documentaf
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Jantung dilengkapi dengan suatu sistem khusus untuk membangkitkan
impuls-impuls ritmis yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot
jantung, dan untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh
jantung. Bila sistem konduksi berfungsi normal, atrium akan berkontraksi
kira-kira seperenam detik lebih awal dari kontrkasi ventrikel, sehingga
memungkinkan pengisian tambahan pada ventrikel sebelum ventrikel
memompa darah ke sirkulasi paru-paru dan perifer. Makna penting lain dari
sistem tersebut adalah bahwa sistem ini memungkinkan semua bagian
ventrikel berkontraksi hampir secara bersamaan, dimana hal ini penting untuk
menimbulkan tekanan efektif dalam ruang ventrikel. Namun sistem ritmis dan
konduksi dalam jantung ini sangat rentan terhadap kerusakan akibat penyakit
jantung, terutama akibat iskemia jaringan jantung karena kurangnya aliran
darah koroner. Akibatnya sering berupa irama jantung yang sangat ganjil, atau
serentetan kontraksi yang abnormal dari ruang-ruang jantung, dan efektivitas
daya pompa jantung sering sangat terpengaruh, bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Impuls listrik dimulai di sebuah daerah yang disebut sinus node, yang
terletak di bagian atas atrium kanan. Ketika sinus node kebakaran, dorongan
dari aktivitas listrik menyebar melalui atrium kiri dan kanan, menyebabkan
berkontraksi, memaksa darah ke ventrikel. Kemudian perjalanan impuls listrik
secara tertib ke daerah lain yang disebut atrioventrikular (AV) node dan
jaringan HIS-Purkinje. Nodus AV adalah jembatan listrik yang
memungkinkan dorongan untuk pergi dari atrium ke ventrikel. HIS-jaringan
Purkinje membawa dorongan seluruh ventrikel. Impuls kemudian bergerak
melalui dinding ventrikel, menyebabkan mereka kontrak. Hal ini akan
memaksa darah keluar dari jantung ke paru-paru dan tubuh. Kosong vena
paru-paru darah yang mengandung oksigen dari paru-paru ke atrium kiri.
Jantung normal berdetak dalam irama yang konstan - sekitar 60 sampai 100
kali per menit saat istirahat.
Atrial fibrilasi ( AF ) merupakan aritmia yang paling sering dijumpai
dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus
menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan
yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi
atrium diketahui dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan
EKG dapat dilakukan pada saat menjalani general check-up maupun pada saat
sakit tertentu yang prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG.
Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi
jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi.
Gambar 1. Sumber : http://www.nature.com. 2009
1.2 TUJUAN
1. Mengetahui definisi, etiologi, gejala klinis dan penatalaksanaan dari
atrium fibrilasi
2. Memahami aspek pencegahan terjadinya komplikasi dari atrium fibrilasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Adanya irregularitas kompleks QRS dan gambaran gelombang “f”
dengan frekuensi antara 350-650 permenit. 3, 4, 5, 6, 7
Fibrilasi atrium dapat timbul dari fokus ektopik ganda atau daerah re-entri
multiple. Aktivitas atrium sangat cepat, namun setiap rangsangan listrik itu
hanya mampu mendepolarisasi sangat sedikit miokardium atrium, sehingga
sebenarnya tidak ada kontraksi atrium secara menyeluruh. Karena tidak ada
depolarisasi uniform, tidak terbentuk gambaran gelombang P, melainkan
defleksi yang disebut gelombang “f” yang bentuk dan iramanya sangat tidak
teratur. Hantaran melalui nodus AV berlangsung sangat acak dan sebagian
tidak dapat melalui nodus AV sehingga irama QRS tidak teratur. 5, 6
2.2 PREVALENSI
Prevalensi AF semakin meningkat bersamaan dengan peningkatan
populasi usia lanjut dan insiden penyakit kardiovaskular. Saat ini AF mengenai
2,2 juta individu di Amerika Serikat, setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru
dan diperkirakan akan meningkat 2,5 kali pada tahun 2050. Jumlah tersebut
dibawah angka sesungguhnya karena banyak kasus yang asimptomatik . Pada
umur dibawah 50 tahun prevalensi AF kurang dari 1% dan meningkat lebih dari
9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan
wanita.
AF merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian
stroke emboli. Kejadian stroke iskemik pada pasien AF non valvular ditemukan
sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibanding pasien tanpa AF. Pada
studi Framingham resiko terjadinya stroke emboli 5,6 kali lebih banyak pada AF
non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada AF valvular dibandingkan dengan
kontrol.
