agama manusia

27
Page 1 of 27 KEBERAGAMAAN HUMANIS: SEBUAH AGENDA DALAM PLURALITAS AGAMA Oleh: Nuruddin Mhd Ali A. PENDAHULUAN Setidaknya ada dua pengalaman yang menyebabkan terjadinya penilaian yang negatif terhadap agama, yaitu pengalaman buruk dalam melihat agama dan, yang kedua, pengalaman buruk dalam beragama. Yang pertama merupakan pengalaman yang melihat agama ternyata justru menyebabkan terjadinya berbagai pembatasan yang menyebabkan manusia tidak bisa membebaskan dirinya untuk memperbaiki keadaannya. Dalam pandangan Karl Marx, yang mewakili pendapat pertama ini, agama telah menjadi candu (opium), yang hanya dapat menawarkan kenikmatan sesaat, atau sebagai tempat pelarian dari nestapa kehidupan yang dirasakan oleh manusia. Dengan ungkapan lain, agama tidak dapat memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan. Kalangan agamawan pun dituduh sebagai golongan otoriter dan penghayal yang lebih peduli dengan kehidupan di akhirat dari pada kehidupan di dunia. Menurut pengalaman yang kedua, agama justru sering menjadi pemicu kegiatan-kegiatan yang mengacu pada terjadinya proses kekerasan, peperangan dan berbagai konflik horizontal. Sudah tidak terhitung biaya manusia (human cost) yang dikeluarkan untuk membela agama atau,

Upload: nashir-azraldien

Post on 23-Jul-2015

105 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agama Manusia

Page 1 of 17

KEBERAGAMAAN HUMANIS:

SEBUAH AGENDA DALAM PLURALITAS AGAMA

Oleh: Nuruddin Mhd Ali

A. PENDAHULUAN

Setidaknya ada dua pengalaman yang menyebabkan terjadinya penilaian yang

negatif terhadap agama, yaitu pengalaman buruk dalam melihat agama dan, yang

kedua, pengalaman buruk dalam beragama. Yang pertama merupakan pengalaman

yang melihat agama ternyata justru menyebabkan terjadinya berbagai pembatasan

yang menyebabkan manusia tidak bisa membebaskan dirinya untuk memperbaiki

keadaannya. Dalam pandangan Karl Marx, yang mewakili pendapat pertama ini,

agama telah menjadi candu (opium), yang hanya dapat menawarkan kenikmatan

sesaat, atau sebagai tempat pelarian dari nestapa kehidupan yang dirasakan oleh

manusia. Dengan ungkapan lain, agama tidak dapat memberikan jawaban terhadap

persoalan-persoalan kemanusiaan. Kalangan agamawan pun dituduh sebagai golongan

otoriter dan penghayal yang lebih peduli dengan kehidupan di akhirat dari pada

kehidupan di dunia. Menurut pengalaman yang kedua, agama justru sering menjadi

pemicu kegiatan-kegiatan yang mengacu pada terjadinya proses kekerasan,

peperangan dan berbagai konflik horizontal. Sudah tidak terhitung biaya manusia

(human cost) yang dikeluarkan untuk membela agama atau, meminjam ungkapan

Karen Armstrong, ‘bertempur untuk membela Tuhan’ (the battle for God).

Menghadapi sikap skeptis ini, hampir semua agama mengungkapkan

penolakan dan mengemukakan argumen bahwa agamanya adalah agama yang

menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati,

menjunjung tinggi sikap egaliter. Tetapi, mengapa dalam realitas historis-empiris,

doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja

dunia yang ideal tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak? Dalam

Islam pun idem ditto, ajaran-ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan

ternyata tidak selamanya dapat terlaksana dalam realitas historis-empirisnya. Hal ini

tentu kontra produktif dalam era global sekarang di mana agama sering ketinggalan

langkah dalam menyikapi isu-isu global seperti demokratisasi, HAM, lingkungan

hidup dan pluralitas. Sedangkan isu-isu tersebut justru menjadi perhatian utama

orang-orang yang sering dijuluki sebagai kalangan sekuler.

Page 2: Agama Manusia

Page 2 of 17

Untuk itu, menjadi menarik dikaji tentang sikap keberagamaan model

bagaimana yang dapat menghadirkan kembali peran agama (atau ekstremnya,

menghadirkan Tuhan) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Tulisan

ini bermaksud untuk mengelaborasi model-model sikap keberagamaan dalam

pluralitas masyarakat dunia, dan kemudian mencoba untuk mencarikan alternatif

model keberagamaan (khususnya keberagamaan Islam) dan upaya-upaya untuk

mengimplementasikannya.

B. TIGA SIKAP KEBERAGAMAAN

Dengan demikian jelaslah bahwa pluralisme agama mempunyai problematika

sendiri ketika diimplementasikan, apakah memilih membatasi persoalan agama pada

persoalan privat atau pada level masyarakat agama tertentu (denominasi). Untuk

mendapatkan suatu pemahaman tentang pluralisme yang lebih jauh, perlu

dikemukakan pola-pola keberagamaan yang akan berimplikasi pada sikap terhadap

agama-agama lain.

