agroindustri-pemanfaatan sektor pertanian sebagai penyeimbang nilai ekspor dan impor
TRANSCRIPT
AGROINDUSTRI: PEMANFAATAN SEKTOR PERTANIAN SEBAGAI
PENYEIMBANG NILAI EKSPOR DAN IMPOR
Oleh: I Wayan Darya Kartika*
Indonesia merupakan negara agraris yang sudah sejak dahulu menjadikan
sektor pertanian sebagai penopang perekonomian negara. Sampai saat ini pun sektor
pertanian masih tetap menyumbang devisa yang cukup besar bagi perekonomian
negara, yaitu sekitar. Namun, dengan sumber daya yang melimpah, proses
perkembangan dan modernisasi sektor pertanian Indonesia berjalan sangat lambat.
Salah satu indikatornya yaitu produktivitas pertanian yang cenderung menurun dan
petani sebagai ujung tombaknya sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan.
Menurut BPS (2002) dari 49,9 juta penduduk miskin Indonesia pada tahun 2002,
sekitar 54 % diantaranya terdiri dari masyarakat petani. Penyebabnya antara lain
penerapan teknologi di sektor pertanian yang masih rendah.
Telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun 1996 (Anonim, 1996)
menegaskan bahwa: untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang
dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan
sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya
lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi
produksi pangan. Jadi sudah jelas bahwa penerapan teknologi pertanian sangat
penting dalam pembangunan pertanian Indonesia.
Terkait dengan kegiatan bertani, agroteknologi diperlukan terutama dalam upaya
intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi pertanian (Husodo, 2001). Dari segi
intensifikasi, teknologi membuat Panca Usaha Tani dapat berjalan dengan lebih
mudah. Sedangkan dalam ekstensifikasi, teknologi membantu dalam ketersediaan
perluasan lahan. Teknologi juga membantu penganekaragaman hasil produksi
pertanian (diversifikasi). Secara langsung, penggunaan teknologi pada ketiga unsur
pokok pertanian tadi diharapkan dapat membangun paradigma baru dalam konsep
bertani yaitu farming will be easy with technology (pertanian menjadi lebih mudah
dengan teknologi). Sehingga agroteknologi-lah yang menjadi kunci sektor pertanian
untuk melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu: “agroindustri”
Di sisi lain, keadaan perekonomian Indonesia saat ini sudah sangat
memperihatinkan. Indikasi iklim pertanian yang buruk itu antara lain kenaikan harga
BBM, harga sembako, dan nilai impor lebih banyak dari nilai ekspor. Menyoroti indikasi
perihal “ketidakseimbangan nilai ekspor-impor”, maka Indonesia sangat memerlukan
jalan keluar yang efektif dan efisien, mengingat nilai total impor beberapa bahan
pangan (beras, kedelai, gula, dan garam) tahun 2003 mencapai nilai 829,81 juta dolar
*Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor
AS dengan total volume impor 4.668.111 ton (BPS, 2003). Bukan mustahil jika
agroindustri menjadi salah pilihan alternatif untuk menekan atau paling tidak
mengurangi laju nilai impor Indonesia.
Nah, yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana agroindustri
dapat menyokong perekonomian Indonesia, khususnya untuk “menyeimbangkan”
kembali nilai ekspor dan impor? Serta, apa saja kendala yang dihadapi?. Untuk
menjawab hal ini mutlak diperlukan kajian mengenai agroindustri dan peranannya
dalam meningkatkan perekonomian masyarakat (khususnya petani) sehingga didapat
suatu korelasi positif antara keduanya.
Supriyati dan Emma Suryani (2006) dalam analisisnya mendefinisikan
agroindustri sebagai industri yang pada umumnya mengandalkan sumber daya alam
lokal yang mudah rusak (perishable), bulky/volumineous, tergantung kondisi alam,
bersifat musiman, serta teknologi dan manajemennya akomodatif terhadap
heterogenitas sumber daya manusia (dari tingkat sederhana sampai teknologi maju)
dengan kandungan bahan baku lokal yang tinggi. Definisi tersebut menegaskan bahwa
agroindustri adalah sistem pengolahan hasil pertanian berbasis teknologi yang
tersusun atas suatu kelembagaan yang utuh.
Agroindustri memiliki peran yang strategis dalam upaya pemenuhan bahan
kebutuhan pokok, perluasan kesempatan kerja, pemberdayaan hasil pertanian lokal,
dan sebagai sumber tambahan devisa (Dirjen IKAH, 2004). Dengan pengembangan
empat peran pokok agroindustri tersebut, pemulihan dan penyeimbangan nilai ekspor-
impor akan segera dapat diwujudkan.
