agrowisata sebagai pariwisata alternatif indonesia-libre

92
0 I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA. AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF DI INDONESIA Solusi Masif Pengentasan Kemiskinan

Upload: helmas-tanjung

Post on 28-Dec-2015

114 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

0

I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA.

AGROWISATA

SEBAGAI

PARIWISATA

ALTERNATIF DI

INDONESIA

Solusi Masif Pengentasan

Kemiskinan

1

PRAKATA

Salam Sejahtera,

Terimakasih saya ucapkan kepada banyak pihak yang telah berkontribusi

secara langsung maupun tidak langsung untuk terbitnya buku agrowisata ini. Di

tengah perdebatan yang cukup panjang dan lama, istilah agrowisata belum

menemukan definisi yang ideal sehingga tercetuslah untuk menulis buku ini.

Penulis menyakini bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk

mengembangkan agrowisata karena citra Indonesia cukup kuat pada bidang

pertanian. Perubahan konsep budidaya pertanian menjadi konsep agribisnis telah

memungkinkan bidang pertanian berkolaborasi dengan bidang lainnya dengan

harapan kolaborasi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Derasnya globalisasi memaksa sector pertanian Indonesia harus bersaing

dengan Negara lain secara terbuka dalam pasar internasional. Pariwisata diyakini

akan menjadi pemasaran langsung dan juga menjadi perangsang bagi masyarakat

tidak ragu lagi menggantungkan hidupnya pada sector pertanian. Agrowisata juga

diyakini sebagai pariwisata alternative yang bertanggung jawab, pro konservasi dan

preservasi terhadap sumberdaya alam.

Berdasarkan alasan tersebutlah buku AGROWISATA SEBAGAI

PARIWISATA ALTERNATIF INDONESIA akhirnya dikompilasi dan ditulis

kembali. Jika agrowisata dikembangkan secara massif, maka diyakini usaha

pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara massif karena sebagian besar

masyarakat miskin adalah kaum tani.

Denpasar, April 2012

Penulis,

I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA.

2

DAFTAR PUSTAKA

AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF DI INDONESIA .................................... 0

PRAKATA......................................................................................................................... 1

BAB I ............................................................................................................................... 4

PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN.............................................................. 4

BAB II .............................................................................................................................. 7

PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN ................................... 7

BAB III ........................................................................................................................... 15

TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS ......................................... 15

3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia ........................................................................ 15

3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia ................................ 18

3.3. Membangun Persepsi Wisatawan ...................................................................... 18

3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata ................................................................. 19

3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata ........................................ 20

3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata) ................................................ 21

BAB IV ........................................................................................................................... 22

DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN ................................................... 22

BAB V ............................................................................................................................ 26

DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA .................................................. 26

BAB VI ........................................................................................................................... 30

DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF ..................................................... 30

BAB VII .......................................................................................................................... 35

PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA ............................................................ 35

BAB VIII ......................................................................................................................... 38

KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA ........................................................................... 38

BAB IX ........................................................................................................................... 48

MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA ....................................................................... 48

BAB X ............................................................................................................................ 52

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA AGROWISATA ................. 52

3

BAB XI ........................................................................................................................... 57

SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA ................................................................ 57

BAB XII .......................................................................................................................... 61

POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA .............................................. 61

BAB XIII ......................................................................................................................... 67

AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN

..................................................................................................................................... 67

BAB. XIV ........................................................................................................................ 73

POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI ................................ 73

1. Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali ................................................................ 73

Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata ......................................... 74

2. Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali ..................................................... 76

Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata ........................................... 77

3. Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali....................................................... 79

Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata ........................................... 80

4. Desa Pelaga, Badung, Bali .............................................................................. 82

Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata .................................................... 83

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 85

BIODATA PENULIS ......................................................................................................... 91

4

BAB I

PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN

Meskipun Secara terus-menurus, pembangunan pariwisata berkelanjutan

dikumandangkan, dan pada KTT Johannesburg 2002 telah diletakkan dasar secara

signifikan sebagai upaya melakukan negosiasi dan kampanye positif tentang

pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Pada KTT ini juga mampu menggalang lebih

dari 300 kemitraan sukarela, yang masing-masing membawa tambahan sumber daya untuk

mendukung upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. (United

Nations Department of Economic and Social Affairs, 2002).

Memperdebatkan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebuah

hal logis mengingat bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang menjual lingkungan,

baik fisik dan manusia sebagai totalitas produk. Integritas dan kontinuitas produk ini telah

menjadi perhatian utama industri seperti yang dinyatakan oleh beberapa lembaga

international, misalnya, UN-WTO tentang Global Etik untuk Kode etik Pariwisata, dan

asosiasi Ekowisata Australia telah merumuskan sebuah Program Akreditasi Ekowisata

untuk mendukung usaha pembangunan yang berkelanjutan.

Terdapat banyak pilihan sebenarnya, tapi maknanya lebih dari isu-isu dan pilihan

yang perlu dilakukan sebelum konsep pembangunan berkelanjutan dapat bergerak lebih

lanjut terhadap fisik dan realitas ekonomi. Para peneliti dan pemerintah di beberapa

negara telah menaruh perhatian yang cukup terhadap konsep pembangunan pariwisata

berkelanjutan, tetapi industri dan konsumen tampaknya kurang menerima sepenuhnya

ide-ide tentang pembangunan berkelanjutan ini.

1Definisi Pembangunan Berkelanjutan diperlukan untuk menciptakan hubungan baru

dengan lingkungan, dan kepentingan dalam pembangunan berkelanjutan yang telah

dibangun selama 30 tahun sejak tahun 1972. Danella dan Dennis Meadows (1972) telah

mengguncang dunia dengan buku mereka yang berjudul “Limits to Growth”. Mereka

berpendapat bahwa sumber daya di bumi dan kemampuan untuk menyerap polusi amat

terbatas. Dengan menggunakan simulasi komputer, mereka meramalkan penduduk bumi

dan kemajuan pembangunan fisik akan mengalami kendala pada abad mendatang. Buku

tersebut menjadi peringatan pertama untuk segera mengadakan penelitian dan

musyawarah dalam jangka panjang yang harus dilanjutkan pada tingkat industri. Rumusan

tentang pembangunan berkelanjutan tersebut dirumuskan dalam beberapa hal seperti

yang terdappat pada (the publication of the World Conservation Strategy by the

1 The need for a renewed relationship with the environment and interest in sustainable development

has been building over the past 30 years. In 1972 Danella and Dennis Meadows shook the world’s

complacency with their book Limits to Growth (1972).

5

International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources IUCN, 1980)

adalah sebagai berikut:

1. Membangun batas ekologi dan standar lebih adil yang akan membawa konsekuensi

adanya kebutuhan promosi terhadap nilai-nilai yang mendorong pengunaan standar

yang menjadi batas-batas dari kemungkinan kerusakan ekologis.

2. Re-distribusi kegiatan ekonomi dan re-alokasi sumber daya untuk memenuhi

kebutuhan yang tergantung pada pencapaian potensi pertumbuhan penuh karena

pembangunan berkelanjutan jelas memerlukan pertumbuhan ekonomi yang

bekelanjutan.

3. Pengendalian penduduk karena ukuran besaran jumlah penduduk akan berdampak

pada distribusi sumber daya karena pembangunan berkelanjutan hanya dapat dikejar

jika perkembangan kependudukan selaras dengan perubahan ekosistemnya.

4. Konservasi mendasar terhadap sumber daya diperlukan untuk pembangunan

berkelanjutan agar tidak membahayakan sistem alamiah yang seharusnya mendukung

kehidupan di bumi: atmosfer, air, tanah, dan makhluk hidup tidak boleh rusak karena

pembangunan itu sendiri.

5. Akses ke sumber daya yang adil dan usaha peningkatan teknologi serta

menggunakannya secara lebih efektif karena pada dasarnya pertumbuhan sebenarnya

tidak memiliki batas yang ditetapkan jika dibandingkan dengan pertumbuhan

penduduk bumi atau penggunaan sumber daya luar yang tak terkendali dapat

menyebabkan bencana ekologis. Tetapi batas berakhirnya ada tatkala sumberdaya

tersebut telah habis terpakai dan teknologi harusnya dapat diciptakan sebagai usaha

untuk mengurangi tekanan terhadap alam dan memperlambat terhadap habisnya

sumber daya yang ada.

6. Kendali daya dukung dan hasil berkelanjutan merupakan kendali yang diperlukan untuk

sumber daya yang dapat diperbaharui, karena sebagian besar sumberdaya yang ada

saling terkait pada ekosistem, dan hasil maksimum yang berkelanjutan harus

didefinisikan setelah memperhitungkan efek terhadap seluruh sistem eksploitasi.

7. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa tingkat penyusutan sumber daya

yang tak dapat diperbaharui mengharuskan adanya beberapa alternatif di masa depan.

8. Diversifikasi spesies adalah pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan

konservasi spesies tanaman dan hewan.

9. Meminimalkan dampak yang merugikan artinya pembangunan berkelanjutan

mensyaratkan bahwa dampak yang merugikan terhadap kualitas udara, air, dan lainnya

yang berupa unsur-unsur alami harus dapat diminimalkan untuk mempertahankan

ekosistem secara keseluruhan.

10. Pengendalian komunitas adalah adanya kendali masyarakat atas keputusan

pembangunan yang mempengaruhi ekosistem setempat.

11. Kebijakan nasional yang luas dalam kerangka kebijakan internasional artinya

harus dipahami bahwa biosfer adalah rumah bersama semua umat manusia dan

pengelolaan bersama atas biosfer adalah prasyarat untuk keamanan politik global

karena pada prinsipnya bumi kita hanya satu yang harus kita kelola secara bijaksana

bersama-sama oleh seluruh manusia di bumi ini.

6

12. Viabilitas ekonomi adalah sebuah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan

perpanjangan dari manajemen kualitas total.

13. Kualitas lingkungan adalah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan

perpanjangan dari manajemen kualitas total.

14. Audit lingkungan adalah suatu sistem audit lingkungan yang efektif yang berpusat

pada pengelolaan lingkungan yang baik.

15. Triple bottom line yang diterjemahkan bahwa kemakmuran ekonomi, kualitas

lingkungan dan keadilan sosial merupakan satu kesatuan idealisme pembangunan yang

berkelanjutan.

2Prioritas yang segera diwujudkan untuk mendukung pembangunan pariwisata

berkelanjutan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)mengidentifikasi standar sosial dan

sumber daya yang dapat diterima dan dapat dicapai, (2)mendokumentasikan kesenjangan

antara keadaan yang diinginkan dan yang sudah ada pada sebuah destinasi,

(3)mengidentifikasi tindakan manajemen untuk menutup kesenjangan tersebut,

(4)monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas manajemen destinasi, (5)mengidentifikasi

perubahan yang tidak dapat diterima yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kedatangan

wisatawan dan pengembangan strategi manajemen untuk menjaga dampak pariwisata

dalam tingkat yang dapat diterima, (6)mengintegrasikan dan mengelola dampak kunjungan

wisatawan ke dalam perencanaan instansi yang ada, mendesain, dan mengelolanya;

(7)mendasarkan pengelolaan dampak kunjungan wisatawan pada pemahaman ilmiah yang

terbaik dan menyediakan informasi situasional terkini, (8)menentukan tujuan pengelolaan

yang mengidentifikasi sumber daya dan kondisi yang harus dicapai serta jenis daya tarik

wisata yang akan disediakan; (9)mengidentifikasi dampak masalah pengunjung dengan

membandingkan standar kondisi yang dapat diterima dengan indikator kunci dari dampak

berdasarkan waktu dan lokasi; (10)mendasarkan keputusan manajemen, untuk

mengurangi dampak atau mempertahankan kondisi yang dapat diterima, pada

pengetahuan tentang sumber-sumber kemungkinan dan hubungan antara dampak yang

tidak dapat diterima; (11)mengatasi dampak pengunjung dengan berbagai teknik alternatif

pengelolaan, dan (12)merumuskan tujuan pegelolaan destinasi, yang memasukkan

berbagai tingkat dampak yang diterima, untuk mengakomodasi keragaman lingkungan dan

kesempatan pengalaman sekarang dalam setiap pengaturan sumber daya alamiah.

2 Suggested research areas and priorities for sustainable development in tourism. Source: Taylor and

Stanley, 1992.

7

BAB II

PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN

Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan

dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut United

Nation (2002) prinsip-prinsip tersebut adalah:

Participation: Residents of a community must maintain control of tourism

development by being involved in setting a community tourism vision, identifying

the resources to be maintained and enhanced, and developing goals and strategies

for tourism development and management. Residents must participate in the

implementation of strategies and the operation of the tourism infrastructure,

services and facilities.

Prinsip pertama adalah pembangunan pariwisata harus dapat dibangun dengan

melibatkan masyarakat lokal , visi pembangunan pariwisata mestinya dirancang

berdasarkan ide masyarakat lokal dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal . Pengelolaan

kepariwisataan yang telah dibangun mestinya juga melibatkan masyarakat lokal sehingga

masyarakat lokal akan merasa memiliki rasa memiliki untuk perduli terhadap

keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal harusnya menjadi pelaku bukan menjadi

penonton.

Community Goals: Harmony is required between the needs of a visitor, the place

and the community. This is facilitated by broad community support with a proper

balance between economic, social, cultural and human objectives, and recognition

of the importance of cooperation between government, host communities, the

tourism industry and non-profit organizations involved in community development

and environmental protection.

Prinsip kedua adalah menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan

masyarakat. Kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah tujuan yang

didasarkan atas kerelaan untuk membentuk kualitas destinasi yang diharapkan oleh

wisatawan. Keseimbangan tersebut akan dapat terwujud jika semua pihak dapat

bekerjasama dalam satu tujuan sebagai sebuah komunitas yang solid. Komunitas yang

dimaksud adalah masyarakat lokal , pemerintah lokal , industri pariwisata, dan organisasi

kemasyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di mana destinasi

pariwisata dikembangkan.

Lebih lanjut dapat dijabarkan, dari perspektif filsafat manajemen pertumbuhan,

pembagunan adalah sebagian besar merupakan pertanyaan tentang apa diinginkan oleh

masyarakat yang terlihat pada visi masyarakat, tujuan, dan kemampuan untuk mengelola

8

dampak pertumbuhan itu. Sesuai dengan pandangan ini, Whistler berpendapat, pemimpin

harus berhati-hati dalam mengadopsi filosofi manajemen pertumbuhan. Kebijakan yang

dirancang untuk mendorong program-program lingkungan yang berfokus pada: Suatu

pendekatan berbasis ekosistem terhadap penggunaan lahan, termasuk area yang

dilindungi, perkotaan yang desain secara efisien; Lingkungan transportasi yang

berkelanjutan, termasuk strategi yang komprehensif untuk mendorong efesiensi

penggunaan kendaraan bermotor; Pasokan air bawah tanah dan program pengelolaan air

limbah; Pengurangan limbah padat dan inisiatif penggunaan kembali, dan Praktek

Konservasi energi (Waldron, Godfrey, dan Williams, 1999).

Stakeholder Involvement: Tourism initiatives should be developed with the help of

broad-based community input. Participants could include lokal NGO groups and

institutions, volunteer service groups, the poor, women, municipal governments

and their economic development departments, tourism associations, visitor

bureaus, town business associations, regional representatives of provincial tourism

development and any other party which might be involved in or impacted by

tourism.

Prinsip ketiga adalah pembangunan harus melibatkan para pemangku

kepentingan, dan melibatkan lebih banyak pihak akan mendapatkan input yang lebih baik.

Pelibatan para pemangku kepentingan harus dapat menampung pendapat organisasi

kemasyarakatan lokal , melibatkan kelompok masyarakat miskin, melibatkan kaum

perempuan, melibatkan asosiasi pariwisata, dan kelompok lainnya dalam masyarakat yang

berpotensi mempengaruhi jalannya pembangunan.

Dalam sosiologi atau ilmu kemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok

berpengaruh dalam masyarakat, dan jika menghendaki pembangunan pariwisata di suatu

daerah bekelanjutan, mestinta semua kelompok dalam masyarakat dapat dilibatkan untuk

menampung segala masukan dan saran-sarannya untuk pembangunan. Harus disadari,

setiap saat kelompok berpengaruh dalam masyarakat dapat bertambah atau berkurang

jumlahnya seiring dengan berkembangnya kebebasan berdemokrasi. 3Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah kondisi yang diinginkan dan

mungkin menjadi elemen yang paling penting dari manajemen pertumbuhan.

Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk menggabungkan pandangan berbeda

adalah penting untuk keberhasilan pembangunan yang menyesuaikan kepentingan

masyarakat dan wisatawan secara bersama-sama (Cleveland dan Hansen, 1994).

Masing-masing kelompok msyarakat memiliki kebutuhan yang sangat berbeda

dalam hal fasilitas perumahan dan pelayanan. Alternatif mekanisme, seperti pertemuan

kelompok kecil yang lebih informal, telah digunakan dalam beberapa kasus. Dalam

hubungannya dengan proses ini, informasi komunitas yang aktif dan program publisitas

3 Community involvement in establishing desirable conditions is perhaps the single most important

element of growth management. Developing appropriate mechanisms to incorporate divergent views

is critical for successfully establishing appropriate resident–visitor relationships (Cleveland and

Hansen, 1994).

9

(misalnya, melalui talk show radio, newsletter, dll) sering diperlukan untuk memastikan

bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dalam proses manajemen pertumbuhan

(Gill, 1992).

Lokal Ownership: Tourism development must provide quality employment for

community residents. The provision of fulfilling jobs has to be seen as an integral

part of any tourism development at the lokal level. Part of the process of ensuring

quality employment is to ensure, as much as possible, the tourism infrastructure

(hotels, restaurants, shops, etc.) is developed and managed by lokal people.

Experience has demonstrated that the provision of education and training for lokal

residents and access to financing for lokal businesses and entrepreneurs are

central to this type of policy.

Prinsip keempat adalah, memberikan kemudahan kepada para pengusaha lokal

dalam sekala kecil, dan menengah. Program pendidikan yang berhubungan dengan

kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal dan industri yang berkembang pada

wilayah tersebut harus mampu menampung para pekerja lokal sebanyak mungkin.

Establishing Lokal Business Linkages: Linkages must be established among lokal

businesses in the tourism industry in order to ensure tourism expenditures stay

within the destination rather than leak out to purchase imported goods and

services for tourists. Lokal involvement in tourism facilitates the development of

linkages among the service and goods providers within the tourism destination.

Prinsip kelima adalah, pariwisata harus dikondisi untuk tujuan membangkitkan

bisnis lainnya dalam masyarakat artinya pariwisata harus memberikan dampak pengganda

pada sector lainnya, baik usaha baru maupun usaha yang telah berkembang saat ini.

Cooperation: Cooperation between lokal attractions, businesses and tourism

operators is essential given that one business or operation can be directly affected

by the performance or quality of another. Models of partnerships must be explored

in the areas of planning, management, marketing and funding for tourism

ventures.