Dalam penelitian ilmu agama-agama, paling tidak ada tiga sikap

keberagamaan yaitu ekslusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Berikut ini akan

dideskripsikan ketiga pandangan teologis tersebut, dengan sedikit latar belakang

sejarah teologi, terutama Kristiani, karena agama Kristiani adalah agama yang sangat

panjang pengalaman sejarahnya, menyangkut isu ini. Dewasa ini, wacana pluralisme

juga sangat hidup dalam tradisi pemikiran kristiani, dimana agama-agama lain,

misalnya Islam, bisa mengambil pelajaran dari pergumulan Kristiani.1

1. Sikap Ekslusif

Sikap ini merupakan pandangan yang dominan sepanjang masa, dan terus

dianut hingga sekarang. Bagi agama Kristen ini pandangan ini adalah bahwa Yesus

merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan

kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak

melalui Aku” (Yohanes 14:6). Ayat ini dalam perspektif orang yang bersikap ekslusif

sering dibaca secara literal. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan, “Dan

keselamatan tidak ada di dalam siapapun selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong

langit ini tidak ada nama lain – maka terkenallah istilah No Other Name-yang

1 Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman: Jakarta: Paramadina, hal. 44.

Page 3: Agama Manusia

Page 3 of 17

diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul

4, 12). Sehingga istilah “No Other Name!” itu lalu menjadi simbol tentang tidak

adanya keselamatan di luar Yesus Kristus.2

Pandangan seperti ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama dari

Gereja, yang kemudian mendapat perumusan seperti extra ecclesiam nulla salus!

(tidak ada keselamatan di luar Gereja), juga berkaitan dengan masa depan, extra

ecclesiam nullus propheta! (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah

dikukuhkan dalam konsili Florence 1442. 3

Untuk contoh Islam, walaupun tidak ada semacam kuasa gereja dalam agama

Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di

atas, banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada pandangan-

pandangan ekslusif, beberapaga ayat yang biasa dipakai sebagai pengungkapan

ekslusivitas Islam adalah:

Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-ucapkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu.4

Barang siapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia akan termasuk golongan yang rugi.5

Sungguh, agama pada Allah ialah Islam (tunduk pada kehendak-Nya)6

2. Sikap Inklusif

Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific

presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan

dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. “Menjadi Inklusif berarti

percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus…”,

begitu kata Alan Racee, the Anglican Chaplain pada Universitas Kent.7

2 Ibid3 Dengan menganut doktrin ini, selama berabad-abad ummat Kristen, meminjam istilah Boisard, mengeluarkan hukuman terhadap Islam dengan membandingkannya dengan agama-agama yang terdahulu dan agama yang ada sekarang. Mereka mengatakan bahwa Islam adalah kemurtadan (heresy)dan mendakwa Muhammad sebagai Nabi palsu. Doktrin inilah yang antara lain menyebabkan terjadinya misi penyelamatan manusia melalui zending dan sebagainya. Lihat, Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L’ Humanisme de l’Islam. Jakarta: Bulan Bintang4 Q.,s. al-Ma’idah/5:35 Q.,s. Alu Imran/3:856 Q.,s. Alu Imran/3:197 lihat, Budhy Munawar Rahcman. 2001. Islam Pluralis…, hal. 46

Page 4: Agama Manusia

Page 4 of 17

Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada

dokumen Konsili Vatikan II,8 mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965.

Dokumen yang berkaitan dengan agama lain, ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja

dan Agama-agama Non Kristiani” (Nostra Aetate).9

Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang

filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang membedakan antara orang-orang dan

agama Islam umum (yang non-Muslim par excellence), dan orang-orang dan agama

Islam khusus (Muslim par exellance). Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai

“sikap pasrah kepada Tuhan.” Mengutip Ibn Taymiyah,

Pangkal Islam adalah persaksian bahwa “Tidak ada suatu tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya,” dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan meningalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘amm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya.”

Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang Muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi10 - dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam”11 – tidaklah sungguh tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.”12

Dalam tafsiran mereka yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif”

ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang

disebut al-Islam (ketundukan dan sikap pasrah) itu tidaklah berarti bahwa mereka dan

kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai

orang-orang Muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul,

dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing

8 Konsili Vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak (point of departure) hidup Gereja yang dialogis. Namun tidak berarti bahwa seakan-akan hidup Gereja yang dialogis tidak pernah ada sebelumnya. Dialog sebagaimana dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada tradisi hidup Gereja. Sebelum Konsili Vatikan II ini telah ada pengalaman yang menunjukkan pandangan yang positif terhadap agama-agama lain, kemudian berkembang menjadi pandangan extra Ecclesiam nulla salus dan, pada akhirnya memunculkan sikap dialogis. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 23.9 Dokumen Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban historis dan teologis sikap dialogis Gereja terhadap agama-agama non-Kristiani, sebab dokumen ini seakan menjadi semacam evaluasi tentang sikap Gereja masa lampau terhadap agama-agama lain. Lewat deklarasi Noastra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu-ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat mengantar ke dialog dan rekonsiliasi. Nostra Aetate berisi penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan agama-agama bukan Kristen dan gagasan tentang dialog. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 53-5710 Q., s. Alu Imran/3:8511 Q., s. Alu Imran/3:1912 Dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis…, hal. 46-47

