ahmad mulyono fsh
TRANSCRIPT
-
KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN
URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN
RUMAH TANGGA SAKINAH
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : Ahmad Mulyono
NIM. 104044101386
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1430 H / 2009 M
-
KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN
URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN
RUMAH TANGGA SAKINAH
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Ahmad Mulyono NIM. 104044101386
Di Bawah Bimbingan :
DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH NIP. 150 289 199 NIP. 150 285 972
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1430 H / 2009 M
-
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul KONSEP KAFAAH DALAM HUKUM ISLAM DAN URGENSINYA TERHADAP KEUTUHAN RUMAH TANGGA SAKINAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Januari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah (Peradilan Agama).
Jakarta, 09 Januari 2009 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 150 169 102
2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) NIP. 150 285 972
3. Pembimbing I : DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA (..) NIP. 150 289 199
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag., MH (...) NIP. 150 285 972
5. Penguji I : Prof.DR.H.M.Amin Suma,SH,MA,MM (.......) NIP. 150 210 422
6. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (.......) NIP. 150 169 102
-
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 09 Januari 2009
Ahmad Mulyono
-
MOTTO
Maka sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (QS.al-Insyirah, 94: 5-8)
Salam hormat buat pagi hari
Lihatlah siang hari mulai merekah
Itulah kehidupan, kehidupan yang sesungguhnya
Dalam waktu yang singkat engkau akan menjumpai
Berbagai macam hakekat keberadaanmu
Yaitu nikmat pertumbuhan, karya yang mulia dan kesuksesan yang cemerlang
Karena hari kemarin tiada lain hanyalah mimpi
Hari esok tiada lain hanyalah fantasi
Tapi hari yang kau jalani dengan seutuhnya akan mengubah
Hari kemarin menjadi mimpi yang indah
Dan tiap hari esok akan menjadi penuh dengan harapan
Maka lihatlah dengan baik hari ini
(Kalidasha)
Skripsi ini saya persembahkan untuk : Kedua Orang Tua tercinta (Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati),
Kakek (alm) dan Nenek, Ibunda Siti Fatimah sekeluarga serta Kakak (almh) dan adikku tersayang.
-
KATA PENGANTAR
Ahamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang
telah melimpahkan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi
dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan
kepada Rasululllah SAW. beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah menunjukkan
jalan kebenaran kepada kita baik di dunia maupun di akhirat.
Skripsi ini dengan judul Konsep Kafaah dalam Hukum Islam dan
Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga Sakinah diajukan kepada Fakultas
Syariah dan Hukum untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Munculnya berbagai hambatan dan kesulitan seolah terasa ringan berkat
bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis berkenan
mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak tertentu, tanpa mengurangi rasa
hormat penulis bagi pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu dalam
pengantar yang singkat ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis
sampaikan kepada:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum, beserta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
-
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,
dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, Sekretaris Program Studi Ahwal al-Syakhshiyah,
serta seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. DR. Mamat Slamet Burhanuddin, MA dan Kamarusdiana, S.Ag, MH, yang telah
meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Iman
Jama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan.
5. Ayahanda Sunarto dan Ibunda Mujiati yang selalu memberikan dukungan baik
moril maupun materil, perhatian, kasih sayang dan doa yang tak pernah henti-
hentinya diberikan kepada Ananda. Semoga Allah mengampuni dosaku dan dosa
kedua orang tuaku dan semoga Allah mengasihi keduanya sebagaimana mereka
mengasihiku sewaktu masih kecil.
6. Atase Agama, Atase Promosi Pendidikan, khususnya kepada Atase Pendidikan
Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, Bapak Rosli bin Sakimin sekeluarga yang
telah membantu menyediakan fasilitas dalam penulisan skripsi ini.
7. Keluarga Besar Ikatan Alumni Madrasah Raudlatul Ulum (IKAMARU),
Komando Resimen Mahasiswa WIRA DHARMA, dan Perguruan Kungfu
Shaolin Lan She Lung, di mana penulis mendapatkan tambahan bekal ilmu dan
pengalaman yang sangat berharga dalam menghadapi tantangan masa depan.
-
8. Teman-teman senasib dan seperjuangan: Amien, Omen, Said, Nurul, Ragil,
Numa, Hanifah, Amiq (almh), dkk. Teman-teman PTIQ: Mahasin, RubaI,
Ashari, dkk. Teman-teman Malaysia: Norman, Izrul, Fahmi, Jamilah dan tidak
lupa Ummu Hajar. Serta teman-teman kelas PA baik reguler maupun ekstensi.
Semoga pertemuan dan persahabatan ini dirahmati oleh Allah serta tetap terjalin
indah selamanya.
9. The last but not least, untuk semua pihak yang telah berjasa dalam proses
penyusunan skripsi ini.
Mudah-mudahan jasa dan amal baik tersebut mendapatkan balasan yang
berlipat-ganda dari Allah SWT dan termasuk sebagai amal yang saleh.
Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam
ikut serta membantu kemajuan pendidikan, khususnya masalah pembinaan keluarga
sakinah dalam kehidupan sehari-hari. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi
orang banyak dan membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT
memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya
kepada kita sekalian. Amin ya Robb al-Alamin.
Jakarta, 12 Muharram 1430 H 09 Januari 2009 M
Penulis
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.................................................. 5
D. Kajian Pustaka .......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ..................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH
A. Konsep Pernikahan dalam Islam................................................ 13
1. Pengertian Pernikahan ........................................................ 13
2. Hukum dan Prinsip Pernikahan ........................................... 17
3. Tujuan dan Hikmah Pernikahan........................................... 19
B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup ...... 21
1. Kriteria Calon Suami........................................................... 21
2. Kriteria Calon Isteri............................................................. 28
C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah .................... 45
-
BAB III KAFAAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Kafaah dan Dasar Hukumnya .................................. 55
B. Pendapat Ulama tentang Kafaah................................................ 57
C. Kafaah dalam Pernikahan.......................................................... 68
BAB IV URGENSI KAFAAH TERHADAP KEUTUHAN KELUARGA
A. Permasalahan dalam Pernikahan ............................................... 76
1. Halangan Pernikahan........................................................... 76
2. Krisis Rumah Tangga.......................................................... 82
B. Upaya untuk Menjaga Keutuhan Keluarga ............................... 85
C. Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga ............................ 94
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................103
B. Saran .......................................................................................105
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hidup berpasang-pasangan, hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala
makhluk Allah, termasuk manusia. Dari makhluk yang diciptakan berpasang-
pasangan inilah, Allah SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan
berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Islam mengatur manusia dalam
hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang pernikahan.1
Pernikahan adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi dapat juga dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam
hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami-istri dan keturunannya,
melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara suami dengan
istrinya, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah
1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, cet.ke-1, (Bogor: Kencana, 2003), h. 12.
-
pihak, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan tolong-menolong
sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan.2
Secara umum, pernikahan dianggap sebagai aktifitas penyatuan dua jiwa
ke dalam sebuah ikatan yang sakral, menciptakan rumah tangga sakinah dan
menurunkan generasi demi generasi. Oleh sebab itu, syariat Islam menetapkan
beberapa peraturan untuk menjaga keselamatan pernikahan ini. Begitu teliti Islam
mengatur sendi-sendi kehidupan manusia sehingga menyentuh bagian dasar yang
dianggap non-prinsipil tetapi sebenarnya adalah prinsipil, seperti menikah dengan
pasangan yang sekufu-sepadan, baik dari segi sosial, harkat dan martabat,
keturunan, pengetahuan, wawasan, suku, ras, agama, dan lain sebagainya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara naluriah setiap manusia ingin
mendapatkan pasangan hidup yang sepadan, bahkan yang lebih baik dari dirinya.
Sewajarnya mereka membutuhkan adanya keserasian dalam pernikahan.
Kesepadanan dalam pernikahan berarti kecocokan yang diperlukan untuk
membentuk keluarga sakinah. Sebaliknya, ketidaksepadanan dalam pernikahan
dapat mengakibatkan ketimpangan yang menimbulkan kesenjangan sosial dalam
rumah tangga.
Memperhatikan terlebih dahulu kafaah adalah salah satu faktor penting
yang sebaiknya dipertimbangkan oleh calon suami/istri maupun orang tua wali
sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena mengetahui cocok atau tidaknya
calon pasangan hidup sebelum pernikahan itu jauh lebih baik daripada
2 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet.ke-29, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1996), h. 374.
-
mengetahuinya setelah berumah tangga. Selain itu, menerapkan kafaah bisa
mengurangi tingkat kesenjangan antara suami-isteri serta mencegah seringnya
pertengkaran dan keributan dalam rumah tangga.
Namun, sebagian para calon pasangan pengantin tidak terlalu
memusingkan masalah kafaah ini. Mereka berpikir bahwa keutuhan rumah tangga
bisa terwujud hanya dilandasi oleh cinta. Kemurnian cinta bisa mengalahkan
segala-galanya, Love is Blind, cinta itu buta. Kekuatannya begitu dahsyat
sehingga sanggup menerjang segala hambatan yang menghadang. Jika cinta sudah
bicara, apa yang tidak bisa dilakukan? Adat-istiadat akan didobrak, kafaah akan
dilabrak, bahkan tidak jarang ajaran agama dan hukum negara pun akan
dilanggar. Tidak peduli apakah itu halal atau haram, tidak peduli itu dosa dan
berujung dengan ganjaran menginap di penjara. Semua itu tidak berarti apa-apa
bagi insan yang sedang kerasukan cinta dan dilanda mabuk asmara. Namun ketika
cinta memasuki bahtera rumah tangga dan mengarungi samudera kehidupan,
ketika prahara mengguncang dan mengancam keutuhan bahtera itu, mereka baru
sadar bahwa cinta itu tidak menjamin segalanya menjadi lebih baik.
