acara ii (repaired)

14
ACARA II ABU A. Tujuan Tujuan dari praktikum Acara II. Abu adalah menghitung kadar abu secara kering (dry ashing) dengan berbagai sampel. B. Tinjauan Pustaka Kadar abu dalam B. filamelosus, M. rume dan T. niloticus telah ditetapkan dari 10-15% (Emokpae dan Ajayi, 1989). B. niloticus dan C. gariepinus memiliki kadar abu 5%. Hasil ini jauh lebih rendah (untuk C. gariepinus) dari hasil yang diperoleh dari Danau Geriyo (Edward, 2007). Kadar abu dalam ikan dianalisis merupakan indikasi dari kandungan mineral yang ada dalam ikan (Onyia dkk, 2010). Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penurunan kadar abu ini disebabkan oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam sampel buah nipa. Pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan hanya dapat mengabukan sebagian mineral yang ada di permukaan, sehingga penurunan kadar abu bahan relatif kecil. Sedangkan pada suhu pengeringan yang lebih tinggi

Upload: deviy-novitasary-s

Post on 13-Dec-2014

114 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Acara II (Repaired)

ACARA II

ABU

A. Tujuan

Tujuan dari praktikum Acara II. Abu adalah menghitung kadar abu

secara kering (dry ashing) dengan berbagai sampel.

B. Tinjauan Pustaka

Kadar abu dalam B. filamelosus, M. rume dan T. niloticus telah

ditetapkan dari 10-15% (Emokpae dan Ajayi, 1989). B. niloticus dan C.

gariepinus memiliki kadar abu 5%. Hasil ini jauh lebih rendah (untuk C.

gariepinus) dari hasil yang diperoleh dari Danau Geriyo (Edward, 2007).

Kadar abu dalam ikan dianalisis merupakan indikasi dari kandungan mineral

yang ada dalam ikan (Onyia dkk, 2010).

Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang

dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penurunan kadar abu ini disebabkan

oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam

sampel buah nipa. Pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima

oleh bahan hanya dapat mengabukan sebagian mineral yang ada di

permukaan, sehingga penurunan kadar abu bahan relatif kecil. Sedangkan

pada suhu pengeringan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama,

panas yang diterima oleh bahan selain digunakan untuk mengabukan mineral

pada permukaan bahan, juga dapat mengabukan mineral yang terikat di dalam

bahan (Herman dkk, 2011).

Pengabuan kering adalah metode yang dapat digunakan untuk

penentuan beberapa elemen dalam sampel ikan dan seafood termasuk Pb, Cd,

Cu, Zn, Cr, Mn, Co, Na dan K. Telah dilaporkan bahwa kelemahan utama

untuk pengabuan kering adalah hilangnya logam akibat penguapan. Namun,

jika suhu dalam tanur 450-500°C, kerugian dari volatilisasi sedikit. Metode

pengabuan kering tidak banya memakan waktu dari pada metode pengabuan

basah. Ketika kadar Pb dan Cd terlalu rendah untuk ditentukan secara

Page 2: Acara II (Repaired)

langsung, ekstraksi pelarut dapat digunakan untuk memekatkan elamen ini

(Elmer, 1996).

.Dua teknik yang paling banyak digunakan yaitu didasarkan pada

pengabuan kering atau wet digestion (pencernaan basah). Kedua teknik ini

memiliki kelebihan serta kekurangan. Pemilihan teknik harus berdasarkan

kebutuhan pengguna tertentu. Pengabuan kering menyediakan batas deteksi

yang baik dan membutuhkan sedikit perawatan, tapi membutuhkan waktu

yang banyak dan sensitif terhadap kontaminasi. Wet digestion sangat cepat

dan biasanya tidak sensitif terhadap kontaminasi, tapi butuh tenaga kerja

intensif dan biasanya larutannya agak encer (Jorhem dan Engman, 2000).

Pengamatan edible portion ikan patin yang dinyatakan dalam persen

(%) diukur berdasarkan berat daging yang bisa dimakan dibagi dengan bagian

ikan seluruhnya. Untuk melihat kandungan gizinya, dilakukan analisis

proksimat yang meliputi kadar air dengan metode SNI 01-2354.2-2006, kadar

abu dengan metode SNI 01-2354.1-2006, kadar protein dengan metode SNI

01-2354.4-2006, dan kadar lemak dengan metode SNI 01-2354.3-2006

(Suryaningrum dkk, 2010).

Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar lemak, protein, abu, dan

serat. Kadar air pati dan tepung dianalisis menggunakan oven pada suhu

105oC sampai bobot konstan. Kadar abu dianalisis dengan cara pengabuan di

dalam Tanur, pemanasan dengan suhu 500-600oC selama 6 jam (SNI 01-

2891-1992). Penetapan kadar lemak dengan metode Soxhlet menggunakan

petroleum ether sebagai pelarut (AOAC, 1984) (Richana, 2004).

Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara

pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan

yaitu antara lain: untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan;

untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan; penentuan abu total sangat

berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Penentuan abu total

dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering atau cara langsung dan

dapat pula secara basah atau cara tidak langsung. Penentuan kadar abu

Page 3: Acara II (Repaired)

adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi,

yaitu sekitar 500-600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang

tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Ikan dan hasil olahannya

serta bahan hasil laut, rempah-rempah, keju, anggur dapat menggunakan

suhu pengabuan 500°C. Pengabuan diatas 600°C tidak dianjurkan karena

menyebabkan hilangnya zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida

dari logam alkali. Cara kering biasa digunakan untuk penentuan total abu

dalam suatu bahan makanan dan hasil pertanian, untuk penentuan abu yang

larut dan tidak larut dalam air, cara kering memerlukan suhu yang relatif

tinggi, cara kering dapat digunakan untuk sampel yang relatif banyak

(Sudarmadji, 2010).

Abu terkait negatif dengan konstanta dielektrik. Secara umum,

semakin tinggi kadar abu, maka semakin rendah konstanta dielektrik. Abu

sebagian besar terdiri dari garam yang mengikat air molekul dan

mengurangi kemampuan mereka untuk reorientasi diri untuk mengubah arah

medan elektromagnetik. Hal ini akan menurunkan konstanta dielektrik

(Sipahioglu, 2003).

Faktor alam (ekstrinsik), yaitu semua factor luar (tidak berasal dari

ikan yang dapat mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini

terdiri dari daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia.

Daerah kehidupan ini erat sekali hubungannya dengan sumber makanan

baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Komposisi rata-rata daging ikan

salem dari beberapa daerah kehidupan:

Komposisi KadarSalem dari

AtlantikSalem dari

PasifikSalem dari

danauAir % 63.61 78.54 63.61

Protein % 21.61 17.24 17.74Lemak % 13.38 2.98 17.87

Abu % 1.41 1.24 1.6(Muchtadi dkk, 2011).

Page 4: Acara II (Repaired)

Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam

Cawan didinginkan dalam exsikator dan dtimbang (X)

Sampel kering ditimbang 1,5-2 gram (Y) dalam cawan

Cawan porselin yang berisi sampel dibakar sempurna dalam tanur pada suhu 600oC selama 12 jam tau sampai

berbentuk abu sempurna

Pindahkan cawan dalam oven suhu 120oC selama 1 jam dan dinginkan dalam eksikator

Setelah dingin ditimbang (Z)

C. Metodologi

1. Alat

a. Cawan porselin

b. Eksikator

c. Timbangan analitik

d. Penjepit

e. Tanur (muffle frunance)

2. Bahan

a. Sampel produk dari ikan A, B, C, D dan E

3. Cara Kerja

Page 5: Acara II (Repaired)

D. Hasil dan Pembahasan

Tabel 2.1 Penentuan Kadar Abu secara Kering

Kel SampelBerat

kurs awal (gr)

Berat kurs

akhir (gr)

Berat sampel

(gr)

Berat abu (gr)

% kadar abu

Rata -rata

1A

17,867 17,9408 1,9422 0,0738 3,7926,6%6 18,9356 20,3381 1,9754 1,4025 70,99

11 18,417 18,4843 1,9305 0,0673 3,42

B19,0483 19,3587 2,1394 0,9104 42,5

35,16%7 19,2563 19,826 1,9824 0,5697 28,733

C19,9437 20,0141 1,9438 0,0704 3,62

39,235%8 19,0542 20,6003 2,0655 1,5461 74,854

D17,1796 17,2382 1,9502 0,0586 3,005

2,8525%9 19,3677 19,4232 2,055 0,0555 2,75

E19,6496 19,8521 1,9502 0,2025 10,38

6,635%10 19,224 19,2801 1,9397 0,0561 2,89

Sumber : Laporan Sementara

Keterangan:

A : King Fisher Sarden

B : Maya Sarden Saus Tomat

C : Gaga Sarden

D : ABC Sarden Saus Cabai

E : Maya Sarden Saus Cabai

Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara

pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan

yaitu antara lain: untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan;

untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan; penentuan abu total sangat

berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. (Sudarmadji, 2010).

Pada praktikum penentuan kadar abu kali ini menggunakan metode kering

(dry ashing) atau penentuan secara langsung. Prinsip penentuan kadar abu

cara kering adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu

tinggi, yaitu sekitar 500-600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat

yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Penentuan kadar abu

dengan metode SNI 01-2354.1-2006 (Suryaningrum dkk, 2010). Analisis

Page 6: Acara II (Repaired)

kadar abu ditujukan untuk mengetahui kandungan mineral dan elemen yang

ada di dalam bahan pangan. Hal ini sesuai dengan teori Elmer (1996), yang

menyatakan pengabuan kering adalah metode yang dapat digunakan untuk

penentuan beberapa elemen dalam sampel ikan dan seafood termasuk Pb, Cd,

Cu, Zn, Cr, Mn, Co, Na dan K.

Terdapat 5 macam sampel uji yang digunakan yaitu sampel A, B, C,

D,dan E, yang berasal dari berbagai merk sarden. Terlebih dahulu kurs

porselin yang akan digunakan sebagai wadah sampel harus dikeringkan ke

dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. Tujuannya adalah agar krus

porselin mempunyai berat yang konstan. Setelah itu, timbang 1,5-2 gram dari

masing-masing sampel yang akan diabukan ke dalam krus dan dimasukkan ke

dalam krus yang telah diketahui beratnya. Sampel kemudian

diarangkan/dipanaskan di atas kompor listrik hingga tidak terbentuk asap

(asapnya habis). Setelah proses pembakaran selesai, sampel akan berubah

menjadi arang yang berwarna hitam dan kemudian dimasukkan ke dalam

tanur pada suhu 600°C hingga tebentuk abu sempurna (berwarna putih).

Setelah itu, krus dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120°C selama 1 jam

dan kemudian didinginkan dalam exsikator. Setelah dingin dilakukan

penimbangan.

Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan rata-rata kadar abu masing-

masing sampel berturut-turut dari yang paling besar yaitu sampel C (Gaga

Sarde) sebesar 39,235%; sampel B (Maya Sarden Saus Tomat) sebesar

35,16%; sampel A (King Fisher sarden) sebesar 26,6%; sampel E (Maya

Sarden Saus Tomat); dan terakhir sampel D (ABC Sarden Saus Tomat)

sebesar 2,8525%. Dari data tersebut terdapat selisih kadar abu yang cukup

besar antar sampel, begitu pula dengan hasil setiap kelompok dalam satu jenis

sampel juga terdapat selisih yang cukup besar. Misalnya pada sampel A,

untuk kelompok 1 dan 11 menghasilkan kadar abu tidak lebih dari 5%,

sedangkan pada kelompok 6 menghasilkan kadar abu lebih dari 70%.

Perbedaan jumlah kadar abu yang terpaut cukup jauh dalam satu sampel juga

dialami oleh sampel B dan C. Seharusnya hasil perhitungan kadar air pada

Page 7: Acara II (Repaired)

sampel yang sama memiliki selisih yang tidak terpaut jauh. Menurut teori

yang ada, kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang

dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penurunan kadar abu ini disebabkan

oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam

sampel. Pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan

hanya dapat mengabukan sebagian mineral yang ada di permukaan, sehingga

penurunan kadar abu bahan relatif kecil. Sedangkan pada suhu pengeringan

yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama, panas yang diterima oleh

bahan selain digunakan untuk mengabukan mineral pada permukaan bahan,

juga dapat mengabukan mineral yang terikat di dalam bahan (Herman dkk,

2011). Jumlah kadar abu berbanding lurus dengan banyaknya kandungan

mineral. Semakin besar kadar abu yang dihasilkan, maka semakin banyak

pula mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.

Selain itu, perbedaan kadar abu ini disebabkan oleh keadaan habitat

ikan. Menurut Muchtadi (2011), faktor alam (ekstrinsik), yaitu semua faktor

luar (tidak berasal dari ikan yang dapat mempengaruhi komposisi daging

ikan. Golongan faktor ini terdiri dari daerah kehidupannya, musim dan jenis

makanan yang tersedia. Daerah kehidupan ini erat sekali hubungannya

dengan sumber makanan baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Dimana,

semakin banyak cemaran dan mineral yang terkandung di dalam suatu

perairan, maka semakin banyak pula kandungan mineral yang akan masuk ke

dalam ikan tersebut, sehingga pada saat diabukan akan berpengaruh terhadap

jumlah kadar abu. Seringkali produsen tidak hanya mendatangkan bahan baku

ikan pada satu tempat yang sama, melainkan dari berbagai tempat/perairan

yang berbeda. Sedangkan setiap perairan memiliki kandungan yang berbeda

pula. Keadaan tersebutlah yang mungkin menyebabkan adanya

penyimpangan data. Penyimpangan juga dapat terjadi karena kesalahan saat

penimbangan atau abu ada yang menyerap air karena dibiarkan di udara

terbuka terlalu lama saat menunggu ditimbang sehingga abu akan menarik air

dan mempengaruhi berat saat ditimbang. Akibatanya kan mempengaruhi

ketepatan analisis.

Page 8: Acara II (Repaired)

E. Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil dari praktikum penetuan kadar abu ini

adalah:

1. Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.

2. Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang

dikandung dalam bahan pangan tersebut.

3. Tujuan penentuan abu total yaitu untuk menentukan baik tidaknya suatu

proses pengolahan, untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan,

sebagai parameter nilai gizi bahan makanan dan menunjukkan jumlah

mineral yang dikandung dalam bahan pangan.

4. Rata-rata kadar abu masing-masing sampel berturut-turut dari yang paling

besar yaitu sampel C (Gaga Sarde), sampel B (Maya Sarden Saus

Tomat), sampel A (King Fisher sarden), sampel E (Maya Sarden Saus

Tomat), dan terakhir sampel D (ABC Sarden Saus Tomat).

5. Semakin besar kadar abu yang dihasilkan, semakin banyak pula kadungan

mineral dalam bahan pangan tersebut.

6. Penurunan kadar abu disebabkan oleh berkurangnya mineral yang

terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam sampel.

7. Penentuan kadar abu diatur dengan metode SNI 01-2354.1-2006.

Page 9: Acara II (Repaired)

DAFTAR PUSTAKA

Elmer, Perkin. 1996. Analytical Methods for Atomic Absorption Spectroscopy. The Perkin-Elmer Corporation. USA.

Herman, dkk. 2011. Analisis Kadar Mineral Dalam Abu Buah Nipa (Nypa Fructicans) Kaliwanggu Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Trop. Pharm. Chem. (Indonesia) Volume 1, Nomor 2.

Jorhem, Lars dan Engman Joakim. 2000. Determination of Lead, Cadmium, Zinc, Copper, and Iron in Foods by Atomic Absorption Spectrometry after Microwave Digestion: NMKL1 Collaborative Study. Journal of AOAC International Volume 83, Nomor 5.

Muchtadi, Tien R dkk. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.

Onyia, L.U dkk. 2010. Proximate And Mineral Composition In Some Freshwater Fishes In Upper River Benue, Yola, Nigeria. Journal Food Science and Technology Volume 4: 1-6.

Richana, Nur. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimiatepung Umbi Dan Tepung Pati Dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa Dan Gembili. Jurnal Pascapanen Volume 1, Nomor 1.

Sipahioglu, O dkk. 2003. Dielectric Properties of Vegetables and Fruits as a Function of Temperature, Ash, and Moisture Content. Journal of Food Science Vol. 68, No. 1.

Sudarmadji, Slamet dkk. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suryaningrum, Th. Dwi dkk. 2010. Profil Sensori Dan Nilai Gizi Beberapa Jenis Ikan Patin Dan Hibrid Nasutus. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Volume 5, Nomor 2.