agrowisata sebagai pariwisata alternatif indonesia-libre
TRANSCRIPT
0
I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA.
AGROWISATA
SEBAGAI
PARIWISATA
ALTERNATIF DI
INDONESIA
Solusi Masif Pengentasan
Kemiskinan
1
PRAKATA
Salam Sejahtera,
Terimakasih saya ucapkan kepada banyak pihak yang telah berkontribusi
secara langsung maupun tidak langsung untuk terbitnya buku agrowisata ini. Di
tengah perdebatan yang cukup panjang dan lama, istilah agrowisata belum
menemukan definisi yang ideal sehingga tercetuslah untuk menulis buku ini.
Penulis menyakini bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
mengembangkan agrowisata karena citra Indonesia cukup kuat pada bidang
pertanian. Perubahan konsep budidaya pertanian menjadi konsep agribisnis telah
memungkinkan bidang pertanian berkolaborasi dengan bidang lainnya dengan
harapan kolaborasi tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Derasnya globalisasi memaksa sector pertanian Indonesia harus bersaing
dengan Negara lain secara terbuka dalam pasar internasional. Pariwisata diyakini
akan menjadi pemasaran langsung dan juga menjadi perangsang bagi masyarakat
tidak ragu lagi menggantungkan hidupnya pada sector pertanian. Agrowisata juga
diyakini sebagai pariwisata alternative yang bertanggung jawab, pro konservasi dan
preservasi terhadap sumberdaya alam.
Berdasarkan alasan tersebutlah buku AGROWISATA SEBAGAI
PARIWISATA ALTERNATIF INDONESIA akhirnya dikompilasi dan ditulis
kembali. Jika agrowisata dikembangkan secara massif, maka diyakini usaha
pengentasan kemiskinan dapat dilakukan secara massif karena sebagian besar
masyarakat miskin adalah kaum tani.
Denpasar, April 2012
Penulis,
I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MMA., MA.
2
DAFTAR PUSTAKA
AGROWISATA SEBAGAI PARIWISATA ALTERNATIF DI INDONESIA .................................... 0
PRAKATA......................................................................................................................... 1
BAB I ............................................................................................................................... 4
PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN.............................................................. 4
BAB II .............................................................................................................................. 7
PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN ................................... 7
BAB III ........................................................................................................................... 15
TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS ......................................... 15
3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia ........................................................................ 15
3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia ................................ 18
3.3. Membangun Persepsi Wisatawan ...................................................................... 18
3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata ................................................................. 19
3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata ........................................ 20
3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata) ................................................ 21
BAB IV ........................................................................................................................... 22
DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN ................................................... 22
BAB V ............................................................................................................................ 26
DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA .................................................. 26
BAB VI ........................................................................................................................... 30
DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF ..................................................... 30
BAB VII .......................................................................................................................... 35
PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA ............................................................ 35
BAB VIII ......................................................................................................................... 38
KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA ........................................................................... 38
BAB IX ........................................................................................................................... 48
MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA ....................................................................... 48
BAB X ............................................................................................................................ 52
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA AGROWISATA ................. 52
3
BAB XI ........................................................................................................................... 57
SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA ................................................................ 57
BAB XII .......................................................................................................................... 61
POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA .............................................. 61
BAB XIII ......................................................................................................................... 67
AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN
..................................................................................................................................... 67
BAB. XIV ........................................................................................................................ 73
POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI ................................ 73
1. Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali ................................................................ 73
Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata ......................................... 74
2. Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali ..................................................... 76
Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata ........................................... 77
3. Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali....................................................... 79
Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata ........................................... 80
4. Desa Pelaga, Badung, Bali .............................................................................. 82
Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata .................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 85
BIODATA PENULIS ......................................................................................................... 91
4
BAB I
PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Meskipun Secara terus-menurus, pembangunan pariwisata berkelanjutan
dikumandangkan, dan pada KTT Johannesburg 2002 telah diletakkan dasar secara
signifikan sebagai upaya melakukan negosiasi dan kampanye positif tentang
pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Pada KTT ini juga mampu menggalang lebih
dari 300 kemitraan sukarela, yang masing-masing membawa tambahan sumber daya untuk
mendukung upaya-upaya untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan. (United
Nations Department of Economic and Social Affairs, 2002).
Memperdebatkan pariwisata dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebuah
hal logis mengingat bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang menjual lingkungan,
baik fisik dan manusia sebagai totalitas produk. Integritas dan kontinuitas produk ini telah
menjadi perhatian utama industri seperti yang dinyatakan oleh beberapa lembaga
international, misalnya, UN-WTO tentang Global Etik untuk Kode etik Pariwisata, dan
asosiasi Ekowisata Australia telah merumuskan sebuah Program Akreditasi Ekowisata
untuk mendukung usaha pembangunan yang berkelanjutan.
Terdapat banyak pilihan sebenarnya, tapi maknanya lebih dari isu-isu dan pilihan
yang perlu dilakukan sebelum konsep pembangunan berkelanjutan dapat bergerak lebih
lanjut terhadap fisik dan realitas ekonomi. Para peneliti dan pemerintah di beberapa
negara telah menaruh perhatian yang cukup terhadap konsep pembangunan pariwisata
berkelanjutan, tetapi industri dan konsumen tampaknya kurang menerima sepenuhnya
ide-ide tentang pembangunan berkelanjutan ini.
1Definisi Pembangunan Berkelanjutan diperlukan untuk menciptakan hubungan baru
dengan lingkungan, dan kepentingan dalam pembangunan berkelanjutan yang telah
dibangun selama 30 tahun sejak tahun 1972. Danella dan Dennis Meadows (1972) telah
mengguncang dunia dengan buku mereka yang berjudul “Limits to Growth”. Mereka
berpendapat bahwa sumber daya di bumi dan kemampuan untuk menyerap polusi amat
terbatas. Dengan menggunakan simulasi komputer, mereka meramalkan penduduk bumi
dan kemajuan pembangunan fisik akan mengalami kendala pada abad mendatang. Buku
tersebut menjadi peringatan pertama untuk segera mengadakan penelitian dan
musyawarah dalam jangka panjang yang harus dilanjutkan pada tingkat industri. Rumusan
tentang pembangunan berkelanjutan tersebut dirumuskan dalam beberapa hal seperti
yang terdappat pada (the publication of the World Conservation Strategy by the
1 The need for a renewed relationship with the environment and interest in sustainable development
has been building over the past 30 years. In 1972 Danella and Dennis Meadows shook the world’s
complacency with their book Limits to Growth (1972).
5
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources IUCN, 1980)
adalah sebagai berikut:
1. Membangun batas ekologi dan standar lebih adil yang akan membawa konsekuensi
adanya kebutuhan promosi terhadap nilai-nilai yang mendorong pengunaan standar
yang menjadi batas-batas dari kemungkinan kerusakan ekologis.
2. Re-distribusi kegiatan ekonomi dan re-alokasi sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan yang tergantung pada pencapaian potensi pertumbuhan penuh karena
pembangunan berkelanjutan jelas memerlukan pertumbuhan ekonomi yang
bekelanjutan.
3. Pengendalian penduduk karena ukuran besaran jumlah penduduk akan berdampak
pada distribusi sumber daya karena pembangunan berkelanjutan hanya dapat dikejar
jika perkembangan kependudukan selaras dengan perubahan ekosistemnya.
4. Konservasi mendasar terhadap sumber daya diperlukan untuk pembangunan
berkelanjutan agar tidak membahayakan sistem alamiah yang seharusnya mendukung
kehidupan di bumi: atmosfer, air, tanah, dan makhluk hidup tidak boleh rusak karena
pembangunan itu sendiri.
5. Akses ke sumber daya yang adil dan usaha peningkatan teknologi serta
menggunakannya secara lebih efektif karena pada dasarnya pertumbuhan sebenarnya
tidak memiliki batas yang ditetapkan jika dibandingkan dengan pertumbuhan
penduduk bumi atau penggunaan sumber daya luar yang tak terkendali dapat
menyebabkan bencana ekologis. Tetapi batas berakhirnya ada tatkala sumberdaya
tersebut telah habis terpakai dan teknologi harusnya dapat diciptakan sebagai usaha
untuk mengurangi tekanan terhadap alam dan memperlambat terhadap habisnya
sumber daya yang ada.
6. Kendali daya dukung dan hasil berkelanjutan merupakan kendali yang diperlukan untuk
sumber daya yang dapat diperbaharui, karena sebagian besar sumberdaya yang ada
saling terkait pada ekosistem, dan hasil maksimum yang berkelanjutan harus
didefinisikan setelah memperhitungkan efek terhadap seluruh sistem eksploitasi.
7. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa tingkat penyusutan sumber daya
yang tak dapat diperbaharui mengharuskan adanya beberapa alternatif di masa depan.
8. Diversifikasi spesies adalah pembangunan berkelanjutan yang membutuhkan
konservasi spesies tanaman dan hewan.
9. Meminimalkan dampak yang merugikan artinya pembangunan berkelanjutan
mensyaratkan bahwa dampak yang merugikan terhadap kualitas udara, air, dan lainnya
yang berupa unsur-unsur alami harus dapat diminimalkan untuk mempertahankan
ekosistem secara keseluruhan.
10. Pengendalian komunitas adalah adanya kendali masyarakat atas keputusan
pembangunan yang mempengaruhi ekosistem setempat.
11. Kebijakan nasional yang luas dalam kerangka kebijakan internasional artinya
harus dipahami bahwa biosfer adalah rumah bersama semua umat manusia dan
pengelolaan bersama atas biosfer adalah prasyarat untuk keamanan politik global
karena pada prinsipnya bumi kita hanya satu yang harus kita kelola secara bijaksana
bersama-sama oleh seluruh manusia di bumi ini.
6
12. Viabilitas ekonomi adalah sebuah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan
perpanjangan dari manajemen kualitas total.
13. Kualitas lingkungan adalah kebijakan lingkungan perusahaan yang merupakan
perpanjangan dari manajemen kualitas total.
14. Audit lingkungan adalah suatu sistem audit lingkungan yang efektif yang berpusat
pada pengelolaan lingkungan yang baik.
15. Triple bottom line yang diterjemahkan bahwa kemakmuran ekonomi, kualitas
lingkungan dan keadilan sosial merupakan satu kesatuan idealisme pembangunan yang
berkelanjutan.
2Prioritas yang segera diwujudkan untuk mendukung pembangunan pariwisata
berkelanjutan dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)mengidentifikasi standar sosial dan
sumber daya yang dapat diterima dan dapat dicapai, (2)mendokumentasikan kesenjangan
antara keadaan yang diinginkan dan yang sudah ada pada sebuah destinasi,
(3)mengidentifikasi tindakan manajemen untuk menutup kesenjangan tersebut,
(4)monitoring dan evaluasi terhadap efektivitas manajemen destinasi, (5)mengidentifikasi
perubahan yang tidak dapat diterima yang mungkin terjadi sebagai akibat dari kedatangan
wisatawan dan pengembangan strategi manajemen untuk menjaga dampak pariwisata
dalam tingkat yang dapat diterima, (6)mengintegrasikan dan mengelola dampak kunjungan
wisatawan ke dalam perencanaan instansi yang ada, mendesain, dan mengelolanya;
(7)mendasarkan pengelolaan dampak kunjungan wisatawan pada pemahaman ilmiah yang
terbaik dan menyediakan informasi situasional terkini, (8)menentukan tujuan pengelolaan
yang mengidentifikasi sumber daya dan kondisi yang harus dicapai serta jenis daya tarik
wisata yang akan disediakan; (9)mengidentifikasi dampak masalah pengunjung dengan
membandingkan standar kondisi yang dapat diterima dengan indikator kunci dari dampak
berdasarkan waktu dan lokasi; (10)mendasarkan keputusan manajemen, untuk
mengurangi dampak atau mempertahankan kondisi yang dapat diterima, pada
pengetahuan tentang sumber-sumber kemungkinan dan hubungan antara dampak yang
tidak dapat diterima; (11)mengatasi dampak pengunjung dengan berbagai teknik alternatif
pengelolaan, dan (12)merumuskan tujuan pegelolaan destinasi, yang memasukkan
berbagai tingkat dampak yang diterima, untuk mengakomodasi keragaman lingkungan dan
kesempatan pengalaman sekarang dalam setiap pengaturan sumber daya alamiah.
2 Suggested research areas and priorities for sustainable development in tourism. Source: Taylor and
Stanley, 1992.
7
BAB II
PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN PARIWISATA BERKELANJUTAN
Pariwisata apapun jenis dan namanya, hendaknya dapat dibangun dan
dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Menurut United
Nation (2002) prinsip-prinsip tersebut adalah:
Participation: Residents of a community must maintain control of tourism
development by being involved in setting a community tourism vision, identifying
the resources to be maintained and enhanced, and developing goals and strategies
for tourism development and management. Residents must participate in the
implementation of strategies and the operation of the tourism infrastructure,
services and facilities.
Prinsip pertama adalah pembangunan pariwisata harus dapat dibangun dengan
melibatkan masyarakat lokal , visi pembangunan pariwisata mestinya dirancang
berdasarkan ide masyarakat lokal dan untuk kesejahteraan masyarakat lokal . Pengelolaan
kepariwisataan yang telah dibangun mestinya juga melibatkan masyarakat lokal sehingga
masyarakat lokal akan merasa memiliki rasa memiliki untuk perduli terhadap
keberlanjutan pariwisata. Masyarakat lokal harusnya menjadi pelaku bukan menjadi
penonton.
Community Goals: Harmony is required between the needs of a visitor, the place
and the community. This is facilitated by broad community support with a proper
balance between economic, social, cultural and human objectives, and recognition
of the importance of cooperation between government, host communities, the
tourism industry and non-profit organizations involved in community development
and environmental protection.
Prinsip kedua adalah menciptakan keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan
masyarakat. Kepentingan pemberdayaan ekonomi masyarakat adalah tujuan yang
didasarkan atas kerelaan untuk membentuk kualitas destinasi yang diharapkan oleh
wisatawan. Keseimbangan tersebut akan dapat terwujud jika semua pihak dapat
bekerjasama dalam satu tujuan sebagai sebuah komunitas yang solid. Komunitas yang
dimaksud adalah masyarakat lokal , pemerintah lokal , industri pariwisata, dan organisasi
kemasyarakat yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat di mana destinasi
pariwisata dikembangkan.
Lebih lanjut dapat dijabarkan, dari perspektif filsafat manajemen pertumbuhan,
pembagunan adalah sebagian besar merupakan pertanyaan tentang apa diinginkan oleh
masyarakat yang terlihat pada visi masyarakat, tujuan, dan kemampuan untuk mengelola
8
dampak pertumbuhan itu. Sesuai dengan pandangan ini, Whistler berpendapat, pemimpin
harus berhati-hati dalam mengadopsi filosofi manajemen pertumbuhan. Kebijakan yang
dirancang untuk mendorong program-program lingkungan yang berfokus pada: Suatu
pendekatan berbasis ekosistem terhadap penggunaan lahan, termasuk area yang
dilindungi, perkotaan yang desain secara efisien; Lingkungan transportasi yang
berkelanjutan, termasuk strategi yang komprehensif untuk mendorong efesiensi
penggunaan kendaraan bermotor; Pasokan air bawah tanah dan program pengelolaan air
limbah; Pengurangan limbah padat dan inisiatif penggunaan kembali, dan Praktek
Konservasi energi (Waldron, Godfrey, dan Williams, 1999).
Stakeholder Involvement: Tourism initiatives should be developed with the help of
broad-based community input. Participants could include lokal NGO groups and
institutions, volunteer service groups, the poor, women, municipal governments
and their economic development departments, tourism associations, visitor
bureaus, town business associations, regional representatives of provincial tourism
development and any other party which might be involved in or impacted by
tourism.
Prinsip ketiga adalah pembangunan harus melibatkan para pemangku
kepentingan, dan melibatkan lebih banyak pihak akan mendapatkan input yang lebih baik.
Pelibatan para pemangku kepentingan harus dapat menampung pendapat organisasi
kemasyarakatan lokal , melibatkan kelompok masyarakat miskin, melibatkan kaum
perempuan, melibatkan asosiasi pariwisata, dan kelompok lainnya dalam masyarakat yang
berpotensi mempengaruhi jalannya pembangunan.
Dalam sosiologi atau ilmu kemasyarakatan, terdapat beberapa kelompok
berpengaruh dalam masyarakat, dan jika menghendaki pembangunan pariwisata di suatu
daerah bekelanjutan, mestinta semua kelompok dalam masyarakat dapat dilibatkan untuk
menampung segala masukan dan saran-sarannya untuk pembangunan. Harus disadari,
setiap saat kelompok berpengaruh dalam masyarakat dapat bertambah atau berkurang
jumlahnya seiring dengan berkembangnya kebebasan berdemokrasi. 3Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan adalah kondisi yang diinginkan dan
mungkin menjadi elemen yang paling penting dari manajemen pertumbuhan.
Mengembangkan mekanisme yang tepat untuk menggabungkan pandangan berbeda
adalah penting untuk keberhasilan pembangunan yang menyesuaikan kepentingan
masyarakat dan wisatawan secara bersama-sama (Cleveland dan Hansen, 1994).
Masing-masing kelompok msyarakat memiliki kebutuhan yang sangat berbeda
dalam hal fasilitas perumahan dan pelayanan. Alternatif mekanisme, seperti pertemuan
kelompok kecil yang lebih informal, telah digunakan dalam beberapa kasus. Dalam
hubungannya dengan proses ini, informasi komunitas yang aktif dan program publisitas
3 Community involvement in establishing desirable conditions is perhaps the single most important
element of growth management. Developing appropriate mechanisms to incorporate divergent views
is critical for successfully establishing appropriate resident–visitor relationships (Cleveland and
Hansen, 1994).
9
(misalnya, melalui talk show radio, newsletter, dll) sering diperlukan untuk memastikan
bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dalam proses manajemen pertumbuhan
(Gill, 1992).
Lokal Ownership: Tourism development must provide quality employment for
community residents. The provision of fulfilling jobs has to be seen as an integral
part of any tourism development at the lokal level. Part of the process of ensuring
quality employment is to ensure, as much as possible, the tourism infrastructure
(hotels, restaurants, shops, etc.) is developed and managed by lokal people.
Experience has demonstrated that the provision of education and training for lokal
residents and access to financing for lokal businesses and entrepreneurs are
central to this type of policy.
Prinsip keempat adalah, memberikan kemudahan kepada para pengusaha lokal
dalam sekala kecil, dan menengah. Program pendidikan yang berhubungan dengan
kepariwisataan harus mengutamakan penduduk lokal dan industri yang berkembang pada
wilayah tersebut harus mampu menampung para pekerja lokal sebanyak mungkin.
Establishing Lokal Business Linkages: Linkages must be established among lokal
businesses in the tourism industry in order to ensure tourism expenditures stay
within the destination rather than leak out to purchase imported goods and
services for tourists. Lokal involvement in tourism facilitates the development of
linkages among the service and goods providers within the tourism destination.
Prinsip kelima adalah, pariwisata harus dikondisi untuk tujuan membangkitkan
bisnis lainnya dalam masyarakat artinya pariwisata harus memberikan dampak pengganda
pada sector lainnya, baik usaha baru maupun usaha yang telah berkembang saat ini.
Cooperation: Cooperation between lokal attractions, businesses and tourism
operators is essential given that one business or operation can be directly affected
by the performance or quality of another. Models of partnerships must be explored
in the areas of planning, management, marketing and funding for tourism
ventures.
Prinsip keenam adalah adanya kerjasama antara masyarakat lokal sebagai creator
atraksi wisata dengan para operator penjual paket wisata, sehingga perlu dibangun
hubungan kerjasama yang saling menguntungkan. Misalnya, berkembangnya sanggar tari,
kelompok tani, dan lainnya karena mendapatkan keuntungan dari berkembangnya sector
pariwisata. Sementara para operator sangat berkepentingan terhadap eksistensi dan
keberlanjutan atraksi wisata pada wilayah pariwisata. Idealnya harus ada keseimbangan
permintaan dan penawaran yang berujung pada kepuasan wisatawan, namun demekian
dalam praktiknya akan ada perbedaan mendasar antara masyarakat lokal dan wisatawan
sehubungan dengan perbedaan perbedaan sikap terhadap pembangunan itu sendiri
(Lawrence, et al., 1993). Penelitian terhadap wisatawan akan dapat menjadi jalan keluar
10
untuk mengatasi perbedaan tersebut dengan melakukan wawancara dengan para
wisatawan untuk memahami mengapa mereka memutuskan untuk mengunjungi sebuah
destinasi, seberapa baik harapan mereka terpenuhi dan apa yang dapat dilakukan untuk
membuat mereka tetap lebih terpuaskan.
Menjaga keseimbangan antara kebutuhan wisatawan dan orang-orang dari semua
masyarakat sangatlah penting untuk diketahui. Seperti banyak penduduk kota wisata
memilih untuk tinggal di sana karena gaya hidup yang dirasakan dan faktor kemudahan,
program yang dirancang untuk memfasilitasi penggunaan fasilitas, dan layanan yang dapat
digunakan untuk mengurangi gesekan antara warga dan pengunjung.
Sustainability of the Resource Base: Sustainable tourism development has to
provide for intergenerational equity. Equitable distribution of costs and benefits of
tourism development must take place among present and future generations. To be
fair to future generations of tourists and the travel industry, society should strive to
leave a resource base no less than the one inherited. Sustainable tourism
development must, therefore, avoid resource allocation actions that are
irreversible.
Prinsip ketujuh adalah, pembangunan pariwisata harus mampu menjamin
keberlanjutan, memberikan keuntungan bagi masyarakat saat ini dan tidak merugikan
generasi yang akan datang. 4Adanya anggapan bahwa pembangunan pariwisata berpotensi
merusak lingkungan jika dihubungkan dengan peningkatan jumlah wisatawan dan
degradasi daerah tujuan pariwisata adalah sesuatu yang logis (Hunter dan Green, 1995).
Wujud hubungan ini adalah konsep tentang daya dukung yang menunjukkan suatu
pendekatan manajemen yang memungkinkan pertumbuhan dalam batas yang dapat
diterima (Johnson dan Thomas, 1996).
