acara ii_6.doc

30
ACARA II KADAR SIANIDA DAN ASAM FITAT KORO BENGUK A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Koro benguk (Mucuna pruriens) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan lokal yang memiliki beragam varietas dan bisa digunakan sebagai bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi. Sebaliknya, koro juga berpotensi sebagai pangan fungsional dengan adanya kandungan polifenol. Jenis koro lokal antara lain koro (Mucuna pruriens), koro pedang (Cannavalia ensiformis), koro glinding (Phaseolus lunatus), dan koro putih. Banyak kacang-kacangan yang dimanfaatkan sebagai makanan. Di negara yang protein hewaninya jarang dan mahal, koro memasok sejumlah besar protein di samping karbohidrat pada makanan manusia. Koro benguk merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang bisa digunakan sebagai bahan

Upload: ratih-ismawanti

Post on 20-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Banyak kacang-kacangan yang dimanfaatkan sebagai makanan. Di negara yang protein hewaninya jarang dan mahal, koro memasok sejumlah besar protein di samping karbohidrat pada makanan manusia. Koro benguk merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang bisa digunakan sebagai bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida yang bersifat toksik berupa asam sianida dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi.

TRANSCRIPT

Page 1: ACARA II_6.doc

ACARA II

KADAR SIANIDA DAN ASAM FITAT KORO BENGUK

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Koro benguk (Mucuna pruriens) merupakan salah satu jenis kacang-

kacangan lokal yang memiliki beragam varietas dan bisa digunakan sebagai

bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi

koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein

yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro

juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida

yang bersifat toksik dan asam fitat yang merupakan senyawa anti gizi.

Sebaliknya, koro juga berpotensi sebagai pangan fungsional dengan adanya

kandungan polifenol. Jenis koro lokal antara lain koro (Mucuna pruriens),

koro pedang (Cannavalia ensiformis), koro glinding (Phaseolus lunatus),

dan koro putih.

Banyak kacang-kacangan yang dimanfaatkan sebagai makanan. Di

negara yang protein hewaninya jarang dan mahal, koro memasok sejumlah

besar protein di samping karbohidrat pada makanan manusia. Koro benguk

merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang bisa digunakan sebagai

bahan baku pengganti kedelai dalam pembuatan tempe. Kandungan gizi

koro tidak kalah dengan kedelai yaitu karbohidratnya tinggi dan protein

yang cukup tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi koro

juga mengandung beberapa senyawa yang merugikan yaitu glukosianida

yang bersifat toksik berupa asam sianida dan asam fitat yang merupakan

senyawa anti gizi.

Sianida adalah zat beracun yang sangat mematikan. Sianida dalam

dosis rendah dapat ditemukan di alam dan ada pada setiap produk yang

biasa kita makan atau gunakan. Sianida dapat diproduksi oleh bakteri, jamur

dan ganggang. Sianida juga ditemukan pada rokok, asap kendaraan

bermotor, dan makanan seperti bayam, bambu, kacang, tepung tapioka dan

Page 2: ACARA II_6.doc

singkong. Selain itu juga dapat ditemukan pada beberapa produk sintetik.

Sianida banyak digunakan pada industri terutama dalam pembuatan garam

seperti natrium, kalium atau kalsium sianida. Sedangkan asam fitat yang

juga merupakan senyawa anti gizi pada kacang-kacangan pada proses

fermentasi kandungan asam fitatnya dapat dikurangi hingga 1/3 bagiannya.

2. Tujuan

Tujuan praktikum Acara II “Kadar Sianida dan Asam Fitat Koro

Benguk” ini adalah untuk mengetahui besarnya kadar sianida dan asam fitat

pada koro benguk secara kualitatif dan kuantitatif dengan beberapa variasi

perlakuan.

B. Tinjauan Pustaka

Glikosida sianogenik merupakan senyawa yang terdapat dalam bahan

makanan nabati dan secara potensial sangat beracun karena dapat terurai dan

mengeluarkan hridrogen sianida. Hidrogen sianida dikeluarakan bila komoditi

tersebut dihancurkan, dikunyah, mengalami pengirisan, atau rusak. Bila dicerna

hidrogen sianida sangat cepat terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam

saluran darah (Winarno, 1984).

Asam fitat adalah senyawa pada kotiledon kacang-kacangan. Asam fitat

mengandung sekitar 70% fosfor. Oleh karena itu, secara alami asam fitat

merupakan sumber fosfor. Oleh karena senyawa tersebut sulit dicerna fosfor

dari asam fitat dapat digunakan oleh tubuh manusia. Asam fitat dapat mengikat

unsur-unsur mineral, terutama kalsium, seng, besi, dan magnesium, serta

mengurangi ketersediaannya bagi tubuh karena menjadi sangat sulit untuk

dicerna. Asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa

kompleks sehingga dapat menghambat pencernaan protein oleh enzim

proteolitik akibat terjadinya perubahan konformasi protein (Astawan, 2009).

Kandungan asam fitat ini membuat kacang-kacangan banyak dianjurkan

untuk dikonsumsi oleh penderita diabetes, karena asam fitat dapat

memperlambat proses pencernaan pati sehingga kandungan gula darah setelah

mengkonsumsi makanan yang kaya asam fitat tidak langsung tinggi. Namun

Page 3: ACARA II_6.doc

asam fitat mempunyai kelemahan karena dapat mengikat mineral-mineral

bervalensi dua, seperti zat besi, seng, kalsium, magnesium, mangan, tembaga,

dan lain-lain. Oleh karena itu, konsumsi bahan pangan kaya asam fitat tidak

dianjurkan untuk dikonsumsi secara berlebihan (Astawan dan Kasih, 2006).

Glikosida sianogenik dapat melepaskan sianida sehingga member efek

toksik terhadap jaringan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa sianida dapat

menyebabkan kerusakan pankreas yang akhirnya menimbulkan gejala diabetes

melitus jika disertai dengan kekurangan protein. Karenanya, protein

dibutuhkan dalam proses detoksikasi sianida (Utami dkk, 2008).

Benguk merupakan Leguminoseae yang tergolong dalam subfamily

Papilionaceae. Mucuna pruriens telah lama dikenal oleh sebagian besar

penduduk di Indonesia. Beberapa jenis Mucuna memberikan rasa gatal yang

luar biasa pada tubuh manusia, disebabkan oleh bulu-bulu halus yang terdapat

pada buahnya. Nama benguk didaerah Jawa adalah koro benguk

(Purwanto, 2007).

Koro benguk merupakan tanaman semak yang biasanya tumbuh di

daerah tandus bahkan sangat kritis sekalipun. Namun, masih sedikit

masyarakat yang mengolahnya sebagai bahan makanan karena adanya

kandungan HCN pada bijinya yang dapat mengakibatkan keracunan bahkan

sampai kematian. Sebenarnya, kadar HCN dapat ditekan sampai dibawah kadar

toleransi dengan cara yang sederhana dan mudah sehingga dapat dikonsumsi

dengan aman. Senyawa atau faktor anti-gizi yang ditemukan pada koro benguk

adalah sianida dalam bentuk sianogenik glukosida. Umumnya sianida yang

dihasilkan oleh bahan nabati tersebut bervariasi antara 10-800 mg per 100 g

bahan. Dan umumnya aktivitas senyawa ini dapat dihilangkan atau dikurangi

melalui proses pemanasan (Sudiyono, 2008).

Asam fitat (myoinositol asam hexa-fosfat, IP6) adalah senyawa fosfor

penyimpanan utama dari kebanyakan benih dan biji-bijian sereal, mungkin

mencapai lebih dari 70% dari total fosfor. Asam fitat memiliki kemampuan

yang kuat untuk khelat ion logam multivalen, khususnya seng, kalsium dan

besi. Mengikat dapat menghasilkan garam yang sangat larut dengan

Page 4: ACARA II_6.doc

bioavailabilitas miskin mineral. Selain sifat negatif yang terkenal IP6, oleh besi

kompleks, dapat membawa tentang menguntungkan penurunan pembentukan

radikal hidroksil dalam usus (Graf dan Eaton, 1993) juga positif dll terhadap

karsinogenesis telah ditunjukkan dengan in vitro sel cul- sistem mendatang,

tikus, tikus dan marmut, tetapi mekanisme aksi tidak dipahami (Harland,

1995).

Asam fitat mungkin memiliki menguntungkan dan efek merusak pada

manusia dan hewan melalui nutrisi. Beberapa manfaat dilaporkan bahwa ia

memiliki antikanker sifat dan efek pencegahan terhadap penyakit jantung dan

diabetes (Janeb dan Thompson, 2002). Efek negatif khas yang dikenal adalah

mengikat divalen seperti kation sebagai magnesium (Mg), Ca, Zn dan Fe

membentuk kompleks larut, maka mengurangi bioavailabilitasnya. Asam fitat

mampu membentuk kompleks dengan protein pada kadar pH tinggi, dan

dengan demikian merusak kecernaan dan bioavailabilitas protein biji

(Tavajjoh et al, 2011).

Cyanogenesis adalah kemampuan beberapa tanaman untuk mensintesis

glikosida sianogen, yang ketika enzymically dihidrolisis, rilis asam

cyanohydric (HCN), dikenal sebagai asam prussic (Harborne, 1972, 1986,

1993). Dalam kebanyakan kasus, hidrolisis dilakukan oleh b-glukosidase,

menghasilkan gula dan sianohidrin yang secara spontan terurai menjadi HCN

dan keton atau aldehida. Langkah kedua juga dapat dikatalisis oleh liase

hidroksinitril, yang tersebar luas di tanaman sianogen (Harborne, 1993;

Gruhnert et al, 1994). Pada tanaman utuh, enzim dan glikosida sianogen tetap

terpisah, tetapi jika jaringan tanaman rusak keduanya dimasukkan ke dalam

kontak dan aAsam cyanohydric dilepaskan. Asam cyanohydric sangat beracun

untuk spektrum yang luas dari organisme, karena kemampuannya

menghubungkan dengan logam (Fe2+,Mn2+ dan Cu2+) yang adalah kelompok

fungsional dari banyak enzim, proses menghambat seperti pengurangan

oksigen dalam rantai pernapasan sitokrom, elektron transportasi dalam

fotosintesis, dan aktivitas enzim katalase seperti, oksidase

(Franccisco dan Pinotti, 2000).

Page 5: ACARA II_6.doc

Ketidaklarutan fitat pada beberapa keadaan merupakan salah satu faktor

yang secara nutrisional dianggap tidak menguntungkan, karena dengan

demikian menjadi sukar diserap tubuh. Dengan adanya perlakuan panas, pH,

atau perubahan kekuatan ionik selama pengolahan dapat mengakibatkan

terbentuknya garam fitat yang sukar larut. Hasil penelitian Muchtadi (1998),

menunjukkan bahwa asam fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama

pengolahan, namun proses fermentasi dapat mengurangi bahkan

menghilangkan asam fitat. Sementara Tangenjaya (1979), melaporkan bahwa

pemanasan pada suhu 100 C, pH 2 selama 24 jam dapat mengurangi kadar fitat

sampai dengan 70%. Meskipun asam fitat dapat dikurangi dengan cara

pemanasan, tetapi cara ini tidak efektif dan dapat merusak komponen gizi lain,

terutama protein dan vitamin (Arief et al, 2011).

Ditinjau dari nilai gizinya, koro benguk berpeluang untuk bersaing

dengan jenis kacang-kacangan yang lain. Biji mentah koro benguk mempunyai

kadar protein 28-32%, pati 40-44%, lemak 3-4%. Disamping kandungan bahan

tadi, koro benguk juga mengandung asam sitrat dan HCN yang cukup tinggi.

Kandungan HCN dalam biji 1,66-2,00 mg/100g; endosperm 1,78-2,30

mg/100g dan lembaga 10,3-12,5 mg/100g. HCN inilah yang menjadi masalah

dalam penggunaan biji benguk sebagai bahan makanan selama ini

(Sudarmadji dkk, 1979 dalam Hardiningsih, 1994).

C. Metodologi

1. Alat

a. Tabung reaksi

b. Spektrofotometer

c. labu Kjeldahl

d. Waterbath

e. Timbangan analitik

f. Sentrifuge

g. Gelas piala 500 ml

h. Pipet 5 ml

Page 6: ACARA II_6.doc

2. Bahan

a. Koro benguk

b. Tempe koro benguk

c. Larutan HNO3

d. Larutan FeCl3

e. Amil alkohol

f. Larutan amonium tiosianat

g. Soda kue

h. Air

i. Kloroform

j. Alkalin pikrat

k. KOH 2%

3. Cara Kerja

a. Analisis Asam Fitat

Disiapkan 5 gram sampel koro benguk dengan berbagai perlakuan

Diamkan 12-13 menit

Disentrifuse pada 1000 rpm selama 10 menit

Didinginkan, kemudian ditambah 5 ml amil alkohol dan 1 ml larutan ammonium thiosianat

Direndam dalam penangas air 100oC selama 20 menit

Ditambah 0,5 ml filtrat sampel dalam tabung rekasi dengan 0,9 ml larutan HNO3 0,5 M dan larutan FeCl3

Disuspensikan dalam 50 ml larutan HNO3 dan diaduk selam 3 jam kemudia disaring.

Lapisan amil alkohol diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada λ 465 nm dengan blanko amil alkohol.

Page 7: ACARA II_6.doc

b. Analisis Kadar Sianida

D. Hasil dan Pembahasan

Tabel 2.1 Data Perhitungan Asam Fitat

kelompok Sampel Absorbansi (Å)1 Koro benguk mentah -0,3882 Koro benguk rendam 1 hari 0,9953 Koro benguk rendam air + soda kue 1 hari 0,3374 Koro benguk rendam 3 hari 0,2315 Koro benguk rendam air + soda kue 3 hari 0,2836 Koro benguk kukus 0,1277 Koro benguk rebus -0,0988 Tempe koro benguk 0,898

Sumber :Laporan Sementara

Pembahasan :Asam fitat (mio-inositol heksakisfosfat) (C6H18O24P6) merupakan

bentuk penyimpanan fosfor yang terbesar pada tanaman serealia dan

leguminosa. Bagi tubuh manusia, asam fitat (phytic acid) merupakan senyawa

kimia yang bersifat antinutrisi. Dalam bentuk biji, fitat merupakan sumber

fosforus dan inositol utama bagi tanaman yang terdapat dalam bentuk garam

dengan kalium, kalsium, magnesium, dan logam lainnya. Secara alami, asam

Ditimbang 4 gr sampel koro benguk dengan berbagai perlakuan

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 520 nm

Dimasukkan dalam waterbath berisi air mendidih 5 menit

Diambil 5ml aliquot + 5ml alkalin pikrat

HCN diserap dalam KOH 2% hingga volume total 20ml

Didestilasi

Ditambah 125 ml air + 2,5 ml kloroform dalam labu Kjedahl

Page 8: ACARA II_6.doc

fitat akan membentuk ikatan kuat dengan mineral seperti Ca, Mg dan Fe

maupun protein menjadi senyawa yang sukar larut. Hal ini menyebabkan

mineral dan protein tidak dapat diserap tubuh. Oleh karena itu, asam fitat

dianggap sebagai antinutrisi pada bahan pangan.

Kandungan fitat didalam biji-bijian dan kacang-kacangan relatif

tinggi. Fitat bisa dihidrolisis dengan bantuan asam atau enzim (indigenus atau

eksogenus). Ini sebabnya mengapa proses perkecambahan dan fermentasi

(seperti pada pembuatan tempe) bisa mereduksi kadar fitat didalam bahan.

Asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga dapat

mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan dan atau

blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan mereduksi asam fitat

dengan lebih efektif. Pemanasan tidak merusak asam fitat (karena sifatnya

tahan panas) tapi merusak struktur bahan sehingga fitat lebih mudah

terekstrak ke air perendam. Blansir akan meningkatkan suhu bahan (bagian

dalam menjadi sekitar 45-60° C) yang merupakan suhu optimum aktivitas

enzim penghidrolisis fitat yang secara alami terdapat di dalam bahan.

Sehingga, kombinasi pemanasan dan atau blansir dengan perendaman akan

mereduksi kadar fitat secara signifikan.

Dalam pembuatan filtrat untuk analisa kadar asam fitat, sampel

disuspensikan ke dalam HNO3 tujuannya untuk dapat melarutkan asam fitat

pada sampel. Setelah dilarutkan, sampel diaduk selama 3 jam bertujuan untuk

mengoptimalkan proses keluarnya asam fitat dari bahan. Dengan

dilakukannya pengadukan, HNO3 dan koro benguk akan tercampur lebih

merata, selain itu pengadukan dapat menyebabkan koro benguk menjadi

pecah, sehingga luas permukaan kontak dengan HNO3 menjadi lebih besar.

Filtrat yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi

dan direaksikan dengan larutan FeCl3 dan HNO3 0,5 M. asam fitat yang

keluar dari bahan akan berikatan dengan Fe membentuk Fe-fitat. Tabung

reaksi kemudian direndam dalam penangas air 100oC selama 20 menit setelah

dingin ditambahkan amil alkohol dan amonium tiosianat. Fe sisa akan

bereaksi dengan amonium tiosianat dan amil alkohol yang berwarna merah.

Page 9: ACARA II_6.doc

Selanjutnya, sampel disentrifuse pada 100 rpm selama 2-3 menit kemudian

didiamkan selama 12-13 menit dan ditera absorbansinya dengan panjang

gelombang 465 nm.

Penambahan larutan HNO3 ini adalah sebagai pelarut untuk

mengisolasi atau melepaskan atau melarutkan asam fitat seperti yang dilansir

nitrat Bulgarian Pharmaceutical Group (2004) dalam Hernaman et al (2007)

bahwa isolasi fitat secara industri dapat dilakukan dengan dua cara

bergantung pada medium ekstraksi yang digunakan dimana yang paling

umum dilakukan adalah melarutkannya dengan menggunakan beberapa

pelarut asam organik, seperti asam format, asetat, laktat, okasalat, sitrat,

trikloroasetat atau dilarutkan dengan asam anorganik, seperti asam

hidroklorik, dan asam. Sedangkan pengadukan selama 3 jam dilakukan untuk

mengoptimalkan proses keluarnya asam fitat dari bahan.

Seperti menurut Larian (1959) dalam Hartanti (1995) proses

pengadukan bertujuan untuk mempercepat pelarutan zat padat dengan jalan

membentuk suspensi serta melarutkan partikel-partikel ke dalam medium

pelarut. Dengan adanya pengadukan koro benguka dalam larutan HNO3 maka

koro benguk akan tercampur lebih merata, selain itu adanya pengadukan

dapat menyebabkan koro benguk menjadi pecah, sehingga luas permukaan

kontak dengan HNO3 menjadi lebih besar dan larut dalam pelarut HNO3

sehingga asam fitat dapat mempermudah pengeluaran asam fitat dalam koro

benguk.

Pada pengamatan mengenai kadar asam fitat dari koro benguk,

digunakan sampel yaitu koro benguk dengan berbagai jenis perlakuan.

Perlakuan yang diberikan di antaranya : koro benguk mentah, koro benguk

rendam air 1 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 1 hari, koro benguk

rendam air 3 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 3 hari, koro benguk

kukus, koro benguk rebus, dan tempe koro benguk. Dari berbagai perlakuan

tersebut ingin diketahui perlakuan mana yang memberikan efek pengurangan

terhadap kandungan asam fitat pada masing-masing sampel yang diberi

berbagai macam perlakuan.

Page 10: ACARA II_6.doc

Pada hasil praktikum kadar asam fitat dalam koro benguk diperoleh

data absorbansi pada sampel yang diberi perlakuan sebagai berikut, pada koro

mentah sebesar -0,388; direndam 1 hari 0,995; rendam 1 hari + Soda Kue

sebesar 0,377; rendam 3 hari sebesar 0,231; rendam 3 hari + Soda Kue

sebesar 0,283; kukus sebesar 0,127; direbus sebesar -0,098 dan tempe koro

benguk sebesar 0,898.

Dari data diatas diperoleh absorbansi tertinggi pada kelompok 2 dan 8

yaitu sampel koro benguk direndam 1 hari dan tempe koro benguk. Pada

absorbansi sampel koro benguk direndam 1 hari memperlihatkan hasil yang

paling tinggi, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar absorbansinya maka

semakin kecil kandungan asam fitatnya. Hal ini disebabkan asam fitat bersifat

larut air sehingga perendaman juga dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi

perendaman dengan pemanasan dan/atau blansir (keduanya dilakukan

sebelum perendaman) akan mereduksi asam fitat dengan lebih efektif. Jadi

urutan kandungan asam fitat dari rendah ke tinggi adalah koro benguk

mentah, koro benguk rebus, koro benguk dikukus, koro benguk direndam 3

hari, koro benguk direndam air + soda kue 3 hari, koro benguk direndam

air+soda kue 1 hari, tempe koro benguk, koro benguk direndam 1 hari.

Maka hasil absorbansi yang paling rendah pada sampel koro benguk

yang direbus pada kelompok 1 dan 7. Dari hasil yang didapat ada yang sudah

sesuai teori namun ada juga yang menyimpang. Pada sampel koro benguk

yang mentah dan direbus memperlihatkan hasil bahwa semakin kecil

absorbansinya maka semakin besar kandungan asam fitatnya. Hal ini

disebabkan Pemanasan tidak merusak asam fitat (karena sifatnya tahan panas)

tapi merusak struktur bahan sehingga fitat lebih mudah terekstrak ke air

perendam. Sedangkan koro benguk yang direndam akan membuat

perkecambahan yang mengubah asam fitat menjadi inositol sehingga kadar

asam fitat sedikit. Namun pada perendaman 3 hari justru kandungan asam

fitat lebih besar dari rendam 1 hari.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan asam fitat dalam bahan

pangan diantaranya perlakuan pengolahan (pencucuian, pemanasan,

Page 11: ACARA II_6.doc

perebusan, perendaman dan fermentasi), pH bahan dan enzim serta

penyimpanan. Hasil penelitian Muchtadi (1998), menunjukkan bahwa asam

fitat sangat tahan terhadap pemanasan selama pengolahan, namun proses

fermentasi dapat mengurangi bahkan menghilangkan asam fitat. Sedangkan

menurut Tangenjaya (1979) pemanasan pada suhu 100oC, pH 2 selama 24

jam dapat mengurangi kadar fitat sampai dengan 70%. Meskipun asam fitat

dapat dikurangi dengan cara pemanasan, tetapi cara ini tidak efektif dan dapat

merusak komponen gizi lain, terutama protein dan vitamin. Kandungan asam

fitat dalam bahan makanan juga dipengaruhi keberadaan enzim fitase yang

dapat menghidrolisis asam fitat secara bertahap menjadi senyawa turunannya,

yang dapat larut dan terserap dalam sistem pencernaan.

Bahan makanan dari tumbuhan yang mengandung fitase antara lain

gandum, gandum hitam, barley, jagung, padi dan hasil sampingnya. Akan

tetapi, menurut Tempterton et al (1965) yang dikutip oleh Lolas dan Markakis

(1977), fitase tidak stabil dalam bahan makanan sehingga tidak dapat

diharapkan sebagai sumber enzim. Distribusi fitase dalam tanaman tidak

seimbang dengan kandungan fitatnya dan ada kemungkinan aktivitas enzim

fitase dihambat oleh kandungan fitat yang tinggi. Enzim yang diisolasi dari

mikroba memiliki beberapa keunggulan, antara lain potensi produksinya tidak

terbatas, produksi fitase mikroba dalam memproduksi enzim dapat

ditingkatkan, perbanyakan mikroba relatif mudah dan murah serta dapat

dikendalikan meskipun memerlukan kondisi yang tepat.

Menurut Sutardi (1993) pada proses pembuatan tempe koro benguk

seluruh tahapan prosesnya, yaitu perendaman sampai fermentasi dapat

menurunkan kadar asam fitat dengan total penurunan mencapai 53%.

Senyawa phytate atau phytin merupakan inositol hexaphosphoriric acid yang

mengikat kalsium, magnesium dan terdapat hampir pada semua jenis kacang-

kacangan. Senyawa ini menyebabkan penurunan ketersediaan mineral karena

dapat membentuk kompleks dengan kalsium dan magnesium dapat

mengurangi nilai gizi protein dan sifat fungsional protein melalui mekanisme

pengikatan kalsium dan magnesium. Pada fermentasi tempe kara benguk

Page 12: ACARA II_6.doc

digunakan ragi dan terlibat pula berbagai jenis mikrobia yang dapat

menghasilkan enzim fitase sehingga pemecahan fitat berlangsung sangat

cepat. Keberadaan mikroorganisme pada ragi mempunyai peranan penting

khususnya dalam membantu menurunkan asam fitat. Semakin lama waktu

fermentasi, miselium jamur semakin tebal karena pertumbuhan ragi yang

semakin meningkat. Dengan pertumbuhan ragi dan semakin tebalnya

miselium jamur maka enzim fitase yang diproduksi semakin meningkat

dengan ditunjukkan semakin menurunnya kadar asam fitat.

Tabel 2.2 Kurva Standar KCN

KCN(ml) Aquades Alkalin Pikrat Å mg KCN0,0 5,0 5 0,102 00,5 4,5 5 0,08 0,061,0 4,0 5 0,132 0,121,5 3,5 5 0,297 0,182,0 3,0 5 0,025 0,242,5 2,5 5 0,282 0,3

Sumber :Laporan Sementara

Pembahasan :

Kurva standar merupakan kurva yang dibuat dari sederetan larutan

standart yang masih dalam batas linieritas sehingga dapat diregresilinierkan.

Kurva standart menunjukkan hubungan antara konsentrasi larutan (sumbu-x)

dengan absorbansi larutan (sumbu-y). Dari kurva standart akan dihasilkan

suatu persamaan yang diregresilinierkan, yaitu persamaan y = mx + c, dengan

m : kemiringan garis, dan c: konstanta. Kurva standart biasanya digunakan

untuk menunjukkan besarnya konsentrasi larutan sampel dari hasil

pengukuran atau dapat dikatakan bahwa konsetrasi sampel larutan bisa

diperoleh dengan mudah melalui kurva standart. Kurva standart harus dibuat

pada setiap kali melakukan analisis sampel yaitu bersamaan dengan analisis

sampel karena waktu analisis yang berbeda akan menghasilkan pembacaan

absorbansi yang berbeda sehingga kurva standart yang diperoleh juga akan

berbeda (anonim1, 2012).

Page 13: ACARA II_6.doc

Pada pengamatan kadar asam sianida digunakan kurva standar

KCN. Kadar KCN sebesar 120 mg dalam 1 liter aquades atau 120 mg KCN/l

setara dengan 50 µg HCN dalam 1 ml aquades. Sedangkan reaksi yang terjadi

pada asam sianida dan kalium sianida yaitu :

HCN + KOH KCN + H2O

Pada hasil praktikum data kurva standar KCN, digunakan 6

konsentrasi larutan KCN yang berbeda, yaitu 0 ml; 0,5 ml; 1 ml; 1,5 ml; 2 ml;

dan 2,5 ml. KCN yang digunakan untuk larutan standar adalah sebanyak 120

mg yang dilarutkan dalam 1000 ml aquades. Larutan standar dibaca

absorbasinya dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm.

Data absorbansi yang diperoleh untuk masing-masing konsentrasi adalah

sebagai berikut : 0 ml standar diperoleh absorbansi sebesar 0,005; pada 0,5 ml

standar sebesar 0,214; 1 ml standar sebesar 0,367; pada 1.,5 sebesar 0,583;

pada 2 ml standar sebesar 0,771; dan pada 2,5 ml standar sebesar 0,854.

Pada hasil praktikum data kurva standar KCN, didapat data mg/ml

KCN bahwa 0 ml standar diperoleh sebesar 0; pada 0,5 ml standar sebesar

0,06; 1 ml standar sebesar 0,12; pada 1,5 sebesar 0,18; pada 2 ml standar

sebesar 0,24; dan pada 2,5 ml standar sebesar 0,30. Dari nilai absorbansi yang

diperoleh, didapatkan persamaan regresi yaitu y = 2,82x + 0,0276.

Semakin tinggi ml standar KCN maka semakin tinggi pula mg/ml

KCN dan absorbansinya pun semakin tinggi. Hal ini disebabkan makin

banyak KCN yang terlarut dalam larutan standar sehingga warna larutan yang

dihasilkan makin pekat sehingga nilai absorbansinyapun semakin besar.

Dimana makin besar nilai absorbansinya menunjukkan kandungan KCN yang

terlarut juga semakin besar.

Tabel 2.3 Data Perhitungan Sianida koro benguk

Page 14: ACARA II_6.doc

kelompok Sampel Åmg

KCNHCN(mg/ml)

1 Koro benguk mentah 0,066 0,013 0,00132

2 Koro benguk rendam 1 hari 0,229 0,069 0,00690

3 Koro benguk rendam air + soda kue 1 hari 0,159 0,045 0,00450

4 Koro benguk rendam 3 hari 0,053 0,009 0,00087

5 Koro benguk rendam air + soda kue 3 hari 0,275 0,085 0,00847

6 Koro benguk kukus 0,250 0,076 0,00762

7 Koro benguk rebus 0,052 0,008 0,00084

8 Tempe koro benguk 0,079 0,018 0,00176

Sumber :Laporan Sementara

Pembahasan :Asam sianida (HCN) banyak terdapat pada umbi-umbian dan kacang-

kacangan, salah satunya koro benguk. HCN dihasilkan jika produk

dihancurkan, dikunyah, diiris atau diolah. Jika dicerna, HCN sangat cepat

terserap oleh alat pencernaan masuk ke dalam saluran darah dan terikat

bersama oksigen. Bahaya HCN terutama pada sistem pernafasan, dimana

oksigen dalam darah terikat oleh senyawa HCN dan terganggunya sistem

pernafasan (sulit bernafas). Tergantung jumlah yang dikonsumsi, HCN dapat

menyebabkan kematian jika pada dosis 0,5-3,5 mg HCN/kg berat badan

(Winarno, 2002).

Pada pengamatan mengenai kadar asam sianida dari koro benguk,

digunakan sampel yaitu koro benguk dengan berbagai jenis perlakuan.

Perlakuan yang diberikan di antaranya : koro benguk mentah, koro benguk

rendam air 1 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 1 hari, koro benguk

rendam air 3 hari, koro benguk rendam air dan soda kue 3 hari, koro benguk

kukus, koro benguk rebus, dan tempe koro benguk. Dari berbagai perlakuan

tersebut ingin diketahui perlakuan mana yang memberikan efek pengurangan

Page 15: ACARA II_6.doc

terhadap kandungan asam sianida pada masing-masing sampel yang diberi

berbagai macam perlakuan.

Dalam penentuan kadar sianida sampel dilarutkan pada air dan

ditambahkan kloroform yang berfungsi mendestruksi HCN pada sampel.

Kemudian sampel didestilasi dalam labu Kjeldahl dan HCN diserap dalam

KOH 2%. Selanjutnya ditambah alkalin pikrat dan dimasukkan dalam

waterbath selama 5 menit, setelah itu diukur absorbansinya pada panjang

gelombang 520 nm.

Berdasarkan hasil praktikum didapatkan kadar asam sianida dari

masing-masing sampel yang diwakili dengan nilai absorbansi. Urutan nilai

absorbansi sampel dari yang terbesar adalah koro benguk direndam air + soda

kue 3 hari (0,275), koro benguk dikukus (0,250), koro benguk direndam 1

hari (0,229), koro benguk rendam air + soda kue 1 hari (0,156), tempe koro

benguk (0,079), koro benguk mentah (0,066), koro benguk direndam 3 hari

(0,053) dan koro benguk rebus (0,052). Makin tinggi nilai absorbansinya

maka makin pekat pekat warna larutan karena makin tinggi atau makin

banyak HCN yang terlarut dan yang terkandung dalam koro benguk. Apabila

nilai absorbansi makin rendah maka makin bening warna larutan karena

makin rendah atau makin sedikit HCN yang terlarut dan yang terkandung

dalam koro benguk. Nilai absorbansi berbanding lurus dengan kadar sianida

di dalam bahan. Makin besar absorbansi yang didapat maka makin besar mg

KCN, makin besar HCN yang terlarut dalam air rendaman maka kadar mg/ml

HCN pun makin besar.

Dari hasil praktikum diatas diperoleh data kadar HCN (mg/ml) pada

tiap sampel dari yang terbesar ke terkecil adalah sebagai berikut koro benguk

direndam air + soda kue 3 hari (0,00847), koro benguk dikukus (0,0076),

koro benguk direndam 1 hari (0,00690), koro benguk rendam air + soda kue 1

hari (0,00450), tempe koro benguk (0,00176), koro benguk mentah (0,0132),

koro benguk direndam 3 hari (0,00087) dan koro benguk rebus (0,00084).

Berdasarkan data hasil praktikum mg kadar HCN (mg/ml) kurang dari 0,5-3,5

mg HCN/kg berat badan. Hal ini memperlihatkan bahwa koro benguk

Page 16: ACARA II_6.doc

tersebut masih aman untuk dikonsumsi sebab kadarnya masih aman (< 0,5-

3,5 mg HCN/kg berat badan).

Selain itu kadar HCN pada koro benguk tidak terlalu tinggi pada koro

benguk karena diberi perlakuan perendaman, perebusan, dan penambahan

soda kue dimana perlakuan tersebut dapat mengurangi atau bahkan

menghilangkan kandungan HCN dalam koro benguk. Hal ini menunjukkan

bahwa perlakuan pada koro benguk dapat berpengaruh pada kadar asam

sianida yang terkandung di dalamnya. Perlakuan yang dapat diberikan antara

lain penambahan soda kue, variasi lama perendaman, perlakuan suhu panas

(kukus dan rebus), dan pengolahan menjadi tempe. Kadar sianida pada

sampel yang diberi soda kue lebih rendah dibandingkan yang tidak ditambah

soda kue. Hal ini disebabkan soda kue menghambat penyerapan/terlarutnya

HCN pada air rendaman. Semakin lama perendaman dapat menurunkan kadar

sianida yang lebih banyak.

Faktor yang mempengaruhi kandungan sianida dalam bahan pangan

yaitu cara pengolahan makanan. Menurut Sudaryanto (1992) kandungan

sianida dapat diturunkan dengan beberapa cara, yaitu perendaman, pencucian,

pengukusan, pengeringan, fermentasi, atau kombinasi dari beberapa

perlakuan. Hal ini duperkuat oleh Muchtadi (1989) yang menyatakan bahwa

titik didih HCN adalah 26oC, oleh karena itu penyimpanan hasil tanaman

pada suhu dan kelembapan yang tinggi akan mengakibatkan turunnya kadar

HCN secara bertahap. Saono (1976) juga menyebutkan bahwa bahan

makanan yang telah difermentasi memiliki nilai gizi yang lebih tinggi

dibandingkan bahan asalnya, karena komponen-komponen kompleks diubah

oleh mikroorganisme menjadi zat-zat yang lebih sederhana dan mudah

dicerna. Fermentasi secara tradisional akan memperbaiki sifat dari bahan

seperti lebih mudah dicerna, tahan disimpan, dan menurunkan zat anti nutrisi.

Sedangkan pada bahan pangan dalam bentuk mentah faktor lain yang

mempengaruhi kandungan sianidanya adalah genetik tanaman, umur

tanaman, tingkat kematangan dan kesuburan tanah seperti yang diuaraikan

Wobeto et al (2007).

Page 17: ACARA II_6.doc

E. KESIMPULAN

Dari praktikum kadar sianida dan asam fitat koro benguk diatas dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Asam fitat dan senyawa fitat dapat mengikat mineral seperti kalsium,

magnesium, seng dan tembaga sehingga berpotensi mengganggu

penyerapan mineral. Selain mengikat mineral, fitat juga bisa berikatan

dengan protein sehingga menurunkan nilai cerna protein bahan.

2. Sianida adalah senyawa kimia yang mengandung kelompok siano C≡N,

dengan atom karbon terikat-tiga ke atom nitrogen.

3. Jadi urutan kandungan asam fitat dari rendah ke tinggi adalah koro benguk

mentah, koro benguk rebus, koro benguk dikukus, koro benguk direndam

3 hari, koro benguk direndam air + soda kue 3 hari, koro benguk direndam

air+soda kue 1 hari, tempe koro benguk, koro benguk direndam 1 hari.

4. Absorbansi tertinggi asam fitat pada kelompok 2 dan 8 yaitu sampel koro

benguk direndam 1 hari dan tempe koro benguk.

5. Absorbansi yang paling rendah pada sampel koro benguk mentah dan

direbus pada kelompok 1 dan 7.

6. Semakin besar absorbansinya maka semakin kecil kandungan asam

fitatnya.

7. Hal ini disebabkan asam fitat bersifat larut air sehingga perendaman juga

dapat mereduksi kadar fitat. Kombinasi perendaman dengan pemanasan

dan/atau blansir (keduanya dilakukan sebelum perendaman) akan

mereduksi asam fitat dengan lebih efektif.

8. Dari hasil praktikum diatas diperoleh data kadar HCN (mg/ml) pada tiap

sampel dari yang terbesar ke terkecil adalah sebagai berikut koro benguk

direndam air + soda kue 3 hari (0,00847), koro benguk dikukus (0,0076),

koro benguk direndam 1 hari (0,00690), koro benguk rendam air + soda

kue 1 hari (0,00450), tempe koro benguk (0,00176), koro benguk mentah

(0,0132), koro benguk direndam 3 hari (0,00087) dan koro benguk rebus

(0,00084).

Page 18: ACARA II_6.doc

9. Makin tinggi nilai absorbansi HCN maka makin pekat pekat warna larutan

karena makin tinggi atau makin banyak HCN yang terlarut dan yang

terkandung dalam koro benguk.

10. Makin besar absorbansi yang didapat maka makin besar mg KCN, makin

besar HCN yang terlarut dalam air rendaman maka kadar mg/ml HCN pun

makin besar.

11. Semakin tinggi ml standar KCN maka semakin tinggi pula mg/ml KCN

dan absorbansinya pun semakin tinggi.

12. Hal ini disebabkan makin banyak KCN yang terlarut dalam larutan standar

sehingga warna larutan yang dihasilkan makin pekat sehingga nilai

absorbansinyapun semakin besar. Dimana makin besar nilai absorbansinya

menunjukkan kandungan KCN yang terlarut juga semakin besar.

Page 19: ACARA II_6.doc

LAMPIRAN

a. Perhitungan Kurva Standar KCN

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml

120/1000 x 0 = 0

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0,5 ml

120/1000 x 0,5 = 0,06

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml

120/1000 x 1 = 0,12

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml

120/1000 x 1,5 = 0,18

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml

120/1000 x 2 = 0,24

mg/ml KCN (x), untuk KCN 0 ml

120/1000 x 2,5 = 0,3

b. persamaan kurva standar

y = 2,29 x + 0,0276

c. Perhitungan kadar HCN sampel koro benguk rendam air 1 hari

mg KCN (x) y = 2,29 x + 0,0276

0,229 = 2,29 x + 0,027

x = 0,069

d. HCN = x fp x 100

= (0,069/4000) x 20/5 x 100

= 0,00690 mg/ml

Page 20: ACARA II_6.doc