Kafaah dalam pernikahan merupakan salah satu faktor yang dapat
mendorong terciptanya kebahagiaan suami-isteri dan lebih menjamin keselamatan
perempuan dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga. Kafaah dianjurkan
oleh Islam dalam memilih calon suami/isteri, tetapi tidak menentukan sah atau
tidaknya pernikahan. Karena pernikahan yang tidak seimbang serta banyaknya
perbedaan antara suami-istri akan menimbulkan problema berkelanjutan yang
-
mengancam keutuhan rumah tangga dan besar kemungkinan menyebabkan
terjadinya perceraian.
Itulah beberapa permasalahan yang melatarbelakangi penulis untuk
mengadakan pembahasan dan penelitian masalah tersebut dengan
menuangkannya dalam sebuah karya ilmiah (skripsi) berjudul: Konsep Kafaah
dalam Hukum Islam dan Urgensinya terhadap Keutuhan Rumah Tangga
Sakinah.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pada masalah yang telah diuraikan pada latar belakang di
atas, maka pembatasan pokok masalah yang hendak dibahas melalui skripsi
ini adalah bagaimana pandangan Islam, baik yang berupa pendapat ulama
dalam kitab-kitab fiqh maupun dalam hukum positif Indonesia tentang konsep
keluarga sakinah mawaddah warahmah dan kafaah dalam pernikahan. Juga
membahas tentang permasalahan yang muncul dalam bahtera rumah tangga
dan upaya untuk menjaga keutuhan keluarga serta urgensi kafaah dalam
membina rumah tangga yang sakinah.
2. Perumusan Masalah
Pada umumnya, setiap orang menginginkan kehidupan keluarga yang
bahagia, sakinah mawaddah warahmah. Rumah tangga sakinah memang
tidak hanya didasari oleh satu sebab saja tapi ada banyak hal yang bisa
-
menciptakan surga dalam rumah tangga, Baiti Jannati. Demikian juga,
banyak hal yang bisa menyebabkan kebahagiaan, sebanyak itu pula yang bisa
menjadikan kehancurannya. Perceraian merupakan salah satu akibat dari
berbagai hal yang menyebabkan kegoncangan dalam rumah tangga dan
mengancam keutuhan keluarga, diantaranya adalah ketidakcocokan antara
suami-isteri sehingga sering bertengkar. Dalam Islam, ketidakcocokan ini
sama artinya dengan tidak sekufu.
Agar lebih mudah dipahami, maka masalah ini dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana rumusan konsep tentang pembinaan keluarga sakinah mawaddah
warahmah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana konsep kafaah dalam Islam yang dapat menciptakan kebahagiaan
dalam rumah tangga umat Islam dan masyarakat pada umumnya?
3. Bagaimana urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam menghadapi
berbagai permasalahan rumah tangga?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian sesuai
dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan
skripsi ini adalah :
1. Memperoleh gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang konsep
pembinaan keluarga sakinah mawaddah warahmah dalam hukum Islam;
-
2. Dapat mengetahui konsep kafaah dalam Islam untuk menciptakan kebahagian
rumah tangga dalam mengarungi bahtera kehidupan;
3. Dapat mengetahui urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga dalam
menghadapi berbagai permasalahan rumah tangga.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Bagi dunia keilmuan, menjadi bahan kajian atau referensi ilmiah kritis dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan mengisi perubahan kehidupan
bangsa dan negara;
2. Bagi masyarakat, menjadi bahan pertimbangan dalam memilih calon pasangan hidup dalam membina rumah tangga sakinah;
3. Dapat mendorong kemajuan pola pikir umat Islam Indonesia dari stagnasi pemahaman hukum.
D. Kajian Pustaka
Pertama, dalam tulisan Nurhayati tentang Konsep Keluarga Sakinah KH.
Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)3, dijelaskan bahwa ada tiga pola pembinaan
keluarga sakinah Aa Gym yaitu pembinaan ekonomi, pembinaan pendidikan dan
pembinaan keluarga dalam bermasyarakat.
Perekonomian keluarga Aa Gym didirikan atas dasar sikap pertengahan,
yaitu tidak berlebihan dan tidak pula terlalu hemat sehingga terkesan kikir, serta
3 Nurhayati, Konsep Keluarga Sakinah KH. Abdullah Gymnastiar; Study Tokoh Pimpinan
Pondok Pesantren Darut Tauhid Bandung, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 37-40.
-
diupayakan adanya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan duniawi dan
kebutuhan ukhrawi. Selain itu, dalam keluarganya diterapkan sifat sabar dan
qanaah (menerima apa adanya) atas rizki yang diperoleh dari hasil ikhtiar, dan
dalam mengelola keuangan keluarga memakai prinsip mengutamakan kebutuhan
primer, kemudian kebutuhan sekunder dan setelah itu baru pemenuhan kebutuhan
pelengkap (tersier). Pola pembinaan selanjutnya adalah melatih sikap zuhud
(menjadikan dunia sebagai sarana, bukan tujuan utama), dan wara (hati-hati
dalam menjalani hidup). Kemudian juga melatih jiwa wiraswasta agar mampu
menggunakan pikiran dan potensi secara tepat, kreatif, efektif, dan efisien.
Pembinaan terhadap keluarga, terutama istri sangat diperlukan untuk
menjadi sosok yang diteladani oleh anak-anak, karena istri (ibu) adalah seorang
pendidik pertama dan utama bagi anak-anak dalam keluarga. Pada ibu-lah beban
digantungkan, sebagaimana digambarkan bahwa surga terletak di bawah telapak
kaki ibu. Adapun pola pembinaan yang dilakukan Aa Gym terhadap istri dan
anak-anaknya di antaranya yaitu: menyamakan visi dan misi, memberi teladan
dan pendidikan, membuat dan menetapkan peraturan yang adil serta istiqamah.
Sedangkan pembinaan keluarga dalam masyarakat, bahwa semua keluarga
muslim terikat dalam satu kesatuan kokoh yang mempunyai keserasian dalam
hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam melaksanakan amanat Allah SWT
yang diwujudkan dalam perilaku bermasyarakat berdasarkan prinsip tauhid,
-
ukhuwah, musawwah, musyawarah, taawun, tahafulul ijtima, fastabiqul khairat,
tasamuh, amal shalih, dan istiqamah.4
Dalam tulisannya ini, Nurhayati menitikberatkan pembahasannya tentang
keluarga sakinah secara umum dan konsep Aa Gym dalam membina keluarganya
menjadi keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Kedua, Umar, dalam tulisannya tentang Eksistensi Ahlul Bait dan
Kafaahnya dalam Pandangan Islam5, menyatakan bahwa kafaah berlaku untuk
Ahlul Bait Nabi SAW dan keturunannya, Alawiyyin, baik itu laki-laki (syarif)
maupun perempuan (syarifah). Hal ini disebabkan agar hubungan tali kekerabatan
dengan Nabi SAW tidak terputus. Kafaah adalah bagian dari syariat pernikahan,
Rasulullah SAW sendiri yang mengatur prosesi pernikahan anak-cucunya.
Penerapan kafaah semestiya dipahami dan dihayati oleh semua pihak,
khususnya pihak yang bersangkutan, yaitu syarifah itu sendiri. Adapun walinya,
keluarga, kerabat atau teman-temannya harus mendukung penerapan kafaah.
Sementara, orang-orang selain Alawiyyin hendaknya ikut melestarikan populasi
keturunan Rasulullah SAW dengan cara menjaga substansi kafaah. Karena
terwujudnya silsilah mulia mereka bukan berdasarkan permintaan, melainkan
anugerah Ilahi. Maka, bagi Alawiyyin seyogyanya mensyukuri nikmat itu.6
4 Ibid., h. 53.
5 Umar, Eksistensi Ahlul Bait dan Kafaahnya dalam Pandangan Islam, (Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 49-51. 6 Ibid., h. 60.
-
Demikianlah, dalam tulisannya ini, penulis menggambarkan tentang Ahlul
Bait dan keutamaannya dibandingkan dengan umat Islam yang lain serta
kafaahnya dalam pernikahan.
Ketiga, Abdullah Zahir, dalam tulisannya tentang Menyingkap
Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Hukum Islam7, menyatakan
bahwa dalam hal perkawinan, kaum Alawiyyin yang ada di Indonesia memiliki
beberapa tahap dalam menyelenggarakan perkawinannya, di antaranya yaitu:
1. Meminta dengan mengadakan pertemuan antara kedua belah pihak orang tua.
Istilah untuk tahap ini adalah baca fatihah.
2. Tunangan. Setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak untuk
melanjutkan hubungan yang lebih serius. Istilahnya tukar cincin.
3. Lamaran. Sebelum menikah, pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
perempuan. Hukum lamaran tidak wajib dan berbeda-beda menurut adat
masing-masing.
