agama manusia
TRANSCRIPT
Page 1 of 17
KEBERAGAMAAN HUMANIS:
SEBUAH AGENDA DALAM PLURALITAS AGAMA
Oleh: Nuruddin Mhd Ali
A. PENDAHULUAN
Setidaknya ada dua pengalaman yang menyebabkan terjadinya penilaian yang
negatif terhadap agama, yaitu pengalaman buruk dalam melihat agama dan, yang
kedua, pengalaman buruk dalam beragama. Yang pertama merupakan pengalaman
yang melihat agama ternyata justru menyebabkan terjadinya berbagai pembatasan
yang menyebabkan manusia tidak bisa membebaskan dirinya untuk memperbaiki
keadaannya. Dalam pandangan Karl Marx, yang mewakili pendapat pertama ini,
agama telah menjadi candu (opium), yang hanya dapat menawarkan kenikmatan
sesaat, atau sebagai tempat pelarian dari nestapa kehidupan yang dirasakan oleh
manusia. Dengan ungkapan lain, agama tidak dapat memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan kemanusiaan. Kalangan agamawan pun dituduh sebagai golongan
otoriter dan penghayal yang lebih peduli dengan kehidupan di akhirat dari pada
kehidupan di dunia. Menurut pengalaman yang kedua, agama justru sering menjadi
pemicu kegiatan-kegiatan yang mengacu pada terjadinya proses kekerasan,
peperangan dan berbagai konflik horizontal. Sudah tidak terhitung biaya manusia
(human cost) yang dikeluarkan untuk membela agama atau, meminjam ungkapan
Karen Armstrong, ‘bertempur untuk membela Tuhan’ (the battle for God).
Menghadapi sikap skeptis ini, hampir semua agama mengungkapkan
penolakan dan mengemukakan argumen bahwa agamanya adalah agama yang
menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling menghormati,
menjunjung tinggi sikap egaliter. Tetapi, mengapa dalam realitas historis-empiris,
doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau dewan gereja-gereja
dunia yang ideal tersebut tidak dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak? Dalam
Islam pun idem ditto, ajaran-ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
ternyata tidak selamanya dapat terlaksana dalam realitas historis-empirisnya. Hal ini
tentu kontra produktif dalam era global sekarang di mana agama sering ketinggalan
langkah dalam menyikapi isu-isu global seperti demokratisasi, HAM, lingkungan
hidup dan pluralitas. Sedangkan isu-isu tersebut justru menjadi perhatian utama
orang-orang yang sering dijuluki sebagai kalangan sekuler.
Page 2 of 17
Untuk itu, menjadi menarik dikaji tentang sikap keberagamaan model
bagaimana yang dapat menghadirkan kembali peran agama (atau ekstremnya,
menghadirkan Tuhan) dalam menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Tulisan
ini bermaksud untuk mengelaborasi model-model sikap keberagamaan dalam
pluralitas masyarakat dunia, dan kemudian mencoba untuk mencarikan alternatif
model keberagamaan (khususnya keberagamaan Islam) dan upaya-upaya untuk
mengimplementasikannya.
B. TIGA SIKAP KEBERAGAMAAN
Dengan demikian jelaslah bahwa pluralisme agama mempunyai problematika
sendiri ketika diimplementasikan, apakah memilih membatasi persoalan agama pada
persoalan privat atau pada level masyarakat agama tertentu (denominasi). Untuk
mendapatkan suatu pemahaman tentang pluralisme yang lebih jauh, perlu
dikemukakan pola-pola keberagamaan yang akan berimplikasi pada sikap terhadap
agama-agama lain.
Dalam penelitian ilmu agama-agama, paling tidak ada tiga sikap
keberagamaan yaitu ekslusivisme, inklusivisme dan paralelisme. Berikut ini akan
dideskripsikan ketiga pandangan teologis tersebut, dengan sedikit latar belakang
sejarah teologi, terutama Kristiani, karena agama Kristiani adalah agama yang sangat
panjang pengalaman sejarahnya, menyangkut isu ini. Dewasa ini, wacana pluralisme
juga sangat hidup dalam tradisi pemikiran kristiani, dimana agama-agama lain,
misalnya Islam, bisa mengambil pelajaran dari pergumulan Kristiani.1
1. Sikap Ekslusif
Sikap ini merupakan pandangan yang dominan sepanjang masa, dan terus
dianut hingga sekarang. Bagi agama Kristen ini pandangan ini adalah bahwa Yesus
merupakan satu-satunya jalan yang sah untuk keselamatan. “Akulah jalan dan
kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku” (Yohanes 14:6). Ayat ini dalam perspektif orang yang bersikap ekslusif
sering dibaca secara literal. Juga ada ungkapan yang selalu menjadi kutipan, “Dan
keselamatan tidak ada di dalam siapapun selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain – maka terkenallah istilah No Other Name-yang
1 Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman: Jakarta: Paramadina, hal. 44.
Page 3 of 17
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul
4, 12). Sehingga istilah “No Other Name!” itu lalu menjadi simbol tentang tidak
adanya keselamatan di luar Yesus Kristus.2
Pandangan seperti ini sudah dikenal lama bahkan sejak abad pertama dari
Gereja, yang kemudian mendapat perumusan seperti extra ecclesiam nulla salus!