Prinsip keenam adalah adanya kerjasama antara masyarakat lokal sebagai creator

atraksi wisata dengan para operator penjual paket wisata, sehingga perlu dibangun

hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Misalnya, berkembangnya sanggar tari,

kelompok tani, dan lainnya karena mendapatkan keuntungan dari berkembangnya sector

pariwisata. Sementara para operator sangat berkepentingan terhadap eksistensi dan

keberlanjutan atraksi wisata pada wilayah pariwisata. Idealnya harus ada keseimbangan

permintaan dan penawaran yang berujung pada kepuasan wisatawan, namun demekian

dalam praktiknya akan ada perbedaan mendasar antara masyarakat lokal dan wisatawan

sehubungan dengan perbedaan perbedaan sikap terhadap pembangunan itu sendiri

(Lawrence, et al., 1993). Penelitian terhadap wisatawan akan dapat menjadi jalan keluar

10

untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan melakukan wawancara dengan para

wisatawan untuk memahami mengapa mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah

destinasi, seberapa baik harapan mereka terpenuhi dan apa yang dapat dilakukan untuk

membuat mereka tetap lebih terpuaskan.

Menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan orang-orang dari semua

masyarakat sangatlah penting untuk diketahui. Seperti banyak penduduk kota wisata

memilih untuk tinggal di sana karena gaya hidup yang dirasakan dan faktor kemudahan,

program yang dirancang untuk memfasilitasi penggunaan fasilitas, dan layanan yang dapat

digunakan untuk mengurangi gesekan antara warga dan pengunjung.

Sustainability of the Resource Base: Sustainable tourism development has to

provide for intergenerational equity. Equitable distribution of costs and benefits of

tourism development must take place among present and future generations. To be

fair to future generations of tourists and the travel industry, society should strive to

leave a resource base no less than the one inherited. Sustainable tourism

development must, therefore, avoid resource allocation actions that are

irreversible.

Prinsip ketujuh adalah, pembangunan pariwisata harus mampu menjamin

keberlanjutan, memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan

generasi yang akan datang. 4Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata berpotensi

merusak lingkungan jika dihubungkan dengan peningkatan jumlah wisatawan dan

degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu yang logis (Hunter dan Green, 1995).

Wujud hubungan ini adalah konsep tentang daya dukung yang menunjukkan suatu

pendekatan manajemen yang memungkinkan pertumbuhan dalam batas yang dapat

diterima (Johnson dan Thomas, 1996).

Carrying Capacity: There is a definite need for the impact assessment of tourism

development proposals to distinguish between plans which encourage mass versus

quality tourism. The capacity of sites must be considered, including physical,

natural, social and cultural limits. Development should be compatible with lokal

and environmental limits, and operations should be evaluated regularly and

adjusted as required

Prinsip kedelapan adalah pariwisata harus bertumbuh dalam prinsip optimalisasi

bukan pada exploitasi. Strategi manajemen kapasitas akan menjadi pilihan yang terbaik,

walaupun saat ini masih mengalami kontroversi yang cukup tajam. Konsep ini merupakan

kebutuhan yang semestinya diakui untuk membatasi dan menjadi kendali atas dimensi-

dimensi pembangunan pariwisata yang dapat mengancam berkelanjutan penggunaan

4 There is widespread acknowledgment of the potentially damaging relationship between increasing

numbers of tourists and the escalated degradation of many tourism destinations (Hunter and Green,

1995).

11

sumber daya yang terbatas, pada saat yang bersamaan, konsep tersebut berhadapan

dengan keinginan untuk memaksimalkan peluang sebagai tujuan pertumbuhan dan

mewujudkan manfaat potensial yang terkait dengan pengunjung yang semakin meningkat.

Monitoring and Evaluating: Guidelines have to be established for tourism

operations, including requirements for impact assessment. There should be codes

of practice established for tourism at the national, regional and lokal levels. There

is also a need to develop indicators and threshold limits for measuring the impacts

and success of lokal tourism ventures. Protection and monitoring strategies are

essential if communities are to protect the very resources that form the basis of

their tourism product to protect the environment (the tourism resource base) on

which it depends.

Prinsip kesembilan adalah harus ada monitoring dan evaluasi secara periodic untuk

memastikan pembangunan pariwisata tetap berjalan dalam konsep pembagunan

berkelanjutan. Mestinya pembagunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip

pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas obyek wisata

tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas social, dan kapasitas sumberdaya yang lainnya

sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup

pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komodifikasi untuk

kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan pembangunan pariwisata

berkelanjutan dapat diwujudkan.

Accountability: The management and use of public goods such as water, air and

common lands should ensure accountability on behalf of users to ensure these

resources are not abused.

Prinsip kesepuluh adalah harus adalah keterbukaan terhadap penggunaan sumber

daya seperti penggunaan air bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan

sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak disalah gunakan. Untuk hal tersebut 5kode etik pembangunan pariwisata berkelanjutan harus dirumuskan dan menjadi agenda

yang terus menerus di revisi dan bahkan revisi yang terakhir diselenggarakan di Bali

(UNWTO Etic Code, 2011). Standar yang tetapkan memang masih terlalu umum untuk

diterapkan oleh unit bisnis, sehingga masih perlu dilakukan penjabaran menjadi standar

yang lebih rinci dalam bentuk buku manual (Font dan Bendell, 2002). Sebagai contohnya,

di Eropa secara sukarela mengambil inisiatif untuk program pariwisata berkelanjutan dan

menciptakan sebuah sistem federal untuk meningkatkan standar di antara program-

program saat ini, telah digunakan pada 1000 akomodasi sebagai sebuah disertifikasi untuk

konsumen dalam promosi, dan penawaran paket wisata mereka (Visitor, 2003).

5 Although most certification programmes are not growing in number of applicants (only 20 percent of the

medium-aged ecolabels are growing annually, according to the WTO [2002])

12

Training: Sustainable tourism development requires the establishment of education

and training programmes to improve public understanding and enhance business,

vocational and professional skills especially for the poor and women. Training

should include courses in tourism, hotel management, creation and operation of

small businesses and other relevant topics.

Prinsip kesebelas adalah melakukan program peningkatan sumberdaya manusia

dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang keahlian pariwisata

sehingga dapat dipastikan bahwa para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian

tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya masing-masing sehingga program

sertifikasi akan menjadi pilihan yang tepat. 6Sertifikasi sebagai proses untuk meningkatkan

standar industri memiliki pendukung dan dan nilai kritik. Bagian ini sebenarnya meninjau

kelayakan sertifikasi sebagai alat kebijakan untuk melakukan perbaikan secara sukarela, di

bawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002).

Instrumen keadilan dianggap sebagai kesempatan semua perusahaan pariwisata

untuk mengakses sertifikasi. Tiga wilayah dianggap berpotensi menimbulkan ketidakadilan

dapat berupa biaya biaya (1) aplikasi, (2) pelaksanaan oleh perusahaan pariwisata, dan

(3)program pelaksanaannya. Tingginya biaya relatif yang dirasakan dari sertifikasi dianggap

sebuah ketidakadilan karena tidak semua perusahaan akan memiliki potensi yang sama

untuk mengakses program sertifikasi tersebut. Sebuah studi kasus di Kostarika,

pemerintahnya telah berhasil memberikan subsidi bagi yang pertama kali menjalankan

program sertifikasi ini khususnya yang berkaitan dengan sertifikat Pariwisata

Berkelanjutan. Contoh lainnya, di Australia, Program Akreditasi yang berkaitan dengan

ekowisata telah dituangkan dalam bentuk audit tertulis pada tahun 2001. Meskipun

beberapa program sertifikasi dapat memberikan manfaat yang cukup namun factor biaya

masih menjadi mitos penghalang terwujudnya program sertifikasi tersebut (Toth, 2002).

6 Certification as a process to raise industry standards has its advocates and critics. This section reviews the

feasibility of certification as a policy tool to make voluntary improvements, under five aspects: equity,

effectiveness, efficiency, credibility, and integration.

13

Gambar Kualitas Pariwisata, Sumber: Postma, 2006

Positioning: Sustainable tourism development involves promoting appropriate uses

and activities to reduce poverty and draw from and reinforce landscape character,

sense of place, community identity and site opportunities. These activities and uses

should aim to provide a quality tourism experience that satisfies visitors while

adhering to other principles of sustainable tourism.

Prinsip keduabelas adalah terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus mampu

mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang lainnya

pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada

para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya dan menjadi yang

terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ”quality of experience”.

Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh

karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna

maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia.

Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang melakukan

perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan budaya serta

menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan

segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga

kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan

itu.

Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia

didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang

berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya

Needs &

requirements

Tourists

(‘consumers of the

destination’)

Quality of Experience

Industry

(‘providers of the

destination’)

Quality of Opportunity

Residents

(‘owners of the

destination’)

Quality of Life

Needs &

requirements

Needs &

requirements

14

hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan manusia dengan

lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur

agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran,

kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk

menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya

dan pelestarian. Kita diajarkan untuk tidak menjadi rakus.

Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan segala

hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian kepariwisataan

Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism)

dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari

masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.

15

BAB III

TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS

3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia

Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia pernah menjadi Negara

dengan kekuatan ekonomi baru barada bersama-sama dengan Malaysia dan

Thailand. Indonesia sempat menjadi model pembangunan ekonomi yang

bekelanjutan khususnya untuk Negara sedang berkembang dengan pertumbuhan

ekonomi yang cukup baik (Tambunan, 2006).

Saat ini sector pertanian masih memegang peranan penting karena hampir

45% (41 juta) penduduk Indonesia bekerja pada sector ini dari 100 juta angkatan

kerja yang ada. Rata-rata berkontribusi 17% terhadap GDP (DepTan Indonesia,

2005). Menurut ADB, masyrakat miskin mayoritas bekerja sebagai petani, dan jika

45% penduduk Indonesia adalah petani, berarti penduduk miskin Indonesia masih

cukup tinggi.

Pernyataan di atas dikuatkan oleh BPS, data Biro Pusat Statistik Indonesia

juga menunjukkan bahwa sampai Agustus 2010, jumlah tenaga kerja Indonesia di

bidang pertanian, kehutanan dan perikanan adalah 41,4 juta dari total angkatan

kerja sebanyak 108,2 juta, sedangkan sisanya terdistribusi dalam delapan bidang

pekerjaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa bidang pertanian sesungguhnya paling

potensial dalam menyerap tenaga kerja. Persoalannya adalah bagaimana membuat

pasar tenaga kerja pertanian tersebut diisi oleh orang-orang yang benar-benar

potensial, mempunyai visi dan instink bisnis yang kuat sehingga dapat

menggerakkan investasi besar di bidang pertanian.

Menurut Yuwono (2011) membangun pertanian adalah membangun citra

dan kedaulatan Indonesia menuju kejayaan yang pernah disandang oleh Indonesia

sebagai Negara agraris yang kuat, kaya dengan sumber daya dan hasil pertanian

yang berkualitas tinggi di mata internasional. Sekarang yang menjadi persoalannya

adalah, bagaimana cara membangun dan membangkitkan gairah untuk

membangun sector pertanian tersebut? Berikut fakta-fakta yang ditulis oleh Prof.

Yuwono seperti yang tertulis di Majalah Time, Amerika Serikat, dalam edisi 11 Juli

2011, menulis sebuah laporan yang sangat menarik mengenai kecenderungan yang

sekarang berlangsung di Amerika Serikat mengenai pertanian.

Dalam artikel berjudul Want to Make More than a Banker? Become a

Farmer!, Stephen Gandel menulis bahwa di Amerika Serikat saat ini mulai timbul

kesadaran bahwa menjadi petani adalah pekerjaan paling bagus pada abad ke-21.

Penghasilan petani meningkat tajam karena kenaikan harga pangan. Meskipun ada

16

keraguan di beberapa pihak, namun Jim Rogers, seorang penulis terkenal mengenai

investasi merasa sangat yakin bahwa pertanian akan meningkat secara dramatis

dalam beberapa dekade ke depan, lebih cepat dibanding dengan industri-industri

yang lain, bahkan termasuk Wall Street sebagai kiblat investasi.

Dilaporkan juga bahwa selama beberapa tahun terakhir, karena adanya

kenaikan bisnis biofuel, bisnis pertanian telah tumbuh sangat meyakinkan. Pada

saat ekonomi secara keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari

bidang pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya dan diramalkan

akan meningkat lagi sebesar 20% pada tahun 2011. Sementara itu, harga-harga real

estate telah jatuh lagi tahun ini. Saat ini bisnis pertanian telah menjadi salah satu

investasi paling panas di Wall Street.

Setengah agak heran, Prof. Yuwono menuliskan kenapa selama ini bidang

pertanian di Indonesia dianggap sebagai bidang usaha yang tidak terlalu seksi untuk

investasi besar, kecuali pada komoditas tertentu pada skala perkebunan besar,

misalnya kelapa sawit? Dicurigai factor utamanya adalah kurangnya pencitraan

dan perhatian terhadap pertanian oleh pemerintah dan masyarakat selama ini dan

akhirnya berdampak negatif terhadap minat terhadap bidang pertanian.

Pernyataan tersebut nampaknya tidak dapat kita tolak, data dari hasil penerimaan

mahasiswa baru melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri

(SNMPTN) menegaskan hal ini. Tidak perlu ditutupi atau diingkari kenyataan bahwa

banyak calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi pertanian berasal dari

kalangan yang secara akademis bukan yang terbaik.

Prof Yuwono, terus bertanya-tanya dan pertanyaan kemudian mengiang tak

habis-habis seputar apa sebenarnya yang salah dengan pertanian di negara kita

sehingga pertanian menjadi bidang pendidikan dan usaha yang tidak cukup kuat

menggiring investasi maupun minat calon mahasiswa? Beberapa faktor yang

mungkin dapat menjelaskan fenomena ini antara lain adalah kebijakan yang belum

sepenuhnya pro petani dan pertanian. Memang harus diakui bahwa pemerintah

telah mengalokasikan anggaran untuk pertanian, termasuk pembangunan

infrastruktur yang diperlukan.

Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian bukan hanya persoalan

ketersediaan lahan dan infrastruktur. Kebijakan atas harga komoditas pertanian

yang lebih menjanjikan untuk perbaikan kehidupan petani, kebijakan subsidi dan

permodalan pertanian, penghapusan impor produk pertanian yang bersaing head-

to-head dengan produk pertanian lokal, kebijakan yang tegas terhadap

kecenderungan alih fungsi lahan, penindakan tegas terhadap penimbunan bahan

pangan, adalah beberapa contoh kebijakan yang harus menjadi perhatian penuh

penentu kebijakan agar pertanian menjadi lahan bisnis yang menarik. Minat

terhadap bidang pertanian, baik dalam konteks usaha maupun pendidikan, diyakini

17

akan meningkat dengan tajam jika ada kebijakan yang menjadikan pertanian

sebagai bisnis yang menarik, seperti halnya bisnis kertas berharga di pasar saham.

Sebenarnya ada jalan keluar untuk membangkitkan sector pertaian

Indonesia, yakni mereka yang akan berkecimpung dalam bidang pertanian, sebagai

mahasiswa maupun pengusaha pertanian, tentu memerlukan jaminan masa depan

pertanian dan pemerintah mesti memberikan dukungannya. Seperti contoh yang

terjadi di Amerika Serikat, booming bisnis pertanian telah memengaruhi juga

pasaran kerja, baik yang terkait dengan pertanian secara langsung maupun industri

lain, misalnya industri perangkat penyimpanan hasil pertanian dan industri

perumahan di daerah-daerah pertanian.

Tantangan yang harus dihadapi di Indonesia untuk membuat pertanian

menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang menarik memang cukup

berat. Persoalannya cukup kompleks, meskipun banyak di antaranya lebih

disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang setengah hati, misalnya kebijakan

impor produk pertanian yang bersaing langsung dengan produk lokal. Sungguh

ironis bahwa sekarang ini lebih mudah untuk menemukan apel Washington, jeruk

dari China, beras dari Vietnam, dan lain-lain di pasar tradisional dibanding dengan

menemukan produk buah eksotis lokal, misalnya sawo.

Tidak ada yang dapat memungkiri peranan pertanian bagi tegaknya suatu

negara. Kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi

warganya merupakan faktor kritis yang menentukan apakah suatu negara dapat

menegakkan kedaulatannya khususnya kedaulatan pangan. Oleh karena itu

menempatkan pertanian dalam posisi yang setara dengan bidang-bidang keilmuan

dan usaha yang lain, keteknikan, kedokteran, manajemen dan lain-lain, menjadi

suatu keharusan. Persoalannya adalah, seperti telah disampaikan di depan, apakah

negara mampu meyakinkan masyarakat bahwa belajar ilmu pertanian, atau

berinvestasi di bidang pertanian, dapat memberikan jaminan masa depan yang

menjanjikan? Meskipun demikian, masyarakat juga perlu membuka kesadaran diri

untuk memberikan penghargaan yang layak bagi petani dan usaha tani dan tidak

menempatkannya dalam posisi yang inferior dibanding dengan bidang lain.

Dari pernyataan di atas, para akademisi dan praktisi pariwisata mencoba

menolong sector pertanian yang nyaris mati suri ini dengan mengembangkan

agrowisata. Jika agrowisata dapat dikembangkan secara masif di Indonesia, maka

jalan untuk mengentaskan masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan tersebut

semakin menemui jalan terang setidaknya pariwisata dapat menjadi penolong bagi

program pengentasan kemiskinan tersebut dan lambat laun sector pertanian dapat

dibangkitkan kembali seperti yang terjadi di Amerika saat ini.

18

3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia

Menurut Pitana (2005), membangun pariwisata adalah membangun sebuah

citra suatu destinasi, harusnya wilayah yang akan dikembangkan menjadi

agrowisata mempunyai citra (image) tertentu, yang akan menjadi “mental maps”

seseorang terhadap suatu destinasi. Citra harus mengandung keyakinan, kesan, dan

persepsi. Citra yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai

faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan (seperti cuaca, pemandangan

alam, keamanan, kesehatan dan sanitasi, keramahtamahan, dan lain-lain) di satu

pihak, dan informasi yang diterima oleh calon wisatawan dari berbagai sumber di

pihak lain, atau dari fantasinya sendiri.

Fantasi, walaupun tidak real, sangat penting di dalam mempengaruhi calon

wisatawan (Nurhayati, 1996; Pitana, 2005). Citra sangat penting dalam industri

pariwisata, sehingga Buck, (1993) dan Pitana (2005) menganggap, pariwisata

adalah industri yang berbasiskan citra, karena citra akan mampu membawa calon

wisatawan ke dunia simbol dan makna. Citra agrowisata adalah citra pertanian,

sebuah keharusan penguatan citra pertanian tersebut adalah citra agrowisata yang

akan ditawarkan kepada calon wisatawan. Dinamika sosial yang berhubungan

dengan citra agrowisata sebaiknya juga menjadi perhatian bagi pengelola

agrowisata, apakah citra yang ada tentang agrowisata yang sedang dikelola

meningkat, masih tetap ajeg, atau justru telah mengalami penurunan citra.

