akuntansi forensic dan dasar hukum
DESCRIPTION
Akuntansi Forensic dan dasar hukum matakuliah forensic and fraud examinationTRANSCRIPT
Abidah Ardiningsih
125020301111048
Fraud and forensic examination
Akuntansi Forensic dan Dasar Hukumnya
Bolgna dan Lindquist (2006) mendefinisikan akuntansi forensik sebagai aplikasi
dari keterampilan finansial dan investigatif mentalitas untuk memecahkan permasalahan
dari isu-isu, sesuai dengan konteks aturan dalam suatu upaya pembuktian. Menurut
Grippo dan Ibex (2003 dalam Singleton, 2006) mendefinisikan akuntansi forensik sebagai
ilmu pengetahuan yang berbeda dari audit tradisional tetapi bergabung dengan metode
audit dan prosedurnya untuk mengatasi permasalahan hukum. Sedangkan, menurut
Kumalahadi dari Ikatan Akuntan Indonesia (2009) akuntansi forensik merupakan
perpaduan antara accounting, auditing, dan kemampuan investigasi yang menghasilkan
kekhususan yang disebut forensic accounting. Dari beberapa pengertian dari ahli tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa akuntansi forensic merupakan ilmu yang mengatur dan
memberikan cara untuk memecahkan masalah financial dalam kaitannya dengan
penggelapan dan sebagainya yang buktinya akan digunakan untuk pembuktian dalam
bidang hukum.
Dasar hukum yang mendasari akuntansi forensic di Indonesia. Dasar hukum
pelaksanaan audit forensik ialah
1. Pasal 120 ayat (1) KUHAP. Dalam padal 120 ayat (1) ini disebutkan bahwa
jika dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus. Sehingga penyidik dibebaskan
untuk meminta pendapat darisumber-sumber yang dianggap diperlukan untuk
mendapatkan informasi dan bukti.
2. Pasal 159 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa menjadi saksi adalah satu
kewajiban setiap orang. Termasuk akuntan juga dapat menjadi saksi dalam
suatu kasus tindak pidana. Terutama menjadi saksi ahli dalam suatu kasus
finansial.
3. Pasal 187 butir c KUHAP, yaitu keterangan ahli termasuk bukti surat.
4. Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 24 Prp Th. 1960 berhubungan dengan
kewajiban memberi keterangan menurut pengetahuannya masing-masing
sebagai saksi, termasuk akuntan.
5. Pasal 274 ayat (1) dan (3) RIB mengatur mengenai orang-orang yang tidak
didengar sebagai saksi seperti keluarga sedarah, suami, dan isteri. Dalam
pasal ini akuntan jika merupakan saudara sedarah dengan tersangka tidak
diperkenankan untuk memberikan kesaksian serta bukti-bukti lain baik itu
yang mendukung maupun yang akan memberatkan tersangka dalam suatu
kasus tindak pidana.
6. Pasal 7 ayat (1) dan pasal 22 UU No.3/1971 berkaitan dengan kewajiban
memberi keterangan kepada penyidik dalam kapasitas sebagai saksi. Akuntan
dalam hal ini menjadi saksi ahli dan diwajibkan untukmemberikan
keterangan kepada penyidik mengenai apa yang diketahuinya. Namun
kadang kala, pembeberan sejumlah informasi dapat terbentur dengan kode
etik profesi sebagai seorang akuntan itu sendiri.
7. Tanggung jawab pidana umum beberapa pasal di KUHP: 209, 210, 418, 419,
420 (delik penyuapan), 415, 416, 417 (delik penggelapan), 423, 425 (delik
kerakusan), 387, 388, 435 (delik pemborongan, leveransir dan rekanan).
Masalah hukum di suatu negara mungkin berbeda dengan negara lain, terutama
mengenai hukum yang berhubungan dengan tindak pidana. Pelaku tindak pidana sesuai
KUHP diatur dalam pasal 55 dan 56. Dengan memperhatikan pasal tersebut diharapkan
auditor lebih berhati-hati. Pasal 39 ayat (2) Keppres No. 16/1994 dinyatakan: ‘Barang
siapa menandatangani dan atau mengesahkan suatu bukti yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk memperoleh hak dan atau pembayaran dari negara bertanggung jawab atas
kebenaran dan sahnya surat bukti surat tersebut.’ Ketentuan tersebut menjadi
bertentangan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan tanggung jawab renteng. Sebagai
contoh, ketika atasan menyuruh bawahannya bertindak menyalahi penggunaan anggaran,
maka orang pertama yang terlibat secara formal adalah orang yang menandatangani,
misalnya seorang petugas telah menandatangani berita acara penerimaan barang.