjadi perhatian serius dalam
pengembangan budidaya ikan Nila di Indonesia. Terlebih lagi pada
budidaya ikan Nila di Indonesia yang umumnya dilakukan dengan
sistem budidaya terbuka, pemaparan terhadap patogen sangat sulit
untuk dapat dicegah. Pada dekade terakhir, telah dilaporkan adanya
kasus penyakit baru (new emerging disease) yang terjadi pada ikan
Nila, baik di perairan umum maupun yang dibudidayakan. Penyakit
tersebut disebabkan oleh infeksi virus genus baru, yang termasuk
dalam Family Orthomyxoviridae (Eyngor et al., 2014), dan penyakit
yang diakibatkannya dinamakan Penyakit Tilapia Lake Virus (TiLV).
Kasus penyakit tersebut secara resmi telah dilaporkan di Colombia,
Ecuador and Israel (Bacharach et al., 2016; Ferguson et al., 2014;
LAMPIRAN KEPUTUSAN KEPALA BADAN KARANTINA
IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN
NOMOR 108/KEP-BKIPM/2017 TENTANG ANALISIS RISIKO PENYAKIT TILAPIA LAKE VIRUS PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
2
Tsofack et al., 2016), dan terbaru di Egypt (Fathi et al., 2017) dan
Thailand (Dong et al., 2017).
Indonesia, sebagai negara penghasil ikan Nila nomor dua
terbesar di dunia setelah China; perlu mewaspadai dan melakukan
langkah-langkah antisipasi terhadap kemungkinan masuk dan
tersebarnya penyakit TiLV ke dalam Wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal ini didasarkan pada pengalaman
masa lalu terhadap masuk dan tersebarnya beberapa penyakit
eksotik yang sangat mengganggu produksi dan perkembangan
perikanan budidaya, seperti Koi Herpesvirus (KHV) pada ikan mas
dan koi, Taura Syndrome Virus (TSV) dan Myonecrosis Virus (IMNV)
pada udang penaeid.
Office International des Epizooties (OIE), merupakan organisasi
antar pemerintah yang bertanggung jawab untuk memperbaiki
kesehatan hewan termasuk organisme akuatik di seluruh dunia.
Kegiatan utama meliputi mengumpulkan, menganalisis dan
menyebarkan informasi ilmiah tentang pengendalian penyakit
hewan, dan menerbitkan standar kesehatan untuk perdagangan
internasional pada hewan dan produk hewani. OIE telah
memasukkan Tilapia lake Virus (TiLV) sebagai “emerging disease”
yang terdapat pada OIE’s Aquatic Animal Health Code. TiLV
diketahui telah menyebabkan kematian pada budidaya ikan Nila.
Sejak penemuan virus tersebut pertama kali di Israel pada tahun
2014, Bacharach et. al. 2016 melaporkan telah terjadi kematian
massal (hingga 100%) pada ikan Nila (Oreochromis sp., Sarotherodon
sp. dan Tilapia sp.) yang disebabkan oleh infeksi jenis virus tersebut
di beberapa Negara, antara lain: Mesir, Israel, Ekuador, Kolombia
dan Thailand.
Lalu lintas perdagangan ikan Nila (hidup/mati) antar
negara/area akan meningkatkan peluang masuk dan tersebarnya
penyakit TiLV yang dapat membahayakan kelangsungan budidaya
jenis ikan tersebut. Beberapa langkah antisipatif telah dilakukan
oleh pemerintah (c.q. Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam
rangka mencegah masuknya penyakit TiLV, antara lain melalui: (1).
Pelarangan terhadap importasi ikan Nila dari negara
terpapar/terkena wabah TiLV, 6 April 2017 (Direktorat Jenderal
3
Perikanan Budidaya), (2). Surat Edaran dari Badan Karantina Ikan
dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) 21 April 2017
untuk memperkuat larangan dan memerintahkan seluruh Unit
Pelaksana Teknis Karantina Ikan untuk melakukan tindakan
penolakan terhadap impor ikan Nila (hidup/mati) yang berasal atau
transit dari negara-negara yang disebutkan telah terkena wabah.
Tingkat risiko suatu penyakit dapat diukur dengan
melakukan Analisis Risiko Hama dan Penyakit Ikan (ARHPI) yang
merupakan metode umum untuk menentukan tingkat keseluruhan
risiko dari suatu patogen penyebab penyakit, dengan dasar ilmiah
yang transparan dan di dalamnya mencakup identifikasi bahaya,
penilaian, manajemen dan komunikasi risiko yang sesuai dengan
ketentuan internasional. KEPMEN KP No. 337/BKIPM/2011
tentang Pedoman Analisis Risiko hama dan Penyakit Ikan yang
mengamatkan perlunya dilakukan proses analisis resiko terhadap
media pembawa yang berpotensi mengganggu kelestarian sumber
daya hayati perikanan.
Karantina Ikan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 1992, salah satu tugas pokoknya adalah turut
menjamin kelestarian sumberdaya alam hayati perikanan yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perlindungan
sumberdaya alam hayati. Terkait dengan kewajiban melindungi
sumber daya alam perikanan, khususnya dalam rangka pencegahan
masuk dan tersebarnya penyakit TiLV di Wilayah NKRI, Pusat
Karantina Ikan perlu menyusun dan melaksanakan Analisis Risiko
Penyakit Tilapia Lake Virus (TiLV) pada ikan Nila (Oreochromis
niloticus)berdasarkan fakta ilmiah, konsisten, transparan, dan
fleksibel. Analisis resiko tersebut merupakan kajian objektif sebagai
bahan dan pertimbangan dalam menyusun kebijakan
perkarantinaan ikan untuk mencegah masuk dan tersebarnya
penyakit TiLV ke dalam Wilayah NKRI.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan Analisis Risiko Penyakit Tilapia Lake
Virus (TiLV) pada Ikan Nila adalah untuk:
4
1. Mengetahui potensi bahaya dan tingkat risiko penyakit Tilapia
lake Virus (TiLV) pada ikan Nila;
2. Menetapkan manajemen risiko terhadap kemungkinan masuk
dan menyebarnya TiLV melalui ikan Nila (Oreochromis niloticus)
ke dalam dan antar area di wilayah Republik Indonesia;
3. Memberikan informasi perkembangan terkini (current status)
penyakit TILV, baik secara nasional maupun global; dan
4. Mengawal keberlangsungan usaha budidaya ikan Nila.
C. Dasar Hukum
Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam penilaian analisis
risiko penyakit Tilapia Lake Virus (TiLV) adalah:
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan, Ikan, dan Tumbuhan;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karantina
Ikan;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2007
tentang Konservasi Sumber Daya Ikan;
5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.20/MEN/2007 tentang Tindakan Karantina untuk
Pemasukan Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan Karantina
dari Luar Negeri dan dari Suatu Area ke Area Lain di Dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia;
6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.16/MEN/2011. Tentang Analisis Risiko Importasi Ikan dan
Produk Perikanan.
7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 80/KEPMEN-KP/2015 tentang Penetapan Jenis-jenis
Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa,
dan Sebarannya;
8. Keputusan Kepala Badan Karantina, Pengendalian Mutu dan
Keamanan Hasil Perikanan Nomor 337 Tahun 2011 tentang
Pedoman Analisis Risiko Hama danPenyakit Ikan;
5
D. Definisi/Istilah
Definisi/istilah yang digunakan dalam analisis risiko ini
adalah sebagai berikut:
1. Area adalah meliputi daerah dalam suatu pulau, atau pulau,
atau kelompok pulau di dalam wilayah Republik Indonesia yang
dikaitkan dengan pencegahan penyebaran hama dan penyakit
ikan.
2. Etiologi adalah cabang biologi tentang penyebab penyakit,
khususnya mengenai penyebab utama penyakit, kodrat, sifat,
dan ciri-ciri patogen serta hubungannya dengan inangnya.
3. Hama dan Penyakit Ikan Karantina (HPIK) adalah semua hama
dan penyakit ikan yang belum terdapat dan/atau telah terdapat
hanya di area tertentu di wilayah Republik Indonesia yang
dalam waktu relative cepat dapat mewabah dan merugikan sosio
ekonomi atau yang dapat membahayakan kesehatan
masyarakat.
4. Hama dan Penyakit Ikan (HPI) adalah semua HPI selain HPIK
yang sudah terdapat dan/atau belum terdapat di wilayah
Republik Indonesia yang dapat merusak, mengganggu
kehidupan, atau menyebabkan kematian ikan.
5. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan;
6. Ikan Nila adalah ikan dari genus Seroterodon, Tilapia dan
Oreochromis;
7. Introduksi adalah usaha sadar atau tidak sadar memasukkan
suatu jenis ikan ke dalam satu habitat yang baru;
8. Identifikasi bahaya (hazard identification) adalah proses
identifikasi HPI yang berpotensi masuk bersama media
pembawa yang dilalulintaskan dari suatu negara atau tersebar
antar area di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dapat menyebabkan bahaya terhadap kelestarian sumber daya
hayati ikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
9. Media pembawa adalah ikan dan/atau benda lain yang dapat
membawa hama dan penyakit ikan karantina.
6
10. Pemasukan adalah memasukkan media pembawa dari luar
negeri ke dalam wilayah Republik Indonesia atau dari suatu
area ke area lain di dalam wilayah Republik Indonesia.
11. Tindakan karantina ikan adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit ikan
karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di
dalam negeri, atau keluarnya hama dan penyakit ikan dari
dalam wilayah Republik Indonesia.
12. Risiko (risk) adalah peluang atau peluang kejadian dan
penilaian besarnya konsekuensi dari suatu kejadian buruk
terhadap ikan;
13. Analisis risiko (risk analysis) adalah suatu pendekatan
sistematis untuk pengambilan keputusan dan mengevaluasi
peluang dan konsekuensi biologis dan ekonomis dari
pemasukan atau penyebaran HPI dari suatu negara atau antar
area di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
14. Penilaian risiko (risk assessment) adalah proses penilaian
terhadap peluang masuk dan menyebarnya HPI serta
konsekuensi yang berkaitan dengan kelestarian sumberdaya
ikan;
15. Manajemen risiko (risk management) adalah tindak lanjut dari
pelaksanaan penilaian risiko yang mencakup penetapan
mekanisme, langkah dan strategi yang tepat untuk mengatur,
mengelola dan mengendalikan risiko yang diidentifikasi dalam
penilaian risiko;
16. Komunikasi risiko (risk communication) adalah suatu proses
pengumpulan informasi dan opini mengenai bahaya dan risiko
dari pihak-pihak yang terkait dalam kegiatan analisis risiko, dan
proses dimana hasil-hasil dari analisis risiko dan pengelolaan
risiko yang diusulkan dikomunikasikan kepada para pembuat
kebijakan dan pihak-pihak yang terkait.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tilapia Lake Virus (TiLV)
1. Nama Penyakit
Tilapia Lake Virus Disease
2. Etiologi
Hasil analisis mikroskopi elektron terhadap virion yang
dimurnikan dari kultur sel mengungkapkan partikel ekosahedral
beramplop dengan ukuran 55 sampai 75 nm (Eyngor et al.,
2014). Sementara pengamtan i sel E-11 yang terinfeksi dan
jaringan ikan mengkonfirmasi virion berukuran 60 sampai
80nm (Tattiyapong et al 2014). Del Ponzo dkk (2017) menemukan
virion ekstraselular dan intraselular (kebanyakan
intraendosomal), virion berukuran 60-100 nm dengan kapsid
trilamin yang mengandung hingga 7 agregat padat elektron. Juga
ditemukan virion beramplop atau filamen dan virion yang
mengandung lipatan membran sitoplasma (Del Ponzo et al 2017).