Citra harusnya merupakan core product dari agrowisata yang akan

dikembangkan, dan citra dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh cuaca,

pemandangan alam, keamanan, budaya, kesehatan, dan apa saja bentuknya yang

penting citra tersebut menjadi factor penarik dan pendorong wisatawan untuk

datang ke sebuah agrowisata. Sebagai contoh, kabupaten Sleman kuat citranya

tentang salak pondoh maka maka agrowisatanya akan bercitrakan agrowisata salak

pondoh. Contoh lainnya, di kabupaten Malang kuat citranya tentang Apel maka

agrowisata akan menjadi agrowisata apel Malang, begitu seterusnya.

3.3. Membangun Persepsi Wisatawan

Menurut Simamora (2000), terdapat dua sumber persepsi, antara lain,

persepsi langsung dan tidak langsung. Persepsi tidak langsung terbentuk dari media

19

yang dipergunakan oleh produsen dalam memperkenalkan produknya, dapat

berupa suara manusia, kata-kata indah dan angka-angka cetakan di media massa.

Sedangkan persepsi langsung terbentuk dari indera penglihatan,

pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perasa. Persepsi langsung dapat

dibedakan menurut sumbernya menjadi tiga, antara lain.

1) Persepsi tentang suatu produk yang diperoleh dari indikator-indikator yang

berhubungan langsung dengan suatu produk. Indikator-indikator tersebut

misalnya, ramainya pengunjung di suatu pusat perbelanjaan, banyaknya produk

yang beredar di masyarakat.

2) Persepsi yang diperoleh setelah melakukan preperensi atau perbandingan

terhadap produk/objek wisata lain yang sejenis, misalnya Kebun Raya Cibodas

Bandung dianggap lebih baik dari pada Kebun Raya Eka Karya Bali.

3) Persepsi yang terbentuk dari pengamatan langsung dan ini paling penting

karena hal ini merupakan latar belakang yang diperoleh seseorang dari

pengamatan sebuah situasi secara langsung.

Dalam konteks pembangunan agrowisata, persepsi harapkan terbentuk

dari pengamatan atas atribut yang dimiliki oleh sebuah agrowisata atau wilayah

secara langsung melalui kelima indera wisatawan, yaitu penglihatan, penciuman,

peraba, perasa, dan pendengaran wisatawan yang berkunjung.

Persepsi wisatawan terhadap atribut objek wisata agro merupakan

pandangan wisatawan berdasarkan atribut-atribut yang ditawarkan oleh suatu

objek wisata agro. Persepsi positif akan mendorong wisatawan untuk mengunjungi

suatu objek wisata agro, sedangkan persepsi negatif akan mendorong wisatawan

untuk tidak mengunjungi suatu objek wisata agro tersebut.

3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata

Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana, 2005)

menekankan, motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang

wisatawan dan pariwisata, karena motivasi merupakan “Trigger” dari proses

perjalanan wisata, walau motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh

wisatawan itu sendiri.

Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa

hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok

besar sebagai berikut: (1) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang

bersifat fisik antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi

dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu

keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain.

(3)Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti

mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang

20

dianggap mendatangkan gengsi (prestice), melakukan ziarah, pelarian dari situasi

yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi

di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan

dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977 dan Murphy, 1985;

dalam Pitana, 2005). Pearce, 1998 (dalam Pitana, 2005) berpendapat, wisatawan

dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni:

Kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestise, dan aktualiasasi diri.

3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata

Faktor-faktor pendorong untuk berwisata sangatlah penting untuk

diketahui oleh siapapun yang berkecimpung dalam industri pariwisata termasuk

agrowisata (Pitana, 2005). Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin

melakukan perjalanan wisata, tetapi belum jelas mana daerah yang akan dituju.

Berbagai faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Ryan,

1991 (dalam Pitana, 2005), sebagai berikut:

1) Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan,

atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.

2) Relaxation. Keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan

motivasi untuk escape di atas.

3) Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang

merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri

sejenak dari berbagai urusan yang serius.

4) Strengthening family bond. Ingin mempererat hubungan kekerabatan,

khususnya dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini

dilakukan bersama-sama (group tour)

5) Prestige. Ingin menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang

menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk

meningkatkan status atau social standing.

6) Social interaction. Untuk melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat,

atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.

7) Romance. Keinginan bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan

suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual.

8) Educational opportunity. Keinginan melihat suatu yang baru, memperlajari

orang lain dan/atau daerah lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini

merupakan pendorong dominan dalam pariwisata.

9) Self-fulfilment. Keinginan menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya

bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.

21

10) Wish-fulfilment. Keinginan merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-

citakan, sampai mengorbankan diri dalam bentuk penghematan, agar bisa

melakukan perjalanan. Hal ini juga sangat jelas dalam perjalanan wisata religius,

sebagai bagian dari keinginan atau dorongan yang kuat dari dalam diri.

3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata)

Menurut Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) terdapat 11 faktor yang

menjadi faktor penarik, yaitu: (1) location climate, (2) national promotion, (3) retail

advertising, (4) wholesale, (5) special events, (6) incentive schemes, (7) visiting

friends, (8) visiting relations, (9) tourist attractions, (10) culture, dan (11) natural

environment and man-made environment.

Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang menentukan wisatawan untuk

membeli atau mengunjungi objek wisata. Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005),

menyatakan ada lima faktor yang menentukan seseorang untuk membeli jasa atau

mengunjungi objek wisata, yaitu: (1) lokasi, (2) fasilitas, (3) citra atau image, (4)

harga atau tarif, dan (5) pelayanan.

Membangun agrowisata tidak cukup hanya mengembangkan sector

pertanian saja namun harus juga mampu membawa sector pertanian tersebut

menjadi kemasan produk yang memiliki citra yang kuat. Citra yang kuat tentang

wilayah agrowisata harus dapat dikomunikasikan kepada calon wisatawan sehingga

citra tersebut dapat menjadi factor penarik dan pendorong yang akan disesuaikan

dengan motivasi masing-masing wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata.

22

BAB IV

DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN

Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan peranian

terfokus kepada peningkatan produksi, terutama kepada peningkatan produksi

tanaman pangan khususnya padi dan komoditi perdagangan tradisional. Upaya

pemenuhan pangan melalui swasembada pangan telah menyita perhatian dan

dana yang cukup besar. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan pertanian

belum optimal sesuai dengan potensinya (Deptan, 2005)

Kelemahan yang terjadi selama ini menyebabkan adanya citra yang kurang

menguntungkan dalam pembangunan pertanian, antara lain: (a) secara sadar

ataupun tidak sadar, pembangunan pertanian diidentikkan dengan kegiatan

peningkatan produksi semata; (b) dengan pandangan tersebut, pembangunan

pertanian juga seakan terlepas dengan pembangunan sektor-sektor lainnya dan

terlepas sebagai bagian dari pembangunan wilayah; dan (c) perhatian yang besar

hanya kepada komoditas tertentu menyebabkan banyak bidang usaha pertanian

lain kurang tergarap (Deptan, 2005)

Pada bagian lain semakin kuatnya norma liberalisasi perdagangan

menyebabkan pasar domestik semakin terintegrasi dengan pasar internasional dan

memaksa setiap negara termasuk Indonesia membuka segala rintangan dan

menghapus segala bentuk proteksi. Ini berarti usaha dan produk pertanian

domestik dipaksa untuk bersaing langsung dengan usaha dan produk global. kondisi

ini merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pembangunan sektor pertanian

kedepan (Deptan, 2005)

Implikasi dan liberalisasi perdagangan ini mengharuskan Indonesia untuk

mampu mempercepat peningkatan daya saing produknya agar dapat merebut

pasar. Dalam peningkatan akses pasar tersebut dua pendekatan dapat dilakukan

secara simultan, yaitu : (a) diversifikasi dan peningkatan kualitas sesuai dengan

persyaratan yang diminta konsumen dan pasar global; dan (b) pengembangan

pasar atas produk spesifik lokalita yang bersifat unik. Salah satu bidang usaha

dalam penciptaan pasar yang didasarkan kepada konsep uniqueness adalah usaha

wisata agro. Sesuai dengan potensinya bidang usaha ini belum tergarap secara baik

dan dinilai prospektif sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru sektor

pertanian (Deptan, 2005)

23

“dalam pandangan pertanian, agrowisata berperan sebagai

usaha diversifikasi dan peningkatan kualitas yang bersifat

unik”

Belajar dari kelemahan dan pelaksanaan pembangunan masa lalu

pembangunan pertanian saat ini dan kedepan dilakukan melalui pendekatan

pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pembangunan sistem agribisnis dapat

diartikan sebagai cara pandang baru dari pembangunan pertanian dengan

menekankan kepada tiga hal: (1) melalui pembangunan agribisnis dengan

pendekatan pembangunan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan

yang berdasarkan bisnis atau orientasi kepada bisnis sehingga pengembangan

usaha bisnis dapat berdaya saing dan berkelanjutan menjadi dasar pertimbangan

utama; (2) dalam pembangunan agribisnis pembangunan pertanian bukan semata

pembangunan sektoral namun juga terkait dengan lintas sektoral karena

pembangunan pertanian sangat terkait dan ditentukan oleh agroindustri hilir,

agroindusri hulu dan lembaga jasa penunjang; (3) pembangunan pertanian bukan

sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas, melainkan sangat terkait

dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan

upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat pertanian (Deptan, 2005)

”Pencitraan baru tentang pertanian adalah penerapan model

agribisnis, agrowisata merupakan salah satu usaha agribisnis”

Pembangunan pertanian dalam kerangka sistem agribisnis merupakan suatu

rangkaian dan keterkaitan dari: (1) sub agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu

seluruh kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian

primer (usahatani); (2) sub agribisnis usahatani (onfarm agribusiness) atau

pertanian primer, yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi dan sub

agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub ini di

Indonesia disebut pertanian; (3) sub agribisnis hilir (down-stream agribusiness)

yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi

produk olahan baik bentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk

produk akhir (finished product); dan (4) sub sasa penunjang yaitu kegiatan yang

menyediakan jasa bagi ketiga sub agribisnis di atas (Deptan, 2005)

Konsep pembangunan agribisnis tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan

dalam pengembangan wisata agro. Wisata agro merupakan salah satu usaha bisnis

dibidang pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen.

Bentuk jasa tersebut dapat berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman dan

pendidikan. Pengembangan usaha wisata agro membutuhkan manajemen yang

24

prima diantara sub sistem, yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana sarana

wisata, objek yang dijual promosi dan pelayanannya (Deptan, 2005)

”agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang

pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada

konsumen”

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kekayaan alam dan hayati yang

sangat beragam yang, jika dikelola dengan tepat, kekayaan tersebut mampu

diandalkan menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di wilayah

Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan komoditas tropis dan sebagian sub

tropis pada ketinggian antara nol sampai ribuan meter di atas permukaan laut.

Komoditas pertanian (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

kehutanan, peternakan dan perikanan) dengan keragaman dan keunikannya yang

bernilai tinggi serta diperkuat oleh kekayaan kultural yang sangat beragam

mempunyai daya tarik kuat sebagai wisata agro atau ekowisata yang berbasiskan

pertanian. Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam

perekonomian Indonesia (Deptan, 2005)

Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis.

Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek

spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk

secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik

menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal

tingginya permintaan akan wisata agro dan sekaligus membuka peluang bagi

pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun

produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2005)

Sumber: online

”produk-produk agribisnis dapat berbentuk kawasan

ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik

spesifik”

Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan

hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga

merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas,

mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai

kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam (Deptan, 2005)

25

Objek wisata agro tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan

yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang

karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Dengan datangnya

wisatawan mendatangi objek wisata juga terbuka peluang pasar tidak hanya bagi

produk dan objek wisata agro yang bersangkutan, namun pasar dan segala

kebutuhan masyarakat.

”agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan

baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional”

Dengan demikian melalui wisata agro bukan semata merupakan usaha atau

bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan

pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan

sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat,

memberikan signal bagi peluang pengembangan diversifikasi produk agribisnis dan

berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian

maka wisata agro dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru daerah,

sektor pertanian dan ekonomi nasional (Deptan, 2005)

26

BAB V

DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA

Agrowisata adalah pariwisata pro pertanian

The philosophy of agrotourism is inspired to improve the farmers’ earnings

and the quality of rural society lives which then expectedly represents

opportunity to educate the societies on agriculture and ecosystems.

Filosopi agrowisata adalah meningkatkan pendapatan kaum tani, dan

meningkatkan kualitas alam pedesanaan menjadi hunian yang benar-benar dapat

diharapkan sebagai hunian yang berkualitas, memberikan kesempatan masyarakat

untuk belajar kehidupan pertanian yang menguntungkan dan ekosistemnya.

“Agrowisata memberikan kesempatan kaum tani meningkatkan kualitas

hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian yang mereka

miliki”

Rilla, et al (1999) memiliki pendapat yang hampir sama tentang

agrowisata, dimana pembangunan pariwisata mestinya dapat menjadi peluang bagi

petani lokal untuk meningkatkan pendapatannya untuk mempertahankan hidup

keluarganya. Pendapat Lobo et al dapat dijabarkan sebagai berikut: agrowisata

mendidik masyarakat belajar tentang pertanian untuk meningkatkan

pendapatannya, agrowisata dapat mengurangi urbanisasi karena dengan adanya

agrowisata di pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk bekerja,

agrowisata juga dapat menjadi media mempromosikan produk lokal ke ranah

internasional.

Rilla (1999) describes more clearly the reasons of developing agrotourism as

such; (1) it educates for the purpose of keeping the relationship among lokal

societies, interest sectors, and visitors. (2) it improves the health and

freshness of visitors, (3) relaxation, (4) adventure, (5) natural food or food

organic, (6) unique experiences, (7) cheap tourism.

Sementara agrowisata bagi wisatawan adalah mendidikan wisatawan untuk

memahami kehidupan nyata tentang pertanian dan memberikan pemahaman

kepada wisatawan bahwa kehidupan bertani adalah pekerjaan yang amat mulia

27

karena kehidupan manusia lainnya sangat tergantung pada pertanian. Keuntungan

lain bagi wisatawan adalah mereka dapat meningmati alam yang sehat dan alamiah

bebas dari polusi kota, mendapatkan produk pertanian yang benar-benar segar dan

bahkan organic atau green product, agrowisata memberikan pengalaman

perjalanan wisata yang unik, agrowisata adalah perjalan wisata yang relatif murah

jika dibandingkan dengan wisata lainnya.

”Agrowisata adalah tuntutan akan pariwisata yang pro lingkungan, go

green, dan bertanggung jawab”

Menurut Sudibya (2002) mengatakan, pariwisata international pada saat ini

telah mengalami pergeseran yang cenderung mengarah pada pariwisata

ecotourism yang berwawasan lingkungan, konservasi alam dengan pemanfaatan

alam dan lingkungan secara bertanggung jawab. Ecotourism dan wisata agro

diyakini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan gairah

untuk meningkatkan usaha kecil seperti kerajinan rumah tangga, pertanian, dan

bidang usaha lainnya karena wisatawan ecotourism adalah wisatawan yang

bersentuhan langsung dengan penduduk lokal dimana objek tersebut

dikembangkan

“Menurut perspektif industri pariwisata, agrowisata adalah bagian dari

wisata alam yang memiliki etika perencanaan dan filosofis pro pertanian”

Perencanaan kepariwisataan alam di suatu daerah, pada umumnya

didasarkan pada pola perencanaan regional dan kawasan. Oleh karena

pembangunan kepariwisataan alam sangat erat kaitannya dengan upaya

mengkonservasi lingkungan, maka konsep dan prinsip pembangunan berwawasan

lingkungan harus menjadi pertimbangan utama (Nuryanti, 2001)

Syamsu, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang penerapan etika

perencanaan kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Sleman Yogyakarta. Dalam

penelitian tersebut, dirumuskan perencanaan pengembangan suatu kawasan

pariwisata yang sebaiknya mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan,

keunikan, pelibatan tenaga kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan

pemerataan. Jika etika perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan

peranan suatu objek wisata akan terasa bagi masyarakat lokal. Dijelaskan pula,

penataan kawasan wisata mutlak harus dilakukan agar keberadaannya dapat

dikunjungi terus oleh wisatawan. Kawasan dan objek wisata yang tertata baik akan

memberikan nilai-nilai estetika, kenyamanan, kepuasan dan kesan “image” yang

mendalam bagi wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata.

28

Sedangkan Sujana (2002) dalam penelitiannya tentang perumusan strategi

pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, menyarankan agar pihak

pengelola kebun raya Eka Karya melakukan strategi diversifikasi yang diarahkan

untuk (1) Menata kembali kawasan ini, berupa: Penataan lokasi kemah wisata,

pembuatan jalan turun tebing, pendirian tempat berkemah, pengembangan daya

guna flora dan fauna, pembudidayaan tanaman air, arena bermain anak-anak,

memperkaya koleksi tanamanan, membuat katalog tanaman, dukungan

masyarakat sekitar berupa penjualan souvenir. (2) Melakukan budidaya flora dan

fauna berupa pengembangan produk yang dilakukan oleh seksi koleksi berupa:

budidaya flora tanaman air sehingga diharapkan dapat memberikan daya tarik lebih

agar wisatawan tidak beralih ke objek lainnya. Budidaya fauna khususnya binatang

atau burung-burung yang telah ada, jenis serangga tertentu, dan juga binatang

kera. (3) Menambah koleksi tanaman khas Bali agar keunikannya semakin nampak

berupa penambahan tanaman umbi-umbian (bumbu), tanaman obat, tanaman

panca yadnya pada areal khusus. (4) Menciptakan bentuk katalog baru, pembuatan

taman supaya memberikan daya tarik unsur ilmiah, dengan nama latin serta bingkai

ukiran Bali. (5) Mempererat hubungan dan kerjasama dengan kelompok seni gong

sebagai bentuk tanggungjawab sosial dengan masyarakat lokal di daerah tujuan

wisata yakni masyarakat Candikuning. (6) Melakukan kegiatan usaha tambahan

seperti: membuat cinderamata khas Kebun Raya Eka Karya, baju kaos bergambar

wisatawan dengan latar Kebun Raya Eka Karya, mendirikan kios makanan dan

minuman, lapangan tenis dirawat lebih baik, penataan kembali gedung pertemuan,

memperbanyak brosur sebagai media promosi.

“Agrowisata yang beretika adalah memiliki kelangkaan, alamiah, unik, dan

melibatkan petani setempat”

Pada prinsipnya, kedua hasil penelitian di atas baik Syamsu dan Sujana

berpegang pada prinsip yang sama yakni, pengembangan objek wisata yang

mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan, keunikan, pelibatan tenaga

kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan pemerataan sehingga dapat

menguntungkan semua pihak yang terlibat.

“agrowisata adalah pemanfaatan alam sebagai atraksi wisata”

29

Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam

fisik dan hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk

objek wisata alam. Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula

membutuhkan atraksi (Fandeli, 2001). Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan

penelitian tentang potensi dan peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung

Salak Endah, menemukan beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai

atraksi objek wisata ecotourism. Potensi tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet,

areal perkemahan, lahan pertanian sebagai objek wisata agro, kolam air deras,

arena pancing (perikanan darat), peternakan lebah, peternakan kuda, wisata

perhutanan dan perkebunan, dan wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.

