am saefuddin

25
82 BAB IV KARAKTERISTIK EPISTEMOLOGI ISLAM MENURUT AL-QUR’AN Ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Qur’an itu tidak menolak secara menyeluruh terhadap ilmu pengetahuan Barat. Ada segi-segi tertentu yang merupakan satu titik persamaan dan perbedaannya. Titik-titik persamaan itu menunjukkan, bahwa keberadaannya diterima secara universal. Misalnya, indera diakui oleh al-Qur’an sebagai salah satu media untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini Ihwan Al-Shafa menegaskan, bahwa sesungguhnya seluruh pengetahuan diusahakan, sedangkan dasar usahanya itu adalah melalui penginderaan. Dan juga melalui proses pemikiran yang ada pada akal yang mendasarkan pada lambang-lambang yang dapat diindera. 1 Walaupun potensi manusia tersebut, yakni dalam mengumpulkan fakta sangat terbatas, karena panca indera memiliki kelemahan yakni dapat keliru dalam melakukan pengamatan, maka kebenaran ilmiah pun selalu dapat salah atau keliru. Maka dari itu fakta atau data pun tidak selamanya menampakkan diri sebagaimana yang ditangkap oleh indera. 2 Begitu juga kemampuan akal manusia. Al-Qur’an mengakui kalau akal manusia adalah sebagai salah satu sumber atau sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Tetapi sebagaimana indera, akal juga memiliki kelemahan, sehingga membutuhkan bantuan. Jadi indera dan akal dalam al- Qur’an tidak menolak kalau keduanya adalah sebagai sumber atau sarana untuk memperoleh pengetahuan. Akan tetapi keduanya tidak bisa disebut sebagai sumber pengetahuan yang dimutlakkan. Keduanya memiliki kelemahan dalam memecahkan seluruh persoalan yang dihadapi manusia. Dikarenakan kondisi keduanya yang serba terbatas itulah, akhirnya dalam 1 Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan Pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 31. 2 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003) hlm. 21.5

Upload: iansya

Post on 03-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

tulisan

TRANSCRIPT

  • 82

    BAB IV

    KARAKTERISTIK EPISTEMOLOGI ISLAM

    MENURUT AL-QURAN

    Ilmu pengetahuan dalam pandangan al-Quran itu tidak menolak

    secara menyeluruh terhadap ilmu pengetahuan Barat. Ada segi-segi tertentu

    yang merupakan satu titik persamaan dan perbedaannya. Titik-titik

    persamaan itu menunjukkan, bahwa keberadaannya diterima secara

    universal. Misalnya, indera diakui oleh al-Quran sebagai salah satu media

    untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini Ihwan Al-Shafa

    menegaskan, bahwa sesungguhnya seluruh pengetahuan diusahakan,

    sedangkan dasar usahanya itu adalah melalui penginderaan. Dan juga

    melalui proses pemikiran yang ada pada akal yang mendasarkan pada

    lambang-lambang yang dapat diindera.1 Walaupun potensi manusia

    tersebut, yakni dalam mengumpulkan fakta sangat terbatas, karena panca

    indera memiliki kelemahan yakni dapat keliru dalam melakukan

    pengamatan, maka kebenaran ilmiah pun selalu dapat salah atau keliru.

    Maka dari itu fakta atau data pun tidak selamanya menampakkan diri

    sebagaimana yang ditangkap oleh indera.2

    Begitu juga kemampuan akal manusia. Al-Quran mengakui kalau

    akal manusia adalah sebagai salah satu sumber atau sarana untuk

    mendapatkan pengetahuan. Tetapi sebagaimana indera, akal juga memiliki

    kelemahan, sehingga membutuhkan bantuan. Jadi indera dan akal dalam al-

    Quran tidak menolak kalau keduanya adalah sebagai sumber atau sarana

    untuk memperoleh pengetahuan. Akan tetapi keduanya tidak bisa disebut

    sebagai sumber pengetahuan yang dimutlakkan. Keduanya memiliki

    kelemahan dalam memecahkan seluruh persoalan yang dihadapi manusia.

    Dikarenakan kondisi keduanya yang serba terbatas itulah, akhirnya dalam

    1Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam Konsep dan Perkembangan

    Pemikirannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 31. 2 Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003)

    hlm. 21.5

  • 83

    epistemologi Islam dirancang dan dibangun, di samping mengacu pada

    kedua sumber tersebut juga berdasarkan kekuatan spiritual yang bersumber

    dari Allah, yakni melalui bantuan wahyu.

    Dewasa ini, keprihatinan mulai muncul di kalangan pemikir-

    pemikir Muslim terhadap watak sains modern Barat dan akibat-akibat

    yang ditunjukkannya. Sains ini telah dirasakan membahayakan umat Islam

    khususnya. Mereka bisa digiring menjadi komunitas yang tidak memiliki

    kepekaan sosial. Mereka selalu diarahkan untuk bersikap individual dan

    menggunakan parameter-parameter materiil dalam mengukur kebahagiaan

    seseorang. Sains tersebut mengalami krisis spiritual yang memprihatinkan.

    Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini hanya menonjolkan

    kemampuan otak dan ototnya. Sehingga sains yang berkembang sekarang

    tidak memiliki konsep dasar Islami, yang mengacu pada al-Quran,

    sehingga tidak memiliki kemampuan dalam membendung modernism dan

    arus materialisme, yang lebih mengarah pada kemegahan duniawi. Oleh

    karena itu Islam secepatnya tanggap pada persoalan pelik tersebut yang

    dapat membahayakan umat, khususnya umat Islam, agar tidak terjerumus

    pada hal-hal yang tidak dibenarkan ajaran Islam. Penyelamatan tersebut

    yaitu membangun ilmu pengetahuan dengan paradigma Islami yang

    mengacu pada al-Quran (epistemologi al-Quran).3

    Sains yang berkembang harus memiliki nilai-nilai spiritual, dengan

    memakai metode intuitif subjektif yang selama ini diremehkan dan

    diabaikan. Sebab, menurut aliran positivisme, idealisme, rasionalisme,

    intuitif subjektif itu tidak ilmiah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan

    menurut hukum-hukum logika sekuler. Para ilmuwan sekuler tetap

    bertahan pada rasional objektif, sebab ini dipandang paling ilmiah, di mana

    manusia sampai pada tahap berpikir positif yang tidak mungkin keliru

    menurut logika.4

    3 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Quran, (Bandung: Mizan, 1999),

    hlm. 108-111. 4 Ibid.

  • 84

    Para ilmuwan sekuler begitu gigih memegangi objektivitas sebagai

    penentu validitas kebenaran ilmu pengetahuan. Sikap ini untuk

    menghindari adanya pengaruh faktor-faktor luar, seperti; ideologi, tradisi,

    kepentingan tertentu maupun agama terhadap penarikan kesimpulan

    sebagai kebenaran pengetahuan. Sikap objektif ini sepintas meyakinkan

    tetapi ternyata menyisakan sejumlah permasalahan, antara lain: Pertama,

    faktor dari luar tersebut tidak selalu salah. Agama Islam misalnya justru

    menunjukkan kebenaran kepada manusia melalui al-Quran. Selama ini,

    kesalahan terjadi pada sikap dasar ilmuwan Barat itu, bahwa ajaran-ajaran

    agama (termasuk Islam) tidak bisa dibenarkan secara ilmiah. Pada

    gilirannya agama tidak pernah dipertimbangkan untuk memberikan

    masukan-masukan terhadap ilmu pengetahuan. Kedua, dalam sejarah ilmu

    pengetahuan ternyata kebenaran ilmiah yang dipandang objektif dan steril

    dari pengaruh-pengaruh luar ternyata seringkali digugurkan oleh kebenaran

    ilmiah yang juga objektif. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sesuatu

    yang objektif bisa bertentangan dengan sesuatu yang objektif lainnya

    secara berlawanan.