2. 2. 1 Mortalitas dan morbiditas
AF berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Penyakit
tromboemboli pada AF berhubungan dengan faktor-faktor resikonya. Kerusakan
pada fungsi elektromekanik atrium yang normal pada kasus AF menyebabkan
kelainan darah yang dapat menyebabkan terbentuknya trombus biasanya terjadi di
atrium kiri. Lepasnya trombus tersebut dapat menyebabkan fenomena emboli
termasuk stroke. Salah satu tujuan penatalaksanaan AF dan flutter atrium adalah
mempertimbangan resiko stroke dan terapi antikoagulan yang tepat pada pasien
dengan resiko rendah, sedang dan tinggi. Tiap antikoagulan harus
dipertimbangkan keuntungan dalam menurunkan resiko stroke dibandingkan
dengan resiko terjadinya perdarahan serius. Banyak dokter yang setuju bahwa
rasio antara keuntungan dan kerugian penggunaan warfarin pada pasien dengan
resiko rendah AF adalah kurang baik. Terapi warfarin telah menunjukan
keuntungan pada pasien-pasien dengan faktor resiko yang tinggi. Target INR
( International Normalized Ratio ) sebesar 2-3 pada penelitian Cohort itu
digunakan sebagai ambang batas pada resiko perdarahan saat menyediakan
perlidungan pada pembetukan trombus. Terapi yang cukup pada pasien dengan
resiko AF sedang masih kontroversial. Pada populasi ini para peneliti harus
mempertimbangkan faktor resiko tromboemboli dengan resiko terjadinya
perdarahan juga dengan resiko terjatuh atau trauma. Walfarin merupakan terapi
yang lebih dipilih atau kombinasi antara klopidogrel dana aspirin pada
pencegahan terjadinya emboli pada pasien-pasien resiko tinggi. Golongan baru
dari trombin inhibitor masih dalam penelitian keefektifan dan keamanannya
seperti warfarin pada pasien dengan resiko tinggi AF non valvular.
Beberapa faktor resiko telah dikembangkan untuk membantu para dokter
dalam mengambil keputusan penggunaan antikoagulan pada kasus AF. Indeks
CHADS2 (gagal jantung, diabetes, stroke atau S2 = TIA ) adalah yang paling
sering digunakan. Indeks CHADS2 menggunakan sistem point untuk menentukan
resiko tahunan kejadian tromboemboli. 2 point bila terdapat riwayat stroke atau
TIA. 1 point untuk seseorang berusia > 75 atau mempunyai riwayat hipertensi,
diabetes atau gagal jantung. Prediksi scoring system tersebut dilakuakn pada 1733
pasien dengan nonvalvular AF berusia antara 65-95 yang tidak diberikan warfarin
dalam pengobatan di rumah sakit.
Faktor resiko tinggi termasuk riwayat stroke, TIA, dan tromboemboli
sistemik. Faktor resiko sedang termasuk didalamnya usia >75 tahun, hipertensi,
gagal jantung, fungsi ventrikel kiri kurang dari 35 % dan DM. Faktor resiko
lainnya itu adalah termasuk wanita, usia 65-74 tahun, penyakit arteri koronener
dan tirotoksikosis.
2. 2. 2 USIA
AF sangat tergantung pada usia, kejadiannya 4% pada individu usia > 70
tahun dan 8% pada usia > 80 tahun. Angka kejadian stroke iskemik pada pasien
lanjut usia yang tidak diterapi dengan walfarin rata-rata 5% per tahun.
2.3 ETIOLOGI
AF mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural
akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien AF juga menderita
penyakit jantung koroner. Walaupun hanya ±10% dari seluruh kejadian infark
miokard akut yang mengalami AF, tetapi kejadian tersebut akan meningkatkan
angka mortalitas sampai 40%. Pada pasien yang menjalani operasi pintas koroner,
sepertiganya mengalami episode AF terutama pada tiga hari pasca operasi.
Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya AF dan
mempunyai resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli.
Pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri, kejadian AF ditemukan pada satu
diantara lima pasien. AF juga dapat merupakan tampilan awal dari perikarditis
akut dan jarang pada tumor jantung seperti miksoma atrial. Aritmia jantung lain
seperti sindroma Wolff Parkinson White dapat berhubungan dengan AF. Aritmia
lain yang berhubungan dengan AF misalnya takikardia atrial, AVNRT ( Atrio
Ventricular Nodal Reentrant Tachycardia ) dan bradiaritmia seperti sick sinus
syndrome dan gangguan fungsi sinus node lainnya.
AF juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik nonkardiak.
Misalnya pada hipertensi sistemik nonkardiak ditemukan 45% dan diabetes
melitus 10% dari pasien AF. Demikian pula pada beberapa keadaan lain seperti
penyakit paru obstruksif kronik dan emboli paru akut. Tetapi pada sekitar 3%
pasien AF tidak dapat ditemukan penyebabnya, atau disebut dengan lone AF.
Lone AF ini dikatakan tidak berhubungan dengan resiko tromboemboli yang
tinggi pada kelompok usia muda, tetapi bila terjadi pada kelompok usia lanjut
resiko ini tetap akan meningkat.
Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan
kejadian AF tersebut harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan
jantung maupun kelainan diluar jantung. Kondisi-kondisi yang berhubungan
dengan kejadian AF dibagi bersadarkan
2.3.1 Penyakit Jantung yang Berhubungan dengan AF :
Penyakit Jantung Koroner
Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati Hipertrofik
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom
WPW, sick sinus syndrome
Perikarditis
2.3.2 Penyakit di luar Jantung yang Berhubungan dengan AF :
Hipertensi sistemik
Diabetes melitus
Hipertiroidisme
Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal
primer, emboli paru akut
Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan AF pada pasien
yang sensitive melalui peniggian tonus vagal atau adrenergik.
2.4 KLASIFIKASI
Berdasarkan ada tidaknya penyakit jantung yang mendasari 3 :
Primer : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung dan
kelainan sistemik yang dapat menimbulkan aritmia
Sekunder : Bila tidak ditemukan kelainan struktur jantung tetapi
ada kelainan sitemik yang dapat menimbulkan aritmia
Berdasarkan waktu timbulnya AF serta kemungkinan keberhasilan usaha
konversi ke irama sinus 3 :
Paroksismal :
Bila AF berlangsung kurang dari 7 hari, berhenti dengan sendirinya
tanpa intervensi pengobatan atau tindakan apapun
Persisten :
Bila AF menetap lebih dari 48 jam, hanya dapat berhenti dengan
intervensi pengobatan atau tindakan
Permanen :
Bila AF berlangsung lebih dari 7 hari, dengan intervensi
pengobatan AF tetap tidak berubah
2.5PATOFISIOLOGI
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis
Multiple wavelet reentry timbulnya gelombang yang menetap dari
depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature
atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. 1, 4
Gambar 2. Sumber : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tahun 2006
Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali
bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot
ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran
atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya
secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan
pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang
berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi
yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor
predisposisi bagi fibrilasi atrium.2
II.5.1 Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium
Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu
atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian,
darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi
pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu,
dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup
selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun
timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. 2
II.5.2 Patofisiologi Pembentukan Trombus pada AF
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial
flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih
banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF
tanpa stroke emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan
AF non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF
dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat
dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli
pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand
( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya
melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini
dipengaruhi oleh lamanya AF.1
2.6DIAGNOSIS
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat
bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF, penyakit
yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat
beraktivitas, sesak npas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat
mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner.
Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurangpada AF akan menurunkan curah
jantung dan dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri.
Evaluasi klinik pada pasien AF meliputi :
Anamnesis :
Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya
( episode pertama, paroksismal, persisten, permanen )
Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar,
lemah, sesak nafas terutama saat beraktivitas, pusing, gejala yang
menunjukkan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif
Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari AF misalnya
hipertiroid.
Pemeriksaan Fisik :
Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya,
tekanan darah.
Tekanan vena jugularis.
Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal
jantung kongestif.
Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung
Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
Edema perifer : kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif
Laboratorium :
hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung
bila dicurigai terdapat iskemia jantung.
Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi
AF ), hipertrofi ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma
pre-eksitasi ( sindroma WPW ), identifikasi adanya iskemia.
Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia,
PPOK,corpulmonal.
Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran
dari atrium dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel
kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans Esophago
Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.
2.7 PENATALAKSAAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah
mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan
komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah
pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan
pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke
irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit
sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif
pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.
2.7.1 Kardioversi
Pengembalian ke irama sinus pada AF akan mengurangi gejala,
memperbaiki hemodinamik, mencegah remodeling elektroanatomi dan
memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau
farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan
kardioversi elektrik. Resiko tromboemboli atau stroke emboli tidak berbeda antar
kardioversi elektrik dan farmakologi sehingga rekomendasi pemberian
antikoagulan sama pada keduanya.
Kardioversi farmakologis.Kardioversi farmakologis paling efektif bila
dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya AF. Klasifikasi obat aritmia dan obat-
obatan yang dianjurkan :
Tabel 4. Klasifikasi Vaughan Williams Kerja Obat Aritmia
Tipe IA Disopiramid, Prokainamid, Kuinidin
Tipe IB Lidokain, Meksiletin
Tipe IC Flekainid, Moricizin, Propafenon
Tipe II Penyekat beta ( contoh : Propanolol )
Tipe III Amiodaron, Bretilium, Dofetilid, Ibutilid, Sotalol
Tipe IV Antagonis kalsium ( contoh : Verapamil dan Diltiazem )
Pengobatan Antitrombotik Untuk Mencegah Komplikasi Stroke Emboli
Banyak laporan mengenai efektivitas anti trombik dalam pencegahan komplikasi
pada AF. Pada Atrial Fibrillation Investigator ( AFI ), didapatkan bahwa warfarin
secara bermakna menurunkan resiko stroke dari 4,5% per tahun menjadi 1,4%.
Terdapat penurunan resiko besar 68%. Warfarin menurunkan resiko stroke pada
wanita 89% dan laki-laki 68%. Pada studi AFASAK pemberian aspirin 75 mg
akan menurunkan resiko 18 ( 95% CI 60-58% ) sedangkan pada SPAF pemberian
aspirin 325mg menurunkan resiko 44% ( 95% CI 7-66% ). Kombinasi dari kedua
studi tersebut menurunkan resiko 36 % ( 95% CI 48-72% ) penurunan resiko
absolut 2,7% per tahun pada pencegahan primer dan 8,4% per tahun pada
pencagahan sekunder. Warfarin lebih baik dari pada aspirin dengan penurunan
resiko relatif 36 % ( 14-52 % ). Warfarin dan aspirin menurunkan menurunkan
kejadian stroke pada pasien dengan AF dan warfarin jauh lebih baik dibanding
aspirin.
Pada pasien AF yang timbul lebih dari 48 jam atau tidak diketahui
lamanya dianjurkan pemberian warfarin dengan target INR 2-3 diberikan 3
minggu sebelum kardioversi dan dilanjtkan 4 minggu pasca kardioversi. Pasien
diberikan heparin bila tidak ditemukan trombus, dilakukan kardioversi dan
diberikan antikoagulan sampai 4 minggu pasca kardioversi.
2.10 PROGNOSIS :
Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama
sinus hidup lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian
juga menunjukkan penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin
bertujuan untuk asimtomatik pada pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut
menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan untuk mengendalikan irama
jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan dibandingkan dengan terapi
kontrol rate dan antikoagulan.
Terapi AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada
kejadian tromboemboli terutama stroke. AF dapat mencetuskan takikardi
cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya AF dapat
menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen
atrium dari cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan
pada pasien dengan penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan
terjadinya gagal jantung saat terjadi AF.
BAB III
KESIMPULAN
Fibrilasi atrial ( AF ) merupakan aritmia yang sering menjadi penyebab
seorang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan
keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi AF berhubungan dengan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Secara klinis fibrilasi atrial praktis tidak dapat dideteksi. Fibrilasi atrium diketahui
dari gambaran elektrokardiogram ( EKG ). Pemeriksaan EKG dapat dilakukan
pada saat menjalani general check-up maupun pada saat sakit tertentu yang
prosedur pemeriksaannya memerlukan pemeriksaan EKG.
Pada setiap penderita fibrilasi atrial perlu diberitahukan tentang kondisi
jantungnya sekaligus program pengobatan dan tujuan program tadi. Penyakit
Jantung yang Berhubungan dengan AF :
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al . 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FKUI. Jakarta, Hal 1537-42
2. Guyton, Arthur C and Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi 9. EGC. Jakarta, Hal 151-202
3. Rani A. 2007. Panduan Pelayanan Medik Departemen Penyakit Dalam.
RSUP DR Cipto Mangunkusumo. Jakarta, Hal 64-5
4. Davey Patrick. 2005. At A Glance Medicine. Erlangga. Jakarta. Hal 162-4
5. Ismudiati, Lily R. 1996. Buku Ajar Kardiologi. FKUI. Jakarta. Hal 277-9
6. Gray H. 2005. Lecture Notes Kardiologi. Erlangga. Jakarta. Hal 169-171
7. Mansjoer A. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi ketiga. FKUI.
Jakarta. Hal 459-71