Sedangkan Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial

dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan

berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali

Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau

Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai

agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai

tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa

dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan

pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran

serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan

pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan

pendidikan. Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi,

terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan

restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik

untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida

potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging

yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar

untuk dikembangkan menjadi ecotourism.

Lebih lanjut Sudibya (2002) menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi

wisata yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung

jeram (whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman

reptil, taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).

30

BAB VI

DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF

“In simple terms, agritourism is the crossroads of tourism and agriculture:

when the public visits farms, ranches or wineries to buy products, enjoy

entertainment, participate in activities, eat a meal or spend the night”

(www.farmstop.com)

Dalam istilah sederhana, agritourism didefinisakan sebagai perpaduan

antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun,

peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan,

mengambil bagian aktivitas, makan suatu makanan atau melewatkan malam

bersama di suatu areal perkebunan atau taman (www.farmstop.com)

“Agricultural tourism, or agri-tourism, is one alternative for improving the

incomes and potential economic viability of small farms and rural

communities” (www.sfc.ucdavis.edu)

Sementara definisi lain mengatakan, agritourism adalah sebuah alternatif

untuk meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi

ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (www.farmstop.com)

Di Indonesia, Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah

bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai

objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi

dan hubungan usaha di bidang pertanian.

Berikut Definisi dan makna yang berhubungan dengan agrowisata menurut Ramiro

Lobo, Farm Advisor UC Cooperative Extension, San Diego County (2007).

“Agricultural Tourism: Refers to the act of visiting a working farm or any

agricultural, horticultural or agribusiness operation for the purpose of

enjoyment, education, or active involvement in the activities of the farm or

operation”

Agrowisata yakni kegiatan atau wisata yang mengacu pada kegiatan

melakukan perkunjungan kepada petani yang sedang bekerja di lahan pertanian

31

mereka artinya wisatawan mungkin akan melihat-lihat proses pembibitan,

penanaman, pemanenan, bahkan kegiatan pengolahan produk pertanian menjadi

produk olahan dalam konteks kegiatan agribisnis.

“Community Supported Agriculture (CSA): Partnership between consumers

and farmers in which consumers pay for farm products in advance and

farmers commit to supplying sufficient quantity, quality and variety of

products. This type of arrangement can be initiated by the farmer (farmer

directed) or by a group of consumers (participatory)”

Agrowisata adalah jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani dari sisi

penawaran para petani siap dengan produk mereka dan para wisatawan

mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh wisatawan. Proses terjadinya

produksi agrowisata adalah ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan

antara penawaran dan permintaan.

“Direct Marketing: Any marketing method whereby farmers sell their

products directly to consumers. Examples include roadside stands, farm

stands, U-pick operations, community supported agriculture or subscription

farming, farmers' markets, etc”.

Agrowisata merupakan pemasaran langsung produk pertanian karena para

petani dapat menjual secara langsung hasil pertaniannya tanpa melalui saluran

distribusi. Petani bias mebuat stand hasil pertaniannya di sepanjang jalur yang

dilintasi oleh para wisatawan. Wilayah agrowisata dapat secara otomatis perfungsi

sebagai pasar yang mempertemukan antara para petani sebagai penghasil produk

pertanian dengan para wisatawan sebagai penikmat produk. Produk yang dimaksud

tidak sebatas yang berwujud seperti buah-buahan atau sayur-sayuran, tetapi dapat

berupa jasa misalnya mengukir buah, jasa lokal guide, dan mungkin atraksi tari-

tarian para petani lokal yang mengekpresikan kehidupan bertanian mereka.

Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha

pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.

Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam

memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil

melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal

(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan

alaminya (http://database.deptan.go.id)

32

Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan

yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus

pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan

kesajahteraan masyarakat petani.

Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism),

yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam

dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau

tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan,

2005)

Antara ecotourism dan agritourism berpegang pada prinsif yang sama. Prinsif-

prinsif tersebut, menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) adalah sebagai berikut:

a) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan

kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan wisata.

b) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu

pelestarian.

c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama

dengan unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian.

d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian,

menejemen sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi.

e) Memberi penekanan pada kebutuhan zone pariwisata regional dan penataan

serta pengelolaan tanam-tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan

yang ditetapkan untuk tujuan wisata tersebut.

f) Memberikan penekanan pada kegunaan studi-studi berbasiskan lingkungan dan

sosial, dan program-program jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan

serendah-rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan.

g) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan

masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan

yang dilindungi.

h) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampui

batas-batas sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan

para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal.

i) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan

dan binatang liar, dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya.

“People want an experience that's completely different from their daily lives.

They want an escape from the stress of traffic jams, cell phones, office cubicles

and carpooling! Parents want their children to know how food is grown or that

milk actually comes from a cow (not the supermarket shelf!)”

(www.farmstop.com)

33

Di beberapa negara, agritourism bertumbuh sangat pesat dan menjadi

alternatif terbaik bagi wisatawan, hal ini disebabkan, agritourism akan membawa

seseorang mendapatkan pengalaman yang benar-benar berbeda dari rutinitas

kesehariannya. Mereka ingin keluar dari kejenuhan, tekanan kemacetan lalulintas,

telepon selular, suasana kantor dan hiruk pikuk keramaian. Orang tua ingin anak-

anak mereka dapat mengetahui dari mana sebenarnya makanan itu berasal atau

mengenalkan bahwa susu itu dari seekor sapi bukan rak supermarket

(www.farmstop.com)

Pada era ini, manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan,

rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek pengembangan

agrowisata diperkirakan sangat cerah. Pengembangan agrowisata dapat diarahkan

dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau

lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata ruangan tertutup

dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai sejarah atau naskah

dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil

pertanian. Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas

dan sesuai dengan kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem

usahatani yang efektif dan berkelanjutan.

Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka dapat

berupa flora dan fauna yang dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan

pascapanen komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi budaya

pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar belakang pertanian dengan

kenyamanan yang dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat dilakukan

dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan (http://database.deptan.go.id)

Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua

versi atau pola, yaitu alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut:

Agrowisata Ruang Terbuka Alami

Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan

tersebut dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan

kehidupan keseharian mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai

dengan apa yang biasa mereka lakukan tanpa ada pengaturan dari pihak lain.

Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada wisatawan, atraksi-atraksi

spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan, namun tetap

menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk

kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan

budaya dan estetika asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat

34

berteduh, sanitasi, dan keamanan dari binatang buas. Contoh agrowisata

terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang dan Suku Naga di

Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan teknologi

subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk

budi daya umbi-umbian.

Agrowisata Ruang Terbuka Buatan

Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasan-

kawasan yang spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat

adat. Tata ruang peruntukan lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan

komoditas pertanian yang dikembangkan memiliki nilai jual untuk wisatawan.

Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari budaya masyarakat lokal

yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk atraksi

agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan

dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak

mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat

dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap

dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan.

35

BAB VII

PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA

Dalam konteks produk pariwisata, agrowisata merupakan salah satu aspek

produk yang berupa daya tarik wisata dan harus dapat disatukan dengan aspek

produk yang lainnya secara harmonis untuk mewujudkan kepuasan wisatawan.

Kepuasan wisatawan adalah ukuran terakhir untuk mengukur kualitas dari produk

pariwisata.

“Agrowisata adalah bagian dari totalitas produk pariwisata yang

terkemas pada atraksi wisata dalam penawaran pariwisata”

Aspek Penawaran Pariwisata

Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang

harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah

sebagai berikut.

a) Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata untuk menarik wisatawan pasti

memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan

budayanya. Agrowisata yang ditawarkan harus memiliki daya tarik yang benar-

benar mimiliki daya pikat bagi calon wisatawan untuk berkunjung.

b) Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik dan

mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata.

Daya pikat agrowisata harus didukung oleh akses ke objek agro tersebut

minimal dapat dijangkau oleh mobil minibus, untuk memastikan sebuah objek

layak untuk dikunjungi.

c) Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah

tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama. Fasilitas

makan dan minuman mutlak harus ada, jika perlu makanan atau culinary lokal

mungkin menjadi suguhan yang memberikan pengalaman lebih bagi

wisatawan.

d) Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan semakin

sering mengunjungi dan mencari objek apabila di daerah tersebut wisatawan

dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi. Tour

leader dan travel agent yang baik adalah syarat minimal untuk menciptakan

kepuasan wisatawan.

Selanjutnya Smith, 1988 (dalam Pitana, 2005) mengklasifikasikan berbagai

barang dan jasa yang harus disediakan oleh DTW menjadi enam kelompok besar,

36

yaitu: (1)Transportation, (2)Travel services, (3)Accommodation, (4)Food services,

(5)Activities and attractions (recreation culture/entertainment), dan (6) Retail

goods.

Inti dari kedua pernyataan di atas adalah, aspek penawaran harus dapat

menjelaskan apa yang akan ditawarkan, atraksinya apa saja, jenis transportasi

`yang dapat digunakan apa saja, fasilitas apa saja yang tersedia di objek agro

tersebut, siapa saja yang bisa dihubungi sebagai perantara pembelian paket wisata

yang akan dibeli.

Aspek Permintaan Pariwisata

Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto, 2005), faktor-faktor utama dan faktor

lain yang mempengaruhi permintaan pariwisata dapat dijelaskan sebagai berikut:

a) Harga; harga yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata akan memberikan

imbas atau timbal balik pada wisatawan yang akan bepergian, sehingga

permintaan wisatapun akan berkurang begitu pula sebaliknya. Survey harga

mutlak harus dilakukan oleh para pengelola objek agrowisata dengan

membandingkan dengan harga-harga yang ada pada objek sejenis, seperti

melirik harga-harga di Vietnam, Filifina, atau Thailand.

b) Pendapatan; apabila pendapatan suatu negara tinggi, kecendrungan untuk

memilih daerah tujuan wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi

dan bisa jadi calon wisatawan membuat sebuah usaha pada Daerah Tujuan

Wisata jika dianggap menguntungkan.

c) Sosial Budaya; dengan adanya sosial budaya yang unik dan bercirikan atau

berbeda dari apa yang ada di negara calon wisata berasal maka,

peningkatan permintaan terhadap wisata akan tinggi hal ini akan membuat

sebuah keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah

kekayaan pola pikir budaya wisatawan. Secara historis, Indonesia lebih

dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, tembakau, karet, kelapa sawit,

kopi, dan kayu hutan. Dengan melirik ke mana tujuan export produk

tersebut? Maka dapat diperkirakan negara tersebutlah menjadi sasaran

pemasaran agrowisata Indonesia.

d) Sospol (Sosial Politik); dampak sosial politik belum terlihat apabila keadaan

Daerah Tujuan Wisata dalam situasi aman dan tenteram, tetapi apabila hal

tersebut berseberangan dengan kenyataan, maka sospol akan sangat terasa

dampak dan pengaruhnya dalam terjadinya permintaan.

e) Intensitas keluarga; banyak atau sedikitnya keluarga juga berperan serta

dalam permintaan wisata hal ini dapat diratifikasi, jumlah keluarga yang

banyak maka keinginan untuk berlibur dari salah satu keluarga tersebut

akan semakin besar, hal ini dapat dilihat dari kepentingan wisata itu sendiri.

37

f) Harga barang substitusi; disamping kelima aspek di atas, harga barang

pengganti juga termasuk dalam aspek permintaan, dimana barang-barang

pengganti dimisalkan sebagai pengganti DTW yang dijadikan cadangan

dalam berwisata seperti: Bali sebagai tujuan wisata utama di Indonesia,

akibat suatu dan lain hal Bali tidak dapat memberikan kemampuan dalam

memenuhi syarat-syarat Daerah Tujuan Wisata sehingga secara tidak

langsung wisatawan akan mengubah tujuannya ke daerah terdekat seperti

Malaysia dan Singapura.

g) Harga barang komplementer; merupakan sebuah barang yang saling

membantu atau dengan kata lain barang komplementer adalah barang yang

saling melengkapi, dimana apabila dikaitkan dengan pariwisata barang

komplementer ini sebagai objek wisata yang saling melengkapi dengan

objek wisata lainnya.

“Harga, pendapatan wisatawan, sosial budaya, kondisi politik,

kondisi keluarga, produk pengganti, dan produk pelengkap adalah

factor pendorong atau pelemah terhadap permintaan”

Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) melihat bahwa faktor penting yang

menentukan permintaan pariwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan

antara lain, jumlah penduduk (population size), kemampuan finansial masyarakat

(financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi,

dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.

38

BAB VIII

KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA

Agritourism bermula dari ecotourism. Ecotourism adalah yang paling cepat

bertumbuh diantara model pengembangan pariwisata yang lainnya di seluruh

dunia, dan memperoleh sambutan yang sangat serius. Ecotourism dikembangkan

di negara berkembang sebagai sebuah model pengembangan yang potensial untuk

memelihara sumber daya alam dan mendukung proses perbaikan ekonomi

masyarakat lokal. Ecotourism dapat menyediakan alternatif perbaikan ekonomi ke

aktivitas pengelolaan sumber daya, dan untuk memperoleh pendapatan bagi

masyarakat lokal ( U.S. Konggres OTA 1992).

At the moment, agrotourism has successfully developed in many countries,

for instance Switzerland, New Zeeland, France, Netherlands, Australia, and

Austria (Rilla 1999).

Agritourism telah berhasil dikembangkan di Switzerland, Selandia Baru,

Australia, dan Austria. Sedangkan di USA baru tahap permulaan, dan baru

dikembangkan di California. Beberapa Keluarga petani sedang merasakan bahwa

mereka dapat menambah pendapatan mereka dengan menawarkan pemondokan

bermalam, menerima manfaat dari kunjungan wisatawan, (Rilla 1999).

Pengembangan agritourism merupakan kombinasi antara pertanian dan dunia

wisata untuk liburan di desa. Atraksi dari agritourism adalah pengalaman bertani

dan menikmati produk kebun bersama dengan jasa yang disediakan.

Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha

pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.

Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam

memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil

melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal

(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan

alaminya.

Potensi objek wisata dapat dibedakan menjadi objek wisata alami dan

buatan manusia. Objek wisata alami dapat berupa kondisi iklim (udara bersih dan

sejuk, suhu dan sinar matahari yang nyaman, kesunyian), pemandangan alam

(panorama pegunungan yang indah, air terjun, danau dan sungai yang khas), dan

sumber air kesehatan (air mineral, air panas). Objek wisata buatan manusia dapat

berupa falitas atau prasarana, peninggalan sejarah dan budidaya, pola hidup

masyarakat dan taman-taman untuk rekreasi atau olah raga.

39

Objek agrowisata yang telah berkembang dan tercatat dalam basis data

Direktorat Jenderal Pariwisata 1994/1995 terdapat delapan propinsi yaitu

Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, NTB,

Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Objek agrowisata umumnya masih

berupa hamparan suatu areal usaha pertanian dari perusahaan-perusahaan besar

yang dikelola secara modern Barat dengan orientasi objek keindahan alam dan

belum menonjolkan atraksi keunikan dari aktivitas lokal masyarakat. Diantara objek

agrowisatawisata tersebut seperti berikut:

Foto Kebun Raya Bogor

Sumber: http://indodesigntour.com

a) Kebun Raya Bogor

Kebun Raya Bogor didirikan 18 Mei 1817 yang semula bernama Islands

Plantentuin te Buitenzorg. Pengelolaannya kini di bawah Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indoneia (LIPI) yang menitikberatkan pada bidang pendidikan dan

penelitian daripada untuk rekreasi. Kebun Raya Bogor dengan luas 87 hektare

berfungsi untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan secara ex situ (memindahkan

tanaman dari tempat asalnya ke tempat baru dengan dibuat sesuai dengan

tempat asalnya). Tahun 1995 koleksi Kebun Raya Bogor berjumlah 4.300 jenis

tanaman dari Indonesia, kawasan tropis Asia, Austaralia, Amerika, dan Afrika

yang penataannya dikelompokkan berdasarkan asal, habitat, dan famili

40

tanaman. Selain itu kebun raya Bogor juga menyedikan pelayanan informasi

ilmiah, seperti adanya paket wisata flora siswa bagi pelajar dan mahasiswa.

Kebun Raya Bogor merupakan pusat Kebun Raya yang membawahi 3 cabang

Kebun Raya, yaitu Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya

Eka Karya Bali (LIPI, 2005)

Foto Taman Anggrek Indonesia Permai

Sumber: http://www.gedoor.com

b) Taman Anggrek Indonesia Permai, Jakarta

Taman ini lokasinya berdekatan dengan Taman Mini indonesia Indah (TMII).

Pengunjung dapat menikmati keindahan berbagai jenih anggrek dalam kaveling-

kaveling khusus. Taman ini juga menawarkan paket khusus budi daya anggrek

bagi mereka yang berminat dan sarana penelitian untuk pengembangan

budidaya tanaman anggrek. Selain di Jakarta, Taman Anggrek juga tedapat di

daerah Bedugul, Bali yang menjual berbagai jenis anggrek. Pengunjung yang

datang juga diberi keranjang dan gunting untuk memetik sendiri bunga yang

dipilihnya (Kondisi tahun 2005)

41

Foto Taman Bunga Nusantara

Sumber: http://indonesia.mitrasites.com

c) Taman Bunga Nusantara, Cipanas, Jawa Barat

Taman Bunga Nusantara yang dibuka September 1995 dengan luas kawasan 35

hektare. Lahan 25 hektare untuk tanaman hias dan berbagai macam pohon

dengan koleksi lebih dari 300 varietas yang dikumpulkan dari berbagai benua.

Di taman ini terdapat tempat khusus yang ditanami jenis tanaman tertentu,

seperti taman mawar, taman bougenvill, dan taman palem. Pengunjung yang

ingin membawa oleh-oleh berupa bunga potong juga dapat membeli di

showroom PT Alam Indah Bunga Nusantara yang letaknya bersebelahan. Untuk

kegiatan para profesional, pelajar, dan mahasiswa, pihak taman bunga nasional

juga menawarkan kegiatan seperti workshop atau seminar (Kondisi tahun 2005)

42

Foto Festival Jambu Biji yang diselenggarakan Taman Wisata Mekarsari,

Sumber: http://www.agrina-online.com

d) Taman Buah Mekarsari (TBM), Cileungsi, Jawa Barat.

Taman Buah Mekarsari diresmikan Oktober 1995. Tujuan pembangunan TBM

adalah menciptakan kebun hortikultura dengan teknologi canggih sebagai

kebun percobaan, kebun produksi, dan objek agrowisata. TBM memiliki lahan

264 hektare dengan rancangan pola tanam menyerupai bentuk daun

lamtorogung, yang dianggap sebagai tanaman serba guna dan sebagai pelestari

lingkungan hidup. Di TBM juga disajikan cara bertanam buah untuk masa depan

yang dikenal dengan istilah tabulampot. Kini TBM mengoleksi 41 famili yang

terdiri dari 143 jenis tanaman dengan 455 varietas. Koleksi tanaman tersebut

mencakup 30 varietas jeruk, 19 varietas rambutan, 16 varietas belimbing, 28

varietas pisang, 44 varietas durian, dan 27 varietas mangga dengan

menerapkan dengan sistem pertanian modern (Kondisi tahun 2005)

43

Foto oceanarium

Sumber: http://www.daysoutguide.co.uk/oceanarium

e) Oceanarium

Objek agrowisata perikanan yang terdapat di Indonesia adalah Sea World yang

memiliki oceanarium, berlokasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.

