documentaf

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Jantung dilengkapi dengan suatu sistem khusus untuk membangkitkan impuls-impuls ritmis yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot jantung, dan untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh jantung. Bila sistem konduksi berfungsi normal, atrium akan berkontraksi kira-kira seperenam detik lebih awal dari kontrkasi ventrikel, sehingga memungkinkan pengisian tambahan pada ventrikel sebelum ventrikel memompa darah ke sirkulasi paru- paru dan perifer. Makna penting lain dari sistem tersebut adalah bahwa sistem ini memungkinkan semua bagian ventrikel berkontraksi hampir secara bersamaan, dimana hal ini penting untuk menimbulkan tekanan efektif dalam ruang ventrikel. Namun sistem ritmis dan konduksi dalam jantung ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat penyakit jantung, terutama akibat iskemia jaringan jantung karena kurangnya aliran darah koroner. Akibatnya sering berupa irama

Upload: utomo-ari-prasetyo

Post on 03-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: DocumentAF

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Jantung dilengkapi dengan suatu sistem khusus untuk membangkitkan

impuls-impuls ritmis yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot

jantung, dan untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh

jantung. Bila sistem konduksi berfungsi normal, atrium akan berkontraksi

kira-kira seperenam detik lebih awal dari kontrkasi ventrikel, sehingga

memungkinkan pengisian tambahan pada ventrikel sebelum ventrikel

memompa darah ke sirkulasi paru-paru dan perifer. Makna penting lain dari

sistem tersebut adalah bahwa sistem ini memungkinkan semua bagian

ventrikel berkontraksi hampir secara bersamaan, dimana hal ini penting untuk

menimbulkan tekanan efektif dalam ruang ventrikel. Namun sistem ritmis dan

konduksi dalam jantung ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat penyakit

jantung, terutama akibat iskemia jaringan jantung karena kurangnya aliran

darah koroner. Akibatnya sering berupa irama jantung yang sangat ganjil, atau

serentetan kontraksi yang abnormal dari ruang-ruang jantung, dan efektivitas

daya pompa jantung sering sangat terpengaruh, bahkan dapat menyebabkan

kematian.

Impuls listrik dimulai di sebuah daerah yang disebut sinus node, yang

terletak di bagian atas atrium kanan. Ketika sinus node kebakaran, dorongan

dari aktivitas listrik menyebar melalui atrium kiri dan kanan, menyebabkan

berkontraksi, memaksa darah ke ventrikel. Kemudian perjalanan impuls listrik

secara tertib ke daerah lain yang disebut atrioventrikular (AV) node dan

Page 2: DocumentAF

jaringan HIS-Purkinje. Nodus AV adalah jembatan listrik yang

memungkinkan dorongan untuk pergi dari atrium ke ventrikel. HIS-jaringan

Purkinje membawa dorongan seluruh ventrikel. Impuls kemudian bergerak

melalui dinding ventrikel, menyebabkan mereka kontrak. Hal ini akan

memaksa darah keluar dari jantung ke paru-paru dan tubuh. Kosong vena

paru-paru darah yang mengandung oksigen dari paru-paru ke atrium kiri.

Jantung normal berdetak dalam irama yang konstan - sekitar 60 sampai 100

kali per menit saat istirahat.

Atrial fibrilasi ( AF ) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai

dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus

menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan

yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.

Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi

atrium diketahui dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan

EKG dapat dilakukan pada saat menjalani general check-up maupun pada saat

sakit tertentu yang prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG.

Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi

jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi.

Page 3: DocumentAF

Gambar 1. Sumber : http://www.nature.com. 2009

1.2 TUJUAN

1. Mengetahui definisi, etiologi, gejala klinis dan penatalaksanaan dari

atrium fibrilasi

2. Memahami aspek pencegahan terjadinya komplikasi dari atrium fibrilasi

Page 4: DocumentAF

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “f”

dengan frekuensi antara 350-650 permenit. 3, 4, 5, 6, 7

Fibrilasi atrium dapat timbul dari fokus ektopik ganda atau daerah re-entri

multiple. Aktivitas atrium sangat cepat, namun setiap rangsangan listrik itu

hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit miokardium atrium, sehingga

sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara menyeluruh. Karena tidak ada

depolarisasi uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan

defleksi yang disebut gelombang “f” yang bentuk dan iramanya sangat tidak

teratur. Hantaran melalui nodus AV berlangsung sangat acak dan sebagian

tidak dapat melalui nodus AV sehingga irama QRS tidak teratur. 5, 6

2.2 PREVALENSI

Prevalensi AF semakin meningkat bersamaan dengan peningkatan

populasi usia lanjut dan insiden penyakit kardiovaskular. Saat ini AF mengenai

2,2 juta individu di Amerika Serikat, setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru

dan diperkirakan akan meningkat 2,5 kali pada tahun 2050. Jumlah tersebut

dibawah angka sesungguhnya karena banyak kasus yang asimptomatik . Pada

umur dibawah 50 tahun prevalensi AF kurang dari 1% dan meningkat lebih dari

Page 5: DocumentAF

9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan

wanita.

AF merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian

stroke emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan

sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibanding pasien tanpa AF. Pada

studi Framingham resiko terjadinya stroke emboli 5,6 kali lebih banyak pada AF

non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada AF valvular dibandingkan dengan

kontrol.

2. 2. 1 Mortalitas dan morbiditas

AF berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penyakit

tromboemboli pada AF berhubungan dengan faktor-faktor resikonya. Kerusakan

pada fungsi elektromekanik atrium yang normal pada kasus AF menyebabkan

kelainan darah yang dapat menyebabkan terbentuknya trombus biasanya terjadi di

atrium kiri. Lepasnya trombus tersebut dapat menyebabkan fenomena emboli

termasuk stroke. Salah satu tujuan penatalaksanaan AF dan flutter atrium adalah

mempertimbangan resiko stroke dan terapi antikoagulan yang tepat pada pasien

dengan resiko rendah, sedang dan tinggi. Tiap antikoagulan harus

dipertimbangkan keuntungan dalam menurunkan resiko stroke dibandingkan

dengan resiko terjadinya perdarahan serius. Banyak dokter yang setuju bahwa

rasio antara keuntungan dan kerugian penggunaan warfarin pada pasien dengan

resiko rendah AF adalah kurang baik. Terapi warfarin telah menunjukan

keuntungan pada pasien-pasien dengan faktor resiko yang tinggi. Target INR

( International Normalized Ratio ) sebesar 2-3 pada penelitian Cohort itu

digunakan sebagai ambang batas pada resiko perdarahan saat menyediakan

Page 6: DocumentAF

perlidungan pada pembetukan trombus. Terapi yang cukup pada pasien dengan

resiko AF sedang masih kontroversial. Pada populasi ini para peneliti harus

mempertimbangkan faktor resiko tromboemboli dengan resiko terjadinya

perdarahan juga dengan resiko terjatuh atau trauma. Walfarin merupakan terapi

yang lebih dipilih atau kombinasi antara klopidogrel dana aspirin pada

pencegahan terjadinya emboli pada pasien-pasien resiko tinggi. Golongan baru

dari trombin inhibitor masih dalam penelitian keefektifan dan keamanannya

seperti warfarin pada pasien dengan resiko tinggi AF non valvular.

Beberapa faktor resiko telah dikembangkan untuk membantu para dokter

dalam mengambil keputusan penggunaan antikoagulan pada kasus AF. Indeks

CHADS2 (gagal jantung, diabetes, stroke atau S2 = TIA ) adalah yang paling

sering digunakan. Indeks CHADS2 menggunakan sistem point untuk menentukan

resiko tahunan kejadian tromboemboli. 2 point bila terdapat riwayat stroke atau

TIA. 1 point untuk seseorang berusia > 75 atau mempunyai riwayat hipertensi,

diabetes atau gagal jantung. Prediksi scoring system tersebut dilakuakn pada 1733

pasien dengan nonvalvular AF berusia antara 65-95 yang tidak diberikan warfarin

dalam pengobatan di rumah sakit.

Faktor resiko tinggi termasuk riwayat stroke, TIA, dan tromboemboli

sistemik. Faktor resiko sedang termasuk didalamnya usia >75 tahun, hipertensi,

gagal jantung, fungsi ventrikel kiri kurang dari 35 % dan DM. Faktor resiko

lainnya itu adalah termasuk wanita, usia 65-74 tahun, penyakit arteri koronener

dan tirotoksikosis.

2. 2. 2 USIA

Page 7: DocumentAF

AF sangat tergantung pada usia, kejadiannya 4% pada individu usia > 70

tahun dan 8% pada usia > 80 tahun. Angka kejadian stroke iskemik pada pasien

lanjut usia yang tidak diterapi dengan walfarin rata-rata 5% per tahun.

2.3 ETIOLOGI

AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural

akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien AF juga menderita

penyakit jantung koroner. Walaupun hanya ±10% dari seluruh kejadian infark

miokard akut yang mengalami AF, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan

angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner,

sepertiganya mengalami episode AF terutama pada tiga hari pasca operasi.

Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya AF dan

mempunyai resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli.

Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian AF ditemukan pada satu

diantara lima pasien. AF juga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis

akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain

seperti sindroma Wolff Parkinson White dapat berhubungan dengan AF. Aritmia

lain yang berhubungan dengan AF misalnya takikardia atrial, AVNRT ( Atrio

Ventricular Nodal Reentrant Tachycardia ) dan bradiaritmia seperti sick sinus

syndrome dan gangguan fungsi sinus node lainnya.

AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik nonkardiak.

Misalnya pada hipertensi sistemik nonkardiak ditemukan 45% dan diabetes

melitus 10% dari pasien AF. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti

penyakit paru obstruksif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3%

pasien AF tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF.

Page 8: DocumentAF

Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan resiko tromboemboli yang

tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut

resiko ini tetap akan meningkat.

Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan

kejadian AF tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan

jantung maupun kelainan diluar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan

dengan kejadian AF dibagi bersadarkan

2.3.1 Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF :

Penyakit Jantung Koroner

Kardiomiopati Dilatasi

Kardiomiopati Hipertrofik

Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik

Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom

WPW, sick sinus syndrome

Perikarditis

2.3.2 Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF :

Hipertensi sistemik

Diabetes melitus

Hipertiroidisme

Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal

primer, emboli paru akut

Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien

yang sensitive melalui peniggian tonus vagal atau adrenergik.

2.4 KLASIFIKASI

Page 9: DocumentAF

Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari 3 :

Primer : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan

kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia

Sekunder : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi

ada kelainan sitemik yang dapat menimbulkan aritmia

Berdasarkan waktu timbulnya AF serta kemungkinan keberhasilan usaha

konversi ke irama sinus 3 :

Paroksismal :

Bila AF berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya

tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun

Persisten :

Bila AF menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan

intervensi pengobatan atau tindakan

Permanen :

Bila AF berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi

pengobatan AF tetap tidak berubah

2.5PATOFISIOLOGI

Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis

Multiple wavelet reentry timbulnya gelombang yang menetap dari

depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature

atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. 1, 4

Gambar 2. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006

Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali

Page 10: DocumentAF

bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot

ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran

atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya

secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan

pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang

berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi

yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor

predisposisi bagi fibrilasi atrium.2

II.5.1 Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium

Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu

atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian,

darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi

pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu,

dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup

selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun

timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. 2

II.5.2 Patofisiologi Pembentukan Trombus pada AF

Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial

flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan

terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih

banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF

tanpa stroke emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan

Page 11: DocumentAF

AF non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF

dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat

dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli

pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand

( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya

melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini

dipengaruhi oleh lamanya AF.1

2.6DIAGNOSIS

AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat

bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF, penyakit

yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat

beraktivitas, sesak npas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat

mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner.

Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurangpada AF akan menurunkan curah

jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien

dengan disfungsi ventrikel kiri.

Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :

Anamnesis :

Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya

( episode pertama, paroksismal, persisten, permanen )

Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar,

lemah, sesak nafas terutama saat beraktivitas, pusing, gejala yang

menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif

Page 12: DocumentAF

Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya

hipertiroid.

Pemeriksaan Fisik :

Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya,

tekanan darah.

Tekanan vena jugularis.

Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal

jantung kongestif.

Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan

terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi

kemungkinan adanya penyakit katup jantung

Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan

Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif

Laboratorium :

hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung

bila dicurigai terdapat iskemia jantung.

Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi

AF ), hipertrofi ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma

pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya iskemia.

Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia,

PPOK,corpulmonal.

Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran

dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel

Page 13: DocumentAF

kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago

Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.

2.7 PENATALAKSAAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah

mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan

komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah

pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan

pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke

irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit

sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif

pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.

2.7.1 Kardioversi

Pengembalian ke irama sinus pada AF akan mengurangi gejala,

memperbaiki hemodinamik, mencegah remodeling elektroanatomi dan

memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau

farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan

kardioversi elektrik. Resiko tromboemboli atau stroke emboli tidak berbeda antar

kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian

antikoagulan sama pada keduanya.

Kardioversi farmakologis.Kardioversi farmakologis paling efektif bila

dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya AF. Klasifikasi obat aritmia dan obat-

obatan yang dianjurkan :

Tabel 4. Klasifikasi Vaughan Williams Kerja Obat Aritmia

Page 14: DocumentAF

Tipe IA Disopiramid, Prokainamid, Kuinidin

Tipe IB Lidokain, Meksiletin

Tipe IC Flekainid, Moricizin, Propafenon

Tipe II Penyekat beta ( contoh : Propanolol )

Tipe III Amiodaron, Bretilium, Dofetilid, Ibutilid, Sotalol

Tipe IV Antagonis kalsium ( contoh : Verapamil dan Diltiazem )

Pengobatan Antitrombotik Untuk Mencegah Komplikasi Stroke Emboli

Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombik dalam pencegahan komplikasi

pada AF. Pada Atrial Fibrillation Investigator ( AFI ), didapatkan bahwa warfarin

secara bermakna menurunkan resiko stroke dari 4,5% per tahun menjadi 1,4%.

Terdapat penurunan resiko besar 68%. Warfarin menurunkan resiko stroke pada

wanita 89% dan laki-laki 68%. Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg

akan menurunkan resiko 18 ( 95% CI 60-58% ) sedangkan pada SPAF pemberian

aspirin 325mg menurunkan resiko 44% ( 95% CI 7-66% ). Kombinasi dari kedua

studi tersebut menurunkan resiko 36 % ( 95% CI 48-72% ) penurunan resiko

absolut 2,7% per tahun pada pencegahan primer dan 8,4% per tahun pada

pencagahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada aspirin dengan penurunan

resiko relatif 36 % ( 14-52 % ). Warfarin dan aspirin menurunkan menurunkan

kejadian stroke pada pasien dengan AF dan warfarin jauh lebih baik dibanding

aspirin.

Pada pasien AF yang timbul lebih dari 48 jam atau tidak diketahui

lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan target INR 2-3 diberikan 3

minggu sebelum kardioversi dan dilanjtkan 4 minggu pasca kardioversi. Pasien

diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus, dilakukan kardioversi dan

Page 15: DocumentAF

diberikan antikoagulan sampai 4 minggu pasca kardioversi.

2.10 PROGNOSIS :

Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama

sinus hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian

juga menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin

bertujuan untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut

menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama

jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi

kontrol rate dan antikoagulan.

Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada

kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi

cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat

menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen

atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan

pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan

terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.

Page 16: DocumentAF

BAB III

KESIMPULAN

Fibrilasi atrial ( AF ) merupakan aritmia yang sering menjadi penyebab

seorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan

keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.

Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi atrium diketahui

dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan EKG dapat dilakukan

pada saat menjalani general check-up maupun pada saat sakit tertentu yang

prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG.

Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi

jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi. Penyakit

Jantung yang Berhubungan dengan AF :

Page 17: DocumentAF

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al . 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FKUI. Jakarta, Hal 1537-42

2. Guyton, Arthur C and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.

Edisi 9. EGC. Jakarta, Hal 151-202

3. Rani A. 2007. Panduan Pelayanan Medik Departemen Penyakit Dalam.

RSUP DR Cipto Mangunkusumo. Jakarta, Hal 64-5

4. Davey Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Erlangga. Jakarta. Hal 162-4

5. Ismudiati, Lily R. 1996. Buku Ajar Kardiologi. FKUI. Jakarta. Hal 277-9

6. Gray H. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Erlangga. Jakarta. Hal 169-171

7. Mansjoer A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi ketiga. FKUI.

Jakarta. Hal 459-71