    Kelemahan sikap objektif inilah, pengetahuan Islam harus mampu

    menampilkan visi lain dalam pemikirannya dengan menghadirkan kekuatan

    subjektif yang berasal dari Tuhan untuk membimbing usaha memperoleh

    kebenaran ilmu pengetahuan. Sehingga mampu menunjukkan kebenaran

    yang bisa diamati, maupun yang tidak bisa diamati oleh indera manusia

    atau yang bisa dipikir maupun yang tidak bisa terpikirkan oleh rasio (akal)

    manusia. karena kekuatan subjektif ini memiliki wilayah jangkauan yang

    selama ini tidak terjangkau oleh potensi manusia. Ini berarti kekuatan

    subjektif tersebut jauh lebih tinggi potensinya dari pada kekuatan objektif

    manusia. Kekuatan subjektif inilah yang biasa disebut dengan sesuatu yang

    transcendental.

    Kritik bahwa yang transendental itu tak teramati dan tak terukur,

    perlu dijawab dengan pernyataan, bahwa kebenaran itu tidak terbatas pada

    yang empirik sensual, seperti dianut positivisme. Manusia adalah makhluk

  • 85

    yang lebih dari sekedar bersifat sensual; dia punya akal, punya hati nurani,

    dan punya iman.5 Karena dalam keimanan itu tersimpan kekuatan-kekuatan

    spiritual yang menakjubkan. Misal seseorang bisa memiliki kesadaran yang

    tinggi dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sangat berat, bahkan

    penuh resiko, karena dorongan potensi spiritual (iman) tersebut.6

    Akal juga terdapat kekuatan spiritual. Akal manusia mempunyai

    substansi spiritual yang sumber dan prinsipnya adalah Ilahi atau logos yang

    juga merupakan prinsip alam jagat macrocosmic dan merupakan sumber

    kitab suci, al-Quran seperti dipercayai oleh kaum Muslim, berada pada

    akal Ilahi itu. Akal manusia sebagai individu, alam jagat sebagai

    macrocosmic dan al-Quran mempunyai dasar atau sumber metafisika yang

    sama-sama memiliki pengaruh besar pada metodologi sains dalam Islam.

    Akal tersebut melakukan aktivitasnya yang disebut berpikir. Jika akal

    memiliki substansi spiritual, maka dalam berpikir tentu juga dianugerahi

    oleh kekuatan spiritual.7

    Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa sesungguhnya ilmu dan berpikir

    itu terjadi dengan sebab adanya kekuatan tertentu dalam diri manusia.

    Lantaran adanya ilmu dan berpikir itulah, maka dapat mengembangkan

    akal seseorang. Apa yang dikatakan Ibnu Khaldun dengan istilah kekuatan

    tertentu dalam diri manusia itu sebenarnya adalah kekuatan yang

    dianugerahkan atau kekuatan spiritual. Mestinya manusia menyadari dan

    berusaha menghadapkan diri dengan penuh ketundukan kepada Sang

    pemberi kekuatan tersebut (Tuhan), bukan malahan sebaliknya berusaha

    menghina Tuhan dengan modal kekuatan tersebut, seperti para ilmuwan

    dan filosof ateis Barat.8

    Berdasarkan realitas spiritual tersebut, tidak mengherankan, jika

    Ibrahim Madkour menuturkan, bahwa ada banyak filsafat yang

    5 Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin, 1998), hlm. 72. 6 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin,

    1992), hlm. 217-218. 7 Endang Saifudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987),

    hlm.149-154. 8 Ibid.

  • 86

    berlandaskan pada munajat spiritual dan hubungan dengan Allah, maka

    Plotinus dalam aliran Iskandariah berpendapat, bahwa ekstase dan emanasi

    adalah kebahagiaan tertinggi.9 Filosof yang menciptakan ajaran

    neoplatonisme yang juga guru dari Porphyrios ini ketika sedang ekstase

    bukan hanya sekedar berhubungan dengan Tuhan, melainkan lebih dari itu

    dia berusaha menyatu dengan Tuhan yang mirip atau mungkin sama

    dengan kasus ittihad dalam kehidupan tasawuf, sebagaimana yang pernah

    dialami Abu Yazid Al-Bustami, hulul, al-hallaj, Wahdatul Wujud, Ibn

    Arabi dan sebagainya. Penyatuan dengan Tuhan tersebut dirasakan

    melebihi segala pengetahuan.10 Sedangkan emanasi dari Plotinus ini

    memandang, bahwa semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan

    keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki

    terdapat yang satu, yaitu Allah. Teori emanasi ini kemudian berpengaruh

    dan diadaptasi oleh AI-Farabi dan Ibnu Sina di kalangan filosof Muslim.

    Pengetahuan dalam Islam perolehannya itu lebih didominasi melalui

    bantuan kekuatan spiritual, maka baik metode maupun objek pemikiran

    ilmu pengetahuan dalam Islam lebih luas dan lebih bervariasi, daripada

    yang dialami oleh sains modern Barat. Ilmu dalam Islam di samping tetap

    menggunakan metode yang biasa dipakai sains Barat meskipun tidak

    seluruhnya, juga memiliki metode sendiri yang tidak dimiliki oleh sains

    Barat. Demikian juga objek pemikirannya, di samping terhadap masalah

    yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia juga masalah yang tidak mampu

    dijangkau. Pada objek yang terakhir inilah peranan kekuatan spiritual

    sangat besar, karena akal manusia hanya mampu menerima terhadap

    ketentuan-ketentuan yang ada.

    Ilmu pengetahuan Islam senantiasa berupaya untuk menerapkan

    metode-metode yang berlainan sesuai dengan watak subjek yang dipelajari

    dan cara-cara memahami subjek tersebut. Para ilmuwan Muslim dalam

    mengembangkan beraneka ragam cabang pengetahuan telah menggunakan

    9 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan, terj. Yudian Wahyudi Asmin, (Jakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 26.

    10 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), hlm. 9.

  • 87

    setiap jalan pengetahuan yang terbuka bagi manusia, dari rasionalisasi dan

    interpretasi kitab suci hingga observasi dan eksperimentasi. Penggunaan

    metode yang beraneka ragam ini merupakan konsekuensi logis dari realitas

    yang dirangkul ilmu pengetahuan Islam. Berbeda dengan sains modern

    yang hanya membatasi ruang lingkup pada benda-benda yang bersifat

    inderawi (observable facts), ilmu pengetahuan Islam bekerja pada wilayah

    yang terpikirkan (conceivable area) dan wilayah yang tidak terpikirkan

    (unconceivable area).11 Pada wilayah yang takterpikirkan ini ilmu

    pengetahuan dalam Islam banyak diperoleh melalui metode-metode

    spiritual yang tidak pernah dipakai oleh sains modern. Menurut M. Riaz

    Kirmani, metode spiritual itu terdiri atas intuisi, inspirasi dan mimpi. Fakta

    bahwa inspirasi dan mimpi adalah sumber pengetahuan jelas dari al-

    Quran, seperti terkandung dalam Surat Al-Qasas 281: 7 dan Yusuf: 121:

    4.12 Maka metode intuisi, inspirasi dan mimpi adalah contoh metode

    spiritual, sedangkan sejarah, observasi, eksperimen, penalaran dan

    penyimpulan termasuk metode-metode ilmiah (non-Spiritual).