Carrying Capacity: There is a definite need for the impact assessment of tourism
development proposals to distinguish between plans which encourage mass versus
quality tourism. The capacity of sites must be considered, including physical,
natural, social and cultural limits. Development should be compatible with lokal
and environmental limits, and operations should be evaluated regularly and
adjusted as required
Prinsip kedelapan adalah pariwisata harus bertumbuh dalam prinsip optimalisasi
bukan pada exploitasi. Strategi manajemen kapasitas akan menjadi pilihan yang terbaik,
walaupun saat ini masih mengalami kontroversi yang cukup tajam. Konsep ini merupakan
kebutuhan yang semestinya diakui untuk membatasi dan menjadi kendali atas dimensi-
dimensi pembangunan pariwisata yang dapat mengancam berkelanjutan penggunaan
4 There is widespread acknowledgment of the potentially damaging relationship between increasing
numbers of tourists and the escalated degradation of many tourism destinations (Hunter and Green,
1995).
11
sumber daya yang terbatas, pada saat yang bersamaan, konsep tersebut berhadapan
dengan keinginan untuk memaksimalkan peluang sebagai tujuan pertumbuhan dan
mewujudkan manfaat potensial yang terkait dengan pengunjung yang semakin meningkat.
Monitoring and Evaluating: Guidelines have to be established for tourism
operations, including requirements for impact assessment. There should be codes
of practice established for tourism at the national, regional and lokal levels. There
is also a need to develop indicators and threshold limits for measuring the impacts
and success of lokal tourism ventures. Protection and monitoring strategies are
essential if communities are to protect the very resources that form the basis of
their tourism product to protect the environment (the tourism resource base) on
which it depends.
Prinsip kesembilan adalah harus ada monitoring dan evaluasi secara periodic untuk
memastikan pembangunan pariwisata tetap berjalan dalam konsep pembagunan
berkelanjutan. Mestinya pembagunan pariwisata dapat diletakkan pada prinsip
pengelolaan dengan manajemen kapasitas, baik kapasitas wilayah, kapasitas obyek wisata
tertentu, kapasitas ekonomi, kapasitas social, dan kapasitas sumberdaya yang lainnya
sehingga dengan penerapan manajemen kapasitas dapat memperpanjang daur hidup
pariwisata itu sendiri sehingga konsepsi konservasi dan preservasi serta komodifikasi untuk
kepentingan ekonomi dapat berjalan bersama-sama dan pembangunan pariwisata
berkelanjutan dapat diwujudkan.
Accountability: The management and use of public goods such as water, air and
common lands should ensure accountability on behalf of users to ensure these
resources are not abused.
Prinsip kesepuluh adalah harus adalah keterbukaan terhadap penggunaan sumber
daya seperti penggunaan air bawah tanah, penggunaan lahan, dan penggunaan
sumberdaya lainnya harus dapat dipastikan tidak disalah gunakan. Untuk hal tersebut 5kode etik pembangunan pariwisata berkelanjutan harus dirumuskan dan menjadi agenda
yang terus menerus di revisi dan bahkan revisi yang terakhir diselenggarakan di Bali
(UNWTO Etic Code, 2011). Standar yang tetapkan memang masih terlalu umum untuk
diterapkan oleh unit bisnis, sehingga masih perlu dilakukan penjabaran menjadi standar
yang lebih rinci dalam bentuk buku manual (Font dan Bendell, 2002). Sebagai contohnya,
di Eropa secara sukarela mengambil inisiatif untuk program pariwisata berkelanjutan dan
menciptakan sebuah sistem federal untuk meningkatkan standar di antara program-
program saat ini, telah digunakan pada 1000 akomodasi sebagai sebuah disertifikasi untuk
konsumen dalam promosi, dan penawaran paket wisata mereka (Visitor, 2003).
5 Although most certification programmes are not growing in number of applicants (only 20 percent of the
medium-aged ecolabels are growing annually, according to the WTO [2002])
12
Training: Sustainable tourism development requires the establishment of education
and training programmes to improve public understanding and enhance business,
vocational and professional skills especially for the poor and women. Training
should include courses in tourism, hotel management, creation and operation of
small businesses and other relevant topics.
Prinsip kesebelas adalah melakukan program peningkatan sumberdaya manusia
dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi untuk bidang keahlian pariwisata
sehingga dapat dipastikan bahwa para pekerja siap untuk bekerja sesuai dengan uraian
tugas yang telah ditetapkan sesuai dengan bidangnya masing-masing sehingga program
sertifikasi akan menjadi pilihan yang tepat. 6Sertifikasi sebagai proses untuk meningkatkan
standar industri memiliki pendukung dan dan nilai kritik. Bagian ini sebenarnya meninjau
kelayakan sertifikasi sebagai alat kebijakan untuk melakukan perbaikan secara sukarela, di
bawah lima aspek: keadilan, efektivitas, efisiensi, kredibilitas, dan integrasi (Toth, 2002).
Instrumen keadilan dianggap sebagai kesempatan semua perusahaan pariwisata
untuk mengakses sertifikasi. Tiga wilayah dianggap berpotensi menimbulkan ketidakadilan
dapat berupa biaya biaya (1) aplikasi, (2) pelaksanaan oleh perusahaan pariwisata, dan
(3)program pelaksanaannya. Tingginya biaya relatif yang dirasakan dari sertifikasi dianggap
sebuah ketidakadilan karena tidak semua perusahaan akan memiliki potensi yang sama
untuk mengakses program sertifikasi tersebut. Sebuah studi kasus di Kostarika,
pemerintahnya telah berhasil memberikan subsidi bagi yang pertama kali menjalankan
program sertifikasi ini khususnya yang berkaitan dengan sertifikat Pariwisata
Berkelanjutan. Contoh lainnya, di Australia, Program Akreditasi yang berkaitan dengan
ekowisata telah dituangkan dalam bentuk audit tertulis pada tahun 2001. Meskipun
beberapa program sertifikasi dapat memberikan manfaat yang cukup namun factor biaya
masih menjadi mitos penghalang terwujudnya program sertifikasi tersebut (Toth, 2002).
6 Certification as a process to raise industry standards has its advocates and critics. This section reviews the
feasibility of certification as a policy tool to make voluntary improvements, under five aspects: equity,
effectiveness, efficiency, credibility, and integration.
13
Gambar Kualitas Pariwisata, Sumber: Postma, 2006
Positioning: Sustainable tourism development involves promoting appropriate uses
and activities to reduce poverty and draw from and reinforce landscape character,
sense of place, community identity and site opportunities. These activities and uses
should aim to provide a quality tourism experience that satisfies visitors while
adhering to other principles of sustainable tourism.
Prinsip keduabelas adalah terwujudnya tiga kualitas yakni pariwisata harus mampu
mewujudkan kualitas hidup ”quality of life” masyarakat lokal, pada sisi yang lainnya
pariwisata harus mampu memberikan kualitas berusaha ”quality of opportunity” kepada
para penyedia jasa dalam industri pariwisata dan sisi berikutnya dan menjadi yang
terpenting adalah terciptanya kualitas pengalaman wisatawan ”quality of experience”.
Menurut Ardika (Kompas, Senin, 13 Maret 2006) Kepariwisataan ada dan tumbuh
karena perbedaan, keunikan, kelokalan baik itu yang berupa bentang alam, flora, fauna
maupun yang berupa kebudayaan sebagai hasil cipta, karsa, rasa dan budhi manusia.
Tanpa perbedaan itu, tak akan ada kepariwisataan, tidak ada orang yang melakukan
perjalanan atau berwisata. Oleh karena itu, melestarikan alam dan budaya serta
menjunjung kebhinekaan adalah fungsi utama kepariwisataan. Alam dan budaya dengan
segala keunikan dan perbedaannya adalah aset kepariwisataan yang harus dijaga
kelestariannya. Hilangnya keunikan alam dan budaya, berarti hilang pulalah kepariwisataan
itu.
Dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia
didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang
berkeseimbangan. Seimbangnya hubungan manusia dengan Tuhan, seimbangnya
Needs &
requirements
Tourists
(‘consumers of the
destination’)
Quality of Experience
Industry
(‘providers of the
destination’)
Quality of Opportunity
Residents
(‘owners of the
destination’)
Quality of Life
Needs &
requirements
Needs &
requirements
14
hubungan manusia dengan sesamanya, seimbangnya hubungan manusia dengan
lingkungan alam. Konsep ini mengajarkan kepada kita untuk menjunjung nilai-nilai luhur
agama serta mampu mengaktualisasikannya, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, toleran,
kesetaraan, kebersamaan, persaudaraan, memelihara lingkungan alam. Kesadaran untuk
menyeimbangkan kebutuhan materi dan rokhani, seimbangnya pemanfaatan sumber daya
dan pelestarian. Kita diajarkan untuk tidak menjadi rakus.
Konsep ini juga menempatkan manusia sebagai subyek. Manusia dengan segala
hasil cipta, rasa, karsa, dan budhinya adalah budaya. Dengan demikian kepariwisataan
Indonesia adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism)
dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat.
15
BAB III
TINGKATKAN CITRA INDONESIA SEBAGAI NEGARA AGRARIS
3.1. Pertanian adalah Citra Indonesia
Sebelum krisis ekonomi tahun 1998, Indonesia pernah menjadi Negara
dengan kekuatan ekonomi baru barada bersama-sama dengan Malaysia dan
Thailand. Indonesia sempat menjadi model pembangunan ekonomi yang
bekelanjutan khususnya untuk Negara sedang berkembang dengan pertumbuhan
ekonomi yang cukup baik (Tambunan, 2006).
Saat ini sector pertanian masih memegang peranan penting karena hampir
45% (41 juta) penduduk Indonesia bekerja pada sector ini dari 100 juta angkatan
kerja yang ada. Rata-rata berkontribusi 17% terhadap GDP (DepTan Indonesia,
2005). Menurut ADB, masyrakat miskin mayoritas bekerja sebagai petani, dan jika
45% penduduk Indonesia adalah petani, berarti penduduk miskin Indonesia masih
cukup tinggi.
Pernyataan di atas dikuatkan oleh BPS, data Biro Pusat Statistik Indonesia
juga menunjukkan bahwa sampai Agustus 2010, jumlah tenaga kerja Indonesia di
bidang pertanian, kehutanan dan perikanan adalah 41,4 juta dari total angkatan
kerja sebanyak 108,2 juta, sedangkan sisanya terdistribusi dalam delapan bidang
pekerjaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa bidang pertanian sesungguhnya paling
potensial dalam menyerap tenaga kerja. Persoalannya adalah bagaimana membuat
pasar tenaga kerja pertanian tersebut diisi oleh orang-orang yang benar-benar
potensial, mempunyai visi dan instink bisnis yang kuat sehingga dapat
menggerakkan investasi besar di bidang pertanian.
Menurut Yuwono (2011) membangun pertanian adalah membangun citra
dan kedaulatan Indonesia menuju kejayaan yang pernah disandang oleh Indonesia
sebagai Negara agraris yang kuat, kaya dengan sumber daya dan hasil pertanian
yang berkualitas tinggi di mata internasional. Sekarang yang menjadi persoalannya
adalah, bagaimana cara membangun dan membangkitkan gairah untuk
membangun sector pertanian tersebut? Berikut fakta-fakta yang ditulis oleh Prof.
Yuwono seperti yang tertulis di Majalah Time, Amerika Serikat, dalam edisi 11 Juli
2011, menulis sebuah laporan yang sangat menarik mengenai kecenderungan yang
sekarang berlangsung di Amerika Serikat mengenai pertanian.
Dalam artikel berjudul Want to Make More than a Banker? Become a
Farmer!, Stephen Gandel menulis bahwa di Amerika Serikat saat ini mulai timbul
kesadaran bahwa menjadi petani adalah pekerjaan paling bagus pada abad ke-21.
Penghasilan petani meningkat tajam karena kenaikan harga pangan. Meskipun ada
16
keraguan di beberapa pihak, namun Jim Rogers, seorang penulis terkenal mengenai
investasi merasa sangat yakin bahwa pertanian akan meningkat secara dramatis
dalam beberapa dekade ke depan, lebih cepat dibanding dengan industri-industri
yang lain, bahkan termasuk Wall Street sebagai kiblat investasi.
Dilaporkan juga bahwa selama beberapa tahun terakhir, karena adanya
kenaikan bisnis biofuel, bisnis pertanian telah tumbuh sangat meyakinkan. Pada
saat ekonomi secara keseluruhan hanya tumbuh pada laju 1,9%, penghasilan dari
bidang pertanian telah meningkat sebesar 27% tahun sebelumnya dan diramalkan
akan meningkat lagi sebesar 20% pada tahun 2011. Sementara itu, harga-harga real
estate telah jatuh lagi tahun ini. Saat ini bisnis pertanian telah menjadi salah satu
investasi paling panas di Wall Street.
Setengah agak heran, Prof. Yuwono menuliskan kenapa selama ini bidang
pertanian di Indonesia dianggap sebagai bidang usaha yang tidak terlalu seksi untuk
investasi besar, kecuali pada komoditas tertentu pada skala perkebunan besar,
misalnya kelapa sawit? Dicurigai factor utamanya adalah kurangnya pencitraan
dan perhatian terhadap pertanian oleh pemerintah dan masyarakat selama ini dan
akhirnya berdampak negatif terhadap minat terhadap bidang pertanian.
Pernyataan tersebut nampaknya tidak dapat kita tolak, data dari hasil penerimaan
mahasiswa baru melalui Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri
(SNMPTN) menegaskan hal ini. Tidak perlu ditutupi atau diingkari kenyataan bahwa
banyak calon mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi pertanian berasal dari
kalangan yang secara akademis bukan yang terbaik.
Prof Yuwono, terus bertanya-tanya dan pertanyaan kemudian mengiang tak
habis-habis seputar apa sebenarnya yang salah dengan pertanian di negara kita
sehingga pertanian menjadi bidang pendidikan dan usaha yang tidak cukup kuat
menggiring investasi maupun minat calon mahasiswa? Beberapa faktor yang
mungkin dapat menjelaskan fenomena ini antara lain adalah kebijakan yang belum
sepenuhnya pro petani dan pertanian. Memang harus diakui bahwa pemerintah
telah mengalokasikan anggaran untuk pertanian, termasuk pembangunan
infrastruktur yang diperlukan.
Meskipun demikian, harus disadari bahwa pertanian bukan hanya persoalan
ketersediaan lahan dan infrastruktur. Kebijakan atas harga komoditas pertanian
yang lebih menjanjikan untuk perbaikan kehidupan petani, kebijakan subsidi dan
permodalan pertanian, penghapusan impor produk pertanian yang bersaing head-
to-head dengan produk pertanian lokal, kebijakan yang tegas terhadap
kecenderungan alih fungsi lahan, penindakan tegas terhadap penimbunan bahan
pangan, adalah beberapa contoh kebijakan yang harus menjadi perhatian penuh
penentu kebijakan agar pertanian menjadi lahan bisnis yang menarik. Minat
terhadap bidang pertanian, baik dalam konteks usaha maupun pendidikan, diyakini
17
akan meningkat dengan tajam jika ada kebijakan yang menjadikan pertanian
sebagai bisnis yang menarik, seperti halnya bisnis kertas berharga di pasar saham.
Sebenarnya ada jalan keluar untuk membangkitkan sector pertaian
Indonesia, yakni mereka yang akan berkecimpung dalam bidang pertanian, sebagai
mahasiswa maupun pengusaha pertanian, tentu memerlukan jaminan masa depan
pertanian dan pemerintah mesti memberikan dukungannya. Seperti contoh yang
terjadi di Amerika Serikat, booming bisnis pertanian telah memengaruhi juga
pasaran kerja, baik yang terkait dengan pertanian secara langsung maupun industri
lain, misalnya industri perangkat penyimpanan hasil pertanian dan industri
perumahan di daerah-daerah pertanian.
Tantangan yang harus dihadapi di Indonesia untuk membuat pertanian
menjadi ladang investasi dan jaminan masa depan yang menarik memang cukup
berat. Persoalannya cukup kompleks, meskipun banyak di antaranya lebih
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang setengah hati, misalnya kebijakan
impor produk pertanian yang bersaing langsung dengan produk lokal. Sungguh
ironis bahwa sekarang ini lebih mudah untuk menemukan apel Washington, jeruk
dari China, beras dari Vietnam, dan lain-lain di pasar tradisional dibanding dengan
menemukan produk buah eksotis lokal, misalnya sawo.
Tidak ada yang dapat memungkiri peranan pertanian bagi tegaknya suatu
negara. Kemampuan suatu negara untuk mencukupi kebutuhan pangan bagi
warganya merupakan faktor kritis yang menentukan apakah suatu negara dapat
menegakkan kedaulatannya khususnya kedaulatan pangan. Oleh karena itu
menempatkan pertanian dalam posisi yang setara dengan bidang-bidang keilmuan
dan usaha yang lain, keteknikan, kedokteran, manajemen dan lain-lain, menjadi
suatu keharusan. Persoalannya adalah, seperti telah disampaikan di depan, apakah
negara mampu meyakinkan masyarakat bahwa belajar ilmu pertanian, atau
berinvestasi di bidang pertanian, dapat memberikan jaminan masa depan yang
menjanjikan? Meskipun demikian, masyarakat juga perlu membuka kesadaran diri
untuk memberikan penghargaan yang layak bagi petani dan usaha tani dan tidak
menempatkannya dalam posisi yang inferior dibanding dengan bidang lain.
Dari pernyataan di atas, para akademisi dan praktisi pariwisata mencoba
menolong sector pertanian yang nyaris mati suri ini dengan mengembangkan
agrowisata. Jika agrowisata dapat dikembangkan secara masif di Indonesia, maka
jalan untuk mengentaskan masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan tersebut
semakin menemui jalan terang setidaknya pariwisata dapat menjadi penolong bagi
program pengentasan kemiskinan tersebut dan lambat laun sector pertanian dapat
dibangkitkan kembali seperti yang terjadi di Amerika saat ini.
18
3.2. Membangun Citra Pertanian melalui Agrowisata Indonesia
Menurut Pitana (2005), membangun pariwisata adalah membangun sebuah
citra suatu destinasi, harusnya wilayah yang akan dikembangkan menjadi
agrowisata mempunyai citra (image) tertentu, yang akan menjadi “mental maps”
seseorang terhadap suatu destinasi. Citra harus mengandung keyakinan, kesan, dan
persepsi. Citra yang terbentuk di pasar merupakan kombinasi antara berbagai
faktor yang ada pada destinasi yang bersangkutan (seperti cuaca, pemandangan
alam, keamanan, kesehatan dan sanitasi, keramahtamahan, dan lain-lain) di satu
pihak, dan informasi yang diterima oleh calon wisatawan dari berbagai sumber di
pihak lain, atau dari fantasinya sendiri.
Fantasi, walaupun tidak real, sangat penting di dalam mempengaruhi calon
wisatawan (Nurhayati, 1996; Pitana, 2005). Citra sangat penting dalam industri
pariwisata, sehingga Buck, (1993) dan Pitana (2005) menganggap, pariwisata
adalah industri yang berbasiskan citra, karena citra akan mampu membawa calon
wisatawan ke dunia simbol dan makna. Citra agrowisata adalah citra pertanian,
sebuah keharusan penguatan citra pertanian tersebut adalah citra agrowisata yang
akan ditawarkan kepada calon wisatawan. Dinamika sosial yang berhubungan
dengan citra agrowisata sebaiknya juga menjadi perhatian bagi pengelola
agrowisata, apakah citra yang ada tentang agrowisata yang sedang dikelola
meningkat, masih tetap ajeg, atau justru telah mengalami penurunan citra.
Citra harusnya merupakan core product dari agrowisata yang akan
dikembangkan, dan citra dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh cuaca,
pemandangan alam, keamanan, budaya, kesehatan, dan apa saja bentuknya yang
penting citra tersebut menjadi factor penarik dan pendorong wisatawan untuk
datang ke sebuah agrowisata. Sebagai contoh, kabupaten Sleman kuat citranya
tentang salak pondoh maka maka agrowisatanya akan bercitrakan agrowisata salak
pondoh. Contoh lainnya, di kabupaten Malang kuat citranya tentang Apel maka
agrowisata akan menjadi agrowisata apel Malang, begitu seterusnya.
3.3. Membangun Persepsi Wisatawan
Menurut Simamora (2000), terdapat dua sumber persepsi, antara lain,
persepsi langsung dan tidak langsung. Persepsi tidak langsung terbentuk dari media
19
yang dipergunakan oleh produsen dalam memperkenalkan produknya, dapat
berupa suara manusia, kata-kata indah dan angka-angka cetakan di media massa.
Sedangkan persepsi langsung terbentuk dari indera penglihatan,
pendengaran, pembauan, pencicipan, dan perasa. Persepsi langsung dapat
dibedakan menurut sumbernya menjadi tiga, antara lain.
1) Persepsi tentang suatu produk yang diperoleh dari indikator-indikator yang
berhubungan langsung dengan suatu produk. Indikator-indikator tersebut
misalnya, ramainya pengunjung di suatu pusat perbelanjaan, banyaknya produk
yang beredar di masyarakat.
2) Persepsi yang diperoleh setelah melakukan preperensi atau perbandingan
terhadap produk/objek wisata lain yang sejenis, misalnya Kebun Raya Cibodas
Bandung dianggap lebih baik dari pada Kebun Raya Eka Karya Bali.
3) Persepsi yang terbentuk dari pengamatan langsung dan ini paling penting
karena hal ini merupakan latar belakang yang diperoleh seseorang dari
pengamatan sebuah situasi secara langsung.
Dalam konteks pembangunan agrowisata, persepsi harapkan terbentuk
dari pengamatan atas atribut yang dimiliki oleh sebuah agrowisata atau wilayah
secara langsung melalui kelima indera wisatawan, yaitu penglihatan, penciuman,
peraba, perasa, dan pendengaran wisatawan yang berkunjung.
Persepsi wisatawan terhadap atribut objek wisata agro merupakan
pandangan wisatawan berdasarkan atribut-atribut yang ditawarkan oleh suatu
objek wisata agro. Persepsi positif akan mendorong wisatawan untuk mengunjungi
suatu objek wisata agro, sedangkan persepsi negatif akan mendorong wisatawan
untuk tidak mengunjungi suatu objek wisata agro tersebut.
3.4. Motivasi Wisatawan untuk Berwisata
Menurut Sharpley, 1994 dan Wahab, 1975 (dalam Pitana, 2005)
menekankan, motivasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam studi tentang
wisatawan dan pariwisata, karena motivasi merupakan “Trigger” dari proses
perjalanan wisata, walau motivasi ini acapkali tidak disadari secara penuh oleh
wisatawan itu sendiri.
Pada dasarnya seseorang melakukan perjalanan dimotivasi oleh beberapa
hal, motivasi-motivasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok
besar sebagai berikut: (1) Physical or physiological motivation yaitu motivasi yang
bersifat fisik antara lain untuk relaksasi, kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi
dalam kegiatan olahraga, bersantai dan sebagainya. (2) Cultural motivation yaitu
keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi dan kesenian daerah lain.
(3)Social or interpersonal motivation yaitu motivasi yang bersifat sosial, seperti
mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal-hal yang
20
dianggap mendatangkan gengsi (prestice), melakukan ziarah, pelarian dari situasi
yang membosankan dan seterusnya. (4) Fantasy motivation yaitu adanya motivasi
di daerah lain sesorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan
dan yang memberikan kepuasan psikologis (McIntosh, 1977 dan Murphy, 1985;
dalam Pitana, 2005). Pearce, 1998 (dalam Pitana, 2005) berpendapat, wisatawan
dalam melakukan perjalanan wisata termotivasi oleh beberapa faktor yakni:
Kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, prestise, dan aktualiasasi diri.
3.5. Faktor-faktor Pendorong Wisatawan untuk Berwisata
Faktor-faktor pendorong untuk berwisata sangatlah penting untuk
diketahui oleh siapapun yang berkecimpung dalam industri pariwisata termasuk
agrowisata (Pitana, 2005). Dengan adanya faktor pendorong, maka seseorang ingin
melakukan perjalanan wisata, tetapi belum jelas mana daerah yang akan dituju.
Berbagai faktor pendorong seseorang melakukan perjalanan wisata menurut Ryan,
1991 (dalam Pitana, 2005), sebagai berikut:
1) Escape. Ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukan,
atau kejenuhan dari pekerjaan sehari-hari.
2) Relaxation. Keinginan untuk penyegaran, yang juga berhubungan dengan
motivasi untuk escape di atas.
3) Play. Ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan, yang
merupakan kemunculan kembali sifat kekanak-kanakan, dan melepaskan diri
sejenak dari berbagai urusan yang serius.
4) Strengthening family bond. Ingin mempererat hubungan kekerabatan,
khususnya dalam konteks (visiting, friends and relatives). Biasanya wisata ini
dilakukan bersama-sama (group tour)
5) Prestige. Ingin menunjukkan gengsi, dengan mengunjungi destinasi yang
menunjukkan kelas dan gaya hidup, yang juga merupakan dorongan untuk
meningkatkan status atau social standing.
6) Social interaction. Untuk melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat,
atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.
7) Romance. Keinginan bertemu dengan orang-orang yang bisa memberikan
suasana romantis atau untuk memenuhi kebutuhan seksual.
8) Educational opportunity. Keinginan melihat suatu yang baru, memperlajari
orang lain dan/atau daerah lain atau mengetahui kebudayaan etnis lain. Ini
merupakan pendorong dominan dalam pariwisata.
9) Self-fulfilment. Keinginan menemukan diri sendiri, karena diri sendiri biasanya
bisa ditemukan pada saat kita menemukan daerah atau orang yang baru.
21
10) Wish-fulfilment. Keinginan merealisasikan mimpi-mimpi, yang lama dicita-
citakan, sampai mengorbankan diri dalam bentuk penghematan, agar bisa
melakukan perjalanan. Hal ini juga sangat jelas dalam perjalanan wisata religius,
sebagai bagian dari keinginan atau dorongan yang kuat dari dalam diri.
3.6. Faktor-faktor Penarik (Daya Tarik Objek Wisata)
Menurut Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) terdapat 11 faktor yang
menjadi faktor penarik, yaitu: (1) location climate, (2) national promotion, (3) retail
advertising, (4) wholesale, (5) special events, (6) incentive schemes, (7) visiting
friends, (8) visiting relations, (9) tourist attractions, (10) culture, dan (11) natural
environment and man-made environment.
Dalam kaitannya dengan faktor-faktor yang menentukan wisatawan untuk
membeli atau mengunjungi objek wisata. Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005),
menyatakan ada lima faktor yang menentukan seseorang untuk membeli jasa atau
mengunjungi objek wisata, yaitu: (1) lokasi, (2) fasilitas, (3) citra atau image, (4)
harga atau tarif, dan (5) pelayanan.
Membangun agrowisata tidak cukup hanya mengembangkan sector
pertanian saja namun harus juga mampu membawa sector pertanian tersebut
menjadi kemasan produk yang memiliki citra yang kuat. Citra yang kuat tentang
wilayah agrowisata harus dapat dikomunikasikan kepada calon wisatawan sehingga
citra tersebut dapat menjadi factor penarik dan pendorong yang akan disesuaikan
dengan motivasi masing-masing wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata.
22
BAB IV
DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PERTANIAN
Dalam kurun waktu yang sangat panjang perhatian pembangunan peranian
terfokus kepada peningkatan produksi, terutama kepada peningkatan produksi
tanaman pangan khususnya padi dan komoditi perdagangan tradisional. Upaya
pemenuhan pangan melalui swasembada pangan telah menyita perhatian dan
dana yang cukup besar. Kondisi tersebut menyebabkan pembangunan pertanian
belum optimal sesuai dengan potensinya (Deptan, 2005)
Kelemahan yang terjadi selama ini menyebabkan adanya citra yang kurang
menguntungkan dalam pembangunan pertanian, antara lain: (a) secara sadar
ataupun tidak sadar, pembangunan pertanian diidentikkan dengan kegiatan
peningkatan produksi semata; (b) dengan pandangan tersebut, pembangunan
pertanian juga seakan terlepas dengan pembangunan sektor-sektor lainnya dan
terlepas sebagai bagian dari pembangunan wilayah; dan (c) perhatian yang besar
hanya kepada komoditas tertentu menyebabkan banyak bidang usaha pertanian
lain kurang tergarap (Deptan, 2005)
Pada bagian lain semakin kuatnya norma liberalisasi perdagangan
menyebabkan pasar domestik semakin terintegrasi dengan pasar internasional dan
memaksa setiap negara termasuk Indonesia membuka segala rintangan dan
menghapus segala bentuk proteksi. Ini berarti usaha dan produk pertanian
domestik dipaksa untuk bersaing langsung dengan usaha dan produk global. kondisi
ini merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pembangunan sektor pertanian
kedepan (Deptan, 2005)
Implikasi dan liberalisasi perdagangan ini mengharuskan Indonesia untuk
mampu mempercepat peningkatan daya saing produknya agar dapat merebut
pasar. Dalam peningkatan akses pasar tersebut dua pendekatan dapat dilakukan
secara simultan, yaitu : (a) diversifikasi dan peningkatan kualitas sesuai dengan
persyaratan yang diminta konsumen dan pasar global; dan (b) pengembangan
pasar atas produk spesifik lokalita yang bersifat unik. Salah satu bidang usaha
dalam penciptaan pasar yang didasarkan kepada konsep uniqueness adalah usaha
wisata agro. Sesuai dengan potensinya bidang usaha ini belum tergarap secara baik
dan dinilai prospektif sebagai salah satu sumber pertumbuhan baru sektor
pertanian (Deptan, 2005)
23
“dalam pandangan pertanian, agrowisata berperan sebagai
usaha diversifikasi dan peningkatan kualitas yang bersifat
unik”
Belajar dari kelemahan dan pelaksanaan pembangunan masa lalu
pembangunan pertanian saat ini dan kedepan dilakukan melalui pendekatan
pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pembangunan sistem agribisnis dapat
diartikan sebagai cara pandang baru dari pembangunan pertanian dengan
menekankan kepada tiga hal: (1) melalui pembangunan agribisnis dengan
pendekatan pembangunan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan
yang berdasarkan bisnis atau orientasi kepada bisnis sehingga pengembangan
usaha bisnis dapat berdaya saing dan berkelanjutan menjadi dasar pertimbangan
utama; (2) dalam pembangunan agribisnis pembangunan pertanian bukan semata
pembangunan sektoral namun juga terkait dengan lintas sektoral karena
pembangunan pertanian sangat terkait dan ditentukan oleh agroindustri hilir,
agroindusri hulu dan lembaga jasa penunjang; (3) pembangunan pertanian bukan
sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas, melainkan sangat terkait
dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan yang berkaitan erat dengan
upaya-upaya peningkatan pendapatan masyarakat pertanian (Deptan, 2005)
”Pencitraan baru tentang pertanian adalah penerapan model
agribisnis, agrowisata merupakan salah satu usaha agribisnis”
Pembangunan pertanian dalam kerangka sistem agribisnis merupakan suatu
rangkaian dan keterkaitan dari: (1) sub agribisnis hulu (upstream agribusiness) yaitu
seluruh kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi bagi pertanian
primer (usahatani); (2) sub agribisnis usahatani (onfarm agribusiness) atau
pertanian primer, yaitu kegiatan yang menggunakan sarana produksi dan sub
agribisnis hulu untuk menghasilkan komoditas pertanian primer. Sub ini di
Indonesia disebut pertanian; (3) sub agribisnis hilir (down-stream agribusiness)
yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi
produk olahan baik bentuk produk antara (intermediate product) maupun bentuk
produk akhir (finished product); dan (4) sub sasa penunjang yaitu kegiatan yang
menyediakan jasa bagi ketiga sub agribisnis di atas (Deptan, 2005)
Konsep pembangunan agribisnis tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan
dalam pengembangan wisata agro. Wisata agro merupakan salah satu usaha bisnis
dibidang pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada konsumen.
Bentuk jasa tersebut dapat berupa keindahan, kenyamanan, ketentraman dan
pendidikan. Pengembangan usaha wisata agro membutuhkan manajemen yang
24
prima diantara sub sistem, yaitu antara ketersediaan sarana dan prasarana sarana
wisata, objek yang dijual promosi dan pelayanannya (Deptan, 2005)
”agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang
pertanian dengan menekankan kepada penjualan jasa kepada
konsumen”
Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kekayaan alam dan hayati yang
sangat beragam yang, jika dikelola dengan tepat, kekayaan tersebut mampu
diandalkan menjadi andalan perekonomian nasional. Kondisi agroklimat di wilayah
Indonesia sangat sesuai untuk pengembangan komoditas tropis dan sebagian sub
tropis pada ketinggian antara nol sampai ribuan meter di atas permukaan laut.
Komoditas pertanian (mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
kehutanan, peternakan dan perikanan) dengan keragaman dan keunikannya yang
bernilai tinggi serta diperkuat oleh kekayaan kultural yang sangat beragam
mempunyai daya tarik kuat sebagai wisata agro atau ekowisata yang berbasiskan
pertanian. Keseluruhannya sangat berpeluang besar menjadi andalan dalam
perekonomian Indonesia (Deptan, 2005)
Preferensi dan motivasi wisatawan berkembang secara dinamis.
Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek
spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk
secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik
menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal
tingginya permintaan akan wisata agro dan sekaligus membuka peluang bagi
pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun
produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik (Deptan, 2005)
Sumber: online
”produk-produk agribisnis dapat berbentuk kawasan
ataupun produk pertanian yang mempunyai daya tarik
spesifik”
Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan
hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga
merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas,
mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai
kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam (Deptan, 2005)
25
Objek wisata agro tidak hanya terbatas kepada objek dengan skala hamparan
yang luas seperti yang dimiliki oleh areal perkebunan, tetapi juga skala kecil yang
karena keunikannya dapat menjadi objek wisata yang menarik. Dengan datangnya
wisatawan mendatangi objek wisata juga terbuka peluang pasar tidak hanya bagi
produk dan objek wisata agro yang bersangkutan, namun pasar dan segala
kebutuhan masyarakat.
”agrowisata dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan
baru daerah, sektor pertanian dan ekonomi nasional”
Dengan demikian melalui wisata agro bukan semata merupakan usaha atau
bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi pemenuhan konsumen akan
pemandangan yang indah dan udara yang segar, namun juga dapat berperan
sebagai media promosi produk pertanian, menjadi media pendidikan masyarakat,
memberikan signal bagi peluang pengembangan diversifikasi produk agribisnis dan
berarti pula dapat menjadi kawasan pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian
maka wisata agro dapat menjadi salah satu sumber pertumbuhan baru daerah,
sektor pertanian dan ekonomi nasional (Deptan, 2005)
26
BAB V
DEFINISI AGROWISATA DARI PERSPEKTIF PARIWISATA
Agrowisata adalah pariwisata pro pertanian
The philosophy of agrotourism is inspired to improve the farmers’ earnings
and the quality of rural society lives which then expectedly represents
opportunity to educate the societies on agriculture and ecosystems.
Filosopi agrowisata adalah meningkatkan pendapatan kaum tani, dan
meningkatkan kualitas alam pedesanaan menjadi hunian yang benar-benar dapat
diharapkan sebagai hunian yang berkualitas, memberikan kesempatan masyarakat
untuk belajar kehidupan pertanian yang menguntungkan dan ekosistemnya.
“Agrowisata memberikan kesempatan kaum tani meningkatkan kualitas
hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian yang mereka
miliki”
Rilla, et al (1999) memiliki pendapat yang hampir sama tentang
agrowisata, dimana pembangunan pariwisata mestinya dapat menjadi peluang bagi
petani lokal untuk meningkatkan pendapatannya untuk mempertahankan hidup
keluarganya. Pendapat Lobo et al dapat dijabarkan sebagai berikut: agrowisata
mendidik masyarakat belajar tentang pertanian untuk meningkatkan
pendapatannya, agrowisata dapat mengurangi urbanisasi karena dengan adanya
agrowisata di pedesaan, kaum muda tidak perlu pergi ke kota untuk bekerja,
agrowisata juga dapat menjadi media mempromosikan produk lokal ke ranah
internasional.
Rilla (1999) describes more clearly the reasons of developing agrotourism as
such; (1) it educates for the purpose of keeping the relationship among lokal
societies, interest sectors, and visitors. (2) it improves the health and
freshness of visitors, (3) relaxation, (4) adventure, (5) natural food or food
organic, (6) unique experiences, (7) cheap tourism.
Sementara agrowisata bagi wisatawan adalah mendidikan wisatawan untuk
memahami kehidupan nyata tentang pertanian dan memberikan pemahaman
kepada wisatawan bahwa kehidupan bertani adalah pekerjaan yang amat mulia
27
karena kehidupan manusia lainnya sangat tergantung pada pertanian. Keuntungan
lain bagi wisatawan adalah mereka dapat meningmati alam yang sehat dan alamiah
bebas dari polusi kota, mendapatkan produk pertanian yang benar-benar segar dan
bahkan organic atau green product, agrowisata memberikan pengalaman
perjalanan wisata yang unik, agrowisata adalah perjalan wisata yang relatif murah
jika dibandingkan dengan wisata lainnya.
”Agrowisata adalah tuntutan akan pariwisata yang pro lingkungan, go
green, dan bertanggung jawab”
Menurut Sudibya (2002) mengatakan, pariwisata international pada saat ini
telah mengalami pergeseran yang cenderung mengarah pada pariwisata
ecotourism yang berwawasan lingkungan, konservasi alam dengan pemanfaatan
alam dan lingkungan secara bertanggung jawab. Ecotourism dan wisata agro
diyakini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, meningkatkan gairah
untuk meningkatkan usaha kecil seperti kerajinan rumah tangga, pertanian, dan
bidang usaha lainnya karena wisatawan ecotourism adalah wisatawan yang
bersentuhan langsung dengan penduduk lokal dimana objek tersebut
dikembangkan
“Menurut perspektif industri pariwisata, agrowisata adalah bagian dari
wisata alam yang memiliki etika perencanaan dan filosofis pro pertanian”
Perencanaan kepariwisataan alam di suatu daerah, pada umumnya
didasarkan pada pola perencanaan regional dan kawasan. Oleh karena
pembangunan kepariwisataan alam sangat erat kaitannya dengan upaya
mengkonservasi lingkungan, maka konsep dan prinsip pembangunan berwawasan
lingkungan harus menjadi pertimbangan utama (Nuryanti, 2001)
Syamsu, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang penerapan etika
perencanaan kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Sleman Yogyakarta. Dalam
penelitian tersebut, dirumuskan perencanaan pengembangan suatu kawasan
pariwisata yang sebaiknya mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan,
keunikan, pelibatan tenaga kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan
pemerataan. Jika etika perencanaan dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan
peranan suatu objek wisata akan terasa bagi masyarakat lokal. Dijelaskan pula,
penataan kawasan wisata mutlak harus dilakukan agar keberadaannya dapat
dikunjungi terus oleh wisatawan. Kawasan dan objek wisata yang tertata baik akan
memberikan nilai-nilai estetika, kenyamanan, kepuasan dan kesan “image” yang
mendalam bagi wisatawan dalam melakukan aktivitas wisata.
28
Sedangkan Sujana (2002) dalam penelitiannya tentang perumusan strategi
pengelolaan objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, menyarankan agar pihak
pengelola kebun raya Eka Karya melakukan strategi diversifikasi yang diarahkan
untuk (1) Menata kembali kawasan ini, berupa: Penataan lokasi kemah wisata,
pembuatan jalan turun tebing, pendirian tempat berkemah, pengembangan daya
guna flora dan fauna, pembudidayaan tanaman air, arena bermain anak-anak,
memperkaya koleksi tanamanan, membuat katalog tanaman, dukungan
masyarakat sekitar berupa penjualan souvenir. (2) Melakukan budidaya flora dan
fauna berupa pengembangan produk yang dilakukan oleh seksi koleksi berupa:
budidaya flora tanaman air sehingga diharapkan dapat memberikan daya tarik lebih
agar wisatawan tidak beralih ke objek lainnya. Budidaya fauna khususnya binatang
atau burung-burung yang telah ada, jenis serangga tertentu, dan juga binatang
kera. (3) Menambah koleksi tanaman khas Bali agar keunikannya semakin nampak
berupa penambahan tanaman umbi-umbian (bumbu), tanaman obat, tanaman
panca yadnya pada areal khusus. (4) Menciptakan bentuk katalog baru, pembuatan
taman supaya memberikan daya tarik unsur ilmiah, dengan nama latin serta bingkai
ukiran Bali. (5) Mempererat hubungan dan kerjasama dengan kelompok seni gong
sebagai bentuk tanggungjawab sosial dengan masyarakat lokal di daerah tujuan
wisata yakni masyarakat Candikuning. (6) Melakukan kegiatan usaha tambahan
seperti: membuat cinderamata khas Kebun Raya Eka Karya, baju kaos bergambar
wisatawan dengan latar Kebun Raya Eka Karya, mendirikan kios makanan dan
minuman, lapangan tenis dirawat lebih baik, penataan kembali gedung pertemuan,
memperbanyak brosur sebagai media promosi.
“Agrowisata yang beretika adalah memiliki kelangkaan, alamiah, unik, dan
melibatkan petani setempat”
Pada prinsipnya, kedua hasil penelitian di atas baik Syamsu dan Sujana
berpegang pada prinsip yang sama yakni, pengembangan objek wisata yang
mempertimbangkan faktor kelangkaan, kealamiahan, keunikan, pelibatan tenaga
kerja lokal, pertimbangan keadilan pendapatan dan pemerataan sehingga dapat
menguntungkan semua pihak yang terlibat.
“agrowisata adalah pemanfaatan alam sebagai atraksi wisata”
29
Pada hakekatnya setiap ekosistem dengan segala isinya (sumber daya alam
fisik dan hayatinya) merupakan atraksi wisata yang dapat dikembangkan untuk
objek wisata alam. Semakin beragam kegiatan wisata alam semakin banyak pula
membutuhkan atraksi (Fandeli, 2001). Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan
penelitian tentang potensi dan peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung
Salak Endah, menemukan beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai
atraksi objek wisata ecotourism. Potensi tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet,
areal perkemahan, lahan pertanian sebagai objek wisata agro, kolam air deras,
arena pancing (perikanan darat), peternakan lebah, peternakan kuda, wisata
perhutanan dan perkebunan, dan wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.
Sedangkan Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial
dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan
berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali
Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau
Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai
agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai
tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa
dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan
pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran
serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan
pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan
pendidikan. Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi,
terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan
restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik
untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida
potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging
yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar
untuk dikembangkan menjadi ecotourism.
Lebih lanjut Sudibya (2002) menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi
wisata yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung
jeram (whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman
reptil, taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).
30
BAB VI
DEFINISI AGROWISATA DARI BERBAGAI PERSPEKTIF
“In simple terms, agritourism is the crossroads of tourism and agriculture:
when the public visits farms, ranches or wineries to buy products, enjoy
entertainment, participate in activities, eat a meal or spend the night”
(www.farmstop.com)
Dalam istilah sederhana, agritourism didefinisakan sebagai perpaduan
antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun,
peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan,
mengambil bagian aktivitas, makan suatu makanan atau melewatkan malam
bersama di suatu areal perkebunan atau taman (www.farmstop.com)
“Agricultural tourism, or agri-tourism, is one alternative for improving the
incomes and potential economic viability of small farms and rural
communities” (www.sfc.ucdavis.edu)
Sementara definisi lain mengatakan, agritourism adalah sebuah alternatif
untuk meningkatkan pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi
ekonomi petani kecil dan masyarakat pedesaan (www.farmstop.com)
Di Indonesia, Agrowisata atau agroturisme didefinisikan sebagai sebuah
bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai
objek wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi
dan hubungan usaha di bidang pertanian.
Berikut Definisi dan makna yang berhubungan dengan agrowisata menurut Ramiro
Lobo, Farm Advisor UC Cooperative Extension, San Diego County (2007).
“Agricultural Tourism: Refers to the act of visiting a working farm or any
agricultural, horticultural or agribusiness operation for the purpose of
enjoyment, education, or active involvement in the activities of the farm or
operation”
Agrowisata yakni kegiatan atau wisata yang mengacu pada kegiatan
melakukan perkunjungan kepada petani yang sedang bekerja di lahan pertanian
31
mereka artinya wisatawan mungkin akan melihat-lihat proses pembibitan,
penanaman, pemanenan, bahkan kegiatan pengolahan produk pertanian menjadi
produk olahan dalam konteks kegiatan agribisnis.
“Community Supported Agriculture (CSA): Partnership between consumers
and farmers in which consumers pay for farm products in advance and
farmers commit to supplying sufficient quantity, quality and variety of
products. This type of arrangement can be initiated by the farmer (farmer
directed) or by a group of consumers (participatory)”
Agrowisata adalah jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani dari sisi
penawaran para petani siap dengan produk mereka dan para wisatawan
mengharapkan suguhan produk yang ditawarkan oleh wisatawan. Proses terjadinya
produksi agrowisata adalah ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan
antara penawaran dan permintaan.
“Direct Marketing: Any marketing method whereby farmers sell their
products directly to consumers. Examples include roadside stands, farm
stands, U-pick operations, community supported agriculture or subscription
farming, farmers' markets, etc”.
Agrowisata merupakan pemasaran langsung produk pertanian karena para
petani dapat menjual secara langsung hasil pertaniannya tanpa melalui saluran
distribusi. Petani bias mebuat stand hasil pertaniannya di sepanjang jalur yang
dilintasi oleh para wisatawan. Wilayah agrowisata dapat secara otomatis perfungsi
sebagai pasar yang mempertemukan antara para petani sebagai penghasil produk
pertanian dengan para wisatawan sebagai penikmat produk. Produk yang dimaksud
tidak sebatas yang berwujud seperti buah-buahan atau sayur-sayuran, tetapi dapat
berupa jasa misalnya mengukir buah, jasa lokal guide, dan mungkin atraksi tari-
tarian para petani lokal yang mengekpresikan kehidupan bertanian mereka.
Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha
pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas
pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam
memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil
melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal
(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan
alaminya (http://database.deptan.go.id)
32
Sutjipta (2001) mendefinisikan, agrowisata adalah sebuah sistem kegiatan
yang terpadu dan terkoordinasi untuk pengembangan pariwisata sekaligus
pertanian, dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan, peningkatan
kesajahteraan masyarakat petani.
Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism),
yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam
dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau
tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan (Deptan,
2005)
Antara ecotourism dan agritourism berpegang pada prinsif yang sama. Prinsif-
prinsif tersebut, menurut Wood, 2000 (dalam Pitana, 2002) adalah sebagai berikut:
a) Menekankan serendah-rendahnya dampak negatif terhadap alam dan
kebudayaan yang dapat merusak daerah tujuan wisata.
b) Memberikan pembelajaran kepada wisatawan mengenai pentingnya suatu
pelestarian.
c) Menekankan pentingnya bisnis yang bertanggung jawab yang bekerjasama
dengan unsur pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
penduduk lokal dan memberikan manfaat pada usaha pelestarian.
d) Mengarahkan keuntungan ekonomi secara langsung untuk tujuan pelestarian,
menejemen sumberdaya alam dan kawasan yang dilindungi.
e) Memberi penekanan pada kebutuhan zone pariwisata regional dan penataan
serta pengelolaan tanam-tanaman untuk tujuan wisata di kawasan-kawasan
yang ditetapkan untuk tujuan wisata tersebut.
f) Memberikan penekanan pada kegunaan studi-studi berbasiskan lingkungan dan
sosial, dan program-program jangka panjang, untuk mengevaluasi dan menekan
serendah-rendahnya dampak pariwisata terhadap lingkungan.
g) Mendorong usaha peningkatan manfaat ekonomi untuk negara, pebisnis, dan
masyarakat lokal, terutama penduduk yang tinggal di wilayah sekitar kawasan
yang dilindungi.
h) Berusaha untuk meyakinkan bahwa perkembangan pariwisata tidak melampui
batas-batas sosial dan lingkungan yang dapat diterima seperti yang ditetapkan
para peneliti yang telah bekerjasama dengan penduduk lokal.
i) Mempercayakan pemanfaatan sumber energi, melindungi tumbuh-tumbuhan
dan binatang liar, dan menyesuaikannya dengan lingkungan alam dan budaya.
“People want an experience that's completely different from their daily lives.
They want an escape from the stress of traffic jams, cell phones, office cubicles
and carpooling! Parents want their children to know how food is grown or that
milk actually comes from a cow (not the supermarket shelf!)”
(www.farmstop.com)
33
Di beberapa negara, agritourism bertumbuh sangat pesat dan menjadi
alternatif terbaik bagi wisatawan, hal ini disebabkan, agritourism akan membawa
seseorang mendapatkan pengalaman yang benar-benar berbeda dari rutinitas
kesehariannya. Mereka ingin keluar dari kejenuhan, tekanan kemacetan lalulintas,
telepon selular, suasana kantor dan hiruk pikuk keramaian. Orang tua ingin anak-
anak mereka dapat mengetahui dari mana sebenarnya makanan itu berasal atau
mengenalkan bahwa susu itu dari seekor sapi bukan rak supermarket
(www.farmstop.com)
Pada era ini, manusia di bumi hidupnya dipenuhi dengan kejenuhan,
rutinitas dan segudang kesibukan. Untuk kedepan, prospek pengembangan
agrowisata diperkirakan sangat cerah. Pengembangan agrowisata dapat diarahkan
dalam bentuk ruangan tertutup (seperti museum), ruangan terbuka (taman atau
lansekap), atau kombinasi antara keduanya. Tampilan agrowisata ruangan tertutup
dapat berupa koleksi alat-alat pertanian yang khas dan bernilai sejarah atau naskah
dan visualisasi sejarah penggunaan lahan maupun proses pengolahan hasil
pertanian. Agrowisata ruangan terbuka dapat berupa penataan lahan yang khas
dan sesuai dengan kapabilitas dan tipologi lahan untuk mendukung suatu sistem
usahatani yang efektif dan berkelanjutan.
Komponen utama pengembangan agrowisata ruangan terbuka dapat
berupa flora dan fauna yang dibudidayakan maupun liar, teknologi budi daya dan
pascapanen komoditas pertanian yang khas dan bernilai sejarah, atraksi budaya
pertanian setempat, dan pemandangan alam berlatar belakang pertanian dengan
kenyamanan yang dapat dirasakan. Agrowisata ruangan terbuka dapat dilakukan
dalam dua versi/pola, yaitu alami dan buatan (http://database.deptan.go.id)
Selanjutnya agrowisata ruangan terbuka dapat dikembangkan dalam dua
versi atau pola, yaitu alami dan buatan, yang dapat dirinci sebagai berikut:
Agrowisata Ruang Terbuka Alami
Objek agrowisata ruangan terbuka alami ini berada pada areal di mana kegiatan
tersebut dilakukan langsung oleh masyarakat petani setempat sesuai dengan
kehidupan keseharian mereka. Masyarakat melakukan kegiatannya sesuai
dengan apa yang biasa mereka lakukan tanpa ada pengaturan dari pihak lain.
Untuk memberikan tambahan kenikmatan kepada wisatawan, atraksi-atraksi
spesifik yang dilakukan oleh masyarakat dapat lebih ditonjolkan, namun tetap
menjaga nilai estetika alaminya. Sementara fasilitas pendukung untuk
kenyamanan wisatawan tetap disediakan sejauh tidak bertentangan dengan
budaya dan estetika asli yang ada, seperti sarana transportasi, tempat
34
berteduh, sanitasi, dan keamanan dari binatang buas. Contoh agrowisata
terbuka alami adalah kawasan Suku Baduy di Pandeglang dan Suku Naga di
Tasikmalaya, Jawa Barat; Suku Tengger di Jawa Timur; Bali dengan teknologi
subaknya; dan Papua dengan berbagai pola atraksi pengelolaan lahan untuk
budi daya umbi-umbian.
Agrowisata Ruang Terbuka Buatan
Kawasan agrowisata ruang terbuka buatan ini dapat didesain pada kawasan-
kawasan yang spesifik, namun belum dikuasai atau disentuh oleh masyarakat
adat. Tata ruang peruntukan lahan diatur sesuai dengan daya dukungnya dan
komoditas pertanian yang dikembangkan memiliki nilai jual untuk wisatawan.
Demikian pula teknologi yang diterapkan diambil dari budaya masyarakat lokal
yang ada, diramu sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk atraksi
agrowisata yang menarik. Fasilitas pendukung untuk akomodasi wisatawan
dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern, namun tidak
mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada. Kegiatan wisata ini dapat
dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap
dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan.
35
BAB VII
PENAWARAN DAN PERMINTAAN AGROWISATA
Dalam konteks produk pariwisata, agrowisata merupakan salah satu aspek
produk yang berupa daya tarik wisata dan harus dapat disatukan dengan aspek
produk yang lainnya secara harmonis untuk mewujudkan kepuasan wisatawan.
Kepuasan wisatawan adalah ukuran terakhir untuk mengukur kualitas dari produk
pariwisata.
“Agrowisata adalah bagian dari totalitas produk pariwisata yang
terkemas pada atraksi wisata dalam penawaran pariwisata”
Aspek Penawaran Pariwisata
Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto 2005), ada empat aspek (4A) yang
harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata. Aspek-aspek tersebut adalah
sebagai berikut.
a) Attraction (daya tarik); daerah tujuan wisata untuk menarik wisatawan pasti
memiliki daya tarik, baik daya tarik berupa alam maupun masyarakat dan
budayanya. Agrowisata yang ditawarkan harus memiliki daya tarik yang benar-
benar mimiliki daya pikat bagi calon wisatawan untuk berkunjung.
b) Accesable (transportasi); accesable dimaksudkan agar wisatawan domestik dan
mancanegara dapat dengan mudah dalam pencapaian tujuan ke tempat wisata.
Daya pikat agrowisata harus didukung oleh akses ke objek agro tersebut
minimal dapat dijangkau oleh mobil minibus, untuk memastikan sebuah objek
layak untuk dikunjungi.
c) Amenities (fasilitas); amenities memang menjadi salah satu syarat daerah
tujuan wisata agar wisatawan dapat dengan kerasan tinggal lebih lama. Fasilitas
makan dan minuman mutlak harus ada, jika perlu makanan atau culinary lokal
mungkin menjadi suguhan yang memberikan pengalaman lebih bagi
wisatawan.
d) Ancillary (kelembagaan); adanya lembaga pariwisata wisatawan akan semakin
sering mengunjungi dan mencari objek apabila di daerah tersebut wisatawan
dapat merasakan keamanan, (protection of tourism) dan terlindungi. Tour
leader dan travel agent yang baik adalah syarat minimal untuk menciptakan
kepuasan wisatawan.
Selanjutnya Smith, 1988 (dalam Pitana, 2005) mengklasifikasikan berbagai
barang dan jasa yang harus disediakan oleh DTW menjadi enam kelompok besar,
36
yaitu: (1)Transportation, (2)Travel services, (3)Accommodation, (4)Food services,
(5)Activities and attractions (recreation culture/entertainment), dan (6) Retail
goods.
Inti dari kedua pernyataan di atas adalah, aspek penawaran harus dapat
menjelaskan apa yang akan ditawarkan, atraksinya apa saja, jenis transportasi
`yang dapat digunakan apa saja, fasilitas apa saja yang tersedia di objek agro
tersebut, siapa saja yang bisa dihubungi sebagai perantara pembelian paket wisata
yang akan dibeli.
Aspek Permintaan Pariwisata
Menurut Medlik, 1980 (dalam Ariyanto, 2005), faktor-faktor utama dan faktor
lain yang mempengaruhi permintaan pariwisata dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Harga; harga yang tinggi pada suatu daerah tujuan wisata akan memberikan
imbas atau timbal balik pada wisatawan yang akan bepergian, sehingga
permintaan wisatapun akan berkurang begitu pula sebaliknya. Survey harga
mutlak harus dilakukan oleh para pengelola objek agrowisata dengan
membandingkan dengan harga-harga yang ada pada objek sejenis, seperti
melirik harga-harga di Vietnam, Filifina, atau Thailand.
b) Pendapatan; apabila pendapatan suatu negara tinggi, kecendrungan untuk
memilih daerah tujuan wisata sebagai tempat berlibur akan semakin tinggi
dan bisa jadi calon wisatawan membuat sebuah usaha pada Daerah Tujuan
Wisata jika dianggap menguntungkan.
c) Sosial Budaya; dengan adanya sosial budaya yang unik dan bercirikan atau
berbeda dari apa yang ada di negara calon wisata berasal maka,
peningkatan permintaan terhadap wisata akan tinggi hal ini akan membuat
sebuah keingintahuan dan penggalian pengetahuan sebagai khasanah
kekayaan pola pikir budaya wisatawan. Secara historis, Indonesia lebih
dikenal sebagai penghasil rempah-rempah, tembakau, karet, kelapa sawit,
kopi, dan kayu hutan. Dengan melirik ke mana tujuan export produk
tersebut? Maka dapat diperkirakan negara tersebutlah menjadi sasaran
pemasaran agrowisata Indonesia.
d) Sospol (Sosial Politik); dampak sosial politik belum terlihat apabila keadaan
Daerah Tujuan Wisata dalam situasi aman dan tenteram, tetapi apabila hal
tersebut berseberangan dengan kenyataan, maka sospol akan sangat terasa
dampak dan pengaruhnya dalam terjadinya permintaan.
e) Intensitas keluarga; banyak atau sedikitnya keluarga juga berperan serta
dalam permintaan wisata hal ini dapat diratifikasi, jumlah keluarga yang
banyak maka keinginan untuk berlibur dari salah satu keluarga tersebut
akan semakin besar, hal ini dapat dilihat dari kepentingan wisata itu sendiri.
37
f) Harga barang substitusi; disamping kelima aspek di atas, harga barang
pengganti juga termasuk dalam aspek permintaan, dimana barang-barang
pengganti dimisalkan sebagai pengganti DTW yang dijadikan cadangan
dalam berwisata seperti: Bali sebagai tujuan wisata utama di Indonesia,
akibat suatu dan lain hal Bali tidak dapat memberikan kemampuan dalam
memenuhi syarat-syarat Daerah Tujuan Wisata sehingga secara tidak
langsung wisatawan akan mengubah tujuannya ke daerah terdekat seperti
Malaysia dan Singapura.
g) Harga barang komplementer; merupakan sebuah barang yang saling
membantu atau dengan kata lain barang komplementer adalah barang yang
saling melengkapi, dimana apabila dikaitkan dengan pariwisata barang
komplementer ini sebagai objek wisata yang saling melengkapi dengan
objek wisata lainnya.
“Harga, pendapatan wisatawan, sosial budaya, kondisi politik,
kondisi keluarga, produk pengganti, dan produk pelengkap adalah
factor pendorong atau pelemah terhadap permintaan”
Sedangkan Jackson, 1989 (dalam Pitana, 2005) melihat bahwa faktor penting yang
menentukan permintaan pariwisata berasal dari komponen daerah asal wisatawan
antara lain, jumlah penduduk (population size), kemampuan finansial masyarakat
(financial means), waktu senggang yang dimiliki (leisure time), sistem transportasi,
dan sistem pemasaran pariwisata yang ada.
38
BAB VIII
KONDISI AGROWISATA DI INDONESIA
Agritourism bermula dari ecotourism. Ecotourism adalah yang paling cepat
bertumbuh diantara model pengembangan pariwisata yang lainnya di seluruh
dunia, dan memperoleh sambutan yang sangat serius. Ecotourism dikembangkan
di negara berkembang sebagai sebuah model pengembangan yang potensial untuk
memelihara sumber daya alam dan mendukung proses perbaikan ekonomi
masyarakat lokal. Ecotourism dapat menyediakan alternatif perbaikan ekonomi ke
aktivitas pengelolaan sumber daya, dan untuk memperoleh pendapatan bagi
masyarakat lokal ( U.S. Konggres OTA 1992).
At the moment, agrotourism has successfully developed in many countries,
for instance Switzerland, New Zeeland, France, Netherlands, Australia, and
Austria (Rilla 1999).
Agritourism telah berhasil dikembangkan di Switzerland, Selandia Baru,
Australia, dan Austria. Sedangkan di USA baru tahap permulaan, dan baru
dikembangkan di California. Beberapa Keluarga petani sedang merasakan bahwa
mereka dapat menambah pendapatan mereka dengan menawarkan pemondokan
bermalam, menerima manfaat dari kunjungan wisatawan, (Rilla 1999).
Pengembangan agritourism merupakan kombinasi antara pertanian dan dunia
wisata untuk liburan di desa. Atraksi dari agritourism adalah pengalaman bertani
dan menikmati produk kebun bersama dengan jasa yang disediakan.
Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha
pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas
pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.
Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam
memanfaatkan lahan, kita bisa meningkatkan pendapatan petani sambil
melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal
(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan
alaminya.
Potensi objek wisata dapat dibedakan menjadi objek wisata alami dan
buatan manusia. Objek wisata alami dapat berupa kondisi iklim (udara bersih dan
sejuk, suhu dan sinar matahari yang nyaman, kesunyian), pemandangan alam
(panorama pegunungan yang indah, air terjun, danau dan sungai yang khas), dan
sumber air kesehatan (air mineral, air panas). Objek wisata buatan manusia dapat
berupa falitas atau prasarana, peninggalan sejarah dan budidaya, pola hidup
masyarakat dan taman-taman untuk rekreasi atau olah raga.
39
Objek agrowisata yang telah berkembang dan tercatat dalam basis data
Direktorat Jenderal Pariwisata 1994/1995 terdapat delapan propinsi yaitu
Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah dan DIY, Jawa Timur, NTB,
Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat. Objek agrowisata umumnya masih
berupa hamparan suatu areal usaha pertanian dari perusahaan-perusahaan besar
yang dikelola secara modern Barat dengan orientasi objek keindahan alam dan
belum menonjolkan atraksi keunikan dari aktivitas lokal masyarakat. Diantara objek
agrowisatawisata tersebut seperti berikut:
Foto Kebun Raya Bogor
Sumber: http://indodesigntour.com
a) Kebun Raya Bogor
Kebun Raya Bogor didirikan 18 Mei 1817 yang semula bernama Islands
Plantentuin te Buitenzorg. Pengelolaannya kini di bawah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indoneia (LIPI) yang menitikberatkan pada bidang pendidikan dan
penelitian daripada untuk rekreasi. Kebun Raya Bogor dengan luas 87 hektare
berfungsi untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan secara ex situ (memindahkan
tanaman dari tempat asalnya ke tempat baru dengan dibuat sesuai dengan
tempat asalnya). Tahun 1995 koleksi Kebun Raya Bogor berjumlah 4.300 jenis
tanaman dari Indonesia, kawasan tropis Asia, Austaralia, Amerika, dan Afrika
yang penataannya dikelompokkan berdasarkan asal, habitat, dan famili
40
tanaman. Selain itu kebun raya Bogor juga menyedikan pelayanan informasi
ilmiah, seperti adanya paket wisata flora siswa bagi pelajar dan mahasiswa.
Kebun Raya Bogor merupakan pusat Kebun Raya yang membawahi 3 cabang
Kebun Raya, yaitu Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Purwodadi dan Kebun Raya
Eka Karya Bali (LIPI, 2005)
Foto Taman Anggrek Indonesia Permai
Sumber: http://www.gedoor.com
b) Taman Anggrek Indonesia Permai, Jakarta
Taman ini lokasinya berdekatan dengan Taman Mini indonesia Indah (TMII).
Pengunjung dapat menikmati keindahan berbagai jenih anggrek dalam kaveling-
kaveling khusus. Taman ini juga menawarkan paket khusus budi daya anggrek
bagi mereka yang berminat dan sarana penelitian untuk pengembangan
budidaya tanaman anggrek. Selain di Jakarta, Taman Anggrek juga tedapat di
daerah Bedugul, Bali yang menjual berbagai jenis anggrek. Pengunjung yang
datang juga diberi keranjang dan gunting untuk memetik sendiri bunga yang
dipilihnya (Kondisi tahun 2005)
41
Foto Taman Bunga Nusantara
Sumber: http://indonesia.mitrasites.com
c) Taman Bunga Nusantara, Cipanas, Jawa Barat
Taman Bunga Nusantara yang dibuka September 1995 dengan luas kawasan 35
hektare. Lahan 25 hektare untuk tanaman hias dan berbagai macam pohon
dengan koleksi lebih dari 300 varietas yang dikumpulkan dari berbagai benua.
Di taman ini terdapat tempat khusus yang ditanami jenis tanaman tertentu,
seperti taman mawar, taman bougenvill, dan taman palem. Pengunjung yang
ingin membawa oleh-oleh berupa bunga potong juga dapat membeli di
showroom PT Alam Indah Bunga Nusantara yang letaknya bersebelahan. Untuk
kegiatan para profesional, pelajar, dan mahasiswa, pihak taman bunga nasional
juga menawarkan kegiatan seperti workshop atau seminar (Kondisi tahun 2005)
42
Foto Festival Jambu Biji yang diselenggarakan Taman Wisata Mekarsari,
Sumber: http://www.agrina-online.com
d) Taman Buah Mekarsari (TBM), Cileungsi, Jawa Barat.
Taman Buah Mekarsari diresmikan Oktober 1995. Tujuan pembangunan TBM
adalah menciptakan kebun hortikultura dengan teknologi canggih sebagai
kebun percobaan, kebun produksi, dan objek agrowisata. TBM memiliki lahan
264 hektare dengan rancangan pola tanam menyerupai bentuk daun
lamtorogung, yang dianggap sebagai tanaman serba guna dan sebagai pelestari
lingkungan hidup. Di TBM juga disajikan cara bertanam buah untuk masa depan
yang dikenal dengan istilah tabulampot. Kini TBM mengoleksi 41 famili yang
terdiri dari 143 jenis tanaman dengan 455 varietas. Koleksi tanaman tersebut
mencakup 30 varietas jeruk, 19 varietas rambutan, 16 varietas belimbing, 28
varietas pisang, 44 varietas durian, dan 27 varietas mangga dengan
menerapkan dengan sistem pertanian modern (Kondisi tahun 2005)
43
Foto oceanarium
Sumber: http://www.daysoutguide.co.uk/oceanarium
e) Oceanarium
Objek agrowisata perikanan yang terdapat di Indonesia adalah Sea World yang
memiliki oceanarium, berlokasi di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta.
Oceanarium ini mulai beroperasi Mei 1994 yang menyajikan kehidupan alam di
bawah laut dan aneka ragam hewan laut seperti hiu, ikan pari, penyu, dan
ratusan jenis ikan yang dapat dilihat melalui terowongan pada kolam raksasa
yang terbuat dari kaca (Kondisi tahun 2005)
44
Foto Taman Akuarium Air tawar TMII
Sumber: http://www.tamanmini.com
f) Taman Akuarium Air Tawar (TAAT)
Taman Akuarium Air Tawar (TAAT) diresmikan April 1994 berlokasi di Taman
Mini Indonesia Indah (TMII), TAAT dibangun dengan gedung berbentuk
lingkaran yang terdiri dari dua lantai seluas 5.500 M2 dengan atap berbentuk
kubah berwarna hijau. Di TAAT terdapat keanekaragaman hayati ikan dan biota
air tawar nusantara yang ditempatkan di akuarium geografik, dengan jumlah
koleksi 240 buah akuarium dan kolam yang menampung 7.500 ikan yang terdiri
dari 450 jenis (Kondisi tahun 2005)
Foto Taman Burung TMM
Sumber: http://koran.republika.co.id
45
g) Taman Burung TMII
Taman burung ini berlokasi di TMII Jakarta dengan luas taman 6 hektare dan
memiliki 267 jenis burung yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan
16 jenis burung yang bukan asli Indonesia. Tahun 1995 koleksi burung di taman
ini mencapai 5.134 ekor. Di taman burung ini terdapat dua rangkaian kubah,
yaitu kubah barta yang menjadi tempat jenis-jenis burung dari Indonesia Barat
dan kubah timur yang berisi koleksi burung dari kawasan Indonesia Timur.
Bahkan terdapat juga auditorium yang menyajikan film tentang burung (Kondisi
tahun 2005)
Foto Taman Burung TMII
Sumber: http://santiorchid.wordpress.com
h) Taman Anggrek Ragunan
Taman anggrek Ragunan (TAR) merupakan aset Pemda DKI Jakarta dengan luas
lahan sekitar 5 ha, dikelola oleh Dinas Pertanian DKI Jakarta. Keberadaan TAR
menjadi salah satu objek Agrowisata, yang berfungsi sebagai: tempat wisata,
tempat berlangsungnya aktivitas agribisnis tanaman anggrek baik dalam bentuk
tanaman maupun bunga potong, dan sebagai sarana untuk mempelajari seluk
beluk pemeliharaan anggrek. TAR dibagi menjadi 42 kavling yang dimanfaatkan
untuk budidaya, pembibitan tanaman anggrek dan bunga potong. Disamping
itu, dilengkapi pula dengan kios sarana produksi dan kantor pemasaran.
Kavling-kavling anggrek tersebut dikelola oleh para petani anggrek yang
tergabung dalam koperasi. Jenis-jenis anggrek yang diusahakan oleh para
petani antara lain jenis Dendrobium, Orcidium, Arachnis, Phalaenopsis, serta
tanaman hias penunjang lainnya (Kondisi tahun 2005)
46
Foto Balai Benih Ikan Ciganjur
Sumber: http://www.wisatanesia.com
i) Balai Benih Ikan Ciganjur
Balai Benih Ikan Ciganjur merupakan lahan milik Pemda DKI Jakarta dengan luas
lebih dari 10 ha. Balai ini dikelola oleh Dinas Perikanan yang kegiatannya, antara
lain: pembenihan ikan, pemeliharaan ikan dan secara berkala diadakan atraksi
lomba memancing. Selain itu, sebagian lahan ini juga dimanfaatkan oleh para
petani ikan yang mengusahakan ikan konsumsi dan ikan hias. Produksi balai
benih ikan tidak hanya melayani pembeli lokal, tetapi juga melayani pembeli
yang berasal dari luar kota Jakarta. Pengunjung yang datang dapat membeli
ikan konsumsi dan ikan hias (Kondisi tahun 2005)
47
Foto Taman Margasatwa Ragunan
Sumber: http://selatan.jakarta.go.id
j) Taman Margasatwa Ragunan
Adalah Kebun Binatang milik Pemerintah DKI Jakarta yang berdiri di atas tanah
seluas lebih kurang 135 ha. Di dalamnya terdapat koleksi satwa sebanyak lebih
kurang 3.200 ekor. Pada saat ini masih dalam tahap proses penataan dan
pembangunan untuk terwujudnya Kebun Binatang yang baik sebagai sarana
rekreasi, pendidikan, penelitian, dan konservasi fauna dan flora. Berikut sekilas
informasi tentang sejaran keberadaan Kebun Binatang di Jakarta, antara lain:
(a) Tahun 1864, Raden Saleh, seorang pelukis Indonesia ternama menghibahkan
sebidang tanah seluas 10 hektar di kawasan Cikini kepada pemerintah. Oleh
Pemerintah Belanda digunakan sebagai "Lembaga untuk Tanaman dan Satwa";
(b) Tahun 1949, Nama Lembaga untuk Tanaman dan Satwa diganti menjadi
"Kebun Binatang Cikini"; (c) Tahun 1964, Dengan makin berkembangnya kota
Jakarta, Pemerintah Daerah memindahkan Kebun Binatang Cikini ke kawasan
Ragunan Pasar Minggu, dengan nama "Taman Margasatwa Jakarta"; (d) Tahun
1974, Nama Taman Margasatwa Jakarta berubah menjadi "Kebun Binatang
Ragunan". Sejak saat itu secara bertahap dilakukan penataan dan perluasan,
sejalan dengan peran dan fungsi Kebun Binatang; (e) Tahun 1998, Berdasarkan
Perda No.13 Tahun 1998 nama "Kebun Binatang Ragunan" berubah namanya
menjadi "Taman Margasatwa Ragunan" (Kondisi tahun 2005)
48
BAB IX
MODEL IDEAL AGROWISATA INDONESIA
Motivasi agritourism adalah untuk menghasilkan pendapatan tambahan
bagi petani. Bagaimanapun, agritourism juga merupakan kesempatan untuk
mendidik orang banyak atau masyarakat tentang pertanian dan ecosystems.
Pemain Kunci didalam agritourism adalah petani, pengunjung atau wisatawan, dan
pemerintah atau institusi. Peran mereka bersama dengan interaksi mereka adalah
penting untuk menuju sukses dalam pengembangan agritourism.
Keuntungan dari pengembangan agritourism bagi petani lokal dapat dirinci
sebagai berikut (Lobo dkk, 1999):
1. Agrowisata dapat memunculkan peluang bagi petani lokal untuk meningkatkan
pendapatan dan meningkatkan taraf hidup serta kelangsungan operasi mereka;
2. Menjadi sarana yang baik untuk mendidik orang banyak/masyarakat tentang
pentingnya pertanian dan kontribusinya untuk perekoniman secara luas dan
meningkatkan mutu hidup;
3. Mengurangi arus urbanisasi ke perkotaan karena masyarakat telah mampu
mendapatkan pendapatan yang layak dari usahanya di desa (agritourism)
4. Agrowisata dapat menjadi media promosi untuk produk lokal, dan membantu
perkembangan regional dalam memasarkan usaha dan menciptakan nilai
tambah dan “direct-marking” merangsang kegiatan ekonomi dan memberikan
manfaat kepada masyarakat di daerah dimana agrotourism dikembangkan.
Sedangkan Manfaat Agritourism bagi pengunjung atau wisatawan (Rilla, 1999)
adalah sebagai berikut:
a) Menjalin hubungan kekeluargaan dengan petani atau masyarakat lokal.
b) Meningkatkan kesehatan dan kesegaran tubuh
c) Beristirahat dan menghilangkan kejenuhan
d) Mendapatkan petualangan yang mengagumkan
e) Mendapatkan makanan yang benar-benar alami (organic food)
f) Mendapatkan suasana yang benar-benar berbeda
g) Biaya yang murah karena agrowisata relatif lebih murah dari wisata yang
lainnya.
Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi, dan
fungsi ekologis lahan sehingga akan berpengaruh langsung terhadap kelestarian
sumber daya lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya. Kegiatan
49
ini secara tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif petani serta
masyarakat sekitarnya akan arti pentingnya pelestarian sumber daya lahan
pertanian. Pengembangan agrowisata pada gilirannya akan menciptakan lapangan
pekerjaan, karena usaha ini dapat menyerap tenaga kerja dari masyarakat
pedesaan, sehingga dapat menahan atau mengurangi arus urbanisasi yang semakin
meningkat saat ini.
Manfaat yang dapat dipeoleh dari agrowisata adalah melestarikan sumber daya
alam, melestarikan teknologi lokal, dan meningkatkan pendapatan
petani/masyarakat sekitar lokasi wisata (http://database.deptan.go.id)
Selanjutnya Sutjipta (2001) menganggap, agrowisata dapat berkembang
dengan baik jika terjadi Tri mitra dan tri karya pembangunan agrowisata yang
meliputi, pemerintah sebagai pembuat aturan, rakyat/petani sebagai subyek, dan
dunia usaha pariwisata sebagai penggerak perekonomian rakyat. Menurut Afandhi
(2005), Pembangunan dan Pengembangan agrowisata bagi dunia usaha dapat
dilakukan oleh ketiga pelaku ekonomi yaitu Badan Usaha Milik Negara/ Daerah,
Perusahaan Nasional, Koperasi, dan Usaha Perorangan. Ketiga Pelaku ekonomi
tersebut harus berdasarkan pola manajemen perusahaan penuh dengan modal
yang rasional, sehingga ratio costbenefit dan return on invenstment pat diukur
setiap tahun, sedangkan cara atau system pengelolaannya dapat dilakukan secara
sendiri atau kerjasama (join venture), bagi hasil (sharing), dan lain-lain dengan
prinsip saling menguntungkan. Adapun tenaga kerja sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan
obyek agrowisata adalah kemampuan pengelola yang terdiri dari tenaga pembina,
pelaksana, dan pemandu wisata. Untuk itu penyediaan tenaga managerial dan
pemandu agrowisata yang progfesional sesuai dengan bidangnya mutlak
diperlukan.
Pola pengelolaan agrowisata yang dikembangkan atau dibangun perlu
dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan
yang menunjang usaha agrowisata.
Dengan keikutsertaan masyarakat di dalam pengembangan agrowisata
diharapkan dapat ditumbuhkembangkan interaksi positif dalam bentuk rasa ikut
memiliki untuk menjaga eksistensi obyek. Peran serta masyarakat dapat dilakukan
melalui:
1. Masyarakat desa yang memiliki lahan di dalam kawasan yang dibangun agar
tetap dapat mengolah lahannya sehingga menunjang peningkatan hasil produk
pertanian yang menjadi daya tarik agrowisata dan di sisi lain akan mendorong
rasa memiliki dan tanggungjawab di dalam pengelolaan kawasan secara
keseluruhan.
2. Melibatkan masyarakat desa setempat di dalam kegiatan perusahaan secara
langsung sebagai tenaga kerja, baik untuk pertanian maupun untuk pelayanan
50
wisata, pemandu dan lain-lain. Untuk itu pihak pengelola perlu melakukan
langkah-langkah dan upaya utnuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan tenaga kerja khusus yang berasal dari masyarakat.
3. Menyediakan fasilitas dan tempat penjualan hasil pertanian, kerajinan dan
cendera mata bagi masyarakat desa di sekitar kawasan, sehingga dapat
memperkenalkan khas setempat sekaligus untuk meningkatkan penghasilan.
Disamping itu, dapat pula diikutsertakan di dalam penampilan atraksi seni dan
budaya setempat untuk disajikan kepada wisatawan.
Pada hakekatnya pengembangan agrowisata mempunyai tujuan ganda
termasuk promosi produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan,
membantu meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan
petani nelayan dan masyarakat sekitar, disamping untuk meningkatkan jenis dan
variasi produk pariwisata Indonesia.
Obyek agrowisata harus mencerminkan pola pertanian Indonesia baik
tradisional ataupun modern guna memberikan daya tarik tersendiri bagi
pengunjung. Wisatawan. Di lokasi atau di sekitar lokasi dapat diadakan berbagai
jenis atraksi atau kegiatan pariwisata sesuai dengan potensi sumber daya pertanian
dan kebudayaan setempat. Sampai saat ini, berbagai obyek agrowisata yang
potensial relatif belum banyak menarik pengunjung, antara lain karena terbatasnya
sarana dan prasarana yang tersedia serta kurangnya promosi dan pemasaran
kepada masyarakat luas baik di dalam maupun di luar negeri.
Untuk itu perlu ditempuh suatu koordinasi promosi antara pengelola
dengan berbagai pihak yang berkecimpung dalam bidang promosi dan pemasaran
obyek-obyek agrowisata, baik instansi pemerintah maupun biro-biro perjalanan
wisata. Hal ini mengingat agrowisata merupakan kegiatan yang tidak berdiri sendiri
karena mempunyai lingkup yang luas dan keterkaitan dengan tugas serta
wewenang berbagai instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen
atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan instansi terkait lainnya,
kalangan usaha serta masyarakat pada umumnya.
Di dalam melakukan pemasarannya perlu dilakukan pendekatan dengan
berbagai pihak yang terkait secara terkoordinasi, mulai dari tingkat perencanaan,
pengembangan, pengelolaan, pemasaran sampai dengan pengawasan dan
pengendalian. Ditingkat perumusan kebijaksanaan dan pengendalian perlu
ditingkatkan peranan panitia kerja agro pusat dan daerah sehingga pelaksanaannya
sejalan dengan kebijaksanaan pengembangan sector pertanian dan pariwisata, baik
dari aspek lokasi, kawasan kegiatan, maupun penyediaan sarana dan prasarana.
51
Berikut model ideal pengembangan agrowisata dengan konsep 4A+CI
(attraction, amenity, accessibelity, ancilary, community involment)
Gambar Model Ideal Pengembangan Agrowisata
Dimodifikasi dari Postma, 2006
Dalam model, lingkaran daam adalah agrowisata yang merupakan atraksi yang akan
ditawarkan, sementara amenitas, ansilari, aksesibelitas adalah pendukung dan
pembentuk totalitas dari produk agrowisata. Semua factor pembentuk totalitas
produk wisata tersebut harus melibatkan masyarakat lokal dalam berbagai lini. Ada
tiga pihak yang berkepentingan terhadap kualitas totalitas produk wisata tersebut,
diantaranya: masyarakat sepakat membangun agrowisata untuk meningkatkan
kualitas hidupnya, sementara wisatawan berhak mendapatkan kualitas wisata yang
diharapkannya, sementara investor (pemerintah maupun swasta) berkepentingan
mendapatkan profit yang berkualitas.
Atraksi
(agrowisata) +
masyarakat
lokal
Amenitas
(penginapan, hotel,
dsb) + masyarakat
lokal
Aksesibelitas
(transportasi) +
masyarakat
lokal
Ansilari
(organisasi
pengatur Wisata)
+ masyarakat
lokal
Wisatawan
(kualitas
wisata)
Investor
(kualitas
profit)
Masyarakat
Lokal
(Kualitas
hidup)
52
BAB X
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN DINAMIKA
AGROWISATA
Upaya pengembangan Agrowisata secara garis besar mencakup aspek
pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, promosi, dukungan
sarana dan kelembagaan (http://database.deptan.go.id). Selanjutnya aspek-aspek
tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
a) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia mulai dari pengelola sampai kepada masyarakat
berperan penting dalam keberhasilan pengembangan Agrowisata. Kemampuan
pengelola Agrowisata dalam menetapkan target sasaran dan menyediakan,
mengemas, menyajikan paket-paket wisata serta promosi yang terus menerus
sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat menentukan keberhasilan dalam
mendatangkan wisatawan. Dalam hal ini keberadaan/peran pemandu wisata
dinilai sangat penting. Kemampuan pemandu wisata yang memiliki
pengetahuan ilmu dan keterampilan menjual produk wisata sangat
menentukan. Pengetahuan pemandu wisata seringkali tidak hanya terbatas
kepada produk dari objek wisata yang dijual tetapi juga pengetahuan umum
terutama hal-hal yang lebih mendalam berkaitan dengan produk wisata
tersebut.
Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu Agrowisata saat ini
dinilai masih terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan
pariwisata, mata ajaran Agrowisata dinilai belum memadai sesuai dengan
potensi Agrowisata di Indonesia. Sebaliknya pada pendidikan pertanian, mata
ajaran kepariwisataan juga praktis belum diajarkan. Untuk mengatasi
kesenjangan tersebut pemandu Agrowisata dapat dibina dari pensiunan dan
atau tenaga yang masih produktif dengan latar belakang pendidikan pertanian
atau pariwisata dengan tambahan kursus singkat pada bidang yang belum
dikuasainya.
b) Promosi
Kegiatan promosi merupakan kunci dalam mendorong kegiatan
Agrowisata. Informasi dan pesan promosi dapat dilakukan melalui berbagai
cara, seperti melalui leaflet, booklet, pameran, cinderamata, mass media
(dalam bentuk iklan atau media audiovisual), serta penyediaan informasi pada
tempat public (hotel, restoran, bandara dan lainnya). Dalam kaitan ini
kerjasama antara objek Agrowisata dengan Biro Perjalanan, Perhotelan, dan
53
Jasa Angkutan sangat berperan. Salah satu metoda promosi yang dinilai efektif
dalam mempromosikan objek Agrowisata adalah metoda "tasting", yaitu
memberi kesempatan kepada calon konsumen/wisatawan untuk datang dan
menentukan pilihan konsumsi dan menikmati produk tanpa pengawasan
berlebihan sehingga wisatawan merasa betah. Kesan yang dialami promosi ini
akan menciptakan promosi tahap kedua dan berantai dengan sendirinya.
c) Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Sebagai bagian dari usaha pertanian, usaha Agrowisata sangat
mengandalkan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya alam dan
lingkungan tersebut mencakup sumberdaya objek wisata yang dijual serta
lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk itu upaya mempertahankan
kelestraian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang dijual sangat
menentukan keberlanjutan usaha Agrowisata. Kondisi lingkungan masyarakat
sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun
objek wisata yang ditawarkan namun apabila berada di tengah masyarakat
tidak menerima kehadirannya akan menyulitkan dalam pemasaran objek
wisata. Antara usaha Agrowisata dengan pelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Usaha
Agrowisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya alam dan
lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat
diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari.
Usaha Agrowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin
sebagai usaha jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam
perspektif jangka panjang. Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan
buruknya kondisi sumberdaya wisata dan lingkungan, dapat berdampak jangka
panjang untuk mengembalikannya. Dapat dikemukakan bahwa Agrowisata
merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan semua aspek.
d) Dukungan Sarana dan Prasarana
Kehadiran konsumen/wisatawan juga ditentukan oleh kemudahan-
kemudahan yang diciptakan, mulai dari pelayanan yang baik, kemudahan
akomodasi dan transportasi sampai kepada kesadaran masyarakat sekitarnya.
Upaya menghilangkan hal-hal yang bersifat formal, kaku dan menciptakan
suasana santai serta kesan bersih dan aman merupakan aspek penting yang
perlu diciptakan.
e) Kelembagaan
Pengembangan Agrowisata memerlukan dukungan semua pihak
pemerintah, swasta terutama pengusaha Agrowisata, lembaga yang terkait
54
seperti perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya, perguruan tinggi serta
masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dalam mendukung
berkembangnya Agrowisata dalam bentuk kemudahan perijinan dan lainnya.
Intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan agar tidak terjadi iklim
usaha yang saling mematikan. Untuk itu kerjasama baik antara pengusaha objek
Agrowisata, maupun antara objek Agrowisata dengan lembaga pendukung
(perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya) sangat penting. Terobosan kegiatan
bersama dalam rangka lebih mengembangkan usaha agro diperlukan.
Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan keberhasilan suatu
agrowisata dalam kaitannya dengan atraksi yang ditawarkan sebagai objek wisata,
Syamsu dkk, (2001) mengindentifikasikan faktor-faktor tersebut sebagai berikut:
a) Kelangkaan
Jika wisatawan melakukan wisata di suatu kawasan agrowisata, wisatawan
mengharapkan suguhan hamparan perkebunan atau taman yang mengandung
unsur kelangkaan karena tanaman tersebut sangat jarang ditemukan pada saat
ini.
b) Kealamiahan
Kealamaiahan atraksi agrowisata, juga akan sangat menentukan keberlanjutan
dari agrowisata yang dikembangkan. Jika objek wisata tersebut telah tercemar
atau penuh dengan kepalsuan, pastilah wisatawan akan merasa sangat tertipu
dan tidak mungkin berkunjung kembali.
c) Keunikan
Keunikan dalam hal ini adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan objek
wisata yang ada. Keunikan dapat saja berupa budaya, tradisi, dan teknologi
lokal dimana objek wisata tersebut dikembangkan.
d) Pelibatan Tenaga Kerja
Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat melibatkan tenaga kerja
setempat, setidak-tidaknya meminimalkan tergusurnya masyarakat lokal akibat
pengembangan objek wisata tersebut.
e) Optimalisasi Penggunaan Lahan
Lahan-lahan pertanian atau perkebunan diharapkan dapat dimanfaatkan secara
optimal, jika objek agrowisata ini dapat berfungsi dengan baik. Tidak ditemukan
lagi lahan tidur, namun pengembangan agrowisata ini berdampak positif
terhadap pengelolaan lahan, jangan juga dieksploitasi dengan semena-mena.
f) Keadilan dan Pertimbangan Pemerataan
Pengembangan Agrowisata diharapkan dapat menggerakkan perekonomian
masyarakat secara keseluruhan, baik masyarakat petani/desa, penanam
55
modal/investor, regulator. Dengan melakukan koordinasi didalam
pengembangan secara detail dari input-input yang ada.
g) Penataan Kawasan
Agrowisata pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan yang mengintegrasikan
sistem pertanian dan sistem pariwisata sehingga membentuk objek wisata yang
menarik.
Sedangkan menurut Spillane, (1994) untuk dapat mengembangkan suatu kawasan
menjadi kawasan pariwisata (termasuk juga agrowisata) ada lima unsur yang harus
dipenuhi seperti dibawah ini:
a) Attractions
Dalam konteks pengembangan agrowisata, atraksi yang dimaksud adalah,
hamparan kebun/lahan pertanian, keindahan alam, keindahan taman, budaya
petani tersebut serta segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas
pertanian tersebut.
b) Facilities
Fasilitas yang diperlukan mungkin penambahan sarana umum, telekomunikasi,
hotel dan restoran pada sentra-sentra pasar.
c) Infrastructure
Infrastruktur yang dimaksud dalam bentuk Sistem pengairan, Jaringan
komunikasi, fasilitas kesehatan, terminal pengangkutan, sumber listrik dan
energi, system pembuangan kotoran/pembungan air, jalan raya dan system
keamanan.
d) Transportation
Transportasi umum, Bis-Terminal, system keamanan penumpang, system
Informasi perjalanan, tenaga Kerja, kepastian tariff, peta kota/objek wisata.
e) Hospitality
Keramah-tamahan masyarakat akan menjadi cerminan keberhasilan sebuah
system pariwisata yang baik.
Sedangkan untuk pemilihan lokasi wilayah pertanian yang akan dijadikan
objek agrowisata perlu dipertimbangkan, di antaranya mempertimbangkan
kemudahan mencapai lokasi, karakteristik alam, sentra produksi pertanian, dan
adanya kegiatan agroindustri. Pemilihan lokasi juga dapat dilihat berdasarkan
karakteristik alam, apakah merupakan dataran rendah atau dataran tinggi, pantai,
dan danau/waduk. Pemilihan juga dapat dilakukan dengan melihat potensi daerah
seperti sentra produksi pertanian, letak daerah yang strategis, sejarah dan budaya
ataupun pemilihan dilakukan dengan melihat potensi agroindustri suatu wilayah
(http://lampungpost.com)
56
Dataran rendah biasanya memiliki karakteristik iklim kering dan biasanya
terdapat padang rumput yang luas (stepa) yang cocok untuk dikembangkan usaha
peternakan, sedangkan dataran tinggi biasanya memiliki topografi yang berbukit-
bukit atau berupa kawasan pegunungan yang sambung-menyambung. Umumnya
daerah pegunungan memiliki tanah yang subur dan suhu relatif rendah, sehingga
cocok bagi pertumbuhan berbagai jenis tanaman bunga dan sayuran. Untuk
wilayah yang memiliki kawasan pantai yang sangat luas dapat dimanfaatkan untuk
usaha budi daya perikanan laut dan tambak atau rumput laut. Untuk kawasan yang
memiliki danau atau waduk untuk usaha teknik budi daya ikan air tawar dengan
menyediakan sarana pemancingan (http://lampungpost.com)
57
BAB XI
SISI POSITIF DAN SISI NEGATIF AGROWISATA
Sisis positif pengembangan agrowisata adalah sebuah keuntungan,
agrowisata berpeluang terhadap perluasan kesempatan berusaha bagi masyarakat
lokal (diversification of lokal community), kesempatan investasi kesadaran akan
konservasi lingkungan. Lebih lanjut sisi positif dari pengembangan agrowisata dapat
dijabarkan sebagai berikut (Deptan, 2005):
Agrowisata pada prinsipnya merupakan kegiatan industri yang
mengharapkan kedatangan konsumen secara langsung ditempat wisata yang
diselenggarakan. Aset yang penting untuk menarik kunjungan wisatawan adalah
keaslian, keunikan, kenyamanan, dan keindahan alam. Oleh sebab itu, faktor
kualitas lingkungan menjadi modal penting yang harus disediakan, terutama pada
wilayah-wilayah yang dimanfaatkan untuk dijelajahi para wisatawan. Menyadari
pentingnya nilai kualitas lingkungan tersebut, masyarakat atau petani setempat
harus diajak untuk selalu menjaga keaslian, kenyamanan, dan kelestarian
lingkungannya. Karena agrowisata termasuk ke dalam wisata ekologi (eco-tourism),
yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam
dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau
tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan. Oleh karena
itu, pengelolaannya harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a) Pengaturan dasar alaminya, yang meliputi kultur atau sejarah yang menarik,
keunikan sumber daya biofisik alaminya, konservasi sumber daya alam
ataupun kultur budaya masyarakat.
b) Nilai pendidikan, yaitu interpretasi yang baik untuk program pendidikan dari
areal, termasuk lingkungan alaminya dan upaya konservasinya.
c) Partisipasi masyarakat dan pemanfaatannya. Masyarakat hendaknya
melindungi dan menjaga fasilitas atraksi yang digemari wisatawan, serta
dapat berpartisipasi sebagai pemandu serta penyedia akomodasi dan
makanan.
d) Dorongan meningkatkan upaya konservasi. Wisata ekologi biasanya tanggap
dan berperan aktif dalam upaya melindungi area, seperti mengidentifikasi
burung dan satwa liar, memperbaiki lingkungan, serta memberikan
penghargaan atau fasilitas kepada pihak yang membantu melingdungi
lingkungan.
58
Keunikan teknologi lokal yang merupakan hasil seleksi alam merupakan aset
atraksi agrowisata yang patut dibanggakan. Bahkan teknologi lokal ini dapat
dikemas dan ditawarkan untuk dijual kepada pihak lain. Dengan demikian,
teknologi lokal yang merupakan indigenous knowleadge itu dapat dilestarikan.
Sistem irigasi tradisional Bali yang masih lestari dari turun temurun merupakan
salah satu contoh yang bisa ditawarkan untuk agrowisata.
Selain memberikan nilai kenyamanan, keindahan ataupun pengetahuan,
atraksi wisata juga dapat mendatangkan pendapatan bagi petani serta masyarakat
di sekitarnya. Wisatawan yang berkunjung akan menjadi konsumen produk
pertanian yang dihasilkan, sehingga pemasaran hasil menjadi lebih efisien. Selain
itu, dengan adanya kesadaran petani akan arti petingnya kelestarian sumber daya,
maka kelanggengan produksi menjadi lebih terjaga yang pada gilirannya akan
meningkatkan pendapatan petani. Bagi masyarakat sekitar, dengan banyaknya
kunjungan wisatawan, mereka dapat memperoleh kesempatan berusaha dengan
menyediakan jasa dan menjual produk yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan
wisatawan.
Atraksi wisata pertanian juga dapat menarik pihak lain untuk belajar atau
magang dalam pelaksanaan kegiatan budi daya ataupun atraksi-atraksi lainnya,
sehingga dapat menambah pendapatan petani, sekaligus sebagai wahana alih
teknologi kepada pihak lain. Hal seperti ini telah dilakukan oleh petani di Desa
Cinagara, Sukabumi dengan "Karya Nyata Training Centre". Pada kegiatan magang
ini, seluruh petani dilibatkan secara langsung, baik petani ikan, padi sawah,
hortikultura, peternakan, maupun perkebunan (http://database.deptan.go.id)
Jika Agrowisata dikembangkan dengan benar, harapan petani untuk dapat
meningkat kesejahteraannya bisa terwujud, apa saja harapan petani tersebut?
Mosher (dalam Sutjipta, 2001) merinci sebagai berikut:
Pemasaran Hasil Pertanian: diharapkan dengan perkembangnya pariwisata
hasil pertanian dapat terserap pada sektor ini.
Teknologi yang dinamis: dengan berkembangnya pariwisata berkembang
pula teknologi pertanian yang ada karena tuntutan dunia pariwisata.
Tersedianya sarana produksi
Perangsang produksi pertanian, dengan berkembangnya pariwisata harga
produk pertanian diharapkan dapat dihargai cukup layak sehingga gairah
petani untuk bekerja semakin meningkat.
Pengangkutan, Insfrastruktur yang dibangun untuk pariwisata juga dapat
dimanfaatkan oleh sektor pertanian.
59
Dalam kaitannya dengan pengembangan agrowisata sebagai kerangka
pengembangan masyarakat petani pada kehidupan yang lebih baik, maka
diperlukan gerakan serentak (Sutjipta, 2001) yang berupa:
Menjaga kelestarian lingkungan: Pengembangan Pariwisata harus
memperhatikan kelestarian lingkungan karena jika lingkungan rusak
mustahil pariwisata bisa terus berkembang.
Pemanfaatan sumberdaya daya alam secara bijaksana: Sumberdaya alam
yang ada bukan untuk dinikmati oleh generasi sekarang saja tetapi untuk
anak cucu kita juga, dari sinilah diharapkan kita tidak melakukan exploitasi
alam dengan semena-mena.
Keseimbangan antara konsumsi dan produksi: Berproduksi sesuai dengan
permintaan pasar, bukan melakukan penawaran secara berlebihan sehingga
tercipta kondisi over suplay, jika kondisi ini terjadi maka segala sesuai akan
bernilai rendah.
Peningkatan Sumber daya manusia: Jika sumberdaya manusia tidak cakap,
maka ada potensi dalam waktu panjang SDM yang ada akan tergusur oleh
SDM global yang lebih potensi dan kompeten, disinilah diperlukan
pengembangan SDM secara terus menerus.
pemberantasan kemiskinan: Program-program yang ditawarkan oleh
pemerintah sebaiknya tidak hanya memberikan kemudahan bagi kapitalis
tetapi juga sebaiknya memperhatikan masyarakat petani yang sebagian
besar tergolong miskin bahkan melarat.
Sebaliknya, kerugian yang ditimbulkan, antara lain penurunan kualitas
lingkungan, terjadinya kesenjangan ekonomi serta perubahan sosial budaya yang
negatif.
Untuk menilai dampak potensial kegiatan pariwisata, Gree dan Hunter, 1993
(dalam Aryanto, 2003) meneliti tentang dampak negatif pada lingkungan budaya
yang dibagi dalam 6 komponen lingkungan yang akan rusak atau berubah, yaitu :
(1) nilai dan kepercayaan, (2) moral, (3) perilaku, (4) seni dan kerajinan, (5) hukum
dan ketertiban, dan (6) sejarah.
Hartanto (1997), menambahkan daftar dampak negatif lainnya yang akan
terjadi pada Lingkungan Binaan dan Lingkungan Alam, yaitu pada: (1) flora dan
fauna, (2) polusi, (3) erosi, (4) sumber daya alam, (5) pemandangan.
Agrowisata memungkinkan terhadap kegiatan pariwisata secara langsung
memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati
pengalaman intelektual dan budaya masyarakat lokal, dan ini yang akan menjadi
ancaman berupa pengambilan secara ilegal pengetahuan tentang sumber daya
lokal. Oleh karenanya, perlu upaya perlindungan melalui pemberdayaan
masyarakat dalam hal antara lain hak untuk menolak atas pengembangan
60
pariwisata di daerahnya yang tidak berkelanjutan; hak akses atas informasi baik
negatif maupun positif; dan akses serta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan.
Untuk mengantisipasi dampak negatif pariwisata, perlu pendekatan daya
dukung dalam pengelolaan pariwisata sesuai dengan batas-batas yang dapat
diterima. Daya dukung pariwisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan
faktor lingkungan biofisik lokasi pariwisata.
Perspektif daya dukung pariwisata tidak hanya terbatas pada jumlah
kunjungan, namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti kapasitas ekologi
(kemampuan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan), kapasitas
fisik (kemampuan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan),
kapasitas sosial (kemampuan daerah tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa
menimbulkan dampak negatif pada masyarakat lokal), dan kapasitas ekonomi
(kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha komersial namun tetap
mewadahi kepentingan ekonomi lokal).
61
BAB XII
POTENSI PENGEMBANGAN AGROWISATA DI INDONESIA
Menurut Afandhi (2005), Kebijakan umum Departemen Pertanian dalam
membangun pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup
petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan
berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk
tujuan tersebut, usaha diversifikasi perlu dilanjutkan disertai dengan rehabilitasi
yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi, dan merata disesuaikan dengan
kondisi tanah, air dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan
sumber daya alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan
masyarakat setempat.
Sejalan dengan kebijaksanaan umum di atas, terlihat bahwa antara
pariwisata dan pertanian dapat saling mengisi dan menunjang dalam meningkatkan
daya saing produk pariwisata dan produk pertanian Indonesia dalam rangka
meningkatkan perolehan devisa dari komoditi ekspor non migas.
Sebagai negara agraris, sector pertanian merupakan sector yang dominan
dan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Upaya peningkatan dan
penganekaragaman usaha pertanian terus ditingkatkan secara intensif dan
terencana, baik yang secara tradisional maupun modern merupakan potensi kuat
yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik yang dapat dinikmati oleh wisatawan
nusantara maupun mancanegara. Potensi budidaya pertanian yang dapat dijadikan
agrowisata antara lain:
1) Lahan Perkebunan
Suatu kawasan perkebunan yang ideal untuk dapat dimanfaatkan sebagai objek
dan daya tarik agrowisata adalah kawasan perkebunan yang kegiatannya
merupakan kesatuan yang utuh mulai dari pembibitan sampai dengan
pengolahan hasilnya. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa setiap
kegiatan dan proses pengusahaan perkebunan dapat dijadikan daya tarik atau
atraksi yang menarik bagi wisatawan mulai dari pembibitan, penanaman,
pengolahan ataupun pengepakan hasil produksinya. Perkebunan sebagai objek
agrowisata terdiri dari perkebunan kelapa sawit, karet, teh kopi, kakao, tebu,
dan lain-lain. Pada dasarnya luas suatu perkebunan ada batasnya, namun
perkebunan yang dijadikan sebagai objek agrowisata luasnya tidak dibatasi,
dengan kata lain luasnya sesuai izin atau persyaratan objek agrowisata yang
diberikan.
Untuk menunjukkan kepada wisatawan suatu perkebunan yang baik dan benar,
semestinya dalam objek dilengkapi dengan unit pengolahan, laboratorium,
pengepakan hasil, sarana dan prasarana.
62
2) Tanaman pangan dan Hortikultura
Daya tarik tanaman pangan dan hortikultura sebagai objek agrowisata antara
lain dapat berupa kebun bunga, kebun buah-buahan, kebun sayur-sayuran,
kebun tanaman obat-obatan.
3) Peternakan
Potensi peternakan sebagai sumber daya wisata antara lain cara tradisional
dalam pemeliharaan ternak, aspek keunikan pengelolaan, produksi ternak,
atraksi peternakan dan peternakan khusus seperti bekisar dan burung puyuh
misalnya.
4) Perikanan
Sebagai negara kepulauan yang sebagian besar terdiri dari perairan dengan
potensi sumber daya ikan yang jenis maupun jumlahnya cukup besar, kegiatan
perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan
sebagai obyek agrowisata. Secara garis besar, kegiatan perikanan dibagi
menjadi kegiatan penangkapan serta kegiatan budidaya, dan kegiatan tersebut
merupakan potensi yang dapat dikembangkan menjadi obyek agrowisata
seperti budidaya ikan air tawar, budidaya tambak, budidaya laut seperti
kerang, rumput laut, kakap merah, dan mutiara.
Jika melihat perkembangan pada dekade terakhir, pembangunan pariwisata
di Indonesia maupun di manca negara menunjukkan kecenderungan terus
meningkat. Konsumsi jasa dalam bentuk komoditas wisata bagi sebagian
masyarakat negara maju dan masyarakat Indonesia telah menjadi salah satu
kebutuhan sebagal akibat meningkatnya pendapatan, aspirasi dan
kesejahteraannya.
Preferensi dan motivasi wisatawan juga berkembang secara dinamis.
Kecenderungan pemenuhan kebutuhan dalam bentuk menikmati objek-objek
spesifik seperti udara yang segar, pemandangan yang indah, pengolahan produk
secara tradisional, maupun produk-produk pertanian modern dan spesifik
menunjukkan peningkatan yang pesat. Kecenderungan ini merupakan signal
tingginya permintaan akan agrowisata dan sekaligus membuka peluang bagi
pengembangan produk-produk agribisnis baik dalam bentuk kawasan ataupun
produk pertanian yang mempunyai daya tarik spesifik.
Hamparan areal pertanaman yang luas seperti pada areal perkebunan, dan
hortikultura disamping menyajikan pemandangan dan udara yang segar, juga
merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas,
mulai dari pendidikan tentang kegiatan usaha dibidang masing-masing sampai
kepada pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.
63
Menurut perspektif pariwisata, objek agrowisata tidak hanya terbatas
kepada objek dengan skala hamparan yang luas seperti yang dimiliki oleh areal
perkebunan, tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya dapat menjadi objek
wisata yang menarik. Salah satu contohnya, cara-cara bertanam tebu, acara panen
tebu, pembuatan gula pasir tebu, serta cara cara penciptaan varietas baru tebu
merupakan salah satu contoh objek yang kaya dengan muatan pendidikan.
Cara pembuatan gula merah kelapa juga merupakan salah satu contoh lain
dari kegiatan yang dapat dijual kepada wisatawan yang disamping mengandung
muatan budaya dan pendidikan juga dapat menjadi media promosi, karena
dipastikan pengunjung akan tertarik untuk membeli gula merah yang dihasilkan
pengrajin. Dengan datangnya masyarakat mendatangi objek wisata juga terbuka
peluang pasar tidak hanya bagi produk dan objek agrowisata yang bersangkutan,
namun pasar dan segala kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, melalui
Agrowisata bukan semata merupakan bisnis dibidang jasa yang menjual jasa bagi
pemenuhan konsumen akan pemandangan yang indah dan udara yang segar,
namun juga dapat berperan sebagai media promosi produk pertanian, menjadi
media pendidikan masyarakat, memberikan signal bagi peluang pengembangan
diversifikasi produk agribisnis dan berarti pula dapat menjadi kawasan
pertumbuhan baru wilayah. Dengan demikian maka Agrowisata dapat menjadi
salah satu sumber pertumbuhan baru deerah, sektor pertanian dan ekonomi
nasional.
Potensi Agrowisata yang sangat tinggi ini belum sepenuhnya dikembangkan
dan dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah
kebijakan yang konkrit dan operasional guna tercapainya kemantapan pengelolaan
Objek Agrowisata di era globalisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan keunikan
kekayaan spesifik lokasi yang dimiliki, setiap daerah dan setiap objek wisata dapat
menentukan sasaran dan bidang garapan pasar yang dapat dituju. Dalam
pengembangan Agrowisata dibutuhkan kerjasama sinergis diantara pelaku yang
teribat dalam pengelolaan Agrowisata, yaitu masyarakat, swasta dan pemerintah.
Brahmantyo, dkk (2001) telah melakukan penelitian tentang potensi dan
peluang dalam pengembangan pariwisata Gunung Salak Endah, menemukan
beberapa potensi alam dapat dimanfaatkan sebagai atraksi objek wisata. Potensi
tersebut adalah, Air Terjun Curug Ciumpet, areal perkemahan, lahan pertanian
sebagai objek agrowisata, kolam air deras, arena pancing (perikanan darat),
peternakan lebah, peternakan kuda, wisata perhutanan dan perkebunan, dan
wisata industri pengolahan hasil tanaman kopi.
“Bali Potensi pengembangan Agrowisata namun masih sepi pengunjung,
di mana salahnya?”
64
Bali itu merupakan daerah yang kaya akan alamnya dan indah bila
dipandang secara kasat mata. Nuansa dan panorama indahnya alam Bali itu,
mungkin akan semakin menyentak pemandangan para pengunjung bila melintasi
wilayah Tabanan yang terkenal dengan bentangan sawah yang berterasering atau
ke kawasan Swiss-nya Bali, Bedugul, atau terus ke Utara di Singaraja menyaksikan
hamparan pepohonan cengkeh milik petani-petani dengan diselingi nyiur dan
tetumbuhan kopi Robusta dan Arabica (Moruk, 2005)
Bila wisatawan menyisir perjalanan dari Gianyar dengan Tampak Siringnya,
terus ke utara ke Bangli yang terkenal dengan bukit Kintamani-nya. Di sana pasti
disuguhkan sebuah potret alam asri dan asli dengan gunung dan danau Batur-nya
yang sangat menawan. Wisatawan dapat berpetualang menyaksikan kawasan
hutan Salak Gula Pasir yang terhampar di wilayah Kabupaten Karangasem di Bali
Timur.
Itulah sentra-sentra yang dapat dikembangkan menjadi objek terhandal bagi
para wisatawan pencinta agrowisata. Agrowisata sebenarnya merupakan lahan
atau produk terbaru dalam sektor kepariwisataan Indonesia guna memenuhi
keperluan wisatawan yang mencintai keindahan alam pertanian, perdesaan,
informasi dan teknologi, barang dan jasa yang terbuat dari produk pertanian.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa agrowisata itu ditunjang penuh oleh
eksotiknya keindahan alam, kesuburan tanah, kesejahteraan petani, kebersihan
lingkungan sekitar. Makin indah alamnya, subur tanahnya, sejahtera petaninya
dengan keberhasilan menerapkan pembangunan pertanian, justru semakin
menjadikan suatu kawasan atau daerah sebagai obyek agrowisata yang handal dan
berkualitas (Moruk, 2005)
Lebih lanjut, Sudibya (2002) mengindentifikasikan, ecotourism potensial
dikembangkan di Bali. Kabupaten Jembrana potensial untuk pengembangan
berbagai jenis wisata alam dengan memanfaatkan kawasan Taman Nasional Bali
Barat, camping dan trekking dikombinasikan dengan snorkeling di Pulau
Menjangan. Kabupaten Buleleng potensial untuk pengembangan berbagai
agrowisata mengingat daerah ini memiliki kawasan pertanian yang luas. Berbagai
tanaman industri seperti jeruk keprok, tembakau, anggur dan holtikultura bisa
dibudidayakan di kabupaten ini. Di Kabupaten Tabanan dapat diintensifkan
pengembangan holtikultura dan kebun bunga untuk keperluan hotel dan restoran
serta masyarakat umum. Kebun Raya Eka Karya Bali juga dapat ditingkatkan
pemanfaatannya, baik untuk atraksi wisata maupun untuk penelitian dan
pendidikan.
Kabupaten Bangli potensial untuk pengembangan peternakan sapi,
terutama penggemukan (fattening) dan unggas untuk pasokan daging ke hotel dan
restoran. Danau Batur dikembangkan sebagai tempat perikanan air tawar, baik
untuk keperluan industri pariwisata maupun konsummsi lokal. Pulau Nusa Penida
65
potensial untuk pengembangan penggemukan sapi untuk menghasilkan daging
yang berkualitas. Pada prinsfnya, alam Bali memiliki potensi yang begitu besar
untuk dikembangkan menjadi ecotourism.
Sudibya (2002) juga menjelaskan, saat ini di Bali sudah ada atraksi wisata
yang erat hubungannya dengan prinsip ecotourism, seperti misalnya, arung jeram
(whitewater rafting), cruising/sailing, taman burung, taman gajah, taman reptil,
taman kupu-kupu, taman anggrek, dan wisata berkuda (horse riding).
Dalam rangka mempercepat penyeimbangan dan keselarasan
pembangunan antar wilayah seperti kawasan Badung Utara dan Badung Selatan
telah diupayakan penataan kawasan pertanian khususnya perkebunan yang sangat
potensial di wilayah Badung Utara menjadi suatu kawasan agrowisata yang
akhirnya dapat menjadi pembangunan industri dan agrobisnis. Untuk mewujudkan
hal itu telah pula dilakukan kerja sama dengan beberapa BUMN seperti BTDC untuk
mengembangkan tanaman hias dan bunga di wilayah Badung Utara.
Foto Kebun Kopi Bali
Sumber: http://sskurniawan.blogspot.com
Sementara untuk merangsang pembangunan sektor pertanian telah
diberikan berbagai stimulan baik berupa benih, subsidi pupuk, pemberdayaan
lembaga pangan, dan pemberdayaan kelompok wanita tani. Yang lebih mendidik
lagi dengan adanya kebijakan Pemerintah Daerah untuk membebaskan atau
memberi subsidi pajak terhadap PKD, pelaba pura dan tanah masyarakat yang
terkena jalur hijau. (Bisnis Bali Online, 2003)
66
Foto Kebun Salak Sibetan Bali
Sumber: http://bliketut.com
Beberapa kawasan yang telah berkembang dan memiliki potensi untuk
dikembangkan menjadi kawasan agrowisata di Bali (Bapeda Bali, 1995) adalah
sebagai berikut:
a) Kawasan Pertanian Hortikultural di Baturiti Tabanan dan Pancasari Buleleng
b) Kawasan Perkebunan Rakyat Salak Bali di Sibetan Karangasem
c) Kawasan Terasering Sawah Jatiluwih Tabanan
d) Kawasan Perkebunan Kopi di Pupuan Tabanan
e) Kawasan Petang Badung
f) Kawasan Kintamani Bangli
g) Kawasan Peternakan Ayam di Tiingan, Tegak, dan Pempatan
h) Kawasan Peternakan Sapi Putih di Taro Gianyar
i) Kawasan Perkebunan Anggur di Seririt dan Grokgak Buleleng, dan
j) Beberapa Kawasan Perkebunan Milik PD Prov Bali yang berada di Jembrana.
67
BAB XIII
AGROWISATA ADALAH BENTUK PARIWISATA YANG
BERKUALITAS DAN BERKELANJUTAN
Indonesia memiliki sumber daya wisata yang amat kaya dengan aset alam,
budaya, flora dan fauna dengan ciri khas Asia dan Australia di setiap wilayah
perairan dan pulau di Indonesia (Gunawan, 1997). Indonesia tercatat
mendapatkan ranking ke-enam pada Top Twenty Tourism Destinations in East dan
The Pasific (WTO,1999).
Dalam paradigma lama, pariwisata yang lebih mengutamakan pariwisata
massal, yaitu yang bercirikan jumlah wisatawan yang besar atau berkelompok dan
paket wisata yang seragam (Faulkner, 1997), dan sekarang telah bergerak menjadi
pariwisata baru, (Baldwin dan Brodess, 1993), yaitu wisatawan yang lebih canggih,
berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tinggal mencari liburan fleksibel,
keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli.
Dalam usaha pengembangannya Indonesia wajib memperhatikan dampak-
dampak yang ditimbulkannya, sehingga yang paling tepat dikembangkan adalah
sektor ekowisata termasuk juga agrowisata sebagai pariwisata alternatif yang oleh
Eadington dan Smith (1995) diartikan sebagai konsisten dengan nilai-nilai alam,
sosial dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif diantara para
pelakunya.
Low Choy dan Heillbronn, 1996 (dalam Aryanto, 2003), merumuskan lima
faktor batasan yang mendasar dalam penentuan prinsip utama ekowisata, yaitu :
a) Lingkungan; ekowisata bertumpu pada lingkungan alam, budaya yang
belum tercemar
b) Masyarakat; ekowisata bermanfaat ekologi, sosial dan ekonomi pada
masyarakat.
c) Pendidikan dan Pengalaman; Ekotourism harus dapat meningkatkan
pemahaman akan lingkungan alam dan budaya dengan adanya
pengalaman yang dimiliki
d) Berkelanjutan; Ekotourism dapat memberikan sumbangan positip bagi
keberlanjutan ekologi lingkungan baik jangka pendek maupun jangka
panjang.
e) Manajemen; ekotourism harus dikelola secara baik dan menjamin
sustainability lingkungan alam, budaya yang bertujuan untuk peningkatan
kesejahteraan sekarang maupun generasai mendatang.
Karena Agrowisata menganut falsafah dari Ekowisata, maka sangat beralasan,
agrowisata dikatakan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas.
68
Pembangunan berkelanjutan pada umumnya mempunyai sasaran
memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengurangi manfaat bagi
generasi mendatang. Charles Birch dalam Erari (1999) membandingkan dunia
sekarang ibarat kapal titanic dengan gunung es yang terlihat sebanyak lima pucuk
yang merupakan ancaman bagi kehidupan manusia antara lain : 1) ledakan
penduduk, 2) krisis pangan 3) terkurasnya sumberdaya alam diperbaharui 4)
pengrusakan lingkungan hidup dan 5) perang.
Selanjutnya disebutkan bahwa suatu tuntutan akan perlunya masyarakat
yang berkelanjutan, dan panggilan kemanusiaan untuk bertindak sedemikian rupa
agar kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya menikmati hidup berkelanjutan
di tengah keterbatasan dunia. Hal ini menunjukkan walaupun dunia yang
diibaratkan tersebut maka peranan masyarakat untuk memelihara lingkungan
demi kehidupan masa mendatang.
Dengan demikian bahwa pariwisata berkelanjutan harus bertitik tolak dari
kepentingan dan partisipatif masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan
wisatawan atau pengunjung sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dengan kata lain bahwa pengelolaan sumberdaya agrowisata dilakukan sedemikian
rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi dengan
memelihara integritas cultural, proses ekologi yang esensial, keanekaragaman
hayati dan sistem pendukung kehidupan.
Agar agrowisata dapat berkelanjutan maka produk agrowisata yang
ditampilkan harus harmonis dengan lingkungan lokal spesifik. Dengan demikian
masyarakat akan peduli terhadap sumberadaya wisata karena memberikan
manfaat sehingga masyarakat merasakan kegiatan wisata sebagai suatu kesatuan
dalam kehidupannya.
Cernea, 1991 (dalam Lindberg and Hawkins, 1995) mengemukakan bahwa
partisipasi lokal memberikan banyak peluang secara efektif dalam kegiatan
pembangunan dimana hal ini berarti bahwa memberi wewenang atau kekuasaan
pada masyarakat sebagai pemeran sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola
sumberdaya membuat keputusan dan melakukan control terhadap kegiatan–
kegiatan yang mempengaruh kehidupan sesuai dengan kemampuan mereka.
Adanya kegiatan agrowisata haruslah menjamin kelestarian lingkungannya
terutama yang terkait dengan sumberdaya hayati renewable maupun non
renewable sehingga dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat di
kawasan tersebut.
Dari sisi kebutuhan pariwisata, pendidikan dan pelatihan harus dilakukan
untuk melakukan alih teknologi, menghadapi persaingan demi terwujudnya prinsip
pariwisata berkelanjutan. Keberhasilan pariwisata berkelanjutan sangat ditentukan
tingkat pendidikan masyarakat lokal. Oleh karenanya peningkatan akses dan mutu
69
pendidikan bagi masyarakat lokal menjadi sasaran dan tujuan yang sangat utama.
(Ardiwidjaja: 2003)
Promosi merupakan kesatuan kegiatan yang meliputi: memperkenalkan,
menyosialisasikan, dan mengampanyekan. Produk diperkenalkan; peraturan
disosialisasikan; prinsip-prinsip keberlanjutan dan nilai-nilai lokal dikampanyekan.
Promosi pariwisata berkelanjutan bertujuan meningkatkan kesadaran stakeholder.
Menguatkan informasi tentang pariwisata berkelanjutan dapat meningkatkan
kesadaran atas seluruh rangkaian kegiatan pariwisata serta dampaknya terhadap
lingkungan alam serta budaya. Instrumen yang dapat digunakan antara lain melalui
penerapan peraturan serta sanksi-sanksi, promosi melalui media, pemantauan dan
menyusun kode etik, serta penyebaran informasi, penelitian serta pendidikan dan
pelatihan. (Ardiwidjaja: 2003)
Secara garis besar, indikator yang dapat dijabarkan dari karakteristik
berkelanjutan antara lain adalah lingkungan. Artinya industri pariwisata harus peka
terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran limbah, sampah yang
bertumpuk, dan kerusakan pemandangan yang diakibatkan pembalakan hutan,
gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak
ramah. Dengan kata lain aspek lingkungan lebih menekankan pada kelestarian
ekosistem dan biodiversitas, pengelolaan limbah, penggunaan lahan, konservasi
sumber daya air, proteksi atmosfer, dan minimalisasi kebisingan dan gangguan
visual.
Selain lingkungan, sosial budaya pun menjadi aspek yang penting
diperhatikan. Interaksi dan mobilitas masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan
persentuhan antarbudaya yang juga semakin intensif. Pariwisata merupakan salah
satu kegiatan yang memberi kontribusi persentuhan budaya dan antaretnik serta
antarbangsa. Oleh karenanya penekanan dalam sosial budaya lebih kepada
ketahanan budaya, integrasi sosial, kepuasan penduduk lokal, keamanan dan
keselamatan, kesehatan publik. Aspek terakhir adalah ekonomi. Penekanan aspek
ekonomi lebih kepada Pemerataan Usaha dan Kesempatan Kerja, Keberlanjutan
Usaha, Persaingan Usaha, Keuntungan Usaha dan Pajak, Untung-Rugi Pertukaran
Internasional, Proporsi Kepemilikan Lokal, Akuntabilitas. (Ardiwidjaja: 2003)
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi tema yang
kuat dan kontroversial. Kuat karena hampir semua negara di dunia menyetujui
tema ini, kontroversial karena tema ini seolah-olah menjadi retorika belaka bagi
negara- negara dunia maju.
Lawrence, 1994 (dalam Aryanto, 2003) menuliskan pembangunan
berkelanjutan hanya dapat dicapai jika dampak sosial dan dampak lingkungan
seimbang dengan tujuan ekonomi yang diharapkan. Dalam hal pariwisata, tidak
adanya dampak (zero impact) sebagai akibat dari wisatawan berupa level
pencapaian minimum dari dampak negatif perlu direncanakan. Pendekatan
70
manajemen pariwisata berkelanjutan, sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan, haruslah didasarkan pula pada prinsip- prinsip global dari
pembangunan berkelanjutan. Semua kegiatan pengaturan suatu daerah tujuan
seharusnya mempertimbangkan (merupakan) bagian dari nilai pembangunan
berkelanjutan.
National Geograpic Online dalam The Global Development Research Center
(2002) mendifinisikan pariwisata berkelanjutan sebagai berikut: (1) Pariwisata yang
memberikan penerangan. Wisatawan tidak hanya belajar tentang kunjungan
(Negara atau daerah yang dikunjungi) tetapi juga belajar bagaimana menyokong
kelangsungan karakter (negara atau daerah yang dikunjungi) selama dalam
perjalanan mereka. Sehingga masyarakat yang dikunjungi dapat belajar
(mengetahui) bahwa kebiasaan dan sesuatu yang sudah biasa dapat menarik dan
dihargai oleh wisatawan; (2) Pariwisata yang mendukung keutuhan (integritas) dari
tempat tujuan. Pengunjung memahami dan mencari usaha yang dapat menegaskan
karakter tempat tujuan wisata mengenai hal arsitektur, masakan, warisan, estetika
dan ekologinya; (3) Pariwisata yang menguntungkan masyarakat setempat.
Pengusaha pariwisata melakukan kegiatan yang terbaik untuk mempekerjakan dan
melatih masyarakat lokal, membeli persediaan-persediaan lokal, dan menggunakan
jasa-jasa yang dihasilkan dari masyarakat lokal; (4) Pariwisata yang melindungi
sumber daya alam. Dalam pariwisata ini wisatawan menyadari dan berusaha untuk
meminimalisasi polusi, konsumsi energi, penggunaan air, bahan kimia dan
penerangan di malam hari; (5) Pariwisata yang menghormati budaya dan tradisi.
Wisatawan belajar dan melihat tata cara lokal termasuk menggunakan sedikit kata-
kata sopan dari bahasa lokal. Masyarakat lokal belajar bagaimana memperlakukan/
menghadapi harapan wisatawan yang mungkin berbeda dari harapan yang mereka
punya; (6) Pariwisata ini tidak menyalahgunakan produk. Stakeholder
mengantisipasi tekanan pembangunan (pariwisata) dan mengaplikasikan batas-
batas dan teknik-teknik manajemen untuk mencegah sindrom kehancuran (loved to
death) dari lokasi wisata. Stakeholder bekerjasama untuk menjaga habitat alami
dari tempat tempat warisan budaya, pemandangan yang menarik dan budaya lokal;
(7) Pariwisata ini menekankan pada kualitas, bukan kuantitas (jumlah). Masyarakat
menilai kesuksesan sector pariwisata ini tidak dari jumlah kunjungan belaka tetapi
dari lama tinggal, jumlah uang yang dibelanjakan, dan kualitas pengalaman yang
diperoleh wisatawan; (8) Pariwisata ini merupakan perjalanan yang mengesankan.
Kepuasan, kegembiraan pengunjung dibawa pulang (ke daerahnya) untuk
kemudian disampaikan kepada teman-teman dan kerabatnya, sehingga mereka
tertarik untuk memperoleh hal yang sama- hal ini secara terus menerus akan
menyediakan kegiatan di lokasi tujuan wisata.
Sedangkan Jamieson dan Noble (2000) menuliskan beberapa prinsip penting
dari pembangunan pariwisata berkelanjutan, yaitu: (1) Pariwisata tersebut
71
mempunyai prakarsa untuk membantu masyarakat agar dapat mempertahankan
control atau pengawasan terhadap perkembangan pariwisata tersebut; (2)
Pariwisata ini mampu menyediakan tenaga kerja yang berkualitas kepada dan dari
masyarakat setempat dan terdapat pertalian yang erat (yang harus dijaga) antara
usaha lokal dan pariwisata; (3) Terdapat peraturan tentang perilaku yang disusun
untuk wisatawan pada semua tingkatan (nasional, regional dan setempat) yang
didasarkan pada standar kesepakatan internasional. Pedoman tentang operasi
pariwisata, taksiran penilaian dampak pariwisata, pengawasan dari dampak
komulatif pariwisata, dan ambang batas perubahan yang dapat diterima
merupakan contoh peraturan yang harus disusun; (4) Terdapat program-program
pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan serta menjaga warisan budaya dan
sumber daya alam yang ada. Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan
tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan yang telah
dicanangkan oleh pemerintah sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.
Pariwisata yang bersifat multisektoral merupakan fenomena yang sangat kompleks
dan sulit didefinisikan secara baku untuk diterima secara universal. Sehingga
menimbulkan berbagai persepsi pemahaman terhadap pariwisata, baik sebagai
industri, sebagai aktivitas, atau sebagai sistem.
Pariwisata yang melibatkan antara lain pelaku, proses penyelenggaraan,
kebijakan, supply dan demand, politik, sosial budaya yang saling berinteraksi
dengan eratnya, akan lebih realistis bila dilihat sebagai sistem dengan berbagai
subsistem yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Dalam kerangka
kesisteman tersebut, pendekatan terhadap fungsi dan peran pelaku, dampak
lingkungan, peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat, serta
kesetaraan dalam proses penyelenggaraan menjadi semakin penting.
Kecenderungan yang berkembang dalam sektor kepariwisataan maupun
pembangunan melahirkan konsep pariwisata yang tepat dan secara aktif
membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara
berkelanjutan dengan memperhatikan apa yang disebut sebagai pilar dari
pariwisata berkelanjutan yaitu ekonomi masyarakat, lingkungan dan sosial budaya.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan, dapat dikatakan sebagai pembangunan
yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi, juga adil secara
etika dan sosial terhadap masyarakat.
Untuk itu maka perlu diperhatikan bahwa faktor yang menjadi penentu
keberhasilan penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan. Penyelenggaraan
kepemerintahan yang baik (good governance) yang melibatkan partisipasi aktif
secara seimbang antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selanjutnya
berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan di atas, pariwisata berkelanjutan
dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan
72
kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian dan memberi
peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.
Ketiga pilar pariwisata berkelanjutan tersebut harus dijabarkan ke dalam
prinsip-prinsip operasionalisasi yang disepakati oleh para pelaku (stakeholder) dari
berbagai sektor (multisektor). Dengan harapan, kesepakatan dan kesamaan
pandang tersebut dapat mewujudkan orientasi pengembangan pembangunan
kepariwisataan yang juga sama dan terpadu. Prinsip-prinsip pariwisata
berkelanjutan yang dimaksud adalah ”Berbasis Masyarakat”. Tentu saja prinsip-
prinsip tersebut paling kental pada agrowisata, selain secara geografis berada di
pedesaan juga secara system, langsung menyentuh lapisan masyarakat pada level
paling bawah (petani kecil) baik secara langsung maupun tidak langsung.
Prinsip ini menekankan keterlibatan masyarakat secara langsung, terhadap
seluruh kegiatan pembangunan pariwisata dari mulai perencanaan, pelaksanaan
hingga pengawasan. Masyarakat diletakkan sebagai faktor utama, yang memiliki
kepentingan berpartisipasi secara langsung dalam pengambilan keputusan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui upaya konservasi serta pemanfaatan
sumber daya alam dengan dilandaskan pada opsi pemilikan sendiri sarana dan
prasarana pariwisata oleh masyarakat setempat, kemitraan dengan pihak swasta
dan sewa lahan atau sumber daya lainnya baik oleh masyarakat maupun kerja sama
dengan swasta.
73
BAB. XIV
POTENSI AGROWISATA SEBUAH STUDI KASUS DESA-DESA DI BALI
1. Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali
Hasil observasi dan analisis SWOT terhadap sumberdaya desa Bayung Gede,
ternyata desa ini layak disebut desa wisata berbasis agrowisata. Adapun keunikan
yang dimiliki oleh desa ini adalah penduduk desa Bayung Gede memiliki
kekeluaragaan yang erat serta memiliki aktivitas keagamaan dan menjungjung nilai-
nilai spritualitas yang cukup kental. Keunikan yang paling menarik adalah tradisi
masyarakat setempat yakni kuburan ari ari yang hanya dapat ditemukan di desa
Bayung Gede saja (Utama, 2007).
Foto Kuburan Ari-ari di Desa Bayung Gede, Kintamani, Bali
Sumber Utama, 2007
Desa Bayung Gede memiliki perkebunan rakyat berupa perkebunan jeruk Bali yang
cukup memiliki kekhususan rasa yang manis dan buah yang cukp besar. Selain
perkebunan Jeruk, penduduk desa Bayung Gede juga ada yang bercocok tanam
74
sayur mayor baik untuk konsumsi masyarakat lokal maupun untuk pendukung
industri pariwisata di Bali.
Foto Perkebunan Jeruk milik penduduk Desa Bayung Gede, Kintamani Bali
Sumber Utama, 2007
Desa Bayung Gede terletak cukup strategis karena berdekatan dengan objek wisata
danau Batur Kintamani yang sudah terkenal, artinya kekuatan objek wisata alam
Kintamani dapat menjadi peluang bagi Desa Bayung Gede untuk menjadi desa
wisata ataupun agrowisata.
Anggapan Warga Desa Bayung Gede tentang Agrowisata
Agrowisata dianggap dapat memberikan peluang untuk meningkatkan
pendapatan keeeluarga, agrowisata juga dianggap dapat memunculkan peluang
bisnis baru yang dapat dilakukan oleh warga desa, tentu saja agrowisata dapat
meningkatkan status sosial dari desa mereka. (hasil wawancara dengan
beberapa warga desa, 2007).
75
“Agrowisata Bayung Gede”
Semboyan “Jangan Pulang sebelum membeli Jeruk!”
Produk Atribut Kondisi Kemasan
Atraksi
Kuburan Ari-ari Lestari Makna Unik
Kebun Jeruk Terawat baik Non olahan
Kebun Sayur Musiman Organik
Tradisi Musiman Event rutin
Budaya Tarian, Gamelan Seka/group
Ameniti
Penginapan Belum tertata Milik swasta
Restoran Belum tertata Milik swasta
Fasilitas umum Terbatas Milik umum
Visitor Center Belum tertata Belum tertata
Akses
Jarak dari Bandara 60 km
Paket
Tour/Mandiri
Jarak dari Kota
Kabupaten
10 km
Paket
Tour/Mandiri
Bus besar Terakses Paket Tour
Bus Kecil Terakses Paket
Tour/Mandiri
Ansileri
Kerjasama dengan
Travel agent
Belum tertata Belum
terbentuk
Komite Pariwisata
Desa
Belum terbentuk Belum
terbentuk
Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum
terbentuk
Community
Involment
Keramahtamahan Belum terintegrasi Belum
terintegrasi
Keterlibatan Belum terintegrasi Belum
terintegrasi
Objek Wisata
Terdekat
Danau Batur
Desa Truyan
Lestari
Lestari
Paket
Tour/Mandiri
Paket
Tour/Mandiri
Sumber: Hasil observasi, 2007
Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI
adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa
atau wilayah.
76
2. Desa Candikuning, Baturiti , Tabanan, Bali
Desa Candikuning merupakan desa penyangga kawasan wisata Bedugul, yang
memiliki tiga objek wisata yang sudah dikenal luas, yakni Kebun Raya Bali, Pura
Ulun Danu, dan Danau Beratan.
Foto Kebun Raya Bali
Sumber: Observasi, 2007
Kebun Raya Bali telah menjadi inspirator berkembangnya kawasan wisata
Bedugul khususnya yang berkaitan dengan pengembangan agrowisata rakyat di
sekitar kawasan Bedugul. Selain Kebun Raya Bali, kawasan bedugul memang
memiliki pemandangan alam yang cukup menawan. Produk pertanian yang
potensial untuk dikemas menjadi icon agrowisata seperti strawberry, sayur
sayuran, kentang, Jagung, dan bunga-bunga yang biasanya digunakan untuk
keperluan keagamaan di Bali.
77
Foto Pasar Tradisional di kawasan Bedugul, Bali
Sumber: Observasi, 2007
Di antara pengunjung yang sempat diwawancarai, mereka berpendapat jika
berwisata ke Bedugul tanpa membawa oleh-oleh, katanya belum ke Bedugul.
Sebelum sempat makan jagung dan membeli strawberry rasanya belum lengkap
artinya Strawberry dan sayur-sayuran secara otomatis telah menjadi icon dari
kawasan Bedugul khususnya untuk desa Candikuning sebagai agrowisata di
kawasan ini.
Anggapan Warga Desa Candikuning tentang Agrowisata
Senada dengan warga desa Bayung Gede, warga desa Candikuning juga memiliki
anggapan yang sama bahwa agrowisata dapat memberikan peluang untuk
meningkatkan pendapatan keluarga, berpeluang memunculkan bisnis baru terkait
pariwisata, dan meningkatkan status desanya (hasil wawancara dengan beberapa
warga desa, 2007)
78
“Agrowisata Candikuning”
Semboyan “Jangan Pulang sebelum menikmati jagung
rebus dan membeli strawberry!”
Produk Atribut Kondisi Kemasan
Atraksi
Kebun Strawberry Terawat baik Non olahan
Kebun Raya Bali Terawat baik Milik LIPI
Botanical
Kebun Sayur Musiman Organik
Tradisi Musiman Event rutin
Budaya Tarian, Gamelan Seka/group
Ameniti
Penginapan Tertata baik Milik swasta
Restoran Tertata baik Milik swasta
Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum
Visitor Center Belum tertata Belum tertata
Akses
Jarak dari Bandara 40 km
Paket
Tour/Mandiri
Jarak dari Kota
Kabupaten
15 km
Paket
Tour/Mandiri
Bus besar Terakses Paket Tour
Bus Kecil Terakses Paket
Tour/Mandiri
Ansileri
Kerjasama dengan
Travel agent
Telah dikenal Paket
Tour/Mandiri
Komite Pariwisata
Desa
Belum terbentuk Belum
terbentuk
Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum
terbentuk
Community
Involment`
Keramahtamahan Belum terintegrasi Belum
terintegrasi
Keterlibatan Belum terintegrasi Belum
terintegrasi
Objek Wisata
Terdekat
Kebun Raya Bali
Danau Bratan
Pura Ulun Danu
Agrowisata
Pancasari
Lestari
Lestari
Lestari
Belum Tertata
Paket
Tour/Mandiri
Paket
Tour/Mandiri
Paket
Tour/Mandiri
Paket
Tour/Mandiri
79
Sumber: Hasil observasi, 2007
Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI
adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa
atau wilayah.
3. Desa Wisata Blimbingsari, Jembrana, Bali
Desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata di kabupaten Jembrana.
Desa yang hanya berpenduduk 200 KK ini memiliki keunikan dan tradisi yang secara
turun temurun tetap dilestarikan. Di tengah lingkaran desa Blimbingsari terbangun
sebuah Gereja dengan arsitektur Bali dengan daya tamping lebih dari 300 orang.
Hampir mirip dengan desa tetangganya yakni desa Palasari juga memiliki keunikan
yang hampir sama. Kedua desa tersebut menjadi tujuan berlibur pada hari-hari
libur khususnya bagi kaum urban asal kedua desa tersebut. Dengan penataan dan
bloking desa ala kawasan jaman Belanda, kedua desa tersebut terlihat sangat
kontras dengan desa-desa lainnya disekitarnya.
Foto Bangunan sebuah Gereja di tengah desa Blimbingsari
Sumber: Observasi, 2007.
Uniknya lagi, hampir 100% penduduk desa Blimbingsari penganut agama Kristen
yang masih memegang teguh nilai—nilai kekristenannya di tengah arus globalisasi.
Desa ini menjadi unik karena berbeda dengan desa-desa lainnya di Bali karena
80
perbedaan factor agama penduduknya. Desa Blimbingsari memiliki lahan kebun
kelapa dan kakao sekitar 400 hektar yang mengelingi desa ini. Potensi agrowisata
bagi desa Blimbingsari adalah buah kelapa yang dapat dinikmati secara langsung.
Ada produk lainnya yang cukup popular di desa tersebut yakni produksi gula merah
yang berasal dari kelapa. Produk lainnya yang potensial dikembangkan di desa
tersebut seperti topi dari anyaman daun kelapa, dan produk olahan lain dari buah
kelapa.
Foto Jalan Masuk Menuju desa Blimbingsari
Sumber: Observasi, 2007
Anggapan Warga Desa Blimbingsari tentang Agrowisata
Masyrakat desa ini sangat antusius dengan agrowisata atau deasa wisata ini,
mereka beranggapan bahwa desa wisata dapat mengangkat taraf hidup warga
desa menjadi lebih baik, dan tentu saja status desa mereka akan terangkat. Saat
ini desa Blimbingsari telah dinyatakan sebagai desa wisata oleh pemerintah
daerah Bali. Walaupun demikian pengembangan potensi desa tersebut menjadi
desa wisata yang berbasis agro masih dalam tahap pembenahan atau dalam
istilah tourist area life cycle disebut tahapan explorasi. Telah mulai ada
wisatawan atau pengunjung yang datang ke desa tersebut untuk berlibur, dan
biasanya mereka menginap di rumah penduduk yang memang sengaja telah
disiapkan untuk penginapan. Desa ini memang unik, hanya di desa ini sajalah
wisatawan dapat menginap secara langsung tanpa harus kebingungan mencari
hotel (hasil wawancara dengan beberapa warga desa, 2007)
81
“Agrowisata Blimbingsari”
Semboyan “Jangan Pulang sebelum memotret gereja Bali
serta membawa pulang minyak kelapa dan gula merah!”
Produk Atribut Kondisi Kemasan
Atraksi
Kebun Kelapa Terawat baik Non olahan
Kebun Kakao Terawat baik Non olahan
Gula Merah Terawat baik Non olahan
Minyak Kelapa Asli Terawat baik Organik non olahan
Tradisi/Gereja
Kristen Bali
Musiman Event rutin (Paskah,
Natal, dll)
Budaya Bali Tarian, Gamelan Seka/group
Ameniti
Penginapan Tertata baik Milik Warga Desa
Restoran Tertata baik Milik Warga Desa
Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum
Visitor Center Belum tertata Balai Desa
Akses
Jarak dari Bandara 110 km Paket Tour/Mandiri
Jarak dari Kota
Kabupaten
15 km
Paket Tour/Mandiri
Bus besar Terakses Paket Tour
Bus Kecil Terakses Paket Tour/Mandiri
Ansileri
Kerjasama dengan
Travel agent
Telah dikenal Paket Tour/Mandiri
Komite Pariwisata
Desa
Telah terbentuk Telah terbentuk
Guide lokal /desa Telah terbentuk Diatur oleh komite
Community
Involment`
Keramahtamahan Telah terintegrasi Telah terintegrasi
Keterlibatan Telah terintegrasi Telah terintegrasi
Objek Wisata
Terdekat
Taman Nasional
Bali Barat
Pura Rambutsiwi
Pulau Menjangan
Bendungan Palasari
Lestari
Lestari
Lestari
Kurang terawat
Paket Tour/Mandiri
Paket Tour/Mandiri
Paket Tour/Mandiri
Paket Tour/Mandiri
Sumber: Hasil observasi, 2007
Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI
adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa
atau wilayah.
82
4. Desa Pelaga, Badung, Bali
Pelaga adalah sebuah kota kecil di bagian tengah Bali yang dikitari oleh
pengunungan dan hutan lindung. Sebuah agrowisata telah di bangun oleh seorang
warga Bali yang peduli dengan warga desa, tengah gundah dengan bisnis pariwisata
yang hanya memusatkan bisnisnya di kawasan perkotaan saja (Astawa, 2007)
Foto Desa Pelaga
Sumber Observasi, 2007
Dibangunnya Bagus Agrowisata ini bertujuan untuk objekk wisata yang ramah
lingkungan dan produksi pertaniaannya berupa produk organi sebagai produk
bahan makanan untuk keperluan industri pariwisata. Produk pertanian dari
kawasan ini berupa sayur-sayuran dan buah-buahan. Daya tarik kawasan ini sebagai
agrowisata didukung oleh pemandangan alam yang indah dan tentu saja kehidupan
masyarakatnya yang cukup damai.
83
Foto Lahan agro strawberry di Pelaga
Sumber: Observasi, 2007
Anggapan Warga Desa Pelaga tentang Agrowisata
Warga desa beranggapan agrowisata dapat memberikan peluang bisnis kepada
para warga khususnya bisnis yang terkait dengan pariwisata. Pengembangan
agrowisata di desa tersebut, telah memberi peluang kerja warga desa untuk
bekerja dan mendapatkan tambahan pendapatan (hasil wawancara dengan
beberapa warga desa, 2007)
“Agrowisata Pelaga”
Semboyan “Jangan Pulang sebelum melintasi Jembatan
Gantung dan membeli Strawberry atau sayuran!”
84
Sumber: Hasil observasi, 2007
Kondisi di atas mungkin telah berubah saat ini, namun demikian aspek 4A+CI
adalah rumusan yang ideal untuk mengukur potensi agrowisata di suatu desa
atau wilayah.
Produk Atribut Kondisi Kemasan
Atraksi
Kebun Strawberry Terawat baik Non olahan
Kebun Sayur mayor Terawat baik Non olahan
Kebun Agro swasta Terawat baik Non olahan
Jembatan Gantung Terawat baik Milik umum
Tradisi Musiman Event rutin
Budaya Bali Tarian, Gamelan Seka/group
Ameniti
Penginapan Tertata baik Milik Swasta
Restoran Tertata baik Milik Swasta
Fasilitas umum Terbatas bak Milik umum dan
swasta
Visitor Center Belum tertata Belum tertata
Akses
Jarak dari Bandara 50 km Paket Tour/Mandiri
Jarak dari Kota
Kabupaten
20 km
Paket Tour/Mandiri
Bus besar Terakses Paket Tour
Bus Kecil Terakses Paket Tour/Mandiri
Ansileri
Kerjasama dengan
Travel agent
Telah dikenal Paket Tour/Mandiri
Komite Pariwisata
Desa
Belum terbentuk Belum terbentuk
Guide lokal /desa Belum terbentuk Belum terbentuk
Community
Involment`
Keramahtamahan Belum
terintegrasi
Belum terintegrasi
Keterlibatan Belum
terintegrasi
Belum terintegrasi
Objek Wisata
Terdekat
Pura Taman Ayun
Alas Kedaton
Mongkey Forest
Sangeh
Lestari
Lestari
Lestari
Paket Tour/Mandiri
Paket Tour/Mandiri
Paket Tour/Mandiri
85
DAFTAR PUSTAKA
About Agritourism Retrieve 12 November 2006 from
http://www.farmstop.com/aboutagritourism.asp
Afandhi, Aminudin. (2005). Etika Pembangunan dan Pengembangan agrowisata di
Indonesia (Ethics of Agrotourism Development in Indonesia). Jakarta:
University of Trisakti Indonesia.
Agenda 21. 2006. The Travel Tourism Industry; towards Environmentally
Sustainable Development, WTTC, WTO, The Earth Council.
Agricultural Tourism Small Farm Center and Partners Launch Agricultural Tourism
Project, 12 November 2006 from
http://www.sfc.ucdavis.edu/agritourism/agritour.html
Anonim. 2004. ”Potensi Agrowisata”. Pada
http://lampungpost.com/berita.php?id=2004091006350721
Ariyanto. 2003. Ekonomi Pariwisata Jakarta: Pada
http://www.geocities.com/ariyanto eks79/home.htm
Aryanto, Rudy. 2003. Environmental Marketing Pada Ekowisata Pesisir:
Menggerakan Ekonomi Rakyat Daerah Otonom. P062024264 / S3 / PSL / IPB
Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade.
Bali Tourism Board. (2006). Official website of the Bali Tourism Board ,Denpasar,
Retrieve 22nd May 2007 from http://www.bali-tourism-board.com
Bapeda Bali. 1995. pada http://www.bapeda-bali.go.id
Barbier, Edward B. (1989). "Cash Crops, Foods Crops, and Sustainability: The Case
of Indonesia." World Development, vol. 17, no. 6, pp. 879-895.
Becken, S. (2004). How tourists and tourism experts perceive climate change and
forest carbon sinks. Journal of Sustainable Tourism.
Bisnis Bali Online. 2003. pada http://balipost.com
86
Brahmantyo, dkk . 2001. “Potensi dan Peluang Usaha dalam Pengembangan
Pariwisata Gunung Salak Endah”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah,
Vol 5. No. 3 Maret 2001.
Butler, Richard, and Hall, C. Michael. (2003). Tourism and Recreation in Rural Areas.
New York: John Wiley & Sons.
Cooper, Chris, at al. (2005). Tourism: Principles and Practice. London: Pearson
Education Limited, Third Edition.
Cooper, Chris. (2003). Aspects of Tourism: Classic Reviews in Tourism, Sydney:
Channel View Publication.
Dalem, A. A. G. R. (1999). Birds as a potential tourist attraction at Nusa Dua lagoon,
Nusa Dua, Bali, Indonesia. A preliminary study. pp. 159–172. Proceedings of
the International Seminar of Sustainable Tourism: The Balinese Perspective
in Denpasar, Bali.
Deptan, 2005. “Agrowisata Meningkatkan Pendapatan Petani” pada
http://database.deptan.go.id
Eadington, W.R. and Smith, V.L. (1995) Introduction: The emergence of alternative
forms of tourism. In V.L. Smith and W.R. Eadington (eds) Tourism
Alternatives: Potentials and Problems in the Development of Tourism (pp.
1–12). Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Erari, K.Ph, 1999. Tanah Kita Hidup Kita. Hubungan Manusia dan Tanah di Irian Jaya
Sebagai Persoalan Teologis (Ekotologis Dalam Perspektif Malenesia).
Fandeli, Chafid. 2001. Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. (Editorial)
Yogyakarta: Liberty
Faulkner B. 1997. Tourism development in Indonesia: The “Big Picture” Perspective.
Planning Sustainable Tourism. ITB. Bandung
Gilbert, A.J. (1990). Natural Resource Accounts in drylands management. In Dixon,
J.A., D.E. James and P.B. Sherman. Dryland Management: economic case
studies.
87
Gunawan M.P. 1997. Tourism in Indonesia: Past, Present and Future. Planning
Sustainable Tourism. ITB. Bandung
http://geographyfieldwork.com official website for Barcelona Field Studies Centre
offers geography, biology, ecology and environmental field studies
programmes throughout the year.
Indonesian Agricultural Department. (2002). Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Vol.24 No.1, 2002, Retrieve 12 November 2006 from
http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm
Indonesian Agricultural Department. (2005). “Agrowisata Meningkatkan
Pendapatan Petani” 12 November 2006 from http://database.deptan.go.id
Jafari, J and Ritchie, J. (1981). Towards a framework for tourism education. Annals
of Tourism Research.
Jamieson, W. and Noble, A. (2000). A Manual for Community Tourism Destination
Management. Canadian Universities Consortium Urban Environmental
Management Project Training and Technology Transfer Program, Ca
Lindberg, K. 1996. The Economic Impacts of Ecotourism. Retrive 12
November 2006 from http://ecotour.csu.edu.au/ecotour/mar1.htm
Lane. (1994). Tourism Management: Profiling segments of tourists in rural areas,
needs and wants. Department of Quantitative Methods for the Economy,
University of Murcia, Campus de Espinardo, 30100 Murcia, Spain.
Lindberg K. dan Hawkins E.D, 1995. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencanaan dan
Pengelolaan. The Ecotourism Society. North Benington, Vermont.
LIPI. 2005. “Kebun Raya Bogor : Cikal Bakal Perpustakaan Indonesia” pada
http://www.lipi.go.id/www/www.cgi?cetak&1111211845
Lobo, R.E., Goldman G.E. and others. 1999. Agricultural Tourism: Agritourism
Benefits Agriculture in San Diego County, California Agriculture, University
of California.
McIntosh and Goeldner. (1990). Tourism. Principles, Practices, and Philosophies
(sixth ed.), Grid Publishing, Columbus.
88
Mulyani, A., Wahyunto, and F. Agus. (2003). Land suitability and land use changes
in Indonesia. Presented at AMAF+3 Symposium on Research and
Development of Sustainable Agriculture. 25-26 Feb. 2003, Phnom Penh,
Cambodia. (Unpublished).
Nugroho, K., et al. (1997). Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian
lahan rawa lebak, rawa pasang surut, dan pantai. Proyek penelitian sumber
daya lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang
Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
OTA. (1992). Southeastern Rural Mental Health Research Center, University of
Virginia, Madison House, 170 Rugby Road, 22903 Charlottesville, Virginia
Page, J. Stephen and Getz, Don. (1997). The business of Rural Tourism:
international perspective. London: International Thomson Business Press.
Pitana, I Gde. 2002. “Pengembangan Ekowisata di Bali”. Makalah Disampaikan pada
Seminar Ekowisata di Auditorium Universitas Udayana pada tanggal 29 Juni
2002.
Pitana, I Gede. (2005). Sosiologi Pariwisata, Kajian sosiologis terhadap struktur,
sistem, dan dampak-dampak pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.
Postma, Albert. (2002) An Approach for integrated development of quality
tourism. In Flanagan, S., Ruddy, J., Andrews, N. (2002) Innovation tourism
planning. Dublin: Dublin Institute of Technology: Sage.
Primack, R. B. J., Supriatna, M., Indrawan, and Kramadibrata, P. (1998). Biologi
Konservasi. 345pp. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Promoting responsible travel. Missouri Department of Agriculture: Ag Business
Development Division 1616 Missouri Boulevard. At
www.sustainabletravelinternational.org
Pujaastawa, IBG., Wirawan, IGP., Andika, IM. (2005). Pariwisata Terpadu: Alternatif
Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar: Udayana
University. (”Alternative Tourism Development for Middle part of Bali).
Reynolds. (2005). Consumer demand for. agricultural and on-farm nature tourism.
Davis, CA: University of California.
89
Rilla, E. (1999). Bring the City & County Together. California Coast and Ocean. Vol.
15, No. 2. 10p.
Schurink, Harrie, J., A. (2000). Agricultural tourism in Indonesia: Development of
agricultural tourism in Central Java and Bali and the role of the government
in this development.Leeuwarden:Dissertation Master of Arts International
Leisure and Tourism Studies.
Spillane, James.1994. Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan prospeknya.Yogyakarta:
Kanisius.
Statistic Agency of Indonesia/Badan Pusat Statistik. (2006). Tourism and Cultural
Department, Retrieve 12 December 2006 from http://www.budpar.go.id
Subadra, I Nengah. (2006). Is Ecotourism Ecologically Developed?. Retrieve 7 June
2007 from http://subadra.wordpress.com
Sudibya, Bagus. 2002. “Pengembangan Ecotourism di Bali: Kasus Bagus Discovery
Group”. Makalah disampaikan pada Ceramah Ecotourism di Kampus STIM-
PPLP Dhyana Pura, Dalung, Kuta pada tanggal 14 Agustus 2002.
Sutjipta, I Nyoman. (2001). Agrowisata.Magister Manajemen Agribisnis: Universitas
Udayana.
Syamsu dkk. 2001. “Penerapan Etika Perencanaan pada kawasan wisata, studi
kasus di kawasan Agrowisata Salak Pondoh, Kabupaten Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta”. Jakarta: LP3M STP Tri Sakti, Jurnal Ilmiah, Vol 5. No. 3
Maret 2001.
Tambunan, Tulus. (2006). Long term trends in the industrial and economic growth
in Indonesia, Center for Industry and SME Studies, Faculty of Economics,
University of Trisakti Indonesia.
The International Ecotourism Society at http://www.ecotourism.org
Tjokrowinoto. (2002). Tourism Information System of Indonesia. Yogjakarta, Gajah
Mada University
UNEP. (2003). UNEP publications that provide information on the tourism industry,
Agenda 21- The Role of Lokal Authorities in Sustainable Tourism. Retrieve
90
12th May 2007 from
http://www.uneptie.org/pc/tourism/library/home.htm
Utama, I Gusti Bagus Rai. (2007) Agrotourism as an alternative form tourism in
Bali. CHN Dissertation, Netherlands.
Veal, A.J., (1997). Research Methods for Leisure and Tourism: a Practical Guide.
London: Pitman.
Veer , Marije., and Tuunter, Erik. (2005). Rural tourism in Europe: An exploration
of success and failure factors. Raamweg: Stichting Recreatie, Expert and
Innovation Centre
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.24 No.1,2002 pada
http://www.pustaka-deptan.go.id/publ/warta/w2419.htm
WTO. 2003. World Tourism Organization. (2000).Tourism Trends. Madrid
Yuwono, Triwibowo (2011). Membangun Pertanian: Membangun Citra dan
Kedaulatan, from Sumber:
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=246409&actmenu=39
91
BIODATA PENULIS
I GUSTI BAGUS RAI UTAMA, SE., MMA., MA. Lahir di Lampung Tengah, 10 Oktober 1970
Menamatkan Sarjana Ekonomi (S.E.) dari Universitas
Mahasaraswati Denpasar pada tahun 2001. Karna
kepeduliannya pada kondisi pertanian yang semakin
terdesak akhirnya kemudian melanjutkan pada
program pasca sarjana Magister Manajemen
Agribisnis (MMA) di Universitas Udayana Bali dan
tamat tahun 2005. Pada tahun 2006 mendapat
kesempatan melanjutkan studi ke negeri Belanda
untuk mempelajari bidang pariwisata (M.A.) dan
tamat pada tahun 2007. Saat buku ini di tulis (2010)
sedang melanjutkan studi pada jenjang doktor untuk bidang pariwisata di
Universitas Udayana Bali.
Saat ini bekerja sebagai dosen di Universitas Dhyana Pura Bali. Adapun
matakuliah yang diampu adalah: Metodologi Penelitian, Manajemen Strategik,
Statistik Bisnis, Pengantar Bisnis, Sistem Informasi Manajemen, Aplikasi Komputer,
dan Ekonomi Pariwisata.
Pada tahun 2006, pernah melakukan studi lapangan pada beberapa tempat
wisata dunia yang berada di negeri Belanda dan Inggris. Pernah Melakukan
penelitian tentang Agrotourism. Tahun 2007. Oral Presenter pada Call Paper: the
International Conference on Sustainable Development (ICSD), 6 Maret 2012, Sanur
Bali, Oral Presenter pada Seminar Nasional yang bertema Pembangunan Pariwisata
Berkelanjutan, 20 Maret 2012. Menghadiri Seminar: Tourism Ethics for Asia and the
Pasific, Responsible Tourism and its socio-economic impact on lokal communities,
11 Juni 2011, Nusa Dua Bali. Melakukan Studi Lapangan di Ecotourism Halong Bay,
Vietnam, Heritage, Angkor Wat, the Cambodia, Januari 2012. Studi lapangan di
Heritage, Prambanan and Borobudur, Yogyakarta and Magelang, 2010
Saat ini, sedang menulis buku Metodologi penelitian pariwisata dan
perhotelan, statistik terapan untuk pariwisata dan perhotelan dilengkapi dengan
studi kasus serta pembahasannya.