Page 5: Agama Manusia

Page 5 of 17

(“Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya.13

Kesimpulannya: kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa semua

nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun

agama mereka satu.”14 Mereka menganut pandangan al-Quran tentang adanya titik

temu agama-agama15, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah

(jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju

kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki

adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan

menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan

menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu.16

3. sikap paralelisme

Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen)

mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas

adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan

yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan

fenomenologis. Tokoh utama yang paling imperatif mengemukakan paradigma

pluralis ii adalah John Harwood Hicks dalam karyanya, God and the Universe of

Faith (1973). Hick dianggap sebagai orang yang telah melakukan revolusi dalam

teologi agama-agama. Hick menggunakan analogi alam semesta untuk

menggambarkan pikirannya tentang pluralisme. Dalam astronomi, Ptolomeus,

dikatakan bahwa bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Diterangkan juga

tentang pergerakan-pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle.

Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolomeus makin tidak masuk

akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan

gambaran Ptolomeus, dengan menganggap bahwa mataharilah yang sebenarnya pusat

alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak bahwa teologi

Ptolomeus kuno (kalangan ekslusivis) dan pertumbuhan epicycle-ya (para inklusivis)

yang menganggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin

13 Q., s. Ibrahim/14:414 Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu” (H.R Bukhari)15 Q., s. Alu Imran/ 3: 6416 Q., s. al-Ma’idah/5:48

Page 6: Agama Manusia

Page 6 of 17

menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi

Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi dengan mengganti kekristenan (Yesus-

Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama

termasuk Kristen melayani dan mengelilingi-Nya.17

Dalam perspektif Islam, Islam pluralis adalah pengembangan liberal dari islam

inklusif. Menurut para penganjurnya, antara lain Seyyed Hossein Nasr dan Fritjhof

Schuon, perbedaan antara agama-agama diterima sebagai perbedaan dalam

meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman.” Setiap agama

pada dasarnya terstruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman

iman. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang lain.18

Pandangan Pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai

adalah keseragaman bentuk agama, sebab gagasan pluralisme keagamaan “berdiri di

antara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik.” Hal ini merupakan

persoalan yang kompleks dan perlu dicari kesatuan monolitik yang menghubungkan

agama-agama tersebut. Untuk menjelaskannya, para ahli menggunakan metafor,

seperti metafor pelangi, metafor geometris atau metafor bahasa.

Dengan metafor pelangi dijelaskan bahwa pada dasarnya semua agama itu

mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna

dasar itu adalah putih. Setiap warna muncul dari warna putih yang mengalami

“pembiasan” atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Dalam

konteks agama-agama hal ini berarti bahwa setiap agama menyimpan warna putih

namun yang tampak dari luar adalah, misalnya, warna hijau (Islam), biru (Kristiani).

Warna putih itu disebut sebagai warna dari “agama primordial” atau “kebenaran

primordial” menurut terminologi para penganut filsafat perenial. Dengan metafor

geometris, dapat digambarkan bahwa agama-agama muncul karena transformasi

topologis. Agama-agama terlihat berlainan sampai ditemukan sebuah titik temu: titik

(invariant) topologis yang tetap. Tidak perlu semua agama berasal dari satu titik,

tetapi ada kumpulan beberapa topologis (agama). Di sini orang bisa berbicara

17 Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication18 Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antara kedua hal tersebut. Bagi Islam, “perumusan Iman” (dalam hal ini tawhid) adalah lebih utama dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya dalam Kristen, “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dengan sakramen misa, dan ekaristi) adalah mendahului “perumusan iman” yang dogmatis mengenai trinitas.perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. lihat, Budhy Munawar Rachman. 2001. Islam Pluralis…, hal. 49

Page 7: Agama Manusia

Page 7 of 17

mengenai adanya rumpun-rumpun agama, misalnya agama-agama Timur dan agama-

agama Barat. Orang juga bisa berbicara mengenai kesatuan transenden pengalaman

agama.