(tidak ada keselamatan di luar Gereja), juga berkaitan dengan masa depan, extra
ecclesiam nullus propheta! (tidak ada nabi di luar Gereja). Pandangan ini pernah
dikukuhkan dalam konsili Florence 1442. 3
Untuk contoh Islam, walaupun tidak ada semacam kuasa gereja dalam agama
Kristen, khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa menyeluruh seperti contoh di
atas, banyak penafsir sepanjang masa yang menyempitkan Islam pada pandangan-
pandangan ekslusif, beberapaga ayat yang biasa dipakai sebagai pengungkapan
ekslusivitas Islam adalah:
Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Aku sempurnakan agamamu bagimu dan Ku-ucapkan karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu.4
Barang siapa menerima agama selain Islam (tunduk kepada Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada hari akhirat ia akan termasuk golongan yang rugi.5
Sungguh, agama pada Allah ialah Islam (tunduk pada kehendak-Nya)6
2. Sikap Inklusif
Paradigma ini membedakan antara kehadiran penyelamatan (the salvific
presence) dan aktivitas Tuhan dalam tradisi agama-agama lain, dengan penyelamatan
dan aktivitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus Kristus. “Menjadi Inklusif berarti
percaya bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani mengacu kepada Kristus…”,
begitu kata Alan Racee, the Anglican Chaplain pada Universitas Kent.7
2 Ibid3 Dengan menganut doktrin ini, selama berabad-abad ummat Kristen, meminjam istilah Boisard, mengeluarkan hukuman terhadap Islam dengan membandingkannya dengan agama-agama yang terdahulu dan agama yang ada sekarang. Mereka mengatakan bahwa Islam adalah kemurtadan (heresy)dan mendakwa Muhammad sebagai Nabi palsu. Doktrin inilah yang antara lain menyebabkan terjadinya misi penyelamatan manusia melalui zending dan sebagainya. Lihat, Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L’ Humanisme de l’Islam. Jakarta: Bulan Bintang4 Q.,s. al-Ma’idah/5:35 Q.,s. Alu Imran/3:856 Q.,s. Alu Imran/3:197 lihat, Budhy Munawar Rahcman. 2001. Islam Pluralis…, hal. 46
Page 4 of 17
Pandangan yang paling ekspresif dari paradigma inklusif ini tampak pada
dokumen Konsili Vatikan II,8 mempengaruhi seluruh komunitas Katolik sejak 1965.
Dokumen yang berkaitan dengan agama lain, ada pada “Deklarasi Hubungan Gereja
dan Agama-agama Non Kristiani” (Nostra Aetate).9
Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang
filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang membedakan antara orang-orang dan
agama Islam umum (yang non-Muslim par excellence), dan orang-orang dan agama
Islam khusus (Muslim par exellance). Kata Islam sendiri di sini diartikan sebagai
“sikap pasrah kepada Tuhan.” Mengutip Ibn Taymiyah,
Pangkal Islam adalah persaksian bahwa “Tidak ada suatu tuhan apapun selain Allah, Tuhan yang sebenarnya,” dan persaksian itu mengandung makna penyembahan hanya kepada Allah semata dan meningalkan penyembahan kepada selain Dia. Inilah al-Islam al-‘amm (Islam umum, universal) yang Allah tidak menerima ajaran ketundukan selain daripadanya.”
Maka semua nabi itu dan para pengikut mereka, seluruhnya disebut oleh Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala bahwa mereka adalah orang-orang Muslim. Hal ini menjelaskan bahwa firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa menganut suatu din selain al-islam maka tidak akan diterima daripadanya al-din dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi10 - dan firman-Nya, “Sesungguhnya al-din di sisi Allah ialah al-Islam”11 – tidaklah sungguh tentang orang-orang (masyarakat) yang kepada mereka Nabi Muhammad s.a.w. diutus, melainkan hal itu merupakan suatu hukum umum (hukm ‘amm ketentuan universal) tentang manusia masa lalu dan manusia kemudian hari.”12
Dalam tafsiran mereka yang menganut paham yang disebut “Islam Inklusif”
ini, mereka menegaskan sekalipun para nabi mengajarkan pandangan hidup yang
disebut al-Islam (ketundukan dan sikap pasrah) itu tidaklah berarti bahwa mereka dan
kaumnya menyebut secara harfiah agama mereka al-Islam dan mereka sendiri sebagai
orang-orang Muslim. Itu semua hanyalah peristilahan Arab. Para nabi dan rasul,
dalam da’wah mereka pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya masing-masing