TiLV merupakan virus dengan genom berupa dengan
ukuran segment 456 sampai 1.641 nukleotida dan total genom
nuclotida. Dari 10 genom segmen, hanya segmen 1 diduga
mempunyai kesamaan protein (weak homology) dengan
Polymerase Sub Unit PB1 Influenza C. Daerah ujung 5’ dan 3’ dari
segmen-segement tersebut bersifat lestari/conserve dan
menunjukkan kemiripan dengan genom pada orthomyxoviruses
(Bacharach et al. 2016). Analisis filogenetik terhadap sekuen
segmen 1 dari berbagai isolat TiLV dari Thailand dan TiLV dari
Israel juga menunjukkan bahwa TiLV ini tergolong dalam
kelompok orthomyxoviridae. Perbandingan analisis nukleotida
genome TiLV dari Israel dan ekuador menunjukkan memiliki
relevansi 97.20 sampai 99% dan 98.7 sampai 100% asam amino
pada genome yang sama (Bacharach et al., 2016). TiLV asal
Thailand menunjukkan kemiripan nukleotida 96.28 – 97.52%
dan 97.35 – 98.84% asam amino (Dong et al., 2017). Diduga ada
varian lain dari TiLV di Thailand dan ini memerlukan penelitian
8
lebih lanjut karena sekuen dari Ekuador, belum dipublikasi di
GenBank.
3. Kultur Virus
Virus TiLV dapat berkembang biak pada sel primer otak
nila atau dalam sel E-11, dan menghasilkan cytopathic effect
pada 5 sampai 10 hari pasca-infeksi (Eyngor et al., 2014). TiLV
diisolasi dari sampel lapangan dan dikultur pada garis sel E-11
permisif, menghasilkan CPE 3-5 hari setelah inokulasi
(Tatiyapong et al 2017).
4. Rentang Inang
Tilapia Lake Virus Diseases (TiLV) telah menjadi penyebab
kematian ikan di beberapa negara dan dapat menyerang ikan
air tawar dan payau (OIE.2017). Mortalitas yang disebabkan oleh
TiLV telah diamati pada nila liar Sarotherodon (Tilapia) galilaeus,
nila budidaya Oreochromis niloticus dan nila hibrida komersial
(O. niloticus X O. aureus) (Bacharach et al., 2016; Ferguson et al.,
2014; Eyngor et al., 2014). Sampai saat ini hanya beberapa nila
yang telah terbukti rentan. Pada budidaya polikultur dengan nila,
tidak terjadi kematian ikan belanak (Mugil cephalus) dan karper
(Cyprinus carpio) pada saat wabah penyakit TiLV di Israel (Eyngor
et al., 2014), demikian pula dengan ikan grey mullet dan thin-
lipped mullet (Liza ramada) ditemukan tidak terpengaruh saat
wabah TiLV di Mesir (Fathi et al, 2017).
Stadia yang terutama terpengaruh oleh wabah TILV
adalah pada stadia benih (Ferguson et al., 2014 dan Dong et al.,
2017). Dong et al. (2017) melaporkan sekitar 90% kematian pada
ikan nila merah dalam waktu satu bulan setelah ditebar di
karamba, sedangkan pada ikan nila berukuran menengah
sampai besar kematian hanya 9% (Fathi et al. 2017). Kohabitasi
ikan sehat (30 sampai 35 g) dengan ikan sakit menghasilkan
mortalitas (80 sampai 100%) terjadi dalam beberapa hari (Eyngor
et al., 2014). Uji in vivo menunjukkan mortalitas yang tinggi
pada nila (86%) dan nila merah (66%) terjadi pada 4 -12 hari
pasca infeksi (Tattiyapong et al., 2017). Studi di Thailand dengan
menggunakan sampel segar dan simpanan yang dikumpulkan
antara tahun 2012 dan 2017 menemukan bahwa telur yang
9
telah dibuahi, benih dengan kuning telur, fries dan benih
positif terinfeksi TiLV (Dong et al. 2017b).
Ada beberapa bukti bahwa strain nila genetik tertentu
resisten. Kemungkinan terdapat kerentanan strain O. niloticus
telah diamati pada wabah di Ekuador, dengan tingkat kematian
60% - 70%. Ferguson et al., 2014 mencatat bahwa satu jenis ikan
nila (genetik nila) mengalami tingkat kematian yang jauh lebih
rendah (10-20%) dibandingkan dengan strain lainnya.
5. Gejala Klinis dan Histopatologis
Injeksi intraperitoneal virus ini pada nila, menyebabkan
gejala penyakit seperti yang ditemukan pada infeksi alami, yang
berupa ikan menunjukkan kelesuan, perubahan okular, dan
erosi kulit. Gejala luar yang terlihat berupa perubahan pada
mata, termasuk lensa keruh dan pada kasus yang lebih lanjut
lensa rusak (Gambar 1). Lesi lain termasuk erosi kulit (Gambar
2), perdarahan pada leptomeninges dan kongesti di limpa (Eyngor
et al., 2014).
Gambar 1. Nila yang terinfeksi TiLV terlihat penyusutan mata
dan kehilangan fungsi okular (phthisis bulbi). (Sumber
Eyngor et al., 2014).
10
Gambar 2. Gross patologi pada kulit termasuk multifokal
penggabungan erosi dan ulkus. (Sumber Eyngor et al.,
2014).
Gejala histologis telah diamati di otak, mata dan hati
(Eyngor et al., 2014). Lesi di otak termasuk edema, perdarahan
fokal di leptomeninges, dan kongesti kapiler baik pada area putih
dan abu-abu dan degenerasi saraf. Gejala di mata berupa ruptur
kapsul lenticular dan perubahan katarak. Gejala pembengkakan
hepatoseluler juga terjadi. Limpa terlihat hiperplastik, dengan
banyaknya lymphocytes. Melanomacrophage centre (MMCs)
meningkat dalam ukuran dan jumlah baik pada hati dan limpa.
Mikroskopi elektron transmisi mengkonfirmasi adanya virus
mirip orthomyxo di dalam hepatosit dan dengan demikian
mengkonfirmasi laporan awal hepatitis syncytial (del-Pozo et al.,
2016). Histopatologi pada ikan uji tantang menunjukkan
degenerasi dan infiltrasi sel inflamasi yang hebat di hati dan otak
serta adanya inklusi intrantoplasma eosinofilik pada sel hepatosit
dan limpa (Tattiyapong et al .2017)
Kasus di Israel menunjukkan lesi sistem saraf pusat yang
paling parah (Eyngor et al., 2014) sementara kasus di Ekuador
dan Kolombia memiliki lesi hati (Ferguson et al., 2014; Tsofack et
al., 2017; del-Pozo et al., 2017; ). Lesi sistem hati dan saraf pusat
telah dilaporkan dalam kasus dari Mesir (Fathi et al, 2017). Lebih
spesifik lagi, lesi yang diamati pada ikan yang terkena dampak di
11
Israel meliputi congestion pada organ dalam (ginjal dan otak),
gliosis dan pembengkakan perivaskular di korteks otak, dan lesi
okular (endophthalmitis dan perubahan lensa katarak) (Eyngor et
al., 2014).
Pada ikan yang terkena dampak dari Mesir, temuan
histopatologis meliputi gliosis, ensefalitis dan pembengkakan
perivaskular ringan di otak, hepatitis kronik multifokal dan
perdarahan interstisial multifokal di ginjal (Fathi et al., 2017).
Kasus di Ekuador menunjukkan nekrosis hepatosit dan
pembentukan sel syncytial, nekrosis kelenjar lambung dan
congestion yang menyebar di beberapa jaringan (Ferguson et al.,
2014). Hepatitis Syncytial juga dilaporkan pada sampel dari
Kolombia (Tsofack et al., 2017) dan Thailand (Dong et al., 2017a),
dan agregasi limfosit dan perivaskular cuffing pada jaringan otak
(Surachetpong et al., 2017).
6. Epizootiologi
Di Israel, outbreak telah dilaporkan selama musim panas,
yaitu Mei sampai Oktober (pada suhu air 22ᵒC sampai 32ᵒC)
(Eyngor et al., 2014), Juni sampai Oktober (≥ 25ᵒC) di Mesir (Fathi
et al., 2017) dan mungkin sampai November (25ᵒC sampai 27ᵒC)
di Ekuador (Ferguson dkk., 2014). Beberapa pengujian sampel
yang menghasilkan TiLV positif di Thailand dikumpulkan antara
bulan Oktober dan Mei (Surachetpong et al., 2017). Di Mesir,
budidaya ikan yang besar, kepadatan tebar yang tinggi dan
polikultur Nila dengan mullet telah diidentifikasi sebagai faktor
risiko terjadinya wabah TiLV (Fathi et al., 2017).
Fingerlings yang terkena dampak di Ekuador biasanya
terdeteksi dalam waktu empat sampai tujuh hari setelah
dipindahkan ke kolam pembesaran, dengan tingkat kematian
berkisar antara 10-20% sampai dengan paling tinggi 80%
tergantung pada strain ikan (Ferguson et al., 2014). Sistem
pemeliharaan spertinya berpengaruh pada tingkat kematian ikan.
Variasi mortalitas telah dilaporkan dari farm di Thailand dengan
kombinasi spesies dan produksi yang berbeda, budidaya ikan
nila merah dan ikan nila di kolam tanah di provinsi Phetchaburi
terjadi kematian 20%, sedangkan budidaya nila merah di
12
Keramba jaring apung di provinsi Chai Nat dan di Provinsi
Pathum Thani terjadi kematian sekitar 90% (Dong et al, 2017a).
Pada uji kohabitasi telah menunjukkan bahwa transmisi
horizontal dapat menjadi penyebab penyebaran TiLV, tetapi tidak
ada bukti bahwa TiLV dapat menyebar secara vertikal (OIE.2017).
Perpindahan ikan antar kolam atau karena perdagangan dapat
menjadi penyebab penyebaran TiLV, hal ini diduga karena faktor
stress sebagai pemicunya (Ferguson et al., 2014, Dong et al,
2017).
Wabah yang terjadi di Ekuador terjadi sepanjang tahun
dimana suhu air berkisar antara 25-270C, akan tetapi wabah
yang terjadi di Israel terjadi pada musim panas (Mei sampai
Oktober; suhu 22-320C), Faktor pemicu timbulnya wabah
penyakit TiLV adalah suhu air dan kepadatan tinggi. Suhu air
yang menyebabkan wabah terjadi di atas 25OC, suhu yang tidak
menyebabkan kematian adalah dibawah 20OC, dan puncak
kematian masal terjadi pada suhu 30OC (Tsofack et al., 2016).