4. Akad Nikah.
Para ulama Alawiyyin mewajibkan pernikahan sekufu bertujuan agar
kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah SAW yang
ditetapkan dalam al-Quran dan al-Hadis tetap berada dalam diri mereka.
Penulis memperoleh hasil tentang perkawinan senasab di kalangan
Alawiyyin sebanyak 84% yang menjalani konsep kafaah nasab tersebut dengan
7 Abdullah Zahir, Menyingkap Perkawinan Kaum Alawiyyin Indonesia Perspektif Islam;
Studi Yayasan Rabithah Alawiyyah, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 73-87.
-
baik, sedangkan sebanyak 16% tidak menjalankan konsep kafaah nasab dalam
pernikahannya disertai dengan alasan masing-masing.8
Pelaksanaan kafaah yang dilakukan oleh golongan Alawiyyin didasari oleh
perbuatan Rasulullah SAW yang dicontohkannya dalam menikahkan putrinya,
Fatimah dengan Ali. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyyin
menjaga anak putrinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai
saat ini.9
Berbeda dengan tulisan kedua tentang Ahlul Bait dan Kafaahnya yang
dijelaskan secara umum, Penulis kali ini menitikberatkan pada perkawinan Ahlul
Bait (Alawiyyin) di Indonesia dan kafaahnya serta dilampirkan juga prosentase
yang menikah dengan menerapkan kafaah nasab dan yang tidak
melaksanakannya.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan
dan mendeskripsikan isi dari kajian pustaka yang telah Penulis dapatkan dari
beberapa literatur kepustakaan, kemudian menghubungkan dengan masalah
yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang obyektif, logis, konsisten
8 Ibid., h. 77.
9 Ibid., h. 87.
-
dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam skripsi
ini.
2. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian kepustakaan
(library research). Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian, penemuan dan
analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan
masalah penelitian.
3. Sumber Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekuder, yaitu :
b. Data Primer
Data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan.
Adapun dokumen yang dimaksud adalah :
Al-Quran, Hadis, Kitab-kitab Fiqh klasik, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1/1974, dan Kompilasi Hukum Islam.
c. Data Sekunder
Meliputi : Majalah, Bulletin, Koran, Internet dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah yang sedang dikaji.
-
Kemudian kedua data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkannya dengan masalah yang diteliti.
F. Sistematika Penulisan
Adapun laporan hasil penelitian ini dituangkan ini dalam bentuk karya
tulis skripsi dengan sistematika penulisan sebagaimana berikut :
Bab pertama, Pendahuluan. Pembahasan ini mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Tinjauan Umum Rumah Tangga Sakinah. Pembahasan ini
mencakup konsep pernikahan dalam Islam, ajaran Islam untuk mencari dan
memilih pasangan hidup, dan konsep keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Bab ketiga, Kafaah dalam Islam. Pembahasan ini mencakup pengertian
kafaah, pendapat ulama tentang kafaah, dan hukum kafaah dalam pernikahan.
Bab keempat, Urgensi Kafaah terhadap Keutuhan Keluarga. Pembahasan
ini mencakup permasalahan dalam pernikahan, upaya untuk menjaga keutuhan
keluarga, dan urgensi kafaah terhadap keutuhan keluarga.
Bab kelima, Penutup. Pembahasan ini mencakup kesimpulan dan saran.
-
BAB II
TINJAUAN UMUM
TENTANG RUMAH TANGGA SAKINAH
A. Konsep Pernikahan dalam Islam
4. Pengertian Pernikahan
Dalam bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata nikah, yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan
untuk arti bersetubuh (wathi).10 Sedangkan menurut istilah, nikah berarti suatu
akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan
yang bukan muhrim.11 Akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya. Itu merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang laki-laki dan
perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan memiliki
keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan syariat Islam. Kata nikah
sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus). Pernikahan
disebut juga perkawinan, berasal dari kata kawin yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.12
10 Muhammad bin Ismail al-Kahlaniy al-Shananiy, Subul as-Salam Syarh Bulugh al-Maram
min Adillah al-Ahkam, jil.III, (Bandung: Dahlan, tth.), h. 109. 11
M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 249. 12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.II, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.
-
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya
adalah:
!" #$# %&' $ *&" #$#
$' %& .
Artinya: Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.13
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani mendefinisikan:
,-. ' 1&2 4% 4'
Artinya: Nikah menurut istilah syara ialah akad yang menghalalkan hubungan seksual antara suami-istri.14
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pengertian perkawinan dan
tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2: Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3: Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.15
Adapun yang dimaksud dengan perkawinan sebagaimana dijelaskan
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU No.1/1974) pasal 1 bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
13 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz-7, cet.III, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), h. 29. 14
Muhammad Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, juz-5, (Kairo: Maktabah al-Iman, t.th.), h. 110.
15 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: CV Akademika
Pressindo, 2005), h. 114.
-
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam
mempunyai nilai ibadah, sehingga pasal 2 KHI menegaskan bahwa
perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidhan) untuk
menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menggunakan istilah yang bersifat umum, maka KHI menggunakan istilah
khusus yang tercantum dalam al-Quran. Misalnya, mitsaqan galidzan,
ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah.16
Kedua pengertian perkawinan tersebut dari sudut kebahasaan dan
istilah, dapatlah dipahami bahwa nikah merupakan suatu ikatan perjanjian
yang sakral dan kekal antara seorang laki-laki (calon suami) dengan seorang
perempuan (calon istri) untuk bersama-sama sepakat saling mengikat di antara
keduanya, hidup bersama dalam membentuk lembaga keluarga (rumah
tangga) agar memperoleh kedamaian hati, ketenteraman jiwa dan cinta kasih.
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat ar-Rum ayat 21
sebagai berikut:
!"
#&' ()*, ./ 01&234 5678 !9,:
16 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7-8.
-
,; ? 7 " 6 :
@ 4" #B -.= @C #C E1F @G *G4 4 =
;#BHC ' GC % .) K#(17
Artinya: Dari Ibnu Masud r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian mampu (mempunyai biaya), maka hendaklah ia menikah, karena sesungguhnya nikah dapat menundukkan mata dan dapat menjaga kemaluan (kehormatan). Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah berpuasa, karena puasa merupakan perisai baginya. (HR. Bukhari dan Muslim)
17 Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz-3, (Beirut: al-
Maktabah al-Ashriyyah, 1997), h. 1632.
-
5. Hukum dan Prinsip Pernikahan
Hukum pernikahan menurut para ulama bermacam-macam, yaitu
berdasarkan situasi dan kondisi. Akan tetapi, Islam sangat menganjurkan
umatnya yang sudah mampu untuk menikah karena banyak hikmah yang
terkandung di dalamnya. Hukum pernikahan berdasarkan situasi dan kondisi
ini terbagi menjadi lima, yaitu:18
a. Sunah,19 artinya nikah itu sunah bagi orang yang telah mampu dan
berkehendak untuk menikah.
b. Wajib,20 artinya nikah itu wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah
mampu menikah dan jika tidak menikah ia akan terjatuh ke dalam
perzinaan.
c. Mubah,21 artinya nikah itu mubah bagi orang yang tidak terdesak oleh hal-
hal yang mengharuskan atau mengharamkan nikah.
d. Makruh,22 artinya nikah itu makruh bagi orang yang tidak mampu untuk
nikah, yakni tidak mampu baik biaya maupun mental.
18 As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Jil.II, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1983), h. 12-14.
19 Pernikahan yang hukumnya sunnat berarti pernikahan itu lebih baik dilakukan daripada
ditinggalkan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. 20
Pernikahan yang hukumnya wajib berarti pernikahan itu harus dilakukan, jika dilakukan mendapat pahala dan jika ditinggalkan berdosa.
21 Pernikahan yang hukumnya mubah (boleh) berarti pernikahan itu boleh dilaksanakan dan
boleh tidak dilaksanakan, jika dilaksanakan tidak ada sanksi apa-apa, yakni tidak mendapat pahala dan tidak berdosa.
22 Pernikahan yang hukumnya makruh berarti pernikahan itu lebih baik ditinggalkan daripada
dilakukan, apabila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan tidak berdosa.
-
e. Haram,23 artinya nikah itu haram hukumnya bagi orang yang berkeinginan
nikah dengan niat menyakiti atau berbuat aniaya.
Prinsip-prinsip hukum pernikahan yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis, yang kemudian dituangkan dalam garis-garis hukum melalui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam mengandung 7 asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut:
a. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Suami dan istri perlu
saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan spiritual
dan material.
b. Asas keabsahan pernikahan didasarkan pada hukum agama dan
kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan pernikahan, dan harus dicatat
oleh petugas yang berwenang.
c. Asas monogami24 terbuka.
d. Asas calon suami dan calon istri telah matang jiwa dan raganya dapat
melangsungkan pernikahan, agar mewujudkan tujuan pernikahan secara
baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir
kepada perceraian.
23 Pernikahan yang hukumnya haram berarti pernikahan itu dilarang keras dilakukan, jika
dilakukan berdosa dan jika tidak dilakukan mendapat pahala. 24
Perkawinan diartikan seorang perempuan hanya memiliki seorang suami dan seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri. (KUH Perdata ps. 27)
-
e. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
f. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh
karena itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan
diputuskan bersama oleh suami-istri.
g. Asas pencatatan pernikahan. Pencatatan pernikahan mempermudah
mengetahui orang-orang yang sudah menikah atau melakukan ikatan
perkawinan.25
6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga untuk mencapai tujuan syariat yaitu kemaslahatan dalam kehidupan.
Adapun secara rinci, tujuan-tujuan dari pelaksanaan pernikahan dalam
rangka membentuk lembaga keluarga (rumah tangga), yakni sebagai berikut:
a. Menurut al-Quran
1) Dalam surat al-Araf ayat 189, menyatakan bahwa tujuan pernikahan
itu adalah untuk bersenang-senang.
2) Dalam surat ar-Rum ayat 21, menyatakan bahwa tujuan pernikahan
adalah: litaskunu ilaiha (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah
(kasih sayang).26
25 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarijan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU no. 1/1974 sampai KHI, ed.I, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 54.
-
b. Menurut Hadis
1) Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan
2) Sebagai kebanggaan Nabi SAW di hari kiamat.27
c. Menurut Akal
1) Meningkatkan jumlah manusia
2) Mewujudkan keteraturan nasab
3) Menertibkan masalah kewarisan.28
Sedangkan hikmah yang terkandung dalam pernikahan itu antara lain:
a. Pernikahan sesuai dengan fitrah manusia untuk berkembang biak dan
melampiaskan syahwat.
b. Upaya Menghindarkan diri dari perbuatan maksiat (zina).
c. Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan jelas nasabnya..
d. Memperkokoh tali persaudaraan dalam masyarakat, terutama antar
keluarga.
e. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tenteram dengan adanya cinta
dan kasih saying antara sesama.29
26 A. Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo; Topik-topik Pemikiran Aktual Diskusi, Pengajian, Ceramah, Khutbah, dan Kuliah Shubuh di Tanah Gayo Tahun 2006, ed.I, (t.t.: Qalbun Salim, 2007), h. 86.
27 Ibid., h. 88.
28 Ibid., h. 89. 29
Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, cet.II, (Jakarta: eLSAS, 2008), h. 12.
-
B. Ajaran Islam untuk Mencari dan Memilih Pasangan Hidup
Agama Islam memberikan kebebasan, baik kepada laki-laki maupun
perempuan untuk mencari pasangan hidupnya menurut selera dan perasaan
cintanya masing-masing. Meskipun demikian, bukan berarti Islam memberikan
kebebasan secara mutlak dalam hal mencari dan memilih pasangan hidup tanpa
mengindahkan kaidah-kaidah hukum agama, nilai-nilai, dan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat. Islam dengan jelas dan tegas mengharamkan cara
mencari dan memilih pasangan hidup melalui hubungan bebas (free love),
melakukan hubungan seks di luar pernikahan (free sex), karena dalam hukum
Islam disebut zina.
Sebagaimana dijelaskan secara tegas dalam al-Quran surat al-Isra ayat 32:
5b (*J&4 A;fghi0 ( jk"34 #l ,=mR V0n Zo39n MgNP
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk. (QS. Al-Isra, 17:32)
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam sangat mengharamkan hubungan
bebas di luar pernikahan secara resmi antara laki-laki dengan perempuan atau
sebaliknya, karena perbuatan itu termasuk zina yang kotor dan keji. Islam sangat
menghargai kehormatan dan kemuliaan manusia.
1. Kriteria Calon Suami
-
Kriteria calon suami harus diketahui oleh pihak perempuan yang
bersangkutan yang hendak menjalankan rumah tangga dan juga harus diketahui oleh orang tua perempuan sebagai penanggungjawabnya.30 Hal ini karena pihak perempuan sangat bergantung kepada suaminya dalam
membentuk dan membina rumah tangganya.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini: p#ghJ0 qr*s*# A
V0W X0 03 56atR uV0 \15t7 @A vw7 V03 (*!4"
31*& @ Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya... (QS. An-Nisa, 4:34)
Sesuai dengan fungsinya sebagai suami yang mengendalikan biduk
rumah tangga secara fitrah, fisiologis dan psikologis, maka suami berhak
untuk memimpin, membimbing dan menjaga keluarganya secara lahir dan
batin. Adapun kriteria-kriteria yang harus dimiliki seorang laki-laki sebagai
calon suami adalah sebagai berikut:
a. Laki-laki yang seagama
Dalam hal memilih calon suami, pihak perempuan dan
keluarganya wajib untuk memilih laki-laki yang seagama.31 Dalam ajaran
Islam, seorang perempuan muslimah diharamkan menikah dengan seorang
30 Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-Aziz.
Penerjemah Maruf Abdul Jalil, cet.I, (Jakarta: Pustaka al-Sunnah, 2006), h. 537. 31
Muhammad Zakariyya al-Kandahlawi, Aujar al-Masalik ila Muwatha Malik, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), h.391.
-
laki-laki non-muslim. Sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-
Quran berikut ini:
.. " #$ %&' $ )*+ # .. .
Artinya: jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. .. (QS. Al-Mumtahanah, 60:10)
5b (*, Fl3yz&0 @Y{|
} @ = =;X yJS C=l3yz *
9 5b (*,7 Bl3yz&0 @Y{|
(*, @ YcC7 yJS C3yz * 9
Ck *c Av34 ?0
-
ketakwaannya) melebihi dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan suami itu sebagai pemimpin keluarga yang bertanggung jawab membawa istri ke jalan benar atau salah, baik di dunia maupun di akhirat kelak.32 Kuat beragama di sini adalah kuat dalam pengakuan dan kuat dalam
menjalankan agama Islam, bukan hanya kuat dalam pengakuan tetapi lemah dalam menjalankannya.
Seorang suami wajib menjaga keluarganya dari api neraka, artinya
kebahagiaan dan keselamatan keluarganya di dunia dan di akhirat adalah
tanggung jawab seorang suami sebagai kepala rumah tangga.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Quran berikut ini: 0=qck B#KV0 (*, ()*7#
W !" o3 X?0" ...
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)
Rasulullah SAW menjelaskan dalam sebuah hadis: $ 4' 7 @ 4= " 7 > ? 18@- 6 $M- 7 > : 1 .=
1 .= ;O ;O %& > ;O
$ Q ' >R %M 8 ;OQ @ >" ,TC .1 .=
1 .= ;O .) K#(33
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kamu semua adalah pemimpin dan kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Para penguasa adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Orang laki-laki adalah pemimpin di rumahnya (keluarganya), dia juga akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin
32 Haya Binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah. Penerjemah Amir Hamzah
Fachrudin, cet.I, (Jakarta: Darul Falah, 1998), h. 101. 33
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1668
-
di dalam rumah suaminya, dia pun akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pembantu adalah pemimpin harta tuannya, dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Maka kamu semua adalah pemimpin dan kamu semua akan ditanya tentang kepemimpinanmu. (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun cara untuk memilih calon suami yang taat dalam
menjalankan semua ajaran Islam, dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-
harinya. Dalam hal ini adalah ketaatan terhadap perintah Allah SWT dan
Rasulullah SAW dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan orang tuanya,
saudara-saudaranya dan dengan masyarakat lingkungan sekitarnya.
Biasanya, orang yang ahli ibadah itu disenangi, dihormati dan dikagumi
atau menjadi panutan masyarakat.
c. Laki-laki yang berpengetahuan luas
Perempuan yang beragama Islam, hendaklah memperhatikan dan
memprioritaskan calon suami beragama Islam yang memiliki pengetahuan
(intelektual) yang lebih luas atau lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri.
Yang dimaksud pengetahuan di sini adalah memiliki ilmu,
wawasan dan konsep secara menyeluruh, bukan saja mengenai
pengetahuan agama, tetapi juga tentang masalah umum, termasuk seputar
masalah rumah tangga.
Seorang suami memikul tanggung jawab yang sangat berat dalam
membentuk, membina, dan menjaga rumah tangganya. Suami dituntut
bukan saja untuk memberi nafkah lahir dan batin, sandang, pangan dan
papan, tetapi ia juga berkewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya.
-
Di sinilah letak peranan suami dalam mendidik istri untuk menjadi
pendidik yang baik dan handal, suami harus memiliki pengetahuan
(intelektual) yang lebih tinggi dan luas. Di samping itu, seorang suami
merupakan tempat berlabuh, bersandar dan mengadu seorang istri dalam
menghadapi masalahnya.
d. Laki-laki yang mampu membiayai hidup
Dalam kehidupan berumah tangga, pasti banyak sekali kebutuhan
yang harus dipenuhi. Suatu kebahagiaan yang tidak ternilai harganya jika
kebutuhan dalam suatu rumah tangga telah terpenuhi walaupun baru
kebutuhan pokok (primer-nya) saja, suasana kehidupan rumah tangga
akan terasa tenang, tenteram, dan nyaman. Sebaliknya, jika suatu rumah
tangga belum dapat memenuhi kebutuhan pokok, maka sulit diharapkan
akan tercipta suasana kehidupan rumah tangga yang tenang, tenteram dan
penuh kebahagiaan.
Itulah sebabnya, Islam melarang kaum laki-laki yang belum
mampu membiayai kebutuhan rumah tangga memaksakan diri untuk
menikah, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam ayat al-Quran
berikut ini:
7 2& B#KV0 5b c1 ##" @Y{|
y,& uV0 3tR
-
Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya... (QS. An-Nur, 24:33)
Dengan demikian, bagi seorang suami, memenuhi kebutuhan
rumah tangga itu merupakan suatu kewajiban, karena istri dan anak
termasuk dirinya sendiri memerlukan kebutuhan pokok, seperti makan,
minum, sandang, dan lain-lain yang menyangkut kehidupan sehari-hari
umat manusia. Orang yang hidup serba kekurangan atau belum mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya, terkadang kurang khusyu dalam
melaksanakan ibadah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang laki-laki sebagai kepala
rumah tangga memikul tanggung jawab yang berat, yakni harus memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya dalam berumah tangga. Sebagaimana
dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadis:
' 4 Q 4' =.* 4: % " - @8? 7 > " = :* 1K
$ >6 : B$M W = .; #; X >
%R@ >C YM Z,@. )% 4' T(34
Artinya: Dari Hakim Ibnu Muawiyah dari bapaknya bahwa: Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, Wahai Rasulullah! Apakah hak seorang suami terhadap istrinya? Beliau bersabda: Hendaklah memberinya makan seperti yang ia makan dan memberinya pakaian seperti ia berpakaian. (HR. Ibnu Majah)
34 al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, , h. 593.
-
Hal yang tak kalah penting yang perlu diperhatikan oleh seorang
perempuan muslimah dan orang tua atau walinya adalah hendaknya
mengetahui sifat dan sikap calon suami tersebut.
Adapun sifat dan sikap seorang laki-laki yang baik untuk menjadi suami yang baik sesuai dengan pandangan Islam, yakni sebagai berikut:
1) Bertanggung jawab 2) Rajin bekerja 3) Berwibawa
4) Penyabar
5) Memiliki sikap humor
6) Adil dan Bijaksana 7) Jujur dan dapat dipercaya 8) Tidak cemburu berlebihan
9) Dapat membimbing dan mendidik istri
10) Tidak pemarah
11) Tidak kikir namun tidak boros dalam memberikan uang belanja 12) Tidak ringan tangan.35
Apabila telah menemukan kriteria seorang laki-laki yang mempunyai
sifat dan sikap yang demikian, insyaAllah harapan dan tujuan dalam berumah tangga yang didambakan sesuai selera hati akan tercapai, yakni rumah tangga
yang sakinah mawaddah warahmah.
2. Kriteria Calon Istri
35 Asrorun Niam Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 27.
-
Dalam hal memilih calon istri, bagi kaum laki-laki harus memiliki
kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekadar untuk
pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk sekadar permainan belaka
(kawin-cerai) dan juga bukan untuk sementara waktu (seumur jagung), tetapi berumah tangga adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah
yang sakral yang telah diatur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama
dan maupun oleh negara.
Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu
memperhatikan kriteria-kriteria calon istri sehingga pemilihan calon istri
tersebut merupakan hasil penyeleksian pemikiran yang matang, bukan sekadar
asal-asalan. Hal itu ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam berumah
tangga.
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh kaum laki-laki dalam
memilih calon istri, yaitu:
a. Motivasi pernikahan
Pada hakikatnya, dalam hal memilih calon istri itu terdorong oleh
empat faktor, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah SAW:
4 ' > 87 - - @8? 7 > " =6 :-.Z $
'H :$M 2;@M Y$M -MC \' ], 4 'R .
) K#(36
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya,
36 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari., h. 1639.
-
kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan. (HR. Bukhari dan Muslim)
1) Faktor harta kekayaan
Rasulullah SAW berpesan kepada kaum laki-laki dalam hal
memilih calon istri agar bukan karena dorongan faktor kekayaan
sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:
6 $ 4' 7 @ 4 : = " 7 > ? 7 " 6 %
,-; 2;-M4C ;* >;-M4 M4 %4 M4C ; >
M4 B`M4 .4 %4 , >4 ...)% 4' T(37
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah menikahi seorang wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan kecantikannya itu justru menyesatkan. Jangan pula karena hartanya itu karena dapat membuatnya menjadi sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya... (HR. Ibnu Majah)
Oleh karena itu, untuk memperoleh harta kekayaan bukanlah
dengan cara menikahi perempuan kaya, tetapi harus berusaha dengan
sendiri. Karena perkawinan bukanlah jalan untuk memperoleh harta kekayaan, melainkan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga bahagia sejahtera.
2) Faktor kedudukan
Rasulullah SAW pun berpesan dalam sebuah hadis,
37 al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah, h. 584.
-
6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 64
, = T7 b... )$* T(38
Artinya: Dari anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menikahi seorang perempuan karena kebangsawanannya (kedudukan), niscaya Allah tidak akan menambah kecuali kehinaannya. (HR. Ahmad)
Dengan demikian, untuk memperoleh status sosial atau
kedudukan yang terhormat, baik dalam lingkungan kerja atau
lingkungan masyarakat, adalah dengan berusaha sendiri, bukan dengan
cara menumpang orang lain, termasuk istri sendiri.
3) Faktor kecantikan
Rasulullah SAW bersabda, Janganlah menikahi seorang
wanita semata-mata karena kecantikannya, jangan-jangan
kecantikannya itu justru menyesatkan. ... (HR. Ibnu Majah)
Namun, bila kecantikan istri itu ditunjang oleh kecantikan
rohaninya yakni agamanya, kecantikannya itu bukan saja
menimbulkan rasa cinta bagi suami, tetapi juga akan membawa
ketenteraman dan ketenangan batin suami. Karena suami percaya pada
istrinya yang memiliki agama yang kuat, sehingga tidak mencurigai
istrinya berselingkuh. Hal semacam ini telah dijanjikan Allah SWT
dalam ayat al-Quran berikut ini:
*7 i#KV0 4 vs&k" E;c 5678
38 Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 395.
-
0=[ 018' S 2 0=y34 (
Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. .. (QS. Al-Araf, 7:189)
4) Faktor agama
Seorang laki-laki yang menikahi seorang perempuan karena
faktor agama maka ia akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW dalam
hadisnya,
6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 64
67 ? 2QC >B -C #K7 C >B @6> .
) T$*(39
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa dikaruniai istri yang shalihah oleh Allah, berarti ia telah menyelamatkan separuh agamanya. Maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam separuhnya lagi. (HR. Ahmad)
Untuk itu, hendaknya mengutamakan faktor agama dalam
menikahi seorang perempuan, yakni taat (konsisten) dalam melakukan
ajaran-ajaran agama, taat kepada suaminya, menyenangkan hati suami,
dan dapat menjaga dirinya dan harta suami manakala suami bepergian.
b. Status atau keberadaan perempuan untuk dinikahi
39 Ibid., h. 389.
-
Yang dimaksud dengan status atau kedudukan perempuan di sini
adalah boleh tidaknya seorang perempuan dinikahi berdasarkan hukum
agama Islam, Undang-undang dan Adat/Tradisi setempat.
Dalam ajaran Islam dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku
di Indonesia, tidak semua orang boleh dinikahi. Ada orang-orang yang
haram dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad), yaitu orang yang
memiliki hubungan darah (nasab), hubungan kerabat semenda
(mushaharah), atau hubungan sepersusuan (radhaah). Ada pula yang
haram dinikahi untuk sementara waktu (mahram muaqqat).40
Allah SWT berfirman:
5b (*, 0 " !V0 q V0W X0 ab34 0 c#
n @ jk"34 05 ,=mR 0.&4 V0n eo39n
MNNP FghJ !9&o 1
-
313 5R 0;X8 !9&o 6k !9V0;X
BoK0 !93C (*7 q
PBSZ0 ab34 0 c# n ar34 KV0 #l
X?*! 02s? MNgP _ !F;XW&0 S
V0W X0 ab34 0 F !9X (
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah Telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. (QS. An-Nisa, 4:22-24)
Dalam hukum adat pun terdapat larangan menikahi orang-orang
tertentu. Dalam adat masyarakat Minang, misalnya, berlaku eksogami
suku yaitu orang yang sesuku di dalam satu desa tidak boleh nikah. Begitu
-
juga dalam adat masyarakat Batak, berlaku larangan pernikahan
semarga.41
c. Sifat dan sikap calon istri
Ada beberapa sifat pada diri seorang perempuan yang dapat
dijadikan modal atau syarat untuk terciptanya suatu keluarga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Shalihah (taat) dalam beragama
Perempuan shalihah adalah perempuan yang benar-benar baik
akidahnya, baik akhlaknya dan baik pula ibadahnya; niscaya akan
menjadi istri yang benar-benar berbakti kepada suami, pandai menjaga
kehormatan diri dan pandai pula menjaga kehormatan saat suami tiada
di sampingnya.42 Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya:
!F300R ]F,# F! &oR/
03 uV0 @ Artinya: Maka perempuan-perempuan yang shalihah, adalah
mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka) (QS. An-Nisa, 4:34)
Istri yang shalihah itu merupakan perhiasan yang paling indah
di dunia serta memiliki nilai yang tinggi dan agung. Shalihahnya
41 A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:
FSH UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 101. 42
M. Nipan Abdul Halim, Membahagiakan Istri sejak Malam Pertama, cet.II, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 43.
-
seorang perempuan bukanlah sebatas pengakuannya saja, tetapi
tercermin dari segala perilaku kehidupan sehari-hari, baik sebelum
berumah tangga maupun sesudah hidup berumah tangga.
