alih kode dan campur kode dalam interaksi jual beli di ... · interaksi jual beli di pasar...
TRANSCRIPT
i
ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM INTERAKSI
JUAL BELI DI PASAR TRADISIONAL KRANGGAN,
TEMANGGUNG: STUDI KASUS PEDAGANG ETNIS JAWA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Yuliana Herwinda Sripurwandari
NIM 131224038
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
MOTO
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat;
ketoklah maka pintu akan dibukakan bagimu. (Matius 7: 7)
Untuk segala sesuatu ada masanua, untuk apapun di bawah langit ada waktunya
(Pkh 3: 1)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini
Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan
memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan (Yesaya
41: 10)
Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan
ucapan syukur (Filipi 4: 6)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
1. Tuhan Yesus, yang selalu membimbing saya, dan Bunda Maria yang selalu
menghantarkan doa-doa saya..
2. Almamater Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Keluarga
Timotius Tri Yogatama, S.Pd., Bapak dan Ibu terkasih, Bapak Purwanto
Subarjo dan alm. Ibu Sri Sartin, S.Pd., dan Ibu Puji Astuti. Adikku: Kresna
Adyastha Putra. Kakek dan nenek: Warno Sri Utomo, Sri Wartini,
Wagiyem, Tumirah, Mangku Diyono, Mulya Sugiyanto.
4. Pacar
Timotius Tri Yogatama, S.Pd. Pemberi dan sumber semangat.
5. Sahabat-sahabat Karib
Timotius Tri Yogatama, S.Pd., Lukas Budi, S.Pd., Fransiska Kumala Sari
S.Pd., Indah Rahayu, Maria Kiki, Faradhita Dian Maharani, Riska Safitri.
6. Keluarga Besar Warno Sri Utama
Purwanto Subarjo, alm. Sri Sartin, S.Pd., H. Nuryanto S.Pd., Hj. Suparmi,
S.Pd., Winardi, Etik Ruslina, Nuryadi, S.H., Tatit Risnawati, Cicilia Mega,
Langgeng Saharjo, Kresna Adyastha Putra, Riska Dian Nur Lestari S.T.P.,
Riska Dian Nur Malita Sari, Risman Bima Bayu Aji, Erwin Kurniawan,
Arin Nindya Wardhani, Oka Retno Amd.Kep., Siva Nur Salsabila, Zaky,
Yogya Herlambang Pideksa Langgeng, Arka Satria Wicaksana Langgeng,
Gweenzea Meza Luna Wardhani.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Sripurwandari, Yuliana Herwinda. 2018. Alih Kode dan Campur Kode dalam
Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata
Dharma.
Penelitian ini membahas mengenai alih kode dan campur kode dalam
interaksi jual beli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk
alih kode dan campur kode, serta mendeskripsikan faktor-faktor penyebab
terjadinya alih kode dan campur kode di pasar tradisional Kranggan,
Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa. Masalah yang diangkat dalam
penelitian ini bagaimana penggunaan alih kode dan campur kode dalam
interaksi jual beli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Etnis Jawa. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif. Data
diambi pada bulan September – Oktober 2017. Teknik pengumpulan data dala
penelitian ini dilakukan dengan teknik metode simak beserta teknik
lanjutannya yaitu teknik sadap, teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC),
teknik rekam, dan teknik catat. Data kemudian diidentifikasi dan dianalisis
berdasarkan teori sosiolinguistik khususnya alih kode dan campur kode dari
teori Suwito, Chaer dan Agustina, dan Nababan.
Peneliti menemukan adanya peristiwa alih kode antarbahasa yaitu bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia atau sebaliknya. Alih kode antarvarian bahasa
meliputi bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa Krama atau sebaliknya.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa alih kode tersebut
adalah (1) penutur: menghormati lawan tutur, mengimbangi lawan tutur,
tawar-menawar (2) lawan tutur: untuk tawar-menawar. Kedua, ditemukannya
peristiwa campur kode. Bentuk campur kode yang terjadi berupa penyisipan
kata, frasa, klausa, dan penyisipan kata dan frasa. Faktor-faktor yang menjadi
penyebab terjadinya campur kode tersebut adalah (1) penutur: tujuan
menunjukkan kemampuannya, menawar dan meminta bonus. (2) berlatar pada
kebahasaan: keterbatasan penggunaan kode dan akibat dan hasil yang
dikehendaki (3) faktor kebiasaan: lawan tutur, penutur dan lawan tutur.
Kata kunci : alih kode, campur kode, alih kode internal, campur kode internal,
campur kode eksternal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Sripurwandari, Yuliana Herwinda. 2018. Code Switching and Code Mixing Buy
and Sale Interaction at Kranggan Traditional Market, Temanggung:
Case Study The Javanese Ethnic Traders. Thesis. Yogyakarta: PBSI,
FKIP, Sanata Dharma University.
This research discuss about code switching and codes mix in buy and
sale interaction at Kranggan Traditional Market, Temanggung: Case Study
The Javanese Ethnic Traders. This research is aimed to describe the form
code switching, code mixing and describe the factors which led to the code
switching and code mixing at Kranggan traditional market, Temanggung. The
problem discussed within this research how use about the form of code
switching and code mixing buy and sale interaction at Kranggan Traditional
Market, Temanggung.This research was categorized as qualitative descriptive,
because this research contains about codes change and codes mix sayings in
buy and sale interaction at Kranggan Traditional Market, Temanggung. The
data was taken on September 2017 until October 2017. The data gathering
method used in this research was listening method along with the
continuation method which are tapping method, Free Listening Talk Involve
method, recording method, and writing method. The data then being
identified and analysed based on sociolinguistic theory especially codes
change and codes mix theory from Suwito, Chaer and Agustina, and
Nababan.
Researcher found there is a interlanguage codes change phenomenon
from Javanese into Indonesian or vice versa. Language intervariant code
switching which consists of Rough Javanese towards Soft Javanese or vice
versa. The causing factors for the codes change phenomenon to happen are
(1) speaker: respect the dialoguing opponent, trying to keep up with the
dialoguing opponent, bargaining (2) dialogue opponent: to bargain. Second, a
code mixing phenomenon found. The happening codes mix were words
insertion, phrases, clauses, and words and phrases insertion. The causing
factors for the code mixing phenomenon to happen were (1) speaker: ability
showing purpose, bargain and bonus asking. (2) language based: code using
disability, and result and effect wanted. (3) custom factors: dialogue
opponent, speaker and dialogue opponent.
Keyword: code switching, codes mixing, internal code mixing, external code
mixing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Alih Kode dan
Campur Kode dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan,
Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa” dapat peneliti selesaikan
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Studi Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Peneliti menyadari bahwa
penulian skripsi ini dapat terselesaikan buan hanya karena kerja keras peneliti,
melainkan juga berkat bimbingan, dukungan, doa, dan saran dari berbagai pihak
baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka pada kesempatan ini, peneliti
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang sudah sabar dalam
membimbing dan memberikan saran serta kritik yang membangun,
sehingga peneliti termotivasi untuk menyelesaikan skripsi.
3. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku dosen pembimbing yang sudah sabar
dalam membimbing dan memberikan saran serta kritik yang membangun,
sehingga peneliti termotivasi untuk menyelesaikan skripsi.
4. Th. Rusmiyanti., selaku karyawan sekretariat prodi PBSI.
5. Albertus Danang Satria Nugraha, M.A., selaku triangulator.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
6. Para dosen PBSI yang telah mendidik dan memberikan pengetahuan yang
berguna bagi peneliti.
7. Sekretariat PBSI yang telah membantu kelancaran perkuliahan peneliti.
8. Ketiga orang tuaku, Bapak Purwanto Subarjo, Alm Ibu Sri Sartin S.Pd.,
dan Ibu Puji Astuti yang telah memberikan doa, dukungan dan
keprihatinannya dalam segala hal.
9. Keluarga Besar Warno Sri Utama, yang telah memberikan doa dan
semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
10. Adikku, Kresna Adyastha Putra yang telah memberikan doa, menghibur
disaat penat dan dukungan dalam segala hal.
11. Pacar, Timotius Tri Yogatama, S.Pd., yang telah memberikan dukungan,
pendampingan, penghiburan, dan motivasi kepada peneliti untuk
menyelesaikan skripsi.
12. Teman diskusi, Mellyda Agustini R, M.Pd.
13. Sahabat-sahabat Karib, Timotius Tri Yogatama, S.Pd., Lukas Budi, S.Pd.,
Fransiska Kumala Sari S.Pd., Indah Rahayu, S.Pd., Maria Kiki, Faradhita
Dian Maharani, Riska Safitri, Windy Anindhita.
14. Teman-teman Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia 2013 Kelas A.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Namun, penulis tetap berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca
dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii
HALAMAN MOTO .............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................... vi
PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................................. vii
ABSTRAK ............................................................................................. viii
ABSTRACT ............................................................................................ ix
KATA PENGANTAR ........................................................................... x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 6
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 7
1.5 Batasan Istilah ................................................................................... 9
1.6 Sistematik Penyajian ......................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................... 13
2.1 Sosiolinguistik ................................................................................... 13
2.2 Kontak Bahasa .................................................................................. 14
2.3 Peristiwa Tutur .................................................................................. 16
2.4 Masyarakat Tutur .............................................................................. 16
2.5 Kedwibahasaan ................................................................................. 18
2.6 Faktor Sosio-Situasional dan Variasi Bahasa ................................... 19
2.7 Kode .................................................................................................. 22
2.8 Campur Kode .................................................................................... 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
2.8.1 Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode ................................... 27
2.9 Alih Kode .......................................................................................... 32
2.9.1 Faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode ......................................... 35
2.10 Bahasa dan Konteks ........................................................................ 38
2.11 Kerangka Berpikir ........................................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 44
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 44
3.2 Subjek Penelitian ............................................................................... 45
3.3 Sumber Data dan Data ...................................................................... 47
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ............................................ 48
3.5 Instrumen Penelitian.......................................................................... 50
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ..................................................... 50
3.7 Triangulasi......................................................................................... 53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 54
4.1 Deskripsi Data ................................................................................... 54
4.2 Hasil Penelitian ................................................................................. 55
4.3 Alih Kode .......................................................................................... 56
4.3.1 Bentuk Alih Kode Internal Antarbahasa
(bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko)............................. 57
4.3.2 Alih Kode Internal Antarbahasa
(bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Krama)............................. 58
4.3.3 Alih kode internal antarvarian
(bahasa Jawa Krama ke bahasa Jawa Ngoko) ........................ 59
4.3.4 Alih kode internal antarvarian
(bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa Krama) ........................ 61
4.3.5 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Alih kode........................ 63
4.3.5.1 Penutur ........................................................................ 63
1. Menghormati Lawan Tutur ..................................... 64
2. Mengimbangi Lawan Tutur .................................... 67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
3. Tawar-menawar ...................................................... 71
4.3.5.2 Lawan Tutur ............................................................... 73
1. Tawar menawar ...................................................... 73
4.4 Campur Kode .................................................................................... 76
4.4.1 Bentuk-bentuk Campur Kode
(Penyisipan Kata) ................................................................... 76
4.4.2 Bentuk-bentuk Campur Kode
(Penyisipan Frasa) .................................................................. 80
4.4.3 Bentuk-bentuk Campur Kode
(Penyisipan Klausa) ................................................................ 82
4.4.4 Bentuk-bentuk Campur Kode
(Penyisipan Kata dan Frasa) ................................................... 83
4.4.2 Bentuk-bentuk Faktor Campur Kode ...................................... 86
4.4.2.1 Penutur ........................................................................ 86
1. Menunjukkan Kemampuannya ............................... 86
2. Tawar-menawar dan Meminta Bonus ..................... 88
4.4.2.2 Berlatar Belakang Pada Kebahasaan .......................... 89
1. Keterbatasan Penggunaan Kode ............................. 89
2. End (Tujuan) ........................................................... 93
4.4.2.3 Faktor Kebiasaan ........................................................ 95
BAB V PENUTUP ................................................................................. 97
5.1 Simpulan ........................................................................................... 97
5.2 Saran .................................................................................................. 98
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 100
LAMPIRAN ........................................................................................... 102
TABEL KEABSAHAN ANALISIS DATA ......................................... 149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat yang digunakan oleh manusia untuk
berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan mempunyai peranan yang penting
bagi kehidupan manusia. Dengan menguasai suatu bahasa seseorang dapat
melakukan proses komunikasi, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Dalam
proses komunikasi tersebut, seseorang tidak hanya menggunakan satu bahasa saja.
Pada umumnya dalam konteks masyarakat Indonesia yang dwibahasawan,
seseorang akan memahami minimal dua bahasa yang terdiri dari bahasa daerah
sebagai B1 dan bahasa Indonesia sebagai B2. Dalam studi bahasa kemampuan
penguasaan lebih dari satu bahasa disebut dengan istilah kedwibahasaan.
Kedwibahasaan serta tingkat penguasaan bahasa antara satu orang dengan
orang yang lainnya tentunya berbeda-beda. Hal tersebut dapat disebabkan proses
pemerolehan bahasa masing-masing individu yang berbeda, ada yang tanpa proses
belajar dan juga ada yang melalui proses belajar. Selain itu, kondisi masyarakat
Indonesia yang bersifat heterogen mempengaruhi pemerolehan bahasa seseorang
serta kemampuan berbahasanya. Dalam konteks tersebut bahasa Indonesia
mempunyai peranan penting dalam pola komunikasi yang berfungsi sebagai
sarana penghubung dan pemersatu masyarakat multilingual.
Jika dicermati lebih lanjut, pemakaian bahasa khususnya bahasa Indonesia
dapat dibedakan atas ragam baku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan
ragam akrab (Suwito 1985:68). Berbagai macam ragam bahasa tersebut dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
muncul dalam konteks percakapan tertentu, baik yang bersifat formal maupun non
formal. Penggunaan bahasa Indonesia dalam ragam baku dan resmi dapat
dijumpai seperti di lingkungan sekolah, kantor, pemerintahan, dan instansi resmi
lainnya. Selanjutnya penggunaan ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab
dapat dijumpai dalam pola komunikasi sehari-hari dan/atau di tempat-tempat
umum. Tentunya semua ragam tersebut hadir sesuai konteks dan kaidah
kebahasaan yang disepakati bersama dalam suatu kelompok masyarakat.
Namun, dalam praktik penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat yang
multilingual, penggunaan bahasa Indonesia sering tidak sesuai dengan kaidah
yang berlaku sehingga mengakibatkan terjadinya alih kode dan campur kode.
Menurut Pranowo (2014: 298) alih kode merupakan berpindahnya pemakaian
kode bahasa satu ke kode bahasa lain ketika seseorang sedang menggunakan
bahasa tertentu tetapi disadari oleh pemakainnya karena memiliki maksud
tertentu. Kemudian, campur kode menurut Pranowo (2014: 299) merupakan
berpindahnya pemakaian kode bahasa kedua atau kode bahasa asing ke kode
bahasa pertama, ketika seseorang sedang menggunakan bahasa kedua atau bahasa
asing yang disebabkan belum dikuasainya struktur bahasa kedua atau bahasa asing
yang sedang dipakainya.
Terjadinya suatu proses alih kode dan campur kode tersebut tentunya
dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang memengaruhi
pemakaian bahasa adalah status sosial, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,
tingkat ekonomi, dsb. Kemudian, faktor situasional yang meliputi siapa yang
berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, di mana mengenai hal apa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
dalam situasi yang bagaimana, apa jalur yang digunakan, ragam bahasa mana
yang digunakan, serta tujuan pembicaraan (Nababan, 1986). Adanya campur kode
dan alih kode tersebut mempunyai peranan yang cukup penting dalam konteks
masyarakat Indonesia yang bersifat multilingual. Penggunaan alih kode dan
campur kode tersebut mampu mempermudah proses komunikasi antarpenutur
sehingga proses komunikasi dapat menjadi komunikatif.
Fenomena alih kode dan campur kode dalam konteks studi bahasa masuk
ke ranah studi sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik
yang bersifat multidisipliner antara ilmu sosiologi dan ilmu linguistik. Menurut
Kridalaksana (1978:94) sosiolinguistik lazim didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para
bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat
bahasa. Masyarakat bahasa atau yang lebih dikenal dengan istilah masyarakat
tutur merupakan suatu kelompok orang atau masyarakat yang memiliki verbal
repetoir yang relatif sama serta mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-
norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu (Chaer dan
Agustina, 2004: 36). Dalam praktik berkomunikasi di masyarakat, fenomena alih
kode dan campur kode sangatlah dimungkinkan untuk terjadi khususnya di
masyarakat multilingual. Alih kode dan campur kode mempunyai peranan yang
penting, dalam konteks munculnya berbagai variasi bahasa oleh seseorang
maupun kelompok masyarakat tertentu, misalnya di lingkungan pasar tradisional.
Pasar tradisional dapat dikatakan sebagai pusat interaksi dan transaksi yang
memungkinkan penutur dan mitra tutur berasal dari berbagai wilayah dengan latar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
belakang, status, dan penguasaan bahasa yang berbeda. Perbedaan latar belakang
sosial dalam masyarakat tutur di lingkungan pasar tradisional mengakibatkan
peluang munculnya fenomena alih kode dan campur kode semakin besar, dan
menarik untuk dikaji lebih mendalam dari segi wujud, jenis, dan faktor yang
mempengaruhi muculnya fenomena tersebut.
Pasar Tradisional Kranggan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah
merupakan gambaran yang tepat untuk menyatakan situasi masyarakat tutur yang
heterogen. Hal tersebut dapat dilihat dari contoh konkret di pasar, bahwa
masyarakat dari hampir seluruh pelosok Kabupaten Temanggung dan daerah lain
berkumpul untuk melakukan kegiatan transaksi jual beli baik dalam skala kecil,
menengah, maupun dalam skala besar. Para penjual atau pun pembeli tersebut
berasal dari latar belakang yang berbeda-beda (faktor sosial dan faktor
situasional), sehingga pola komunikasi yang terjadi bersifat campur-campur.
Dalam proses komunikasi terkadang menggunakan bahasa Indonesia, terkadang
bahasa Jawa, bahkan menggunakan bahasa campuran antara bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa.
Pasar Tradisional Kranggan merupakan salah satu pasar tradisional di
Kabupaten Temanggung yang merupakan sentra ekonomi masyarakat pedesaan,
sehingga mempunyai intensitas yang cukup tinggi. Intensitas yang tinggi tersebut
dapat tercermin dari interaksi jual beli yang sangat kompleks. Kekompleksan
interaksi tersebut tentunya tak lepas dari peran bahasa sebagai alat komunikasi
dalam kegiatan transaksi. Penggunaan berbagai kosakata dan bahasa tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
mengakibatkan munculnya fenomena alih kode dan campur kode dalam proses
komunikasi antara penjual dan pembeli.
Bentuk perubahan kode bahasa satu ke kode bahasa lain dalam kegiatan
transaksi jual beli tersebut dapat dilihat dari kategori dan faktor penyebabnya.
Proses perubahan kode dapat berupa beralihnya kode bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa, atau sebaliknya, maupun tersisipnya kode bahasa tertentu ketika melakukan
pertuturan. Hal tersebut lazim terjadi dalam pola komunikasi, khususnya di
masyarakat tutur Pasar Kranggan yang dapat bertujuan untuk menghormati,
keterbasan pemahaman, kebiasaan, dsb. Maka jika dilihat lebih jauh lagi, bentuk
campur kode dan alih kode dapat berupa kata, frasa, klausa, hingga sampai ke
tataran kalimat.
Heterogenitas dan kedwibahasaan yang tercermin di Pasar Tradisional
Kranggan merupakan salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji dan
dideskripsikan tentang pemakaian bahasanya, khususnya menyangkut alih kode
dan campur kode. Pengkajian tentang alih kode dan campur kode di Pasar
Tradisional Kranggan ini menjadi cukup relevan, karena hendak melihat lebih
dalam dan konkret penggunaan bahasa yang berasal dari penutur yang mempunyai
latar belakang berbeda-beda dalam konteks keperluan transaksi jual beli.
Berbagai macam transaksi jual beli di Pasar Kranggan terbingkai dalam
keanekaragaman pemilihan bahasa yang digunakan. Proses penentuan kata, frasa,
klausa, hingga kalimat mana yang dipilih ketika berbicara dalam suatu proses
transaksi antara penjual dan pembeli untuk mencapai kesepakatan atau
ketidaksepakatan menjadi hal yang unik. Terkadang mereka mempertahankan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
penggunaan bahasa tertentu, terkadang juga beralih bahkan bercampur ke bahasa
tertentu. Hal tersebut memang pada hakikatnya menyalahi kaidah kebahasaan,
tetapi asalkan penggunaan bahasa dapat dipahami dan dimengerti hal itu tidak
menjadi masalah. Sekali lagi, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor situasional
maupun faktor sosial. Maka dari itu, peneliti memilih penelitian di salah satu
pasar tradisional karena di dalamnya tercermin hetereogonitas penuturnya yang
berasal dari berbagai macam kalangan yang mempunyai tujuan dan maksud
tertentu dalam konteks jual beli. Penelitian ini hendak mendeskripsikan wujud
tuturan yang mengandung alih kode dan campur kode, macam perubahan kode,
serta faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam konteks
transaksi jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang hendak dipecahkan dalam penelitian ini adalah
bagaimana penggunaan alih kode dan campur kode dalam interaksi jual beli di
Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa?
Berdasarkan rumuasan masalah utama di atas, terdapat sub masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk alih kode pada interaksi jual beli di Pasar Tradisional
Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa?
2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya alih kode pada interaksi
jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
3. Bagaimana bentuk campur kode pada interaksi jual beli di Pasar
Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa?
4. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya campur kode pada
interaksi jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Mendeskripsikan bentuk alih kode pada interaksi jual beli di Pasar
Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa.
2. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode pada
interaksi jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa.
3. Mendeskripsikan bentuk campur kode pada interaksi jual beli di Pasar
Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa.
4. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode pada
interaksi jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik secara teoretis maupun
praktis. Berikut merupakan penjabaran dua manfaat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat mendalami pengembangan kajian dalam
bidang sosiolinguistik.
2. Manfaat Praktis
Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapakan memberikan gambaran mengenai alih
kode dan campur kode dan mengarahkan dan membekali peserta didik
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar di dalam kehidupan
bermasyarakat sehingga peserta didik mengetahui kapan mereka harus
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Bagi Masyarakat Umum
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran mengenai ragam bahasa
yang digunkan dalam interaksi yang ada di pasar.
Bagi Penjual dan Pembeli
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih mudah
saat melakukan tawar-menawar dalam melakukan interaksi jual beli di Pasar
Kranggan, Temanggung dengan tujuan untuk menciptakan komunikasi yang
baik antara penjual dan pembeli dan dapat mengetahui lebih dalam mengenai
fenomena kebahasaan khususnya alih kode dan campur kode agar dapat
menggunakan variasi bahasa dengan baik.
Bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mahasiswa program
studi bahasa dan sastra Indonesia tentang kajian sosiolinguistik khusunya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
fenomena alih kode dan campur kode dan menindak lanjuti penelitian campur
kode dan alih kode dengan ruang lingkup yang lebih sempit sehingga ke
dalaman analisis masalah yang lebih mendasar dapat diketahui. Selain itu,
penemuan ini hanya terbatas pada bentuk, faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya alih kode dan campur kode, faktor sosial situasional serta latar
belakang sosial penjual pembeli yang menyebabkan terjadinya peristiwa alih
kode dan campur kode pada interaksi jual beli di pasar tradisional Kranggan,
Temanggung.
1.5 Batasan Istilah
1. Sosiolinguistik
Kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat. Rumusan
yang dipaparkan di atas menekankan bahwa bahasa bukan merupakan suatu
yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan. Budaya dan bahasa saling
berkesinambungan, karena bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(Sumarsono, 2002: 2).
2. Kontak Bahasa
Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2014: 159) mengatakan bahwa kontak
bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama
secara secara bergantian.
3. Peristiwa Tutur
Terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran
atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2014:
47).
4. Masyarakat Tutur
Masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-
tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai
dengan penggunaannya. Kata masyarakat dalam istilah masyarakat tutur
bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat
pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Fishman (dalam Chaer,
2010: 36).
5. Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Jadi orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai
dua bahasa, atau kemampuan memakai dua bahasa (Chaer dan Agustina,
2014 84).
6. Faktor-faktor Sosio-Situasional dan Variasi bahasa
Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik, tetapi
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor non linguistik. Faktor-faktor nonlinguistik
yang dimaksud, yaitu faktor sosial dan situasional. Variasi bahasa atau ragam
bahasa adalah penggunaan bahasa menurut pemakainya yang berbeda-beda
sesuai topik yang dibicarakan. Menurut hubungan antar pembicara, lawan
bicara, dan orang yangdibicarakan serta menurut medium pembicaraan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Sebuah bahasa telah memiliki sistem dan subsistem yang dapat dipahami
sama oleh para penutur bahasa.
7. Kode
Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya
berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota
suatu masyarakat bahasa (Poedjosoedarmo, dalam Rahardi 2001: 22).
8. Campur Kode
Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa lain, ialah bilamana orang
mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak
bahasa (speech act atau discourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa
itu yang menuntut percampuran bahasa itu Nababan (1991: 32).
9. Alih Kode
Penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau
situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode Kridalaksana
(1982: 7).
10. Bahasa dan Konteks.
Menurut KBBI (2007), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
melakukan kerjasama, berinteraksi dan megidentifikasi diri. Selanjutnya,
KBBI (2007) memberikan definisi konteks sebagai situasi yang ada
hubungannya dengan suatu kejadian. Di dalam proses komunikasi, bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dan konteks tentunya saling mempengaruhi. Individu apat saja melakukan
komunikasi dengan menggunakan bahasa tertentu apabila konteksnya tertentu
pula.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
batasan istilah, dan sistematika penyajian.
Bab II berisi landasan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-
masalah yang diteliti, yaitu tentang alih kode dan campur kode. Teori-teori yang
dikemukakan dalam bab II ini adalah teori tentang (1) pengertian sosiolinguistik,
(2) kontak bahasa, (3) peristiwa tutur, (4) masyarakat tutur, (5) kedwibahasaan,
(6) faktor sosio-situasional dan variasi bahasa, (7) kode, (8) campur kode, (9) alih
kode, (10) bahasa dan konteks, dan (10) kerangka berpikir.
Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur
yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Bab III berisi uraian
(1) jenis penelitian, (2) subjek penelitian, (3) sumber data dan data (4) metode
den teknik pengumpulan data, (5) instrumen penelitian, (6) metode dan teknik
analisis data, serta (7) triangulasi. Bab IV berisi tentang (1) deskripsi data, (2)
analisis data, dan (3) pembahasan hasil penelitian. Bab V berisi tentang (1)
simpulan penelitian dan (2) saran untuk penelitian alih kode dan campur kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini dipaparkan mengenai landasan teori dan kerangka berpikir.
Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis.
Kemudian, kerangka berpikir berisi tentang acuan teori berdasarkan pada landasan
teori untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.
2.1 Sosiolinguistik
Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu yang mempelajari fenomena
hubungan antar bahasa. Sosiolinguistik adalah ilmu antardisiplin antara sosiologi
dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang mempunyai kaitan sangat erat.
Istilah sosiolinguistik jelas terdiri dari dua unsur: sosio- dan linguistik. Kita
mengetahui arti linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan
bahasa. Unsur sosio adalah seakar dengan sosial yaitu yang berhubungan dengan
masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan.
Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan
penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.
Halliday (dalam Sumarsono, 2002: 2) menyebut sosiolinguitik sebagai
linguistik institusional (intitutional linguistics), berkaitan dengan pertautan bahasa
dengan orang-orang yang memakai bahasa itu (deals with the relation between a
language and the people who use it).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Sosiolinguistik juga menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan
dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian
bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku bahasa dan pemakai
bahasa. Kajian sosiolinguistik memungkinkan seseorang memulai dari masalah
kemasyarakata kemudian mengaitkan dengan bahasa, bisa juga sebaliknya
memulai dengan bahasa lalu mengaitkan dengan gejala-gejala di masyarakat.
Kridalaksana (1978: 94) berpendapat sebagai objek dalam sosiolinguistik,
bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh
linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau
komunikasi di dalam masyarakat manusia. Sosiolinguistik lazim didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan di
antara para bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu
masyarakat bahasa.
Sosiolinguistik secara sederhana berupa kajian bahasa sebagai bagian dari
kebudayaan dan masyarakat. Rumusan yang dipaparkan di atas menekankan
bahwa bahasa bukan merupakan suatu yang berdiri sendiri, melainkan satu
kesatuan. Budaya dan bahasa saling berkesinambungan, karena bahasa adalah
bagian dari kebudayaan (Sumarsono, 2002: 2).
2.2 Kontak Bahasa
Weinreich (dalam Chaer dan Agustina, 2014: 159) mengatakan bahwa
kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang
sama secara secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau
pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencakup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
semua tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling
mempengaruhi terhadap unsur bahasa lain yang tidak dapat dihindari.
Apabila kita membicarakan kontak bahasa pasti tidak pernah lepas dengan
proses terjadinya kedwibahasaan. Proses kedwibahasaan itu disebabkan adanya
interaksi dan kontak sosial antara masyarakat satu dengan yang lain yang
memiliki latar belakang kebahasaan yang berbeda. Bila kita lihat masalah
penggunaan bahasa bukanlah milik perseorangan, melainkan milik suatu
kelompok masyarakat, baik kelompok budaya, kelompok umur, kelompok
pekerjaan, maupun kelompok sosial. Jika hal ini dihubungkan dengan
kedwibahasaan akan terlihat masalah kedwibahasaan. Hal ini bukan pula masalah
perseorangan, melainkan masalah yang timbul dalam suatu kelompok pemakai
bahasa akan terjadi kontak bahasa sehingga diartikan, bahwa antara kontak bahasa
dan dwibahasawan sangat erat hubungannya.
Aslinda dan Leni (2007: 25) mengatakan bahwa kontak bahasa meliputi
segala peristiwa persentuhan antara dua bahasa atau lebih yang berakibat adanya
perubahan unsur bahasa oleh penutur dalam konteks sosialnya. Berkaitan dengan
kontak bahasa ini Prawiroatmo (dalam Djoko Kentjono, 1982: 124) mengatakan
bahwa ciri yang menonjol dari kontak bahasa adalah terdapatnya kedwibahasaan
atau bilingualisme atau keanekaragaman bahasa atau multilingualisme.
Jadi, peristiwa atau gejala kontak bahasa itu tampak menonjol dalam
wujud kedwibahasaan. Kedwibahasaan adalah penggunaan dua bahasa atau lebih
oleh seseorang. Kedwibahasaan lebih cenderung pada gejala tutur (parole),
sedangkan kontak bahasa lebih cenderung pada gejala bahasa (langue). Pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
prinsipnya, langue adalah sumber dari parole, maka dengan sendirinya kontak
bahasa akan tampak dalam kedwibahasaan. Dengan kata lain kedwibahasaan
terjadi karena adanya kontak bahasa.
2.3 Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik
dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan
lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi
tertentu (Chaer, 2014: 47).
Interaksi yang berlangsung antara seorang penjual dan pembeli di pasar
pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya
adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama juga terjadi dan kita dapati dalam
acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan
sebagainya. Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai peristiwa tutur (speech
event) apabila memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan dalam definisi di
atas.
2.4 Masyarakat Tutur
Suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal
repertoire yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama
terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat
itu, maka dapat dikatakan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah
sebuah masyarakat tutur. Jadi, masyarakat tutur bukanlah hanya sekelompok
orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa (Chaer
dan Agustina, 2014: 36).
Fishman (dalam Chaer, 2010: 36) menyebutkan “masyarakat tutur adalah
suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu
variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya”. Kata
masyarakat dalam istilah masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut
masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil
orang. Lebih lanjut Suwito (dalam Rahardi, 2001: 18) dalam upaya menjelaskan
konsep itu, menengaskan bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai
masyarakat tutur apabila masyarakat atau sekelompok orang itu memiliki verbal
repertoire yang relatif sama dan mempunyai penilaian yang sama dan mempunyai
penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang dipergunakan
di dalam masyarakat itu. Jadi masyarakat tutur bukan sekedar kelompok orang-
orang yang mempergunakan bentuk bahasa yang sama, tetapi kelompok orang itu
juga mempunyai norma-norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa
yang ada (1983: 20).
Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2014: 37) membatasi dengan
“sekelompok orang yang menggunakan sistem isyarat yang sama”. Sementara
Labov (dalam Chaer dan Agustina, 2014: 37) mengatakan “satu kelompok orang
yang mempunyai norma yang sama mengenai bahasa. Sedangkan Rajend dkk
(2001:37) menyatakan bahwa “masyarakat tutur terdiri orang-orang yang berada
dalam kontak kebiasaan satu sama lain dengan cara berbicara yang
mengakibatkan baik berbagai bahasa bersama atau cara berbagai menafsirkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
varietas bahasa yang berbeda yang biasa digunakan di daerah. Sekelompok
manusia terbentuk melalui interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan
bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang dimiliki bersama yang dipisahkan
dari kelompok lain karena perbedaan dalam bahasa (Gumperz, 1987: 43).
Hal ini menyimpulkan suatu masyarakat bahasa tidak hanya dituntut untuk
dapat berbahasa itu sendiri tetapi juga dituntut untuk memiliki kemampuan
interaksi.
2.5 Kedwibahasaan
Kalau kita melihat seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya
dengan orang lain, dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan
yang akan kita sebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah kebiasaan
menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain. Jika kita berpikir
tentang kesanggupan atau kemampuan berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa,
kita akan sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality).
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan.
Secara umum bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh
seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Jadi
orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa,
atau kemampuan memakai dua bahasa (Chaer dan Agustina, 2014 84).
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa.
Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau
lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same
individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik,
dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis Mac Key (1956:155).
2.6 Faktor-faktor Sosio-Situasional dan Variasi bahasa
Pemakaian bahasa tidak hanya dipengaruhi oleh faktor linguistik, tetapi
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor non linguistik. Faktor-faktor nonlinguistik
yang dimaksud, yaitu faktor sosial dan situasional. Holmes (1992: 11)
menyebutkan bahawa setidaknya ada empat faktor sosial yang mempengaruhi cara
seseorang dalam mengekspresikan tuturannya, yaitu (1) partisipan (pihak yang
terlibat dalam penuturan), misalnya antara suami dan isteri, pimpinan dan buruh,
(2) latar dan konteks sosial (waktu dan situasi tuturan berlangsung), misalnya di
rumah, di sekolah, dan di kantor, (3) topik (masalah yang dibicarakan), misalnya
masalah politik, ekonomi, (4) fungsi (maksud dan tujuan penuturan), misalnya
untuk memuji, memberi informasi.
Senada dengan pendapat di atas Nababan (1986) mengemukakan faktor
sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa terdiri atas status sosial, tingkat
pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lainnya, sedangkan faktor situasional yang
memengaruhi pemakaian bahasa terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, di mana, dan mengenai masalah apa. Dengan adanya
faktor sosial dan faktor situasional ini, akan menyebabkan munculnya variasi
bahasa.
Variasi bahasa adalah bentuk-bentuk bagian atau varian dalam bahasa
yang masing-masing memiliki pola yang menyerupai pola umum bahasa induknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
(Poedjosoedarmo dalam Suwito, 1920: 20). Hartman dan Stork (dalam Chaer dan
Agustina, 1995: 81) membedakan variasi bahasa berdasarkan kriteria, (a) latar
belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok
pembicaraan. Haliday membedakan variasi bahasa berdasarkan pemakaian yang
disebutnya dengan dialek dan register.
Senada dengan pendapat di atas Alwasilah (1985: 66) meskipun para
penutur memakai bentuk-bentuk itu merupakan satu bahasa yang sama, mislnya
idiolek, sosiolek, dialek sosiolek, dan register/style.
Dalam proses komunikasi yang sebenarnya, setiap penutur bahasa tidak
pernah setia pada satu ragam/dialek tertentu saja. Karena setiap penutur pasti
mempunyai kelompok sosial dan hidup dalam tempat dan waktu tertentu. Oleh
karena itu, dapat dipastikan setiap penutur memiliki dua dilek, yaitu dialek sosial
dan dialek regional temporal. Contohnya, di Minangkabau anak-anak di ranah
Minang menggunakan bahasa Minangkabau, tetapi di sekolah mereka
menggunakan bahasa Indonesia.
Chaer dan Agustina (1995: 83) membedakan variasi-variasi bahasa, antara
lain:
1. Segi penutur
Variasi bahasa dari segi penutur adalah variasi bahasa yang bersifat individu
dan variasi bahasa dari sekelompok individu yang jumlahnya relatif yang berada
pada satu tempat wilayah atau area. Variasi bahasa yang bersifat individu disebut
dengan idiolek, sedangkan variasi bahasa dari sekelompok individu disebut dialek
(Aslinda dan Leni, 2007: 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
Menurut konsep idiolek, setiap individu memiliki idioleknya masing-
masing.dengan kata lain, setiap individu mempunyai sifat-sifat khas yang tidak
dimiliki oleh individu lain. Perbedaan sifat-sifat khas antarindividu disebabkan
oleh faktor fisik dan psikis. Perbedaan fisik misalnya, karena perbedaan bentuk-
bentuk alat bicaranya, sedangkan perbedaan faktor psikis biasanya disebabkan
oleh perbedaan tempramen, watak, intelektual, dan lainnya.
2. Segi pemakaian,
Nababan (2004) menyatakan variasi bahasa dari segi pemakaiannya disebut
variasi bahasa berkenaan dengan fungsinya/fngsiolek, ragam, atau register.
Variasi bahasa dari segi pemakaiannya berhubungan dengan bidang
pemakaiannya, contohnya dalam kehidupan sehari-hari, ada variasi di bidang
militer, sastra, jurnalistik, dan kegiatan keilmuan lainnya.
3. Segi keformalan, dan
Berdasarkan pendapat Joos (dalam Chaer dan Agustina, 1995),
membedakan variasi bahasa berdasarkan keformalan atas lima bagian, yaitu:
a. Gaya atau ragam baku
b. Gaya atau ragam resmi
c. Gaya atau ragam usaha
d. Gaya atau ragam santai, dan
e. Gaya atau ragam akrab.
4. Segi sarana
Variasi bahasa dari segi sarana dilihat dari sarana yang digunakan.
Berdasarkan sarana yang digunakan, ragam bahasa terdiri atas dua bagian, yaitu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulisan. Ragam bahasa lisan disampaikan
secara lisan dan dibantu oleh unsur-unsur suprasegmental, sedangkan ragam
bahasa tulis unsur suprasegmental tidak ada. Pengganti unsur suprasegmental
dalam bahasa tulis adalah dengan menuliskan unsur tersebut dengan simbol dan
tanda baca.
2.7 Kode
Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur
bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi
penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk
varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat
bahasa (Poedjosoedarmo dalam Rahardi 2001: 22).
Suwito (1983: 67) juga mengemukakan batasan yang tidak terlalu jauh
dengan yang disampaikan tadi, yakni bahwa kode adalah salah satu varian di
dalam hirarki kebahasaan yang dipakai dalam komunikasi. Dengan demikian
dalam sebuah bahasa dapat terkandung beberapa buah kode yang merupakan
varian bahasa itu. Dalam bahasa terkandung beberapa macam kode, di dalam
satu kode terdapat kemungkinan variasi rasional, untuk kelas sosial, gaya
maupun register. Dengan demikian bahasa merupakan level yang paling atas
disusul dengan kode yang terdiri atas varian-varian dan ragam serta gaya dan
register sebagai sub-sub (Suwito, 1985: 67).
Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2001: 23) tidak semua bahasa memiliki
kode yang sama dalam inventarisasinya. Kode banyak ditemukan pada bahasa
yang memiliki macam dialek yang banyak, tingkat undha-usuk atau tingkat tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
yang kompleks, dan dipakai sebagai bahasa pengantar kebudayaan yang memiliki
banyak ragam. Lebih lanjut juga dikatakan bahwa kode selalulah memiliki makna.
dalam bahasa Jawa, tingkat undha-usuk krama memiliki makna sopan sedangkan
tingkat ngoko memiliki makna yang tidak santun. Kode dapat beralih dari varian
yang satu kepada varian yang lainnya. Peralihan kode dapat mengarah dari yang
paling formal ke kode yang paling informal, dari yang paling hormat ke kode
yang paling tidak hormat, dari kode yang lengkap ke kode yang tidak lengkap,
dari kode yang kurang dikuasai ke kode yang sudah dikuasai dan sebaliknya.
2.8 Campur Kode
Nababan (1991: 32) berpendapat bahwa campur kode adalah suatu
keadaan berbahasa lain, ialah bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa
atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discourse) tanpa
ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu.
Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang
dituruti.
Senada dengan pandangan di atas, ahli lain juga mengungkapkan batasan
mengenai campur kode adalah B.B. Kachru dalam artikelnya yang berjudul
“Toward Structuring Code Mixig: An India Perspective” (197: 28). Beliau
mengungkapkan bahwa campur kode merupakan pemakaian dua buah bahasa atau
lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa
yang lain secara konsisten.
Kridalaksana dalam Suandi (2014: 139) memberikan batasan campur kode
sebagai penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian
kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.
Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan
dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau
keotonomiannya sebagai sebuah kode. Menurut Chaer (2004: 114), seorang
penutur misalnya yang dalam berbahasa Indonesia menyelipkan serpihan-serpihan
bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode yang
menyebabkan munculnya satu ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-Jawaan
(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang ke
Sunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
Campur kode dilakukan oleh penutur bukan semata-mata karena alasan
situasi pada saat terjadinya interaksi verbal, melainkan oleh sebab-sebab yang
bersifat kebahasaan. Sumber dari campur kode biasa datang dari kemampuan
berbahasa, bisa pula datang dari kemampuan berkomunikasi, yakni tingkah laku.
Jika gejala itu hadir karena penutur telah terbiasa menggunakan bahasa campur
demi kemudahan belaka sebagai hasil dari sistem budaya, sistem sosial atau
sistem kepribadian secara terus menerus, maka gejala itu datang dari sistem
tingkah laku. Artinya, gejala ini bersumber dari kemampuan berkomunikasi
(Istiati dalam Suandi, 2014: 140).
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan
suatu bahasa secara dominan mendunkung suatu tuturan disispi dengan unsur
bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristik penutur,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri
menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun, bisa terjadi karena
keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya,
sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya
mendunkung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan
(Suandi 2014: 139).
Suandi (2014: 140) membedakan campur kode menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Campur kode ke dalam (inner code mixing)
Campur kode ke dalam adalah jenis campur kode yang menyerap unsur-
unsur bahasa asli yang masih sekerabat.
2. Campur kode ke luar (outer code mixing)
Campur kode keluar adalah campur kode yang menyerap unsur-unsur
bahas asing, misalnya gejala campur kode pada pemakaian bahasa
Indonesia terdapat sisipan bahasa Belanda, Inggris, Arab dll.
3. Campur kode campuran (hybrid code mixing)
Campur kode campuran ialah campur kode yang di dalamnya (mungkin
klausa atau kalimat) telah menyerap unsur bahasa asli (bahasa-bahasa
daerah) dan bahasa asing.
Selanjutnya Suwito (1985: 79) membagi campur kode berdasarkan unsur-
unsur kebahasaan:
1. Penyisipan unsur-unsur berwujud kata
a. “Ibu sudah dhahar belum?”
b. “Tadi kamu teko jam berapa ke kampus?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Contoh dari a. dan b. sebuah kalimat yang menggunakan campur kode
yang berupa penyisipan kata, yaitu penggunaan kata “dhahar” yang diambi dari
bahasa Jawa Krama yang berati “makan” dan kata “teko” yang diambil dari
bahasa Jawa Ngoko yang berarti “datang”.
Menurut Tarigan (1985: 19) kata dapat diartikan sebagai satuan bebas
yang paling kecil. Kata adalah bentuk bebas yang paling kecil, yaitu kesatuan
terkecil yang dapat diucapkan secara berdikari.
2. Penyisipan unsur yang berwujud frasa
Penyisipan frasa adalah penyisipan unsur frasa yang berasal dari bahasa
asing atau bahasa daerah yang masuk ke dalam tuturan yang menggnakan suatu
bahasa pokok tertentu. Berikut adalah contoh dari penyisipan unsur-unsur frasa.
a. “Berangkat ke kantor karo sapa besok?”
b. “Bapak sampun wungu. ”
Contoh pada a. karo sapa merupakan bahasa Jawa Ngoko yang berarti
“dengan siapa” , kemudian contoh b. sampun wungu bahasa Jawa Krama yang
berarti “sudah bangun”.
Ramlan (1978: 151) Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata
atau lebih yang tidak melampauai batas fungsi klausa. Unsur klausa yang terdiri
dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi itu merupakan satuan
gramatik yang disebut frasa.
3. Penyisipan unsur yang berwujud ungkapan atau idiom
Ungkapan adalah konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih,
masing-masing anggota memiliki makna yang ada bersama yang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
(Kridalaksana, 2001: 81). Ungkapan dapat berfungsi untuk menghidupkan dan
mendorong perkembangan bahasa dan akan menciptakan keindahan bahasa agar
tidak membosankan. Berikut adalah contoh penyisipan unsur berwujud ungkapan
atau idiom:
a. Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe.
Pada contoh a. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Ungkapan yang sering
ditekankan oleh orang Jawa ini memiliki arti “Kalau melakukan pekerjaan
seharusnya tanpa pamrih”.
b. Penyisipan unsur berwujud klausa
Ramlan (1987: 89) mengidentidikasikan klausa sebagai satuan gramatik yang
terdiri dari P (predikat), baik disertai S (subjek), O (objek), Pel (pelengkap),
dan K (keterangan). Kelima unsur ini memang tak selalu bersama-sama
dalam satu klausa. Terkadang klausanya hanya terdiri dari S dan P.
a. Kamu pergi sendiri saja, aku dina iki arep nderekke Simbah.
Contoh a. merupakan contoh kode berwujud klausa yang berasal dari
bahasa Jawa. Contoh diatas memiliki arti “aku hari ini mau pergi
mengantar Nenek.”
2.8.1 Faktor Penyebab Campur Kode
Dari pendapat ahli, Suwito (1983: 75) mengemukakan beberapa faktor
penyebab terjadiya peristiwa campur kode dikategorikan menjadi dua, yaitu:
1. Berlatar belakang pada sikap penutur (attitudinal type) yang meliputi
a. Untuk memperhalus ungkapan,
b. Untuk menunjukkan kemampuannya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
c. Perkembangan dan perkenalan budaya baru.
2. Berlatar belakang pada kebahasaan (linguistic type) yang meliputi
a. Lebih mudah diingat,
b. Tidak menimbulkan kehomoniman,
c. Keterbatasan kata,
d. Akibat atau hasil yang dikehendaki.
Dalam pendapat lain, Poedjosoedarmo (1976: 15) menyampaikan bahwa
faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode di antaranya ialah disebabkan oleh
mitra tutur, hadirnya orang ke tiga, bergengsi dan adanya pengaruh-pengaruh
maksud tujuan tertentu dari penutur: melawak, merayu, menggoda, menyindir,
memperjelas keterangan, dan mengakrabkan diri. Pendapat tersebut juga didukung
oleh Suandi (2014: 143) membagi faktor-faktor terjadinya campur kode yakni:
1. Keterbatasan Penggunaan Kode
Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur melakukan campur kode
karena tidak mengerti padanan kata, frasa, atau klausa dalam bahasa dasar yang
digunakannya. Campur Kode karena faktor ini lebih dominan terjadi ketika
penutur bertutur dengan kode dasar bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Keterbatasan ini menyebabkan penutur menggunakan kode yang lain dengan kode
dasar pemakian kode sehari-hari.
2. Mitra Bicara/lawan tutur
Mitra bicara dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat
bilingual, seorang pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
melakukan campur kode menggunakan bahasa lain dengan mitra bicaranya yang
memiliki latar belakang daerah yang sama.
3. Tempat Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung
4. Fungsi dan Tujuan.
Fungsi bahasa yang digunakan dalam pembicaraan didasarkan pada tujuan
berkomunikasi, fungsi bahasa merupakan ungkapan yang berhubungan dengan
tujuan tertentu, seperti memerintah, menawarkan, mengumumkan, memarahi, dan
lain sebagainya. Pembicara menggunakan bahasa menurut fungsi yang
dikehendakinya sesuai dengan konteks dan situasi berkomunikasi. Campur kode
dapat terjadi karena situasi kadang tidak sesuai atau relevan. Dengan demikian,
campur kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi
kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
Hasil penelitian skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini dilakukan
oleh Andronikus Kresna, mahasiswa Sanata Dharma dalam skripsinya berjudul
“Campur Kode dan Alih Kode pada Interaksi Informal Mahasiswa di Yogyakarta:
Studi Kasus pada Mahasiswa Asrama Lantai Merah, Jl. Cenderawasih No 1b
Demangan Baru Yogyakarta”. Andronikus Dewantara memaparkan penelitiannya
sangat memperhatikan sebuah konteks percakapan sehari-hari dalam masyarakat,
penggunaan ragam bahasa baku, serta dialek-dialek kedaerahan yang digunakan
sebagai media dalam menginterpretasi data yang telah berhasil diidentifikasi,
diklasifikasi dan dianalisis mendalam.
Dari penelitian tersebut ditemukan tiga kesimpulan. Pertama jenis campur
kode yang terdiri campur kode ke dalam (inner code-mixing) dan campur kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
keluar (outer code-mixing). Campur kode ke dalam terdiri dari penyisipan kata,
frasa, klausa, sedangkan campur kode keluar terdiri dari penyisipan kata dan frasa.
Kedua, jenis alih kode yang terdiri dari alih kode internal dan eksternal. Alih kode
internal terdiri dari alih kode antarragam formal dan informal, dan alih kode
antarbahasa yang meliputi bahasa Jawa, bahasa Batak, dan bahasa NTT,
sedangkan jenis alih kode eksternal yang meliputi alih kode bahasa Inggris.
Selain itu penelitian dilakukan oleh Galih Sarwo Nugroho (2013),
Universitas Negeri Yogyakarta dalam skripsinya berjudul “Alih Kode dan
Campur Kode dalam Rapat sosialisasi di Kecamatan Karang Malang Kabupaten
Sragen”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan alih kode dan campur
kode, beserta faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam
rapat sosialisasi di Kecamatan Karang Malang Kabupaten Sragen. Hasil penelitian
ini terkait dengan jenis-jenis alih kode (internal) meliputi, alih kode antarbahasa,
dan alih kode antarragam. Alih kode antarbahasa dalam penelitian ini adalah alih
kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, sedangkan alih kode antarragam yang
ditemukan adalah alih kode dari ragam formal ke ragam informal dan ragam
informal ke ragam formal. Faktor-faktor pemyebab terjadinya alih kode meliputi
a) untuk menghormati lawan tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan sesuatu, (2)
menanyakan sesuatu, (3) mengharapkan sesuatu. b) agar lebih akrab dengan lawan
tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan sesuatu, (2) memberitahukan sesuatu, (3)
menanyakan sesuatu, (4) mengharapkan sesuatu, (5) memberi contoh, (6)
menyarankan sesuatu, (7) menyatakan larangan. Campur kode yang ditemukan
berupa campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
pada penelitian ini adalah bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia, yang ditandai dengan bentuk kata, frasa, dan reduplikasi. Campur kode
ke luar pada penelitian ini adalah bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Inggris
dan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang ditandai dengan bentuk kata,
frasa, reduplikasi, dan istilah. Faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode
meliputi a) untuk menghormati lawan tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan
sesuatu, (2) menanyakan sesuatu, (3) memberitahukan sesuatu, (4) mengharapkan
sesuatu, b) agar lebih akrab dengan lawan tutur dengan tujuan: (1) menyatakan
larangan, (2) menjelaskan sesuatu, c) menunjukkan kepercayaan penutur dengan
tujuan, (1) menyatakan rasa syukur, (2) mengharapkan rasa sesuatu, d) pengaruh
bahasa pertama penutur, e) ketiadaan padanan kata yang tepat, f) kebiasaan
penutur menggunakan kata tertentu, g) menyatakan bentuk jamak.
Kedua penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti yang berjudul “Alih Kode dan Campur Kode Dalam
Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa” kesamaan penelitianya terletak pada permasalahan yang
diangkat yaitu mengenai fenomena alih kode dan campur kode. Perbedaannya ada
pada pada objek dan subjek penelitian, serta peneliti menambahkan analisis
mengenai faktor-faktor sosial-situasional yang memengaruhi pemakaian bahasa
yang menyebabkan terjadinya alih kode dan campur kode.
2.9 Alih Kode
Kata alih kode (code switching) terdiri atas dua bagian, yaitu kata alih
yang berarti „pindah‟, sedangkan kode berarti „salah satu variasi di dalam tataran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
bahasa‟. Dengan demikian secara etimologi alih kode (code switching) dapat
diartikan sebagai peralihan atau pergantian (perpindahan) dari suatu varian bahasa
ke bahasa lain (Suandi, 2014: 132).
Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa
lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa alih
kode dapat terjadi pada masyarakat bahasa bilingual atau multilingual, namun
juga terjadi pada masyarakat bahasa monolingual. Pada masyarakat bilingual atau
multilingual, alih kode dapat terjadi dari varian bahasa yang satu ke varian bahasa
yang lain.
Sejalan dengan pendapat para peneliti sebelumnya, Suandi (2014: 132)
juga mengemukakan bahwa alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling
ketergantungan bahasa di dalam masyarakat bilingual atau multilingual.
Menurutnya, alih kode adalah suatu peralihan pemakaian suatu bahasa ke dalam
bahasa lain, atau dari satu variasi ke variasi bahasa lain.
Dell Hymes dalam Jendra (2007: 156) mengungkapkan bahwa alih kode
merupakan suatu istilah umum yang digunkan unttuk menyatakan pergantian
(peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa
atau bahkan beberapa ragam dari satu gaya.
R. Appel dalam Jendra (2007: 156) memberikan pengertian bahwa alih
kode ialah peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Senada dengan
pendapat di atas, Chaer (2014: 106) secara terperinci alih kode dapat diartikan
sebagai peristiwa peralihan bahasa dari satu ragam ke ragam lain, dari satu bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
ke bahasa lain yang dilakukan secara sadar dan bersebab. Misalnya penutur
menggunakan bahasa Indonesia beralih ke bahasa Jawa. Alih kode merupakan
salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat multilingual. Dalam
masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan
satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung
fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa alih kode
merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengacu pada sebuah situasi
pergantian pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa
dalam suatu peristiwa tutur.
Terkait dengan bentuk alih kode, Thomson (dalam Rosita, 2011)
menyebutkan bahwa alih kode adalah peralihan antarkalimat, yang beralih dari
satu bahasa ke dalam bahasa lain pada batas kalimat. Suwito (dalam Rosita, 2011)
mengungkapkan bahwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih
gaya, atau alih register. Dapat dikatakan bahwa alih kode menunjukkan suatu
gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasi
relevansial di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Dapat disimpulkan bahwa
bentuk alih kode adalah alih varian, alih ragam, alih gaya, atau alih register. Alih
kode secara bahasa dapat di lihat dari alih bahasa dan alih ragam dalam dua
konteks yang berbeda, jadi alih kode ditandai dengan satu bahasa dialihkan ke
dalam bahasa lain, pada konteks situasi yang berbeda. Pengalihan kode dilakukan
dengan sadar dan bersebab. Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode
itu, maka kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dikemukakan (Fishman dalam Chaer, 2014: 49) yaitu “siapa berbicara, dengan
bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”.
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang
bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh penutur dan lawan tutur
dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Selain itu, berubahnya topik
pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Peristiwa ini terjadi
karena biasanya adanya perubahan situasi dari situasi tidak formal ke situasi
formal maupun sebaliknya.
Suwito (1985) membagi alih kode menjadi dua:
1. Alih kode internal terjadi apabila alih bahasa, maksudnya terjadi bila si
pembicara dalam pergantian bahasanya menggunakan bahasa-bahasa yang
masih dalam ruang lingkup bahasa nasional atau antardialek dalam satu
bahasa daerah atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam
satu dialek. Misalnya, pembicaraan si A mula-mula berbahasa Indoneia
baku kerana situasi menuntut ia beralih kode ke dalam bahasa Indonesia
dialek Jakarta, kemudian berubah lagi ke bahasa daerah (Yogyakarta) dan
seterusnya.
2. Alih kode eksternal apabila alih kode antar bahasa-bahasa daerah dalam satu
bahasa nasional, antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau
beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. Misalnya si
pembicara mula-mula menggunakan bahasa Indonesia karena situasi
menghendaki, dia beralih menggunakan bahasa Inggris, pada situasi lain ke
bahasa Jepang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
2.9.1 Faktor Penyebab Alih Kode
Penyebab terjadinya alih kode menurut Suwito (1983: 72-74), yaitu:
1. Penutur, seorang penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih
kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha
tersebut dilakukan dengan maksud mengubah situasi, yaitu dari situasi
resmi ke situasi tak resmi.
2. Mitra tutur, setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa
yang dipergunakan oleh lawan tuturnya.