8 Konsili Vatikan II dapat dikatakan merupakan titik tolak (point of departure) hidup Gereja yang dialogis. Namun tidak berarti bahwa seakan-akan hidup Gereja yang dialogis tidak pernah ada sebelumnya. Dialog sebagaimana dicetuskan Vatikan II mempunyai akar pada tradisi hidup Gereja. Sebelum Konsili Vatikan II ini telah ada pengalaman yang menunjukkan pandangan yang positif terhadap agama-agama lain, kemudian berkembang menjadi pandangan extra Ecclesiam nulla salus dan, pada akhirnya memunculkan sikap dialogis. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 23.9 Dokumen Nostra Aetate merupakan pertanggungjawaban historis dan teologis sikap dialogis Gereja terhadap agama-agama non-Kristiani, sebab dokumen ini seakan menjadi semacam evaluasi tentang sikap Gereja masa lampau terhadap agama-agama lain. Lewat deklarasi Noastra Aetate, Konsili Vatikan II tanpa ragu-ragu memandang positif agama-agama lain, seraya mencari segi-segi yang dapat mengantar ke dialog dan rekonsiliasi. Nostra Aetate berisi penghargaan terhadap nilai-nilai keselamatan agama-agama bukan Kristen dan gagasan tentang dialog. Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 53-5710 Q., s. Alu Imran/3:8511 Q., s. Alu Imran/3:1912 Dikutip dari Budhy Munawar-Rachman, Islam Pluralis…, hal. 46-47
Page 5 of 17
(“Kami tidak mengutus seorang rasul kecuali dengan bahasa kaumnya.13
Kesimpulannya: kalangan Islam inklusif menganut suatu pandangan bahwa semua
nabi adalah satu. “Para nabi adalah saudara satu ayah; ibu mereka banyak, namun
agama mereka satu.”14 Mereka menganut pandangan al-Quran tentang adanya titik
temu agama-agama15, di mana masing-masing umat telah ditetapkan sebuah syir’ah
(jalan menuju kebenaran) dan minhaj (cara atau metode perjalanan menuju
kebenaran). Menurut kalangan Islam inklusif ini, Allah memang tidak menghendaki
adanya kesamaan manusia dalam segala hal (monolitisisme). Adanya perbedaan
menjadi motivasi berlomba menuju berbagai kebaikan; dan Allah akan menilai dan
menjelaskan berbagai perbedaan yang ada itu.16
3. sikap paralelisme
Paradigma ini percaya bahwa setiap agama (agama-agama lain di luar Kristen)
mempunyai jalan keselamatannya sendiri, dan karena itu klaim bahwa kristianitas
adalah satu-satunya jalan (sikap ekslusif), atau yang melengkapi atau mengisi jalan
yang lain (sikap inklusif), haruslah ditolak, demi alasan-alasan teologis dan
fenomenologis. Tokoh utama yang paling imperatif mengemukakan paradigma
pluralis ii adalah John Harwood Hicks dalam karyanya, God and the Universe of
Faith (1973). Hick dianggap sebagai orang yang telah melakukan revolusi dalam
teologi agama-agama. Hick menggunakan analogi alam semesta untuk
menggambarkan pikirannya tentang pluralisme. Dalam astronomi, Ptolomeus,
dikatakan bahwa bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta. Diterangkan juga
tentang pergerakan-pergerakan planet-planet lain oleh postulating epicycle.
Pertumbuhan jumlah epicycle menjadikan gambaran Ptolomeus makin tidak masuk
akal. Karena itulah akhirnya muncul gambaran Kopernikus, yang menggantikan
gambaran Ptolomeus, dengan menganggap bahwa mataharilah yang sebenarnya pusat
alam semesta, bukan bumi. Dengan analogi ini Hicks hendak bahwa teologi
Ptolomeus kuno (kalangan ekslusivis) dan pertumbuhan epicycle-ya (para inklusivis)
yang menganggap bahwa Yesus Kristus adalah pusatnya, makin tidak mungkin
13 Q., s. Ibrahim/14:414 Dalam sebuah hadis, Rasulullah s.a.w. bersabda, “Aku adalah orang yang paling berhak atas Isa putera Maryam di dunia dan akhirat. Para Nabi adalah saudara satu bapak, ibu mereka berbeda-beda namun agama mereka satu” (H.R Bukhari)15 Q., s. Alu Imran/ 3: 6416 Q., s. al-Ma’idah/5:48
Page 6 of 17
menerangkan perkembangan agama-agama lain. Karena itu ia melakukan revolusi
Kopernikan dalam bidang pemikiran teologi dengan mengganti kekristenan (Yesus-
Kristus) kepada Tuhan sebagai pusat dari alam semesta iman manusia. Semua agama
termasuk Kristen melayani dan mengelilingi-Nya.17
Dalam perspektif Islam, Islam pluralis adalah pengembangan liberal dari islam
inklusif. Menurut para penganjurnya, antara lain Seyyed Hossein Nasr dan Fritjhof
Schuon, perbedaan antara agama-agama diterima sebagai perbedaan dalam
meletakkan prioritas antara “perumusan iman” dan “pengalaman iman.” Setiap agama
pada dasarnya terstruktur oleh dua hal tersebut: perumusan iman dan pengalaman
iman. Hanya saja setiap agama selalu menganggap yang satu mendahului yang lain.18
Pandangan Pluralis ini tidak menganggap bahwa tujuan yang ingin dicapai
adalah keseragaman bentuk agama, sebab gagasan pluralisme keagamaan “berdiri di
antara pluralitas yang tidak berhubungan dan kesatuan monolitik.” Hal ini merupakan
persoalan yang kompleks dan perlu dicari kesatuan monolitik yang menghubungkan
agama-agama tersebut. Untuk menjelaskannya, para ahli menggunakan metafor,
seperti metafor pelangi, metafor geometris atau metafor bahasa.
Dengan metafor pelangi dijelaskan bahwa pada dasarnya semua agama itu
mempunyai warna dasar yang sama, yang tidak terlihat dari warna luarnya. Warna
dasar itu adalah putih. Setiap warna muncul dari warna putih yang mengalami
“pembiasan” atau dilihat dari sisi lain, setiap warna menyimpan warna putih. Dalam
konteks agama-agama hal ini berarti bahwa setiap agama menyimpan warna putih
namun yang tampak dari luar adalah, misalnya, warna hijau (Islam), biru (Kristiani).
Warna putih itu disebut sebagai warna dari “agama primordial” atau “kebenaran
primordial” menurut terminologi para penganut filsafat perenial. Dengan metafor
geometris, dapat digambarkan bahwa agama-agama muncul karena transformasi
topologis. Agama-agama terlihat berlainan sampai ditemukan sebuah titik temu: titik
(invariant) topologis yang tetap. Tidak perlu semua agama berasal dari satu titik,
tetapi ada kumpulan beberapa topologis (agama). Di sini orang bisa berbicara
17 Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication18 Misalnya perbedaan antara Islam dan Kristen terletak dalam menaruh mana yang lebih penting antara kedua hal tersebut. Bagi Islam, “perumusan Iman” (dalam hal ini tawhid) adalah lebih utama dan pengalaman iman mengikuti perumusan iman tersebut. Sebaliknya dalam Kristen, “pengalaman iman” (dalam hal ini pengalaman akan Tuhan yang menjadi manusia pada diri Yesus Kristus, yang kemudian disimbolkan dengan sakramen misa, dan ekaristi) adalah mendahului “perumusan iman” yang dogmatis mengenai trinitas.perbedaan dalam struktur perumusan dan pengalaman iman ini hanyalah ekspresi kedua agama ini dalam merumuskan dan mengalami Tuhan yang sama. lihat, Budhy Munawar Rachman. 2001. Islam Pluralis…, hal. 49
Page 7 of 17
mengenai adanya rumpun-rumpun agama, misalnya agama-agama Timur dan agama-
agama Barat. Orang juga bisa berbicara mengenai kesatuan transenden pengalaman
agama.
Dengan metafor bahasa bisa digambarkan secara partikular setiap agama
analog dengan bahasa. Seperti halnya bahasa, setiap agama pada dasarnya lengkap
dan mencukupi untuk jalannya sebuah agama (karena itu pada dasarnya setiap agama,
seperti halnya bahasa, tidak memerlukan agama lain. Tetapi di antara agama-agama –
seperti juga bahasa-bahasa – dapat saling memberi pengaruh, atau melakukan
pertukaran ide-ide, walaupun pada akhirnya harus dimasukkan dalam konstruksi
agama atau bahasa itu sendiri sepenuhnya). Dalam soal pluralisme, setiap agama –
seperti halnya bahasa – berdiri sendiri secara partikular – tetapi mereka diikat oleh
suatu “ide agama” seperti juga “ide bahasa” yang sifatnya abstrak. Hanya karena
abstraknya orang tidak bisa melakukan agama atau berbahasa yang abstrak itu, tanpa
agam atau bahasa yang konkrit. Tetapi lagi-lagi secara transendental orang bisa
meyakini adanya Agama dengan “A” besar, yang merupakan “agama primordial” atau
“kebenaran primordial.”
Sikap paralelisme ini terekspresi dalam beberapa ungkapan, seperti “Other
religions are equally valid ways to the same truth”, atau “Other religions speak
different but equally valid truth” atau “Each religion express an importan part of the
truth,” atau “whatever path men choose is Mine.”19 Sikap paralelisme ini
mengekspresikan adanya fenomena “Satu Tuhan, banyak agama” yang berarti sikap
toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan.
C. HUMANISME RELIGIUS: SEBUAH TAWARAN
Dari uraian di atas terlihat bahwa sudah ada semangat untuk melaksanakan
pluralisme agama, seperti tergambar dalam Islam pluralis dan Kristen pluralis.
Dengan menggunakan metafor pelangi, bahasa dan geometris setiap penganut agama
seharusnya mengembangkan semangat untuk mencari “warna putih” atau yang
disebut “agama primordial” atau “kebenaran primordial” menurut istilah filsafat
perenial. Lalu dalam bentuk apakah “warna putih” yang ada pada setiap agama
tersebut?
19 lihat misalnya John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd
Page 8 of 17
Fritcjof Schoun, seorang Sufi kontemporer mengatakan bahwa pada dasarnya
tidaklah penting perbedaan antaragama, kalau kita dapat melihatnya dari segi
transenden, di mana yang ada adalah kesatuan yang menurutnya merupakan jantung
dari agama-agama (the heart of religions dan orang yang memahaminya masuk dalam
the religion of hearth). Jantung agama-agama tersebut adalah ajaran esoteris dari
masing-masing agama. Kalangan esoteris ini berpandangan bahwa mereka secara
ultim ada dalam satu kesatuan dengan penganut agama-agama lain, karena seluruhnya
datang dari dan akan kembali kepada Yang Ilahi.
Namun, pandangan ini ditentang oleh kalangan eksoteris yang mencurigai
orang-orang esoteris sebagai orang-orang yang merelatifir kalau tidak malah merusak
kebenaran. Pandangan ini juga akan mendapat tantangan keras dari orang-orang yang
menganggap bahwa esoterisme agama akan mengarah pada sinkritisme agama-agama
dan terkesan”melarikan diri”dari realitas persoalan kemanusiaan. Bagi sebagian
kalangan Islam, iman bukan hanya persoalan hati, tetapi juga dilahirkan dalam ucapan
dan tindakan-tindakan.
Nurcholish Madjid memperkenalkan secara teoritis konsep titik pertemuan
(kalimah sawa) agama-agama.20 Menurutnya, kalimah sawa’ adalah kalimat, ide, atau
prinsip yang sama, yakni ajaran bersama yang menjadi “common platform” antara
berbagai kelompok manusia. Gagasan ini lebih bersifat inklusif ketimbang pluralis,
karena memandang adanya “jalan lain menuju Tuhan” dari perspektif agama-agama
samawi dan menekankan pada semangat tawhid yang merupakan inti ajaran agama-
agama tersebut. Tetapi, gagasan ini menjadi problematis karena pemahaman keesaan
Tuhan tersebut berbeda pada masing-masing agama di mana Islam berpandangan
bahwa Tuhan itu Esa dalam zat, sifat dan perbuatan-Nya. Sementara Kristen
berpandangan bahwa keesaan Tuhan terwujud dalam trinitas yang dipandang oleh
sebagai mensekutukan Tuhan oleh kalangan Muslim.
Gagasan kalimah sawa’ tentang keesaan Tuhan ini terkesan utopis dan
mustahil untuk tercapai. Ayat Al Quran yang berbicara tentang kalimah sawa’ itu
sendiri pada bagian akhir ayat tersebut mengungkapkan keengganan sebagian
20 Dalam Al-Quran disebutkan, “ (katakanlah (olehmu, Muhammad) ‘Wahai para penganut kitab suci, marilah semuanya menuju ajaran bersama antara kami dan kamu sekalian bahwa kita tidak menyembah kecuali Yuhan dan tidak memperserikatkan-Nya kepada sesuatu apa pun juga, dan kita tidak mengangkat sesama kita sebagai tuhan-tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa (Allah)’. Q., s. Alu Imran/3:64. Jadi, dalam firman itu, ditegaskan bahwa titik pertemuan utama antara agama-agama (samawi) ialah prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat, Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, hal. 7-8.
Page 9 of 17
penganut agama (samawi) lain untuk kembali kepada platform bersama tersebut.
Belum lagi apabila semangat ini dikembangkan kepada agama-agama ardhi seperti
Hindu dan Budha, atau Kong Hu Cu dan Shinto, yang justru melakukan pemujaan
terhadap arwah leluhur.
Untuk itu, perlu dicari kalimah sawa’ yang baru dalam rangka memperkuat
semangat pluralisme agama. Pelarian pada unsur-unsur esoteris agama jelas tidak
akan menyelesaikan persoalan terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan riil
yang dihadapi manusia. Pada masa sekarang, manusia dihadapkan kepada berbagai
persoalan yang menuntut perhatian agama untuk menyelesaikannya. Ideologi-ideologi
besar seperti kapitalisme dan sosialisme dipandang telah gagal dalam memperbaiki
kehidupan manusia.21 Persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia sekarang ini
adalah kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan, peperangan, lingkungan hidup dan
berbagai persoalan-persoalan lainnya yang mengancam kehidupan manusia.
Pluralisme agama perlu ditarik untuk lebih dekat kepada upaya agama-agama dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.
Pandangan seperti ini erat kaitannya dengan humanisme, yaitu suatu
pandangan yang menempatkan manusia sebagai perhatian utama. Humanisme22
merupakan setiap aliran atau gerakan yang menghargai budi, kebebasan dan martabat
manusia serta kemampuannya untuk belajar mengembangkan seluruh
kebudayaannya.23 Semangat humanisme ini seringkali dikonfrontasikan dengan
agama. Padahal, meskipun sebagian tokoh-tokohnya merupakan orang-orang yang
sangat kritis terhadap agama (Gereja), tidak jarang mereka adalah orang-orang yang
beriman saleh, seperti Lorenzo Valla (1406-1457), Pico Della Mirandola (1463-1494),
Erasmus dari Roterdam (1464-1536) dan St. Thomas More (1478-1535). Kaum
humanis sekarang ini seringkali adalah orang-orang yang tidak beriman yang
memandang manusia memiliki otonomi yang mutlak. Meskipun demikian,
humanisme baru yang secara bertanggungjawab berjuang demi dunia yang lebih baik
21 Ideologi yang dominan di dunia sekarang ini adalah liberalisme yang dirasakan semakin mengancam masa depan agama dan masa depan manusia. Oleh karena itu, orang mulai ramai berbicara tentang agama sebagai alternatif ketika isms-isme besar – katakanlah setelah sosialisme yang hancur, orang mengharapkan isme pendobrak semacam agama-agama yang sekarang ini tidak jalan.lihat, “Allah, Kemanusiaan dan Masa Depan”, artikel dalam Kompas edisi 3 Mei 2002 dan beberapa artikel lainnya. 22 Istilah ‘humanisme’ diciptakan oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman pada tahun 1808, sementara kata ‘humanist’ (dalam bahasa Italia humanista dan kata-kata semakna) sudah digunakan pada abad ke-17 untuk menyebut para ilmuwan yang terlibat dalam studia humanitatis. Lihat, Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill, hal. 5 23 Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 107
Page 10 of 17
atas dasar kebenaran dan keadilan tidak berlawanan dengan iman agama (Kristiani)24
seperti John Dewey, Roy Wood Sellar dari tradisi Barat dan Muhammed Arkoun,
Nasr Hamid Abu Zaid, dan Najib Mahfuz dari tradisi Muslim.25 Mereka menyadari
adanya unsur humanitarian dalam agama, Yesus mencintai manusia26, dan agama-
agama seperti Islam juga sangat concern dengan manusia dan kemanusiaan.
Namun tidak semua kalangan humanis melihat agama dalam perspektif
demikian. Para humanis sekuler seperti Voltaire, Thomas Paine, Karl Marx dan Paul
Kurtz sangat menentang agama. Bagi mereka agama adalah sumber utama persoalan
di dunia ini. Menurut mereka, orang-orang beragama adalah otoriter dan sangat
fanatik untuk lebih memperhatikan kehidupan di akhirat daripada kehidupan di
dunia.27
Pada bagian lain, agama lebih sering jarang muncul sebagai solusi terhadap
persoalan yang dihadapi manusia. Alih-alih menjadi part of solution, agama justru
sering menjadi part of problem. Berbagai peperangan bermotif agama masih
mewarnai dunia kontemporer. Munculnya golongan agama garis keras seringkali
menampilkan agama dengan muka yang garang dan penuh kebencian terhadap orang
yang bukan golongan agama atau aliran yang dianutnya. Atas dasar membela agama
atau - meminjam istilah Karen Armstrong – “membela Tuhan,” agama menjadi
perekat solidaritas untuk “menghabisi” penganut agama lain. Ini tentu saja bertolak
belakang dengan semangat awal agama sangat peduli dengan kemanusiaan.
Dalam pandangan kalangan humanis, manusia secara satu kesatuan dan
mempunyai posisi yang setara. Dalam Second Humanist Manifesto, Paul Kurtz
menulis panjang lebar akan kebutuhan akan masyarakat dunia (global community).
Menurutnya, masyarakat dunia adalah bahwa setiap orang di seluruh negara yang
bermacam-macam hendaknya tidak mengidentifikasi diri mereka menurut indentitas
negara, agama atau ras. Setiap manusia harus memahami diri mereka sebagai bagian
dari masyarakat dunia, bahkan bagian dari komunitas kehidupan di planet bumi.28
24 ibid.25 M. Amin Abdullah. 2000. “Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism”, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 200026 Misalnya, dalam Kristiani diyakini bahwa Yesus adalah juru selamat manusia, yang turun untuk menebus dosa-manusia. Dalam Islam, penghargaan terhadap manusia ditandai antara lain oleh pemuliaan Allah terhadap manusia, dengan firman-Nya. Bagaimana konsep al-Qur’an tentang manusia Lihat misalnya, Dirk Bakker. 1965. Man in the Qur’an. Amsterdam: Drukkerij Holland. 27 ibid.28 Dalam John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 140
Page 11 of 17
Karena itu, wacana pluralisme agama perlu ditarik kepada inti agama, yaitu
untuk membebaskan manusia. Bila dilihat dari perspektif sejarah agama-agama,
munculnya suatu agama selalu dilatarbelakangi oleh kebobrokan moral dan proses
dehumanisasi yang luar biasa. Para nabi dan rasul dan pendiri agama-agama selalu
muncul sebagai tokoh yang berusaha memperbaiki keadaan moralitas umatnya dan
menghentikan proses dehumanisasi yang demikian parahnya. Munculnya Musa di
Mesir yang membawa kitab Taurat sangat terkait dengan proses dehumanisasi yang
dilakukan oleh Fir’aun terhadap bangsa Israil.29 Demikian juga halnya dengan
kemunculan Yesus Kritus dan Muhammad yang dilatarbelakangi oleh kebobrokan
akhlak dan perendahan terhadap derajat kemanusiaan. Dalam agama-agama timur pun
kemunculan tokoh-tokoh pendiri agama selalu dilatarbelakangi oleh terjadinya krisis
kemanusiaan. Misalnya, Budha Gautama yang kemudian mendapat pencerahan dalam
perenungannya di bawah pohon Bodhi setelah melihat realitas persoalan kemanusiaan
yang didapatinya di luar tembok istana Kapilawastu.
Perlunya kesadaran sejarah agama-agama ini penting dalam dialog agama-
agama, bahwa faktor kemanusiaan sangat dominan dalam timbulnya sebuah agama
sebagai bentuk kasih sayang Tuhan terhadap manusia. Tetapi, ketika ajaran agama
tersebut mulai dirumuskan, muncul pembiasan-pembiasan terhadap ajaran-ajaran
agama tentang kemanusiaan. Konsep teologi yang dibangun oleh manusia, cenderung
bersifat apolegetik-defensif ketimbang konstruktif-liberatif. Manusia telah
menghabiskan banyak energi dalam perdebatan-perdebatannya tentang Tuhan seolah-
olah ingin menyatakan bahwa merekalah penyelamat Tuhan. Sedangkan persoalan-
persoalan kemanusiaan yang menjadi latar belakang timbulnya agama disingkirkan
dan tidak menjadi tema dalam teologi. Pada dataran ini, para teolog dan mutakallimun
berhasil ‘menyelamatkan’ Tuhan namun akibat dari rumusan teologi atau kalam
mereka muncul berbagai konflik yang berlatar belakang agama dan atas nama Tuhan.
Padahal berulangkali Tuhan menyatakan bahwa ada tidaknya orang yang beriman di
dunia ini tidak akan berpengaruh apa-apa kepada-Nya.
Kuatnya faham teologi seperti ini berpengaruh pada ‘ketidakberdayaan’ dalam
menghadapi persoalan-persoalan kemanusiaan. Akhirnya agama ditempatkan hanya
sebagai urusan pribadi manusia dengan Tuhan (sekuler). Sedangkan persoalan
29 Misi dakwah Musa ini adalah misi politik karena awal risalahnya adalah menyeru Fir’aun untuk kembali kepada kebenaran. Dalam Al-Quran disebutkan, “ Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya dia orang yang melampaui batas.” Lihat Q., s. 26:10-11
Page 12 of 17
manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam ‘bukan termasuk dalam wilayah
agama.’
Teologi yang dipahami dan diyakini berabad-abad sangat bersifat apologetik-
defensif untuk membela kelompok agama atau sekte dalam agama tertentu.
Celakanya, pemikiran manusia kemudian disakralkan dan dianggap sebagai yang
paling benar dan immune terhadap kritik dan mengalami pensakralan (taqdis afkar al-
diniy).30
Semua agama mengklaim bahwa ajarannya menghargai manusia dan
menentang tindakan-tindakan yang tidak manusiawi. Dalam kontek pluralisme agama,
doktrin setiap agama menganjurkan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, saling
menghormati dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, namun dalam realitas
historis empiris – doktrin agama, keputusan majelis agama, keputusan konsili atau
dewan gereja-gereja yang ideal tersebut – belum dengan sendirinya dapat terlaksana
seperti yang diidam-idamkan oleh masing-masing pihak. Hal ini karena banyaknya
faktor kepentingan historis-empiris yang cukup dominan – baik yang disebut sebagai
kepentingan politik, ekonomis, sosial dan pertahanan keamanan – yang ikut mewarnai