Dengan metafor bahasa bisa digambarkan secara partikular setiap agama

analog dengan bahasa. Seperti halnya bahasa, setiap agama pada dasarnya lengkap

dan mencukupi untuk jalannya sebuah agama (karena itu pada dasarnya setiap agama,

seperti halnya bahasa, tidak memerlukan agama lain. Tetapi di antara agama-agama –

seperti juga bahasa-bahasa – dapat saling memberi pengaruh, atau melakukan

pertukaran ide-ide, walaupun pada akhirnya harus dimasukkan dalam konstruksi

agama atau bahasa itu sendiri sepenuhnya). Dalam soal pluralisme, setiap agama –

seperti halnya bahasa – berdiri sendiri secara partikular – tetapi mereka diikat oleh

suatu “ide agama” seperti juga “ide bahasa” yang sifatnya abstrak. Hanya karena

abstraknya orang tidak bisa melakukan agama atau berbahasa yang abstrak itu, tanpa

agam atau bahasa yang konkrit. Tetapi lagi-lagi secara transendental orang bisa

meyakini adanya Agama dengan “A” besar, yang merupakan “agama primordial” atau

“kebenaran primordial.”

Sikap paralelisme ini terekspresi dalam beberapa ungkapan, seperti “Other

religions are equally valid ways to the same truth”, atau “Other religions speak

different but equally valid truth” atau “Each religion express an importan part of the

truth,” atau “whatever path men choose is Mine.”19 Sikap paralelisme ini

mengekspresikan adanya fenomena “Satu Tuhan, banyak agama” yang berarti sikap

toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.

C. HUMANISME RELIGIUS: SEBUAH TAWARAN

Dari uraian di atas terlihat bahwa sudah ada semangat untuk melaksanakan

pluralisme agama, seperti tergambar dalam Islam pluralis dan Kristen pluralis.

Dengan menggunakan metafor pelangi, bahasa dan geometris setiap penganut agama

seharusnya mengembangkan semangat untuk mencari “warna putih” atau yang

disebut “agama primordial” atau “kebenaran primordial” menurut istilah filsafat

perenial. Lalu dalam bentuk apakah “warna putih” yang ada pada setiap agama

tersebut?

19 lihat misalnya John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd

Page 8: Agama Manusia

Page 8 of 17

Fritcjof Schoun, seorang Sufi kontemporer mengatakan bahwa pada dasarnya

tidaklah penting perbedaan antaragama, kalau kita dapat melihatnya dari segi

transenden, di mana yang ada adalah kesatuan yang menurutnya merupakan jantung

dari agama-agama (the heart of religions dan orang yang memahaminya masuk dalam

the religion of hearth). Jantung agama-agama tersebut adalah ajaran esoteris dari

masing-masing agama. Kalangan esoteris ini berpandangan bahwa mereka secara

ultim ada dalam satu kesatuan dengan penganut agama-agama lain, karena seluruhnya

datang dari dan akan kembali kepada Yang Ilahi.

Namun, pandangan ini ditentang oleh kalangan eksoteris yang mencurigai

orang-orang esoteris sebagai orang-orang yang merelatifir kalau tidak malah merusak

kebenaran. Pandangan ini juga akan mendapat tantangan keras dari orang-orang yang

menganggap bahwa esoterisme agama akan mengarah pada sinkritisme agama-agama

dan terkesan”melarikan diri”dari realitas persoalan kemanusiaan. Bagi sebagian

kalangan Islam, iman bukan hanya persoalan hati, tetapi juga dilahirkan dalam ucapan

dan tindakan-tindakan.

Nurcholish Madjid memperkenalkan secara teoritis konsep titik pertemuan

(kalimah sawa) agama-agama.20 Menurutnya, kalimah sawa’ adalah kalimat, ide, atau

prinsip yang sama, yakni ajaran bersama yang menjadi “common platform” antara

berbagai kelompok manusia. Gagasan ini lebih bersifat inklusif ketimbang pluralis,

karena memandang adanya “jalan lain menuju Tuhan” dari perspektif agama-agama

samawi dan menekankan pada semangat tawhid yang merupakan inti ajaran agama-

agama tersebut. Tetapi, gagasan ini menjadi problematis karena pemahaman keesaan

Tuhan tersebut berbeda pada masing-masing agama di mana Islam berpandangan

bahwa Tuhan itu Esa dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Sementara Kristen

berpandangan bahwa keesaan Tuhan terwujud dalam trinitas yang dipandang oleh

sebagai mensekutukan Tuhan oleh kalangan Muslim.

Gagasan kalimah sawa’ tentang keesaan Tuhan ini terkesan utopis dan

mustahil untuk tercapai. Ayat Al Quran yang berbicara tentang kalimah sawa’ itu

sendiri pada bagian akhir ayat tersebut mengungkapkan keengganan sebagian

20 Dalam Al-Quran disebutkan, “ (katakanlah (olehmu, Muhammad) ‘Wahai para penganut kitab suci, marilah semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian bahwa kita tidak menyembah kecuali Yuhan dan tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa pun juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa (Allah)’. Q., s. Alu Imran/3:64. Jadi, dalam firman itu, ditegaskan bahwa titik pertemuan utama antara agama-agama (samawi) ialah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat, Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, hal. 7-8.

Page 9: Agama Manusia

Page 9 of 17

penganut agama (samawi) lain untuk kembali kepada platform bersama tersebut.

Belum lagi apabila semangat ini dikembangkan kepada agama-agama ardhi seperti

Hindu dan Budha, atau Kong Hu Cu dan Shinto, yang justru melakukan pemujaan

terhadap arwah leluhur.

Untuk itu, perlu dicari kalimah sawa’ yang baru dalam rangka memperkuat

semangat pluralisme agama. Pelarian pada unsur-unsur esoteris agama jelas tidak

akan menyelesaikan persoalan terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan riil

yang dihadapi manusia. Pada masa sekarang, manusia dihadapkan kepada berbagai

persoalan yang menuntut perhatian agama untuk menyelesaikannya. Ideologi-ideologi

besar seperti kapitalisme dan sosialisme dipandang telah gagal dalam memperbaiki

kehidupan manusia.21 Persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia sekarang ini

adalah kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan, peperangan, lingkungan hidup dan

berbagai persoalan-persoalan lainnya yang mengancam kehidupan manusia.

Pluralisme agama perlu ditarik untuk lebih dekat kepada upaya agama-agama dalam

menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Pandangan seperti ini erat kaitannya dengan humanisme, yaitu suatu

pandangan yang menempatkan manusia sebagai perhatian utama. Humanisme22

merupakan setiap aliran atau gerakan yang menghargai budi, kebebasan dan martabat

manusia serta kemampuannya untuk belajar mengembangkan seluruh

kebudayaannya.23 Semangat humanisme ini seringkali dikonfrontasikan dengan

agama. Padahal, meskipun sebagian tokoh-tokohnya merupakan orang-orang yang

sangat kritis terhadap agama (Gereja), tidak jarang mereka adalah orang-orang yang

beriman saleh, seperti Lorenzo Valla (1406-1457), Pico Della Mirandola (1463-1494),

Erasmus dari Roterdam (1464-1536) dan St. Thomas More (1478-1535). Kaum

humanis sekarang ini seringkali adalah orang-orang yang tidak beriman yang

memandang manusia memiliki otonomi yang mutlak. Meskipun demikian,

humanisme baru yang secara bertanggungjawab berjuang demi dunia yang lebih baik

21 Ideologi yang dominan di dunia sekarang ini adalah liberalisme yang dirasakan semakin mengancam masa depan agama dan masa depan manusia. Oleh karena itu, orang mulai ramai berbicara tentang agama sebagai alternatif ketika isms-isme besar – katakanlah setelah sosialisme yang hancur, orang mengharapkan isme pendobrak semacam agama-agama yang sekarang ini tidak jalan.lihat, “Allah, Kemanusiaan dan Masa Depan”, artikel dalam Kompas edisi 3 Mei 2002 dan beberapa artikel lainnya. 22 Istilah ‘humanisme’ diciptakan oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman pada tahun 1808, sementara kata ‘humanist’ (dalam bahasa Italia humanista dan kata-kata semakna) sudah digunakan pada abad ke-17 untuk menyebut para ilmuwan yang terlibat dalam studia humanitatis. Lihat, Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill, hal. 5 23 Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 107

Page 10: Agama Manusia

Page 10 of 17

atas dasar kebenaran dan keadilan tidak berlawanan dengan iman agama (Kristiani)24

seperti John Dewey, Roy Wood Sellar dari tradisi Barat dan Muhammed Arkoun,

Nasr Hamid Abu Zaid, dan Najib Mahfuz dari tradisi Muslim.25 Mereka menyadari

adanya unsur humanitarian dalam agama, Yesus mencintai manusia26, dan agama-

agama seperti Islam juga sangat concern dengan manusia dan kemanusiaan.

Namun tidak semua kalangan humanis melihat agama dalam perspektif

demikian. Para humanis sekuler seperti Voltaire, Thomas Paine, Karl Marx dan Paul

Kurtz sangat menentang agama. Bagi mereka agama adalah sumber utama persoalan

di dunia ini. Menurut mereka, orang-orang beragama adalah otoriter dan sangat

fanatik untuk lebih memperhatikan kehidupan di akhirat daripada kehidupan di

dunia.27

Pada bagian lain, agama lebih sering jarang muncul sebagai solusi terhadap

persoalan yang dihadapi manusia. Alih-alih menjadi part of solution, agama justru

sering menjadi part of problem. Berbagai peperangan bermotif agama masih

mewarnai dunia kontemporer. Munculnya golongan agama garis keras seringkali

menampilkan agama dengan muka yang garang dan penuh kebencian terhadap orang

yang bukan golongan agama atau aliran yang dianutnya. Atas dasar membela agama

atau - meminjam istilah Karen Armstrong – “membela Tuhan,” agama menjadi

perekat solidaritas untuk “menghabisi” penganut agama lain. Ini tentu saja bertolak

belakang dengan semangat awal agama sangat peduli dengan kemanusiaan.

