amastigot
DESCRIPTION
123TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi yang banyak menyebabkan
masalah terutama di daerah yang beriklim tropis (Suparman, 2005). Menurut
WHO, 300 - 500 juta penduduk di seluruh dunia terinfeksi malaria dan 1,5 – 2,7
juta penduduk meninggal dunia setiap tahunnya akibat terinfeksi malaria. Malaria
termasuk masalah kesehatan di lebih dari 90 negara di dunia yang merupakan
tempat tinggal bagi 2,4 miliar penduduk atau 40% dari populasi dunia (Jinning
Lou, et al, 2001). Indonesia termasuk dalam negara endemis malaria (Umar Zein,
2005). Pada tahun 2006 tercatat 1.327.431 kasus malaria di Indonesia dan 84.214
diantaranya meninggal dunia (WHO, 2006). Walaupun program pemberantasan
penyakit malaria sudah dilaksanakan sejak tahun 1959, namun hingga saat ini
angka kesakitan dan kematian masih cukup tinggi (Umar Zein, 2005).
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopeles betina yang terinfeksi. Pada manusia
terdapat empat spesies plasmodium, yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae,
dan P. ovale. Kebanyakan kasus malaria yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
jenis P. falciparum dan selanjutnya P. vivax (Umar Zein, 2005).
Infeksi malaria pada masa kehamilan sangat merugikan baik bagi ibu dan
janin yang dikandung. Malaria lebih banyak menyerang wanita hamil daripada
wanita yang tidak hamil. Pada daerah geografis endemis Plasmodium falciparum
ditemukan angka serangan malaria 4 – 12 kali lebih besar pada wanita hamil. Hal
tersebut disebabkan wanita hamil berada dalam kondisi yang rentan. Malaria pada
ibu hamil dapat menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru, gagal ginjal,
bahkan kematian. Sedangkan, pada janin dapat menyebabkan abortus, persalinan
prematur, berat badan lahir rendah (IUGR), serta kematian janin (Suparman,
2005).
Pengobatan terhadap malaria selama ini dilakukan dengan pemberian
klorokuin, kuinin, sulfadoksin-pirimetamin, antibiotik, turunan artemisin, dan obat
2
– obatan lainnya seperti halofantrin dan mefloquine. Dewasa ini sulit untuk
mendapatkan obat malaria yang ideal. Masalah pengobatan malaria yang dihadapi
oleh seluruh tenaga medis di dunia dewasa ini adalah resistensi Plasmodium
terhadap obat malaria. Obat – obatan seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin sudah tidak direkomendasikan lagi karena adanya resistensi global di
seluruh dunia (Brooks, et al., 2004). Di Indonesia pengobatan lini pertama untuk
infeksi malaria adalah artemisinin dan turunannya, namun di Kamboja telah
ditemukan resistensi terhadap artesunat, suatu turunan artemisinin (Republika
Online, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa resistensi adalah sebuah masalah
global dan diperlukan jalan keluar dengan ditemukannya alternatif pengobatan
baru. Selain itu, beberapa obat malaria seperti klorokuin, primakuin, dan quinine
dapat menyebabkan tuli kongenital pada janin yang dikandung (Helina, R., 2008).
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) adalah salah satu jenis tanaman
semak tahunan yang berasal dari Brazil, Amerika Selatan. Indonesia adalah
penghasil kacang tanah urutan ke-5 terbesar di dunia setelah Cina, India, Nigeria,
dan Amerika dengan penghasilan 1,475,000 ton pada tahun 2008. Kacang tanah
banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pangan. Daunnya dimanfaatkan
untuk dikonsumsi, pakan ternak, atau pupuk hijau. Sementara itu, kulit kacang
sendiri dibuang dan dianggap sebagai limbah yang tidak bermanfaat (Consultative
Group on International Agricultural Research, 2004).
Pemanfaatan kulit kacang tanah (peanut hulls) memang masih kurang.
Kulit kacang tanah sebagai limbah industri hanya dimanfaatkan sebagai pakan
teknak dan pupuk padahal kulit kacang tanah mengandung luteolin, salah satu
jenis flavonoid, yang berfungsi sebagai antioksidan, pengurai radikal bebas,
antiinflamasi, dan modulator sistem imun (Wikipedia, 2009). Beberapa penelitian
membuktikan bahwa luteolin adalah antioksidan terbanyak yang terdapat di dalam
kulit kacang tanah (Maestri DM, et al., 2006). Menurut Scherf, et al., 2001,
luteolin dapat menghambat maturasi plasmodium pada sel darah merah yang
terinfeksi. Luteolin mencegah perkembangan parasit di atas fase tropozoit muda
sehingga parasit tidak dapat menyelesaikan siklus intraeritrositnya (Lehane and
Saliba, 2006).
3
Mengingat Indonesia masih termasuk daerah endemis malaria dan
rentannya infeksi malaria pada ibu hamil, masih diperlukan banyak usaha
preventif untuk menanggulangi penyakit tersebut. Di samping itu, kulit kacang
tanah termasuk limbah yang potensial untuk dijadikan sebagai obat malaria pada
saat kehamilan. Oleh karena itu, studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui
efek ekstrak kulit kacang tanah (Arachis hypogaea L.) dalam menghambat malaria
transplasental pada ibu hamil. Diharapkan nantinya studi pustaka ini dapat
membantu mengurangi masalah ibu hamil yang disebabkan oleh malaria dan
menambah nilai guna dari kulit kacang tanah sebagai obat untuk malaria
transplasental.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini diajukan untuk menjawab
beberapa rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh ekstrak kulit kacang tanah (Arachis hypogaea L.)
dalam mencegah malaria transplasental pada ibu hamil?
2. Bagaimanakah cara pengggunaan ekstrak kulit kacang yang tepat dan be-
rapa dosis efektifnya?
1.3 Tujuan
Berdasarkan analisis rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ada tidaknya pengaruh ekstrak kulit kacang tanah (Arachis
hypogaea L.) dalam mencegah malaria transplasental pada ibu hamil
2. Mengetahui cara pengggunaan ekstrak kulit kacang dan dosis efektifnya
1.4 Manfaat Program
Manfaat yang dapat diperoeh dari studi pustaka ini adalah :
1. Manfaat Akademis
Menambah wawasan masyarakat bahwa sebenarnya kulit kacang tanah
(Arachis hypogaea L.) juga dapat dimanfaatkan sebagai obat antimalaria.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomi dari kulit
kacang tanah (Arachis hypogaea L.) serta memberikan alternatif
pengobatan pada malaria terutama malaria transplasental.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Malaria
2.1.1 Etiologi
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh sporozoa genus
Plasmodium yang merupakan parasit intraseluler dengan salah satu habitat dalam
sel darah merah dan habitat lainnya dalam sel jaringan lain. Penularan ke manusia
terjadi melalui gigitan nyamuk Anopheles betina penghisap darah dari berbagai
spesies (Brooks, et al., 2004). Parasit malaria yang menginfeksi manusia
ditemukan empat spesies: Plasmodium vivax, Plasmodium falciparum,
Plasmodium malariae, dan Plasmodium ovale (Staf Pengajar Departemen FKUI
Jakarta, 2008).
2.1.2 Siklus Hidup
Sikus hidup Plasmodium spp. dapat dibagi menjadi dua, aseksual dan
seksual. Fase aseksual terjadi di dalam tubuh manusia dan fase seksual terjadi di
dalam tubuh nyamuk Anopheles betina. Fase aseksual dibagi menjadi dua, fase
pre-eritrosit dan fase eritrosit (Brooks, et al., 2004).
Semua Plasmodium spp. ditransmisikan oleh gigitan nyamuk Anopheles
betina. Pada saat nyamuk menggigit manusia, sporozoit yang berada di dalam
kelenjar ludah masuk melalui pembuluh darah. Sporozoit beredar dalam darah
dalam waktu yang singkat kemudian menginvasi hepatosit. Parasit berkembang di
dalam hepar antara 7-10 hari (fase pre-eritrosit). Setelah hepatosit ruptur maka
skizon akan lepas ke peredaran darah dan ribuan merozoit akan menginvasi
eritrosit. Pada P. vivax dan P. ovale, beberapa parasit akan dorman di dalam hepar
(hipnozoit) dan akan keluar sewaktu-waktu (setelah 2 tahun atau lebih
meninggalkan daerah endemik) untuk menyebabkan terjadinya relaps (Gillespie,
2001).
