adenoiditis

37
BAB I PENDAHULUAN Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan perkembangan usia. Menurut Havas, pada 2002 adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-6 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan. Hipertrofi adenoid, terutama pada kanak-kanak, muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan. 1 Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan 1

Upload: agnesi-nurzakyyah

Post on 12-Dec-2015

118 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

THT-KL

TRANSCRIPT

Page 1: ADENOIDITIS

BAB I

PENDAHULUAN

Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada

dinding posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin

Waldeyer. Secara fisiologis, ukuran adenoid dapat berubah sesuai dengan perkembangan usia.

Menurut Havas, pada 2002 adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran

maksimum pada saat usia 3-6 tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14

tahun, adenoid secara bertahap mengalami involusi. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka

nasofaring sebagai penghubung udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum

nasi ke orofaring akan mengalami penyempitan. Hipertrofi adenoid, terutama pada kanak-kanak,

muncul sebagai respon multiantigen virus, bakteri, alergen, makanan, dan iritasi lingkungan.1

Diagnosis hipertrofi adenoid dapat ditegakan berdasarkan tanda dan gejala klinis,

pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Secara klinis dapat ditemukan tanda-tanda,

seperti bernapas melalui mulut, sleep apnea, fasies adenoid, mengorok dan gangguan telinga

tengah. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tahanan gerakan palatum mole

sewaktu fonasi, sementara pemeriksaan rinoskopi posterior pada anak biasanya sulit dilakukan

dan tidak dapat menentukan ukuran adenoid. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan radiologi

dengan membuat foto polos true lateral. Pemeriksaan tersebut dianggap paling baik untuk

mengetahui ukuran adenoid dan pengukuran hubungan ukuran adenoid dengan sumbatan jalan

napas.1

1

Page 2: ADENOIDITIS

BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING

2.1 Anatomi Faring

Untuk kepentingan klinis faring dibagi menjadi 3 bagian utama: nasofaring, orofaring

dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring, bagian dari faring yang terletak di atas palatum

mole, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum mole dan tulang hyoid dan

laryngofaring yang meluas dari tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring

termasuk cincin jaringan limfoid yang sirkumferensial disebut cincin Waldeyer. Termasuk di

dalamnya adenoid (tonsila faringeal), tonsila palatina atau fausial, tonsila lingual, dan folikel

limfoid pada dinding posterior faring.2

Gambar: Anatomi Faring

2

Page 3: ADENOIDITIS

2.1.1 Nasofaring

Nasofaring dibentuk di sebelah atas oleh korpus afenoid dan prosesus basilaris os

occipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, dan sebelah posterior oleh

vertebra cervicalis, sebelah inferior nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orifisium tuba

Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka

inferior. Di sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba Eustachius terdapat suatu

penonjolan yang dibentuk oleh kartilago Eustachius. Memanjang ke bawah dari ujung

posterior penonjolan tersebut terdapat lipatan membran mukosa yang kuat yaitu membran

salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang tidak begitu menonjol, yaitu membran

salpingopalatina, meluas ke bawah di depan orifisium Eustachius. Kantung yang dalam

yang terbentuk pada sudut faring di antara tepi posterior kartilago Eustachius dan dinding

posterior, dikenal sebagai fosa Rosenmuller. Jaringan adenoid seringkali diemukan

disekitar orifisium tuba (tuba Gerlach’s). atap (forniks faring) dan dinding posterior

nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid (adenoid, tonsil faringeal,

tonsil Luschka’s), yang sering mencapai ukuran besar, terutama pada anak. Nasofaring

diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis semu. Orofaring diliputi oleh epitel gepeng

berlapis.3

Adenoid

Tonsil faringeal atau adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri

dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Tonsil atau lobus

segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah jeruk dengan

3

Page 4: ADENOIDITIS

celah atau kantung di antaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang rendah di

bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.3

Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum nasi

dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba Eustachius-telinga

tengah-kavum mastoid pada bagian lateral. Jaringan adenoid di nasofaring terutama

ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller

dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak.

Adenoid terdiri dari jaringan limfoid, yang termasuk dalam retikulum jaringan ikat fibrosa

yang kuat walaupun lunak.3

Gambar: Adenoid

Jaringan adenoid terdiri dari rangka jaringan ikat fibrosa, yang menunjang massa

sel limfoid. Jaringan ini terisi pembuluh darah dan limfe, sedangkan di beberapa tempat

terdapat kelompok-kelompok kelenjar mukosa di dalam septa yang bermuara ke arah

permukaan. Kelenjar mukosa sering terdapat di dalam adenoid pada permukaan dasarnya. 4

Page 5: ADENOIDITIS

Di tengah-tengah jalinan jaringan ikat yang halus terdapat kumpulan sel-sel leukosit atau

sel-sel limfoid, bergabung menjadi jaringan limfoid yang membentuk adenoid. Kelompok

sel-sel ini berdiferensiasi khusus dalam bentuk yang agak bulat atau lonjong, dengan

bagian yang pucat di tengah, sedangkan tepinya berwarna lebih gelap. Daerah ini

merupakan pusat folikel atau sentrum germinativum Goodsir.3

Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a. carotis eksternal,

beberapa cabang minor berasal dari a. maxillaris interna dan a. facialis. Inervasi sensible

merupakan cabang dari n. glosofaringeus dan n. vagus.3

2.1.2 Orofaring

Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole terdiri

dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa dan di luarnya dilapisi oleh mukosa.

Penonjolan atau rafe di median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut

yang terletak di sentral di kenal sebagai uvula. Batas lateral palatum pada tiap sisinya

terbagi menjadi pilar anterior dan pilar posterior fausium. Pada pilar anterior terdapat

m.palatoglosus. Pilar posterior terdiri dari m. palatofaringeus. Di antara kedua pilar

terdapat celah, tempat kedudukan tonsil fausium.3

Tonsil Lingual

Terletak pada dasar lidah di antara kedua tonsil fausium dan meluas ke arah

anteroposterior dari papila sirkumvalata ke epiglotis. Tonsil terdiri dari sejumlah

penonjolan yang bulat atau melingkar seperti kepundan, yang mengandung jaringan

5

Page 6: ADENOIDITIS

limfoid dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat. Di tengah setiap kepundan/kripta

terdapat muara duktus kelenjar mukus. 3

Cincin Waldeyer

Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin Waldeyer dari jaringan

limfoid, yang mengelilingi farin. Unsur yang lain yaitu tonsil lingual, pita lateral faring,

dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa

dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba Eustachius.3

Gambar: “Cincin Waldeyer”

2.1.3 Laringofaring

Laringofaring sebgian terpisah dari orofaring oleh lipatan faringo-epiglotis, yang

terbentang dari epiglotis sampai sisi faring.3

Mukosa laringofaring dilapisi oleh epitel torak bersilia berlapis semu kecuali pada

permukaan laring epiglotis, permukaan anterior adenoid dan sisi bebas pita suara asli,

ditutupi epitel gepeng berlapis. Terdapat banyak kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

6

Page 7: ADENOIDITIS

Jaringan limfoid terkumpul sebagai massa yang kecil (folikel limfoid) pada beberapa

tempat di seluruh faring.3

Otot-otot faring terdiri dari m. konstriktor faringeus, superior, medius, dan

inferior, m.stilofaringeus dan m. palatofaringeus.3

2.2 Fisiologi Faring

2.2.1 Nasofaring

Fungsi utama nasofaring adalah sebagai tabung kaku dan terbuka untuk udara

pernapasan. Pada waktu menelan, muntah, bersendawa dan tercekik, nasofaring akan

terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum mole terangkat sampai ke

dinding posterior orofaring.3

Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba

Eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba Eustachius. Sebagai

resonansi, sangat penting dalam pembentukan suara.3

Adenoid

Fungsi adenoid adalah bagian imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan

limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi IgA

sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh garis depan dalam memproteksi tubuh

dari invasi kuman mikroorganisme dan molekul asing.4

Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus atau antigen makanan

memasuki nasofaring mengenai epitel kripti yang merupkan kompartemen adenoid

7

Page 8: ADENOIDITIS

pertama sebagai barier imunologis. Kemudian akan diabsorbsi secara selektif oleh

makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan

dipresentasikan ke sel T pada area ekstra folikuler dan ke sel B pada sentrum

germinativum oleh follicular dendritic cells (FDC).4

Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC bersama

dengan IL-1 akan mengakibatkan aktivasi sel T yang ditandai oleh pelepasan IL-2 dan

ekspresi reseptor IL-2. Antigen bersama-sama dengan sel Th dan IL-2, IL-4, IL-6 sebagai

aktivator dan promotor bagi sel B untuk berkembang menjadi sel plasma. Sel plasma akan

didistribusikan pada zona ekstrafolikuler yang menghasilkan immunoglobulin (Ig G 65%,

Ig A 20%, sisanya Ig M, Ig D, Ig E) untuk memelihara flora normal dalam kriptus

individu yang sehat.4

2.2.2 Orofaring dan Laringofaring

Bagian dari faring ini tidak hanya berfungsi sebagai saluran napas, tetapi juga

sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanan dan minuman dari

dalam mulut, terakhir sebagai ruang resonansi pada pembentukan suara. Saluran ini

terbuka terus selama bernapas, kecuali pada waktu menelan atau muntah. Jaringan limfoid

yang terdapat dalam nasofaring dan laringofaring juga berfungsi sebagai pelindung,

menghilangkan dan menghancurkan benda asing yang masuk melalui mulut dan hidung,

serta ikut dalam pembentukan antibodi.3

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase

esofageal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini

disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transfor bolus makanan melalui

8

Page 9: ADENOIDITIS

faring. Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofageal dimana gerakannya

tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus

menuju lambung.5

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan

faring. Gerakan ini berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring.

Gerkan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m. salpingofaring

dan m. palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama m.konstriktor faring

superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m. levatoe veli palatini menarik palatum

mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini

diisi oleh tonojolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2

macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan m. palatofaring

(bersamaan dengan m. salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m. konstriktor faring

superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.5

9

Page 10: ADENOIDITIS

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Adenoiditis

Adenoiditis adalah peradangan dari adenoid yang biasanya disebakan oleh infeksi.

Pembesaran atau infeksi adenoid menghasilkan mulut bernapas dengan obstruksi pada hidung

dan debit yang berlebihan, yang pada eksaserbasi akan berubah dari berlendir menjadi

mukopurulen. Pada anak, mungkin akan terlihat selalu tidak sehat, seperti pilek. Anak yang

menderita pilek sangat sering dan berkepanjangan dengan purulen berlebihan hampir dapat

dipastikan menderita serangan berulang dari adenoiditis. Biasanya adenoiditis dapat disertai juga

dengan tonsilitis.6

3.2 Epidemiologi Adenoiditis

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,

Amerika, pada Januari 2008 sampai dengan Januari 2010 di Rumah Sakit Long Island Collage

pada 198 anak dengan usia rata-rata 3,7 tahun, dijumpai bahwa anak laki-laki (60,1%) lebih

banyak dari anak perempuan (39,9%).7

Sementara itu di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode April 1997 sampai

dengan Maret 1998 didapatkan 1024 (6,75%) pasien tonsilitis kronik dari seluruh kunjungan.

Tonsilitis kronik pada anak hampir selalu terjadi bersama adenoiditis kronik, karena adenoid dan

10

Page 11: ADENOIDITIS

tonsil merupakan jaringan limfoid yang saling berhubungan membentuk cincin Waldeyer.

Adenoiditis kronik cukup sering terjadi, terutama pada kelompok usia anak antara 5 sampai 10

tahun. Pembesaran adenoid meningkat secara tepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum

pada usia 3 sampai 6 tahun, kemudian menetap sampai usia 8 sampai 9 tahun, dan setelah usia 14

tahun bertahap mengalami involusi/regresi.11

3.3 Etiologi Adenoiditis

Adenoiditis biasanya berawal dari suatu infeksi pada saluran pernapasan atas. Jenis

kuman yang sering adalah Streptococcus Beta Hemolitikus Grup A (SBHGA). Selain itu terdapat

Streptococcus Pyogenes, Streptokokus grup B, C, Adenovirus, Epstein Barr, bahkan virus

Herpes.2

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,

Amerika, pada Januari 2008 sampai dengan Januari 2010, organisme lain adalah seperti S.

Pneumoniae sensitif terhadap penisilin di 40 kultur (20,2%), S. Pneumoniae menengah atau

resisten terhadap penisilin di 26 kultur (13,1%), M. Catarrhalis sensitif terhadap penisilin di 27

kultur (13,6%), H. Influenzae sensitif terhadap penisilin di 57 kultur (28,8%), dan S. Aureus

menengah atau resisten terhadap penisilin di 26 kultur (13,1%). Beberapa organisme lain

meliputi, tetapi tidak terbatas pada spesies Streptococcus lainnya, Pseudomonas, Proteus,

Serratia, dan jamur di 10 kultur (0,5%).7

11

Page 12: ADENOIDITIS

Selain bakteri, virus juga dapat menyebabkan infeksi yang dapat menyebabkan demam

dan eritema pada daerah orofaring yang biasanya tanpa adanya eksudat tonsilar, seperti

Adenovirus, Rhinovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV), Influenza, dan Parainfluenza.8

3.4 Patofisiologi Adenoiditis

Infeksi virus dengan infeksi sekunder bakteri merupakan salah satu mekanisme terjadinya

adenoiditis kronik. Adenoid dapat mengalami pembesaran yang disebabkan oleh karena proses

hipertrofi sel akibat respon terhadap infeksi tersebut yang berlangsung kronik. Faktor lain yang

berpengaruh adalah lingkungan, faktor inang (riwayat alergi), penggunaan antibiotika yang tidak

tepat, pertimbangan ekologis, dan diet. Infeksi dan hilangnya keutuhan epitel kripti menyebabkan

kriptitis kronik dan obstruksi kripti, lalu menimbulkan stasis debris kripti dan persistensi antigen.

Bakteri pada kripti tonsil dapat berlipat-ganda jumlahnya, menetap dan secara bertahap menjadi

infeksi kronik. 11

Bila fragmen bakteri masuk ke badan maka fragmen bakteri ekstraseluler akan

dipresentasikan bersama Major Histocompability Complex II (MCH II) oleh Antigen Precenting

Cell (APC). Jika ada antigen baru akan diproses leh makrofag, makrofag mengeluarkan IL-1

yang menstimulasi limfosit T untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2.

Sitokin dari Th1 antara lain IL-2 dan IFN (Interferon)-γ, sedangkan sitokin Th2 antara lain IL-4,

IL-6 dan IL-13. Interferon-γ merupakan sitokin proinflamasi. Sitokin Th2 akan mengaktifkan sel

B menjadi sel plasma yang memproduksi Ig M, G, A, E. IL-4, IL-6, dan IFN- γ meningkatkan sel

B untuk mengeluarkan Ig G pada infeksi kronik. Pada tonsillitis kronik selain Ig G, juga didapati

sitokin-sitokin inflamasi seperti IL-1 dan IL-6 yang meningkat. Sitokin-sitokin ini merupakan

mediator-mediator inflamasi yang berperan pada adenoiditis kronik.11

12

Page 13: ADENOIDITIS

Tonsilitis kronis dapat juga terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga penyakit

pasien menjadi kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain: terapi antibiotika

yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah sehingga terapi

medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara permukaan tonsil dan

jaringan tonsil. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman

berubah menjadi kuman gram negatif.2

3.5 Gejala Klinis Adenoiditis

Gejala pada adenoiditis akut termasuk rhinorrhea purulen, sumbatan hidung, demam, dan

kadang-kadang otitis media. Hal ini bisa sulit untuk membedakan dari infeksi saluran pernafasan

akut, tetapi cenderung lebih lama dan lebih tentu saja berat. Adenoiditis akut berulang adalah 4

atau lebih episode dari adenoiditis akut dalam periode 6 bulan.10

Gejala dari adenoiditis kronis termasuk rhinorrhea berat, post nasal drip, napas berbau

busuk, dan otitis media atau ekstra esophageal reflux yang berlangsung setidaknya 3 bulan.10

Selain itu juga dijumpai anak yang sering panas, terutama panas yang disertai pilek dan batuk,

sering sakit kepala, lesu, mudah ngantuk, tenggorok terasa mengganjal, tenggorok sering

berdahak, tenggorok terasa kering, leher belakang terasa kaku/tegang, rasa mual terutama waktu

gosok gigi, suara sengau, “ngorok”, gangguan bernapas terutama waktu tidur telentang, napas

bau, sering “seret”, pendengaran terasa tidak enak, dan nafsu makan berkurang.11

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga Institutional Review Board,

Amerika pada tahun 2008 sampai dengan 2010, adenoiditis menimbulkan beberapa gejala klinis

utama seperti batuk, pilek, napas berbau. Sedangkan post nasal drip dan obstructive sleep apnea

jarang dijumpai pada keadaan akut. Selain itu juga, dapat dijumpai riwayat kebiasaan ataupun 13

Page 14: ADENOIDITIS

penyakit pasien seperti bottle feeding, current reflux symptoms, recurrent acute otitis media, dan

paparan polusi udara.7

Tabel: Gejala Adenoiditis dan riwayat penyakit/kebiasaan.7

Apabila terjadi obstruksi saluran nafas atas jangka panjang karena hipertropi dari jaringan

adenoid, gejala yang menyertai antara lain pernafasan mulut kronis, obstruksi apnea saat tidur

dengan gejala mendengkur, penurunan fungsi pendengaran, penciuman dan pengecapan, sinusitis,

menyebabkan kuantitas pernafasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian fisiologis

penderita akan bernafas melalui mulut. Pernafasan melalui mulut menyebabkan perubahan

struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi, yaitu posisi rahang bawah yang turun

dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan cenderung ke bawah dan ke

depan, serta meningginya dimensi vertical atau dikenal sebagai facies adenoid.9

14

Page 15: ADENOIDITIS

Gambar: Hipertrofi Adenoid

Gambar: Adenoid Face

3.6 Pemeriksaan Fisik Adenoiditis

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan rinoskopi posterior, palpasi dan X foto adenoid

terutama pada kecurigaan adanya pembesaran. Pada anak, pemeriksaan rinoskopi posterior sulit

dilakukan, demikian juga palpasi. Yang perlu diperhatikan pada adenoiditis kronik perlu

disingkirkan kemungkinan adanya penyakit atau kelainan di hidung, telinga atau sinus paranasal,

mengingat pada adenoiditis kronik juga memberikan discarj terus-menerus atau berulang. Untuk

ini diperlukan rinoskopi anterior. Apabila pada rinoskopi anterior ternyata ditemukan bahwa

15

Page 16: ADENOIDITIS

mukosa hidung normal tidak ditemukan adanya hipertrofi konka, serta kelainan lain di hidung

maka kemungkinan besar discarj tersebut semata-mata akibat adenoiditis kronik.11

Pada pemeriksaan fisik, kebanyakan pasien pada pemeriksaan rhinoskopi anterior masih

dalam batas normal dengan sekresi ditemukan di nasofaring.7

Tabel: Pemeriksaan Fisik Adenoiditis7

3.7 Pemeriksaan Penunjang Adenoiditis

X foto adenoid merupakan satu-satunya cara praktis untuk mengetahui ada tidaknya

pembesaran adenoid pada anak. Yang perlu diperhatikan pada adenoiditis kronik perlu

disingkirkan kemungkinan adanya penyakit atau kelainan di hidung atau sinus paranasal.11

16

Page 17: ADENOIDITIS

Gambar: Foto X-ray

Nasopharyngoscopy dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara langsung.

Gambar: Nasopharyngoscopy

CT scan merupakan modilitas yang lebih sensitive daripada foto polos untuk identifikasi

patologi jaringan lunak.

17

Page 18: ADENOIDITIS

Gambar: CT Scan

3.8 Penatalaksanaan Adenoiditis

Terapi medikamentosa yaitu dengan pemberian antibiotika sesuai kultur. Jika ditemukan

Streptococcus Grup A, segera diobati dengan Penicillin atau Eritromisin selama 10 hari. Jika

ditemukan bakteri patogen atau bakteri selain Streptococcus Grup A, terapi yang tepat harus

segera diberikan. Seringkali hanya diberi terapi umum ditambah terapi simtomatis jika tidak

ditemukan bakteri, dan etiologinya dianggap karena virus.3

Manajemen terapi yang umum atau lazim untuk adenoiditis kronik adalah adenoidektomi.

Bila terjadi eksasrbasi akut, diberikan antibiotik golongan penisilin (Amoksisilin

50-100mg/kgBB) selama 5-10 hari. Prinsip dasar tindakan adenoidektomi kronis adalah

menghilangkan fokus infeksi kronik, menghilangkan sumbatan napas dan mengurangi gangguan

fungsi tuba, sehingga menghindari kemungkinan terjadinya otitis media.11

18

Page 19: ADENOIDITIS

Adenoid dapat diangkat hanya dengan kuret saja. Gambar 20-11, meskipun cara ini tidak

sesempurna metode lain. Metode yang lebih rasional dan efektif adalah dengan menggunakan

adenotom La Force atau Collum atau beberapa modifikasinya, kemudian dilanjutkan dengan

menggunakan kuret tipe Barnhill.3

Teknik. Dilakukan anestesi umum dengan pipa oro-trakeal terpasang pada posisinya

untuk menjaga jalan napas. Mulut di buka dengan sebuah gag untuk menjaga agar lidah tidak

keluar dari tempatnya. Jika adenotom “La Force” akan dipergunakan, bilah ditarik sehingga

fenestra terbuka. Alat dimasukkan ke dalam nasofaring (Gambar 20-12), dan adenoid terangkat

dengan gerakan mengangkat – menekan bergantian.3,6

19

Page 20: ADENOIDITIS

Kuret dipergunakan dengan cara yang sama dan setiap jaringan adenoid yang tertinggal di

angkat dengan gerakan “menyapu” (Gambar 20-13). Ujung jari dapat digunakan untuk

memastikan bahwa seluruh jaringan adenoid telah terangkat dari orifisium tuba Eustachius dan

koana, dan untuk mengeksplorasi fosa Rosenmuller.3

Setelah pengangkatan adenoid, dilakukan pencucian daerah luka dan kemudian diberi

tampon yang telah diberi koagulan untuk beberapa menit, sampai tidak ada perdarahan lagi.

Perdarahan post operasi dapat terjadi, dan membutuhkan observasi post operasi.6

Selain cara tersebut, juga terdapat surgical microdebrider. Ahli bedah sudah

menggunakan metode mikrodebrider, sebagian orang menganggapnya lebih efektif. Perdarahan

pasti terjadi pada pengangkatan, tetapi sebagian besar dilaporkan perdarahan menggunakan kuret.

Mikrodebrider memindahkan jaringan adenoid yang sulit dijangkau oleh teknik lain.4

Selain eksisi melalui mulut, eksisi juga dapat dilakukan melalui hidung, yaitu dengan

menggunakan alat mikrodebrider. Dengan prosedur ini, jika terjadi perdarahan dikontrol dengan

menggunakan cauter suction.4

20

Page 21: ADENOIDITIS

Indikasi Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif menurunkan insidensi otitis media efusi dan sinusitis, serta

memperbaiki fungsi tuba akibat penurunan respon inflamasi dan polusi di sekitar nasofaring.11

Adenoidektomi umumnya direkomendasikan untuk 3 kondisi, yaitu:

1) Adenoid obstruktif,

2) Infeksi (adenoiditis rekuren/kronik, sinusitis rekuren/kronik, otitis media rekuren akut

dan otitis media rekuren/kronik dengan efusi),

3) Neoplasia.11

Indikasi Adenoidektomi pada Otitis Media

Adenoidektomi dengan atau tanpa tonsilektomi, seringkali ditujukan untuk pencegahan

terjadinya otitis media. Paradise dkk, telah memperlihatkan perbedaakn signifikan dari angka

serangan otitis media akut pada anak yang menjalani adenoidektomi, dibanding miringotomi dan

pemasangan gromet. Adenoidektomi direkomendasikan secara selektif pada anak yang

mengalami obstruksi nasi hebat akibat adenoid obstruktif. Adenoidektomi dengan atau tanpa

tonsilektomi telah dievaluasi manfaatnya sebagai cara mencegah otitis media melalui beberapa

studi klinis selama 30 tahun terakhir. Suatu penelitian membuktikan bahwa pada otitis media

kronik, adenoidektomi lebih efektif dibanding tanpa tindakan bedah, dan adenoidektomi saja

sama efektifnya dengan adenotonsilektomi.11

21

Page 22: ADENOIDITIS

Komplikasi Adenoidektomi

Komplikasi tindakan adenoidektomi adalah perdarahan bila pengerokan adenoid kurang

bersih. Bila terlalu dalam menguretnya akan terjadi suatu kerusakan dinding belakang faring. Bila

kuretasa terlalu ke lateral maka torus tubariuss akan rusak dan dapat mengakibatkan oklusi tuba

Eustachius dan akan timbul tuli konduktif.12

3.9 Komplikasi Adenoiditis

Komplikasi dari adenoiditis kronik yang biasa ditimbulkan adalah sebagai berikut:

1. Obstruksi nares posterior dapat menyebabkan tekanan nasofaring abnormal selama

menelan (fenomena Toynbee), yang juga menghambat pembukaan tuba atau insuflasi

sekresi nasofaringeal ke dalam telinga tengah.11

2. Infeksi kronis adenoid bisa juga memiliki ukuran adenoid yang normal atau atrofi, tetapi

bisa menyebabkan infeksi kelenjar limfe perituba (limfadenitis perituba)

3. Otitis media akut berulang

4. Sinusitis kronik

5. Otitis Media Non Supuratif (Otitis Media Serosa, Otitis Media Efusi)

Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga

tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan

membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan efusi.

Pada adenoiditis kronik biasanya terjadi otitis media serosa kronik. Hal ini disebabkan

oleh cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista

22

Page 23: ADENOIDITIS

yang terdapat dalam kelenjar telinga tengah dan tuba Eustachius. Sekret pada otitis media

serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut dengan glue ear. Pada otoskopi

terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan atau keabu-abuan.

Pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan mengeluarkan sekret dengan miringotomi

dan pemasangan pipa ventilasi (Grommet).12 Perawatan medis diarahkan terutama

terhadap pemberantasan infeksi bakteri dengan penggunaan terapi antibiotik yang tepat

dan mengatasi fokal infeksi (adenoidektomi).13

3.10 Prognosis Adenoiditis

Penelitian kualitas hidup pada tonsilitis kronik hasilnya menjabarkan bahwa seorang anak

yang menderita penyakit ini berdampak pada seluruh keluarganya. Anak mengalami gangguan

tidur dan sekolah yang pada akhirnya memberikan dampak sosial dan emosional. Adenoiditis

kronik dapat menurunkan kualitas hidup penderita karena rangsangan bakteri yang terus menerus

terhadap tonsil menyebabkan imunitas penderita tertekan karena menurunnya respon imunologis

limfosit dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen.11

23

Page 24: ADENOIDITIS

BAB IV

KESIMPULAN

Adenoid adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang terletak pada dinding

posterior nasofaring dan merupakan salah satu jaringan yang membentuk cincin Waldeyer.

Adenoid membesar secara cepat setelah lahir dan mencapai ukuran maksimum pada saat usia 3-6

tahun, kemudian menetap sampai usia 8-9 tahun. Setelah usia 14 tahun, adenoid secara bertahap

mengalami involusi. Jika terjadi hipertrofi pada adenoid, maka nasofaring sebagai penghubung

udara inspirasi dan sekresi sinonasal yang mengalir dari kavum nasi ke orofaring akan mengalami

penyempitan.

Gejala pada adenoiditis akut dan kronik berbeda, karena tergantung dari proses perjalanan

penyakitnya. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara rinoskopi anterior dan posterior,

pemeriksaan radiologis, nasofaringoskopi dan juga CT Scan nasofaring. Selain itu pada

pemeriksaan fisik pada teling juga harus diperhatikan untuk menilai gengguan pada telinga

pasien.

Penatalaksanaan yang diberikan yaitu terapi medikamentosa antibitik sesuai dengan hasil

biakan kultur, dan simtomatik lainnya. Selain itu apabila terjadi adenoid obstruktif, adanya

infeksi (adenoiditis rekuren/kronik, sinusitis rekuren/kronik, otitis media rekuren akut dan otitis

media rekuren/kronik dengan efusi), dan neoplasia, maka diindikasikan untuk adenoidektomi.

24

Page 25: ADENOIDITIS

Komplikasi yang dapat ditimbulkan bermacam-macam seperti fenomena Toynbee,

limfadenitis perituba, otitis media akut berulang, sinusitis kronik dan otitis media efusi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Amar, Muhammad Arman., dkk. Artikel Penelitian: Rasio Adenoid-Nasofaring dan Gangguan

Telinga Tengah pada Penderita Hipertrofi Adenoid. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorok-Kepala Leher. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Rumah

Sakit Wahidin Sudirohusodo. 2013.

2. Kurniawati. Tonsilitis dan Adenoiditis Kronik, Efek terhadap Gangguan Fungsi Belajar.

Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang. 2010.

3. Ballenger, Jacob John. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala dan Leher:. Anatomi

Bedah Faring dan Tonsil. Jilid 1. Northwestern University School of Medicine. Dipublikasi

oleh Jakarta: Binarupa Aksara Publisher. 2000. 318-321, 346-347, 356-357.

4. Suseno, Sigid. Jurnal: Hipertrofi Adenoid. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas

Diponegoro. 2012.

5. Rusmarjono; Hermani, Bambang. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyakit Telinga, Hidung,

Tenggorokan, Kepala dan Leher: Odinofagia. F. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2010. 216

6. Colman, Bernard H. Hall’s and Colman’s: Disease of Nose, Throat and Ear, and Head and

Neck: Adenoids and Tonsils. 14th Edition. Churcill Livingstone. UK: Medical Division of

Longman Group. 1992. 95-97.

7. Marzouk, Haidy., dkk. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology: The Utility of

Nasopharyngeal Culture in The Management of Chronic Adenoiditis. Department of

Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Brooklyn, NY 11203, United States: State

University of New York Downstate Medical Center. 2012.

8. Shnayder, Yelizaveta., et al. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and

Neck Surgery: Management of Adenotonsillar Disease. New York University School of

Medicine - Department of Otolaryngology. NY: Mc. Graw Hill. 2005. 340

25

Page 26: ADENOIDITIS

9. Saifuddin, M. Sindroma Wajah Adenoid. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra

Utara. 2006

10. Sharma, Dinesh Kumar, Throat-Pharynx: Adenoids. Delhi: New Delhi University of

Medicine. 2008.

11. Anggoro, Dimas., Jurnal:Adenotonsilitik Kronik dan Tuba Eustachius. Semarang: Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012.

12. Rusmarjono, Soepardi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan,

Kepala dan Leher: Kelainan Telinga Tengah. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI. 2010. 74-76, 225.

13. Ferlito, Salvatore, et Al., Adenoiditis and Otitis Media with Effusion: Recent Physio-

Pathological andTerapeutic Acquisition. Università Degli Studi di Catania - Dipartimento Di

Specialità Medico-Chirurgiche - Clinica Otorinolaringoiatrica. 2011.

26