Dalam pandangan kalangan humanis, manusia secara satu kesatuan dan

mempunyai posisi yang setara. Dalam Second Humanist Manifesto, Paul Kurtz

menulis panjang lebar akan kebutuhan akan masyarakat dunia (global community).

Menurutnya, masyarakat dunia adalah bahwa setiap orang di seluruh negara yang

bermacam-macam hendaknya tidak mengidentifikasi diri mereka menurut indentitas

negara, agama atau ras. Setiap manusia harus memahami diri mereka sebagai bagian

dari masyarakat dunia, bahkan bagian dari komunitas kehidupan di planet bumi.28

24 ibid.25 M. Amin Abdullah. 2000. “Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism”, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 200026 Misalnya, dalam Kristiani diyakini bahwa Yesus adalah juru selamat manusia, yang turun untuk menebus dosa-manusia. Dalam Islam, penghargaan terhadap manusia ditandai antara lain oleh pemuliaan Allah terhadap manusia, dengan firman-Nya. Bagaimana konsep al-Qur’an tentang manusia Lihat misalnya, Dirk Bakker. 1965. Man in the Qur’an. Amsterdam: Drukkerij Holland. 27 ibid.28 Dalam John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 140

Page 11: Agama Manusia

Page 11 of 17

Karena itu, wacana pluralisme agama perlu ditarik kepada inti agama, yaitu

untuk membebaskan manusia. Bila dilihat dari perspektif sejarah agama-agama,

munculnya suatu agama selalu dilatarbelakangi oleh kebobrokan moral dan proses

dehumanisasi yang luar biasa. Para nabi dan rasul dan pendiri agama-agama selalu

muncul sebagai tokoh yang berusaha memperbaiki keadaan moralitas umatnya dan

menghentikan proses dehumanisasi yang demikian parahnya. Munculnya Musa di

Mesir yang membawa kitab Taurat sangat terkait dengan proses dehumanisasi yang

dilakukan oleh Fir’aun terhadap bangsa Israil.29 Demikian juga halnya dengan

kemunculan Yesus Kritus dan Muhammad yang dilatarbelakangi oleh kebobrokan

akhlak dan perendahan terhadap derajat kemanusiaan. Dalam agama-agama timur pun

kemunculan tokoh-tokoh pendiri agama selalu dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis

kemanusiaan. Misalnya, Budha Gautama yang kemudian mendapat pencerahan dalam

perenungannya di bawah pohon Bodhi setelah melihat realitas persoalan kemanusiaan

yang didapatinya di luar tembok istana Kapilawastu.

Perlunya kesadaran sejarah agama-agama ini penting dalam dialog agama-

agama, bahwa faktor kemanusiaan sangat dominan dalam timbulnya sebuah agama

sebagai bentuk kasih sayang Tuhan terhadap manusia. Tetapi, ketika ajaran agama

tersebut mulai dirumuskan, muncul pembiasan-pembiasan terhadap ajaran-ajaran

agama tentang kemanusiaan. Konsep teologi yang dibangun oleh manusia, cenderung

bersifat apolegetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia telah

menghabiskan banyak energi dalam perdebatan-perdebatannya tentang Tuhan seolah-

olah ingin menyatakan bahwa merekalah penyelamat Tuhan. Sedangkan persoalan-

persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang timbulnya agama disingkirkan

dan tidak menjadi tema dalam teologi. Pada dataran ini, para teolog dan mutakallimun

berhasil ‘menyelamatkan’ Tuhan namun akibat dari rumusan teologi atau kalam

mereka muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama dan atas nama Tuhan.

Padahal berulangkali Tuhan menyatakan bahwa ada tidaknya orang yang beriman di

dunia ini tidak akan berpengaruh apa-apa kepada-Nya.

Kuatnya faham teologi seperti ini berpengaruh pada ‘ketidakberdayaan’ dalam

menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Akhirnya agama ditempatkan hanya

sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan (sekuler). Sedangkan persoalan

29 Misi dakwah Musa ini adalah misi politik karena awal risalahnya adalah menyeru Fir’aun untuk kembali kepada kebenaran. Dalam Al-Quran disebutkan, “ Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia orang yang melampaui batas.” Lihat Q., s. 26:10-11

Page 12: Agama Manusia

Page 12 of 17

manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam ‘bukan termasuk dalam wilayah

agama.’

Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad sangat bersifat apologetik-

defensif untuk membela kelompok agama atau sekte dalam agama tertentu.