Rasulullah SAW bersabda:
7 > ? 7 " $ 4' 7 @ 4 6 = " : 1 #
c #M $G 2Q .) T= ;(43
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Amr, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Dunia adalah hiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita shalihah. (HR. Muslim)
Dengan demikian, maka perempuan shalihah itu kelak akan
menjadi istri terbaik di hadapan suaminya. Ia menyenangkan setiap
kali dipandang oleh sang suami, taat apabila diperintah, rela dengan
apa yang diterima dan senantiasa menjaga kehormatan keluarganya.
Hal ini dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
c,- ; 4 d M" ! M W#! 6 ;$R M
'! E @R -M* d#!C >;M ! .);- T(
Artinya: Sebaik-baik istri ialah dia yang jika kau pandangi, ia menyenangkanmu; jika kau perintah, ia menaatimu; jika kau beri bagian, ia senang menerimanya dan jika kau tinggalkan, ia senantiasa menjaga kehormatan dirinya dan hartamu. (HR. An-Nasai)
Kemanfaatan hidup seorang mukmin yang paling tinggi ialah
bertakwa kepada Allah SWT. Karena dengan bertakwa kepada-Nya,
43 Abu al-Husain Muhammad Ibn al-Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim, juz-5,
(Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Araby, t.th.), h. 1090.
-
niscaya ia akan meraih kebahagiaan hidup yang sejati, baik di dunia
maupun di akhirat. Namun ada kemanfaatan lain yang juga akan
melengkapi kebahagiaan dunia dan akhirat, yakni kemanfaatan
beristrikan perempuan shalihah. Sebagaimana dijelaskan oleh
Rasulullah SAW dalam sabdanya:
6 - 7 8 Q >' 4 : = " 7 > ? 7 " 6
"# $O4' # 7 %& c 4 %Q? 2Q...
) T$*(44
Artinya: Dari Abu Umamah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tiada kemanfaatan yang lebih baik bagi insan beriman setelah bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla, selain istri yang shalihah... (HR. Ahmad)
Itulah kemanfaatan beristrikan perempuan shalihah. Dia
senantiasa menjadi pendukung dan motivator bagi segenap
keluarganya menuju kebahagiaan dunia hingga akhirat. Ia akan
mengingatkan dengan penuh kasih kepada suami dan anak-anaknya
saat mereka melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan. Ia
akan senantiasa memberikan dorongan yang dapat membangkitkan
semangat bagi suami dan anak-anak agar menghambakan diri secara
total kepada Allah SWT. Ia akan selalu memberikan semangat kepada
suami agar tekun bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga dan demi terpenuhinya totalitas penghambaan diri kepada
44 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 389.
-
Allah SWT. Sehingga kebahagiaan dunia-akhirat pun akan lebih
dirasakan oleh keluarga yang bersangkutan.45
2) Berasal dari keturunan (nasab) yang baik
Istri ibarat ladang tempat bercocok tanam bagi suami. Maka
ladang yang subur tentunya akan menumbuhkan tanaman yang subur
pula, ladang yang gersang akan menggersangkan tanamannya juga,
dan seterusnya. Allah SWT mengibaratkan hal ini dalam firman-Nya:
lV0W 3 YJ K Artinya: Istri-istrimu adalah ladang bagimu
(QS. Al-Baqarah, 2:223)
Jika para ahli genetika mengatakan bahwa gen-gen akan
memberikan pembawaan tersendiri kepada keturunan generasi
berikutnya secara langsung atau berselang, maka jauh sebelumnya
Rasulullah SAW telah menegaskan hal ini dalam sabdanya:
6 - 7 8 ! 4' a 4 : = " 7 > ? 7 " 6
%C >2YG ZC "... )$* T(46
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Kawinlah dengan golongan yang shalih sebab pengaruh keturunan itu sangat kuat. (HR. Ahmad)
Sehubungan dengan itu, maka calon istri yang ideal tentulah
perempuan yang bernasab baik-baik, perempuan yang diturunkan dari
alur keluarga yang baik-baik. Dan para remaja muslim seharusnya
45 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 46.
46 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.
-
memilih perempuan yang bernasab baik-baik tatkala hendak
menentukan pilihannya. Sehingga diharapkan kelak akan melahirkan
anak-anak yang baik pula.47
Baiknya seorang istri dalam suatu rumah tangga itu merupakan
hasil bimbingan dan didikan kedua orang tuanya. Peran kedua orang
tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya sangatlah penting
dalam lingkungan keluarga. Keluarga adalah sarana dan wahana yang
pertama dan pokok dalam membimbing dan mendidik anak untuk
membentuk suatu kepribadian, mengenal nilai-nilai dan norma-norma
serta hukum-hukum yang berlaku di masyarakat kelak.
Kaum laki-laki yang menginginkan calon istri yang shalihah,
carilah dari keluarga yang baik. Biasanya dari keturunan yang baik
(agamis), terlahir anak-anaknya yang baik pula. Sebaliknya, suatu
keluarga yang jauh dari agama, terlahir pula anak-anaknya yang jauh
dari agama.
3) Bukan kerabat yang dekat
Kerabat dekat itu adalah kerabat yang memiliki garis keturunan
(kerabat atau saudara) antara calon istri dengan calon suami. Bila
terjadi pernikahan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki
yang masih ada hubungan kekerabatan atau tali persaudaraan
berdasarkan garis keturunan antara keduanya, maka pernikahan itu
47 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 54.
-
dapat mengakibatkan lemahnya nafsu syahwat, baik terhadap suami
dan atau istri. Apabila tetap dilangsungkan pernikahan, maka
dikhawatirkan akan lahir anak-anak yang lemah.48
Anak yang lemah di sini ada dua kemungkinan, yakni:
pertama, lemah dalam hal fisik (jasmani), yaitu anak yang lahir cacat
tubuhnya. Kedua, lemah dalam hal rohani (jiwa), yaitu si anak akan
lahir dengan kecerdasan yang kurang bahkan tergolong idiot.
Sehubungan dengan itu, maka sebaiknya para remaja muslim
menghindari pilihan dari perempuan yang masih keluarga dekatnya,
sekalipun ia tidak termasuk perempuan yang haram dinikah. Dengan
demikian, insyaAllah keluarga yang bakal dibentuk akan lebih
mendatangkan kebahagiaan. Anak-anak yang lahir akan lebih sehat
baik fisik maupun mentalnya dan jumlah saudaranya pun akan lebih
besar.
4) Perawan (gadis)
Setiap laki-laki muslim hendaklah memilih calon istri yang
masih gadis (perawan). Hal ini selain erat hubungannya dengan
kesuburan perempuan yang bersangkutan sehingga lebih
memungkinkan akan melahirkan banyak anak, juga banyak
48 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malyabary, Fath al-Muin bi Syarh Qurrat al-Ain,
(Surabaya: Maktabah Muhammad Ibnu Nabhan wa Auladah, t.th.), h. 99.
-
keistimewaan yang bakal diperoleh oleh suami. Keistimewaan-
keistimewaan ini dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya:
6 - 7 8 '% 4 := " 7 > ? 7 " 6 .=
''.C M4 ] C #K * 61&c b@ ' >; .
) T$*(49
Artinya: Dari Jabir r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Hendaklah kalian menikahi wanita yang masih gadis, karena ia lebih manis tutur katanya, lebih banyak keturunannya, lebih kecil kemungkinan berkhianatnya dan lebih bisa menerima pemberian yang sedikit. (HR. Ahmad)
Dengan demikian, pernikahan antara laki-laki bujangan dengan
perempuan yang berstatus gadis merupakan pernikahan yang ideal.
Karena kedua belah pihak sama-sama memasuki gerbang kehidupan
yang baru dan keduanya pun sama-sama belum memiliki pengalaman.
Rasulullah SAW pernah memberikan anjuran untuk menikahi
perempuan yang masih gadis, sebagaimana yang dijelaskan dalam
hadits:
4% ' - @8? 7 > " =6 :% ' %R' . i ,@
6 :i,@C : %R' . @M @! .) K#(50
Artinya: Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadanya, Hai Jabir, dengan siapakah engkau menikah, perawankah atau janda? Jawab Jabir, Saya menikah dengan janda. Beliau bersabda, Alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan (gadis). Engkau dapat menjadi hiburannya dan dia pun menjadi hiburan bagimu. (HR. Bukhari dan Muslim)
49 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394.
50 al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1639
-
Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan
adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan
buruknya perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak,
kepribadian, dan sebagainya. Bahkan pernikahan antara laki-laki
muslim dan perempuan yang telah hilang keperawanannya akibat
hubungan zina itu haram hukumnya. Sebagaimana ditegaskan Allah
SWT dalam ayat al-Quran berikut ini:
A3f
-
rahim seorang perempuan merupakan hal yang sangat penting dalam
membentuk suatu rumah tangga.
Islam mengajarkan kepada para jejaka agar memilih
perempuan-perempuan yang subur. Sehingga kelak akan berbahagia
hidup bersama istri dan anak-anak yang bakal dilahirkannya. Bahkan
lebih baik lagi apabila memilih perempuan dari keturunan yang
banyak anak, agar kelak dari rahimnya akan lahir banyak anak pula.
