acara ii (repaired)
TRANSCRIPT
ACARA II
ABU
A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara II. Abu adalah menghitung kadar abu
secara kering (dry ashing) dengan berbagai sampel.
B. Tinjauan Pustaka
Kadar abu dalam B. filamelosus, M. rume dan T. niloticus telah
ditetapkan dari 10-15% (Emokpae dan Ajayi, 1989). B. niloticus dan C.
gariepinus memiliki kadar abu 5%. Hasil ini jauh lebih rendah (untuk C.
gariepinus) dari hasil yang diperoleh dari Danau Geriyo (Edward, 2007).
Kadar abu dalam ikan dianalisis merupakan indikasi dari kandungan mineral
yang ada dalam ikan (Onyia dkk, 2010).
Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang
dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penurunan kadar abu ini disebabkan
oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam
sampel buah nipa. Pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima
oleh bahan hanya dapat mengabukan sebagian mineral yang ada di
permukaan, sehingga penurunan kadar abu bahan relatif kecil. Sedangkan
pada suhu pengeringan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama,
panas yang diterima oleh bahan selain digunakan untuk mengabukan mineral
pada permukaan bahan, juga dapat mengabukan mineral yang terikat di dalam
bahan (Herman dkk, 2011).
Pengabuan kering adalah metode yang dapat digunakan untuk
penentuan beberapa elemen dalam sampel ikan dan seafood termasuk Pb, Cd,
Cu, Zn, Cr, Mn, Co, Na dan K. Telah dilaporkan bahwa kelemahan utama
untuk pengabuan kering adalah hilangnya logam akibat penguapan. Namun,
jika suhu dalam tanur 450-500°C, kerugian dari volatilisasi sedikit. Metode
pengabuan kering tidak banya memakan waktu dari pada metode pengabuan
basah. Ketika kadar Pb dan Cd terlalu rendah untuk ditentukan secara
langsung, ekstraksi pelarut dapat digunakan untuk memekatkan elamen ini
(Elmer, 1996).
.Dua teknik yang paling banyak digunakan yaitu didasarkan pada
pengabuan kering atau wet digestion (pencernaan basah). Kedua teknik ini
memiliki kelebihan serta kekurangan. Pemilihan teknik harus berdasarkan
kebutuhan pengguna tertentu. Pengabuan kering menyediakan batas deteksi
yang baik dan membutuhkan sedikit perawatan, tapi membutuhkan waktu
yang banyak dan sensitif terhadap kontaminasi. Wet digestion sangat cepat
dan biasanya tidak sensitif terhadap kontaminasi, tapi butuh tenaga kerja
intensif dan biasanya larutannya agak encer (Jorhem dan Engman, 2000).
Pengamatan edible portion ikan patin yang dinyatakan dalam persen
(%) diukur berdasarkan berat daging yang bisa dimakan dibagi dengan bagian
ikan seluruhnya. Untuk melihat kandungan gizinya, dilakukan analisis
proksimat yang meliputi kadar air dengan metode SNI 01-2354.2-2006, kadar
abu dengan metode SNI 01-2354.1-2006, kadar protein dengan metode SNI
01-2354.4-2006, dan kadar lemak dengan metode SNI 01-2354.3-2006
(Suryaningrum dkk, 2010).
Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar lemak, protein, abu, dan
serat. Kadar air pati dan tepung dianalisis menggunakan oven pada suhu
105oC sampai bobot konstan. Kadar abu dianalisis dengan cara pengabuan di
dalam Tanur, pemanasan dengan suhu 500-600oC selama 6 jam (SNI 01-
2891-1992). Penetapan kadar lemak dengan metode Soxhlet menggunakan
petroleum ether sebagai pelarut (AOAC, 1984) (Richana, 2004).