7. Penyebaran Penyakit
Uji kohabitasi telah menunjukkan bahwa transmisi
horizontal langsung merupakan jalur transmisi yang penting.
Sehingga penularan penyakit kemungkinan dengan pergerakan
hewan air hidup. Informasi tentang adanya TiLV dan risiko
pada produk hewan air masih terbatas. Namun, dapat
diasumsikan dengan mengambil analogi dari berbagi sifat
orthomyxovirus air lainnya. Terdapat bukti bahwa mata, otak
dan hati cenderung mengandung konsentrasi TiLV tertinggi dan
dengan demikian limbah padat dan cair ada kemungkinan
terkontaminasi. Dimungkinkan juga agen patogen ini juga
ditemukan pada otot ikan yang terinfeksi.
Populasi ikan yang terinfeksi, baik ikan budidaya dan liar,
merupakan sumber infeksi yang mapan. Kejadian penyakit telah
dilaporkan berkaitan dengan pemindahan ikan antar kolam dan
karenanya dapat dikaitkan dengan stres (Ferguson et al., 2014,
Dong et al, 2017). Sementara, tidak ada faktor risiko lainnya
(suhu, salinitas, dan lain-lain) telah diidentifikasi sebagai faktor
risiko potensial.
13
a. Negara Wabah TiLV
TiLV telah dilaporkan di Kolombia, Ekuador dan Israel
(Bacharach et al., 2016; Ferguson et al., 2014; Tsofack et al.,
2016), Mesir (Fathi et al., 2017) dan Thailand (Dong et al.,
2017). Fokus saluran Berita Taiwan pada 17 Juni 2017
berdasarkan pernyataan Dewan Pertanian melaporkan tiga
perusahaan pembudidaya ikan di Taoyuan dikonfirmasi telah
terinfeksi TiLV, sehingga jumlah keseluruhan menjadi enam
perusahaan sejak virus tersebut pertama kali dilaporkan.
Namun, karena kurangnya penyelidikan menyeluruh terhadap
semua insiden kematian, mungkian distribusi geografis TiLV
lebih lebar daripada saat ini. Misalnya, laporan kematian Nila
di Ghana dan Zambia pada tahun 2016 belum dikaitkan
dengan TiLV namun informasi yang ada tidak menunjukkan
bahwa keberadaan virus telah diteliti.
1) Israel
Di Israel antara bulan Mei 2011 dan Juli 2013, isolat TiLV
diperoleh dari sampel ikan liar di Laut dari Galilea, dan
juga dari budidaya di daerah pusat budidaya perairan
utama (pantai pesisir, Lembah Yordan dan Galilea) (Eyngor
et al., 2014).
2) Mesir
Di Mesir, 37% budidaya ikan yang dipilih secara acak di
daerah pusat budidaya utama (Kafr el Sheikh, Behera,
Sharkia) terpengaruh oleh kematian musim panas pada
tahun 2015 (Fathi et al., 2017).
3) Ekuador
TiLV telah terdeteksi di salah satu budidaya Ekuador
dimana ikan ukuran fingerlings dijadikan sampel pada
tahun 2011 dan 2012 (Ferguson et al., 2014; Bacharach et
al., 2016), sementara tidak ada penjelasan kasus yang
diberikan untuk sampel positif TiLV dari Kolombia (Tsofack
et al., 2017).
4) Thailand
Tiga budidaya ikan Nila di tiga provinsi Thailand
(Phetchaburi dan Chai Nat sampel pada tahun 2016 dan
14
Pathum Thani yang diambil sampelnya pada tahun 2017)
dilaporkan positif TiLV oleh Dong et al. (2017a).
Surachetpong et al., (2017) melaporkan 22 dari 32
budidaya, sampel antara bulan Oktober 2015 dan Mei
2016, TiLV positif (Provinsi Ang Thong, Chai Nat,
Chachoengsao, Kanchanaburi, Khon Kaen, Nakhon
Ratchasima, Pathum Thani, Phitsanulok dan Ratchbuni),
sedangkan 10 budidaya TiLV menunjukan negatif terletak
di tiga provinsi lainnya (Samut Songkhram, Prachin Buri
dan Nong Khai) (Surachetpong et al. 2017). TiLV telah
ditemukan pada sampel di Thailand yang berasal dari
tahun 2012 (Dong et al., 2017).
5) Taiwan
Mengacu dari pernyataan Council of Agriculture (COA,
Focus Taiwan News Channel pada tangal 17 Juni 2017,
melaporkan adanya Tilapia lake virus yang melanda enam
pembididaya ikan di Guangyin District, Taoyuan. Sebelas
sampel yang diambil dari Taiwan selatan masih negatif
TiLV.
(http://focustaiwan.tw/news/asoc/201706170013.aspx).
b. Negara Beresiko Tinggi TiLV
Menurut Dong et al. (2017b), negara-negara yang beresiko
dan memiliki potensi penyebaran TiLV antara lain : Algeria,
Bahrain, Bangladesh, Belgium, Burundi, Canada, China,
Congo, El-Salvador, Germany, Guatemala, India, Indonesia,
Japan, Jordan, Laos, Malaysia, Mexico, Mozambique,
Myanmar, Nepal, Nigeria, Pakistan, Philippines, Romania,
Rwanda, Saudi Arabia, Singapore, South Africa, Sri Lanka,
Switzerland, Tanzania, Togo, Tunisia, Turkey, Turkmenistan,
Uganda, Ukraine, United Arab Emirate, United Kingdom,
United States, Vietnam and Zambia (lihat gambar 3 dibawah).
Namun distribusi geografis penyakit TiLV pada saat ini
memiliki kemungkinan lebih luas karena kurangnya
penyelidikan menyeluruh terhadap semua insiden kematian
akibat TiLV. Misalnya, laporan kematian Nila di Ghana dan
Zambia pada 2016 belum dikaitkan dengan TiLV dan
15
informasi yang tersedia tidak menunjukkan bahwa penyebab
kematian telah diteliti.
Gambar 3. Peta distribusi dari TiLV. Negara dengan konfirmasi
terdapat TiLV ( warna merah). Warna biru
menunjukkan 43 negara yang melakukan impor yang
memiliki kemungkinan terinfeksi TiLV (Sumber : Dong
et al. (2017b).
8. Metode Diagnostik
Penyakit TILV didefinikan sebagai kondisi tingkat
kematian yang tinggi pada spesies nila, terkait dengan perubahan
okular (opasitas lensa atau patologi yang lebih parah). Erosi kulit,
perdarahan pada leptomeninges dan kongesti limpa dan ginjal
moderat dapat diamati pada post-mortem.
a. Gejala Klinis
Tanda klinis yang dilaporkan meliputi lethargy (kelesuan),
perubahan okular, erosi kulit dan perubahan warna
(penggelapan) di Israel (Eyngor et al., 2014) dan exophthalmia,
perubahan warna (penggelapan), distensi abdomen, scale
protrusion dan insang pucat di Ekuador (Ferguson et al. 2014).
Ikan yang terkena dampak TiLV yang berasal dari Thailand
menunjukkan warna yang pucat (Dong et al., 2017a), anemia,
exophthalmia, pembengkakan perut, skin congestion pada
kulit , erosi, congestion pada otak dan insang dan hati yang
pucat (Surachetpong et al., 2017).
16
b. Tingkah Laku
Di Thailand, ikan yang terinfeksi TiLV kehilangan nafsu
makan, lesu, berperilaku tidak normal (misalnya berenang di
permukaan), pucat, anemia, exophthalmia, pembengkakan
perut, dan congestian kulit dan erosi telah dilaporkan (Dong et
al., 2017a; Surachetpong et al., 2017).
c. Histopatologi
Pengujian histologi untuk ikan Nila yang terinfeksi TiLV
menunjukkan hasil antara lain :
1) Perubahan patologi otak
a) Pada otak, perubahan histopatologi yang terjadi berupa
edema, hemoragi pada lepromeninges, dan kongesti
kapiler pada white dan gray matter.
b) Foki gliosis dan perivascular cuffing limfosit.
c) Beberapa neuron pada telencephalon dan sebagian lobus
opticus menunjukkan berbagai tingkatan degenerasi
neuron, termasuk vakuolisasi dan rarefaction
sitoplasmik serta pergeseran inti ke tepi (central
chromatolysis) (Eyngor et al., 2014).
d) Selain encephalitis, meningitis kronis ringan juga terjadi
(Fathi et al., 2016).
Gambaran patologi otak untuk ikan yang terinfeksi TiLV dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
a b
17
Gambar 4. (a) Histologi pada otak dan cortex. Terlihat
pembuluh darah melebar dengan sejumlah besar sel
darah merah di dalam leptomeninges dan dengan
materi berwarna abu-abu dan putih. Pewarnaan H&E
× 10. (Sumber : Eyngor et al., 2014). (b)
Perivascular cuffing limfosit pada Otak dan Cortex
(dilingkari) (Sumber : Eyngor et al., 2014).
2) Perubahan patologi ginjal dan hati
a) Pada hati terdapat foki pembengkakan dan vacuolisasi
sel-sel hati. Sitoplasma hati terakumulasi pigmen
bergranula berwarna kuning hingga coklat (Eyngor et
al., 2014).
b) Pada hati ditemukan adanya multinucleated giant cell
(Bacharach et al., 2016).
c) Limpa mengalami hyperplasia dengan proliferasi limfosit
mengelilingi bentukan ellipsoid.
d) MMC baik di hati maupun limpa meningkat, ukuran
dan jumlahnya (Bacharach et al., 2016).
e) Kongesti dan atau hemoragi sering ditemukan juga pada
limpa. Epidermis secara moderat mengalami hemoragi
superficial, peradangan dan oedema (Fathi et al., 2016).
Gambaran patologi ginjal dan hati untuk ikan yang
terinfeksi TiLV dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
a b
18
Gambar 5. (a) Ginjal dan interstitium. Kepala panah
menandai pembuluh darah melebar yang
dikemas dengan sejumlah besar sel darah
merah (Kongesti). Pewarnaan hematoxylin dan
eosin (H & E) × 10. (Sumber : Eyngor et
al.,2014). (b) Histologi pada hati dari ikan
tilapia yang menunjukkan giant cells (tanda
panah) (H&E, x 400). (Sumber : H.W Ferguson
et al. 2014).