Hal ini secara tegas diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam
sabdanya:
6 - 7 8 ; 4' & 4 := " 7 > ? 7 " 6
% C , 8.i' .= = Q .)$* T(51
Artinya: Dari Maqal Ibnu Yasar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Nikahilah calon istri yang subur (banyak anak) lagi penyayang, karena kelak pada hari kiamat aku akan membanggakan jumlah kalian yang besar di hadapan umat-umat yang lain. (HR. Ahmad)
Untuk mengetahui subur atau tidaknya calon istri, bisa
dilakukan dengan mengamati alur keturunannya dari atas. Jika ternyata
mereka itu rata-rata beranak banyak atau berjumlah cukup dan tidak
ada jalur yang mandul, niscaya lebih bisa diharapkan bahwa
perempuan calon istri tersebut pun memiliki gen (benih keturunan)
yang sama-sama subur.52
51 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 394
52 M. Nipan, Membahagiakan Istri, h. 49.
-
Dengan mempunyai istri yang memiliki kesuburan atau tidak
mandul, pasangan suami-istri tinggal menunggu waktu saja akan
kedatangan anak buah hati penguat suatu rumah tangga.
6) Sekufu (sepadan)
Yang dimaksud dengan kafaah di sini adalah kesamaan,
kesepadanan antara calon suami dan calon istri atau antara keluarga
dari calon istri dengan keluarga dari calon suami.53
Untuk keterangan lebih lanjut tentang kafaah ini, akan dibahas
tersendiri.
7) Keringanan mas kawin (mahar)
Rasulullah SAW menegaskan bahwa nilai maskawin yang baik
adalah yang ringan. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis,
4' 4 @ >7 -6 :6 "7 ? 7 > " =c
,-; ;4? 6 .)$* T(54
Artinya: Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya (mahar). (HR. Ahmad)
Dari hadis tersebut, jelaslah bahwa maskawin (mahar) di
dalam suatu pernikahan tidak harus bernilai tinggi sehingga
memberatkan pihak pelamar (calon suami). Karena mahar bukanlah
merupakan tanda kemuliaan seseorang dan bukan pula jalan untuk
53 Al-Malyabury, Fathul Muin, h. 106.
54 Ibnu Hanbal, al-Musnad, h. 494.
-
menaikkan derajat seseorang, tetapi untuk menyatakan kesungguhan
seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Mahar bukan
merupakan rukun pernikahan, bukan pula sebagai perjanjian jual-beli
atau untuk memperoleh seorang perempuan.
Adapun sikap yang ideal pada diri seorang perempuan untuk
membentuk suatu rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah itu
adalah sebagai berikut:
1) Taat kepada Allah SWT
2) Taat kepada suami dalam hal tidak mendurhakai Allah
3) Pandai mengatur rumah tangga
4) Menerima pemberian suami, baik sedikit maupun banyak
5) Menjaga rahasia suami
6) Menyenangkan suami
7) Selalu meminta izin suami
8) Menjaga kehormatan diri
9) Menjaga harta suami
10) Lemah lembut dalam berbicara
11) Tidak berbicara dengan orang lain (bukan muhrimnya)
12) Tidak boros terhadap nafkah suami
13) Tidak cemburu yang tidak beralasan
14) Tidak berburuk sangka terhadap suami
15) Tidak bersentuhan bukan dengan suami
-
16) Tidak berwajah muram terhadap suami
17) Tidak mengubah ciptaan Allah.55
C. Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah
Berangkat dari kesadaran yang utuh bahwa rumah tangga Islami baru akan
terbentuk dari pribadi-pribadi yang Islami, maka sesungguhnya elemen dasar
pembentuk keluarga sakinah harus diwujudkan terlebih dahulu. Adanya proses
perbaikan, pembinaan dan peningkatan kapasitas dan berbagai potensi kaum
muslimin merupakan langkah awal dan paling mendasar dari keseluruhan kerja
panjang ini.56
Rumah tangga Islami senantiasa dilingkupi suasana sakinah, mawaddah
dan rahmah (perasaan tenang, cinta, dan kasih sayang) setiap harinya. Seluruh
anggota keluarga merasakan suasana surga di dalamnya. Baiti jannati!
Hal itu terjadi karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan
manusia, baik yang berkaitan dengan individu maupun kelompok, hubungan antar
kelompok masyarakat, bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga
terdapat peraturan-peraturan baik yang rinci maupun global, yang mengatur
individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan.57
55 M. Fauzil Adhim, Saatnya untuk Menikah, cet.III, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 45
56 Cahyadi Takariawan, Pernak-pernik Rumah Tangga Islami; Tatanan dan Peranannya
dalam Masyarakat, cet.I, (Solo: Intermedia, 1997), h. 20. 57
Ibid., h. 21.
-
Adapun yang menjadi konsekuensi bagi tegaknya rumah tangga Islam, di
antaranya yaitu:
1. Didirikan atas landasan ibadah
Rumah tangga Islami harus didirikan dalam rangka beribadah kepada
Allah semata. Artinya, sejak proses memilih jodoh, landasannya haruslah
benar. Memilih pasangan hidup haruslah karena kebaikan agamanya, bukan
sekedar karena kecantikan, harta, maupun karena keturunannya.
Proses pernikahannya pun -sejak akad nikah hingga walimah- tetap
dalam rangka ibadah, dan jauh dari kemaksiatan. Sampai akhirnya, mereka
menempuh bahtera kehidupan dalam suasana taabudiyah (peribadahan) yang
jauh dari dominasi hawa nafsu.
0 !F&4S }1&0 s"F0 ab34 PcC7o
M3P Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar
mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat, 51:56)
Ketundukan sejak langkah-langkah awal mendirikan rumah tangga
setidaknya menjadi pemicu untuk tetap tunduk dalam langkah-langkah
selanjutnya. Kelak, jika terjadi permasalahan dalam rumah tangga, mereka
akan mudah menyelesaikannya, karena semua telah tunduk kepada peraturan
Allah dan Rasul-Nya.58
2. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah
58 Ibid., h. 22.
-
Internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah (menyeluruh) harus terjadi
dalam diri setiap anggota keluarga, sehingga mereka senantiasa komit
terhadap adab-adab Islam. Di sinilah peran keluarga sebagai benteng terkuat
dan filter terbaik di era glabalisasi yang mau tak mau harus dihadapi kaum
muslimin.
01k q#KV0 (*, (*7S20 A3B \R 0 ,=KRV05
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan,.. (QS. Al-Baqarah, 2:208)
Untuk itu, rumah tangga Islami dituntut untuk menyediakan sarana-
sarana tarbiyah Islamiyah yang memadai, agar proses belajar, menyerap nilai
dan ilmu, sampai akhirnya aplikasi dalam kehidupan sehari-hari bisa
diwujudkan. Nilai-nilai internalisasi Islam ini harus berjalan secara terus-
menerus, bertahap, dan berkesinambungan.59
3. Terdapat qudwah yang nyata
Diperlukan qudwah (keteladanan) yang nyata dari sekumpulan adab
Islam yang hendak diterapkan. Dalam hal ini, orang tua memiliki posisi dan
peran yang sangat penting. Sebelum memerintahkan kebaikan atau melarang
kemungkaran kepada anggota keluarga yang lain, pertama kali orang tua harus
memberikan keteladanan.
59 Ibid., h. 23.
-
y5 0.&4 cX V0 (**!4 0 5b qr*77&
MgP Artinya : Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-
apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaff, 61:3)
Keteladanan semacam ini sangat diperlukan, sebab proses interaksi
anak-anak dengan orang tuanya dalam keluarga sangat dekat. Anak-anak akan
langsung mengetahui kondisi ideal yang diharapkan. Di sisi lain, pada saat
anak-anak masih belum dewasa, proses penyerapan nilai lebih tertekankan
pada apa yang mereka lihat dan dengar dalam kehidupan sehari-hari.60
4. Penempatan posisi masing-masing anggota keluarga
Islam telah memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing anggota keluarga secara tepat dan manusiawi. Apabila hal itu ditepati, akan
mengantarkan mereka pada kebaikan dunia dan akhirat.
5b (*
-
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa, 4:32)
Masih banyak keluarga muslim yang belum bisa berbuat sesuai
dengan tuntutan Islam. Sumber bencana banyak yang berawal dari
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Fungsi-fungsi tidak bisa berjalan
dengan normal, karena adanya katub-katub curahan perasaan yang tersumbat,
dan akhirnya meledak dalam bentuk penyimpangan-penyimpangan.61
5. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Islam
Berkhidmat dalam kebaikan tidaklah mudah, sangat banyak gangguan
dan godaannya. Jika semua anggota keluarga telah bisa menempatkan diri
secara tepat, maka taawun (tolong-menolong) dalam kebaikan ini akan lebih
mungkin terjadi.
(*"07 A 3hy&0 i*&40 ( 5b
(*"07 A \&\F0 Pc7&0 @
(*!4
-
6. Rumah harus kondusif bagi terlaksananya peraturan Islam
Rumah tangga Islami adalah rumah yang secara fisik kondusif bagi
terlaksananya hukum Islam. Adab-adab Islam dalam kehidupan rumah tangga
akan sulit diaplikasikan jika struktur bangunan rumah yang dimiliki tidak
mendukung. Adanya sekat antara ruang tidur, ruang tamu, dan dapur bahkan
adanya ruang khusus bagi anak perempuan yang terpisah dengan anak laki-
laki, dapat menghindarkan dari berbagai penyakit rohani dan penyakit sosial
yang merupakan ancaman yang serius.62
7. Tercukupinya kebutuhan materi secara wajar
Demi mewujudkan kebaikan dalam rumah tangga Islami itu, tidak
lepas dari faktor biaya. Memang, materi bukanlah segala-galanya, bukan pula
merupakan tujuan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Akan tetapi, tanpa
materi, banyak hal yang tidak bisa didapatkan.
0 V0oR q uV0 ?0V0 ;JS.0 ( 5b qX CC2" q
0o"?c0 (
Artinya: Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS. Al-Qashash, 28:77)
Tindak lanjut dari landasan keenam di atas, dengan amat jelas
menggambarkan betapa keluarga muslim dituntut memiliki materi yang
cukup. Rumah yang luas dan kondusif pun juga dibutuhkan bagi upaya
62 Ibid., h. 25.
-
terbentuknya suasana Islami. Bahkan untuk sarana berlangsungnya proses
Tarbiyah Islamiyah dalam keluarga pun membutuhkan sejumlah materi.
Membuat perpustakaan kecil di rumah atau menghadirkan sarana-sarana
bermain Islami yang mencerdaskan anak juga memerlukan biaya. Belum lagi
untuk pendidikan yang bermutu. Semua tak bisa dilepaskan dari faktor
materi.63
8. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam
Menyingkirkan dan menjauhkan berbagai hal di dalam rumah tangga yang tidak sesuai dengan semangat ke-Islam-an harus dilakukan. Pada kasus-
kasus tertentu yang dapat ditolerir, benda-benda, hiasan, dan peralatan harus
dibuang atau dibatasi pemanfaatannya.
Berbagai macam benda keramat yang dipercaya bisa memberikan
kemanfaatan dan menolak kemudharatan, akan menjauhkan mereka dari keridhaan Allah dan bertentangan dengan semangat Islam. Oleh karena itu,
hal itu perlu dihindari dan dibuang jauh-jauh. Berbagai peralatan elektronik seperti radio, televisi, computer dengan
jaringan internet memiliki manfaat bagi pemiliknya, namun di sisi lain ada bahaya yang siap mengancam. Maka keluarga harus memiliki pembatasan
yang jelas dan tegas dalam pemanfaatannya.64
0=qck B#KV0 (*, ()*7# W !"
o3 X?0"
63 Ibid., h. 25.
64 Ibid., h. 26.
-
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim, 66:6)
9. Berperan aktif dalam pembinaan masyarakat
Diperlukan sebuah upaya ishlahul mujtama (pembinaan masyarakat)
di sekitarnya menuju pemahaman yang benar tentang nilai-nilai Islam yang
shahih, untuk kemudian berusaha bersama-sama membina diri dan keluarga
sesuai dengan arahan Islam.
20 @Av34 P6o39n C3? =&003
=!*&0 =,W =&0 ( \1&c8 Y|K003 ?
W @ Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (Qs. An-Nahl, 16:125)
Dalam era globalisasi informasi saat ini, kita tidak bisa hidup sendirian
terpisah dari masyarakat. Betatapun taatnya keluarga kita terhadap norma-
norma ilahiyah, apabila lingkungan tidak mendukung, pelarutan-pelarutan
nilai akan mudah terjadi, lebih-lebih pada anak-anak.65
10. Terbentengi dari pengaruh lingkungan yang buruk
Dalam kondisi keluarga Islami yang tidak mampu memberikan nilai
kebaikan bagi masyarakat sekitar yang terlampau parah kerusakannya, maka
harus dilakukan upaya-upaya serius untuk membentengi anggota keluarga.
65 Ibid., h. 26.
-
Harus ada penyelamatan internal, agar tidak terlarut dan hanyut dalam suasana
jahili masyarakat di sekitarnya.66
4n00R V0l WJ ST0 C7 5b
(* @ jk"34 03 qr*77 yJ MOONP 5b
()*,lJ Av34 B#KV0 (* R ^?0
-
menenteramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai
cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut.67
Sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun atas rasa cinta dan kasih
sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa
tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah
tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk
sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan
berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah
tersebut.
Hakikat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi
mawaddah warahmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah SWT. Yakni sebuah
kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan cara melakukan setiap apa yang
diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-
Nya. Hakikat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada
realisasi penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang
bertujuan mencari ridha Allah SWT. Karena memang hakikat ketenangan jiwa
(sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari
sisi Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fath:
*7 i#KV0 pi" =;Xo 0 A3B T*77#
B,&0
67 Ummu Ishaq Zulfa Husein al-Atsariyyah, Mahabbah Mawaddah dan Rahmah yang
diimpikan, artikel diakses pada 22 Oktober 2007 dari http://hikmatun.wordpress.com/2007/10/22/mahabbah-mawaddah-dan-rahmah.html
- (22SJ 0X,34 ]
-
BAB III
KAFAAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Kafaah
Kafaah atau sekufu, menurut bahasa artinya setaraf, seimbang, atau
keserasian, serupa, sederajat, atau sebanding.68 Kata kafaah diambil dari surat al-
Ikhlas ayat 4:
jKV *!! Cc MP
Artinya: Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas, 112:4)
Yang dimaksud kafaah atau sekufu dalam pernikahan, menurut hukum
Islam yaitu keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan.69
Atau laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.70 Jadi tekanan dalam kafaah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah. Sebab, menurut pendapat
sebagian ulama, kalau kafaah diartikan persamaan dalam hal harta, atau
kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan dalam Islam
tidak dibenarkan adanya kasta, karena manusia di sisi Allah SWT adalah sama.
68 M. Abdul Mujieb (et.al), Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 147.
69 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama/Toha Putra Group, 1993), h. 76.
70 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 7. Penerjemah M. Thalib, (Bandung: al-Maarif, 1981), h. 36.
-
Hanya ketakwaannya-lah yang membedakannya.71 Persamaan kedudukan suami
dan istri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera, terhindar dari ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Demikian gambaran yang
diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafaah.72
Mengenai kafaah, Allah SWT tidak menjelaskan secara gamblang hukumnya. Namun, Dia menyinggung permasalahan ini dalam surat al-Ahzab
ayat 35:
-
di atas dan mempersamakannya dengan perempuan dalam segala amal
kebajikan.74
Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada riwayat dari
Aisyah r.a., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
Qj 4R6 M- 7 > : = " 7 > ? 7 " 6k -B.=
.2 .2 M= .) T$*(75
Artinya: Dari Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu. (HR. Ahmad)
Perihal kafaah (sebanding atau sepadan) ini ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kerukunan dalam pernikahan, bukan untuk ke-sah-annya.
Artinya sah atau tidaknya pernikahan tidak bergantung pada kafaah ini.
Pernikahan tetap sah menurut hukum walaupun tidak sekufu antara suami-istri.
Hanya saja, hak bagi wali dan perempuan yang bersangkutan untuk mencari jodoh yang sepadan. Dengan arti lain, keduanya boleh membatalkan akad nikah pernikahan itu karena tidak setuju dan boleh menggugurkan haknya.76
B. Pendapat Ulama tentang Kafaah
Islam adalah agama fitrah yang condong kepada kebenaran, Islam tidak
membuat aturan tentang kafaah tetapi manusialah yang menetapkannya. Karena
itulah terdapat perbedaan pendapat tentang hukum kafaah dan pelaksanaannya.
74 M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian dalam al-Quran,
vol.11, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 270. 75
Ahmad Ibnu Hanbal, al-Musnad, jil.VI, (t.t.: al-Maktabah al-Islamy, t.th.), h. 394. 76
Ibnu Masud dan Zainal Abidin S., Fiqh Mazhab SyafiI, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 261.
-
Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda
pendapat yang secara lengkap diuraikan oleh al-Jaziriy sebagai berikut:
Menurut ulama mazhab Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam.
3. Hirfah, yaitu status sosial dan profesi dalam kehidupan.
4. Huriyah atau kemerdekaan diri.
5. Diyanah atau tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam.
6. Kekayaan.77
Menurut ulama Malikiyah kriteria kafaah hanyalah dua hal, yaitu:
1. Diyanah atau kualitas keberagamaan.
2. Tidak memiliki kekurangan atau cacat fisik.78
Menurut ulama Syafiiyyah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.
2. Din atau kualitas keberagamaan.
3. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan
4. Hirfah atau status sosial dan profesi dalam kehidupan.79
Menurut ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:
77 Abdur Rahman Ibn Muhammad Audh al-Jaziriy, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Arbaah,
Jil.I, Juz 1-5, (Kairo: Dar Ibn al-Haitsimiy, t.th.), h. 842. 78
Ibid., h. 844. 79
Ibid., h. 845.
-
1. Diyanah, yaitu tingkat kualitas keberagamaannya dalam Islam;
2. Shanaah, yaitu usaha atau profesi;
3. Kekayaan;
4. Huriyah atau kemerdekaan diri; dan
5. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan.80
Adapun mengenai hukum kafaah dalam pernikahan, maka para ulama
berbeda pendapat, diantaranya:
Ibnu Hazm berpendapat81 bahwa kafaah tidak harus dipertimbangkan
dalam pernikahan. Beliau mengatakan, Setiap muslim -sepanjang bukan seorang pezina- berhak untuk menikahi perempuan muslimah yang manapun juga -sepanjang perempuan itu bukan seorang pezina-. Beliau melanjutkan, Setiap pemeluk Islam merupakan saudara satu sama lain. Seorang laki-la