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan
yaitu antara lain: untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan;
untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan; penentuan abu total sangat
berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. Penentuan abu total
dapat dikerjakan dengan pengabuan secara kering atau cara langsung dan
dapat pula secara basah atau cara tidak langsung. Penentuan kadar abu
adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu yang tinggi,
yaitu sekitar 500-600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang
tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Ikan dan hasil olahannya
serta bahan hasil laut, rempah-rempah, keju, anggur dapat menggunakan
suhu pengabuan 500°C. Pengabuan diatas 600°C tidak dianjurkan karena
menyebabkan hilangnya zat tertentu misalnya garam klorida ataupun oksida
dari logam alkali. Cara kering biasa digunakan untuk penentuan total abu
dalam suatu bahan makanan dan hasil pertanian, untuk penentuan abu yang
larut dan tidak larut dalam air, cara kering memerlukan suhu yang relatif
tinggi, cara kering dapat digunakan untuk sampel yang relatif banyak
(Sudarmadji, 2010).
Abu terkait negatif dengan konstanta dielektrik. Secara umum,
semakin tinggi kadar abu, maka semakin rendah konstanta dielektrik. Abu
sebagian besar terdiri dari garam yang mengikat air molekul dan
mengurangi kemampuan mereka untuk reorientasi diri untuk mengubah arah
medan elektromagnetik. Hal ini akan menurunkan konstanta dielektrik
(Sipahioglu, 2003).
Faktor alam (ekstrinsik), yaitu semua factor luar (tidak berasal dari
ikan yang dapat mempengaruhi komposisi daging ikan. Golongan faktor ini
terdiri dari daerah kehidupannya, musim dan jenis makanan yang tersedia.
Daerah kehidupan ini erat sekali hubungannya dengan sumber makanan
baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Komposisi rata-rata daging ikan
salem dari beberapa daerah kehidupan:
Komposisi KadarSalem dari
AtlantikSalem dari
PasifikSalem dari
danauAir % 63.61 78.54 63.61
Protein % 21.61 17.24 17.74Lemak % 13.38 2.98 17.87
Abu % 1.41 1.24 1.6(Muchtadi dkk, 2011).
Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 1 jam
Cawan didinginkan dalam exsikator dan dtimbang (X)
Sampel kering ditimbang 1,5-2 gram (Y) dalam cawan
Cawan porselin yang berisi sampel dibakar sempurna dalam tanur pada suhu 600oC selama 12 jam tau sampai
berbentuk abu sempurna
Pindahkan cawan dalam oven suhu 120oC selama 1 jam dan dinginkan dalam eksikator
Setelah dingin ditimbang (Z)
C. Metodologi
1. Alat
a. Cawan porselin
b. Eksikator
c. Timbangan analitik
d. Penjepit
e. Tanur (muffle frunance)
2. Bahan
a. Sampel produk dari ikan A, B, C, D dan E
3. Cara Kerja
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2.1 Penentuan Kadar Abu secara Kering
Kel SampelBerat
kurs awal (gr)
Berat kurs
akhir (gr)
Berat sampel
(gr)
Berat abu (gr)
% kadar abu
Rata -rata
1A
17,867 17,9408 1,9422 0,0738 3,7926,6%6 18,9356 20,3381 1,9754 1,4025 70,99
11 18,417 18,4843 1,9305 0,0673 3,42
B19,0483 19,3587 2,1394 0,9104 42,5
35,16%7 19,2563 19,826 1,9824 0,5697 28,733
C19,9437 20,0141 1,9438 0,0704 3,62
39,235%8 19,0542 20,6003 2,0655 1,5461 74,854
D17,1796 17,2382 1,9502 0,0586 3,005
2,8525%9 19,3677 19,4232 2,055 0,0555 2,75
E19,6496 19,8521 1,9502 0,2025 10,38
6,635%10 19,224 19,2801 1,9397 0,0561 2,89
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan:
A : King Fisher Sarden
B : Maya Sarden Saus Tomat
C : Gaga Sarden
D : ABC Sarden Saus Cabai
E : Maya Sarden Saus Cabai
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara
pengabuannya. Penentuan abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan
yaitu antara lain: untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan;
untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan; penentuan abu total sangat
berguna sebagai parameter nilai gizi bahan makanan. (Sudarmadji, 2010).
Pada praktikum penentuan kadar abu kali ini menggunakan metode kering
(dry ashing) atau penentuan secara langsung. Prinsip penentuan kadar abu
cara kering adalah dengan mengoksidasikan semua zat organik pada suhu
tinggi, yaitu sekitar 500-600°C dan kemudian melakukan penimbangan zat
yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut. Penentuan kadar abu
dengan metode SNI 01-2354.1-2006 (Suryaningrum dkk, 2010). Analisis
kadar abu ditujukan untuk mengetahui kandungan mineral dan elemen yang
ada di dalam bahan pangan. Hal ini sesuai dengan teori Elmer (1996), yang
menyatakan pengabuan kering adalah metode yang dapat digunakan untuk
penentuan beberapa elemen dalam sampel ikan dan seafood termasuk Pb, Cd,
Cu, Zn, Cr, Mn, Co, Na dan K.
Terdapat 5 macam sampel uji yang digunakan yaitu sampel A, B, C,
D,dan E, yang berasal dari berbagai merk sarden. Terlebih dahulu kurs
porselin yang akan digunakan sebagai wadah sampel harus dikeringkan ke
dalam oven pada suhu 105°C selama 1 jam. Tujuannya adalah agar krus
porselin mempunyai berat yang konstan. Setelah itu, timbang 1,5-2 gram dari
masing-masing sampel yang akan diabukan ke dalam krus dan dimasukkan ke
dalam krus yang telah diketahui beratnya. Sampel kemudian
diarangkan/dipanaskan di atas kompor listrik hingga tidak terbentuk asap
(asapnya habis). Setelah proses pembakaran selesai, sampel akan berubah
menjadi arang yang berwarna hitam dan kemudian dimasukkan ke dalam
tanur pada suhu 600°C hingga tebentuk abu sempurna (berwarna putih).
Setelah itu, krus dimasukkan ke dalam oven pada suhu 120°C selama 1 jam
dan kemudian didinginkan dalam exsikator. Setelah dingin dilakukan
penimbangan.
Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan rata-rata kadar abu masing-
masing sampel berturut-turut dari yang paling besar yaitu sampel C (Gaga
Sarde) sebesar 39,235%; sampel B (Maya Sarden Saus Tomat) sebesar
35,16%; sampel A (King Fisher sarden) sebesar 26,6%; sampel E (Maya
Sarden Saus Tomat); dan terakhir sampel D (ABC Sarden Saus Tomat)
sebesar 2,8525%. Dari data tersebut terdapat selisih kadar abu yang cukup
besar antar sampel, begitu pula dengan hasil setiap kelompok dalam satu jenis
sampel juga terdapat selisih yang cukup besar. Misalnya pada sampel A,
untuk kelompok 1 dan 11 menghasilkan kadar abu tidak lebih dari 5%,
sedangkan pada kelompok 6 menghasilkan kadar abu lebih dari 70%.
Perbedaan jumlah kadar abu yang terpaut cukup jauh dalam satu sampel juga
dialami oleh sampel B dan C. Seharusnya hasil perhitungan kadar air pada
sampel yang sama memiliki selisih yang tidak terpaut jauh. Menurut teori
yang ada, kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang
dikandung dalam bahan pangan tersebut. Penurunan kadar abu ini disebabkan
oleh berkurangnya mineral yang terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam
sampel. Pada suhu pengabuan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan
hanya dapat mengabukan sebagian mineral yang ada di permukaan, sehingga
penurunan kadar abu bahan relatif kecil. Sedangkan pada suhu pengeringan
yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama, panas yang diterima oleh
bahan selain digunakan untuk mengabukan mineral pada permukaan bahan,
juga dapat mengabukan mineral yang terikat di dalam bahan (Herman dkk,
2011). Jumlah kadar abu berbanding lurus dengan banyaknya kandungan
mineral. Semakin besar kadar abu yang dihasilkan, maka semakin banyak
pula mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut.
Selain itu, perbedaan kadar abu ini disebabkan oleh keadaan habitat
ikan. Menurut Muchtadi (2011), faktor alam (ekstrinsik), yaitu semua faktor
luar (tidak berasal dari ikan yang dapat mempengaruhi komposisi daging
ikan. Golongan faktor ini terdiri dari daerah kehidupannya, musim dan jenis
makanan yang tersedia. Daerah kehidupan ini erat sekali hubungannya
dengan sumber makanan baik dalam hal jumlah maupun jenisnya. Dimana,
semakin banyak cemaran dan mineral yang terkandung di dalam suatu
perairan, maka semakin banyak pula kandungan mineral yang akan masuk ke
dalam ikan tersebut, sehingga pada saat diabukan akan berpengaruh terhadap
jumlah kadar abu. Seringkali produsen tidak hanya mendatangkan bahan baku
ikan pada satu tempat yang sama, melainkan dari berbagai tempat/perairan
yang berbeda. Sedangkan setiap perairan memiliki kandungan yang berbeda
pula. Keadaan tersebutlah yang mungkin menyebabkan adanya
penyimpangan data. Penyimpangan juga dapat terjadi karena kesalahan saat
penimbangan atau abu ada yang menyerap air karena dibiarkan di udara
terbuka terlalu lama saat menunggu ditimbang sehingga abu akan menarik air
dan mempengaruhi berat saat ditimbang. Akibatanya kan mempengaruhi
ketepatan analisis.
E. Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil dari praktikum penetuan kadar abu ini
adalah:
1. Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
2. Kadar abu dalam bahan pangan menunjukkan jumlah mineral yang
dikandung dalam bahan pangan tersebut.
3. Tujuan penentuan abu total yaitu untuk menentukan baik tidaknya suatu
proses pengolahan, untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan,
sebagai parameter nilai gizi bahan makanan dan menunjukkan jumlah
mineral yang dikandung dalam bahan pangan.
4. Rata-rata kadar abu masing-masing sampel berturut-turut dari yang paling
besar yaitu sampel C (Gaga Sarde), sampel B (Maya Sarden Saus
Tomat), sampel A (King Fisher sarden), sampel E (Maya Sarden Saus
Tomat), dan terakhir sampel D (ABC Sarden Saus Tomat).
5. Semakin besar kadar abu yang dihasilkan, semakin banyak pula kadungan
mineral dalam bahan pangan tersebut.
6. Penurunan kadar abu disebabkan oleh berkurangnya mineral yang
terdegradasi oleh pengaruh suhu dalam sampel.
7. Penentuan kadar abu diatur dengan metode SNI 01-2354.1-2006.
DAFTAR PUSTAKA
Elmer, Perkin. 1996. Analytical Methods for Atomic Absorption Spectroscopy. The Perkin-Elmer Corporation. USA.
Herman, dkk. 2011. Analisis Kadar Mineral Dalam Abu Buah Nipa (Nypa Fructicans) Kaliwanggu Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Jurnal Trop. Pharm. Chem. (Indonesia) Volume 1, Nomor 2.
Jorhem, Lars dan Engman Joakim. 2000. Determination of Lead, Cadmium, Zinc, Copper, and Iron in Foods by Atomic Absorption Spectrometry after Microwave Digestion: NMKL1 Collaborative Study. Journal of AOAC International Volume 83, Nomor 5.
Muchtadi, Tien R dkk. 2011. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bandung.
Onyia, L.U dkk. 2010. Proximate And Mineral Composition In Some Freshwater Fishes In Upper River Benue, Yola, Nigeria. Journal Food Science and Technology Volume 4: 1-6.
Richana, Nur. 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimiatepung Umbi Dan Tepung Pati Dari Umbi Ganyong, Suweg, Ubikelapa Dan Gembili. Jurnal Pascapanen Volume 1, Nomor 1.
Sipahioglu, O dkk. 2003. Dielectric Properties of Vegetables and Fruits as a Function of Temperature, Ash, and Moisture Content. Journal of Food Science Vol. 68, No. 1.
Sudarmadji, Slamet dkk. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Suryaningrum, Th. Dwi dkk. 2010. Profil Sensori Dan Nilai Gizi Beberapa Jenis Ikan Patin Dan Hibrid Nasutus. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Volume 5, Nomor 2.