3) Perubahan Patologi Mata
Gambaran patologi mata pada ikan Nila yang terinfeksi
TiLV dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 6. Histologi pada mata. Katarak yang ditandai
dengan pembentukan struktur bola eosinofilik
serat kristal pada lensa mata
(dilingkari).(Sumber : Eyngor et al.,2014)
d. Reverse Transkripsi Polimerase Chain Reaction (RT-PCR)
Set primer PCR telah dirancang dan PCR reverse transcriptase
(RT) telah dikembangkan (Eyngor et al., 2014). RT-PCR yang
lebih sensitif dan nested telah dipublikasikan dan cocok untuk
mendeteksi TiLV dalam kasus klinis (Tsofack et al., 2017). RT-
PCR semi-nested dengan sensitivitas deteksi yang ditingkatkan
(7,5 copy virus per reaksi) telah berhasil dikembangkan
19
(Dong et al., 2017). Selain itu, uji RT-PCR nested
memungkinkan deteksi cepat TiLV pada organ ikan. PCR
nested dengan sensitifitas deteksi sekurang-kurangnya 7 copy
TiLV (Tsofack et al., 2017). Selengkapnya mengenai primer
spesifik TiLV dapat dilihat pada table dibawah.
Tabel 1. Primer Spesifik TiLV (Eyngor, M. et al., 2014)
Tahap Primer Urutan Sekuens Ukuran
Produk
First
step
Ext-1 (5’-TATGCAGTACTTTCCCTGCC-3’) 415 bp
ME 1 (5’- GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’)
Semi
nested
7450/150R
/ME 2
5’-TATCACGTGCGTACTCGTTCAGT-3’) 250 bp
ME 1 5’- GTTGGGCACAAGGCATCCTA-3’)
9. Pengendalian
Saat ini, tidak ada metode yang dipublikasikan yang
terbukti efektif untuk meminimalisir dampak ketika sudah
terjadi wabah pada budidaya. Pembatasan pergerakan ikan nila
hidup dari budidaya dan perikanan dimana virus terdeteksi akan
membatasi penyebaran penyakit. Langkah-langkah biosecurity
umum untuk meminimalkan penyebaran melalui peralatan,
kendaraan atau personil (yaitu pembersihan dan desinfeksi) juga
harus dilaksanakan. Program pemuliaan dilakukan melalui
pemilihan dan pengujian strain ikan Nila yang lebih resisten
(OIE, 2017).
Ikan yang bertahan hidup pada saat terjadi wabah
(survivor) diduga memiliki kekebalan atau menunjukkan adanya
peningkatan respon imun protektif terhadap infeksi TiLV.
Pengembangan vaksin menjadi solusi jangka panjang untuk
mengelola penyakit ini (Ferguson et al., 2014).
10. Dampak Tilapia lake Virus (TiLV)
Budidaya ikan yang terkena dampak TiLV melaporkan
tingkat kematian yang dapat mencapai di atas 80% (Eyngor et al.,
2014; Dong et al., 2017a; Surachetpong et al., 2017). Mesir
20
diperkiraan kehilangan produksi ikan mencapai 98.000 metrik
ton, dengan nilai sekitar USD 100 juta, karena summer
mortality syndrome pada tahun 2015 (Fathi et al., 2017).
Di Laut Galilea di Israel, jumlah tangkapan liar tahunan
untuk ikan yang dapat dikonsumsi di danau, S. galilaeus,
menurun dari 316 metrik ton pada tahun 2005 menjadi 8 metrik
ton pada tahun 2009, dengan peningkatan selanjutnya menjadi
160 metrik ton pada tahun 2013 dan 140 metrik ton pada tahun
2014 (Eyngor et al., 2014). Kontribusi infeksi TiLV terhadap
penurunan ini belum ditentukan; namun TiLV telah diidentifikasi
terdapat dalam sampel dari beberapa Nila liar, termasuk yang
berasal dari S. Galilaeus (Eyngor et al., 2014).
B. Ikan Nila
Ikan Nila, Oreochromis niloticus, adalah cichlid air tawar Afrika
dan salah satu ikan makanan terpenting di dunia. Karena sifatnya
yang kuat terhadap berbagai adaptasi trofik dan ekologisnya, telah
diperkenalkan secara luas pada perikanan budidaya, dan
penangkapan ikan (Trewavas, 1983; Welcomme, 1988), Saat ini ikan
nila hampir ditemukan di setiap negara tropis di dunia, dan sering
digambarkan sebagai spesies 'pioneer' yang berarti dapat hidup dan
berkembang di habitat yang tidak optimum, secara oportunis
bermigrasi dan bereproduksi. Ikan nila dapat dibudidayakan di
berbagai tempat seperti kolam, waduk, sawah, tambak, sungai
bahkan di perairan yang memiliki kadar garam lebih tinggi dari air
tawar (payau). Karakteristik eko-biologi ini sering dianggap bahwa
ikan nila merupakan salah satu Invasive Alien Species (IAS) akuatik
yang sering menggeser populasi spesies asli (indigenous species) di
daerah atau habitat yang telah ada.
Ikan nila terdiri dari puluhan jenis (species), dan merupakan
kelompok terbesar ke-2 di dunia sebagai ikan budidaya setelah ikan
dari family Cyprinidae. Produksi nila global diperkirakan mencapai
5,67 juta metrik ton (MMT). Pada 2015, tiga produsen teratas adalah
Republik Rakyat Cina (1,78 MMT), Indonesia (1,12 MMT) dan Mesir
(0,88 MMT). Produsen utama lainnya termasuk Bangladesh,
Vietnam dan Filipina (FAO, 2017). Di beberapa negara, jenis-jenis
21
ikan ini memiliki nilai ekologis yang sangat penting (pengendalian
ganggang dan nyamuk, serta memelihara habitat dalam proses
purifikasi alami pada budidaya udang penaeid), serta sebagai jenis
ikan tangkapan di perairan umum.
Ikan nila juga dikenal sebagai jenis ikan budidaya yang cepat
tumbuh, teknik budidaya yang relatif mudah, serta relatif tahan
terhadap penyakit. Sehingga, jenis ikan ini diharapkan menjadi
salah satu primadona budidaya air tawar sebagai pemasok protein
hewani bagi masyarakat Indonesia; dan kecenderungan tersebut
terlihat dari peningkatan produksi rata-rata diatas 20% per tahun
sejak 2007 (Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2014). Saat ini,
ikan nila menempati peringkat kedua terbesar sebagai komoditas
budidaya perikanan setelah komoditas dari family cyprinidae,
dengan produksi lebih dari 2 juta metrik ton atau sekitar 5% dari
produksi global perikanan budidaya.
1. Taksonomi
Oreochromis adalah genus besar dari ciclids, ikan yang
endemik ke Afrika dan Timur Tengah. Beberapa spesies dari
genus ini telah ada sebelum menjadi terkenal, dan penting dalam
akuakultur. Anggota genus ini, terdapat genera Tilapia dan
Sarotherodon, dengan nama yang dikenal umum "Nila". Genus
Oreochromis diperkirakan lebih dari 30 spesies. Tingkat
hibridisasi yang tinggi dari ikan Nila ini meyebabkan kesulitan
memastikan urutan DNA yang tepat. Menurut Froese et al. 2013,
ikan Nila dalam klasifikasi biologi (taksonomi) termasuk ke
dalam:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Family : Cichlidae
Sub family : Pseudocrenilabrinae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758)
Nama umum : Nile tilapia
22
Nama ilmiah :
- Chromis guentheri Steindachner, 1864
- Chromis nilotica (Linnaeus, 1758)
- Chromis niloticus (Linnaeus, 1758)
- Oreochromis nilotica Linnaeus, 1758
- Oreochromis niloticus (Linnaeus, 1758)
- Perca nilotica Linnaeus, 1758
- Sarotherodon niloticus (Linnaeus, 1758)
- Tilapia calciati Gianferrari, 1924
- Tilapia nilotica Linnaeus, 1758
- Tilapia nilotica nilotica (Linnaeus, 1758)
- Tilapia nilotious (Linnaeus, 1758)
Di beberapa negara di dunia, ikan nila memiliki nama
khusus, antara lain: Inggris (cichlid; edward tilapia; mango fish;
mozambique tilapia; nilotica; tilapia, Nile), Spanyol (mojarra;
tilapia del Nilo; tilapia nilótica), Perancis (tilapia de Nil; tilapia du
Nil), Saudi Arabia (Boulti), dan China (lou fei). Dalam skema
reklasifikasi yang dikembangkan oleh Trewavas (1983), beberapa
ratus spesies ikan nila terbagi menjadi tiga genera, yaitu:
Oreochromis, Sarotherodon dan beberapa lainnya masih
merupakan Nila. Fishbase (Froese dan Pauly, 2011) menyediakan
data tentang nila sebagai O. niloticus niloticus, dibedakan dari 7
subspesies lainnya: O. niloticus filoa, O. baringoensis, O.
cancellatus, O. eduardianus, O. sugutae, O. tana dan O. vulcani.
Anatomi ikan nila secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
23
Gambar 7. Anatomi Ikan Nila Merah (Sumber: Anonim 1998)
Keterangan Bagian ikan nila merah : a. celah mulut
(rima oris) b. mata (organon visus) c. tutup insang
(apparatus opercularis) d. sirip punggung (pinna
dorsalis) e. sirip dada (pinna pectoralis) f. sirip perut
(pinna abdominales) g. sirip belakang (pinna analis) h.
sirip ekor (pinna caudalis).
2. Morfologi
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar
yang memiliki bentuk tubuh pipih dan berwarna kehitaman.
Spesies tersebut mempunyai garis vertical berwarna hijau
kebiruan. Pada sirip ekor terdapat garis melintang yang ujungnya
berwarna kemerah-merahan (Ghufran, 2009). Warna tubuh yang
dimiliki ikan nila adalah hitam keabu-abuan pada bagian
punggungnya dan semakin terang pada bagian perut ke bawah
(Cholik, 2005). Ikan nila juga memiliki mata yang besarndan
menonjol (Wiryanta et al, 2010). Spesies tersebut memiliki linea
lateralis (gurat sisi) yang terputus menjadi dua bagian. Bagian
pertama terletak dari atas sirip dada hingga hingga tubuh, dan
bagian kedua terletak dari tubuh hingga ekor. Jenis sisik yang
dimiliki spesies tersebut adalah ctenoid (Cholik, 2005).
Ikan nila mempunyai 5 (lima) buah sirip yang berada di
punggung, dada, perut, anus, dan ekor (Wiryanta et al, 2010).
Sirip punggung (dorsal fin) memiliki 17 jari-jari keras dan 13 jari-
jari lemah (D.XVII.13); sirip perut (ventral fin) memiliki 1 jari jari
keras dan 5 jari-jari lemah (V.I.5); sirip dada (pectoral fin)
memiliki 15 jarijari lemah (P.15); sirip anal (anal fin) memiliki 3
jari-jari keras dan 10 jari-jari lemah (A.III.10); dan sirip ekornya
(caudal fin) memiliki 2 jari-jari lemah mengeras dan 16 jari-jari
lemah (C.2.16) (Ghufran, 2009). Secara umum, morfologi ikan
nila dapat dilihat pada gambar 8.
24
Gambar 8. Morfologi ikan Nila (Oreochromis sp.)