3. Hadirnya pihak ketiga, kehadiran orang ketiga kadang-kadang juga dapat
dipakai sebagai penentu berubahnya kode yang dipakai oleh seseorang
dalam berkomunikasi. Misalnya dua orang yang berasal dari kelompok
etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa
kelompok etniknya. Tetapi apabila kemudian hadir orang ketiga dalam
pembicaraan itu yang berbeda latar kebahasaannya, maka biasanya dua
orang pertama beralih ke dalam bahasa yang dikuasai oleh ketiganya.
4. Membangkitkan rasa humor, tuturan untuk membangkitkan rasa humor
dapat pula menyebabkan peristiwa alih kode, yaitu pada berubanya
suasana menjadi lebih santai dan akrab antara penutur dan mitra tutur
sehingga merubah kode diantara keduanya.
5. Sekedar bergengsi, yaitu di mana sebagian penutur yang beralih kode
sekedar untuk bergengsi. Hal itu terjadi apabila baik faktor situasi, lawan
bicara, topik, dan faktor-faktor sosio-situasional yang lain sebenarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
tidak mengharuskan untuk berlaih kode.Setiap alih kode selalu dikuti oleh
fungsi yang berbeda sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Pendapat di atas dipertegas oleh Chaer dan Agustina (2014: 108) bahwa
faktor-faktor terjadinya alih kode adalah sebagai berikut:
1. Pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk
mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
2. Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
Misalnya karena si penutur ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si
lawan tutur kurang atau agak kurang karena memang mungkin bukan
bahasa pertamanya. Kalau si lawan tutur berlatar belakang bahasa yang
sama dengan penutur, maka alih kode yang terjadi hanya berupa peralihan
varian (baik regional maupun sosial), ragam, gaya, atau register. Kalau si
lawan tutur berlatar belakang bahasa yang tidak sama dengan si penutur,
maka yang terjadi adalah alih bahasa.
3. Kehadiran orang ke tiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang
bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan
lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode.
4. Perubahan situasi bicara dan topik pembicaraan dapat menyebabkan
terjadinya alih kode.
Hasil penelitian sebelumnya dilakukan oleh Galih Sarwo Nugroho (2013),
Universitas Negeri Yogyakarta dalam skripsinya berjudul “Alih Kode dan
Campur Kode dalam Rapat sosialisasi di Kecamatan Karang Malang Kabupaten
Sragen”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan alih kode dan campur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
kode, beserta faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode dalam
rapat sosialisasi di Kecamatan Karang Malang Kabupaten Sragen. Hasil penelitian
ini terkait dengan jenis-jenis alih kode (internal) meliputi, alih kode antarbahasa,
dan alih kode antarragam. Alih kode antarbahasa dalam penelitian ini adalah alih
kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, sedangkan alih kode antarragam yang
ditemukan adalah alih kode dari ragam formal ke ragam informal dan ragam
informal ke ragam formal. Faktor-faktor pemyebab terjadinya alih kode meliputi
a) untuk menghormati lawan tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan sesuatu, (2)
menanyakan sesuatu, (3) mengharapkan sesuatu. b) agar lebih akrab dengan lawan
tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan sesuatu, (2) memberitahukan sesuatu, (3)
menanyakan sesuatu, (4) mengharapkan sesuatu, (5) memberi contoh, (6)
menyarankan sesuatu, (7) menyatakan larangan. Campur kode yang ditemukan
berupa campur kode ke dalam dan campur kode ke luar. Campur kode ke dalam
pada penelitian ini adalah bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Jawa ke bahasa
Indonesia, yang ditandai dengan bentuk kata, frasa, dan reduplikasi. Campur kode
ke luar pada penelitian ini adalah bentuk penyisipan unsur-unsur bahasa Inggris
dan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia yang ditandai dengan bentuk kata,
frasa, reduplikasi, dan istilah. Faktor-faktor penyebab terjadinya campur kode
meliputi a) untuk menghormati lawan tutur dengan tujuan: (1) menjelaskan
sesuatu, (2) menanyakan sesuatu, (3) memberitahukan sesuatu, (4) mengharapkan
sesuatu, b) agar lebih akrab dengan lawan tutur dengan tujuan: (1) menyatakan
larangan, (2) menjelaskan sesuatu, c) menunjukkan kepercayaan penutur dengan
tujuan, (1) menyatakan rasa syukur, (2) mengharapkan rasa sesuatu, d) pengaruh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
bahasa pertama penutur, e) ketiadaan padanan kata yang tepat, f) kebiasaan
penutur menggunakan kata tertentu, g) menyatakan bentuk jamak
2.10 Bahasa dan Konteks
Menurut KBBI (2007), bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang
arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk
melakukan kerjasama, berinteraksi dan megidentifikasi diri. Selanjutnya, KBBI
(2007) memberikan definisi konteks sebagai situasi yang ada hubungannya
dengan suatu kejadian. Di dalam proses komunikasi, bahasa dan konteks tentunya
saling mempengaruhi. Individu apat saja melakukan komunikasi dengan
menggunakan bahasa tertentu apabila konteksnya tertentu pula.
Sebagai contoh bahasa dan konteks, seseorang akan cenderung untuk
menggunakan bahasa Indonesia apabila konteksnya formal dalam situasi kantor,
sekolah ataupun dalam situasi rapat. Dalam situasi non formal misalnya dalam
suasana interaksi interaksi jual beli di pasar, kemungkinan seseorang yang terlibat
di dalam interaksi di pasar tersebut juga akan menggunakan bahasa yang tidak
formal dalam berkomunikasi, misalnya dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang tidak baku atau bahasa Indonesia dengan logat kejawa-jawaan, bahasa Jawa
Ngoko dan bahasa Jawa Krama. Hal tersebut dikarenakan bahasa Indonesia
dengan logat kejawa-jawaan, bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama adalah
merupakan hasil dari proses komunikasi interaksi di pasar yang dapat dipakai
dalam konteks non formal saat komunikasi berlangsung.
Terkait dengan hal tersebut Holmes (dalam Adi: 2013) menyatakan bahwa
tidak terdapat kesepakatan yang secara universal tentang bahasa mana yang paling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
baik yang akan dipakai di dalam proses komunikasi. Kesemuanya itu bergantung
kepada konteks komunikasinya tersebut. Di antara bahasa dan konteks biasanya
dapat terjadi di dalam situasi tutur. Sedangkan Hymes (dalam Aslinda dan
Syafyahya, 2007: 34), juga menyatakan bahwa menurut pengamatannya, situasi
tutur adalah:
Situasi ketika tuturan dapat dilakukan dan dapat pula tidak dilakukan,
situasi tidak murni komunikatif dan tidak mengatur adamya aturan
berbicara, tetapi mengacu pada konteks yang mengasilkan aturan
berbicara. Sebuah peristiwa tutur terjadi dalam satu situasi tutur dan
peristiwa itu mengandung satu atau lebih tindak tutur.
Dari pendapat di atas, dapat diketahi bahwa dalam suatu proses
komunikasi, bahasa tidak lepas dari konteks yang saling mempengaruhi terhadap
tindak komunikasi. Poedjosoedarmo (dalam Rahardi: 2001) menyatakan konsep
tuturan yang sebetulnya merupakan pengembangan dari konsep tuturan yang
disampaikan oleh Hymes yang telah dijelaskan. Beberapa pembenahan tersebut,
yang tentunya disesuaikan dengan kenyataan nyata di Indonesia. Akibatnya
adalah komponen tutur dalam versinya menjadi lebih rinci dan luas melebihi
komponen tutur yang dipakai sebagai dasar teorinya. Menurutnya, terdapat
sedikitnya tiga belas komponen yang ada dalam sebuah tuturan antara lain adalah
sebagai berikut:
1. Pribadi si penutur atau orang pertama.
Identitas orang pertama ini ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu
a. keadaan fisiknya,
b. keadaan mentalnya, dan
c. kemampuan berbahasanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
2. Anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang
yang diajak bicara.
3. Kehadiran orang ketiga.
4. Maksud dan kehendak si penutur.
5. Warna emosi si penutur.
6. Nada suasana bicara.
7. Pokok pembicaraan.
8. Urutan bicara.
9. Bentuk wacana.
10. Sarana tutur.
11. Adegan tutur.
12. Lingkungan tutur.
13. Norma kebahasaan lainnya.
Senada dengan pendapat di atas (Nababan, 1986) mengemukakan bahwa
terdapat faktor-faktor sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa adalah status
sosial, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dsb. Kemudian,
faktor situasional yang meliputi siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada
siapa, kapan, di mana mengenai hal apa, dalam situasi yang bagaimana, apa jalur
yang digunakan, ragam bahasa mana yang digunakan, serta tujuan pembicaraan
(Nababan, 1986).
Holmes (dalam Adi: 2013) mengemukakan pengguna tutur sapa
berdasarkan empat macam skala. Keempat skala yang dimaksud antara lain adalah
sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
1. Jarak sosial (social distance), yaitu dimensi yang didasarkan atas perbedaan
jauh-dekat hubungan sosial dan usia.
2. Status (status), yaitu dimensi yang didasarkan atas perbedaan tinggi-
rendahnya status sosial.
3. Keformalan (formality), yaitu dimensi yang didasarkan atas perbedaan
situasi (waktu dan tempat) serta tipe interaksi.
4. Fungsi referensial dan afektif (the referential and affective function), yaitu
dimensi yang didasarkan atas tujuan dan topik interaksi.
Jadi, berdasarkan keempat skala menurut Holmes di atas menunjukkan
bahwa tuturan suatu individu tidak lepas dari beberapa pengaruh dari luar
individu tersebut, misalnya pengaruh interaksi dengan individu lain ataupun
pengaruh situasi dari peristiwa tutur tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
2.11 Kerangka Berpikir
CAMPUR KODE DAN ALIH KODE DALAM
INTERAKSI JUAL BELI DI PASAR
TRADISIONAL KRANGGAN TEMANGGUNG
SOSIOLINGUISTIK
CAMPUR KODE ALIH KODE
BENTUK ALIH
KODE
FAKTOR CAMPUR
KODE
BENTUK CAMPUR
KODE
FAKTOR ALIH KODE
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Campur kode dan alih kode merupakan salah satu fenomena dalam kajian
sosiolinguistik. Dikatakan sebagai kajian sosiolinguistik karena berhubungan
dengan bahasa dan masyarakat penuturnya. Di dalam masyarakat tutur terdapat
variasi-variasi bahasa karena adanya interaksi sosial yang terjadi antara
masyarakat tutur satu dengan masyarakat tutur yang lain. Campur kode dan alih
kode merupakan fenomena kedwibahasaan dalam masyarakat tutur. Interaksi antar
masyarakat tutur menyebabkan terjadinya kedwibahasaan.
Penelitian ini mendeskripsikan alih kode dan campur kode dan dalam
interaksi jual beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa dan menggunakan kerangka berpikir dan pisau analisis dari
perspektif sosiolinguistik. Hasil dari penelitian ini berupa bentuk dan faktor
penyebab terjadinya alih kode dan bentuk campur kode beserta faktor yang
menjadi penyebab terjadinya campur kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini dipaparkan mengenai metode penelitian. Hal-hal yang
mengenai metode penelitian meliputi : (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan
data, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5)
metode dan teknik analisis data, serta (6) sajian analisis data.
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Bogdan dan
Taylor dalam Moleong, 2006: 4).
Selanjutnya, Moleong (2014: 6) mengatakan bahwa penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain secara holistik, dengan cara dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah. Sejalan dengan definisi tersebut penelitian meneliti tuturan campur
kode dan alih kode dengan subjek penjual dan pembeli di Pasar ini
mendeskripsikan temuan penelitian dalam bentuk kata-kata, yang didasarkan
dengan situasi yang alamiah dan tidak dibuat-buat.
Penelitian ini mengkaji Alih Kode dan Campur Kode Dalam Interaksi Jual
Beli di Pasar Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan faktor-faktor penyebab yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
melatar belakangi terjadinya alih kode dan campur kode pada tuturan interaksi
jual beli di Pasar Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa
melalui pendekatan deskriptif kualitatif seperti yang dipaparkan di atas, penelitian
ini dilakukan berdasarkan kenyataan yang benar-benar terjadi di lapangan.
3.2 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah penjual dan pembeli di Pasar Tradisional
Kranggan, Temanggung. Penelitian ini membahas tentang studi kasus campur
kode dan alih kode penjual dan pembeli etnis Jawa. Peneliti memfokuskan
penelitian ini pada fenomena alih kode dan campur kode, dalam deskripsi data ini
peneliti menjabarkan tentang latar belakang penutur dan lawan tutur, faktor sosial
serta situasional yang melakukan alih kode dan campur kode yang digunakan
penjual dan pembeli di pasar tradisional Kranggan, Temanggung.
Penelitian studi kasus pada penjual dan pembeli di pasar tradisional
Kranggan, Temanggung peneliti mengambil lima contoh penjual dan pembeli
yang melakukan campur kode dan alih kode. Peneliti mengambil data dengan
teknik sadap dimana peneliti mengambil data secara diam-diam saat melakukan
perekaman.
Berikut biodata penjual yang tuturannya direkam dalam interaksi jual beli
di pasar tradisional Kranggan, Temanggung.
1. Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 tahun
Tingkat Pendidikan : SMP
Tingkat Ekonomi : Menengah ke bawah
Asal : Jawa
Profesi : Pedagang ayam potong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Tingkat Pendidikan : SMP
Tingkat Ekonomi : Menengah ke bawah
Asal : Jawa
Profesi : Pedagang mainan anak
3. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Tingkat Pendidikan : SD
Tingkat Ekonomi : Kelas menengah
Asal : Jawa
Profesi : Pedagang busana muslim
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Tingkat Pendidikan : SMP
Tingkat Ekonomi : Menengah ke bawah
Asal : Jawa
Profesi : Pedagang buah
5. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : -
Tingkat Pendidikan : SD
Tingkat Ekonomi : Menengah ke bawah
Asal : Jawa
Profesi : Pedagang umbi-umbian
Berikut biodata pembeli yang tuturannya direkam dalam interaksi jual beli
di pasar tradisional Kranggan, Temanggung.
1. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 30 tahun
Tingkat Pendidikan : SMP
Tingkat Ekonomi : Menengah ke bawah
Asal : Jawa
Profesi : -
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 30 tahun
Tingkat Pendidikan : SMA
Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas
Asal : Jawa
Profesi : -
3. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : -
Tingkat Pendidikan : SMP
Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas
Asal : Jawa
Profesi : -
4. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Tingkat Pendidikan : D3/S1
Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas
Asal : Jawa
Profesi : PNS
5. Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Tingkat Pendidikan : SMA
Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas
Asal : Jawa
Profesi : -
3.3 Sumber Data dan Data
Subjek penelitian ini adalah penjual dan pembeli di Pasar tradisional
Kranggan, Temanggung. Arikunto (2010: 172) menyatakan sumber data
merupakan tempat asal muasal data diperoleh. Sejalan dengan definisi tersebut
maka sumber data dalam penelitian ini ialah percakapan yang dilakukan antara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
penutur dan mitra tutur di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung. Penutur dan
mitra tutur dalam penelitian ini adalah penjual dan pembeli atau sebaliknya.
Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan penjual dan pembeli di
Pasar tradisional Kranggan, Temanggung yang diambil secara acak dan
mengandung campur kode dan alih kode. Data merupakan hasil pencatatan
peneliti tentang objek penelitian. Hasil pencatatan peneliti tersebut dapat berupa
kata dan dapat berupa angka (Soewandi, 2007: 16). Sejalan dengan definisi diatas
maka data dalam penelitian ini berupa kata-kata yang merupakan tuturan langsung
yang berwujud tuturan alih kode dan campur kode yang direkam dan
ditranskripkan oleh peneliti.
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian Alih Kode dan Campur Kode
dalam Interasi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedangang Etnis Jawa ini adalah dengan menggunakan metode simak beserta
teknik lanjutannya yaitu teknik sadap, teknik Simak Bebas Libat Cakap (SBLC),
teknik rekam, dan teknik catat.
1. Metode simak adalah teknik pengumpulan data dengan cara menyimak
penggunaan bahasa (Mahsun, 2012: 92). Peneliti akan menyimak bahasa
antara penjual dan pembeli yang berupa tuturan alih kode dan campur kode
2. Teknik sadap yaitu teknik sadap digunakan peneliti untuk mendapatkan
data, peneliti dengan segala kecerdikannya dan kemauaannya harus
menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang (Sudaryanto,
1993:134). Teknik sadap atau kegiatan menyadap dapat dipandang sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
teknik dasar pada penelitian ini. Teknik sadap digunakan untuk menyadap
tuturan interaksi penjual dan pembeli di Pasar tradisional Kranggan,
Temanggung.
3. Metode Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) yaitu peneliti hanya berperan
sebagai pengamat penggunaan bahasa oleh para informannya. Dia tidak
terlibat dalam peristiwa pertuturan yang bahasanya sedang diteliti (Mahsun,
2012: 92). Teknik simak bebas libat cakap digunakan untuk menyimak
tuturan dalam interaksi penjual dan pembeli di Pasar tradisional Kranggan,
Temanggung.
4. Teknik rekam, yaitu teknik merekam yang digunakan pada saat proses
pembicaan berlangsung, perekaman dapat dilakukan dengan tape recorder
tertentu sebagai alatnya (Sudaryanto, 1993: 135). Teknik ini digunakan agar
peneliti dapat menangkap atau mendokumentasikan bentuk tuturan campur
kode dan alih kode dalam interaksi jual beli di Pasar tradisional Kranggan,
Temanggung yang kemudian akan ditranskrip dan dideskripsikan.
5. Teknik catat yaitu pencatatan yang dilakukan ketika teknik pertama, kedua,
ketiga selesai dilakukan, pencatatan dilakukan dengan menggunakan alat
tulis tertentu (Sudaryanto, 1993: 135). Teknik catat digunakan untuk
mentranskrip data tuturan dalam interaksi penjual dan pembeli di Pasar
tradisional Kranggan, Temanggung, kemudian dilakukan pengkodean data
laih kode campur kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian “Alih Kode dan Campur Kode
Dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa” ialah peneliti itu sendiri. Peneliti itu sendiri
digunakan dalam penelitian ini karena peneliti bertindak sebagai orang yang
merancana, melaksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data, merevisi,
sebagai orang yang melaporkan penelitian (Moleong, 2014: 168). Serta
berdasarkan pada kriteria-kriteria yang dipahami serta berbekal pengetahuan
sebelumnya mengenai teori-teori sosiolinguistik khusunya Alih Kode dan Campur
Kode. Teori tersebut akan digunakan untuk menganalisis penggunaan “Alih Kode
dan Campur Kode Dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Tradisional Kranggan,
Temanggung: Studi Kasus Pedangang Etnis Jawa”
3.6 Metode dan Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini mengacu pada
kajian analisis kontekstual, yakni dengan membagi jenis-jenis konteks dalam
menafsirkan data yang telah berhasil diidentifikasi dan diklasifikasikan. Analisis
data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasi dan
mengelompokkan data. Pada tahap ini, dilakukan upaya mengelompokkan,
menyamakan data yang sama, dan membedakan data yang memang berbeda, serta
menyisihkan pada kelompok lain yang serupa, tetapi tidak sama (Mahsun,
2007:253). Adapun langkah-langkah untuk menganalisis data dalam penelitian ini
sebagai berikut (Pranowo, 2016).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
1. Peneliti mengidentifikasi data berdasarkan bentuk-bentuk alih kode dan
campur kode.
2. Peneliti mengklasifikasikan data tuturan alih kode dan campur kode
berdasarkan alih kode internal, campur kode internal eksternal, faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode.
3. Peneliti menginterpretasi data berdasarkan teori alih kode, campur kode
yang menjadi acuan.
4. Peneliti mendiskripsikan data dan melakukan pembahasan berdasarkan
kajian sosiolinguistik.
Berikut ini merpakan kangka-langkah yang akan dijadikan peneliti
sebagai dasar analisis data. Dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Setelah data terkumpul peneliti mengidentifikasi tuturan yang dicurigai
mengandung alih kode dan campur kode pada tuturan interaksi interaksi
penjual dan pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa.
2. Setelah data diidentifikasi peneliti mentranskrip hasil rekaman yang didapat
di lapangan.
3. Setelah data ditranskrip kemudian diklasifikasi berdaskan ciri-ciri tertentu
agar dapat membedakan Alih Kode dan Campur Kode pada tuturan interaksi
penjual dan pembeli di Pasar Tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa.
4. Peneliti membuat pengkodean. Terdapat tiga komponen pengkodean,
misalnya AK/01/290917 atau CK/01/290917. Kode AK untuk menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
wujud alih kode, kode CK untuk menjelaskan wujud campur kode, kode 01
dst menjelaskan urutan tuturan, kemudian 290917 menjelaskan kapan data
tersebut diambil atau direkam.
5. Peneliti menginterpretasi atau memaknai maksud dari tuturan interaksi
penjual dan pembeli yang mengandung alih kode dan campur kode.
6. Mengidentifikasi tuturan penjual dan pembeli yang telah ditranskripkan
berdasarkan bentuk perubahan kode (berdasarkan satuan lingual kata, frasa,
klausa dan bentuk perubahan bahasa dalam alih kode).
7. Mengidentifikasi tuturan penjual dan pembeli berdasarkan kategorinya
(bentuk campur kode ke dalam, campur kode keluar, campur kode
campuran dan alih kode ke luar, alih kode ke dalam)
8. Mendeskripsikan faktor penyebab dari teori-teori yang akan digunakan.
9. Peneliti menyusun hasil penelitian.
3.7 Triangulasi
Menurut Lexy J. Moleong (2014: 330) triangulasi adalah teknik
pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data
untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data. Dalam penelitian ini,
peneliti membuat triangulasi dengan tujuan melakukan pengecekan terhadap
keabsahan dan keterpercayaan hasil temuan. Melalui triangulasi data tersebut,
peneliti dapat membandingkan beberapa teori campur kode dan alih kode dari
beberapa ahli bahasa. Peneliti melakukan proses triangulasi dengan melakukan
bimbingan bersama dosen yang berperan sebagai triangulator, yaitu Albertus
Danang Satria Nugraha, M.A.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Data penelitian ini berupa tuturan yang mengandung campur kode dan alih
kode dalam interaksi jual beli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi
Kasus Pedagang Etnis Jawa yang diperoleh dalam waktu dua minggu antara
tanggal 29 September - 14 Oktober 2017. Data setiap percakapan dibagi menjadi
beberapa dialog untuk dianalisis dan dikategorikan ke dalam bentuk kode yang
termasuk alih kode dan campur kode beserta faktor penyebab, sehingga
didapatkan 55 analisis data yang ditabulasikan. Data tersebut terbagi atas 11 data
alih kode dan 44 data campur kode, dengan faktor penyebab terjadinya alih kode
dan campur kode.
Alih kode dibagi menjadi dua jenis yaitu alih kode internal dan eksternal
yang dibagi lagi menjadi dua macam yaitu antarragam dan antarbahasa. Dalam
penelitian ini, didapat hanya dua macam alih kode yaitu antarbahasa dan
antarvarian bahasa Jawa Krama-bahasa Jawa Ngoko dan sebaliknya.
Campur kode terbagi menjadi dua bentuk, yaitu campur kode internal dan
eksternal, peneliti juga memaparkan faktor yang menyebabkan terjadinya campur
kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tabel 4.1 Jumlah Campur Kode dan Alih Kode
No. Bentuk Kode Jumlah Persentase
1. Campur Kode Eksternal 1 2%
2. Campur Kode Internal 43 78%
3. Alih Kode Internal 11 20%
Jumlah 55 100%
4.2 Hasil Penelitian
Dalam analisis data ini, peneliti akan memaparkan bentuk alih kode
internal beserta faktor penyebab terjadinya, kemudian campur kode internal dan
eksternal beserta faktor penyebab terjadinya dalam tuturan penjual dan pembeli di
Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedangang Etnis Jawa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, diketahui bahwa di dalam
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Alih
kode
internal
Campur
kode
eksternal
Campur
kode
internal
Pro
sen
tase
AK
da
n C
K
Campur kode internal
Campur kode eksternal
Alih kode internal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
tuturan penjual dan pembeli, peneliti menemukan fenomena alih kode dan campur
kode. Fenomena alih kode hanya ditemukan internal saja, dan fenomena campur
kode ditemukan internal dan eksternal. Pembahasan lebih terperinci sebagai
berikut.
4.3 Alih Kode
Kridalaksana (1982: 7) mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa
lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa alih
kode dapat terjadi pada masyarakat bahasa bilingual atau multilingual, namun
juga terjadi pada masyarakat bahasa monolingual. Pada masyarakat bilingual atau
multilingual, alih kode dapat terjadi dari varian bahasa yang satu ke varian bahasa
yang lain.
Alih kode internal pada umumnya terbagi menjadi dua, yaitu alih kode
antarbahasa dan alih kode antarragam. Namun, alih kode yang terjadi pada tuturan
dalam interaksi penjual dan pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung:
Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa ini hanyalah alih kode antarbahasa dan
antarvarian bahasa saja. Alih kode antarbahasa merupakan alih kode yang
dilakukan antara bahasa satu dengan bahasa yang lain yang masih sekerabat.
Alih kode antarvarian adalah alih kode yang dilakukan antara varian
bahasa satu dengan varian bahasa lain dengan ditunjukkan dengan tingkatan
bahasanya, misalnya bahasa Jawa Ngoko kebahasa Jawa Krama atau sebaliknya.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan fakta tentang penggunaan alih kode di
Pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
meliputi alih kode internal ragam informal yang terdiri atas alih kode internal
antarbahasa dan antarvarian.
4.3.1 Bentuk alih kode internal antarbahasa (bahasa Indonesia ke bahasa
Jawa Ngoko)
(DATA AK/06/101017)
Pembeli : “Vespa atau mobil atau truk gitu ada nggak, Mas?”
Penjual : “Ada mas, milih aja mau yang besar apa kecil ada.”
Pembeli : “Pironan Mas?”
(Berapa Mas)
Penjual : “Gawe buka dasaran tak kei rego mitung puluh.”
(Buat bukan awal saya kasih harga tujuh puluh ribu)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual mainan
anak, penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki,
kurang lebih berumur 30 tahun dengan tingkat pendidikan SMP serta tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut
berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 30 tahun dengan tingkat
pendidikan SMA serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Pada percakapan awal tersebut, pembeli memilih kode bahasa Indonesia
untuk mengawali percakapan “Vespa atau mobil atau truk gitu ada nggak, Mas?”
Hal ini dimaksudkan untuk menanyakan mainan anak yang ingin dibeli oleh
penutur atau pembeli. Namun pada percakapan selanjutnya pembeli justru beralih
kode ke dalam bahasa Jawa ngoko, dapat dilihat dari tuturan “Pironan Mas?”
kemudian penjual tersebut beralih kode ke bahasa Jawa sebagai pilihan yang tepat
untuk menciptakan suasana yang lebih santai dan mempermudah dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
melakukan komunikasi dengan bahasa pembelinya. Seperti pada percakapan di
atas di mana penjual tersebut akhirnya ikut beralih kode dari bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa Ngoko ditandai dengan tuturan “Gawe buka dasaran tak kei rego
mitung puluh.
4.3.2 Alih kode internal antarbahasa (bahasa Indonesia ke bahasa Jawa
krama)
Pembeli : “Cari kerudung segitiga warna hitam.”
Penjual : “Polos apa ada motif?”
Pembeli : “Mrisani kados napa, Bu?”
(Coba lihat seperti apa)
Penjual : “Niki tigang dasa gangsal, nek sing ajeng alus malih bahan e
seket.”
(Ini tiga pulih lima ribu, kalau mau bahan yang lebih halus
lima puluh ribu)
Pembeli : “Pantes mboten niki?”
(Ini pantas tidak dipakai)
Penjual : “Sedaya umur saget, Mbak. Pas kawan dasa.”
(Segala umur bisa, Mbak. Harga pas empat puluh ribu)
Pembeli : “Kalih niki.”
(Yang ini dua)
(DATA AK/09/131017)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual busana
muslim. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin perempuan,
kurang lebih berumur 40 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan, dengan tingkat pendidikan SMP serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Diawal percakapan tersebut, pembeli
memilih kode bahasa Indonesia untuk mengawali percakapan “Cari kerudung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
segitiga warna hitam.” Hal ini dimaksudkan untuk memberi tahu penjual bahwa
pembeli sedang mencari kerudung berwarna hitam. Namun, pada interaksi
selanjutnya pembeli justru beralih kode ke dalam bahasa Jawa krama sebagai
pilihan yang tepat untuk menghormati lawan tutur, dapat dilihat dari tuturan
“Mrisani kados napa, Bu?”. Kemudian percakapan selanjutnya penjual tersebut
akhirnya ikut beralih kode ke dalam bahasa Jawa krama ditandai dengan tuturan
“Niki tigang dasa gangsal, nek sing ajeng alus malih bahan e seket.”
4.3.3 Alih kode internal antarvarian (Bahasa Jawa krama ke bahasa Jawa
ngoko)
Pembeli : “Nanas e pironan Mas?”
(Buah nanasnya berapa, Mas)
Penjual : “Wolung ewu Bu, murah mawon.”
(Delapan ribu Bu, murah saja)
Pembeli : “Kok larang Mas, wingi aku tuku pitung ewu wae gede
kok.”
(Kok mahal Mas, kemarin saya beli saja dapat harga
tujuh ribu lima ratus saja dapat yang besar)
Penjual : “Nanas super Bu, apik.”
(Nanas jenis super, bagus kualitasnya)
(DATA AK/03/290917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual buah.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang
lebih berumur 30 tahun dengan tingkat pendidikan SMP serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan, seorang pegawai negeri sipil serta tergolong dalam tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
ekonomi kelas menengah ke atas. Pembeli mengawali percakapan menggunakan
bahasa Jawa Ngoko untuk mengawali percakapan “Nanas e pironan Mas?”
kemudian dijawab oleh lawan tutur yakni penjual dengan menggunakan bahasa
Jawa krama “Wolung ewu Bu, murah mawon.” dengan upaya untuk menghargai
pembeli. Namun pada interaksi selanjutnya pembeli tidak beralih kode ke bahasa
Jawa Krama melainkan tetap menggunakan bahasa Jawa Ngoko, dapat dilihat dari
tuturan “Kok larang Mas, wingi aku tuku pitung ewu wae gede kok.” Kemudian
percakapan selanjutnya penjual tersebut akhirnya ikut beralih kode ke dalam
bahasa Jawa Ngoko untuk memperlancar tuturan di antara keduanya ditandai
dengan tuturan “Nanas super Bu, apik.”
Peristiwa alih kode di atas juga terjadi pada percakapan
(DATA AK/04/300917)
Penjual : “Pun, sampun mak jeglek, pun anget niki.”
(Sudah pas timbangannya)
Pembeli : “Iki katutno, sak util mene.”
(Ini dimasukkan, kecil saja)
Penjual : “Wis pas, mang dipresani.”
(Sudah pas, coba dilihat)
Pembeli : “Alah teko tambahi siji ora marahi rugi.”
(Tambah satu tidak membuat rugi)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-
umbian.suasana tuturan non formal. Data terjadi pada saat sore hari. Penutur
merupakan seorang penjual dan lawan tutur merupakan seorang pembeli. Penjual
tersebut berjenis kelamin perempuan, dengan tingkat pendidikan SD serta
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli
tersebut berjenis kelamin perempuan, dengan tingkat pendidikan SD serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Pada cuplikan data
di atas awalnya penjual menggunakan bahasa Jawa Krama hal ini dapat dilihat
dari cuplikan percakapan “Pun, sampun mak jeglek, pun anget niki.” yang artinya
bahwa timbangannya sudah pas, kemudian dalam perkembangannya lawan tutur
beralih kode menggunakan bahasa Jawa ngoko, pada percakapan selanjutnya di
mana pokok pembicaraan menjurus ke arah lebih akrab. Pada situasi tersebut
penjual terbawa untuk mengikuti bahasa pembeli dengan beralih kode dari bahasa
Jawa Krama ke Jawa Ngoko yang lebih dikuasai oleh keduanya guna
memperlancar komunikasi.
4.3.4 Alih kode internal antarvarian (bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa
Krama)
Pembeli : “Mbak, tuku krambile separo.”
(Mbak, beli kelapanya setengah)
Penjual : “Nggih, tigang ngewu. Mboten sisan setunggal biji napa,
malah mirah regine.”
(Ya, tiga ribu. Tidak satu biji saja? Lebih murah
harganya)
Pembeli : “Pinten?”
(Berapa)
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
(DATA AK/01/290917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual kelapa.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual tersebut
berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 46 tahun dengan tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
pendidikan SD serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah.
Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, berumur kurang lebih
40 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong dalam tingkat ekonomi
kelas menengah ke bawah. Pada cuplikan data di atas pembeli yang berperan
sebagai penutur memilih menggunakan bahasa Jawa Ngoko untuk mengawali
komunikasi, hal ini dapat dilihat dari tuturan “Mbak, tuku krambile separo.”
tetapi penjual menanggapi dengan menggunakan bahasa Jawa Krama seperti pada
tuturan “Nggih, tigang ngewu. Mboten sisan setunggal biji napa, malah mirah
regine.” Hal tersebut dilakukan karena penjual ingin lebih menghormati pembeli
dan ingin bersikap sopan. Kemudian diakhir percakapan pembeli bertutur dengan
menggunakan bahasa Jawa krama untuk menyesuaikan bahasa penjual sebagai
usaha untuk saling mewujudkan sikap sopan dan santun.
Hal demikian juga terjadi pada data berikut, di mana pembeli beralih kode
dari bahasa Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama untuk menyesuaikan bahasa
penjual sebagai usaha untuk saling mewujudkan sikap sopan dan santun kepada
pembeli. Percakapan tersebut dilakukan oleh penjual dan pembeli di pasar
tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-umbian berikut ini:
Pembeli : “Tela rong kilo sing lawas, Mbak”
(Singkong dua kilo yang sudah lama, Mbak)
Penjual : “Nggih, ini dangu sedanten, Bu.”
(Iya, ini lama semua)
Pembeli: “Niku tasih teles, ketingal siti ne dereng garing, lha niku
bener sing kados niku pilihane.”
(Itu masih basah, kelihatan masih ada tanah yang belum
kering)
(DATA AK/02/290917)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-
umbian. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual
tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 60 tahun dengan
tingkat pendidikan SD serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke
bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih
berumur 35 tahun, serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Komunikasi yang dilakukan oleh pembeli pada data di atas awalnya
menggunakan bahasa Jawa Ngoko, namun diakhir tuturan keduanya beralih kode
menggunakan bahasa Jawa Krama. Hal ini terlihat pada tuturan “Nggih, ini dangu
sedanten, Bu.” dan direspon oleh pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa
Krama pula “Niku tasih teles, ketingal siti ne dereng garing, lha niku bener sing
kados niku pilihane.”. Hal tersebut dilakukan karena pembeli ingin lebih
menghormati penjual dan ingin bersikap sopan. Kemudian diakhir percakapan
pembeli bertutur dengan menggunakan bahasa Jawa Krama untuk menyesuaikan
bahasa penjual sebagai usaha untuk saling mewujudkan sikap sopan dan santun.
4.3.5 Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode dalam interaksi penjual
dan pembeli di pasar tradisional Kranggan, Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa
4.3.5.1 Penutur
Setiap penutur kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode
terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Biasanya usaha tersebut dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dengan maksud untuk mengejar suatu kepentingan merasa lebih dekat dengan
lawan bicara (Chaer dan Agustina, 2014: 108).
1. Menghormati lawan tutur
Pada contoh peristiwa tutur yang melibatkan penutur dan lawan tutur
berikut misalnya, peralihan kode dilakukan karena ingin menghormati lawan
tutur. Data peristiwa tutur berikut melibatkan penjual dan pembeli bersuku Jawa
pada sebuah lapak penjual kelapa.
Pembeli : “Mbak, tuku krambile separo.”
(Mbak, beli kelapanya setengah)
Penjual : “Nggih, tigang ngewu. Mboten sisan setunggal biji napa, malah
mirah regine.”
(Ya, tiga ribu. Tidak satu biji saja? Lebih murah harganya)
Pembeli : “Pinten?”
(Berapa)
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
(DATA AK/01/290917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual kelapa.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual tersebut
berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 46 tahun dengan tingkat
pendidikan SD serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah.
Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, berumur kurang lebih
40 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong dalam tingkat ekonomi
kelas menengah ke bawah. Data di atas merupakan alih kode internal karena
penutur beralih kode dengan menggunakan bahasa yang masih dalam satu lingkup
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
bahasa nasional dalam konteks ini varian bahasanya yaitu bahasa Jawa Ngoko ke
Krama. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Suwito (1985) yang
membagi alih kode menjadi dua yaitu internal dan ekstrnal.
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh penutur
dari bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa Krama. Hal ini dapat dilihat dari tuturan
penutur yaitu “Mbak, tuku krambile separo.” Kemudian dijawab oleh lawan tutur
menggunakan bahasa Jawa Krama “Nggih, tigang ngewu. Mboten sisan setunggal
biji napa, malah mirah regine.”. Setelah itu penutur beralih kode menggunakan
bahasa Jawa Krama untuk menanyakan harga kelapa, peralihan ini dapat dilihat
dari cuplikan tuturan “Pinten?”. Peralihan kode disebabkan oleh penutur yang
bertujuan untuk menghormati lawan tutur karena lawan tutur menjawab
pertanyaan dari penutur menggunakan bahasa Jawa Krama. Oleh karena itu
percakapan selanjutnya menggunakan bahasa Jawa Krama. Dikatakan untuk
menghormati lawan tutur karena tidak mungkin penutur merespon kembali
menggunakan bahasa Jawa Ngoko, karena akan mengurangi tingkat kesopanan
pembicaraan. Hal ini sesuai dengan pendapat Chaer (2014: 108) yang menegaskan
bahwa salah satu penyebab terjadinya alih kode ialah pembicara atau penutur yang
mempunyai maksud atau tujuan tertentu yaitu menghormati lawan tutur.
Hal demikian juga terjadi pada data berikut, di mana pembeli beralih kode
dari bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa Krama untuk menyesuaikan bahasa
penjual sebagai usaha untuk saling mewujudkan sikap sopan dan santun kepada
pembeli. Percakapan tersebut dilakukan oleh penjual dan pembeli di pasar
tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-umbian berikut ini:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Pembeli : “Tela rong kilo sing lawas, Mbak”
(Singkong dua kilo yang sudah lama, Mbak)
Penjual : “Nggih, ini dangu sedanten, Bu.”
(Iya, ini lama semua)
Pembeli: “Niku tasih teles, ketingal siti ne dereng garing, lha niku
bener sing kados niku pilihane.”
(Itu masih basah, kelihatan masih ada tanah yang belum
kering)
(DATA AK/02/290917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-
umbian. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual
tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 60 tahun, tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah kebawah. Selanjutnya pembeli tersebut
berjenis kelamin perempuan,kurang lebih 25 tahun dengan tingkat pendidikan
SMA serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah.
Jenis alih kode di atas yaitu alih kode internal karena penutur beralih kode
dengan menggunakan bahasa yang masih dalam satu lingkup bahasa nasional
dalam konteks ini varian bahasanya yaitu bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa
Krama (Suwito 1985).
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh
pembeli yang berperan sebagai penutur, ia beralih kode dari bahasa Jawa Ngoko
ke bahasa Jawa Krama. Hal ini dapat dibuktikan dari tuturan “Tela rong kilo sing
lawas, Mbak” yang bermaksud ingin membeli singkong yang sudah lama
disimpan. Kemudian dijawab oleh penjual yang berperan sebagai lawan tutur
menggunakan bahasa Jawa halus “Nggih, ini dangu sedanten, Bu.” yang artinya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
memberi tahu singkong jualannya sama seperti yang pembeli inginkan. Setelah itu
pembeli yang berperan sebagai penutur melakukan alih kode untuk menghormati
lawan tutur dengan menggunakan bahasa Jawa Krama, hal ini dikarenakan lawan
tutur usianya lebih tua dibandingkan dengan penutur, hal ini dapat dilihat dari usia
yang ada pada konteks bahwa penjual berusia kurang lebih 60 tahun sedangkan
penutur berusia kurang lebih 25 tahun. Akan sangat tidak mungkin jika lawan
tutur menggunakan bahasa Jawa Krama tetapi direspon menggunakan bahasa
Jawa Ngoko. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Nababan (1986)
bahwa faktor-faktor situasional yang mempengaruhi pemakaian bahasa adalah
siapa yang berbicara, kepada siapa, ragam bahasa mana yang digunakan.
Diperkuat lagi dengan teori yang dikatakan oleh Chaer dan Agustina (2014: 109)
bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya alih kode adalah dari segi penutur
yang kadang-kadang dengan sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya
karena suatu maksud, dalam hal ini dikarenakan menghormati lawan tuturnya.
2. Mengimbangi lawan tutur.
Penjual : “Pun, sampun mak jeglek, pun anget niki.”
(Sudah pas timbangannya)
Pembeli : “Iki katutno, sak util mene.”
(Ini dimasukkan, kecil saja)
Penjual : “Wis pas, mang dipresani.”
(Sudah pas, coba dilihat)
Pembeli : “Alah teko tambahi siji ora marahi rugi.”
(Tambah satu tidak membuat rugi)
(DATA AK/04/300917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual umbi-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
umbian.suasana tuturan non formal. Data terjadi pada saat sore hari. Penutur
merupakan seorang penjual dan lawan tutur merupakan seorang pembeli. Penjual
tersebut berjenis kelamin perempuan, dengan tingkat pendidikan SD serta
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Bentuk alih kode di
atas yaitu alih kode internal karena penutur beralih kode dengan menggunakan
bahasa yang masih dalam satu lingkup bahasa nasional dalam konteks ini varian
bahasanya yaitu bahasa Jawa. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh
Suwito (1985) yang membagi alih kode menjadi dua yaitu internal dan ekstenal.
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh penjual
dari bahasa Jawa Krama ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat dilihat dari tuturan
“Pun, sampun mak jeglek, pun anget niki.” yang bermaksud mengatakan bahwa
timbangan sudah pas. Kemudian dijawab oleh pembeli menggunakan bahasa Jawa
Ngoko “Iki katutno, sak util mene.” yang bermaksud menyuruh penjual untuk
menambahkan sebiji kentang yang berukuran kecil. Setelah itu penjual
mengimbangi bahasa pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko dan
percakapan selanjutnya menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Dikatakan demikian
karena penjual ingin komunikasi diantara mereka berjalan lancar dan mudah
dimengerti oleh pembeli yang mempunyai kemungkinan ia tidak atau kurang
lancar berbahasa Jawa Krama. Mungkin juga, ada faktor sosial yang memengaruhi
pemakaian bahasa yang digunakan oleh lawan tutur yaitu tingkat pendidikan
lawan tutur yang rendah, menurut peneliti hal ini sejalan dengan pendapat
Nababan (1982) yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
pemakaian bahasa diantaranya adalah tingkat pendidikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Dari percakapan di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu faktor
penyebab terjadinya alih kode adalah dari penutur yang kadang-kadang dengan
sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud yakni
mengimbangi bahasa lawan tutur. Hal ini sejalan dengan teori yang dikatakan oleh
Chaer dan Agustina (2014: 109).
Hal demikian juga terjadi pada data berikut, di mana pembeli beralih kode
dari bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Jawa Krama untuk menyesuaikan bahasa
penjual sebagai usaha untuk mengimbangi bahasa lawan tutur. Percakapan
tersebut dilakukan oleh penjual dan pembeli di pasar tradisional Kranggan,
Temanggung pada lapak penjual pisang berikut ini:
Pembeli : “Tembako ne sing apik, Nok.”
(Tembakau yang bagus, Nok*)
Nok : sebutan untuk anak perempuan
Penjual : “Niki Kung, sae. Niki tunggale biasane sing sok dipundhut
Kakung. Kok nindaki kiyambak Kung, Mbah Uti mboten
tindak?”
(Yang ini Kung, bagus. Ini yang suka kakek beli. Pergi ke
pasar sendiri Kek, Nenek tidak pergi ke pasar)
Pembeli : “Nyuwun sing niki mawon, klembak menyan ampun kantun.
Niko sek tumbas ulam.”
(Minta ini saja, klembak dan kemenyan jangan sampai
ketinggalan. Itu baru membeli ikan)
Penjual : “Sampun Kung.”
(Sudah Kek)
(DATA AK/07/121017)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual
tembakau. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan
seorang penjual, suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin
perempuan, kurang lebih berumur 35 tahun dengan tingkat pendidikan SMA serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas. Selanjutnya pembeli
tersebut berjenis kelamin laki-laki, dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah.
Bentuk data diatas merupakan alih kode internal karena penutur beralih
kode dengan menggunakan bahasa yang masih dalam satu lingkup bahasa
nasional dalam konteks ini varian bahasanya yaitu bahasa Jawa Krama ke bahasa
Jawa Ngoko. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Suwito (1985)
bahwa alih kode internal adalah alih kode yang dalam pergantian bahasanya
menggunakan bahasa-bahasa yang masih dalam ruang lingkup bahasa nasional
atau antardialek dalam satu bahasa daerah atau antar beberapa ragam dan gaya
yang terdapat dalam satu dialek.
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh
penutur yaitu seorang kakek-kakek yang ingin membeli tembakau. Dalam tuturan
awal ia menggunakan bahasa Jawa Ngoko kemudian beralih kode ke dalam
bahasa Jawa Krama karena lawan tutur merespon menggunakan bahasa Jawa
Krama. Hal ini dapat dilihat dari percakapan yang dilakukan oleh pembeli dalam
cuplikan tuturan “Tembako ne sing apik, Nok.” yang bermaksud ingin membeli
tembakau dengan kualitas yang baik. Kemudian lawan tutur merespon dengan
bahasa Jawa Krama karena ia sadar bahwa lawan tuturnya dari segi usia lebih tua.
Hal ini dapat dilihat dari cuplikan tuturan “Niki Kung, sae. Niki tunggale biasane
sing sok dipundhut Kakung.” yang mempunyai arti bahwa ini tembakau kualitas
bagus sama seperti yang sering Kakek beli. Maka percakapan selanjutnya penutur
beralih kode menggunakan bahasa Jawa Krama. Jika dilihat dari konteks
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
percakapan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa penutur melakukan alih kode
dengan tujuan mengimbangi lawan tutur dan penutur merasa lebih dihormati,
dikatakan mengimbangi lawan tutur karena penutur usianya lebih tua
dibandingkan dengan lawan tutur yang usianya kurang lebih 35 tahun, hal ini
sangat wajar dalam budaya Jawa bahwa orang yang lebih tua jarang sekali
menggunakan bahasa Krama dengan orang yang lebih muda. Dikatakan merasa
lebih dihormati karena penutur lebih tua daripada si lawan tutur. Hal ini sejalan
dengan teori yang dikemukakan oleh (Nababan, 1982) bahwa faktor-faktor sosial
yang mempengaruhi pemakaian bahasa diantaranya adalah umur. Faktor penyebab
alih kode disini adalah dari segi penutur karena suatu maksud, maksud disini yaitu
untuk mengimbangi bahasa lawan tutur.
3. Tujuan untuk tawar-menawar.
Pembeli : “Vespa atau mobil atau truk gitu ada nggak, Mas?”
Penjual : “Ada mas, milih aja mau yang besar apa kecil ada.”
Pembeli : “Pironan Mas?”
(Berapa Mas)
Penjual : “Gawe buka dasaran tak kei rego mitung puluh.”
(Untuk buka awal saya kasih harga tujuh puluh ribu)
(DATA AK/06/101017)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual mainan
anak, penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki,
kurang lebih berumur 30 tahun dengan tingkat pendidikan SMP serta tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 30 tahun dengan tingkat
pendidikan SMA serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Bentuk data di atas merupakan alih kode internal karena penutur beralih
kode dengan menggunakan bahasa yang masih dalam satu lingkup bahasa
nasional dalam konteks ini varian bahasanya yaitu bahasa Jawa Krama ke bahasa
Jawa Ngoko. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Suwito (1985)
bahwa alih kode internal adalah alih kode yang dalam pergantian bahasanya
menggunakan bahasa-bahasa yang masih dalam ruang lingkup bahasa nasional
atau antardialek dalam satu bahasa daerah atau antar beberapa ragam dan gaya
yang terdapat dalam satu dialek.
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh
penutur yaitu seorang pembeli. Dalam tuturan awal ia menggunakan bahasa
Indonesia kemudian beralih kode ke dalam bahasa Jawa Ngoko. Hal ini dapat
dilihat dari percakapan yang dilakukan oleh pembeli dalam cuplikan tuturan
“Vespa atau mobil atau truk gitu ada nggak, Mas?” kemudian direspon
menggunakan bahasa Indonesia oleh lawan tutur yang disini berperan sebagai
penjual “Ada mas, milih aja mau yang besar apa kecil ada.” kemudian tiba-tiba
penutur beralih kode menggunakan bahasa Jawa Ngoko hal ini dapat dilihat dari
cuplikan tuturan “Pironan Mas?” yang artinya berapa harganya, kemudian
percakapan selanjutnya antara penutur dan lawan tutur menggunakan bahasa Jawa
Ngoko.
Jika dilihat dari konteks percakapan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa penutur melakukan alih kode dengan tujuan untuk mendapat keuntungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
dalam hal tawar-menawar yakni mendapatkan harga yang lebih murah, kemudian
dengan sengajanya penutur beralih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa
dapat memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan yang dijalin daripada
menggunakan bahasa Indonesia. Dengan berbahasa daerah rasa keakraban pun
lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sejalan
dengan teori yang dikatakan oleh Chaer dan Agustina (2014: 108) bahwa salah
satu penyebab terjadinya alih kode ada pada segi penutur dengan tujuan
mendapatkan suatu keuntungan.
4..3.5.2 Lawan Tutur
Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan
lawan tuturnya. Pada masyarakat multilingual, seorang penutur mungkin harus
beralih kode untuk menyesuaikan lawan tutur yang dihadapinya. Lawan tutur
dalam hal ini dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (1) lawan tutur yang
berlatar belakang kebahasaan yang sama dengan penutur, dan (2) lawan tutur yang
berlatar belakang kebahasaan berlainan dengan penutur.
1. Tujuan untuk tawar-menawar.
Pembeli : “Nanas e pironan Mas?”
(Buah nanasnya berapa, Mas)
Penjual : “Wolung ewu Bu, murah mawon.”
(Delapan ribu Bu, murah saja)
Pembeli : “Kok larang Mas, wingi aku tuku pitung ewu wae gede
kok.”
(Kok mahal Mas, kemarin saya beli saja dapat harga tujuh
ribu lima ratus saja dapat yang besar)
Penjual : “Nanas super Bu, apik.”
(Nanas jenis super, bagus kualitasnya)
(DATA AK/03/290917)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual buah.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang
lebih berumur 30 tahun dengan tingkat pendidikan SMP serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan, seorang pegawai negeri sipil serta tergolong dalam tingkat
ekonomi kelas menengah ke atas. Bentuk alih kode di atas yaitu alih kode internal
karena penutur beralih kode dengan menggunakan bahasa yang masih dalam satu
lingkup bahasa nasional dalam konteks ini varian bahasanya yaitu bahasa Jawa
Krama ke bahasa Jawa Ngoko. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan
oleh Suwito (1985) bahwa alih kode internal adalah alih kode yang dalam
pergantian bahasanya menggunakan bahasa-bahasa yang masih dalam ruang
lingkup bahasa nasional atau antardialek dalam satu bahasa daerah atau antar
beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek.
Data dalam percakapan di atas yaitu alih kode yang dilakukan oleh lawan
tutur yakni penjual. Ia awalnya beralih kode ke bahasa Jawa Krama, akan tetapi
penutur yakni pembeli merespon menggunakan bahasa Jawa Ngoko maka si
penjual pun merespon menggunakan bahasa Jawa Ngoko juga. Hal ini dapat
dilihat dari cuplikan tuturan “Nanas e pironan Mas?” yang diucapkan
menggunakan bahasa Jawa Ngoko, kemudian direspon oleh lawan tutur yakni
dalam data ini berperan sebagai penjual menggunakan bahasa Jawa Krama
“Wolung ewu Bu, murah mawon.” Yang berarti murah saja harganya hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
delapan ribu. Akan tetapi tidak direspon balik menggunakan bahasa Jawa Krama
melainkan bahasa Jawa Ngoko oleh pembeli, hal ini dapat dilihat dari cuplikan
tuturan “Kok larang Mas, wingi aku tuku pitung ewu wae gede kok.” Dan
komunikasi selanjutnya menggunakan bahasa Jawa Ngoko. Ada beberapa
kemungkinan mengapa penutur tidak membalas menggunakan bahasa Jawa
Krama, (1) Penutur yakni pembeli menganggap bahwa si lawan tutur masih
sebaya dengan si penutur. Hal ini dapat dilihat dari konteks umur yang ada
dipercakapan di atas bahwa penutur (kurang lebih 30 tahun) dan lawan tutur
(kurang lebih 30 tahun) sehingga tidak perlu dibalas menggunakan bahasa Jawa
Krama. (2) Agar lebih akrab dengan lawan tutur dengan tujuan tawar-menawar.
Di sini dimaksudkan agar si penutur yakni pembeli dapat membeli buah nanas
dengan harapan lebih murah dari yang sudah ditawarkan oleh lawan tutur yakni
penjual. Hal ini sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Chaer dan Agustina
(2014: 108) bahwa seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih
kode untuk mendapatkan “keuntungan” atau “manfaat” dari tindakannya itu.
Dalam hal ini, seperti yang dibahas diatas bahwa penutur ingin mendapat
keuntungan dengan mendapatkan buah nanas dengan harga yang lebih murah.
Selain itu juga terdapat faktor lain yaitu dari segi lawan tutur yang
mempunyai latar belakang bahasa yang sama, sehingga lebih mempermudah
untuk melakukan transaksi dan/atau tawar-menawar. Hal ini sejalan dengan teori
yang dikatakan oleh Chaer dan Agustina (2014: 109).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
4.4 Campur Kode
Pada campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan
dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur hanyalah serpihan-serpihan (pieces) saja tanpa fungsi atau
keotonomiannya sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya yang dalam
berbahasa Indonesia menyelipkan serpihan-serpihan bahasa daerahnya, bisa
dikatakan telah melakukan campur kode yang menyebabkan munculnya satu
ragam bahasa Indonesia yang ke Jawa-Jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah
bahasa Jawa) (Chaer, 2004: 114-115). Masyarakat tutur di pasar tradisional
Kranggan Temanggung adalah masyarakat dwibahasawan, artinya menggunakan
bahasa lebih dari satu, antara lain bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Pada
penggunaan bahasa Jawa misalnya, penjual maupun pembeli yang kurang
memahami tingkat tutur bahasa Jawa seringkali mencampurkan kode bahasa
Jawa Krama dan Ngoko dalam tuturannya. Hal tersebut juga terjadi pada
penggunaan bahasa Indonesia yang seringkali dicampurkan ke dalam bahasa
Jawa maupun bahasa asing ataupun sebaliknya. Dalam penelitian di pasar
tradisional Kranggan ini, ditemukan campur kode yang berwujud penyisipan
kata, frasa, dan klausa.
4.4.1 Bentuk-bentuk campur kode (Penyisipan kata)
(DATA CK/40/131017)
Pembeli : “Pak, pados ulas bantal.”
(Pak, cari sarung bantal)
Penjual : “Wonten mbak, sik tak padoske. Setunggale kalih dasa.”
(Ada Mbak, sebentar saya carikan. Satunya dua puluh ribu)
Pembeli : “Nek enten warna pink.”
(Kalau ada warna merah jambu)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Penjual : “Telas, enten e biru, jambon, kuning.”
(Habis. Adanya warna biru, merah jambu, kuning)
Pembeli : “Jambon niki nggih pink niku.”
(Merah jambu itu ya pink itu)
Penjual : “Karang kula nggih meng lulus S3, SD kelas tiga.”
(Karena saya hanya lulus S3, SD Kelas tiga)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual pakaian.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang
lebih berumur 70 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan, kurang lebih berumur 25 tahun dengan tingkat pendidikan
SMA serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa campur kode, yaitu pada
tuturan pembeli yang tanpa sengaja mencampurkan kode bahasa Inggris dan
bahasa Jawa Ngoko. Hal tersebut terlihat pada tuturan “Nek enten warna pink.”
saat hendak meminta warna sarung bantal yang diinginkan. Kata “pink” yang
dalam bahasa Jawa Ngoko mempunyai padanan “jambon” dan “merah jambu”
dalam padanan bahasa Indonesia.
Hal ini juga terjadi pada peristiwa campur kode pada data di bawah ini:
(DATA CK/15/041017)
Pembeli : “Pak, bakso gangsal ewu.”
(Pak, bakso lima ribu)
Penjual : “Nggih, ngangge tahu mboten?”
(Ya, pakai tahu tidak)
Pembeli : “Sing bunder diparingi kalih, sambel e sing kathah, kuah sithik
mawon.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
(Yang bulat dikasih dua, sambelnya dikasih yang banyak,
kuahnya sedikit saja)
Penjual : “Mawi sledri?”
(pakai seledri)
Pembeli : “Nggih sekedhik.”
(Ya sedikit)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual makanan
olahan (bakso). Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan
seorang penjual, suasana tuturan non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin
laki-laki, kurang lebih berumur 40 tahun, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas
menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan,
kurang lebi 20 tahun dengan tingkat pendidikan SMA serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah. Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa
campur kode, yaitu pada tuturan pembeli yang tanpa sengaja mencampurkan kode
bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama. Hal tersebut terlihat pada tuturan
“Sing bunder diparingi kalih, sambel e sing kathah, kuah sithik mawon.” Saat
hendak memberi tahu pesanannya kepada penjual. Kata “sing” adalah bahasa
Jawa ngoko, dalam bahasa Jawa krama mempunyai padanan “ingkang” dan
“yang” dalam padanan bahasa Indonesia.
Tuturan tersebut dapat dilihat dengan masuknya kode bahasa Jawa Ngoko
pada percakapan bahasa Jawa ragam krama pada tuturan pembeli. Penutur sulit
mencari padanannya dalam bahasa Jawa Krama.
(DATA CK/03/290917)
Pembeli : “Jengkol Bu, panen kiyambak mboten njengkoli.”
(Jengkol Nu, panen sendiri dijamin tidak membuat keracunan)
Penjual : “Dimasak menapa nek kula tumbas niki jengkol e?”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
(Saya masak apa kalau beli jengkol ini)
Pembeli : “Direndang to Bu, eco tenan ngalahi daging sapi, direndem
riyen sedalu ngangge awu napa enjet.”
(Masak rendang saja, enak sekali rasanya mengalahkan daging
sapi, direndam dulu semalam dikasih abu atau kapur sirih)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual jengkol.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat siang hari. Penjual tersebut
berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 40 tahun, tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah kebawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan,kurang lebih 45 tahun tergolong dalam tingkat ekonomi kelas
menengah ke bawah.
Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa campur kode, yaitu pada
tuturan penjual yang di sini berperan sebagai lawan tutur yang tanpa sengaja
mencampurkan kode bahasa Jawa Ngoko ke dalm bahasa Jawa Krama. Hal
tersebut terlihat pada tuturan “Dimasak menapa nek kula tumbas niki jengkol e?”
saat hendak bertanya kepada penutur kalau membeli jengkol dagangannya harus
dimasak seperti apa. Kata “nek” adalah bahasa Jawa Ngoko, dalam bahasa Jawa
krama mempunyai padanan kata “menawi” dan “kalau” dalam padanan bahasa
Indonesia.
Tuturan tersebut dapat dilihat dengan masuknya kode bahasa Jawa Ngoko
pada percakapan bahasa Jawa Krama pada tuturan penjual. Lawan tutur
mengalami keterbatasan penggunaan kode pada kata “nek” dan sulit mencari
padanannya dalam bahasa Jawa Krama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
4.4.2 Bentuk-bentuk campur kode (Penyisipan Frasa)
(DATA CK/02/290917)
Penjual: “Mangga dipundhuti Mak, klubane sae-sae mirah.”
(Mari dibeli Mak, sayurnya segar-segar murah)
Pembeli : “Pinten?”
(Berapa)
Penjual : “Potroseli tigang ewu.”
(Sayur kenikir tiga ribu)
Pembeli : “Larang temen, Mbak biasane seribu maratus.”
(Mahal sekali, Mbak biasanya seribu lima ratus)
Penjual : “Nggih mangga.”
(Ya silahkan)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual sayuran.
Penutur merupakan seorang penjual dan lawan tutur merupakan seorang pembeli,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Suasana tuturan
non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur
30 tahun, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah.
Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan,kurang lebih 60 tahun,
berprofesi sebagai PNS serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke
atas.
Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa campur kode dalam tataran
frasa, yaitu pada tuturan pembeli yang tanpa sengaja mencampurkan kode ke
bahasa Jawa krama dan bahasa Indonesia tidak baku. Hal tersebut terlihat pada
tuturan “Larang temen, Mbak biasane seribu maratus.” saat memilih sayur yang
akan dibeli. Campur kode terdapat dalam tuturan tersebut yaitu berbetuk frasa
bahasa Indonesia tidak baku yaitu pada frasa “seribu maratus”. Dikatakan ke
dalam proses penyisipan berwujud frasa karena yang disisipkan merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
kelompok kata yang terdiri dari dua kata. Hal ini senada dengan pendapat yang
dikatakan oleh (Ramlan, 1978: 151) bahwa frasa ialah satuan gramatik yang
terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi klausa.
Hal ini juga terjadi pada data berikut:
(DATA CK/12/031017)
Pembeli : “Berapaan Pak? Saya boleh nawar ya?”
Penjual : “Boleh saja.”
Pembeli : “Sekawan teko seratus ribu.”
(Empat biji seratus ribu saja)
Penjual : “Ya sudah, milih warna sama ukuran Mbak e.”
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual pakaian.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Suasana tuturan
non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 45
tahun, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas. Selanjutnya
pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih 16 tahun dengan
tingkat pendidikan SMP.
Data di atas merupakan campur kode internal bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jawa Krama pada tataran frasa yaitu pada tuturan pembeli yang tanpa
sengaja mencampurkan kode bahasa Jawa Krama ke bahasa Indonesia. Hal
tersebut terlihat pada tuturan “Sekawan teko seratus ribu.” saat menawar celana
ketat yang akan dibeli. Campur kode terdapat dalam tuturan tersebut yaitu
berbetuk frasa bahasa Jawa krama “sekawan teko” yang berarti “empat itu”.
Dikatakan ke dalam proses penyisipan berwujud frasa karena yang disisipkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
merupakan kelompok kata yang terdiri dari dua kata. Hal ini senada dengan
pendapat yang dikatakan oleh (Ramlan, 1978: 151) bahwa frasa ialah satuan
gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi
klausa.
4.4.3 Bentuk-bentuk campur kode (Penyisipan klausa)
(DATA CK/06/300917)
Penjual : “Pados napa Mbak?”
(Cari apa Mbak)
Pembeli : “Terusan.”
Penjual : “Mriki diprisani rumiyin. Niki Mbak, apik.”
(Sini dilihat dulu. Ini Mbak, bagus)
Pembeli : “Ngandape dijodoni celana pensil bisa, Buk. Cemeng?”
(Bawahnya dikasih celana pensil bisa, Buk)
Penjual : “Saged mawon, mlebet kalih warna napa mawon nek cemeng.”
(Bisa saja, masuk sama warna apa saja kalau hitam)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual busana
muslim. Penutur merupakan seorang penjual dan lawan tutur merupakan seorang
pembeli, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual
tersebut berjenis kelamin perempuan, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas
menengah ke atas. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan,
kurang lebih 25 tahun serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke
atas.
Data di atas merupaka tuturan yang dilakukan oleh penjual dan pembeli di
pasar tradisional Kranggan, Temanggung di lapak busana muslim. Tuturan terjadi
pada saat pagi hari. Suasana non formal. Penutur merupakan penjual dan lawan
tutur merupakan seorang pembeli. Data di atas merupakan campur kode internal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
bahasa Jawa krama ke dalam bahasa Indonesia pada tataran klausa. Pada tuturan
tersebut pembeli menggunakan bahasa Jawa krama yang kemudian di dalamnya
disisipkan bahasa Indonesia yang berbunyi “Ngandape dijodoni celana pensil
bisa, Buk. Cemeng?” campur kode yang terdapat dalam tuturan klausa tersebut
yaitu “celana pensil bisa, Buk.” Pembeli mengalami keterbatasan penguasaan
kode bahasa Jawa krama, pembeli kesulitan mencari padanan klausa “celana
pensil bisa, Buk.” dalam bahasa Jawa Krama.
4.4.4. Bentuk-bentuk campur kode (Penyisipan Kata dan Frasa)
(CK/17/041017)
Pembeli : “Mas, daging sapi dua puluh.”
Penjual : “Ribu? Kilo?”
Pembeli : “Ribu lah.”
Penjual : “Tapi tinggal daging nomer kalih kersa?”
(Hanya sisa daging kualitas nomer dua, mau)
Pembeli : “Sing penting bisa buat sup, Mas. Jangan diambilin yang
banyak gajih.”
(Asalkan bisa untuk memasak sup, jangan diambilkan yang
banyak lemak)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual daging
sapi. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang
penjual, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual
tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 25 tahun, tergolong
dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas. Selanjutnya pembeli tersebut
berjenis kelamin perempuan,kurang lebih 25 tahun dengan tingkat pendidikan
SMA serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa campur kode dalam tataran
kata dan frasa. Pada tuturan pembeli di atas tanpa sengaja mencampurkan kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
kata bahasa ngoko ke bahasa Indonesia, hal ini dapat dilihat dari tuturan “Sing
penting bisa buat sup, Mas. Jangan diambilin yang banyak gajih.”. Kata “sing”
dalam bahasa Indonesia berarti “yang” dan “gajih” dalam bahasa Indonesia
berarti “lemak” dua kata di atas merupakan campur kode berbentuk kata, karena
kata adalah bentuk bebas yang paling kecil, yang dapat diucapkan secara berdikari
Tarigan (1985: 19). Kemudian pada tataran frasa terdapat pada tuturan penjual
yang tanpa sengaja mencampurkan kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa
krama, hal ini dapat dilihat dari tuturan “Tapi tinggal daging nomer kalih
kersa?” saat mengatakan kepada pembeli bahwa daging sapi hanya tinggal daging
kualitas nomor dua. Tuturan penjual tersebut dapat dikategorikan dalam campur
kode yang berbentuk frasa. Dikatakan ke dalam proses penyisipan berwujud frasa
karena yang disisipkan merupakan kelompok kata yang terdiri dari dua kata. Hal
ini senada dengan pendapat yang dikatakan oleh (Ramlan, 1978: 151) bahwa frasa
ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui
batas fungsi klausa.
Hal ini juga terjadi pada data:
(DATA CK/39/121017)
Penjual : “Mari Mbak, atasan bawahan gamis Umi Pipik, jilbab Zaskia
Sungkar. Lagi model mari sini.”
Pembeli : “Jilbab Zaskia kayak apa, Bu? Berapa? Mahal mesti?”
Penjual : “Murah aja, bahan dingin, tujuh puluhan.”
Pembeli : “Lima puluh mawon niki.”
(Lima puluh aja ini)
Penjual : “Aja ditawar, beli di Rabanni nggak boleh tujuh puluh.”
(Jangan ditawar, beli di Rabanni nggak boleh tujuh puluh ribu)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
kerudung. Penutur merupakan seorang penjual dan lawan tutur merupakan
seorang pembeli, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat siang hari.
Penjual tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 40 tahun,
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas. Selanjutnya pembeli
tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih 35 tahun, berprofesi sebagai
PNS serta tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Peristiwa tutur tersebut mengalami peristiwa campur kode dalam tataran
kata dan frasa. Pada tuturan di atas penjual tanpa sengaja mencampurkan kode
kata bahasa Jawa Ngoko ke bahasa Indonesia, hal ini dapat dilihat dari tuturan
“Aja ditawar, beli di Rabanni nggak boleh tujuh puluh.” Kata “aja” merupakan
campur kode berbentuk kata dari bahasa Jawa ngoko yang berarti “jangan”
dalam bahasa Indonesia. Dikatakan penyisipan kata karena kata adalah bentuk
bebas yang paling kecil, yang dapat diucapkan secara berdikari (Tarigan, 1985:
19).
Kemudian pada tataran frasa terdapat pada tuturan pembeli yang tanpa
sengaja mencampurkan kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa krama, hal ini
dapat dilihat dari tuturan “Lima puluh mawon niki.”saat menawar jilbab kepada
penjual. Tuturan pembeli tersebut dapat dikategorikan dalam campur kode yang
berbentuk frasa. Dikatakan ke dalam proses penyisipan berwujud frasa karena
yang disisipkan merupakan kelompok kata yang terdiri dari dua kata, dari data di
atas. Hal ini senada dengan pendapat yang dikatakan oleh (Ramlan, 1978: 151)
bahwa frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampaui batas fungsi klausa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
4.4.2 Bentuk-bentuk faktor campur kode dalam interaksi penjual dan
pembeli di pasar tradisional Kranggan Temanggung: Studi Kasus
Pedagang Etnis Jawa
4.4.2.1 Penutur
1. Tujuan menunjukkan kemampuannya)
Pembeli : “Pak, pados ulas bantal.”
(Pak, cari sarung bantal)
Penjual : “Wonten mbak, sik tak padoske. Setunggale kalih dasa.”
(Ada Mbak, sebentar saya carikan. Satunya dua puluh ribu)
Pembeli : “Nek enten warna pink.”
(Kalau ada warna merah jambu)
Penjual : “Telas, enten e biru, jambon, kuning.”
(Habis. Adanya warna biru, merah jambu, kuning)
Pembeli : “Jambon niki nggih pink niku.”
(Merah jambu itu ya pink itu)
Penjual : “Karang kula nggih meng lulus S3, SD kelas tiga.”
(Karena saya hanya lulus S3, SD Kelas tiga)
(DATA CK/40/131017)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual pakaian.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Penjual tersebut
berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 70 tahun, tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah, tingkat pendidikan SD. Selanjutnya
pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih 25 tahun. Seorang
pegawai kecamatan dan tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
Pembeli datang untuk membeli sarung bantal. Data di atas merupakan campur
kode eksternal, dapat dikatakan demikian karena campur kode eksternal adalah
campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asing Suandi (2014: 140).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Dilihat dari bentuknya data di atas merupakan campur kode penyisipan kata.
Dikatakan penyisipan kata karena terdapat kata “Pink”. Hal ini sejalan dengan
pendapat Suwito (1985: 79) yang membagi campur kode berdasarkan unsur-unsur
kebahasaan diantaranya penyisipan kata. Menurut Tarigan (1985: 19) kata dapat
diartikan sebagai satuan bebas yang paling kecil.
Data dalam tuturan di atas merupakan campur kode yang dilakukan oleh
pembeli yang berperan sebagai penutur. Dimana ada tuturan yang menggunakan
bahasa Jawa Krama yang disisipi bahasa asing yaitu bahasa Inggris, hal ini dapat
dilihat dari cuplikan tuturan “Nek enten warna pink.” yang berarti kalau ada
warna merah jambu. Dilihat dari konteksnya percakapan di atas pembeli ingin
membeli sarung bantal yang berwarna merah jambu, akan tetapi lawan tutur
mengatakan bahwa warna yang diinginkan sudah habis terjual, padahal warna
yang diinginkan oleh penutur masih tersedia, hal ini dapat dilihat dari cuplikan
tuturan “Telas, enten e biru, jambon, kuning.”
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya campur kode berasal dari penutur dengan tujuan
menunjukkan kemampuannya. Hal ini dapat dilihat dari tuturan “Jambon niki
nggih pink niku.” yang artinya merah jambu itu ya warna pink. Lalu lawan tutur
merespon dengan tuturan “Karang kula nggih meng lulus S3, SD kelas tiga.”
Yang berarti karena saya hanya lulus S3, SD Kelas tiga yang tidak mengerti kata
dalam bahasa Asing.
Faktor sosial juga dapat memengaruhi pemakaian bahasa seseorang. Salah
satu faktor yang memengaruhi adalah tingkat pendidikan seseorang (Nababan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
1986). Dalam data di atas, penutur memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
sedangkan lawan tutur memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dari sini bisa
diambil kesimpulan bahwa pemakaian bahasa dapat dilihat juga dari tingkat
pendidikan seseorang.
Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab
terjadinya campur kode menurut Suwito (1983: 75) adalah berasal dari penutur
yang bertujuan untuk menunjukkan keterpelajarannya. Hal ini dapat dilihat dari
penggunaan tuturan yang disisipi kata dalam bahasa asing.
2. Tujuan untuk menawar dan meminta bonus
Pembeli : “Wis gek dipaske lho, Nyah.”
(Harga pasnya berapa)
Penjual : “Wis tenang wae iki ora kelarangen, ora mblandangke.”
(Tenang saja tidak terlalu mahal, tidak menjerumuskan
harganya)
Pembeli : “Diparingi bonus lho, Nyah.”
Penjual : “Tak sukani mangkih, tak paringi sing gedhi pokoke, plastike
maksud e.”
(saya beri nanti, saya kasih yang besarpokoknya, yang besar
plastiknya maksud saya.
Pembeli : “Senengane glanyongan.”
(Sukanya bercanda)
(DATA CK/07/300917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual pakaian.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat siang hari. Penjual tersebut
berjenis kelamin perempuan, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke
atas. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke atas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Dialog di atas membahas tentang seorang pembeli yang meminta potogan
harga dan bonus dari penjual, namun direspon dengan candaan oleh si penjual.
Data di atas merupakan campur kode eksternal dimana campur kode yang
menyerap unsur-unsur bahasa asli yang masih sekerabat (2014: 140). Dilihat dari
bentuknya data di atas merupakan campur kode penyisipan kata. Kata dapat
diartikan sebagai satuan bebas yang paling kecil Tarigan (1985: 19). Dari data di
atas terdapat campur kode dari bahasa Jawa Krama yang disisipi dengan bahasa
Indonesia, penyisipan kata hal ini dapat dilihat dari kata “bonus” pada cuplikan
tuturan “Diparingi bonus lho, Nyah.” yang dilakukan oleh penutur. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suwito (1985: 79) yang membagi campur kode
berdasarkan unsur-unsur kebahasaan diantaranya penyisipan kata.
Dilihat dari percakapan di atas terdapat kemungkinan bahwa diantara
keduanya yaitu penutur dan lawan tutur sudah saling mengenal, karena penutur
dan lawan tutur sudah bisa saling bercanda. Penutur sengaja bercampur kode
dengan alasan agar suasana menjadi lebih akrab dalam berkomunikasi dan tujuan
untuk menawar dan meminta bonus. Hal ini senada dengan pendapat yang
dikemukakan oleh suwito bahwa salah satu faktor terjadinya campur kode adalah
berlatar belakang dari segi penutur.
4.4.2.2 Berlatar belakang pada kebahasaan
1. Keterbatasan Penggunaan kode
Faktor keterbatasan kode terjadi apabila penutur atau lawan tutur
melakukan campur kode karena tidak memahami padanan kata, frasa atau klausa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
dalam bahasa dasar yang digunakan. Keterbatasan penggunaan kode tampak pada
tuturan berikut
Penjual : “Itik itik itik...”
Pembeli : “Itike kuwi satu wae.”
(Itiknya itu satu saja)
Penjual : “Berapa kiloan sing dibutuhkan Yu?” (logat medan)
Pembeli : “Sekiloan satu.”
Penjual : “Boyo apa sing biasane?
(Boyo atau yang biasanya)
Pembeli : “Boyo kuwi wae, sing rong kilonan ana hitam?”
(Boyo itu saja, yang dua kiloan warna hitam ada)
Penjual : “Ada lengkap aku nek dodolan ki."
(DATA CK/01/290917)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual sayuran.
Penutur merupakan seorang penjual yang berasal dari Medan dan lawan tutur
merupakan seorang pembeli, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat
pagi hari. Penjual tersebut berjenis kelamin perempuan, tergolong dalam tingkat
ekonomi kelas menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis
kelamin perempuan, kurang lebih 55 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta
tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah.
Dilihat dari bentuknya data di atas merupakan campur kode kata dan frasa.
Dikatakan penyisipan kata karena terdapat kata “satu” dan “dibutuhkan”
sedangkan dikatakan penyisipan frasa karena terdapat frasa “berapa kiloan” ,
“sekiloan satu” dan “ada lengkap aku”. Hal ini sejalan dengan pendapat Suwito
(1985: 79) yang membagi campur kode berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
diantaranya penyisipan kata dan frasa. Menurut Tarigan (1985: 19) kata dapat
diartikan sebagai satuan bebas yang paling kecil. Sedangkan (Ramlan, 1978: 151)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
berpendapat frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampauai batas fungsi klausa.
Data dalam tuturan di atas merupakan campur kode yang dilakukan oleh
penjual yang berasal dari Medan, sedangkan pembeli berasal dari Jawa. Dilihat
dari konteksnya percakapan di atas penjual ingin menawarkan plastik kepada
pembeli yang sudah menjadi langganannya. Hal ini dapat dilihat dari tuturan
“Berapa kiloan sing dibutuhkan Yu?” dengan menggunakan bahasa Indonesia
logat bahasa Medan yang dicampurkodekan ke bahasa Jawa Ngoko. Kemudian
dijawab oleh pembeli menggunakan bahasa Indonesia “Sekiloan satu” dan “Boyo
kuwi wae, sing rong kilonan ana hitam?”. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa faktor terjadinya campur kode pada tuturan di atas adalah berlatar belakang
pada kebahasaan khususnya keterbatasan penggunaan kode yang dilakukan oleh
penutur, dapat dikatakan demikian karena penutur dalam berkomunikasi
melakukan campur kode pada tuturannya.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Suandi (2014: 143)
bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya campur kode adalah keterbatasan
penggunaan kode yang mempunyai kemungkinan karena penutur kurang
menguasai bahasa pertama dan kedua sehingga untuk memperlancar komunikasi
diantara keduanya penutur dan lawan tutur menggunakan campur kode dalam
setiap tuturannya.
Hal demikian juga terjadi pada data berikut, di mana pembeli
mencampurkan kode bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko karena pembeli
kesulitan mencari padanan dalam bahasa Jawa krama. Percakapan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
dilakukan oleh penjual dan pembeli di pasar tradisional Kranggan, Temanggung
pada lapak penjual minuman jamu berikut ini :
(DATA CK/29/081017)
Penjual : “Yu ora njamu?”
(Mbak, tidak minum jamu)
Pembeli : “Niki sek ajeng niliki, kok dangu mboten tumon maring
Yu?”
(Ini baru mau melihat buka atau tidak, kok lama sekali
nggak ke pasar Mbak)
Penjual : “Wingi disambat anak.”
(Kemarin diminta tolong pergi ke rumah anakku)
Pembeli : “Ditinggal glidik napa? Jamu pegel linu mawon sakniki.”
(Ditinggal kerja? Jamunya sekarang pegel linu saja)
Penjual : “Gatel-gatel iya apa ora?”
(Dikasih untuk penghilang rasa gatal tidak)
Pembeli : “Nggih pareng.”
(Ya boleh)
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual jamu
gendong. Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan
seorang penjual, suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari.
Penjual tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih berumur 60 tahun,
dengan tingkat pendidikan SD dan tergolong dalam tingkat ekonomi kelas
menengah ke bawah. Selanjutnya pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan,
kurang lebih 50 tahun dengan tingkat pendidikan SD serta tergolong dalam
tingkat ekonomi kelas menengah ke bawah. Dialog diatas membahas tentang
penjual yang menawarkan dagangan jamunya kepada pembeli yang sudah
menjadi langganannya.
Data di atas merupakan jenis campur kode internal, campur kode internal
adalah jenis campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asli yang masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
sekerabat (2014: 140). Dilihat dari bentuknya data di atas merupakan campur
kode penyisipan frasa. Frasa dapat diartikan satuan gramatik yang terdiri dari dua
kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi klausa (Ramlan, 1978: 151).
Dari data di atas terdapat campur kode penyisipan frasa bahasa Jawa
ngoko hal ini dapat dilihat dari cuplikan tuturan “Niki sek ajeng niliki, kok dangu
mboten tumon maring Yu?” yang dilakukan oleh lawan tutur, yakni pembeli.
Dikatakan penyisipan frasa karena terdapat frasa “tumon maring” yang dalam
bahasa Jawa krama berarti “dangu mboten nate tindak peken” dan dalam bahasa
Indonesia mempunyai arti “kok lama tidak pergi ke pasar.” Oleh karena itu
tuturan di atas merupakan campur kode penyisipan frasa bahasa Jawa ngoko. Hal
ini sejalan dengan pendapat Suwito (1985: 79) yang membagi campur kode
berdasarkan unsur-unsur kebahasaan diantaranya penyisipan frasa.
Data dalam tuturan di atas merupakan campur kode yang dilakukan oleh
pembeli, dimana ada tuturan bahasa Jawa krama yang disisipi bahasa Jawa ngoko.
Hal ini dapat dilihat dari cuplikan tuturan “Niki sek ajeng niliki, kok dangu
mboten tumon maring Yu?”.
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya campur kode berasal keterbatasan penggunaan kode dan
lawan tutur kesulitan mencari padanan yang pas dalam bahasa Jawa krama.
2. End (Tujuan)
End di sini yaitu akibat atau hasil yang dikehendaki yang meliputi
membujuk, dengan meyakinkan, menerangkan untuk mencapai hasil tersebut
(Suwito). Akibat atau hasil yang dikehendaki tampak pada tuturan berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
DATA (CK/12/031017)
Pembeli : “Berapaan Pak? Saya boleh nawar ya.”
Penjual : “Boleh saja.”
Pembeli : “Sekawan teko seratus ribu.”
(Empat, seratus ribu saja)
Penjual : “Ya sudah, milih warna sama ukuran e mbak e.”
Data di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli di Pasar tradisional Kranggan, Temanggung pada lapak penjual pakaian.
Penutur merupakan seorang pembeli dan lawan tutur merupakan seorang penjual,
suasana tuturan non formal dan data terjadi pada saat pagi hari. Suasana tuturan
non formal. Penjual tersebut berjenis kelamin laki-laki, kurang lebih berumur 45
tahun, tergolong dalam tingkat ekonomi kelas menengah ke atas. Selanjutnya
pembeli tersebut berjenis kelamin perempuan, kurang lebih 16 tahun dengan
tingkat pendidikan SMP. Pembeli tersebut datang untuk membeli legging.
Dilihat dari bentuknya data di atas merupakan campur kode berbentuk
frasa. Frasa ialah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak
melampauai batas fungsi klausa (Ramlan, 1978: 151). Dikatakan penyisipan frasa
karena terdapat frasa “sekawan teko” dalam bahasa Indonesia “empat itu”.
Data dalam tuturan di atas merupakan campur kode yang dilakukan oleh
pembeli yang berasal dari Jawa. Dilihat dari konteksnya percakapan di atas
pembeli ingin membeli legging, berawal dengan basa-basi untuk menanyakan
harga. Hal ini dapat dilihat dari cuplikan tuturan “Berapaan Pak? Saya boleh
nawar ya.” Kemudian direspon oleh penjual “boleh saja” tanpa berlama-lama
pembeli langsung menawar legging tersebut dengan mengatakan “Sekawan teko
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
seratus ribu” kemudian direspon baik oleh penjual dengan berkata “Ya sudah
milih warna sama ukuran e Mbak e.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor terjadinya campur kode
pada tuturan di atas adalah akibat atau hasil yang dikehendaki oleh penutur, di
mana pembeli berhasil membujuk penjual untuk mendapatkan harga lebih murah
tanpa berlama-lama melakukan tawar-menawar.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Suwito (1983: 75) bahwa
salah satu faktor penyebab terjadinya campur kode adalah berlatarbelakang pada
kebahasaan dalam hal ini yakni end (tujuan) hasil yang dikehendaki.
4.4.2.3 Faktor kebiasaan
Penjual : “Nek ijinan niku dua setengah.”
(Kalau satu biji itu dua ribu lima ratus)
Pembeli : “Dua aja, Mbak.”
Penjual : “Yakin mangkeh cukup? Ajeng damel nggoreng ayam to?
Mboten sisan sekawan?”
(Yakin nanti cukup? Mau buat goreng ayam kan? Nggak
sekalian empat)
Pembeli : “Ah, Mbak e ki. Yaudah empat.”
(Ah, Mbak. Yasudah empat sekalian)
(DATA CK/14/041017)
Percakapan di atas merupakan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh
penjual dan pembeli di Pasar Kranggan, Temanggung pada warung kelontong.
Tuturan terjadi pada saat pagi hari. Suasana tuturan non formal. Penutur
merupakan seorang penjual (kurang lebih 25 tahun), sedangkan lawan tutur
merupakan seorang pembeli (kurang lebih 20 tahun). Dialog diatas membahas
tentang penjual yang membujuk pembeli agar membeli dagangannya dalam
jumlah yang banyak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Data di atas merupakan jenis campur kode internal, karena masih
menyerap unsur-unsur bahasa asli yang masih sekerabat Suandi (2014: 140).
Dilihat dari bentuknya data di atas merupakan campur kode penyisipan Frasa.
Frasa dapat diartikan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih
yang tidak melampaui batas fungsi itu. Dari data di atas terdapat campur kode
penyisipan frasa hal ini dapat dilihat dari cuplikan tuturan “dua setengah” , “dua
aja” dan “yaudah empat” yang dilakukan oleh penutur dan lawan tutur. Data
dalam tuturan di atas merupakan campur kode yang dilakukan oleh penjual dan
pembeli, dimana ada tuturan bahasa Jawa krama yang disisipi bahasa Indonesia.
Dari data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor yang
menyebabkan terjadinya campur kode berasal dari faktor kebiasaan penutur dan
lawan tutur yang terbiasa menggunakan bahasa campur dalam berkomunikasi.
Pada masyarakat Indonesia yang multikultural kedwibahasaan tidak dapat
dihindari. Kedwibahasaan dapat didefinisikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian
(Chaer dan Agustina, 2014 84) oleh karena itu sangat wajar apabila seseorang
mencampurkan kode-kode bahasa satu dengan yang lain dalam berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
BAB V
PENUTUP
Bab ini terdiri dari dua pokok, yaitu simpulan dan saran. Simpulan berisi
mengenai penjabaran seluruh penelitian ini. Saran berisi tentang hal-hal yang
relevan yang perlu diperhatikan untuk penelitian selanjutnya, baik dari kalangan
mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia maupun peneliti lain. Berikut
pemaparan dari kedua hal tersebut.
5.1 Simpulan
Berdasarkan uraian bab IV yang sudah dianalisis dan dibahas oleh peneliti
mengenai alih kode dan campur kode dalam interaksi jual beli di Pasar tradisional
Kranggan Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa, peneliti menemukan
bentuk alih kode beserta faktornya dan bentuk campur kode beserta faktornya. Hal
tersebut dapat disimpulkan seperti berikut:
Peneliti menemukan bentuk alih kode internal antarbahasa yakni dari
bahasa Indonesia ke bahasa Jawa Ngoko dan alih kode bahasa Indonesia ke
bahasa Jawa Krama, kemudian alih kode internal antarvarian yakni dari bahasa
Jawa krama ke bahasa Jawa ngoko dan bahasa Jawa ngoko ke bahasa Jawa krama.
Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa alih kode
tersebut, yaitu: (1) penutur, yaitu dimana bertujuan untuk menghormati lawan
tutur, mengimbangi lawan tutur, dan tawar-menawar (2) lawan tutur, yaitu dimana
hanya sebatas bertujuan untuk tawar-menawar.
Peristiwa campur kode yang terjadi pada peristiwa tutur penjual dan
pembeli di pasar tradisional Kranggan Temanggung berbentuk campur kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
internal dan eksternal. Campur kode eksternal hanya pada penyisipan kata,
sedangkan campur kode internal terdiri atas penyisipan kata, frasa, klausa, kata
dan frasa.
Campur kode yang ditemukan tersebut berasal dari kode bahasa Jawa
krama dan bahasa Indonesia, bahasa Jawa ngoko ke bahasa Indonesia dan bahasa
Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko. Faktor-faktor yang menjadi penyebab
terjadinya campur kode tersebut yaitu: (1) penutur yang di mana dengan tujuan
menunjukkan kemampuannya dan menawar dan meminta bonus, (2) keterbatasan
penggunaan kode, (3) Faktor kebiasaan yang dimana ada pada penutur, lawan
tutur dan penutur dan lawan tutur.
5.2 Saran
Berkaitan dengan hasil yang ditemukan, peneliti memberi beberapa saran
bagi peneliti lanjutan yang akan meneliti topik yang serupa dengan penelitian ini.
Berikut adalah saran dari peneliti:
5.2.1 Bagi Peneliti Lain dan Mahasiswa Program Studi Bahasa dan
Sastra Indonesia
1. Penelitian ini hanya meneliti tentang bentuk, faktor-faktor yang
menyebabkan alih kode dan campur kode, serta faktor-faktor sosial
yang mempengaruhi pemakaian bahasa di pasar tradisional
Kranggan, Temanggung. Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat
dikembangkan lebih lanjut ke ranah dan subjek penelitian yang
lain, seperti di lingkungan sekolah, lingkungan desa tertentu,
lingkungan pemerintahan tertentu, dsb.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
2. Penelitian ini hanya meneliti secara umum tentang bentuk, faktor
penyebab terjadinya serta faktor sosial dan situasional yang
memengaruhi terjadinya pemakaian bahasa. Bagi peneliti lain bisa
menindak lanjuti penelitian campur kode dan alih kode dengan
ruang lingkup yang lebih sempit sehingga ke dalaman analisis
masalah yang lebih mendasar dapat diketahui.
3. Hasil temuan peneliti dapat dijadikan bahan referensi
pembelajaran dalam bidang sosiolinguistik bagi mahasiswa bahasa
dan sastra Indonesia, sekalipun data dalam penelitian ini ada
beberapa tuturan dalam bahasa Jawa akan tetapi peneliti sudah
memberikan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia.
5.2.2 Bagi Mayarakat Penjual dan Pembeli di Pasar Tradisional
Kranggan, Temanggung.
1. Alih kode dan campur kode merupakan ilmu dalam bidang
sosiolinguistik. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
acuan atau gambaran umum mengenai variasi bahasa yang ada
di Pasar dan dapat mempermudah saat melakukan tawar-
menawar dalam melakukan interaksi jual beli di Pasar
Kranggan, Temanggung dengan tujuan untuk menciptakan
komunikasi yang baik antara penjual dan pembeli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka
Cipta.
Aslinda, dan Leni. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika
Aditama.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2014. Sosiolinguistik Perkenalan
awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Dewantara, Andronikus Kresna. 2015. Campur Kode dan Alih Kode
pada Interaksi Informal Mahasiswa di Yogyakarta: Studi Kasus
pada Mahasiswa Asrama Lantai Merah, Jalan Cendrawasih No.
1B, Demangan Baru, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI,
JPBS, FKIP, USD.
Kridalaksana. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Mahsun. 2012. Metode Penenlitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode
dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Moeleong, LJ. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja
Karya.
Nababan. 1984. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Nugroho, Adi. 2011. Alih Kode dan Campur Kode pada Komunikasi
Guru-Siswa di SMA Negeri 1 Wonosari Klaten. Skripsi. UNY.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Pranowo. 2015. Teori Belajar Bahasa. Celeban Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ramlan. 1981. Ilmu Bahasa Indonesia. Yogyakarta: UP. Karyono.
Ramlan. 1987. Sintaksis. Yogyakarta: UP. Karyono.
Sarwo Nugroho, Galih. 2013. Alih Kode dan ampur Kode dalam Rapat
sosialisasi di Kecamatan Karang Malang Kabupaten Sragen.
Skripsi. UNY.
Suandi, Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suhendra, Yusuf. 1994. Teori Terjemahan Pengantar Ke Arah
Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik. Bandung: Madar Maju.
Sumarsono. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1985. Sosiolinguistik: Pengantar Awal. Surakarta: Henary
Offset.
Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi Muhammad. 2013. Sosiolinguistik:
Kajian Teori dan analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
No Kode Data Tuturan Konteks
Bentuk
Perubahan
Kode
Kategori
Faktor Penyebab
Alih Kode
Campur Kode
A
K
E
A
K
I
C
K
E
C
K
I
1. AK/01/290
917
Pembeli : “Mbak, tuku krambile
separo.”
(Mbak, beli kelapanya
setengah)
Penjual : “Nggih, tigang ngewu.
Mboten sisan sak biji
napa, malah mirah
regine.”
(Ya, tiga ribu. Tidak satu
biji saja? Lebih murah
harganya)
Pembeli : “Pinten?”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 40 tahun) ,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
penjual (kurang lebih 46
BJ ngoko-
BJ krama
Penutur. Tujuan untuk
menghormati mitra tutur.
Lampiran
TABULASI DATA
Berikut ini adalah hasil analisis data dari penelitian yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode Dalam Interaksi Jual Beli di Pasar
Kranggan, Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
(Berapa)
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
tahun) yang datang
untuk membeli kelapa.
2. CK/01/290
917
Penjual : “Itik itik itik...”
Pembeli : “Itike kuwi satu wae.”
(Itiknya itu satu saja)
Penjual : “Berapa kiloan sing
dibutuhkan Yu?”
Pembeli : “Sekiloan satu.”
Penjual : “Boyo apa sing biasane?
(Boyo atau yang
biasanya)
Pembeli : “Boyo kuwi wae, sing
rong kilonan ana hitam?”
(Boyo itu saja, yang dua
kiloan warna hitam ada)
Penjual : “Ada lengkap aku nek
dodolan ki."
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual yang
berasal dari Medan,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
55 tahun) asli jawa yang
datang untuk membeli
plastik.
Penyisipan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode. Tujuan untuk
menawarkan sesuatu.
3. CK/02/290
917
Penjual: “Mangga dipundhuti
Mak, klubane sae-sae
mirah.”
(Mari dibeli Mak, sayurnya
bagus-bagus murah)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan mitra
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Pembeli : "Pinten?”
(berapaan itu)
Penjual : “Nek sik jesin tigang
ewu.”
(Kalau sawi tiga ribu)
Pembeli : “Larang temen mbak,
biasane seribu
maratus.”
(Mahal sekali mbak,
biasanya seribu lima
ratus)
Penjual : “Ha nggih mangga.”
(Ya sudah silahkan)
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli sayur.
4. AK/02/290
917
Pembeli : “Tela rong kilo sing
lawas, Mbak”
(Singkong dua kilo
yang sudah lama,
Mbak)
Penjual : “Nggih, ini dangu
sedanten, Bu.”
(Iya, ini lama semua)
Pembeli: “Niku tasih teles,
ketingal siti ne
dereng garing, lha
niku bener sing
kados niku
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 25 tahun)
BJ Ngoko-
BJ Krama
Penutur. Tujuan untuk
menghormati mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
pilihane.”
(Itu masih basah,
kelihatan masih ada
tanah yang belum
kering)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
penjual (kurang lebih 60
tahun). Pembeli datang
untuk membeli
singkong.
5. AK/03/290
917
Pembeli : “Nanas e pironan
Mas.”
(Buah nanasnya berapa,
Mas)
Penjual : “Wolung ewu Bu, murah
mawon.”
(Delapan ribu Bu,
murah aja)
Pembeli : “Kok larang Mas, wingi
aku tuku pitung ewu
wae gede kok.”
(Kok mahal Mas, kemarin
saya beli tujuh ribu saja
dapat yang besar)
Penjual : “Nanas super Bu, apik.”
(Buah nanas super Bu,
bagus)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
30 tahun) , sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 50 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
buah nanas.
BJ Krama-
BJ ngoko
Mitra tutur. Tujuan untuk
tawar-menawar harga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
6. CK/03/290
917
Pembeli : “Jengkol Bu, panen
kiyambak mboten
njengkoli.”
(Jengkol Nu, panen
sendiri dijamin tidak
membuat keracunan)
Penjual : “Dimasak menapa nek
kula tumbas niki jengkol
e?”
(Saya masak apa kalau
beli jengkol ini)
Pembeli : “Direndang to Bu, eco
tenan ngalahi daging
sapi, direndem riyen
sedalu ngangge awu
napa enjet.”
(Masak rendang saja,
enak sekali rasanya
mengalahkan daging
sapi, direndam dulu
semalam dikasih abu
atau kapur sirih)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
45 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
jengkol.
Penyisipan
kata
Keterbatasan penggunaan
kode
7. CK/04/290
917
Pembeli : “Manis-manis jeruk e
Bu?”
(Manis-manis
jeruknya, Bu)
Penjual : “Manis, tapi mang
dicobo kriyen.”
(Manis, tapi dicoba
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
(kurang lebih 25 tahun)
Penyisipan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
dahulu)
Pembeli : “Berapa satu kilo ini?”
Penjual : “Delapan.”
Pembeli : “Satu kilo, dipilihin
yang bagus, Bu.”
(Satu kilo, dicarikan yang
bagus, Bu)
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur (lawan tutur
60 tahun) merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli buah jeruk.
8. CK/05/290
917
Pembeli : “Coba tak lihat gamis
yang digantung ngajeng
niku, Bu.”
(Coba saya lihat gamis
yang digantung didepan itu,
Bu)
Penjual : “Warna apa?”
Pembeli : “Abrit.”
(Merah)
Penjual : “Kurang cocok kalih
kulit sampeyan yang
hitam, ini aja keliatan
bersih dimuka.
(Kurang cocok dengan
kulit kamu yang hitam, ini
saja cocok terlihat bersih di
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli gamis (baju
muslim).
Penyisipan
kata dan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
muka)
9. CK/06/300
917
Penjual : “Pados napa Mbak?”
(Cari apa Mbak)
Pembeli : “Terusan.”
(Baju terusan)
Penjual : “Mriki diprisani
rumiyin. Niki Mbak,
apik.”
(sini dilihat dulu. Ini
Mbak, bagus)
Pembeli : “Ngandape dijodoni
celana pensil bisa, Buk.
Cemeng?”
Penjual : “Saged mawon, mlebet
kalih warna napa mawon
nek cemeng.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual pakaian,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli baju.
Penyisipan
klausa
Keterbatasan penggunaan
kode
10. CK/07/300
917
Pembeli : “Wis gek dipaske lho,
Nyah.”
(Harga pas nya berapa,
Nyah)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
Penyisipan
kata
Penutur. Tujuan untuk
menawar dan meminta
bonus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Penjual : “Wis tenang wae iki ora
kelarangen, ra
mblandangke.”
(Tenang saja tidak terlalu
mahal, tidak
menjerumuskan harganya)
Pembeli : “Diparingi bonus lho.”
(Dikasih bonus ya)
Penjual : “Tak sukani mangkeh,
tak kek i sing gedhi pokok
e, plastike maksud e.”
(Saya beri nanti, saya kasih
yang besar pokoknya, yang
besar plastiknya maksud
saya)
Pembeli : “Senengane
glanyongan.”
(Sukanya bercanda)
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli celana.
11. AK/04/300
917
Penjual : “Pun, sampun mak
jeglek, pun anget niki.”
(Sudah pas timbangannya)
Pembeli : “Iki katutno, sak util
mene.”
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
BJ. Krama-
BJ. Ngoko
Penutur. Tujuan untuk
mengimbangi lawan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
(Ini dimasukkan, kecil
saja)
Penjual : “Wis pas, mang
dipresani.”
(Sudah pas, coba dilihat)
Pembeli : “Alah teko tambahi siji
ora marahi rugi.”
(Tambah satu tidak
membuat rugi)
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
yang datang untuk
membeli kentang.
12. CK/08/011
017
Pembeli : “Jeruk e pinten, Bu?”
(Jeruknya berapa, Bu)
Penjual : “Nek suwi ratau maring
kalih suwe mboten
mundhut mesti kaget,
luarang tenan saiki.”
(Kalau lama tidak pergi ke
Pasar dan lama tidak beli
pasti kaget karena sekarang
harganya mahal sekali)
Pembeli : “Kok le mbleguk-
mbleguk.”
(Besar-besar sekali
jeruk nya)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli buah jeruk.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
Penjual : “Limo las.”
(Lima belas)
Pembeli : “ Mahal nggih?”
(Mahal ya)
Penjual : Apel wae, seng rodo
kacek. Apel selawe, wis
patlikur wae.”
(Apel saja, harganya lebih
murah. Apel dua puluh
lima ribu, sudah dua puluh
empat saja)
Pembeli : “Larang, jeruk e wae.”
(Mahal, jeruknya saja)
13. CK/09/011
017
Pembeli : “Napa gadhah daster
ukuran ageng, Bu?”
(Apakah punya daster
ukuran besar, Bu)
Penjual : “Ana, tinggal milih
warna, regane seka nyeket.
Mau warna apa? Opo
batik?”
(Ada, silahkan pilih warna,
harganya dimulai dari lima
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual baju.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
puluh ribu. Mau wana apa?
Atau motif batik)
Pembeli : “XXXL”
Penjual : “Gari warna iki kok an,
mau?”
(Tinggal warna ini saja,
mau)
Pembeli : “Kalih sewidak, kula
wis mentok le ngenyang.”
(Dua biji enam puluh ribu,
saya tidak akan menawar
lagi)
Penjual : “Ra weh, kulakane rung
oleh.”
(Tidak, saya membeli dari
penyetor lebih mahal dari
yang kamu tawarkan)
Pembeli datang untuk
melakukan negosiasi
(tawar-menawar) daster
tetapi tidak mencapai
kesepakatan.
14. CK/10/021
017
Penjual : “Mangga Bu, pados
napa dipun priksani
rumiyin, mriki komplit
sembarang onten.”
(Silahkan Bu, mencari apa
dilihat saja boleh. Disini
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
lengkap apa saja ada)
Pembeli : “Mbaleni sing mau kae,
piye seket limo, wis tak
undaki lima ribu.”
(Yang tadi lima puluh ribu
bagaimana, saya naikkan
lima ribu)
Penjual : “Seket pitu mangatus,
bungkus.”
(Lima puluh tujuh lima
ratus, dibungkus)
Pembelil : “Walah, sing loro
setengah ke mbok tak
gawe ngopata bali ta.”
(Dua ribu lima ratus untuk
saya pulang naik angkot)
Penjual : “Nggih, gawe
penglaris.”
(Silahkan)
Penutur merupakan
seorang penjual
kerudung, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang pembeli yang
datang untuk membeli
kerudung.
15. CK/11/021
017
Pembeli : “Mas Ji, ndak ana
sepatu sing pas gawe
Hawa?”
Penjual : “Ana, tapi satus.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Pembeli : “Lah laring, mbok satus
loro ngono ya.”
Penjual : “Ya ada, tur bahane
kaya ngene gelem po?
Gawe mlayu wae wis
semplok.”
Pembeli : “Ana rega ana rupa ya
Mas Ji.”
Penjual : “Jelas nek itu ke pasti.
Wis iki wae nek kurang
bayare mengko nang
omah.”
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli sepatu.
berkomunikasi.Tujuan
untuk tawar-menawar.
16. CK/12/031
017
Pembeli : “Berapaan Pak? Saya
boleh nawar ya.”
Penjual : “Boleh saja.”
Pembeli : “Sekawan teko seratus
ribu.”
(Empat, seratus ribu saja)
Penjual : “Ya sudah, milih warna
sama ukuran e mbak e. “
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
16 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
Penyisipan
frasa
Adanya akibat dan hasil
yang dikehendaki dari
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
lebih 45 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
legging.
17. CK/13/031
017
Penjual : “Siji loro telu, yang
warna hijau telu. Sing
biru dua, sing abang mau
pira? Enam ta? Siji loro
telu papat lima enem.” Pas.
Mangga nek arep dicek
meneh.”
(Satu dua tiga, warna hijau
tiga. Warna biru dua, warna
merah tadi berapa? Enam?
Satu dua tiga empat lima
enam. Sudah lengkap.
Silahkan ditinjau kembali)
Pembeli : “Nggih sampun, kula
pitados.”
(Saya percaya)
Penjual : “Dadine njuk enam
puluh ping pindo satus
rong puluh tambah satus
tekoan.”
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 70 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
28 tahun) yang datang
untuk membeli kaus.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
(Jumlahnya enam puluh
dikalikan dua, lalu seratus
dua puluh ribu ditambah
seratus saja)
Pembeli : “Njuk kalih atus kalih
dasa nggih.”
(Totalnya dua ratus dua
puluh)
18. CK/14/041
017
Penjual : “Nek ijinan niku dua
setengah.”
(Satu biji harganya dua
ribu lima ratus)
Pembeli : “Dua aja, Mbak.”
Penjual : “Yakin mengko cukup?
Ajeng damel nggoreng
ayam to? mboten sisan
sekawan.”
Pembeli : “Ah mbak e ki, yaudah
empat.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli tepung
bumbu.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
19. CK/15/041
017
Pembeli : “Pak, bakso lima ribu.”
Penjual : “Nggih, ngangge tahu
mboten?”
(Ya, memakai tahu
tidak)
Pembeli : “Sing bulat dikasih dua,
banyakin sambelnya Pak,
kuah dikit aja.”
Penjual : “Mawi sledri?”
(Diberi seledri)
Pembeli : “Ya, sedikit.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
bakso.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
20. CK/16/041
017
Pembeli : “Bu, tumbas tahu pong
angsal tiga ribu?”
(Bu, saya beli tahu tiga
ribu, boleh)
Penjual : “Saget mbak, lho niki
pun angsal kathih.”
(Bisa Mbak, ini sudah
dapat banyak sekali)
Pembeli : “Iya e, matur suwun.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun), sedangkan
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
(Iya, terima kasih) mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 37 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
tahu.
21. CK/17/041
017
Pembeli : “Mas, daging sapi dua
puluh.”
Penjual : “Ribu? Kilo?”
Pembeli : “Ribu lah.”
Penjual : “Tapi tinggal daging
nomer kalih, kersa?”
(Hanya sisa daging
kualitas nomor dua, mau)
Pembeli : “Sing penting bisa buat
sop, Mas jangan diambilin
yang banyak gajih.”
(Asalkan bisa untuk
memasak sup, ambilkan
yang tidak banyak lemak)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
daging sapi.
Kata dan
frasa
Faktor keterbatasan kode
dari penutur dan lawan
tutur.
22. CK/18/041
017
Penjual : “Pun, niki mawon?
Seribu.”
(Sudah ini saja)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Pembeli:“Tambahi loncang
seledri, nganut regane.”
(Ditambah daun bawang
dan seledri, harganya ikut
saja)
Penjual : “Ngeten dua ribu.”
(Seperti ini, dua ribu)
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli sayur.
campur dalam
berkomunikasi.
23. CK/19/041
017
Pembeli : “Tuku tela marekan e
Ses satu bungkus.”
(Beli umbi rambat dong
Ses satu bungkus)
Penjual : “Lah jan wong ndeso
gaweane neng sawah kok
diundang Ses, geguyu pitik.
Lebay men.”
(Orang desa bekerja di
Ladang, kok dipanggil Ses,
ditertawakan ayam)
Pembeli : “Kemajuan to.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
50 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
Penyisipan
kata dan
frasa
Penutur. Tujuan
membangkitkan rasa
humor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Penjual : “Ealah, Bu Kaji to niki,
ngapunten bu mboten
sumerep. Pun niki dibeta
mawon sampun.”
(Ibu Haji, maaf Bu, Saya
tidak melihat. Sudah ini
dibawa semuanya saja.
Pembeli : “Nyantuk dikerjani ya.”
(Kena deh)
datang untuk membeli
singkong.
24. AK/05/051
017
Penjual : “Ayam Mbak?”
Pembeli : “Iya.”
Penjual : “Mau dicacah sekalian
ayamnya?”
Pembeli : “Pira to, Mas saiki
sekilo?”
(Berapa Mas sekarang satu
kilo)
Penjual : “Gluntungan telu likur,
daging selawe. Mundak
Mbak, mangsa sadranan.”
(Ayam utuh dua puluh tiga
ribu, daging dua puluh
lima. Harganya naik karena
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
30 tahun) yang datang
untuk membeli daging
ayam.
B.Indo-BJ.
Ngoko
Adanya latar belakang
bahasa yang sama antara
penutur dan mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
sekarang musim Nyadran*
Nyadran : bersih makam,
tabur bunga yang
puncaknya berupa kenduri
atau doa bersama
Pembeli : “Iyo pancen, njaluk nem
kilo daging.”
(Iya memang, minta daging
enam kilo saja)
25. CK/20/051
017
Penjual : “Tuku opo lek? Bumbu-
bumbu komplit, seng wis
dadi ya ana. Dipilih wae
bagus-bagus.”
(Beli apa Bulek, bumbu-
bumbu lengkap, yang
sudah jadi ada. Dipilih
saja)
Pembeli : “Ming arep tuku sitik
lho aku.”
(Saya hanya ingin membeli
sedikit)
Penjual : “Ora apa-apa, bagus-
bagus.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli bumbu
Penyisipan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode dari penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Pembeli : “Bawang wis nduwe,
brambang ijeh, lombok
abang wae sing tak tuku
telung ewu.”
(Bawang putih sudah
punya, bawang merah
masih ada, cabai merah
saja, saya beli tiga ribu)
dapur.
26 . CK/21/051
017
Penjual : “Napa Bu brambang?
Opo lombok e bu murah
sekilo rolas.”
(Mencari bawang merah,
Bu? Atau cabainya, satu
kilo dua belas ribu murah)
Pembeli : “Ajeng tumbas seprapat
mawon kok, brambange
tasih punya.”
(Mau beli seperempat
saja, bawang merahnya
saya masih punya)
Penjual : “Ha mbok enggih bu,
tiga ngewu ngga.”
(Boleh Bu, tiga ribu
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli bumbu
dapur.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
silahkan)
Pembeli : “Loro setengah, nek
aweh wungkuske.”
(Dua ribu lima ratus,
kalau boleh dibungkus)
Penjual : “Nggih tapane.”
(Ya, boleh)
27. CK/22/051
017
Pembeli : “Bu, niki bunga pinten
nggih buk?”
(Bu, bunga ini berapa)
Penjual : “Ngene, ngene kiye.
sepuluh ewu.”
(Seperti ini, sepuluh ribu)
Pembeli : “Niki diparingi bunga
yang ini mboten, Bu?
(Dikasih bunga yang ini
tidak, Bu)
Penjual : “Ora usah ngene wae
cukup.”
(Tidak, seperti ini saja
cukup)
Pembeli : “Matur nuwun.”
(Terima kasih)
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bunga.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
28. CK/23/061
017
Penjual : “Mbak e dom e, pinset e,
tambal manci.”
Pembeli : “Pinset pak?”
Penjual : “Ada mau?”
Pembeli : “Berapa ini?”
Penjual : “Tujuh ribu dua, nek
satu tiga setengah.”
Pembeli : “Dua ribu, Pak.”
Penjual : “Tiga ribu gak papa sisir
sisir nggak? Ming satu?
Potong kuku?”
Pembeli : “Iya pak, udah punya.”
Penjual : “Kasak-kasak?”
(Sikat untuk mencuci baju)
Pembeli : “Ada Pak, di rumah.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun) yang datang
untuk membeli pinset.
Penyisipan
kata dan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode dari penutur.
29. CK/24/051
017
Penjual : “Mau apa, Mbak ?
Celana panjang pendek,
kolor. Mampir sini.”
Pembeli : “Celana kolor biasa,
Bu.” Pendek aja. Yang
seperti ini?
Penjual : “Niki kalih dosonan.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
Penyisipan
kata dan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode dari penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
(Seperti ini dua puluh
ribuan)
Pembeli : “Panas atau nggak ini,
Bu bahannya?”
Penjual : “Ya kalau celana pendek
gini Insyaallah nyaman,
seperti trainning. Model e
niki ngeten, niki sek dua
lima, nanti yang agak
pendek warna gelap, ini
hitam biru donker atau ini
ada gambar e.”
Pembeli : Kalau yang ini berapa,
Bu?”
Penjual : “Dua lima, nggih towo
sedikit angsal Mbak,
masih bisa dingendikani.
Ha ini aja yang merah.
Nanti tak korting njuk
tak pasin harganya.”
(Dua puluh lima ribu,
masih bisa menawar,
Mbak. Nanti saya beri
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) celana pendek
tetapi tidak mencapai
kesepakatan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
potongan harga, lalu saya
beri harga pas)
Pembeli : “Dua puluh.”
Penjual : “Belum dapat mbak.”
30. CK/25/061
017
Pembeli : “Bulik, tempe.”
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
Pembeli : “Lah, larang temen.
Sing bungkus godhong.”
(Mahal sekali. Yang
dibungkus pakai daun)
Penjual : “Habis Bu, laris
banget.”
Pembeli : “Iki ora nelung
ewunan?”
(Ini tidak tiga ribu
harganya)
Penjual : “Lah kulake pun
larang.”
(Membeli dari penyetor
sudah mahal)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) tempe tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
31. CK/26/061
017
Pembeli : “Mbah, kagungan
gambas?”
(Mbah, punya oyong)
Penjual : “Mboten e Bu, ana ne
terong, pare, kalih
gleyor.”
(Tidak Bu, ada nya terong,
pare dan kacang panjang)
Pembeli : “Gleyor pinten, Mbah?”
(Kacang panjang berapa,
Mbah)
Penjual : “Sak unting telu
setengah Bu, gleyor jawa
niki eco nek dioseng
paringi lombok rawit, ngga
mundhut pindah.”
(Satu ikat tiga ribu lima
ratus Bu, ini kacang
panjang jenis jawa, enak
sekali kalau dimasak tumis
diberi cabai rawit, beli
sekalian saja Bu)
Pembeli : “Nyuwun kalih, Mbah.”
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 55 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sayur.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
(Minta dua ikat, Mbah)
32. CK/27/071
017
Pembeli : “Srandal pira, Mas?
Sing srampatan ngene?”
(Sendal jepit seperti ini
berapa, Mas)
Penjual : “Rolas Bu, mang
mindah.”
(Dua belas ribu, Bu.
Silahkan pilih)
Pembeli : “Warnanya thok ini?”
(Hanya ini warnanya)
Penjual : “Masih banyak,
ukuran berapa
ngageme?”
(Masih banyak, ukuran
berapa Ibu biasa pakai)
Pembeli : “Tiga tujuh.”
Penjual : “Masih banyak, soklat,
kuning telo, jambon.”
(Masih banyak, coklat,
oranye, dan merah jambu)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
50 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sandal.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
33. CK/28/071 Penjual : “Sayang anak-sayang Tuturan terjadi pada saat Penyisipan Faktor kebiasaan lawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
017
anak, Bu balon, Bu.”
Pembeli : “Pira Mas siji?”
(Berapa Mas, satu)
Penjual : “Sepuluh mawon.”
(Sepuluh ribu saja)
Pembeli : “Dua lima belas, nek
boleh tak tuku.”
Penjual : “Tambahi telung ewu.”
(Ditambah tiga ribu)
Pembeli : “Nek boleh kuwi mau,
limolas loro.”
(Kalau boleh, lima belas
ribu dapat dua)
Penjual : “Nggih, milih ajeng seng
pundi.”
(Ya, silahkan pilih mau
yang mana)
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 35 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
45 tahun) yang datang
untuk membeli balon.
kata dan
frasa
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
34. CK/29/081
017
Penjual : “Yu ora njamu?”
(Mbak tidak minum jamu)
Pembeli : “Niki sek ajeng niliki,
kok dangu mboten
tumon maring Yu?”
(Ini baru mau melihat buka
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
atau tidak, kok lama sekali
nggak ke pasar Mbak)
Penjual : “Wingi disambat anak.”
(kemarin diminta tolong
pergi ke rumah anakku)
Pembeli : “Ditinggal glidik napa?
Jamu pegel linu mawon
sakniki.”
(Ditinggal kerja? Jamunya
sekarang pegel linu saja)
Penjual : “Gatel-gatel e iya po
ora?
(Ditambah untuk
pengurang rasa gatal
tidak)
Pembeli : “Nggih pareng.”
(Ya, boleh)
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 60 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
65 tahun) yang datang
untuk membeli jamu.
35. CK/30/081
017
Penjual : “Ayam budhe, jawa napa
negeri?”
(Ayam, Budhe. Ayam
kampung atau ayam
potong)
Pembeli : “Jawa, sekilo piro Mbak
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
saiki?”
(Potong saja, sekilo
berapa sekarang, Mbak)
Penjual : “Tujuh puluh, Budhe.”
Pembeli : “Nggak enam wae,
Mbak? Tak njaluk sitik
dua kilo.”
Penjual : “Enam lima, tak
cacahin.”
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
55 tahun) yang datang
untuk membeli daging
cincang.
36. CK/31/081
017
Pembeli 1 : “Bulik kagungan
brokoli bulik?”
(Bulik, punya brokoli)
Penjual : “Ngeten niki?”
(Seperti ini)
Pembeli 2 : “Ora, mboten sing
ngeten niki sing warnane
ijo. Nika sebelah mrika
enten.”
(Bukan, bukan ini yang
saya maksud, yang
warnanya hijau. Itu
disebelah sana ada)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli 1 (kurang lebih
70 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Pembeli 1 : “Mboten remen bulik,
dingapunten.”
(Tidak suka bulik,
maaf)
Penjual : “Nggih mboten dados
napa.”
(Ya, tidak apa-apa)
negosiasi (tawar-
menawar) sayur tetapi
tidak sesuai dengan
yang diingkan.
37. CK/31/081
017
Penjual : “Bu Rajak, pundhuti sate
ne, eco niki. Genduk e
nderek to niki?”
(Bu Rajak, dibeli satenya
enak ini. Cucunya ikut)
Pembeli : “Saiki Iyu mande sate
to? Tak njajal kalau gitu,
bungkuske satu Yu, ndak
usah paringi sambel
brambang.”
(Sekarang Mbak jualan
sate? Saya coba kalau
begitu, satu dibungkus
Yu, tidak usah diberi
sambal dan bawang
merah)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
65 tahun) yang datang
untuk membeli sate.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Penjual : “Pun radi dangu Bu, kok
mboten nate ketingal Ibu,
tindakan luar kota napa?”
(Sudah lama Bu, tidak
pernah terlihat, pergi ke
luar kota)
Penjual : “Aku dipindah Yu, saiki
dines nang Parakan.”
(Saya sekarang pindah
tugas di Parakan, Yu)
38. CK/32/081
017
Penjual : “Golek apa Bu Kaji”
(Cari apa Bu Haji)
Pembeli : “Ingkang damel sop-
sopan niko menapa nggih,
kula kok kesupen.”
(Bahan sayur untuk sup itu
apa ya, saya lupa namanya)
Penjual : “Oalah mbang kol?”
(Bunga kol)
Pembeli : “Nggih mbok menawi,
kados pundi Yu tak
mrisani.”
(Iya mungkin, bisa saya
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 60 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun) yang datang
Penyisipan
frasa
Keterbatasan penggunaan
kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
lihat)
Penjual : “Ngeten Bu Kaji, mbang
kol niku kok sekilone nem
ewu.”
(Seperti ini Bu Haji, bunga
kol satu kilonya enam ribu)
Pembeli : “Kula tumbas gangsal
ewu mawon, Yu.”
(Saya beli lima ribu saja,
Yu)
untuk membeli sayur.
39. CK/33/081
017
Penjual : “Sate dik, mau nggak?
Enak.”
Pembeli : “Sepuluh ribu aja.”
Penjual : “Nanti lak tuman wong
enak, pake lontong
nggak?”
(Nanti pasti ketagihan
soalnya enak, pakai
lontong tidak)
Pembeli : “Nggak usah budhe gitu
aja.”
Penjual : “Besok beli lagi ya.”
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
17 tahun) yang datang
Penyisipan
frasa
Faktor keterbatasan
penggunaan kode dari
penutur. Tujuan menarik
hati pembeli.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
untuk membeli sate.
40. CK/34/081
017
Pembeli : “Ini berapa?”
Penjual : “Selawe.”
(Dua puluh lima ribu)
Pembeli : “Walah mbok yo padha
ngono. Iki rolas ngono
ngopo to Mas, semang
dibedani barang.”
(Tidak sama saja Mas,
kenapa harus beda
harganya)
Penjual : “Nggih.”
(Ya)
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli caping.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
41. CK/35/091
017
Pembeli : “Setelan kathok klambi
ne upin ipin kuwi pira yo
mas?”
Penjual : “Seket karo pitung puluh
Mbak.”
Pembeli : “Apa bedane mas?”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Penjual : “Beda bahan mbak,
nggo mang didumuk, panas
kaleh adem”.
Pembeli : “Sing iki wae kuning
nek ana, gawe cah umur
telung tahun cukup to
mas udahan?
Penjual : “Nek lemu pas.”
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
40 tahun) yang datang
untuk membeli baju.
42. AK/06/101
017
Pembeli : “Vespa atau mobil atau
truk gitu ada nggak,
Mas?”
Penjual : “Ada mas, milih aja mau
yang besar apa kecil ada.”
Pembeli : “Pironan Mas?”
(Berapa Mas)
Penjual : “Gawe buka dasaran tak
kei rego mitung puluh.”
(Buat buka awal saya kasih
harga tujuh puluh ribu)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
30 tahun) yang datang
untuk membeli mainan
anak.
B. Indo-BJ.
Ngoko
Penutur. Tujuan untuk
tawar-menawar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
43. CK/36/101
017
Penjual : “Mas, aku arek adol
anting tapi surate ilang.”
(Mas, saya mau jual anting
tetapi surat kepemilikannya
hilang)
Pembeli : “Rapopo asal emas,
mriki kula cek riyen.”
(Tidak masalah, asal itu
emas. Sini biar saya cek
ddulu)
Penjual : “Arek dituku pira?”
(Mau dibeli berapa ini)
Pembeli : “Tiga ratus mapuluh
pas. Berat satu setengah
gram.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 67 tahun,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli jual-beli emas
di emperan toko (kurang
lebih 40 tahun).
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
44. AK/07/111
017
Pembeli : “Sapa seng dodol
geritan ya?”
(Siapa yang jual bahan nasi
jagung?)
Penjual : “Nggih betahe pinten?”
(Ya, butuhnya berapa)
Pembeli : “Tumbas setengah ndak
angsal, nggih?”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan,
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
BJ. Ngoko-
BJ. Krama
Lawan tutur. Tujuan
menghormati lawan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
(Beli setengah kilo boleh)
Penjual : “Saget mawon, Budhe.
Pethak napa ingkang
kuning? Nek sing lemes
ingkang niki, pethak e radi
kasar nek diliwet.”
(Bisa saja, Budhe. Putih
apa kuning? Kalau kuning
dimasak jadi pulen, warna
putih agak kasar)
Pembeli : “Ingkang kuning
kemawon.”
(Yang kuning saja)
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bahan nasi
jagung.
45. CK/37/111
017
Penjual : “Mama Lemon lebokke
kerdus sak pak. Slondok
Muntilan aja lali, mi
sedap sepuluh ewu lima,
sisan pora?”
(Mama Lemon
dimasukkan kardus
jumahnya satu pack.
Krupuk Muntilan jangan
lupa, mi sedap sepuluh
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
ribu sekalian dibeli tidak)
Pembeli: “Lah sampun, kok malah
ndendet-ndendet.”
(Sudah, itu saja)
Penjual : “Tak obral dik.”
Pembeli : “Mbok nggih diobral
nek uang cuma pas le
mbeto njur ngutang ngoten
nggih.”
(Walaupun diobral tapi
kalau bawa uangnya pas
lalu hutang ya)
Penjual : “Wis diobral ya diutang,
totale dua delapan dik.”
(Sudah diobral masih saja
dihutang. Totalnya dua
puluh delapan ribu dik)
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun) yang datang
untuk membeli sabun
dan makanan ringan.
46. CK/38/111
017
Pembeli : “Kathok rangkepan
wonten, Bu?”
(Celana pendek ada, Bu)
Penjual : “Wonten, kaya gini
mbak pelangi.”
(Ada, motif pelangi
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
seperti ini)
Pembeli : “Pinten niki Bu?
Ukuran gede enten?”
Penjual : “Selawe, lha iki gede
lho, longgar wong saya
aja pakai. Mbak e
mundhut empat aja
seratus, kemarin saya
adole patang puluh
sijine”
(Dua puluh lima ribu, ini
besar saya saja pakai.
Mbak beli empat saja
seratus ribu, kemarin saya
jualnya empat puluh ribu,
satunya)
Pembeli : “Dua empat puluh.”
Penjual : “Ya mana uange sing
pas, gek ntas bukaan.”
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli celana pendek.
47. AK/07/121
017
Pembeli : “Tembako ne sing apik,
Nok.”
(Tembakau yang bagus,
Nok*
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
BJ. Ngoko-
BJ. Krama
Penutur. Tujuan
mengimbangi lawan tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Nok : sebutan untuk anak
perempuan
Penjual : “Niki Kung, sae. Niki
tunggale biasane sing sok
dipundhut Kakung. Kok
nindaki kiyambak Kung,
Mbah Uti mboten tindak?”
(Yang ini Kung, bagus. Ini
yang suka kakek beli. Pergi
ke pasar sendiri Kek,
Nenek tidak pergi ke
Pasar?)
Pembeli : “Nyuwun sing niki
mawon, klembak menyan
ampun kantun. Niko sek
tumbas ulam.”
(Minta ini saja, klembak
dan kemenyan jangan
sampai ketinggalan. Itu
baru membeli ikan)
Penjual : “Sampun, Kung.”
(Sudah Kek)
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli tembakau.
48. AK/08/121 Penjual : “Yo kolor-kolor batik Tuturan terjadi pada saat BJ. Ngoko- Penutur. Tujuan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
017
seko Yojo, rasah nang
Yojo tuku nggon Pak
Mahmud wae.”
(Celana kolor batik dari
Jogja, tidak perlu pergi ke
Jogja, beli tempat Pak
Mahmud saja)
Pembeli : “Pinten Pak?”
(Berapa Pak)
Penjual : “Tigang doso gangsal
Bune, mboten awis, nek
mriko langsung awis le
ngebis larang sak niki.”
(Tiga puluh ribu Bu, tidak
mahal, kalau pergi kesana
langsung mahal naik bus
nya sekarang)
Pembeli : “Tasih enjing, mbok
gangsal welas.”
(Masih pagi, lima belas
ribu)
Penjual : “Mboten kelarangen niki
Bu.”
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
58 tahun) yang datang
untuk membeli plastik.
BJ. Krama menghormati lawan tutur
dan menawarkan
dagangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
(Tidak kemahalan Bu)
Pembeli : “Pun gangsal mawon,
kula tak milih sing apik.”
(Lima saja, saya mau pilih
yang bagus)
Penjual : “Tigo gangsal lho niki.”
(Tiga puluh lima ribu)
Pembeli : “Nggih.”
(Ya)
49. CK/39/121
017
Penjual : “Mari Mbak, atasan
bawahan gamis Umi
Pipik, jilbab Zaskia
Sungkar. Lagi model,
mari sini.”
Pembeli : “Jilbab Zaskia kaya apa
Bu?” Pinten? Larang
mesti?”
Penjual : “Murah aja, bahan
dingin. Tujuh puluhan.”
Pembeli : “Lima puluh mawon
iki.”
Penjual : “Aja ditawar, beli di
Rabbani nggak oleh
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
35 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
pitung puluh.” negosiasi (tawar-
menawar) jilbab tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
50. CK/40/131
017
Pembeli : “Pak, pados ulas
bantal.”
Penjual : “Wonten mbak, sik tak
padoske. Setunggale
kalih dasa.
Pembeli : “Nek enten warna
pink.”
Penjual : “Telas, enten e biru,
jambon, kuning.”
Pembeli : “Jambon niki nggih
pink niku.”
Penjual : “Karang kula nggih
meng lulus S3, SD kelas
tiga.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun) yang datang
untuk membeli sarung
bantal.
Penyisipan
kata
Penutur. Tujuan
Menunjukkan
kemampuanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
51. AK/09/131
017
Pembeli : “Cari kerudung segitiga
warna hitam.”
Penjual : “Polos apa ada motif?”
Pembeli : “Mrisani kados napa
Mbak?”
Penjual : “Niki tigang dasa
gangsal, nek sing ajeng
alus malih bahan e seket.”
Pembeli : “Pantes mboten niki?”
Penjual : “Segala umur saget,
Mbak.” Pun niku pas
kawan dasa.”
Pembeli : “Kalih niki.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli kerudung.
B. Indo-BJ.
Halus
Penutur. Tujuan untuk
mendapatkan potongan
harga.
52. AK/10/141
017
Pembeli : “Arek golek arit Mas,
sing landep.”
(Cari sabit Mas, yang
tajam)
Penjual : “Niku teng ngajeng e
jenegan.”
(Itu di depan Anda)
Pembeli : “Pinten niki, pun
mundak?”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
75 tahun), sedangkan
BJ. Ngoko-
BJ. Halus
Penutur. Tujuan
mengimbangi lawan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
(Berapa ini, sudah naik
harganya)
Penjual : “Nggih sampun nek le
mundhut pun dangu.
Mboten awon. Angsal
dibangsulke.”
(Iya sudah, kalau
belinya sudah lama.
Tidak jelek. Boleh
dibalikin)
Pembeli : “Nggih sisan diasahke,
Mas.”
(Iya sekalian diasah)
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sabit.
53. CK/41/141
017
Penjual : “Yang mana Mbak
jadinya?”
Pembeli : “Yang disamping
panjenengan.”
Penjual : “Tapi tiga gangsal pas.”
Pembeli : “Kayak gini lima belas
aja.”
Penjual : “Pas. Jangan ditawar
lagi, nanti saya nggak sida
bathi.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
pembeli. Pembeli datang
untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) panci tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
54. CK/42/141
017
Penjual : “Mbak e, cari apa Mbak,
mari.”
Pembeli : “Celana kolor, Bu.”
Penjual : “Kolor biasa? Pendek
ya? Nek perca purun
nggak?”
Pembeli : “Ya, kayak apa Mbak?
Itu berapaan Mbak?”
Penjual : “Sek tak carikan, itu tiga
gangsal. Pasnya
selangkung.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli yang datang
untuk membeli celana
pendek.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan penutur
yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
55. CK/43/141
017
Pembeli : “Pados bawang lanang.
Sing mande pundi
nggih?”
Penjual : “Mangga Bu, napa?”
Pembeli : “Bawang lanang Mas,
nyo duite limo las.”
Penjual : “oke siap .”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bawang merah.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan penutur
dan lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
No Kode Data Tuturan Konteks
Bentuk
Perubahan
Kode
Kategori
Faktor Penyebab
Triangulator Alasan
Alih
Kode
Campur
Kode
Setuju Tidak
Setuju
A
K
E
A
K
I
C
K
E
C
K
I
1. AK/01/290
917
Pembeli : “Mbak, tuku
krambile separo.”
(Mbak, beli
kelapanya setengah)
Penjual : “Nggih, tigang
ngewu. Mboten sisan
sak biji napa, malah
mirah regine.”
(Ya, tiga ribu. Tidak
satu biji saja? Lebih
murah harganya)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 40 tahun) ,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
BJ ngoko-BJ
krama
Penutur. Tujuan untuk
menghormati mitra
tutur.
Lampiran
TABULASI DATA
Berikut ini adalah hasil analisis data dari penelitian yang berjudul Alih Kode dan Campur Kode Dalam Interaksi Jual Beli di Pasar Kranggan,
Temanggung: Studi Kasus Pedagang Etnis Jawa. Berilah tanda centang () pada kolom “setuju” atau “tidak setuju” yang menggambarkan penilaian
Anda terhadap hasil analisis tuturan campur kode dan alih kode dalam interaksi jual beli di Pasar, serta berilah catatan pada kolom alasan yang dapat
membantu kebenaran hasil analisis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Pembeli : “Pinten?”
(Berapa)
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
penjual (kurang lebih 46
tahun) yang datang
untuk membeli kelapa.
2. CK/01/290
917
Penjual : “Itik itik itik...”
Pembeli : “Itike kuwi satu
wae.”
(Itiknya itu satu saja)
Penjual : “Berapa kiloan
sing dibutuhkan
Yu?”
Pembeli : “Sekiloan satu.”
Penjual : “Boyo apa sing
biasane?
(Boyo atau yang
biasanya)
Pembeli : “Boyo kuwi wae,
sing rong kilonan
ana hitam?”
(Boyo itu saja, yang
dua kiloan warna
hitam ada)
Penjual : “Ada lengkap aku
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual yang
berasal dari Medan,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
55 tahun) asli jawa yang
datang untuk membeli
plastik.
Penyisipan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode.
Tujuan untuk
menawarkan sesuatu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
nek dodolan ki."
3. CK/02/290
917
Penjual: “Mangga
dipundhuti Mak,
klubane sae-sae
mirah.”
(Mari dibeli Mak,
sayurnya bagus-
bagus murah)
Pembeli : "Pinten?”
(berapaan itu)
Penjual : “Nek sik jesin
tigang ewu.”
(Kalau sawi tiga
ribu)
Pembeli : “Larang temen
mbak, biasane
seribu maratus.”
(Mahal sekali
mbak, biasanya
seribu lima ratus)
Penjual : “Ha nggih
mangga.”
(Ya sudah silahkan)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli sayur.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
mitra tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
4. AK/02/290
917
Pembeli : “Tela rong kilo
sing lawas,
Mbak”
(Singkong dua
kilo yang sudah
lama, Mbak)
Penjual : “Nggih, ini dangu
sedanten, Bu.”
(Iya, ini lama
semua)
Pembeli: “Niku tasih teles,
ketingal siti ne
dereng garing,
lha niku bener
sing kados niku
pilihane.”
(Itu masih
basah,
kelihatan masih
ada tanah yang
belum kering)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 25 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
penjual (kurang lebih 60
tahun). Pembeli datang
untuk membeli
singkong.
BJ Ngoko-BJ
Krama
Penutur. Tujuan
untuk menghormati
mitra tutur.
5. AK/03/290
917
Pembeli : “Nanas e pironan
Mas.”
(Buah nanasnya
berapa, Mas)
Penjual : “Wolung ewu Bu,
murah mawon.”
(Delapan ribu Bu,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
BJ Krama-BJ
ngoko
Mitra tutur. Tujuan
untuk tawar-menawar
harga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
murah aja)
Pembeli : “Kok larang Mas,
wingi aku tuku
pitung ewu wae
gede kok.”
(Kok mahal Mas,
kemarin saya beli
tujuh ribu saja dapat
yang besar)
Penjual : “Nanas super Bu,
apik.”
(Buah nanas super
Bu, bagus)
pembeli (kurang lebih
30 tahun) , sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang pembeli (kurang
lebih 50 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
buah nanas.
6. CK/03/290
917
Pembeli : “Jengkol Bu,
panen kiyambak
mboten
njengkoli.”
(Jengkol Nu,
panen sendiri
dijamin tidak
membuat
keracunan)
Penjual : “Dimasak menapa
nek kula tumbas niki
jengkol e?”
(Saya masak apa
kalau beli jengkol
ini)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
45 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
Penyisipan
kata
Keterbatasan
penggunaan kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Pembeli : “Direndang to Bu,
eco tenan ngalahi
daging sapi,
direndem riyen
sedalu ngangge
awu napa enjet.”
(Masak rendang
saja, enak sekali
rasanya
mengalahkan
daging sapi,
direndam dulu
semalam dikasih
abu atau kapur
sirih)
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
jengkol.
7. CK/04/290
917
Pembeli : “Manis-manis
jeruk e Bu?”
(Manis-manis
jeruknya, Bu)
Penjual : “Manis, tapi mang
dicobo kriyen.”
(Manis, tapi dicoba
dahulu)
Pembeli : “Berapa satu kilo
ini?”
Penjual : “Delapan.”
Pembeli : “Satu kilo,
dipilihin yang bagus,
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
(kurang lebih 25 tahun)
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur (lawan tutur
60 tahun) merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
Penyisipan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Bu.”
(Satu kilo, dicarikan
yang bagus, Bu)
membeli buah jeruk.
8. CK/05/290
917
Pembeli : “Coba tak lihat
gamis yang digantung
ngajeng niku, Bu.”
(Coba saya lihat
gamis yang digantung
didepan itu, Bu)
Penjual : “Warna apa?”
Pembeli : “Abrit.”
(Merah)
Penjual : “Kurang cocok
kalih kulit
sampeyan yang
hitam, ini aja
keliatan bersih
dimuka.
(Kurang cocok
dengan kulit kamu
yang hitam, ini saja
cocok terlihat bersih
di muka)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli gamis (baju
muslim).
Penyisipan
kata dan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
9. CK/06/300
917
Penjual : “Pados napa
Mbak?”
(Cari apa Mbak)
Pembeli : “Terusan.”
(Baju terusan)
Penjual : “Mriki diprisani
rumiyin. Niki
Mbak, apik.”
(sini dilihat dulu.
Ini Mbak, bagus)
Pembeli : “Ngandape
dijodoni celana
pensil bisa, Buk.
Cemeng?”
Penjual : “Saged mawon,
mlebet kalih warna
napa mawon nek
cemeng.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual pakaian,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli baju.
Penyisipan
klausa
Keterbatasan
penggunaan kode
10. CK/07/300
917
Pembeli : “Wis gek dipaske
lho, Nyah.”
(Harga pas nya
berapa, Nyah)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
Penyisipan
kata
Penutur. Tujuan
untuk menawar dan
meminta bonus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Penjual : “Wis tenang wae
iki ora kelarangen, ra
mblandangke.”
(Tenang saja tidak
terlalu mahal, tidak
menjerumuskan
harganya)
Pembeli : “Diparingi bonus
lho.”
(Dikasih bonus ya)
Penjual : “Tak sukani
mangkeh, tak kek i
sing gedhi pokok e,
plastike maksud e.”
(Saya beri nanti, saya
kasih yang besar
pokoknya, yang besar
plastiknya maksud
saya)
Pembeli : “Senengane
glanyongan.”
(Sukanya bercanda)
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli celana.
11. AK/04/300 Penjual : “Pun, sampun mak Tuturan terjadi pada saat BJ. Krama- Penutur. Tujuan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
917
jeglek, pun anget
niki.”
(Sudah pas
timbangannya)
Pembeli : “Iki katutno, sak
util mene.”
(Ini dimasukkan,
kecil saja)
Penjual : “Wis pas, mang
dipresani.”
(Sudah pas, coba
dilihat)
Pembeli : “Alah teko
tambahi siji ora
marahi rugi.”
(Tambah satu tidak
membuat rugi)
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
yang datang untuk
membeli kentang.
BJ. Ngoko mengimbangi lawan
tutur.
12. CK/08/011
017
Pembeli : “Jeruk e pinten,
Bu?”
(Jeruknya berapa, Bu)
Penjual : “Nek suwi ratau
maring kalih suwe
mboten mundhut
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
mesti kaget, luarang
tenan saiki.”
(Kalau lama tidak
pergi ke Pasar dan
lama tidak beli pasti
kaget karena sekarang
harganya mahal
sekali)
Pembeli : “Kok le mbleguk-
mbleguk.”
(Besar-besar
sekali jeruk nya)
Penjual : “Limo las.”
(Lima belas)
Pembeli : “ Mahal nggih?”
(Mahal ya)
Penjual : Apel wae, seng
rodo kacek. Apel
selawe, wis patlikur
wae.”
(Apel saja, harganya
lebih murah. Apel dua
puluh lima ribu,
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli buah jeruk.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
sudah dua puluh
empat saja)
Pembeli : “Larang, jeruk e
wae.”
(Mahal, jeruknya
saja)
13. CK/09/011
017
Pembeli : “Napa gadhah
daster ukuran
ageng, Bu?”
(Apakah punya
daster ukuran besar,
Bu)
Penjual : “Ana, tinggal milih
warna, regane seka
nyeket. Mau warna
apa? Opo batik?”
(Ada, silahkan pilih
warna, harganya
dimulai dari lima
puluh ribu. Mau wana
apa? Atau motif
batik)
Pembeli : “XXXL”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual baju.
Pembeli datang untuk
melakukan negosiasi
(tawar-menawar) daster
tetapi tidak mencapai
kesepakatan.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
Penjual : “Gari warna iki
kok an, mau?”
(Tinggal warna ini
saja, mau)
Pembeli : “Kalih sewidak,
kula wis mentok le
ngenyang.”
(Dua biji enam
puluh ribu, saya
tidak akan menawar
lagi)
Penjual : “Ra weh, kulakane
rung oleh.”
(Tidak, saya membeli
dari penyetor lebih
mahal dari yang
kamu tawarkan)
14. CK/10/021
017
Penjual : “Mangga Bu,
pados napa dipun
priksani rumiyin,
mriki komplit
sembarang onten.”
(Silahkan Bu,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
mencari apa dilihat
saja boleh. Disini
lengkap apa saja ada)
Pembeli : “Mbaleni sing
mau kae, piye seket
limo, wis tak undaki
lima ribu.”
(Yang tadi lima puluh
ribu bagaimana, saya
naikkan lima ribu)
Penjual : “Seket pitu
mangatus,
bungkus.”
(Lima puluh tujuh
lima ratus,
dibungkus)
Pembelil : “Walah, sing loro
setengah ke mbok
tak gawe ngopata
bali ta.”
(Dua ribu lima ratus
untuk saya pulang
naik angkot)
Penutur merupakan
seorang penjual
kerudung, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang pembeli yang
datang untuk membeli
kerudung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Penjual : “Nggih, gawe
penglaris.”
(Silahkan)
15. CK/11/021
017
Pembeli : “Mas Ji, ndak ana
sepatu sing pas
gawe Hawa?”
Penjual : “Ana, tapi satus.”
Pembeli : “Lah laring, mbok
satus loro ngono
ya.”
Penjual : “Ya ada, tur
bahane kaya ngene
gelem po? Gawe
mlayu wae wis
semplok.”
Pembeli : “Ana rega ana
rupa ya Mas Ji.”
Penjual : “Jelas nek itu ke
pasti. Wis iki wae nek
kurang bayare
mengko nang omah.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli sepatu.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.Tujuan
untuk tawar-menawar.
16. CK/12/031
017
Pembeli : “Berapaan Pak?
Saya boleh nawar
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
Penyisipan
frasa
Adanya akibat dan
hasil yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
ya.”
Penjual : “Boleh saja.”
Pembeli : “Sekawan teko
seratus ribu.”
(Empat, seratus ribu
saja)
Penjual : “Ya sudah, milih
warna sama ukuran e
mbak e. “
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
16 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
legging.
dikehendaki dari
penutur.
17. CK/13/031
017
Penjual : “Siji loro telu,
yang warna hijau
telu. Sing biru dua,
sing abang mau pira?
Enam ta? Siji loro
telu papat lima
enem.” Pas. Mangga
nek arep dicek
meneh.”
(Satu dua tiga, warna
hijau tiga. Warna biru
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 70 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
dua, warna merah tadi
berapa? Enam? Satu
dua tiga empat lima
enam. Sudah lengkap.
Silahkan ditinjau
kembali)
Pembeli : “Nggih sampun,
kula pitados.”
(Saya percaya)
Penjual : “Dadine njuk
enam puluh ping
pindo satus rong
puluh tambah satus
tekoan.”
(Jumlahnya enam
puluh dikalikan dua,
lalu seratus dua puluh
ribu ditambah seratus
saja)
Pembeli : “Njuk kalih atus
kalih dasa nggih.”
(Totalnya dua ratus
dua puluh)
pembeli (kurang lebih
28 tahun) yang datang
untuk membeli kaus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
18. CK/14/041
017
Penjual : “Nek ijinan niku
dua setengah.”
(Satu biji harganya
dua ribu lima ratus)
Pembeli : “Dua aja, Mbak.”
Penjual : “Yakin mengko
cukup? Ajeng damel
nggoreng ayam to?
mboten sisan
sekawan.”
Pembeli : “Ah mbak e ki,
yaudah empat.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun)
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli tepung
bumbu.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
19. CK/15/041
017
Pembeli : “Pak, bakso lima
ribu.”
Penjual : “Nggih, ngangge
tahu mboten?”
(Ya, memakai
tahu tidak)
Pembeli : “Sing bulat
dikasih dua,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
banyakin sambelnya
Pak, kuah dikit aja.”
Penjual : “Mawi sledri?”
(Diberi seledri)
Pembeli : “Ya, sedikit.”
20 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
bakso.
20. CK/16/041
017
Pembeli : “Bu, tumbas tahu
pong angsal tiga
ribu?”
(Bu, saya beli tahu
tiga ribu, boleh)
Penjual : “Saget mbak, lho
niki pun angsal
kathih.”
(Bisa Mbak, ini
sudah dapat banyak
sekali)
Pembeli : “Iya e, matur
suwun.”
(Iya, terima kasih)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 37 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
tahu.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
21. CK/17/041
017
Pembeli : “Mas, daging sapi
dua puluh.”
Penjual : “Ribu? Kilo?”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
Kata dan
frasa
Faktor keterbatasan
kode dari penutur dan
lawan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Pembeli : “Ribu lah.”
Penjual : “Tapi tinggal
daging nomer kalih,
kersa?”
(Hanya sisa daging
kualitas nomor dua,
mau)
Pembeli : “Sing penting bisa
buat sop, Mas jangan
diambilin yang
banyak gajih.”
(Asalkan bisa untuk
memasak sup,
ambilkan yang tidak
banyak lemak)
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
daging sapi.
22. CK/18/041
017
Penjual : “Pun, niki mawon?
Seribu.”
(Sudah ini saja)
Pembeli:“Tambahi loncang
seledri, nganut
regane.”
(Ditambah daun
bawang dan seledri,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
harganya ikut saja)
Penjual : “Ngeten dua ribu.”
(Seperti ini, dua ribu)
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli sayur.
23. CK/19/041
017
Pembeli : “Tuku tela
marekan e Ses satu
bungkus.”
(Beli umbi rambat
dong Ses satu
bungkus)
Penjual : “Lah jan wong
ndeso gaweane neng
sawah kok diundang
Ses, geguyu pitik.
Lebay men.”
(Orang desa bekerja
di Ladang, kok
dipanggil Ses,
ditertawakan ayam)
Pembeli : “Kemajuan to.”
Penjual : “Ealah, Bu Kaji to
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
50 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
singkong.
Penyisipan
kata dan
frasa
Penutur. Tujuan
membangkitkan rasa
humor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
niki, ngapunten bu
mboten sumerep.
Pun niki dibeta
mawon sampun.”
(Ibu Haji, maaf Bu,
Saya tidak melihat.
Sudah ini dibawa
semuanya saja.
Pembeli : “Nyantuk dikerjani
ya.”
(Kena deh)
24. AK/05/051
017
Penjual : “Ayam Mbak?”
Pembeli : “Iya.”
Penjual : “Mau dicacah
sekalian ayamnya?”
Pembeli : “Pira to, Mas
saiki sekilo?”
(Berapa Mas sekarang
satu kilo)
Penjual : “Gluntungan telu
likur, daging selawe.
Mundak Mbak,
mangsa sadranan.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
30 tahun) yang datang
B.Indo-BJ.
Ngoko
Adanya latar belakang
bahasa yang sama
antara penutur dan
mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
(Ayam utuh dua
puluh tiga ribu,
daging dua puluh
lima. Harganya naik
karena sekarang
musim Nyadran*
Nyadran : bersih
makam, tabur bunga
yang puncaknya
berupa kenduri atau
doa bersama
Pembeli : “Iyo pancen,
njaluk nem kilo
daging.”
(Iya memang, minta
daging enam kilo
saja)
untuk membeli daging
ayam.
25. CK/20/051
017
Penjual : “Tuku opo lek?
Bumbu-bumbu
komplit, seng wis dadi
ya ana. Dipilih wae
bagus-bagus.”
(Beli apa Bulek,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode dari
penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
bumbu-bumbu
lengkap, yang sudah
jadi ada. Dipilih saja)
Pembeli : “Ming arep tuku
sitik lho aku.”
(Saya hanya ingin
membeli sedikit)
Penjual : “Ora apa-apa,
bagus-bagus.”
Pembeli : “Bawang wis
nduwe, brambang
ijeh, lombok abang
wae sing tak tuku
telung ewu.”
(Bawang putih sudah
punya, bawang
merah masih ada,
cabai merah saja,
saya beli tiga ribu)
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli bumbu
dapur.
26 . CK/21/051
017
Penjual : “Napa Bu
brambang? Opo
lombok e bu murah
sekilo rolas.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
(Mencari bawang
merah, Bu? Atau
cabainya, satu kilo
dua belas ribu
murah)
Pembeli : “Ajeng tumbas
seprapat mawon
kok, brambange
tasih punya.”
(Mau beli
seperempat saja,
bawang merahnya
saya masih punya)
Penjual : “Ha mbok enggih
bu, tiga ngewu
ngga.”
(Boleh Bu, tiga ribu
silahkan)
Pembeli : “Loro setengah,
nek aweh
wungkuske.”
(Dua ribu lima ratus,
kalau boleh
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun) yang datang
untuk membeli bumbu
dapur.
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
dibungkus)
Penjual : “Nggih tapane.”
(Ya, boleh)
27. CK/22/051
017
Pembeli : “Bu, niki bunga
pinten nggih buk?”
(Bu, bunga ini
berapa)
Penjual : “Ngene, ngene
kiye. sepuluh ewu.”
(Seperti ini, sepuluh
ribu)
Pembeli : “Niki diparingi
bunga yang ini
mboten, Bu?
(Dikasih bunga yang
ini tidak, Bu)
Penjual : “Ora usah ngene
wae cukup.”
(Tidak, seperti ini
saja cukup)
Pembeli : “Matur nuwun.”
(Terima kasih)
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bunga.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
28. CK/23/061
017
Penjual : “Mbak e dom e,
pinset e, tambal
manci.”
Pembeli : “Pinset pak?”
Penjual : “Ada mau?”
Pembeli : “Berapa ini?”
Penjual : “Tujuh ribu dua,
nek satu tiga
setengah.”
Pembeli : “Dua ribu, Pak.”
Penjual : “Tiga ribu gak
papa sisir sisir
nggak? Ming satu?
Potong kuku?”
Pembeli : “Iya pak, udah
punya.”
Penjual : “Kasak-kasak?”
(Sikat untuk mencuci
baju)
Pembeli : “Ada Pak, di
rumah.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun) yang datang
untuk membeli pinset.
Penyisipan
kata dan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode dari
penutur.
29. CK/24/051
017
Penjual : “Mau apa, Mbak ?
Celana panjang
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
Penyisipan
kata dan
Keterbatasan
penggunaan kode dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
pendek, kolor.
Mampir sini.”
Pembeli : “Celana kolor
biasa, Bu.” Pendek
aja. Yang seperti ini?
Penjual : “Niki kalih
dosonan.”
(Seperti ini dua
puluh ribuan)
Pembeli : “Panas atau nggak
ini, Bu bahannya?”
Penjual : “Ya kalau celana
pendek gini
Insyaallah nyaman,
seperti trainning.
Model e niki ngeten,
niki sek dua lima,
nanti yang agak
pendek warna gelap,
ini hitam biru donker
atau ini ada gambar
e.”
Pembeli : Kalau yang ini
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) celana pendek
tetapi tidak mencapai
kesepakatan.
frasa penutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
berapa, Bu?”
Penjual : “Dua lima, nggih
towo sedikit angsal
Mbak, masih bisa
dingendikani. Ha
ini aja yang merah.
Nanti tak korting
njuk tak pasin
harganya.”
(Dua puluh lima
ribu, masih bisa
menawar, Mbak.
Nanti saya beri
potongan harga,
lalu saya beri harga
pas)
Pembeli : “Dua puluh.”
Penjual : “Belum dapat
mbak.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
30. CK/25/061
017
Pembeli : “Bulik, tempe.”
Penjual : “Gangsal ewu.”
(Lima ribu)
Pembeli : “Lah, larang
temen. Sing bungkus
godhong.”
(Mahal sekali. Yang
dibungkus pakai
daun)
Penjual : “Habis Bu, laris
banget.”
Pembeli : “Iki ora nelung
ewunan?”
(Ini tidak tiga ribu
harganya)
Penjual : “Lah kulake pun
larang.”
(Membeli dari
penyetor sudah
mahal)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
60 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) tempe tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
31. CK/26/061
017
Pembeli : “Mbah, kagungan
gambas?”
(Mbah, punya
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
oyong)
Penjual : “Mboten e Bu, ana
ne terong, pare,
kalih gleyor.”
(Tidak Bu, ada nya
terong, pare dan
kacang panjang)
Pembeli : “Gleyor pinten,
Mbah?”
(Kacang panjang
berapa, Mbah)
Penjual : “Sak unting telu
setengah Bu, gleyor
jawa niki eco nek
dioseng paringi
lombok rawit, ngga
mundhut pindah.”
(Satu ikat tiga ribu
lima ratus Bu, ini
kacang panjang jenis
jawa, enak sekali
kalau dimasak tumis
diberi cabai rawit,
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 55 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sayur.
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
beli sekalian saja Bu)
Pembeli : “Nyuwun kalih,
Mbah.”
(Minta dua ikat,
Mbah)
32. CK/27/071
017
Pembeli : “Srandal pira,
Mas? Sing
srampatan ngene?”
(Sendal jepit seperti
ini berapa, Mas)
Penjual : “Rolas Bu, mang
mindah.”
(Dua belas ribu, Bu.
Silahkan pilih)
Pembeli : “Warnanya thok
ini?”
(Hanya ini warnanya)
Penjual : “Masih banyak,
ukuran berapa
ngageme?”
(Masih banyak,
ukuran berapa Ibu
biasa pakai)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
50 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sandal.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
Pembeli : “Tiga tujuh.”
Penjual : “Masih banyak,
soklat, kuning telo,
jambon.”
(Masih banyak,
coklat, oranye, dan
merah jambu)
33. CK/28/071
017
Penjual : “Sayang anak-
sayang anak, Bu
balon, Bu.”
Pembeli : “Pira Mas siji?”
(Berapa Mas, satu)
Penjual : “Sepuluh mawon.”
(Sepuluh ribu saja)
Pembeli : “Dua lima belas,
nek boleh tak tuku.”
Penjual : “Tambahi telung
ewu.”
(Ditambah tiga ribu)
Pembeli : “Nek boleh kuwi
mau, limolas loro.”
(Kalau boleh, lima
belas ribu dapat dua)
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 35 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
45 tahun) yang datang
untuk membeli balon.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Penjual : “Nggih, milih ajeng
seng pundi.”
(Ya, silahkan pilih
mau yang mana)
34. CK/29/081
017
Penjual : “Yu ora njamu?”
(Mbak tidak minum
jamu)
Pembeli : “Niki sek ajeng
niliki, kok dangu
mboten tumon
maring Yu?”
(Ini baru mau melihat
buka atau tidak, kok
lama sekali nggak ke
pasar Mbak)
Penjual : “Wingi disambat
anak.”
(kemarin diminta
tolong pergi ke
rumah anakku)
Pembeli : “Ditinggal glidik
napa? Jamu pegel
linu mawon
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 60 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
65 tahun) yang datang
untuk membeli jamu.
Penyisipan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
sakniki.”
(Ditinggal kerja?
Jamunya sekarang
pegel linu saja)
Penjual : “Gatel-gatel e iya
po ora?
(Ditambah untuk
pengurang rasa gatal
tidak)
Pembeli : “Nggih pareng.”
(Ya, boleh)
35. CK/30/081
017
Penjual : “Ayam budhe, jawa
napa negeri?”
(Ayam, Budhe.
Ayam kampung atau
ayam potong)
Pembeli : “Jawa, sekilo piro
Mbak saiki?”
(Potong saja, sekilo
berapa sekarang,
Mbak)
Penjual : “Tujuh puluh,
Budhe.”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
Pembeli : “Nggak enam
wae, Mbak? Tak
njaluk sitik dua
kilo.”
Penjual : “Enam lima, tak
cacahin.”
55 tahun) yang datang
untuk membeli daging
cincang.
36. CK/31/081
017
Pembeli 1 : “Bulik kagungan
brokoli bulik?”
(Bulik, punya
brokoli)
Penjual : “Ngeten niki?”
(Seperti ini)
Pembeli 2 : “Ora, mboten
sing ngeten niki
sing warnane ijo.
Nika sebelah mrika
enten.”
(Bukan, bukan ini
yang saya maksud,
yang warnanya
hijau. Itu disebelah
sana ada)
Pembeli 1 : “Mboten remen
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli 1 (kurang lebih
70 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) sayur tetapi
tidak sesuai dengan
yang diingkan.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
bulik,
dingapunten.”
(Tidak suka
bulik, maaf)
Penjual : “Nggih mboten
dados napa.”
(Ya, tidak apa-apa)
37. CK/31/081
017
Penjual : “Bu Rajak,
pundhuti sate ne, eco
niki. Genduk e nderek
to niki?”
(Bu Rajak, dibeli
satenya enak ini.
Cucunya ikut)
Pembeli : “Saiki Iyu mande
sate to? Tak njajal
kalau gitu,
bungkuske satu Yu,
ndak usah paringi
sambel brambang.”
(Sekarang Mbak
jualan sate? Saya
coba kalau begitu,
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
65 tahun) yang datang
untuk membeli sate.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
lawan tutur yang
terbiasa menggunakan
bahasa campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
satu dibungkus Yu,
tidak usah diberi
sambal dan bawang
merah)
Penjual : “Pun radi dangu
Bu, kok mboten nate
ketingal Ibu,
tindakan luar kota
napa?”
(Sudah lama Bu,
tidak pernah terlihat,
pergi ke luar kota)
Penjual : “Aku dipindah Yu,
saiki dines nang
Parakan.”
(Saya sekarang
pindah tugas di
Parakan, Yu)
38. CK/32/081
017
Penjual : “Golek apa Bu
Kaji”
(Cari apa Bu Haji)
Pembeli : “Ingkang damel
sop-sopan niko
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Penyisipan
frasa
Keterbatasan
penggunaan kode
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
menapa nggih, kula
kok kesupen.”
(Bahan sayur untuk
sup itu apa ya, saya
lupa namanya)
Penjual : “Oalah mbang
kol?”
(Bunga kol)
Pembeli : “Nggih mbok
menawi, kados pundi
Yu tak mrisani.”
(Iya mungkin, bisa
saya lihat)
Penjual : “Ngeten Bu Kaji,
mbang kol niku kok
sekilone nem ewu.”
(Seperti ini Bu Haji,
bunga kol satu
kilonya enam ribu)
Pembeli : “Kula tumbas
gangsal ewu mawon,
Yu.”
(Saya beli lima ribu
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 60 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun) yang datang
untuk membeli sayur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
saja, Yu)
39. CK/33/081
017
Penjual : “Sate dik, mau
nggak? Enak.”
Pembeli : “Sepuluh ribu
aja.”
Penjual : “Nanti lak tuman
wong enak, pake
lontong nggak?”
(Nanti pasti
ketagihan soalnya
enak, pakai lontong
tidak)
Pembeli : “Nggak usah
budhe gitu
aja.”
Penjual : “Besok beli lagi
ya.”
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
17 tahun) yang datang
untuk membeli sate.
Penyisipan
frasa
Faktor keterbatasan
penggunaan kode dari
penutur. Tujuan
menarik hati pembeli.
40. CK/34/081
017
Pembeli : “Ini berapa?”
Penjual : “Selawe.”
(Dua puluh lima ribu)
Pembeli : “Walah mbok yo
padha ngono. Iki rolas
ngono ngopo to Mas,
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
semang dibedani
barang.”
(Tidak sama saja
Mas, kenapa harus
beda harganya)
Penjual : “Nggih.”
(Ya)
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
20 tahun) yang datang
untuk membeli caping.
41. CK/35/091
017
Pembeli : “Setelan kathok
klambi ne upin ipin
kuwi pira yo mas?”
Penjual : “Seket karo pitung
puluh Mbak.”
Pembeli : “Apa bedane
mas?”
Penjual : “Beda bahan
mbak, nggo mang
didumuk, panas kaleh
adem”.
Pembeli : “Sing iki wae
kuning nek ana,
gawe cah umur
telung tahun cukup
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
40 tahun) yang datang
untuk membeli baju.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
to mas udahan?
Penjual : “Nek lemu pas.”
42. AK/06/101
017
Pembeli : “Vespa atau mobil
atau truk gitu ada
nggak, Mas?”
Penjual : “Ada mas, milih
aja mau yang besar
apa kecil ada.”
Pembeli : “Pironan Mas?”
(Berapa Mas)
Penjual : “Gawe buka
dasaran tak kei rego
mitung puluh.”
(Buat buka awal saya
kasih harga tujuh
puluh ribu)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 30 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
30 tahun) yang datang
untuk membeli mainan
anak.
B. Indo-BJ.
Ngoko
Penutur. Tujuan untuk
tawar-menawar
43. CK/36/101
017
Penjual : “Mas, aku arek
adol anting tapi
surate ilang.”
(Mas, saya mau jual
anting tetapi surat
kepemilikannya
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
hilang)
Pembeli : “Rapopo asal
emas, mriki kula cek
riyen.”
(Tidak masalah, asal
itu emas. Sini biar
saya cek ddulu)
Penjual : “Arek dituku
pira?”
(Mau dibeli berapa
ini)
Pembeli : “Tiga ratus
mapuluh pas. Berat
satu setengah
gram.”
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 67 tahun,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli jual-beli emas
di emperan toko (kurang
lebih 40 tahun).
44. AK/07/111
017
Pembeli : “Sapa seng dodol
geritan ya?”
(Siapa yang jual
bahan nasi jagung?)
Penjual : “Nggih betahe
pinten?”
(Ya, butuhnya
berapa)
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan,
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
BJ. Ngoko-
BJ. Krama
Lawan tutur. Tujuan
menghormati lawan
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
Pembeli : “Tumbas setengah
ndak angsal, nggih?”
(Beli setengah kilo
boleh)
Penjual : “Saget mawon,
Budhe. Pethak napa
ingkang kuning? Nek
sing lemes ingkang
niki, pethak e radi
kasar nek diliwet.”
(Bisa saja, Budhe.
Putih apa kuning?
Kalau kuning
dimasak jadi pulen,
warna putih agak
kasar)
Pembeli : “Ingkang kuning
kemawon.”
(Yang kuning saja)
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bahan nasi
jagung.
45. CK/37/111
017
Penjual : “Mama Lemon
lebokke kerdus sak
pak. Slondok
Muntilan aja lali, mi
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
sedap sepuluh ewu
lima, sisan pora?”
(Mama Lemon
dimasukkan kardus
jumahnya satu pack.
Krupuk Muntilan
jangan lupa, mi
sedap sepuluh ribu
sekalian dibeli tidak)
Pembeli: “Lah sampun, kok
malah ndendet-
ndendet.”
(Sudah, itu saja)
Penjual : “Tak obral dik.”
Pembeli : “Mbok nggih
diobral nek uang
cuma pas le mbeto
njur ngutang ngoten
nggih.”
(Walaupun diobral
tapi kalau bawa
uangnya pas lalu
hutang ya)
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
25 tahun) yang datang
untuk membeli sabun
dan makanan ringan.
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
Penjual : “Wis diobral ya
diutang, totale dua
delapan dik.”
(Sudah diobral masih
saja dihutang.
Totalnya dua puluh
delapan ribu dik)
46. CK/38/111
017
Pembeli : “Kathok
rangkepan wonten,
Bu?”
(Celana pendek ada,
Bu)
Penjual : “Wonten, kaya
gini mbak pelangi.”
(Ada, motif pelangi
seperti ini)
Pembeli : “Pinten niki Bu?
Ukuran gede enten?”
Penjual : “Selawe, lha iki
gede lho, longgar
wong saya aja
pakai. Mbak e
mundhut empat aja
Tuturan terjadi pada saat
sore hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli celana pendek.
Penyisipan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
seratus, kemarin
saya adole patang
puluh sijine”
(Dua puluh lima
ribu, ini besar saya
saja pakai. Mbak
beli empat saja
seratus ribu, kemarin
saya jualnya empat
puluh ribu, satunya)
Pembeli : “Dua empat
puluh.”
Penjual : “Ya mana uange
sing pas, gek ntas
bukaan.”
47. AK/07/121
017
Pembeli : “Tembako ne sing
apik, Nok.”
(Tembakau yang
bagus, Nok*
Nok : sebutan untuk
anak perempuan
Penjual : “Niki Kung, sae.
Niki tunggale biasane
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
BJ. Ngoko-
BJ. Krama
Penutur. Tujuan
mengimbangi lawan
tutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
sing sok dipundhut
Kakung. Kok nindaki
kiyambak Kung,
Mbah Uti mboten
tindak?”
(Yang ini Kung,
bagus. Ini yang suka
kakek beli. Pergi ke
pasar sendiri Kek,
Nenek tidak pergi ke
Pasar?)
Pembeli : “Nyuwun sing niki
mawon, klembak
menyan ampun
kantun. Niko sek
tumbas ulam.”
(Minta ini saja,
klembak dan
kemenyan jangan
sampai ketinggalan.
Itu baru membeli
ikan)
Penjual : “Sampun, Kung.”
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli tembakau.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
(Sudah Kek)
48. AK/08/121
017
Penjual : “Yo kolor-kolor
batik seko Yojo,
rasah nang Yojo
tuku nggon Pak
Mahmud wae.”
(Celana kolor batik
dari Jogja, tidak
perlu pergi ke Jogja,
beli tempat Pak
Mahmud saja)
Pembeli : “Pinten Pak?”
(Berapa Pak)
Penjual : “Tigang doso
gangsal Bune,
mboten awis, nek
mriko langsung awis
le ngebis larang sak
niki.”
(Tiga puluh ribu Bu,
tidak mahal, kalau
pergi kesana
langsung mahal naik
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 45 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
58 tahun) yang datang
untuk membeli plastik.
BJ. Ngoko-
BJ. Krama
Penutur. Tujuan
menghormati lawan
tutur dan menawarkan
dagangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
bus nya sekarang)
Pembeli : “Tasih enjing,
mbok gangsal
welas.”
(Masih pagi, lima
belas ribu)
Penjual : “Mboten
kelarangen niki Bu.”
(Tidak kemahalan
Bu)
Pembeli : “Pun gangsal
mawon, kula tak
milih sing apik.”
(Lima saja, saya mau
pilih yang bagus)
Penjual : “Tigo gangsal lho
niki.”
(Tiga puluh lima ribu)
Pembeli : “Nggih.”
(Ya)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
49. CK/39/121
017
Penjual : “Mari Mbak,
atasan bawahan
gamis Umi Pipik,
jilbab Zaskia
Sungkar. Lagi
model, mari sini.”
Pembeli : “Jilbab Zaskia
kaya apa Bu?”
Pinten? Larang
mesti?”
Penjual : “Murah aja, bahan
dingin. Tujuh
puluhan.”
Pembeli : “Lima puluh
mawon iki.”
Penjual : “Aja ditawar, beli
di Rabbani nggak
oleh pitung puluh.”
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
35 tahun). Pembeli
datang untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) jilbab tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
50. CK/40/131
017
Pembeli : “Pak, pados ulas
bantal.”
Penjual : “Wonten mbak, sik
tak padoske.
Setunggale kalih
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Penyisipan
kata
Penutur. Tujuan
Menunjukkan
kemampuanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
dasa.
Pembeli : “Nek enten warna
pink.”
Penjual : “Telas, enten e
biru, jambon,
kuning.”
Pembeli : “Jambon niki
nggih pink niku.”
Penjual : “Karang kula
nggih meng lulus
S3, SD kelas tiga.”
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 25 tahun),
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
70 tahun) yang datang
untuk membeli sarung
bantal.
51. AK/09/131
017
Pembeli : “Cari kerudung
segitiga warna
hitam.”
Penjual : “Polos apa ada
motif?”
Pembeli : “Mrisani kados
napa Mbak?”
Penjual : “Niki tigang dasa
gangsal, nek sing
ajeng alus malih
bahan e seket.”
Pembeli : “Pantes mboten
Tuturan terjadi pada saat
siang hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli kerudung.
B. Indo-BJ.
Halus
Penutur. Tujuan untuk
mendapatkan
potongan harga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
niki?”
Penjual : “Segala umur
saget, Mbak.” Pun
niku pas kawan
dasa.”
Pembeli : “Kalih niki.”
52. AK/10/141
017
Pembeli : “Arek golek arit
Mas, sing
landep.”
(Cari sabit Mas,
yang tajam)
Penjual : “Niku teng ngajeng
e jenegan.”
(Itu di depan
Anda)
Pembeli : “Pinten niki, pun
mundak?”
(Berapa ini, sudah
naik harganya)
Penjual : “Nggih sampun
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli (kurang lebih
75 tahun), sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual (kurang
lebih 40 tahun). Pembeli
datang untuk membeli
sabit.
BJ. Ngoko-
BJ. Halus
Penutur. Tujuan
mengimbangi lawan
tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
nek le mundhut
pun dangu.
Mboten awon.
Angsal
dibangsulke.”
(Iya sudah, kalau
belinya sudah
lama. Tidak jelek.
Boleh dibalikin)
Pembeli : “Nggih sisan
diasahke, Mas.”
(Iya sekalian
diasah)
53. CK/41/141
017
Penjual : “Yang mana Mbak
jadinya?”
Pembeli : “Yang disamping
panjenengan.”
Penjual : “Tapi tiga gangsal
pas.”
Pembeli : “Kayak gini lima
belas aja.”
Penjual : “Pas. Jangan
ditawar lagi, nanti
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
saya nggak sida
bathi.”
pembeli. Pembeli datang
untuk melakukan
negosiasi (tawar-
menawar) panci tetapi
tidak mencapai
kesepakatan.
54. CK/42/141
017
Penjual : “Mbak e, cari apa
Mbak, mari.”
Pembeli : “Celana kolor,
Bu.”
Penjual : “Kolor biasa?
Pendek ya? Nek
perca purun
nggak?”
Pembeli : “Ya, kayak apa
Mbak? Itu berapaan
Mbak?”
Penjual : “Sek tak carikan,
itu tiga gangsal.
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Kranggan Temanggung.
Penutur merupakan
seorang penjual,
sedangkan mitra tutur
merupakan seorang
pembeli yang datang
untuk membeli celana
pendek.
Penyisipan
kata dan
frasa
Faktor kebiasaan
penutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
Pasnya
selangkung.”
55. CK/43/141
017
Pembeli : “Pados bawang
lanang. Sing mande
pundi nggih?”
Penjual : “Mangga Bu,
napa?”
Pembeli : “Bawang lanang
Mas, nyo duite
limo las.”
Penjual : “oke siap .”
Tuturan terjadi pada saat
pagi hari. Suasana
tuturan non formal, dan
kondisi berlangsungnya
tuturan di Pasar
Temanggung. Penutur
merupakan seorang
pembeli, sedangkan
mitra tutur merupakan
seorang penjual.
Pembeli datang untuk
membeli bawang merah.
Penyisipan
kata
Faktor kebiasaan
penutur dan lawan
tutur yang terbiasa
menggunakan bahasa
campur dalam
berkomunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI