ahmad mulyono fsh

123
KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh : Ahmad Mulyono NIM. 104044101386 K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1430 H / 2009 M

Upload: wawankz-inkz-goldsteinz

Post on 23-Nov-2015

24 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN

    URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN

    RUMAH TANGGA SAKINAH

    Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh : Ahmad Mulyono

    NIM. 104044101386

    K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A 1430 H / 2009 M

  • KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN

    URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN

    RUMAH TANGGA SAKINAH

    Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh :

    Ahmad Mulyono NIM. 104044101386

    Di Bawah Bimbingan :

    DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 289 199 NIP. 150 285 972

    K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A 1430 H / 2009 M

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah (Peradilan Agama).

    Jakarta, 09 Januari 2009 Mengesahkan,

    Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

    PANITIA UJIAN

    1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 150 169 102

    2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) NIP. 150 285 972

    3. Pembimbing I : DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA (..) NIP. 150 289 199

    4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) NIP. 150 285 972

    5. Penguji I : Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH,MA,MM (.......) NIP. 150 210 422

    6. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (.......) NIP. 150 169 102

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi

    salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

    (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

    atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 09 Januari 2009

    Ahmad Mulyono

  • MOTTO

    Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

    Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,

    Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS.al-Insyirah, 94: 5-8)

    Salam hormat buat pagi hari

    Lihatlah siang hari mulai merekah

    Itulah kehidupan, kehidupan yang sesungguhnya

    Dalam waktu yang singkat engkau akan menjumpai

    Berbagai macam hakekat keberadaanmu

    Yaitu nikmat pertumbuhan, karya yang mulia dan kesuksesan yang cemerlang

    Karena hari kemarin tiada lain hanyalah mimpi

    Hari esok tiada lain hanyalah fantasi

    Tapi hari yang kau jalani dengan seutuhnya akan mengubah

    Hari kemarin menjadi mimpi yang indah

    Dan tiap hari esok akan menjadi penuh dengan harapan

    Maka lihatlah dengan baik hari ini

    (Kalidasha)

    Skripsi ini saya persembahkan untuk : Kedua Orang Tua tercinta (Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati),

    Kakek (alm) dan Nenek, Ibunda Siti Fatimah sekeluarga serta Kakak (almh) dan adikku tersayang.

  • KATA PENGANTAR

    Ahamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi

    dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan

    kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah menunjukkan

    jalan kebenaran kepada kita baik di dunia maupun di akhirat.

    Skripsi ini dengan judul Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan

    Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah diajukan kepada Fakultas

    Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum

    Islam (SHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seolah terasa ringan berkat

    bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan

    mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi rasa

    hormat penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam

    pengantar yang singkat ini.

    Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis

    sampaikan kepada:

    1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah

    dan Hukum, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

  • 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,

    dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,

    serta seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta.

    3. DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, yang telah

    meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan

    mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    4. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas

    Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman

    Jama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.

    5. Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati yang selalu memberikan dukungan baik

    moril maupun materil, perhatian, kasih sayang dan doa yang tak pernah henti-

    hentinya diberikan kepada Ananda. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa

    kedua orang tuaku dan semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana mereka

    mengasihiku sewaktu masih kecil.

    6. Atase Agama, Atase Promosi Pendidikan, khususnya kepada Atase Pendidikan

    Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Bapak Rosli bin Sakimin sekeluarga yang

    telah membantu menyediakan fasilitas dalam penulisan skripsi ini.

    7. Keluarga Besar Ikatan Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (IKAMARU),

    Komando Resimen Mahasiswa WIRA DHARMA, dan Perguruan Kungfu

    Shaolin Lan She Lung, di mana penulis mendapatkan tambahan bekal ilmu dan

    pengalaman yang sangat berharga dalam menghadapi tantangan masa depan.

  • 8. Teman-teman senasib dan seperjuangan: Amien, Omen, Said, Nurul, Ragil,

    Numa, Hanifah, Amiq (almh), dkk. Teman-teman PTIQ: Mahasin, RubaI,

    Ashari, dkk. Teman-teman Malaysia: Norman, Izrul, Fahmi, Jamilah dan tidak

    lupa Ummu Hajar. Serta teman-teman kelas PA baik reguler maupun ekstensi.

    Semoga pertemuan dan persahabatan ini dirahmati oleh Allah serta tetap terjalin

    indah selamanya.

    9. The last but not least, untuk semua pihak yang telah berjasa dalam proses

    penyusunan skripsi ini.

    Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang

    berlipat-ganda dari Allah SWT dan termasuk sebagai amal yang saleh.

    Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam

    ikut serta membantu kemajuan pendidikan, khususnya masalah pembinaan keluarga

    sakinah dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi

    orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT

    memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya

    kepada kita sekalian. Amin ya Robb al-Alamin.

    Jakarta, 12 Muharram 1430 H 09 Januari 2009 M

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

    DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 4

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 5

    D. Kajian Pustaka .......................................................................... 6

    E. Metode Penelitian ..................................................................... 10

    F. Sistematika Penulisan................................................................ 12

    BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH

    A. Konsep Pernikahan dalam Islam................................................ 13

    1. Pengertian Pernikahan ........................................................ 13

    2. Hukum dan Prinsip Pernikahan ........................................... 17

    3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan........................................... 19

    B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup ...... 21

    1. Kriteria Calon Suami........................................................... 21

    2. Kriteria Calon Isteri............................................................. 28

    C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah .................... 45

  • BAB III KAFAAH DALAM ISLAM

    A. Pengertian Kafaah dan Dasar Hukumnya .................................. 55

    B. Pendapat Ulama tentang Kafaah................................................ 57

    C. Kafaah dalam Pernikahan.......................................................... 68

    BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA

    A. Permasalahan dalam Pernikahan ............................................... 76

    1. Halangan Pernikahan........................................................... 76

    2. Krisis Rumah Tangga.......................................................... 82

    B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga ............................... 85

    C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga ............................ 94

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan .............................................................................103

    B. Saran .......................................................................................105

    DAFTAR PUSTAKA

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah Hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala

    makhluk Allah, termasuk manusia. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-

    pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan

    berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam

    hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang pernikahan.1

    Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam

    pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi dapat juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan

    menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

    hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya,

    melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan

    istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah

    1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.ke-1, (Bogor: Kencana, 2003), h. 12.

  • pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong

    sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.2

    Secara umum, pernikahan dianggap sebagai aktifitas penyatuan dua jiwa

    ke dalam sebuah ikatan yang sakral, menciptakan rumah tangga sakinah dan

    menurunkan generasi demi generasi. Oleh sebab itu, syariat Islam menetapkan

    beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam

    mengatur sendi-sendi kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang

    dianggap non-prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan

    pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat,

    keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.

    Tidak dapat dipungkiri bahwa secara naluriah setiap manusia ingin

    mendapatkan pasangan hidup yang sepadan, bahkan yang lebih baik dari dirinya.

    Sewajarnya mereka membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan.

    Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk

    membentuk keluarga sakinah. Sebaliknya, ketidaksepadanan dalam pernikahan

    dapat mengakibatkan ketimpangan yang menimbulkan kesenjangan sosial dalam

    rumah tangga.

    Memperhatikan terlebih dahulu kafaah adalah salah satu faktor penting

    yang sebaiknya dipertimbangkan oleh calon suami/istri maupun orang tua wali

    sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya

    calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada

    2 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet.ke-29, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 374.

  • mengetahuinya setelah berumah tangga. Selain itu, menerapkan kafaah bisa

    mengurangi tingkat kesenjangan antara suami-isteri serta mencegah seringnya

    pertengkaran dan keributan dalam rumah tangga.

    Namun, sebagian para calon pasangan pengantin tidak terlalu

    memusingkan masalah kafaah ini. Mereka berpikir bahwa keutuhan rumah tangga

    bisa terwujud hanya dilandasi oleh cinta. Kemurnian cinta bisa mengalahkan

    segala-galanya, Love is Blind, cinta itu buta. Kekuatannya begitu dahsyat

    sehingga sanggup menerjang segala hambatan yang menghadang. Jika cinta sudah

    bicara, apa yang tidak bisa dilakukan? Adat-istiadat akan didobrak, kafaah akan

    dilabrak, bahkan tidak jarang ajaran agama dan hukum negara pun akan

    dilanggar. Tidak peduli apakah itu halal atau haram, tidak peduli itu dosa dan

    berujung dengan ganjaran menginap di penjara. Semua itu tidak berarti apa-apa

    bagi insan yang sedang kerasukan cinta dan dilanda mabuk asmara. Namun ketika

    cinta memasuki bahtera rumah tangga dan mengarungi samudera kehidupan,

    ketika prahara mengguncang dan mengancam keutuhan bahtera itu, mereka baru

    sadar bahwa cinta itu tidak menjamin segalanya menjadi lebih baik.

    Kafaah dalam pernikahan merupakan salah satu faktor yang dapat

    mendorong terciptanya kebahagiaan suami-isteri dan lebih menjamin keselamatan

    perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan

    oleh Islam dalam memilih calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau

    tidaknya pernikahan. Karena pernikahan yang tidak seimbang serta banyaknya

    perbedaan antara suami-istri akan menimbulkan problema berkelanjutan yang

  • mengancam keutuhan rumah tangga dan besar kemungkinan menyebabkan

    terjadinya perceraian.

    Itulah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk

    mengadakan pembahasan dan penelitian masalah tersebut dengan

    menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) berjudul: Konsep Kafaah

    dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga

    Sakinah.

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan pada latar belakang di

    atas, maka pembatasan pokok masalah yang hendak dibahas melalui skripsi

    ini adalah bagaimana pandangan Islam, baik yang berupa pendapat ulama

    dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam hukum positif Indonesia tentang konsep

    keluarga sakinah mawaddah warahmah dan kafaah dalam pernikahan. Juga

    membahas tentang permasalahan yang muncul dalam bahtera rumah tangga

    dan upaya untuk menjaga keutuhan keluarga serta urgensi kafaah dalam

    membina rumah tangga yang sakinah.

    2. Perumusan Masalah

    Pada umumnya, setiap orang menginginkan kehidupan keluarga yang

    bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Rumah tangga sakinah memang

    tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa

  • menciptakan surga dalam rumah tangga, Baiti Jannati. Demikian juga,

    banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa

    menjadikan kehancurannya. Perceraian merupakan salah satu akibat dari

    berbagai hal yang menyebabkan kegoncangan dalam rumah tangga dan

    mengancam keutuhan keluarga, diantaranya adalah ketidakcocokan antara

    suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini

    sama artinya dengan tidak sekufu.

    Agar lebih mudah dipahami, maka masalah ini dirumuskan dalam bentuk

    pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

    1. Bagaimana rumusan konsep tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah

    warahmah dalam hukum Islam?

    2. Bagaimana konsep kafaah dalam Islam yang dapat menciptakan kebahagiaan

    dalam rumah tangga umat Islam dan masyarakat pada umumnya?

    3. Bagaimana urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi

    berbagai permasalahan rumah tangga?

    C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai

    dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan

    skripsi ini adalah :

    1. Memperoleh gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang konsep

    pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam;

  • 2. Dapat mengetahui konsep kafaah dalam Islam untuk menciptakan kebahagian

    rumah tangga dalam mengarungi bahtera kehidupan;

    3. Dapat mengetahui urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam

    menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga.

    Adapun manfaat penelitian ini adalah :

    1. Bagi dunia keilmuan, menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan mengisi perubahan kehidupan

    bangsa dan negara;

    2. Bagi masyarakat, menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan hidup dalam membina rumah tangga sakinah;

    3. Dapat mendorong kemajuan pola pikir umat Islam Indonesia dari stagnasi pemahaman hukum.

    D. Kajian Pustaka

    Pertama, dalam tulisan Nurhayati tentang Konsep Keluarga Sakinah KH.

    Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)3, dijelaskan bahwa ada tiga pola pembinaan

    keluarga sakinah Aa Gym yaitu pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan

    pembinaan keluarga dalam bermasyarakat.

    Perekonomian keluarga Aa Gym didirikan atas dasar sikap pertengahan,

    yaitu tidak berlebihan dan tidak pula terlalu hemat sehingga terkesan kikir, serta

    3 Nurhayati, Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan

    Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 37-40.

  • diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan

    kebutuhan ukhrawi. Selain itu, dalam keluarganya diterapkan sifat sabar dan

    qanaah (menerima apa adanya) atas rizki yang diperoleh dari hasil ikhtiar, dan

    dalam mengelola keuangan keluarga memakai prinsip mengutamakan kebutuhan

    primer, kemudian kebutuhan sekunder dan setelah itu baru pemenuhan kebutuhan

    pelengkap (tersier). Pola pembinaan selanjutnya adalah melatih sikap zuhud

    (menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan utama), dan wara (hati-hati

    dalam menjalani hidup). Kemudian juga melatih jiwa wiraswasta agar mampu

    menggunakan pikiran dan potensi secara tepat, kreatif, efektif, dan efisien.

    Pembinaan terhadap keluarga, terutama istri sangat diperlukan untuk

    menjadi sosok yang diteladani oleh anak-anak, karena istri (ibu) adalah seorang

    pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga. Pada ibu-lah beban

    digantungkan, sebagaimana digambarkan bahwa surga terletak di bawah telapak

    kaki ibu. Adapun pola pembinaan yang dilakukan Aa Gym terhadap istri dan

    anak-anaknya di antaranya yaitu: menyamakan visi dan misi, memberi teladan

    dan pendidikan, membuat dan menetapkan peraturan yang adil serta istiqamah.

    Sedangkan pembinaan keluarga dalam masyarakat, bahwa semua keluarga

    muslim terikat dalam satu kesatuan kokoh yang mempunyai keserasian dalam

    hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat Allah SWT

    yang diwujudkan dalam perilaku bermasyarakat berdasarkan prinsip tauhid,

  • ukhuwah, musawwah, musyawarah, taawun, tahafulul ijtima, fastabiqul khairat,

    tasamuh, amal shalih, dan istiqamah.4

    Dalam tulisannya ini, Nurhayati menitikberatkan pembahasannya tentang

    keluarga sakinah secara umum dan konsep Aa Gym dalam membina keluarganya

    menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah.

    Kedua, Umar, dalam tulisannya tentang Eksistensi Ahlul Bait dan

    Kafaahnya dalam Pandangan Islam5, menyatakan bahwa kafaah berlaku untuk

    Ahlul Bait Nabi SAW dan keturunannya, Alawiyyin, baik itu laki-laki (syarif)

    maupun perempuan (syarifah). Hal ini disebabkan agar hubungan tali kekerabatan

    dengan Nabi SAW tidak terputus. Kafaah adalah bagian dari syariat pernikahan,

    Rasulullah SAW sendiri yang mengatur prosesi pernikahan anak-cucunya.

    Penerapan kafaah semestiya dipahami dan dihayati oleh semua pihak,

    khususnya pihak yang bersangkutan, yaitu syarifah itu sendiri. Adapun walinya,

    keluarga, kerabat atau teman-temannya harus mendukung penerapan kafaah.

    Sementara, orang-orang selain Alawiyyin hendaknya ikut melestarikan populasi

    keturunan Rasulullah SAW dengan cara menjaga substansi kafaah. Karena

    terwujudnya silsilah mulia mereka bukan berdasarkan permintaan, melainkan

    anugerah Ilahi. Maka, bagi Alawiyyin seyogyanya mensyukuri nikmat itu.6

    4 Ibid., h. 53.

    5 Umar, Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam, (Skripsi S1 Fakultas

    Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 49-51. 6 Ibid., h. 60.

  • Demikianlah, dalam tulisannya ini, penulis menggambarkan tentang Ahlul

    Bait dan keutamaannya dibandingkan dengan umat Islam yang lain serta

    kafaahnya dalam pernikahan.

    Ketiga, Abdullah Zahir, dalam tulisannya tentang Menyingkap

    Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Hukum Islam7, menyatakan

    bahwa dalam hal perkawinan, kaum Alawiyyin yang ada di Indonesia memiliki

    beberapa tahap dalam menyelenggarakan perkawinannya, di antaranya yaitu:

    1. Meminta dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak orang tua.

    Istilah untuk tahap ini adalah baca fatihah.

    2. Tunangan. Setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk

    melanjutkan hubungan yang lebih serius. Istilahnya tukar cincin.

    3. Lamaran. Sebelum menikah, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak

    perempuan. Hukum lamaran tidak wajib dan berbeda-beda menurut adat

    masing-masing.

    4. Akad Nikah.

    Para ulama Alawiyyin mewajibkan pernikahan sekufu bertujuan agar

    kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah SAW yang

    ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis tetap berada dalam diri mereka.

    Penulis memperoleh hasil tentang perkawinan senasab di kalangan

    Alawiyyin sebanyak 84% yang menjalani konsep kafaah nasab tersebut dengan

    7 Abdullah Zahir, Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam;

    Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 73-87.

  • baik, sedangkan sebanyak 16% tidak menjalankan konsep kafaah nasab dalam

    pernikahannya disertai dengan alasan masing-masing.8

    Pelaksanaan kafaah yang dilakukan oleh golongan Alawiyyin didasari oleh

    perbuatan Rasulullah SAW yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya,

    Fatimah dengan Ali. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyyin

    menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai

    saat ini.9

    Berbeda dengan tulisan kedua tentang Ahlul Bait dan Kafaahnya yang

    dijelaskan secara umum, Penulis kali ini menitikberatkan pada perkawinan Ahlul

    Bait (Alawiyyin) di Indonesia dan kafaahnya serta dilampirkan juga prosentase

    yang menikah dengan menerapkan kafaah nasab dan yang tidak

    melaksanakannya.

    E. Metode Penelitian

    1. Pendekatan Masalah

    Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif

    yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan

    dan mendeskripsikan isi dari kajian pustaka yang telah Penulis dapatkan dari

    beberapa literatur kepustakaan, kemudian menghubungkan dengan masalah

    yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten

    8 Ibid., h. 77.

    9 Ibid., h. 87.

  • dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam skripsi

    ini.

    2. Jenis Penelitian

    Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan

    (library research). Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian, penemuan dan

    analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan

    masalah penelitian.

    3. Sumber Data

    Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

    data sekuder, yaitu :

    b. Data Primer

    Data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas

    dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.

    Adapun dokumen yang dimaksud adalah :

    Al-Quran, Hadis, Kitab-kitab Fiqh klasik, Undang-undang Nomor 1

    Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975

    tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974, dan Kompilasi Hukum Islam.

    c. Data Sekunder

    Meliputi : Majalah, Bulletin, Koran, Internet dan lain-lain yang

    berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.

  • Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan

    menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.

    F. Sistematika Penulisan

    Adapun laporan hasil penelitian ini dituangkan ini dalam bentuk karya

    tulis skripsi dengan sistematika penulisan sebagaimana berikut :

    Bab pertama, Pendahuluan. Pembahasan ini mencakup latar belakang

    masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

    kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

    Bab kedua, Tinjauan Umum Rumah Tangga Sakinah. Pembahasan ini

    mencakup konsep pernikahan dalam Islam, ajaran Islam untuk mencari dan

    memilih pasangan hidup, dan konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah.

    Bab ketiga, Kafaah dalam Islam. Pembahasan ini mencakup pengertian

    kafaah, pendapat ulama tentang kafaah, dan hukum kafaah dalam pernikahan.

    Bab keempat, Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga. Pembahasan

    ini mencakup permasalahan dalam pernikahan, upaya untuk menjaga keutuhan

    keluarga, dan urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga.

    Bab kelima, Penutup. Pembahasan ini mencakup kesimpulan dan saran.

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM

    TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH

    A. Konsep Pernikahan dalam Islam

    4. Pengertian Pernikahan

    Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata nikah, yang

    menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan

    untuk arti bersetubuh (wathi).10 Sedangkan menurut istilah, nikah berarti suatu

    akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan

    yang bukan muhrim.11 Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara

    keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang laki-laki dan

    perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki

    keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam. Kata nikah

    sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus). Pernikahan

    disebut juga perkawinan, berasal dari kata kawin yang menurut bahasa

    artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan

    kelamin atau bersetubuh.12

    10 Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shananiy, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram

    min Adillah al-Ahkam, jil.III, (Bandung: Dahlan, tth.), h. 109. 11

    M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 249. 12

    Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.II, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.

  • Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya

    adalah:

    !" #$# %&' $ *&" #$#

    $' %& .

    Artinya: Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.13

    Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani mendefinisikan:

    ,-. ' 1&2 4% 4'

    Artinya: Nikah menurut istilah syara ialah akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami-istri.14

    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan

    tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

    Pasal 2: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    Pasal 3: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.15

    Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sebagaimana dijelaskan

    dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No.1/1974) pasal 1 bahwa:

    Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

    13 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-7, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr,

    1989), h. 29. 14

    Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, juz-5, (Kairo: Maktabah al-Iman, t.th.), h. 110.

    15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: CV Akademika

    Pressindo, 2005), h. 114.

  • wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

    tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam

    mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 KHI menegaskan bahwa

    perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk

    menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.

    Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    menggunakan istilah yang bersifat umum, maka KHI menggunakan istilah

    khusus yang tercantum dalam al-Quran. Misalnya, mitsaqan galidzan,

    ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah.16

    Kedua pengertian perkawinan tersebut dari sudut kebahasaan dan

    istilah, dapatlah dipahami bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian

    yang sakral dan kekal antara seorang laki-laki (calon suami) dengan seorang

    perempuan (calon istri) untuk bersama-sama sepakat saling mengikat di antara

    keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah

    tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketenteraman jiwa dan cinta kasih.

    Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21

    sebagai berikut:

    !"

    #&' ()*, ./ 01&234 5678 !9,:

    16 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7-8.

  • ,; ? 7 " 6 :

    @ 4" #B -.= @C #C E1F @G *G4 4 =

    ;#BHC ' GC % .) K#(17

    Artinya: Dari Ibnu Masud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu (mempunyai biaya), maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya nikah dapat menundukkan mata dan dapat menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)

    17 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz-3, (Beirut: al-

    Maktabah al-Ashriyyah, 1997), h. 1632.

  • 5. Hukum dan Prinsip Pernikahan

    Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu

    berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan

    umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang

    terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi

    ini terbagi menjadi lima, yaitu:18

    a. Sunah,19 artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan

    berkehendak untuk menikah.

    b. Wajib,20 artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah

    mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam

    perzinaan.

    c. Mubah,21 artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-

    hal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah.

    d. Makruh,22 artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk

    nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.

    18 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983), h. 12-14.

    19 Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada

    ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. 20

    Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.

    21 Pernikahan yang hukumnya mubah (boleh) berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan

    boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak berdosa.

    22 Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada

    dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.

  • e. Haram,23 artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan

    nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya.

    Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Quran dan

    Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum

    Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:

    a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu

    saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat

    mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual

    dan material.

    b. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan

    kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat

    oleh petugas yang berwenang.

    c. Asas monogami24 terbuka.

    d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat

    melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara

    baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir

    kepada perceraian.

    23 Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika

    dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala. 24

    Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri. (KUH Perdata ps. 27)

  • e. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

    f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam

    kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh

    karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan

    diputuskan bersama oleh suami-istri.

    g. Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah

    mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan

    perkawinan.25

    6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

    Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan

    keluarga untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan.

    Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam

    rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga), yakni sebagai berikut:

    a. Menurut al-Quran

    1) Dalam surat al-Araf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan

    itu adalah untuk bersenang-senang.

    2) Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan

    adalah: litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah

    (kasih sayang).26

    25 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarijan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi

    Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.I, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 54.

  • b. Menurut Hadis

    1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan

    2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat.27

    c. Menurut Akal

    1) Meningkatkan jumlah manusia

    2) Mewujudkan keteraturan nasab

    3) Menertibkan masalah kewarisan.28

    Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain:

    a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan

    melampiaskan syahwat.

    b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina).

    c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya..

    d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama antar

    keluarga.

    e. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram dengan adanya cinta

    dan kasih saying antara sesama.29

    26 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I, (t.t.: Qalbun Salim, 2007), h. 86.

    27 Ibid., h. 88.

    28 Ibid., h. 89. 29

    Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 12.

  • B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup

    Agama Islam memberikan kebebasan, baik kepada laki-laki maupun

    perempuan untuk mencari pasangan hidupnya menurut selera dan perasaan

    cintanya masing-masing. Meskipun demikian, bukan berarti Islam memberikan

    kebebasan secara mutlak dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup tanpa

    mengindahkan kaidah-kaidah hukum agama, nilai-nilai, dan norma-norma yang

    berlaku dalam masyarakat. Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan cara

    mencari dan memilih pasangan hidup melalui hubungan bebas (free love),

    melakukan hubungan seks di luar pernikahan (free sex), karena dalam hukum

    Islam disebut zina.

    Sebagaimana dijelaskan secara tegas dalam al-Quran surat al-Isra ayat 32:

    5b (*J&4 A;fghi0 ( jk"34 #l ,=mR V0n Zo39n MgNP

    Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra, 17:32)

    Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam sangat mengharamkan hubungan

    bebas di luar pernikahan secara resmi antara laki-laki dengan perempuan atau

    sebaliknya, karena perbuatan itu termasuk zina yang kotor dan keji. Islam sangat

    menghargai kehormatan dan kemuliaan manusia.

    1. Kriteria Calon Suami

  • Kriteria calon suami harus diketahui oleh pihak perempuan yang

    bersangkutan yang hendak menjalankan rumah tangga dan juga harus diketahui oleh orang tua perempuan sebagai penanggungjawabnya.30 Hal ini karena pihak perempuan sangat bergantung kepada suaminya dalam

    membentuk dan membina rumah tangganya.

    Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini: p#ghJ0 qr*s*# A

    V0W X0 03 56atR uV0 \15t7 @A vw7 V03 (*!4"

    31*& @ Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena

    Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya... (QS. An-Nisa, 4:34)

    Sesuai dengan fungsinya sebagai suami yang mengendalikan biduk

    rumah tangga secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka suami berhak

    untuk memimpin, membimbing dan menjaga keluarganya secara lahir dan

    batin. Adapun kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang laki-laki sebagai

    calon suami adalah sebagai berikut:

    a. Laki-laki yang seagama

    Dalam hal memilih calon suami, pihak perempuan dan

    keluarganya wajib untuk memilih laki-laki yang seagama.31 Dalam ajaran

    Islam, seorang perempuan muslimah diharamkan menikah dengan seorang

    30 Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz.

    Penerjemah Maruf Abdul Jalil, cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006), h. 537. 31

    Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujar al-Masalik ila Muwatha Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.391.

  • laki-laki non-muslim. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-

    Quran berikut ini:

    .. " #$ %&' $ )*+ # .. .

    Artinya: jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. .. (QS. Al-Mumtahanah, 60:10)

    5b (*, Fl3yz&0 @Y{|

    } @ = =;X yJS C=l3yz *

    9 5b (*,7 Bl3yz&0 @Y{|

    (*, @ YcC7 yJS C3yz * 9

    Ck *c Av34 ?0

  • ketakwaannya) melebihi dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan suami itu sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab membawa istri ke jalan benar atau salah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.32 Kuat beragama di sini adalah kuat dalam pengakuan dan kuat dalam

    menjalankan agama Islam, bukan hanya kuat dalam pengakuan tetapi lemah dalam menjalankannya.

    Seorang suami wajib menjaga keluarganya dari api neraka, artinya

    kebahagiaan dan keselamatan keluarganya di dunia dan di akhirat adalah

    tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga.

    Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini: 0=qck B#KV0 (*, ()*7#

    W !" o3 X?0" ...

    Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)

    Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis: $ 4' 7 @ 4= " 7 > ? 18@- 6 $M- 7 > : 1 .=

    1 .= ;O ;O %& > ;O

    $ Q ' >R %M 8 ;OQ @ >" ,TC .1 .=

    1 .= ;O .) K#(33

    Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Para penguasa adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di rumahnya (keluarganya), dia juga akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin

    32 Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Penerjemah Amir Hamzah

    Fachrudin, cet.I, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 101. 33

    al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1668

  • di dalam rumah suaminya, dia pun akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta tuannya, dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan ditanya tentang kepemimpinanmu. (HR. Bukhari dan Muslim)

    Adapun cara untuk memilih calon suami yang taat dalam

    menjalankan semua ajaran Islam, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-

    harinya. Dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan

    Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan orang tuanya,

    saudara-saudaranya dan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.

    Biasanya, orang yang ahli ibadah itu disenangi, dihormati dan dikagumi

    atau menjadi panutan masyarakat.

    c. Laki-laki yang berpengetahuan luas

    Perempuan yang beragama Islam, hendaklah memperhatikan dan

    memprioritaskan calon suami beragama Islam yang memiliki pengetahuan

    (intelektual) yang lebih luas atau lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri.

    Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah memiliki ilmu,

    wawasan dan konsep secara menyeluruh, bukan saja mengenai

    pengetahuan agama, tetapi juga tentang masalah umum, termasuk seputar

    masalah rumah tangga.

    Seorang suami memikul tanggung jawab yang sangat berat dalam

    membentuk, membina, dan menjaga rumah tangganya. Suami dituntut

    bukan saja untuk memberi nafkah lahir dan batin, sandang, pangan dan

    papan, tetapi ia juga berkewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.

  • Di sinilah letak peranan suami dalam mendidik istri untuk menjadi

    pendidik yang baik dan handal, suami harus memiliki pengetahuan

    (intelektual) yang lebih tinggi dan luas. Di samping itu, seorang suami

    merupakan tempat berlabuh, bersandar dan mengadu seorang istri dalam

    menghadapi masalahnya.

    d. Laki-laki yang mampu membiayai hidup

    Dalam kehidupan berumah tangga, pasti banyak sekali kebutuhan

    yang harus dipenuhi. Suatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya jika

    kebutuhan dalam suatu rumah tangga telah terpenuhi walaupun baru

    kebutuhan pokok (primer-nya) saja, suasana kehidupan rumah tangga

    akan terasa tenang, tenteram, dan nyaman. Sebaliknya, jika suatu rumah

    tangga belum dapat memenuhi kebutuhan pokok, maka sulit diharapkan

    akan tercipta suasana kehidupan rumah tangga yang tenang, tenteram dan

    penuh kebahagiaan.

    Itulah sebabnya, Islam melarang kaum laki-laki yang belum

    mampu membiayai kebutuhan rumah tangga memaksakan diri untuk

    menikah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Quran

    berikut ini:

    7 2& B#KV0 5b c1 ##" @Y{|

    y,& uV0 3tR

  • Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya... (QS. An-Nur, 24:33)

    Dengan demikian, bagi seorang suami, memenuhi kebutuhan

    rumah tangga itu merupakan suatu kewajiban, karena istri dan anak

    termasuk dirinya sendiri memerlukan kebutuhan pokok, seperti makan,

    minum, sandang, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari

    umat manusia. Orang yang hidup serba kekurangan atau belum mampu

    memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang kurang khusyu dalam

    melaksanakan ibadah.

    Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang laki-laki sebagai kepala

    rumah tangga memikul tanggung jawab yang berat, yakni harus memenuhi

    kebutuhan hidup sehari-harinya dalam berumah tangga. Sebagaimana

    dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:

    ' 4 Q 4' =.* 4: % " - @8? 7 > " = :* 1K

    $ >6 : B$M W = .; #; X >

    %R@ >C YM Z,@. )% 4' T(34

    Artinya: Dari Hakim Ibnu Muawiyah dari bapaknya bahwa: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah! Apakah hak seorang suami terhadap istrinya? Beliau bersabda: Hendaklah memberinya makan seperti yang ia makan dan memberinya pakaian seperti ia berpakaian. (HR. Ibnu Majah)

    34 al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, , h. 593.

  • Hal yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan oleh seorang

    perempuan muslimah dan orang tua atau walinya adalah hendaknya

    mengetahui sifat dan sikap calon suami tersebut.

    Adapun sifat dan sikap seorang laki-laki yang baik untuk menjadi suami yang baik sesuai dengan pandangan Islam, yakni sebagai berikut:

    1) Bertanggung jawab 2) Rajin bekerja 3) Berwibawa

    4) Penyabar

    5) Memiliki sikap humor

    6) Adil dan Bijaksana 7) Jujur dan dapat dipercaya 8) Tidak cemburu berlebihan

    9) Dapat membimbing dan mendidik istri

    10) Tidak pemarah

    11) Tidak kikir namun tidak boros dalam memberikan uang belanja 12) Tidak ringan tangan.35

    Apabila telah menemukan kriteria seorang laki-laki yang mempunyai

    sifat dan sikap yang demikian, insyaAllah harapan dan tujuan dalam berumah tangga yang didambakan sesuai selera hati akan tercapai, yakni rumah tangga

    yang sakinah mawaddah warahmah.

    2. Kriteria Calon Istri

    35 Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 27.

  • Dalam hal memilih calon istri, bagi kaum laki-laki harus memiliki

    kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekadar untuk

    pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk sekadar permainan belaka

    (kawin-cerai) dan juga bukan untuk sementara waktu (seumur jagung), tetapi berumah tangga adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah

    yang sakral yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama

    dan maupun oleh negara.

    Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu

    memperhatikan kriteria-kriteria calon istri sehingga pemilihan calon istri

    tersebut merupakan hasil penyeleksian pemikiran yang matang, bukan sekadar

    asal-asalan. Hal itu ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam berumah

    tangga.

    Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh kaum laki-laki dalam

    memilih calon istri, yaitu:

    a. Motivasi pernikahan

    Pada hakikatnya, dalam hal memilih calon istri itu terdorong oleh

    empat faktor, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:

    4 ' > 87 - - @8? 7 > " =6 :-.Z $

    'H :$M 2;@M Y$M -MC \' ], 4 'R .

    ) K#(36

    Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya,

    36 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., h. 1639.

  • kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan. (HR. Bukhari dan Muslim)

    1) Faktor harta kekayaan

    Rasulullah SAW berpesan kepada kaum laki-laki dalam hal

    memilih calon istri agar bukan karena dorongan faktor kekayaan

    sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:

    6 $ 4' 7 @ 4 : = " 7 > ? 7 " 6 %

    ,-; 2;-M4C ;* >;-M4 M4 %4 M4C ; >

    M4 B`M4 .4 %4 , >4 ...)% 4' T(37

    Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menyesatkan. Jangan pula karena hartanya itu karena dapat membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya... (HR. Ibnu Majah)

    Oleh karena itu, untuk memperoleh harta kekayaan bukanlah

    dengan cara menikahi perempuan kaya, tetapi harus berusaha dengan

    sendiri. Karena perkawinan bukanlah jalan untuk memperoleh harta kekayaan, melainkan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

    dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia sejahtera.

    2) Faktor kedudukan

    Rasulullah SAW pun berpesan dalam sebuah hadis,

    37 al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, h. 584.

  • 6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 64

    , = T7 b... )$* T(38

    Artinya: Dari anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawanannya (kedudukan), niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaannya. (HR. Ahmad)

    Dengan demikian, untuk memperoleh status sosial atau

    kedudukan yang terhormat, baik dalam lingkungan kerja atau

    lingkungan masyarakat, adalah dengan berusaha sendiri, bukan dengan

    cara menumpang orang lain, termasuk istri sendiri.

    3) Faktor kecantikan

    Rasulullah SAW bersabda, Janganlah menikahi seorang

    wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan

    kecantikannya itu justru menyesatkan. ... (HR. Ibnu Majah)

    Namun, bila kecantikan istri itu ditunjang oleh kecantikan

    rohaninya yakni agamanya, kecantikannya itu bukan saja

    menimbulkan rasa cinta bagi suami, tetapi juga akan membawa

    ketenteraman dan ketenangan batin suami. Karena suami percaya pada

    istrinya yang memiliki agama yang kuat, sehingga tidak mencurigai

    istrinya berselingkuh. Hal semacam ini telah dijanjikan Allah SWT

    dalam ayat al-Quran berikut ini:

    *7 i#KV0 4 vs&k" E;c 5678

    38 Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 395.

  • 0=[ 018' S 2 0=y34 (

    Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. .. (QS. Al-Araf, 7:189)

    4) Faktor agama

    Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan karena

    faktor agama maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan

    akhirat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam

    hadisnya,

    6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 64

    67 ? 2QC >B -C #K7 C >B @6> .

    ) T$*(39

    Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa dikaruniai istri yang shalihah oleh Allah, berarti ia telah menyelamatkan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi. (HR. Ahmad)

    Untuk itu, hendaknya mengutamakan faktor agama dalam

    menikahi seorang perempuan, yakni taat (konsisten) dalam melakukan

    ajaran-ajaran agama, taat kepada suaminya, menyenangkan hati suami,

    dan dapat menjaga dirinya dan harta suami manakala suami bepergian.

    b. Status atau keberadaan perempuan untuk dinikahi

    39 Ibid., h. 389.

  • Yang dimaksud dengan status atau kedudukan perempuan di sini

    adalah boleh tidaknya seorang perempuan dinikahi berdasarkan hukum

    agama Islam, Undang-undang dan Adat/Tradisi setempat.

    Dalam ajaran Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku

    di Indonesia, tidak semua orang boleh dinikahi. Ada orang-orang yang

    haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad), yaitu orang yang

    memiliki hubungan darah (nasab), hubungan kerabat semenda

    (mushaharah), atau hubungan sepersusuan (radhaah). Ada pula yang

    haram dinikahi untuk sementara waktu (mahram muaqqat).40

    Allah SWT berfirman:

    5b (*, 0 " !V0 q V0W X0 ab34 0 c#

    n @ jk"34 05 ,=mR 0.&4 V0n eo39n

    MNNP FghJ !9&o 1

  • 313 5R 0;X8 !9&o 6k !9V0;X

    BoK0 !93C (*7 q

    PBSZ0 ab34 0 c# n ar34 KV0 #l

    X?*! 02s? MNgP _ !F;XW&0 S

    V0W X0 ab34 0 F !9X (

    Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. (QS. An-Nisa, 4:22-24)

    Dalam hukum adat pun terdapat larangan menikahi orang-orang

    tertentu. Dalam adat masyarakat Minang, misalnya, berlaku eksogami

    suku yaitu orang yang sesuku di dalam satu desa tidak boleh nikah. Begitu

  • juga dalam adat masyarakat Batak, berlaku larangan pernikahan

    semarga.41

    c. Sifat dan sikap calon istri

    Ada beberapa sifat pada diri seorang perempuan yang dapat

    dijadikan modal atau syarat untuk terciptanya suatu keluarga yang

    sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai

    berikut:

    1) Shalihah (taat) dalam beragama

    Perempuan shalihah adalah perempuan yang benar-benar baik

    akidahnya, baik akhlaknya dan baik pula ibadahnya; niscaya akan

    menjadi istri yang benar-benar berbakti kepada suami, pandai menjaga

    kehormatan diri dan pandai pula menjaga kehormatan saat suami tiada

    di sampingnya.42 Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:

    !F300R ]F,# F! &oR/

    03 uV0 @ Artinya: Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah

    mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) (QS. An-Nisa, 4:34)

    Istri yang shalihah itu merupakan perhiasan yang paling indah

    di dunia serta memiliki nilai yang tinggi dan agung. Shalihahnya

    41 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:

    FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 101. 42

    M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.II, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 43.

  • seorang perempuan bukanlah sebatas pengakuannya saja, tetapi

    tercermin dari segala perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebelum

    berumah tangga maupun sesudah hidup berumah tangga.

    Rasulullah SAW bersabda:

    7 > ? 7 " $ 4' 7 @ 4 6 = " : 1 #

    c #M $G 2Q .) T= ;(43

    Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Dunia adalah hiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah. (HR. Muslim)

    Dengan demikian, maka perempuan shalihah itu kelak akan

    menjadi istri terbaik di hadapan suaminya. Ia menyenangkan setiap

    kali dipandang oleh sang suami, taat apabila diperintah, rela dengan

    apa yang diterima dan senantiasa menjaga kehormatan keluarganya.

    Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

    c,- ; 4 d M" ! M W#! 6 ;$R M

    '! E @R -M* d#!C >;M ! .);- T(

    Artinya: Sebaik-baik istri ialah dia yang jika kau pandangi, ia menyenangkanmu; jika kau perintah, ia menaatimu; jika kau beri bagian, ia senang menerimanya dan jika kau tinggalkan, ia senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu. (HR. An-Nasai)

    Kemanfaatan hidup seorang mukmin yang paling tinggi ialah

    bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada-Nya,

    43 Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, juz-5,

    (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.th.), h. 1090.

  • niscaya ia akan meraih kebahagiaan hidup yang sejati, baik di dunia

    maupun di akhirat. Namun ada kemanfaatan lain yang juga akan

    melengkapi kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kemanfaatan

    beristrikan perempuan shalihah. Sebagaimana dijelaskan oleh

    Rasulullah SAW dalam sabdanya:

    6 - 7 8 Q >' 4 : = " 7 > ? 7 " 6

    "# $O4' # 7 %& c 4 %Q? 2Q...

    ) T$*(44

    Artinya: Dari Abu Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tiada kemanfaatan yang lebih baik bagi insan beriman setelah bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, selain istri yang shalihah... (HR. Ahmad)

    Itulah kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Dia

    senantiasa menjadi pendukung dan motivator bagi segenap

    keluarganya menuju kebahagiaan dunia hingga akhirat. Ia akan

    mengingatkan dengan penuh kasih kepada suami dan anak-anaknya

    saat mereka melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Ia

    akan senantiasa memberikan dorongan yang dapat membangkitkan

    semangat bagi suami dan anak-anak agar menghambakan diri secara

    total kepada Allah SWT. Ia akan selalu memberikan semangat kepada

    suami agar tekun bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi

    keluarga dan demi terpenuhinya totalitas penghambaan diri kepada

    44 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 389.

  • Allah SWT. Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat pun akan lebih

    dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan.45

    2) Berasal dari keturunan (nasab) yang baik

    Istri ibarat ladang tempat bercocok tanam bagi suami. Maka

    ladang yang subur tentunya akan menumbuhkan tanaman yang subur

    pula, ladang yang gersang akan menggersangkan tanamannya juga,

    dan seterusnya. Allah SWT mengibaratkan hal ini dalam firman-Nya:

    lV0W 3 YJ K Artinya: Istri-istrimu adalah ladang bagimu

    (QS. Al-Baqarah, 2:223)

    Jika para ahli genetika mengatakan bahwa gen-gen akan

    memberikan pembawaan tersendiri kepada keturunan generasi

    berikutnya secara langsung atau berselang, maka jauh sebelumnya

    Rasulullah SAW telah menegaskan hal ini dalam sabdanya:

    6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 6

    %C >2YG ZC "... )$* T(46

    Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kawinlah dengan golongan yang shalih sebab pengaruh keturunan itu sangat kuat. (HR. Ahmad)

    Sehubungan dengan itu, maka calon istri yang ideal tentulah

    perempuan yang bernasab baik-baik, perempuan yang diturunkan dari

    alur keluarga yang baik-baik. Dan para remaja muslim seharusnya

    45 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 46.

    46 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.

  • memilih perempuan yang bernasab baik-baik tatkala hendak

    menentukan pilihannya. Sehingga diharapkan kelak akan melahirkan

    anak-anak yang baik pula.47

    Baiknya seorang istri dalam suatu rumah tangga itu merupakan

    hasil bimbingan dan didikan kedua orang tuanya. Peran kedua orang

    tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya sangatlah penting

    dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah sarana dan wahana yang

    pertama dan pokok dalam membimbing dan mendidik anak untuk

    membentuk suatu kepribadian, mengenal nilai-nilai dan norma-norma

    serta hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kelak.

    Kaum laki-laki yang menginginkan calon istri yang shalihah,

    carilah dari keluarga yang baik. Biasanya dari keturunan yang baik

    (agamis), terlahir anak-anaknya yang baik pula. Sebaliknya, suatu

    keluarga yang jauh dari agama, terlahir pula anak-anaknya yang jauh

    dari agama.

    3) Bukan kerabat yang dekat

    Kerabat dekat itu adalah kerabat yang memiliki garis keturunan

    (kerabat atau saudara) antara calon istri dengan calon suami. Bila

    terjadi pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki

    yang masih ada hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan

    berdasarkan garis keturunan antara keduanya, maka pernikahan itu

    47 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 54.

  • dapat mengakibatkan lemahnya nafsu syahwat, baik terhadap suami

    dan atau istri. Apabila tetap dilangsungkan pernikahan, maka

    dikhawatirkan akan lahir anak-anak yang lemah.48

    Anak yang lemah di sini ada dua kemungkinan, yakni:

    pertama, lemah dalam hal fisik (jasmani), yaitu anak yang lahir cacat

    tubuhnya. Kedua, lemah dalam hal rohani (jiwa), yaitu si anak akan

    lahir dengan kecerdasan yang kurang bahkan tergolong idiot.

    Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para remaja muslim

    menghindari pilihan dari perempuan yang masih keluarga dekatnya,

    sekalipun ia tidak termasuk perempuan yang haram dinikah. Dengan

    demikian, insyaAllah keluarga yang bakal dibentuk akan lebih

    mendatangkan kebahagiaan. Anak-anak yang lahir akan lebih sehat

    baik fisik maupun mentalnya dan jumlah saudaranya pun akan lebih

    besar.

    4) Perawan (gadis)

    Setiap laki-laki muslim hendaklah memilih calon istri yang

    masih gadis (perawan). Hal ini selain erat hubungannya dengan

    kesuburan perempuan yang bersangkutan sehingga lebih

    memungkinkan akan melahirkan banyak anak, juga banyak

    48 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malyabary, Fath al-Muin bi Syarh Qurrat al-Ain,

    (Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.), h. 99.

  • keistimewaan yang bakal diperoleh oleh suami. Keistimewaan-

    keistimewaan ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:

    6 - 7 8 '% 4 := " 7 > ? 7 " 6 .=

    ''.C M4 ] C #K * 61&c b@ ' >; .

    ) T$*(49

    Artinya: Dari Jabir r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hendaklah kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinan berkhianatnya dan lebih bisa menerima pemberian yang sedikit. (HR. Ahmad)

    Dengan demikian, pernikahan antara laki-laki bujangan dengan

    perempuan yang berstatus gadis merupakan pernikahan yang ideal.

    Karena kedua belah pihak sama-sama memasuki gerbang kehidupan

    yang baru dan keduanya pun sama-sama belum memiliki pengalaman.

    Rasulullah SAW pernah memberikan anjuran untuk menikahi

    perempuan yang masih gadis, sebagaimana yang dijelaskan dalam

    hadits:

    4% ' - @8? 7 > " =6 :% ' %R' . i ,@

    6 :i,@C : %R' . @M @! .) K#(50

    Artinya: Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, Hai Jabir, dengan siapakah engkau menikah, perawankah atau janda? Jawab Jabir, Saya menikah dengan janda. Beliau bersabda, Alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan (gadis). Engkau dapat menjadi hiburannya dan dia pun menjadi hiburan bagimu. (HR. Bukhari dan Muslim)

    49 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.

    50 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1639

  • Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan

    adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan

    buruknya perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak,

    kepribadian, dan sebagainya. Bahkan pernikahan antara laki-laki

    muslim dan perempuan yang telah hilang keperawanannya akibat

    hubungan zina itu haram hukumnya. Sebagaimana ditegaskan Allah

    SWT dalam ayat al-Quran berikut ini:

    A3f

  • rahim seorang perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam

    membentuk suatu rumah tangga.

    Islam mengajarkan kepada para jejaka agar memilih

    perempuan-perempuan yang subur. Sehingga kelak akan berbahagia

    hidup bersama istri dan anak-anak yang bakal dilahirkannya. Bahkan

    lebih baik lagi apabila memilih perempuan dari keturunan yang

    banyak anak, agar kelak dari rahimnya akan lahir banyak anak pula.

    Hal ini secara tegas diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam

    sabdanya:

    6 - 7 8 ; 4' & 4 := " 7 > ? 7 " 6

    % C , 8.i' .= = Q .)$* T(51

    Artinya: Dari Maqal Ibnu Yasar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Nikahilah calon istri yang subur (banyak anak) lagi penyayang, karena kelak pada hari kiamat aku akan membanggakan jumlah kalian yang besar di hadapan umat-umat yang lain. (HR. Ahmad)

    Untuk mengetahui subur atau tidaknya calon istri, bisa

    dilakukan dengan mengamati alur keturunannya dari atas. Jika ternyata

    mereka itu rata-rata beranak banyak atau berjumlah cukup dan tidak

    ada jalur yang mandul, niscaya lebih bisa diharapkan bahwa

    perempuan calon istri tersebut pun memiliki gen (benih keturunan)

    yang sama-sama subur.52

    51 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394

    52 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 49.

  • Dengan mempunyai istri yang memiliki kesuburan atau tidak

    mandul, pasangan suami-istri tinggal menunggu waktu saja akan

    kedatangan anak buah hati penguat suatu rumah tangga.

    6) Sekufu (sepadan)

    Yang dimaksud dengan kafaah di sini adalah kesamaan,

    kesepadanan antara calon suami dan calon istri atau antara keluarga

    dari calon istri dengan keluarga dari calon suami.53

    Untuk keterangan lebih lanjut tentang kafaah ini, akan dibahas

    tersendiri.

    7) Keringanan mas kawin (mahar)

    Rasulullah SAW menegaskan bahwa nilai maskawin yang baik

    adalah yang ringan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis,

    4' 4 @ >7 -6 :6 "7 ? 7 > " =c

    ,-; ;4? 6 .)$* T(54

    Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya (mahar). (HR. Ahmad)

    Dari hadis tersebut, jelaslah bahwa maskawin (mahar) di

    dalam suatu pernikahan tidak harus bernilai tinggi sehingga

    memberatkan pihak pelamar (calon suami). Karena mahar bukanlah

    merupakan tanda kemuliaan seseorang dan bukan pula jalan untuk

    53 Al-Malyabury, Fathul Muin, h. 106.

    54 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 494.

  • menaikkan derajat seseorang, tetapi untuk menyatakan kesungguhan

    seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar bukan

    merupakan rukun pernikahan, bukan pula sebagai perjanjian jual-beli

    atau untuk memperoleh seorang perempuan.

    Adapun sikap yang ideal pada diri seorang perempuan untuk

    membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah itu

    adalah sebagai berikut:

    1) Taat kepada Allah SWT

    2) Taat kepada suami dalam hal tidak mendurhakai Allah

    3) Pandai mengatur rumah tangga

    4) Menerima pemberian suami, baik sedikit maupun banyak

    5) Menjaga rahasia suami

    6) Menyenangkan suami

    7) Selalu meminta izin suami

    8) Menjaga kehormatan diri

    9) Menjaga harta suami

    10) Lemah lembut dalam berbicara

    11) Tidak berbicara dengan orang lain (bukan muhrimnya)

    12) Tidak boros terhadap nafkah suami

    13) Tidak cemburu yang tidak beralasan

    14) Tidak berburuk sangka terhadap suami

    15) Tidak bersentuhan bukan dengan suami

  • 16) Tidak berwajah muram terhadap suami

    17) Tidak mengubah ciptaan Allah.55

    C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah

    Berangkat dari kesadaran yang utuh bahwa rumah tangga Islami baru akan

    terbentuk dari pribadi-pribadi yang Islami, maka sesungguhnya elemen dasar

    pembentuk keluarga sakinah harus diwujudkan terlebih dahulu. Adanya proses

    perbaikan, pembinaan dan peningkatan kapasitas dan berbagai potensi kaum

    muslimin merupakan langkah awal dan paling mendasar dari keseluruhan kerja

    panjang ini.56

    Rumah tangga Islami senantiasa dilingkupi suasana sakinah, mawaddah

    dan rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang) setiap harinya. Seluruh

    anggota keluarga merasakan suasana surga di dalamnya. Baiti jannati!

    Hal itu terjadi karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan

    manusia, baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok, hubungan antar

    kelompok masyarakat, bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga

    terdapat peraturan-peraturan baik yang rinci maupun global, yang mengatur

    individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan.57

    55 M. Fauzil Adhim, Saatnya untuk Menikah, cet.III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 45

    56 Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya

    dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 20. 57

    Ibid., h. 21.

  • Adapun yang menjadi konsekuensi bagi tegaknya rumah tangga Islam, di

    antaranya yaitu:

    1. Didirikan atas landasan ibadah

    Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada

    Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah

    benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan

    sekedar karena kecantikan, harta, maupun karena keturunannya.

    Proses pernikahannya pun -sejak akad nikah hingga walimah- tetap

    dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka

    menempuh bahtera kehidupan dalam suasana taabudiyah (peribadahan) yang

    jauh dari dominasi hawa nafsu.

    0 !F&4S }1&0 s"F0 ab34 PcC7o

    M3P Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar

    mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat, 51:56)

    Ketundukan sejak langkah-langkah awal mendirikan rumah tangga

    setidaknya menjadi pemicu untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah

    selanjutnya. Kelak, jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga, mereka

    akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan

    Allah dan Rasul-Nya.58

    2. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah

    58 Ibid., h. 22.

  • Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi

    dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit

    terhadap adab-adab Islam. Di sinilah peran keluarga sebagai benteng terkuat

    dan filter terbaik di era glabalisasi yang mau tak mau harus dihadapi kaum

    muslimin.

    01k q#KV0 (*, (*7S20 A3B \R 0 ,=KRV05

    Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan,.. (QS. Al-Baqarah, 2:208)

    Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-

    sarana tarbiyah Islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai

    dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa

    diwujudkan. Nilai-nilai internalisasi Islam ini harus berjalan secara terus-

    menerus, bertahap, dan berkesinambungan.59

    3. Terdapat qudwah yang nyata

    Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab

    Islam yang hendak diterapkan. Dalam hal ini, orang tua memiliki posisi dan

    peran yang sangat penting. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang

    kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus

    memberikan keteladanan.

    59 Ibid., h. 23.

  • y5 0.&4 cX V0 (**!4 0 5b qr*77&

    MgP Artinya : Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-

    apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaff, 61:3)

    Keteladanan semacam ini sangat diperlukan, sebab proses interaksi

    anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga sangat dekat. Anak-anak akan

    langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat

    anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih tertekankan

    pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari.60

    4. Penempatan posisi masing-masing anggota keluarga

    Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal itu ditepati, akan

    mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.

    5b (*

  • dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa, 4:32)

    Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai

    dengan tuntutan Islam. Sumber bencana banyak yang berawal dari

    ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tidak bisa berjalan

    dengan normal, karena adanya katub-katub curahan perasaan yang tersumbat,

    dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.61

    5. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Islam

    Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, sangat banyak gangguan

    dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri

    secara tepat, maka taawun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih

    mungkin terjadi.

    (*"07 A 3hy&0 i*&40 ( 5b

    (*"07 A \&\F0 Pc7&0 @

    (*!4

  • 6. Rumah harus kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam

    Rumah tangga Islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi

    terlaksananya hukum Islam. Adab-adab Islam dalam kehidupan rumah tangga

    akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak

    mendukung. Adanya sekat antara ruang tidur, ruang tamu, dan dapur bahkan

    adanya ruang khusus bagi anak perempuan yang terpisah dengan anak laki-

    laki, dapat menghindarkan dari berbagai penyakit rohani dan penyakit sosial

    yang merupakan ancaman yang serius.62

    7. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar

    Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tidak

    lepas dari faktor biaya. Memang, materi bukanlah segala-galanya, bukan pula

    merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa

    materi, banyak hal yang tidak bisa didapatkan.

    0 V0oR q uV0 ?0V0 ;JS.0 ( 5b qX CC2" q

    0o"?c0 (

    Artinya: Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qashash, 28:77)

    Tindak lanjut dari landasan keenam di atas, dengan amat jelas

    menggambarkan betapa keluarga muslim dituntut memiliki materi yang

    cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya

    62 Ibid., h. 25.

  • terbentuknya suasana Islami. Bahkan untuk sarana berlangsungnya proses

    Tarbiyah Islamiyah dalam keluarga pun membutuhkan sejumlah materi.

    Membuat perpustakaan kecil di rumah atau menghadirkan sarana-sarana

    bermain Islami yang mencerdaskan anak juga memerlukan biaya. Belum lagi

    untuk pendidikan yang bermutu. Semua tak bisa dilepaskan dari faktor

    materi.63

    8. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam

    Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal di dalam rumah tangga yang tidak sesuai dengan semangat ke-Islam-an harus dilakukan. Pada kasus-

    kasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-benda, hiasan, dan peralatan harus

    dibuang atau dibatasi pemanfaatannya.

    Berbagai macam benda keramat yang dipercaya bisa memberikan

    kemanfaatan dan menolak kemudharatan, akan menjauhkan mereka dari keridhaan Allah dan bertentangan dengan semangat Islam. Oleh karena itu,

    hal itu perlu dihindari dan dibuang jauh-jauh. Berbagai peralatan elektronik seperti radio, televisi, computer dengan

    jaringan internet memiliki manfaat bagi pemiliknya, namun di sisi lain ada bahaya yang siap mengancam. Maka keluarga harus memiliki pembatasan

    yang jelas dan tegas dalam pemanfaatannya.64

    0=qck B#KV0 (*, ()*7# W !"

    o3 X?0"

    63 Ibid., h. 25.

    64 Ibid., h. 26.

  • Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)

    9. Berperan aktif dalam pembinaan masyarakat

    Diperlukan sebuah upaya ishlahul mujtama (pembinaan masyarakat)

    di sekitarnya menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang

    shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga

    sesuai dengan arahan Islam.

    20 @Av34 P6o39n C3? =&003

    =!*&0 =,W =&0 ( \1&c8 Y|K003 ?

    W @ Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]

    dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Qs. An-Nahl, 16:125)

    Dalam era globalisasi informasi saat ini, kita tidak bisa hidup sendirian

    terpisah dari masyarakat. Betatapun taatnya keluarga kita terhadap norma-

    norma ilahiyah, apabila lingkungan tidak mendukung, pelarutan-pelarutan

    nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.65

    10. Terbentengi dari pengaruh lingkungan yang buruk

    Dalam kondisi keluarga Islami yang tidak mampu memberikan nilai

    kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka

    harus dilakukan upaya-upaya serius untuk membentengi anggota keluarga.

    65 Ibid., h. 26.

  • Harus ada penyelamatan internal, agar tidak terlarut dan hanyut dalam suasana

    jahili masyarakat di sekitarnya.66

    4n00R V0l WJ ST0 C7 5b

    (* @ jk"34 03 qr*77 yJ MOONP 5b

    ()*,lJ Av34 B#KV0 (* R ^?0

  • menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai

    cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.67

    Sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun atas rasa cinta dan kasih

    sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa

    tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah

    tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk

    sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan

    berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah

    tersebut.

    Hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi

    mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah SWT. Yakni sebuah

    kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara melakukan setiap apa yang

    diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-

    Nya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada

    realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang

    bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena memang hakikat ketenangan jiwa

    (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari

    sisi Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fath:

    *7 i#KV0 pi" =;Xo 0 A3B T*77#

    B,&0

    67 Ummu Ishaq Zulfa Husein al-Atsariyyah, Mahabbah Mawaddah dan Rahmah yang

    diimpikan, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://hikmatun.wordpress.com/2007/10/22/mahabbah-mawaddah-dan-rahmah.html

  • (22SJ 0X,34 ]
  • BAB III

    KAFAAH DALAM ISLAM

    A. Pengertian Kafaah

    Kafaah atau sekufu, menurut bahasa artinya setaraf, seimbang, atau

    keserasian, serupa, sederajat, atau sebanding.68 Kata kafaah diambil dari surat al-

    Ikhlas ayat 4:

    jKV *!! Cc MP

    Artinya: Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 112:4)

    Yang dimaksud kafaah atau sekufu dalam pernikahan, menurut hukum

    Islam yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga

    masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.69

    Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,

    sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.70 Jadi tekanan dalam kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,

    terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, menurut pendapat

    sebagian ulama, kalau kafaah diartikan persamaan dalam hal harta, atau

    kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam

    tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama.

    68 M. Abdul Mujieb (et.al), Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 147.

    69 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993), h. 76.

    70 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Maarif, 1981), h. 36.

  • Hanya ketakwaannya-lah yang membedakannya.71 Persamaan kedudukan suami

    dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Demikian gambaran yang

    diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafaah.72

    Mengenai kafaah, Allah SWT tidak menjelaskan secara gamblang hukumnya. Namun, Dia menyinggung permasalahan ini dalam surat al-Ahzab

    ayat 35:

  • di atas dan mempersamakannya dengan perempuan dalam segala amal

    kebajikan.74

    Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada riwayat dari

    Aisyah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,

    Qj 4R6 M- 7 > : = " 7 > ? 7 " 6k -B.=

    .2 .2 M= .) T$*(75

    Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu. (HR. Ahmad)

    Perihal kafaah (sebanding atau sepadan) ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk ke-sah-annya.

    Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini.

    Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami-istri.

    Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Dengan arti lain, keduanya boleh membatalkan akad nikah pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.76

    B. Pendapat Ulama tentang Kafaah

    Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak

    membuat aturan tentang kafaah tetapi manusialah yang menetapkannya. Karena

    itulah terdapat perbedaan pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya.

    74 M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Quran,

    vol.11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 270. 75

    Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 394. 76

    Ibnu Masud dan Zainal Abidin S., Fiqh Mazhab SyafiI, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 261.

  • Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda

    pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-Jaziriy sebagai berikut:

    Menurut ulama mazhab Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah:

    1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.

    2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.

    3. Hirfah, yaitu status sosial dan profesi dalam kehidupan.

    4. Huriyah atau kemerdekaan diri.

    5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam.

    6. Kekayaan.77

    Menurut ulama Malikiyah kriteria kafaah hanyalah dua hal, yaitu:

    1. Diyanah atau kualitas keberagamaan.

    2. Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik.78

    Menurut ulama Syafiiyyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:

    1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.

    2. Din atau kualitas keberagamaan.

    3. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan

    4. Hirfah atau status sosial dan profesi dalam kehidupan.79

    Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:

    77 Abdur Rahman Ibn Muhammad Audh al-Jaziriy, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah,

    Jil.I, Juz 1-5, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.), h. 842. 78

    Ibid., h. 844. 79

    Ibid., h. 845.

  • 1. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam;

    2. Shanaah, yaitu usaha atau profesi;

    3. Kekayaan;

    4. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan

    5. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.80

    Adapun mengenai hukum kafaah dalam pernikahan, maka para ulama

    berbeda pendapat, diantaranya:

    Ibnu Hazm berpendapat81 bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan

    dalam pernikahan. Beliau mengatakan, Setiap muslim -sepanjang bukan seorang pezina- berhak untuk menikahi perempuan muslimah yang manapun juga -sepanjang perempuan itu bukan seorang pezina-. Beliau melanjutkan, Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-la