Celakanya, pemikiran manusia kemudian disakralkan dan dianggap sebagai yang

paling benar dan immune terhadap kritik dan mengalami pensakralan (taqdis afkar al-

diniy).30

Semua agama mengklaim bahwa ajarannya menghargai manusia dan

menentang tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Dalam kontek pluralisme agama,

doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling

menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, namun dalam realitas

historis empiris – doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau

dewan gereja-gereja yang ideal tersebut – belum dengan sendirinya dapat terlaksana

seperti yang diidam-idamkan oleh masing-masing pihak. Hal ini karena banyaknya

faktor kepentingan historis-empiris yang cukup dominan – baik yang disebut sebagai

kepentingan politik, ekonomis, sosial dan pertahanan keamanan – yang ikut mewarnai

dinamika hubungan agama-agama.31

D. REFORMULASI TEOLOGI?

Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakannya reka-ulang konsep

teologi. Teologi agama-agama hendaknya kembali ke ‘khittah’ awal munculnya

agama-agama yaitu sebagai pembebasan manusia dari proses dehumanisasi. Untuk

itu, teologi agama-agama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa

menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini. dengan

sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan teraktual dalam

hidup sosial, ekonomi dan politik supaya teologi itu tidak terlepas dari konteks hidup

dan perkembangan sosial yang terjadi.32

Teologi baru ini hadir sebagai refleksi kritis yang membedah keadaan sosial

dengan maksud untuk memperbaiki keadaan yang tak manusiawi, seperti kemiskinan,

keterbelakangan ekonomi dan politik, kebodohon dan kejahatan terhadap manusia dan

30 Bandingkan dengan M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 2-631 ibid., hal. 1432 William Chang. “Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama,” dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 126

Page 13: Agama Manusia

Page 13 of 17

kemanusiaan. 33 Teologi harus menjalankan misi profetik sebagai agen yang

melakukan emansipasi dan liberasi manusia yang dibarengi dengan transendensi.

Teologi yang hendak dibangun ini adalah teologi yang berpijak pada nilai-nilai

kemanusiaan universal. Rumusannya tidak bersifat abstrak, tetapi sungguh-sungguh

menyentuh persoalan-persoalan yang nyata dihadapi oleh manusia. Tanpa adanya

kesadaran ini, akan sulit membangun suatu teologi agama-agama yang dapat diterima

oleh semua pihak.

Mungkin, reformulasi teologi ini akan mendapat resistensi dari sebagian

kalangan agamawan. Menurut mereka, teologi humanis ini terlalu antroposentris

karena menempatkan manusia pada posisi Tuhan dan mengarah kepada sikap ateistik.

Ketakutan ini semestinya tidak terjadi kalau mereka memahami realitas sejarah

kemunculan agama-agama yang sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan universal.

Selain itu, dalam sejarah dan perkembangan humanisme, humanisme tidak selalu

menyebabkan orang-orangnya menjadi atheis sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Hal ini dapat dicontohkan dengan menunjuk pada kalangan humanis agamis Amerika

di awal tahun-tahun 1920 dan 1930-an yang berusaha melihat manusia dalam

hubungannya dengan kosmos yang lebih besar. Mereka mencoba untuk menaturalisasi

agama dengan membawa nilai-nilai spiritual cinta, kebenaran dan keadilan keluar dari

dunia langit masuk ke dalam dunia manusia/alam. Mereka mencoba untuk

memahaminya sebagai nilai-nilai yang dikembangkan manusia untuk memperoleh

kehidupan yang lebih baik, untuk memperoleh harmoni spiritual dalam diri mereka

dan masyarat mereka.34

Dalam pada itu teologi, menurut Karl Rahner, tidak dapat lagi mengikuti pola

masa lampau yang simplistis, yang menyelesaikan masalah pluralisme dengan

menerapkan prinsip non-kontradiksi – yaitu, apabila dua pendirian teologis dilihat

sebagai alternatif-alternatif yang bertentangan, maka menurut prinsip non-kontradiksi,

karena keduanya tidak dapat sama-sama benar, suatu keputusan akan diambil

mengenai pendirian mana yang benar, dan pluralisme atau kontradiksi akan teratasi.35

Untuk menghadapi tantangan yang timbul karena perjumpaan agama-agama, pola

tersebut tidak memadai lagi.

33 ibid. 34 lihat, John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 13935 Sebagaimana dikutip oleh Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius, hal. 178.

Page 14: Agama Manusia

Page 14 of 17

Untuk mengembangkan pluralisme baru ini, ada tiga hal yang perlu

dikembangkan oleh para penganut agama-agama, yaitu, (1) bahwa pluralisme

keagamaan dapat dipahami dengan baik dalam kaitan dengan sebuah logika yang

melihat Satu yang berwujud banyak – realitas transenden yang menggejala dalam

bermacam-macam agama; (2) bahwa ada suatu pengakuan bersama mengenai kualitas

pengalaman agma partikular sebagai alat; (3) bahwa spiritualitas dikenal dan

diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain.36

Untuk sampai ke sana, diperlukan suatu pendekatan yang dapat memahami inti

persoalan kemanusiaan dan keagamaan. Dalam studi agama dikenal adanya tiga

pendekatan yaitu doktrinal-teologis, kultural-historis dan kefilsafatan agama. Baik

pendekatan doktrinal-teologis maupun kultural-historis jelas tidak akan dapat

menyelesaikan kompleksitas persoalan pluralisme agama. Dengan kedua pendekatan

tersebut sulit dicari titik temu agama-agama untuk merumuskan konsep teologi baru.

Dalam ungkapan M. Amin Abdullah, doktrin teologi macam apapun, bahkan juga

Studi Agama secara historis-empiris yang mana pun juga tidak akan mampu memberi

sumbangan pemikiran untuk melerai tumpang-tindih dan campur-aduknya antara

dimensi doktrin-teologis dan dimensi kesejarahan dalam wujud praksis sosial.37

Untuk menjernihkan persoalan tersebut, diperlukan refleksi kritis yang biasa

diwakili oleh pendekatan kritis-filosofis. Diharapkan dengan pendekatan fundamental

filosofis dapat menjernihkan kompleksitas antara dimensi doktrinal-teologis dan

dimensi kultural-historis. Pendekatan fenomenologis terhadap agama perlu

dipertimbangkan untuk melihat secara transparan hakikat keberagamaan manusia,

lebih-lebih dalam keterkaitannya dalam hubungan antar umat manusia. Tetapi

pendekatan fenomenologis yang bermuara para dapat dirumuskan dan dipahaminya

struktur fundamental dari religiusitas manusia, dirasakan kurang cukup, khususnya

untuk menjernihkan ketertumpangtindihan antara teks dan realitas. Pendekatan

fenomenologis perlu ditindaklanjuti dengan pendekatan kritis filosofis terhadap

realitas konkrit keberagamaan secara kultural historis.38

36 Ibid. hal. 16937 M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga” dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Mencari Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 1738 ibid., hal. 17-18

Page 15: Agama Manusia

Page 15 of 17

E. CONCLUDING REMARKS:

MENUJU KERJASAMA AGAMA-AGAMA

Tersirat dalam uraian di atas, sebenarnya fakta persoalan yang dirasakan

masyarakat akibat sistem ekonomi (terkenal dengan istilah neo-liberalisme), sosial

politik yang bobrok sudah cukup membangkitkan rasa keprihatinan bersama dan

konsekuensinya mempersatukan warga masyarakat tanpa membedakan latar belakang

agama dan suku. Pengalaman penderitaan bersama melahirkan solidaritas dan

semangat untuk bekerjasama.39 Untuk itu, pencarian konsep pluralisme agama baru

adalah dengan kembali kepada inti dari ajaran agama, yaitu penghargaan terhadap

manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dialog antar agama perlu beralih dari dialog

wacana ke dialog aksi. Artinya, dialog yang selama ini dibangun untuk membangun

saling pengertian antar agama-agama perlu ditindaklanjuti dalam bentuk kerjasama

agama-agama dalam proyek-proyek kemanusiaan seperti menghadapi persoalan

kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan pendidikan, kriminalitas, dan berbagai

persoalan kemanusiaan lainnya.

Kita menginginkan sikap yang sama oleh semua agama dan ideologi-ideologi

lain terhadap persoalan kemanusiaan. Semua agama harus mengutuk setiap tindakan

dehumanisasi yang terjadi tanpa melakukan diskriminasi terhadap korban tindakan

yang dehumanisasi tersebut. Manusia perlu diselamatkan, dan agama-agama perlu

lebih mengaktualisasikan dirinya dalam menyikapi persoalan kemanusiaan, karena

itulah inti dari ajaran agama-agama dan ideologi-ideologi dunia yang paling esensi

dan menjadi titik temu.

Untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan telaah kritis terhadap konsep

teologi yang telah ada atau kalau perlu dilakukan format ulang teologi agama-agama.

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan metodologi kritis filosofis yang tepat

membaca agama di hadapan realitas persoalan kemanusiaan dan mampu

menjernihkan ketertumpangtindihan antara dimensi doktrin-teologis dan kultural-

historis.

Akhirnya, sebagai penutup perlu diungkapkan semangat humanisme religius

yang mengatakan bahwa “tidak ada keagamaan sejati tanpa kemanusiaan”.

39 Bandingkan dengan Yong Ohoitimur “Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati” dalam Th. Sumartana dkk (ed.). 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 128-144

Page 16: Agama Manusia

Page 16 of 17

_____________________________

Page 17: Agama Manusia

Page 17 of 17

DAFTAR BACAAN

Al-Qur’an al-Karim

M. Amin Abdullah, Religious Humanism versus Secular Humanism Toward a New Spiritual Humanism. Makalah dalam “International Seminar on Islam and Humanism, Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiousity”, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000

Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.

Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L’ Humanisme de l’Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius

Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication

John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd

Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina

Kompas edisi 3 Mei 2002

Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill

Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius.

M. Amin Abdullah. 2000. “Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism”, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 2000

Dirk Bakker. 1965. Man in the Qur’an. Amsterdam: Drukkerij Holland.

John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti

M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana

William Chang. “Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama,” dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei

Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius