agama (bhn diskusi kelompok)

Upload: afifrt

Post on 10-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hakikat Manusia Menurut Islam

Hakikat Manusia Menurut Islam Sesi pertanyaan1. Manusia pada dasarnya diciptakan dimuka bumi ini sebagai khalifah, apabila manusia tidak pernah menjadi pemimpin apakah menyalahkan hakikat sebagai manusia? Dan mengapa sampai bisa orang itu mabuk atau membunuh ?( Tryan Erlangga )

2. Kenapa al-Quran tidak menjelaskan secara rinci asal-usul kejadian manusia, tetapi al-Quran hanya menjelaskan prinsip-prinsip seperti apa yang dijelaskan oleh al-quran tentang manusia? ( Siti Anisa )

3. Kenapa makhluk gaib memiliki kelebihan yang lain tetapi manusia tidak bisa seperti itu ? dan apakah dajal dapat disebut sebagai khalifah ? ( Mega Cari )

4. Kenapa zahir ayat yang menyatakan bahwa Allah itu menghendaki sesuatu jadi maka jadilah ( kun fayakun ), bukan ayat yang menjamin bahwa setiap yang dikehendaki Allah pasti akan terwujud seketika ? ( Rizal Taufik )

5. Adakah ilmu selain dari ilmu Allah ? ( Rida Dwi Maharani )

6. Apakah matematika, ilmu pengetahuan sosial, fisika termasuk ilmu Allah ? ( Dimas Ramadani )

Jawaban

1. Sebetulnya manusia hanya meneruskan ajaran allah dan manusia itu berada dalam posisi di tengah-tengah manusia bisa menjadi positif dan manusia bisa menjadi negatif dan semua itu kembali pada dirinya masing-masing, tidak ada penentuannya dan manusia sendiri yang menentukan dia bisa menjadi pemimpin yang baik itu dengan tingkah laku dan segalanya yang dia perlihatkan. Orang bisa jahat karena kurang keimanan dan ketakwaannya pada allah swt.

2. Karena dalam Al-Quran hanya menjelaskan prosesnya saja, hal tersebut bisa terungkap Kemudian Kami jadikan dia ( Adam ) , dan Allah meniupkan padanya ruhNya dan Allah menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati namun sedikit sekali antara kamu bersyukur. ( As-Sajadah : 9 ) dan terungkap juga surat Nuh : 17, Ash-Shafaat : 11, Al-Mukminuun : 12-13, Ar-rum : 20, Ali Imran : 59, As-Sajadah : 7-9, Al-Hijr : 28, dan Al-Hajj : 5.

3. Sebenarnya manusia itu sudah diberi kelebihan dan manusia juga sebagai makhluk yang mulia dimata Allah dibanding dengan makhluk lainnya. Tidak akan ada Dajal yang menjadi khalifah,karena tidak meneruskan ajaran Allah. Dan dajjal sebagai tanda akan terjadinya kiamat kubro dan dia akan keluar untuk menandakan akan datangnya kiamat tersebut.

4. Karena segala sesuatu yang dikehendaki Allah akan terwujud dan terwujudnya mengalami proses. Misalnya: pertemuan antara permatozoa dengan ovum akan menghasilkan bayi. Sebelum bayim itu lahir kedunia mengalamin beberapa tahap atau proses seperti diberikannya ruh, dan pembentukan-pembentukan bentuk tubuh. Dan contoh lain adalah buah mangga bisa ada dengan cara pada pohon itu terjadi bunga dan dari bunga baru menghasilkan buah.

5. Tidak ada ilmu selain ilmu Allah,maksudnya hanya ilmu-ilmu yang bermanfaat dan ilmu tersebut menuju ajaran Allah Swt,oleh sebab itu apabila ada ilmu yang menjadikan manusia jauh dari ajaran Allah maka itu disebut bukan ilmu Allah. contohnya Animisme, Dinamisme, ilmu Santet, dan semua ilmu sesat.

6. Termasuk apabila dengan belajar matematika, ilmu pengetahuan sosial maupun fisika tersebut kita dapat mengenal dan mendekatkan diri pada Allah.

Hukum, HAM, dan Demokrasi dalam Islam (Pengertian)3. Pendapat hukum di indonesia, salah satunya pancasila?(wulan)4. Jelaskan pendapat definisi ijma kebulatan pendapat dari segolongan umatsaja tidak bisa disebut ijma?(reza)Hukum Islam dan Kontribusi Umat Islam Indonesia (Sumber Hukum Islam)

Etika, Moral, dan AkhlakIlmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni dalam IslamKedudukan Filsafat Ilmu dalam Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Kontribusinya dalam Krisis Masyarakat ModernDitulis pada 1 November 2009

A. PENDAHULUANPerbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke dua pulu. Namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke sembilan belas dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam hasanah bidang filsafat secara umum. Sebagian ahli filsafat berpandangan bahwa perhatian yang besar terhadap peran dan fungsi filsafat ilmu mulai mengedepan tatkala ilmu pengetahuan dan teknologi mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dalam hal ini ada semacam kekhawatiran di kalangan para ilmuwan, dan filsof, termasuk juga kalangan Agamawan, dalam hal ini penulis khususkan agama Islam, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dapat mengancam eksistensi umat manusia bahkan agama itu sendiri.

Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini, ialah adanya kontradiksi-kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, memberikan kesenangan dalam hidup, sehingga kebutuhan-kebutuhan jasmani tidak sukar lagi untuk memenuhinya. Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran-kesukaran meterial berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat, kegelisahan dan ketegangan serta tekanan perasaan lebih sering terasa dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan.

Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah hidupnya, namun pada sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut tidak mampu menumbuhkan moralitas (ahlak) yang mulia. Dunia modern saat ini, termasuk di indonesia ditandai oleh gejalah kemerosotan akhlak yang benar-benar berada pada taraf yang menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling menjegal dan saling merugikan. Untuk memahami gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian itu, maka kehadiran filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bomerang bagi kehidupan umat manusia. Disamping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan. Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensip tentang ilmu dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.

Dalam masyarakat beragama (Islam), ilmu adalah bagian yang tak terpisahkan dari nilai-nilai ketuhanan karena sumber ilmu yang hakiki adalah dari Tuhan. Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan mahluk yang lain, karena manusia diberi daya berfikir, daya berfikir inilah yang menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pada waktu yang bersamaan, daya pikir tersebut menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan. Sehingga dia tidak hanya bertanggung jawab kepada sesama manusia, tetapi juga kepada pencipta-Nya.

Namun, perlu juga diingat bahwa ikatan agama yang terlalu kaku dan tersetruktur kadang kala dapat menghambat perkembangan ilmu. Karena itu, perlu kejelian dan kecerdasan memperhatikan sisi kebebasan dalam ilmu dan sistem nilai dalam agama agar keduanya tidak saling bertolak belakang. Disinilah perlu rumusan yang jelas tentang ilmu secara filosofis dan akademik serta agama agar ilmu dan teknologi tidak menjadi bagian yang lepas dari nilai-nilai agama dan kemanusiaan serta lingkungan.

Dari pemaparan di atas, penulis mencoba untuk mendudukkan antara filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan serta apa fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan.B. Rumusan MasalahPermasalahan yang kami angkat dalam makalah ini adalah;

Dimana kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan?

Apa saja fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan?

C. PembahasanSebelum membahas kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu penulis jelaskan apa arti filsafat ilmu itu sendiri;

1. Pengertian filsafat ilmuArti filsafat ilmu menurut The Liang Gie adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Sedangkan menurut Cornilius Binjamin filsafat ilmu adalah merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistimatis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, dan peranggapan-peranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual

Dari kedua definisi di atas, dapat penulis simpulkan bahwa filsafat ilmu adalah merupakan bagian dari filsafat pengetahuan yang secara spisifik mengkajih hakekat ilmu. Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat has, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang otonom. Ilmu memang berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri yang sama.

Setelah dipahami apa filsafat ilmu itu kali ini penulis ingin menjelaskan tiang penyangga dari filsafat ilmu, karena dari sini nanti penulis ingin memposisikan antara filsafat ilmu dengan Islamisasi ilmu pengetahuan, serta apa fungsinya. Pertama, filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan laandasan ontologis ilmu ; obyek apa yang ditelaah? Bagaimana korelasi antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang menghasilkan ilmu?. Dari landasan ontologis ini adalah dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu. Noeng Muhadjir dalam bukunya flsafat ilmu mengatakan, ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus, menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Tiang penyangga yang kedua adalah; Epistimologi ilmu atau teori pengetahuan, ini merupakan cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Dengan demikian adanya perubahan pandangan tentang ilmu pengetahuan mempunyai peran penting dalam membentuk peradaban dan kebudayaan manusia, dan dengan itu pula tampaknya, muncul semacam kecenderungan yang terjalin pada jantung setiap ilmu pengetahuan dan juga para ilmuwan untuk lebih berinovasi untuk penemuan dan perumusan berikutnya.

Kecenderungan yang lain ialah adanya hasrat untuk selalu menerapkan apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan, baik dalam dunia teknik mikro maupun makro. Dengan demikian tampaklah bahwa semakin maju pengetahuan, semakin meningkat keinginan manusia, sampai memaksa, merajalela, dan bahkan membabi buta. Akibatnya ilmu pengetahuan dan hasilnya tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung memperbudak manusia sendiri yang telah merencanakan dan menghasilkannya. Kecenderungan yang kedua inilah yang lebih mengerikan dari yang pertama, namun tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan yang pertama.

Kedua kecenderungan ini secara nyata paling menampakkan diri dan paling mengancam keamanan dan kehidupan manusia, dewasa ini dalam bidang lomba persenjataan, kemajuan dalam memakai serta menghabiskan banyak kekayaan bumi yang tidak dapat diperbaharui kembali, kemajuan dalam bidang kedokteran yang telah mengubah batas-batas paling pribadi dalam hidup manusia dan perkembangan ekonomi yang mengakibatkan melebarnya jurang kaya dan miskin. Ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya mau tak mau mempunyai kaitan langsung ataupun tidak, dengan setruktur sosial dan politik yang pada gilirannya berkaitan dengan jutaan manusia yang kelaparan, kemiskinan, dan berbagai macam ketimpangan yang justru menjadi pandangan yang menyolok di tengah keyakinan manusia akan keampuhan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk enghapus penderitaan manusia.

Kedua kecenderungan di atas yang ternyata condong menjadi lingkaran setan ini perlu dibelokkan manusia sendiri sehingga tidak menimbulkan ancaman lagi. Kesadaran akan hal ini sudah muncul dalam banyak lingkungan ilmuwan yang prihatin akan perkembangan teknik, industri, dan persenjataan yang membahayakan masa depan kehidupan umat manusia dan bumi kita. Untuk itulah maka epistimologi ilmu bertugas menjawab pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya?

Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apa kreterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?

Tiang penyangga filsafat ilmu yang ketiga adalah aksiologi ilmu; Ilmu adalah sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas penyakit, kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya. Dengan kemajuan ilmu juga, manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti transportasi, pemukiman, pendidikan, komonikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan, manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proposional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab, jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari siilmuwannya. Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Untuk itulah tanggungjawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.

Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, penulis akan menguraikan beberapa definisi tentang aksiologi, di antaranya;

Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa pemasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah suatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat dikatakan bahwa obyek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.

Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabilah subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya dan faliditasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.

Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan, intelektualitas dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas benar-benar ada. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksprimen-eksprimen. Kebebasan inilah yang nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika seorang ilmuwa bekerja, dia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Bagi seorang ilmuwan kegiatan ilmiahnya dengan kebenaran ilmiah adalah yang sangat penting.

Untuk itulah netralitas ilmu terletak pada epistimologinya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mapu menilai mana yang baik dan yang buruk, yang pada hakekatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.

Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk kedalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.

Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani disini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan dihubungkan dengan prilaku manusia.

Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kreteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.

Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, ataupun teori-teori emansipasi masyarakat, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya.

Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal yang positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secarah ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil kedepan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.

Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terikat dengan nilai-nilai? ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam, dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakekat penciptaan dirinya. Solusinya yang diberikan al-Quran terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat.

Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang Pencipta.

Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas dimuka bumi ini. Menurut pendapat yang kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari lmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jejas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruan.

Demikian sedikit pengertian tentang filsafat ilmu dan apa saja yang dipersoalkan dalam filsafat ilmu serta apa tujuan filsafat ilmu itu. Dari beberapa hal di atas, nantinya akan penulis jadikan bahan untuk menempatkan dimana letak atau kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan. Selama ini kita masih sering mendengar adanya dikhotomi antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan , padahal kalau kita kembali pada landasan dasarnya ilmu pengetahuan yaitu filsafat ilmu maka kita tidak akan menemukan yang namanya dikhotomi antara keduanya. Justru dengan mendudukkan keduanya dengan posisi yang sama maka akan tercipta dunia yang seimbang.

2. Pengertian Islamisasi ilmu pengetahuanIslamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu respon terhadap krisis masyarakat modern yang disebabkan karena pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang lebih bersifat materialistis, sekularistik, relevistis; yang menganggap bahwa pendidikan bukan untuk membuat manusia bijak yakni mengenali dan mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas tapi memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi manusia, dan karena itu hubungan manusia dengan tertib realitas bersifat eksploitatif bukan harmonis. Ini adalah salah satu penyebab penting munculnya krisis masyarakat modern.

Islamisasi ilmu pengetahuan mencoba mencari akar-akar krisis tersebut. Akar-akar krisis itu diantaranya dapat ditemukan didalam ilmu pengetahuan, yakni konsepsi atau asumsi tentang realitas yang dualistis, sekularistik, evolusioneristis, dan karena itu pada dasarnya bersifat realitifitas dan nihilistis. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi atau penafsiran-penafsiran Barat terhadap realitas, dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia islam.

Tetapi sejauh mana gagasan ini dapat dijalankan, dan betul-betul menjadi solusi terhadap krisis masyarakat modern, barangkali sejarah yang akan membuktikannya. Apapun hasilnya nanti, gagasan ini saya kira perlu mendapat sambutan terutama dari mereka yang memiliki kepentingan dengan kondisi masyarakat modern. Selain itu Islamisasi ilmu pengetahuan juga muncul sebagai reaksi adanya konsep dikhotomi antara agama dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya masyarakat modern. Masyarakat yang disebut terakhir ini misalnya memandang sifat, metode, setruktur sains dan agama jauh berbeda, kalau tidak mau dikatakan kontradiktif (bagaimana seharusnya). Sedangkan sains meneropongnya dari segi objektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui eksprimen dan rasio manusia. Karena ajaran agama diyakini sebagai petunjuk Tuhan, kebenaran dinilai mutlak, sedangkan kebenaran sains relatif. Agama banyak berbicara yang gaib sedangkan sains hanya berbicara mengenai hal yang empiris.

Dalam perspektif sejarah, sains dan teknologi modern yang telah menunjukkan keberhasilannya dewasa ini mulai berkembang di Eropa dalam rangka gerakan reaisans pada tiga atau empat abad yang silam. Gerakan ini berhasil menyingkirkan peran agama dan mendobrak dominasi gereja Roma dalam kehidupan sosial dan intelektual masyarakat Eropa sebagai akibat dari sikap gereja yang memusuhi ilmu pengetahua. Dengan kata lain ilmu pengetahuan di Eropa dan Barat mengalami perkembangan setelah memisahkan diri dari pengaruh agama. Setelah itu berkembanglah pendapat-pendapat yang merendahkan agama dan meninggikan sains. Dalam perkembangannya, sains dan teknologi modern dipisahkan dari agama, karena kemajuaannya yang begitu pesat di Eropa dan Amerika sebagaimana yang di saksikan sampai sekarang. Sains dan teknologi yang demikian itu selanjutnya digunakan untuk mengapdi kepada kepentingan manusia semata-mata, yaitu untuk tujuan memuaskan hawa nafsunya menguras isi alam untuk tujuan memuaska nafsu konsomtif dan materealistik, menjajah dan menindas bangsa-bangsa yang lemah, melanggengkan kekuasaan dan tujuan lainnya.

Penyimpangan dari tujuan pengguanaan ilmu pengetahuan itulah yang direspon melalui konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu upaya menempatkan sains dan teknologi dalam bingkai Islam, dengan tujuan agar perumusan dan pemanfaatan sains dan teknologi itu ditunjukkan untuk mempeetinggi harkat dan martanat manusia, melaksanakan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi serta tujuan-tujuan luhur lainnya. Inilah yang menjadi salah satu misi Islamisasi ilmu pengetahuan.

3. Setrategi islamisasi ilmu pengetahuanTerjadi pemisahan agama dari ilmu pengetahuan sebagaimana tersebut di atas terjadi pada abad pertengahan, yaitu pada saat umat islam kurang memperdulikan (meninggalkan iptek). Pada masa itu yang berpengaruh di masyarakat Islam adalah ulama tarikat dan ulama fiqih. Keduanya menanamkan paham taklid dan membatasi kajian agama hanya dalam bidang yang sampai sekarang masih dikenal sebagai ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fiqih,dan tauhid. Ilmu tersebut mempunyai pendekatan normatif dan tarekat, tarekat hanyaut dalam wirit dan dzikir dalam rangka mensucikan jiwa dan mendekatkan diri pada Allah dengan menjauhkan kehidupan duniawi.

Sedangkan ulama tidak tertarik mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif. Bahkan ada yang mengharamkan untuk mempelajari filsafat, padahal dari filsafatlah iptek bisa berkembang pesat. Kedaan ini mengalami perubahan pada akhir abad ke sembilan belas, yaitu sejak ide-ide pembaharuan diterima dan didukung oleh sebagian umat. Mereka mengkritik pengembangan sains dan teknologi modern yang dipisahkan dari ajaran agama, seperti dikemukakan oleh Muhammad Naquib al-Attas (1980/1981: 47-56) Ismail Razi al-Faruqi (1982: 3-8) dengan tujuan agar ilmu pengetahuan dapat membawa kepada kesejahteraan bagi umat manusia. Menurut para ilmuwan dan cendikiawan muslim tersebut, pengembangan iptek perlu dikembalikan pada kerangka dan perspektif ajaran Islam. Al-Faruqi menyerukan perlunya dilaksanakan islamisasi sains. Dan sejak itu gerakan islamisasi ilmu pengetahuan digulirkan, dan kajian mengenai islam dalam hubungannya dengan pengembangan iptek sebagaimana diuraikan di bawah ini mulai digali dan diperkenalkan.

Sebagaimana di ketahui bahwa salah satu gagasan yang paling canggih, amat komperhensif dan mendalam yang ditemukan didalam al-Quran ialah konsep ilm. Pentingnya konsep ini terungkap dalam kenyataan turunnya sekitar 800 kali. Dalam sejarah peradaban muslim, konsep ilmu secara mendalam meresap kedalam seluruh lapisan masyarakat dan mengungkapkan dirinya dalam semua upaya intelektual. Tidak ada peradaban lain yang memiliki konsep pengetahuan dengan semangat yang sedemikian tinggi dan mengajarkannya dengan amat tekun seperti itu.Menurut Munawar Ahmad Aness, bahwa dalam konsep Islam yang berdasarkan al-Quran, upaya menerjemahkan ilmu sebagai pengetahuan berarti melakukan suatu kejahatan. Walaupun tidak disengaja, terhadap konsep yang luhur dan multi dimensional ini. Ilmu memang mengandung unsur-unsur dari apa yang kita pahami sekarang sebagai pengetahuan. Tetapi ia juga digambarkan sebagai hikmah. Selanjutnya jika di Eropa sains dan teknologi dapat berkembang sesudah mengalahkan dominasi gereja, sedangkan dalam perjalanan sejarah Islam, lain halnya ilmu dalam berbagai bidangnya mengalaami kemajuan yang pesat di dunia Islam pada zaman klasik (670-1300 M), yaitu zaman Nabi Muhammad sampai dengan akhir masa Daulah Abbasiyah di Bagdad.

Pada masa ini, dunia Islam telah memainkan peran penting baik dalam bidang ilmu pengetahuan agama maupun pengetahuan umum. Dalam hubungan ini Harun Nasution mengatakan bahwa cendikiawan-cendikiawan Islam bukan hanya ilmu pengetahuan dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan kedalam hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam lapangan ilmu pengetahuan dan hasil pikiran mereka dalam ilmu filsafat. Para ilmuwan tersebut memiliki pengetahuan yang bersifat integrated, yakni bahwa ilmu pengetahuan umum yang mereka kembangakan tidak terlepas dari ilmu agama atau tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.

Konsep ajaran Islam tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang demikian itu didasarkan kepada beberapa prinsip sebagai berikut;

Pertama, ilmu pengetahuan dalam Islam dikembangkan dalam kerangka tauhid atau teologi. Yaitu teologi yang bukan semata-mata meyakini adanya Tuhan dalam hati, mengucapkannya dengan lisan dan mengamalkannya dengan tingkah laku, melainkan teologi yang menyangkut aktivitas mental berupa kesadaran manusia yang paling dalam prihal hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya. Lebih tegasnya adalah teologi yang memunculkan kesadaran, yakni suatu matra yang paling dalam diri manusia yang menformat pandangan dunianya, yang kemudian menurunkan pola sikap dan tindakan yang selaras dengan pandangan dunia itu. Karena itu teologi pada ujungnya akan mempunyai implikasi yang sangat sosiologis, sekaligus antropologis.

Kedua, ilmu pengetahuan dalam Islam hendaknya dikembangkan dalam rangka bertakwa dan beribadah kepada Allah Swt. hal ini penting ditegaskan, karena dorongan al-Quran untuk mempelajari fenomena alam dan sosial tampak kurang diperhatikan, sebagai akibat dan dakwah Islam yang semula lebih tertuju untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Hal ini mesti diimbangi dengan perintah mengabdi kapada Allah dalam arti yang luas, termasuk mengembangkan iptek.

Ketiga, Ilmu pengetahuan harus dikembnagkan oleh orang-orang Islam yang memilki keseimbangan antara kecerdasan akal, kecerdasan emosional dan sepiritual yang dibarengi dengan kesungguhan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dalam sejarah di abad klasik, di mana paraa ilmuwan yang mengembangka ilmu pengetahuan adalah pribadi-pribadi yang senantiasa taat beribadah kepada Allah Swt.Keempat, Ilmu pengetahuan harus dikembangkan dalam kerangka yang integral, yakni bahwa antara ilmu agama dan ilmu umum walaupun bentuk formalnya berbeda-beda, namun hakekatnya sama, yaitu sama-sama sebagai tanda kekuasaan Allah. Dengan pandangan yang demikian itu, maka tidak ada lagi perasaan yang lebih unggul antara satu dan lainnya. Dengan menerapkan keempat macam setrategi pengembangan ilmu pengetahuan tersebut, maka akan dapat diperoleh keuntungan yang berguna untuk mengatasi problem kehidupan masyarakat modern sebagaimana tersebut di atas. Dan selanjutnya penulis akan mencoba menposisikan dimana letak filsafat ilmu dalamIslamisasi ilmu pengetahuan.4. Kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuanSebagaimana dalam bab awal sudah dijelaskan tentang apa arti filsafat ilmu dan apa arti Islamisasi ilmu pengetahuan, kali ini penulis mencoba meletakkan di mana posisi filsafat ilmu ketika dihadapkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Pada dasarnya filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofi untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Secara subtantif fungsi pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dan disiplin ilmu masing-masing agar dapat menampilkan teori subtantif. Selanjutnya secara teknis dihadapkan dengan bentuk metodologi, pengembangan ilmu dapat mengoprasionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-masing.

Sedangkan kajiaan yang dibahas dalam filsafat ilmu adalah meliputi hakekat (esensi) pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti; ontologi ilmu, epistimologi ilmu dan aksiologi ilmu, yang sudah penulis bahas di atas. Dari ketiga landasan tersebut menurut hemat penulis, bilah dikaitkan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan maka letak filsafat ilmu itu terletak pada ontologi dan epistimologinya. Ontologi disini titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki seorang ilmuwan, jadi landasan ontologi ilmu pengetahuan sangat tergantung pada cara pandang ilmuwan terhadap realitas. Manakalah realitas yang dimaksud adalah materi, maka lebih terarah pada ilm-ilmu empiris. Manakala realitas yang dimaksud adalah spirit atau roh, maka lebih terarah pada ilmu-ilmu humanoria.

Sedangkan epistimologi titik tolaknya pada penelaahan ilmu pengetahuan yang di dasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran.

5. Fungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuanFungsi filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan adalah sebagai pemberi nilai terhadap perkembangan ilmu, dan ini akan dijelaskan oleh aksiologi ilmu yang bertitik tolak pada pengenbangan ilmu pengetahuan yang merupakan sikap etis yang harus di kembangkan oleh seorang ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya. Sehingga suatu aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercayaan, idiologi yang di anut oleh masyarakat atau bangsa tempat ilmu itu di kembangkan.

Pertama, filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah, maksudnya seorang ilmuwan musliam harus memilki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap nsolipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar. Adapun kaitannya denga Islamisasi ilmu pengetahuan fungsi filsafat ilmu adalah sebagai sikap kritis terhadap keilmuwan yang dimiliki oleh ilmuwan muslim.

Kedua, filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuwan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan disini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan setruktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berfikir, bukan merupakan hakekat ilmu. Dalam Islamisasi ilmu pengetahuanyang paling pokok adalah terdapat pada bagaimana cara untuk mempertmukan antara nilai-nilai agama dengan kemajuan ilmmu pengetahuan. Agar keduanya bisa saling mengisi kekurangan dan kelebihannya.

Filsafat ilmu diperlukan kehadirannya ditengah perkembangan Islamisasi ilmu pengetahuan yang ditandai semakin menajamnya spisialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, maka para ilmuwan muslim akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap kedalam sikap arogansi intelektual. Hal yang di perlukan adalah sikap keterbukaan diri dikalangan ilmuwan muslim, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.

D. AnalisisDari beberapa penjelasan di atas dapat penulis analisis sebagai berikut; Bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatya adalah pembebasan manusia, semua manusia menghadapi kehidupan ini dengan ketidak berdayaan, mempunyai perasaan yang kecil berhadapan dengan realitas di tuanya yang besar baik alam sekitarnya, seperti gunung berapi yang sewaktu-waktu dapat memuntahkan laharnya yang mengerikan, maupun sesama mahluk hidup lainnya. Seperti binatang buas, yang sewaktu-waktu bisa menerkamnya dan merobek-robek tubuhnya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat menghadapi tantangan dan dapat menghindari resiko-resiko yang dihadapi dalam hidupnya. Ilmu pengetahuan dengan demikian membabaskan manusia dari ketakutan dan penderitaan.

Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan telah menjadi suatu sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia bisa hidup layak tanpa ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak lagi membebaskan manusia, tetapi manusia menjadi terperangkap hidupnya dalam sistem ilmu pengetahuan. Manusia telah menjadi bagian dari sistemnya, manusia juga menjadi objeknya dan bahkan menjadi kelinci percobaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahua telah melahirkan mahluk baru yang sistemik, mempunyai mekanisme yang kadangkala tidak bisa dikontrol oleh manusianya sendiri. Suatu mekanisme sistemik yang semakin hari semakin kuat, makin besar dan makin kompleks, dan rasanya telah menjadi suatu dunia baru di atas dunia yang ada ini.

Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika prakmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika prakmatik berorentasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama denga ilmu pengetahua dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik. Etika pembebasan manusia, bersuifat spiritual dan universal itu bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena menolak etika prakmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan agama yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan islamisasi ilmu pengetahuan harus dikembalikan pada tujuan semula yaitu filsafat ilmunya sebagai sarana untuk memakmurkan umat manusia dimuka bumi bukan malah sebaliknya mengancam eksistensi manusia. Disinilah nanti pentingnya mengetahui dimana letak filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan. Keduanya harus didudukkan bersama. Karena pada dasarnya Islamisasi iptek adalah sebagai landasan teoritis saling mengisi, agar tidak terjadi dikhotomi antara keduanya, lewat jembatan filsafat ilmu keduanya bisa didudukkan bersama.

E. KesimpulanPokok bahasan dalam filsafat ilmu adalah sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakekat dan sumber pengetahuan serta kreteria kebenaran. Disamping itu, filsafat ilmu juga membahas persoalan objek, metode dan tujuan ilmu yang tidak kala pentingnya adalah sarana ilmiah. Filsafat ilmu memberi spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu, baik pada tatanan ontologis, epistimologis, maupun aksiologis yang dalam hal ini penulis menempatkan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terletak pada dataran aksiologinya. Yaitu agama sebagai pemberi nilai terhadap ilmu pengetahuan.

Filsafat ilmu dan Islamisasi ilmu pengetahuan memberikan wawasan yang lebih luas bagi penuntut ilmu untuk melihat sesuatu itu tidak hanya dari jendela ilmu masing-masing. Ada banyak jendela yang tersedia, ketika melihat sudut pandang sesuatu, karena itu, tidak boleh arogansi dalam sebuah disiplin ilmu karena arogansi adalah pertanda bahwa tidak kreatif lagi dan cepat merasa puas.

Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu sepektakuler di satu sisi dan nilai-nilai agama yang statis dan universal disisi lain dapat dijadikan arah dalam menentukan perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan agama terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan teknologi tidak semakin mensejahterahkan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan mereka.

Demikianlah pembahasan kedudukan filsafat ilmu dalam Islamisasi ilmu pengetahuan yang dapat penulis sajikan, mudah-mudahan mampu mengguga kita untuk terus mencari, bertualang di dunia ilmu.

Saya, Abied, dari sebuah tempat paling indah di dunia. Salam Kerukunan Umat BeragamaTulisan ini terinspirasi oleh sebuah artikel di harian Republika (17/07/12) di kolom Teraju dengan judul asli Agar Kerukunan Tak Sekedar Mitos. Persoalan kerukunan beragama di Indonesia terkadang terganggu dengan insiden insiden kecil, yang jika tidak diperlihara dan di manage dengan baik akan menjadi permasalah besar bagi kerukunan umat beragama di Indonesia.Ada sebuah pertanyaan yang sangat menganggu pikiran saya ketika sebuah insiden kecil yang terjadi lalu di tarik menjadi ukuran tidak tolerannya suatu umat pada umat yang lain. Jika ungkapan ini terus menerus di ungkapan dan di sajikan bak santapan sarapan pagi oleh media massa maka akan melahirkan suatu sudut pandangan bahwa insiden yang terjadi menjadi tolak ukur yang benar dalam menilai suatu agama toleran terhadap agama lainnya.Contoh kasus adalah yang terjadi dengan kasus pendirian Gereja di tanah Jawa. Ketika semua media massa yang ada malahap mentah mentah kasus ini dan memberitakannya dengan cara tidak berimbang akan melahirkan beragam pendapat di tengah masyarakat secara ekstrim. Hal hal ini akan menimbulkan persoalan yang nantinya akan melahirkan persoalan baru. Bukan malah mencari solusi yang solutif tapi malah terjebak pada ego kelompok (agama) masing masing.Menarik apa yang di katakan oleh Adelce Salamahu, jamaah Gereja Elim, Manokwari, Papua Barat. Di Papua Barat kami hidup dalam kedamaian. Kami merangkul pendatang, menganggapnya keluarga Namun apa yang terjadi di daerah lain, hati kami pedih. Antar pemeluk agama tak saling akur. Beribadah seolah tak tenang karena ada ancaman.Adelce mengemukakan hal ini pada saat rombongan pemuka lintas agama peserta Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural yang di selenggarakan Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian RI saat mengunjungi Gerejanya .Yang di cemaskan oleh Adelce ketika ia menyaksikan melalui siaran televisi Tampaknya di belahan sana tidak ada kerukunan. Tentu saja Adelce menyimpulkan apa yang di ketahui dari sebuah media massa. Hanya sayangnya media massa terkadang lebih suka menampilkan apa saja yang menjual untuk dijadikan berita. Lalu kita simak apa yang di katakan oleh jamaah Masjid Jami Merdeka. Sejak kerusuhan SARA di Ambon dan Poso, hubungan antarumat beragama di Manokwari sedikit terimbas. Kami kesulitan untuk memperluas Masjid, padahal ruangan Masjid sudah terlalu kecil untuk bisa menampung jamaah, kata seorang takmir. Ia berpendapat bahwa ada semacam balas dendam apa yang terjadi di Jawa, terkait pelarangan pembangunan rumah ibadah Kristiani. Walau pun akhirnya di tepis bahwa masih ada persyaratan yang belum di penuhi terkait perizinan.Inilah yang realita yang terjadi, setiap pemeluk agama akan merespon, memahami dan berpendapat ketika ia menyaksikan di sebuah televisi, mengenai insiden insiden mengenai hal hal mengenai kebebasan beragama, walau pun sebenarnya kebebasan beragama berbeda jauh dengan mendirikan rumah ibadah. Tapi mayoritas masyarakat di kedua sisi akan menganggap bahwa ada masalah menyangkut kebebasan beragama.Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keagamaan, Dr H Abdul Aziz MA mengatakan berdasarkan penelitian lembaganya, rumah ibadah Kristiani menunjukkan peningkatan signifikan sejak 10 tahun terakhir. Ia juga mengatakan bahwa kita tidak boleh menutup mata pada fenomena radikalisme yang muncul di setiap agama.Diskusi dan dialog sangat penting untuk menjembatani perbedaan dan salah pengertian yang terjadi. Diskusi diskusi ini penting dilakukan di daerah yang rawan konflik. Harmonisasi hanya terjadi jika tidak ada tujuan tujuan yang dapat membahayakan suatu agama tertentu, walau sebenarnya tujuan tujuan dari setiap agama dalam mendirikan rumah ibadah akan menjadi sebuah tantangan yang di lihat oleh agama lain. Untuk itulah dialog dan diskusi sudah sangat penting untuk di lakukan. Sebagai agama misi dan agama dawah, Islam dan Kristen akan berhadap hadapan dalam sebuah kepentingan iman. Tentu saja hal tersebut sangat mustahil untuk tidak di akui oleh masing masing agama.Saya mengutip apa yang di katakan oleh Romo Benny Susetyo, Tak ada pertikaian antaragama di Indonesia. Yang ada adalah kepentingan pribadi atau golongan dengan menggunakan agama sebagai kendaraan.Begitu juga yang di katakan oleh Novel H Matidas, ketua Biro Papua Perseketuan Gereja Gereja Indonesia. Ia mencontohkan soal berita yang di baca oleh masyarakat Papua tentang pelarangan pembangunan Gereja Yasmin di Bogor. Masalah yang sebenarnya bukan Muslim melarang Kristen membangun Gereja, namun karena ada persoalan hukum yang berlum selesai terkait perizinan. Ia juga menghimbau agar dialog antarumat beragama di intensifkan. Jangan beri ruang bagi fihak fihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperkeruh keadaan, dengan menggunakan agama sebagai tunggangannya.Saya akan mengutip apa yang dikatakan oleh Bupati Manokrawi, Bastian Salabay. Kita menyaksikan televisi, membaca koran, dan mendengarkan radio. Di sana selalu ada berita berita mengenai pertengkaran antarmasyarakat yang berbeda agama. Berita berita semacam ini sangat rawan dan menimbulkan provokasi dan gejolak di Papua. Ia juga meminta media massa untuk mencontoh kerukunan yang terjadi di tempatnya dan berharap media massa tidak menyajikan berita yang bisa membakar sisi relegius seseorang.Mampukah Media Massa memberikan informasi yang akurat, adil dan berimbang?Media massa yang ada, baik televisi, radio, koran dan lain lainnya sangat berperan dalam membentuk dan mengiring opini di tengah masyarakat terhadap apa yang disajikannya. Tentu sulit bagi media massa untuk keluar dari kepentingan kepentingan sesaat. Karena kita tahu bahwa media massa mainstream di Indonesia kini sudah mulah mengarah kearah korporasi korporasi media besar, yang pasti memiliki begitu banyak kepentingan sesaat. Saya orang yang tidak percaya bahwa media massa mampu bersikap adil dan berimbang. Kalau pun media massa ingin terlihat adil dan berimbang ia akan menulis sebuah berita dan menyajikannya dengan susunan bahasa yang aman dari tangkapan tuduhan tidak adil dan berimbang.Saya jadi teringat oleh sebuah ungkapan yang sudah begitu akrab di telinga. Jika anjing mengigit orang maka itu bukan berita, tapi jika manusia mengigit anjing itu baru berita. Media massa dengan semua idealisme luhurnya akan berbenturan dengan sebuah dunia industri yang sifatnya menjual. maka tak heran jika media massa mampu menjual ibunya dan tidak mungkin akan melacurkan anaknya.Peran Pemerintah dalam menjaga kerukunan umat beragamaTentu saja pemerintah bertanggung jawab dalam hal ini. Pemerintah menjadi fasilitator dari semua kegiatan yang dapat mendorong kerukunan umat nasional dan kerukunan umat beragama. Peraturan Bersama Menteri No. 9 dan 8 tahun 2006 menjadi salah satu prasyarat penting bagi terciptanya kerukunan umat bangsa.Disinilah peran semua pemuka agama untuk mensosialisasikan aturan ini bagi umatnya. Saya percaya kalau semua pemuka agama dan setiap umat beragama berhati hati dan menjalankan pasal pasal dalam aturan ini, maka benturan antarumat beragama bisa diminimalisir dan di hindarkan.Untuk mencegahnya dari benturan dan konflik yang dapat membahayakan kepentingan nasional, hanya dengan diskusi dan dialog yang bercermin dari UU dan peraturan yang ada yang mampu menjadi salah satu pintu keluar yang ada saat ini untuk melihat kepentingan yang lebih besar yaitu keutuhan sebuah bangsa.Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dari kerukunan nasional. Kerukunan yang diwujudkan ialah kerukunan yang dinamis, kreatif dan inovatif yang berasal dari akar tradisi masyarakat. Saya rindu dan ingin melihat semua agama bergandeng tangan dan bekerjasama dalam hal pengentasan buta huruf di daerah tertinggal, kemiskinan yang terjadi di kota kota dan melakukan langkah bersama yang antisifatif dalam hal bencana. Apakah umat umat yang berbeda agama mampu bekerja sama dalam hal ini?Masyarakat Madani

PERTANYAAN DAN JAWABAN TENTANG MASYARAKAT MADANI1. Apa yang bisa dilakukan mahasiswa untuk mewujudkan masyarakat madani,berikan contohnya?(Siti Annisa)2. Berdasarkan apakah kesejahteraan umat?(Andhika Nur)3. Ciri-ciri umat sejahterah dalam masyarakat madani?(Triyan Airlangga)4. Dalam masyarakat madani itu ada hukum dan ketentuannya,didaerah aceh itu termaksud masyarakat madani atau tidak,sedangkan daerah aceh termaksud penghasil ganja terbesar?(Oktantia Saraswati)5. Jelaskan maksud dari istilah khairull ummah?(Rizal Taufik)Jawabannya:1. Masyarakat madani dapat diwujudkan atau terbentuk apabila kita mau berusaha mendekatkan diri pada allah dan bnerpegang teguh pada sabda rasullah saw.Mahasiswa dapat mewujudkan menjadi masyarakat yang madani contohnya seperti dia mau berusaha untuk mendekatkan diri pada allah dengan cara shalat tepat waktu,contoh lain ketika sedang mendengar kumandang adzan ia berusaha untuk mengajak orang-orang atau temannya untuk segera menyambut panggilan allah(menyegerakan shalat)dan meninggalkan atau menyudahi kegiatannya.2. Kalau menurut kami,kesejahteraan umat tidak hanya diukur atau dilihat dengan materi atau harta benda saja,tetapi bisa juga merasakan kesejahteraan batin maksudnya kesejahteraan tidak dapat dilihat dengan mata tetapi dapat dirasakan oleh orang tersebut.3. Menurut Piagam madinah,ciri-ciri umat sejahterah adalah:setiap orang atau masyarakat yang memiliki hak dan kjewajiban yang sama,serta dapat hidup rukun dan saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lainnya serta tidak ada suatu golongan yang merasa terdiskriminasi.4. Menurut kami diAceh merupakan masyarakat madani,sebab salh satu ciri masyarakat madani adalah masyarakat yang berbudaya,berperadaban serta menjunjung tinggi hukum dan mempunyai hukuman.kalau seperti aceh merupakan penghasil ganja terbesar seharusnya masyarakat aceh menggunakan hasil tersebut untuk hal yang baik tidak disalah gunakan dan harus menetapkan hukuman yang berlaku sesuai dengan ketetapan hukuman tersebut.5. Istilah khairull ummah terdiri dari 2 kata yaitu:khairull yang artinya baik,sedangkan ummah yaitu umat.jadi khairull ummah tersebut adalah masyarakat atau umat yang lebih baik sama pengertiannya seperti masyarak madani.Ekonomi Islam (Filantrofi Islam)HMINEWS.COM- Topik tentang konsep dasar dan praktik filantropi Islam saat ini masih menarik untuk dikaji karena beberapa hal. Pertama, meskipun topik ini bukan hal baru, praktik dan pengelolaan filantropi Islam khususnya di negara-negara Muslim relatif cukup berkembang setidaknya dilihat dari upaya-upaya yang dilakukan organisasi filantropi Islam dan kemampuan mereka dalam memobilisasi dana ummat.

Kedua, praktik filantropi Islam, khususnya di Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, masih sangat khas, yaitu terfokus pada program-program penguatan pelayanan kesejahteraan masyarakat, baik dalam bidang sosial, ekonomi maupun kesehatan. Ketiga, belum banyak, untuk tidak mengatakan tidak ada, gerakan filantropi Islam yang mencoba menyentuh aspek-aspek yang lebih bernuansa estetik (baca: tidak sekedar fisik dan material), seperti preservasi budaya, kesenian dan penguatan tradisi intelektual.

Filantropi Islam yang saya maksudkan adalah kegiatan komunitas yang tujuannya adalah meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan memberi. Secara konseptual, setidaknya dilihat dari makna filosofinya, filantropi memang agak berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam, seperti zakat, infak maupun shadaqah. Filantropi lebih berorientasi pada kecintaan pada manusia, motivasi moral. Sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah kewajiban dari Yang di Atas untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi. Namun, belakangan istilah-istilah tersebut ini popular dipergunakan secara bersamaan dan bertukaran untuk mengidentifikasi praktik kedermawanan berbasis agama, termasuk di kalangan Muslim.

Dalam sebuah kelas musim panas di Universiteit Tilburg, Kerajaan Belanda, bulan Juni 2009, dengan professor tamu seorang ahli Hukum Islam dari School of Law, University of California-Los Angles (UCLA), Kaleed Abou el-Fadhl, memuncul diskusi yang menarik tentang filantropi Islam dalan kaitannya dengan penguatan dan pencarian idenititas Islam di era modern. Abou Fadhl sendiri memberikan perkuliahan selama dua minggu dan mendiskusikan berbagai materi tentang Islam di Timur Tengah dan Barat, konsep dan ajaran dasar Islam, dinamika budaya dan politik serta identitas kultural komunitas Muslim, dialog Islam dan kemodernan, Islam paskakolonial, dan sebagainya.

Salah satu isu yang dilontarkan Abou Fahl adalah masalah filantropi. Ia menegaskan perlunya upaya sistematis untuk memeliharan tradisi Islam dengan cari mengkaji sumbersumber klasik untuk kemudian dapat terus didialogkan dengan kemodernan. Hal itu, menurutnya, memberikan kontribusi penting bagi ummat Islam di era modern: pertama, agar ummat Islam dalam lebih memahami apa yang disebut dengan identitas dan tradisi Islam itu tanpa terjebak dengan simbol-simbol yang artifisial;

Kedua, ummat Islam lebih kreatif dan inovatif, sesuai dengan prinsip ijtihad, serta tidak bersikap defensif maupun apologetik ketika berdialog dengan modernitas. Tapi, catat Abou Fadhl, upaya tersebut tidak mudah, perlu proses yang panjang dan serius yang didukung oleh gerakan filantropi Islam. Karena memperkuat perpustakaan yang mengoleksi karya-karya klasik Islam, bahasa Melayu maupun Arab, membayar orang-orang yang berdedikasi untuk mengkajinya dan merefleksikannya kepada dunia modern, butuh biaya cukup besar.

Tiba-tiba Abou Fadhl melontarkan pertanyaan: bagaimana dengan praktik filantropi Islam di negara kamu? Saya tidak buru-buru menjawab, sampai saya sadar bahwa pertanyaan tersebut terkait dengan gagasannya tentang eksplorasi identitas Muslim melalui kajian karya-karya klasik intelektual Islam. Saya katakan bahwa gerakan filantropi Islam di Indonesia dewasa ini, yang diantaranya direpresentasikan oleh organisasi sosial dan lembaga-lembaga amil zakat, kelihatannya masih terkonsentrasi pada aspek-aspek yang populis dengan membuat program-program untuk penyantunan, perbaikan tempat ibadah, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, atau juga pemberiaan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu.

Saya tekankan bahwa hal itu bukan tanpa alasan. Masyarakat Indonesia secara umum masih bergelut dengan krisis, terutama di tingkat akar rumput. Sebagian bahkan masih harus disubsidi dalam bentuk cash dengan dana BLT (Bantuan Langsung Tunai). Sistem penjaminan sosialnya masih lemah, dan bolong di sana-sini. Pun, asuransi kesehatan dari pemerintah untuk kelompok miskin pinggiranseperti Askeskin, Jamkesos, kartu miskin, dan yang semacam dengan inimasih tambal sulam, dan masih banyak di kalangan miskin pinggiran yang malah sama sekali tidak mendapatkan akses pada program tersebut. Tak heran, lembaga pengobatan gratis yang disediakan organisasi sosial dan lembaga zakat masih ramai didatangi orang. Mereka masih bersedia antri untuk sebuah pelayanan yang tidak terlalu berbelit-belit.

Saya juga jelaskan pula bahwa dulu, Dr. Nurcolish Madjid, membuat sebuah lembaga filantropi, Yayasan Wakaf dan Lazis Paramadina yang misinya selaras dengan apa yang didiskusikan oleh Abou Fadhl. Yayasan ini cukup serius melakukan kajian-kajian sumber-sumber klasik Islam, mencoba mendialogkan tradisi Islam dengan modernitas, nasionalisme dan masalah keindonesiaan, serta menerbitkan berbagai hasil kajian reguler dengan mendatangkan berbagai pakar melalui dana wakaf, infak dan shadaqah. Yayasan ini, juga mencoba mendefinisikan ulang tentang makna kemiskinan, yang tidak hanya bersifat fisik dan material, tetapi juga spiritual dan intelektual.

Tapi, seberapa kuatkah daya tarik program-program tersebut bagi para donatur, seberapa pentingkah dimata muzakki risalah dan karya tentang literatur klasik Islam, seberapa penting pula sebuah perpustakaan yang mengoleksi naskah-naskah intelektual yang ditulis Muslim Indonesia masa silam, misalnya abad ke-17 sampai ke-19 Masehi dimata para dermawan. Memang, kegiatan-kegiatan Yayasan Wakaf Paramadian itu sendiri saat ini tidak semasif dan se-populer dulu. Lagi pula, donatur saat ini lebih tertarik dengan hal yang lain yang lebih populer dan kasat mata.

Mendengar penjelasan saya, Abou Fadhl langsung mengomentari tentang kontestasi moral dalam sebuah kegiatan filantropi: yaitu manakah yang lebih baik, menyumbangkan dana ke perpustakaan untuk memeliharan karya-karya klasik, langka dan bernilai sejarah, ataukah memberi makan orang miskin. Membiayai pemuda-pemuda kreatif di bidang senirupa, sastra, musik, dan drama, ataukah membagikan beras dan lauk pauk di daerah miskin perkotaan. Memang, selalu ada tarik menarik secara moral antara pilihan-pilihan seperti diatas, terutama di negara-negara berkembang. Membiayai penerbitan buku-buku untuk pengayaan khasanah pemikiran yang dapat dikonsumsi oleh publik dengan biaya murah, ataukah membiayai buka bersama berulang kali. Semuanya, memang memiliki plus-minus, orang bisa menggunakan logika prioritas tetapi bisa juga dengan argumen pilihan.

Hemat saya, apa yang dikatakan Abou Fadhl ada benarnya, yaitu bahwa lembaga-lembaga filantropi yang beroperasi selama ini memang berada dalam pilihan-pilihan beragam. Mereka harus menentukan skala prioritas, setidaknya dengan menjalankan kegiatan yang lebih strategis, populis, dan tentu saja marketable. Bagaimanapun, nafas gerakan filantropi berada di tangan masyarakat, dermawan, donatur, dan kelompok wajib zakat yang menyadari kewajibannya. Karena itu, di Indonesia saya melihat seolah-olah ada kesepakatan tidak tertulis dalam menjalankan program atau kegiatan filantropi. Lembaga filantropi Islam (salah satunya: lembaga amil zakat) dengan amil zakat lainnya yang cukup besar di Indonesia, nampaknya tidak memiliki perbedaan yang mencolok secara konseptual, paradigmatik, dan bahkan secara teknis, kecuali jumlah pendapatan hasil fund raising mereka.

Dari segi program dan kegiatan, misalnya, lebih banyak kemiripan satu sama lain daripada sebuah inovasi yang berkarakter: dalam bidang kesehatan, pelayanan kesehatan gratis, baik yang parsial maupun berkesinambungan menjadi salah satu kecenderungan; dalam bidang sosial, apalagi kalau bukan memberikan bantuan ala kadarnya untuk para mustahik yang datang silih berganti ke kantor amil zakat (beruntung masih ada lembaga-lembaga filantropi Islam yang mencoba menyusun program jangka panjang untuk pemberdaayan eknomi dan pendidikan); dalam bidang dakwah Islam f sablillah, selain membiayai para dai juga kerap tidak bisa dipisahkan dengan renovasi dan pembangunan tempat ibadah.

Seorang teman saya, penulis buku dan pecinta seni dan satra di Yogyakarta, pernah bertanya: sepengetahuan kamu, adakah lembaga filantropi Islam yang mau membiayai pementasan teater anak-anak remaja? Teman ini membayangkan bahwa ia dapat menggarap pementasan teater dan drama yang dapat didukung oleh lembaga filantropi Islam. Saya sendiri tidak bisa langsung menjawab ya atau tidak, karena keterbatasan pengetahuan saya sendiri. Meski dari pengalaman pribadi, saya belum sempat melihatnya secara langsung. Jawaban saya diplomatis saja, mungkin ada, tapi belum banyak. Kelangkaannya mungkin juga disebabkan pemahaman konsep dakwah yang masih cukup jauh dari faham tertentu yang mengapresiasi dunia estetika.

Dakwah melalui musik-musik religius mungkin sudah banyak, meskipun tetap konsep bisnis tidak bisa dipisahkan dari itu. Tapi untuk membiayai teater anak-anak remaja! Saya tidak tahu persis.Tentu saja di sini saya tidak hendak mengatakan bahwa program pelayanan adalah sesuatu yang meaningless. Sebab konsep karitas dan bentuk pelayanan kepada fakir miskin dalam bidang kesehatan, sosial dan ekonomi juga masih sangat dibutuhkan (meskipun sesungguhnya itu utamanya adalah tanggung jawab negara). Apalagi di tengah krisis yang belum sepenuhnya pulih, kondisi sosial politik yang belum sepenuhnya stabil, dan gejala korupsi yang menjalar dimana-mana dan menjarah hak-hak publik dan penjaminan sosial kaum miskin.

Arifin Purwakananta yang salah satu petinggi sebuah lembaga filantropi besar di Indonesia, mengatakan bahwa untuk saat ini tidak hanya advokasi yang kita butuhkan, tetapi juga pelayanan masih tetap harus dilakukan. Saya setuju dengan pernyataannya dengan tidak mengurangi pentingnya merambah dimensi lain. Kalau kita cermati, manusia dan kelompok masyarakat membutuhkan berbagai dimensi dalam hidupnya, baik fisik-material (pemenuhan kebutuhan dasar), psikis-spiritual (penguatan mental), dan etis-intellektual (penguatan basis institusi pengetahuan), dan mungkin juga estetis (penguatan kantong-kantong kesenian dan kebudayaan). Lembaga filantropi Islam, punya potensi kuat untuk memasuki dimensi-dimensi tersebut.

Tetapi pencarian arah baru filantropi Islam tidak hanya berada dipundak pengelola organisasi filantropi Islam, tetapi juga dari para dermawan. Proses pencerdasan dan pencerahan di kalangan dermawan/muzakki, individu maupun instituti, maupun pengelola memang perlu terus dilakukan, sehingga program dan kegiatan filantropi Islam yang menyentuh aspek kebutuhan fisik, psikis, etis, akademis, dan estetis, tetap layak jual dan dianggap sebagai bagian dari kebutuhan manusia.

Kebudayaan IslamIslam adalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam ( QS Toha : 2 ) : Kami tidak menurunkan Al Quran ini kapadamu agar kam menjadi susah . Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti petunjuk Al Quran ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang sempit dan penuh penderitaan. Ajaran-ajaran Islam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segala aspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah ini berusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkat mudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.Arti dan Hakekat Kebudayaan Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: budaya adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan. Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.Aspek kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenek moyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan, kematian ) Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan ( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan , perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmu eksakta) dan humanities ( sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).Hubungan Islam dan Budaya Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ? Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya Filsafat Kebudayaan menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini. Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk berbudaya . Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas. Sikap Islam terhadap Kebudayaan Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia . Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam : Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam. Dalam kaidah fiqh disebutkan : al adatu muhakkamatun artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo. Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil al adatu muhakkamatun karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir. Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di rekonstruksi sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh talbiyah yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Kabah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk Ibadah yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ketiga: Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.Seperti, budaya ngaben yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya tiwah , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam tiwah ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya Tumpeng Rosulan , yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ). Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia. Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syareat mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar. Wallahu alam