ajat syarif hidayatulloh1 i....
TRANSCRIPT
1
KONSEP REVOLUSI MENTAL PERSPEKTIF ISLAMIC VALUES
Ajat Syarif Hidayatulloh1
I. PENDAHULUAN
Revolusi Indonesia digagas pertama kali oleh presiden Soekarno; (founding
father)2 pada 1957.
3 Dimana kondisi rakyat sedang “mandeg” dan belum tercapainya
cita-cita kemerdekaan. Revolusi mental dikobarkan sebagai suatu gerakan untuk:
“Membimbing bangsa Indonesia agar menjadi manusia baru yang berhati putih,
berkemauan baja, bersemangat Elang Rajawali, berjiwa api yang menyala-
nyala.”4
Setelah tujuh dekade, revolusi mental kembali diiklankan Jokowi. Suatu jargon,
dan program unggulan5 kampanye pilpres 2014 guna menggaet massa, mendulang
suara. Tentu bukan sebatas ilusi, ada harapan besar dibalik keterpilihannya nanti.
Namun bukan sebatas spirit sosialisai, tentunya realisasi pada kehidupan berbangsa dan
bernegara harus jadi bukti bukan sekedar janji.6 Revolusi mental harus mampu menjadi
penawar luka, obat penyakit degradasi wibawa Negara, pil lesunya sendi perekonomian,
penyambung pudarnya solidaritas dan toleransi, serta pembangkit krisis kepribadian
bangsa.7 Agar revolusi mental sebagai pembaharuan tidak terpental, relevan dengan
cita-cita „trisaki‟ pelopor bangsa, demi kedaulatan NKRI, berdikari dalam ekonomi,
masyarakat berkepribadian8 budi tinggi, terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan,
serta bangsa yang bermartabat9 dan berperadaban. Maka dibutuhkan nilai agama, tradisi
kebudayaan dan nilai falsafah bangsa.
1 Peserta PKU Universitas Darussalam Gontor Angkatan XI. Utusan PPM Daarul Huda Banjar
Jawa Barat. Menamatkan Sekolah Tingkat MTS/MA di TMI Darusslam Garut 2002, Diploma „Aam di
LIPIA Jakarta 2007, S1 PBA di INISA Bekasi 2009, dan S2 PAI di IAID Ciamis 2015. 2 Founding Fathers (bapak Pendiri), umunya diberikan kepada 55 delegasi yang hadir dalam
penyusunan konstitusi AS dalam Konvensi Philadelfia pada Mei 1787. Roger, Scruton, Kamus Politik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 35. 3 Soekarno mengatakan, “…Bahwa revolusi adalah kebudayaan, sebagaimana halnya politik”.
Ucapan itu keluar dari mulutnya setelah beberapa seniman dan sastrawan (budayawan) menghadap
presiden di Istana pada 6 Maret 1957. Di awal tahun itu tepatnya 21 Februari 1957, Soekarno
melontarkan gagasan konsepsional yang kemudian disebut dengan “konsepsi Presiden Soekarno” atau
“konsepsi Presiden”. Lihat, Nurani Soyomukti, Soekarno: Visi kebudayaan & Revolusi Indonesia,
(Jogjakarta: Arruz Media, 2016), 147. 4 Soekarno, Soekarno, (Jakarta: Kompas Penerbit, 2013), 95.
5 E. Mulyasa, Revolusi Mental dalam Pendidikan, (Bandung: Rosda Karya, 2015), 1.
6 Janji politik berarti kata kolektif yang menunjukan pemikiran yang bertujuan untuk
mendapatkan kekuasaan. Pius A Partanto & M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya,
Alkola,t.t), 608. 7 Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan, Sosialisasi
Gerakan Nasional Revolusi Mental, Jakarta, 21 Agustus 2015 8Soekarno, Soekarno, 98.
9 E. Mulyasa, Revolusi Mental dalam Pendidikan, 1.
2
Integritas, etos kerja dan gotong royong,10
merupakan gagasan Jokowi beserta
tim-nya meski berpedoman. Pelaksanaannya tidak berbentur dan berlari dari pancasila11
dan UUD 45 landasan negara. Sulit kiranya mencapai keberhasilan jika tidak memiliki
landasan teologis yang jelas, bebas nilai, serta adanya ketidakserasian misi pejabat
(hulu) penerima amanah, dan rakyat (hilir) pemberi amanah.12
Krisis multi dimensi,
korupsi, kolusi dan nepotisme, intoleransi SARA, pudarnya nasionalisme, maraknya
perjudian, narkotika, free sex, merupakan PR rusaknya mental bangsa yang harus
diselesaikan bersama. Disinilah perlunya pendidikan mental yang bernilai. Pendidikan
yang mampu melahirkan manusia sadar sebagai individu, sebagai sosial dan makhluk
tuhan.
Menyadari bahwa bangsa adalah kumpulan dari manusia, imaji, wilayah dan tata
nilai (values) yang beragam dan plural. Sedangkan mental adalah identitas sebuah
bangsa. Maka mental harus menjadi pondasi nilai pokok dalam membangun peradaban
suatu bangsa. Mental yang terlahir dari sucinya pikiran (aql), bersihnya hati (qalb), dan
beningnya jiwa (nafs). Sebab maju dan terbelakangnya suatu bangsa ditentukan oleh
nilai-nilai dan mental penduduk-nya. Sebagaimana dikatakan Ahmad Syauqi dalam
syauqiyat-nya.13
Mental yang dimaksud dalam Islam adalah akhlak. Untuk menjadi seseorang
berakhlak diperlukan proses agar menjadi manusia paripurna, proses itu pendidikan
namanya. Pendidikan yang mampu mencetak individu berakhlak mulia (good
character). Shalih secara individu, shalih sosial. Oleh karena itu, M. Nurdin,
menyatakan bahwa pendidikan tidak dapat dipegang sembarang orang, pendidikan harus
dipegang orang yang memiliki keahlian dan kecakapan.14
Hal itu disebabkan pendidikan
bersifat irreversible (tidak dapat didaur ulang). Artinya, bila dalam proses pendidikan
mental itu terjadi salah asuh, maka selamanya terjadi salah asuh.15
Dahulu orang yang memiliki keahlian dalam merevolusi akhlak itu Muhammad
Rasululloh Saw, menyempurnakan akhlak dan seruan pada tauhid merupakan misi
risalahnya. Petunjuk Al-Qur‟an dan wahyu dijadikan pijakannya, dakwahnya
terprogram, dari teologis ke sosial tujuan revolusinya, dari individu ke masyarakat
dimulai pergerakannya, dan para sahabat sebagai kader militannya. Revolusi yang
10
Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Panduan Umum
Gerakan Nasional Revolusi Mental, 2014, 5-6. 11
Secara struktur Pancasila memiliki dimensi idealis, fleksibelitas dan realitas. Dimensi idealis
berarti idealisme yang mewujud dalam prilaku, sikap dan kebiasaan hidup sehari-hari. Dimensi
fleksibelitas berarti ada fleksibelitas dalam hidup tanpa kehilangan hakikat dan nilai-nilai dasar. Dimensi
realitas berarti nilai-nilai yang mewujud dalam konteks legislasi, penegakan hukum, penganggaran,
kebijakan program dan kegiatan monitoring dan evaluasi serta kehidupan sehari-hari, berupa prilaku,
sikap dan kebiasaan. Lihat. Al Khanif, Pancasila Sebagai Realitas, Percik Pemikiran Tentang Pancasila
& Isu-Isu Kontempoler di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 279-280. 12
Jiwa Atmaja, Wahana, Semiotika Revolusi Mental, No. 91 Th. XXXI Mei 2015 :lihat, Ahmad Syauqi, Syauqiyat Juz 1, (Kairo إنما األمم األخالق ما بقيت فإن همو ذهبت أخالقهم ذهبوا 13
Dar Kutub al-Ilmiyah, 1946), 224. 14
M. Nurdin, Pendidikan yang Menyebalkan, (Jogjakarta: Arruz Media, 2005), h. 78. 15
Ibid, h. 77.
3
diajarkan berupa internalisasi wahyu yaitu nilai-nilai Qur‟ani dan petunjuk Nabi (hadiṡ),
sehingga terhimpun manusia berakhlak karimah, masyarakat madani yang berkemajuan
dan berperadaban. Makalah ini ditulis untuk membahas konsep revolusi mental
perspektif Islam sebagai perbandingan atas revolusi mental pemerintah saat ini.
II. PEMBAHASAN
A. Definisi Konsep, Revolusi, Mental, dan Islamic Values
Konsep ialah ide yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret, gambaran dari
objek, proses, atau apapun yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal
lain.16
A.S. Hornby juga menyebutkan, concept is an idea or a principle relating to
abstract.17
Menurut Pius, Konsep ialah ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan,
dan rencana dasar.18
Sedangkan dalam bahasa Arab konsep disebut, fikrah
(gagasan/rencana), al-ṣurah al-żihniyah li Amrin Mā (gambaran pemikiran pada
berbagai persoalan).19
Jadi yang dimaksud konsep adalah pemikiran mendasar pada
suatu permasalahan yang harus dipikirkan, dianalisa, dipahami secara objektif untuk
mendaptkan solusi.
Revolusi mental secara etimologi terdiri dari dua kata “revolusi dan mental”
yang berlainan makna. Dalam bahasa Arab disebut al-ṡarwah, wa al-inqilabu wa al-
hayaju, 20
al-ṡauru wa ẓuḥuru al-dam (perubahan radikal yang menyebabkan
pertumpahan darah), dan al-waṡbu (loncatan),21
yang terjadi apabila terdapat
penyebab.22
Rohi Balbaki mengartikan „ṡarwah‟ dengan revolution, sehingga dari
struktur bahasa terdapat titik temu Arab-Inggris.23
Kata „revolusi‟ dalam Kamus Umum
Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris,24
juga ditemukan kemiripan arti, yaitu: (1).
Perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan
kekerasan, (pemberontakan bersenjata); dan, (2). (ber-evolusi) mengadakan
pemberontakan untuk mengubah ketatanegaraan (pemerintah atau keadaan sosial).25
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2013), 725. 17
A.S Hornby, oxford Advanced leaner‟s Dictionary of Current English, (Berlin: Oxford
University Fress, 1995), 236. 18
Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arkola,
2001), 362. 19
-lihat, Ibrahim Musthafa, dkk, Al-Mu‟jam al-Wasiṭ, (Turkey: Al اىفنشح، اىصسح اىزخ ألش ب
Maktabah al-Islamiyah, 1380 H/1960 M), 698. 20
:lihat, A.W. Munawwir & Ahmad Fairuz, Kamus Al-Munawir, (Surabaya اىثشح، االقالة اىبج
Penerbit Pustaka Progresif, 2007), 727. 21
-Majduddin Muhammad bin Ya‟qub al اىثس اىجب، اىثت، اىغطع ض اىقطب اىجشاد، ظس اىذ
faeruz Abadi, Al-Kamus al-Muhiṭ, (Libanon: Beirut, Darul Ma‟rifah, 2009), 184 22
Revolution (n) …can bring about such disharmony as would cause revolutions. قذ جذ ... بفشا
:lihat, Magdi Wahba & Wagdi Ghali, A Dictionary Of Modern Political Idiom, (Beirut. غجت اىثساد
Maktabah Libanon, 1999), 511. 23
Rohi Baalbaki, Al-Mawrid, (Beirut, Lebanon: Dar el-ilm Lilmalayin, 1996), 404. 24
Revolution/n 1 an attempt to change the system of government, esp by force. 2 a complete or
dramatic change. 3 a movement in circle round a point, esp of one planet round another. Lihat; A S
horrnby, xford Advance Leaners Dictionary, (Oxfort University Press, 1995), 1008. 25
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), 975.
4
Menurut Amin Rais, revolusi adalah perubahan radikal yang menyangkut
pemerintahan dan masyarakat suatu Negara dengan kekerasan disebabkan tidak
berjalannya sistem pemerintahan.26
Pendapat itu senada dengan pandangan Islam klasik
yang memaknai revolusi sebagai (1). Fitnah (godaan, hasutan); (2). Ma‟siyah
(ketidakpatuhan, pembangkangan, perlawanan); dan (3). Riddah (berpaling). Islam
klasik melihat „revolusi‟ identik dengan gerakan untuk menggulingkan tatanan
kehidupan orang beriman, kekerasan, intimidasi, krimininalisasi dan diskriminasi
perjuangan Islam. Revolusi juga selalu terkait gagasan perubahan total, pembaharuan,
diskontinuitas yang erat hubungannya dengan transformasi sosial budaya.27
Oleh karena
itu, revolusi bisa saja terjadi karena adanya pengaruh sosial dan budaya bangsa lain.
Sehingga revolusi dapat diartikan sebagai perubahan individu, sosial masyarakat,
Negara dan ketatanegaraan secara otomatis berbasis pada kesadaran atau perubahan
karena adanya pengaruh atau paksaan.
Mental secara etimologi diartikan dengan kejiwaan; rohani, batin; mengenai
pikiran; dan keadaan batin.28
Dalam bahasa Arab29
disebut, Sajiyyah (tabi‟at), Khulq
(akhlak), Nafs (jiwa), Ikhtibar ruhiyah (latihan kerohanian), dan Tahdzib an-Nafs
(perbaikan jiwa). Sifat-sifat tersebut, memiliki tujuan akhir (gardu al-aqsha) yaitu
memperbaiki perilaku manusia lahir dan batin.30
Menurut Moeljono „mental‟ berasal
dari bahasa Yunani, yaitu, „psyche‟, (psikis), jiwa atau kejiwaan.31
Namun menurut
Kartini dan Jenny, mental diambil dari bahasa Latin, yaitu mens atau metis yang berarti
jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat.32
Walau berbeda pendapat tetapi dari keduanya
memiliki kesamaan makna yaitu jiwa. Dalam bahasa inggris mental di artikan way of
thingking (berfikir solutif),33
dan revering to the mind (sesuatu yang berhubungan
dengan pikiran).34
Syed Muhammad Naquib al-Attas menyamakan mental dengan jiwa.
Asal kata „Jiwa‟ dalam bahasa Indonesia adalah jiva dari bahasa sangsakerta artinya
benih kehidupan,35
adapun mental image adalah gambaran kejiwaan.36
Pendapat al-
Attas relevan dengan istilah psikologi, yaitu (mental) menyinggung masalah pikiran,
26
M. Amin Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1996), 141. 27
S.N. Eisendat, dalam L. Santoso, Revolusi dan Transformasi Masyarakat (Jakarta: Rajawali
1986), 5. 28
Burhani MS – Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, (Jombang: Lintas Media, tt), 392. 29
-lihat, A.W. Munawwir & Ahmad Fairuz, Kamus Al عجخ، خيق، رزت اىفظ، اخزجبس سحخ ا فغخ
Munawwir, 568 30
Mu‟jam al Wasit. Teks aslinya adalah: :اإلغب جغ عجبد عجبب: طجؼخ ، خيق ، صفخ فطشخ ف عجخ
kalimat itu seperti dalam Q.S. ad-Dhuha: 2, حى اىيو إرا ؛ ؼب عن دا عجب اىض atau seperti dalam salah
satu perkataan ulama را اىزي رشضى عجبب ميب ... مفى اىشء جال أ رؼذ ؼبج sajiyyah berarti watak atau
mental. 31
Moeljono Notosoedirjo, Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan, (Malang: Universitas
Muhammadiyah, 2001), 21. 32
Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam,
(Bandung: Mandar Maju, 1989), 3. 33
J.M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Indonesia - Inggris, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama 2010), 370. 34
James Draver, A Dictionary of Psychology, (New York: Pengin Books, t.t.), 169. 35
Syahrul Akmal Latif & Alfin el Fikri, Super Spiritual Quotient (SSQ), Sosiologi Berpikir
Qur‟ani dan Revolusi Mental. (Jakarta: Kompas Gramedi, 2017), 133. 36
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003),
149.
5
akal, ingatan atau proses-proses yang berasosiasi dengan pikiran, perbuatan, kesigapan,
sikap, impuls, dan intelektual.37
Dengan demikian mental dapat diartikan sebagai pola
pikir, jiwa, kebiasaan, keperibadian, dan sikap seseorang yang mempengaruhi perilaku
individu dimana mental (akhlak) sebagai barometernya.38
Perilaku individu Muslim, disebut Abdul Mujid dengan kepribadian Islam
(syahshiyat) artinya fitrah. Yaitu struktur kepribadian utuh yang mencakup dimensi-
dimensi ragawi (biologis), kejiwaan (psikologi), lingkungan (sosio-multikultural) dan
ruhani (spiritual).39
Dalam leksikologi al-Qur‟an disebut al-nafsiyat, dan dalam ilmu
akhlak disebut al-khulq, al-huwiyat, dan al-żatiyat.40
Jauh sebelum Abdul Mujid, Al-
Gahzali telah berpendapat, bahwa manusia memiliki citra lahiriyah (khalq), dan citra
bathiniyah (khulq). Al-Ghazali mendefinisikan khulq suatu kondisi (hai‟at) dalam jiwa
(nafs) yang suci (rasikhat), yang melahirkan aktivitas spontan tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan.41
Sedangkan menurut Miskawih, khulq ialah suatu kondisi
(hal) jiwa (nafs) yang menghasilkan aktivitas tanpa berpikir terlebih dahulu.42
Dari beberapa definisi di atas disimpulkan bahwa; pertama, revolusi mental
adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat dan Negara menyangkut pola pikir
(mindset), sikap dan kepribadian (akhlak) dalam tempo singkat.43
Kedua, revolusi
mental merupakan sebuah gerakan ke dalam, untuk memperbaiki sikap diri sebagai
individu, mengevaluasi sistem yang rusak karena korup, ketidakadilan, dan
bertentangan dengan tujuan pendidikan.44
Ketiga, revolusi mental sebagaimana
disampaikan Jokowi, adalah “gerakan nasional untuk mengubah cara pandang, pola
pikir, sikap-sikap, nilai-nilai, dan prilaku bangsa Indonesia yang berdaulat, berdikari
dan berkepribadian.”45
Adapun maksud value: nilai, atau harga, ialah hal penting atau berguna bagi
kemanusiaan. 46
Pandangan Fraenkel dalam H.M. Muslih, menyebutkan, nilai
merupakan standar tingkah laku, keindahan, kebenaran, dan efisiensi yang mengikat
37
J.P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, ( Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2004), 297 38
Zakiyah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1990), 16. 39
Abdul Mujib, Fitrah dan kepribadian Islam (Jakarta, Darul falah, 1999), 126, 40
Al-Farabi, al-Musu‟at al-Falsafat al-Arabiyat, (Arab: Inma al-A‟rab, 1986) Jilid I, 821. 41
Imam Al-Ghazali, Iḥya‟ Ulumuddin Juz III, (Beirut: Dar Iḥya al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), 58.
Teks aslinya sebagai berikut:
غش حبجخ إىى خ ػقال ششػباىخيق ػجبسح ػ ئخ فى اىفظ سا عخخ ػب رصذس االفؼبه ثغىخ غش غش حبجخ إىى فنش س
فنش سخ42
Ibn Miskawih, Tahẓib Akhlak wa Taṭwir al-Araq (Mesir, al-Mathba‟ah al-Miṣryah 1934), 1.
Naṣ-nya adalah:
حبه ىيفظ داػخ ىب اىى أفؼبىب غش فنش ال سخ43
Seto Mulyadi, dkk, Psikologi Pendidikan, (Depok: Raja Grapindo, 2016), 174. 44
Ikhsan, Amri. 2014. Mengkonstruksi Revolusi Mental dalam Pen-didikan. Jambi:
jambiekspres. http://www.jambiekspres.co.id/berita-19248-mengkonstruksi-revolusi-mental-dalam-
pendidikan.html 45
Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia,
Panduan Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental, 5. 46
S. Wojowasito, WJS. Poerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia, (Bandung: Penerbit
Hasta, 2007), 267.
6
manusia dari kepatutan.47
Secara umum, nilai bisa bersifat kemanusian (insaniyah), bisa
bernilai ketuhanan (ilahiyah).48
Sedangkan standar nilai dan alat ukur adalah agama,
karena inti dan misi agama adalah menilai,49
yaitu memberikan penilaian secara
universal kepada pengikutnya. Jika istimewa di puja karena berharga, jelek dihina
karena biasa atau kurang layak. Jika berhasil membawa semangat, jika gagal memberi
kesal. Itulah istimewanya nilai.
B. Pondasi Revolusi Mental
Di antara tujuan revolusi Soekarno adalah pendidikan roh untuk manusia yang
berhati putih dan berkepribadian. Soekarno berkata: “Tiada satu rakjat jang dapat
diperbudak, djikalau roch-nja tidak mau diperbudak. Tiada satu rakjat jang tidak menjadi
merdeka, djikalau roch-nya mau merdeka…sebaliknya tiada satu rakjat jang dapat
menggugurkan beban nasib untuk merdeka, djikalau roch-nja masih mau memikul beban itu”.50
Soekarno dalam hal ini memberikan perhatian khusus terhadap pentingga
pendidikan roh, sehingga menurutnya pergerakan apapun akan tumbuh jika rohnya
sudah terbangun. Sedangkan revolusi mental Joko Widodo, berorientasi pada neo-
nation building atau human oriented development dan people centered development
yang bertolak ukur pada kesesuaian budaya Nusantara.51
Jika itu yang tercipta, maka
hanya akan membangun unsur fisik saja, sedangkan nilai manusianya belum terbentuk.
Dalam hal inilah agama berperan mewarnai pembentukan nilai manusia sehingga agama
dan Negara tidak bisa dipisahkan.
Azyumardi Azra menuturkan: hubungan Islam dan Negara Modern secara
teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga paradigma: integralistik, simbiotik dan
sekularistik.52
Indonesia mempraktekkan pada katagori urutan dua, karena adanya nilai
pancasila “ketuhanan yang maha esa” sebagai pijakan sila-sila berikutnya, dan selaras
dengan lintas sejarah Nusantara yang menjadikan agama tidak sekedar urusan privat
(personal) namun termasuk urusan publik (sosial).53
Pondasi yang harus dipersiapkan dalam revolusi mental adalah ajaran agama
Allah secara utuh, yaitu: Iman, Islam dan ihsan.54
Ketiga asas tersebut merupakan
integrasi ajaran Islam yang meliputi keilmuan syariat, adab, kelembutan, ibadah
47
H.M. Muslich & H. Adnan Qohar, Nilai Universal Agama-agama di Indonesia (menuju
Indonesia Damai (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 121. 48
Ibid, 122. 49
Ibid, 111. 50
Soekarno, Soekarno, 93. 51
M. Yudhie Harono, Rahmi Fitriyanti, Membumikan Revolusi Mental dan Nawacita, (Jakarta:
Penerbit Kalam Bekerjasama Kementrian Dalam Negeri Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, 2017),
5. 52
Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Jakarta:
Indonesian center for civic education (ICCE), 2013), 133-134) 53
Yudi latif, Negara Parifurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta:
Kompas Gramedia, 2012), 56. 54
Hafidz bin Ahmad Ali Hukmi, Mukhtaṣar Ma‟arijul Qabul, (Kairo: Darus Shafwah, 2006),
309.
7
ẓahiriyah dan ibadah baṭiniyah.55
Ihsan merupakan level tertinggi dalam beragama,
karena cakupannya iman dan Islam.56
Sebagai out put perubahan mental yang
menyangkut kejiwaan, roh, spiritual dan nilai-nilai (vested interest) dapat merubah
seseorang atau kelompok dalam sebuah ruang lingkup kecil atau bahkan dalam sebuah
Negara,57
Abdul Aziz Al-Jabrin membagi asas syari‟at Nabi Muhammad Saw, kedalam
I‟tiqadiyat dan Ibadat.58
Pertama, aqidah (I‟tiqadiyat) yaitu keyakinan pada rukun iman
yang lataknya di hati, dan tidak ada kaitannya dengan perbuatan. Hanya saja kebaikan
yang dihasilkan dari perbuatan tidak bernilai jika tidak beriman.59
Iman melahirkan
mawas diri dan luhurnya kesadaran serta menghantarkan pada rasa di awasi Allah yang
sangat ketat (muraqabatullah). Sehingga semakin kuat imannya semakin semakin kuat
mawas dirinya, maka budi pekertinya semakin halus,60
menjaga untuk berdusta, menipu,
berlaku curang, menjerumuskan, bermuka dua, dan berbuat dzalim. Sebaliknya,
semakin lemah imannya semakin lemah pula rasa mawas dirinya, sehingga
membawanya pada kebobrokan akhlak, mengumbar janji, kurang peduli terhadap
sesama, kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri atau golongannya, serakah,
memperturutkan hawa nafsu dan dekatnya dengan kemaksiatan. Dari itulah iman
dinamakan pokok atau asas. Sedangkan yang kedua perbuatan (amaliyat) yaitu cara-
cara amal atau ibadah seperti shalat, zakat, kegiatan sosial, politik, ekonomi, dan
seluruh bentuk ibadah disebut cabang (furu). Jika baik mu‟amalah terhadap Allah, Maka
Allah perbaiki muamalah kita dengan sesama makhluknya.61
Pondasi selanjutnya dalam mewujudkan revolusi mental yang bernilai ialah,
perubahan ke dalam jiwa individu pada beberapa dimensi: pertama, perubahan fitrah
fisik disebut fitrah jismiyah (jasadiyah), kedua, perubahan fitrah psikis (fitrah
ruhaniah), dan ketiga, perubahan fitrah psikofisik (fitrah nafsaniyah),62
yang meliputi:
a). Akal, b). Qalb (hati) dan, c). Nafs. 63
Fitrah nafsaniyah atau dalam bahasa al-attas
disebut dengan jiwa manusia merupakan realitas tunggal dengan empat keadaan
(ahwal/modes) yang berbeda, seperti intelek (aql), jiwa (nafs/soul), hati (heart), dan ruh
(spirit) yang masing-masing terlibat dalam kegiatan yang bersipat kognitif, empiris,
55
Tiga asas tersebut tercatat dalam hadis Jibril Alaihi Salam tentang Iman, Islam, Ihsan dan
Asyrath As-Sa‟ah dalam hadis arbain an-Nawawiyah hadis ke-2. Lihat, Nadzim Muhammad Sulthan,
Qawaid wa Fawaid Min al-Arba‟īn, (Riyadh: Darul Hijrah, 2000), 37. 56 Naẓim Muhammad Sulṭan, Qawaid wa Fawaid Min al-Arbain, 39. Lihat pula, Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, Sharh al-Arba‟īn an-Nawāwiyah, (Riyad: Dar ṡaraya, 2009), 61. 57
Reni Susanti dan Deswita, Revolusi Mental dalam Pandangan Akhlak, Baleje: Jurnal
Pendidikan Islam, vol 1, no. 01, 2016 STAIN Curup-Bengkulu, 3. 58
Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin, Tahżib Tashil al-Aqidah al-Islamiyah, (Riyad: Maktabah
Malik Fahd al-Waṭaniyah Aṡna‟a an-Naṣr, 1425), 1. 59
Q.S. al-Furqan: 23, Q.S. Az-Zumar: 65. 60
Musthafa Adawi, Fikih Akhlak, (Jakarta Timur: Qisthi Press, 2009), 326. 61
Mushtafa Adawi, Fiqhul Akhlak, (Jeddah: Dar Majid Usairi Lin Nasri wat-Tauzi, 1997), 53. 62
Abdul Mujib, Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi, (Jakarta: Darul
falah, 1999), 39. 63
Abdul Mujib, Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi, 39.
8
intuitif, dan spiritual.64
Unsur-unsur itulah yang kemudian membentuk mental (fitrah)
keperibadian sesorang menjadi akhlak.
Dari revolusi akhlak inilah seharusnya pemerintah membangun kepribadian
bangsa. Islam dengan totalitas ajarannya menawarkan konsep pembinaan akhlak yang
tidak sekedar membina perkara dianggap sepele, tetapi Islam mengatur urusan yang
berkenaan dengan manusia terhadap tuhannya, dengan dirinya, dengan masyarakat
sekitarnya, yang seluruhnya bertujuan menjadikan manusia berkompeten, dan
profesional, untuk mengangkat tarap hidupnya dan masyarakatnya.65
Perubahan yang
dimulai dari komponen inti manusia, yaitu: akal, hati dan jiwa. Sebab jika ketiga unsur
itu baik maka baik pula kepribadian manusia. Jika buruk, buruk pula kepribadiannya.
Pertama, merevolusi pola pikir. Mesin berfikir adalah akal (cognitive process).
secara etimologi, bisa dikatakan sebagai cahaya ruhani untuk menerima ilmu dzaruri
dan nadzari, yang membedakan baik dan buruk, sempurna atau kurang.66
Menurut Ibnu
Zakariya, semua kata yang memiliki akar kata „ain, qaf, lam memiliki arti kemampuan
mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan.67
Sedangkan
menurut Abdul Aziz al-Umairi akal ialah: ketajaman pengetahuan seseorang dalam
menganalisa suatu perkara, pembeda yang cerdas dengan lebih cerdas, akal pula
merupakan bagian dalam manusia yang tidak diketahui bentuknya tetapi terlihat hasil
analisanya.68
Menurut Victor Said Basil dalam Abdul Mujib menyatakan bahwa aktivitas akal
al-nazhar (melihat dengan memperhatikan), al-tadabbur (memperhatikan secara
seksama), al-ta‟ammul (merenungkan), al-istibshar (melihat dengan mata batin), al-
I‟tibar (menginterpretasikan), al-tafkir (memikirkan), dan al-tażakkur (mengingat).69
Menurut Bambang Prakuso, sebuah negara menjadi adi daya, disiplin, makmur,
memiliki budaya malu, melayani dll terbukti adalah karena pola pikir mereka.70
Dalam
al-Qur‟an banyak disiggung tentang pentingnya akal sebagai alat untuk memahami
keimanan. Term yang digunakan kerap kali memakai kata ta‟qilun, tatafakkarun.
Tandzurun, tubshirun dll. Seperti, termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 73.
“La‟allakum ta‟qilūn” artinya “la‟allakum tatadabbarūn” Secara khusus ayat ini
memantik keinginan manusia untuk berfikir, dan bermeditasi.71
Dengan memanfaatkan
64
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003),
297. 65
Muhammad Ali Al-Hasyimi, Syakhshiyatul Muslim Kama Yashuguha al-Islam fi al-Kitab wa
as-Sunnah, (Riyadh: Darul Basyair al-Islamiyah: 1401), 8. 66
Fairuzi Abadi, Kamus al-Muhiṭ, 1033-2034. 67
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Mu‟jam al-Maqayis fi al-Luġah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1994), 672. 68 Abdul Aziz al-Umairy, Maratib al-Aql Wa ad-Din, (Tt. Thaba‟ah Mushahah, 2009), 11. 69
Abdul Mujib, Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi, 69. 70
Bambang Prakuso, Revolusi Mental Berbasis Mind Power, (Jakarta Pusat: Al-Fateta
Indonesia, t.t), 12. 71
Abi Bakr al-Suyuti, Tafsir Jalain, (Kairo: Dar al Hadis), Maktabah al syamilah.
9
akal maka tumbuhlah kesadaran beragama, kemampuan membedakan hak dan bathil,72
beramal dengan dasar ilmu, dan ilmu yang menjadi dasar amal, hingga berfikir menjadi
sarana pintu petunjuk masuknya iman.73
Akal orang beriman akal yang sadar.74
Sehingga ada kemampuan menjadi pribadi
cerdas, kreatif, inovatif, produktif, kritis, reflektif, dll. Maka benarlah sanjungan tinggi
dan kedudukan terpuji bagi kaum intelektual yang mempergunakan akalnya seperti
dalam Q.S. Al-Mujadalah: 11, dan sebaliknya taḥqīr (hinaan) bagi kaum amnesia ilmu
dan mengotori akalnya. Memperkeruh akal dengan pemikiran dapat menyebabkan hati
membeku dan menjadi mati, kotor dan gelapnya hati dapat memudahkan terperdayanya
hawa nafsu dan terjatuh pada kemaksiatan, keserakahan dan kedzaliman.75
Kedua, merevolusi hati (affective process). Hati atau qalb berasal dari kata
qalaba (قيت) atau kalbu yang berarti berubah, berpindah, atau berbalik. Sedangkan kata
qalb itu sendiri berarti hati atau jantung.76
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah
bermakna hati yaitu; al-qalb, al-fuad (af-idah), dan as-Ṣudur. Di antara pungsi hati
adalah: pertama, menerima kesaksian Allah sebagai Tuhan, (al-a‟raf: 182). Kedua,
sebagai wasilah mendapat ma‟rifah, (Q.s.al-Hajj: 46). Ketiga, tempat bersemayamnya
iman, Q.S. Al hajj: 32. Dan empat, sumber kebaikan dan keburukan pribadi seseorang.
Seperti itu pulalah Rasul menyampaikan bahwa hati adalah sentral baik, buruknya
perbuatan seseorang.77
Imam al-Ghazali melihat hati dalam dua aspek, 78
aspek jasadi (fisik), yaitu
daging sanubari berbentuk seperti jantung pisang terletak dalam dada sebelah kiri
(kalbu Jasmani). Dan kalbu ruhani (psikofisik), sesuatu yang bersifat halus (latif)
rabbani ruhani.79
Al-qasthalani menyebut hati karena seringnya berbalik pada berbagai
urusan. Dari itulah hati diumpamakan pemimpin, jika pemimpin baik baik pula
rakyatnya, jika pemimpin buruk, buruk pulalah rakyatnya, maka dari itu setiap orang
dituntut untuk menjaga dan mensucikan hatinya.80
Manakala seseorang tidak merasakan
72
Fathi Yakan, Sifat dan Sikap Seorang Muslim Menyongsong Kebangkitan Dunia Muslim,
(Surabaya: Pt. Bina Ilmu, 1982), 36. 73
Bakar Musa, Kebebasan Dalam Islam, (Tegal Arum: Pt. Alma‟afif, 1988), 143. 74
Fathi Yakan, Komitmen Muslim Sejati, (Solo: Era Intermedia, 2003), 71 75
Fathi Yakan, Sifat dan Sikap Seorang Muslim Menyongsong Kebangkitan Dunia Muslim, 37. 76
Al-Raghib al-Asfahani, Mu‟jam Mufradat Al-faẓ al-Qur‟an al-Karim, (Beirut: Dar al-
Maktabah al-„Ilmiyyah, 1998), 426. 77
Bukhori (), Muslim, 107 (1599), al-Jami‟ al-Ṣahih li al-Sunan wa al-Masanid, Maktabah
al-Shamilah. 78
Abu Hamid al-Ghazali,Ihya Ulumuddin, (Beirut: Dar al-fikr, tt), Juz III, 4-5. 79
Rabbani berarti sesuatu yang berhubungan dengan sifat ilahiyah (berasal dari kata rabb),
sedangkan ruhani ialah yang berkaitan dengan ruh, lihat, al-Ghazli, trj, Keajaiban-Keajaiban Hati,
(Bandung: Karisma, 2000), 26. 80
Abdul Malik al-Qasthalani al-Qutaibi al-Mishri, Irshadu al-Sāri Li Sharhi Shahih al-Bukhori,
(Mesir: Mathba‟ah Kubra al-Amiriyah, 1323) Juz, x, Maktabah al-Syamilah. Teks aslinya sebagai
berikut: ف األ اىقيت قيجب ىزقيج ش اى ع أ خص اىقيت ثزىل أل ء قيج , خبىص مو ش ب ف اىجذ، خبىص أل ػخ، س، أ اىش ش رصي األ ثصال جذ،
ا قذس اىقيت، ج ػيى رؼظ ر ف رفغذ , ثفغبد ج هللا ف اىزي سم اىف زؼيق ث شاد: اى اى اىؼقو ف .ىحث ػيى صالح، ػيى أ غزذه ث اىقيت،
10
kenistaan, kekosongan, dan kemaksiatan itulah kotornya hati.81
Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hati adalah penggerak, ia akan menuntun kebaikan manakala ia jernih,
ia pula akan menggusur pada kehancuran jika hatinya kotor, sehingga model terbaik
mengendalikan hati adalah berjalan berseberangan dengan keinginan hawa nafsu,82
Q.S.
An-Nazi‟at 40-41. Out put dari affective process adalah lahirnya manusia baik, beriman
dan bertakwa, berakhlak mulia, jujur, amanah, tanggung jawab, dll.
Ketiga, revolusi nafsu, nafsu ialah daya-daya nafsani yang memiliki dua
kekuatan, yakni kekuatan al-ġaḍabiyat dan al-shahwaniyat. Al-ġaḍab dalam
terminologi psiko-analisa disebut defense (pertahanan, pembelaan, dan penjagaan),
yaitu tingkah laku yang diusahakan secara rasional untuk membela atau melindungi ego
dari kesalahan, kecemasan, dan rasa malu dengan tujuan melindungi diri. Al-syahwat
(appetite) atau fitrah hayawaniyah yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu),
berdasarkan perubahan keadaan fisiologi.83
Jika merujuk pada al-Qur‟an kata “nafs” menunjuk kepada diri (self). Yakni kata
umum yang meliputi seluruh motivasi dan aktivitas manusia baik pemikiran atau
pemahaman secara keseluruhan. Nafs memiliki banyak varian, yaitu: ammarah,
lawwamah, mulhamah, muthmainnah, raḍiayah, marḍiyah, kamilah.84
Menurut Bakar
Musa, nafsu adalah segi yang jahat dari diri manusia. Yaitu segi yang bertentangan
dengan nurani, pikiran maupun naluri manusia seperti: egois, angkuh, munafik, makar,
khianat, dendam, dengki, menyukai syahwat, dan lain-lain.85
Menurut al-Ghazali
penyembuhan penyakit jiwa ini haruslah dimulai dengan proses pembersihan
(takhliyah) dari sifat-sifat tercela, dikiuti dengan dengan proses menghiasi (tahliyah)
dengan sifat-sifat terpuji, yang apat di proses dengan mujahadah.86
Fathi Yakan menyebutkan, bahwa ada tiga87
karakter manusia dalam memerangi
hawa nafsu; pertama, golongan yang dapat dikuasai oleh nafsunya, hingga ia tertancap
di bumi dan berbekal hidup dengan dunia, (Q.S. Al-Jatsiayah: 23). Kedua, golongan
yang senantiasa berjuang memerangi dengan gigih, tetapi kadang-kadang ia mengalami
kemenangan kadang mengalami kekalahan, (Q.S. Ali Imran: 135) seperti dalam hadis
Nabi Saw, setiap anak adam berbuat salah dan sebaik-baik kesalahan yang diikuti
dengan pertaubata.88
Ketiga, golongnan yang berhasil menolak segala kejahatan, keji
dan dosa-dosa karena mereka selalu menang dalam pertempuran melawan hawa nafsu.
81
Muhammad Isa Selamat, Penawar Jiwa & Pikiran, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 45. 82
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi al-Damasqi, Mauiẓah al-Mu‟minin Min Ihya Ulumiddin,
(Jakarta: Dar al-Kutub Al-Islamiyah, 2005), juz 2, 4. 83
Abdul Mujib, Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi, 70 84
Hasan langgulung, Asas-Asa pendidikan, (Jakarta: Pt. Al Husna, 2003), 267. 85
Bakar Musa, Kebebasan Dalam Islam, (Tegal Arum: Pt. Alma‟arif, 1988), 96. 86
Lihat, Ihya Ulumuddin. (Hasan langgulung, Asas-Asa pendidikan, Jakarta: Pt, Al Husna,
2003), 267. 87
Fathi Yakan, Sifat dan Sikap Seorang Muslim Menyongsong Kebangkitan Dunia Muslim, 34. 88
.lihat, Musnad Ahmad, dan Tirmidzi كل بني ادم خطاء وخير خطاءيه التوابون )احمد والترميذي(
11
Secara umum pola kerja fitrah nafsaniyah sebagai berikut: 1. Kalbu: naturnya
ialhiyah, yang berdaya emosi (seperti rasa indrawi, rasa inteletual, rasa religious, rasa
social, rasa estetika, dan sebagainya. 2. Akal: naturnya insaniyah yang berdaya kognitif
(seperti penghayatan, pengamatan, tanggapan, asosiasi, reproduksi, apersepsi, ingatan,
fantasi, berfikir, intelegensi, dan sebagainya. 3. Nafsu: naturnya hayawaniyah yang
berdaya konasi, dan memiiki dua kekuatan, yaitu shahwat dan ġaḍab, sehingga terjadi
dorongan, kemauan, keinginan, dan kecenderungn.89
Imam al-ghazali mengklsifikasi nafsu kedalam tiga: Pertama, nafsu nabatiyah,
sebagai alat pelengkap yang dibutuhkan untuk berkembangnya tubuh seperti makan,
pertumbuhan dll. Kedua, nafsu hayawaniyah, yakni adanya keingintahuan dan bergerak
sesuai keinginan. Ketiga, nafsu insaniyah, yakni beraktivitas sesuai potensi dan berdasar
pada kejernihan pola pikir, dan kemampuan dalam menyimpulkan pengetahuan.90
Hasil
dari conative process ini adalah tumbuhnya jiwa toleran, simpati, keinginan bersama,
bekerja, gotong royong, hormat, tumbuhnya patriotisme, nasionalisme, dll.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam perkara berupa;
imajinasi, pemikiran, perbuatan individu, sosial kemasyarakatan, berpolitik, berhukum,
membuat perundang-undangan, bermuamalah, berbisnis, mengadakan perubahan
menjadi tujuan Muslim. Artinya seorang Muslim harus tunduk sepenuhnya kepada
tuhan. Karena perbuatan Muslim bersifat teologis sehingga memiliki hubugan erat dan
komitmen dengan Tuhan. Akal, kalbu dan nafs berperan penting dalam membentuk
perkataan dan perbuatan seseorang, karena itulah mental. Ketiga dimensi inilah yang
sesungguhnya menjadi dasar kecerdasan, dan ketajaman potensi seseorang, baik
kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual
(SQ).91
Dari sinilah kita dapat melihat kebenaran dan kebathilan, dari dimensi ini pula
lah kita melihat perbuatan dunia dan akhirat. Dengan ketiga potensi itu diyakini adanya
keterikatan dunia dan akhirat. Abdul Qadir Audah berkata:
ى ى أثش ث مب ىنو ػو دي ج أخشي، فبىفؼو اىزؼجذ، أ اىذ، أ اىجبئ، أ اىذ
اىزشرت ػي ف اىذب أداء اىاجت، أ إفبدح اىحو اىيل، أ إشبء اىحق أ صاى، أ رقغ
اىؼقثخ، أ رشرت اىغؤىخ، ىن زا اىفؼو اىزي زشة ػي أثش ف اىذب ى أثش آخش زشرت
ػي ف اخشح، اىثثخ أ اىؼقثخ األخشخ.9
Hal serupa seperti diungkapkan al-Jarnuzi:
89
Abdul Mujib, Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi, 70 90 Abu Hamid al-Ghazali, Ma‟arij al Qudus, (Beirut: Darul Afaq, 1975), 21. 91 Syahrul Akmal Latif & Alfin el Fikri, Super Spiritual Quotient (SSQ), Sosiologi Berpikir
Qur‟ani dan Revolusi Mental. (Jakarta: Kompas Gramedi, 2017), 122. 92
Abdul Qadir Audah, al-Islam Baina Jahli Abnāihi wa Ajzi Ulamāihi, (Riyadh, KSA: Al
Riyasah al Amah li Idārati al Buhuṡ al-Ilmiyah wa al ifta wa al-Da‟wah wa al Irsyad, 1404), 9-10.
12
Banyak aktivitas dunia berbuah pahala akhirat disebabkan baiknya niat, begitu pula
banyak aktivitas akhirat namun hanya menghasilkan hadiah/pujian dunia karena
buruknya niat.93
Al-Qur‟an pun memberi gambaran tentang adanya korelasi amal dunia dan
akhirat, seperti termaktub dalam al-Qur‟an: Barang siapa yang menghendaki
keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat. (Al-Shura 42:20), kemudian
dalam firmanya: Barang siapa yang menghendaki balasan di dunia maka ketahuilah
bahwa di sisi Allah ada balasan di dunia dan di akhirat. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisa: 134) atau seperti dalam Q.S. Al-BAqarah: 200-
202).
D. Soko Guru dan Ranah Revolusi Mental
Tiga pilar utama revolusi mental canangan pemerintah yaitu integritas, etos kerja
dan gotong royong diperlukan nilai pancasila “ke-Tuhan-an yang Maha Esa” sebagai
dasar dan tolak ukur. Sehingga alumni revolusi mental mampu menjadi agen perubahan
karakter sosial, menumbuhkan jatidiri bangsa,94
memperjuangkan kewargaan, dapat
dipercaya, berkemandirian, kreatif, menjunjung tinggi nilai gotong royong dan saling
menghargai.95
Serta melahirkan manusia bermental pancasila yang religius, humanis,
nasionalis, demokratis, dan mengutamakan kesejahteraan rakyat.96
Lebih dekatnya ketuhanan yang maha Esa adalah ajaran tauhid agama Islam,
yang berlandaskan pada (al-Qur‟an dan al-Sunnah). Islam samasekali tidak
berseberangan dengan pilar Negara (Pancasila,97
UUD 45,98
Bhineka Tunggal Ika, dan
93 Burhan al-Islam al-Zarnuzi, Tahqiq Marwan Qabani, Ta‟lim al Muta‟allim, (Beirut: Al-
Maktabah Al-Islami, 1401), 66 94
Jokowi, (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan,
Sosialisasi Gerakan Nasional Revolusi Mental, Jakarta, 21 Agustus 2015, 6) 95
GPR Reprt, Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kementrian Komunikasi dan
Informatika, Edisi 5, Juli 2015, 26) 96
M. Yudhie Haryono & Rahmi Fitriyanti, Membumikan Revolusi Mental dan Nawacita,
(Jakarta: Kalam Mulia, bekerjasama Kementrian Dalam Negeri Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum,
2017), 35. 97
Isi UUD 1945, Agama, Pasal 29 Tentang Kebebasan Beragama: (1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lihat, UUD
Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pacasila Garis-Garis Besar Haluan Negara, Team Pembinaan
Dan Bahan-Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia, 7. 98
Pengertian Pancasila ialah sebagai dasar negara seperti dimaksud dalam bunyi Pembukaan
UUD 1945 Alinea IV (4) yang secara jelas menyatakan , ialah kurang lebih sebagai berikut:
“Kemudian dari pada itu untuk dapat membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia serta seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang suatu Dasar Negara Indonesia yang berbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil serta beradab, Persatuan Indonesia,
13
NKRI).99
Bahkan berkontribusi besar demi terwujudnya generasi bangsa yang
berkarakter, berbekal iman dan taqwa. Soekarno pernah menyampaikan, bahwa “salah
satu barisan terkuat dalam pergerakan revolusi tahun 1945 adalah agama.”100
Dari
itulah seharusnya revolusi mental masa kini pun bermula dari pendidikan101
akhlak dan
pembenahan jiwa (roh) berlandaskan agama (Islam).
Jokowi pernah mengatakan,
“…Tidak ada pihak yang mencampuradukkan politik dan agama.” “Dipisah
betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik.” 102
Sebetulnya upaya dikotomi politik dan agama mesti tidak terjadi lagi di negeri
ini, megingat pancasila adalah bagian dari nilai Islam. Walaupun tidak jelas maksud dan
tujuannya dari ungkapan itu, namun ia seolah amnesia terhadap sila satu Pancasila, dan
pembukaan UUD 45, atau mungkin candu dengan agama. Sehingga agama harus
dilepas dari aspek kehidupan manusia. Atau mungkin menurutnya, agama hanya pada
sektor rituil saja, Tuhan tidak usah mengurusi urusan politik, sehingga perannya harus
dibatasi. Hamid Fahmi seolah memberitahu pola pemikir semacam itu pun terjadi di
Barat, menurutnya, bahwa konsep Tuhan di Barat hampir sepenuhnya hasil rekayasa
manusia. Tuhan harus mengikuti aturan manusia. Dan tuhan tidak boleh ikut campur
dalam kebebasan dan kreativitas manusia.103
Pupuh Fathurrohman mengatakan, bahwa pendidikan di Indonesia sudah
terkontaminasi dengan konsep pemikiran pendidikan Descartes dan Newton pada abad
ke-18, konsep rohani atau jiwa dihapuskan dari proses praktek pendidikan. Sehingga
Jiwa tidak perlu mendapat porsi rohani untuk mengembangkan kurikulum di muka bumi
ini karena jiwa tidak bisa diatur atau dinilai.104
Padahal jika kita merujuk pada P4 akan
kita dapatkan relevansi nilai agama dan pembentukan moral masyarakat. “Dengan
semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan
serta Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta
untuk mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” 99
Pidato Presiden SBY pada buka puasa di istama dengan para pejuang kemerdekaan pada tanggal 13
agustus 2010 di istana Negara. Bahwa 4 pilar Negara ialah: Pancaasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal
Ika. Lihat, HM Muslich 7 Drs. H. Adnan Qohar, Kaukaba, Yogyakarta: 2014), h. 41 ) 100
Budi Sutiono & Bonnie Triyana, Soekarno: Revolusi belum Berakhir, (Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2014), 79. 101
UUD 45 Pasal 31, tentang Pendidikan: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan
umat manusia. 102
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahkan.agama.dan.
politik, di unduh pada 21:12, 21/11/2017. 103
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam,
(Jakarta: Insists-MIUMI, 2012), 23. 104
Pupuh Fathurrohman, et.al, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama,
2013), h.7.
14
kepercayaan terhadap tuhan yang maha esa harus semakin diamalkan baik dalam
kehidupan pribadi maupun social kemasyrarakatan.105
Islam adalah agama shumul (universal), totalitas, syariatnya mengatur urusan
dunia dan akhirat, urusan agama dan Negara,106
urusan agama yang meliputi masalah-
masalah keyakinan, aqidah dan ibadah. Sedangkan yang bertalian dengan Negara,
hubungan sosial masyarakat, muamalah, hukum, privat, perundang-undangan,
pemerintahan, kepemimpinan, ekonomi, administrasi, politik, akhlak dan sebagainya.
Abdul Qadir Audah mengatakan:
رزبص اىششؼخ اإلعالخ ثأب ششؼخ إعالخ ػبىخ، أضه هللا جو شأ ػيى
سعى حذ صيى هللا ػي عي, ىجيغب إىى اىبط مبفخ ػشة ػج، ششق
ب ػبدار رقبىذ ربسخ. ف ششؼخ غشث ػيى اخزالف شبسث، رج
مو أعشح، ششؼخ مو قجيخ، ششؼخ مو جبػخ، ششؼخ مو دىخ ثو اىششؼخ
اىؼبىخ اىز اعزطبع ػيبء اىقب أ زخيب. ىن ى غزطغ أ جذب.7
Keistimewaan syariat Islam ialah karena bersifat universal, yaitu diturunkan Allah
kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada seluruh ummat manusia baik
Arab maupun ajam (selain Arab), bangsa timur maupun barat yang berbeda adat
istiadatnya, tradisinya, dan sejarah pertumbuhannya. Yaitu syariat yang
merupakan undang-undang keluarga, undang-undang kabilah, undang-undang
jama‟ah, dan undang-undang Negara, bahkan merupakan undang-undang seluruh
alam semesta yang pernah diimpikan oleh sarjana-sarjana hukum tetapi mereka
tidak mampu membuat hukum seperti itu.
Secara umum ayat-ayat Makkiyah membawa misi kenabian pada revolusi
teologis. Yaitu Revolusi yang lebih mengarah kepada perubahan mental-spiritual.108
Revolusi long distance sehingga diperlukan 13 tahun untuk merubah kejahilan, syirik,
dan spiritual asketis. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah, membawa misi revolusi
sosiologis sehingga sasarannya lebih pada tingkat struktural dan kultural umat, yaitu
dengan membangun sumber daya manusia, membentuk kepribadian Islam, jauh dari
dorongan nafsu jahat, keluh kesah, kebodohan, kemalasan, dan menjadikan keadilan dan
kemakmuran sebagai doktrin kemajuan ummat. Hal demikian dilakukan Rasul Saw,
dalam membangun sebuah tatanan masyarakat yang kokoh, kekeluargaan dan hubungan
sosial yang erat, dimulai dari membina pribadi-pribadi, berlanjut pada lingkup rumah
tangga. Hingga akhirnya dapat mengibarkan panji al-Qur‟an menaklukan dunia dan
membawa kemajuan dalam peradaban.109
105
UUD Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pacasila Garis-Garis Besar Haluan Negara, 7. 106
A. Qadir Audah, Islam di Antara Kebodohan Ummat dan Kelemahan Ulama, (Jakarta Pusat:
Media Dakwah, 1981), 6. 107
Abdul Qadir Audah, al-Islam Baina Jahli Abnāihi wa Ajzi Ulamāihi, (Riyadh, KSA: Al
Riyasah al Amah li Idārati al buhuṡ al Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa Al-Irshad, 1404), 16-17. 108
Saifuddin, Revolusi Mental dalam Perspektif al-Qur‟an: Studi Penafsiran M. Quraish Shihab,
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, IAIN Antasari Banjarmasin, Maghza Vol. 1, No. 2, Juli-Desember
2016. 109
Nizar Abazah, Sejarah Madinah, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2009), 79.
15
Strategi Rasululloh Saw dalam merubah penduduk Makkah dan Madinah tersebut,
perlu dicontoh. Ditengah kondisi penduduk Makkah dalam ketimpangan ekonomi,
penindasan, perbudakan, kesewenang-wenangan golongan kuat atas golongan lemah.
Al-Amin menggulirkan revolusi untuk kesamaan hak bersama „kaum proletar‟ seperti
halnya Lenin, dengan Bolshevijk-nya.110
Tetapi dengan kredibilatasnya Muhammad
mampu mengkampanyekan perbaikan moral dengan slogan “Lā Ilāha Illalloh
Muhammad Rasūlulloh” dua kalimah syahadat yang sebenarnya rawan karena
menyangkut perpindahan keyakinan. Namun dari sinilah revolusi peradaban itu
bermula.
Sayyid Quthub menyatakan, bahwa dari kalimah itulah tumbuhnya rukun iman
dan Islam. Kaidah yang simpel, mutlak, dan tegas itu mampu menggariskan urusan
prinsip (asasi) pada ajaran agama Islam yang nyata. 1. Tabi‟at masyarakat Islam. 2.
Menggariskan manhaj tumbuhnya masyarakat Islam. 3. Menggariskan manhaj Islam
dalam menghadapi masyarakat Jahiliyah. 4. Menggariskan manhaj Islam dalam
mengahadapi peristiwa kehidupan manusia.111
Al-Qur‟an banyak berbicara tentang perubahan sosial kemasyarakatan.
Walaupun tidak ditemukan term khusus „revolusi mental‟ secara inflisit tetapi secara
ekplisit banyak ditemukan makna yang menunjukan perubahan. Seperti: Q.S: ar-
Ra‟d:11,
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S. Ar-Ra‟d: 11).
Menurut Al-Qurṭubi, ayat di atas menunjukkan keharusan adanya tokoh
perubahan dalam gerakan perubahan. Baik terlahir dari kalangan suatu kaum, pengawas,
atau salah seorang dari kaum tersebut.112
Dalam konteks ke-Indonesia-an gerakan
revolusi mental harus diampu revolusioner yang mampu menjadi penggerak dan
tauladan dalam perubahan, mengajak manusia pada perbaikan tatanan kehidupan,
ekonomi, sosial, politik berbasis agama untuk kesejahteraan bersama. Kebaikan yang
direncanakan dapat berbuah kebaikan, perubahan keburukan yang direncakan dapat
berbuah buruk, pembangunan yang dilandasi tipu daya dapat membawa petaka, itulah
sunnatullah.
110
Salim A. Fillah, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, (Jogyakarta: Pro-U Media, 2007),
95-97. 111
Sayyid Quthub, Ma‟alim Fī al-Ṭhariq, (Kairo: Dar Syuruq,1989 ), 83. 112
Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshari al-Khuzurji
Syamsuddin al Qurthubi, Al-Jāmi Li Ahkam Al-Qur‟an, (Kairo: Dar Kutub al-Mishriyah), Maktabah al
Syamilah.
16
Sedangkan menurut al-Sa‟di, 113 bahwa “Allah tidak akan merubah keadaan
suatu kaum”, berupa kenikmatan (ihsan), dan kehidupan yang menyenangkan sampai
mereka merubah keimanan kepada kekafiran, dari ketaatan kepada kemaksiatan, atau
dari mensyukuri nikmat Allah kepada mengkufurinya, sehingga Allah mencabut
kenikmatan itu. Demikian pula, ketika manusia merubah keadaan diri dari maksiat pada
ketaatan kepada Allah, maka Allah akan merubah keadaan mereka dari kesengsaraan
kepada kebaikan, kesenangan, kegembiraan, dan rahmat.”
Sektor pendidikan revolusi mental menuju good character dalam perspektif
Islam setidaknya meliputi pendidikan aqidah (teologi), pendidikan pola pikir (mindset),
pendidikan akhlak (character), pendidikan adab kenabian, pendidikan fisik, dan
pendidikan kesucian jiwa.114
Dari proses pendidikan itu menghasilkan pembiasaan nilai
akhlak yang bertumpu pada hikmah, syaja‟ah, iffah, dan adil.115
E. Nilai Revolusi Mental dalam Persfektif Islam
Syariat Islam merupakan satu-satunya ajaran agama bersifat sempurna (kāmilah)
dan menyeluruh (shamilah). Sempurna karena tidak didapatkan kekurangan, kelemahan,
dan menyeluruh karena meliputi lapangan individu, kelompok masyarakat, maupun
Negara.116
Islam mengatur cara hidup seseorang, etika bergaul, juga memanaje
persoalan-persoalan hukum administrasi, politik dan sebagainya. Seperti; integritas, etos
kerja, dan gotong royong. Hanya saja agama masih merupakan teks pasif, sehingga
agama dapat terlihat bila diaplikasikan pengikutnya, serta diyakini dan dipamahi nilai
teks ajarannya.117
Jika pada kenyataannya Islam belum maju, tidak berarti menunjukan
bahwa Islam yang tidak sempurna tetapi ke munduran itu disebabkan kelalaian
pengikutnya. Dari itulah tuntutan Islam dalam variable keimanan tidak sekedar
pernyataan, tetapi butuh realisasi dalam bentuk aksi (amal) perbuatan dan budi luhur,118
seperti termaktub dalam Q.S. Al-Hujurat: 14.
1. Integritas
Integritas ialah kesempurnaan, kesatuan, keterpaduan, ketulusan hati, kejujuran,
dan tak tersuap.119
Jika di analisa isi integritas dalam nilai revolusi mental ala Jokowi
113
Abdurrahman bin Nashir bin „Abdullah al-Sa‟diy, Taisīr al-Karim ar-Rahman fi Taisīr
Kalām al-Mannān, (Muassasah al Risalah, 2000/1429), Maktabah al-Syamilah. 114
Ahmad Farid, al-Tarbiyah „Alā Manhaj Ahl Sunnah, (Kairo: Dar ibn Jauzi, 2010), 48. 115
Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, al-Damasqi, Mauiẓah al-Mu‟minin, juz II, 5. 116
Abdul Qadir Audah, al-Islam Baina Jahli Abnāihi wa Ajzi Ulamāihi, 18. 117
H.M. Muslich dan H. Adnan Qohar, Nilai universal Agama-agama di Indonesia, Menuju
Indonesia Damai, (Yogyakarta: Kaukaba, 2014), 35. 118
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam, 33. 119
Pius A Partanto, M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arkola,
2001), 264.
17
adalah akhlak. Dari itulah sebenarnya revolusi mental memprioritaskan akhlak (SDM),
sebelum SDS, dan SDA. Akhlak adalah nilai akhir iman dan Islam. Kemajuan dan
kemunduran suatu bangsa dilihat dari ahklak masyarakatnya dan pemimpinya.
Keberhasilan Rasulullah dalam mendidik para sahabat adalah bukti nyata keberhasilan
suatu peradaban. Oleh sebab itu Islam memposisikan akhlak sebagai dimensi yang tidak
dapat dipisahkan dari disiplin iman, ilmu, dan amal. Ketiga dimensi itu menjadi
landasan utama dalam beragama, sehingga saling mengikat dan tidak bisa diputuskan.
Lebih hebatnya lagi akhlak adalah alat ukur kemuliaan sesorang. Ketiga dimensi
yang dimaksud ialah: 1. Aqidah;120
jika akidahnya benar maka timbul akhlak baik
terhadap al-khaliq sehingga tidak menyekutukannya. 2. Shari‟ah;121
berupa pengabdian
hamba terhadap Tuhan-Nya. Jika pengamalan mahḍah dan gairu maḍhah sesuai Qur‟an
dan Sunnah maka telah menjaga dari ikhtilaf fil ibadah. 3. Ihsan;122
yaitu hubungan
baik terhadap Allah Swt (mu‟amalah ma‟a Allah), hubungan baik terhadap sesama
manusia (mu‟amalah ma‟a al-naas), serta hubungan terhadap seluruh makhluk di dunia
(mu‟amalah ma‟a al-aalam).123
Ihsan inilah pembuktian dari adanya pemahaman benar
terhadap aqidah dan syari‟ah.
Akhlak atau dalam al-Qur‟an disebut khulq mempunyai dua pengertian; perangai
atau budi pekerti, dan adat kebiasaan atau agama. Seperti disebut dalam Q.S. Asy-
Syu‟ara:137, kalimat, “Khuluq al-Awwalīn” (adat kebiasan orang-orang terdahulu),124
yakni agama para leluhur bangsa Arab sebelum turunnya agama yang dibawa Nabi
Muhammad Saw. Dan Q.S. al-Qalam: 4. Khuluqun „aẓīm (akhlak yang agung), yakni
Rasulullah Saw benar-benar berada dalam agama yang mulia dan terhormat dalam
pandangan Allah Ta‟ala. Menurut pendapat lain, benar-benar berada dalam anugerah
yang besar, yaitu akhlak mulia. Berkat kemuliaan akhlak; sifat malu, dermawan, berani,
terbuka, lembut dan sebagainya, Allah Ta‟ala memuliakannya.125
Hery Noor dan
Munzier mengemukakan, pernyataan Allah tersebut menegaskan bahwa seruan agar
berakhlak mulia, menjunjung tinggi hidayah, dan berbudi pekerti luhur adalah orientasi
akhlaki-keagamaan yang merupakan asasi dalam Islam.126
120
Aqidah adalah suatu kepercayaan yang diyakini kebenarannya dengan sepenuh hati
berdasarkan ajaran Islam dan dijadikan sebagai pijakan yang paling mendasar dalam kehidupan seseorang
terhadap hubungannya dengan tuhan. Lihat, Abu Muhammad FH dan Zainuri Siroj, Kamus Istilah Agama
Islam [Kiayi], (Jakarta: Pt. Albama, tt), h. 19. 121
Syari‟ah ialah suatu ilmu yang mengandung dua pengertian, yaitu riwayah dan diroyah yang
berisikan amalan lahir dan amalan batin. Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu
Tasawuf, (Kementrian Agama: Amzah, 2012), 217. 122
Ihsan dapat diartikan sebagai kebajikan, baik sekali, menjadikan sesuatu indah/cantik atau
keindahan spiritual. Ibid, 82. 123
Mahjuddin, Kuliah Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 137. 124
Muhammad Ali as-Shabuni, at-Tafsīr al-Wādih al-Muyassar, (Beirut: Al-ufuq, 2003), 921. 125
Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Quraisy ad-Damasqi, Tafsir al-Qur`an al-„Aẓim, (Beirut:
Syirkah Abna Sharif al-Anshari, 2002), 363. 126
Hery Noer Aly dan Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta Utara: Friska Agung Insani,
2003), 149.
18
Al-Ghazali kemudian memberikan tips bagaimana seseorang dapat berakhlak
mulia, menurutnya dengan dua jalan, yaitu; 1. Mendapat karunia Tuhan, karena
manusia sudah diberikan potensi untuk mendapatkan karunia dan petunjuk itu. 2.
Dengan berlatih, dan berusaha untuk memiliki akhlak mulia, dengan memaksakan
dirinya supaya konsisten.127
Sedangkan Novi Hardian, menyebut empat faktor
pembentuk akhlak seseorang. Pertama. Al-wiraṡiyah (genetic), artinya keturunan
atau nasab sebagai pembentuk akhlak anak. Kedua. An-Nafsiyah (psikologis), yaitu
nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Ketiga. Shari‟ah ijtimaiyyah
(sosial), artinya lingkungan pengaruhi aktulisasi nilai-nilai dalam diri. Keempat. Al-
Qiyam (nilai Islami), yaitu pemahaman ke-Islaman seseorang dapat mewarnai
pembentukan akhlak.128
Jika seseorang berakhlak karimah pasti dimudahkan mendapat ridha Allah dan
kasih sayang-Nya, menjadi pantas, dan elegan, berbuat mulia menghidar dari amal
tercela.129
Atas dasar itulah, akhlak mempunyai kedudukan istimewa dalam Islam,
sehingga seorang Muslim dapat diukur kualitas keimanannya hanya dengan melihat
akhlaknya. Hasan al-Bashari, ulama besar kalangan tabi‟in, mengatakan bahwa,
“seorang manusia disebut tidak berilmu jika tidak berakhlak.” hal itu seperti dikutip
oleh Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Asqalani sebagai berikut:
ال أدة ى ال ػي ى ال صجش ى ال د ى ال سع ى ال صىفى ىOrang yang tidak berakhlak, tidak berilmu, orang yang tidak beresabar, tidak beragama,
dan orang yang tidak wara‟ (apik/kehati-hatian), tidak berkedekatan dengan Allah.
Secara umum, akhlak dibagi dua.
131 Pertama, akhlak mahmudah, (akhlak
terpuji) atau akhlak karimah (akhlak mulia). Kedua, akhlak mazdmumah (akhlak
tercela). Namun menurut al-Ghazali, bahwa pembagian akhlak baik dan buruk itu
ditentukan oleh adanya perbuatan yang bertolak ukur pada ketentuan akal dan syari‟at.
Hal itu disampaikan al-Ghazali, lalu dikutip dalam kitab Mauiẓah al-Mu‟minin karya
Muhammad Jamaludin al-Qasimi al-Damasqi, sebagai berikut:
ريل عذ ششػب ػقال اىحدح اىجيخ األفؼبه ػب رصذس ثحث اىئخ مبذ فئ
اىز اىئخ عذ اىقجحخ األفؼبه ػب اىصبدس مب إ خيقب حغب، اىئخ .عئب خيقب اىصذس
Jika perbuatan yang keluar dari kondisi jiwa sesuai akal dan syari‟at maka disebut
akhlak baik, dan jika yang keluar tersebut perbuatan tidak sesuai akal dan syari‟at
maka dinamakan akhlak tercela.
127
M. Said, Imam AlGhazali Tentang Falsafah Akhlak, (Bandung: PT. Alma‟arif, 1987), 15. 128
Novi Hardian dan Tim Ilna Learning Center, Super Mentoring, (Bandung: Syamil, 2003),
h.157. 129
A. Zainuddin, Muhammad Jamhari, 77. 130
Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Nashaihul Ubad, (Semarang: Karya Thoha Putra,
tt), 11. 131
Ridwan asy-Syirbani, Membentuk Pribadi Lebih Islami (Suatu Kajian Akhlak), (Jakarta:
Intimedia, tt), h. 3. 132
Muhammad Jamaludin al-Qasimi al-Damasqi, Mauidzah al-Mu‟min Min Ihya Ulumiddin, Juz
II, 3.
19
Dengan demikian dapat dipahami bahwa strategi berakhlak dengan bersikap,
bersigap diiringi keikhlasan, permohonan bimbingan kepada Allah untuk berprilaku
sesuai tuntunan syari‟ah, hingga timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaan-kebiasaan
otomatis tanpa dipikir dan dibimbing. Jika perbuatan suatu kaum telah menjadi rutinitas
berdasarkan potensi diri dan keinginannya untuk mencukupi kebutuhan bersama, maka
rutinitas itu dapat berubah menjadi suatu kebudayaan atau kultur, berlanjut pada tatanan
sosial, dan membentuk nilai pada norma-norma masyarakat berperadaban.
2. Etos kerja
Menurut Heddy, Etos yaitu perangkat nilai atau nilai-nilai yang mendasari
perilaku suatu golongan atau kolektivitas manusia. Basis etos adalah ilmu profetik
(penghayatan-etos kerja keabadian-untuk Allah). 133
Sedangkan kata “kerja”
didefiniskan sebagai kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah; mata pencaharian.134
Masih menurut Heddy, etos kerja dibagi dua; etos
kerja keabdian dan etos kerja keabadian. Etos kerja keabadian kepada Allah merupakan
perangkat nilai untuk menentukan baik buruknya seorang ilmuan profetik terhadap
pemikiran, aktivitas, dan hasil karyanya. Sedangkan etos keabdian bekerja untuk
meningkatkan potensi, keilmuan, dan skill pribadinya agar memberikan manfaat buat
orang banyak. Inilah etos kerja tafsir ayat “Iyyāka Na‟budu wa Iyyāka Nasta‟īn.”135
Bagi seorang Muslim etos kerja adalah upaya eksistensi keimanan, mewujudkan
keyakinan melalui pola prilaku dan tindakan, serta ketawadhuan. Etos kerja
keabadiannya ditujukan untuk: a. Kemanusiaan, b. Keilmuan, C. Kesemestaan.136
Nilai
etos kerja inilah pembeda agama Islam dengan selainnya.
Islam mengatur berjuta persoalan, termasuk memenuhi kebutuhan hidup (kerja),
dengan asas agama (religiusitas) wajib jadi landasan. Islam juga memadukan segala
nilai material dan spiritual agar simbang, menyeluruh, dan memudahkan manusia dalam
mengarungi kehidupan yang telah ditentukan Allah untuk akhirat nanti.137
Dalam al-
Qur‟an banyak ditemukan term perintah untuk bekerja dalam berbagai varian, di
antanya terdapat 50 kata “kerja” yang bersandingan dengan kata “iman” Inna al-lażina
Āmanu wa a‟milu Ṣalihat. Sehingga bisa dibuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi
etos kerja. Bahkan bekerja dalam Islam memiliki karakter tertentu, yang tidak terdapat
133
Heddy shri Ahimsa-Putra, Paradigma Islam Epistemologi, Etos, dan Model, (Gadjah Mada
Universiti Press, 2016), 124. 134
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), 751. 135
Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma Islam Epistemologi, Etos, dan Model, 131. 136
Ibid.,
137
Husain Syahatah, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005),
21.
20
dalam agama selain Islam, seperti: 1. Kerja adalah penjabaran dari aqidah, 2. berniat
kerja adalah ibadah, 3. Menegakan titah agama, 4. Menuju kebahagiaan dunia akhirat.
Dalam Q.S. Al-Taubah: 105, Allah memerintahkan seseorang untuk bekerja
keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja mawas. “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu,
Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu
akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan”. (QS. At-Taubah: 105) Wahbah al-Zuhaili menafsirkan, Q.S. At-taubah: 105, bahwa manusia diperintah
untuk menjalankan pekerjaan sesuka hati “bekerjalah kalian sesuai kehendakmu” baik
berupa kebajikan maupun kemaksiatan.138
Sedangkan Abu Ja‟far al-ṭabari menyebutkan,
bahwa ayat I‟malū merupakan “peringatan”, karena konsekuensi dari kerja dalam Islam
ialah penilaian orang beriman, di lihat Rasul berarti bekerja sesuai tuntunannya, dihisab
Allah karena hasil kerja baik buruknya.139
Dengan demikian etos kerja dalam Islam
adalah ibadah, bernilai dunia akhirat. Sehingga bekerja tidak sekedar memenuhi
kebutuhan pribadi, tetapi berlandas pada Iman, Taqwa, dan kerja 5-as untuk
kemaslahatan bersama.
3. Gotong Royong.
Melirik sejarah bangsa Indonesia, Nusantara tidak dapat dipisahkan dari gotong
royong. Karuhun (sunda: leluhur) bangsa sejak jaman kerajaan, penjajahan, hingga awal
kemerdekaan sentiasa terikat erat dalam budaya gotong-royong. Budaya bahu-membahu
ampuh menggalang kekuatan dan menggiring gelombang ombak kebersamaan menuju
dermaga kemerdekaan. Dalam kebersamaan ada tujuan mewujudkan kesejahteraan
bersama, kemakmuran bersama, karena tiada kesejahteraan dan kemakmuran individu
tanpa terwujudnaya hidup bersama-sama.140
Lain zaman lain generasi, masakini sapuan
angin ribut dan derasnya budaya asing hampir menghanyutkan budaya bangsa. Budaya
yang sebenarnya hampir mirip budaya jepang kyodo (gotong royong), hanya saja
mereka tetap konsekuen menjalankan sifat tradisonal yang sudah turun temurun,
sedangkan kita sudah banyak bergeser akibat berbagai faktor.141
Menurut Tantular seperti di kutip Yudi Latif, secara historis hidup religious
dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh
penduduk nusantara. Sejak zaman kerajaan Majapahit, doktrin agama sipil untuk
mensenyawakan keragaman-keragaman ekpresi keagamaan telah di formulasikan oleh
mpu tantular dalam sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa,”
138
Wahbah bin Musthafa al-Juhaili, al-Tafsir al-Munir Fil-Aqidah was Shari‟ah wal Manhaj,
(Damaskus: Dar el Fikr al-Mu‟ashir 1418), Maktabah al-Syamilah. 139
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Aamali Abu Ja‟far at-Thabari, Jāmi‟ al-
Bayān fī Ta‟wīl al-Qur‟an, Muhaqqiq Ahmad Mihammad Syakir, (Muassasah ar-Risalah: 2000),
Maktabah Al-Syamilah. 140
HM Muslich, Adnan Qohar, Kaukaba, Yogyakarta: 2014), h. 74-75) 141
Bob widyahartono, Belajar dari Jepang: Keberhasilan Sebagai Negara Industry Asia, (Jakarta:
Salemba Empat, 2003), h. 60
21
berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua.142
Dalam Islam kebersamaan
tolong menolong, bermusyawarah, tenggang rasa, bahu-membahu bagian dari
universalitas Islam menyangkut Aspek sosial yang sangat di anjurkan bahkan
diwajibkan, perhatikan bunyi ayat berikut:
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maidah: 2)
Menurut Wahbah al-Zuhaili, tolong-menolong dalam kebajikan, taqwa, dan
perkara yang dapat menenangkan hati, adalah wajib. Sedangkan bahu-membahu dalam
permusuhan, kriminal, melanggar hukum, merampas hak orang, kemaksiatan dan dosa
adalah haram.143
Pada ayat 71 Q.S. Al-maidah, Allah Swt memerintahkan laki-laki dan
perempuan untuk saling bahu-membahu dalam menegakakan kenenaran, mencegah
yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan ketaatan pada Allah.
Konteknya dalam berbangsa dan bernegara, kita diwajibkan menjaga kesatuan dan
persatuan bangsa dari neokolonialisme, mempersatukan kebhinekaan dalam bingkai
ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhwuwah basyariyah. Menstabilkan
keterpurukan ekonomi dari keberpihakan asing yang menghancurkan, membangun
akhlak bangsa yang hampir roboh, melawan ganasnya budaya barat yang telah
mengubah aspek tertentu dari kehidupan dan prilaku kalangan elit yang berperan
sebagai pengambil keputusan karena pola pikirnya Barat, “Westernized”.144
Sudah saatnya ummat bersatu, bergotong-royong, bahu-membahu, berupaya
membangun National Character Building (NCB) dari tangan-tangan panas, mulut
berbisa, wajah ganda para pejabat dan elit bangsa yang tidak lagi memprioritaskan
kesejahteraan, kemandirian, kedaulatan, dan kemaslahatan bangsa. Membangkita
semangat gotong-rong seperti yang telah di populerkan Soekarno pada 1945, saat
merevitalisasi nilai-nilai agama, nilai sosio budaya pada masyarakat lintas suku bangsa
di Indonesia agar terbebas dari dominasi sosial, ekonomi, politik, serta ideologi asing
yang tidak menguntungkan bangsa Indonesia.145
Sebagai penutup, kita renungkan
Nasihat Imam Al-Ghazali, berikut:
142
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), 56. 143
Wahbah bin Musthafa al-Juhaili, al-Tafsir al-Munir Fil-Aqidah was Syari‟ah wal Manhaj,
Maktabah al-Syamilah. 144
Bob widyahartono, Belajar dari Jepang: Keberhasilan Sebagai Negara Industry Asia,
(Jakarta: Salemba Empat, 2003), vi. 145
Nur Khasanah, Pengejawantahan Nilai-Nilai dalam Pengembangan Budaya Gotong Royong di
Era Digital – Edukasi, Volume 01, Juni 2013:092-108), 4.
22
قبه اىغضاى، ا فغبد اىشػبب ثفغبد اىيك فغبد اىيك ثفغبد اىؼيبء فغبد اىؼبء
ثبعزالء حت اىبه اىجب اعزىى ػي حت اىذب ى قذس ػيى اىحغجخ ػيى
حبه.األسره فنف ػيى اىيك األمبثش هللا اىغزؼب ػيى مو
Penutup
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa revolusi mental yang
digadangkan Joko Widodo harus dimulai dari pensucian inti mental (Tazkiyatun nafs)
yaitu: akal, hati, dan jiwa berdasarkan nilai agama. Sehingga ketiga unsur tersebut dapat
merubah pola pikir, pola sikap, dan pola kerja membentuk akhlak mulia. Integritas,
pembangunan sektor ekonomi, dan menjaga kedaulatan negara tidak harus memutus
urusan politik dan agama. Karena pemutusannya menyebabkan terjadinya bangsa yang
tak berkeperibadian dan tak berperadaban. Perubahan tanpa wanpa wahyu akan
terjerumus pada kesesatan, dan wahyu tanpa perubahan adan kesia-siaan.
Pembangungan sektor material: SDA, SDS, prastruktur dan suprastruktur hanya akan
menimbulkan ketergantungan pada bangsa asing-aseng jika tidak diiringi pembangunan
SDM pribumi dan sektor immaterial.
Integritas, etos kerja dan gotong royong dalam perspektif Islam memiliki tujuan
dunia-akhirat. Sehingga tujuan revolusi mental untuk memenuhi kebutuhan dan
mengatur masyarakat, melindungi susunan masyarakat, menciptakan suasana tenang,
menciptakan keharmonisan, bekerjasama, solidaritas dan gotong royong, damai antara
anggota masyarakat; suku, agama, ras, dan adat, dapat dijalankan melalui konsep Islam
yang komprehensif yang sudah jelas tidak bertentangan dengan nilai pancasila dan
UUD 45.
Referensi Buku:
A.Fillah, Salim. 2007. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim, Yogyakarta: Pro U
Media.
A.Z, L. Santoso. 2017. Para Penggerak Rovolusi, Yogyakarta: Laksana.
Abazah, Nizar. 2009. Sejarah Madinah, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Abdullah al-Sa‟diy, Abdurrahman bin Nashir. 2000/1429. Taisīr al-Karīm ar-
Rahman fīTaisīr Kalam al-Mannān, Muassasah al Risalah,), Maktabah al-Syamilah.
Abu Muhammad FH; Zainuri Siroj. T.t. Kamus Istilah Agama Islam [Kiayi],
Jakarta: Pt. Albama.
Adawi, Musṭafa. 1997. Fiqhul Akhlak, Jeddah: Dar Majid Usairi Lin Nasri wat-
Tauzi.
146
Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ulumuddin, Juz II, 357.
23
Akmal Latif, Syahrul, el Fikri, Alfin. 2017. Super Spiritual Quotient (SSQ),
Sosiologi Berpikir Qur‟ani dan Revolusi Mental, Jakarta: Kompas Gramedia.
Al Ghazali, Abu Hamid. 1975. Ma‟arij al-Qudus, Beirut: Darul Afaq.
Al-Asqalani, Syihabuddin. T.t. Nashaihul Ubad, Semarang: Karya Thoha Putra.
Al-Farabi, 1986. Al-Musu‟at al Falsafat al-Arabiyat, Arab: Inma al-Arab.
Al-Ghazali, Abu Hamid. 2005. Ihya ulumuddin, Beirut: Dar Ibn Hazm
Al-Ghazali, trj. 2000. Keajaiban-Keajaiban Hati, Bandung: Karisma.
Al-Hafidz, Wajihuddin. 2016. Misi Al-Qur‟an, Jakarta: Amzah.
Ali Al-Hasyimi, Muhammad. 1401. Shakhṣiyatul Muslim Kama Yaṣuguha al-
Islam fi al-Kitab wa al-Sunnah, Riyadh: Darul Basyair al-Islamiyah.
Ali as-Ṣabuni, Muhammad. 2003. At-Tafsir Al-Wāḍih al-Muyassar, Beirut: Al-
Ufuq.
Ali Hukmi, Ahmad. 2006. Mukhtaṣar Ma‟arijul Qabul, Kairo: Darus Shafwah.
Al-Jibrin, Abdul Aziz. 1425. Tahẓib Tashil al-Aqidah al-Islamiyah, Riyad:
Maktabah Malik Fahd.
Al-Juhaili, Wahbah. 1418. Al-Tafsir Al-Munir Fil-Aqidah wal Shari‟ah wal
Manhaj, Damaskus: Dar el-Fikr al-Mu‟ashir, Maktabah al-Syamilah.
Al-Khanif. 2016. Pancasila sebagai realitas, percik pemikiran tentang
pancasila & Isu-isu kontepoler di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qasimi, Jamaludin.2005. Mauiẓah al-Mu‟minin Min Ihya Ulumiddin, Jakarta:
Dar Kutub al-Islamiyah.
Al-Qutaibi al-Mishri, Abdul Malik al-Qasthalani. 1323. Irshadu al Sāri Li
Sharhi Shahih al-Bukhori, Mesir: Mathba‟ah Kubra al-Amiriyah. Maktabah al-
Syamilah.
Al-Suyuti, Abi Bakr. Tafsir Jalaīn, Kairo: Dar al Hadis, Maktabah al-Syamilah.
Al-Ṭabari, Abu Ja‟far. 2000. Jāmi‟ al-Bayān fī Ta‟wil al-Qur‟an, Muhaqqiq
Ahmad Mihammad Shakir, Muassasah ar-Risalah, Maktabah Al-Syamilah.
Al-Umairy, Abdul Azizi. 2009. Maratib al-Aql Wa al-Din, Tt. Thaba‟ah
Mushahah.
Al-Zarnuzi, Burhan. 1402. Ta‟līm al Muta‟allim, Beirut: Al-Maktabah Al-
Islami.
Amri, Ikhsan. 2014. Mengkonstruksi Revolusi Mental dalam Pen-didikan.
Jambi: jambiekspres.
Asghary, Basri Iba. 1994. Solusi Al-Qur‟an tentang Pbolema Sosial, Politik,
Budaya, Jakarta: Rineka Cipta.
Asy-Syirbani, Ridwan. T.t. Membentuk Pribadi Lebih Islami (Suatu Kajian
Akhlak), Jakarta: Intimedia.
Atmaja, Jiwa. 2015. Wahana, Semiotika Revolusi Mental, No. 91 Th. XXXI Mei
2015.
Audah, A. Qadir. 1981. Islam di Antara Kebodohan Ummat dan Kelemahan
Ulama, Jakarta Pusat: Media Dakwah.
24
Audah, Abdul Qadir. 1404. Al-Islam Baina Jahli Abnaihi wa Ajzi Ulamaihi,
Riyadh: Al-Riyasah al-„amah li idarati al-buhuṡal ilmiyah wa al-ifta wa al da‟wah wa al
irshad.
Aziz SR, Abdul. 2016. Menggugat Negara, Dilaektika Ekonomi Politik, Hukum
dan Civil Society, Malang: Instrans Publishing.
Baalbaki, Rohi. 1996. Al Mawrid, Beirut, Lebanon: Dar el-ilm Lilmalayin.
Bukhari, Muhammad bin Ismail. 2012. Al-Adab Al-Mufrad, Cairo: Dar Ibnul
Jauzi.
Bukhori, Muslim, al-Jami‟ al-Ṣahih li al-Sunan wa al-Masanid, Maktabah al-
Syamilah.
Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: RajaGrapindo Persada.
Daradjat, Zakiyah. 1990. Kesehatan Mental, Jakarta: CV Haji Masagung.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Draver, James. T.t. A Dictionary of Psychology, New York: Pengin Books.
E. Mulyasa, 2015. Revolusi Mental dalam Pendidikan, Bandung: Rosda Karya..
Echols, J.M; Shadily, Hassan. 2010. Kamus Indonesia - Inggris, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Faeruz Abadi, Ya‟qub. 2009. Al-Kamus Al-Muhiṭ, Libanon: Beirut, Darul
Ma‟rifah.
Farid, Ahmad. 2010. Al-Tarbiyah „Ala Manhaj Ahli Sunnah, Kairo: Dar Ibnu
Jauzi.
GPR Reprt, 2015. Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik
Kementrian Komunikasi dan Informatika, Edisi 5, Juli 2015.
Hakim, Suparlan. 2016. Pendidikan kewarganegaraan dalam kontek Indonesia,
Malang Jatim: Madani.
Hardian, Novi, Tim Ilna Learning Center. 2003. Super Mentoring, Bandung:
Syamil.
Haryono, M. Yudie, Fitriyanti, Rahmi. 2017. Membumikan Revolusi Mental Dan
Nawacita, Kalam Nusantara Bekerjasama Kementrian Dalam Negeri Dirjen Politik dan
Pemerintahan Umum.
Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced leaner‟s Dictionary of Current English,
Berlin: Oxford University Fress.
Isa Selamat, Muhammad. 2005. Penawar Jiwa & Pikiran, Jakarta: Kalam Mulia.
Jumantoro, Totok. Amin, Samsul Munir. 2012. Kamus Ilmu Tasawuf,
Kementrian Agama: Amzah.
Kartono, Kartini; Andari, Jenny. 1989. Hygiene Mental dan Kesehatan Mental
dalam Islam, Bandung: Mandar Maju.
Katsir, Abi al-Fida Ismail. 2002. Tafsir al-Qur`an al-„Aẓim, Beirut: Syirkah
Abna Syarif al-Anshari.
25
Kawuryan, Megandaru W. 2008. Kamus Politik Modern, Yogyakarta: Pura
Pustaka.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Dan Kebudayaan.
2015. Sosialisasi Gerakan Nasional Revolusi Mental, Jakarta, 21 Agustus.
Khasanah, Nur. 2013. Pengejawantahan Nilai-Nilai dalam Pengembangan
Budaya Gotong Royong di Era Digital – Edukasi, Volume 01, juni 2013:092-108.
Kubung, Subrata. T.t. Kamus Hukum Internasional & Indonesia, Permata Press.
Kurniawan, Luthfi J. 2016. Menggugat Negara Dialektika Ekonomi Politik,
Hukum, dan Civil Society, Jatim: Intrans Publishing.
Langgulung, Hasan. 2003. Asas-Asa pendidikan, Jakarta: Pt. Al Husna.
Latif, Yudi. 2012. Negara Parifurna, Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Jakarta: kompas Gramedia.
M. Romli, Asep Syamsul. 2000. Demonologi Islam Uapaya Barat Membasmi
Kekuatan Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
M. Said. 1987. Imam AlGhazali Tentang Falsafah Akhlak, Bandung: PT. Al-
Ma‟arif.
Magnis, Franz; Suseno. 2005. Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mahjuddin. 2003. Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia.
Miskawih. 1934. Tahẓib Akhlak wa Taṭwīr al-A‟raq, Mesir: Al-Mathba‟ah al-
Misryah.
MS Burhani; Lawrens, Hasbi. T.t. Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas
Media.
Mujib, Abdul. 1999. Fitrah & kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologi,
Jakarta: Darul Falah.
Mulyadi, Seto dkk. 2016. Psikologi Pendidikan, Depok: Raja Grapindo.
Munawwir A.W. Fairuz, Ahmad. 2007. Kamus Al-Munawwir, Surabaya:
Penerbit Pustaka Progresif.
Musa, Bakar. 1988. Kebebasan Dalam Islam, Tegal Arum: Pt. Alma‟Afif.
Muslich, H.M.; Qohar, H. Adnan. 2014. Nilai universal Agama-agama di
Indonesia, Menuju Indonesia Damai, Yogyakarta: Kaukaba.
Musthafa, Ibrahim, dkk. 1380/1960. Al-Mu‟jam al-Wasiṭ, Turkey: Al-Maktabah
Al-Islamiyah.
Naquib al-Attas, Syed M. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam,
Bandung: Mizan.
Noer Aly, Hery; Munzier S. 2003. Watak Pendidikan Islam, Jakarta Utara:
Friska Agung Insani.
Notosoedirjo, Moeljono. 2001. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan,
Malang: Universitas Muhammadiyah.
Partanto, Pius A M. Al Barry, Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Penerbit Arkola.
26
Poerwadarminta, W.J.S. 2007. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
Prakuso, Bambang. T.t. Revolusi Mental Berbasis Mind Power, Jakarta Pusat:
Al-Fateta Indonesia.
Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad. Al-Jami Li Ahkam Al-Qur‟an, Kairo: Dar
Kutub al-Mishriyah, Maktabah al Syamilah.
Quthub, Sayyid. 1979. Ma‟alim fi Thariq, Kairo: Dar Syuruq.
Rais, M. Amin. 1996. Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung:
Mizan.
Saifuddin. 2016. Revolusi Mental dalam Perspektif al-Qur‟an: Studi Penafsiran
M. Quraish Shihab, IAIN Antasari Banjarmasin, Maghza Vol. 1, No. 2, Juli-Desember.
Santoso, L. 1986. Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Jakarta: Rajawali.
Sarbini. 2005. Islam di Tepian revolusi, ideology pemikiran dan Gerakan,
Yogyakarta: Pilar Media.
Scruton, Roger, 2013. Kamus Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shalih al-Utsaimin, Muhammad. 2009. Sharh al-Arba‟īn al-Nawawiyah, Riyad:
Dar tsaraya.
Shri Ahimsa, Heddy; Putra. 2016. Paradigma Islam Epistemologi, Etos, dan
Model, Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press.
Soekarno. 2013. Soekarno Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar,
Editor Daniel Dhakidae, Jakarta: Kompas.
Soyomukti, Nurani. 2016. Soekarno: Visi kebudayaan & Revolusi Indonesia,
Jogjakarta: Arruz Media.
Sukarno. 2013. Sukarno, Jakarta: Kompas Penerbit.
Sulthan, Nadzim Muhammad. 2000. Qawaid wa al- Fawāid Min al-Arba‟īn,
Riyadh: Darul Hijrah.
Susanti, Reni dan Deswita. 2016. Revolusi Mental dalam Pandangan Akhlak,
Baleja: Jurnal Pendidikan Islam, vol 1, no. 01, 2016 STAIN Curup-Bengkulu.
Sutiono, Budi; Triyana, Bonnie. 2014. Soekarno: Revolusi belum Berakhir,
Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Syahatah, Husain. 2005. Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Jakarta: Visi Insani
Publishing.
Syauqi, Ahmad. 1946. Syauqiyat Juz 1, Kairo: Dar Kutub al-Ilmiyah.
Ubaidillah. Rozak, Abdul. 2013. Pancasila, Demokrasi dan Masyarakat
Madani, Jakarta: Indonesian center for civic education (ICCE).
Wahba, Magdi. Ghali, Wagdi. 1999. A Dictionary of Modern Political Idiom,
Beirut: Maktabah Libanon.
Widyahartono, Bob. 2003. Belajar dari Jepang: Keberhasilan Sebagai Negara
Industry Asia, Jakarta: Salemba Empat.
Wojowasito, S. WJS. Poerwadarminta. 2007. Kamus Lengkap Inggris-
Indonesia, Bandung: Penerbit Hasta.
27
Yakan, Fathi. 1982. Sifat dan Sikap Seorang Muslim Menyongsong Kebangkitan
Dunia Muslim, Surabaya: Pt. Bina Ilmu.
Yakan, Fathi. 2003. Komitmen Muslim Sejati, Solo: Era Intermedia.
Zarkasyi, Hamid Fahmi. 2012. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi,
Liberalisasi, dan Islam, Jakarta: MUIMI-Insists.
Referensi Internet:
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/24/19084521/presiden.jokowi.pisahka
n.agama.dan.politik, di unduh pada 21:12, 21/11/2017.