Ikan nila jantan memiliki laju pertumbuhan lebih cepat
dibandingkan dengan ikan nila betina. Laju pertumbuhan ikan
nila jantan rata-rata 2,1 gram/hari, sedangkan laju
pertumbuhan ikan nila betina rata-rata 1,8 gram/hari (Ghufran,
2009). Pada waktu pemeliharaan 3 - 4 bulan, dapat diperoleh
ikan nila berukuran rata-rata 250 gram dari berat awal ikan Nila
30 -50 gram (Cholik, 2005). Selain pertumbuhannya yang cepat,
ikan nila juga memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi
pada masa pemeliharaan. Wiryanta et al (2010) menjelaskan
bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila dalam kegiatan
pembenihan adalah 80%, kemudian untuk kegiatan pembesaran
adalah 65-75%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila adalah faktor
genetik, kualitas air, pakan, serta hama dan penyakit (Ghufran,
2009).
3. Daur Hidup
Ikan nila adalah spesies tropis yang lebih suka tinggal di
perairan dangkal. Suhu mematikan untuk ikan nila adalah 11-12
°C dan 42 °C, sedangkan suhu yang disukai berkisar antara 31
°C - 36 °C. Kebiasaan makannya adalah omnivora yang memakan
fitoplankton, perifiton, tanaman air, invertebrata kecil, fauna
bentik, detritus dan bakteri yang berhubungan dengan detritus.
Ikan nila dapat menyaring pakan dengan menyaring partikel
25
tersuspensi, termasuk fitoplankton dan bakteri. Kematangan
seksual untuk ikan nila di kolam dicapai pada usia 5- 6 bulan,
dan pemijahan umumnya dimulai saat suhu air mencapai 24 ° C.
Proses pemijahan dimulai saat ikan nila jantan mencari
sebuah tempat dengan menggali lubang untuk memijah dan
melindungi wilayahnya. Ikan betina akan bertelur yang
selanjutnya akan dilanjutkan dengan pembuahan oleh ikan nila
jantan, mengumpulkan telur di dalam mulutnya dan bergerak
menjauh. Jumlah telur sebanding dengan berat badan ikan
betina. Ikan nila betina akan mengeram telurnya hingga telur
menetas dan kantong kuning telur diserap oleh anak ikan. Masa
inkubasi dan menetas biasanya dalam 1 sampai 2 minggu,
tergantung suhu. Setelah anak ikan dilepaskan, mereka mungkin
akan berenang kembali ke mulut induknya jika bahaya
mengancam (Froese et al. 2013).
Seekor induk nila betina dengan berat 100 akan
menghasilkan sekitar 100 telur, sementara induk betina seberat
600 – 1.000 g bisa menghasilkan 1.000 sampai 1.500 butir telur.
Ikan nila jantan akan tetap berada di wilayahnya, menjaga
sarangnya, dan membuahi telur dari ikan betina. Jika tidak ada
musim dingin dan pada saat pemijahan betina bisa bertelur terus
menerus. Sementara ikan bertelur, ikan akan makan sedikit atau
tidak sama sekali. Ikan nila bisa hidup lebih dari 10 tahun dan
mencapai berat melebihi 5 kg. Di alam liar, O. niloticus mulai
bereproduksi dengan panjang total 20 - 30 cm (150 - 250 g)
(Lowe-McConnell 1958; Gwahaba 1973). Namun, O. niloticus
yang berada pada kolam budidaya mencapai kematangan seksual
pada ukuran yang relatif lebih kecil yaitu 8 -13 cm (Siraj et al,
983; de Silva dan Radampola 1990; Suresh dan Bhujel 2012).
26
Gambar 11. Siklus Reproduksi Ikan Nila (Sumber : FAO.2007)
4. Tingkah Laku
Ikan nila merupakan ikan nokturnal yang aktif pada
malam hari (Boujard 1999). Ikan nila mampu beradaptasi
terhadap perubahan cahaya lingkungan karena memiliki jumlah
sel kon yang banyak pada retinanya. Jika intensitas cahaya
lingkungannya rendah ikan nila memiliki sensitivitas tinggi
terhadap cahaya biru dan hijau (Matsumoto dan Kawamura
2005). Fisologi dan tingkah laku ikan nila yang demikian dapat
27
dimanfaatkan sebagai dasar dalam pengembangan teknik
penangkapan di habitat alamnya.
Perbedaan intensitas cahaya dan warna lampu
menyebabkan respons yang berbeda pada ikan nila. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa respons ikan nila sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk hingga ke dasar
akuarium. Semakin kuat intensitasnya akan menyebabkan
respons ikan semakin tinggi yang ditunjukkan oleh banyaknya
jumlah ikan yang berkumpul di bawah lampu yang dinyalakan.
Hal ini senada dengan hasil penelitian Ridha dan Cruz (2000)
dimana semakin tinggi intensitas cahaya pada proses
pembibitan/ pemijahan akan menghasilkan jumlah bibit ikan
yang lebih banyak. Perbedaan warna lampu juga memberikan
respons yang berbeda pada ikan nila. Pada lampu 5 watt, warna
biru lebih disukai karena memiliki jumlah ikan yang merespons
lebih tinggi dibandingkan dengan warna yang lain. Respons
berbeda ditunjukkan pada lampu 15 watt dimana warna merah
lebih disukai.
28
BAB III
IDENTIFIKASI BAHAYA
A. Etiologi
Penyakit Tilapia lake virus (TiLV) diebabkan oleh virus yang
termasuk family orthomyxoviruses dengan virion berupa partikel
ekosahedral beramplop berukuran 55 sampai 100 nm, dengan
bahan genetic berupa negatif sense RNA yang tersusun atas 10
segmen (Eyngor et al., 2014, Tatiyapong et al., 2014, DelPonzo et al.,
2017)
B. Tingkat Virulensi
Stadia yang terutama terpengaruh oleh wabah TILV adalah
pada stadia benih. Dong et al., (2017) melaporkan sekitar 90%
kematian pada ikan nila merah dalam waktu satu bulan setelah
ditebar di karamba, sedangkan pada ikan nila berukuran menengah
sampai besar kematian hanya 9% (Fathi et al., (2017). Melalui uji
kohabitasi, TILV menyebabkan kematian 80-100% pada ikannila
berukuran 30 sampai 35 dalam beberapa hari (Eyngor et al., 2014).
Uji in vivo menunjukkan mortalitas yang tinggi pada nila (86%) dan
nila merah (66%) terjadi pada 4-12 hari pasca infeksi (Tattiyapong et
al., 2017)
C. Kemampuan HPI bertahan hidup
Uji kohabitasi telah menunjukkan bahwa transmisi horizontal
langsung merupakan jalur transmisi yang penting. Sehingga
penularan penyakit kemungkinan dengan pergerakan hewan air
hidup. Informasi tentang adanya TiLV dan risiko pada produk
hewan air masih terbatas. Namun, dapat diasumsikan dengan
mengambil analogi dari berbagi sifat orthomyxovirus air lainnya.
Terdapat bukti bahwa mata, otak dan hati cenderung mengandung
konsentrasi TiLV tertinggi dan dengan demikian limbah padat dan
cair ada kemungkinan terkontaminasi. Dimungkinkan juga agen
patogen ini juga ditemukan pada otot ikan yang terinfeksi.
D. Deteksi TiLV
Gejala klinis ikan yang terinfeksi TiLV berupa kehilangan
nafsu makan, lesu, berperilaku tidak normal (misalnya berenang di
permukaan), pucat, anemia, exophthalmia, pembengkakan perut,
29
dan congestian kulit dan erosi telah dilaporkan (Dong et al., 2017a;
Surachetpong et al., 2017). Gejala histologi pada otak menunjukkan
adanya lesi di otak termasuk edema, perdarahan fokal di
leptomeninges, dan kongesti kapiler baik pada area putih dan abu-
abu serta terjadi degenerasi saraf. Eyngor et al., (2014) juga
menyebutkan terjadi congestion pada organ dalam (ginjal dan
otak), gliosis dan pembengkakan perivaskular di korteks otak dan
lesi okular (endophthalmitis dan perubahan lensa katarak).
Reverse transcriptase PCR (RT-PCR) telah dikembangkan oleh
peneliti, dan diawali oleh (Eyngor et al., 2014). RT-PCR yang lebih
sensitif dan nested telah dipublikasikan dan cocok untuk
mendeteksi TiLV dalam kasus klinis (Tsofack et al., 2016). RT-PCR
semi-nested dengan sensitivitas deteksi yang ditingkatkan (7,5 copy
virus per reaksi) telah berhasil dikembangkan (Dong et al., 2017).
Selain itu, uji RT-PCR nested memungkinkan deteksi cepat TiLV
pada organ ikan. PCR nested memungkinkan deteksi sekurang-
kurangnya 7 copy urutan TiLV (Tsofack et al., 2017).
E. Pengendalian TiLV
Saat ini, tidak ada metode yang dipublikasikan yang terbukti
efektif untuk meminimalisir dampak ketika sudah terjadi wabah
pada budidaya. Pembatasan pergerakan ikan nila hidup dari
budidaya dan perikanan dimana virus. terdeteksii merupakan harus
dilaksanakan. Program pemuliaan perlu dilakukan untuk
menemukan yang paling tidak rentan (OIE, 2017). Pengembangan
vaksin dapat menawarkan prospek jangka panjang untuk mengelola
penyakit ini (Ferguson et al., 2014).
F. Epizootiologi
Wabah TiLV telah dilaporkan terutama pada musim panas. Di
Israel wabah terjadi pada bulan Mei sampai Oktober, yaitu pada
suhu air 22 0C sampai 320C (Eyngor et al., 2014), sedangkan di
Mesir terjadi antara bulan Juni sampai Oktober pada suhu ≥ 250C
(Fathi et al., 2017). Di Ekuador mungkin sampai November, yaitu
pada suhu antara 250C sampai 270C (Ferguson et al., 2014).
Sementara itu, di Thailand dikumpulkan antara bulan Oktober dan
Mei (Surachetpong et al., 2017).
30
Wabah juga terkait dengan kemungkinan stress pada ikan.
Fingerlings yang terkena dampak di Ekuador biasanya terdeteksi
dalam waktu empat sampai tujuh hari setelah dipindahkan ke
kolam pembesaran. Perpindahan ikan antar kolam atau karena
perdagangan dapat menjadi penyebab penyebaran TiLV, hal ini
diduga karena faktor stress sebagai pemicunya (Ferguson et al.,
2014, Dong et al.,2017).
G. Epidemiologi
Uji kohabitasi telah menunjukkan bahwa transmisi horizontal
langsung merupakan jalur transmisi yang penting. Populasi ikan
yang terinfeksi, baik ikan budidaya dan liar, merupakan sumber
infeksi yang mapan. Terdapat bukti bahwa mata, otak dan hati
cenderung mengandung konsentrasi TiLV tertinggi dan dengan
demikian limbah padat dan cair ada kemungkinan terkontaminasi.
Dimungkinkan juga agen patogen ini juga ditemukan pada otot ikan
yang terinfeksi.
H. Spesifikasi Inang
TiLV telah menjadi penyebab kematian ikan di beberapa
negara dan dapat menyerang ikan air tawar dan payau (OIE. 2017).
Mortalitas yang disebabkan oleh TiLV telah diamati pada nila liar
Sarotherodon (Tilapia) galilaeus, nila budidaya Oreochromis niloticus
dan nila hibrida komersial (O. niloticus X O. aureus) (Bacharach et
al., 2016; Ferguson et al., 2014; Eyngor et al., 2014).
I. Kerugian TiLV
Budidaya ikan yang terkena dampak TiLV melaporkan tingkat
kematian yang dapat mencapai di atas 80% (Eyngor et al., 2014;
Dong et al., 2017a; Surachetpong et al., 2017). Kerugian di Laut
Galilea di Israel, jumlah tangkapan liar tahunan untuk ikan yang
dapat dikonsumsi di danau, S. galilaeus, menurun dari 316 metrik
ton pada tahun 2005 menjadi 8 metrik ton pada tahun 2009,
dengan peningkatan selanjutnya menjadi 160 metrik ton pada tahun
2013 dan 140 metrik ton pada tahun 2014 (Eyngor et al., 2014).
Mesir diperkiraan kehilangan produksi ikan mencapai 98.000 metrik
ton, dengan nilai sekitar USD 100 juta, karena summer mortality
syndrome pada tahun 2015 (Fathi et al., 2017).
31
BAB IV
PENILAIAN RISIKO
A. Proses Penilaian Risiko
Penilaian risiko dilakukan berdasarkan hasil dari identifikasi
risiko dari Tilapia Lake Virus (TiLV) dengan pendekatan skoring
secara kuantitatif. Pendekatan asumsi berdasarkan skoring ini
bertujuan untuk menentukan status TiLV. Factor-faktor yang dinilai
dalam proses penilaian risiko, yaitu : Asal media pembawa, Tingkat
resiko media pembawa terhadap potensi penyebaran HPI,
Kemampuan HPI bertahan hidup, Tingkat virulensi HPI, Lingkungan
yang mempengaruhi perkembangan HPI, Ketersediaan inang
potensial, Tingkat kesulitan memusnahkan HPI (Eradikasi), Tingkat
Kesulitan deteksi HPI, dan dampak ekonomi.
Dari 11 (sebelas) parameter penilaian diatas, hasil penilaian
akan dapat diambil suatu kesimpulan yang berkaitan dengan status
dari potensi HPIK/HPI tertentu terhadap media pembawa. Status
pemasukan dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu :
1. Risiko rendah, apabila mendapatkan skor antara 11 – 18
2. Risiko sedang, apabila mendapatkan skor antara 19 – 25
3. Risiko tinggi, apabila mendapatkan skor antara 26 - 33
B. Penilaian Risiko TiLV
1. Asal Media Pembawa
Spesies yang rentan/media pembawa dari TiLV adalah Nila
hibrida (Oreochromis niloticus x O. aureus), Nila Merah
(Oreochromis sp.), Sarotherodon galilaeus, Tilapia zilli, dan
Oreochromis aureus yang berasal dari daerah wabah TiLV belum
ada di wilayah Negara Republik Indonesia dan belum masuk
dalam HPIK Golongan I sehingga diberikan diberi skoring 3.
2. Tingkat Virulensi
Tingkat virulensi TILV dikaitkan dengan presentasi tingkat
kematian dan periode kematian Ikan Nila, hasil penilaian
terhadap kematian lebih besar dari 60% dalam waktu kurang
dari 72 jam diberikan skoring 3.
32
3. Kemampuan TiLV Bertahan Hidup
Melihat dampak yang diakibatkan oleh TiLV, TiLV
merupakan virus penyakit ikan yang memiliki patogenitas yang
cukup tinggi dengan asumsi referensi ilmiah bahwa produk ikan
beku masih bisa terdapat virus maka TiLV mampu hidup di
dalam tubuh inang yang hidup maupun mati, sehingga untuk
Negara Israel, Mesir, Ekuator dan Thailand serta negara lainnya
diberikan skoring 2.
4. Tingkat Kesulitan Deteksi
Dalam mendeteksi TILV dapat menggunakan metode uji
Histopatologi dan Molekuler (RT-PCR), karena sudah dapat
dideteksi maka mendapatkan skoring 1.
5. Tingkat Kesulitan Pengendalian
Pengendalian dari wabah TiLV termasuk dalam kategori
tidak bisa dikendalikan karena virus termasuk golongan I pada
Hama Dan Penyakit Ikan Karantina, sehingga pada tingkat
kesulitan pengendalian, TiLV mendapat skoring 3.
6. Lingkungan yang Mempengaruhi Perkembangan HPIK/HPI
Tertentu
Perkembangan TiLV sangat dipengaruhi oleh lingkungan,
dimana Indonesia yang memiliki iklim tropis yang sangat
kondusif bagi perkembangan TiLV. Wabah yang terjadi di
Ekuador terjadi sepanjang tahun dimana suhu air berkisar
antara 25-270C, akan tetapi wabah yang terjadi di Israel terjadi
pada musim panas (Mei sampai Oktober; suhu 22-320C), hal
tersebut menunjukan bahwa penyakit ini musiman dan faktor
suhu berperan penting dalam terjadinya wabah (Sunarto dan
Mc.Coll, 2016).
Faktor pemicu timbulnya wabah penyakit TiLV adalah
suhu air dan kepadatan tinggi. Suhu air yang menyebabkan
wabah terjadi di atas 25OC, suhu yang tidak menyebabkan
kematian adalah dibawah 20OC, dan puncak kematian masal
terjadi pada suhu 30OC (Tsofack et al., 2016). Sehingga untuk
lingkungan yang mempengaruhi perkembangan HPIK/HPI
tertentu, TiLV mendapat skoring 3.
33
7. Tingkat Risiko Media Pembawa Terhadap Potensi Penyebaran
HPIK/HPI Tertentu
Nila hibrida (Oreochromis niloticus x O. aureus hibrida),
Nila merah (Oreochromis sp.), Sarotherodon galilaeus, Tilapia
zilli, dan Oreochromis aureus merupakan media pembawa
berpotensi tinggi terhadap penyebaran penyakit dan merupakan
Susceptible host yang dibudidayakan secara luas. Sehingga TiLV
untuk kategori tingkat risiko media pembawa terhadap potensi
penyebaran HPIK/HPI tertentu mendapat skoring 3.
8. Epidemiologi
Epidemiologi TiLV dari negara-negara wabah telah
diketahui tetapi dikhawatirkan masih terdapat sebagian Negara
yang belum melaporkan/mempublikasi wabah TiLV yang ada di
negaranya. Sehingga jika dilihat secara epidemiologi, TiLV
mendapatkan skoring 2.
9. Spesifikasi Inang
Spesifikasi inang untuk TiLV sudah cukup jelas, TiLV
menyerang Nila hibrida (Oreochromis niloticus x O. aureus
hibrida) di Israel (Eyngor et al., 2014); Nile Tilapia (O. niloticus)
di Mesir (Fathi et al, 2017), Ekuador (Ferguson et al., 2014) dan
Thailand (Dong et al., 2017a; Surachetpong et al., 2017); dan
Nila merah (Oreochromis sp.) di Thailand (Dong et al. 2017a;
Surachetpong dkk. 2017). Di Israel, TiLV juga telah
diidentifikasi dari berbagai spesies ikan Nila liar (termasuk
Sarotherodon galilaeus, Tilapia zilli, Oreochromis aureus, dan
Tristamellasimonis intermedia) di Laut Galilea (Eyngor et al.,
2014) merupakan media pembawa yang rentan/susceptible,
sehingga untuk spesifikasi inang mendapatkan skoring 3.
10. Dampak ekonomi
Wabah TiLV memberikan dampak yang cukup merugikan
secara ekonomi, Perusahaan budidaya ikan yang terkena dampak
TiLV telah melaporkan tingkat kematian yang dapat mencapai di
atas 80% (Eyngor et al., 2014; Dong et al., 2017a; Surachetpong
et al., 2017). Mesir memperkirakan telah kehilangan produksi
sekitar 98.000 metrik ton, dengan nilai sekitar USD 100 juta,
karena summer mortality syndrome pada tahun 2015 (Fathi et
34
al., 2017). Di Laut Galilea di Israel, jumlah tangkapan liar
tahunan untuk ikan konsumsi di danau, S. galilaeus, menurun
dari 316 metrik ton pada tahun 2005 menjadi 8 metrik ton pada
tahun 2009, dengan peningkatan selanjutnya menjadi 160 metrik
ton pada tahun 2013 dan 140 metrik ton pada tahun 2014
(Eyngor et al., 2014). Dari beberapa ikan Nila liar di danau S.
galilaeus telah diidentifikasi positif TiLV (Eyngor et al., 2014).
Berdasarkan data yang ada, TiLV memberikan dampak
ekonomi dengan menurunnya kuantitas produksi media
pembawa, menurunnya kualitas media pembawa dan
menurunnya keragaman hayati komoditas perikanan, sehingga
mendapatkan skoring 3.
11. Dampak Biologi
Penyebaran TiLV tidak hanya memberikan dampak pada
ekonomi tapi juga memberikan dampak secara biologi, karena
media pembawa/ inang TiLV yaitu: Nila hibrida (Oreochromis
niloticus x O. aureus hibrida), Nila merah (Oreochromis sp.),
Sarotherodon galilaeus, Tilapia zilli dan Oreochromis aureus
dapat mengancam spesies asli ikan asli Indonesia, sehingga
diberikan skoring 3.
Penilaian risiko dibedakan berdasarkan status Negara asal
terkait keberadaan TiLV, yaitu: Negara wabah dan Negara
beresiko. Negara wabah adalah Negara yang telah terpublikasi
terpapar TiLV yaitu: Israel, Mesir, Ekuador, Thailand, dan
Taiwan. Negara berisiko adalah Negara yang berpeluang terpapar
TiLV dengan kriteria:
a. Memiliki potensi karena melakukan impor ikan Nila (Dong et
al., 2017)
b. Memiliki kedekatan geografis dengan negara wabah TiLV
c. Memiliki hubungan perdagangan media pembawa TiLV
C. Hasil Penilaian Risiko
Hasil penilaian risiko penyakit TiLV berdasarkan status
Negara dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu terhadap Negara
wabah (terpapar) dan terhadap Negara yang berpotensi tinggi
35
penyebaran penyakit TiLV. Adapun hasil penilaian selengkapnya
dapat dilihat pada tabel di bawah.
Tabel 2. Penilaian Risiko Terhadap Negara Wabah TiLV
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
1 Asal Media
Pembawa
a Berasal dari negara
yang terdapat
patogen yang belum
ada di wilayah atau
sebagian wilayah RI
/ Gol I
3 Bila kategori
a dan/atau
b terpenuhi
3
b Berasal dari
kawasan yang
sedang terdapat
wabah penyakit atau
berasal dari negara
yang bukan negara
anggota OIE
2 Bila kategori
a dan b
tidak
terpenuhi
dan
sekurang-
kurangnya
2 kategori
lainnya
c Berasal dari negara
yang belum
menerapkan sistem
perkarantinaan ikan
(good quarantine
system)
1 Bila kategori
a dan b
tidak
terpenuhi
tetapi satu
kategori
lainnya
terpenuhi
d Berasal dari
kawasan budidaya
yang belum
menerapkan good
aquaculture system
2 Tingkat
Virulensi HPI
a Kematian lebih besar
dari 60 % dalam
waktu kurang dari
72 jam
3
3
36
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
b Kematian antara 30-
60 % dalam waktu
3-14 hari
2
c Kematian di bawah
30% dalam waktu
lebih dari 14 hari
1
3 Kemampuan
HPI Bertahan
Hidup
a Mampu hidup di
dalam tubuh inang
yang hidup maupun
inang mati dan
berasosiasi dengan
aquatic plant,
crustacean lainnya.
3 Bila
memenuhi
kategori a
2 b Mampu hidup di
dalam tubuh inang
yang hidup maupun
mati
2 Bila
memenuhi
kategori b
c Hanya mampu hidup
di dalam tubuh di
inang hidup
1 Bila
memenuhi
kategori c
4 Tingkat
Kesulitan
Deteksi HPIK
a Belum ada metoda
deteksi standar
3 Bila kategori
a terpenuhi 1
b Sudah ada metode
deteksi standar
1 Bila kategori
b terpenuhi
5 Tingkat
kesulitan
Pengendalian
HPIK
a Tidak bisa dilakukan
pengendalian
3 Bila kategori
a terpenuhi 3
b Bisa dilakukan
pengendalian
1 Bila kategori
b terpenuhi
6 Lingkungan
yang
mempengaru
hi
perkembanga
n HPI
a Kondisi lingkungan
perairan sangat
mendukung untuk
perkembangan
HPI
3 Bila kategori
a terpenuhi
3
37
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
b Kondisi lingkungan
perairan kurang
mendukung
perkembangan HPI
2 Bila kategori
b terpenuhi
c Kondisi lingkungan
perairan tidak
mendukung/tidak
sesuai untuk
perkembangan HPI
1 Bila kategori
c
terpenuhi
7 Tingkat
resiko media
pembawa
terhadap
potensi
penyebaran
HPI
a Media Pembawa
berpotensi tinggi
terhadap
penyebaran
penyakit
3 Susceptible
host yang
dibudidayak
an secara
luas
3
b Media pembawa
berpotensi sedang
terhadap penyebaran
penyakit
2 Susceptible
host
dibudidayak
an secara
terbatas
c Media pembawa
berpotensi rendah
terhadap penyebaran
penyakit
1 Host yang
tidak ada
kaitannya
dengan
Penyakit
untuk
konsumsi
8 Epidemiologi a Epidemiologi HPI
Negara asal sama
sekali tidak
diketahui
3 Bila kategori
a terpenuhi
2
b Epidemiologi HPI
Negara asal baru
sebagian diketahui
2 Bila kategori
b terpenuhi
38
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
c Epidemiologi HPI
Negara asal telah
diketahui secara
lengkap
1 Bila kategori
c terpenuhi
9 Spesifikasi
inang
a Media pembawa
yang
rentan/susceptible
3 Bila kategori
a terpenuhi
3 b Media pembawa
yang tidak rentan
dan bukan carrier/
non susceptible
1 Bila kategori
b terpenuhi
10 Dampak
ekonomi
a Menurunnya
kuantitas
produksi media
pembawa
3 Bila ketiga
kategori
terpenuhi
3
b Menurunnya
kualitas media
pembawa
2 Bila dua
kategori
terpenuhi
c Menurunnya
keragaman
Hayati komoditas
perikanan
1 Bila satu
kategori
terpenuhi
11 Dampak
Biologi
a Mengancam spesies
asli
3 Bila kategori
a terpenuhi
3
b Belum diketahui
spesies asli
2 Bila kategori
b terpenuhi
c Tidak mengancam
spesies asli
1 Bila kategori
c terpenuhi
Total Nilai 29
Hasil Penilaian Risiko Terhadap Negara Wabah TiLV : Risiko Tinggi
39
Tabel 3. Penilaian Risiko Terhadap Negara Berisiko Tinggi Terhadap
Penyebaran Penyakit TiLV
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
1 Asal Media
Pembawa
a. Berasal dari negara
yang terdapat
patogen yang belum
ada di wilayah atau
sebagian wilayah
RI/Gol I
3 Bila
kategori a
dan/atau b
terpenuhi
2
b. Berasal dari kawasan
yang sedang terdapat
wabah penyakit atau
berasal dari negara
yang bukan negara
anggota OIE
2 Bila
kategori a
dan b tidak
terpenuhi
dan
sekurang-
kurangnya
2 kategori
lainnya
c. Berasal dari negara
yang belum
menerapkan sistem
perkarantinaan ikan
(good quarantine
system)
1 Bila
kategori a
dan b tidak
terpenuhi
tetapi satu
kategori
lainnya
terpenuhi
d. Berasal dari kawasan
budidaya yang belum
menerapkan good
aquaculture system
2 Tingkat
Virulensi HPI
a Kematian lebih
besar dari 60 %
dalam waktu kurang
dari 72 jam
3
3
40
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
b Kematian antara
30 - 60 % dalam
waktu 3-14 hari
2
c Kematian di bawah
30% dalam waktu
lebih dari 14 hari
1
3 Kemampuan
HPI Bertahan
Hidup
a Mampu hidup di
dalam tubuh inang
yang hidup maupun
inang mati dan
berasosiasi dengan
aquatic plant,
crustacean lainnya.
3 Bila
memenuhi
a
2 b Mampu hidup di
dalam tubuh inang
yang hidup maupun
mati
2 Bila
memenuhi
b
c Hanya mampu hidup
di dalam tubuh di
inang hidup
1 Bila
memenuhi
c
4 Tingkat
Kesulitan
Deteksi HPIK
a Belum ada metoda
deteksi standar
3 Bila a
terpenuhi 1
b Sudah ada metode
deteksi standar
1 Bila b
terpenuhi
5. Tingkat
Kesulitan
Pengendalian
HPIK
a Tidak bisa dilakukan
pengendalian
3 Bila a
terpenuhi 3
b Bisa dilakukan
pengendalian
1 Bila b
terpenuhi
6 Lingkungan
yang
Mempengaru
hi
Perkembanga
a Kondisi lingkungan
perairan sangat
mendukung untuk
perkembangan
HPI
3 Bila
kategori a
terpenuhi 3
41
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
n HPI b Kondisi lingkungan
perairan kurang
mendukung
perkembangan HPI
2 Bila
kategori b
terpenuhi
c Kondisi lingkungan
perairan tidak
mendukung/tidak
sesuai untuk
perkembangan HPI
1 Bila
kategori c
terpenuhi
7 Tingkat
Resiko Media
Pembawa
Terhadap
Potensi
Penyebaran
HPI
a Media Pembawa
berpotensi tinggi
terhadap penyebaran
penyakit
3 Susceptible
host yang
dibudidaya
kan secara
luas
3
b Media pembawa
berpotensi sedang
terhadap penyebaran
penyakit
2 Susceptible
host
dibudidaya
kan secara
terbatas
c Media pembawa
berpotensi rendah
terhadap penyebaran
penyakit
1 Host yang
tidak ada
kaitannya
dengan
Penyakit
untuk
konsumsi
8 Epidemiologi a Epidemiologi HPI
Negara asal sama
sekali tidak diketahui
3 Bila
kategori a
terpenuhi 3
b Epidemiologi HPI
Negara asal baru
sebagian diketahui
2 Bila
kategori b
terpenuhi
42
No Faktor
Berpengaruh Kategori Penilaian
Nilai
Asumsi Uraian Penilaian
c Epidemiologi HPI
Negara asal telah
diketahui secara
lengkap
1 Bila
kategori c
terpenuhi
9 Spesifikasi
Inang
a Media pembawa yang
rentan/susceptible
3 Bila
kategori a
terpenuhi
3 b Media pembawa yang
tidak rentan dan
bukan carrier/ non
susceptible
1 Bila
kategori b
terpenuhi
10 Dampak
Ekonomi
a Menurunnya
kuantitas
produksi media
pembawa
3 Bila ketiga
kategori
terpenuhi
3
b Menurunnya kualitas
media pembawa
2 Bila dua
kategori
terpenuhi
c Menurunnya
keragaman
Hayati komoditas
perikanan
1 Bila satu
kategori
terpenuhi
11 Dampak
Biologi
a Mengancam spesies
asli
3 Bila
kategori a
terpenuhi
3
b Belum diketahui
spesies asli
2 Bila
kategori b
terpenuhi
c Tidak mengancam
spesies asli
1 Bila
kategori c
terpenuhi
Total Nilai 29
Hasil Penilaian Risiko Terhadap Negara Berpotensi Tinggi Terhadap
Penyebaran TiLV : Risiko Tinggi
43
D. Kesimpulan Penilaian Risiko
Keputusan Kepala BKIPM No. 337/BKIPM/2011 tentang
Pedoman Analisis Risiko hama dan Penyakit Ikan, berdasarkan
tingkat risiko, analisa risiko Hama dan Penyakit Ikan
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: risiko rendah
(apabila nilai skoring antara 11 – 18), risiko sedang (apabila skoring
dengan kisaran 19 – 25), risiko tinggi (apabila skoring dengan
kisaran skoring 26 – 33).
Dari hasil penilaian risiko yang telah dilakukan pada negara –
negara yang terjadi wabah TiLV dan negara yang berisiko TiLV
terhadap 11 kategori, didapatkan hasil dengan kategorisasi risiko
tinggi dengan total skoring 29. Oleh karena itu perlu diwaspadai
ikan Nila dari Negara wabah TiLV dan negara yang berisiko. Untuk
mengantisipasi hal tersebut diperlukan pengelolaan risiko
terhadap TiLV untuk mengurangi masuk dan menyebarnya ke
suatu area baru dengan tindakan karantina sebelum pemasukan
(pre-quarantine), pada saat pemasukan (in-quarantine) dan setelah
pemasukan (post-quarantine).
44
BAB V
MANAJEMEN RISIKO
Manajemen risiko yang tepat perlu dilakukan untuk
meminimalisir dan menghilangkan dampak merugikan dari introduksi
TiLV ke dalam wilayah RI. Apabila TiLV telah terinduksi, maka tidak
ada tindakan manajemen risiko yang dapat dilakukan untuk mencegah
penyebaran HPI ini ke area yang lebih luas. Hal ini dikarenakan potensi
penyebarannya cukup tinggi melalui ikan Nila yang dibudidayakan
secara luas dan kondisi lingkungan perairan di Indonesia sangat
mendukung untuk perkembangan TiLV.
Hasil penilaian risiko yang telah dilakukan pada Negara wabah
dan Negara berisiko TiLV didapatkan hasil bahwa pemasukan ikan Nila
ke wilayah Republik Indonesia memiliki risiko tinggi. Oleh karena itu
manajemen risiko harus diterapkan untuk mencegah masuknya
penyakit TiLV dengan melakukan pelarangan pemasukan ikan Nila ke
dalam wilayah NKRI sampai batas waktu tertentu.
Dalam kondisi importasi ikan Nila harus dilakukan, maka
persetujuan pemasukan ikan Nila harus memenuhi proses manajemen
risiko, dengan persyaratan sebagai berikut:
A. Negara Bebas TiLV
1. Karantina Sebelum Pemasukan (Pre-Quarantine)
Tindakan pre-quarantine bertujuan meniadakan risiko
masuk dan tersebarnya TiLV. Persyaratan yang harus dipenuhi
oleh Negara asal:
a. Negara tersebut telah melakukan program survailan dan
dilengkapi laporan hasil screening bebas TiLV minimal 2
(dua) tahun yang dilampirkan bersama dengan Health
Certificate (HC) yang diterbitkan oleh otoritas kompeten di
Negara asal dengan metode standar.
b. Eksportir telah menerapkan prinsip Good Aquaculture
Practices (GAP) dengan Grade A;
c. Larangan menurunkan atau transit media pembawa di
Negara yang tidak bebas TiLV (wabah) yang dibuktikan
dengan Surat Muat Udara atau Bill of Loading .
45
2. Karantina Pada Saat Pemasukan (In-Quarantine)
Pelaksanaan tindakan karantina pada saat pemasukan
(in-quarantine) merupakan pelaksanaan tindakan karantina
mulai dari pemeriksaan hingga tindakan pelepasan yang
dilakukan petugas karantina di tempat-tempat pemasukan.
Persyaratan karantina pada saat pemasukan:
a. harus melalui 5 (lima) bandar udara yang ditetapkan yaitu:
Balai Besar KIPM Jakarta I, Balai KIPM Kelas I Medan I,
Balai KIPM Kelas I Denpasar, dan: Balai Besar KIPM
Makassar;
b. dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina;
c. melampirkan sertifikat Cara Karantina Ikan Yang Baik
(CKIB) dengan Grade A dan Cara Budidaya ikan yang baik
(CBIB) /Good Aquaculture Practices (GAP) dengan Grade A;
d. harus dilengkapi Health Certificate dan/atau Certificate of
Origin (CoO) yang diterbitkan instansi berwenang dari negara
asal;
e. melampirkan Surat Izin Pemasukan Ikan Hidup yang
diterbitkan oleh Direktorat Jendral Perikanan Budidaya;
f. melampirkan Surat Ijin Pemasukan Hasil Perikanan yang
diterbitkan oleh Ditjend PDSPKP;
g. melampirkan Laporan Hasil Uji (LHU) dengan metoda uji
sesuai dengan metode standar dan Surat Muat Udara atau
Bill of Loading.
3. Karantina Pada Setelah Pemasukan (Post-Quarantine).
Kegiatan pemantauan dilakukan terhadap Ikan Nila
impor selama 14 hari sejak diterbitkan sertifikat pelepasan.
B. Negara Beresiko TiLV
Negara beresiko harus memenuhi persyaratan seperti negara
bebas namun persyaratan diberlakukan untuk compartement/unit
usaha budidaya.
1. Karantina Sebelum Pemasukan ( pre-quarantine )
Tindakan pre-quarantine bertujuan meniadakan risiko
masuk dan tersebarnya TiLV. Persyaratan yang harus dipenuhi
oleh Negara asal:
46
a. Ikan Nila berasal dari compartement/unit usaha budidaya
yang selama 2 tahun telah dilakukan survailan, dilengkapi
laporan hasil screening bebas TiLV minimal 2 (dua) tahun
yang dilampirkan bersama dengan Health Certificate (HC)
yang diterbitkan oleh otoritas kompeten di Negara asal
dengan metode standar;Eksportir telah menerapkan prinsip
Good Aquaculture Practices (GAP) dengan Grade A;
b. Larangan menurunkan atau transit media pembawa di
Negara yang tidak bebas TiLV (wabah) yang dibuktikan
dengan Surat Muat Udara atau Bill of Loading.
2. Karantina Pada Saat Pemasukan (In-Quarantine)
Tindakan Karantina pada saat Pemasukan mengikuti ketentuan
Pemasukan dari Negara bebas.
3. Karantina pada setelah pemasukan (post-quarantine).
Kegiatan pemantauan mengikutin ketentuan pemasukan dari
Negara bebas.
C. Domestik (Antar Area)
Manajemen risiko yang diterapkan pada kegiatan lalu lintas
domestik (pengeluaran antar area) terhadap media pembawa yang
berpotensi sebagai inang penyakit TiLV, diantaranya:
1. Melakukan survailan aktif dan pasif dengan hasil uji TiLV
negatif.
2. Harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan ikan Health
Certificate (HC) dan Laporan Hasil Uji (LHU) bebas TiLV dengan
metoda uji sesuai standar.
3. Penetapan kawasan karantina terhadap area teridentifikasi
positif TiLV.
4. Pelaku usaha yang akan melalulintaskan ikan Nila telah
konsisten menerapkan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB),
Cara Pembenihan Ikan Yang Baik (CPIB) dan Cara Karantina
Ikan yang Baik (CKIB) dengan Grade minimal B.
47
BAB VI
KOMUNIKASI RISIKO
Komunikasi risiko merupakan suatu proses pengumpulan
informasi dan opini mengenai bahaya dan risiko dari semua pihak yang
terkait dalam kegiatan analisis risiko impor, juga merupakan suatu
proses dimana hasil-hasil analisis dan pengelolaan risiko tersebut
dikomunikasikan pada semua pihak yang terkait di Negara-negara
pengimpor atau pengekspor. Komunikasi risiko dilakukan mulai dari
tahap identifikasi bahaya, penilaian risiko hingga manajemen risiko
Tilapia Lake Virus (TiLV) pada Ikan Nila sebelum ditetapkan menjadi
suatu kebijakan importasi dan lalu lintas domestik ke dalam wilayah
Negara RI.
Proses penilaian analisis risiko HPI dilakukan melalui
pembahasan bersama yang melibatkan pihak-pihak yang berkompeten,
seperti: pakar ahli di bidang kesehatan ikan yang tergabung di dalam
tim, pembuat kebijakan, pembudidaya, pelaku usaha dan tenaga
fungsional PHPI Karantina Ikan. Hasil Analisis risiko penyakit Tilapia
Lake Virus (TiLV) pada Ikan Nila, perlu di sosialisasikan kepada pihak-
pihak terkait, seperti: Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB)
sebagai instansi yang berwenang memberikan izin impor; Pusat Riset
Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan
Perikanan; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); akademisi dan
para pelaku usaha perikanan (importir dan eksportir).
Hal ini perlu dilakukan, untuk memberikan informasi serta
pemahaman yang lebih baik kepada pihak-pihak terkait mengenai
proses analisis risiko TiLV pada ikan Nila, serta dasar pemikiran dari
kebijakan manajemen risiko yang diambil. Diharapkan dengan
dilakukannya komunikasi risiko ini pelaksanaan manajemen risiko
terhadap TiLV dapat berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan.
Informasi teknis ini dapat diubah bila ada informasi teknis yang
berpengaruh kepada kebijakan teknis sepanjang didukung justifikasi
ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Apabila terdapat
ketidaksesuaian identifikasi bahaya, penilaian risiko dan manajemen
48
Risiko dapat dikomunikasikan melalui Kepala Pusat Karantina Ikan,
dengan alamat: Jl. Medan Merdeka Timur No.16. Gedung Mina Bahari
II Lantai 7, Jakarta Pusat 10110, Telepon (021) 3513277, Fax (021)
3513275.
49
Lampiran 1. Tabel Kajian Identifikasi Bahaya
NO URAIAN PENJELASAN
1 Jenis Penyakit : Tilapia Lake Virus (TiLV)
Daftar OIE : Belum masuk daftar penyakit OIE
2 Inang :
Spesies rentan : 1. Nila hibrida (Oreochromis
niloticus x O. aureus hibrida)
2. Nila merah (Oreochromis sp.)
3. Sarotherodon galilaeus,
4. Tilapia zilli,
5. Oreochromis aureus,
Stadia rentan : Semua stadia
Organ target yang
terinfeksi
: Otak, kulit, mata, hati, limpa dan
ginjal.
3 Patogen :
Stabilitas patogen : -
Siklus hidup : Yolk sac larvae, fries dan
fingerlings positif terinfeksi TiLV
(Dong et al. 2017b). Di Mesir, ikan
ukuran sedang (> 100 g) dan
berukuran besar terinfeksi TiLV.
Kemampuan hidup di
luar inang
: Kemampuan bertahan hidup di luar
inangnya belum diketahui
(OIE.2017).
4 Pola penyakit :
Tingkat virulensi : Tinggi
Mekanisme transmisi : Horisontal
Prevalensi : Prevalensi mencapai > 80 %,
Distribusi geografis : Israel, Mesir, Kolumbia, Ekuador,
Thailand
Mortalitas : > 80 %
5 Metode uji :
Gejala klinis : Katarak, exopthalmia, erosi kulit,
50
NO URAIAN PENJELASAN
pembesaran perut, pembengkakan
liver
Histopatologi : Sudah ada
PCR : Sudah ada
6 Metode pengendalian : Belum ada
7 Sebaran :
Luar negeri : Israel, Mesir, Kolumbia, Ekuador,
Thailand
Dalam negeri : Belum ditemukan
8 Rekomendasi : Melakukan penolakan pemasukan
ikan nila dari negara wabah dan
meningkatkan pengawasan
pemasukan ikan nila dari negara
lainnya
Lampiran 2. Tabel Potensi dari Penyakit TiLV
No. Kriteria Terpenuhi
1 Belum pernah dilakukan Analisis risiko hama dan
penyakit ikan (ARHPI) terhadap media pembawa yang
akan dimasukkan (pemasukan pertama kali);
√
2 Sudah pernah dilakukan ARHPI namun adanya
perubahan status HPI dari perkembangan teknologi
untuk tindakan pemeriksaan dan perlakuan.
3 Pemasukan media pembawa yang sama namun
berasal dari negara yang berbeda;
4 Adanya perubahan kebijakan pemerintah;
5 Terjadi wabah HPI baru di negara asal; Adanya
intersepsi HPI baru pada komoditi impor di tempat
pemasukan;
√
6 Diketahui adanya risiko HPI baru dari hasil penelitian; √
7 Suatu HPI terintroduksi ke suatu negara lain dari
negara pengekspor;
√
51
No. Kriteria Terpenuhi
8 Suatu HPI dilaporkan menjadi lebih merusak di suatu
area di luar daerah asalnya;
9 HPI tertentu sering ditemukan pada suatu komoditi;
10 Permintaan impor terhadap suatu organisme, yang
berpotensi menjadi media pembawa HPI;
√
11 Suatu organisme teridentifikasi sebagai vektor dari
HPI lainnya, yang tidak diketahui sebelumnya.
KEPALA BADAN KARANTINA IKAN,
PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN
HASIL PERIKANAN,
ttd.
RINA
top related