    Salah satu ciri utama ilmu pengetahuan Islam, menurut al-Quran

    adalah berdasarkan wahyu yang ditempatkan di atas rasio. Wahyu

    memperoleh kedudukan yang paling tinggi. Dalam upaya mengembangkan

    ilmu pengetahuan Islam, yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu

    Ilahi sebagai sumber kebenaran mutlak.13 Suatu kebenaran yang kokoh dan

    tidak tergoda dan terbantahkan sedikit pun oleh kebenaran yang lain.

    Wahyu Tuhan memberikan penyelesaian terakhir setelah akal tidak lagi

    berdaya memecahkan suatu persoalan, tetapi wahyu juga terkadang

    memberikan petunjuk awal dari suatu pencarian pengetahuan, sehingga

    para ilmuwan untuk melakukan penggalian maupun percobaan ilmiah.

    Ringkasnya wahyu menjadi tempat petunjuk dan konsultasi atau sandaran

    11 Fuad Nashori, Metode-Metode Perumusan dna Penelitian Psikologi Islam, dalam

    Rendra K (peny), Metodologi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 166. 12 Al-Quran, Juz 1-30. 13 Fuad Nashori, Ibid.

  • 88

    bagi ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga posisi wahyu paling

    terhormat di antara sumber-sumber pengetahuan yang ada.

    Penempatan wahyu pada posisi yang istimewa ini di samping,

    karena la adalah ajaran-ajaran Allah sebagai petunjuk kehidupan manusia,

    juga sebagai implikasinya wahyu yang mengandung bobot kebenaran

    paling tinggi dibanding dengan bobot kebenaran yang dicapai baik melalui

    akal (rasio) maupun indera (empirisme). Karena wahyu mencakup

    informasi yang tidak terjangkau oleh indera dan akal, sedangkan indera

    beraktifitas sebatas yang bisa dilihat, didengar, diraba, dicium dan dirasa.

    Di luar itu semua sudah tidak terjangkau lagi oleh indera. Demikian pula

    akal bekerja pada sesuatu yang bisa dinalar dan dipikirkan. Di luar itu akal

    juga tidak memiliki kemampuan. Padahal banyak kebenaran yang terdapat

    pada sesuatu yang berada di luar jangkauan indera maupun akal. Kebenaran

    ini hanya bisa diperoleh melalui wahyu. Dengan demikian jelas bahwa

    wahyu memiliki kedudukan yang paling tinggi sebagai sumber

    pengetahuan dibanding sumber-sumber pengetahuan lainnya.14

    Posisi demikian ini membawa konsekuensi, bahwa menurut

    pandangan al-Quran sumber pengetahuan, seperti indera dan akal harus

    tunduk pada wahyu. Cara untuk mengenal alam jagat yang menjadi

    tumpuhan perhatian pengetahuan atau yang disebut sains, adalah melalui

    aktualisasi semua kemungkinan dalam akal itu. Namun, aktualisasi itu

    hanya mungkin jika akal tunduk pada kitab suci. Oleh karena itu dipahami

    tazkiyah al-nafs (pembersihan jiwa) dalam Islam merupakan satu bagian

    integral metodologi untuk memperoleh ilmu. Mereka meyakini bahwa

    ajaran-ajaran al-Quran dengan melakukan tazkiyah al-nafs pada saat

    memperoleh ilmu atau pengetahuan pasti menghasilkan kebenaran yang

    lebih berkualitas, daripada kebenaran yang dicapai akal, karena

    pengetahuan yang diperolehnya tersebut di terima secara langsung dari

    Tuhan, baik melalui intuitif, ilham, maupun dalam mimpi karena

    kebersihan jiwanya.

    14 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UII Press, 1990), hlm. 14-16.

  • 89

    Nalar manusia tidak mempunyai posisi yang kokoh untuk

    dibandingkan dengan wahyu Tuhan, sebagai petunjuk bagi manusia yang

    kebenarannya tidak terbantahkan dalam sepanjang masa.15 Tetapi nalar

    manusia dan wahyu Tuhan masih memperoleh korelasi sifat dalam

    pandangan yang kita harus menerima fakta-fakta berikut sebagai benar dan

    mengandung semua kontroversi yang rumit:

    1. Wahyu Tuhan itu tidak dapat diterima, kecuali kalau akal kita menunjukkan pada intuisi atau keyakinan yang betul-betul bersifat ketuhanan dan benar.

    2. Wahyu Tuhan itu terdiri atas pembicaraan eksternal atau tulisan kata-kata yang selalu dikonversi ke dalam makna atau masuk ke dalam perasaan pendengar atau pembaca sebelum mereka dapat dipercaya atau ditaati.

    3. Wahyu memberi pandangan yang benar tentang alam manusia dan alam semesta, serta intelektual manusia dalam bentuk filsafat yang berusaha melakukan hal yang sama.16

    Dalam hal ini dapat diketahuai bahwa ada keterhubungan antara

    akal dan wahyu, hal ini hanya sebatas penjelas, akan tetapi pada taraf

    kebenaran, kebenaran wahyu yang transendental lebih tinggi karena

    mengandung ayat (bukti), isyarah, huddn (pedoman hidup), dan rahmah.17

    Kebenaran wahyu memiliki dua orientasi, yaitu orientasi horizontal

    (orientasi yang meletakkan kebenaran yang diperoleh manusia berkaitan

    dengan hubungan sesama manusia maupun alam pada umumnya), dan

    orientasi vertikal (orientasi dari suatu kebenaran yang diperoleh manusia

    dalam hubungannya dengan Allah). Semua kebenaran tersebut ada dalam

    wahyu, karena wahyu mewadahi berbagai dimensi kehidupan masyarakat

    secara komplek. Wahyu sering menyinggung pengalaman sehari-hari, ilmu

    pengetahuan, filsafat, dan sebagainya. Wahyu banyak memberikan pesan-

    pesan intelektual baik berkaitan dengan iman, ritual maupun hubungan

    sosial. Dalam wahyu terkandung inspirasi atau benih-benih ilmu

    15 Donald B. Calne, Batas Nalar; Rasionalitas dan Perilaku Manusia, (Jakarta:

    Gramedia, 2000), hlm. 7 16 Ibid. 17 Mustofa, Sejarah al-Quran, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hlm.29-31.

  • 90

    pendidikan, ilmu hukum, sosiologi, sejarah, ekonomi, theologi, biologi dan

    sebagainya.

    Al-Quran memang bukan buku ilmiah, melainkan buku petunjuk

    beragama, bermasyarakat dan berbangsa. Akan tetapi, al-Quran tampil

    memberikan inspirasi atau dorongan kepada para pemikir Muslim,

    khususnya untuk membangun ilmu pengetahuan berdasarkan ijtihad mereka

    sendiri. Al-Quran sengaja tidak memberikan rumus-rumus ilmu

    pengetahuan secara detail dan matang, agar mereka berupaya secara

    maksimal menggunakan akalnya dengan petunjuk al-Quran itu untuk

    menemukan pengetahuan yang selama ini belum pernah diungkap. Hanya

    saja inspirasi ilmiah yang ditunjukkan al-Quran itu mencakup berbagai

    bidang keilmuan.18

    Dalam al-Quran berisi semua berbagai pengetahuan baik tentang

    segala sesuatu yang tampak maupun yang terselubung (gaib) dan berisi

    landasan rasional untuk menemukan kebenaran. Untuk memahami pesan-

    pesan yang dikandungnya, Nabi Muhammadlah petunjuk jalannya. Dalam

    al-Quran kita menemukan dua macam realitas. Pertama, realitas yang

    dapat didekati dengan pengalaman empirik lewat eksperimen dan

    observasi. Domain ini terutama yang bertalian dengan sinyal-sinyal Al-

    Quran tentang ayat-ayat kauniyah. Sebagai domain yang dapat dijelaskan

    secara empirik, maka di sini penalaran mempunyai posisi yang sangat

    strategis dan menentukan. Kedua, realitas yang berada di luar jangkauan

    pengalaman inderawi. Ini adalah domain metafisik dan eskatologis. Untuk

    domain ini diperlukan pendekatan iman, karena ia merupakan keharusan

    metafisik (metaphysical necessity). Realitas tersebut dijadikan objek

    pemikiran, sehingga hasilnya memiliki karakter berbeda.19

    Pengetahuan yang ditunjukkan oleh wahyu sering dipahami sebagai

    kebenaran yang apriori. Kebenaran wahyu sebagai kebenaran yang

    diberikan (perennial truth) dan bukan kebenaran yang diupayakan

    18 Sukanto, al-Quran Sumber Inspirasi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1992), hlm. 9-14. 19 Ibid., hlm. 1-6.

  • 91

    (acquired truth) dengan menggunakan metode ilmiah, serta dapat

    dibuktikan secara empirik. Padahal sinyalemen firman (wahyu) sudah

    merupakan kesimpulan dari kebenaran yang empiris, dapat dibuktikan.20 Ini

    karena wahyu sering mengungkapkan jawaban atas sesuatu sedang

    prosesnya dibebankan pada para pemikir, ilmuwan atau filosof.

    Sebagaimana dalam Islam, dalam wahyu tidak ada usaha mencari

    kebenaran wahyu, tetapi yang ada adalah usaha mencari bukti kebenaran

    itu melalui proses tertentu yang harus ditempuh, karena wahyu itu sendiri

    mengandung kebenaran. Hal ini juga yang membedakan dengan tradisi

    sains Barat. Dalam sains Barat proses untuk mencapai kebenaran sudah

    ada, tetapi kebenarannya itu sendiri belum tercapai. Sebaliknya, dalam

    Islam kebenarannya sudah ada, tetapi proses untuk mencari bukti

    kebenarannya seringkali tidak dirumuskan.21

    Jika pernyataan tersebut menyatakan, bahwa wahyu memberikan

    kebenaran apriori ada benarnya dari sudut pengetahuan yang diperoleh

    manusia berdasarkan ketentuan-ketentuan Allah dalam kitab suci. Artinya,

    kita mengetahui kebenaran sesuatu berdasarkan informasi wahyu,

    walaupun tanpa penelitian atau penggalian lebih dahulu. Tetapi dari sudut

    pengalaman bisa juga sebaliknya, yaitu aposteriori artinya kita telah lama

    mengalami atau mengamalkan sesuatu ajaran Allah, tetapi belum tahu

    rahasia ajaran tersebut dan mungkin kita baru tahu ketentuan-ketentuan

    yang memerintahkan untuk mengamalkan sesuatu itu.

    Adapun metode pendekatan terhadap wahyu adalah bertitik tolak

    dari keyakinan terhadap kebenaran wahyu itu sendiri. Yang dicari bukan

    kebenaran baru sebagai alternatif, melainkan pemahaman terhadap

    kebenaran mutlak yang terkandung dalam wahyu tersebut. Dengan

    menggunakan kemampuan berpikir, manusia diajak untuk mencari

    kebenaran yang diperkirakan dapat mendekati kebenaran yang mutlak

    tersebut. Dengan demikian dalam pelaksanaannya, pendekatan terhadap

    20 Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, (Jakarta: PT. Reneka Cipta, 1992), hlm. 4-10. 21 Ibid.

  • 92

    wahyu ternyata tetap menggunakan proses berpikir, meskipun sifatnya

    komplementer untuk mencari bukti kebenaran sesuai dengan kandungan

    wahyu tersebut. Pada tahapan hasil, pendekatan wahyu langsung

    menunjukkan kebenaran tanpa keterlibatan proses berpikir, tetapi pada

    tahapan proses untuk membuktikan kebenaran, pendekatan ini tetap harus

    menggunakan proses berpikir rasional.

    Dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan tidak hanya disandarkan

    pada sesuatu yang rasional dan empirik semata. Islam menyediakan dirinya

    melalui wahyu, Al-Quran dan al-Sunnah, untuk dijadikan acuan dalam

    mencari, memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena

    itu, Islam tidak hanya merupakan panduan atau petunjuk praktis bagi kaum

    Muslim dalam menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji dart ibadah-

    ibadah mahdah lainnya. Lebih dari itu semua, Islam melalui wahyu Tuhan

    dapat dan seharusnya diperankan dalam mewarnai ilmu pengetahuan. Islam

    membawa informasi keilmuan dalam jumlah yang banyak dan dapat

    dijadikan, baik sebagai inspirasi maupun bahan bagi ilmu pengetahuan.

    Apalagi banyak ayat Al-Quran yang menyinggung persoalan alam semesta

    beserta isinya untuk diamati secara mendalam. Dari pengamatan itu

    diharapkan untuk bisa diperoleh serangkaian pengetahuan.22

    Agama memiliki peran dalam memecahkan ilmu pengetahuan.

    Beberapa peluang diberikan oleh agama, dan dapat dimanfaatkan oleh ilmu

    sosial, yakni dengan meletakkan konsep normatif agama sebagai dasar

    perilaku intelektual, dasar bagi epistemologi dan aksiologi ilmu, dan

    orientasi pengembangan ilmu (dari proses sampai produk). Melalui agama

    seseorang ilmuwan dapat menyandarkan aktivitas atau tindakan

    intelektualnya agar tetap terbimbing ke arah yang benar, dapat melakukan

    penggalian pengetahuan, dapat memperoleh nilai-nilai yang dapat dijadikan

    pertimbangan dan pendampingan dalam kerja ilmiahnya, dan dapat

    mengenali seluk-beluk pembentukan ilmu pengetahuan. Pada proses ilmu

    ini agaknya sulit direalisasikan, karena biasanya ketentuan wahyu bersifat

    22 Ibid.,

  • 93

    normatif, bukan teoritis-konseptual. Namun, dalam beberapa contoh

    mungkin saja terdapat proses pembelajaran bagi kaum Muslim tentang

    bagaimana cara mengembangkan ilmu.23

    Dalam kehidupan masyarakat modern seharusnya diperkuat upaya

    memperoleh kebenaran agama dan akal agar ada keseimbangan. Berpikir

    filsafat dan berpikir ilmiah tidak boleh dibuang dalam kehidupan

    masyarakat modern. Akan tetapi manusia juga tidak boleh meninggalkan

    kebenaran agama yang datangnya dari Allah Swt. sebagai kebenaran

    mutlak yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Keseimbangan ini dalam

    pandangan Islam sangat penting agar tidak terjadi kepincangan-

    kepincangan. Keseimbangan ini juga dapat menjauhkan pandangan dan

    sikap yang ekstrem ke salah satu pihak dalam kehidupan masyarakat.

    Memang Islam memiliki konsep yang dapat diandalkan mengenai

    hubungan harmonis antara wahyu (agama) dan akal.

    Karakter ilmu dalam Islam yang lain adalah didasarkan hubungan

    yang harmonis antara wahyu dan akal. Keduanya tidak dipertentangkan,

    karena terdapat titik temu. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya

    diformulasikan dan dibangun melalui akal semata, tetapi juga melalui

    wahyu. Akal berusaha bekerja maksimal untuk menemukan dan

    mengembangkan ilmu, sedang wahyu datang memberikan bimbingan serta

    petunjuk yang harus dilalui akal.24 Maka ilmu dalam Islam memiliki

    sumber yang lengkap apalagi ketika dibandingkan dengan sains Barat.

    Atas dasar pertimbangan inilah, filsafat dan agama menjadi harapan

    dan aspirasi hampir seluruh filosof Muslim. Karena adanya konsep yang

    menggambarkan adanya korelasi antara wahyu dan akal, atau antara agama

    dengan filsafat (ilmu). Konsep ini memiliki makna yang signifikan

    terutama untuk mempertegas, bahwa ilmu dalam Islam memiliki nilai-nilai

    transcendental, yakni suatu nilai yang paling tinggi derajatnya.25 Di

    23 HAMKA, Filsafat Ketuhanan, (Surabaya: Penerbit Karunia, t.th), 37-40 24 Ibid., hlm. 25-26. 25 Poerwantana, et, all, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV. Rosda, 1988), hlm.

    110-114.

  • 94

    samping itu juga dapat mempertegas, bahwa ilmu dalam Islam tidak

    mengenal pertentangan antara wahyu dengan akal.

    Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Kindi seorang filosof Islam,

    yang pertama kali menyelaraskan antara agama dan filsafat. Dia melicinkan

    jalan bagi Al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd.26 Usaha penyelarasan Al-

    Kindi ini berperan mengembangkan filsafat sinkretis atau sinkritisme yang

    memang memiliki keistimewaan karakter dari sistem yang dimiliki hampir

    seluruh filosof Muslim. Mulai dari Al-Kindi inilah mereka berusaha

    mengusahakan persesuaian antara agama dan filsafat. Mereka mengajukan

    bentuk akidah melalui kesesuaian keduanya.27 Usaha penyelarasan agama

    dan filsafat yang dirintis Al-Kindi tersebut tidaklah sia-sia, karena

    diteruskan oleh filosof Muslim berikutnya, seperti Ibn Rusyd. Melalui

    penafsiran secara rasional, dia mewarnai keselarasan antara agama dan

    filsafat. Tradisi pemikiran yang senantiasa menyelaraskan agama dengan

    filsafat (ilmu) atau wahyu dengan akal ini terus berlanjut hingga

    perkembangan yang terjadi paling akhir sekarang ini di kalangan para

    filosof maupun ilmuwan Muslim. Berdasarkan pengamatan mereka

    terhadap fungsi wahyu dan akal, maka mereka meyakini sepenuhnya,

    bahwa ada titik pertemuan antara keduanya. Keyakinan ini tidak

    tergoyahkan sedikit pun mengingat telah jelas fungsi dan peranan masing-

    masing yang manfaatnya dapat dirasakan bersama. Akal dapat menemukan

    kebenaran, apalagi wahyu justru memberikan kebenaran itu tanpa upaya

    penelusuran. Sayang sekali Ibn Rusyd gagal menanamkan pengaruhnya

    tentang keselarasan antara wahyu dan akal di Barat.

    Tradisi pemikiran semacam ini memang tidak biasa terjadi di

    kalangan para ilmuwan pada umumnya, terutama para ilmuwan Barat.

    Mereka dapat menerima, bahkan menerapkan, bahwa akal sebagai alat

    untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan. Namun, mereka menolak

    wahyu sebagai alat yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah.

    26 Ibid., hlm. 27 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 55-56.

  • 95

    Maka di kalangan mereka terjadi dikotomi secara tajam antara wahyu dan

    akal. Bagi mereka wahyu terlepas dari akal, sedangkan akal sendiri mereka

    yakini tidak memiliki hubungan sama sekali dengan wahyu. Keduanya

    bergerak dalam wilayah yang berbeda, sehingga tidak perlu disatukan.

    Wahyu bergerak pada wilayahnya dan begitu pula hal yang sama dialami

    oleh akal. Jadi, keduanya praktis terputus satu sama lain yang tidak bisa

    disatukan.

    Dalam kenyataannya, para ilmuwan mengingkari pasangan ilmu dan

    agama. Mereka mengambil pesan agama dengan bahasa ilmu. Mereka

    hidup dalam keterpecahan sepanjang waktu. Mereka memisahkan bidang

    agama dan bidang ilmu, padahal bidang itu pada dasarnya menyeluruh.

    Maka oleh para ilmuwan adalah perlawanan antara akal dan agama,

    kemudian mereka menciptakan perlawanan antara akal dan perolehan untuk

    menjauhkan penglihatan menyeluruh clan hanya berkutat pada bagian-

    bagian. Mereka kurang menyadari, bahwa sesungguhnya ilmu tanpa

    didampingi agama akan menyimpang dari akidah yang benar atau

    kebablasan, seperti kecondongan mengagungkan akal, sedangkan agama

    tanpa didampingi ilmu akan dirasakan sebagai doktrin-doktrin semata yang

    membelenggu penalaran dan pemikiran seseorang, karena tidak ada

    penjelasan-penjelasan yang memadai dari agama, yang ada hanya

    ketentuan-ketentuan normatif.

    Mungkin lantaran pengaruh sikap ilmuwan tersebut, hingga

    sekarang masih terkesan adanya pertentangan antara agama dan ilmu.

    Antara agama clan ilmu pengetahuan masih dirasakan adanya hubungan

    yang belum serasi. Persoalannya adalah sejauh mana agama dapat

    dijangkau oleh jaringan komunikasi ilmiah. Ini menjadi masalah, karena

    dalam bidang agama terdapat sikap dogmatis, sedang dalam bidang ilmu

    terdapat sikap rasional dan terbuka. Antara agama dan ilmu Pengetahuan

    memang terdapat unsur-unsur yang saling bertentangan. Ini yang tampak

    dari luar. Namun sebenarnya, jika diamati secara mendasar dalam kondisi

    tertentu bisa berkebalikan; dalam ilmu ternyata -terdapat banyak dogma,

  • 96

    sedangkan dalam agama masih terdapat sikap rasional dan inklusif. Hanya

    saja pandangan dan kesan secara umum memang masih mempertentangkan

    antara agama dan ilmu pengetahuan pertentangan ini dapat diungkapkan

    secara diantaranya: Kalau dalam bidang agama terdapat sifat statis, di

    dalam bidang ilmiah terdapat sikap dinamis, dalam agama itu terdapat

    semacam sikap yang tertutup, sedangkan bidang ilmiah sangat terbuka,

    kalau dalam agama terdapat sikap emosional sedang dalam bidang ilmiah

    terdapat sikap rasional dan sebagainya.

    Disamping karakter-karakter tersebut di atas pengetahuan Islam itu

    memiliki beberapa orientasi yang dijadikan sebagai tujuan khusus dan

    merupakan sebagai bentuk cirikas filsafat pengetahuan Islam. Adapun ciri-

    ciri tersebut yaitu:

    A. Memiliki Orientasi Teosentris

    Berpijak dari suatu pandangan, mengatakan bahwa segala ilmu itu

    berasal dari Allah, ini merupakan salah satu perbedaan mendasar antara ilmu

    dengan sains, maka implikasinya berbeda sekali dengan sains, ilmu

    pengetahuan dalam Islam memiliki perhatian yang sangat besar kepada

    Allah. Artinya ilmu tersebut mengemban nilai-nilai ketuhanan, sebagai

    nilai yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk.

    Sebaliknya, ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran

    Allah. Jika sains Barat tidak memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka

    ilmu dalam Islam selalu diorientasikan kepada Allah untuk mencapai

    kebahagiaan hakiki.

    Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak hanya semata-mata

    berupaya mencapai kemudahan-kemudahan atau kesejahteraan duniawi,

    tetapi juga kebahagiaan ukhrawi dengan menjadikannya sebagai sarana

    dalam melakukan ibadah. Mahdi Ghulsvani menegaskan, Setiap ilmu

    pengetahuan yang kita pelajari adalah merupakan suatu alat untuk

    mencapai kedekatan dengan Tuhan, dan tidak mensakralkan suatu ilmu

    pengetahuan yang diperolehnya, karena suatu pengetahuan yang

  • 97

    diperolehnya tidak selamanya bertahan terhadap apa yang telah diyakini

    kebenarannya, dan suatu saat dilemahkan oleh teori baru yang lebih

    dipercaya, maka disinilah kita tidak boleh mensakralkan ilmu, apalagi ilmu

    itu diperoleh dengan cara pengindraan dan menalar.

    Apabila ilmu diperankan untuk mengantarkan kedekatan kepada

    Allah memang seharusnya, tetapi tidak perlu dipandang sakral, karena

    pandangan ini terlalu jauh dan meanbahayakan. Kita harus menyadari

    bahwa tidak semua hal yang mampu mendekatkan kepada Allah bisa

    disebut sakral.

    Pada tataran penerapan apabila diproyeksikan, bahwa ilmu untuk

    ilmu maka tidak memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitar.

    Selanjutnya ilmu hanya berkaitan dengan syarat-syarat formal

    pembentukannya dan prosedur pemakaiannya. Berbeda halnya jika

    diproyeksikan ilmu untuk masyarakat, tentu ilmu berupaya mengemban

    nilai-nilai pengabdian kepada Allah. Dalam Islam sebenarnya ilmu bukan

    hanya untuk ilmu, melainkan yang lebih penting justru untuk kesejahteraan

    masyarakat. Dengan begitu, ilmu bisa secara tidak langsung berusaha

    mendekatkan manusia terhadap Tuhannya. Muhammad Imarah

    menyatakan, bahwa ilmu dalam Islam menjadi media menumbuhkan taqwa

    kepada Allah. Hal ini berbeda dengan metode dalam ilmu-ilmu lain yang

    justru menyebabkan para ilmuwan menghancurkan rasa ketuhanan, bahkan

    dengan lantang mereka mengatakan Tuhan telah mati, Ilmu dalam Islam

    berupaya membersihkan sikap arogan itu.

    Dalam konsepsi keilmuwan Islam, hendaknya dapat dibangun

    pengertian, bahwa ilmuwan Islam adalah ilmuwan yang beriman. Dia akan

    memandang kenyataan empirik tidak terlepas dari sesuatu yang terletak

    dalam alam metafisik. Identitas keagamaan yang melekat pada ilmuwan

    Islam dalam mekanisme kerjanya tidak sekadar sebagai sesuatu yang

    berada di luar sama sekali. Identitas keagamaan itu dalam realitasnya turut

    serta mempengaruhi rangkaian proses pola-pola berpikirnya dalam upaya

    mendapatkan pengetahuan. Di sini iman memainkan peranan yang penting

  • 98

    sekali. Sidi Gazalba menuturkan, bahwa dalam ijtihad terdapat dialektika

    yang dikawal oleh ilmu mantik dan dikendalikan oleh iman. Pembentukan

    pengertian, putusan dan penuturan dalam tahap-tahap dialektika itu

    dikerjakan oleh ilmu mantik. Sedangkan gerak dialektika itu diarahkan oleh

    iman.

    Dalam filsafat perennial, berbeda dari filsafat rasionalisme murni,

    kepercayaan, pengetahuan, dan kecintaan terhadap Tuhan merupakan

    pondasi bagi pengembangan epistemologinya. Betapa pun liberalnya

    pemikiran filsafat ketika mengungkapkan ide-ide dan gagasan-gagasan

    filosofis, dia tidak akan dengan sengaja dan berani melawan ketentuan

    Tuhan secara prinsipil. Artinya pengembaraan nalarnya akan senantiasa

    terkontrol oleh ajaran Tuhan.

    Ilmu dalam Islam di samping berdasarkan pada fakta empiris dan

    akal, juga berdasarkan wahyu (agama). Wahyu mencakup berbagai dimensi

    persoalan; mulai dari permasalahan yang berkaitan dengan pengalaman

    atau pengetahuan sehari-hari (knowledge), ilmu pengetahuan (science),

    filsafat yang mengandalkan potensi akal, dan persoalan-persoalan supra

    rasional (di atas jangkauan akal). Pada persoalan yang terakhir ini, adalah

    merupakan wilayah jelajah agama dan di luar jangkauan ilmu maupun

    filsafat. Ketika mengemukakan permasalahan yang berkait dengan dimensi

    spiritual atau transcendental, maka ilmu dalam Islam juga menggarap

    wilayah di luar jelajah ilmu dan filsafat tersebut.

    Mattulada menegaskan, Sikap ilmiah seorang ilmuwan yang beriman,

    adalah kesadaran yang mendalam, bahwa pada batas terakhir kemampuan

    ilmu pengetahuan untuk memecahkan sesuatu, maka disitulah bermula ilmu

    yang berpangkal pada iman Islam, diharapkan mampu memberikan jawaban.

    Dengan demikian, ilmu dalam Islam berlapis ganda; lapis indera, lapis akal,

    dan lapis iman. Oleh karena itulah ilmu dalam Islam memiliki kandungan

    informasi dan pembahasan yang jauh lebih mendalam daripada sains, karena

    ilmu dalam Islam di samping melalui proses yang biasa dilalui oleh sains juga

    mendapatkan bahan-bahan informasi dari Tuhan melalui wahyu. Dengan kata

  • 99

    lain, ilmu dalam Islam memiliki sesuatu yang dimiliki dan sesuatu yang tidak

    dimiliki oleh sains. Di sinilah letak kelebihan atau keunggulan ilmu dalam

    Islam dibanding sains.28

    Adapun keunggulan itu terletak pada faktor transendental. Sains Barat

    yang masih ditandai oleh sikap-sikap intelektual dan intelektualistis, tidak

    menghargai transendensi. Sebaliknya dalam banyak kebudayaan Timur,

    transendensi tidak saja diakui, tetapi bahkan dianggap sebagai sesuatu yang

    pencapaiannya perlu diusahakan oleh setiap insan. Dalam konteks Islam,

    secara epistemologis, sumber segala ilmu itu transendental. Untuk menjaga

    pikiran, kearifan dan kesucian ilmu-ilmu yang intransendental perlu

    dikonsultasikan kepada yang transendental. Sebaliknya kita menggunakan

    yang transendental secara reflektif, suatu upaya mondar-mandir antara

    induksi-deduksi hampir setiap saat. Upaya ini tidak berdampak pada

    perubahan yang intransendental menjadi transendental, tetapi dengan

    harapan bahwa yang intransendental itu sedapat mungkin terilhami atau

    tersinari oleh nilai-nilai transendental, sehingga perkembangannya masih

    dalam kontrol pesan-pesan Tuhan.

    Ilmu pengetahuan dalam Islam bersifat universal yang menyatu

    dengan nilai-nilai Ilahiyah atau Ketuhanan. Maka keberagamaan atau

    keimanan seseorang dalam ajaran Islam meliputi pernyataan tiga komponen

    yang ada pada diri manusia, yakni hati nurani atau kalbu (tasdiq bi al-

    qalb), lisan (iqrar bi al-lisan), dan perbuatan (`alnal bi al-arkan) yang

    saling melengkapi satu sama lainnya. Umat Islam patut bersyukur, karena

    ada tempat konsultasi yang lebih, daripada kebenaran etik insanivah,

    yaitu kebenaran integratif ilahiyah. Hal ini disebut kebenaran integratif

    ilahiyah, karena kebenaran yang terkandung dalam Al-Quran dan hadits

    memberikan kepada manusia berupa ayat, isyarat, hudan dan rahmah.

    Kebenaran ilahiyah merupakan kebenaran tertinggi, di atas

    kebenaran tersebut tidak ada lagi kebenaran. Kebenaran inderawi,

    28 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga

    Metode Kritik, (Jakarta, Erlanga, t.th), hlm. 156

  • 100

    kebenaran akal (i]mu dan filsafat) semuanya merupakan kebenaran nisbi.

    Tapi kebenaran ilahiyah merupakan kebenaran mutlak atau kebenaran

    hakiki. Agar ilmu dan filsafat tidak terjebak dalam kesalahan yang fatal

    perlu menyandarkan kepada kebenaran ilahiyah.

    Kebenaran ilahiyah dalam tradisi keilmuwan Islam selalu

    ditempatkan pada posisi yang tertinggi, karena berfungsi memantau

    terhadap kebenaran-kebenaran di bawahnya, seperti kebenaran yang

    dicapai indera maupun akal. Dengan indera dan akal para ilmuwan

    Muslim melakukan kegiatan ilmiahnya, sedang untuk menentukan

    persoalan-persoalan yang pelik yang sekiranya tidak terjangkau oleh

    indera dan akal, biasanya mereka langsung merujuk pada kebenaran

    ilahiyah yang terungkap dalam wahyu (Al-Quran dan al-Hadits). Metode

    semacam ini telah dimulai dari generasi paling awal hingga generasi

    terakhir ini. Memang seharusnya kebenaran ilahiyah selalu menjadi

    sandaran bagi segala ilmu pengetahuan ilmiah. Dalam istilah lain

    Ziauddin Sardar menyebut kebenaran ilahiyah itu dengan istilah Kerangka

    Pedoman Mutlak. Dalam hal ini Ziauddin Sardar, mengemukakan bahwa

    semua teori pengetahuan yang tidak mengandung Kerangka Pedoman

    Mutlak hanya dapat menjurus kepada pertentangan dan kekacauan; tidak

    ada kebenaran-kebenaran objektif yang dapat ditemukan lewat akal

    semata.29

    Kebenaran ilahiyah atau menurut Ziauddin Sardar dengan istilah

    Kerangka pedoman Mutlak itu secara jelas dan tertulis ditemukan dalam

    Al-Quran. Para ilmuwan Muslim selalu merujuk pada al-Quran itu.

    Menurut Hamid Hasan Bilgrami dan Sayid All Asyraf, Al-Quran

    merupakan petunjuk jalan bagi cendekiawan Muslim dalam hal cara

    berpikir, terutama mengenai tiga aspek pokok ilmu pengetahuan: aspek

    etik, termasuk aspek-aspek perseptual dalam ilmu pengetahuan; selanjutnya

    mengandung aspek-aspek historis dan psikologik dalam ilmu pengetahuan;

    29 Ibid., 157

  • 101

    dan aspek-aspek observatif dan eksperirnental dalam ilmu pengetahuan.30

    Ketiga cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan itu menurut Muhammad

    Iqbal merupakan satu-satunya alat untuk menempatkan prinsip tauhid

    sebagai faktor yang berperan dalam kehidupan intelektual dan emosional

    manusia, yang merupakan landasan spiritual Islam tertinggi. Oleh karena

    itu, tauhid lebih jauh harus diperankan dalam mengendalikan, mengontrol

    dan mengarahkan kecenderungankecenderungan nalar manusia yang

    selama ini condong bebas dan tak rnau terikat oleh siapa pun, yang hanya

    mengandalkan pada kekuatan akal (rasio) dan indranya.

    B. Terikat Nilai

    Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pengetahuan Islam itu

    dipengaruhi oleh dimensi spiritual, wahyu, intuisi, dan memiliki orientasi

    teosentris, konsekuensi berikutnya sebagai salah satu ciri ilmu tersebut

    adalah terikat nilai. Ini sangat membedakan dengan sains Barat karena

    semangat tradisi ilmiah Barat senantiasa berusaha menegaskan, bahwa ilmu

    itu netral atau bebas nilai, tidak boleh terikat nilai tertentu. Bahkan

    menurut pandangan Barat, salah satu syarat keilmiahan adalah bersifat

    objektif. Sifat objektif ini berarti menyatakan fakta apa adanya dan tidak

    boleh dipengaruhi oleh fakta apa pun.

    Pengetahuan tidaklah netral dan memang dapat dimasuki suatu sifat

    dan muatan yang ditopangi sebagai pengetahuan. Menurut epistemologi

    Kuhn, sebuah sains yang objektif, bebas nilai dan netral, tidak mungkin

    akan ada. Demikian juga, konsep bebas nilai dalam penelitian ilmiah, yang

    diagung-agungkan oleh Max Weber, tidak lebih, daripada mitos, hanyalah

    impian yang indah. Ketika seseorang ilmuwan merumuskan teori-teori

    sebagai hasil dari penelitiannya tidak mungkin secara utuh disampaikan

    sesuatu yang benar-benar netral dan bebas nilai.

    Ada banyak faktor yang turut mempengaruhi rumusan teori tersebut,

    sebab para ilmuwan sendiri tidak mungkin hidup di alam terlanjang. Profil

    30 Ibid., 158

  • 102

    seorang ilmuwan itu akan dibentuk oleh pengaruh pengaruh yang diserap

    selama hidupnya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa berbentuk agama,

    ideologi, faham, latar belakang pendidikan, profesi, teori-teori pengetahuan

    yang dikuasai, paradigma berpikir dan sebagai nya. Pengaruh-pengaruh

    tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik disengaja

    maupun kebetulan akan turut mewarnai hasil kerja ilmiah seseorang

    ilmuwan termasuk menyangkut teori-teori ilmiah yang dirumuskannya. Dia

    tidak bisa menghindar dari pengaruh-pengaruh itu, karena seringkali

    muncul di luar kesadaran dirinya. Contoh yang paling sederhana, jika

    seorang ilmuwan dalam mengungkapkan teori-teori ilmiah dengan

    menggunakan pola berpikir atau pendekatan tertentu dari ilmuwan lain,

    padahal pola berpikir dan pendekatan itu mengandung kelemahan-

    kelemahan, sementara itu ilmuwan lainnya lagi memiliki pola pikir dan

    pendekatan yang berbeda sama sekali. Ini berarti pola pikir dan pendekatan

    dari ilmuwan lain yang dipakai itulah yang mempengaruhi jalan

    pikirannya, dan tentu juga berpengaruh sampai pada hasil pemikirannya

    yang disebut bebas nilai itu.

    Para ilmuwan tidak mungkin mampu membersihkan dirinya sendiri

    dari pengaruh-pengaruh tersebut ketika memproses suatu ilmu

    pengetahuan. Apalagi jika yang menjadi objek penelitian berupa pelaku,

    pemeran, atau subjek, seperti manusia, tentu para ilmuwan tidak akan

    mampu berdiri di tengah-tengah tanpa adanya keterpengaruhan. Oleh

    karena itu, Hidayat Nataatmadja menegaskan, bahwa pendekatan objektif

    mustahil bisa dipakai untuk memperoleh ilmu yang benar mengenai

    manusia sebagai subjek. Untuk mengenal manusia sebagai subjek tidak ada

    jalan lain, kecuali menggunakan ilmu supra-subjektif, ilmu mengenai

    subjek.31 Antara karakter sasaran penelitian untuk dikenali secara cukup

    mendalam dengan sarana yang dipakai mengenali terdapat kesamaan,

    31 Hidayat Naatmadja, Membangun Ilmu Pengetahuan dengan Ideologi, (Bandung: Iqra,

    1983), hlm. 19.

  • 103

    sehingga relatif lebih memudahkan proses pengenalan, daripada karakter

    antara keduanya kontras.

    Hidayat Nataatmadja memberi kepastian bahwa ilmu supra-subjektif

    ini memiliki validiras yang lebih tinggi dibanding ilmu-ilmu objektif. Ilmu

    supra-subjektif dihasilkan melalui pertimbangan yang lebih mendalam

    (menyangkut fakta dan di balik fakta), daripada ilmu-ilmu objektif yang

    hanya mendasarkan pada fakta empiris. Berdasarkan alur pemikiran

    tersebut ilmu pengetahuan yang selalu bersifat netral dan tidak memihak

    dalam masalah-masalah kemanusiaan dan lingkungan mulai digugat oleh

    anak cucu renaissance dan Aufklarung sendiri. Teori ilmu objektif, yang

    dikembangkan oleh orang-orang, seperti Descartes dari masa lampau dan

    Popper dari masa sekarang, terus-menerus digugat. Oleh karena itu, klaim

    ilmu pengetahuan yang netral bebas nilai dan objektif terpaksa

    menyebabkan manusia modern lama melihat manusia dan lingkungan

    sebagai objek semata. Suatu objek yang bisa dimanipulasi kembali dengan

    rekayasa mereka, sehingga orang mulai tertarik kembali kepada etik, yaitu

    etika pada aspek praktisnya, bukan pada aspek teorinya.32

    Ketika sebagai nilai dapat memberikan penghargaan yang tinggi

    kepada manusia dan lingkungannya dengan peranannya bukan saja sebagai

    objek, melainkan yang lebih penting justru sebagai subjek. ketika ini tidak

    diperhatikan dalam tradisi keilmuwan Barat, sehingga Barat mampu

    mencapai kemajuan sains dan teknologi, namun kemajuan tersebut

    sesungguhnya semu dan mengalami kepincangan mengingat dalam waktu

    yang bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. Orang-

    orang Barat merasa resah terhadap dampak negatif dari serangkaian

    kemajuan yang berhasil dicapai. Kondisi demikian secara langsung maupun

    tidak langsung adalah akibat dari sains mereka yang tidak dibangun di atas

    landasan etika. Jika saja ketika dijadikan landasan bagi bangunan sains

    mereka, setidaknya mampu mengendalikan, bahkan mencegah timbulnva

    krisis moralitas tersebut.

    32 Ibid.,hlm.20-21.

  • 104

    Berbeda dengan tradisi Barat tersebut, tradisi keilmuwan Islam

    sejak dini memiliki perhatian besar pada mereka. Pada prinsipnya ketika

    diyakini memiliki peranan yang besar dalam menuntun perkembangan

    pengetahuan dan respons masyarakat, sehingga pertimbangan-

    pertimbangan aksiologis selalu ditempatkan menyertai pertimbangan-

    pertimbangan episternologis, agar di samping mampu mencapai kemajuan

    juga mampu mempertahankan keutuhan moralitas yang positif. A. Rashid

    Moten menegaskan, dalam Islam ilmu harus didasarkan nilai dan harus

    memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk

    kepentingannya sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya

    tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini. Sains-sains sosial dan

    humanika jelas relevan terhadap nilai-nilai, sebaliknya nilai-nilai adalah

    relevan dengan mereka. Ini tidak berarti bahwa sains-sains tersebut adalah

    subjektif, walaupun subjektivisme seringkali masuk ke dalamnya, kadang-

    kadang dengan jelas dapat dirasakan. Jelasnya, sains yang berorientasi nilai

    tidak berarti subjektif, asal nilai-nilai tersebut tidak diam semata-mata

    sebagai asumsi-asumsi, tetapi diobjektifkan.

    Pentingnya nilai mendasari ilmu tersebut pada bagian lain juga

    untuk kesejahteraan dan kekuatan manusia. Hanya dengan menempatkan

    manusia sebagai subjek, maka manusia dapat memanfaatkan ilmu secara

    optimal. Bila manusia ditempatkan sebagai objek maka dia tidak akan

    mampu berperan secara leluasa dan derajatnya tidak lagi terhormat, seperti

    dalam persepsi ilmuwan Barat. Barangkali tidak banyak ilmuwan Barat,

    seperti Francis Bacon. Dia menyarankan, pengetahuan itu harus dapat

    mendatangkan keuntungan bagi manusia, artinya la harus dapat dipakai

    untuk meningkatkan kemampuan dan memperbesar kekuasaan manusia.

    Francis Bacon seperti berupaya untuk mengingatkan para ilmuwan agar

    bersikap memandang ilmu untuk kepentingan manusia, dan peringatan ini

    agaknya untuk meluruskan fenomena yang sedang berkembang di Barat,

    bahwa justru sebaliknya manusia untuk kepentingan ilmu, sehingga hanya

    dipandang sebagai objek bagi proses kegiatan ilmiah. Memang banyak

  • 105

    disiplin ilmu yang objek materialnya adalah manusia, tetapi secara

    keseluruhan manusia harus diperankan sebagai subjek dengan pengertian,

    bahwa dialah yang memanfaatkan ilmu.

    Maka dari itu, ilmu seharusnya selalu didasari nilai agar selamat

    dari penyelewengan. Namun, ada juga pandangan yang moderat dengan

    mengadakan pembagian antara wilayah yang bebas nilai dan penuh nilai.

    Jujun S. Suriasumantri menjelaskan, bahwa ontologi dan epistemologi

    keilmuwan mempelajari sains sehingga mengkaji alam sebagaimana adanya

    yang berisi nilai. 33 Tetapi bagaimana dan untuk apa ilmu itu dipergunakan.

    Ini berorientasi kepada das sollen (bagaimana seharusnya) yang sarat

    dengan nilai yang bersifat etis. Sedangkan Asghar All Engineer menilai,

    Aql bebas nilai, sebaliknya `ilm dan hikmah dibebankan dengan nilai-nilai

    positif, nilai-nilai yang menggerakkan keinginan emosi untuk maju dan

    berubah secara sehat untuk mengurangi tingkat kejahatan di dunia ini.

    Persoalannya adalah jika akal bebas nilai sedang ilmu sarat nilai, kemudian

    bagaimana ketika ilmu itu dihasilkan oleh akal. Apakah ilmu tersebut tetap

    sarat nilai atau berubah menjadi bebas nilai mengikuti akal. Tampaknya

    pembagian wilayah yang diutarakan Asghar Ali Engineer tersebut agak

    mudah dipahami, jika dimaknai bahwa ketika ilmu tersebut dirumuskan,

    maka ada akses bagi pertimbangan-pertimbangan nilai. Sementara itu akal

    berpikir apa adanya sesuai dengan aslinya.34

    Kitab suci Al-Quran yang dijadikan sebagai landasan berpikir dan

    pedoman hidup umat Islam terdapat banyak macam nilai, terutama jika

    diamati, bahwa ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya kebanyakan

    bersifat normatif sesuai dengan kapasitasnya sebagai kitab petunjuk, bukan

    kitab ilmiah, meskipun ada banyak pernyataannya yang memberikan

    informasi dan sekaligus inspirasi untuk membangun ilmu pengetahuan.

    Sebagai kitab petunjuk, Al-Quran tentu penuh dengan nilai-nilai.

    33 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka

    Sinar Harapan, 1990), hlm. 105-108. 34 Inu Kencana Syafiie, Al-Quran dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta: 1996), hlm.

    14-23 .

  • 106

    Demikian juga yang terjadi pada hadist shahih. Mengenai nilai ini dalam

    seminar di Stockholm pada 1981 tentang Pengetahuan dan Nilai

    diidentifikasi 10 konsep yang menggeneralisasikan nilai-nilai dasar kultur

    Islam: tauhid, khilafah, ibadah, ilm, halal dan haram, `adl, zulm, istislah dan

    diya. Nilai-nilai in masih bisa diperdalam lagi secara detail dan

    dikembangkan secara spesifik, jika diinginkan untuk menggalinya. Dengan

    kata lain bahwa kitab suci sangat terikat nilai karena kitab suci adalah

    pedoman hidup manusia.