Pertama, dalam perannya sebagai pemenuh bahan kebutuhan pokok,
agroindustri seharusnya mendapatkan prioritas utama. Tapi sering kali pemerintah
mengutamakan industri manufacture yang seyogyanya berorientasi ekspor dan
“menduakan” agroindustri. Akibatnya sektor jadi terbengkalai. Agroindustri memiliki
peluang yang sama atau bahkan lebih besar dari industri manufacture kebanyakan.
Agroindustri mengolah hasil pertanian (sumber daya alam yang terbarukan),
sedangkan manufacture mengolah hasil tambang (sumber daya alam yang tidak
terbarukan). Jadi pendirian agroindustri dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan
yang akhirnya dapat membentuk iklim “swasembada” (berkecukupan).
Seperti pepatah mengatakan, “kuman di seberang lautan kelihatan tapi gajah di
pelupuk mata tidak kelihatan”. Mungkin pepatah itulah yang mencerminkan masyarakat
pencari kerja di Indonesia. Mereka berlomba-lomba mencari pekerjaan yang bergengsi
di perkotaan dan meninggalkan desa mereka. Jika sumber daya desa, khususnya
sektor pertanian dikembangkan menjadi agroindustri tentu akan menyerap tenaga
kerja dengan jumlah yang lebih besar. Data Statistik Indonesia (2005) menyatakan
persentase pertambahan angkatan kerja per tahun di Indonesia mencapai 2,1 % untuk
2
daerah perkotaan dan daerah pedesaan sebesar 1,5 %. Pemerataan agroindustri di
pedesaan akan menggairahkan pencari kerja untuk bekerja di bidang agroindustri yang
pada akhirnya akan meningkatkan angkatan kerja pedesaan. Dalam usaha
menyeimbangkan nilai ekspor-impor, agroindustri yang telah menjadi lapangan kerja di
pedesaan akan memungkinkan untuk dapat mengolah hasil panen, sehingga
mengurangi impor (dengan asumsi sektor pertanian hanya ada di daerah pedesaan).
Dalam memberdayakan hasil pertanian lokal, agroindustri dapat mempersingkat
waktu pengolahan berbagai komoditas lokal sekaligus memberikan nilai tambah pada
komoditas tersebut. Peran agroindustri seharusnya dikembangkan menjadi lembaga
penyalur produk pertanian sehingga masyarakat petani tidak kebingungan
memasarkan hasil pertaniannya. Secara tidak langsung, penyaluran dan pemasaran
akan menekan nilai impor kebutuhan pangan. Mengapa? Karena hasil pertanian cepat
sampai ke tangan konsumen yang membutuhkan. Tingkat permintaan menurun
sehingga harga pasar dapat terkendali. Alhasil, nilai impor dapat ditekan hingga
berangsur-angsur setara dengan nilai ekspor.
Agroindustri yang juga mempercepat penanganan hasil pasca panen akan
berpeluang memberikan surplus pada komoditi yang diolah apabila tingkat kebutuhan
konsumen terpenuhi (swasembada). Surplus (kelebihan) pengolahan hasil pertanian
oleh agroindustri dapat disimpan untuk cadangan ataupun diekspor untuk menambah
devisa. Berkaitan dengan penyeimbangan nilai ekspor-impor, devisa yang dihasilkan
mampu menutupi utang luar negeri sehingga mempertahankan nilai ekspor dan impor.
Namun semua peranan dan prospek agroteknologi di atas, tidak terlepas dari
berbagai kendala. Kendala utama berasal dari sektor pertanian sendiri, sehingga
secara tidak langsung pengembangan agroindustri pada sektor pertanian ikut
terhambat. Pertama, petani menganggap sektor pertanian tidak lagi menjadi
“primadona” dan tidak menjanjikan. Pendapatan atau penghasilan dari sektor pertanian
tidak memadai, dimana harga jual sangat rendah sementara biaya produksi sangat
tinggi.
Sebetulnya hal ini terjadi karena kelemahan kebijakan pemerintah mulai dari
penyediaan pupuk, pembelian gabah dan penerapan harga pembelian pemerintah
(HPP), distribusi beras maupun pengelolaan agroindustri. Dari hulu sampai hilir tidak
berjalan sistematis sehingga banyak ketimpangan-ketimpangan dalam
mengimplemetasikan kebijakan tersebut. Lingkaran inilah yang membuat sektor
pertanian tidak menguntungkan secara ekonomi, karena menimbulkan ekonomi biaya
tinggi dalam proses produksinya.
Kedua, pemasaran produk (product of marketing) pertanian sangat terbatas,
faktor utama dalam pertanian adalah pemasaran, karena saat ini pasar sangat terbatas
3
dalam menerima produk hasil pertanian selain itu juga hanya produk-produk tertentu
dari pertanian bisa diserap pasar.
Kebanyakan petani kita tidak memahami konsep pemasaran produk, sehingga
petani kesulitan dalam memasarkan produk-produk pertanian yang akhirnya membuat
harga tidak stabil atau tidak menguntungkan.
Ketiga, lahan pertanian semakin sempit, selama ini banyak lahan pertanian
disulap menjadi lahan industri dan lahan perumahan (realestate). Pernyataan tersebut
sesuai dengan data Biro Pusat Statistik (2003) yang menyatakan jumlah lahan kritis di
Indonesia yang sampai ujung tahun 2003 hanya tinggal 22,115,140 hektar saja. Hal ini
disebabkan karena banyak petani yang menjual lahan pertaniannya karena
menganggap pertanian sudah tidak lagi bisa menjadi “sandaran” hidup atau tidak lagi
menjanjikan. Sehingga petani tergiur keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan
dampak yang terjadi setelah penjualan tanah tersebut. Dengan kurangnya lahan, maka
mustahil suatu agroindustri akan berkembang.
Keempat, kurangnya dukungan “finansial” bagi dunia pertanian, selama ini bank
sebagai pemegang otoritas keuangan baik bank pemerintah maupun swasta kurang
sekali dalam mengucurkan kredit bagi usaha-usaha pertanian sehingga pertanian sulit
untuk berkembang karena kesulitan finansial. Selama pihak perbankan masih belum
sepenuhnya percaya terhadap dunia pertanian, maka dengan sendirinya dunia
pertanian, khususnya bidang agroindustri kita tidak berkembang.
Dapat disimpulkan, bahwa ruang lingkup “agroindustri” tidak terlepas dari sektor
pertanian, karena agroindustri merupakan langkah “taktis” lanjutan usaha untuk
menaikan atau mengembangkan nilai guna atau manfaat lebih dari hasil pertanian.
Sektor agroindustri dalam ruang lingkup penyeimbang nilai ekspor dan impor saat ini
mencakup berbagai macam usaha komersial, dengan menggunakan kombinasi
“heterogen” dari tenaga kerja, bahan (SDA), modal dan teknologi. Selain itu juga
agribisnis merupakan sektor perekonomian yang menghasilkan dan mendistribusikan
masukan bagi para petani, dan memasarkan, memproses serta mendistribusikan
produk usaha tani kepada pengguna atau konsumen.
Solusi-solusi yang dapat diberikan kepada segenap masyarakat, khususnya
petani yang ingin mengembangkan agroindustri di desanya adalah sedini mungkin
berusaha untuk mengembangkan potensi lokal daerah sehingga nanti dapat
membantu pembentukan agroindustri di daerah masing-masing. Selain kreativitas
dalam mengolah hasil pertanian, juga diperlukan suatu jiwa enterpreneur
(kewirausahaan) untuk berani membangun agroindustri sendiri, walaupun setingkat
rumah tangga. Apabila diperlukan, jalinlah kerjasama dengan perusahaan skala besar
yang bergerak di bidang pertanian agar dapat menjadi sumber komoditi lokal bagi
agroindustri yang dijalani.
4
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1996. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan RI.
Biro Pusat Statistik. 2002. Angka Kemiskinan Penduduk menurut Provinsi dan
Kabupaten/Kota, Tahun 1999 – 2002. http://www.datastatistik-indonesia.com
Biro Pusat Statistik. 2003. Volume dan Nilai Impor Beberapa Bahan Pangan Tahun
2003. http://www.datastatistik-indonesia.com
Biro Pusat Statistik. 2005. Persentase Pertambahan Angkatan Kerja per Tahun
menurut Propinsi dan Daerah, 1996-2005. http://www.datastatistik-
indonesia.com
Biro Pusat Statistik. 2005. Luas Lahan Kritis per Propinsi s/d Akhir Tahun 2003.
http://www.datastatistik-indonesia.com
Departemen Perindustrian Dan Perdagangan. 2000. Program Dan Strategi
Pembangunan Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan. Direktorat Jendral Industri
Kimia, Agro dan Hasil Hutan (IKAH) 2000-2004. Jakarta
Husodo, Siswono Yudo. 2001. Kemandirian di Bidang Pangan, Kebutuhan Negara
Kita. Semarang
Supriyati dan Emma Suryani. 2006. Peranan, Peluang, dan Kendala Pengembangan
Agroindustri di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Bogor
5