Oceanarium ini mulai beroperasi Mei 1994 yang menyajikan kehidupan alam di

bawah laut dan aneka ragam hewan laut seperti hiu, ikan pari, penyu, dan

ratusan jenis ikan yang dapat dilihat melalui terowongan pada kolam raksasa

yang terbuat dari kaca (Kondisi tahun 2005)

44

Foto Taman Akuarium Air tawar TMII

Sumber: http://www.tamanmini.com

f) Taman Akuarium Air Tawar (TAAT)

Taman Akuarium Air Tawar (TAAT) diresmikan April 1994 berlokasi di Taman

Mini Indonesia Indah (TMII), TAAT dibangun dengan gedung berbentuk

lingkaran yang terdiri dari dua lantai seluas 5.500 M2 dengan atap berbentuk

kubah berwarna hijau. Di TAAT terdapat keanekaragaman hayati ikan dan biota

air tawar nusantara yang ditempatkan di akuarium geografik, dengan jumlah

koleksi 240 buah akuarium dan kolam yang menampung 7.500 ikan yang terdiri

dari 450 jenis (Kondisi tahun 2005)

Foto Taman Burung TMM

Sumber: http://koran.republika.co.id

45

g) Taman Burung TMII

Taman burung ini berlokasi di TMII Jakarta dengan luas taman 6 hektare dan

memiliki 267 jenis burung yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan

16 jenis burung yang bukan asli Indonesia. Tahun 1995 koleksi burung di taman

ini mencapai 5.134 ekor. Di taman burung ini terdapat dua rangkaian kubah,

yaitu kubah barta yang menjadi tempat jenis-jenis burung dari Indonesia Barat

dan kubah timur yang berisi koleksi burung dari kawasan Indonesia Timur.

Bahkan terdapat juga auditorium yang menyajikan film tentang burung (Kondisi

tahun 2005)

Foto Taman Burung TMII

Sumber: http://santiorchid.wordpress.com

h) Taman Anggrek Ragunan

Taman anggrek Ragunan (TAR) merupakan aset Pemda DKI Jakarta dengan luas

lahan sekitar 5 ha, dikelola oleh Dinas Pertanian DKI Jakarta. Keberadaan TAR

menjadi salah satu objek Agrowisata, yang berfungsi sebagai: tempat wisata,

tempat berlangsungnya aktivitas agribisnis tanaman anggrek baik dalam bentuk

tanaman maupun bunga potong, dan sebagai sarana untuk mempelajari seluk

beluk pemeliharaan anggrek. TAR dibagi menjadi 42 kavling yang dimanfaatkan

untuk budidaya, pembibitan tanaman anggrek dan bunga potong. Disamping

itu, dilengkapi pula dengan kios sarana produksi dan kantor pemasaran.

Kavling-kavling anggrek tersebut dikelola oleh para petani anggrek yang

tergabung dalam koperasi. Jenis-jenis anggrek yang diusahakan oleh para

petani antara lain jenis Dendrobium, Orcidium, Arachnis, Phalaenopsis, serta

tanaman hias penunjang lainnya (Kondisi tahun 2005)

46

Foto Balai Benih Ikan Ciganjur

Sumber: http://www.wisatanesia.com

i) Balai Benih Ikan Ciganjur

Balai Benih Ikan Ciganjur merupakan lahan milik Pemda DKI Jakarta dengan luas

lebih dari 10 ha. Balai ini dikelola oleh Dinas Perikanan yang kegiatannya, antara

lain: pembenihan ikan, pemeliharaan ikan dan secara berkala diadakan atraksi

lomba memancing. Selain itu, sebagian lahan ini juga dimanfaatkan oleh para

petani ikan yang mengusahakan ikan konsumsi dan ikan hias. Produksi balai

benih ikan tidak hanya melayani pembeli lokal, tetapi juga melayani pembeli

yang berasal dari luar kota Jakarta. Pengunjung yang datang dapat membeli

ikan konsumsi dan ikan hias (Kondisi tahun 2005)

47

Foto Taman Margasatwa Ragunan

Sumber: http://selatan.jakarta.go.id

j) Taman Margasatwa Ragunan

Adalah Kebun Binatang milik Pemerintah DKI Jakarta yang berdiri di atas tanah

seluas lebih kurang 135 ha. Di dalamnya terdapat koleksi satwa sebanyak lebih

kurang 3.200 ekor. Pada saat ini masih dalam tahap proses penataan dan

pembangunan untuk terwujudnya Kebun Binatang yang baik sebagai sarana

rekreasi, pendidikan, penelitian, dan konservasi fauna dan flora. Berikut sekilas

informasi tentang sejaran keberadaan Kebun Binatang di Jakarta, antara lain:

(a) Tahun 1864, Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia ternama menghibahkan

sebidang tanah seluas 10 hektar di kawasan Cikini kepada pemerintah. Oleh

Pemerintah Belanda digunakan sebagai "Lembaga untuk Tanaman dan Satwa";

(b) Tahun 1949, Nama Lembaga untuk Tanaman dan Satwa diganti menjadi

"Kebun Binatang Cikini"; (c) Tahun 1964, Dengan makin berkembangnya kota

Jakarta, Pemerintah Daerah memindahkan Kebun Binatang Cikini ke kawasan

Ragunan Pasar Minggu, dengan nama "Taman Margasatwa Jakarta"; (d) Tahun

1974, Nama Taman Margasatwa Jakarta berubah menjadi "Kebun Binatang

Ragunan". Sejak saat itu secara bertahap dilakukan penataan dan perluasan,

sejalan dengan peran dan fungsi Kebun Binatang; (e) Tahun 1998, Berdasarkan

Perda No.13 Tahun 1998 nama "Kebun Binatang Ragunan" berubah namanya

menjadi "Taman Margasatwa Ragunan" (Kondisi tahun 2005)

48

BAB IX

MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA

Motivasi agritourism adalah untuk menghasilkan pendapatan tambahan

bagi petani. Bagaimanapun, agritourism juga merupakan kesempatan untuk

mendidik orang banyak atau masyarakat tentang pertanian dan ecosystems.

Pemain Kunci didalam agritourism adalah petani, pengunjung atau wisatawan, dan

pemerintah atau institusi. Peran mereka bersama dengan interaksi mereka adalah

penting untuk menuju sukses dalam pengembangan agritourism.

Keuntungan dari pengembangan agritourism bagi petani lokal dapat dirinci

sebagai berikut (Lobo dkk, 1999):

1. Agrowisata dapat memunculkan peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan

pendapatan dan meningkatkan taraf hidup serta kelangsungan operasi mereka;

2. Menjadi sarana yang baik untuk mendidik orang banyak/masyarakat tentang

pentingnya pertanian dan kontribusinya untuk perekoniman secara luas dan

meningkatkan mutu hidup;

3. Mengurangi arus urbanisasi ke perkotaan karena masyarakat telah mampu

mendapatkan pendapatan yang layak dari usahanya di desa (agritourism)

4. Agrowisata dapat menjadi media promosi untuk produk lokal, dan membantu

perkembangan regional dalam memasarkan usaha dan menciptakan nilai

tambah dan “direct-marking” merangsang kegiatan ekonomi dan memberikan

manfaat kepada masyarakat di daerah dimana agrotourism dikembangkan.

Sedangkan Manfaat Agritourism bagi pengunjung atau wisatawan (Rilla, 1999)

adalah sebagai berikut:

a) Menjalin hubungan kekeluargaan dengan petani atau masyarakat lokal.

b) Meningkatkan kesehatan dan kesegaran tubuh

c) Beristirahat dan menghilangkan kejenuhan

d) Mendapatkan petualangan yang mengagumkan

e) Mendapatkan makanan yang benar-benar alami (organic food)

f) Mendapatkan suasana yang benar-benar berbeda

g) Biaya yang murah karena agrowisata relatif lebih murah dari wisata yang

lainnya.

Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi, dan

fungsi ekologis lahan sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kelestarian

sumber daya lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan

49

ini secara tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif petani serta

masyarakat sekitarnya akan arti pentingnya pelestarian sumber daya lahan

pertanian. Pengembangan agrowisata pada gilirannya akan menciptakan lapangan

pekerjaan, karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat

pedesaan, sehingga dapat menahan atau mengurangi arus urbanisasi yang semakin

meningkat saat ini.

Manfaat yang dapat dipeoleh dari agrowisata adalah melestarikan sumber daya

alam, melestarikan teknologi lokal, dan meningkatkan pendapatan

petani/masyarakat sekitar lokasi wisata (http://database.deptan.go.id)

Selanjutnya Sutjipta (2001) menganggap, agrowisata dapat berkembang

dengan baik jika terjadi Tri mitra dan tri karya pembangunan agrowisata yang

meliputi, pemerintah sebagai pembuat aturan, rakyat/petani sebagai subyek, dan

dunia usaha pariwisata sebagai penggerak perekonomian rakyat. Menurut Afandhi

(2005), Pembangunan dan Pengembangan agrowisata bagi dunia usaha dapat

dilakukan oleh ketiga pelaku ekonomi yaitu Badan Usaha Milik Negara/ Daerah,

Perusahaan Nasional, Koperasi, dan Usaha Perorangan. Ketiga Pelaku ekonomi

tersebut harus berdasarkan pola manajemen perusahaan penuh dengan modal

yang rasional, sehingga ratio costbenefit dan return on invenstment pat diukur

setiap tahun, sedangkan cara atau system pengelolaannya dapat dilakukan secara

sendiri atau kerjasama (join venture), bagi hasil (sharing), dan lain-lain dengan

prinsip saling menguntungkan. Adapun tenaga kerja sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan

obyek agrowisata adalah kemampuan pengelola yang terdiri dari tenaga pembina,

pelaksana, dan pemandu wisata. Untuk itu penyediaan tenaga managerial dan

pemandu agrowisata yang progfesional sesuai dengan bidangnya mutlak

diperlukan.

Pola pengelolaan agrowisata yang dikembangkan atau dibangun perlu

dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan

yang menunjang usaha agrowisata.

Dengan keikutsertaan masyarakat di dalam pengembangan agrowisata

diharapkan dapat ditumbuhkembangkan interaksi positif dalam bentuk rasa ikut

memiliki untuk menjaga eksistensi obyek. Peran serta masyarakat dapat dilakukan

melalui:

1. Masyarakat desa yang memiliki lahan di dalam kawasan yang dibangun agar

tetap dapat mengolah lahannya sehingga menunjang peningkatan hasil produk

pertanian yang menjadi daya tarik agrowisata dan di sisi lain akan mendorong

rasa memiliki dan tanggungjawab di dalam pengelolaan kawasan secara

keseluruhan.

2. Melibatkan masyarakat desa setempat di dalam kegiatan perusahaan secara

langsung sebagai tenaga kerja, baik untuk pertanian maupun untuk pelayanan

50

wisata, pemandu dan lain-lain. Untuk itu pihak pengelola perlu melakukan

langkah-langkah dan upaya utnuk meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan tenaga kerja khusus yang berasal dari masyarakat.

3. Menyediakan fasilitas dan tempat penjualan hasil pertanian, kerajinan dan

cendera mata bagi masyarakat desa di sekitar kawasan, sehingga dapat

memperkenalkan khas setempat sekaligus untuk meningkatkan penghasilan.

Disamping itu, dapat pula diikutsertakan di dalam penampilan atraksi seni dan

budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan.

Pada hakekatnya pengembangan agrowisata mempunyai tujuan ganda

termasuk promosi produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan,

membantu meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan

petani nelayan dan masyarakat sekitar, disamping untuk meningkatkan jenis dan

variasi produk pariwisata Indonesia.

Obyek agrowisata harus mencerminkan pola pertanian Indonesia baik

tradisional ataupun modern guna memberikan daya tarik tersendiri bagi

pengunjung. Wisatawan. Di lokasi atau di sekitar lokasi dapat diadakan berbagai

jenis atraksi atau kegiatan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya pertanian

dan kebudayaan setempat. Sampai saat ini, berbagai obyek agrowisata yang

potensial relatif belum banyak menarik pengunjung, antara lain karena terbatasnya

sarana dan prasarana yang tersedia serta kurangnya promosi dan pemasaran

kepada masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri.

Untuk itu perlu ditempuh suatu koordinasi promosi antara pengelola

dengan berbagai pihak yang berkecimpung dalam bidang promosi dan pemasaran

obyek-obyek agrowisata, baik instansi pemerintah maupun biro-biro perjalanan

wisata. Hal ini mengingat agrowisata merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri

karena mempunyai lingkup yang luas dan keterkaitan dengan tugas serta

wewenang berbagai instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen

atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan instansi terkait lainnya,

kalangan usaha serta masyarakat pada umumnya.

Di dalam melakukan pemasarannya perlu dilakukan pendekatan dengan

berbagai pihak yang terkait secara terkoordinasi, mulai dari tingkat perencanaan,

pengembangan, pengelolaan, pemasaran sampai dengan pengawasan dan

pengendalian. Ditingkat perumusan kebijaksanaan dan pengendalian perlu

ditingkatkan peranan panitia kerja agro pusat dan daerah sehingga pelaksanaannya

sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan sector pertanian dan pariwisata, baik

dari aspek lokasi, kawasan kegiatan, maupun penyediaan sarana dan prasarana.

51

Berikut model ideal pengembangan agrowisata dengan konsep 4A+CI

(attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment)

Gambar Model Ideal Pengembangan Agrowisata

Dimodifikasi dari Postma, 2006

Dalam model, lingkaran daam adalah agrowisata yang merupakan atraksi yang akan

ditawarkan, sementara amenitas, ansilari, aksesibelitas adalah pendukung dan

pembentuk totalitas dari produk agrowisata. Semua factor pembentuk totalitas

produk wisata tersebut harus melibatkan masyarakat lokal dalam berbagai lini. Ada

tiga pihak yang berkepentingan terhadap kualitas totalitas produk wisata tersebut,

diantaranya: masyarakat sepakat membangun agrowisata untuk meningkatkan

kualitas hidupnya, sementara wisatawan berhak mendapatkan kualitas wisata yang

diharapkannya, sementara investor (pemerintah maupun swasta) berkepentingan

mendapatkan profit yang berkualitas.

Atraksi

(agrowisata) +

masyarakat

lokal

Amenitas

(penginapan, hotel,

dsb) + masyarakat

lokal

Aksesibelitas

(transportasi) +

masyarakat

lokal

Ansilari

(organisasi

pengatur Wisata)

+ masyarakat

lokal

Wisatawan

(kualitas

wisata)

Investor

(kualitas

profit)

Masyarakat

Lokal

(Kualitas

hidup)

52

BAB X

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA

AGROWISATA

Upaya pengembangan Agrowisata secara garis besar mencakup aspek

pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, promosi, dukungan

sarana dan kelembagaan (http://database.deptan.go.id). Selanjutnya aspek-aspek

tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

a) Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia mulai dari pengelola sampai kepada masyarakat

berperan penting dalam keberhasilan pengembangan Agrowisata. Kemampuan

pengelola Agrowisata dalam menetapkan target sasaran dan menyediakan,

mengemas, menyajikan paket-paket wisata serta promosi yang terus menerus

sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat menentukan keberhasilan dalam

mendatangkan wisatawan. Dalam hal ini keberadaan/peran pemandu wisata

dinilai sangat penting. Kemampuan pemandu wisata yang memiliki

pengetahuan ilmu dan keterampilan menjual produk wisata sangat

menentukan. Pengetahuan pemandu wisata seringkali tidak hanya terbatas

kepada produk dari objek wisata yang dijual tetapi juga pengetahuan umum

terutama hal-hal yang lebih mendalam berkaitan dengan produk wisata

tersebut.

Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu Agrowisata saat ini

dinilai masih terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan

pariwisata, mata ajaran Agrowisata dinilai belum memadai sesuai dengan

potensi Agrowisata di Indonesia. Sebaliknya pada pendidikan pertanian, mata

ajaran kepariwisataan juga praktis belum diajarkan. Untuk mengatasi

kesenjangan tersebut pemandu Agrowisata dapat dibina dari pensiunan dan

atau tenaga yang masih produktif dengan latar belakang pendidikan pertanian

atau pariwisata dengan tambahan kursus singkat pada bidang yang belum

dikuasainya.

b) Promosi

Kegiatan promosi merupakan kunci dalam mendorong kegiatan

Agrowisata. Informasi dan pesan promosi dapat dilakukan melalui berbagai

cara, seperti melalui leaflet, booklet, pameran, cinderamata, mass media

(dalam bentuk iklan atau media audiovisual), serta penyediaan informasi pada

tempat public (hotel, restoran, bandara dan lainnya). Dalam kaitan ini

kerjasama antara objek Agrowisata dengan Biro Perjalanan, Perhotelan, dan

53

Jasa Angkutan sangat berperan. Salah satu metoda promosi yang dinilai efektif

dalam mempromosikan objek Agrowisata adalah metoda "tasting", yaitu

memberi kesempatan kepada calon konsumen/wisatawan untuk datang dan

menentukan pilihan konsumsi dan menikmati produk tanpa pengawasan

berlebihan sehingga wisatawan merasa betah. Kesan yang dialami promosi ini

akan menciptakan promosi tahap kedua dan berantai dengan sendirinya.

c) Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Sebagai bagian dari usaha pertanian, usaha Agrowisata sangat

mengandalkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya alam dan

lingkungan tersebut mencakup sumberdaya objek wisata yang dijual serta

lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk itu upaya mempertahankan

kelestraian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang dijual sangat

menentukan keberlanjutan usaha Agrowisata. Kondisi lingkungan masyarakat

sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun

objek wisata yang ditawarkan namun apabila berada di tengah masyarakat

tidak menerima kehadirannya akan menyulitkan dalam pemasaran objek

wisata. Antara usaha Agrowisata dengan pelestarian sumberdaya alam dan

lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Usaha

Agrowisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya alam dan

lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat

diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari.

Usaha Agrowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin

sebagai usaha jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam

perspektif jangka panjang. Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan

buruknya kondisi sumberdaya wisata dan lingkungan, dapat berdampak jangka

panjang untuk mengembalikannya. Dapat dikemukakan bahwa Agrowisata

merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan semua aspek.

d) Dukungan Sarana dan Prasarana

Kehadiran konsumen/wisatawan juga ditentukan oleh kemudahan-

kemudahan yang diciptakan, mulai dari pelayanan yang baik, kemudahan

akomodasi dan transportasi sampai kepada kesadaran masyarakat sekitarnya.

Upaya menghilangkan hal-hal yang bersifat formal, kaku dan menciptakan

suasana santai serta kesan bersih dan aman merupakan aspek penting yang

perlu diciptakan.

e) Kelembagaan

Pengembangan Agrowisata memerlukan dukungan semua pihak

pemerintah, swasta terutama pengusaha Agrowisata, lembaga yang terkait

54

seperti perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya, perguruan tinggi serta

masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dalam mendukung

berkembangnya Agrowisata dalam bentuk kemudahan perijinan dan lainnya.

Intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan agar tidak terjadi iklim

usaha yang saling mematikan. Untuk itu kerjasama baik antara pengusaha objek

Agrowisata, maupun antara objek Agrowisata dengan lembaga pendukung

(perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya) sangat penting. Terobosan kegiatan

bersama dalam rangka lebih mengembangkan usaha agro diperlukan.

Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan suatu

agrowisata dalam kaitannya dengan atraksi yang ditawarkan sebagai objek wisata,

Syamsu dkk, (2001) mengindentifikasikan faktor-faktor tersebut sebagai berikut:

a) Kelangkaan

Jika wisatawan melakukan wisata di suatu kawasan agrowisata, wisatawan

mengharapkan suguhan hamparan perkebunan atau taman yang mengandung

unsur kelangkaan karena tanaman tersebut sangat jarang ditemukan pada saat

ini.

b) Kealamiahan

Kealamaiahan atraksi agrowisata, juga akan sangat menentukan keberlanjutan

dari agrowisata yang dikembangkan. Jika objek wisata tersebut telah tercemar

atau penuh dengan kepalsuan, pastilah wisatawan akan merasa sangat tertipu

dan tidak mungkin berkunjung kembali.

c) Keunikan

Keunikan dalam hal ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek

wisata yang ada. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi

lokal dimana objek wisata tersebut dikembangkan.

d) Pelibatan Tenaga Kerja

Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat melibatkan tenaga kerja

setempat, setidak-tidaknya meminimalkan tergusurnya masyarakat lokal akibat

pengembangan objek wisata tersebut.

e) Optimalisasi Penggunaan Lahan

Lahan-lahan pertanian atau perkebunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara

optimal, jika objek agrowisata ini dapat berfungsi dengan baik. Tidak ditemukan

lagi lahan tidur, namun pengembangan agrowisata ini berdampak positif

terhadap pengelolaan lahan, jangan juga dieksploitasi dengan semena-mena.

f) Keadilan dan Pertimbangan Pemerataan

Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat menggerakkan perekonomian

masyarakat secara keseluruhan, baik masyarakat petani/desa, penanam

55

modal/investor, regulator. Dengan melakukan koordinasi didalam

pengembangan secara detail dari input-input yang ada.

g) Penataan Kawasan

Agrowisata pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan

sistem pertanian dan sistem pariwisata sehingga membentuk objek wisata yang

menarik.

Sedangkan menurut Spillane, (1994) untuk dapat mengembangkan suatu kawasan

menjadi kawasan pariwisata (termasuk juga agrowisata) ada lima unsur yang harus

dipenuhi seperti dibawah ini:

a) Attractions

Dalam konteks pengembangan agrowisata, atraksi yang dimaksud adalah,

hamparan kebun/lahan pertanian, keindahan alam, keindahan taman, budaya

petani tersebut serta segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas

pertanian tersebut.

b) Facilities

Fasilitas yang diperlukan mungkin penambahan sarana umum, telekomunikasi,

hotel dan restoran pada sentra-sentra pasar.

c) Infrastructure

Infrastruktur yang dimaksud dalam bentuk Sistem pengairan, Jaringan

komunikasi, fasilitas kesehatan, terminal pengangkutan, sumber listrik dan

energi, system pembuangan kotoran/pembungan air, jalan raya dan system

keamanan.

d) Transportation

Transportasi umum, Bis-Terminal, system keamanan penumpang, system

Informasi perjalanan, tenaga Kerja, kepastian tariff, peta kota/objek wisata.

e) Hospitality

Keramah-tamahan masyarakat akan menjadi cerminan keberhasilan sebuah

system pariwisata yang baik.

Sedangkan untuk pemilihan lokasi wilayah pertanian yang akan dijadikan

objek agrowisata perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan

kemudahan mencapai lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan

adanya kegiatan agroindustri. Pemilihan lokasi juga dapat dilihat berdasarkan

karakteristik alam, apakah merupakan dataran rendah atau dataran tinggi, pantai,

dan danau/waduk. Pemilihan juga dapat dilakukan dengan melihat potensi daerah

seperti sentra produksi pertanian, letak daerah yang strategis, sejarah dan budaya

ataupun pemilihan dilakukan dengan melihat potensi agroindustri suatu wilayah

(http://lampungpost.com)

56

Dataran rendah biasanya memiliki karakteristik iklim kering dan biasanya

terdapat padang rumput yang luas (stepa) yang cocok untuk dikembangkan usaha

peternakan, sedangkan dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang berbukit-

bukit atau berupa kawasan pegunungan yang sambung-menyambung. Umumnya

daerah pegunungan memiliki tanah yang subur dan suhu relatif rendah, sehingga

cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis tanaman bunga dan sayuran. Untuk

wilayah yang memiliki kawasan pantai yang sangat luas dapat dimanfaatkan untuk

usaha budi daya perikanan laut dan tambak atau rumput laut. Untuk kawasan yang

memiliki danau atau waduk untuk usaha teknik budi daya ikan air tawar dengan

menyediakan sarana pemancingan (http://lampungpost.com)

57

BAB XI

SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA

Sisis positif pengembangan agrowisata adalah sebuah keuntungan,

agrowisata berpeluang terhadap perluasan kesempatan berusaha bagi masyarakat

lokal (diversification of lokal community), kesempatan investasi kesadaran akan

konservasi lingkungan. Lebih lanjut sisi positif dari pengembangan agrowisata dapat

dijabarkan sebagai berikut (Deptan, 2005):

Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang

mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung ditempat wisata yang

diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah

keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu, faktor

kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan, terutama pada

wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan. Menyadari

pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut, masyarakat atau petani setempat

harus diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan kelestarian

lingkungannya. Karena agrowisata termasuk ke dalam wisata ekologi (eco-tourism),

yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam

dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau

tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan. Oleh karena

itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a) Pengaturan dasar alaminya, yang meliputi kultur atau sejarah yang menarik,

keunikan sumber daya biofisik alaminya, konservasi sumber daya alam

ataupun kultur budaya masyarakat.

b) Nilai pendidikan, yaitu interpretasi yang baik untuk program pendidikan dari

areal, termasuk lingkungan alaminya dan upaya konservasinya.

c) Partisipasi masyarakat dan pemanfaatannya. Masyarakat hendaknya

melindungi dan menjaga fasilitas atraksi yang digemari wisatawan, serta

dapat berpartisipasi sebagai pemandu serta penyedia akomodasi dan

makanan.

d) Dorongan meningkatkan upaya konservasi. Wisata ekologi biasanya tanggap

dan berperan aktif dalam upaya melindungi area, seperti mengidentifikasi

burung dan satwa liar, memperbaiki lingkungan, serta memberikan

penghargaan atau fasilitas kepada pihak yang membantu melingdungi

lingkungan.

58

Keunikan teknologi lokal yang merupakan hasil seleksi alam merupakan aset

atraksi agrowisata yang patut dibanggakan. Bahkan teknologi lokal ini dapat

dikemas dan ditawarkan untuk dijual kepada pihak lain. Dengan demikian,

teknologi lokal yang merupakan indigenous knowleadge itu dapat dilestarikan.

Sistem irigasi tradisional Bali yang masih lestari dari turun temurun merupakan

salah satu contoh yang bisa ditawarkan untuk agrowisata.

Selain memberikan nilai kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan,

atraksi wisata juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat

di sekitarnya. Wisatawan yang berkunjung akan menjadi konsumen produk

pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain

itu, dengan adanya kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian sumber daya,

maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang pada gilirannya akan

meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan banyaknya

kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan

menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan

wisatawan.

Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak lain untuk belajar atau

magang dalam pelaksanaan kegiatan budi daya ataupun atraksi-atraksi lainnya,

sehingga dapat menambah pendapatan petani, sekaligus sebagai wahana alih

teknologi kepada pihak lain. Hal seperti ini telah dilakukan oleh petani di Desa

Cinagara, Sukabumi dengan "Karya Nyata Training Centre". Pada kegiatan magang

ini, seluruh petani dilibatkan secara langsung, baik petani ikan, padi sawah,

hortikultura, peternakan, maupun perkebunan (http://database.deptan.go.id)

Jika Agrowisata dikembangkan dengan benar, harapan petani untuk dapat

meningkat kesejahteraannya bisa terwujud, apa saja harapan petani tersebut?

Mosher (dalam Sutjipta, 2001) merinci sebagai berikut:

Pemasaran Hasil Pertanian: diharapkan dengan perkembangnya pariwisata

hasil pertanian dapat terserap pada sektor ini.

Teknologi yang dinamis: dengan berkembangnya pariwisata berkembang

pula teknologi pertanian yang ada karena tuntutan dunia pariwisata.

Tersedianya sarana produksi

Perangsang produksi pertanian, dengan berkembangnya pariwisata harga

produk pertanian diharapkan dapat dihargai cukup layak sehingga gairah

petani untuk bekerja semakin meningkat.

Pengangkutan, Insfrastruktur yang dibangun untuk pariwisata juga dapat

dimanfaatkan oleh sektor pertanian.

59

Dalam kaitannya dengan pengembangan agrowisata sebagai kerangka

pengembangan masyarakat petani pada kehidupan yang lebih baik, maka

diperlukan gerakan serentak (Sutjipta, 2001) yang berupa:

Menjaga kelestarian lingkungan: Pengembangan Pariwisata harus

memperhatikan kelestarian lingkungan karena jika lingkungan rusak

mustahil pariwisata bisa terus berkembang.

Pemanfaatan sumberdaya daya alam secara bijaksana: Sumberdaya alam

yang ada bukan untuk dinikmati oleh generasi sekarang saja tetapi untuk

anak cucu kita juga, dari sinilah diharapkan kita tidak melakukan exploitasi

alam dengan semena-mena.

Keseimbangan antara konsumsi dan produksi: Berproduksi sesuai dengan

permintaan pasar, bukan melakukan penawaran secara berlebihan sehingga

tercipta kondisi over suplay, jika kondisi ini terjadi maka segala sesuai akan

bernilai rendah.

Peningkatan Sumber daya manusia: Jika sumberdaya manusia tidak cakap,

maka ada potensi dalam waktu panjang SDM yang ada akan tergusur oleh

SDM global yang lebih potensi dan kompeten, disinilah diperlukan

pengembangan SDM secara terus menerus.

pemberantasan kemiskinan: Program-program yang ditawarkan oleh

pemerintah sebaiknya tidak hanya memberikan kemudahan bagi kapitalis

tetapi juga sebaiknya memperhatikan masyarakat petani yang sebagian

besar tergolong miskin bahkan melarat.

Sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan, antara lain penurunan kualitas

lingkungan, terjadinya kesenjangan ekonomi serta perubahan sosial budaya yang

negatif.

Untuk menilai dampak potensial kegiatan pariwisata, Gree dan Hunter, 1993

(dalam Aryanto, 2003) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya

yang dibagi dalam 6 komponen lingkungan yang akan rusak atau berubah, yaitu :

(1) nilai dan kepercayaan, (2) moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum

dan ketertiban, dan (6) sejarah.

Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan

terjadi pada Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan

fauna, (2) polusi, (3) erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan.

Agrowisata memungkinkan terhadap kegiatan pariwisata secara langsung

memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati

pengalaman intelektual dan budaya masyarakat lokal, dan ini yang akan menjadi

ancaman berupa pengambilan secara ilegal pengetahuan tentang sumber daya

lokal. Oleh karenanya, perlu upaya perlindungan melalui pemberdayaan

masyarakat dalam hal antara lain hak untuk menolak atas pengembangan

60

pariwisata di daerahnya yang tidak berkelanjutan; hak akses atas informasi baik

negatif maupun positif; dan akses serta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.

Untuk mengantisipasi dampak negatif pariwisata, perlu pendekatan daya

dukung dalam pengelolaan pariwisata sesuai dengan batas-batas yang dapat

diterima. Daya dukung pariwisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan

faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata.

Perspektif daya dukung pariwisata tidak hanya terbatas pada jumlah

kunjungan, namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti kapasitas ekologi

(kemampuan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas

fisik (kemampuan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan),

kapasitas sosial (kemampuan daerah tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa

menimbulkan dampak negatif pada masyarakat lokal), dan kapasitas ekonomi

(kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha komersial namun tetap

mewadahi kepentingan ekonomi lokal).

61

BAB XII

POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA

Menurut Afandhi (2005), Kebijakan umum Departemen Pertanian dalam

membangun pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup

petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan

berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk

tujuan tersebut, usaha diversifikasi perlu dilanjutkan disertai dengan rehabilitasi

yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan merata disesuaikan dengan

kondisi tanah, air dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan

sumber daya alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan

masyarakat setempat.

Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara

pariwisata dan pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan

daya saing produk pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka

meningkatkan perolehan devisa dari komoditi ekspor non migas.

Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang dominan

dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan

penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan

terencana, baik yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat

yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan

nusantara maupun mancanegara. Potensi budidaya pertanian yang dapat dijadikan

agrowisata antara lain:

1) Lahan Perkebunan

Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek

dan daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya

merupakan kesatuan yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan

pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap

kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat dijadikan daya tarik atau

atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan, penanaman,

pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek

agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu,

dan lain-lain. Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun

perkebunan yang dijadikan sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi,

dengan kata lain luasnya sesuai izin atau persyaratan objek agrowisata yang

diberikan.

Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar,

semestinya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium,

pengepakan hasil, sarana dan prasarana.

62

2) Tanaman pangan dan Hortikultura

Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara

lain dapat berupa kebun bunga, kebun buah-buahan, kebun sayur-sayuran,

kebun tanaman obat-obatan.

3) Peternakan

Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional

dalam pemeliharaan ternak, aspek keunikan pengelolaan, produksi ternak,

atraksi peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh

misalnya.

4) Perikanan

Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan

potensi sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan

perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan

sebagai obyek agrowisata. Secara garis besar, kegiatan perikanan dibagi

menjadi kegiatan penangkapan serta kegiatan budidaya, dan kegiatan tersebut

merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi obyek agrowisata

seperti budidaya ikan air tawar, budidaya tambak, budidaya laut seperti

kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara.

Jika melihat perkembangan pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata

di Indonesia maupun di manca negara menunjukkan kecenderungan terus

meningkat. Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi sebagian

masyarakat negara maju dan masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu

kebutuhan sebagal akibat meningkatnya pendapatan, aspirasi dan

kesejahteraannya.

Preferensi dan motivasi wisatawan juga berkembang secara dinamis.

Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek

spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk

secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik

menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal

tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi

pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun

produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik.

Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan

hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga

merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas,

mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai

kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.

63

Menurut perspektif pariwisata, objek agrowisata tidak hanya terbatas

kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal

perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi objek

wisata yang menarik. Salah satu contohnya, cara-cara bertanam tebu, acara panen

tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu

merupakan salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan.

Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain

dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan yang disamping mengandung

muatan budaya dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena

dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan

pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka

peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek agrowisata yang bersangkutan,

namun pasar dan segala kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, melalui

Agrowisata bukan semata merupakan bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi

pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar,

namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi

media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan

diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan

pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian maka Agrowisata dapat menjadi

salah satu sumber pertumbuhan baru deerah, sektor pertanian dan ekonomi

nasional.

Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan

dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah

kebijakan yang konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan

Objek Agrowisata di era globalisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan keunikan

kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan setiap objek wisata dapat

menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju. Dalam

pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang

teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.

Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang potensi dan

peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung Salak Endah, menemukan

beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi objek wisata. Potensi

tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet, areal perkemahan, lahan pertanian

sebagai objek agrowisata, kolam air deras, arena pancing (perikanan darat),

peternakan lebah, peternakan kuda, wisata perhutanan dan perkebunan, dan

wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.

“Bali Potensi pengembangan Agrowisata namun masih sepi pengunjung,

di mana salahnya?”

64

Bali itu merupakan daerah yang kaya akan alamnya dan indah bila

dipandang secara kasat mata. Nuansa dan panorama indahnya alam Bali itu,

mungkin akan semakin menyentak pemandangan para pengunjung bila melintasi

wilayah Tabanan yang terkenal dengan bentangan sawah yang berterasering atau

ke kawasan Swiss-nya Bali, Bedugul, atau terus ke Utara di Singaraja menyaksikan

hamparan pepohonan cengkeh milik petani-petani dengan diselingi nyiur dan

tetumbuhan kopi Robusta dan Arabica (Moruk, 2005)

Bila wisatawan menyisir perjalanan dari Gianyar dengan Tampak Siringnya,

terus ke utara ke Bangli yang terkenal dengan bukit Kintamani-nya. Di sana pasti

disuguhkan sebuah potret alam asri dan asli dengan gunung dan danau Batur-nya

yang sangat menawan. Wisatawan dapat berpetualang menyaksikan kawasan

hutan Salak Gula Pasir yang terhampar di wilayah Kabupaten Karangasem di Bali

Timur.

Itulah sentra-sentra yang dapat dikembangkan menjadi objek terhandal bagi

para wisatawan pencinta agrowisata. Agrowisata sebenarnya merupakan lahan

atau produk terbaru dalam sektor kepariwisataan Indonesia guna memenuhi

keperluan wisatawan yang mencintai keindahan alam pertanian, perdesaan,

informasi dan teknologi, barang dan jasa yang terbuat dari produk pertanian.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa agrowisata itu ditunjang penuh oleh

eksotiknya keindahan alam, kesuburan tanah, kesejahteraan petani, kebersihan

lingkungan sekitar. Makin indah alamnya, subur tanahnya, sejahtera petaninya

dengan keberhasilan menerapkan pembangunan pertanian, justru semakin

menjadikan suatu kawasan atau daerah sebagai obyek agrowisata yang handal dan

berkualitas (Moruk, 2005)

Lebih lanjut, Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial

dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan

berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali

Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau

Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai

agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai

tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa

dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan

pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran

serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan

pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan

pendidikan.

Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi,

terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan

restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik

untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida

65

potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging

yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar

untuk dikembangkan menjadi ecotourism.

Sudibya (2002) juga menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi wisata

yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung jeram

(whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman reptil,

taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).

Dalam rangka mempercepat penyeimbangan dan keselarasan

pembangunan antar wilayah seperti kawasan Badung Utara dan Badung Selatan

telah diupayakan penataan kawasan pertanian khususnya perkebunan yang sangat

potensial di wilayah Badung Utara menjadi suatu kawasan agrowisata yang

akhirnya dapat menjadi pembangunan industri dan agrobisnis. Untuk mewujudkan

hal itu telah pula dilakukan kerja sama dengan beberapa BUMN seperti BTDC untuk

mengembangkan tanaman hias dan bunga di wilayah Badung Utara.

Foto Kebun Kopi Bali

Sumber: http://sskurniawan.blogspot.com

Sementara untuk merangsang pembangunan sektor pertanian telah

diberikan berbagai stimulan baik berupa benih, subsidi pupuk, pemberdayaan

lembaga pangan, dan pemberdayaan kelompok wanita tani. Yang lebih mendidik

lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk membebaskan atau

memberi subsidi pajak terhadap PKD, pelaba pura dan tanah masyarakat yang

terkena jalur hijau. (Bisnis Bali Online, 2003)

66

Foto Kebun Salak Sibetan Bali

Sumber: http://bliketut.com

Beberapa kawasan yang telah berkembang dan memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi kawasan agrowisata di Bali (Bapeda Bali, 1995) adalah

sebagai berikut:

a) Kawasan Pertanian Hortikultural di Baturiti Tabanan dan Pancasari Buleleng

b) Kawasan Perkebunan Rakyat Salak Bali di Sibetan Karangasem

c) Kawasan Terasering Sawah Jatiluwih Tabanan

d) Kawasan Perkebunan Kopi di Pupuan Tabanan

e) Kawasan Petang Badung

f) Kawasan Kintamani Bangli

g) Kawasan Peternakan Ayam di Tiingan, Tegak, dan Pempatan

h) Kawasan Peternakan Sapi Putih di Taro Gianyar

i) Kawasan Perkebunan Anggur di Seririt dan Grokgak Buleleng, dan

j) Beberapa Kawasan Perkebunan Milik PD Prov Bali yang berada di Jembrana.

67

BAB XIII

AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG

BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN

Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam,

budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah

perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997). Indonesia tercatat

mendapatkan ranking ke-enam pada Top Twenty Tourism Destinations in East dan

The Pasific (WTO,1999).

Dalam paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata

massal, yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar atau berkelompok dan

paket wisata yang seragam (Faulkner, 1997), dan sekarang telah bergerak menjadi

pariwisata baru, (Baldwin dan Brodess, 1993), yaitu wisatawan yang lebih canggih,

berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tinggal mencari liburan fleksibel,

keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli.

Dalam usaha pengembangannya Indonesia wajib memperhatikan dampak-

dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah

sektor ekowisata termasuk juga agrowisata sebagai pariwisata alternatif yang oleh

Eadington dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam,

sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para

pelakunya.

Low Choy dan Heillbronn, 1996 (dalam Aryanto, 2003), merumuskan lima

faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :

a) Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang

belum tercemar

b) Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada

masyarakat.

c) Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism harus dapat meningkatkan

pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya

pengalaman yang dimiliki

d) Berkelanjutan; Ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi

keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka

panjang.

e) Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin

sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan

kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang.

Karena Agrowisata menganut falsafah dari Ekowisata, maka sangat beralasan,

agrowisata dikatakan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas.

68

Pembangunan berkelanjutan pada umumnya mempunyai sasaran

memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengurangi manfaat bagi

generasi mendatang. Charles Birch dalam Erari (1999) membandingkan dunia

sekarang ibarat kapal titanic dengan gunung es yang terlihat sebanyak lima pucuk

yang merupakan ancaman bagi kehidupan manusia antara lain : 1) ledakan

penduduk, 2) krisis pangan 3) terkurasnya sumberdaya alam diperbaharui 4)

pengrusakan lingkungan hidup dan 5) perang.

Selanjutnya disebutkan bahwa suatu tuntutan akan perlunya masyarakat

yang berkelanjutan, dan panggilan kemanusiaan untuk bertindak sedemikian rupa

agar kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya menikmati hidup berkelanjutan

di tengah keterbatasan dunia. Hal ini menunjukkan walaupun dunia yang

diibaratkan tersebut maka peranan masyarakat untuk memelihara lingkungan

demi kehidupan masa mendatang.

Dengan demikian bahwa pariwisata berkelanjutan harus bertitik tolak dari

kepentingan dan partisipatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan

wisatawan atau pengunjung sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat

dengan kata lain bahwa pengelolaan sumberdaya agrowisata dilakukan sedemikian

rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi dengan

memelihara integritas cultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman

hayati dan sistem pendukung kehidupan.

Agar agrowisata dapat berkelanjutan maka produk agrowisata yang

ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Dengan demikian

masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena memberikan

manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan

dalam kehidupannya.

Cernea, 1991 (dalam Lindberg and Hawkins, 1995) mengemukakan bahwa

partisipasi lokal memberikan banyak peluang secara efektif dalam kegiatan

pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau kekuasaan

pada masyarakat sebagai pemeran sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola

sumberdaya membuat keputusan dan melakukan control terhadap kegiatan–

kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka.

Adanya kegiatan agrowisata haruslah menjamin kelestarian lingkungannya

terutama yang terkait dengan sumberdaya hayati renewable maupun non

renewable sehingga dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat di

kawasan tersebut.

Dari sisi kebutuhan pariwisata, pendidikan dan pelatihan harus dilakukan

untuk melakukan alih teknologi, menghadapi persaingan demi terwujudnya prinsip

pariwisata berkelanjutan. Keberhasilan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan

tingkat pendidikan masyarakat lokal. Oleh karenanya peningkatan akses dan mutu

69

pendidikan bagi masyarakat lokal menjadi sasaran dan tujuan yang sangat utama.

(Ardiwidjaja: 2003)

Promosi merupakan kesatuan kegiatan yang meliputi: memperkenalkan,

menyosialisasikan, dan mengampanyekan. Produk diperkenalkan; peraturan

disosialisasikan; prinsip-prinsip keberlanjutan dan nilai-nilai lokal dikampanyekan.

Promosi pariwisata berkelanjutan bertujuan meningkatkan kesadaran stakeholder.

Menguatkan informasi tentang pariwisata berkelanjutan dapat meningkatkan

kesadaran atas seluruh rangkaian kegiatan pariwisata serta dampaknya terhadap

lingkungan alam serta budaya. Instrumen yang dapat digunakan antara lain melalui

penerapan peraturan serta sanksi-sanksi, promosi melalui media, pemantauan dan

menyusun kode etik, serta penyebaran informasi, penelitian serta pendidikan dan

pelatihan. (Ardiwidjaja: 2003)

Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik

berkelanjutan antara lain adalah lingkungan. Artinya industri pariwisata harus peka

terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran limbah, sampah yang

bertumpuk, dan kerusakan pemandangan yang diakibatkan pembalakan hutan,

gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak

ramah. Dengan kata lain aspek lingkungan lebih menekankan pada kelestarian

ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah, penggunaan lahan, konservasi

sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi kebisingan dan gangguan

visual.

Selain lingkungan, sosial budaya pun menjadi aspek yang penting

diperhatikan. Interaksi dan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan

persentuhan antarbudaya yang juga semakin intensif. Pariwisata merupakan salah

satu kegiatan yang memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta

antarbangsa. Oleh karenanya penekanan dalam sosial budaya lebih kepada

ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan penduduk lokal, keamanan dan

keselamatan, kesehatan publik. Aspek terakhir adalah ekonomi. Penekanan aspek

ekonomi lebih kepada Pemerataan Usaha dan Kesempatan Kerja, Keberlanjutan

Usaha, Persaingan Usaha, Keuntungan Usaha dan Pajak, Untung-Rugi Pertukaran

Internasional, Proporsi Kepemilikan Lokal, Akuntabilitas. (Ardiwidjaja: 2003)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tema yang

kuat dan kontroversial. Kuat karena hampir semua negara di dunia menyetujui

tema ini, kontroversial karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi

negara- negara dunia maju.

Lawrence, 1994 (dalam Aryanto, 2003) menuliskan pembangunan

berkelanjutan hanya dapat dicapai jika dampak sosial dan dampak lingkungan

seimbang dengan tujuan ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak

adanya dampak (zero impact) sebagai akibat dari wisatawan berupa level

pencapaian minimum dari dampak negatif perlu direncanakan. Pendekatan

70

manajemen pariwisata berkelanjutan, sebagai bagian dari pembangunan

berkelanjutan, haruslah didasarkan pula pada prinsip- prinsip global dari

pembangunan berkelanjutan. Semua kegiatan pengaturan suatu daerah tujuan

seharusnya mempertimbangkan (merupakan) bagian dari nilai pembangunan

berkelanjutan.

National Geograpic Online dalam The Global Development Research Center

(2002) mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang

memberikan penerangan. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan

(Negara atau daerah yang dikunjungi) tetapi juga belajar bagaimana menyokong

kelangsungan karakter (negara atau daerah yang dikunjungi) selama dalam

perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi dapat belajar

(mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasa dapat menarik dan

dihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari

tempat tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan

karakter tempat tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika

dan ekologinya; (3) Pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat.

Pengusaha pariwisata melakukan kegiatan yang terbaik untuk mempekerjakan dan

melatih masyarakat lokal, membeli persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan

jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat lokal; (4) Pariwisata yang melindungi

sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan menyadari dan berusaha untuk

meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air, bahan kimia dan

penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan tradisi.

Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit kata-

kata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat lokal belajar bagaimana memperlakukan/

menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka

punya; (6) Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder

mengantisipasi tekanan pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batas-

batas dan teknik-teknik manajemen untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to

death) dari lokasi wisata. Stakeholder bekerjasama untuk menjaga habitat alami

dari tempat tempat warisan budaya, pemandangan yang menarik dan budaya lokal;

(7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas (jumlah). Masyarakat

menilai kesuksesan sector pariwisata ini tidak dari jumlah kunjungan belaka tetapi

dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman yang

diperoleh wisatawan; (8) Pariwisata ini merupakan perjalanan yang mengesankan.

Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk

kemudian disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka

tertarik untuk memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan

menyediakan kegiatan di lokasi tujuan wisata.

Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting

dari pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut

71

mempunyai prakarsa untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan

control atau pengawasan terhadap perkembangan pariwisata tersebut; (2)

Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang berkualitas kepada dan dari

masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus dijaga) antara

usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturan tentang perilaku yang disusun

untuk wisatawan pada semua tingkatan (nasional, regional dan setempat) yang

didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi

pariwisata, taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak

komulatif pariwisata, dan ambang batas perubahan yang dapat diterima

merupakan contoh peraturan yang harus disusun; (4) Terdapat program-program

pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta menjaga warisan budaya dan

sumber daya alam yang ada. Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan

tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan yang telah

dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Pariwisata yang bersifat multisektoral merupakan fenomena yang sangat kompleks

dan sulit didefinisikan secara baku untuk diterima secara universal. Sehingga

menimbulkan berbagai persepsi pemahaman terhadap pariwisata, baik sebagai

industri, sebagai aktivitas, atau sebagai sistem.

Pariwisata yang melibatkan antara lain pelaku, proses penyelenggaraan,

kebijakan, supply dan demand, politik, sosial budaya yang saling berinteraksi

dengan eratnya, akan lebih realistis bila dilihat sebagai sistem dengan berbagai

subsistem yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Dalam kerangka

kesisteman tersebut, pendekatan terhadap fungsi dan peran pelaku, dampak

lingkungan, peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, serta

kesetaraan dalam proses penyelenggaraan menjadi semakin penting.

Kecenderungan yang berkembang dalam sektor kepariwisataan maupun

pembangunan melahirkan konsep pariwisata yang tepat dan secara aktif

membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara

berkelanjutan dengan memperhatikan apa yang disebut sebagai pilar dari

pariwisata berkelanjutan yaitu ekonomi masyarakat, lingkungan dan sosial budaya.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan, dapat dikatakan sebagai pembangunan

yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara

etika dan sosial terhadap masyarakat.

Untuk itu maka perlu diperhatikan bahwa faktor yang menjadi penentu

keberhasilan penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Penyelenggaraan

kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif

secara seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selanjutnya

berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan di atas, pariwisata berkelanjutan

dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan

72

kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan memberi

peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.

Ketiga pilar pariwisata berkelanjutan tersebut harus dijabarkan ke dalam

prinsip-prinsip operasionalisasi yang disepakati oleh para pelaku (stakeholder) dari

berbagai sektor (multisektor). Dengan harapan, kesepakatan dan kesamaan

pandang tersebut dapat mewujudkan orientasi pengembangan pembangunan

kepariwisataan yang juga sama dan terpadu. Prinsip-prinsip pariwisata

berkelanjutan yang dimaksud adalah ”Berbasis Masyarakat”. Tentu saja prinsip-

prinsip tersebut paling kental pada agrowisata, selain secara geografis berada di

pedesaan juga secara system, langsung menyentuh lapisan masyarakat pada level

paling bawah (petani kecil) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung, terhadap

seluruh kegiatan pembangunan pariwisata dari mulai perencanaan, pelaksanaan

hingga pengawasan. Masyarakat diletakkan sebagai faktor utama, yang memiliki

kepentingan berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan

sumber daya alam dengan dilandaskan pada opsi pemilikan sendiri sarana dan

prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta

dan sewa lahan atau sumber daya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerja sama

dengan swasta.

73

BAB. XIV

POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI

1. Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali

Hasil observasi dan analisis SWOT terhadap sumberdaya desa Bayung Gede,

ternyata desa ini layak disebut desa wisata berbasis agrowisata. Adapun keunikan

yang dimiliki oleh desa ini adalah penduduk desa Bayung Gede memiliki

kekeluaragaan yang erat serta memiliki aktivitas keagamaan dan menjungjung nilai-

nilai spritualitas yang cukup kental. Keunikan yang paling menarik adalah tradisi

masyarakat setempat yakni kuburan ari ari yang hanya dapat ditemukan di desa

Bayung Gede saja (Utama, 2007).

Foto Kuburan Ari-ari di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali

Sumber Utama, 2007

Desa Bayung Gede memiliki perkebunan rakyat berupa perkebunan jeruk Bali yang

cukup memiliki kekhususan rasa yang manis dan buah yang cukp besar. Selain

perkebunan Jeruk, penduduk desa Bayung Gede juga ada yang bercocok tanam

74

sayur mayor baik untuk konsumsi masyarakat lokal maupun untuk pendukung

industri pariwisata di Bali.

Foto Perkebunan Jeruk milik penduduk Desa Bayung Gede, Kintamani Bali

Sumber Utama, 2007

Desa Bayung Gede terletak cukup strategis karena berdekatan dengan objek wisata

danau Batur Kintamani yang sudah terkenal, artinya kekuatan objek wisata alam

Kintamani dapat menjadi peluang bagi Desa Bayung Gede untuk menjadi desa

wisata ataupun agrowisata.

Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata

Agrowisata dianggap dapat memberikan peluang untuk meningkatkan

pendapatan keeeluarga, agrowisata juga dianggap dapat memunculkan peluang

bisnis baru yang dapat dilakukan oleh warga desa, tentu saja agrowisata dapat

meningkatkan status sosial dari desa mereka. (hasil wawancara dengan

beberapa warga desa, 2007).

75

“Agrowisata Bayung Gede”

Semboyan “Jangan Pulang sebelum membeli Jeruk!”

Produk Atribut Kondisi Kemasan

Atraksi

Kuburan Ari-ari Lestari Makna Unik

Kebun Jeruk Terawat baik Non olahan

Kebun Sayur Musiman Organik

Tradisi Musiman Event rutin

Budaya Tarian, Gamelan Seka/group

Ameniti

Penginapan Belum tertata Milik swasta

Restoran Belum tertata Milik swasta

Fasilitas umum Terbatas Milik umum

Visitor Center Belum tertata Belum tertata

Akses

Jarak dari Bandara 60 km

Paket

Tour/Mandiri

Jarak dari Kota

Kabupaten

10 km

Paket

Tour/Mandiri

Bus besar Terakses Paket Tour

Bus Kecil Terakses Paket

Tour/Mandiri

Ansileri

Kerjasama dengan

Travel agent

Belum tertata Belum

terbentuk

Komite Pariwisata

Desa

Belum terbentuk Belum

terbentuk

Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum

terbentuk

Community

Involment

Keramahtamahan Belum terintegrasi Belum

terintegrasi

Keterlibatan Belum terintegrasi Belum

terintegrasi

Objek Wisata

Terdekat

Danau Batur

Desa Truyan

Lestari

Lestari

Paket

Tour/Mandiri

Paket

Tour/Mandiri

Sumber: Hasil observasi, 2007

Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI

adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa

atau wilayah.

76

2. Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali

Desa Candikuning merupakan desa penyangga kawasan wisata Bedugul, yang

memiliki tiga objek wisata yang sudah dikenal luas, yakni Kebun Raya Bali, Pura

Ulun Danu, dan Danau Beratan.

Foto Kebun Raya Bali

Sumber: Observasi, 2007

Kebun Raya Bali telah menjadi inspirator berkembangnya kawasan wisata

Bedugul khususnya yang berkaitan dengan pengembangan agrowisata rakyat di

sekitar kawasan Bedugul. Selain Kebun Raya Bali, kawasan bedugul memang

memiliki pemandangan alam yang cukup menawan. Produk pertanian yang

potensial untuk dikemas menjadi icon agrowisata seperti strawberry, sayur

sayuran, kentang, Jagung, dan bunga-bunga yang biasanya digunakan untuk

keperluan keagamaan di Bali.

77

Foto Pasar Tradisional di kawasan Bedugul, Bali

Sumber: Observasi, 2007

Di antara pengunjung yang sempat diwawancarai, mereka berpendapat jika

berwisata ke Bedugul tanpa membawa oleh-oleh, katanya belum ke Bedugul.

Sebelum sempat makan jagung dan membeli strawberry rasanya belum lengkap

artinya Strawberry dan sayur-sayuran secara otomatis telah menjadi icon dari

kawasan Bedugul khususnya untuk desa Candikuning sebagai agrowisata di

kawasan ini.

Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata

Senada dengan warga desa Bayung Gede, warga desa Candikuning juga memiliki

anggapan yang sama bahwa agrowisata dapat memberikan peluang untuk

meningkatkan pendapatan keluarga, berpeluang memunculkan bisnis baru terkait

pariwisata, dan meningkatkan status desanya (hasil wawancara dengan beberapa

warga desa, 2007)

78

“Agrowisata Candikuning”

Semboyan “Jangan Pulang sebelum menikmati jagung

rebus dan membeli strawberry!”

Produk Atribut Kondisi Kemasan

Atraksi

Kebun Strawberry Terawat baik Non olahan

Kebun Raya Bali Terawat baik Milik LIPI

Botanical

Kebun Sayur Musiman Organik

Tradisi Musiman Event rutin

Budaya Tarian, Gamelan Seka/group

Ameniti

Penginapan Tertata baik Milik swasta

Restoran Tertata baik Milik swasta

Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum

Visitor Center Belum tertata Belum tertata

Akses

Jarak dari Bandara 40 km

Paket

Tour/Mandiri

Jarak dari Kota

Kabupaten

15 km

Paket

Tour/Mandiri

Bus besar Terakses Paket Tour

Bus Kecil Terakses Paket

Tour/Mandiri

Ansileri

Kerjasama dengan

Travel agent

Telah dikenal Paket

Tour/Mandiri

Komite Pariwisata

Desa

Belum terbentuk Belum

terbentuk

Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum

terbentuk

Community

Involment`

Keramahtamahan Belum terintegrasi Belum

terintegrasi

Keterlibatan Belum terintegrasi Belum

terintegrasi

Objek Wisata

Terdekat

Kebun Raya Bali

Danau Bratan

Pura Ulun Danu

Agrowisata

Pancasari

Lestari

Lestari

Lestari

Belum Tertata

Paket

Tour/Mandiri

Paket

Tour/Mandiri

Paket

Tour/Mandiri

Paket

Tour/Mandiri

79

Sumber: Hasil observasi, 2007

Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI

adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa

atau wilayah.

3. Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali

Desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata di kabupaten Jembrana.

Desa yang hanya berpenduduk 200 KK ini memiliki keunikan dan tradisi yang secara

turun temurun tetap dilestarikan. Di tengah lingkaran desa Blimbingsari terbangun

sebuah Gereja dengan arsitektur Bali dengan daya tamping lebih dari 300 orang.

Hampir mirip dengan desa tetangganya yakni desa Palasari juga memiliki keunikan

yang hampir sama. Kedua desa tersebut menjadi tujuan berlibur pada hari-hari

libur khususnya bagi kaum urban asal kedua desa tersebut. Dengan penataan dan

bloking desa ala kawasan jaman Belanda, kedua desa tersebut terlihat sangat

kontras dengan desa-desa lainnya disekitarnya.

Foto Bangunan sebuah Gereja di tengah desa Blimbingsari

Sumber: Observasi, 2007.

Uniknya lagi, hampir 100% penduduk desa Blimbingsari penganut agama Kristen

yang masih memegang teguh nilai—nilai kekristenannya di tengah arus globalisasi.

Desa ini menjadi unik karena berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali karena

80

perbedaan factor agama penduduknya. Desa Blimbingsari memiliki lahan kebun

kelapa dan kakao sekitar 400 hektar yang mengelingi desa ini. Potensi agrowisata

bagi desa Blimbingsari adalah buah kelapa yang dapat dinikmati secara langsung.

Ada produk lainnya yang cukup popular di desa tersebut yakni produksi gula merah

yang berasal dari kelapa. Produk lainnya yang potensial dikembangkan di desa

tersebut seperti topi dari anyaman daun kelapa, dan produk olahan lain dari buah

kelapa.

Foto Jalan Masuk Menuju desa Blimbingsari

Sumber: Observasi, 2007

Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata

Masyrakat desa ini sangat antusius dengan agrowisata atau deasa wisata ini,

mereka beranggapan bahwa desa wisata dapat mengangkat taraf hidup warga

desa menjadi lebih baik, dan tentu saja status desa mereka akan terangkat. Saat

ini desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata oleh pemerintah

daerah Bali. Walaupun demikian pengembangan potensi desa tersebut menjadi

desa wisata yang berbasis agro masih dalam tahap pembenahan atau dalam

istilah tourist area life cycle disebut tahapan explorasi. Telah mulai ada

wisatawan atau pengunjung yang datang ke desa tersebut untuk berlibur, dan

biasanya mereka menginap di rumah penduduk yang memang sengaja telah

disiapkan untuk penginapan. Desa ini memang unik, hanya di desa ini sajalah

wisatawan dapat menginap secara langsung tanpa harus kebingungan mencari

hotel (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007)

81

“Agrowisata Blimbingsari”

Semboyan “Jangan Pulang sebelum memotret gereja Bali

serta membawa pulang minyak kelapa dan gula merah!”

Produk Atribut Kondisi Kemasan

Atraksi

Kebun Kelapa Terawat baik Non olahan

Kebun Kakao Terawat baik Non olahan

Gula Merah Terawat baik Non olahan

Minyak Kelapa Asli Terawat baik Organik non olahan

Tradisi/Gereja

Kristen Bali

Musiman Event rutin (Paskah,

Natal, dll)

Budaya Bali Tarian, Gamelan Seka/group

Ameniti

Penginapan Tertata baik Milik Warga Desa

Restoran Tertata baik Milik Warga Desa

Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum

Visitor Center Belum tertata Balai Desa

Akses

Jarak dari Bandara 110 km Paket Tour/Mandiri

Jarak dari Kota

Kabupaten

15 km

Paket Tour/Mandiri

Bus besar Terakses Paket Tour

Bus Kecil Terakses Paket Tour/Mandiri

Ansileri

Kerjasama dengan

Travel agent

Telah dikenal Paket Tour/Mandiri

Komite Pariwisata

Desa

Telah terbentuk Telah terbentuk

Guide lokal /desa Telah terbentuk Diatur oleh komite

Community

Involment`

Keramahtamahan Telah terintegrasi Telah terintegrasi

Keterlibatan Telah terintegrasi Telah terintegrasi

Objek Wisata

Terdekat

Taman Nasional

Bali Barat

Pura Rambutsiwi

Pulau Menjangan

Bendungan Palasari

Lestari

Lestari

Lestari

Kurang terawat

Paket Tour/Mandiri

Paket Tour/Mandiri

Paket Tour/Mandiri

Paket Tour/Mandiri

Sumber: Hasil observasi, 2007

Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI

adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa

atau wilayah.

82

4. Desa Pelaga, Badung, Bali

Pelaga adalah sebuah kota kecil di bagian tengah Bali yang dikitari oleh

pengunungan dan hutan lindung. Sebuah agrowisata telah di bangun oleh seorang

warga Bali yang peduli dengan warga desa, tengah gundah dengan bisnis pariwisata

yang hanya memusatkan bisnisnya di kawasan perkotaan saja (Astawa, 2007)

Foto Desa Pelaga

Sumber Observasi, 2007

Dibangunnya Bagus Agrowisata ini bertujuan untuk objekk wisata yang ramah

lingkungan dan produksi pertaniaannya berupa produk organi sebagai produk

bahan makanan untuk keperluan industri pariwisata. Produk pertanian dari

kawasan ini berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Daya tarik kawasan ini sebagai

agrowisata didukung oleh pemandangan alam yang indah dan tentu saja kehidupan

masyarakatnya yang cukup damai.

83

Foto Lahan agro strawberry di Pelaga

Sumber: Observasi, 2007

Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata

Warga desa beranggapan agrowisata dapat memberikan peluang bisnis kepada

para warga khususnya bisnis yang terkait dengan pariwisata. Pengembangan

agrowisata di desa tersebut, telah memberi peluang kerja warga desa untuk

bekerja dan mendapatkan tambahan pendapatan (hasil wawancara dengan

beberapa warga desa, 2007)

“Agrowisata Pelaga”

Semboyan “Jangan Pulang sebelum melintasi Jembatan

Gantung dan membeli Strawberry atau sayuran!”

84

Sumber: Hasil observasi, 2007

Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI

adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa

atau wilayah.

Produk Atribut Kondisi Kemasan

Atraksi

Kebun Strawberry Terawat baik Non olahan

Kebun Sayur mayor Terawat baik Non olahan

Kebun Agro swasta Terawat baik Non olahan

Jembatan Gantung Terawat baik Milik umum

Tradisi Musiman Event rutin

Budaya Bali Tarian, Gamelan Seka/group

Ameniti

Penginapan Tertata baik Milik Swasta

Restoran Tertata baik Milik Swasta

Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum dan

swasta

Visitor Center Belum tertata Belum tertata

Akses

Jarak dari Bandara 50 km Paket Tour/Mandiri

Jarak dari Kota

Kabupaten

20 km

Paket Tour/Mandiri

Bus besar Terakses Paket Tour

Bus Kecil Terakses Paket Tour/Mandiri

Ansileri

Kerjasama dengan

Travel agent

Telah dikenal Paket Tour/Mandiri

Komite Pariwisata

Desa

Belum terbentuk Belum terbentuk

Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum terbentuk

Community

Involment`

Keramahtamahan Belum

terintegrasi

Belum terintegrasi

Keterlibatan Belum

terintegrasi

Belum terintegrasi

Objek Wisata

Terdekat

Pura Taman Ayun

Alas Kedaton

Mongkey Forest

Sangeh

Lestari

Lestari

Lestari

Paket Tour/Mandiri

Paket Tour/Mandiri

Paket Tour/Mandiri

85

DAFTAR PUSTAKA

About Agritourism Retrieve 12 November 2006 from

http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp

Afandhi, Aminudin. (2005). Etika Pembangunan dan Pengembangan agrowisata di

Indonesia (Ethics of Agrotourism Development in Indonesia). Jakarta:

University of Trisakti Indonesia.

Agenda 21. 2006. The Travel Tourism Industry; towards Environmentally

Sustainable Development, WTTC, WTO, The Earth Council.

Agricultural Tourism Small Farm Center and Partners Launch Agricultural Tourism

Project, 12 November 2006 from

http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/agritour.html

Anonim. 2004. ”Potensi Agrowisata”. Pada

http://lampungpost.com/berita.php?id=2004091006350721

Ariyanto. 2003. Ekonomi Pariwisata Jakarta: Pada

http://www.geocities.com/ariyanto eks79/home.htm

Aryanto, Rudy. 2003. Environmental Marketing Pada Ekowisata Pesisir:

Menggerakan Ekonomi Rakyat Daerah Otonom. P062024264 / S3 / PSL / IPB

Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade.

Bali Tourism Board. (2006). Official website of the Bali Tourism Board ,Denpasar,

Retrieve 22nd May 2007 from http://www.bali-tourism-board.com

Bapeda Bali. 1995. pada http://www.bapeda-bali.go.id

Barbier, Edward B. (1989). "Cash Crops, Foods Crops, and Sustainability: The Case

of Indonesia." World Development, vol. 17, no. 6, pp. 879-895.

Becken, S. (2004). How tourists and tourism experts perceive climate change and

forest carbon sinks. Journal of Sustainable Tourism.

Bisnis Bali Online. 2003. pada http://balipost.com

86

Brahmantyo, dkk . 2001. “Potensi dan Peluang Usaha dalam Pengembangan

Pariwisata Gunung Salak Endah”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah,

Vol 5. No. 3 Maret 2001.

Butler, Richard, and Hall, C. Michael. (2003). Tourism and Recreation in Rural Areas.

New York: John Wiley & Sons.

Cooper, Chris, at al. (2005). Tourism: Principles and Practice. London: Pearson

Education Limited, Third Edition.

Cooper, Chris. (2003). Aspects of Tourism: Classic Reviews in Tourism, Sydney:

Channel View Publication.

Dalem, A. A. G. R. (1999). Birds as a potential tourist attraction at Nusa Dua lagoon,

Nusa Dua, Bali, Indonesia. A preliminary study. pp. 159–172. Proceedings of

the International Seminar of Sustainable Tourism: The Balinese Perspective

in Denpasar, Bali.

Deptan, 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani” pada

http://database.deptan.go.id

Eadington, W.R. and Smith, V.L. (1995) Introduction: The emergence of alternative

forms of tourism. In V.L. Smith and W.R. Eadington (eds) Tourism

Alternatives: Potentials and Problems in the Development of Tourism (pp.

1–12). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Erari, K.Ph, 1999. Tanah Kita Hidup Kita. Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya

Sebagai Persoalan Teologis (Ekotologis Dalam Perspektif Malenesia).

Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. (Editorial)

Yogyakarta: Liberty

Faulkner B. 1997. Tourism development in Indonesia: The “Big Picture” Perspective.

Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung

Gilbert, A.J. (1990). Natural Resource Accounts in drylands management. In Dixon,

J.A., D.E. James and P.B. Sherman. Dryland Management: economic case

studies.

87

Gunawan M.P. 1997. Tourism in Indonesia: Past, Present and Future. Planning

Sustainable Tourism. ITB. Bandung

http://geographyfieldwork.com official website for Barcelona Field Studies Centre

offers geography, biology, ecology and environmental field studies

programmes throughout the year.

Indonesian Agricultural Department. (2002). Warta Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Vol.24 No.1, 2002, Retrieve 12 November 2006 from

http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm

Indonesian Agricultural Department. (2005). “Agrowisata Meningkatkan

Pendapatan Petani” 12 November 2006 from http://database.deptan.go.id

Jafari, J and Ritchie, J. (1981). Towards a framework for tourism education. Annals

of Tourism Research.

Jamieson, W. and Noble, A. (2000). A Manual for Community Tourism Destination

Management. Canadian Universities Consortium Urban Environmental

Management Project Training and Technology Transfer Program, Ca

Lindberg, K. 1996. The Economic Impacts of Ecotourism. Retrive 12

November 2006 from http://ecotour.csu.edu.au/ecotour/mar1.htm

Lane. (1994). Tourism Management: Profiling segments of tourists in rural areas,

needs and wants. Department of Quantitative Methods for the Economy,

University of Murcia, Campus de Espinardo, 30100 Murcia, Spain.

Lindberg K. dan Hawkins E.D, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan

Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont.

LIPI. 2005. “Kebun Raya Bogor : Cikal Bakal Perpustakaan Indonesia” pada

http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?cetak&1111211845

Lobo, R.E., Goldman G.E. and others. 1999. Agricultural Tourism: Agritourism

Benefits Agriculture in San Diego County, California Agriculture, University

of California.

McIntosh and Goeldner. (1990). Tourism. Principles, Practices, and Philosophies

(sixth ed.), Grid Publishing, Columbus.

88

Mulyani, A., Wahyunto, and F. Agus. (2003). Land suitability and land use changes

in Indonesia. Presented at AMAF+3 Symposium on Research and

Development of Sustainable Agriculture. 25-26 Feb. 2003, Phnom Penh,

Cambodia. (Unpublished).

Nugroho, K., et al. (1997). Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian

lahan rawa lebak, rawa pasang surut, dan pantai. Proyek penelitian sumber

daya lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

OTA. (1992). Southeastern Rural Mental Health Research Center, University of

Virginia, Madison House, 170 Rugby Road, 22903 Charlottesville, Virginia

Page, J. Stephen and Getz, Don. (1997). The business of Rural Tourism:

international perspective. London: International Thomson Business Press.

Pitana, I Gde. 2002. “Pengembangan Ekowisata di Bali”. Makalah Disampaikan pada

Seminar Ekowisata di Auditorium Universitas Udayana pada tanggal 29 Juni

2002.

Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata, Kajian sosiologis terhadap struktur,

sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

Postma, Albert. (2002) An Approach for integrated development of quality

tourism. In Flanagan, S., Ruddy, J., Andrews, N. (2002) Innovation tourism

planning. Dublin: Dublin Institute of Technology: Sage.

Primack, R. B. J., Supriatna, M., Indrawan, and Kramadibrata, P. (1998). Biologi

Konservasi. 345pp. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Promoting responsible travel. Missouri Department of Agriculture: Ag Business

Development Division 1616 Missouri Boulevard. At

www.sustainabletravelinternational.org

Pujaastawa, IBG., Wirawan, IGP., Andika, IM. (2005). Pariwisata Terpadu: Alternatif

Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Udayana

University. (”Alternative Tourism Development for Middle part of Bali).

Reynolds. (2005). Consumer demand for. agricultural and on-farm nature tourism.

Davis, CA: University of California.

89

Rilla, E. (1999). Bring the City & County Together. California Coast and Ocean. Vol.

15, No. 2. 10p.

Schurink, Harrie, J., A. (2000). Agricultural tourism in Indonesia: Development of

agricultural tourism in Central Java and Bali and the role of the government

in this development.Leeuwarden:Dissertation Master of Arts International

Leisure and Tourism Studies.

Spillane, James.1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta:

Kanisius.

Statistic Agency of Indonesia/Badan Pusat Statistik. (2006). Tourism and Cultural

Department, Retrieve 12 December 2006 from http://www.budpar.go.id

Subadra, I Nengah. (2006). Is Ecotourism Ecologically Developed?. Retrieve 7 June

2007 from http://subadra.wordpress.com

Sudibya, Bagus. 2002. “Pengembangan Ecotourism di Bali: Kasus Bagus Discovery

Group”. Makalah disampaikan pada Ceramah Ecotourism di Kampus STIM-

PPLP Dhyana Pura, Dalung, Kuta pada tanggal 14 Agustus 2002.

Sutjipta, I Nyoman. (2001). Agrowisata.Magister Manajemen Agribisnis: Universitas

Udayana.

Syamsu dkk. 2001. “Penerapan Etika Perencanaan pada kawasan wisata, studi

kasus di kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Kabupaten Sleman, Daerah

Istimewa Yogyakarta”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah, Vol 5. No. 3

Maret 2001.

Tambunan, Tulus. (2006). Long term trends in the industrial and economic growth

in Indonesia, Center for Industry and SME Studies, Faculty of Economics,

University of Trisakti Indonesia.

The International Ecotourism Society at http://www.ecotourism.org

Tjokrowinoto. (2002). Tourism Information System of Indonesia. Yogjakarta, Gajah

Mada University

UNEP. (2003). UNEP publications that provide information on the tourism industry,

Agenda 21- The Role of Lokal Authorities in Sustainable Tourism. Retrieve

90

12th May 2007 from

http://www.uneptie.org/pc/tourism/library/home.htm

Utama, I Gusti Bagus Rai. (2007) Agrotourism as an alternative form tourism in

Bali. CHN Dissertation, Netherlands.

Veal, A.J., (1997). Research Methods for Leisure and Tourism: a Practical Guide.

London: Pitman.

Veer , Marije., and Tuunter, Erik. (2005). Rural tourism in Europe: An exploration

of success and failure factors. Raamweg: Stichting Recreatie, Expert and

Innovation Centre

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.24 No.1,2002 pada

http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm

WTO. 2003. World Tourism Organization. (2000).Tourism Trends. Madrid

Yuwono, Triwibowo (2011). Membangun Pertanian: Membangun Citra dan

Kedaulatan, from Sumber:

http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=246409&actmenu=39

91

BIODATA PENULIS

I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA. Lahir di Lampung Tengah, 10 Oktober 1970

Menamatkan Sarjana Ekonomi (S.E.) dari Universitas

Mahasaraswati Denpasar pada tahun 2001. Karna

kepeduliannya pada kondisi pertanian yang semakin

terdesak akhirnya kemudian melanjutkan pada

program pasca sarjana Magister Manajemen

Agribisnis (MMA) di Universitas Udayana Bali dan

tamat tahun 2005. Pada tahun 2006 mendapat

kesempatan melanjutkan studi ke negeri Belanda

untuk mempelajari bidang pariwisata (M.A.) dan

tamat pada tahun 2007. Saat buku ini di tulis (2010)

sedang melanjutkan studi pada jenjang doktor untuk bidang pariwisata di

Universitas Udayana Bali.

Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Dhyana Pura Bali. Adapun

matakuliah yang diampu adalah: Metodologi Penelitian, Manajemen Strategik,

Statistik Bisnis, Pengantar Bisnis, Sistem Informasi Manajemen, Aplikasi Komputer,

dan Ekonomi Pariwisata.

Pada tahun 2006, pernah melakukan studi lapangan pada beberapa tempat

wisata dunia yang berada di negeri Belanda dan Inggris. Pernah Melakukan

penelitian tentang Agrotourism. Tahun 2007. Oral Presenter pada Call Paper: the

International Conference on Sustainable Development (ICSD), 6 Maret 2012, Sanur

Bali, Oral Presenter pada Seminar Nasional yang bertema Pembangunan Pariwisata

Berkelanjutan, 20 Maret 2012. Menghadiri Seminar: Tourism Ethics for Asia and the

Pasific, Responsible Tourism and its socio-economic impact on lokal communities,

11 Juni 2011, Nusa Dua Bali. Melakukan Studi Lapangan di Ecotourism Halong Bay,

Vietnam, Heritage, Angkor Wat, the Cambodia, Januari 2012. Studi lapangan di

Heritage, Prambanan and Borobudur, Yogyakarta and Magelang, 2010

Saat ini, sedang menulis buku Metodologi penelitian pariwisata dan

perhotelan, statistik terapan untuk pariwisata dan perhotelan dilengkapi dengan

studi kasus serta pembahasannya.