dinamika hubungan agama-agama.31
D. REFORMULASI TEOLOGI?
Dari uraian di atas, tersirat bahwa perlu diadakannya reka-ulang konsep
teologi. Teologi agama-agama hendaknya kembali ke ‘khittah’ awal munculnya
agama-agama yaitu sebagai pembebasan manusia dari proses dehumanisasi. Untuk
itu, teologi agama-agama hendaknya menjadi teologi kontemporer yang bisa
menanggapi dan menjawab keadaan dan kebutuhan hidup manusia dewasa ini. dengan
sendirinya, teologi ini akan selalu memantau perkembangan keadaan teraktual dalam
hidup sosial, ekonomi dan politik supaya teologi itu tidak terlepas dari konteks hidup
dan perkembangan sosial yang terjadi.32
Teologi baru ini hadir sebagai refleksi kritis yang membedah keadaan sosial
dengan maksud untuk memperbaiki keadaan yang tak manusiawi, seperti kemiskinan,
keterbelakangan ekonomi dan politik, kebodohon dan kejahatan terhadap manusia dan
30 Bandingkan dengan M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 2-631 ibid., hal. 1432 William Chang. “Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama,” dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 126
Page 13 of 17
kemanusiaan. 33 Teologi harus menjalankan misi profetik sebagai agen yang
melakukan emansipasi dan liberasi manusia yang dibarengi dengan transendensi.
Teologi yang hendak dibangun ini adalah teologi yang berpijak pada nilai-nilai
kemanusiaan universal. Rumusannya tidak bersifat abstrak, tetapi sungguh-sungguh
menyentuh persoalan-persoalan yang nyata dihadapi oleh manusia. Tanpa adanya
kesadaran ini, akan sulit membangun suatu teologi agama-agama yang dapat diterima
oleh semua pihak.
Mungkin, reformulasi teologi ini akan mendapat resistensi dari sebagian
kalangan agamawan. Menurut mereka, teologi humanis ini terlalu antroposentris
karena menempatkan manusia pada posisi Tuhan dan mengarah kepada sikap ateistik.
Ketakutan ini semestinya tidak terjadi kalau mereka memahami realitas sejarah
kemunculan agama-agama yang sarat dengan pesan-pesan kemanusiaan universal.
Selain itu, dalam sejarah dan perkembangan humanisme, humanisme tidak selalu
menyebabkan orang-orangnya menjadi atheis sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Hal ini dapat dicontohkan dengan menunjuk pada kalangan humanis agamis Amerika
di awal tahun-tahun 1920 dan 1930-an yang berusaha melihat manusia dalam
hubungannya dengan kosmos yang lebih besar. Mereka mencoba untuk menaturalisasi
agama dengan membawa nilai-nilai spiritual cinta, kebenaran dan keadilan keluar dari
dunia langit masuk ke dalam dunia manusia/alam. Mereka mencoba untuk
memahaminya sebagai nilai-nilai yang dikembangkan manusia untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik, untuk memperoleh harmoni spiritual dalam diri mereka
dan masyarat mereka.34
Dalam pada itu teologi, menurut Karl Rahner, tidak dapat lagi mengikuti pola
masa lampau yang simplistis, yang menyelesaikan masalah pluralisme dengan
menerapkan prinsip non-kontradiksi – yaitu, apabila dua pendirian teologis dilihat
sebagai alternatif-alternatif yang bertentangan, maka menurut prinsip non-kontradiksi,
karena keduanya tidak dapat sama-sama benar, suatu keputusan akan diambil
mengenai pendirian mana yang benar, dan pluralisme atau kontradiksi akan teratasi.35
Untuk menghadapi tantangan yang timbul karena perjumpaan agama-agama, pola
tersebut tidak memadai lagi.
33 ibid. 34 lihat, John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti, hal. 13935 Sebagaimana dikutip oleh Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius, hal. 178.
Page 14 of 17
Untuk mengembangkan pluralisme baru ini, ada tiga hal yang perlu
dikembangkan oleh para penganut agama-agama, yaitu, (1) bahwa pluralisme
keagamaan dapat dipahami dengan baik dalam kaitan dengan sebuah logika yang
melihat Satu yang berwujud banyak – realitas transenden yang menggejala dalam
bermacam-macam agama; (2) bahwa ada suatu pengakuan bersama mengenai kualitas
pengalaman agma partikular sebagai alat; (3) bahwa spiritualitas dikenal dan
diabsahkan melalui pengenaan kriteria sendiri pada agama-agama lain.36
Untuk sampai ke sana, diperlukan suatu pendekatan yang dapat memahami inti
persoalan kemanusiaan dan keagamaan. Dalam studi agama dikenal adanya tiga
pendekatan yaitu doktrinal-teologis, kultural-historis dan kefilsafatan agama. Baik
pendekatan doktrinal-teologis maupun kultural-historis jelas tidak akan dapat
menyelesaikan kompleksitas persoalan pluralisme agama. Dengan kedua pendekatan
tersebut sulit dicari titik temu agama-agama untuk merumuskan konsep teologi baru.
Dalam ungkapan M. Amin Abdullah, doktrin teologi macam apapun, bahkan juga
Studi Agama secara historis-empiris yang mana pun juga tidak akan mampu memberi
sumbangan pemikiran untuk melerai tumpang-tindih dan campur-aduknya antara
dimensi doktrin-teologis dan dimensi kesejarahan dalam wujud praksis sosial.37
Untuk menjernihkan persoalan tersebut, diperlukan refleksi kritis yang biasa
diwakili oleh pendekatan kritis-filosofis. Diharapkan dengan pendekatan fundamental
filosofis dapat menjernihkan kompleksitas antara dimensi doktrinal-teologis dan
dimensi kultural-historis. Pendekatan fenomenologis terhadap agama perlu
dipertimbangkan untuk melihat secara transparan hakikat keberagamaan manusia,
lebih-lebih dalam keterkaitannya dalam hubungan antar umat manusia. Tetapi
pendekatan fenomenologis yang bermuara para dapat dirumuskan dan dipahaminya
struktur fundamental dari religiusitas manusia, dirasakan kurang cukup, khususnya
untuk menjernihkan ketertumpangtindihan antara teks dan realitas. Pendekatan
fenomenologis perlu ditindaklanjuti dengan pendekatan kritis filosofis terhadap
realitas konkrit keberagamaan secara kultural historis.38
36 Ibid. hal. 16937 M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga” dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Mencari Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 1738 ibid., hal. 17-18
Page 15 of 17
E. CONCLUDING REMARKS:
MENUJU KERJASAMA AGAMA-AGAMA
Tersirat dalam uraian di atas, sebenarnya fakta persoalan yang dirasakan
masyarakat akibat sistem ekonomi (terkenal dengan istilah neo-liberalisme), sosial
politik yang bobrok sudah cukup membangkitkan rasa keprihatinan bersama dan
konsekuensinya mempersatukan warga masyarakat tanpa membedakan latar belakang
agama dan suku. Pengalaman penderitaan bersama melahirkan solidaritas dan
semangat untuk bekerjasama.39 Untuk itu, pencarian konsep pluralisme agama baru
adalah dengan kembali kepada inti dari ajaran agama, yaitu penghargaan terhadap
manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dialog antar agama perlu beralih dari dialog
wacana ke dialog aksi. Artinya, dialog yang selama ini dibangun untuk membangun
saling pengertian antar agama-agama perlu ditindaklanjuti dalam bentuk kerjasama
agama-agama dalam proyek-proyek kemanusiaan seperti menghadapi persoalan
kemiskinan, keterbelakangan ekonomi dan pendidikan, kriminalitas, dan berbagai
persoalan kemanusiaan lainnya.
Kita menginginkan sikap yang sama oleh semua agama dan ideologi-ideologi
lain terhadap persoalan kemanusiaan. Semua agama harus mengutuk setiap tindakan
dehumanisasi yang terjadi tanpa melakukan diskriminasi terhadap korban tindakan
yang dehumanisasi tersebut. Manusia perlu diselamatkan, dan agama-agama perlu
lebih mengaktualisasikan dirinya dalam menyikapi persoalan kemanusiaan, karena
itulah inti dari ajaran agama-agama dan ideologi-ideologi dunia yang paling esensi
dan menjadi titik temu.
Untuk mencapai hal tersebut, perlu dilakukan telaah kritis terhadap konsep
teologi yang telah ada atau kalau perlu dilakukan format ulang teologi agama-agama.
Untuk mencapai hal tersebut diperlukan metodologi kritis filosofis yang tepat
membaca agama di hadapan realitas persoalan kemanusiaan dan mampu
menjernihkan ketertumpangtindihan antara dimensi doktrin-teologis dan kultural-
historis.
Akhirnya, sebagai penutup perlu diungkapkan semangat humanisme religius
yang mengatakan bahwa “tidak ada keagamaan sejati tanpa kemanusiaan”.
39 Bandingkan dengan Yong Ohoitimur “Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati” dalam Th. Sumartana dkk (ed.). 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei, hal. 128-144
Page 16 of 17
_____________________________
Page 17 of 17
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’an al-Karim
M. Amin Abdullah, Religious Humanism versus Secular Humanism Toward a New Spiritual Humanism. Makalah dalam “International Seminar on Islam and Humanism, Universal Crisis of Humanity and the Future of Religiousity”, IAIN Walisongo Semarang, 5-8 November 2000
Budy Munawar-Rachman. 2001. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: Paramadina.
Marcel A. Boisard. 1980. Humanisme dalam Islam. terj. oleh M. Rosyidi dari L’ Humanisme de l’Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Lihat, F.X. Armada Riyanto CM. 1995. Dialog Agama dalam Pandangan Gereja Katolik. Yogyakarta: Kanisius
Lihat, John Hicks. 1993. God and the Universe of Faiths. Oxford: One World Publication
John Hick. 1980. God Has Many Names. London: The Macmillan Press Ltd
Nurcholish Madjid. 1995. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina
Kompas edisi 3 Mei 2002
Joel L. Kraemer. 1986. Humanism in the Renaissance of Islam. Leiden: EJ. Brill
Edward G. Farrugia, SJ. 1996. Kamus Teologi. Terjemahan dari A Concise Dictionary of Theology. Yogyakarta: Kanisius.
M. Amin Abdullah. 2000. “Religious Humanism versus Secular Humanism, Toward a New Spiritual Humanism”, makalah dalam International Seminar on Islam and Humanism. IAIN Walisongo. 5-8 November 2000
Dirk Bakker. 1965. Man in the Qur’an. Amsterdam: Drukkerij Holland.
John Avery dan Hasan Askari. 1995. Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis. Terj. dari Toward a Spiritual Humanism: A Muslim – Humanist Dialog. Surabaya: Risalah Gusti
M. Amin Abdullah. 2000. “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga”, dalam M. Amin Abdullah dkk. 2000. Mencari Islam Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiara Wacana
William Chang. “Dari SARA Menuju Teologi Agama-agama,” dalam Th. Sumartana dkk. 2001. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei
Harold Coward. 1989. Pluralisme Tantanngan bagi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius