aldilla sari utami_f2008

93
SKRIPSI SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG Oleh : ALDILLA SARI UTAMI F24104001 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: lanusu-daeng-nabolong

Post on 05-Aug-2015

127 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aldilla Sari Utami_f2008

SKRIPSI

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN

AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI

F24104001

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 2: Aldilla Sari Utami_f2008

SKRIPSI

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN

AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI

F24104001

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

Page 3: Aldilla Sari Utami_f2008

Aldilla Sari Utami. F24104001. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan

Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung. Di bawah bimbingan Harsi

D.Kusumaningrum.

ABSTRAK

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang

dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Ketersediaan

merupakan salah satu faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi

pengaruh terhadap kesukaan. Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra

penanaman jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan

berbasis jagung. Faktor ketersediaan ini akan dikaji hubungannya dengan tingkat

konsumsi penduduk dan dijadikan perbandingan terhadap tingkat konsumsi

produk jagung di kota Bogor sebagai daerah sub-urban. Upaya pemberdayaan

jagung sebagai bentuk diversifikasi pangan harus diimbangi dengan upaya

peningkatan keamanan pangan. Di Indonesia, kadar aflatoksin pada jagung telah

ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI yakni sebesar 20 ppb

untuk jenis aflatoksin B1.

Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik

survey dengan alat bantu kuesioner. Pengambilan sampel responden dilakukan

secara purposive sampling technique. Survey dilakukan pada 2 lokasi yakni

Bojonegoro sebagai daerah sentra produksi jagung dan Bogor sebagai daerah sub

urban dengan jumlah responden dari masing-masing lokasi sebanyak 50 orang.

Analisis aflatoksin dilakukan dengan metode Thin Layer Chromatography (TLC)

terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2.

Hasil kuesioner pada butir tingkat kesukaan menunjukkan bahwa sebesar

28% responden di kota Bojonegoro menyukai produk jagung sedangkan 60%

responden bersikap netral. Responden di kota Bogor yang menyukai produk

jagung adalah sebesar 42% dan sebanyak 50% responden bersikap netral. Akses

responden Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tidak berbeda nyata

untuk lokasi pasar, warung, minimarket dan supermarket. Hasil kuesioner pada

responden Bogor menunjukkan bahwa responden di lokasi ini lebih memilih

warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat membeli dibandingkan

pasar (24% dan supermarket (22%).

Rata-rata frekuensi konsumsi jagung di daerah Bojonegoro lebih tinggi

dibandingkan rata-rata frekuensi konsumsi jagung di kota Bogor. Sebanyak lebih

dari 50% responden (62%) di Bojonegoro mengonsumsi produk jagung minimal

sekali dalam seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden Bogor belum tentu

mengonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Responden di Bojonegoro

yang memiliki tingkat frekuensi konsumsi lebih tinggi ternyata lebih banyak

memilih snack marning jagung (76%) diikuti popcorn siap makan (70%). Hal

menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di kota Bogor.

Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional

berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan lainnya.

Page 4: Aldilla Sari Utami_f2008

Domisili responden tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan responden

tetapi berpengaruh terhadap frekuensi konsumsi produk jagung. Hal ini terkait

erat dengan adanya pengalaman makan di masa kecil serta faktor ketersediaan

akan produk jagung. Responden yang menyukai produk jagung belum tentu

memiliki frekuensi konsumsi yang tinggi pula dimana hasil yang didapatkan

menunjukkan korelasi yang sangat lemah antara faktor kesukaan dan frekuensi.

Begitupun halnya dengan porsi konsumsi produk jagung, semakin tinggi frekuensi

konsumsi tidak mempengaruhi besarnya porsi konsumsi respoden.

Analisis aflatoksin dilakukan pada 3 kategori sampel, yakni jagung pipil,

produk intermediate, dan produk akhir. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin,

sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar

melebihi batas yang ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Aflatoksin juga

sudah ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih <

20 ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara

keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel

jagung pipil dan produk intermediate.

Page 5: Aldilla Sari Utami_f2008

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN

AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG

Oleh :

ALDILLA SARI UTAMI

F24104001

Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987

di Palembang

Tanggal lulus : Juni 2008

Menyetujui,

Bogor, Mei 2008

Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum

Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.

Ketua Departemen ITP

Page 6: Aldilla Sari Utami_f2008

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang, 26 Juni 1987. Penulis adalah

anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Dr. H. M. Hatta

Dahlan, M.Eng dan Hj. Erwana Dewi, M.Eng. Penulis

menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Kartika

II-3 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah

pertama di SLTPN 1 Palembang hingga tahun 2001. Penulis menamatkn

pendidikan menengah atas di SMUN 1 Palembang pada tahun 2004. Penulis

melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan

Saringan Masuk IPB) pada tahun 2004.

Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di

berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus

HIMITEPA masa bakti 2006-2007 sebagai staf Divisi Profesi dan Internal,

anggota Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Bendahara OMDA (Organisasi

Mahasiswa Daerah) IKAMUSI, staf FORCES masa bakti 2005-2006, serta

Koordinator Reporter pada Majalah Emulsi. Selain itu, penulis juga pernah

mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya Bendahara LCTIP XIV 2006,

Koordinator Sie Konsumsi Baur 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan

penelitian dengan judul “Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan

Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan

Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum.

Page 7: Aldilla Sari Utami_f2008

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak Pelita V, pemerintah menetapkan untuk lebih menggalakkan

penganekaragaman pangan melalui pengembangan tanaman pangan non padi

guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu tanaman pangan non padi

yang mendapat prioritas untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung (Zea mays

L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Konsumsi

jagung sebagai pangan mengalami peningkatan dari 2,21 juta ton pada tahun 1970

menjadi 6,09 juta ton pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata

mencapai 3,70% per tahunnya. Pertumbuhan ini juga didorong oleh terjadinya

pertumbuhan populasi sebesar 2,09% dan konsumsi per kapita yang meningkat

rata-rata 1,52% setiap tahunnya. Bahkan, tingkat konsumsi pada tahun 1999-2004

terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai lebih dari 2

juta ton.

Upaya perbaikan tingkat konsumsi jagung perlu dilakukan sebagai bentuk

diversifikasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat konsumsi jagung perlu mendapatkan perhatian khusus dari

pemerintah. Sehingga, perbaikan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan tepat

sasaran. Upaya ini tentunya harus diimbangi dengan jaminan keamanan pangan

terhadap produk jagung itu sendiri. Kontaminan yang sering ditemukan pada

jagung dan produk olahannya adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari

berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau

tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat

terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan

terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan.

Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture

Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation

Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi,

Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang

akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relevan dan

Page 8: Aldilla Sari Utami_f2008

potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah

mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita

ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuh-

kembang segala jenis kapang, termasuk Aspergillus flavus sebagai penghasil

utama aflatoksin. Faktor- faktor lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan

cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca

panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering dilakukan secara

tradisional dan kurang higienis.

Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pada beberapa

produk pangan akan menjadi beresiko apabila terdapat kandungan aflatoksin di

dalamnya, karena aflatoksin sendiri mempunyai sifat tidak rusak terhadap

pemanasan. Sehingga, beberapa produk olahan jagung yang telah melewati proses

pemanasan pun tidak luput dari bahaya aflatoksin. Di Indonesia, Setdal Bimas

mempersyaratkan kandungan aflatoksin maksimal 40 ppb untuk jagung,

sedangkan Departemen Kesehatan mengusulkan 20 ppb untuk jagung dan

kacang-kacangan beserta produknya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih

lanjut mengenai kandungan aflatoksin yang masih terdapat dalam beberapa

produk olahan jagung di Indonesia.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh data konsumsi jagung dari 2 jenis

kelompok masyarakat, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra

penanaman jagung dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban. Selain

itu juga dilakukan analisis aflatoksin dengan tujuan mengetahui kandungan

aflatoksin yang terdapat pada produk pangan berbasis jagung yang beredar di

pasaran yang sering menjadi konsumsi masyarakat.

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah :

1. Memberikan gambaran mengenai aspek konsumsi produk pangan berbasis

jagung serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya

Page 9: Aldilla Sari Utami_f2008

sehingga dapat dijadikan landasan dalam upaya peningkatan konsumsi

jagung sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan

2. Memberikan data mengenai kandungan aflatoksin pada beberapa produk

berbasis jagung, dimulai dari sampel jagung pipil tingkat petani, produk

intermediate hingga produk akhir sehingga dapat dijadikan gambaran

mengenai titik kecenderungan dimulainya kontaminasi aflatoksin.

Page 10: Aldilla Sari Utami_f2008

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Produk Olahan Jagung

Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada

endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan

kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa

dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya

merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan

gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Komposisi

kimia butir jagung, tepung jagung dan maizena dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Butir Jagung, Tepung dan Pati Jagung

Komposisi Jagung pipil Tepung Jagung Pati

Jagung Putih Kuning Putih Kuning

Kalori (cal)

Protein (gr)

Lemak (gr)

Hidrat arang (gr)

Kalsium (mg)

Fosfor (mg)

Besi (mg)

Vitamin A (SI)

Vitamin B (mg)

Vitamin C (mg)

Air (%)

355

9.2

3.9

73.7

10.0

256.0

2.4

0.0

0.38

0.0

12.0

355

9.2

3.9

73.7

10.0

256.0

2.4

510.0

0.38

0.0

12.0

355

9.2

3.9

73.7

10.0

256.0

2.4

0.0

0.38

0.0

12.0

355

9.2

3.9

73.7

10.0

256.0

2.4

510.0

0.38

0.0

12.0

343

0.3

0.0

85.0

20.0

30.0

1.5

0.0

0.0

0.0

4.0

Sumber : Hubeis, 1984

Jagung merupakan sumber karbohidrat sesudah padi. Selain itu juga

digunakan sebagai sayuran (baby corn dan jagung manis), sebagai makanan

ringan (pop corn) dan dan makanan ternak atau sayuran (waxy-corn atau pulut).

Klobot keringnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, misalnya

wajid Cililin. Pada jenis jagung opaque yang mengandung tryptophan dan lysine,

dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk meningkatkan gizi.

Jagung manis tidak mampu memproduksi pati sehingga bijinya terasa

lebih manis ketika masih muda. Jenis jagung manis dan baby corn yang biasa

digunakan sebagai sayuran banyak menjadi konsumsi rumah tangga sehari-hari.

Para ibu rumah tangga biasa mendapatkan pasokan jagung ini dari pasar setempat

Page 11: Aldilla Sari Utami_f2008

ataupun warung-warung sayur yang berada di sekitar lingkungannya. Jagung

manis yang digunakan sebagai sayuran ini akan mengalami pengolahan terlebih

dahulu sebelum dikonsumsi.

Penggunaan jagung sebagai makanan ringan biasanya terdapat dalam

bentuk popcorn atau yang sering disebut berondong jagung. Berondong jagung ini

berasal dari jagung yang telah mengalami proses pemipilan dan kemudian

diproses hingga mengembang. Produk ini biasanya diproduksi oleh industri-

industri kecil rumah tangga maupun pada stand-stand kios makanan yang

langsung mengolah berondong jagung tersebut di hadapan konsumen. Kios-kios

ini biasa berlokasi di tempat-tempat umum seperti bioskop ataupun pameran-

pameran. Popcorn berasal dari jagung jenis flint corn yang sudah populer sejak

dahulu. Volume pengembangan menjadi parameter kualitas popcorn yang paling

utama (White dan Johnson, 2003).

Selain itu, jagung juga banyak digunakan oleh industri pangan sebagai

bahan baku snack dalam bentuk lain seperti halnya tortilla, keripik jagung, opak

jagung dan lain sebagainya yang biasa diproduksi oleh industri-industri pangan

dan banyak beredar di kalangan masyarakat. Produk-produk ini telah mengalami

proses pengolahan tertentu yang kemudian dikemas dan dipasarkan ke konsumen.

Jenis snack seperti inilah yang kemungkinan cukup sering dijangkau oleh

masyarakat karena banyak beredar di minimarket maupun warung-warung kecil

setempat. Snack yang terbuat dari jagung relatif lebih murah dan lebih mudah

proses pengolahannya daripada snack kentang.

Tortilla termasuk pengolahan sekunder dari jagung. Jenis produk tortilla

dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti corn chips, taco shells, toscados,

nachos, table tortilla dan sebagainya. Tortilla dapat dibuat dari jagung putih atau

kuning. Proses pembuatan tortilla merupakan pemasakan alkali. Produk akhir

berbentuk pipih dan merupakan hasil pemanggangan. Berdasarkan ukuran partikel

dan adonannya, tortilla dapat dibedakan menjadi dua, yakni (1) Table Tortilla,

memiliki partikel halus, produk akhir berbentuk pipih dan mengembang selama

proses pemanggangan ; (2) Tacos/tostados, memiliki partikel yang lebih besar,

produk akhir berbentuk U yang diisi dengan keju, kacang goreng, daging giling,

Page 12: Aldilla Sari Utami_f2008

krim asam, selada, tomat atau lada. Produk yang banyak berbedar di Indonesia

adalah jenis snack berupa tortilla chips.

Selain tortilla, dikenal pula jenis snack keripik jagung yang hampir mirip

dengan tortilla. Snack ini dibuat dari tepung jagung yang diproses hingga

menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Perbedaan utama keripik jagung dengan

tortilla adalah tidak terdapatnya proses nixtamalisasi (pemasakan alkali) dalam

proses pengolahan keripik jagung, yakni proses pemasakan alkali (Wikipedia,

2007).

Pembentukan cornflakes dari jagung dapat dilakukan dengan cara

ekstrusi, pembentukan serpihan (flaking) dan pengirisan (shredding) atau puffing.

Prinsip pembentukan cornflakes adalah pemasakan untuk menggelatinisasi pati

dan kemudian pembentukan dan pencetakan adonan atau partikel yg sudah

dimasak menjadi serpihan (flake, pemotongan/pengirisan, granula atau kollet)

(White dan Johnson, 2003). Citarasa, aroma, tekstur produk timbul karena proses

pemanggangan. Citarasa juga dapat terbentuk dengan penambahan flavor, buah-

buahan, ataupun kacang.

Jagung goreng disebut juga jagung marning yang dibuat melalui proses

penggorengan (pemasakan di dalam minyak panas). Produk ini dapat dibuat pada

berbagai tingkat kerenyahan. Biasanya konsumen lebih menyukai jagung goreng

yang kerenyahannya seperti kerupuk. Garam, bawang merah, bawang putih dan

merica dicampurkan ke jagung goreng sebagai bumbu (Kemal, 2001).

Selain itu, hasil pengolahan primer jagung seperti pati dan tepung jagung

juga banyak beredar di masyarakat. Jagung merupakan tanaman penghasil pati

utama di dunia. Jagung memiliki kandungan pati tertinggi dibandingkan tanaman

serealia lainnya. Pati jagung dapat diperoleh dengan cara mengekstraknya dari biji

jagung. Pati pada biji jagung terdapat pada beberapa tempat terutama pada

endosperm sebesar 86,4%, sedangkan pada bagian lain seperti lembaga adalah

sebesar 8,2% dan tip cap sebesar 5,3%. Pati jagung adalah hasil utama

penggilingan basah yang melalui tahapan pembersihan, perendaman (steeping),

penggilingan, pemisahan dengan ayakan, sentrifugasi dan pencucian (Deptan,

2006).

Page 13: Aldilla Sari Utami_f2008

Industri pengolahan pati jagung mempunyai prospek cukup cerah karena

banyak industri turunan lainnya yang memanfaatkan pati jagung sebagai bahan

bakunya, baik industri pangan maupun non-pangan. Pada industri pangan, pati

jagung banyak berfungsi sebagai zat pengental dan zat pengisi dalam bahan

mkanan atau produk-produk kalengan, sedangkan industri-industri non pangan

yang menggunakan pati jagung antara lain industri kertas, industri perekat,

industri kosmetik, dan sebagainya (Azmi, 2004).

Tepung jagung merupakan hasil penggilingan kering yang melalui tahap

penghancuran, pengayakan dan penghembusan. Tepung jagung ini memiliki

ukuran partikel lebih kecil dari 0.191 mm (White dan Johnson, 2003). Tepung

jagung banyak digunakan pada industri sereal sarapan dan snack. Selain itu,

tepung jagung ini juga digunakan sebagai bahan pengikat pada produk olahan

daging.

Hal ini menunjukkan bahwa jagung memiliki potensi yang besar sebagai

bahan baku berbagai industri makanan, minuman, bahkan digunakan pula pada

industri kimia dan farmasi, pakan ternak, serta industri lainnya (Gambar 1)

Page 14: Aldilla Sari Utami_f2008

Gambar 1. Produk-Produk yang Dapat Dihasilkan dari Jagung

(Dharmaputra, 1997)

B. Keadaan Konsumsi Jagung di Indonesia

Salah satu komoditas pertanian yang mempunyai posisi sangat strategis

dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah komoditas jagung. Penggunaan

jagung sebagai bahan makanan pokok masyarakat dari tahun ke tahun terus

meningkat, meskipun pertumbuhannya menurun seiring dengan keberhasilan

swasembada beras (Imron, 2007).

Secara kuantitatif, penggunaan jagung untuk konsumsi langsung hingga

tahun 2004 telah mencapai 4.299 juta ton/tahun, industri pangan 2.638/tahun.

Namun, dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, konsumsi jagung

secara langsung mengalami penurunan yang disebabkan keberadaan jagung

jagung

grits minyak pati

Dekstrin Gula

Homini

Industri makanan

Industri

tekstil,

farmasi,

dll

Industri

kimia dan

farmasi

Asam organik

Bahan kimia

lain

etanol

Maizena

Industri

makanan

Page 15: Aldilla Sari Utami_f2008

sebagai bahan makanan merupakan barang inferior sehingga ketika pendapatan

masyarakat meningkat, maka konsumsinya menurun. Konsumsi langsung jagung

pada tahun 2004 hanya memiliki pangsa sebesar 37.01% dari total penggunaan

jagung di Indonesia.

Penggunaan jagung untuk bahan baku industri makanan dan industri

olahan lainnya telah mencapai 2.638.000 ton/tahun Sejak tahun 2000, jumlah

jagung yang digunakan sebagai bahan baku industri makanan telah meningkat

menjadi 2.340 juta ton atau 21.85% dari keseluruhan kebutuhan jagung di

Indonesia dan secara berangsur-angsur meningkat menjadi 2.64 juta ton atau

22.71 % pada tahun 2004. Oleh sebab itu, potensi usaha yang ditimbulkan oleh

komoditas jagung untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan olahan

lainnya tidak dapat diabaikan begitu saja.

Tabel 2. Penggunaan Jagung di Indonesia Tahun 1980-2004

Tahun Konsumsi Industri pangan Industri pakan Total

(000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton (%) (000) ton

1980

1990

2000

2001

2002

2003

2004

3 705

5703

4657

4567

4478

4388

4299

93.99

86.44

43.48

41.76

40.11

38.53

37.01

0

499

2340

2415

2489

2564

2638

0

7.56

21.85

22.08

22.29

22.51

22.71

237

396

3713

3955

4197

4438

4680

6.01

6.00

34.67

36.16

37.59

38.96

40.29

3942

6598

10 710

10 937

11 164

11 390

11 617

Rata-rata 4478 40.18 2489 22.29 4.197 37.53 11 164

R (%/thn) -1.98 -3.95 3.04 0.97 5.96 3.83 2.05

*rata-rata dan pertumbuhan untuk periode 2000-2004

Sumber : Seperti dikutip oleh Imron, 2007

Konsumsi jagung secara umum dapat dibedakan menjadi empat kelompok,

yaitu konsumsi langsung, untuk bahan baku industri pakan ternak, bahan baku

industri makanan dan untuk kebutuhan lain seperti bibit, hilang tercecer dan lain-

lain. Penggunaan jagung untuk konsumsi langsung atau makanan pokok

masyarakat dari tahun ke tahun terus meningkat meskipun pertumbuhannya

semakin menurun seiring dengan keberhasilan swasembada beras. Secara mikro,

Page 16: Aldilla Sari Utami_f2008

konsumsi jagung sebagai bahan makanan pada umumnya lebih banyak dilakukan

oleh masyarakat desa dibanding masyarakat kota (Imron, 2007).

C. Survey Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok (kebutuhan dasar) manusia

untuk hidup sehat (Harper,dkk, 1985). Konsumsi pangan adalah jumlah pangan

(tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan

tujuan tertentu seperti dikutip oleh Suhardjo (1989).

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh faktor fisiologi, psikologi, preferensi

dan pengetahuan tentang makanan. Faktor sosial yang memegang peranan penting

dalam konsumsi pangan. Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), penilaian

konsumsi pangan dapat digunakan untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi

yang dimakan melalui survey secara kuantitatif maupun kualitatif. Survey secara

kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan yang dikonsumsi,

sedangkan survey secara kualitatif biasanya untuk mengetahui frekuensi makan,

frekuensi konsumsi menurut jenis pangan yang dikonsumsi dan menggali

informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan.

Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri

konsumsi pangan baik dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun

jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makannya serta

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Oleh karena

itu, survey konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat

kualitatif atau kuantitatif atau kedua-duanya (Suhardjo et al., 1988).

Survei konsumsi pangan yang dirancang dengan benar akan dapat

dijadikan landasan atau acuan dalam menyusun program-program dalam bidang

ekonomi, pertanian, sosial dan pembangunan secar keseluruhan (Suhardjo, et al.,

1988). Pada penelitian ini, survey konsumsi pangan dilakukan secara kualitatif.

Pada survey secara kualitatif, data yang dikumpulkan menitikberatkan pada

kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan

seseorang atau masyarakat.

Page 17: Aldilla Sari Utami_f2008

D. Kebiasaan Makan dan Pola Konsumsi Makanan Tradisonal

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia dalam memenuhi

kebutuhannya akan makanan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan

makanan (Khumaidi, 1989). Menurut Suhardjo (1989) kebiasaan makan

merupakan suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang

berhubungan dengan makan atau makanan seperti frekuensi pangan seseorang,

pola makan yang digunakan, kepercayaan terhadap makanan, distribusi pangan di

antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (suka/tidak) dan cara

pemilihan makanan yang hendak dimakan.

Kebiasaan makan merupakan cara-cara individu atau kelompok

masyarakat dalam memilih, mengonsumsi dan menggunakan makanan yang

tersedia, yang didasarkan kepada latar belakang sosial budaya tempat dia atau

mereka hidup (den Hertog dan van Staveren, 1983).

Kebiasaan makan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

distribusi pangan (Khumaidi, 1989). Kebiasaan makan seseorang atau keluarga

sangat menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi karena kebiasaan

makan tersebut bersifat menyatu dengan perilaku konsumsi. Keragaan pada

pangan lokal dari studi mengenai kebiasaan pangan pada 11 golongan etnik yang

dominan di Indonesia yaitu suku-suku : Jawa, Madura, Batak, Aceh, Mandailing,

Minangkabau, Banjar, Bugis, Kaili, Manado, Seram dan Sikka, pada penduduk

yang tinggal di wilayah pedesaan dan pinggiran kota masih tergantung pada

komoditi pangan yang dibudidayakan sendiri atau yang tersedia dalam lingkungan

alam setempat, sedangkan penduduk yang tinggal di perkotaan menggantungkan

sumber pangan pada setempat (Roestamsjah dkk, 1989). Terdapat 2 faktor utama

yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yakni faktor ekstrinsik

(lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan agama, dan

lingkungan ekonomi) serta faktor intrinsik (emosional, jasmani, dan penilaian

terhadap mutu makanan).

Kebiasaan makan jagung ditemukan pada beberapa daerah di Indonesia.

Dengan kondisi agroekologi lahan yang kering, masyarakat NTT

mempertahankan hidupnya dengan mengkonsumsi jagung sebagai makanan

pokok utama (Hosang, 2006). Akan tetapi, hasil produksi jagung di Nusa

Page 18: Aldilla Sari Utami_f2008

Tenggara Timur (NTT) menjadi semakin menurun beberapa tahun terakhir akibat

dari menurunnya etos kerja masyarakat. Pergeseran nilai dan kebudayaan

masyarakat yang melihat beras sebagai komoditas utama, juga menjadi faktor

utama penyebab menurunnya produktivitas tanaman itu (Anonim, 2007). Di

Madura, makanan pokok masyarakat semula adalah jagung. Akan tetapi, beberapa

tahun terakhir ini, ada pergeseran pola konsumsi dari nonberas ke beras.

akibat gencarnya penyuluhan tentang swasembada beras. Hal ini mampu

mengubah pola pikir masyarakat yang sebelumnya tidak mengonsumsi beras

menjadi pengonsumsi beras (Siagian, 2003). Meskipun begitu, sebagian

masyarakat Madura masih ada yang tetap mengonsumsi jagung hingga saat ini.

Susanto et al. (1992) mengemukakan bahwa pola konsumsi makanan

tradisional sebagai bagian dari kebisaan makan dipengaruhi oleh beberapa faktor

di luar sistem sosial keluarga seperti iklan-iklan beragam makanan dan minuman

“modern”, meningkatnya alokasi waktu yang digunakan anggota keluarga untuk

melakukan kegiatan di luar rumah dan kecenderungan perubahan pola pikir yang

mengarah pada segi kepraktisan dan efisiensi dalm pemilihan pangan sehari-hari

serta berkembangnya kuantitas pedagang makanan dn minuman kaki lima yang

relatif pesat.

Program penganekaragaman pangan perlu dilakukan melalui proses

identifikasi makanan tradisional yang meliputi tidak hanya kebiasaan dan

kesukaan konsumen tetapi juga produsen termasuk usaha tani yang beraneka

ragam, pengelola dan pedagang (Susanto, 1993).

Menurut Winarno (1993), makanan tradisional merupakan makanan yang

berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan sesuai dengan tradisi daerah

setempat. Pernyataan ini dipertegas oleh Suhardjo (1989) yang mengemukakan

bahwa makanan tradisional secara harfiah artinya adalah adanya hubungan antara

pangan dengan tradisi kelompok penduduk atau masyarakat di suatu daerah

tertentu.

E. Preferensi Terhadap Makanan

Preferensi terhadap makanan sangat dipengaruhi oleh sikap erat

hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak atau menerima terhadap

Page 19: Aldilla Sari Utami_f2008

makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap pemilihan makanan merupakan

penggabungan antara sesuatu apa yang dipelajari dan apa yang dilihat misalnya

melalui berbagai iklan di media massa.

Menurut Suhardjo (1989), kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna

dan bentuk makanan akan mempengaruhi nafsu makan seseorang. Dickins yang

dikutip oleh Sanjur (1982) menegaskan bahwa preferensi makanan sebagian besar

ditentukan sejak dini.

Selera makan merupakan faktor yang mempengaruhi preferensi seseorang

terhdap makanan. Menurut Harper et al (1985), selera makan terdiri dari

sekumpulan citarasa yang dapat merangsang seseorang untuk mengkonsumsi

makanan. Rosegrant et al. seperti dikutip oleh Adiwirman (1992) mengungkapkan

bahwa masyarakat di pedesaan memiliki pola konsumsi jagung yang berbeda

dengan masyarakat di perkotaan. Masyarakat desa memiliki preferensi yang lebih

tinggi untuk menggunakan jagung sebagai makanan pokok pengganti beras

maupun campuran beras, sedangkan masyarakat kota lebih senang mengkonsumsi

jagung sebagai makanan selingan.

Suryana (1991) mengungkapkan bahwa di Jawa Timur, baik di pedesaan

maupun perkotaan, konsumsi jagung segar (jagung basah dengan kulit)

meningkat dengan meningkatnya pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa jagung

segar menunjukkan karakteristik sebagai komoditas normal, bukan inferior.

Jagung segar ini biasa dikonsumsi sebagai makanan selingan yang dijajakan dan

dikonsumsi di tempat rekreasi.

Masyarakat kota Bogor lebih memilih mengkonsumsi jagung sebagai

makanan selingan atau jajanan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Chapman (1984), makanan jajanan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakat Bogor. Sebesar 25% anggaran belanja untuk makanan pada semua

tingkat pendapatan dikeluarkan untuk membeli makanan jajanan.

F. Aspergillus flavus sp.

Aspergillus flavus termasuk dalam divisi Thallophita, sub divisi

Deuteromycotine, kelas fungi imperfecti, ordo Moniciales, famili Moniliceae dan

Page 20: Aldilla Sari Utami_f2008

genus Aspergillus. Warna spesifik dari koloni ini adalah hijau kekuningan dengan

diameter umumnya 3-6 μm (Fassatiova, 1986).

Gambar 2. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus sp.adalah suatu spesies cendawan yang galur-galurnya

pada kondisi lingkungan tertentu dapat menghasilkan aflatoksin. Toksin tersebut

dapat menyebabkan kanker hati baik pada manusia maupun hewan piaraan (Butler

dalam Dharmaputra et al., 1994).

Menurut Christensen dan Kauffman (1969), Aspergillus flavus umumnya

terdapat di tanah, khususnya tanah-tanah garapan untuk tanaman pangan, dan juga

umum terdapat pada semua bahan yang telah rusak seperti biji-bijian yang kadar

airnya memungkinkan untuk pertumbuhan Aspergillus flavus.

Menurut Shank (1970) dan Parpia (1971) dalam Samson et al., (1981),

Aspergillus flavus sering menyerang berbagai hasil pertanian yang dikeringkan,

terutama bila pengeringan bahan berlangsung lambat, sedangkan makanan segar

seperti sayur-sayuran dan buah-buahan tidak menunjukkan kandungan aflatoksin

yang positif.

Aspergillus flavus sp. dapat menimbulkan kerugian ekonomi dalam

industri dan dapat juga menimbulkan masalah kesehatan yaitu menghasilkan

aflatoksin yang mempunyai efek racun (toksigenik), mutagenik, teratogenik, dan

karsinogenik (Makfoeld, 1993).

Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin

tergantung beberapa faktor yaitu potensial genetik kapang, persyaratan-

Page 21: Aldilla Sari Utami_f2008

persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak

antara kapang dengan substrat (Jay, 1996).

Adanya pertumbuhan Aspergillus flavus pada beberapa bahan pangan

menunjukkan kemungkinan terjadinya pencemaran aflatoksin pada bahan pangan

tersebut. Suatu penelitian melaporkan bahwa dari 1390 isolat Aspergillus flavus di

berbagai negara, 803 di antaranya (kurang lebih 60%) menghasilkan aflatoksin

(Diener dan Davis, 1969).

Hesseltine et al. dalam Kusbiantoro (1984) melaporkan bahwa jagung,

gandum dan beras yang diinokulasikan dengan tiga isolat Aspergillus flavus

menghasilkan aflatoksin lebih tinggi dibandingkan dengan sorgum dan kacang

kedelai pada kultur tetap maupun bergoyang. Aspergillus flavus juga

menghasilkan aflatoksin jenis lain bila ditumbuhkan dalam media asam.

Aflatoksin tersebut mempunyai warna fluoresensi biru dan hijau dengan

kepolaran lebih besar dan daya racun lebih kecil.

G. Aflatoksin

Penelitian aflatoksin dimulai ketika pada tahun 1960 terjadi wabah penyakit

pada ternak unggas dan ikan. Wabah ini menyebabkan kematian 100.000 anak

ayam kalkun secara mendadak di Inggris. Oleh karena pada waktu itu faktor

penyebbnya belum diketahui, wabah tersebut dikenal dengan nama Turkey X

disease. Wabah ini diikuti dengan kematian 14.000 anak bebek dan 9 anak sapi.

Hasil penelitian selanjutnya memperlihatkan bahwa wabah tersebut disebabkan

oleh toksin yang dihasilkan kapang Aspergillus yang tumbuh pada kacang tanah

sebagai campuran pakan unggas yang diimpor dari negara Brasil, selanjutnya

toksin tersebut diberi nama aflatoksin (Makfoeld, 1993).

Aflatoksin merupakan produk metabolisme sekunder yang terbentuk setelah

fase logaritmik pertumbuhan kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus

parasiticus (Heathcote, 1984). Produksi aflatoksin dimulai pada hari kedua

setelah inkubasi dan mencapai maksimum sekitar hari ketujuh. Faktor utama yang

mempengaruhi pertumbuhan dan produksi aflatoksin adalah tingkat aerasi karena

produksi aflatoksin adalah proses aerobik, tingkat gas atmosfir, suhu, RH, dan

kelembaban atmosfir.

Page 22: Aldilla Sari Utami_f2008

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang berbentuk turunan poliketida.

Aflatoksin mempunyai titik cair relatif tinggi, tidak rusak terhadap pemanasan,

tetapi dapat rusak oleh oksidator kuat. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam

pelarut organik dan mudah untuk dikristalkan kembali. Aflatoksin tereduksi oleh

O2 sehingga dapat menurunkan kadar aflatoksin dari 5% menjadi 1% (Bogley,

1997).

Terdapat beberapa jenis aflatoksin yang telah diisolasi secara terpisah, tetapi

hanya enam yang diamati secara mendalam karena sifat toksisitasnya dan banyak

ditemukn dalam produk-produk alami yaitu B1, B2, G1, G2, M1, dan M2.

Pemberian nama aflatoksin sesuai dengan fluoresensinya pada lempeng

kromatografi dengan silika gel yang disinari dengan ultraviolet pada panjng

gelombang 365 nm. Jika fuoresensinya biru maka diberi kode B dari kata Blue,

dan jika fuoresensinya hijau diberi kode G dari kata Green (Betina, 1989).

Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang mempunyai

pengaruh biologis terhadap makhluk hidup yang mengkonsumsinya. Aflatoksin

dapat menyebabkan toksigenik, mutagenik, teratogenik dan karsinogenik

(Makfoeld, 1993).

Gambar 3. Struktur Kimia Beberapa Jenis Aflatoksin

(www.dailyscience.com)

Page 23: Aldilla Sari Utami_f2008

Aktivitas biologis atau sifat racun aflatoksin berhubungan dengan struktur

kimianya. Aflatoksin B1 merupakan toksin yang paling berbahaya dan paling

banyak dihasilkan, diikuti dengan aflatoksin G1, B2, G2, M1 dan M2. Efek

aflatoksin pada manusia dan ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

spesies yang terkena aflatoksin, umur dan jenis kelamin, dosis yang termakan,

status gizi, lamanya aflatoksin terpapar dan jenis makanan (Krausz, 2001).

Pembentukan senyawa aflatoksin oleh A. flavus pada substrat alami

dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya oleh jenis kapang, jenis substrat,

kelembaban dan kadar air, suhu dan waktu inkubasi, tingkat kematangan substrat,

kerusakan substrat, kadar oksigen dan karbondioksida, serta interaksi mikrobial.

Jenis aflatoksin yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus

parasiticus berbeda-beda. Beberapa isolat Aspergillus flavus hanya memproduksi

senyawa aflatoksin B, beberapa lagi hanya afltoksin G, tetapi sebagian besar

memproduksi kedua jenis aflatoksin B dan G. Tidak semua galur Aspergillus

flavus dan Aspergillus parasiticus menghasilkan aflatoksin (Heathcote, 1984).

Menurut Jay (1996), aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu

antara 7.5 – 40o C dengan suhu optimum 24-280 C. Aflatoksin tidak dapat

dihasilkan pad Aw 0.83 akan tetapi pertumbuhan Aspergillus flavus dapat terjadi

pada Aw yang lebih rendah dari 0.83. Bullerman et al. (1984) menunjukkan

bahwa batas Aw yang dapat membentuk aflatoksin oleh Aspergillus flavus antara

0.83 – 0.87 tetapi pertumbuhan kapng pada Aw yang lebih rendah dari 0.83.

Aflatoksin bersifat sangat stabil. Beberapa cara perlakuan tidak sepenuhnya

mengurangi toksisitasnya. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut : menghindari pertumbuhan mikroba pada bahan pangan (seperti

yang umum dilakukan pada mikroba) antara lain dengan menurunkan kelembaban

hingga di bawah 80% sehingga didapat Aw sekitar 0.65-0.70 dimana kapang akan

terhambat pertumbuhannya (Jay, 1996).

Beberapa cara telah dicoba untuk menghilangkan aflatoksin dari bahan

pangan baik secara fisik, kimia maupun biologi. Menurut Heathcote (1984),

metode fisik meliputi radiasi, pemanasan dan ekstraksi aflatoksin dari bahan

pangan. Metode kimia meliputi perlakuan dengan asam, basa, oksidator dan

Page 24: Aldilla Sari Utami_f2008

dengan bisulfit. Metode biologi dilakukan dengan cara menghambat pertumbuhan

sel penghasil aflatoksin oleh mikroba lain.

Tidak seperti racun yang dihasilkan bakteri, racun yang dihasilkan kapang

relatif stabil terhadap pemanasan (Tabel 2). Racun botulinin dapat diinaktifkan

pada suhu 85 0C selama 30 menit (Winarno, 1997) sedangkan aflatoksin jauh

lebih stabil terhadap suhu yang tinggi.

Tabel 3. Beberapa Sifat Fisik Aflatoksin B1 dan Aflatoksin B2

Aflatoksin RM BM Titik Cair (oC)

B1

B2

C17H12O6

C17H14O6

312

314

268-269

286-289

Penambahan zat-zat kimia seperti dimetil amina, amonia, natrium hidroksida,

hidrogen peroksida dan ozon dapat mendeaktivasi aflatoksin. Cara ini hanya

berlaku terhadap aflatoksin B1 dan G1 tetapi tidak terhadap aflatoksin lainnya.

Dan dalam hal ini tidak mudah dilakukan pada bahan-bahan yang dikonsumsi

manusia (Murni, 1993). Biji jagung yang terkontaminasi Aspergillus flavus akan

mengalami perubahan warna seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Biji Jagung yang Terkontaminasi Aspergillus flavus

Sumber : www.agnet.org/images/library/pt2003012f1.jpg

Masyarakat Indonesia memiliki peluang yang cukup besar untuk terpapar

oleh aflatoksin karena cukup banyak komoditi-komoditi pangan yang populer

bagi masyarakat sebenarnya merupakan sumber substrat bagi aflatoksin

(Situngkir, 2005).

Prevalensi kejadian aflatoksin di Indonesia cukup beragam. Hal ini

disebabkan perbedaan aplikasi teknologi penanganan pasca panen yang diterapkan

Page 25: Aldilla Sari Utami_f2008

pada masing-masing daerah. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di

Balitsereal mengkaji proses pascapanen jagung di provinsi Gorontalo dan

kaitannya dengan cemaran Aspergillus flavus dan kandungan aflatoksin. Hasil

penelitian menyebutkan bahwa produk biji jagung dari petani sampai pedagang

pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu kisaran

4,5 ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada

tingkat pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat

pengering pada saat berlangsungnya penelitian.

Mengingat efeknya pada kesehatan, suatu badan yang bertanggungjawab

terhadap keamanan makanan, obat dan kosmetik, yaitu Food and Drug

Administration (FDA) mengeluarkan kadar baku tertinggi aflatoksin yang

diizinkan pada makanan yaitu sebesar 20 ppb (Shanhan dan Brown, 2001). Di

Indonesia sendiri, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan

Pengawas Obat dan Makanan RI seperti tercantum pada Tabel 4

Tabel 4. Batas Maksimum Aflatoksin pada Produk Olahan Jagung (BPOM RI)

No Jenis Pangan Batas Aflatoksin

Jenis (ppb) Total

1.

2.

3.

4.

Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak :

- Minyak jagung

Sereal dan Produk Sereal Termasuk

Tepung dan Pati dari Akar-Akaran dan

Umbi-Umbian, Kacang-Kacangan dan

Polong-Polongan:

- Biji jagung

- Tepung jagung

- Pati jagung

- Makanan Cereal ( Corn flakes)

Makanan Ringan Siap Makan:

- Pop corn

Lain-Lain:

-Pangan Olahan Lain yang Mengandung

Jagung

B1

B1

B1

B1

B1

B1

B1

20

20

20

20

20

20

20

35

35

35

35

35

35

35

H. Metode Analisis Aflatoksin

Beberapa metode analitik untuk deteksi dan analisis kuantitatif dari residu

mikotoksin di makanan maupun pakan sangat penting dilakukan untuk

Page 26: Aldilla Sari Utami_f2008

memastikan bahwa suatu komoditi aman dikonsumsi hewan maupun manusia.

Secara kimia, analisis aflatoksin dilakukan menggunakan metode Thin layer

chromatography (TLC) dan High performance liquid cromatography (HPLC).

TLC banyak digunakan sebagai teknik separasi yang mengkombinasikan metode

analisis kualitatif maupun kuantitatif. Limit deteksinya berada pada kisaran

microgram dan nanogram. Pada metode TLC, digunakan pelat yang umum

dipakai adalah silika gel. Tahap elusi dapat dilakukan secara monodimensional

ataupun bidimensional. Jenis pelarut yang digunakan untuk elusi tergantung pada

jenis pelat yang digunakan. Pelarut yang banyak digunakan adalah etanol,

kloroform ataupun aseton. Deteksi yang paling umum digunakan adalah

menggunakan UV ataupun fluoresens karena teknik ini memungkinkan dilakukan

kuantifikasi residu mikotoksin (Cazes, 2005). TLC merupakan metode yang

paling umum dilakukan saat ini karena memberikan beberapa keuntungan, seperti

cukup singkatnya waktu analisis yang diperlukan, teknik yang sederhana untuk

dilakukan serta memiliki kesensitivitasan yang cukup tinggi.

Secara biokimia, analisis aflatoksin dapat dilakukan menggunakan uji

biologis seperti immunoassays. Akan tetapi, uji ini jarang sekali dilakukan oleh

para pengawas pangan. Teknik immunoassay yang sedang dikembangkan adalah

radio immunoassay (RIA) dan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).

Limit deteksinya berada pada kisaran pikogram hingga nanogram. Selain itu,

terdapat aplikasi metode yang lebih canggih dikenal dengan teknik kromatografi

afinitas antibodi. Penggunaan kolom tunggal yang terdiri dari antibodi anit-

aflatoksin yang secara kovalen berikatan dengan matriks gel (agarosa) dalam

cartridge plastik telah diperkenalkan. Cara ini pernah diaplikasikan pada jenis

aflatoksin M1 yang ditemukan di susu. Limit deteksinya diperkirakan sekitar 0.05

µg/ l , sepuluh kali lebih rendah daripada level yang disarankan FDA (Nielsen,

1998).

Page 27: Aldilla Sari Utami_f2008

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Survey Konsumsi Jagung

Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik

survey dengan alat bantu kuesioner. Jumlah responden yang digunakan adalah

100 orang. Responden dibagi menjadi 2 kelompok besar konsumen jagung, yakni

kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung (Bojonegoro)

dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban (Bogor). Pengambilan

sampel responden dilakukan secara purposive sampling technique atau suatu

penarikan sampel non-random dengan dasar sampling availability.

Ukuran contoh responden ditentukan menggunakan persamaan :

Dalam hal ini : p adalah proporsi popuasi yang akan diukur, n = besar contoh

yang ditarik, Z = nilai tabel Z yang sesuai dengan besarnya α yang digunakan, dan

E besarnya ketelitian yang diinginkan.

Dalam penentuan besarnya ukuran contoh responden yang harus ditarik

digunakan besar proporsi responden yang mengonsumsi jagung terhadap populasi

konsumen jagung di Bogor dan Bojonegoro adalah p = 5% atau p = 0.05; dan (1-

p) = 0.95. Dengan menggunakan presisi sebesar 5% besarnya sampel responden

yang akan ditarik berdasarkan persamaan adalah sebesar :

(1.96)2 (0.05) (1-0.05)

n = = 72

(0.05)2

Survey yang dilakukan di penelitian ini menggunakan ukuran contoh 100

orang responden yang berarti lebih besar dari seharusnya, yakni 72 orang. Hal ini

untuk mengantisipasi adanya responden yang tidak menjawab pada pertanyaan

tertentu.

Penelitian didasarkan pada tahapan penelitian validitas metodologi

penelitian survey (Singarimbun dan Effendi, 1995). Tahapan tersebut

digambarkan pada flow chart Gambar 5.

Z2 (p) (1-p)

n =

E2

Page 28: Aldilla Sari Utami_f2008

Penentuan sampel, teknik dan cara pengambilan

Pembuatan kuesioner

Ujicoba kuesioner

Pengumpulan data

Tabulasi data

Analisis Data

Pembuatan laporan

Gambar 5. Skema Tahapan Penelitian Survei

Kuesioner yang telah disusun diujicoba terlebih dahulu sebelum diajukan

pada responden yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki desain

kuesioner yang telah dibuat serta memberi kesempatan kepada responden untuk

memberikan saran dalam pembuatan kuesioner. Contoh kuesioner dapat dilihat

pada Lampiran 2.

Untuk mengetahui kelayakan kuesioner dilakukan uji validitas dan

realibilitas terhadap 24 kuesioner yang telah diisi sebagai sampel. Uji validitas

dilakukan dengan menggunakan uji korelasi berdasarkan metode One shot

(pengukuran satu kali) yaitu memasukkan data yang diperoleh dari kuesioner ke

program SPSS versi 12 for windows.

Pembuatan kuesioner didasarkan pada tujuan penelitian. Pertanyaan yang

disusun merupakan kombinasi dari pernyataan tertutup dan pertanyaan terbuka.

Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner meliputi data identitas

responden, tingkat kesukaan akan produk berbasis jagung, cara memperoleh

produk olahan jagung, frekuensi makan dan jenis-jenis produk jagung yang biasa

dikonsumsi.

Page 29: Aldilla Sari Utami_f2008

Data identitas responden meliputi nama, umur dan jenis kelamin. Pada

butir tingkat kesukaan, responden diminta memilih tingkat kesukaan ”suka”,

”netral”, hingga ”tidak suka” terhadap produk berbasis jagung. Pengolahan

dilakukan menggunakan uji Duncan untuk melihat adanya perbedaan yang nyata

atau tidak terhadap kesukaan responden di kedua lokasi. Selanjutnya, pada butir

akses untuk mendapatkan produk berbasis jagung, responden diberikan pilihan

’warung’, ’pasar’, ’minimarket’ dan ’supermarket’. Pengolahan juga dilakukan

menggunakan uji Duncan untuk melihat kecenderungan responden di kedua lokasi

dalam memilih tempat membeli produk olahan jagung. Frekuensi makan

merupakan butir pertanyaan kuesioner yang digunakan untuk mengetahui

seberapa sering responden mengkonsumsi produk berbasis jagung dalam

seminggu. Selanjutnya, kuesioner menampilkan 10 jenis produk jagung yang

beredar di pasaran. Responden diminta memilih produk jagung yang biasa

dikonsumsi dan diberikan tingkatan frekuensi secara kualitatif, mulai dari

”jarang”, ”kadang-kadang” hingga ”sering”.

Selain itu, pengolahan data juga menggunakan uji korelasi Spearman,

Pearson Product dan Chi-Square untuk mengetahui ada atau tidaknya korelasi

antara masing-masing variabel yang diuji. Variabel-variabel yang diuji adalah

hubungan antara lokasi domisili responden dengan tingkat kesukaan terhadap

produk jagung, hubungan antara lokasi domisili responden dengan frekuensi

konsumsi, hubungan antara tingkat kesukaan dengan frekuensi konsumsi dan

hubungan antara frekuensi dan porsi konsumsi produk jagung. Hasil analisis

korelasi ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku konsumsi produk jagung responden.

B. Analisis Aflatoksin Menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC)

1. Prinsip Analisis

Metode analisis aflatoksin yang digunakan diadopsi dari metode Tropical

Product Institute (TPI) tahun 1980. Aflatoksin dalam contoh diekstrak memakai

asetonitril dan dihilangkan lemaknya memakai n-heksana. Pemurnian dilakukan

memakai diklorometana dan dehidrasi dilakukan memakai sodium sulfat anhidrat.

Page 30: Aldilla Sari Utami_f2008

Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan cara elusi 1 (satu) dimensi pada TLC

plate.

2. Ekstraksi Aflatoksin (TPI, 1980)

Sampel jagung ditimbang sebanyak 25 gram ke dalam labu Erlenmeyer

250 ml, ditambahkan 50 ml setonitril, 10 ml larutan KCl 4% dan 1 ml larutan HCl

5 M. Campuran ini dikocok menggunakan mechanical shaker selama 30 menit.

Setelah itu disaring menggunakan kertas saring Whatman No.1.

Larutan sampel yang sudah disaring dimasukkan ke dalam corong pemisah

250 ml. Selanjutnya ditambah 25 ml akuadest. Bagian ini diekstraksi

menggunakan 50 ml n-heksana. Setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (fraksi

asetonitril) dikumpulkan dalam botol 100 ml. Diulangi dengan menambahkan

kembali 50 ml n-heksana.

Fraksi asetonitril yang telah bebas lemak ini dimasukkan kembali ke

dalam labu kocok 250 ml, ditambahkan 25 ml aquadest, setelah itu ditambahkan

50 ml diklorometana. Dikocok 1 menit, kemudian fraksi asetonitril dan

diklorometana dikumpulkan dalam botol bersih. Ekstraksi dengan 50 ml

diklorometana diulangi sekali lagi, setelah itu didehidrasi menggunakan 5 gram

Na2SO4 anhidrat.

Cairan hasil ekstraksi diuapkan sampai hampir kering, kemudian residu

yang diperoleh dipindahkan ke dalam vial memakai kloroform, setelah itu

diuapkan kembali. Sebelum identifikasi, contoh hasil penguapan dilarutkan

kembali menggunakan 500 µL kloroform secara kuantitatif.

3. Pembuatan Deret Standar dan Pembercakkan Contoh

Disiapkan bejana kromatografi berisi eluen kloroform aseton 9:1. Pada

lempeng kromatografi ukuran 10 x 20 cm, dibuat garis menggunakan pensil yang

mengindikasikan batas bawah (1.5 cm dari tepi bawah) dan batas atas (1.5 cm dari

tepi atas). Dibuat juga titik-titik yang menunjukkan tempat pembercakkan larutan

standar maupun contoh, masing-masing titik berjarak 1-1.5 cm.

Sebanyak 1 µL sampai dengan 8 µL larutan working standard B1

konsentrasi 4 ppm dibercakkan pada lempeng kromatografi menggunakan

Page 31: Aldilla Sari Utami_f2008

microsyringe 10 µL. Pada lempeng yang sama dibercakkan pula 5 µL dan 10 µL

larutan contoh. Lempeng kromatografi tersebut dimasukkan ke dalam bejana yang

berisi eluen, lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas atas.

Setelah dikeringkan memakai dryer, diamati menggunakan UV viewing cabinet

pada panjang gelombang 366 nm.

4. Identifikasi Aflatoksin

Uji kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu tambat (Rf) bercak

contoh dengan standar sedangkan uji kuantitatif dilakukan dengan

membandingkan intensitas perpendaran bercak contoh dan standar.

Kandungan aflatoksin dihitung sebagai (µg/kg) dengan perhitungan

sebagai berikut :

Kandungan aflatoksin (ppb) =

Keterangan :

S : Volume aflatoksin standar yang intensitas perpendarannya setara dengan z

μl sampel

Y : Konsentrasi aflatoksin standar dalam μg/ml

Z : Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran

setara dengan S μl standar aflatoksin

V : Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (μl)

W : Volume sampel (ml)

Fp: Faktor pengenceran

S x Y x V x fp

Z x W

Page 32: Aldilla Sari Utami_f2008

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengujian Kuesioner

a. Uji Reliabilitas

Uji coba kuesioner responden dilakukan kepada 24 responden yang

terbiasa mengkonsumsi produk jagung. Data hasil pengisian kuesioner diolah

dan dicari hubungan korelasi antar variable yang diperoleh dari pengolahan

menggunakan SPSS versi 12 for windows. Sebanyak 13 variable yang

berhubungan dengan aspek konsumsi produk jagung dihitung korelasi dan

matriks reliabilitasnya. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5. Korelasi

antar variable berupa nilai korelasi (r dari Pearson) ini dihitung menggunakan

metode one shot (pengukuran hanya sekali).

Secara statistik, angka yang diperoleh dibandingkan dengan angka r table

untuk α = 0.05. Nilai r table pada n-2 = 22 adalah 0.27. Oleh karena r hitung

yang diperlihatkan pada Tabel 5 sebagian besar lebih besar dari 0.27 maka

pertanyaan-pertanyaan di dalam kuesioner dapat dianggap reliabel.

Tabel 5. Nilai koefisien korelasi (r) variable pada kuesioner

Item -Total Statis tics

20.3750 27.201 .060 .818

20.5833 27.645 -.058 .838

20.7083 24.650 .420 .795

20.7917 22.433 .752 .767

20.5417 24.346 .296 .809

20.3750 21.984 .642 .773

21.0000 23.826 .554 .785

20.3750 20.940 .650 .770

20.1250 22.549 .504 .787

21.1250 24.027 .614 .783

21.1250 23.853 .647 .780

20.3750 22.071 .546 .783

VAR00001

VAR00002

VAR00003

VAR00004

VAR00005

VAR00006

VAR00008

VAR00007

VAR00010

VAR00011

VAR00012

VAR00013

Scale Mean if

Item Deleted

Scale

Variance if

Item Deleted

Correc ted

Item-Total

Correlation

Cronbach's

Alpha if Item

Deleted

Page 33: Aldilla Sari Utami_f2008

b. Uji Validitas

Pengukuran validitas dilakukan dengan memeriksa nilai α Cronbach dari

korelasi antar variabel (Reliability Coefficients) atas item variable yang

diperlihatkan matriks nilai korelasinya pada Tabel. Nilai untuk responden

adalah sebesar :

Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), standar untuk uji validitas dapat

dikatakan valid adalah 0.75. Dengan nilai Alpha Cronbach yang diperoleh

dari pengolahan menggunakan SPSS versi 12 for windows lebih besar dari

0.75 maka pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dianggap

valid.

B. Profil Responden

Deskripsi profil responden diperoleh berdasarkan penyebaran kuesioner

yang dilakukan pada 2 lokasi survei. Profil responden meliputi jenis kelamin,

usia, dan status pekerjaan.

a. Jenis Kelamin

Dari total 50 responden yang berlokasi di Bojonegoro, 30% dari jumlah

responden ( 14 orang) adalah wanita dan 70 % (33 orang) adalah pria. Di

Bogor, 90 % dari jumlah responden (37 orang) adalah wanita dan 10 % (4

orang) adalah pria. Sebaran frekuensi jenis kelamin responden konsumen

secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.

Reliability Statis tics

.806 12

Cronbach's

Alpha N of Items

Page 34: Aldilla Sari Utami_f2008

Gambar 6. Frekuensi Jenis Kelamin Responden

b. Usia

Berdasarkan usia responden yang berlokasi di Bojonegoro, 88 % (42

orang) responden berusia 15-25 tahun dan 12% responden berusia di atas 25

tahun. Tabel frekuensi usia repsonden konsumen selengkapnya dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Frekuensi Umur Responden

Kategori usia Responden

Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

15-25 tahun 42 88 43 100

26-35 tahun 3 6 - -

36-45 tahun 2 4 - -

>45 tahun 1 2 - -

Total 48 100 43 100

Tidak menjawab 2 - 7 -

c. Status Pekerjaan

Dari total 50 responden di Bojonegoro, sebagian besar responden

(54%) berstatus sebagai mahasiswa, sedangkan sebanyak 50 responden

yang berlokasi di Bogor, total keseluruhan responden yakni 100% (50

orang) adalah mahasiswa. Sebaran frekuensi status pekerjaan responden

dapat dilihat pada Tabel 7.

30%

70%

wanita

pria

90%

10%

wanita

pria

Page 35: Aldilla Sari Utami_f2008

Tabel 7. Frekuensi Status Pekerjaan Responden

Kategori status

pekerjaan

Responden

Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

Pelajar 17 35 - -

Mahasiswa 26 54 43 100

Wiraswasta 5 10 - -

Total 48 100 43 100

Tidak menjawab 2 - 7 -

C. Aspek Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung

a. Kesukaan Terhadap Produk Pangan Berbasis Jagung

Kesukaan terhadap suatu makanan akan berpengaruh terhadap konsumsi

pangan (Suhardjo, 1989). Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan

dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : (1)Karakteristik individu (umur, jenis

kelamin, pendidikan) ; (2) Karakteristik pangan itu sendiri (rasa, harga,

penampakan); dan (3) Karakteristik lingkungan (musim, pekerjaan, tingkat

social dalam masyarakat) (Sanjur, 1982). Selain itu, keterikatan yang kuat

terhadap pola makan (kebiasaan) biasanya terbentuk ketika masyarakat

menyukai makanan tersebut seperti dikutip oleh Khumaidi (1989).

Penilaian perilaku konsumsi responden di 2 lokasi survei, yakni

Bojonegoro dan Bogor berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk jagung

dapat dilihat pada Tabel 8

Tabel 8. Frekuensi Tingkat Kesukaan Responden Terhadap

Produk jagung

No Tingkat Kesukaan

Terhadap Produk

Jagung

Responden

Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

1. Suka 14a 28 21a 42

2. Netral 30b 60 25a 50

3. Tidak Suka 4a 8 - -

Total 48 96 46 92

Tidak menjawab 2 - 4 -

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dinyatakan tidak berbeda

nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Page 36: Aldilla Sari Utami_f2008

Berdasarkan Tabel 8, sebanyak 60% responden yang berada di Bojonegoro

bersikap netral terhadap produk jagung dan hanya 28% responden yang

menyukai produk jagung. Sedangkan di Bogor, persentase responden yang

menyukai produk jagung lebih banyak dibandingkan responden di

Bojonegoro. Sebanyak 42% menyukai produk jagung dan 50% lainnya

bersikap netral.

Data ini menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh

responden di kedua lokasi. Adanya dominasi sikap netral responden

Bojonegoro dapat dijadikan motivasi bagi industri pangan untuk menghasilkan

produk olahan jagung yang lebih menarik. Hasil pengolahan produk jagung

yang lebih variatif dan berkualitas nantinya akan dapat meningkatkan

kesukaan responden. Hal serupa juga dapat ditujukan bagi kelompok

responden di Bogor. Bogor sebagai daerah sub-urban menuntut warganya

untuk mengikuti gaya hidup modern. Hal ini memicu munculnya produk-

produk pangan baru yang berupaya memenuhi tuntutan akan gaya hidup

tersebut. Responden Bogor yang hanya bersikap netral terhadap produk

jagung akan bertambah kesukaannya jika produk-produk jagung yang

ditawarkan dapat bersaing dengan produk-produk lain yang memenuhi

tuntutan gaya hidup modern.

Sejalan dengan penelitian ini, penelitian lain yang pernah dilakukan

kepada mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi angkatan tahun 1999-2001

sebanyak 100 orang memberikan hasil kajian mengenai perilaku konsumen

terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Berdasarkan kajian tersebut, seluruh

responden diketahui mengenal jagung. Hal ini disebabkan jagung merupakan

bahan pangan yang sudah tersebar hampir di seluruh wilayah tanah air dan

sudah banyak dikonsumsi sebagi pangan pokok maupun sebagai pangan

olahan dalam bentuk yang beragam seperti sereal instan untuk sarapan, snack

atau makanan selingan (Juniawati, 2003). Berdasarkan penelitian tersebut juga

diketahui bahwa responden mahasiswa Teknologi Pangan dan Gizi yang

mewakili responden Bogor umumnya menyukai produk jagung. Hal ini

terlihat dari banyaknya responden yang mengonsumsi jagung pada 1 minggu

yang lalu saat kajian dilakukan menunjukkan bahwa jagung merupakan bahan

Page 37: Aldilla Sari Utami_f2008

pangan yang sering dikonsumsi. Waktu terakhir mengonsumsi pangan asal

jagung dapat dilihat pada Gambar 7

Gambar 7. Waktu Terakhir Mengonsumsi Pangan Asal Jagung (n=100)

(Juniawati, 2003)

b. Tempat Memperoleh Produk Pangan Berbasis Jagung

Akses responden di Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung

tersebar hampir merata di pasar, warung, minimarket dan supermarket. Data

kuesioner menunjukkan bahwa banyaknya responden Bojonegoro yang

memilih pasar, warung, minimarket maupun supermarket tidak berbeda nyata.

Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk olahan jagung terdistribusi secara

merata di lokasi-lokasi tersebut. Ketersediaan yang merata ini menunjang

akses konsumen dalam hal kemudahan mendapatkan produk. Hal ini nantinya

dapat dilihat berdampak pada frekuensi konsumsi produk olahan jagung

responden di Bojonegoro.

Sumarwan di dalam Nadeak (2004) mengungkapkan bahwa adanya

keinginan membeli produk akan mendorong konsumen untuk mencari toko

atau pusat perbelanjaan tempat untuk membeli produk tersebut. Konsumen

akan memilah-milah dan membandingkan karakteristik toko yang sesuai

dengan keinginannya. Pasar swalayan atau supermarket merupakan konsep

pasar modern yang cepat berkembang di Indonesia dan mendapat respon yang

baik dari konsumen. Pasar swalayan memiliki konsep dengan operasi yang

relatif lebih besar, berbiaya rendah, memiliki margin yang rendah, serta

volume yang tinggi. Swalayan dirancang untuk memenuhi semua kebutuhan

51

12

4 4

23

0

10

20

30

40

50

60

(%)

1 minggu

lalu

2 minggu

lalu

3 minggu

lalu

4 minggu

lalu

>4 minggu

lalu

Page 38: Aldilla Sari Utami_f2008

konsumen. Dari hasil survey mengenai sifat dan kualitas keragaman barang di

Superindo, sebanyak 33% responden mengatakan sangat penting dan 61%

lainnya menyatakan penting (Nadeak, 2004).

Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di

lokasi ini lebih memilih warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat

membeli dibandingkan pasar (24%) dan supermarket (22%). Kondisi ini

cukup menarik karena responden di Bogor, yang dikenal sebagai daerah sub

urban, tentunya lebih familiar dengan keberadaan supermarket. Akan tetapi,

responden di daerah ini justru lebih memilih warung dan minimarket. Bila

diamati lebih lanjut, tidak ada perbedaan jenis produk olahan jagung yang

ditawarkan di keempat lokasi tersebut. Hal ini diasumsikan terkait dengan

kemudahan responden untuk menjangkau lokasi warung dan minimarket di

Bogor. Responden Bogor yang 100% berstatus sebagai mahasiswa yang

berdomisili di Dramaga lebih memilih lokasi mendapatkan produk olahan

jagung di tempat-tempat yang lebih mudah dijangkau tanpa harus melakukan

perjalanan yang cukup jauh. Lokasi suatu toko sangat ditentukan oleh letaknya

yang strategis, kemudahan dalam menjangkau toko dengan berbagai sarana

transportasi dan keadaan jalan yang lancar (Purba, 2006). Dalam pemilihan

lokasi, toko harus strategis supaya mudah dicapai oleh para konsumen.

Menurut Purba (2006), keputusan dimana pembelian akan dilakukan

tergantung pada pengetahuan tentang pembelian yang dimiliki. Berdasarkan

hasil penelitian terhadap kepentingan konsumen mengenai lokasi dan sarana

untuk menuju Matahari Bandar Lampung, sebanyak 94% menyatakan penting

dan sangat penting.

Selain itu, citra toko merupakan realitas yang diandalkan oleh konsumen

sewaktu membuat pilihan dimana mereka memutuskan tempat untuk

berbelanja (Setiadi dalam Nadeak, 2004). Minimarket yang berada di daerah

Dramaga memiliki citra yang baik sebagai tempat strategis untuk mencari

produk-produk yang dibutuhkan oleh para mahasiswa. Konsumen sering

mengembangkan citra toko didasarkan pada iklan, kelengkapan di dalam toko,

pendapat teman dan kerabat dan juga pengalaman belanja (Nadeak, 2004)

Page 39: Aldilla Sari Utami_f2008

Data sebaran frekuensi pilihan tempat mengakses produk olahan jagung

oleh responden di kedua lokasi secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 8

Gambar 8. Grafik Sebaran Tempat Memperoleh Produk

c. Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Produk Pangan Berbasis Jagung

Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari

kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan untuk memenuhi

rasa lapar serta dari hubungan emosional dengan yang memberi makan pada

saat anak-anak. Biasanya jenis makanan yang telah terbiasa disukai sejak

masa anak-anak akan berlanjut menjadi makanan kesukaan pada usia dewasa

(Khumaidi, 1989). Selain itu, kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok

masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat

dan kekal terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan. Pola

kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan ( Suhardjo et al.,

1988).

Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung

memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung.

Penduduk di sekitar daerah tersebut biasa mengkonsumsi produk olahan

jagung ini sebagai camilan. Terbentuknya kebudayaan mengkonsumsi jagung

ini mungkin memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap frekuensi

konsumsi produk jagung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Suryana

2224 24

44

22

32 32

22

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

%

pasar

warung

minimark

et

supermark

et

tempat memperoleh

responden Bojonegoro

responden Bogor

Page 40: Aldilla Sari Utami_f2008

(1991), kabupaten Bojonegoro termasuk ke dalam kelompok daerah tingkat

konsumsi jagung tinggi. Bila dihubungkan dengan keragaan tingkat produksi,

ternyata daerah tingkat konsumsi tinggi ini berimpit dengan kabupaten yang

diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi dimana Bojonegoro merupakan

salah satu sentra produksi jagung di Indonesia. Perbandingan antara rata-rata

frekuensi konsumsi jagung per minggu dari responden di Bojonegoro dan

responden di kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 . Rata-Rata Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung

Selama Periode 5 Tahun Terakhir

No Rata-Rata Frekuensi

Konsumsi

Responden

Bojonegoro

Responden Bogor

n % n %

1. <1 kali/minggu 16a 32 35a 70

2. 1 kali/minggu 16a 32 7b 14

3. 2 kali/minggu 12ab 24 1b 2

4. 3 kali/minggu 3b 6 2b 4

Tidak menjawab 3 6 5 10

Total 50 100 50 100

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Ada hubungan penilaian konsumen terhadap makanan dengan frekuensi

yaitu penilaian yang positif diikuti dengan frekuensi yang semakin sering.

Menurut Suhardjo (1989), hal ini disebabkan makanan-makanan yang disajikan

dan diterima menjadi kesukaan dan kebiasaan makan konsumen remaja

menjadikan seseorang mempunyai emosional yang kuat terhadap loyalitas dan

kepekaan terhadap makanan tersebut yang ditunjukkan dari frekuensi

mengonsumsinya. Lewin (1943) dalam Suhardjo (1989), sebagian besar orang

lebih suka makan apa yang mereka sukai daripada menyukai apa yang mereka

makan.

Meskipun responden di Bogor yang menyukai produk jagung lebih banyak

dibandingkan responden di Bojonegoro, frekuensi konsumsi per minggu

terhadap produk jagung di Bojonegoro ternyata lebih tinggi dibandingkan

Page 41: Aldilla Sari Utami_f2008

dengan frekuensi konsumsi di Bogor. Sebanyak lebih dari 50% responden

(62%) di Bojonegoro mengkonsumsi produk jagung minimal sekali dalam

seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden di Bogor belum tentu

mengkonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Hal ini mungkin

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dari literatur disebutkan bahwa ketersediaan

dan harga merupakan faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi

pengaruh terhadap kesukaan (Meiselman dan Macfie, 1996).

d. Perkiraan Porsi Konsumsi Produk Olahan Jagung Oleh Responden

Pada butir kuesioner, responden mengisi rata-rata porsi konsumsi produk

olahan jagung dalam 1 kali konsumsi. Porsi dibedakan berdasarkan jenis

kemasan seperti kemasan plastik dan kemasan kaleng. Selain itu, jenis ukuran

kemasan juga dibedakan berdasarkan ukuran besar, kecil ataupun porsi

konsumsi setiap menyantap sereal sarapan cornflakes. Perhitungan perkiraan

porsi konsumsi dilakukan hanya terhadap produk yang sering dan kadang-

kadang dikonsumsi responden. Hasil perhitungan perkiraan porsi konsumsi

produk jagung responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Tabel 10

Tabel 10. Perkiraan Rata-Rata Porsi Konsumsi Produk Jagung

Lokasi Tingkatan Frekuensi Rata – Rata Porsi

Konsumsi (gram)

Bojonegoro Kadang-kadang 78.03

Sering 85.37

Rata-Rata Total 81.7

Bogor Kadang-kadang 80.41

Sering 65.09

Rata-Rata Total 72.75

Berdasarkan Tabel 10, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi

konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Hasil ini dapat

didukung oleh hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Fachrina (2005)

mengenai pola konsumsi pangan pada rumah tangga miskin di pedesaan dan

perkotaan di lima propinsi pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut,

Bogor yang dapat diwakili oleh rumah tangga miskin perkotaan di Jawa Barat

memiliki tingkat konsumsi per kapita yang lebih rendah dibandingkan rumh

Page 42: Aldilla Sari Utami_f2008

tangga miskin di wilayah perkotaan Jawa Timur. Hasil penelitian ini secara

lengkap dapat dilihat pada Tabel 11

Tabel 11. Konsumsi pangan pokok pada rumah tangga Miskin Berdasarkan

Propinsi dan Wilayah (g/kapita/hari)

Jenis Pangan Propinsi

DKI Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur

Kota Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa

Beras 205.1 256.8 306.2 227.1 209.4 208.3 199.1 224.7 212.7

Jagung * 0.1 1.4 0.5 0.2 25.9 0.0 8.6 7.4 25.6

Ubi Jalar 3.4 5.5 8.4 3.2 9.8 5.1 3.3 6.9 4.1

Ubi kayu 8.7 15.3 21.5 17.3 34.3 23.6 20.6 17.8 25.5

Tepung

terigu

0.9 1.4 0.8 1.6 1.9 1.5 1.1 0.3 0.4

Mie ** 5.8 2.7 1.5 3.0 1.6 4.1 3.6 1.6 1.2

* jagung pipilan

** mie basah dan mie kering

Selain itu juga, penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Situmorang

(2005) mengungkapkan bahwa bila dibandingkan antara masing-masing

komoditi, jagung masih jarang atau tidak pernah dikonsumsi oleh kebanyakan

responden bila dibandingkan dengan beras yang rata-rata konsumsi per

minggunya mencapai 21 kali, serta roti dan mie yang dikonsumsi sebanyak 2

kali per minggu.

e. Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Beberapa Produk Pangan Berbasis

Jagung di Pasaran

Produk-produk olahan jagung yang beredar di pasaran cukup beragam.

Meningkatnya keberadaan teknologi pengolahan pangan memicu diproduksinya

produk-produk pangan sebagai hasil inovasi. Beragamnya produk pangan yang

dihasilkan membuat produk olahan jagung kini tidak hanya dikonsumsi dalam

bentuk makanan tradisional tetapi juga sebagai makanan dalam kemasan

(camilan).

Salah satu butir dalam kuesioner yang diajukan kepada responden dapat

dijadikan gambaran mengenai preferensi konsumen terhadap jenis-jenis produk

Page 43: Aldilla Sari Utami_f2008

%

Jenis produk

Jenis produk

persentase

%

olahan jagung yang beredar di pasaran. Data preferensi responden di kedua

lokasi survei secara lengkap disajikan pada Gambar 9a dan Gambar 9b

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 9a. Grafik Preferensi Responden di Bojonegoro

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 9b. Grafik Preferensi Responden di Bogor

Keterangan :

1 = tortilla 6 = keripik jagung

2 = corn flakes 7 = snack marning

3 = snack jagung puff 8 = sup krim jagung

4 = popcorn siap makan 9 = sup krim jagung kaleng

5 = popcorn siap masak 10 = pangan tradisional

Bar menunjukkan persentase responden (n-100) yang memilih produk

tertentu dari 10 jenis produk olahan jagung yang ditampilkan pada kuesioner.

Berdasarkan grafik, responden di daerah Bojonegoro paling banyak memilih

snack marning (76%). Snack marning ini merupakan produk olahan jagung yang

Page 44: Aldilla Sari Utami_f2008

dikonsumsi sebagai camilan. Selanjutnya, sebanyak 70% responden Bojonegoro

memilih popcorn siap makan. Hal ini dapat dijadikan gambaran bahwa produk

camilan lebih banyak disukai oleh konsumen. Sehingga, upaya peningkatan

konsumsi jagung nantinya diaarankan untuk lebih diarahkan kepada jenis

produk-produk camilan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Rosegrant et al.

(1987) yang mengungkapkan bahwa konsumsi jagung di daerah perkotaan

bisanya sebagai makanan selingan. Snack termasuk makanan jajanan. Pada

umumnya, konsumen lebih memperhatikan makanan jajanan dari segi rasa yang

enak dan murah (Guhardja dalam Setiawan, 2006).

Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di

kota Bogor. Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk

pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan

lainnya. Makanan yang berasal dari tempat dimana kita lahir dan dibesarkan

sesuai dengan tradisi daerah setempat disebut makanan tradisional (Winarno,

1993).

Bogor sebagai daerah sub-urban tentunya dibanjiri dengan produk-produk

pangan modern baik produk impor maupun hasil produksi industri dalam negeri.

Produk-produk ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di daerah

perkotaan. Keberadaan produk pangan tradisional seringkali dijadikan sebagai

bentuk ”penyegaran” terhadap kejenuhan akan produk-produk pangan modern.

Selain itu, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan daerah yang tidak hanya

dihuni oleh penduduk asli Bogor sendiri, tetapi juga oleh penduduk pendatang

dari daerah lain. Keberadaan penduduk pendatang ini juga diasumsikan

memberikan pengaruh terhadap preferensi konsumsi produk pangan tradisional.

Sejalan dengan hal tersebut, hasil survey konsumsi makanan tradisional

Sunda yang dilakukan Yasminia (2003) menyebutkan bahwa sumber informasi

yang membuat responden tertarik mengonsumsi makanan tradisional Sunda

adalah paling banyak didapat dari responden yaitu keluarga sebanyak 158 orang

(79%), teman sebanyak 56 orang (28%), majalah sebanyak 36 orang (18%),

iklan sebanyak 21 orang (10.5%), brosur atau leaflet sebanyak 11 orang (5.5%),

lainnya yaitu pedagang makanan Sunda (4%) dan koran (3%). Hasil survey

secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.

Page 45: Aldilla Sari Utami_f2008

Gambar 10. Persentase Responden Remaja Berdasarkan Sumber Informasi yang

Membuat Tertarik Mengonsumsi Makanan Tradisional Sunda

(Yasminia, 2003)

Bila dilakukan perbandingan pemilihan antara makanan tradisional dengan

makanan ”modern”, Yasminia (2003) juga mendapatkan hasil survey yang

menunjukkan bahwa responden paling banyak memilih makanan tradisional

Sunda sebanyak 155 orang (77.5%) dan sedangkan yang memilih makanan

fastfood sebanyak 45 orang (22.5%).

Menurut Dewi (2004), konsumen di perkotaan cenderung lebih mudah

terpengaruh oleh : (a) Budaya makan di luar rumah baik jajanan maupun makan

di lingkungan bekerja atau sekolah ;(b) Jenis-jenis makanan bergengsi dan

menyenangkan ; dan (c) Aspek kepraktisan dan kecepatan pelayanan, sedangkan

konsumsi di wilayah pengembangan industri akan lebih mempertimbangkan

aspek kepraktisan dan efisiensi dalam pemilihan makanan.

Bila dikaitkan dengan data tempat mengakses produk olahan jagung

seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, responden Bogor lebih

memilih warung dan minimarket sebagai tempat membeli. Hal ini dapat menjadi

gambaran bahwa akses untuk mendapatkan produk tradisional tidak hanya

terbatas pada pasar saja. Produk pangan tradisional ini sudah mulai terdistribusi

di warung, minimarket hingga supermarket.

Preferensi terhadap makanan didefinisikan sebagai derajat kesukaan atau

ketidaksukaan terhadap makanan, sehingga preferensi ini akan berpengaruh

79

28

1810.5

5.5 4 30

10

20

30

40

50

60

70

80

%

keluargateman

majalah iklan

brosur/leaflet

pdgg mknn Sundakoran

Page 46: Aldilla Sari Utami_f2008

terhadap konsumsi pangan (Setyawan, 2006). Kotler di dalam Setyawan (2006)

mengungkapkan bahwa preferensi konsumen menunjukkan kesukaan konsumen

dari berbagai pilihan produk yang ada.Preferensi terhadap makanan sangat

dipengaruhi oleh sikap erat hubungannya dengan suka atau tidak suka, menolak

atau menerima terhadap makanan. Menurut Sanjur (1982), sikap terhadap

pemilihan makanan merupakan penggabungan antara sesuatu apa yang

dipelajari dan apa yang dilihat misalnya melalui berbagai iklan di media massa.

Terbentuknya rasa suka terhadap makanan tertentu merupakan hasil dari

kesenangan sebelumnya yang diperoleh pada saat makan (Khumaidi, 1989). Hal

ini menunjukkan bahwa pengalaman mengonsumsi produk akan sangat

berdampak pada keputusan untuk mengonsumsi pada masa selanjutnya. Pada

butir kuesioner, responden diminta untuk memilih jenis produk olahan jagung

yang biasa dikonsumsi. Pilihan berkisar di antara 10 produk olahan jagung yang

banyak beredar di pasaran. Responden yang tidak memilih salah satu produk

diasumsikan tidak pernah mengonsumsi produk tersebut. Kesepuluh produk

dikategorikan menjadi produk pangan tradisional, cemilan tradisional, cemilan

dalam kemasan, dan produk instan. Hasil tabulasi data perbandingan preferensi

responden untuk masing-masing kategori produk olahan jagung dapat dilihat

pada Tabel 12.

Page 47: Aldilla Sari Utami_f2008

Tabel 12. Sebaran Pernyataan Sikap Mengonsumsi Responden Berdasarkan

Kategori Produk Olahan Jagung

No Jenis Produk Lokasi

Responden

Perrnyataan Mengonsumsi

(orang)

Pernah Tidak Pernah

1. Pangan tradisional Bojonegoro 33 17

Bogor 37 13

2. Cemilan tradisional

Marning Bojonegoro 38 12

Bogor 33 17

Keripik jagung Bojonegoro 33 17

Bogor 23 27

3. Cemilan dalam kemasan

Tortilla Bojonegoro 32 18

Bogor 35 15

Popcorn Bojonegoro 35 15

Bogor 29 21

4. Produk instan

Sup krim bubuk Bojonegoro 21 29

Bogor 20 30

Sup krim kaleng Bojonegoro 23 27

Bogor 17 33

Pop corn instan Bojonegoro 25 25

Bogor 17 33

5. Sereal sarapan (corn

flakes)

Bojonegoro 24 26

Berdasarkan Tabel 12, kategori produk pangan tradisional, cemilan

tradisional, dan cemilan dalam kemasan dapat dikatakan cukup populer di

masyarakat Bogor dan Bojonegoro karena frekuensi responden yang pernah

mengonsumsi lebih besar dibandingkan responden yang tidak pernah

mengonsumsi. Produk instan dan sereal sarapan yang tergolong produk

’modern’ justru belum begitu diminati masyarakat di kedua lokasi.

Kecenderungan masyarakat untuk mengonsumsi pangan tradisional, baik

berupa cemilan maupun jajanan tradisional, lebih besar dibandingkan produk-

Page 48: Aldilla Sari Utami_f2008

produk pangan ’modern’. Hal ini dapat dijadikan landasan untuk

mengoptimalkan pengembangan produk pangan tradisional berbasis jagung.

Hardinsyah, dkk (2001) pernah mengadakan penelitian mengenai konsumsi

pangan tradisional pada siswa remaja di kota Bogor menyebutkan bahwa lebih

dari 50% responden menyukai produk pangan tradisional karena citarasanya

yang enak. Hal ini menunjukkan bahwa cita rasa pangan tradisional dapat

memenuhi selera responden. Banyak alasan seseorang memilih makanan,

preferensia atau kesukaan merupakan salah satu faktor utama yang

dipertimbangkan konsumen dalam pemilihan makanan (Hardinsyah, 1996).

Kebiasaan mengonsumsi produk camilan menjadi hal yang tidak dapat

terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Produk camilan ini merupakan salah

satu bentuk pemenuhan atas waktu senggang di sela-sela kesibukan kehidupan

perkotaan. Bagi industri, prospek pengembangan produk camilan berbasis

jagung pun masih cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Juniawati (2003), Produk pangan non beras paling banyak dikonsumsi pada

saat sarapan dan sebagai makanan selingan. Hal ini menunjukkan bahwa

keberadaan beras sebagai bahan pangan pokok belum dapat tergantikan dengan

jenis komoditi lain. Sebanyak 62% responden mengonsumsi pangan non beras

saat sarapan dan sebanyak 49% responden mengonsumsi pangan sebagai

makanan selingan (Gambar 11)

62

49

511

0

10

20

30

40

50

60

70

(%)

sarapan selingan makan siang makan malam

Gambar 11. Waktu frekuensi konsumsi produk pangan non beras (n=100)

(Juniawati, 2003)

Page 49: Aldilla Sari Utami_f2008

Di lain pihak, keberadaan produk-produk instan maupun sereal sarapan

merupakan tuntutan akan gaya hidup masa kini. Akan tetapi, berdasarkan Tabel

12, jumlah responden yang pernah mengonsumsi lebih sedikit dibandingkan

jumlah responden yang belum pernah mengonsumsi produk tersebut. Merujuk

pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003), hasil kajian

mengenai perilaku konsumen dalam mengkonsumsi karbohidrat non beras

menunjukkan bahwa sereal termasuk salah satu produk dengan frekuensi

konsumsi paling kecil. Juniawati menyebutkan bahwa faktor harga menjadi

salah satu penyebabnya. Produk dengan cita rasa yang enak tetapi menawarkan

harga yang kurang terjangkau akan kurang diminati oleh konsumen.

g. Opini Responden Terhadap Upaya Perbaikan Konsumsi Jagung

Pada butir terakhir kuesioner, responden diminta untuk memberikan opini

mengenai hal-hal yang perlu diperbaiki dalam upaya peningkatan konsumsi

jagung masyarakat. Beberapa pilihan jawaban kemudian dikelompokkan ke

dalam 6 kategori, yakni opini yang berkaitan dengan peningkatan variasi,

perbaikan harga, perbaikan kualitas dan kuantitas, perbaikan distribusi dan

promosi, perbaikan keamanan pangan, serta dari segi organisasi perusahaan.

Data sebaran pilihan opini responden di kedua lokasi dapat dilihat pada Gambar

12a dan Gambar 12b

Page 50: Aldilla Sari Utami_f2008

87%

4% 7%

0%

0%

2%variasi

harga

kualitas-kuantitas

distr.-promosi

keamanan pangan

perusahaan

Gambar 12a. Grafik Sebaran Opini Responden Bojonegoro

76%

4%

7% 11%

2%

0%

variasi

harga

kualitas-kuantitas

distr.promosi

keamanan pangan

perusahaan

Gambar 12b. Grafik Sebaran Opini Responden Bogor

Berdasarkan hasil analisis, responden di Bojonegoro (86.96%) dan Bogor

(76.1%) memiliki kecenderungan yang sama dimana opini yang diberikan lebih

mengarah kepada upaya peningkatan variasi produk. Menurut Suhardjo (1989),

kombinasi dan variasi dari rupa, rasa, warna dan bentuk makanan akan

mempengaruhi nafsu makan seseorang. Hal ini sangat berkaitan dengan

perlunya dilakukan inovasi terhadap produk pangan berbasis jagung.

Selanjutnya, perbaikan kualitas dan kuantitas menjadi perhatian bagi 6.52%

responden baik di Bojonegoro maupun di Bogor. Perbaikan dari segi kualitas

dan kuantitas akan sangat mempengaruhi harga produk yang beredar di pasaran.

Berdasarkan data pada tabel dapat diasumsikan bahwa responden di

Bojonegoro merasa tidak memiliki masalah dalam hal distribusi dan promosi.

Hal ini mungkin terkait dengan tingginya ketersediaan jagung di kota ini,

sedangkan responden di Bogor (10.9%) menyatakan masih perlu dilakukan

Page 51: Aldilla Sari Utami_f2008

upaya perbaikan dari segi distribusi dan promosi. Promosi pun mungkin perlu

lebih ditekankan kepada sosialisasi jenis-jenis produk pangan baru yang

berbasis jagung. Hal ini dikarenakan berdasarkan pembahasan sebelumnya

mengenai sikap mengonsumsi responden, produk-produk instan dan sereal

sarapan masih belum terbiasa dikonsumsi oleh masyarakat.

Kenyataan yang cukup memprihatinkan teramati dimana kesadaran

responden mengenai keamanan pangan produk berbasis jagung belum menjadi

hal yang cukup mendapat perhatian. Hanya 2.17% responden di Bogor (1 orang)

yang menyatakan perlunya perbaikan dari segi keamanan pangan, sedangkan

tidak ada seorang pun responden Bojonegoro yang memiliki kekhawatiran akan

hal ini. Seperti dikutip oleh Yasminia (2003), perilaku konsumen terhadap

makanan yang aman dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu (1) Faktor predisposisi

perorangan (kepribadian, kebiasaan, norma, nilai, kepercayaan, kemampuan,

ketrampilan, pengetahuan dan sikap dari konsumen sehubungan dengan

makanan tersebut) ; (2) Faktor dukungan pemerintah maupun swasta terhadap

keberadaan makanan yang aman sehingga tersedia kapan saja dibutuhkan,

terjangkau daya beli, digemari, mudah didapat, modis, penjualnya terampil dan

menyenangkan, tempatnya nyaman dan tersedia informasi rujukan ; dan (3)

Faktor penguat (ajakan teman dekat, dukungan orangtua, pimpinan, guru dan

petugas kesehatan) yang menganjurkan makan makanan yang aman.

Kondisi keamanan pangan dari produk-produk jagung ini dibahas pada

pembahasan selanjutnya mengenai kandungan aflatoksin yang telah dianalisis.

D. Korelasi Antara Dua Variabel

Untuk melihat keterkaitan antara dua faktor yang dapat menjadi dasar

dalam upaya pengembangan produk pangan berbasis jagung, dilakukan

pengujian korelasi antara dua variabel yang berbeda. Kumpulan data dianalisis

dengan menggunakan metode Chi-square, Pearson dan Spearman.

Hasil analisis ini berguna dalam mengetahui faktor-faktor hubungan

perilaku konsumen terhadap variabel yang diteliti dalam kuesioner.

Page 52: Aldilla Sari Utami_f2008

a. Hubungan Lokasi Responden dengan Kesukaan Terhadap Produk Jagung

Dari hasil analisis, diperoleh hubungan tidak nyata antara variabel lokasi

responden dengan kesukaan terhadap produk jagung dengan nilai probabilitas

(p) sebesar 0.055 lebih besar dari 0.05 seperti terlihat pada tabel. Adanya

hubungan yang tidak nyata ini memberikan pandangan bahwa tradisi/kebiasaan

makan masyarakat yang berada di lokasi yang berbeda tidak mempengaruhi

kesukaan terhadap produk pangan berbasis jagung. Hal ini dapat dijadikan

asumsi bahwa upaya perbaikan konsumsi jagung di Indonesia tidak akan

terbatas pada lokasi tertentu ssja, tetapi secara merata dapat diusahakan di setiap

daerah. Faktor kesukaan produk pangan berbasis jagung ini mungkin

dipengaruhi oleh variabel lain yang dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.

Hasil analisis ini membuktikan bahwa kesukaan responden tidak

dipengaruhi oleh tempat dimana responden berdomisili. Seperti yang kita

ketahui, Bogor sebagai daerah sub-urban merupakan tempat para pendatang

yang berasal dari berbagai daerah. Adanya pengalaman atau kebiasaan makan

masa kanak-kanak di daerah asal kemudian terbawa hingga dewasa. Keadaan

inilah yang mempengaruhi preferensi ataupun kesukaan responden terhadap

produk jagung ketika responden menemukan adanya ketersediaan akan produk

tersebut di Bogor. Menurut Khumaidi (1989), terbentuknya rasa suka terhadap

makanan tertentu merupakan hasil dari kesenangan sebelumnya yang diperoleh

pada saat makan untuk memenuhi rasa lapar serta dari hubungan emosional

dengan yang memberi makan pada saat anak-anak. Biasanya jenis makanan

yang telah terbiasa disukai sejak masa anak-anak akan berlanjut menjadi

makanan kesukaan pada usia dewasa.

Hasil analisis korelasi dan nilai probabilitas (p) yang diperoleh dapat

dilihat pada Tabel 13.

Page 53: Aldilla Sari Utami_f2008

Tabel 13. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan

Kesukaan terhadap Produk Jagung

Chi-Square Tests

Value Df Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-

Square 5.815(a) 2 .055

Likelihood Ratio 7.367 2 .025

N of Valid Cases 94

a 2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected

count is 1.96.

b. Hubungan Lokasi Responden dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung

Dari hasil analisis, diperoleh hubungan nyata antara variabel lokasi

responden dengan frekuensi konsumsi terhadap produk jagung per minggu

dengan nilai probabilitas (p) sebesar 0.00 lebih kecil dari 0.05 seperti terlihat

pada tabel. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa frekuensi konsumsi produk

jagung dipengaruhi faktor lokasi atau tempat domisili responden. Hal ini dapat

dikaitkan dengan adanya perbedaan ketersediaan akan jagung di kedua lokasi.

Suryana (1991) mengungkapkan bahwa bila dihubungkan dengan keragaan

tingkat produksi, daerah dengan tingkat konsumsi jagung tinggi ternyata

berimpit dengan kabupaten yang diidentifikasi sebagai tingkat produksi tinggi

dimana Bojonegoro merupakan salah satu sentra produksi jagung di Indonesia.

Selain itu, tradisi atau kebiasaan mengonsumsi produk pangan berbasis

jagung juga mempengaruhi seberapa sering responden mengonsumsi produk

tersebut dalam tiap minggunya. Hal ini terkait dengan pilihan opini responden

yang menyarankan perlunya perbaikan dari segi kualitas dan kuantitas dalam

rangka memperbaiki konsumsi jagung di Indonesia. Hasil analisis korelasi dan

nilai probabilitas (p) yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 14.

Page 54: Aldilla Sari Utami_f2008

Tabel 14. Hasil Analisis Chi-square Antara Variabel Lokasi Responden dan

Frekuensi Konsumsi Produk Jagung

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-

Square 20.074(a) 3 .000

Likelihood Ratio 21.998 3 .000

N of Valid Cases 92

a 2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 2.45.

c. Hubungan Tingkat Kesukaan dengan Frekuensi Konsumsi Produk Jagung

Korelasi antara variabel “kesukaan” dengan “frekuensi” menunjukkan

angka sebesar 0.031. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat

lemah (dianggap tidak ada) dan searah. Hubungan kedua variabel tidak

signifikan karena angka probabilitasnya 0.770 > 0.05 seperti terlihat pada Tabel

15.

Tabel 15. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Kesukaan dan Frekuensi

Konsumsi Produk Jagung Responden

kesukaan Frekuensi

Spearman's

rho

Kesukaan Correlation

Coefficient 1.000 .031

Sig. (2-tailed) . .770

N 94 91

Frekuensi Correlation

Coefficient .031 1.000

Sig. (2-tailed) .770 .

N 91 92

Besarnya sumbangan atau peranan variabel kesukaan terhadap frekuensi dapat

dihitung dengan rumus koefisien determinasi :

KD = r2 x 100%

= 0.0312 x 100%

= 0.09 %

Page 55: Aldilla Sari Utami_f2008

Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat

kesukaan responden terhadap produk jagung belum tentu menyebabkan semakin

meningkatnya frekuensi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang

diberikan tidak signifikan, hanya sebesar 0.09%.

Kesukaan yang tidak berpengaruh nyata terhadap frekuensi konsumsi

responden semakin memberikan penguatan bahwa frekuensi konsumsi sangat

dipengaruhi oleh faktor ketersediaan akan produk jagung itu sendiri.

d. Hubungan Antara Variabel Frekuensi Konsumsi dengan Porsi Konsumsi

Produk Pangan Berbasis Jagung

Selanjutnya, pada penelitian juga dilakukan analisis korelasi Spearman

untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara frekuensi konsumsi

dengan porsi konsumsi produk pangan berbasis jagung responden. Korelasi

antara variabel frekuensi dan porsi konsumsi menunjukkan angka sebesar -

0.042. Angka tersebut menunjukkan adanya korelasi yang sangat lemah

(dianggap tidak ada) dan korelasi yang dihasilkan merupakan korelasi negatif.

Korelasi negatif ini menunjukkan arah yang berlawanan. Hubungan kedua

variabel tidak signifikan karena angka probabilitasnya 0.693>0.05 seperti

terlihat pada Tabel 16

Tabel 16. Hasil Analisis Korelasi Antara Variabel Frekuensi Konsumsi

dan Porsi Konsumsi Produk Jagung Responden

frekuensi Porsi

Spearman's

rho

Frekuensi Correlation

Coefficient 1.000 -.042

Sig. (2-tailed) . .693

N 92 92

Porsi Correlation

Coefficient -.042 1.000

Sig. (2-tailed) .693 .

N 92 93

Besarnya sumbangan atau peranan variabel frekuensi terhadap porsi konsumsi

dapat dihitung dengan rumus koefisien determinasi :

Page 56: Aldilla Sari Utami_f2008

KD = r2 x 100%

= -0.0422 x 100%

= 0.017 %

Hasil ini dapat menjadi kesimpulan bahwa semakin tinggi frekuensi

konsumsi produk jagung belum tentu menyebabkan semakin meningkatnya

porsi konsumsi akan produk tersebut karena pengaruh yang diberikan tidak

signifikan, hanya sebesar 0.017%. Hal ini mungkin dapat diperjelas dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Juniawati (2003) yang melakukan kajian

mengenai perilaku konsumen terhadap pangan non-beras, yakni jagung. Hasil

penelitian tersebut mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata dalam

hal kepuasan yang didapatkan saat mengonsumsi produk-produk pangan non

beras antar responden (n=200). Sebanyak 60% responden merasa kepuasan yang

didapat saat mengkonsumsi pangan non beras tidak sama dengan saat

mengonsumsi nsi. Adanya ketidakpuasan ini disebabkan karena tingkat

kekenyangan yang didapatkan berbeda. Konsumsi produk jagung yang

didominasi sebagai produk camilan menyebabkan porsi konsumsinya hanya

terbatas.

E. KANDUNGAN AFLATOKSIN PRODUK JAGUNG DI TINGKAT

PETANI, TINGKAT BAHAN BAKU DAN TINGKAT PRODUK

AKHIR

a. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan Metode Thin Layer

Chromatography (TLC)

Aflatoksin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan pada jagung

(Cole et al. ,1982). Kontaminasi aflatoksin juga mungkin dapat menjadi lebih

parah ketika tanaman yang sedang tumbuh mengalami kondisi kering dalam

waktu yang cukup lama (Winter dan Helferich, 2001).

Pencegahan pembentukan aflatoksin selama masa pra-panen sangatlah

sulit, terlebih kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan menjadi suatu

resiko yang berkelanjutan (Winter dan Helferich ,2001). Menurut Winter dan

Helferich (2001), kontaminasi aflatoksin pada makanan mulai terjadi ketika

Page 57: Aldilla Sari Utami_f2008

spesies aflatoksigenik dari Aspergillus flavus berkoloni dan kemudian didukung

oleh kondisi yang tepat untuk memproduksi toksin.

Selama ini, analisis mengenai kandungan aflatoksin pada produk jagung

lebih banyak ditekankan kepada produk jagung di tingkat petani dan bahan baku

saja, sedangkan analisis terhadap produk akhir masih belum banyak dilakukan.

Analisis aflatoksin menggunakan metode Thin Layer chromatography (TLC)

dilakukan terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Limit deteksi kadar

aflatoksin yang dapat terukur menggunakan metode ini adalah 4 ppb untuk

aflatoksin B1 dan G1 dan 3 ppb untuk aflatoksin B2 dan G2. Pembahasan pada

penelitian lebih ditekankan kepada aflatoksin B1 karena keseluruhan sampel

hanya mengandung ketiga jenis aflatoksin lainnya di bawah limit deteksi.

Prevalensi cemaran aflatoksin pada berbagai tingkatan sampel dapat dilihat pada

Tabel 17

Tabel 17. Prevalensi Cemaran Aflatoksin Pada 3 Kategori Sampel

Kategori Jumlah

Sampel

Jumlah Sampel

Terkontaminasi

% Terkontaminasi

Aflatoksin B1*

Jagung pipil 6 2 33.33%

Produk intermediate 9 4 44.44%

Produk akhir 10 4 40%

* limit deteksi aflatoksin B1 adalah 4 ppb

Data di atas menunjukkan bahwa sampel jagung pipil sudah mulai

terkontaminasi aflatoksin. Hal ini dapat ditunjukkan dari data yang

menggambarkan bahwa 2 dari 6 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 (33.33%).

Sampel yang mengandung aflatoksin di bawah limit deteksi diasumsikan tidak

terkontaminasi aflatoksin. Titik kritis terjadinya kontaminasi aflatoksin pun

dapat dinyatakan sudah mulai terjadi pada sampel jagung pipil yang berasal dari

petani. Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1993), kontaminasi aflatoksin

pada jagung berawal dari petani, kemudian meningkat selama masa

penyimpanan oleh pedagang pengumpul. Lebih lanjut, Deshpande (2002)

menyatakan bahwa Aspergillus flavus sudah dapat memproduksi aflatoksin

sebelum masa panen.

Page 58: Aldilla Sari Utami_f2008

Seperti dikutip oleh Dharmaputra et al. (1994), suatu survei yang

dilakukan oleh BULOG dan Tropical Product Institute (TPI) menunjukkan

bahwa 27% contoh jagung yang dikumpulkan dari beberapa propinsi di

Indonesia mengandung aflatoksin lebih dari 20 ppb. Survei yang dilakukan oleh

Biotrop pada tahun 1985 menunjukkan bahwa 6 dari 11 contoh tepung jagung

yang sedang dikeringkan dan diperoleh dari Pedagang Pengumpul Pedesaan

(PPP) di Provinsi lampung mengandung 2-83 ppb aflatoksin B1 (Rahayu dan

Dharmaputra dalam Dharmaputra et al., 1993), sedangkan survey pada tahun

1992 menunjukkan bahwa 35 contoh jagung yang diperoleh dari petani,

pedagang pengumpul pedesaan (PPP), pedagang pengumpul menengah dan

pedagang besar di provinsi Lampung mengandung aflatoksin 23.4 – 367.4 ppb.

Tiga puluh contoh mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb (Dharmaputra et al.,

1993).

Prevalensi terbesar terdapat pada sampel produk intermediate dimana 4

dari 9 sampel terkontaminasi aflatoksin. Sampel-sampel bahan mentah yang

positif terkontaminasi aflatoksin adalah tepung jagung, menir jagung, beras

jagung, serta 1 merk maizena. Sampel-sampel pada kategori ini diproduksi

tanpa melalui proses pemasakan, yakni hanya melewati proses pengecilan

ukuran saja. Lamanya penyimpanan sebelum dimulainya proses produksi

sampel jenis ini pun diduga dapat menjadi penyebab kontaminasi aflatoksin.

Hasil analisis aflatoksin pada 6 sampel uji jagung pipil secara lengkap

dapat dilihat pada Gambar 13.

Page 59: Aldilla Sari Utami_f2008

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

kadar

aflatoksin

(ppb)

JPP4 P3 PCR 3 JG P6 P7

Gambar 13. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Pipil

Keterangan :

JPP 4 = jagung pipil 1 JG = jagung pipil gorontalo

P3 = jagung pipil 2 P6 = jagung pipil 4

PCR 3 = jagung pipil 3 P7 = jagung pipil 5

Berdasarkan grafik, keenam sampel yang berada pada tingkatan petani

memiliki kadar aflatoksin pada batas yang masih diperbolehkan, yakni di bawah

20 ppb. Sebanyak 5 sampel didapat dari daerah Bojonegoro, sedangkan sisanya

merupakan jagung pipil kering Gorontalo yang dijadikan bahan baku dalam

pembuatan maizena. Kondisi ini kemungkinan besar didukung oleh adanya

upaya perbaikan yang cukup efektif dalam hal produksi jagung dimana cara

bercocok tanam merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam

menghindari kontaminasi aflatoksin pada jagung (Jonas dalam Dharmaputra et

al., 1994). Selain itu, Widstrom et al. (1990) mengatakan bahwa kondisi

lingkungan terutama temperatur dan RH selama musim tanam merupakan faktor

yang mempengaruhi terjadinya kontaminasi aflatoksin pada jagung.

Penelitian lain mengenai prevalensi aflatoksin pada beberapa tingkatan

sampel pernah dilakukan oleh Balitsereal pada tahun 2005. Berdasarkan hasil

penelitian ini, pada umumnya produk biji jagung dari petani sampai pedagang

0.0 <4 <4

11.98

19.63

0.0

Page 60: Aldilla Sari Utami_f2008

pengumpul/pengekspor dan peternak kadar aflatoksinnya bervariasi, yaitu

kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian 47,62% sampel terinfeksi aflatoksin

dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38% sampel terinfeksi dengan kadar 72,0

ppb – 665 ppb. Kadar aflatoksin yang tinggi (>72,0 ppb) ditemukan pada tingkat

pedagang pengumpul/pengekspor yang disebabkan oleh gangguan alat

pengering pada saat berlangsungnya penelitian (Balitsereal, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Toha (2008), kadar air contoh

jagung pipil dengan kode P3, P6 dan P7 berkisar antara 13.5-14.9 %. sedangkan

kelembaban relatif, aw dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu

kisaran antara 50-54 %, 0.74-0.81 dan 34.5 oC. Pada sampel P3 dan P6, populasi

Aspergillus flavus belum ditemukan, sedangkan pada sampel P7 telah ditumbuhi

Aspergillus flavus sebanyak 102 cfu/g. Akan tetapi, ketiga sampel ini masih

memiliki kandungan aflatoksin pada level yang aman.

Kandungan aflatoksin tertinggi dimiliki oleh jagung pipil dengan kode JPP

4 yakni sebesar 19.63 ppb. Hal ini diduga terkait dengan keberadaan populasi

Aspergillus flavus yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan sampel lain,

yakni sebesar 360 cfu/g, sedangkan untuk sampel jagung gorontalo tidak

dilakukan analisis Aspergillus flavus.

Analisis kandungan aflatoksin juga dilakukan terhadap sampel uji produk

intermediate yang terdiri dari tepung jagung, menir jagung, beras jagung, nasi

jagung, maizena dan babycorn. Hasil analisis aflatoksin pada 9 sampel produk

intermediate secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 14.

Page 61: Aldilla Sari Utami_f2008

BC = Baby corn

PBB 4 = Maizena 1

PBB 6 = Maizena 2

PBB 5 = Maizena 3

0

5

10

15

20

25

30

35

40

kadar

aflatoksin

(ppb)

PBB1 PBB3 PBB2 NJ MH BC PBB4 PBB6 PBB5

Gambar 14 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk

Intermediate

Keterangan :

PBB1 = Menir Jagung

PBB3 = Tepung Jagung

PBB2 = Beras Jagung

NJ = Nasi Jagung

MH = Maizena 4

Sebanyak 4 sampel merupakan maizena dengan 4 merk berbeda yang

didapat di daerah Bogor, sedangkan tepung jagung didapat dari daerah

Bojonegoro. Maizena dan tepung jagung merupakan jenis bahan baku yang

populer digunakan masyarakat dan industri pangan. Keberadaan aflatoksin pada

kedua jenis bahan ini akan berkaitan erat dengan kandungan aflatoksin yang

terdapat pada produk akhir.

Menurut SNI tahun 1995, definisi tepung jagung adalah tepung yang

diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (Zea Mays LINN) yang baik dan

bersih. Mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, tepung

jagung yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini mengandung

aflatoksin melewati batas maksimal yang ditetapkan, yakni 20 ppb untuk

<4 <4 <4 <4 <4

7.92 9.8

38.84

29.65

Page 62: Aldilla Sari Utami_f2008

aflatoksin B1 sedangkan keseluruhan sampel maizena memiliki kandungan

aflatoksin yang masih berada pada batas yang aman.

Menurut Sinha (1993), sangat sulit untuk menghilangkan kandungan

mikotoksin di dalam bahan pada kondisi lingkungan yang normal. Selain itu,

terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan

makanan antara lain yaitu galur cendawan, nutrisi yang dikandung substrat,

kadar air bahan, suhu dan kelembaban relatif lingkungan dan lama penyimpanan

(Diener dan Davis ,1969). Menurut Butler (1974) substrat yang berbeda akan

berpengaruh terhadap pembentukan aflatoksin.

Selanjutnya, hasil analisis aflatoksin pada 10 sampel uji produk akhir

secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 15.

0

20

40

60

80

100

120

140

kadar

flatoksin (ppb)

PJ8 KJ PJ5 PJ6 PC PJ4 CS PU GJ PJ3

Gambar 15 . Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Jagung Produk Akhir

Keterangan :

PJ 8 = Marning tradisional PJ 4 = Brondong jagung

KJ = Keripik jagung CS = Snack Corn Stick

PJ 5 = Emping jagung PU = Jagung puff

PJ 6 = tortilla GJ = Grontol Jagung

PC = Popcorn PJ 3 = Snack Jagung

9.64

<4 <4 <4 <4 <4 0.0

43.99

4.99

137.53

Page 63: Aldilla Sari Utami_f2008

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dharmaputra et al. (1993)

didapatkan bahwa kandungan aflatoksin pada produk olahan jagung umumnya

lebih rendah daripada jagung itu sendiri. Hal ini tidak sejalan dengan hasil

analisis yang didapat. Seperti terlihat pada Gambar 15, kadar aflatoksin masing-

masing sampel cukup beragam.

BPOM RI menetapkan batas aflatoksin dalam makanan yang dikonsumsi

tidak melebihi 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan 35 ppb untuk aflatoksin total.

Pada penelitian ini, sebanyak 20% (2 dari 10 sampel) contoh jagung pada

tingkatan produk akhir mengandung aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb.

Produk corn stick yakni produk cemilan dalam kemasan memiliki kadar

aflatoksin sebesar 0 ppb. Dharmaputra dan Putri (1997) mengungkapkan bahwa

produk olahan jagung yang berupa makanan ringan melalui banyak proses dan

biasanya dicampur dengan bahan lain seperti zat aditif. Bahan-bahan tersebut

kemungkinan berpengaruh terhadap kandungan aflatoksin yang terdapat pada

produk-produk olahan jagung. Akan tetapi, hal yang cukup mengkhawatirkan

dapat diamati dari hasil analisis dimana berondong jagung memiliki kadar

aflatoksin yang paling tinggi diantara keseluruhan sampel di berbagai tingkatan.

Tingginya kandungan aflatoksin ini telah melewati batas aman yang ditetapkan

BPOM RI, yakni sebesar 20 ppb. Kandungan aflatoksin yang tinggi ini diduga

karena pada produk berondong jagung jumlah populasi Aspergillus flavusnya

memang cukup tinggi. Selain itu, proses pengolahan popping pada pembuatan

berondong jagung hanya menggunakan suhu proses sekitar 144-1490C dimana

aflatoksin masih dapat bertahan. Snack jagung puff juga memiliki kadar

aflatoksin yang melewati batas yang telah ditetapkan oleh BPOM. Padahal, jenis

produk dalam kemasan ini cukup populer dikonsumsi masyarakat beberapa

tahun terakhir ini. Produk-produk dengan kondisi seperti ini semestinya sudah

tidak layak untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan efek bahaya terhadap

kesehatan manusia. Menurut Viquez et al. seperti dikutip oleh Putri (1996),

faktor kimiawi seperti nutrisi dan substrat memegang peranan penting dalam

pembentukan aflatoksin. Jagung yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi

dan kandungan nitrogen yang rendah merupakan substrat yang baik untuk

produksi aflatoksin. Seperti dikutip oleh Samson et al. (1981), kebanyakan

Page 64: Aldilla Sari Utami_f2008

pembentukan aflatoksin juga dipengaruhi oleh keberadaan beberapa asam

amino, asam-asam lemak serta mineral Zn.

Secara keseluruhan, dari 25 sampel yang diuji kandungan aflatoksinnya,

sebanyak 4 sampel terkontaminasi aflatoksin B1 lebih dari 20 ppb. Penelitian

yang pernah dilakukan oleh Biotrop pada tahun 1997 menyebutkan bahwa dari 9

sampel produk olahan jagung yang diperoleh dari pasar swalayan, sebanyak 4

sampel terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar 10-20 ppb.

b. Korelasi Kandungan Aflatoksin dan Populasi Aspergillus flavus Pada Sampel

Jagung Pipil dan Produk Intermediate

Aspergillus flavus adalah mikroflora yang umum ditemukan di udara dan

tanah. Spesies ini juga umum ditemukan pada gandum, jagung, biji kapas, beras,

barley, dedak, tepung, kacang, kedelai sorghum cabe bubuk, kopra, millet, tree

nuts, biji kopi hijau, dibanding komoditi lain (Winter dan Helferich, 2001).

Diener dan Davis (1987) melaporkan bahwa inokulum awal Aspergillus

flavus pada jagung diduga berasal dari koloni cendawan yang bersporulasi.

Koloni tersebut berasal dari miselium yang terdapat pada sisa bahan tanaman

yang membusuk di tanah dan atau dari spora yang terbawa angin. Produksi

aflatoksin bergantung pada galur Aspergillus flavus (Diener dan Davis, 1969)

dan dipengaruhi oleh keberadaan spesies cendawan lain yang berkompetisi

dengan Aspergillus flavus (Choudhary dalam Dharmaputra et al., 1994).

Kemungkinan keberadaan populasi fungi serta kontaminasi aflatoksin

akan lebih tinggi pada biji jagung yang pecah ataupun retak. Menurut

Deshpande (2002), serangan Aspergillus flavus dapat terjadi pada saat tanaman

masih berada di lahan ataupun pada saat penyimpanan.

Perlakuan pasca panen dapat berpengaruh terhadap serangan cendawan.

Pada umumnya, kadar air jagung yang baru saja dipanen masih tinggi, sehingga

merupakan substrat yang sesuai untuk pertumbuhan cendawan dan produksi

mikotoksin. Oleh karena itu, pengeringan merupakan tahapan yang penting

untuk mencegah serangan cendawan pada jagung

Hasil analisis aflatoksin pada beberapa sampel dihubungkan dengan hasil

analisis Aspergillus flavus yang dilakukan oleh Toha (2008) untuk dilihat

Page 65: Aldilla Sari Utami_f2008

korelasinya. Sebanyak 16 sampel dianalisis total Aspergillus flavus dan

kandungan aflatoksinnya seperti terlihat pada Tabel 18

Tabel 18. Hasil Analisis Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin

Kode Sampel Total

A.flavus (cfu/g)

Kadar

aflatoksin B1(ppb)

Jagung pipil 1 0 0

Jagung pipil 2 0 0

Jagung pipil 3 102 0

Jagung pipil 4 1.8 x 102 19.63

Jagung pipil 5 1.8 x 102 0

Menir jagung 0 9.8

Beras jagung 0 29.65

Tepung Jagung 103 38.84

Maize 1 0 0

Maize 3 0 0

Maize 2 0 7.92

Snack 0 0

Brondong Manis 102 137.53

Emping 0 0

Tortila Meksiko 0 0

Marning 0 9.64

*)Sumber : Toha, 2008

y = 0.0322x + 5.3545

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

0 200 400 600 800 1000 1200

total A. flavus

kad

ar

afl

ato

ksin

(p

pb

)

Gambar 17 . Korelasi Populasi Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin

Pada Sampel Jagung Pipil dan Produk Intermediate

Menurut Makfoeld (1993), pati jagung biasanya tidak begitu banyak

mengandung fungi di dalamnya (di bawah 102 koloni/gram). Hal ini sesuai

dengan hasil analisis dimana ketiga sampel maizena sama sekali tidak

Page 66: Aldilla Sari Utami_f2008

ditumbuhi oleh koloni Aspergillus flavus. Total Aspergillus flavus paling tinggi

terdapat pada sampel tepung jagung, yakni sebesar 103 cfu/g. Akan tetapi,

berondong jagung yang diketahui memiliki kandungan aflatoksin tertinggi

masih memiliki total Aspergillus flavus yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan tepung jagung. Sampel beras jagung dan menir jagung yang diuji

menunjukkan kadar aflatoksin melewati batas aman meskipun populasi

Aspergillus flavus dinyatakan tidak ada. Padahal, jenis produk ini merupakan

produk yang hanya melewati proses pengecilan ukuran saja dimana proses

tersebut semestinya tidak akan menyebabkan penurunan jumlah populasi

Aspergillus flavus. Populasi Aspergillus flavus kemungkinan telah ada sejak

pasca panen sehingga kemungkinan juga sudah mulai memproduksi aflatoksin.

Akan tetapi, proses pengeringan yang berlangsung sebelum terjadinya

pengecilan ukuran menyebabkan pertumbuhan Aspergillus flavus terhambat,

sementara residu aflatoksin masih tertinggal pada bahan.

Berdasarkan analisis statistik, kandungan aflatoksin memiliki korelasi

positif dengan populasi Aspergillus flavus. Analisis regresi hanya dilakukan

pada sampel jagung pipil dan produk intermediate saja. Hal ini dikarenakan

produk akhir umumnya memiliki korelasi yang bervariasi. Pada tabel dapat

dilihat bahwa sampel produk akhir yang populasi Aspergillus flavus-nya tinggi

belum tentu kandungan aflatoksinnya juga tinggi. Proses pengolahan yang

dilakukan pada saat memproduksi produk olahan jagung umumnya

mengakibatkan jumlah populasi Aspergillus flavus menurun bahkan hilang sama

sekali. Penelitian yang dilakukan oleh Dharmaputra et al. (1993) menemukan

bahwa terdapat korelasi positif antara populasi Aspergillus flavus dan

kandungan aflatoksin pada sampel jagung yang diambil di tingkat petani dan

pedagang di propinsi Lampung.

Menurut Diener dan Davis (1969) terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi produksi aflatoksin pada bahan makanan antara lain yaitu galur

cendawan, nutrisi yang dikandung substrat, kadar air bahan, suhu dan

kelembaban relatif lingkungan, dan lama penyimpanan. Populasi Aspergillus

flavus sp.dan produksi aflatoksin dapat dipengaruhi oleh metabolit yang

dihasilkan oleh jagung. Selain itu, jenis metabolit yang dihasilkan bergantung

Page 67: Aldilla Sari Utami_f2008

kepada varietas jagung. Pada penelitian ini, sampel yang diperoleh berasal dari

berbagai varietas jagung sehingga menghasilkan variasi terhadap hasil analisis

yang didapat.

]

Page 68: Aldilla Sari Utami_f2008

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Survey tingkat kesukaan responden terhadap produk jagung di Bogor dan

Bojonegoro menunjukkan bahwa produk jagung masih digemari oleh masyarakat.

Preferensi yang ditunjukkan responden di kedua lokasi cukup bervariasi.

Responden Bojonegoro umumnya menyukai produk berbasis jagung dalam

bentuk camilan. Responden Bogor memiliki preferensi lebih tinggi terhadap

produk tradisional dibandingkan jenis produk lainnya. Sedangkan produk-produk

instan terkesan kurang begitu diminati responden di kedua lokasi. Selanjutnya,

berkaitan dengan ketersediaan, responden Bojonegoro memiliki rata-rata porsi

konsumsi yang lebih besar dibandingkan responden Bogor. Akses responden

Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung sudah terdistribusi secara merata

baik di pasar, warung, minimarket maupun supermarket sedangkan responden

Bogor lebih memilih warung dan minimarket sebagai lokasi membeli. Hal ini

terkait dengan kemudahan dalam menjangkau lokasi.

Tempat berdomisili yang berbeda di antara dua kategori responden tidak

mempengaruhi tingkat kesukaan terhadap produk jagung tetapi mempengaruhi

frekuensi konsumsi responden. Hal ini terkait dengan adanya pengalaman masa

kecil yang juga turut mempengaruhi perkembangan preferensi konsumen akan

suatu produk. Akan tetapi, frekuensi konsumsi yang tinggi tidak menjamin

besarnya porsi konsumsi produk jagung. Upaya pengembangan produk pangan

berbasis jagung perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Responden lebih

menawarkan opini dari segi inovasi produk. Hal ini mengindikasikan belum

begitu bervariasinya produk jagung yang beredar di pasaran. Opini yang terkait

dengan keamanan pangan belum mendapat perhatian yang cukup serius dari

responden.

Berkaitan dengan perbaikan mutu, upaya perbaikan konsumsi juga harus

diikuti dengan upaya peningkatan keamanan pangan. Berdasarkan hasil analisis

aflatoksin, sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan

kadar melebihi batas yang telah ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Produk

ini semestinya sudah tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Aflatoksin juga sudah

Page 69: Aldilla Sari Utami_f2008

ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih < 20

ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara

keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel

jagung pipil dan produk intermediate.

B. Saran

Perbaikan survey perlu dilakukan dengan memperbanyak jumlah

responden dan memperluas wilayah survey. Selain itu, karakteristik responden

lain seperti tingkat pendapatan sebaiknya juga dijadikan variabel yang diteliti

dalam survey konsumsi selanjutnya. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin,

perbaikan penanganan komoditi jagung perlu dilakukan mulai dari penanganan

pascapanen hingga proses produksi produk olahan jagung.

Page 70: Aldilla Sari Utami_f2008

DAFTAR PUSTAKA

Adiwirman. 1992. Analisis Usaha Tani Jagung Berdasarkan Berbagai Bentuk

Produk. Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.

Agrotek, 2006. Menjadi Eksportir Jagung Dunia:Terlalu Ambisiuskah?. Edisi

Agustus-Sepetember.

Anonim. 2007. Produksi Jagung NTT Rendah. www. ntt online. org. 19 Mei

2008.

Anonim. 2007. www.sciencedaily.com/releases/2007/06/070628071623.htm.

Image courtesy of CABI

Anonim. 2007. http://www.aflatoxin.info/aflatoxin.asp

Balitsereal. 2007. Proses Pascapanen Menunjang Perbaikan Kualitas Produk Biji

Jagung. www.Balitsereal.com

Azmi, N. 2004. Analisis Tekno-Ekonomi Pendirian Agroindustri Corn Starch,

Gluten Feed dan Gluten Meal. Program Studi Teknologi Industri Pertanian.

Fakultas Pasc Sarjana IPB.

Bainton, S. J., R. D. Coker, B. D. Jones, E. M. Morlet, M. J. Naglerand dan R. L.

Turner. 1980. Mycotoxin Training Manual. Tropical Product Institute.

London. Pp. 18-22.

Betina, V. 1989. Mycotoxins : Chemical, Biological and Environmental Aspects.

Elsevier, New York.

Blanney, B. J., C. J. Moore dan L. Tyler. 1984. Mycotoxins and fungal damaged

in maize harvested during 1982 in Far North Queensland. Aust. J. Agric.

Res. 35 : 463-471

Bogley, C. V. 1997. Aflatoxins. http:www. Micotoxins. Com. Br/buletin 11. html.

20 Agustus 2007.

Bullerman, L. B., L. L. Schroeder and K. Y. Park. 1984. Formation and Control of

Mycotoxin in Food. J. Food Protection. 47 : 637-646.

Butler, W. H. 1974. Aflatoxin. In Purchase, I. F. H (ed). Mycotoxins. Elsevier

Scientific Publishing Company, Amsterdam. Pp. 1-10.

Cazes, J. 2005. Encyclopedia of chromatography volume 2. Boca Raton : Taylor

& Francis.

Page 71: Aldilla Sari Utami_f2008

Christensen, C. M. dan H. H. Kauffman. 1969. Grain Storage : The Role of Fungi

and Quality Loss. University of Minnesota, Minneapolis.

Cole, R. J., R. A. Hill, P. D. Blankenship, T. H. Sandera and K. H. Garren. 1982.

Influence of irrigation and drought stress on invasion by Aspergillus flavus

on corn kernels and peanut pods. Publication of the Society for Industrial

Microbiology.

den Hertog, A. P. dan W. A. Von Staveren. 1983. Manual for Social Surveys of

Food Habits and Consumption in Developing Countries. Pudoc

Wageningen, Netherlands.

Deshpande, S. S. 2002. Handbook of Food Toxicology. Marcel Dekker, New

York.

Dewan Standardisasi Nasional. 1995. SM 01-3920-1995. Badan Standardisasi

Nasional, Jakarta.

Dewi, S. T. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian oleh

Konsumen Restoran Tradisional Sunda. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial

Ekonomi Pertanian. IPB, Bogor.

Dharmaputra, O. S. , I. Retnowati, Sunjaya dan S. Ambarwati. 1993. Populasi

Aspergillus flavus dan Kandungan Aflatoksin pada Jagung di Tingkat

Petani dan Pedagang di Propinsi Lampung. SEAMEO Biotrop, Bogor.

Dharmaputra, O. S., Ina R. , Hadi K.P., 1994. Survei Penanganan Pascapanen,

Butir Rusak, Serangan Cendawan dan Kontaminasi Mikotoksin pada

Jagung. SEAMEO Biotrop.

__________. 1996. Pengaruh Beberapa Cara Penyimpanan Terhadap Serangan

Cendawan dan Produksi Mikotoksin pada Jagung. SEAMEO Biotrop.

Dharmaputra, O. S. Dan A. S. Putri. 1997. Populasi Aspergillus flavus dan

Kandungan Aflatoksin pada Jagung, Pakan Ayam dan Produk Olahan

Jagung. SEAMEO Biotrop.

Diener, U.L. dan N.D. Davis. 1969. Aflatoxin formation by Aspergilus flavus. Di

dalam: L.A. Godblatt (ed.) Aflatoxin Scientific Background, Control and

Implication. Academic Press, New York.

_________. 1987. Biology of A. Flavus and A. Parasiticus. In Zuber, M. S., E. B.

Lillehoj and B. L. Renfro (eds.). Aflatoxin in Maie. A proceeding of the

workshop C\MMYT, Mexico City.

Fachrina, A. 2005. Pola Konsumsi Pangan pada Rumah Tangga Miskin di

Pedesaan dan Perkotaan di Lima Propinsi Pulau Jawa. Departemen Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Skripsi.

Page 72: Aldilla Sari Utami_f2008

Fassatiova, O. 1986. Moulds and Filamentous Fungi in Technical Microbiology.

Elsevier Scientific Publishing Company, New York.

Frazier, W.C. dan D.C. Westhoff. 1978. Food Microbiology.Tata McGraw Hill

Publ. Co., Ltd., New Delhi.

Guhardjo, S. dan B. Chapman. 1984. Jadwal Kegiatan Ibu Rumah Tangga dan

Kebiasaan Jajan Kelurga. Dalam B. Chapman (W. K. Harsanugraha,

penerjemah). Makanan Jdi Indonesia : Peranan Pedagang Kecil dalam Supli

Makanan Masyarakat Kota. Equity Policy Center. Bogor.

Hardinsyah, T. Eliawati dan C. M. Dwiriani. 2001. Konsumsi Pangan Tradisional

pada Siwa Remaja di Kota Bogor. Di dalam : Pangan Tradisional, Basis

bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen. PKMT, Bogor.

Harper, L.J., B.J. Deaton, dan J.A. Driskel. 1985. Pangan, Gizi, dan Pertanian

(Suhardjo, Penerjemah). UI Press, Jakarta.

Heathcote, J. G. 1984. Aflatoxin and Related Toxins. Di dalam: Betina, V., (ed).

Mycotoxins: Production, Isolation, Separation, and Purification. Elsevier

science Publisher. Amsterdam.

Helferich, W. And Winter, C. K. 2001. Food Toxicology. CRC Press, Florida.

Hosang, E. 2006. Jagung Srikandi Menyelamatkan Masyarakat NTT dari Gizi

Buruk. Majalah. Sinar tani edisi 17-23 mei 2006.

Hubeis, M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-Bijian. Jurusan

Teknologi Pangan dan Gizi. IPB, Bogor.

Imron, A. 2007. Dampak Kebijakan ekonomi dan Perubahan Faktor Eksternal

Terhadap Kinerja Pasar Jagung dan Produk Turunannya di Indonesia.

Program Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.

Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. 5th edition. Chapman and Hall, New

York.

Juniawati. 2003. Optimasi Proses Pengolahan Mie Jagung Instan Berdasarkan

Kajian Preferensi Konsumen. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi.

Skripsi.

Kemal, E. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat .

Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, Jakarta.

Khumaidi. 1989. Gizi Mayarakat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dirjen Pendidikan Tinggi, PAU, IPB Bogor.

Page 73: Aldilla Sari Utami_f2008

Krausz, JP. 2001. Aflatoxin in Texas. URL. http : /Plant pathology. Tamu.

Edu/aflatoxin/ effects.htm. 4 Maret 2008.

Kusbiantoro, Bram. 1984. Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Jensi Beras di

Gudang Depot Logistik Wilayah Bandung dan Cirebon. Fakultas Teknologi

Pertanian. Skripsi.

Makfoeld, D. 1993. Mikotoksin Pangan. Kanisius, Yogyakarta.

Meiselman, H. L dan Macfie, H. J. H. 1996. Food Choice Acceptance and

Consumption. Chapman and Hall, London.

Murni, R. 1993. Penggunaan Zeolit untuk Meningkatkan Daya Simpan Ransum

dan Pengaruhnya Terhadap kandungan Aflatoksin Serta Kadar Nutrien

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.Tesis

Nadeak, H. 2004. Analisis Atribut Pasar Swalayan dan Pengaruhnya Terhadap

Keputusan Kunjungan Konsumen. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi

Pertanian. IPB, Bogor.

Nielsen, S. 1998. Food analysis 2nd ed. Maryland: Aspen Publisher.

Purba, S. 2006. Analisis Respon Konsumen Terhadap Kualitas Pelayanan

Matahari . Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisinis. IPB, Bogor.

Putri, A.S. R. 1996. Pengaruh Jenis dan Alas Kemasan Terhadap Serangan

Kapang, Produksi Mikotoksin dan Susut dalam Penyimpanan Jagung .

Fakultas Pascasarjana, IPB.

Roestamsjah, S. T., Sumardi, Tigor N., Djoko S., Barizi, Susono S. dan E. K. M.

Masinambow. 1989. Kebiasaan Pangan di Daerah Pedesaan dan Kota dari

Sebelas Suku Bangsa di Indonesia. Prosiding Widya Karya Pangan dan

Gizi. LIPI. Jakarta.

Samson, R. A., E. S. Hoekstra, C. A. N. Van Oorschot. 1981. Introduction to Food

Brone Fungi. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and

Sciences.

Sanjur, D. 1982. Social and Cultural Perspectives in Nutrition. Prentice Hall,

Engle Wood Cliffs, New York.

Setiawan, A. P. 2006. Kebiasaan Konsumsi Makanan Kudapan dan Kontribusinya

Terhadap Kecukupan Energi dan Protein pada Mahasiswa TPB IPB dengan

Status Gizi Kurang. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya

Keluarga. IPB, Bogor.

Page 74: Aldilla Sari Utami_f2008

Setyawan, H. 2006. Analisis Sikap dan Preferensi Konsumen dalam Pembelian

Produk Bakery Tradisional Kartika Sari Bakery Bandung. Program Sarjana

Ekstensi Manajemen Agribisinis. IPB, Bogor

Shanhan, J. F, and Brown, Jr WM. 2001. Aflatoxins.

http://www.ext.colostate.edu/pubs/crops/ 00306. html#top. 20 Agustus

2007.

Siagian, V. 2003. ”Voucher” Pangan untuk Diversifikasi Pangan. www.sinar

harapan. 19 Mei 2008.

Sinha, K. K. 1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3) : 87-93.

Situngkir, R. U. 2005. Aplikasi Kultur Bakteri Asam laktat dengan Gram untuk

Mereduksi Aspergillus flavus d Aflatoksin pad Proses Pengolahan Kacang

Asin. Sekolah Pascasarjana IPB. Tesis.

Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU Pangan dan Gizi. Bogor.

_______. 1989. Petunjuk Laboratorium Berbagai Cara Pendidikan Gizi.

Departemen Pendidikan dan Kebidayaan. PAU Pangan dan Gizi. IPB.

Bogor.

Suhardjo, Hardinsyah, dan H. Riyadi. 1988. Survey Konsumsi Pangan. PAU IPB.

Bogor.

Suhardjo dan H. Riyadi. 1990. Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat. Depdikbud,

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, PAU, IPB.

Suryana, R. N. 1991. Analisis Respon Penawaran dan Keragaan Perekonomian

Jagung di Jawa Timur. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor. Tesis.

Susanto, D., Roestamsjah dan Sumardi. 1992. Potensi Pola Makanan Tradisional :

Keragaan dari Study Kebiasaan Pangan (Food Habits) di Indonesia dan

Strategi Pelestariannya. Pertemuan Ilmiah Sehari : Melestarikan dan

Memantapkan Kebudayaan Kebiasaan Pangan Tradisionl di Perkotaan dan

Pedesaan Menghadapi Arus Westernisasi dan Urbanisasi. Dewan Riset

Nasional, Jakarta.

Susanto, D. 1993. Prospek Pengembangan Makanan Tradisional Rakyat

Indonesia. Seminar Pangan Tradisional dlm Rangka Penganekaragamn

Pangan. Jakarta.

White, P. J. and Lawrence A. J. 2003. Corn : Chemistry and Technology, 2nd

edition. American Association of Cereal Chemists, USA.

Page 75: Aldilla Sari Utami_f2008

Widstrom, N. W.m W. W. Mc William, R. W.Beaver and D. M. Wilson. 1990.

Wheather-associated changes in aflatoxin contamination of preharvest

maize. Journal Product Agricultural 3 : 196-199.

Winarno, F. G. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademis. IPB. Bogor.

Winarno, F. G. 1993. Makanan Tradisional, Keamanan, Gizi dan Khasiat.

Seminar Pangan Tradisional Dalam Rangka Penganekaragaman Pangan.

Jakarta.

Yasminia, D. 2003. Perilaku Konsumen Remaja Terhadap Makanan Tradisional

Sunda di Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi.IPB, Bogor.

Page 76: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 1. Produk-Produk Olahan Jagung

Emping jagung corn stick

Baby corn Marning jagung

Maizena Honig Keripik jagung

Jagung pipil Tortilla

Page 77: Aldilla Sari Utami_f2008

Berondong jagung Beras Jagung

Jagung puff Tepung jagung

Popcorn

Jagung gorontalo

Menir Jagung

Nasi jagung

Page 78: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 2. Kuesioner Survey Konsumsi Jagung

KUESIONER SURVEY KONSUMSI JAGUNG

Nama : Umur : Jenis Kelamin :

1. Apakah Saudara suka makan produk jagung? a. Suka b. Biasa/netral c. Tidak Suka

2. Berapa kali rata-rata Saudara makan produk jagung dalam seminggu? a. 1x b.2x c. 3x d. lainnya….. 3. Dari beberapa produk jagung di bawah ini, produk mana yang sering Saudara

makan?

No Nama Produk Ket No Nama Produk Ket

1 HappyTos Tortilla Chips

6 Keripik Jagung dalam Kemasan (eq.Merk Quindo)

2 Sereal sarapan corn flakes segala merk (Nestle, Kellogs, dsb)

7 Snack marning bulat dan pecah dalam kemasan

3 Snack Turbo segala rasa (jagung puff)

8 Sup Krim Jagung Royco

4 Popcorn siap makan 9 Sup krim jagung impor dalam kaleng merk Vinisi & Campbells

5 Popcorn mentah (diolah terlebih dahulu)

10 Produk-produk pangan tradisional

Keterangan : Beri tanda sesuai keterangan di bawah ini + = jarang +++ = sering ++ = kadang-kadang 4. Berapa banyak Saudara mengkonsumsi produk jagung tersebut dalam 1x

konsumsi? - Kemasan plastik : a. Bungkus kecil = .... bungkus b. Bungkus besar = ..... bungkus - Kemasan kaleng : ...... kaleng - Produk jajanan tradisional : ...... porsi - Sereal sarapan : ........ porsi 5. Darimana Saudara memperoleh produk jagung tersebut? a. Pasar b. warung c. Minimarket (Alfamart, Indomaret,dll) d. Supermarket 6. Menurut Saudara, langkah apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan

konsumsi jagung di Indonesia? a. Memperbanyak variasi produk jagung yang lebih menarik b. Lainnya .................

Page 79: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 3. Data Uji Kuesioner Case Processing Summary

N %

Cases Valid 24 82.8

Excluded(a)

5 17.2

Total 29 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

N of Items

.806 12

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

VAR00001 2.1250 .53670 24

VAR00002 1.9167 .82970 24

VAR00003 1.7917 .65801 24

VAR00004 1.7083 .69025 24

VAR00005 1.9583 .90790 24

VAR00006 2.1250 .85019 24

VAR00008 1.5000 .65938 24

VAR00007 2.1250 .99181 24

VAR00010 2.3750 .92372 24

VAR00011 1.3750 .57578 24

VAR00012 1.3750 .57578 24

VAR00013 2.1250 .94696 24

Item -Total Statis tics

20.3750 27.201 .060 .818

20.5833 27.645 -.058 .838

20.7083 24.650 .420 .795

20.7917 22.433 .752 .767

20.5417 24.346 .296 .809

20.3750 21.984 .642 .773

21.0000 23.826 .554 .785

20.3750 20.940 .650 .770

20.1250 22.549 .504 .787

21.1250 24.027 .614 .783

21.1250 23.853 .647 .780

20.3750 22.071 .546 .783

VAR00001

VAR00002

VAR00003

VAR00004

VAR00005

VAR00006

VAR00008

VAR00007

VAR00010

VAR00011

VAR00012

VAR00013

Scale Mean if

Item Deleted

Scale

Variance if

Item Deleted

Correc ted

Item-Total

Correlation

Cronbach's

Alpha if Item

Deleted

Page 80: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 4. Analisis SPSS Tingkat Kesukaan Responden Bojonegoro

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: hasil

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Model 419.020(a) 51 8.216 31.576 .000

responden .327 48 .007 .026 1.000

kesukaan 7.020 2 3.510 13.490 .000

Error 24.980 96 .260

Total 444.000 147

a R Squared = .944 (Adjusted R Squared = .914)

Post Hoc Tests hasil

Duncan

kesukaan N Subset

1 2

netral 49 1.39

suka 49 1.71

tidak suka 49 1.92

Sig. 1.000 .051

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .260. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 49.000. b Alpha = .05.

Page 81: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 5. Analisis SPSS Tingkat Kesukaan Responden Bojonegoro

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: hasil

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Model 253.174(a) 48 5.274 20.796 .000

kesukaan 7.841 2 3.920 15.457 .000

responden .000 45 .000 .000 1.000

Error 22.826 90 .254

Total 276.000 138

a R Squared = .917 (Adjusted R Squared = .873)

Post Hoc Tests hasil

Duncan

kesukaan N Subset

1 2

tidak suka 46 1.00

suka 46 1.46

netral 46 1.54

Sig. 1.000 .410

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .254. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.

Page 82: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 6. Analisis SPSS Tempat Memperoleh Produk Jagung Responden

Bojonegoro

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pilihan

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Model 566.191(a) 50 11.324 43.640 .000

responden .702 46 .015 .059 1.000

sumber .191 3 .064 .246 .864

Error 35.809 138 .259

Total 602.000 188

a R Squared = .941 (Adjusted R Squared = .919)

Post Hoc Tests pilihan Duncan

sumber N Subset

1

supermarket 47 1.70

warung 47 1.70

minimarket 47 1.77

pasar 47 1.77

Sig. .587

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .259. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 47.000. b Alpha = .05.

Page 83: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 7. Analisis SPSS Tempat Memperoleh Produk Jagung Responden

Bogor

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pilihan

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Model 466.333(a) 48 9.715 44.735 .000

responden 10.000 44 .227 1.047 .411

sumber 5.083 3 1.694 7.802 .000

Error 28.667 132 .217

Total 495.000 180

a R Squared = .942 (Adjusted R Squared = .921)

Post Hoc Tests pilihan

Duncan

sumber N Subset

1 2

minimarket 45 1.36

warung 45 1.49

pasar 45 1.73

supermarket 45 1.76

Sig. .177 .821

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .217. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 45.000. b Alpha = .05.

Page 84: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 8. Analisis SPSS Frekuensi Konsumsi Produk Jagung Responden

Bojonegoro

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pilihan

Source Type III Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Model 594.099(a) 51 11.649 49.923 .000

responden .245 47 .005 .022 1.000

frekuensi 2.349 3 .783 3.356 .021

Error 32.901 141 .233

Total 627.000 192

a R Squared = .948 (Adjusted R Squared = .929)

Post Hoc Tests pilihan Duncan

frekuensi N Subset

1 2

1 kali 48 1.67

<1 kali 48 1.67

2 kali 48 1.75 1.75

3 kali 48 1.94

Sig. .430 .059

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .233. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 48.000. b Alpha = .05.

Page 85: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 9. Analisis SPSS Frekuensi Konsumsi Produk Jagung Responden

Bogor

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: pilihan

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 586.783(a) 49 11.975 93.896 .000

responden .478 45 .011 .083 1.000

frekuensi 15.783 3 5.261 41.250 .000

Error 17.217 135 .128

Total 604.000 184

a R Squared = .971 (Adjusted R Squared = .961)

Post Hoc Tests pilihan Duncan

frekuensi N

Subset

1 2

<1 kali 46 1.26

1 kali 46 1.85

3 kali 46 1.96

2 kali 46 1.98

Sig. 1.000 .100

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .128. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.

Page 86: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 10. Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung Selama Periode 5

Tahun Terakhir di Bojonegoro

No Jenis Makanan Frekuensi Konsumsi Persentase dari 50

jarang Kadang-

kadang

sering Responden

(%)

n % n % n %

1. Tortilla 22 68.75 10 31.25 - - 64

2. Sereal sarapan

corn flakes

19 79.17 5 20.83 - - 48

3. Snack jagung

puff

19 63.33 8 26.67 3 10 60

4. Popcorn siap

makan

20 57.14 12 34.28 3 8.58 70

5. Popcorn siap

dimasak

21 84 4 16 - - 50

6. Keripik jagung 20 60.61 8 24.24 5 15.15 66

7. Snack marning

bulat dan pecah

21 55.26 13 34.21 4 10.53 76

8. Sup krim jagung 16 76.19 5 23.81 - - 42

9. Sup krim jagung

impor dalam

kaleng

19 82.61 3 13.04 1 4.35 46

10. Produk-produk

pangan

tradisional

17 51.51 11 33.33 5 15.15 66

Page 87: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 11. Frekuensi Konsumsi Makanan Berbasis Jagung Selama Periode 5

Tahun Terakhir di Bogor

No Jenis Makanan Frekuensi Konsumsi Persentase dari 50

jarang Kadang-

kadang

sering Responden

(%)

n % n % n %

1. Tortilla 19 54.28 15 42.86 1 2.86 70

2. Sereal sarapan

corn flakes

18 81.82 2 4.54 2 4.54 44

3. Snack jagung

puff

14 46.67 15 50 1 3.33 60

4. Popcorn siap

makan

16 55.17 13 44.83 - 58

5. Popcorn siap

dimasak

12 70.59 5 29.41 - 34

6. Keripik jagung 15 65.22 5 21.74 3 13.04 46

7. Snack marning

bulat dan pecah

17 73.91 5 21.74 1 4.35 46

8. Sup krim jagung 18 90 2 10 - 40

9. Sup krim jagung

impor dalam

kaleng

15 88.23 2 11.77 - 34

10. Produk-produk

pangan

tradisional

11 29.73 18 48.65 8 21.62 74

Page 88: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 12. Analisis SPSS Opini Responden Bojonegoro

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 403.087(a) 51 7.904 162.954 .000

RESPONDE .000 45 .000 .000 1.000

OPINI 27.420 5 5.484 113.068 .000

Error 10.913 225 4.850E-02

Total 414.000 276

a R Squared = .974 (Adjusted R Squared = .968)

Post Hoc Tests HASIL Duncan

OPINI N

Subset

1 2

distrb.promosi 46 1.00

kshtn 46 1.00

lain2 46 1.02

harga 46 1.04

kualitas&kuantitas 46 1.07

variasi 46 1.87

Sig. .212 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4.850E-02. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.

Page 89: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 13. Analisis SPSS Opini Responden Bogor

Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: HASIL

Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Model 395.478(a) 51 7.754 94.200 .000

RESPONDE .000 45 .000 .000 1.000

OPINI 19.812 5 3.962 48.134 .000

Error 18.522 225 8.232E-02

Total 414.000 276

a R Squared = .955 (Adjusted R Squared = .945)

Post Hoc Tests HASIL Duncan

OPINI N

Subset

1 2

lain2 46 1.00

kshtn 46 1.02

harga 46 1.04

kualitas&kuantitas 46 1.07

distrb.promosi 46 1.11

variasi 46 1.76

Sig. .108 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8.232E-02. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 46.000. b Alpha = .05.

Page 90: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 14. Analisis SPSS Korelasi Lokasi-Kesukaan

Case Process ing Summ ary

94 94.0% 6 6.0% 100 100.0%kesukaan * lokasi

N Percent N Percent N Percent

Valid Missing Total

Cases

kesukaan * lokas i Crosstabulation

Count

4 0 4

30 25 55

14 21 35

48 46 94

tidak suka

netral

suka

kesukaan

Total

Bjnegoro Bogor

lokasi

Total

Chi-Square Tes ts

5.815a 2 .055

7.367 2 .025

94

Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio

N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig.

(2-s ided)

2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The

minimum expected count is 1.96.

a.

Page 91: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 15. Analisis SPSS Korelasi Lokasi-Frekuensi

Case Process ing Summ ary

92 92.0% 8 8.0% 100 100.0%frekuensi * lokasi

N Percent N Percent N Percent

Valid Missing Total

Cases

frekuens i * lokas i Crosstabulation

Count

16 35 51

16 7 23

12 1 13

3 2 5

47 45 92

0

1

2

3

frekuensi

Total

Bjnegoro Bogor

lokas i

Total

Chi-Square Tes ts

20.074a 3 .000

21.998 3 .000

92

Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio

N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig.

(2-s ided)

2 cells (25.0%) have expected count less than 5. The

minimum expected count is 2.45.

a.

Page 92: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 16. Analisis Korelasi Frekuensi Konsumsi dan Porsi Konsumsi

Nonparametric Correlations

Correlations

frekuensi porsi

Spearman's rho frekuensi Correlation Coefficient 1.000 -.042

Sig. (2-tailed) . .693

N 92 92

porsi Correlation Coefficient -.042 1.000

Sig. (2-tailed) .693 .

N 92 93

Lampiran 17. Analisis Korelasi Kesukaan dan Frekuensi Konsumsi

Nonparametric Correlations

Correlations

kesukaan frekuensi

Spearman's rho kesukaan Correlation Coefficient 1.000 .031

Sig. (2-tailed) . .770

N 94 91

frekuensi Correlation Coefficient .031 1.000

Sig. (2-tailed) .770 .

N 91 92

Page 93: Aldilla Sari Utami_f2008

Lampiran 18. Hasil Analisis Aflatoksin Sampel Produk Jagung

No SAMPEL UJI KANDUNGAN

AFLATOKSIN (PPB)

KETERANGAN

B1 B2 G1 G2

I Tingkatan Petani

1. Jagung pipil 1 19.63 <3 <4 <3 Pemipil

2. Jagung pipil 2 0.00 <3 <4 <3 Petani

3. Jagung pipil 3 0.00 <3 <4 <3 Pengecer

4. Jagung pipil 4 11.98 <3 <4 <3 Penjual

5. Jagung pipil 5 <4 <3 <4 <3 Petani

6. Jagung pipil 6 <4 <3 <4 <3 Petani

II Tingkatan Bahan Baku/Bahan

Mentah

1. Menir Jagung 9.8 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro

2. Tepung Jagung 38.84 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro

3. Beras Jagung 29.65 <3 <4 <3 BPPT Bojonegoro

4. Nasi Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual

5. Maizena 1 <4 <3 <4 <3 Penjual

6. Baby corn <4 <3 <4 <3 Penjual

7. Maizena 2 <4 <3 <4 <3 Penjual

8. Maizena 3 7.92 <3 <4 <3 Penjual

9. Maizena 4 <4 <3 <4 <3 Penjual

III Tingkatan Produk Akhir

1. Marning Jagung 9.64 <3 <4 <3 Penjual

2. Keripik Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual

3. Emping Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual

4. Jagung Meksiko <4 <3 <4 <3 Penjual

5. Popcorn <4 <3 <4 <3 Penjual

6. Brondong Jagung 137.53 <3 <4 <3 Penjual

7. Corn Stick 0.00 <3 <4 <3 Penjual

8. Jagung puff 43.99 <3 <4 <3 Penjual

9. Grontol Jagung 4.99 <3 <4 <3 Penjual

10. Snack Jagung <4 <3 <4 <3 Penjual