Fase eritrosit dimulai ketika merozoit mulai menginvasi eritrosit. Ketika
fase ini, merozoit berkembang di dalam eritrosit dan berkembang menjadi ring
form sampai menjadi tropozoit matur yang diikuti dengan skizogoni untuk
5
membentuk skizon. Tiap-tiap eritrosit yang terinfeksi mengandung 24-32
merozoit. Apabila eritrosit tersebut ruptur, maka merozoit akan lepas dan
menginvasi eritrosit lainnya (Gillespie, 2001).
Subpopulasi dari parasit akan berkembang menjadi gametosit yang akan
menginfeksi nyamuk yang menggigit dan memulai fase seksual di dalam
tubuhnya. Setelah masuk, gametosit akan berkembang menjadi bentuk laki-laki
dan perempuan (mikrogamet dan makrogamet). Kedua gamet tersebut bersatu dan
membentuk zigot. Zigot yang membesar akan masuk ke dalam midgut dan
berubah menjadi oocyst. Perkembangan parasit akan terus terjadi sampai oocyst
mengandung ribuan sporozoit. Pecahnya oocyst akan melepaskan sporozoit
tersebut ke kelenjar ludah dan akan masuk ke dalam tubuh manusia lagi apabila
terkena gigitan nyamuk (Gillespie, 2001). (gambar terlampir)
2.1.3 Plasmodium falciparum
P. falciparum merupakan salah satu dari empat macam spesies
Plasmodium yang menyerang manusia. P. falciparum paling banyak ditemukan di
daerah tropis, terutama Afrika. Infeksi dari spesies ini merupakan infeksi yang
paling mematikan dibandingkan ketiga spesies lainnya. Infeksi kronis juga dapat
menyebabkan anemia (Cross, 2004).
Klasifikasi P. falciparum adalah sebagai berikut (Cross, 2004):
Kingdom : Protista
Filum : Apicomplexa
Kelas : Aconoidasida
Ordo : Haemosporida
Famili : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Spesies : Plasmodium falciparum
Sama seperti Plasmodium lainnya P. falciparum juga ditransmisikan
kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Siklus hidupnya pun
juga tak jauh berbeda dengan ketiga spesies lainnya. Akan tetapi terdapat sedikit
kekhususan yang terdapat pada P. falciparum. Pertama, P. falciparum tidak
memiliki bentuk hipnozoit sehingga tidak terdapat risiko rekuren. Kedua, P.
6
falciparum memungkinkan terjadinya double infection pada eritrosit terinfeksi
(pRBC) yaitu dalam satu pRBC memungkinkan adanya dua skizon. Ketiga, P.
falciparum memiliki suatu kekhususan yang hanya dimiliki olehnya, yaitu dia
dapat mengekspresikan PfEMP-1 (Plasmodium falciparum Erythrocyte Membran
Protein-1) pada pRBC yang menyebabkan pRBC dapat melekat pada endotel
organ dalam dan plasenta. Hal itulah yang menyebabkan sulitnya eradikasi parasit
oleh sel imun akibat hilangnya parasit dari sirkulasi (Cross, 2004).
2.1.4 Sequestrasi P. falciparum
Perbedaan yang penting antara P. falciparum dan lainnya adalah P.
falciparum dapat memodifikasi permukaan eritrosit yang terinfeksi sehingga
stadium aseksual dan gametosit dapat melekat ke endotel kapiler organ dalam dan
plasenta. Keadaan tersebut mengakibatkan dalam 24 jam setelah terinvasinya
eritrosit, tropozoit matang dan sel terinfeksi skizon menghilang dari pembuluh
darah tepi dan melekat pada endotel. Bila parasit melekat pada endotel, maka
parasit tersebut tidak dapat dibawa aliran darah ke limpa yang merupakan tempat
eliminasi parasit (Staf Pengajar Departemen FKUI Jakarta, 2008).
Suatu protein yang dikenal sebagai P. falciparum Erythrocyte Membrane
Protein-1 (PfEMP-1) diekspresikan pada permukaan eritrosit yang terinfeksi
dikode oleh famili gen var yang cukup besar dan bervariasi. Gen ini dikatakan
memegang peranan penting dalam patogenesis P. falciparum (Staf Pengajar
Departemen FKUI Jakarta, 2008). Protein tersebut diekspresikan pada permukaan
membran eritrosit yang disebut knob. PfEMP-1 dapat melekat pada berbagai
macam reseptor. Secara in vitro telah dibuktikan bahwa PfEMP-1 dapat melekat
pada reseptor-reseptor pada endotel antara lain: CD36, PECAM, ICAM-1,
VCAM, dan chondroitin sulfate A (Abbas dan Andrew, 2004).
Salah satu reseptor yang paling baik adalah CD36 yang dapat ditemukan
pada monosit, platelet dan sel endotel. Eritrosit terinfeksi paling banyak berikatan
dengan CD36. Akan tetapi, CD36 tidak ditemukan pada sel endotel pada sel
endotel otak. Pada sel endotel otak lebih banyak ditemukan ICAM-1
(Intracellular Adhesion Mollecule-1) dibandingkan CD36. ICAM-1 merupakan
7
anggota dari imunoglobulin superfamily dan berfungsi untuk adhesi sel (Iyer J, et
al., 2007).
Chondroitin sulfate A (CSA) telah diimplikasikan dengan sitoadherens
pada plasenta dan kemungkinan berkontribusi pada efek P. falciparum selama
kehamilan. Ikatan pada PECAM, VCAM, dan e-selectin masih jarang terlihat.
Rosetting juga merupakan fenomena adhesi lainnya yang diperlihatkan pada
infeksi P. falciparum. Eritrosit yang terinfeksi akan berikatan dengan eritrosit
lainnya yang tidak terinfeksi sehingga membentuk clotting yang dapat pula
menyumbat pembuluh darah. Reseptor yang mungkin berperan dalam proses
tersebut antara lain complement reseptor-1 (CR1), blood group A antigen, atau
glycosaminoglycan moieties pada proteoglycan tak teridentifikasi (Iyer J, et al.,
2007).
2.1.5 Biokimia Asam Lemak P. falciparum
Lipid adalah komponen penting dari membran. Parasit yang sedang
berkembang membutuhkan lipid dalam jumlah yang besar yang digunakan untuk
membentuk surface area dan menambah volume membran internal dari parasit.
Membran lipid tersusun atas gliserol dan dua rantai panjang asam lemak
(Mitamura dan Palacpac, 2005).
Telah dipercaya sejak dahulu bahwa parasit tidak mampu untuk
mensintesa asam lemak secara de novo tetapi dapat mensintesa dengan bantuan
hospesnya. Akan tetapi, beberapa enzim yang berperan dalam jalur sintesa asam
lemak tipe II (FAS-II) telah diidentifikasi pada Plasmodium dan terletak pada
apicoplast. Jalur sintesa asam lemak tipe II (FAS-II) ditemukan pada tumbuhan
dan prokariot sedangkan tipe I (FAS-I) ditemukan pada jamur dan metazoa.
Sedangkan jalur tersebut tidak ditemukan pada manusia (Mitamura dan Palacpac,
2005).
Salah satu enzim yang berperan dalam jalur sintesa asam lemak tipe II
adalah FabI (Enoyl-ACP reductase). Enzim tersebut berfungsi untuk mengubah
Enoyl-Acyl-ACP menjadi Acyl-ACP pada FAS-II. Dengan ditemukannya enzim
tersebut pada Plasmodium falciparum, telah ditemukan banyak alternatif baru
dalam pengobatan malaria yang berguna dalam menghadapi masalah resistensi
8
yang terus terjadi. Salah satu contoh zat yang dapat menghambat kerja enzim
tersebut adalah triclosan. Triclosan sudah terbukti sangat efektif dalam
menghambat kerja FabI sehingga bekerja sebagai zat antiplasmodial. Selain FabI
ditemukan juga enzim-enzim lain yang berperan dalam FAS-II antara lain FabG,
FabZ, FabB/F, dan FabH. Dewasa ini, sudah banyak penelitian yang ditujukan
untuk mengobati malaria dengan cara menghambat enzim-enzim tersebut.
(Kirmizibekmez, et al., 2003). (Gambar terlampir)
2.1.6 Respon Imun
Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T dan
imunitas humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper
(CD4+) dan sitotoksik (CD8+), sedangkan berdasarkan sitokin yang
dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 (T helper-1) yang menghasilkan
IFN- (Interferon- dan TNF- (Tumor Necrosis- dan subset Th-2 (T helper-
2) (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin tersebut berperan mengaktifkan
imunitas humoral. CD4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi
antibodi dan aktivasi fagosit lain sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor
langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan
menghasilkan IFN-(Abbas dan Andrew, 2004)
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B
yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini
CD4+. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2. Sel Th-2
akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig (imunoglobulin)
oleh limfosit B. Ig tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.
Sel Th-1 menghasilkan IFN- dan TNF- yang mengaktifkan komponen imunitas
seluler seperti makrofag dan monosit serta sel NK (Abbas dan Andrew, 2004).
Salah satu antigen malaria yang berasal dari stadium merozoit yaitu GPI
(glycosilphosphatidyl inositol) diduga dapat menginduksi TNF-yang dihasilkan
oleh makrofag (Staf Pengajar Departemen FKUI Jakarta, 2008). Sitokin yang
diduga banyak berperan dalam mekanisme patologi dari malaria adalah TNF.
TNF- menginduksi terjadinya perubahan pada netrofil yaitu pelepasan enzim
lisosomal, ekspresi reseptor permukaan seperti reseptor Fc dan integrin, adhesi
9
dan migrasi kemotaktik. Selanjutnya terjadi peningkatan daya adheren sel netrofil
terhadap berbagai substrat dan sel sehingga daya bunuh netrofil terhadap parasit
meningkat. Selain itu TNF- juga memacu pembentukan sitokin lain seperti IL-1,
IL-6, IL-12, IFN- dan meningkatkan sintesis prostaglandin. TNF- juga
meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-1 dan CD36 pada sel-sel
endotel kapiler sehingga meningkatkan sitoadheren eritrosit yang terinfeksi
parasit. Peningkatan sitoadheren tersebut meningkatkan risiko malaria serebral.
IFN- berfungsi memacu pembentukan TNF- dan juga meningkatkan daya
bunuh neutrofil. IL-1 bekerja sinergis dengan TNF- sedangkan IL-6 memacu
produksi Ig oleh sel limfosit B dan memacu proliferasi dan diferensiasi sel
limfosit (Suparman, 2005).
2.2 Malaria pada Kehamilan
2.2.1 Etiologi dan Predisposisi
Wanita hamil adalah salah satu kelompok dengan risiko tinggi terinfeksi
malaria. Ketika seorang wanita hamil, sistem imunitasnya akan menurun yang
menjadikannya rentan terhadap malaria, dengan konsekuensi gejala lebih berat,
baik pada ibu maupun pada anaknya. Malaria pada kehamilan (maternal malaria)
atau placental malaria merupakan suatu komplikasi yang umum terjadi di daerah
endemik malaria, khususnya pada primigravida. Angka kematian wanita hamil, di
daerah dimana malaria unstabil, dilaporkan 2-10 kali lebih tinggi dibanding
wanita yang tidak hamil. Umumnya, sebagian besar kasus malaria pada kehamilan
tersebut dihubungkan dengan infeksi oleh P. falciparum (Duffy, 1996).
Ada beberapa mekanisme dan faktor-faktor tertentu selama kehamilan
yang menjadi faktor predisposisi wanita hamil untuk terjangkit infeksi.
Perubahan-perubahan yang terjadi selama masa kehamilan yang berperan pada
faktor predisposisi tersebut, antara lain:
1. Faktor Imunologis
Kondisi imunosupresi dalam kehamilan merupakan problema khusus, hal
tersebut menjadikan malaria lebih luas dan lebih berat. Sementara malaria itu
sendiri, juga menekan respon imun dari hospes. Perubahan hormonal kehamilan,
penurunan sintesa immunoglobulin, dan penurunan fungsi Reticulo Endothelial
10
System (RES), merupakan penyebab terjadinya immunosupresi pada kehamilan
tersebut. Hal ini mengakibatkan hilangnya respon immun terhadap malaria, yang
menjadikan masa kehamilan lebih rentan terhadap malaria (Lindsay et al, 2000).
2. Faktor Fisiologis
Konsumsi oksigen total meningkat 15-20% selama kehamilan. Pada usia
kehamilan lebih dari 28 minggu, pengukuran produksi ekshalasi nafas wanita
hamil meningkat lebih dari 21% dibandingkan wanita yang tidak hamil. Beratus-
ratus komponen dikeluarkan dalam nafas manusia dan beberapa di antaranya
digunakan oleh nyamuk untuk mendeteksi keberadaan hospes. Selain itu,dalam
jangkauan dekat; suhu tubuh, aroma tubuh, dan stimuli visual, mempermudah
nyamuk untuk mengenali targetnya (Lindsay et al, 2000; Hacker, 1992).
Selama hamil, aliran darah ke kulit akan meningkat yang membantu
penghantaran panas, khususnya pada daerah kaki dan tangan. Berdasarkan
penelitian, ditemukan bahwa abdomen wanita hamil rata-rata memiliki suhu lebih
tinggi 0,70C dibanding wanita nonhamil. Suhu yang lebih tinggi tersebut,
meningatkan pengeluaran bahan volatile dari permukaan kulit, yang
meningkatkan tanda-tanda keberadaan hospes oleh nyamuk vektor dalam
jangkauan dekat (Lindsay et al, 2000).
3. Faktor Behavioral
Perubahan perilaku dapat pula meningkatkan exposurenya dengan
nyamuk. Contohnya, wanita hamil cenderung meninggalkan lebih banyak proteksi
bednet pada malam hari, misalnya untuk buang air kecil (mictie), di mana
frekuensinya meningkat 2 kali dibanding wanita yang tidak hamil. Hal ini akan
memperbesar tingkat kontaknya terhadap gigitan nyamuk (Lindsay et al, 2000).
2.2.2 Patologi Malaria pada Kehamilan
Pada dasarnya, infeksi parasit dapat mempengaruhi kapasitas reproduksi
wanita melalui 3 cara, yaitu (Lee, 1982):
1. Gangguan fertilitas
Parasit yang menimbulkan infeksi kronis dapat melemahkan fungsi
maternal melalui penekanan ovulasi atau menghentikan aktivitas seksual. Anemia
dan malnutrisi merupakan manifestasi umum dari infeksi parasit terhadap efeknya
11
pada Reticulo Endothelial System (RES) dan saluran urogenital. Beberapa parasit
diperkirakan dapat mengakibatkan kerusakan langsung pada saluran genitalis
melalui migrasi atau implantasinya dan parasit tersebut juga dapat mengakibatkan
abnormalitas anatomik yang berperan dalam memelihara fertilisasi dan implantasi.
2. Gangguan Kesehatan Ibu dalam Masa Kehamilannya
Parasit yang menyebabkan demam kakut dapat meyebabkan kelahiran
prematur oleh karena penyakit ibu. Pengaruh status nutrisi pada beberapa
helminth intestinal meningkatkan risiko gangguan pada kehamilan. Penyakit
parasit yang menginvasi jaringan seperti echinococcis dan filariasis
mengakibatkan lesi lokal yang menimbulkan obstruksi saluran genitalia.
3. Pengaruh terhadap Fetus
Infeksi intrauterus dari plasenta dan fetus, umumnya membutuhkan
penyebaran secara hematogen sebagai bentuk invasi dari parasit tersebut. Jarang
terjadi uterus terinfeksi secara langsung dari infeksi saluran genitalis atau melalui
penyebaran limfatik. Pada intinya terdapat hubungan antara imunitas maternal dan
risiko terjadinya infeksi intrauterin pada fetus dari parasitemia. Reinfeksi oleh
parasit pada ibu dengan sistem imunitas yang baik memiliki risiko lebih kecil
untuk terjadinya infeksi fetus, dibandingkan ibu dengan respon nonimmune yang
terinfeksi selama kehamilannya.
2.2.3 Manifestasi Klinis
2.2.3.1 Pengaruh terhadap Ibu
2.2.3.1.1 Manifestasi Utama
Gejala-gejala yang timbul umumnya tampak pada kehamilan trisemester
ke-2, di antaranya adalah (Reisberg, 1994):
1. Fever
Gejala demam ini menunjukkan pola demam yang beragam, dari afebrile
sampai continous fever, dari tingkat rendah sampai hiperpireksia. Pada
pertengahan trisemester ke-2 kehamilan, frekuensi demam paroksismal terjadi
lebih tinggi oleh karena adanya imunosupresif.
12
2. Anemia
Di negara-negara berkembang, di mana malaria umum terjadi, anemia
merupakan gejala yang menonjol dalam kehamilan. Pada beberapa keadaan,
malaria memperberat kondisi tersebut. Anemia diperkirakan menjadi tanda-tanda
terjadinya malaria, sehingga semua kasus anemia pada kehamilan hendaknya
dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa malaria.
3. Splenomegali
Pembesaran splen (limpa) memberikan gambaran yang bervariasi,
adakalanya tidak ditemukan pembesaran, atau limpa akan sedikit membesar pada
kehamilan trisemester kedua.
2.2.3.1.2 Komplikasi pada Kehamilan
Komplikasi yang terjadi pada malaria transplasental antara lain (Reisberg,
1994):
1. Anemia
Anemia dapat terjadi pada malaria berat. Hal ini terjadi akibat hemolisis
sel darah merah yang terinfeksi, meningkatkatnya kebutuhan darah selama
kehamilan, dan defisiensi asam folat karena hemolisis berat. Anemia tersebut
timbul lebih sering dan lebih berat pada kehamilan minggu ke 16-29 dan semakin
diperburuk oleh kondisi malaria dan parasitemia berat.
2. Edema Paru Akut
Merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi, dapat timbul secara
mendadak dan berkembang dalam beberapa hari. Umumnya gejala ini muncul
pada trimester kedua dan ketiga usia kehamilan. Keadaan ini juga dapat timbul
segera sesudah persalinan. Hal tersebut disebabkan karena autotransfusi dari darah
plasenta dengan proporsi sel darah merah yang terinfeksi cukup tinggi dan
peningkatan yang cepat dari tahanan perifer vaskuler setelah melahirkan.
3. Hipoglikemia
Komplikasi ini sering terjadi pada malaria yang menyertai kehamilan.
Faktor-faktor yang berperan untuk timbulnya hipoglikemi ini adalah peningkatan
kebutuhan hipermetabolisme dan infeksi parasit, respon terhadap starvasi, dan
timbulnya hiperinsulinisme sebagai akibat peningkatan respon pankreas terhadap
13
stimuli sekret (contohnya quinine). Hipoglikemia dapat bersifat asimptomatik atau
bahkan tidak terdeteksi. Beberapa penderita dapat menunjukkan perubahan
behavioral, konvulsi, perubahan sensorium, hilangnya kesadaran, dan lain-lain.
2.2.3.2 Pengaruh terhadap Fetus
Malaria selain menjadi sebab kematian ibu, juga mengakibatkan kematian
perinatal. Demam tinggi, insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia, dan
komplikasi lainnya dapat mempengaruhi perkembangan fetus. P. vivax dan P.
falciparum memberikan efek kepada fetus dan menimbulkan efek serius,
khususnya oleh P. falciparum (Prawirohardjo, 1999).
Mortalitas prenatal dan neonatal berkisar antara 15-70%. Dalam suatu
study, angka mortalitas oleh P. vivax selama kehamilan adalah 15,7%, sementara
mortalitas oleh P. falciparum adalah 33%. Abortus spontan, kelahiran premature,
still birth, plasental insufisiensi, dan IUGR (Intrauterine Growth Retardation)
baik temporary atau kronik, Low Birth Weight, fetal distress, merupakan berbagai
problem yang terkait dengan pertumbuhan fetus. Penyebaran infeksi melalui
transplasental kepada fetus, dapat menimbulkan kongenital malaria
(Prawirohardjo, 1999).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa malaria dapat menyebabkan hal-
hal berikut ini (Prawirohardjo, 1999):
1. Abortus dalam triwulan I karena pireksia dan triwulan kedua karena anemia
berat.
2. Kematian intrauterine karena pireksia, anemia berat, penghimpunan parasit
dalam plasenta (plasenta parasitazion), dan karena infeksi transplasental.
3. Prematur partus karena pireksia atau akibat kematian janin.
4. Dismaturitas karena insufisiensi plasenta akibat penghimpunan parasit dalam
plasenta.
5. Kematian neonatal karena asfiksia intrapartum, penghimpunan parasit dalam
plasenta atau anemia, karena prematuritas, atau karena malaria kongenital.
14
2.3 Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein-1 (PfEMP-1)
2.3.1 Knob dan Sitoadherens
Ketika berada di dalam eritrosit, parasit melakukan modifikasi pada sel
hospes untuk menjadikan tempat tersebut menjadi habitat yang lebih sesuai. Salah
satu modifikasi yang dilakukan oleh parasit adalah sitoadherens yang dilakukan
oleh P. falciparum yang mengakibatkan adanya sequestrasi parasit matur pada
kapiler-kapiler. Sequestrasi yang dilakukan oleh eritrosit yang terinfeksi P.
falciparum inilah yang akan mengakibatkan manifestasi dari malaria yang berat,
salah satunya adalah malaria serebral (Iyer J, et al., 2007).
Perubahan mayor pada eritrosit hospes yang terinfeksi P. falciparum
adalah electron dense protrusion atau knob pada membran eritrosit yang
terinfeksi. Knob tersebut diinduksi oleh beberapa protein yang berhubungan
dengan knob. Dua protein yang paling berperan dalam pembentukan knob tersebut
adalah Knob-Associated Histidine Rich Protein (KAHRP) dan P. falciparum
erythrocyte membrane protein-2 (PfEMP-2), atau disebut juga MESA. Kedua
protein tersebut sama-sama tidak diekspresikan pada membran eritrosit yang
terinfeksi bagian luar tetapi diekspresikan terlokalisasi pada membran sitoplasma
pada hospes. Peran pasti knob sendiri masih belum diketahui, akan tetapi diyakini
berperan dalam reorganisasi submembran sitokleleton (Iyer J, et al., 2007).
Knob dipercaya mempunyai peranan dalam sequestrasi dari eritrosit yang
terinfeksi mengingat terdapat kontak poin antara eritrosit yang terinfeksi dengan
endotel vaskuler, dan parasit yang mengekspresikan knob memperlihatkan tingkat
sequestrasi yang paling tinggi. Sebuah protein polimorfik yang disebut PfEMP-1
dan terlokalisasi pada knob dan diekspresikan pada membran luar eritrosit
memiliki peranan penting dalam sequestrasi. PfEMP-1 mungkin berfungsi sebagai
ligan yang berikatan dengan reseptor pada endotel (Iyer J, et al., 2007).
2.3.2 Variasi Antigen
Penyandian dari ligan sitoadheren oleh gen yang family polimorfik
memperlihatkan paradoks pada interaksi reseptor atau ligan. Pemilihan dari
fenotip sitoadherens yang berbeda berpengaruh pada perubahan pada tipe antigen
pada permukaan. Contohnya, parental line (A4) berikatan sama antara CD6 dan
15
ICAM-1. Akan tetapi, ekspresi dari C28 akan mengakibatkan ikatan lebih
dominan pada CD36. Ikatan ICAM-1 yang lebih dominan disebabkan karena
C28-I (Iyer J, et al., 2007). Variasi antigen pada P. falciparum ini menyebabkan
perubahan antigen yang diekspresikan sehingga antibodi yang berperan juga akan
berganti-ganti (Scherf, et al., 2001).
2.4 Kulit Kacang Tanah
2.4.1 Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) adalah jenis tanaman leguminosa
yang tumbuh tahunan. Kacang tanah merupakan tanaman yang berasal dari
Amerika Selatan. Klasifikasi botani dari kacang tanah sebagai berikut (Yarrow,
1999):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivision : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Family : Fabaceae
Genus : Arachis L.
Species : Arachis hypogaea L.
Kacang tanah tumbuh dengan ukuran 30 – 50 cm, daunnya berlawanan di
masing – masing sisi tangkainya sejumlah 4 helai dengan panjang tiap helainya 1
– 7 cm dan lebar 1 -3 cm, dan bunganya berwarna kuning atau kemerahan dengan
ukuran 2 – 4 cm. Kacang tanah termasuk tanaman yang tidak biasa karena
tanaman tersebut memiliki bunga di atas dan buah/polong dengan 1 – 5 biji
tertanam di dalam tanah (Wikipedia, 2009). Kacang tanah adalah tanaman pangan
urutan ke-13, sumber minyak ke-4, dan sumber protein nabati ke-3 di seluruh
dunia. Kacang tanah pertama kali masuk ke Indonesia pada awal abad ke-17
(Consultative Group on International Agricultural Research, 2004). Indonesia
adalah penghasil kacang tanah urutan ke-5 terbesar di dunia setelah Cina, India,
16
Nigeria, dan Amerika dengan penghasilan 1,475,000 ton pada tahun 2008
(Wikipedia, 2009).
Genus Arachis hypogaea L. dibagi menjadi empat varietas berbeda yang
dikelompokan berdasarkan tempat asalnya.
Tabel 1. Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)
(Consultative Group on International Agricultural Research, 2004)
Subspecies Cultivar Tempat Asal
hypogaea Virginia Southern Bolivia and northern Argentina
Hirsute Peruvian runner Peru
fastigiata Valencia PeruBrazil and Paraguay
vulgaris Spanish Paraguay, Uruguay, and Brazil
Subspesies hypogaea dan hirsuta memiliki penampakan morfologi yang
mirip. Keduanya tidak memiliki sumbu/poros yang menyerupai bunga. Varietas
hypogaea memiliki sedikit bulu dan cabang yang pendek. Sedangkan, hirsuta
lebih berbulu dengan cabang yang panjang. Keduanya menjalar di tanah, memiliki
dormansi biji, dan masa tumbuhnya 5 – 10 bulan (Tsigbey, et al., 2003).
Subspecies fastigiata dan vulgaris memiliki penampakan morfologi yang
mirip. Terdapat sumbu/poros yang menyerupai bunga pada kedua varietas
tersebut. Varietas fastigiata memiliki sedikit cabang. Sedangkan, varietas Spanish
memiliki lebih banyak cabang. Kedua varietas ini memiliki penampakan
tumbuhan yang tegak, tidak memiliki biji dorman, dan tumbuh dalam waktu 3 – 5
bulan. Karena tumbuhnya yang tegak, keduanya terlihat seperti semak – semak.
Varietas tegak memiliki hasil panen lebih sedikit tiap pohonnya dibandingkan
dengan varitas menjalar. Akan tetapi, varietas tegak memiliki lebih banyak
minyak biji dan protein biji (Tsigbey, et al., 2003).
2.4.2 Kulit Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)
Kacang tanah terdiri dari biji, kulit ari (peanut skins), dan kulit terluar
(peanut hulls). Biji kacang mengandung kira – kira 50 – 55% minyak dengan 30 –
35% dan 45 – 50% minyak adalah asam linoleat dan asam oleat (Maestri, et al.,
2006). Bijinya juga mengandung vitamin E, niacin, folacin, calcium, fosfor,
17
calcium, magnesium, zinc, zat besi, riboflavin, thiamin, potassium, dan lain – lain
(Tsigbey, et al., 2003). Kulit ari kacang tanah (peanut skins) memiliki warna
merah muda dan rasa astringen. Kulit ari kacang tanah kaya akan senyawa
antioksidan fenol seperti chlorogenic, caffeic, coumarin dan ferulic acids,
epigallocatechin, epicathechin, catechin galate, dan epicatechin galate.
Sedangkan, kulit kacang tanah (peanut hulls), berdasarkan metode AOAC,
memiliki persentase kelembapan 14,062, protein kasar 14,067, lemak kasar
14,066, serat kasar 14,064, dan abu 14,063 (Pin-der, et al., 1992). Beberapa
penelitian membuktikan bahwa luteolin adalah antioksidan terbanyak yang
terdapat di dalam kulit kacang tanah, 87,9% pada MEPH setelah radiasi UV
selama tiga hari (Gow-Chin dan Pin-Der, 1995). Kandungan ekstrak metanol
meningkat sebanding dengan meningkatnya usia kacang tanah tersebut (Maestri,
et al., 2006). Ekstrak metanol kulit kacang tanah dengan usia yang berbeda
menunjukan aktivitas antioksidan yang serupa, 92,9 – 94,8% inhibisi peroksidasi
asam linoleat (Gow-Chin, 1993).
2.4.3 Pemanfaatan Kulit Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.)
Sebenarnya semua bagain dari kacang tanah (Arachis hypaea L.) dapat
dimanfaatkan. Manfaat utama dari kacang tanah adalah bijinya untuk dikonsumsi
baik dalam kondisi mentah atau matang. Bisa juga diambil minyak bijinya untuk
memasak, penerangan, bahan bakar, dan unsur makanan. Minyak kacang tanah
memiliki kualitas simpan yang baik dibandingkan dengan minyak kedelai atau
minyak jagung. Minyak kacang tanah juga merupakan sumber vitamin E yang
baik. Daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Tsigbey, et al., 2003).
Sedangkan, kulit kacang tanah menjadi limbah industri yang hanya dimanfaatkan
untuk pakan ternak dan pupuk (Maestri, et al., 2006).
2.5 Flavonoid Luteolin
Luteolin (3`,4`,5,7-tetrahydroxyflavone) adalah salah satu jenis flavonoid.
Flavonoid, termasuk luteolin, memiliki peran penting di dalam tubuh manusia
sebagai antioksidan, pengurai radikal bebas, agen pencegah inflamasi, promotor
metabolisme karbohidrat, dan modulator sistem imun. Luteolin disebut juga
18
luteolol, digito flavone, atau flacitran. Luteolin memiliki rumus molekul C15H10O6
dan massa molekul 286,24 g/mol (Kayoko, et al., 1998).
Luteolin adalah salah satu antioksidan yang memiliki banyak manfaat.
Luteolin dapat menghambat angiogenesis, berpengaruh terhadap apoptosis,
mencegah karsinogenesis pada hewan coba, kemungkinan berpotensi sebagai
kemopreventif dan kemoterapi, modulasi ROS, menghambat topoisomerase I dan
II, menurunkan aktivitas NfkappaB dan AP-1, stabilisasi p53 dan menghambat
PI3K, STAT3, IGF1R, dan HER2 (Lopez-Lazaro, 2009).
19
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Sifat Penulisan
Karya tulis ini bersifat kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengaruh
ekstrak kulit kacang tanah dalam mencegah malaria transplasental oleh P.
falciparum pada ibu hamil. Dalam paparan ini juga dijelaskan mengenai
mekanisme zat-zat aktif yang terkandung dalam ekstrak kulit kacang dalam
mencegah malaria transplasental.
Perumusan masalah disusun berdasarkan tingginya angka kematian dan
kesakitan yang disebabkan oleh malaria di Indonesia. Ruang lingkup
permasalahannya terletak pada mekanisme senyawa-senyawa aktif yang
terkandung dalam ekstrak kulit kacang dan bagaimana cara penggunaan dan dosis
yang tepat.
20
3.2 Kerangka Berpikir
Invasi merozoit
Luteolin
Biosintesis Asam Lemak tipe II
(FAS II)
Plasmodium falciparum
Acyl-ACP
FabI
Ekstrak Kulit Kacang Tanah
MENGHAMBAT
Kerusakan plasenta
Enoyl-Acyl-ACP
Ring form
Tropozoit lanjut Ekspresi PfEMP-1
Sequeatrasi plasenta
skizon
Pecahnya pRBC
pireksia anemia
Asfiksia intrapartum
abortus pireksiaPrematur partus dismaturitas
21
3.3 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan metode studi pustaka (literature
review) berdasarkan permasalahan baik informasi digital maupun nondigital dari
sumber pustaka sebagai berikut :
1. Jurnal-jurnal kesehatan
2. Buku ajar atau referensi pustaka
3. Informasi internet.
3.4 Metode Analisis dan Pemecahan Masalah
Metode analisis data pustaka dilakukan dengan dua pendekatan yaitu:
1. Metode eksposisi, yaitu dengan memaparkan data dan fakta yang
ada dan mencari korelasi antara data tersebut.
2. Metode analitif, yaitu melalui proses analisis data atau informasi
serta menarik kesimpulan secara logis dari data yang diperoleh.
22
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Cara Penggunaan Kulit Kacang (Peanuthulls) dan Dosis Pemberian
yang Tepat
Kacang tanah yang digunakan berasal dari Arachis hypogaea L. varietas
fastigiata karena banyak ditanam di Indonesia (Utomo, S.D., et al., 2008).
Walaupun demikian, subspesies yang memiliki kadar total senyawa fenol
terbanyak adalah subspesies vulgaris, kultivar Spanish (Maestri, 2006). Kulit
kacang termasuk bahan yang tidak dapat dikonsumsi dalam keadaan sediaan
bahan mentah. Oleh karena itu, diperlukan proses khusus agar sediaan kulit
kacang tanah layak untuk dikonsumsi. Salah satu bentuk sediaan adalah dalam
bentuk ekstrak ethanol kulit kacang tanah.
Zhou, P., et al., 2008, melakukan penelitian yang membuktikan bahwa
ekstrak kulit kacang tanah itu sendiri memiliki keunggulan jika dibandingkan
dengan pemberian luteolin murni. Permeabilitas efektif (Peff) dan konstanta
kecepatan absorbsi (Ka) dari luteolin murni (5 µg/mL) di duodenum dan jejenum
tidak menunjukan perbedaan yang signifikan, tetapi lebih tinggi dibandingkan
dengan di colon dan ileum. Akan tetapi, Peff dan Ka dari luteolin pada ekstrak kulit
kacang lebih tinggi daripada luteolin murni. Studi farmakokinetik (pada tikus)
menunjukan bahwa administrasi oral dari luteolin murni (14,3 mg/kg) dan ekstrak
kulit kacang (setara dengan 14,3 mg/kg luteolin murni) menghasilkan konsentrasi
puncak dari luteolin plasma sebesar 1,97 ± 0,15 µg/mL untuk luteolin murni dan
8,34±0,98µg/mL untuk ekstrak kulit kacang. Jadi, bisa disimpulkan
bioavailabilitas luteolin yang berasal dari ekstrak kulit kacang lebih tinggi
dibandingkan dengan pemberian luteolin murni (Zhou, P., et al., 2008). Akan
tetapi, hasil ekstrak trsebut lebih tapat digunakan pada penelitian selanjutnya
terhadap hewan coba untuk mengetahui efek dan dosis efektifnya.
Bentuk sediaan lain yang dapat digunakan pada manusia adalah dalam
bentuk dekok atau rebusan kulit kacang tanah. Untuk membuatnya, kacang tanah
(peanuthulls) yang baru dipanen dicuci bersih dan selanjutnya dijemur dibawah
23
terik matahari selama tiga hari sampai benar – benar kering. Kacang tanah yang
sudah kering dikupas dan dipisahkan kulit dan biji kacang tanahnya. Kulit kacang
tanah tersebut selanjutnya dihaluskan dengan penggilingan sampai menjadi serbuk
yang halus. Serbuk kulit kacang tanah dapat disimpan di tempat yang bersuhu 40C
sampai saatnya digunakan (Duh, et al.,1992).
Konsentrasi luteolin plasma yang diperlukan sebagai dosis efektif untuk
menghambat maturasi pRBC adalah 10µg/mL (Kirmizibekmez, et al., 2003).
Sedangkan, berdasarkan penelitian Zhou, P. et al., 2008, pemberian 92,3mg/kgBB
ekstrak kulit kacang tanah yang mengandung 14,3mg/kgBB menghasilkan
konsentrasi luteolin plasma sebesar 8,34±0,98µg/mL. Jadi, diperoleh dosis efektif
untuk menghambat maturasi pRBC adalah 110,7mg/kgBB. Untuk manusia
dewasa dengan berat badan rata – rata 50 kg diperlukan sebanyak 5,5 g ekstrak
kulit kacang. Berdasarkan penelitian Duh, et al., 1992, satu gram kulit kacang
menghasilkan 41,8 mg ekstrak sehingga dibutuhkan 132 gram kulit kacang untuk
membuat sekitar 5,5 g ekstrak kulit kacang. Pembuatannya dapat dilakukan
dengan merebus gilingan halus kulit kacang tanah yang diletakan di dalam kain
dengan air sebanyak 0,5 liter. Rebus sampai tinggal setengahnya. Selanjutnya
disaring untuk memisahkan dari ampasnya dan tambahkan gula atau pemanis
sesuai selera. Dapat diminum sekali sampai dua kali sehari.
4.2 Kemampuan Luteolin sebagai Zat Antiplasmodial
Malaria merupakan suatu penyakit infeksi yang banyak menyebabkan
masalah terutama di daerah yang beriklim tropis (Suparman, 2005). Indonesia
termasuk dalam negara endemis malaria (Umar Zein, 2005). Oleh karena itu,
infeksi malaria pada daerah tropis khususnya Indoniesia sangatlah rentan terjadi
dan kerentanan itu semakin bertambah pada ibu hamil. Infeksi pada ibu hamil
lebih sering terjadi dibandingkan pada seseorang dalam kondisi tidak hamil.
Pada ibu hamil terjadi perubahan imunologis akibat adanya janin yang
dikandungnya. Sistem imun ibu menyesuaikan sedemikian rupa sehingga janin
yang dikandung tidak dianggap sebagai benda asing dan diserang oleh sistem
imun. Perubahan yang terjadi adalah terjadinya perubahan keseimbangan antara
limfosit CD4+ Th1 dengan Th2. Th1 yang memodulasi sistem imun seluler
24
menurun dan Th2 yang memodulasi sistem imun humoral meningkat. Dengan
demikian, sistem imun terhadap malaria akan lebih berkurang dibandingkan
normal dimana pada keadaan normal imunitas seluler seimbang dengan imunitas
humoral dalam menghadapi malaria (Abbas dan Andrew, 2004).
Telah banyak agen-agen antiplasmodial yang ditemukan untuk mengatasi
infeksi malaria. Namun masalah yang paling sulit dihadapi adalah adanya
resistensi yang kuat terhadap obat-obat antimalaria. Masalah resistensi ini pun
sudah menjadi masalah yang mendunia. Salah satu penyebab adanya resistensi ini
adalah pengobatan yang kurang adekuat sehingga menyebabkan Plasmodium
menjadi lebih tahan terhadap agen tersebut. Lebih parahnya lagi, resistensi
tersebut dapat diturunkan ke generasi Plasmodium selanjutnya. Oleh karena itu,
telah banyak dilakukan penelitian yang ditujukan untuk menemukan obat-obat
baru terhadap malaria guna melawan resistensi yang terus terjadi (Brooks, et al.,
2004). Selain itu masalah lain yang terdapat dalam pengobatan malaria khususnya
pada ibu hamil adalah efek teratogen yaitu dapat menyebabkan tuli kongenital
pada janin (Herlina, R., 2008).
Luteolin (3`,4`,5,7-tetrahydroxyflavone) adalah salah satu jenis flavonoid
yang terdapat dalam kulit kacang tanah (Gow-Chin dan Pin-Der, 1995). Luteolin
merupakan zat flavonoid yang banyak menarik perhatian medis karena fungsinya
sebagai antioksidan, antitumor, antiinflamasi, antimikrobial, dan aktivitas
antiviral. Dalam berbagai penelitian telah didemonstrasikan bahwa luteolin dapat
bekerja sebagai antiprotozoa dalam melawan genera Toxoplasma, Trypanosoma,
dan Leishmania. Selain itu, berbagai studi juga menunjukkan bahwa luteolin dapat
juga dimanfaatkan sebagai antiplasmodium (Lehane dan Saliba, 2008).
Sejak dahulu telah dipercaya bahwa P. falciparum tidak dapat membuat
sendiri asam lemaknya, akan tetapi bergantung pada eritrosit dan serum hospes.
Akan tetapi, penemuan biosintesis asam lemak tipe II (FAS-II) merupakan sebuah
hal yang mengejutkan karen a selama ini FAS II hanya ditemukan pada tumbuhan
dan prokariot. Dar i data biokimia yang ada, FAS II adalah satu – satunya jalur
asam lemak plasmodium yang komponen enzimatiknya terdapat pada apicoplast,
sebuah organela yang unik. Proses kondensasi, reduksi, dan dehidrasi yang terjadi
25
pada biosintesis asam lemak tipe II dilakukan oleh enzim – enzim yang berbeda.
Akan tetapi, proses reduksi terakhir dari setiap proses tersebut dikatalisis oleh
Enoyl-ACP reductase (FabI) (Kirmizibekmez, et al., 2003). Data molekuler dan
biokimia mengatakan bahwa FAS-II adalah jalur sintesa asam lemak yang tidak
terdapat pada manusia. Maka banyak dilakukan penelitian untuk menemukan agen
yang dapat menghambat sintesa asam lemak pada P. falciparum mengingat
pentingnya peran asam lemak bagi Plasmodium. Salah satu agen yang dapat
menghambat jalur ini adalah luteolin (Mitamura dan Palacpac, 2003).
Luteolin bekerja sebagai zat antiplasmodial dengan menghambat jalur II
sintesa asam lemak dengan menghambat salah satu enzim yang berperan di
dalamnya, FabI (Enoyl-ACP reductase) secara spesifik dan signifikan (IC50=10
µg/mL). FabI berfungsi untuk mengubah Enoyl-Acyl-ACP menjadi Acyl-ACP
pada FAS-II. FabI juga merupakan enzim kunci regulasi karena fungsinya adalah
untuk mengatalisis proses akhir reduktase pada proses – proses yang terjadi pada
biosintesis asam lemak P. falciparum (Kirmizibekmez, et al., 2003). Jika FabI
terhambat maka konsentrasi Acyl-ACP akan berkurang sehingga rantai sintesis
asam lemak tipe II juga akan terganggu. Mengingat fungsi asam lemak yang
sangat krusial pada P. falciparum, yaitu untuk membentuk surface area dan
meningkatkan volume membran internal, maka dengan adanya hambatan pada
FAS-II maka maturasi dari P. falciparum akan terhambat (Mitamura dan
Palacpac, 2003).
4.3 Kemampuan Luteolin dalam Mencegah Malaria Transplasental
Malaria transplasental dapat menimbulkan banyak komplikasi baik pada
ibu maupun pada janin. Bahaya pada ibu diantaranya adalah pireksia, anemia,
edema paru akut, hipoglikemia, pembesaran kelenjar limpa, bahkan kematian ibu
tersebut. Sedangkan, bahaya pada janin diantaranya abortus karena pireksia,
prematur partus, dismaturitas akibat insufisiensi plasenta, kematian neonatal
akibat asfiksia intrapartum (Prawirohardjo, 1999). Komplikasi yang terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya pecahnya pRBC pada akhir fase
intraeritrosit, sequestrasi eritrosit pada plasenta, dan rusaknya jaringan plasenta.
26
Pecahnya pRBC terjadi pada akhir fase intraeritrosit. Pada fase tersebut
pertumbuhan skizon sudah mencapai tahap maksimal. Selain itu, subtansi yang
dibutuhkan parasit di dalam eritrosit telah habis digunakan. Oleh karena itu,
parasit memerlukan hospes baru agar tetap bisa hidup dengan cara memecah
eritrosit lama dan mencari eritrosit baru. Pecahnya pRBC tersebut dapat
menyebabkan reaksi imunologis (IL 1, TNF-α) sehingga menimbulkan pireksia
(demam). Selain itu, juga dapat menyebabkan anemia atau kurangnya sel darah
merah (Prawirohardjo, 1999).
Fungsi luteolin dalam mencegah pecahnya pRBC adalah dengan
menghambat siklus intraeritrosit. Luteolin bekerja dengan menghambat enzim
FabI pada rantai sintesis asam lemak tipe II. Hal tersebut menyebabkan hambatan
sintesis asam lemak tipe II terganggu sehingga siklus intraeritrosit terhambat.
Dengan terhambatnya maturasi parasit intraeritrosit, hal tersebut memberikan
waktu bagi sel imun untuk mengeradikasi pRBC.
Komplikasi lain dari malaria pada kehamilan adalah terjadinya sequestrasi
pRBC pada plasenta. Sequestrasi pRBC pada plasenta dapat menyebabkan
kerusakan jaringan plasenta yang berbahaya bagi ibu dan janin seperti yang telah
disebutkan sebelumnya. Sebuah protein polimorfik yang disebut PfEMP-1 dan
terlokalisasi pada knob dan diekspresikan pada membran luar eritrosit memiliki
peranan penting dalam sequestrasi. PfEMP-1 berfungsi sebagai ligan yang
berikatan dengan reseptor pada endotel dan plasenta. Pada endotel terdapat
ICAM-1 yang berfungsi sebagai ligan tempat menempelnya PfEMP-1, sedangkan
pada plasenta terdapat CSA (Iyer J, et al., 2007).
Sequestrasi pRBC pada plasenta dapat mengakibatkan rusaknya jaringan
plasenta akibat reaksi imunologis. Salah satu antigen malaria yang berasal dari
stadium merozoit yaitu GPI (glycosilphosphatidyl inositol) diduga dapat
menginduksi TNF-yang dihasilkan oleh makrofag. TNF- menginduksi
terjadinya perubahan pada netrofil yaitu pelepasan enzim lisosomal, ekspresi
reseptor permukaan seperti reseptor Fc dan integrin, adhesi dan migrasi
kemotaktik. Selama proses fagositosis, sel-sel fagosit mengeluarkan berbagai zat
oksidatif yang berguna untuk menghancurkan parasit. Setelah selesai memfagosit,
27
sisa-sisa parasit akan dibuang bersama zat-zat oksidatif tersebut padahal zat-zat
tersebut dapat bersifat merusak jaringan, dalam hal ini plasenta (Suparman, 2005).
Cara kerja luteolin dalam mencegah sequestrasi pRBC sekaligus
kerusakan jaringan plasenta adalah dengan menghambat siklus intraeritrosit P.
falciparum. Luteolin dapat menghambat progresi siklus intraeritrosit sampai ring
stage, sehingga siklus tidak berkelanjutan sampai fase tropozoit (Lehane dan
Saliba, 2008). Pada ring stage, PfEMP-1 masih belum terekspresikan pada
membran pRBC. Molekul adhesi tersebut baru diekspresikan setelah fase
tropozoit lanjut. Oleh karena luteolin dapat menghambat siklus intraeritrosit,
maturasi tidak dapat berlanjut sampai fase tropozoit. Hal tersebut menyebabkan
PfEMP-1 tidak dapat terekspresikan sehingga sequestrasi pRBC khususnya pada
plasenta dapat dicegah. Dengan dicegahnya sequestrasi pRBC pada plasenta maka
kerusakan plasenta akibat reaksi imunologis dapat dicegah. Jaringan plasenta yang
masih terjaga akan membuat janin terhidar dari komplikasi malaria transplasental.
28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi pustaka ini adalah :
1. Ekstrak kulit kacang tanah (peanuthulls) dapat mencegah infeksi malaria
transplasental dengan menghambat enzim FabI yang digunakan untuk
biosintesis asam lemak pada P. falciparum
2. Biosintesis asam lemak P. falciparum yang terhambat menyebabkan siklus
intraeritrosit P. falciparum terhambat sehingga dapat mencegah pecahnya
pRBC, pRBC pada plasenta, dan kerusakan jaringan plasenta sehingga
efek malaria tranplasenta dapat dicegah
3. Cara penggunaan yang tepat adalah dengan membuat ekstrak metanol kulit
kacang tanah (peanuthulls) dan diadministrasi per oral dengan dosis 16,3
mg/kg berat bedan dua kali sehari.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji efek ekstrak kulit kacang
tanah dalam mencegah malaria transplasental
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memaksimalkan manfaat lain
dari kulit kacang tanah
3. Perlu dikembangkan obat dari ekstrak kulit kacang tanah dalam bentuk
yang praktis, aman, murah, dan mudah dikonsumsi.
29
Daftar Pustaka
Abbas, A.K. dan H.L., Andrew. 2004. Basic Immunology: Function and Disorder
of The Immune System 2nd Edition. Philadelphia: Elsevier Inc
Blackburn, ST,. Loper, DL,. Maternal, Fetal, and Neonatal Physiology : A
Clinical Perspectif. WB Saunders Company. Mexico. 1999
Brooks, F.B., S.B., Janet. dan A.M., Stephen. 2004. Jawetz, Melnick, and
Adelberg’s Medical Microbiology 23rd Edition. New York: The
McGraw Hill Companies, Inc.
Consultative Group on International Agricultural Research. 2004. Groundnut
(Arachis hypogaea Linnaeus). (Online)
(http://www.cgiar.org/impact/research/groundnut. html, diakses pada
7 Oktober 2009)
Cross, Caroline. 2004. Plasmodium falciparum. (Online)
(http://malaria.wellcome.ac.uk/node40008.html diakses pada tanggal 3
Februari 2010)
De Onis, Marcedes. Health and Nutrition Emerging and Reemerging Issue in
Developing Countries. Journal 2020 Focus 5, Brief 6 of 11.
Washington. USA. 2001
Duffy. Frieds. Maternal Malaria. 1996. (Online) (http://www.brown.edu
/Courses/Bio_160/Project 1999/malaria/matmal.html, diakses pada
tanggal 7 Oktober 2009)
Every, ME,. Taesch, HW. 1984. Scaffer’s Disease of the Newborn. Fifth Edition.
USA:WB Saunders Company
Gillespie, S. dan D.P., Richard. 2001. Principles and Practice of Clinical
Parasitology. London: John Wiley and Sons Ltd.
Gow-Chin, Yen dan Pin-Der Duh. 1995. Antioxidant Activity and the Variations
of Components in Methanolic Extracts of Peanut Hulls. (Online)
(http://www.sciencedirect.com/science?
_ob=ArticleURL&_udi=B6T6R-3YYT6FB-, diakses pada 10 Oktober
2009)
30
Gow-Chin, Yen., Pin-Der, Duh., dan Cherng-Liang, Tsai. 1993. Relationship
between Antioxidant Activity and Maturity of Peanut Hulls. Taiwan:
Department of Food Science. 4:67-70
Hacker, NF,. Moore, JG,. Essential Obstetry and Ginecology. 2nd edition. WB
saunders Company. USA. 1992
Hasan, R, et al.,. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.
Jakarta. 1985
Herlina, Rita. 2008. Obat – Obatan.
http://italina89.wordpress.com/2008/05/26/obat-%E2%80%93-obatan.
Diakses tanggal 3 Februari 2010. Pukul 10.28
Indra, M. R., 1999. Penelitian Eksperimental dalam Buku Ajar Metodologi
Penelitian seri I. FKUB Malang. P: 5-16
Iyer J, AC Gruner, L Renia, G Snounou and PR Preiser (2007) Invasion of hospes
cells by malaria parasites: a tale of two protein families. Molecular
Microbiology 65: 231-249.
Kayoko Shimoi, Hisae Okada, Michiyo Furugori, Toshinao Goda, Sachiko
Takase, Masayuki Suzuki, Yukihiko Hara, Hiroyo Yamamoto,
Naohide Kinae. 1998. Intestinal absorption of luteolin and luteolin 7-
O-[beta]-glucoside in rats and humans. FEBS Letters. 438 (3): 220–
224
Kirmizibekmez, Hasan,. et al., 2003. Inhibiting Activities of Secondary
Metabolites of Phlomis brunneogaleata against Parasitic Protozoa
and Plasmodial Enoyl-ACP Reductase, a Crucial Enzyme in Fatty
Acid Biosynthesis. Planta Med 2004: 711-717
Lee, RV,. Parasitic Infection. In: Burrow, GN,. Ferris, TF,. Medical Complication
During Pregnancy. WB Saunders Company. Philadelphia. 1982
Lehane, Adele M. Dan Saliba, Kevin J. 2008. Common Dietary Flavonoids Inhibit
the Growth of the Intraerythrocytic Malaria Parasite. Canberra:
School of Biochemistry and molecular Biology
Lopez-Lazaro, Miguel. 2009. Distribution and Biological Activities of The
Flavonoid Luteolin. (Online)
31
(http://www.ingentaconnect.com/content/ben/mrmc/2009/
00000009/00000001/art00004, diakses tanggal 15 Oktober 2009)
Lindsay, Steve,. et al., Effect of Pregnancy on Exposure to Malaria Mosquito.
Journal Lancet. Vol 355. June 3, 2000
Maestri, D.M., Nepote V., Lamarque, A.L., dan Zygadlo J.A. 2006. Natural
Products as Antioxidants. Phytochemistry: Advances in Research.
105-135
Mitamura, T., Palacpac, N.M. 2003. Lipid metabolism in Plasmodium falciparum-
infected erythrocytes: possible new targets for chemotherapy.
Microbes and Infection 5. 545-552
Monica E. Parise, Lewis, Linda S., Ayisi, John G., Nahlen, Bernard L., Slutsker,
Laurence, Muga, Richard, Sharif, S.K., Hill, Jenny, dan Steketee,
Richard W. 2003. A Rapid Assessment Approach for Public Health
Decision-Making Related to the Prevention of Malaria During
Pregnancy. Bulletin of the World health Organization.81
Nelson, WE,. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi ke-15. WB Saunders Company.
Philadelphia. Pensilvania. 1999
Pin-Der, Duh., Dong-Bor, Yeh., dan Gow-Chin, Yen. 1992. Extraction and
Identification of an Antioxidative Component of Peanut Hulls.
Taiwan: department of Food Science. 69:8
Prawiroharjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta. 1999
Pritchard, Jack,. Et al,.. Obstetry Williams. Edisi ke-17. Airlangga University
Press. Surabaya. 1991
Republika Online. 2009. Malaria Mulai Resisten terhadap Obat. (Online)
(http://www.republika.co.id/koran/42/53869/Malaria_Mulai_Resisten
_Terhadap_Obat, diakses pada 10 oktober 2009)
Scherf, Artur., Pouvelle, Bruno., Buffet, Pierre A., dan Gysin, JuErg. 2001.
Molecular mechanisms of Plasmodium falciparum Placental
Adhesion. Blackwell Science:125-131
32
Staf Pengajar Departemen FKUI Jakarta. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Suparman, Eddy. 2005. Malaria pada Kehamilan. Cermin Dunia Kedokteran
No:146. Fakultas kedokteran Universitas sam Ratulangi
Tsigbey, F.K., R. L. Brandenburg , and V. A. Clottey. 2003. Peanut Production
Methods in Northern Ghana and Some Disease Perspectives. (Online)
(http://www.lanra. uga.edu/peanut/knowledgebase/, diakses pada 7
Oktober 2009)
Utomo, S.D., Suprapto, H., Sarjono, B. 2008. Uji Daya Hasil Galur Unggul
Kacang Tanah Keturunan ssp. hypogaea Pada Dua Jarak Tanam di
Kec. Natar Kab. Lampung Selatan. Jurusan Budidaya Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Wikipedia. 2009. Peanut. (Online) (http://en.wikipedia.org/wiki/Peanut, diakses
pada 7 Oktober 2009)
Yarrow, G.K., and D.T. Yarrow. 1999. Managing wildlife. Birmingham: Sweet
Water Press.
Zein, Umar. 2005. Penanganan Terkini Malaria Falciparum. Divisi Penyakit
Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
33
Lampiran 1
BIODATA DAN CURRICULUM VITAE PENULIS
1. Nama Lengkap : Rivo Yudhinata Brian Nugraha
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 14 Agustus 1990
Alamat : Jalan durian No.1 Mulyoagung Dau Malang
Karya ilmiah yang pernah dibuat :
- Pemanfaatan air kelapa sebagai bahan baku pembuatan tekstil
- Pemanfaatan lendir bekicot (Achatina fulica Ferussac) untuk mempercepat
proses penyembuhan luka
Prestasi ilmiah yang pernah diraih :
- Juara 3 KIR tingkat kota Malang
- Juara 1 PKM GT Maba tingkat Fakultas Kedokteran Brawijaya Malang
- Juara 1 PKM GT Maba tingkat Universitas Brawijaya Malang
2. Nama Lengkap : Mirza Zaka Pratama
Tempat, Tanggal Lahir : Malang, 4 Agustus 1990
Alamat : Jalan Dewandaru A-5 Malang
Karya ilmiah yang pernah dibuat :
- Pemanfaatan Terong Ranti Sebagai Alat Kontrasepsi Alami
Prestasi ilmiah yang pernah diraih : -
34
Lampiran 2
BIODATA DAN CURRICULUM VITAE DOSEN PENDAMPING
1. Nama Lengkap dan Gelar : Dr. dr. Loeki Enggar fitri Mkes, SpPark
2. Golongan Pangkat/NIP : III D / Penata Tk I
3. Jabatan Fungsional : Dosen
4. Jabatan Struktural : Sekretaris S2 Biomedik PPSFKUB
5. Fakultas/Program Studi : Kedokteran / Pendidikan Dokter
6. Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya
7. Bidang Keahlian : Parasitologi
35
Lampiran 3
GAMBAR DAN BAGAN
Gambar Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) varietas fastigiata
Gambar Senyawa Luteolin (C15H10O6)
Gambar P. falciparum
36
Gambar Siklus Hidup P.falciparum
37
Gambar Sintesis Asam Lemak P. falciparum